Proceedings of the Forum Festival ARKIPEL Homoludens

Page 1


Penyunting | Editor Prashasti Wilujeng Putri, Anggraeni Dwi Widhiasih, & Dhuha Ramadhani Penulis/Pemakalah | Writers/Panellists Afrizal Malna, Akbar Yumni, Azar Mahmoudian, Choiru Pradhono, Dini Adanurani, Findo Bramata Sandi, Helen Petts, Ifa Isfansyah, Kus Sudarsono, Michael Baute, Otty Widasari, Rachmat Hidayat Mustamin Transkripsi | Transcription Anggraeni Dwi Widhiasih, Dhuha Ramadhani, Luthfan Nur Rochman, Manshur Zikri, Prashasti Wilujeng Putri, Pychita Julinanda Terjemahan | Translation Anggraeni Dwi Widhiasih, Dhuha Ramadhani, Dini Adanurani, Gema Bastari, Prashasti Wilujeng Putri, Pychita Julinanda, Rafika Lifi, Valencia Winata Tata Letak | Layout Design Robby Ocktavian Latar Sampul / Cover Image © Teater Garasi / Garasi Performance Institute - 2018. ARKIPEL Tree of Knowledge Drawing Hafiz Rancajale ARKIPEL Logotype Drawing Ugeng T. Moetidjo Percetakan / Printing Gajah Hidup

Diterbitkan oleh / Published by Forum Lenteng Cetakan Pertama, Jakarta, Agustus 2019 500 eksemplar Copyleft Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta. 12530 www.forumlenteng.org | info@forumlenteng.org | @forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival www.arkipel.org | info@arkipel.org | @arkipel

Putri, P. W., Widhiasih, A. D., Ramadhani, D. (Eds.). (2019). Forum Festival: Homoludens. Post-event Book. ARKIPEL Homoludens – 6th International Documentary and Experimental Film Festival. 1st ed. Jakarta: Forum Lenteng [224, B5 (176mm x 250mm)]

ISBN


Pengantar 4 Preface 7 PidatoPembuka / OpeningSpeech Ludic dan Kebertubuhan di Era Digital

10

Ludic and Embodiment in the Digital Era

16

Panel1 Ludic dan Performativitas

24

Ludic and Performativity

Panel2 43 Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman

62

Film Criticism and Film Institution 81 Panel3 Pendidikan Filem Sekarang dan Masa Mendatang

100

Film Education: Current and Future Practice

124

Panel4 Melampaui Kolaborasi: Antara Berkarya Secara Kolektif dan Individu

148

Beyond Collaboration: Between Collective and Individual Practice

171

Panel5 Peran Komunitas dalam Menentukan Bahasa Sinema

194

Role of Community in Determining Our Language of Cinema

217


PENGANTAR

Di tengah kultur homo faber yang rasional dan berfokus pada produktivitas, agaknya kita memang perlu memberi ruang yang lebih luas untuk kebermainan, mengingat kebermainan adalah hal yang paling manusiawi. Dengan bermain, tubuh dapat menyiasati setiap aspek kehidupan, karena dengan begitu ia selalu mengalami kebaruan dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Tubuh dapat bergerak secara spontan menyelinap di antara batas-batas sistem yang kaku sehingga ia dapat membentuk ruang-ruang relasi baru. Di dalam ruang-ruang itu lah eksperimentasi muncul dan memberi peluang bagi kita untuk menyelami fenomena-fenomena sosial yang ada dalam ranah sinema. Dengan melihat kebermainan ini sebagai kemungkinan, Forum Festival ARKIPEL homoludens hadir sebagai salah satu usaha untuk membuka ruang-ruang bermain itu sehingga kita dapat menginterpretasikan dan merefleksikan kenyataan masa lalu untuk kemudian kita telaah dalam konteks kehadiran masa kini. Refleksi akan itu tercermin pada pidato pembuka dari Akbar Yumni yang berjudul “Ludic dan Kebertubuhan di Era Digital�. Dalam era digital, hubungan antara tubuh, teknologi, dan dunia termediasi, dan itu bukanlah suatu tatapan langsung. Dalam relasi dengan teknologi, tubuh manusia mengalami perluasan. Tubuh hadir di dunia ini melalui teknologi itu sendiri. Tubuh mengindera melalui teknologi, dan pengalaman tubuh dengan teknologi membuat eksistensi


teknologi tidak disadari karena ia ikut menjadi bagian dari tubuh. Pembicaraan mengenai homoludens berlanjut dalam sudut pandang yang berbeda. Pada “Panel 1 – Ludic dan Performativitas”, para pembicara (Azar Mahmoudian dan Afrizal Malna) membicarakan bagaimana perubahan teknologi menonton telah mengubah tingkah laku tubuh secara mendasar. Budaya sinema hari ini membuat filem memiliki kecenderungan untuk tidak lagi sekadar mementingkan keahlian mengkonstruksi cerita yang didukung oleh teknis dan kemampuan akan teknis itu sendiri, tetapi juga kecenderungan untuk mengonstruksi perubahan pola bermain yang menubuh dengan subjek-subjek pelakunya, yaitu pencipta dan penonton. Pada “Panel 2 – Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman”, para pembicara (Akbar Yumni dan Michael Baute mencoba menilik makna kritik dan kritisisme, dan bagaimana itu dibangun di dalam kultur sinema Indonesia dan Jerman, baik dalam suatu institusi ataupun di luar institusi. Hidupnya kritisisme dalam sebuah institusi atau lembaga perfileman sangatlah penting mengingat hal itu menunjukkan perubahan-perubahan berarti dalam hal status dan bentuk pengelolaan organisasional para pegiat filem, juga pengaruh timbal-baliknya terhadap perkembangan bentuk, bahasa, dan estetika filem serta modus penyelenggaraan peristiwa perfileman. Menyambung pembicaraan pada panel kedua, persoalan tentang kurikulum pendidikan filem dibicarakan pada “Panel 3 – Pendidikan Filem Sekarang dan Masa Mendatang”. Ketiga pembicara (Choiru Pradhono – ISI Padangpanjang, Kus Sudarsono – Universitas Multimedia Nusantara, dan Ifa Isfansyah – Jogja Film Academy) membicarakan tentang bagaimana kepentingan industri melatarbelakangi nilai produktivitas di antara pelaku filem, terutama dari kalangan akademisi. Dalam hal ini, cita-cita kebudayaan universitas, sebagai lembaga yang cukup penting dalam membangun kritisisme di bidang perfileman, terhambat oleh kebijakan dan aturan negara dalam merancang kurikulum pendidikan filem. Sedangkan, pada “Panel 4 – Melampaui Kolaborasi”, kedua pembicara (Otty Widasari dan Helen Petts) membicarakan bagaimana kerja bersama, atau kolaborasi, atau dalam terma masyarakat Indonesia: gotong-royong, menjadi praktik yang sebenarnya dapat menjadi kerangka alternatif kerja-kerja produksi karya seni, dan bagaimana pernyataan artistik dipengaruhi oleh relasi-relasi yang terbangun dari praktik kerja kolaborasi itu. Pada akhirnya, pada “Panel 5 - Peran Komunitas dalam Menentukan Bahasa Sinema Kita”, para pembicara (Findo Bramata Sandi – RelAir Cinema, Dini Adanurani – UI Film Festival, dan Rachmat Hidayat Mustamin – Imitation Film Project) membicarakan bahwa dalam penentuan bahasa sinema kita, atau bahasa sinema secara lebih global, aktivisme komunitas sesungguhnya memiliki potensi kuat dan peran yang teramat penting. Ragam inisiatif mulai


dari aksi produksi, distribusi, eksebisi, hingga edukasi filem yang digagas sejumlah komunitas telah mengambil peran strategis. Strategis dalam bingkaian yang memperlihatkan bahwa aksi berkomunitas para pegiatnya tidak terlepas dari konteks posisinya dalam masyarakat, berlandaskan hasrat berbagi dan berorientasi pendidikan. Dengan demikian mereka semakin memantapkan demarkasinya dari kultur industri. Mengkritisi kultur dominan, komunitas bergerak dengan “cara tersendiri� sesuai kebutuhan dan kemampuan anggotanya. Kemudian melalui aktivitasnya itu komunitas menjadi fasilitator dalam upaya mempertemukan kepentingan publik yang lebih luas, menggunakan kultur bersinema. Pertukaran gagasan-gagasan dalam ARKIPEL adalah sebuah usaha untuk memperkokoh bangunan pengetahuan dan kebudayaan kita. Tentunya usaha itu membutuhkan banyak pihak, seperti pembuat filem, akademisi, kritikus, penikmat seni, pelaku industri, dan masyarakat umum dalam menembangkan wacana sinema Indonesia dan global. Terbitnya buku ini diharapkan dapat menyumbang khazanah pengetahuan sinema kita.

Jakarta, 10 Agustus 2019 Penyunting


PREFACE

Amid homo faber culture that is rational and focused on productivity, it seems we need to provide more space for the sense of playing, considering that playing is the most humane thing. By playing, the body can get around every aspect of life, because that way, it always experiences novelty in its interactions with the surrounding environment. The body can move spontaneously to slip between rigid system boundaries so that it can form new spaces of relations. It is within these spaces that experimentation arises and provides an opportunity for us to explore social phenomena that exist in the realm of cinema. By understanding ludic as a possibility, Forum Festival of ARKIPEL Homoludens exists as an effort to open up these spaces of play so that we can interpret and reflect on the reality of the past and then examine it in the context of present presence. Such reflection appears in the opening speech of Akbar Yumni titled “Ludic and Embodiment in the Digital Era.� In the digital era, the relationship between body, technology, and the world is mediated through the indirect gaze. In relation to technology, the human body experiences expansion. Technology mediates the presence of body in this world through. The body senses through technology, and its experience with technology make the existence of technology goes unaware because it is part of the body.


The discussion about homoludens continues in a different perspective. In “Panel 1 - Ludic and Performativity”, the speakers (Azar Mahmoudian and Afrizal Malna) discussed how the changes in the technology of spectacle have fundamentally changed the behavior of the body. Today’s cinema culture makes films no longer tend to emphasize merely their expertise in constructing stories supported by technical and technical ability itself, but also in their tendency to construct changes in the pattern of playing that affect the subjects, namely the maker and the spectator. In “Panel 2 - Film Criticism and Film Institutions”, the speakers (Akbar Yumni and Michael Baute try to look at the meaning of critique and criticism, and how it is built in the cinema culture of Indonesia and Germany, both within an institution and outside the institution. The life of criticism in a film institution or film institution is critical considering it shows significant changes in the status and form of organizational management of film activists, as well as their mutual influence on the development of film form, language, and aesthetics and the mode of organizing film events. The discussion at the second panel was continued by bringing forth the issue of film education curriculum in “Panel 3 - Film Education: Current and Future Practice”. The three speakers (Choiru Pradhono - ISI Padangpanjang, Kus Sudarsono - Multimedia Nusantara University, and Ifa Isfansyah - Jogja Film Academy) talked about how industrial interests underlie the value of productivity among filmmakers, especially from academics. In this case, the ideals of the university’s culture, as a quite essential institution in building criticism in the film field, are hampered by state policies and regulations in designing film education curricula. Meanwhile, in “Panel 4 - Beyond Collaboration”, the two speakers (Otty Widasari and Helen Petts) discussed how the act of working together, or collaborate, or in terms of Indonesian society: gotong royong, become a practice that actually could play a role as an alternative framework of production works of art. The panel also discussed how artistic statements are influenced by relationships built up from the practices of collaboration. Finally, in “Panel 5 - Role of Community in Determining Our Language of Cinema”, the speakers (Findo Bramata Sandi - RelAir Cinema, Early Adanurani - UI Film Festival, and Rachmat Hidayat Mustamin - Imitation Film Project) discussed that in determining the language of our cinema, or cinema language more globally, the activism of the film community has strong potential and a crucial role. Various initiatives ranging from production, distribution, exhibition, to film education initiated by many communities have taken a strategic role. It can show that the actions of its community members are inseparable from the context of its position in society, based on the desire to share and education orientation. Thus


they further strengthen their demarcation from the culture of the film industry. Criticizing dominant culture, the community moves in a distinctive way according to the needs and abilities of its members. Then through its activities, the community becomes the facilitator to bring broader public interests together, using the cinema culture. The exchange of ideas in ARKIPEL is an effort to strengthen our knowledge and culture. Of course, this effort requires many parties, such as filmmakers, academics, critics, art audiences, industry practitioners, and the general public, to develop Indonesian and global cinema discourse. The publication of this book is expected to contribute to the treasures of our cinema knowledge.

Jakarta, August 10, 2019 Editor


PIDATO PEMBUKA

Ludic dan Kebertubuhan di Era Digital

Pertama-tama, saya ingin mencoba membawa frasa Homo Ludens, yang dipelopori oleh Johan Huizinga pada tahun 1938, ke dalam spasialitas hari ini. Frasa homo ludens yang memiliki tafsir secara umum sebagai ‘manusia yang bermain’, adalah sebuah konsep yang muncul sebagai perimbangan terhadap konsep homo faber atau ‘manusia tukang’. Konsep homo faber sendiri sudah muncul sebagai pandangan humanisme pada abad ke-14, tentang pandangan manusia yang sanggup mengontrol takdir dan lingkungan mereka melalui alat. Pandangan humanisme dalam homo faber ini adalah identifikasi terhadap manusia yang sanggup untuk tidak identik dengan alam. Dalam pandangan Hannah Arendt, homo faber adalah pembangun dinding (baik fisik dan kultural) yang membagi dunia manusia dan alam, dan menyediakan sebuah konteks yang stabil (dunia bersama) dari ruang dan institusi sehingga kehidupan manusia dapat terungkap. Para homo faber inilah yang kemudian kita kenal sebagai para arsitek, pengrajin, seniman, legislator, yang bekerja secara fisik, kelembagaaan maupun kultural, yang membuat “dunia bersama” kehidupan manusia menjadi eksis, dan berbeda dengan alam. Dalam perkembangannya, hamo faber beriringan dengan gerak kapitalisme yang semakin berorientasi pada produksi, dan membawa rasionalitas ke arah yang instrumental, sebagaimana yang diutarakan oleh pandangan para pemikir Mahzab Frankfurt terhadap

Akbar Yumni

kapitalisme di abad ke-20. Rasionalitas


instrumental ini berorientasi pada produksi dan hasil, sedemikian hingga, usaha-usah manusia modern untuk menjadi rasional seakan dilematis karena kecenderungannya yang instrumental tersebut. Orientasi terhadap produksi dan hasil itu jugalah yang mengikis humanisme, dengan manusia yang teridentifikasi melalui hubungan produksi, dan hubungan antarmanusia sebangun menjadi hubungan antarbenda. Berbeda dengan homo faber, homo ludens adalah makhluk yang selalu berorientasi terhadap proses. Sebuah permainan yang sebenarnya tidak mengandaikan sebuah akhir dan hasil, kompetitif, dan lain sebagainya karena ludic sebenarnya juga bisa dilakukan secara soliter. Ia adalah bermain-main itu sendiri, bukan lagi sebuah sistem yang tertutup, namun spasialitas yang selalu terbuka. ‘Ludik’ bukan perihal tujuan, juga bukan perihal kebenaran atau ketidakbenaran, karena ia spasial dalam totalitas atas penggunaan piranti-piranti untuk menciptakan dunia yang dibayangkannya sendiri. Permainan yang memiliki orientasi terhadap hasil, tentu bukan sebuah ludic, karena mengandaikan sebuah kompetisi, hasrat akan penghargaan, profesionalisme, dan lain sebagainya. Permainan macam ini tentu tidak mengenal amatir, sementara homo ludens tidak mengenal batas-batas amatir tersebut. Gerak yang tidak mengandaikan akhir, mengandaikan bahwa homo ludens mengandaikan sesuatu yang terbuka, sementara homo faber sebaliknya. Orientasi terhadap proses itu sendiri, memiliki peluang dalam karya seni kontemporer. Dalam beberapa platform seni misalnya, dramaturgi proses mengenal model kebebasan baru dalam berkarya macam ‘work in progress’, atau seni-seni performatif yang hasratnya adalah menghadirkan (presence) dan peristiwa (event) ketimbang seni ‘representasional’. Homo ludens bisa menemukan momentumnya dalam kerangka seni kontemporer, ia bukan homo faber yang ingin menggantikan alam. Homo ludens di dalam seni, semacam seni yang lebih performatif ketimbang representasional, dalam usahanya berangkat dari anasir-anasir keseharian yang berlangsung di masyarakat. Dalam kultur keseharian masyarakat digital yang semakin performatif melalui penggunaan piranti, kini jauh lebih efektif menggerakan manusia ketimbang seni. Kita melihat bagaimana kesadaran manusia bisa dipandu oleh semacam piranti lunak tertentu, untuk berkumpul, berperilaku, beridentitas. Seperti beberapa waktu yang lalu, ada sebuah game bernama Pokémon Go yang bisa mengumpulkan orang di satu tempat tanpa kehadiran manusia yang memandunya. Itu artinya, dunia digital dan media sosial jauh lebih menggerakan ketimbang seni, jauh lebih performatif dari seni, dan lain sebagainya. Seni di era digital, kini bukan lagi satu-satunya sumber pemaknaan, apalagi sumber katarsis. Seni di era digital bisa diandaikan dalam kerangka pemikiran Hans Belting tentang seni paska sejarah seni, atau seni paska Hegelian. Seni semacam ini bisa jadi tidak lagi bisa dikenali secara


vertikal sebagai sejarah bentuk. Ia menjadi semacam jukstaposisi yang horizontal, yang di dalamnya seorang amatir bisa tiba-tiba mengambil bentuk seni abstrak atau seni klasik melalui internet untuk membuat semacam kolase tanpa harus tahu sejarah bentuknya. Model seni yang ingin bersaing dengan realitas, semacam analogi hasrat homo faber yang ingin menggantikan alam dengan dunia manusia. Sebagaimana homo faber yang percaya menggantikan alam dengan realitas manusia sepenuhnya, seni-seni yang percaya pada hasil akhir atau produksi di luar penggunaan mediumnya – mungkin bisa saya sebut sebagai karya-karya ‘representasional’— meletakkan representasi sebagai tindakan simbolisme yang menggantikan realitas. Tentu kesimpulan ini sangat spekulatif dan bisa sangat keliru, hanya jika merujukkan pada sebuah semangat akan ‘kebebasan baru’ dan kemungkinan baru dalam praktik artistik di dalam seni hari ini, khususnya di era digital, kita yang sebenarnya tidak lagi bisa bersaing dengan realitas digital yang notabene memang sudah sulit dikenali sebagai bentuk representasional. Saya ingin mencoba menukilkan suatu karya seni performans dari kelompok 69 Performance Club berjudul Out of In The Penal Colony.1 (Penayangan video dokumentasi performans “Out of In The Penal Colony [edisi The Partisan]”) Setahun yang lalu saya menulis tentang Opsis dan Muthos, yang menyatakan bahwa selalu ada selisih antara yang kita konstruksi sebagai manusia yang berusaha otonom dan reproduksi gambar melalui mediumnya.2 Dalam logika digital, selisih itu bisa semakin besar ketimbang di era analog yang melalui pemiuhan cahaya. Pemindaian melalui streaming internet misalnya, selalu dipengaruhi spasial ruang – waktu. Tubuh yang dihadirkan langsung melalui medium internet dalam pertunjukan Out of In The Penal Colony (edisi The Partisan) yang saya putar tadi, seakan [menjadi] contoh yang gamblang tentang bagaimana representasionalisme di era digital itu nyaris mustahil. Ini dimungkinkan karena reproduksi image-nya selalu dipengaruhi gelombang yang selalu labil berdasarkan spasial ruang-waktu. Medium digital, bukan otomatis medium cermin atau pantulan dari kenyataan yang presisi, sebagaimana sempat dibayangkan pada era analog, dan keyakinan pandangan representasionlisme. Ini mungkin yang disebut fenomenologi 1\ 69 Performance Club adalah sebuah inisiatif yang digagas sejak tahun 2016 oleh Forum Lenteng untuk

studi fenomena sosial kebudayaan melalui seni performans. Karya yang berjudul Out of In The Penal Colony merupakan serial performans berusaha menghadirkan pembacaan terhadap cerita pendek karya Franz Kafka yang berjudul In The Penal Colony (1919) dengan derap sepatu boots tentara, bingkai-bingkai, dan delay video YouTube beserta suaranya. Karya pertama dalam serial ini merupakan bagian dari Europalia Arts Festival yang diadakan di Belgia oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2017. Disarikan dari situs resmi 69 Performance Club http://69performance.club yang diakses pada 21 Juli 2019 pada pukul 00.17 WIB.—Peny. 2\ Lihat Yumni, Akbar. Opsis dan Muthos Citra. Dalam katalog ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.1st ed. Jakarta: Forum Lenteng.2017.hlm 108-115.— Peny.


digital oleh Joohan Kim, yang disebutnya sebagai gejala pengada digital. Pengada digital ini memiliki nilai informatif (berupa gambar dan suara), namun ia juga eksekutor untuk mengolah data-data melalui sistem operasi piranti lunak. Keserentakan informasi dan eksekutor inilah yang memungkinkan pengertian representasionalisme juga sebenarnya menjadi taksa. Dua corak mendasar ontologi pengada digital yakni sekaligus benda dan bukan benda. Sebagai benda, pengada digital dapat digunakan sebagai alat memiliki yang sifat keawetan (durability) karena kita bisa bekerja dan bertindak dengannya seperti menyimpan (save), mengedit (edit) dan lain sebagainya. Namun secara serentak, ia juga bukan benda karena tidak memiliki kondisi ruang dan waktu (spatiotemporal condition) ketika pengada digital siap untuk senantiasa tergandakan (multiplicability), bersifat serba sebentar (ephemeral), mudah dilenyapkan (delete).3 Kontradiksinya adalah awet namun sekaligus sementara. Kita bisa saja melacak sejarah keberadaan sebuah objek data digital, namun ia sangat mudah dihapus, atau digandakan, yang dalam pergaulan semesta digital yang sangat horizontal ini, asal-muasal menjadi sulit dilacak, atau kondisi ruang dan waktu yang sulit dikenali. Kehadiran pengada digital bersifat kuasi. Tubuh adalah cara manusia mengalami dunia. Saya ingin mengambil ringkasan pandangan Don Ihde, seorang pemikir filsafat teknologi, yang saya sarikan dari makalah studi saya dengan Ibu Karlina Supeli. Di era digital, menurut Don Ihde, hubungan manusia dengan dunia yang selalu dimediasi oleh teknologi, adalah sebuah relasi hermeneutis. Manusia melihat dunia melalui perangkat digital (media sosial, medium digital, dan lain sebagainya) yang dalam pandangan Ihde adalah interpretasi bersifat tekstual, karena menuntut cara bertindak dan persepsi tertentu. Hubungan aku-teknologi digital-dunia menjadi hubungan yang misterius, karena hubungan dengan dunia yang dimediasi oleh teknologi adalah bukan sebuah tatapan langsung, sehingga dimungkinkan sebuah ketepatan tafsir atau pergeseran. Atau mungkin tepatnya, menurut saya pribadi, adalah spasialitas hermeneutik. Dalam relasi dengan teknologi, manusia membaca dunia melalui instrumen, yang di dalamnya terdapat relasi penubuhan yang menjadikan transformasi melihat dunia menjadi bersifat horizontal. Dahulu manusia bisa melihat bulan menjadi hal yang horizontal, karena bulan menjadi terlihat lebih dekat dan jelas melalui teleskop. Melalui teknologi, tubuh manusia mengalami perluasan. Dalam hubungannya dengan teknologi, maka kebertubuhan dan mengada di dunia, melalui teknologi itu sendiri. Sifat relasi penubuhan adalah eksistensial, yang dalam konteks pemakaiannya, teknologi dilibatkan 3 \ Lihat Kim, Joohan. “Phenomenology of Digital-Being.� Human Studies 24, no. 1/2 (2001): 87-111. http:// www.jstor.org/stable/20011305. – Peny.


untuk melihat sesuatu menurut cara tertentu yang mengubah persepsi dan rasa-merasa tubuh. Pengalaman terhadap perangkat, menjadikan teknologinya sendiri tidak disadari, karena ikut menjadi bagian dari tubuh. Teknologi bukan sasaran intensionalitas kesadaran, teknologi mundur dari kesadaran, lalu dunialah yang mengemuka melalui teknologi. Dunia menjadi konteks atau latar (latar belakang), peran utama ada di teknologi (latar depan). Kita mengalami teknologi seakan-akan sebagai perluasan/ penubuhan dunia. Dalam relasi embodiment: teknologi adalah kuasi-aku (perluasan atau perantara); dalam relasi alterity, teknologi mengemuka sebagai kuasi-obyek, kuasi-liyan atau alter-ego. Yang terjadi [pada] relasi aku ke atau dengan teknologi, bukan melalui teknologi, karena dunia tetap merupakan konteks dan latar, dan teknologi mengemuka sebagai kuasi-pusat perhatian kita. Sebagaimana realitas digital yang sulit melacak dan mengenali pengertian asal-usul dan kesejarahan dari sebuah objek di dalamnya, maka membayangkan sinema dalam kerangka homo ludens adalah bukan lagi sebuah penunggalan dengan narasi yang mengenal awal dan akhir. Sinema dalam kerangka homo ludens adalah sebuah dramaturgi proses yang terbuka secara terus menerus, sebagaimana keberadaan objek di era digital yang semakin mengalami ketaksaan, karena sifat sementara dan pesebarannya. Homo ludens menjadi penting bukan karena bagus atau buruk sebuah sinema (postulat yang mengandaikan hasil akhir), namun semacam sinema yang juga mengandaikan sebuah ‘amatirisme’, kepublikan, work in progress, dan seterusnya, sebagaimana membayangkan sinema di era digital yang platform-nya terbuka bagi semua masyarakat sebagai pengada digital. Homo ludens menjadi postulat sinema yang mengandaikan manusia, objek, dan lanskap adalah hal yang setara, dari tradisi naratif yang dominan di masa sinema sebelumnya yang mengandaikan hirarki objekobjek di dalamnya, sebagaimana semua objek di dalam realitas digital adalah data, benda dan sekaligus bukan benda, dan seterusnya. Kita mungkin perlu mengimbangi bentuk-bentuk avant-gardism yang berorientasi pada kebaruan, kepeloporan, kecanggihan, spektakel, yang meletakkan seni menjadi sangat individu dan otoritatif, genius, dan seterusnya, dengan mencoba menghadirkan individu yang lebih kolektif, publik, keseharian, kolaboratif, pendekatan amatir, komunitas dan lain sebagainya. Homo ludens bisa jadi bukan lagi sebuah pencarian akan makna, tetapi pengalaman dan mempersepsi ulang peristiwa sehari-hari itu sendiri.

Demikian presentasi dan tawaran saya. Terima kasih, selamat ber-Forum Festival.



OPENING SPEECH

Ludic and Embodiment in the Digital Era First of all, I would like to propose the phrase Homo ludens coined by Johan Huizinga in 1938 with regard to today’s spatiality. Homo ludens, which means ‘man the player’, emerged as a concept to counteract homo faber or ‘man the maker’. The later concept was established by humanists in the 14th century; it perceives humans as capable of controlling their destiny and their surroundings through their use of instruments. Humanity as homo faber identifies that humans and nature are distinct and separate entities. According to Hannah Arendt, homo faber is an agent that creates divisions (physical and cultural) between the human realm and nature, and establishes a stable context (a common world) of spaces and institutions within which human life can unfold. We come to know these homo faber as the architects, the craftspeople, the artists and the legislators who physically, institutionally and culturally build a ‘common world’ where life becomes a separate entity from nature. In its development, the concept of homo faber advanced alongside the capitalist mode of production and has turned rationality into instrumental rationality; such was the critique of capitalism in the 20 th century by the Frankfurt School. Instrumental Rationality orients itself to a means and an end in such a way that modern humans–in their attempts to be rational–seems to be in dilemma due to rationality’s tendency to be instrumental. It is this orientation to a means and

Akbar Yumni

an end that destroys humanism, in which humans


are identified based on relations of production and social relationships becomes relationships among objects. Unlike homo faber, homo ludens is process-oriented. A game that is not about an end and a result, nor a competition et cetera because ludic could actually be performed by one player. It itself is an act of playing, no longer a closed system but an open spatiality. ‘Ludic’ is not about being purposive, nor being true or false; it is spatial as in its totality to utilize instruments to create the world that it imagines. A result-oriented game is clearly not ludic because it is driven by competitiveness, desire for honours, professionalism and so forth. That kind of game does not acknowledge amateurs, whereas such limitation does not exist in homo ludens. A gesture that does not expect an end; homo ludens presupposes openness, while homo faber is the complete opposite to it. The orientation towards process has a potentiality to develop in contemporary art. In several artistic platforms such as dramaturgy, there is a model that recognises new kind of freedom in its process of making, which is called ‘work in progress’. Another example is performative art that aspires to present a presence and event, rather than ‘representational’ art. It is possible for homo ludens to find their momentum in contemporary art, where they are no longer homo faber desiring to replace nature. Art in homo ludens is performative rather than representational, its creative efforts originate from everyday life. In the culture of everyday life, digital technology–whose form has increasingly been performative through our use of its devices–is much more influential on human life than art. We have seen how human consciousness could be influenced by software to gather, behave and associate. A while ago, a game so called Pokémon Go could make people gather at one place without any human as its guide. That means digital world and social media are much more influential and performative than art. Art in the digital era is no longer a source of meaning, hardly a source of catharsis; art must start from social phenomenon that enfolds it. Art could be speculated within the framework of Hans Belting’s thought on arts after the end of history of art or post-Hegelian’s reflection on art. This kind of art

could no longer be vertically regarded as a history of form. Instead, it becomes a horizonal juxtaposition where an amateur can freely use the Internet to take the forms of abstract or classical art in order to create some sort of collage – without possessing a historical knowledge of arts and its forms. Art that wants to compete with reality can be seen as an analogy for homo faber that wants to replace nature with human realm. Like homo faber that aims to substitute nature for the human realm completely, I could perhaps call the arts that aim to the final result or end product – regardless of their


medium practices – are ‘representational’; it situates the representation as a symbolic act of substituting reality. Of course, this conclusion is speculative and could be absolutely wrong. It is just that I would like to refer to the spirit of ‘new freedom’ and new possibility in artistic practices nowadays, particularly in the digital era. We actually cannot compete with digital realm anymore, whose forms could hardly be taken as representational. I would like to present a snippet of the performance art by 69 Performance Club titled ‘Out of Penal Colony’.1 (Screening of the video documentation of “Out of In The Penal Colony [The Partisan edition]) A year ago, I wrote about Opsis and Muthos, stating that there is always a gap between something constructed by human who strives for autonomy and an image reproduced by its medium. 2 The gap is more noticeable in digital logic than in the analogue era, which has gone through distortion of light. The Internet streaming for example is always shaped by time-space spatiality. The presentation of body directly through the Internet in Out of Penal Colony (The Partisan edition) that I have just shown, demonstrates how the idea of representationalism in the digital era is almost impossible. This is because digitally reproduced images are always affected by irregular waves based on time-space spatiality. Digital medium does not automatically become a medium of reflection, it does not reflect reality precisely, as once imagined in the analogue era and assumed by the representationalism. This perception is perhaps what Joohan Kim called as phenomenology of digital-being, which is a symptom of digital-being coming into existence. The digital culture has informative value (in the form of visual and sound), but it also executes data processing through the operating systems of software. It is perhaps this parallel between being informative and being an executioner that has formed the definition of representationalism as an ambiguous ground. Two primary bases of digital ontology are material and non-material. As a material, a digital-being can function as a tool that has durability because we can work and act on it, for example, save, edit, et cetera. But simultaneously. a digital-being is non-material because it is not in spatiotemporal condition as it is readily multiplicable, ephemeral, and

1 \ 69 Performance Club is initiated by Forum Lenteng in 2016 to study socio-cultural phenomenon through performance arts. The work Out of In The Penal Colony is a series of performances trying to present a reading of a short story by Franz Kafka titled In The Penal Colony (1919) by using the arcing of army boots, frames, and delay of YouTube videos and their voices. The first work in this series is part of the Europalia Arts Festival held in Belgium by the Government of the Republic of Indonesia in 2017. Retrieved from the official website of 69 Performance Club http://69performance.club which was accessed on July 21, 2019 at 00:17 WIB.—Ed. 2\ Yumni, Akbar. Opsis dan Muthos of The Image. in catalog of ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.1st ed. Jakarta: Forum Lenteng.2017.pg 108-115.—Ed.


deletable. 3 A digital-being is contradictorily permanent and impermanent. We could trace the history of digital data, but it is easily deletable or multiplicable. In digital realm that is very horizontal, an object’s origin becomes difficult to be traced, or its spatiotemporal condition is hardly recognisable. Thus, the digital-being tend to be a quasi-bodily presence. Humans experience the world through their body. I would like to put forward the work of Don Ihde, a philosopher of technology, which I summarised in my paper during a course with Karlina Supeli. According to Don Ihde, in digital era the relationship between humans and the world – mediated through technology – is a hermeneutic relation. Humans perceive the world through digital devices (social media, digital medium, et cetera); a situation that Ihde considered to be a form of textual interpretation because it demands a special mode of perception and action. I-digital technology-world relation becomes mysterious because our relation with the world that is mediated through technology is an indirect gaze. This condition allows a precise measuring or some adjustment in reading. Or more appropriately, I personally think of this relation as spatial hermeneutics. In our relation with technology, humans read the world through instruments, in which embodiment relations occur and alter our way of seeing the world into the horizontal one. We were able to see the moon as something horizontal since the moon–through a telescope– seemed to be closer and clearer to us. Through technology, our body is extended. In the relation to technology, our embodiment of the world is experienced through the technology in use. This embodied relation is existential; we use technology as a tool to see something in a certain way, and as a result, technology changes the perception and sense of our body. Our use of technological devices has made technology itself invisible because it becomes part of our body. Technology is not the focal point of our intentional consciousness, instead technology seems to withdraw itself from our consciousness while the world emerges through technology. The world could also be the context or at the background, while technology is at the centre (foreground) of experience. We experience technology as though world embodiment/extension. In embodiment relations, technology is the quasi-being (extender or mediator); in alterity relations, technology is quasi-object, quasi-The Other or alter-ego. What happens in the relation of the I to or with the technology is not through the technology, because the world still remains as the context and background. While technology appears as quasi-centre of our focus. It is difficult to trace and recognize the origin and history of objects in 3\ Kim, Joohan. “Phenomenology of Digital-Being.” Human Studies 24, no. 1/2 (2001): 87-111. http://www. jstor.org/stable/20011305. – Ed.


digital reality, similarly cinema in homo ludens’ framework is no longer a definite singularity nor a narration with a beginning and an end. On the contrary, it is a dramaturgy with a process that continuously opens itself, likewise the increasing ambiguity of objects in the digital era – due to their impermanent state and the way they are distributed. Homo ludens’ importance in cinema is not judged from whether cinema is good or bad (a postulation that orients towards result), but from its imagination of cinema of ‘amateurism’, public, work in progress and so forth, along with the conceptualisation of cinema in digital era where its platform is open for everyone as digital-being. Homo ludens postulates an imagined cinema in which human, object, and landscape are equal–compared with narrative cinema where the tradition of narrative has led to a hierarchy of objects – in the same way objects in digital reality is all at once data, object, non-object and so forth. We perhaps need to counteract avant-gardism that orients towards being new, established, the latest, the spectacle that situates art as very individualistic, authoritative, genius, et cetera. The counteract could be performed by developing individuals who are more collective, publicoriented, collaborative, engaged with amateur approach, communal and so on. It is possible that homo ludens is not a quest for meaning, but rather an immersive experience and re-interpretation of everyday life itself.

On that note, I end my presentation and my proposal, thank you, and please enjoy Forum Festival.




panel1


PANEL 1

Ludic dan Performativitas

Moderator Terima kasih semuanya, selamat pagi. Sekarang kita akan berdiskusi tentang tema Ludic dan Performativitas. Di sebelah saya ada Azar Mahmoudian. Ia adalah kurator dan pendidik yang berbasis di Tehran. Kemudian pembicara kedua di sebelah saya adalah Afrizal Malna. Ia aktif mengurus program teater di Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Untuk materi hari ini kita akan sedikit mendapat gambaran, atau kita akan mendiskusikan bagaimana kita sedang berada di dalam budaya layar yang berbeda, yang memiliki kecenderungan untuk tidak lagi mementingkan keahlian mengkonstruksi cerita, yang didukung oleh teknis, tapi juga kecenderungan untuk mengkonstruksi perubahan pola bermain, antara pencipta dan penonton. Jadi ada interaksi antara tubuh dan layar tontonan. Situasi yang berubah ini mengubah tingkah laku tubuh secara mendasar, dan kemudian bagaimana kita melihat fenomena perubahan antara tubuh dengan teknologi ini sekarang. Untuk lebih jauhnya, kita akan mempersilakan dulu untuk Azar Mahmoudian untuk memulai Azar Mahmoudian

materinya, ia akan berbagi soal bagaimana

Afrizal Malna

pentingnya perubahan teknologi untuk praktik filem, dan efeknya mungkin menciptakan pola baru

Moderator

kita menghasilkan karya sinematik. Dan kemudian

Prashasti Wilujeng

juga bagaimana hubungan dan interaksi antara

Putri

teknologi komunikasi, dan bagaimana manusia dan


teknologi itu dapat memberikan persepsi baru dalam cara kita berinteraksi dengan layar. Terima kasih.

Azar Mahmoudian Pertama-tama, terima kasih telah mengundang saya. Saya sangat bersemangat untuk berpartisipasi dalam festival ini, dan juga untuk belajar banyak tentang kolektivitas dan komunitas dalam skena seni Jakarta, skena seni Indonesia. Saya mencoba menanggapi beberapa pertanyaan yang Anda angkat dalam teks abstrak panel ini. Saya rasa mungkin saya punya 15 menit? Maaf sebelumnya, namun saya mencoba membaca cepat. Saya pikir kita dapat mempertimbangkan beberapa aspek dari poin awal panel ini: gagasan tentang homoludens, elemen bermain dari budaya atau elemen bermain dari area yang lebih luas akan partisipan dan praktik sosial, sejarah dan penulisan sejarah mereka, yang mana ini sangat penting. Sejarah dan penulisan sejarah ini membawa kita kepada pertanyaan ini, apa urgensi dari memikirkan kembali konsep homoludens dalam bingkaian kontemporer? Mengapa konsep ini mendapat momentum dan pengaruhnya dalam momen sejarah yang sedang kita hadapi? Menyusul pembentukan ontologis dari istilah homoludens, terdapat juga kapasitas strategis dan prospektif untuk konsep ini, dan bagaimana hal tersebut dapat menawarkan kita perangkat kritis. Poin kedua adalah lingkungan yang dapat mengangkat kondisi kemungkinan homoludens sebagai bentuk baru subjektivitas. Contohnya, pengaturan ruang, seperti perencanaan kota, misalnya, bagaimana kota-kota yang dibayangkan oleh para Situationist International dirancang sebagai kota potensial di masa depan untuk homoludens sebagai penghuninya. Kita juga melihat hubungan antara kemajuan teknologi dalam era digital dan efek serta pembentukan homoludens, terutama soal bagaimana pengalaman sinematik dan perjalanan melalui ruang dan waktu dapat dimungkinkan menjadi pemantik kebermainan dan juga praktik budaya dan sosial. Poin ketiga–kemajuan teknologi dalam ruang virtual dan pengalaman sinematik adalah pencetak homoludens, betul, namun juga dihasilkan dari homoludens. Maka, saya tertarik untuk menyentuh siklus ini, sifat dua sisi dari fenomena permainan ini. Dan manusia sebagai pemain, bagaimana manusia menjadi objek dan subjek dari bermain pada saat yang bersamaan. Bagaimana aspek performativitas permainan dan hasrat untuk bermainmain dibajak, dimanuver, atau dibangkitkan dari waktu ke waktu. Kembali ke komentar tentang format pengalaman sinematik dan hubungannya dengan teknologi baru dalam abstrak panel ini, Anda menyebutkan bahwa melalui pengalaman menonton film di ruang gelap,


tubuh kehilangan pergerakan dan persepsinya terhadap sekelilingnya. Saya percaya bahwa pengalaman mendalam duduk secara kolektif dalam ruang gelap mungkin membawa persepsi berbeda terhadap ruang dan waktu. Dalam sebuah peristiwa saat tubuh-tubuh berhimpun, terdapat pengalaman trans yang dialami oleh tubuh-tubuh tersebut; tubuh yang satu dengan yang lain dalam ruang kecil; tubuh yang bernapas bersama, mengekspresikan emosi bersama. Terdapat kehadiran yang tersinkron, yang mana itu menarik bagi saya. Maka, ya, tubuh menjadi tergeser dan terdeteritorialisasi, namun ia juga terreteritorialisasi di saat yang sama, dan terdapat persepsi terhadap sekeliling, ia bukan persepsi yang sadar ataupun rasional, namun sejenis persepsi sensual atau emosional terhadap kehadiran tubuh secara kolektif. Jadi, potensi seperti apa yang terbuka dalam orang-orang yang berkumpul ini? Lalu Anda mengajukan spekulasi tentang bentuk-bentuk pengalaman sinematik yang akan datang, mengingat adanya teknologi baru. Jika kita melihat ke belakang kepada genealogi kepenontonan–dari pertunjukan teater hingga televisi, hingga ke perangkat seperti laptop dan ponsel–maka muncullah faktor mobilitas. Menonton filem dan membuat filem menjadi fleksibel dan bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Seperti yang telah disebutkan Akbar, pengalaman tersebut terkesan sangat demokratis dan menyetarakan hierarki antara penonton dengan seniman, mereka menjadi satu seperti yang telah disebutkan. Namun, jangan kita lupakan bahwa pengalaman menonton film di laptop dan ponsel terus menjadi pengalaman yang individual dan soliter pada akhirnya. Walaupun terdapat jutaan orang menonton hal yang sama dan bereaksi terhadap hal yang sama, mereka tidak merasakan kehadiran satu sama lain, selain angka yang muncul di layar, menunjukkan jumlah pengunjung atau komentator. Maka, kita menjadi angka bagi satu sama lain. Jika kita melompat lebih jauh dan berpikir tentang teknologi yang lebih maju seperti VR, film 3D, dan eksperimen dengan headset ini, hal tersebut jadi apokaliptik bagi saya. Kita seperti hanya berkonsentrasi pada layar, dan headset ini menghalangi pandangan samping yang Anda alami dalam pengalaman menonton film di bioskop–kita tidak memiliki latar, siluet kepala dan tubuh di sekitar kita. Jadi, kepenontonan seperti ini hilang. Ada sebuah buku menarik yang baru saja diterbitkan, berjudul Audience Effect on the Collective Cinema Experience, dipublikasikan oleh penerbit Edinburgh, yang membicarakan tentang aturan menonton film secara kolektif, dan bagaimana kita terus kehilangan itu, dan apa saja kapasitas dan potensi menonton film secara kolektif. Seperti yang telah disebutkan juga oleh Akbar, eksperimen semacam ini– yang terjadi pada penonton film–terjadi pula dalam proses pembuatan


film. Maka, teknologi baru memiliki potensi untuk membuat filem secara mandiri. Jika dulu diperlukan tim untuk beroperasi, maka peralatan mandiri jaman terbaru tidak memerlukan tim. Sekarang, seseorang dapat melakukan semuanya dengan perangkat mereka sendiri dan model pembuatan film mandiri ini. Namun, pada saat yang bersamaan kita melihat kembali pengalaman pembuatan film kolektif pada tahun 1960-an dan 1970-an, ada banyak hal yang terjadi dalam proses pembuatan film, dan terdapat banyak wacana dan pertemuan yang terjadi. Proses pembuatan film yang soliter, bagi saya, kehilangan bagian tersebut. Jika saya berpikir masa depan pembuatan film dalam sinema, atau seni secara umum, saya berpikir untuk mengangkat kembali pengalaman kolektif dan perkumpulan tubuh-tubuh bersama. Tidak hanya dengan menonton secara kolektif atau tidak harus dengan membuat seni secara kolektif, namun mungkin dengan memediasi kondisi demi pemahaman bersama. Di era kita, kita membutuhkan lebih dari apapun–motivasi kolektif, afeksi yang tersinkron, dan pemahaman bersama menjadi makin penting. Ketika ideologi tersebut hancur, maka sistem logika, kepercayaan, dan etik apa yang dapat mengumpulkan kita bersama kembali untuk membentuk pemahaman kolektif? Apa yang terpikir oleh saya adalah satu-satunya ritme yang tersinkron adalah ritme tubuh kita. Ritme tubuh, detak jantung, napas. Saya tertarik pada sisi puitis dan politis dari ritme tubuh ini. Bagaimana tubuh bekerja dan masa hidupnya membentuk aturan permainan. Saya mencoba merefleksikan sedikit program film saya. Kembali saya ingin menjadi sedikit provokatif dan menyatakan bahwa saya cukup skeptis terhadap kemungkinan virtual. Saya percaya bahwa media sosial–saya menyaksikannya–bagaimana media sosial dapat menghasilkan keluaran bersejarah dalam masyarakat (ter)kontrol dan masyarakat disiplin. Saya berpandangan skeptis terhadap perayaan ruang virtual sebagai ruang demokratis. Ia biasanya dirayakan karena ruang virtual dapat mengakali penyensoran. Atau menciptakan hubungan horizontal, aksesibilitas antara pertemuan yang tidak mungkin dilakukan. Jika saya memberikan contoh tentang pengalaman kami di Iran, terdapat dua poin yang membuat saya sangat skeptis. Pada 2009, setelah pemberontakan akan pemilihan umum oleh anggota Green Movement–itu merupakan pemberontakan gelombang awal di Timur Tengah. Di negara kami, orang-orang turun ke jalan, dan terdapat suatu titik saat kehadiran mereka di jalan ditekan. Mereka kembali ke rumah mereka, mengakses laptop dan komputer. Dan mereka berpikir, mereka saling berhubungan bersamasama, mereka berbagi gagasan, berbagi amarah, dan lain sebagainya, pada batas tertentu, namun pada saat yang bersamaan hal ini menghapus dengan halus dan jelas kebutuhan untuk hadir di jalan. Maka, kehadiran daring sama


sekali tidak dapat dibandingkan dengan kehadiran tubuh di jalan dan ketika, jika Anda berpikir bahwa ruang virtual bersifat netral, ia sangat berdasar pada kondisi materil. Ia dimanipulasi, sangat dikendalikan, dan dapat kehilangan seluruh sambungannya jika sistem menghendaki. Ketika orang-orang hadir dengan tubuh mereka di jalan, mereka akan sangat, sangat lebih sulit untuk dikendalikan. Mereka sangat dapat mengganggu kehidupan kota sehari-hari. Namun, saya pikir, hal tersebut merupakan saat-saat yang mengerikan. Pada saat yang lain, yang mana ia sangat kontroversial berhubungan dengan penggunaan ruang virtual dan media sosial terjadi baru-baru saja pada 2018. Dalam gelombang pemberontakan di pusat kota Teheran dan di provinsi-provinsi, kami menyaksikan bagaimana masyarakat terfragmentasi, bagaimana kelas menengah sangat terpisah dengan kelas pekerja. Mengapa? Padahal pada 2009 mereka tidak terpisah. Salah satu alasan utamanya saya pikir–saya percaya–orang-orang hanya berkomunikasi dalam kelompoknya sendiri, dan mereka kehilangan koneksinya dengan bagian masyarakat yang lain. Inilah yang diinginkan oleh sistem. Ini merupakan manipulasi sistemik atas penggunaan ruang virtual. Pada dasarnya, saya membicarakan tentang sebuah pengalaman spesifik dalam konteks spesifik, yaitu konteks saya. Namun hal yang ingin saya utarakan adalah bahwa kebutuhan konektivitas virtual dan kolektif virtual perlu dipatahkan. Terdapat kebutuhan untuk mengalahkan ilusi tentang dimensi emansipatoris dari teknologi baru dan ruang virtual. Pada 2009, setelah momen sedih–orang-orang dipaksa kembali ke rumah. Ada suatu kebutuhan bagi beberapa dari kami, beberapa teman, dan beberapa rekan untuk kembali berkumpul di ruang fisik. Kami memulai sebuah lokakarya di ruang galeri, yang dinamakan “Movement of the Ball”. Kami mulai berpikir tentang gagasan tentang bermain, gagasan akan permainan. Saya terus berpikir di beberapa bagian kota yang berbeda, situasi ini kembali terjadi. Anda pikir situasi yang ada di hadapanmu hanya situasi buruk atau lebih buruk lagi. Dan Anda pikir Anda tidak ingin bermain, Anda ingin tangan Anda bersih. Lalu Anda berpikir, “Tidak, aku seharusnya ikut bermain, aku seharusnya memiliki program, aku seharusnya berlatih.” Maka, kami membayangkan gagasan akan bermain dalam konteks-konteks yang berbeda, dalam matematika, dalam sosiologi, dalam seni. Dan kami mempunyai lokakarya interdisipliner seputar gagasan ini, istilahnya meminjam dari sepakbola–saat ketika kita tidak memegang bola, kita tidak memiliki bola, namun kita dapat menyusun strategi di lapangan, sehingga ketika kita sudah memiliki bola maka kita dapat mencetak skor, maka kita mempersiapkan rondenya. Saya tertarik untuk mengangkat hal tersebut karena ketika Anda sedang berpikir tentang urgensi dari memikirkan kembali gagasan homoludens, ide ini muncul di waktu-waktu yang berbeda sepanjang sejarah. Namun saya pikir di waktu sejarah yang spesifik ini,


terdapat kebutuhan untuk memikirkannya dalam-dalam. Kalau dilihat, bola kita tersangkut di pohon itu. Setelah lokakarya ini, kami memulai proyek ruang bernama “kaf ”, yang berarti telapak tangan, dan bentuk serta dasar sekaligus. Saya pikir kata itu berasal dari bahasa Arab, kita tidak mengenal kata itu di sini dalam bahasa lain. Proyek tersebut dijalankan secara kolektif dengan–ia merupakan ruang yang dijalankan oleh seniman sejak 2010 hingga 2015. Kami menghindari memiliki situs, atau kehadiran virtual seperti situs web dan Facebook, dan lain-lain. Kami benar-benar menginginkan penonton kami datang untuk acara-acaranya, dan acara-acara tersebut terdiri dari lokakarya, pemutaran, banyak seri diskusi dan kuliah umum. Maka saya hanya ingin membahas satu poin lagi, kembali ke pertanyaan tentang urgensi mengunjungi kembali homoludens, dan peran bermain dalam budaya. Bagian dari respons yang ARKIPEL ajukan adalah bahwa kebermainan adalah bagian dalam era digital. Ini adalah respons terhadap budaya yang berorientasi aksi yang membawa kembali karakter ludens manusia, pengalaman spasial dari ruang digital dan permainan dalam medium dan perangkat juga menciptakan kerangka kerja yang ludic. Namun mungkin kita dapat menyatakan di samping memikirkan tentang permainan, bermain, dan berpartisipasi dalam permainan adalah melawan–atau menolak akibat dari era digital, bentuk baru dari kontrol atau kendali, dan perubahan persepsi yang dihasilkan. Terdapat sebuah sudut pandang yang menganggap permainan merupakan platform yang kreatif, memperkembangtumbuhkan, dan membebaskan. Namun sekuat-kuatnya hal tersebut, ada kepercayaan bahwa permainan yang kita mainkan adalah keadaan yang dibuat dan dikendalikan oleh manipulasi sistemik. Kita menganggapnya iman jika kita adalah orang yang religius. Atau jika Anda adalah penganut old-school Marxist, Anda dapat menyebut kapital atau mesin-mesin dalam sistem liberal baru ini yang menjalankan permainan ini. Maka, permainan memiliki posisi ganda. Anda mungkin menganggap bahwa Anda sedang memainkan permainan ini, namun pada kenyataannya–mungkin–pada skala yang lebih luas, Anda sedang dipermainkan. Konspirasi ini sangat kuat setidaknya dalam budaya saya. Jika kita menganggap dekade kedua tahun 2000-an sebagai era baru dalam performans, ada buku bagus yang diterbitkan baru-baru ini oleh Parasite (Hong Kong), yang menunjukkan, bahwa mulai pertengahan tahun 90an bidang baru seni tari atau seni performans atau seni video menyerap wacana “baru” dari kritik institusional, teori postkolonial, dan evaluasi ulang gender/queer akan tubuh dan performativitas. Ini sejalan dengan munculnya teori seni sebagai kategori yang berbeda, dalam konstelasi konteks artistik dan institusional.


Dapat dikatakan bahwa kemunculan kembali karakteristik ludic dari seni berhubungan dengan meningkatnya kecenderungan untuk membawa tari kontemporer, performans, film, dan media baru ke museum. Sebagaimana lebih banyak museum, biennale, dan institusi seni yang memperdalam komitmen mereka terhadap seni-seni non-materiil, untuk mengembangkan tidak hanya mengembangkan bentuk produksi estetika yang baru, tapi juga cara untuk menarik penonton melalui sifat seni yang menghibur. Makna ganda dari “performans” ini menarik, karena ia merujuk pada live element1 dalam seni namun juga dapat merujuk pada produktivitas ekonomi. Seperti dalam bisnis, ketika Anda berkata, “performans (kinerja) yang tinggi”. Maka, kondisi ekonomi dan politik di balik perubahan tersebut tidak dapat diabaikan. Performans dan video, sebagai bentuk seni non-komersil menolak komersialisasi di tengah-tengah dunia seni berbasis objek, sebagai contoh dari pengalaman ekonomi yang imateriil Ada tekanan untuk tampil dalam ekonomi hiburan yang baru dan liberal, ini adalah sistem yang mendorong kita ke arah depolitisasi akan bermain, dan depolitisasi keinginan kita terhadap hiburan. Ada kekuatan yang mengubah tubuh menjadi komoditas, alih-alih semua kepuitikan dan polemik yang dibawanya. Judul dramatis ini, yang saya pilih untuk filem-filem yang saya putar di ARKIPEL dalam kuratorial saya2, menimbulkan beberapa pertanyaan tentang bagaimana tubuh memediasi hubungan sosial dan menjadi instrumen baru untuk mengatur makna-makna. Judulnya merujuk kepada konspirasi terhadap tubuh yang ditekan untuk tampil dalam susunan dan aturan sistemik, namun ia juga memiliki referensi kepada tubuh, kepada tubuh kolektif yang menginspirasi satu sama lain, yang bernapas bersama dan yang menghidupkan satu sama lain. Ini merupakan sebuah usaha dan ajakan untuk mempertanyakan arah fundamental dari era kita.

Moderator Ya, tadi barusan Azar mengelaborasikan makalah-nya soal game yang menjadi respons di era digital tapi sebenarnya game di budaya layar ini juga bisa dibuat, dikontrol, dimanipulasi oleh sistem atau mesin yang besar. Kemudian sekarang kita akan lanjut ke pembicara kedua yaitu Afrizal Malna, dia akan melakukan performance, silakan.

1 \ Kata “live” di sini dalam situasi ekonomi adalah adanya kondisi yang sedang berlangsung dan member-

ikan efek. Seperti misalnya memberikan efek pada produktivitas. Dalam seni, terutama seni performas, “live” tidak hanya mengacu pada sesuatu yang sedang berlangsung dan dialami (oleh penonton) secara langsung, tapi juga mengacu pada kepenontonan (spectatorship) dan pengalaman menonton di tempat tertentu dan waktu tertentu. Tempat dan waktu tertentu ini erat kaitannya dengan performativitas ketubuhan dan relasi antara seniman performans dan tubuh penonton. 2\ Program kuratorial Azar Mahmoudian dalam ARKIPEL 2018 – Homoludens berjudul “Tentang Konspirasi dan Resusitasi”. Lihat katalog ARKIPEL 2018 – Homoludens. –Peny


Afrizal Malna Saya akan berbicara tentang bahasa dalam gesekan antara mediummedium baru¬, eh medium-medium lain, dan kemungkinan munculnya tubuh baru. Saya menggunakan istilah “gesekan”, mungkin agak negatif istilah ini. Kalau dipakai istilah Akbar tadi, dalam konteks kata ia bisa diganti dengan “kebertubuhan” itu, atau dengan istilah positif yang lain, bisa diganti dengan “pertemuan”. Tapi saya cenderung mencoba mempertahankan istilah “gesekan” ini karena setiap terjadi relasi, yang kita pertimbangkan biasanya bagaimana relasi itu menghasilkan pertemuan yang baik, kita tidak mempertimbangkan selalu ada agresi di dalam setiap relasi. Tebal atau tipis, terjadi agresi. Saya ingin mengembangkan homoludens ini di dalam konteks gesekan sebagai satu agresi, terutama dalam konteks Indonesia. Tadi Azar ngomongin apakah kita ini bermain-main atau kita dipermainkan. Kalau ini kita bawa ke dalam konteks kita, saya khawatir bahwa kita sekarang sudah tidak bisa bermain dan nggak bisa main-main, karena kita dipermainkan oleh kapitalisme yang kita tidak mengerti sepenuhnya. Kita dipermainkan oleh banyak otoritas-otoritas kekuasaan eksternal di sekitar kita, agama, politik, ekonomi, pasar. Mungkin juga ketika kita ngomong dalam konteks kebudayaan, kita juga nggak tau itu kebudayaan siapa. Jadi, jangan-jangan kita memang sudah tidak bisa bermain-main karena kita banyak berada di area yang justru kita dipermainkan. Kalau homoludens kemudian ditempatkan di konteks itu maka bermain-main di dalam tempat kita, dia bisa menjadi sebuah perlawanan, dia bisa menjadi sebuah kesadaran kritis. Dia bisa menjadi-bagaimana sih membawa sesuatu yang bermain itu menjadi cara untuk kita melumerkan otoritas-otoritas? Paling tidak kayak gitu. Ketika kita membawa bermain untuk melumerkan otoritas-otoritas, artinya kita tidak berada dalam begitu banyak kategori, begitu banyak makna-makna yang mendistori kerja-kerja kita, mendistorsi pengalaman kita, dan mendistorsi bisik-bisik kita, motif-motif kita. Mungkin kita punya sebuah wilayah yang bermain menjadi sebuah aplikasi yang penting. Kira-kira premisnya kayak begitu kalau pembicaraan saya dikaitkan dengan tema pasar tadi. Basis kerja saya di puisi, berhubungan langsung dengan bahasa. Puisi untuk saya selalu menarik karena dia menggunakan bahasa. Bahasa itu immaterial. Sebenarnya tidak beda jauh dengan pengada digital yang tadi dipresentasi oleh Akbar. Dia ada tapi tidak ada. Dia bukan benda, tapi kita bisa masuk. Bahasa sebenarnya lebih ekstrem daripada pengada digital. Kita menggunakannya seperti sekarang ini saya menggunakannya, seolah-olah apa yang saya sampaikan mewakili apa yang saya inginkan. Bahasa menjadi teknologi pertama untuk kita berkomunikasi, teknologi pertama untuk


kita berimajinasi, teknologi pertama untuk kita masuk ke sebuah medan representasi, yang dalam tanda kutip sebenarnya sangat sewenang-wenang. Kalau saya ngomong “kuda” misalnya, kita nggak tahu kuda apa yang ada di kepala kita masing-masing, tapi kita seolah-olah bisa mengerti bahwa kita sedang ngomongin kuda. Itu kan sebuah teknologi awal, bagaimana representasi hampir nggak ada bedanya dengan cara-cara kita berimajinasi. Puisi, karena dia punya praktik yang agak berbeda dengan prosa. Puisi atau seorang penyair–dia bisa menciptakan tantangan-tantangan yang agak spesifik ketika dia berhadapan dengan bahasa. Misalnya, apakah kita bisa ada di luar bahasa? Apakah kita selalu ada di dalam bahasa? Apakah setiap gerak kita, setiap pernyataan kita, setiap yang kita lakukan, adalah sebuah tindakan bahasa? Kalau misalnya penyair menciptakan tantangan-tantangan seperti itu, apakah saya bekerja sebelum bahasa, apakah saya bekerja setelah bahasa, yang tidak bisa, tidak mungkin kita lakukan di dunia prosa karena di dunia prosa kita selalu harus ada di dalam bahasa. Puisi bisa begitu karena puisi dan hubungan puisi dengan bahasa seperti itu. Immaterial bahasa menjadi ancaman untuk penyair bekerja dengan rata. Itu yang membuat saya bergesekan atau membuat banyak hubungan dengan hal-hal di luar puisi. Saya banyak bergaul terutama dengan seni pertunjukan, seni rupa untuk melakukan konfirmasi-konfirmasi. Dan selalu saya kembali ke puisi. Puisi hampir satu-satunya medan penciptaan kita, yang pasar belum pernah bisa mengambil sepenuhnya jadi komoditi dibandingkan dengan seni rupa, dibandingkan dengan filem. Karena itu, saya selalu kembali ke puisi dan tertarik dengan puisi. Walaupun untuk itu saya hidup dalam proyek kemiskinan yang panjang, tapi itu yang menarik. Saya akan me–saya nggak tahu waktunya cukup. Saya akan menggunakan performance untuk menjelaskan pikiran-pikiran ini, karena saya sendiri nggak percaya dengan pikiran saya. Saya menggunakan peralatan-peralatan sederhana. Ini sebuah mangkok dari gelas tembus pandang. Saya pinjem dari seorang kawan. Bukan pinjem deh, ini dibawa, terus saya WA, “Sori ya, mangkoknya gue pinjem dulu.” Ini kertas. Ini juga minjem. Di masa kanak-kanak saya, sebuah lidi di dalam permainan anak-anak bisa begitu cepat berubah menjadi pedang. Lidi itu kemudian begitu cepat berubah menjadi kuda, dan menjadi apapun. Ketika dewasa, saya teringat dengan mainan itu, dan saya pikir ini sesuatu yang rumit. Tapi kenapa anakanak bisa melakukan begitu saja, menciptakan konvensi yang disepakati oleh mereka bahwa itu pedang, bahwa itu kuda-kudaan dalam waktu cepat. Kenapa begitu? Itu bisa terjadi di anak-anak, padahal itu sebuah kerja


kodifikasi yang rumit. Tapi saya nggak tahu anak-anak sekarang yang mungkin sudah kehilangan media kayak begitu. Tadi saya ngomongin soal bahasa. Bahasa itu tubuh pertama saya. Setelah tubuh ini, bahasa, dia seolah-olah, apa ya, bahasa itu– [mengambil kertas kosong pertama] Ini tubuh pertama saya. [mengambil kertas kosong kedua] Ini tubuh kedua saya: bahasa. Saya tidak bisa, dong, memisahkan diri dari bahasa, nggak mungkin saya puasa dari bahasa. Walaupun kadang-kadang saya berpikir, “Kalau puasa dari bahasa selama sebulan apa yang terjadi ya? Nggak ngomong. Nggak pake bahasa. Mungkin, nggak, kita bisa mencuci kepala kita dari bahasa?” Itu hal-hal yang nggak terbayangkan. Bisa dilakukan, tapi mungkin menarik. Saya suka tertarik pada orang-orang yang amnesia, dia lupa, lupa, lupa. Sebagai penyair, awalnya saya bekerja di dalam dua layer ini. Dua layer ini tidak memunculkan masalah-masalah yang ekstrem, seolah-olah bahasa adalah ruang internal saya. Padahal sebenarnya, bahasa medium pertama yang membuat kita menjadi eksternal. Karena kita ngomong, terutama karena kita menulis. Saya tidak tahu dalam tradisi lisan, apakah tradisi lisan punya hal yang jauh lebih menarik. Karena tradisi lisan tidak membuat bahasa menjadi eksternal yang dituliskan. Pada tradisi lisan bahasa ada di dalam, tidak di luar. Ketika kita mulai menulis, bahasa menjadi eksternal. Mungkin itu juga yang membuat mantra sekarang tidak ampuh lagi, karena dia bisa ditulis. Sekarang yang penting, yang buat saya tidak berani menjustifikasi, “Wah ini jelek, wah ini berbahaya, wah ini kayak begini-begini” adalah munculnya smartphone. [mengambil kertas kosong ketiga] Siapa sih sekarang yang bisa berpisah dari smartphone? Dia sudah menjadi tubuh utama kita. Banyak orang men-blackmail, itu berbahaya, itu macemmacem, tapi dia juga sudah tidak terpisahkan. Ketika smartphone sudah menjadi tubuh utama kita juga, maka bahasa tidak–yang dua ini–bahasa menjadi persoalan. Mungkin itu juga yang membuat ketika generasi sekarang menulis sastra, mereka tidak lagi punya hubungan yang terlalu dalam dengan bahasa karena sudah tergantikan dengan smartphone. Tidak ada kegelisahan untuk menjadikan bahasa sebagai–bahasa adalah sesuatu yang diciptakan, bukan sesuatu yang digunakan. Smartphone membuat hubungan kita dengan bahasa semakin eksternal. Kita ada di tiga hal itu. Itu yang membuat saya tidak tahu ke depannya akan seperti apa.


[meletakkan kertas-kertas di atas meja, kemudian mengambil satu kertas] Sekarang saya pengen ngomong tentang bagaimana relasi kita dengan medium-medium di luar kita memunculkan tubuh baru. Ini kertas, sebenarnya–misalnya kalau kita mau sedikit masih punya sedikit rasa heran, kertas ini tetap menarik karena putihnya provokatif. Di tengah panggung kayak begini, ini juga membuat kertas ini menjadi penting. Dan ada microphone ini yang mendefinisikan kertas ini, ada panggung, ada ARKIPEL, ada GoetheHaus, yang membuat dia semakin penting ada di sini. Kita nggak tau juga kenapa pabrik membuat ukuran seperti ini. Apa dasarnya, apakah ukuran ini menyesuaikan mesin tik ketika ia diciptakan? Tapi sekarang sudah tidak ada mesin tik, tapi kita masih memegang ukuran ini. Apa hubungan saya dengan tubuh ini? Dan kertas ini masih kertas [menjatuhkan kertas ke lantai] Dia masih kertas. [Mengambil kertas baru, kemudian kertas dibasahi] Dia sudah menjadi sebuah tubuh baru. Maaf ya GoetheHaus, lantainya kotor. Tubuh baru. Tubuhnya berubah, ada tetesan [kertas basah dijatuhkan]. [memegang kertas baru, diremas menjadi bola dalam kepalan] Ada tubuh saya di kertas ini. Yang menarik dalam tiga praktik ini adalah ketiga-tiganya tidak bisa dikembalikan lagi. Dia [menunjukkan kertas yang telah diremas menjadi bola] tidak bisa dikembalikan lagi menjadi seperti ini [menunjukkan kertas baru yang masih ada di meja]. Pasti nggak mungkin dikembalikan. Yang ini [menunjukkan kertas yang telah basah] juga tidak bisa dikembalikan lagi. Ini [menunjukkan kertas yang masih utuh dan kering yang telah dijatuhkan di lantai sebelumnya] juga sebenarnya nggak bisa dikembalikan lagi karena sudah menjadi milik kalian. Sudah ada memori lain di dalam kertas ini. Paling nggak kita semua yang ada di sini pernah tahu bahwa kertas ini telah melahirkan sebuah narasi yang di luar tidak ada. Kira-kira itu praktik yang mau saya lakukan. Dan di dunia filem, dia menjadi masalah karena dia punya representasi. Kerja representasi yang semuanya sudah digantikan, mata kita digantikan oleh kamera, realitas kita digantikan oleh layer-layer. Di dunia puisi saja, representasi kata masih jadi persoalan untuk seorang penyair, apalagi di dunia filem. Karena semuanya diambil oleh medium di luar kita, itu membuat filem punya tantangan yang sangat berbeda. Sekarang muncul begitu banyak software, muncul begitu banyak jenis-jenis proyektor, bahkan mungkin kita juga bisa menciptakan layer-layer yang spesifik. Artinya ini membuat tubuh


filem ikut menjadi tubuh majemuk. Praktiknya tidak tunggal lagi sebagaimana kita menonton filem di bioskop.

Moderator Oke lanjut aja kita langsung buka sesi diskusi. Tadi kita sudah terlambat sekitar lima belas sampai dua puluh menit, jadi kita masih ada, sisa dua puluh menit sampai jam sebelas kurang lima. Baik, sesi pertama ini saya putar tiga pertanyaan, ada yang mau bertanya? Ya, silakan.

Alvi (Pembuat Filem) Halo, Bu Azar dan Pak Afrizal. Saya Alvi, pembuat filem amatir. Saya mau bertanya kepada Bu Azar. Pertama, saat Anda menyebut tentang keadaan filem saat ini, bahwa ruangan teater ini terlalu gelap sehingga tak ada korelasi emosional kepada penonton, kepada pengalamannya, dan seterusnya, namun saya tak setuju. Menurut saya, filem membagikan pesan-pesannya melalui emosi. Jadi, jika filem sebagai konten menampilkan pesan atau emosi yang kuat, dalam ruangan hitam itu pun filem bisa menjalin relasi emosional. Contohnya, pada filem komedi atau drama yang sangat bagus, bahkan di ruang gelap, sebuah hubungan dapat tercipta dengan para penonton. Menurut saya, kebetulan saja ada evolusi transmisi yang dimiliki manusia, sehingga kondisinya berbeda sekarang, tapi kita harus bisa menerimanya. Pembuat filem harus beradaptasi, bagaimana kita bisa mengembalikan pengalaman langsung kepada penonton hari ini. Intinya, saya tidak menyetujui gagasan ruang gelap, tidak ada perbedaan antara emosi yang akan dialami penonton, karena jika filem menampilkan emosi yang kuat dengan sebuah pesan, contohnya, jika kita menonton filem yang sangat bagus, kita masih bisa menertawakannya dan terkadang kita berinteraksi dengan orang-orang di dalam teater. Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah Anda mengerti maksud saya?

Moderator Alvi?

Alvi Ya?

Moderator Alvi maksudnya tidak setuju bahwa di ruang gelap itu tidak ada memori kolektif atau emosi kolektif begitu?


Alvi Tidak ada emosi kolektif. Satu pertanyaan lagi untuk Pak Afrizal. Saya sangat-sangat tertarik dengan performance-nya. Tapi saya mau bertanya tentang masa tadi, yang Pak Afrizal selalu kembali ke puisi walaupun banyak media art dan lainnya. Kalau yang puisi, ini saya cuma mau bertanya, kenapa setiap kali saya menghadiri acara seperti ini ketika berdiskusi dan sebagainya, mereka seperti mensegmentasi suatu seni. Seperti puisi. Puisi belum bisa dikomersilkan yang saya tangkap tadi, belum bisa terlalu dikomersilkan kalau kata bapak. Filem punya pasarnya sendiri. Prosa punya pasarnya sendiri. Mengapa belum ada misalnya, kita bisa bikin filem yang berawal dari puisi sehingga puisi pun bisa mengkomersiali puisinya sebagai premis misalnya. Kenapa suatu pelaku itu tidak menyatakan dirinya bagian dari itu, tapi mensegmentasikan dirinya ketika dia berbicara, “Saya seorang pembuat puisi, saya seorang penari dan sebagainya, saya seorang filmmaker dan sebagainya.� Kenapa mereka tidak bisa menyatukan aja bagaimana itu semua bisa menjadi suatu wadah. Tidak mesti tersegmentasi, menurut saya seperti itu. Itu mungkin bisa menjawab bagaimana bentuk seni yang lama bisa mengkomersialisasi diri mereka ketika mereka bergabung, menciptakan mungkin wadah-wadah seni baru dengan dasar-dasar yang mereka punya. Tentu filem yang orang bikin dengan skill filem, dan filem yang mereka bikin dengan orang berbasis puisi itu akan berbeda. Gitu sih. Menurut Pak Afrizal mengapa terjadi segmentasi seperti itu?

Moderator Oke. Apakah ada pertanyaan selanjutnya sebelum dijawab oleh para pembicara? Ya mungkin bisa langsung dijawab oleh Azar dahulu barangkali?

Azar Mahmoudian Jika saya memahaminya dengan benar, Anda menyebut sesuatu yang juga mereproduksi afirmasi dari teknologi baru ini, ekstensi dari tubuh atau ekstensi dari bahasa, sejenis ruang internal itu. Mengapa jika memang itu yang terjadi, kita tidak mengikuti arus saja, dan mungkin mempercepat apa yang telah terjadi, estetika semacam itu. Saya percaya bahwa ini lahan yang diperebutkan. Ini adalah batasan, ini adalah bentuk-bentuk baru yang bermunculan. Saya tidak menyarankan untuk kembali ke cara yang lama, dengan buta. Maksud saya, penting untuk melihat ke belakang, tentang mengapa kita harus maju. Ada bagian yang menurut saya indah dalam program yang saya susun. Programnya tentang Molla Nasreddin. Ia mempunyai nama yang berbeda-beda dalam dunia Islam. Dia adalah karakter yang lucu, yang hanya duduk di atas keledai menghadap


ke belakang. Menurut saya, menarik untuk menggunakan karakter ini sebagai metafora. Menurut saya, kita terlalu terserap ke dalam gagasan masa depan, dan kuasa sistematik. Kuasa sistematik yang membuat kita lupa akan masa lalu. Saya tahu, gagasan saya sedikit provokatif, karena jika dipikirkan kembali, bukankah melihat ke belakang terdengar sedikit terbelakang? Namun, itu memang perlu. Saya rasa, dalam pengalaman saya di masyarakat saya, ada banyak lingkaran, banyak hal yang terjadi setiap tahunnya, setiap empat puluh tahun ada revolusi, setiap sepuluh tahun ada pemberontakan. Menurut saya, ini menarik, secara spesifik melihat kembali cara-cara lama, yang dilakukan di tahun 60-an dan 70-an di seluruh dunia, di mana pembuat filem dan seniman sangat terlibat dengan apa yang sedang terjadi di negara lain. Saya rasa, ada momentum yang serupa dengan sekarang, dengan kondisi yang tengah kita alami, dengan kemunculan Nazi, rezim otoriter, dan bencana ekologis. Dan saya pikir‌ tapi, bukan dengan cara ortodoks kembali ke ruang gelap. Tapi, saya pikir, ada kapasitas dalam usaha untuk melakukan presentasi. Selain itu, saya juga melakukan eksperimen ini, kami bekerja dalam ranah filem dan seni rupa, dan filem-filem yang saya presentasikan, untuk pertama kalinya, dikurasi dalam latar ruang gelap, yang mana sebelumnya filem-filem tersebut tampil sebagai instalasi. Kita lihat saja apa yang terjadi.

Moderator Ini juga mungkin tadi ada sebuah pesan yang tidak sampai. Azar berkata bahwa dalam era screening yang mobile justru bahwa dalam ruang gelap itu ada memori kolektif dan emosi kolektif yang tersalurkan. Dari situ juga, tadi mungkin Alvi tadi juga salah tangkap soal bagaimana di dalam dark room itu, tidak ada emosi kolektif yang bersaluran. Bahwa Azar justru berbicara, bahwa di dalam ruang gelap terdapat emosi kolektif yang tersikulasi. Dan barusan Azar menambahkan penjelasan, bahwa ia bukannya dengan buta ingin kembali ke cara lama menonton filem, yakni dalam ruang gelap, namun lebih ke eksplorasi eksperimentasi dalam presentasi karya filem. Seperti dalam kuratorialnya Azar di ARKIPEL adalah filem-filem yang sebelumnya belum pernah ditampilkan dalam ruang gelap, filem-filem itu sebelumnya adalah instalasi. Oke, kemudian Om Afrizal ingin menanggapi?

Afrizal Malna Ada yang menarik ya dari pertanyaan kamu mengenai emosi. Ketika kita berada di ruangan ini. Saya ngambil contoh begini, misalnya saya menulis sesuatu, “dingin� di kertas seperti ini. “Dingin� di kertas seperti ini memunculkan begitu banyak gelombang imajinasi. Tapi ketika dingin


dipindah ke dalam filem, filem cenderung mendeskripsikan habis apa yang dimaksud dengan dingin sehingga kita tidak punya tempat lagi. Dia sudah diambil sepenuhnya, tentang dingin yang dirumuskan oleh filem. Apakah itu gambar salju, atau dingin itu gambarnya orang-orang yang memakai baju-baju tebal, tapi dinginnya sudah diambil habis. Dan di kata, dia banyak tersisa. Yang memunculkan ruang lain begitu ya. Dan itu yang membuat emosi di dalam dunia filem, dia berbeda kerjanya. Tapi sekarang kan muncul media baru: headset. Kalau sebelumnya generasi saya mendengarkan musik lewat speaker, itu eksternal sekali, dan didengar bersama-sama. Tapi headset, dia menjadi internal, dan didengar sendirian. Dan headset membuat kita nggak punya kuping karena suara itu langsung menghajar saraf-saraf kita. Kuping seolah-olah hilang. Saya tidak tahu di masa depan, apakah akan muncul teknologi, di mana medium filem itu kayak headset. Jadi, kita nggak melihat lagi filem dengan mata, tapi entah apa. Mungkin ke depan akan muncul gitu, teknologi-teknologi yang kecerdasan artifisialnya semakin canggih sehingga kita melihat nggak perlu lagi pakai mata, sama seperti kita mendengar nggak perlu lagi pakai kuping, langsung aja pakai headset. Dan kemudian emosi. Emosi sama seperti air ini. Filem ini sama seperti botol air mineral kemasan ini. Sebelum botol ini kita pakai, air adalah sesuatu yang terhubung langsung dengan sumber-sumbernya. Entah mata air, entah sungai, entah hujan, entah pompa. Jadi antara air dan cara-cara kita memperoleh air, masih terkait langsung. Dan itu memunculkan banyak sekali narasi. Tapi ketika ia dipindahkan ke dalam botol air mineral kemasan kan semua narasi ini hilang. Kita udah nggak tahu, udah nggak peduli, kita bagaimana caranya memperoleh air ini. Yang penting kita beli, narasinya hilang. Dia menggantikan realitas dengan botol yang lain. Nah, pertanyaanmu tentang puisi, itu di luar dari wilayahku. Mengapa puisi menjadi segmented, buatku persoalannya bukan segmented-nya. Untukku, puisi udah jadi kayak laboratorium pribadi, untuk belajar berpikir, untuk belajar kayak begitu-begitu ya. Kemudian ketika aku keluarin, dicetak, lebih kebutuhan untuk meng-share aja lab pribadi itu, kalau gak butuh juga nggak apa-apa. Persoalannya kalau kita bekerja dengan media, media tertentu, kita kan harus percaya dengan media itu. Buatku, persoalannya adalah justru bagaimana caranya kita nggak percaya dengan media itu. Karena kalau kita percaya, ya kita ada di dalam, gitu. Kalau kita tidak percaya, selalu ada batas yang membuat kita bertegangan terus. Nah menurutku, bermain itu ditempatkan di situ. Dalam kerja kreativitas, berada pada batas ketegangan itu terus menerus. Ya mungkin aku generasi old school ya, di mana mengada selalu ada ketegangan kayak begitu. Ya mungkin di generasi sekarang sudah


nggak penting lagi mengada begitu karena semuanya jadi eksternal, sudah nggak ada ruang internal. Di generasi saya kan ruang internal masih belum, mungkin masih ada tujuh puluh persen gitu. Kalau sekarang, saya nggak tahu ruang internal sekarang kayak apa gitu, di generasi masa kini, yang hidupnya lebih memakai media digital.

Moderator Baik, ada lagi yang mau menanggapi atau bertanya? Ya, dari Anggra.

Anggraeni Widhiasih (Forum Lenteng) Nama saya Anggraeni. Sebenarnya ini bukan sebuah pertanyaan, tapi mungkin sedikit tanggapan atas pembicaraan yang dari tadi berlangsung di panel satu ini. Tadi sedikit menyinggung soal demokrasi di dalam era digital ini. Saya rasa demokrasi itu memang terjadi di dalam interaksi kita dengan teknologi digital, ada yang namanya kebebasan memilih, ada banyak pilihan yang kita lakukan. Mungkin satu-satunya pilihan yang tidak kita punya justru adalah pilihan untuk tidak memakai teknologi itu sendiri. Tapi sekalinya kita terlibat dengan teknologi itu, kita juga mau nggak mau sudah ada di dalam sebuah payung kebebasan, yang meskipun, iya itu dimanipulasi, namun pada kenyataannya ketika kita sudah ada di dalamnya, ada kebebasan-kebebasan tertentu yang terjadi. Yang mungkin jadi permasalahan–atau teka-teki kalau tidak mau dikatakan sebagai permasalahan–adalah sebetulnya landasan demokrasi macam apa yang terjadi di dalam teknologi yang sekarang ini sering kita gunakan dalam berkarya, dalam berkomunikasi, dalam berinteraksi dengan sesama? Karena menurut saya kemudian yang jadi titik pertanyaan yang perlu digarisbawahi adalah itu. Apa yang menjadi landasan kita dalam melihat? Apa yang menjadi landasan kita dalam menggunakan teknologi itu sendiri? Dalam hal ini menurut saya, aspek kekolektifan diperlukan untuk memberikan landasan pikir, landasan perspektif dalam berinteraksi dengan media-media ini. Media digital yang bukan cuma kita pakai tapi juga kita ajak agar collective knowledge kita kemudian bisa berinteraksi dengan karakteristik bawaan dari si digital ini. Agar kita bisa mengungkapkan sesuatu yang lain, yang barangkali problematikanya tidak hanya hadir di dunia physical tapi juga hadir dalam dunia virtual yang sekarang ini memang sudah sangat beririsan. Mana yang virtual, mana yang kemudian physical, itu hampir selalu berkelindan satu sama lain, dan saling kejar-mengejar, hampir sangat sulit kita bedakan kadang. Menurut saya di situ collective knowledge menjadi penting sebagai basis pandangan, basis kita berinteraksi. Dalam salah satu praktik yang saya dan kawan-kawan lakukan di Milisifilem,


kemudian saya jadi teringat bagaimana kemudian collective knowledge itu dibangun satu sama lain, dari tubuh-tubuh yang hadir secara physical, di mana tubuh kami, mau tidak mau, membentuk suatu kebiasaan yang baru di luar kebiasaan sehari-hari millenials yang menunduk menghadap handphone kemudian harus menunduk di atas kertas dengan garis-garis hitam untuk menghasilkan bentuk-bentuk visual dalam rangka belajar untuk membuat filem. Menurut saya, itu ada suatu basis pemikiran kolektif yang berbeda, yang kemudian mau tidak mau membuat kami pun melihat media digital secara berbeda. Entah seberapa banyak bedannya, tapi yang pasti ada suatu perubahan yang signifikan dalam cara melihat realitas, melihat realitas physical, realitas virtual, dan kemudian realitas digital. Dan mungkin nanti pun akan memberikan barangkali corak yang sedikit berbeda dalam cara membuat filem. Kemudian itu mengingatkan saya bagaimana collective knowledge ini tidak hanya sekadar mempengaruhi pemikiran tapi juga kemudian menggerakan tubuh kami baik secara physical maupun secara virtual, dan saya pikir hal ini juga akan sangat berpengaruh ke depannya bagaimana kultur sinema terbangun. Demikian sebuah tanggapan dari saya.

Azar Mahmoudian Ya, saya pikir, tujuannya adalah untuk tidak membatasi antara dunia virtual dan dunia fisikal, seperti yang Anda katakan, keduanya sudah nyaris bersatu, dan juga sebagaimana yang disebutkan Afrizal sebelumnya. Saya juga tidak menolak fakta bahwa kita sedang berada dalam pergeseran paradigma ini, kita sedang ada di momen di mana ruang virtual punya realitasnya sendiri, menciptakan realitasnya sendiri, dan ruang fisikal punya realitasnya sendiri, dan keduanya dapat bertukar dengan mudah, kita menjadi cyborg. Namun, faktanya, untuk membicarakan soal kepercayaan, saya rasa ada urgensi untuk membangun kolektivitas itu sendiri, jika mungkin melalui ruang virtual dan media sosial, hal ini mungkin sampai batas tertentu. Saya bicara tentang saat-saat ketika kepercayaan dan fungsi-fungsi tertentu gagal. Jadi, saya mencoba untuk kembali belajar dari teknologi masa lampau dalam menciptakan pengetahuan kolektif. Karena, contohnya, dalam gawai, smartphone, dan layar-layar kecil yang bisa kita bawa secara portabel, kita sudah tak lagi fokus. Ini adalah abad imaji, dan gambar ada di mana-mana, gambar telah menjadi bagian dari keseharian kita, mulai dari saat kita bangun dan melihat gawai kita. Ada kelelahan, ada fokus yang hilang saat Anda menonton video, film, dan di tengah-tengah Anda berpindah ke hal lainnya, dan Anda akan banyak melompat-lompat seperti itu. Hal ini mengubah persepsi kita, saya rasa, ini menciptakan banyak distraksi, dan menurut saya kita harus melambat sejenak dan mengembalikan fokus dan kembali kepada hal-hal yang puitis. Kita harus mengembalikan kepuitikan dalam seni secara umum. Saya rasa, inilah yang hilang di tengah akselerasi yang disebabkan teknologi baru.


Afrizal Malna Susah ya ngomongin demokrasi di Indonesia, karena dia berbeda-beda ya. Di rumah kita beda, di luar beda, di kantor berbeda, di dalam bahasa ini beda, di dalam bahasa itu beda. Ada begitu banyak benturan di mana demokrasi di kita menjadi masalah besar. Kita sekarang bayangin masuk ke revolusi industri baru. Bayangin munculnya generasi chat yang sebelumnya hidup sebagai warga digital, tapi ketika dia pulang ke rumah, dia berhadapan dengan orang tua mereka, yang nggak boleh begini, nggak boleh begini, nggak boleh pacaran sama si ini, dan itu, otoritas kayak begitu kuat. Kita hidup dengan begitu banyak otoritas di luar kita. Dalam kata lain, kesenian di Indonesia itu tidak, atau belum, memiliki sejarah yang cukup berarti di dalam masyarakat, untuk meng-noise-kan makna-makna. Untuk makna-makna itu menjadi noise, makna-makna itu semakin kuat gitu. Dan saya kira kesenian justru bekerja untuk meng-noisekan makna-makna itu. Bukan menjadi bagian dari makna-makna itu. Kalau misalnya, kita melupakan kesenian dalam konteks kita berada dalam sebuah negeri yang sangat percaya pada makna. Takut sama neraka, takut sama surga, kayak begitu-begitu kan. Terus kesenian ada di mana gitu? Kalau saya melihatnya kayak gitu. Bagaimana sih seniman menempatkan demokrasi dalam konteks sebuah negeri, yang seperti Indonesia mungkin, yang keberagamannya mungkin satu-satunya di dunia. Kita punya enam ratus bahasa lebih yang terpetakan, yang tidak terpetakan ada dugaan seribu, ada dugaan ada tujuh ratus, kita nggak tahu apakah bahasa-bahasa itu segera akan lenyap ketika kita sepenuhnya hidup dalam media digital.

Azar Mahmoudian Bolehkah saya menambahkan sesuatu? Tentang poin yang Anda sebut, mengenai ruang demokrasi internet dan ruang virtual, dan Anda menyebut pilihan-pilihan yang semakin bervariasi. Saya melihat masalah dengan hal itu, karena dalam konteks apa pun, Anda akan menerima pilihan yang sudah ditawarkan. Jadi, sudah ada prekondisi. Jadi, pilihan yang ditawarkan dan apa yang Anda pilih pun sudah dimanipulasi. Ini bukan ruang horizontal yang bersih. Lebih seperti tanah sengketa, dan ini sangat penting. Ini seperti tanah yang diperebutkan, Anda tahu? Jadi, saya tak yakin jika hal tersebut menyediakan lebih banyak pilihan, yang ada hanyalah ilusi dari pilihan itu. Saya pikir, keberadaan ruang virtual sangat terlibat dalam terbentuknya sistem tersebut. Anda akan berpikir bahwa Anda punya akses, Anda dapat memengaruhi ruang itu untuk suatu tujuan, Anda pikir Anda adalah bagian dari ruang publik yang sebenarnya tidak ada di dunia nyata, di dunia fisikal, namun ada perasaan bahwa ruang publik seperti itu nyata.


Pada saat yang sama, Anda ingin menghabiskan energi dan berfokus ke ruang publik yang sebenarnya, dan memperjuangkan ruang publik tersebut. Saya pikir, kedua ruang publik baik yang virtual maupun fisikal, memiliki kapasitas untuk menampung manifestasi dari disensus atau perlawanan terhadap otoritas yang tidak Anda sukai, namun saya hanya menyarankan bahwa Anda sebaiknya tidak melebih-lebihkan atau terlalu merayakan ruang virtual atau ruang publik.

Moderator Terima kasih, Azar. Sayangnya waktu kita sekarang sudah habis. Jadi kurang lebih, diskusi tadi ini berbicara soal bagaimana kebermainan kita di era digital itu, cuma sebenarnya kita yang sebenarnya dikontrol dalam bermain, dan kita yang tidak bisa memilih justru. Tapi mungkin celah kita–tantangannya justru adalah bagaimana kita menanggapi hal itu. Mungkin jawabannya adalah aspek kolektivitas yang bisa kita lakukan di era digital ini. Kemudian juga bagaimana tadi Afrizal Malna berkata bahwa karya seni Indonesia belum menjadikan makna-makna yang di luar otoritas kita bisa menjadi noise. Terima kasih teman-teman sudah hadir di panel pertama ini.


PANEL 1

Ludic and Performativity

Moderator Thank you, everyone, and good morning. Now, we are going to discuss about Ludic and Performativity. Beside me is Azar Mahmoudian, she is a Tehran-based curator and educator. The second speaker is Afrizal Malna, he manages a theatre program in the Theatre Committee of the Jakarta Arts Council. As a guideline, we are going to discuss how we exist in a different screen culture today, with a tendency that no longer focused on the ability in constructing stories supported by technical expertise and tools, but also the potency to address revolution of the embodied playing patterns of its subjects—the creator and the spectators. There is this new kind of interaction between the body and the screen. This shifting situation changes bodies fundamentally, and then how we perceive the changing relation between the body itself and our current technology. Furthermore, we invite Azar Mahmoudian to present her topic, she is going to share about the importance of technological shift in the context Azar Mahmoudian

of film practice, and the potential it has to create

Afrizal Malna

a new cinematic pattern. Also, the interaction between technological modes of communication,

Moderator

and how human and that new technology can

Prashasti Wilujeng

provide a new perspective in how we interact with

Putri

the screen. Thank you.


Azar Mahmoudian First of all, thanks so much for inviting me here. I’m very excited and looking forward to take part in the festival, and also learn a lot about this sense of collectivity and community, which is this Jakarta’s art scene¬, Indonesia’s art scene. I try to respond to some of the questions that you brought about in the text in the abstract of this panel. And I guess maybe I could have 15 minutes? Sorry about that, but I try to read fast. I think we could consider some aspects of the starting point of this panel: the idea of the homoludens, the play element of culture or the play element of broader areas of participants and social practises, their histories and their historiographies–which is important. These histories and historiographies are leading us to this question, what is the urgency of rethinking the concept of homoludens in our contemporary frame? Why this concept finds a momentum and leverage in this particular historical moment that we’re dealing with? Following the ontological formation of the term homoludens, there is also strategic and prospective capacities to this concept, and how it could offer us critical tools. The second point is the environment that can bring about the conditions of possibility of homoludens as emergent forms of subjectivities. For instance, the spatial settings, like urban plannings, for example, how cities imagined by Situationist International, designed as a future potential city for the homoludens as its inhabitants. We’re also look up the relationship between the technological advances in the digital age and the effects and the formation of the homoludens, specifically mention how cinematic experience and the journey through in space and time could be possible as generator of the play and the culture and social practice. The third entry point comes as–the technological advances in the virtual space and cinematic experiences are “generators of” homoludens, yes, but “generated by” homoludens too. So, I’m interested to touch upon this circle, this double-sidedness of the phenomenon of the game. And the human as a player, how the human becomes the object and subject of the play at the same time. How the performative aspect of the play and desire for playfulness is hijacked, or manoeuvred, or recuperated through time. Going back to the comment about the formats of the cinematic experience and its relation to new technologies in the abstract of this panel, you mentioned that through experience of watching the film in the dark room, the body loses its movements and its environmental perception. I believe that the immersive experience of sitting collectively in the dark room perhaps brings a different perception of time and space. There is a trans experience into such gathering of the living bodies; a living body with other living bodies in a small place; bodies who are breathing together,


expressing emotions together. There is a synchronized presence, which is interesting for me. So, yes, the body is displaced or deterritorialised, but it is also reterritorialised at the same time, and there is an environmental perception, it’s not a conscious one or maybe a rational one, but there is definitely kind of sensual or emotional perception towards this collective presence or collective body. So, what kind of potentials are unfolded here in this gathering of random bodies? And then you proposed speculations about the future forms of cinematic experience, in light of new technologies. If we look back to the genealogy of spectatorship–from theatre performance to the TV, to the devices such as laptops and phones–and there comes a mobility factor. It becomes very flexible to watch films, and also make films at any time and space. As Akbar was mentioning, it is such an experience that seems so democratic and equalizing the hierarchy between the spectator and the artist, they become one as he mentioned. But let’s not forget how experience of watching films on laptops and mobile phones is becoming more and more individual and solitary at the end. Even if there are millions of people watching the same thing and reacting to the same thing, they don’t feel each other’s presence, apart from a number which would appear in the bottom of the window somewhere, showing the amount of the visitors or the commentators. So, we somehow become numbers to each other. If we go further and think of more advanced technology like VR, 3D films, and the experiment with this headset, it is quite an apocalyptic for me. It’s like you are only concentrating on the screen, and this headset blocks the view of the sides that you have in your experience of watching film in the cinema–you don’t have the background, the silhouette of the heads and bodies around you. So, this kind of audience effect is totally erased. There’s an interesting book recently published, called Audience Effect on the Collective Cinema Experience, which is published by Edinburgh publishers, which talks about the rule of watching film collectively, and how we are more and more losing that, and what was the capacities and potentials of watching film collectively. Again, as Akbar mentioned, this kind of experiment–which happens to the spectators of the film–happens in the filmmaking too. So, the new technologies have this potential to make films in DIY set-ups, while there was a team needed to operate, current self-sufficient apparatus needs no team. Now one could do everything on their own device and this kind of self-sufficient model of filmmaking. But at the same time, we look back at the experience of collective filmmaking in the 60s and 70s, there was a lot happening in the process of filmmaking, and there were a lot of discourses and encounters taking shape. And this solitary filmmaking for


me is losing that part. If I think the future for the filmmaking in cinema, or art in general, I am thinking about bringing back the collective experience and gathering together of the bodies. Not only by watching collectively or necessarily making art collectively, but maybe by mediating conditions for simultaneous understandings. In our time, we need more than anything– collective motivations, synchronized affections, co-understandings are becoming more urgent than ever. When the ideologies are bankrupted, then what kind of reason, belief, or ethical system could bring us back together to form a kind of collective understanding? What I have in mind is that the only synchronized rhythm is the rhythm of our body. The body rhythm, the heartbeat, the breath. I am interested in poetics and the politics of this body rhythm. How the living body is and its lifespan makes the rule of the game. I try to reflect a little bit on the film program. Again, I want to be a bit provocative and say how I am sceptical of virtual possibilities. I believe social media could–I witnessed it–how social media could have a historical outcome in controlled societies and police societies. I am sceptical of the celebration of the virtual space as a democratic space. It is usually celebrated because virtual space could manoeuvre censorship. Or create a horizontal relationship, accessibility between otherwise non-possible encounters. If I give you some example about our own experience back in Iran, there were two points which made me so sceptical. In 2009, after the uprising about the election from the member of the green movement¬, it was the first row of uprisings in the Middle East. In our country, people were in the streets, and at some point their presence in the streets was suppressed. They were back in their homes, they were on laptops and computers. And they were thinking, they were connecting together, they were sharing ideas, sharing rage, et cetera et cetera, which was to some extent, but this was at the same time very smoothly and very clearly somehow castrated the need to be present in the streets. So the online presence was not comparable at all to the presence of the bodies in the streets and when, if you think that the virtual space is neutral, it is very much based on material conditions. It is manipulated, it is highly controlled, and you can lose the whole connection if the system wants to. When people are present with their bodies in the streets it is much, much harder to control them. They could totally disturb the everyday life of the city. But this was like a disastrous moment, I think. The other moment, which was very controversial in relation to the use of the virtual space and social media was just recently in 2018. In another round of uprisings in downtown Tehran and in provinces, we witnessed how the society is fragmented, how the middle class is totally detached from the working class. Why? In 2009,


they were together. One of the main reasons was that I think–I believe–the fact that people were only communicating within their own circle, and they lost their connection with the other parts of society. And this is what the system wants. This is like a totally systemic manipulation of the use of the virtual space. So basically, I am talking about this specific experience in this specific context, which is my context. But what I want to say is that this need of the virtual connectivity and virtual collective body should be broken. There is a need to beat this illusion about the emancipatory dimension of the new technologies and the virtual space. In 2009, right after this very sad moment of–people were pushed back into their homes. There was this need for a few of us, few friends, and few colleagues to be back to gather together in a physical space. We started a workshop in a gallery space, which was called “Movement of the Ball”. We started thinking about the idea of play, the idea of game. I think more and more in different parts of the city, this situation happens again. You think the situation that you have in front of you is only between bad and worse. And you think you don’t want to play; you want to have clean hands. Then you think, “No, I should have played, I should have had program, I should have had exercise.” So, we imagined this idea of play in different contexts, in mathematics, in sociology, in arts. And we had this interdisciplinary workshop around this idea, the term is borrowed from football–is the time when you don’t have the ball, you don’t have the possession of the ball, but you could strategise in the field, in a way that when you possess the ball, then you could score, so you are preparing the round. I find it interesting to bring it up because when you are thinking of the urgency of re-thinking the idea of homoludens, this idea emerged in different times throughout the history. But I think that right in this specific historical moment, there is a necessity to think through that. As you see, our ball is stuck on that tree. After this workshop, we started the project space called “kaf ”, which means the palm of the hand, and the form and the base at the same time. I think the word comes from Arabic, we don’t have that word here other than Arabic. It was run collectively with–it was an artists-run space between 2010 and 2015. We refrained from having any kind of front door, or virtual presence like website or facebook, et cetera. We really wanted our audience to come for the events, and the events were workshops, screenings, a lot of discussions and lecture series. So, I just want to touch upon one more thing, which goes back to the question of the urgency of revisiting homoludens, and role of the play on culture. Part of the response that ARKIPEL propose is that this is partially in line with the digital age. It is in response to this action-oriented culture


which brings back the ludens character of human, the spatial experience of the digital space and the game on the mediums and devices creates a ludic framework too. But maybe we could say on the other hand that thinking about game, playing, and taking part in the game is against–or is to resist the aftermath of the digital age, new forms of control, and perceptual changes it has produced. There is a viewpoint that considers game being a creative, cultivating, and emancipating platform. But as strong as that, there’s a belief that the game we are playing in are set-ups and controlled by systemic manipulations. We call it faith if you are a religious person. Or if you are an old-school Marxist, you can call the capital or machineries in this new liberal system, which runs this game. So, game has this double position. You may find yourself playing the game, but the fact that–might be that–on a broader scale, you’re being played with. This conspiracy is very strong at least in my culture. If we consider the second decade of the 2000’s as the new performance turn, again there is a beautiful book published just recently by Parasite (Hong Kong), that suggests, starting in the mid-90s, the new field of dance or performance art or video art absorbed the “renewed” discourse of institutional critic, postcolonial theory, and gender/queer re-evaluations of the body and performativity. This was in line with the emergence of art theory as a distinct category, in the constellation of artistic and institutional contexts. One can say the re-emergence of the ludic character of art has been related to the increasing tendency to bring the contemporary dance, performance, film and new media to the museum. As more museums, biennials, and art institutions are deepening their commitment to these non-material arts, in order not only to develop new aesthetic forms but also new modes of production and new forms of audience-making based on the entertaining factor of art. The double meaning of “performance” is interesting here, because it refers to a live element1 in the arts but could also refer to the economic productivity. Like in business, when you say, “there is a high performance”. So, the economic and political conditions behind such a shift should not be underestimated. Performance and video, as non-commercialised forms resisting commercialisation amidst the object-based art world, as example of immaterial experience economy. There is a pressure to perform in the new liberal entertainment economy, it is a systemic force which pushes 1 \ The word “live” here in an economic situation is the existence of an ongoing and effecting condition,

for example “giving effect to productivity”. In art, especially performance art, “live” does not only refer to something that is ongoing and experienced (by the audience) directly, but also refers to spectatorship and watching experience in a particular place and time. This particular place and time is closely related to body performativity and the relationship between performance artists and the audience’s body. –Ed


us towards depolitisation of the play, and depolitisation of our desire to entertainment. There are forces which turn body to a commodity, instead of all the poetics and polemics that body carries. This dramatic title that I chose for my selection of works in this year’s ARKIPEL 2 raises several questions about how the living body mediates social relations and becomes a new instrument for organizing meanings. The title is referring to the conspiracy towards the bodies who are being pressured to perform in systemic set ups and orders, but it also has a reference to the living body, to the collective of bodies who inspire each other, who breath together and who resuscitating each other. It is an attempt and an invitation to question the fundamental directions of our time.

Moderator Yes, Azar was elaborating her paper about using game as a response in the digital era, but at the same time, the “game” in the screen culture can be created, controlled, and manipulated by a bigger system or machine. Up next is Afrizal Malna who is going to do a performance, please.

Afrizal Malna I’m going to talk about language in-between the friction of new mediums, I mean, other mediums, and the possible emergence of new bodies. I use the phrase “friction”, it has quite a negative connotation. If we use Akbar’s phrase, in terms of words, it can be replaced by “embodiment” or other positive words, “encounter”. But I will stand by my choice to use “friction”, because, in every relation, we consider how it creates a favorable encounter. We do not consider that in every relation exists a form of aggression, whether it is thick or thin. I want to develop the theme homoludens in the context of “friction” as a form of aggression, especially in the context of Indonesia. Azar talked about whether we are playing or being played. If we read it in our context, I am afraid that we can no longer play and we can no longer playing around, because we are being played by capitalism which we do not fully understand as a system. We are also being played by many external authorities in charge of religion, politics, economy, the market. Probably, when we speak of the cultural context, we don’t know whose culture it is. Perhaps, we can no longer play because we exist in areas where we are being played. 2\ Azar Mahmoudian’s curatorial program in ARKIPEL 2018 – Homoludens titled “Of Conspiration and Resuscitation”. See catalogue of ARKIPEL 2018 – Homoludens. –Ed


If homoludens is read in this context, then the act of playing becomes a form of resistance, it can create a critical consciousness, it can invoke a question: how we use this act of playing as a way to melt the authorities. At least, that’s what we can do. When we use this act of playing as a way to melt the authorities, we limit ourselves from too many categories, incuded meanings that distort our works, our experience, our whispers, our motives, maybe we have this area where playing holds an important position as a method. That is the premise, more or less, if I try to relate my topic to the logic of the market. I work in the field of poetry, which corresponds to language. Poetry always interests me because it uses language. Language is immaterial. It is not far removed from digital beings, earlier presented by Akbar. It exists, but it does not. It is not a thing, yet we can get inside of it. Language is actually more extreme than digital beings. We use it, like how I use it right now, as if what I say represents what I want. Language is our primal technology of communication, it is our primal technology to imagine things, our primal technology to get inside a field of representation, which is quite “arbitrary”. If I say the word “horse”, we don’t know what kind of horse appears in each of our minds. But we all know that we are talking about horse. It is a primal technology, where representation is almost indifferentiable to our imagination. Practicing poetry is slightly different to prose. The poem or the poet can create a specific challenge when it comes to language. For example, are we able to exist outside language? Or rather we only can exist inside its realm? Is our movement and everything we say, everything we do an act of language? If the poet creates such challenges, whether I can work in pre-linguistic terms, whether I can work beyond language, those challenges are impossible to do in the realms of prose, as when it comes to writing proses, we are always inside language. Poetry can explore things beyond that premise. That is the relation between poetry and language. Language’s immateriality can be a threat for the poet to work evenly. That is what pushes me to invoke a friction, or to create many relations with things outside poetry. I dabble in performing art, visual art, as a confirmation, and I always come back to poetry. Poetry is the only field of creation which the market is yet to dominate as a commodity, as opposed to visual arts and film. I always come back to poetry, I am interested in poetry, even though it threw me to a long-term project of poverty, but it’s interesting. Ah… I will start, I will use a performance to explain these thoughts, because I don’t trust my own mind.


I’m using simple equipment. This is a clear glass bowl. I borrowed it from a friend. Not exactly, the fact is I took it and Whatsapp-ed him, “Sorry, I’m borrowing your bowl.” This is a paper, I also borrowed it. In my childhood, a broomstick in a playgame can turn into a sword. That broomstick then can quickly turn into a horse, into anything. When I’ve grown up, I recall those games, and I thought, this is complicated. How do they do it, to create an agreed convention, that this is a sword, and that is a horse, in no time. How so? It just happened in children. That is a complicated work of codification. But I don’t know, maybe the kids nowadays have lost this kind of media. I was talking about language. Language has been my first body, after this body, language, it becomes– [takes a blank sheet of paper] This is my first body. [takes a second blank sheet of paper] This is my second body: language. I cannot separate myself from language. I can’t fast from language. Even though, sometimes I wonder, “What would happen if I fast from language for a month? I wouldn’t talk, or use language in any way… Is it possible to wash language out off of our heads?” It’s unimaginable, it can be done, but it’s going to be interesting. I’m fascinated by amnesiacs, they just forget, forget, forget. As a poet, I work between these two layers. These two layers don’t cause extreme problems. It is as if language is my internal space, whereas language is actually the first medium that enables us to become external. Because we talk. Especially, because we write. I don’t know whether oral traditions are more interesting. Because oral traditions do not make language become something external that is written. In oral traditions, language exists internally, not externally. When we write it down, it exists outside of us. Maybe that’s why spells nowadays are no longer potent, because it can be written. The next thing is important, a phenomenon which I don’t want to justify whether it’s bad or dangerous, is the rise of the smartphone. [takes a third blank sheet of paper] Nowadays, who can be separated from smartphone? It becomes our main body. It makes blackmailing easier, it can be dangerous, etcetera, but at the same time, it’s inseparable from us. When smartphone becomes our main


body, language becomes a problem. Maybe this is why when the younger generation writes literature, they no longer have a deep relationship with language, because it’s replaced with smartphones. There is no sense of anxiety to use language as–language is something that is created instead of used. Smartphone changed our relationship with language into something more external. We exist in those three realms, which leads us to an unknown future. [puts those papers on the table, and takes a blank sheet of paper] Right now, I’m talking about how our relationship with these mediums outside of us produces this new body. This paper, if we have a little bit more curiosity, this paper is still interesting, because its whiteness is provocative. In the middle of this stage, this paper becomes important. This microphone defines this paper, there is a stage, there is ARKIPEL, there is GoetheHaus, that increases its importance of being here. We don’t know why its manufacturer created it in this size. On what basis, was it to adjust the paper to the size of typewriter? But now when we no longer use typewriters, we still have it in this size. What is my relation to this body? At the same time, it is still a paper. [drops the paper on the floor] It is still a paper. [takes a new sheet of paper, and then pours water on it] It transformed into a new body. I’m sorry, GoetheHaus, I wet the floor. This is its new body. The body was transformed by the water droplets [drops the wet paper on the floor]. [holds a new sheet of paper, and then crumples it] My body exists in this paper. What’s interesting in these three practices are they cannot go back. This [points to a crumpled paper] cannot be transformed back into this [points to a new sheet of paper on the table]. It can’t change back into what it was. This [points to the paper that is already wet] also cannot be transformed back. This [points to the dry paper he dropped earlier] also can’t be transformed back, because it is now yours. A new memory is embedded on this paper. At least, everyone who is here right now knows that this paper has birthed a new narration that does not exist outside. That is the practice I would like to do. In cinema, it becomes a problem, because it is representation. The work of representation is replacing everything. Our eyes are replaced by the camera, our reality is replaced by screens. In poetry, representation of words is still a problem for poets, let alone in cinema. Everything is taken by mediums outside of us. This is what creates different challenges for cinema. Now with the rise of software, also now there are different types of


projectors. Even we can create specific types of screens, which means the body of cinema becomes more variable. Its practice is no longer singular, like how we used to watch films in the cinema.

Moderator Alright. We’re going to open the discussion session. We were late for 15 – 20 minutes, so there is still 20 minutes until five to eleven. On this session I will open the floor for three questions, anybody wants to ask a question? Yes, please.

Alvi (Flmmaker) Halo, Ms. Azar and Mr. Afrizal, I’m Alvi just a random filmmaker. I want to ask to Ms. Azar first, about one point that you mentioned about today’s film condition, there is too much blackness in this theatre so there is no emotional correlation to audience, to the experience, and et cetera, but I don’t really agree about that. Because, in my opinion, film that I know is about sharing a message with emotions. So if the film as a content show a powerful emotion or message, I think that even in a black room they can give emotional relation. For example, if there is a very good comedy film or a very good drama film, even in the black room there is a connection about the audience who watch the films. I think it just happens now that the transmission that the evolution of humans now, so I think we can think about this, about the different condition now. But we have to accept it, and the filmmaker have to adapt it, how we can bring the experience more direct to today audience. That’s my point, why I don’t agree about the black room, there is no connection. There is different emotions that the audience experience because if the film shows a powerful emotion with a message, for example if we watch together a very good movie, we can still laugh together and still, sometimes we interact with around us in the theatre. So, what do you think about that? Do you get what I ask?

Moderator Alvi?

Alvi Yes?

Moderator Did you mean you don’t agree that in the dark room there is no collective memory or emotions?


Alvi There is no collective emotion. Another question for Mr. Afrizal. I’ve been intrigued with his performance, but I would like to ask about Afrizal’s statement that he always goes back to poetry, even though there are media art and others. Regarding poetry, I want to ask, why does every time I come to these shows, during the discussion session, everyone is segmenting art, like poetry. You said poetry is yet to be commercialize, but film has its own market, prose has its own market. Why isn’t it possible to adapt poetry into film, so poetry can commercialize itself as a premise, why doesn’t the artist declare himself as a part of that, instead of segmenting himself as a musician, a dancer, a filmmaker, etcetera? Why don’t they just unite under one unsegmented platform, and maybe it can answer how other older arts can commercialize themselves, if they join and create a new art platform with the basics they have. Of course, the films made by people with filmmaking skills and films made by poets would be different. I think that’s it, Mr. Afrizal, why do you think this segmentation happens?

Moderator Okay, is there any questions before the speakers answer? Alright, maybe it can be answered by Azar first?

Azar Mahmoudian If I understand your point correctly, you mention something that also reproduce this kind of affirmation of new technology, this extension of the body or extension the language, that kind of internal space. If that’s the case, why we just don’t go with the flow and, like, maybe accelerate what is already happening, that kind of aesthetics. I believe it is very much like contested ground. It’s like these are borders, these are just emerging forms. I am not suggesting to go back to the old school way blindly. I just say that it is important to look backward, why we go forward. There is a beautiful piece in the program I made. It is about Molla Nasreddin, He has different names across the Islamic world. He is this very funny character who is sitting backwards on his donkey. I think using that as a metaphor is interesting for me. Just to bear in mind, I think we’re very much being absorbed blindly to this idea of the future and the systematic force. There is a systematic force, which makes us forget about the past. I know that I am a bit provocative here. Because now if you talk about looking back at the past, it looks like retarded? But I think that there


is a necessity. At least, I am thinking, in my own experience of the society that I live in, there are all these circles, there are all these things happening every ten years, every forty years there is a revolution, every ten years there is an uprising. I think it is interesting for me specifically to look back in the ways in the 60s or 70s all around the world, they were very much involved–filmmakers and artists were very much informed about what is happening in other countries. I think there was a momentum there, which maybe resonates now with the conditions that we are dealing with right now, with the rise of Nazism, with the rise of authoritarian regimes, and this planetary-wise, the ecological disasters. And I think… but, yeah, it is not an orthodox way of going back to the dark room. But I think there are capacities in trying to work for presentation. And another thing is that I did this experiment as well, we mostly worked within the film and visual arts, and all the films that I am presenting, for the first time, are being curated in this dark room setting, they’re from installations. And let’s see what happens.

Moderator There might be a miscommunication. Azar said that in this mobile screening era, in the dark room, collective memory and emotions are channeled. Maybe, from that statement Alvi mistook how in the dark room there are no collective emotions that were channeled. When Azar spoke of the dark room, she said that there are circulating collective emotion. And Azar just explained that she does not want to blindly preserve the old ways of watching films, which is in a dark room, but she leaned towards exploring the experimentation in presenting a film. As in her curatorial in ARKIPEL, her previous films had yet to be presented in a dark room, before those films were installations. Okay, does Afrizal want to respond?

Afrizal Malna There is something interesting from your question on emotion. When we are in this room. For example, I wrote something, “cold”, in this piece of paper. “Cold” in this piece of paper evokes waves of imaginations. But when “Cold” is expressed in the medium of film, it is described thoroughly thus we no longer have a place there. The notion cold is taken over completely by the film’s narration. Whether “cold” is a picture of snow, or it is a picture of people wearing thick clothes. The cold is completely taken over. When it comes to words, there are many spaces left which creates other spaces. That’s what create emotions, in film, that’s how it works.


Nowadays, new medias are rising. Headsets, for example. In my generation, we listen to music through speakers, it’s very external, and we listen to it together. Through headset, music becomes something very internal, we listen to it alone. It is as if headsets remove our own ears, because the sounds beat our nerves directly. Our ears disappear. I don’t know, maybe in the future there will be a technology where film would be perceived through a device similar to headsets. So, we would no longer watch films with our eyes. But maybe that’s what would happen in the future, technologies with sophisticated artificial intelligence, so we would no longer need our eyes, like how we no longer listen with our ears, but straight to our nerves through headsets. Then emotion. Emotion is like this water. Film is just like this water bottle. Before we use this bottle, water is something connected straight to its sources. Whether it is water springs, rivers, rain, or pump. There is still a direct connection from water and how we obtain it. And it creates many narrations. But, when it is moved into this plastic bottle, all those narrations disappear. We no longer know or care about how we obtain this water. The only important thing is we bought it, and the narration is gone. It replaces the reality with another bottle. Your question about poetry, it’s outside my expertise. How poetry becomes segmented, for me, the problem is not its segmentation. For me, poetry is my personal laboratory. To learn to think, and to learn other things, and when I publish it on print, it is leaning towards my need to share that personal lab, it’s okay if you don’t have that urge. The problem is, when we work with certain media, we have to trust that media. For me, the problem is, how do we not trust that media? If we trust it blindly, we exist inside of it. If we don’t, there will always be a boundary that creates the tension between us and that medium. I think, this is the area where the act of playing belongs. In creative work, we exist on that boundary of tension. Maybe, I belong to an old school generation, where that tension is a part of our state of being. Maybe, in this generation it’s no longer an important state of being, because everything is now externalized. There is no longer internal space. In my generation, internal space was not as scarce, maybe about 70%. But now, I don’t know what kind of internal space we have in this generation, who live through digital media.

Moderator Okay, anyone else wants to respond or ask? Yes, from Anggra.

Anggraeni Widhiasih (Forum Lenteng) My name is Anggraeni. This is not a question, it’s more a respond to the


ongoing conversation in this panel. You were talking about democracy in the digital era. I think, democracy happens in our interaction with digital technology, there is a freedom of choice, there are many options on what we can do. Perhaps, the only choice we don’t have is to not use the technology itself. But once we’re involved with technology, we are already under the umbrella of freedom, which is, in a way, manipulated, but in reality, when we’re inside of it, a certain kind of freedom happens. The problem–or puzzle, if we don’t want to call it a problem¬–is what kind of democratic foundation undermines the technology we are using to make art, to communicate, to interact with others? I think, that is the question. What is our foundation of seeing? What is our foundation of using technology itself? In these terms, collectivity is needed to establish a foundation of thought, foundation of perspective on interacting with these medias. Digital media that, not only we’re able to use, but also to explore further on how this collective knowledge interact with the default characteristics of this digital media. Can we express something else, which problem does not only exist in the physical world but also in the virtual world? Both worlds are intersecting nowadays, what is physical and virtual, both of them are often connected. Both are also chasing each other, sometimes we can’t differentiate one another, here I think collective knowledge becomes an important foundation of perspective, foundation of our interactions. In one of the practices I’ve done with my friends in Milisifilem, I remember how collective knowledge is built upon one another, from physically present bodies, where our bodies, like it or not, forms a new habit outside the ones identical with millenials: looking down on their phones, into looking down on our papers and black lines to create visual forms as a part of the process of filmmaking. I think, that is a different foundation of collective thoughts, that influenced us to read the phenomenon of digital media differently. I don’t know how much different it is, but there must be a significant difference in how we look at reality: physical reality, virtual reality, digital reality, and this might give a different style of filmmaking. This reminds me how collective knowledge not only influences our thought but it also moves our bodies, physically and virtually, and I think this will affect how the culture of cinema will be built. That is my respond.

Azar Mahmoudian Yes, the intention is not to make a binary between the virtual world and the physical world. As you said, these are pretty much made into one and also, as Afrizal mentioned about it. I think I also did not oppose the fact that we are inside this paradigm shift. We are inside this moment, that the


virtual space has its own reality, makes its own reality, physical space has its own reality–and they have very much interchange, we are becoming cyborgs. But the fact is that to bring the matter of trust actually, the matter of thoughts, and the matter of belief, I think if there is an urgency to shape collectivity. We should make it happen by all means, even if it’s possible through the use of the virtual space and social media. And it works at some extent. I am talking about moments in which trust and function of that could end up in failures. So, I’m just trying to bring back the attention to the older technologies of shaping collective form of knowledge. Because I think for example, with the use of the mobile devices of these little smartphones or little screens we carry around, the focus is pretty much gone. This is the century of the image, images are everywhere, images are part of our everyday life from the moment we wake up, we go to our mobiles. There is an exhaustion. There is this focus, which is being lost. You watch a film, and in the middle, you skip it to other news and you jump a lot. This has changed our perception. This is root of a lot of distractions, and I think we need to slow down. We need to bring back the focus, and we need to bring back the poetics to arts in general. I think that is what is missed with this acceleration caused by the new technology.

Afrizal Malna It is hard to talk about democracy in Indonesia, because it comes in different forms: we have different notions of democracy in our house, outside, in our offices, in languages, those are all different, which then causes democracy a big problem here. We can imagine being in the industrial revolution era. Imagine, the rise of “chat generation” who previously lived as a digital citizen, but when they come home, they face their parents and their rules and prohibitions—those strong authorities. We’ve been living with so many authorities outside of us. In other words, art in Indonesia haven’t established a significant enough history to distort meanings. When meanings are distorted into noise, they become stronger. I think the purpose of art is to distort meanings into noise, instead of transforming itself into those meanings. For example, if we forget arts in the context of us being in a state that puts its trust in those meanings. Fear of hell, fear of heaven, those things. If so, where is the position of art, then? That’s the way I see it. Where does an artist place democracy, in the context of state, like Indonesia as one of the most diverse countries in the world? We have more than 600 languages, possibly 1000 uncharted languages, we might have 700 of them, we don’t know whether those languages will disappear when we live entirely inside the digital media.


Azar Mahmoudian Can I add something? You mentioned about the democratic space of the internet and the virtual space, and you mention increased choices and I somehow have a problem with that because in any context you could see, you could have, you could receive what is being offered, for you to choose from. So that is already, like a pre-condition. So, what is being offered and how even your desires for choice are being manipulated. It’s not a pure clean horizontal space. It’s very much of a contested ground, it’s very important. It’s like a contested land, you know? So, I’m not sure if it proposes more choices. It is, although, very much creating an illusion of that. In our context, I think it is the existence of virtual space very much works like–evolved for the system. You think you have accessibility to other means; you think you are part of public space which you are denied in real life, in real physical space of the city. But still it makes you feel that you have that kind of public space. At the same time, you want to exhaust your energy and focus to go to the real public space and fight for that. I think both of these public space, virtual public space and physical public space of the city, have the capacity for manifestation of dissent or resistance to order, which you don’t like. But I’m just suggesting that we should not overestimate or over celebrate the virtual space or public space.

Moderator Thank you, Azar. Unfortunately, our time is up. More or less, our discussion was about how our playfulness in the digital era is actually controlled, and we actually don’t have a say in those choices. But there is a rift in that system, our challenge is how do we face that? Maybe, the answer is the sense of collectivity which we can build in this digital era. And then, what Afrizal said about Indonesia’s art scene has yet to transform meanings outside our authority into noise. Okay, thank you for everyone who has been joining us in this panel.



panel2


PANEL 2

Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman

Moderator Baik, kita lanjutkan ke panel kedua. Panel kedua berjudul Kritisisme Filem dan Lembaga Perfileman. Sudah ada dua panelis: di sebelah kanan saya Akbar Yumni, di sebelah kiri saya Michael Baute. Akbar Yumni lahir di Jakarta. Ia adalah seorang kritikus, kurator filem dan anggota Forum Lenteng. Dia juga memimpin redaksi Jurnal Footage. Lalu tentang Michael Baute. Ia adalah seorang penulis, pengajar media dan kurator. Pada tahun 2001, dia turut mendirikan web blog http://newfilmkritik.de1 Panel bertema Kritisisme Filem dan Institusi Film ini adalah [panel] tentang bagaimana kritik filem mampu memberikan tanggapan tentang lembaga dan institusi filem yang memiliki estetika, bahkan elemen sensornya sendiri. Juga, ada kebutuhan untuk meluaskan cakupan kritik guna melihat hubungan antara lembaga formal dan informal, serta kritik filem yang melembaga itu sendiri.

Akbar Yumni Selamat pagi teman-teman semua. Pagi ini kita mencoba berbicara soal kritik dan institusi, yang sebenarnya merupakan tema yang [sudah] beberapa kali pernah dibincangkan, di forum Akbar Yumni Michael Baute Moderator Afrian Purnama

[diskusi tentang] filem, misalnya. Saya coba 1\ Webblog http://newfilmkritik.de merupakan sebuah situs web berba-

sis di Jerman yang berisi ulasan dan kritik berbagai filem. Situs ini didirikan oleh Michael Baute bersama Volker Pantenburg pada tahun 2001, terinspirasi dari jurnal Filmkritik (1974-1984) yang dikelola oleh Harun Farocki bersama Hartmut Bitomsky, Peter Nau, Gerhard Theuring, Wolf Eckart Bßhler. –Peny


masuk ke konteks bagaimana kritik di Indonesia – khususnya kritik filem – berdasakan dari apa yang coba saya lakukan, [yang dapat disebut sebagai] riset mungkin. [Disebut] riset juga tidak terlalu, [karena] bahannya mungkin juga terlalu kurang. Nanti bisa kita perbincangkan. Sebenarnya, kritikus juga bagian dari infrasturktur atau ekologi sistem dalam produksi artistik, atau filem, di dunia filem itu sendiri. Karena kalau di Eropa, misalnya, khususnya seni rupa, jelas kritikus sebagai penanda penting dalam medan sosial seni, atau artwork (karya seni), atau bahkan dalam diskusi di seni rupa. Dan [ia berperan] menumbuhkan pandangan, bahwa seni juga ditopang oleh teori. Jadi, pentingnya kritik sampai segitu levelnya. Ia juga menopang apa itu seni. Misalnya kita melihat Brillo Box (1984 – Peny) karya Andy Warhol, [maka] jelas bahwa apa yang membedakan seni dan barang-barang yang biasa dan sehari-hari – selain museum dan galeri – adalah seni itu sendiri. Sedemikian pokoknya [sehingga] kritik itu bisa menjadi hal yang penting dalam seni rupa. Nah, apakah dalam filem juga punya kultur yang sama? Itu juga mungkin bisa kita perbincangkan. Kita bisa mengingat bahwa ada suatu periode penting di tulisan-tulisan Cahiers du Cinéma, majalah [filem] dari Prancis, di mana kritik benar-benar bisa mempengaruhi atau menjadi kultur yang berbarengan (beriringan) dengan produksi filemnya. Kalau membaca teks tulisan filem awal tentang filem dunia, hampir nyaris semua penulis kritik itu merumuskan identitas nasional. Banyak penulis dan kritikus Prancis, sampai realismenya Prancis, yang secara gak langsung menentukan identitas nasional melalui capaian-capaian estetika mereka. Pertanyaan pertama ialah, kalau misalnya titik awal itu adalah menentukan identitas nasional, di era digital ini yang notabene adalah kematian nasional atau di masa yang mana bangsa sudah semakin cair, di era kita khususnya, di manakah posisi kritik? Itu kemudian menjadi hal pertama yang bisa kita perbincangkan untuk forum ini. Di Indonesia sendiri, sebenarnya kritik belum menjadi sebuah ekosistem yang (menjadi) bagian dari produksi arsip atau filem itu sendiri. Karena seringkali kritik itu masuk ke media massa. Di Jurnal Footage misalnya, ada forum kronik [di mana] banyak penulis-penulis awam yang berusaha mencoba menulis kritik filem dengan spektrum pengetahuan mereka saat itu, yang notabene mereka bukan sebagai profesi kritikus. Atau mungkin, orang sekelas Usmar Ismail juga menulis kritik, dan beberapa penulis juga mungkin punya latar yang tidak terlalu [fokus] di bidang filem itu sendiri. Itu yang kemudian [menjadi] sejarah kritik atau–kalau saya ngomong lebih jauh– sejarah modernitas di Indonesia, yang mungkin sangat khas berbeda dengan sejarah modernitas di Eropa. Itu yang juga berimbas pada definisi “kritik” itu sendiri sebagai institusi.


Nah, tentu [hal] itu punya dampak dalam konteks hari ini, ketika di era digital muncul web-web kritik, jurnal kritik di Indonesia, yang diinisiasi oleh– mungkin–komunitas atau publik, atau pribadi, yang berusaha menulis review atau segala macam yang berkaitan dengan filem, yang dulu [pada] tradisi sebelumnya lebih banyak ditopang oleh media massa cetak. Bahasan saya yang pertama dalam konteks kritik kekinian adalah adanya sebuah pembacaan. Saya pernah diskusi dengan seorang teman ketika melihat sebuah filem yaitu Enam Djam di Jogja (1951 – Peny). Ada sebuah shot adegan yang cukup menarik, namun [adegan] itu tidak ditulis oleh penulis kala itu. Sehingga, bahwa dalam konteks kritik di Indonesia hari ini, mislanya, menjadi penting juga untuk menulis tentang karya-karya filem yang diproduksi di masa lalu. Ini mungkin karena pada masa lalu tingkat kepekaan kritik visual, atau mungkin kultur kritik, yang belum terlalu subur. Waktu itu mungkin belum punya kesadaran kritik sebagai bagian dari institusi. Oleh sebab itu, di Jurnal Footage sendiri pun masih menulis model-model filem-filem yang diproduksi di tahun-tahun lalu, [atau] tahun-tahun jauh sebelumnya. Saya mau kasih satu cuplikan filem, yang mungkin dalam pengamatan saya belum ditulis oleh para penulis atau kritikus Indonesia di masa lalu. Ini filemnya Usmar Ismail, judulnya Enam Djam di Jogja. Banyak contoh [shot menarik] di filem-filem yang lain. Misalnya ada satu shot di filem Harimau Tjampa (1953 – Peny). Ada satu adegan kecil yang mungkin dalam pandangan saya pribadi menunjukkan situasi medium [filem tahun 1953]. Pada adegan tersebut, [filem Harimau Tjampa] sepertinya menggunakan kamera berputar ketika adegan seseorang dipukul untuk penggambaran kepala pusing, atau efek lain semacamnya. Menurut saya hal-hal yang kecil-kecil seperti itu belum ditulis sebagai bagian dari sebuah pencapaian estetika atau sejenisnya, yang kemudian sepertinya itu penting juga untuk dibaca di generasi mendatang. Artinya, banyak sekali sebenarnya filem-filem di masa lampau, di Indonesia tahun 1960-an khususnya, yang lolos sebagai sebuah pembacaan yang kemudian. Ini juga menjadi penanda bahwa sense kritik kita pun tidak terlalu kuat atau tidak menjadi sebuah ekosistem yang bisa membantu produksi filemnya. Nah, sampai kemudian di Jurnal Footage, web yang berisi [tulisan] kritik filem yang diiniasi oleh Forum Lenteng sejak 2009, pernah menulis sebuah editorial yang mencoba merumuskan sebuah periode kekinian di sinema Indonesia, yang disebut dengan periode pasca-Garin. Namun editorial itu juga masih dalam sebuah perabaan yang tidak kami rumuskan secara ajeg. Pernah juga ada tulisan yang merumuskan Garin sebagai sebuah periode baru dalam sinema Indonesia, misalnya. Saya ingat, J.B. Kristanto cukup


detail menulis dalam beberapa shot yang diperlihatkan [di filem] Cinta Dalam Sepotong Roti (1991 – Peny) yang menjadi penanda baru bagi munculnya sinema Garin. Nah, periode Sinema Garin ini juga cukup panjang di sinema Indonesia. Kita perlu juga [me]rumuskan lagi periode baru pasca-Garin yang memunculkan sutradara macam Ismail Basbeth, Anggi Noen, Purba (B.W Purba Negara – Peny), dan kawan-kawan. Serta [kemunculan] sinema komunitas juga tentunya, seperti Forum Lenteng dan lain-lain yang juga memproduksi filem sebagai sebuah khasanah filem di Indonesia. Selain itu, perlu juga para kritikus atau penulis filem yang mencoba merumuskan ini [sebagai] bagian dari penanda penting bagi khasanah filem di Indonesia. Kita lihat juga filemnya Usmar Ismail, Enam Djam di Jogja. (Penayangan cuplikan filem Usmar Ismail “Enam Djam di Jogja”.) Saya ingin menggarisbawahi adegan ketika mulut di-close up. Dalam pengamatan saya, saya belum melihat bahwa ada yang menganggap itu sebagai sebuah—Saya belum menemukan tulisan di tahun-tahun itu yang mengulas [adegan] itu sebagai sebuah pencapaian estetika Usmar Ismail. Juga mungkin ada adegan yang lain, seperti misalnya bagaimana kaki di-shot, membentuk blocking peristiwa. Atau dua layer peristiwa di satu ruangan yang menggunakan gerakan kamera yang juga ada di situ, dan itu mengandaikan logika blocking. Semacam itu. Mungkin nanti kalau ada yang menemukan tulisan yang membahas close up, berisikan cuma gambar-gambar mulut tadi, bisa diperbincangkan juga. Akan tetapi, sepengetahuan saya, itu adalah adegan penting. Tetapi kemudian belum ada para penulis atau kritikus di masa itu yang mencoba menanggapi ini atau menuliskan ini sebagai kesadaran estetika Usmar Ismail. Nah di tahun-tahun itu, tahun 1960-an khususnya, memang tahuntahun yang penuh politik tentunya. Pada pasca-kemerdekaan, banyak penulis kritikus yang cenderung menulis dalam tradisi naratif, tapi belum menganggap bahwa filem itu sebagai tradisi visual. Padahal dalam konteks filem Enam Djam di Jogja, banyak yang bisa dibaca sebagai tradisi visual. Meski mungkin Rosihan Anwar juga banyak menulis tentang pengaruhpengaruh Neorealisme Italia dalam filem-filem Usmar. Itu diskursus yang cukup besar, bahwa bagaimana dalam praktek-praktek pengambilan gambar Usmar, sebenarnya bisa kita [mem]baca[nya] sebagai tradisi visual. Ya, itu yang mungkin saya anggap sebagai banyaknya estetika yang lolos di tahun itu yang mungkin masih perlu juga kita tulis ulang untuk hari ini sebagai kritikus Indonesia. Jadi, kerja-kerja ke belakang, atau [kerja] mengubah formasi masa lalu melalui tradisi baru sinema hari ini, menjadi penting juga kita lakukan. Atau membaca ulang masa lalu utuh. Ya, saya percaya bahwa sejarah adalah sesuatu yang terbuka, selalu bisa ditafsirkan


sesuai waktu. Sejarah dibaca juga dalam situasi sejarah, jadi memang kerjakerja kritikus di Indonesia sendiri sebenarnya, juga harus masih punya beban koneksi di masa lalu karena banyak estetika yang lolos, yang mungkin belum ditulis oleh para penulis kala itu. Tentu kita paham bahwa tahun 1960-an di Indonesia adalah tahun penuh politik yang kebanyakan—Ya tentu, tradisi naratif menjadi penanda yang kuat. Kebanyakan filem ditulis dalam konteks naratifnya, gitu. Apalagi kita mengetahui bahwa pergulatan kelompok kiri dan kelompok kanan di tahun itu cukup kuat, sehingga memang kecenderungan para kritikus atau mungkin pembaca filem kala itu adalah pengaruh-pengaruh situasi sosial-politik masa itu. Inilah yang sebenarnya saya coba tawarkan untuk bincang-bincang di pagi ini. Mungkin teman-teman para partisipan Forum Festival punya bahan yang lain yang bisa kita perbincangkan di sini. Nah, Jurnal Footage sendiri adalah sebuah platform kritik di era web. Mungkin basic kita bukan berasal [dari] kaum professional atau kaum akademisi yang basisnya adalah studi filem. Sebagaimana juga kultur di Indonesia yang rata-rata sandaran filem kita adalah review filem di majalah atau sejenisnya, yang memang mereka tidak berasal dari para expertise sinema. Sehingga kacamata kritk hari ini sebenarnya bukan lagi institusi yang sifatnya formalistik. Karena semua orang bisa menulis, ada web, dan sejenisnya, maka kacamata publik atau amatir itu menjadi penting juga untuk bagian dari solusi kritik di Indonesia hari ini. Yang kedua, adalah bagaimana pengertian sinema itu sendiri yang kemudian selalu berubah dan berkembang seiring zaman. Mungkin formalisme sinema—Kalau dulu mungkin pengertian eksperimental itu punya disiplin formalisme karena memang mediumnya menuntut kita disiplin. Analog itu menuntut kita disiplin. Penguasaan teknologi dan medium butuh disiplin yang kuat di era analog. Sementara di era digital, banyak praktek filem yang mungkin tidak membutuhkan itu karena mungkin mediumnya cair, yang bisa jadi juga membutuhkan pembacaan yang lebih cair. Bagaimana di karyakarya Arkipel tahun lalu, misalnya, banyak praktek yang tidak lagi praktek filem sinema dan tidak lagi menggunakan kamera. Misalnya, dia cuma mengambil found footage foto atau menggunakan logika Google Earth sebagai bagian dari praktek sinemanya, yang mungkin pengertian mise-en-scène-nya juga berbeda dengan filem-filem di masa analog itu. Beberapa yang ditulis di Jurnal Footage sendiri sebenernya juga berusaha membaca kemungkinankemungkinan lain dari filem hari ini, termasuk pengertian tubuh. Misalnya, di filemnya Apichatpong yang berjudul Cemetery of Splendour (2015 – Peny), banyak shot yang juga memusingkan tubuh, [karena] tubuh manusia sama dengan objek-objek yang lain. Berbeda mungkin dengan pandangan


modernisme Aristotelian yang melihat bahwa tubuh adalah puncak dari segala-galanya. Yang tentu, dramatisasinya adalah pada tubuh ketimbang objek yang lain, misalnya. Di filem-filem yang dipengaruhi tradisi itu, kita juga lihat tubuh sebagai pandangan image yang utama. Juga di filem yang sama misalnya pembacaan pengertian dan penguraian konteks di Asia Tenggara, juga pengertian realisme di antara ruang mistis dan ruang sehari-hari. Dalam konteks filem Apichatpong, [ruang ini] semakin cair karena memang masyarakat sana juga [sifatnya] demikian. Sehingga adegan-adegannya juga tidak memisahkan antara adegan mistis dan sehari-hari, [berbeda dari yang] sebagaimana dibayangkan dalam tradisi filem modern yang non-real atau mistis, hantu itu yang selalu didramatisasi sebagai momok atau dramatisasi. Tapi dalam filem Apichapong, itu menjadi hal yang sejajar, tidak didramatisir. Itulah yang mungkin [membuat] penafsiran hal yang baru dalam konteks kekinian itu kemudian juga menjadi penting sebagai penulis kritik, karena itu juga bisa menjadi cara pandang terhadap sinema itu sendiri. Sebagaimana kalau dalam tradisi seni rupa misalnya, menurut Arthur Danto, produksi seni juga adalah bagian dari upaya untuk merumuskan apa itu seni. Dalam kritik sinema, [hal] itu juga mungkin bisa dibayangkan. Bahwa dia (kritik) juga adalah bagian dari usaha merumuskan apa itu sinema yang terus menerus berkembang dan berubah sesuai dengan spasial ruang-waktunya. Dan saya pikir, peluang publik hari ini cukup besar untuk bisa menulis [tentang] filem. Karena kultur web, semua orang bisa menulis filem, bisa bikin web dan sejenisnya, yang kacamata keragamannya juga semakin besar. Hanya yang jadi kendala adalah, apakah ketika pluralisme dan banyaknya orang menulis filem itu menjadi pantulan bagi para pembuat filem untuk memproduksi filemnya? Dulu, kritikus itu adalah sistem formalis yang mungkin hanya dipandu oleh satu-dua tokoh yang punya sakralitas tertentu yang kemudian menjadi panduan para pembuat filem. Ketika banyak orang [me]nulis filem hari ini, apakah sakralitas itu masih tersisa dan kemudian menjadi panduan atau kompas yang memandu arah kultur filem Indonesia hari ini? Jadi mungkin agak dilema juga ketika publik terbuka hari ini menulis filem, tapi juga, apakah kritik filem bisa menjadi kompas atau menjadi seismograf yang bisa memandu atau membaca zaman dan sejenisnya. Sebagai institusi, tentu kritik hari ini secara nggak langsung tidak sekokoh di zaman modern. Itu tawaran saya. Nggak banyak, tapi moga-moga bahan yang saya punya bisa dibantu oleh teman-teman, [yang] mungkin punya bahan yang lain yang bisa kita perbincangkan hari ini. Terima kasih.

Moderator Baik, terima kasih, Akbar Yumni. Selanjutnya dari panelis kedua, Michael Baute. Silakan.


Michael Baute Terima kasih atas masukannya, Akbar. Terima kasih pada teman-teman yang telah hadir. Mungkin saya bisa tambahkan beberapa usulan dan perspektif saya terkait Jerman, serta juga perspektif saya pribadi. Saya tumbuh di tahun 1970-an dan 1980-an di Jerman Barat, dan khususnya di tahun 1980-an saya menjadi tertarik pada filem, kultur filem. Dan, seperti yang telah Anda sampaikan, tradisi kritik di Eropa terhadap seni dan filem mungkin memang sangat kaya, terutama di Jerman dan Perancis. Sebagai contoh, ketika saya tumbuh besar dan menjadi tertarik pada filem, sebagai anak berusia 12 atau 13 tahun, saya dengan mudah dapat terpapar oleh tulisan-tulisan menarik tentang filem, yang cukup memisahkan ide klasik tentang kritik filem dan ulasan filem. Pertama-tama, saya ingin membedakan antara kritik filem dan ulasan filem. Ulasan filem biasanya hadir di koran, atau di majalah daring, yang menurut saya, tidak memiliki kualitas spesifik yang dimiliki oleh kritik filem. Ulasan filem lebih berkaitan dengan proses produksi, semacam bagian dari publikasi, yang sifatnya cenderung menginformasikan pada calon penontonnya mengenai genre, plot, alur cerita atau tontonan yang ada di suatu filem. Namun saya kira, kita harus membicarakan justru semacam kerja-kerja kesusasteraan atau keakademisian, namun saya lebih memilih untuk fokus pada sisi kesusasteraan dari genre ini. Sejak awal 1950-an seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, di Eropa, di Amerika, di Jerman, terdapat tradisi seperti yang ada di penulis-penulis Prancis dari Cahiers du CinÊma. Mereka yang mempublikasikan tulisannya di Cahiers du CinÊma akan menjadi pembuat filem yang termasyhur, seperti Godard, Lubitsch, Truffaut, Luc Moullet. Mereka adalah orang-orang yang sangat berpengaruh dalam tradisi modernis yang spesifik ini, atau bisa dibilang, tradisi heroisme pertama dari pembuatan filem modernis. Dan di Jerman, kita memiliki fenomena serupa, yang sepertinya dibangun berlandaskan fondasi Cahiers du CinÊma. Para penulis ini, Godard, Truffaut, Luc Moullet, seperti yang sudah saya jelaskan. Fenomena ini pada dasarnya berlangsung di satu majalah, yakni Filmkritik. Ia beredar di antara tahun 1957 sampai 1984, di mana para penulis yang sangat berpengaruh mempublikasikan artikelnya. Dan beberapa dari penulis ini juga menjadi sutradara, seperti di tradisi Perancis. Salah satunya adalah Harun Farocki, yang filem-nya akan ditayangkan dalam festival ini. Namun terdapat juga nama-nama lain yang dapat saya sebutkan, seperti Frieda Grafe (1934-2002 – Ed). Ia adalah seorang perempuan yang sangat berpengaruh bagi banyak pembuat filem, meskipun ia sendiri bukan merupakan seorang pembuat filem. Gaya menulis dan subjektifitasnya yang sangat spesifik terhadap filem dan terhadap persepsi akan filem menjadi sangat berpengaruh. Ia tak hanya


membahas filem, tetapi juga tentang filem-filem yang diproduksi setelah membaca tulisan-tulisannya. Hal ini menunjukkan kepekaan yang sangat kuat dalam pembuatan gambar bergerak, dalam hal narasi, tradisi formalis, cara melihat, cara ruang negatif dan positif bekerja, serta tentang warna. Baru tadi saat istirahat makan, saya bicara dengan seseorang mengenai warna dan betapa sulitnya mendeskripsikan warna dan terminologi spesifiknya. Jadi ini membawa kita pada poin utama saya, bahwa kritik filem sesungguhnya merupakan [suatu] genre kesusasteraan. Bagi saya, ia sungguh-sungguh merupakah tugas kesusasteraan yang menjelaskan halhal yang terjadi pada penonton filem, pada saya sebagai penonton, pada tubuh dan persepsi saya. Saya kira, ini selalu menjadi tugas kesusasteraan semenjak moda produksi berubah, moda resepsi perubahan dan juga jumlah filem, yang kita sebut sebagai sejarah filem, terus berakumulasi. Sehingga kita tidak memiliki pengetahuan yang stabil mengenai apa yang dimaksud dengan sinema. Namun seperti yang juga Anda (Akbar) katakan–saya juga merujuk pada presentasi Anda–ide mengenai definisi sinema terus-menerus berubah dan tidak akan pernah berhenti ataupun berakhir. Jadi, merupakan sebuah tugas yang luar biasa fantastis bagi orang-orang yang, dengan berbagai cara, mencintai atau membenci sinema, untuk menemukan caracara yang puitis dalam menjelaskan dan menceritakan [filem]. Dan saya kira, gagasan yang saya jelaskan secara singkat ini, bahwa kritik filem merupakan tugas kesusasteraan—yang mana selain melibatkan tugas analitik dan akademik, juga untuk memperoleh pengakuan mengenai apa yang harus dibaca atau dipahami oleh orang lain sebagai tugas kesusasteraan. Dan sekarang saya akan menjelaskan poin utama yang ingin saya sampaikan, yaitu bagaimana menghubungkan tema panel ini. Bagaimana cara menyampaikan; dengan menjalankan tugas kesusasteraan, guna memberi jalan bagi semacam pelembagaan kelompok orang-orang yang menulis tentang filem dan juga memproduksi filem. Pembahasan ini akan sedikit sulit karena Bahasa Inggris bukanlah bahasa utama saya, seperti yang bisa kalian sadari sekarang ini. Namun saya kira, hal ini membawa kita pada contoh saya tadi. Saya pikir, yang special dari Cahiers du CinÊma, sebagaimana telah saya katakan tadi, di mana Godard, Lumiere, Truffaut dan lainnya mempublikasikan tulisannya tentang sinema di tahun 1950an dan tahun-tahun setelahnya. Penerbitan yang mereka lakukan tersebut kemudian membangun semacam massa yang kritis, yang dibangun oleh teks dari masing-masing mereka, dan saling respons tulisan di antara mereka, dan juga orang-orang di luar lingkaran tersebut, seperti sutradara, produser, aktor, dan teknisi, serta penonton penonton. Sebagaimana yang Anda katakan tentang ekosistem produksi dan resepsi, bagaimana cara membangun hal ini jika kalian tidak memiliki uang sebanyak Hollywood?


Hollywood dapat membayar orang-orang untuk menghasilkan tulisan yang puitis tentang filem-filem mereka, dan ini sangatlah mudah karena adanya infrastruktur ekonomi yang membangun ekosistem ini. Ekosistemnya merupakan sesuatu yang dibangung oleh modal. Namun kelompok ini, kelompok Cahiers du Cinéma, dan mereka yang mengikutinya, [termasuk] para formalis, beserta tradisi [sinema] di Jerman, mereka tidak memiliki banyak uang–mereka kurang lebih adalah Sinema Minor. Sinema Minor artinya tidak terdapat uang yang terlibat dalam produksi dan juga distribusi film – di mana ulasan filem akan menjadi bagian daripadanya. Jadi mereka harus membangun semacam intelegensia, kepekaan, dan aktivitas tambahan lainnya untuk – semacam – melembagakan praktik-praktik tertentu dalam pembuatan filem. Dan saya kira inilah tugas yang sangat penting bagi kritik filem. Di Jerman, pada pertengahan tahun 1990-an sampai kira-kira tahun 2010, terdapat pergerakan sekelompok pembuat filem baru yang dinamai Nouvelle Vague Allemande atau Neue Berliner Schule atau dalam Bahasa Indonesia disebut seabagi Mazhab Berlin Baru. Sutradara yang terlibat antara lain Angela Schanelec, Thomas Arslan, Christian Petzold, Christoph Hochhäusler, Valeska Grisebach. Mungkin beberapa dari filem mereka tidak dikenal di sini, atau justru pernah ditayangkan oleh Goethe-Institut karena mereka banyak bepergian. Mereka juga cukup dikenal oleh banyak kritikus. Para kritikus telah menulis tentang mereka. Pada saat itu, saya juga salah seorang kritikus dan saya menjadi bagian dari ekosistem ini. Jadi saya dapat menjelaskan dari perspektif saya, bahwa keberadaan massa kritik untuk para penulis individual, yang dapat memaknai tak hanya karya-karya terkini, tetapi juga karya-karya historis, yang dapat direlasikan dengan konteks produksi saat ini. Terdapat pula teks-teks lain yang dapat diacu. Dan ini merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan dan saya merasa sangat beruntung karena saya menjadi bagian dari sebuah gerakan. Ini sebenarnya bukan sebuah gerakan. Tetapi lebih merupakan hubungan dengan berbagai praktik estetik, yang berlangsung tak hanya dalam produksi filem tetapi juga dalam penulisan filem dan memungkinkan pertemuan berbagai orang. Ini membawa saya kembali ke panel pertama dan pernyataan Azar Mahmoudian mengenai hal ini, [yakni] tentang sebuah keterpaduan sosial yang dapat disediakan oleh seni dan filem. Saya kira, [hal] ini berasal dari perasaan keterhubungan. Dan ini, setidaknya bagi saya, adalah pelembagaan. Pelembagaan akan hal-hal yang lebih tahan lama, yang memang dibangun untuk [menjadi] bertahan lama, untuk menjadi kohesif, untuk menyediakan kemungkinan bagi orangorang untuk memaknainya, dan inilah pemikiran saya untuk panel ini. Saya harap ini tidak terlalu serampangan dan saya harap teman-teman dapat memberi respons. Saya sangat ingin tahu perspektif teman-teman, dan saya


akan senang untuk menjawab pertanyaan dan tanggapan teman-teman semua.

Moderator Sebelum saya melempar kesempatan kepada khalayak untuk bertanya, saya mau menanyai kedua panelis kita tentang bagaimana keterhubungan antara lembaga formal, yaitu lembaga negara, dengan kritik filem itu sendiri. Bagaimana kedua entitas tersebut saling berhubungan?

Akbar Yumni Merujuk [sinema] di Eropa misalnya, secara nggak langsung para penulis filem mulai dari [kelompok] German Cinema (Sinema Jerman – Peny), atau Cahiers du Cinéma menulis tentang—di negara lain, sedikit banyak pembentukan identitas nasional itu ditopang oleh negara sebagai produksi kritik itu. Tapi di Indonesia, [identitas] nasional itu banyak diinisiasi oleh media massa awal-awalnya. Mungkin lebih banyak sebagai review seni, atau mungkin bisa disebut kritik filem. Saya nggak yakin kalau di Indonesia, negara Indonesia khususnya, punya keyakinan untuk berinvestasi pada halhal yang eksperimentatif, termasuk kritik. Apakah kita tahu LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Peny) yang didanai sebagai lembaga penelitian, hasil penelitiannya tidak berbanding lurus dengan produksi pembangunannya. Apakah hubungan kritik dengan negara itu juga sesuatu yang organik atau tidak? Mungkin, [ini] pertanyaan [penting], selain terkait kritik di Indonesia yang tidak terlalu tinggi atau [menjadi] bagian dari ekosistem itu, yang disebut [Baute] tadi. Saya nggak bisa menjawab hubungan lembaga formalnya apa. Tapi mungkin kalau menganalogikan dari pembicaraan opening saya tadi, hasrat akan homo faber (manusia yang bekerja – Peny) itu jauh lebih tinggi dibanding homo ludens (manusia yang bermain – Peny), karena mungkin kita percaya dengan hasil atau produksi, hasil akhir. Tapi percaya dengan proses itu mungkin adalah hal yang sulit, bahwa kritik itu [pun] bagian dari ekosistem. Bahwa proses tekstual pun bisa dibaca sebagai pengetahuan, yang mungkin seharusnya dia punya koneksi dengan produksinya. Nah, investasi ini mungkin yang nggak terlalu diyakini, sebagaimana apakah negara juga percaya dengan investasi di bidang eksperimentatif itu. Kemudian, [eksperimentasi dan kritik] itu menjadi standar estetika, atau bagian dari perkembangan industri filemnya, misalnya. Kalau di beberapa negara Eropa, investasi terhadap pengetahuan itu bagian dari identitas nasional, atau bagian dari pertarungan politik budaya. Bagaimana, [misalnya],


realisme puitik Prancis, diperjuangkan sebagai khasanah identitas nasional. Ketika menghadapi sinema di era bisu, muncul kekuatan besar, yaitu montase. Ketika muncul [filem] suara, seolah langsung disambut oleh Prancis sebagai hal yang efektif untuk melawan montase, dan juga long take. Saya percaya bahwa seni juga punya proyek-proyek budaya di sebuah negara, yang mungkin dia (seni) bisa berekspansi untuk mempengaruhi negara lain sebagai bagian dari pertarungan global, artistik, dan estetika. Indonesia mungkin belum punya pandangan untuk berinvestasi di bidang itu, [bahwa] estetika sebagai bagian dari identitas nasional. Kita belum punya cita-cita seperti itu, karena mungkin rumusan Indonesia-nya sendiri yang selalu beragam dan kompetisinya juga nggak pernah berjalan sehat. Sehingga misalnya budaya nasional kita juga sebangun dengan pengertian Indonesia sendiri. Jika demikian, perumusan estetika ini juga bagian dari investasi pembentukan identitas nasional. Nah, merujuk pada pendapat Afrizal tadi di awal, apakah seniman kita ngomong demokrasi juga punya koneksi yang kuat di situ. Itu satu. Yang kedua, ya itu mungkin hal yang harus dijawab oleh pribadi sih, apakah [antara] lembaga formal dengan kritikus itu sendiri terhubung? Negara khususnya. Karena memang kritik hari ini banyak diinisiasi oleh publik, di era web ini. Misalnya Cinema Poetica, Jurnal Footage, filmindonesia.or.id. Itu adalah, mungkin, inisiatif publik sendiri yang nggak ditopang oleh lembaga negara. Soalnya negara juga dulu punya PFN yang sekarang posisinya nggak tahu kayak apa, apakah itu perusahaan negara yang memproduksi filem.

Moderator Ya, terima kasih Akbar. Bagaimana tanggapan Michael Baute? Mungkin bisa bicara dengan perspektif di Jerman atau di Eropa sendiri.

Michael Baute Saya kira, ini adalah pertanyaan yang sulit dan rumit. Saya rasa di Jerman, setidaknya di Jerman Barat–seperti yang kalian tahu bahwa Jerman telah terpecah pasca-perang. Setidaknya di Jerman Barat antara tahun 1949 dan ketika Republik Federal Jerman diciptakan di tahun 1989, terdapat reunifikasi antara Republik Federal Jerman dan Republik Demokratik Jerman. Saya lahir di bagian barat di Republik Federal, dan pada dasarnya Jerman Barat merupakan negara federal hingga tahun 1989; artinya masing-masing provinsi memiliki kekuasaanya sendiri untuk mengatur kultur dan politik mereka. Dan bagian-bagian federal Jerman ini, seperti Bayern dan Berlin serta Austria Utara, mereka membangun lembaga-lembaga, termasuk lembaga perfileman, seperti museum filem. Di tahun 1960-an dan 1970-


an terdapat bioskop-bioskop komunal—Sinema Minor, di mana sinema ditayangkan dan juga diproduksi. Kemudian ada juga sekolah-sekolah filem. Kegiatan-kegiatan kultural tersebut dapat dibilang sebagai program ekonomi, tetapi juga sekaligus program politik yang bernama “Entnazifizierung,” atau dalam Bahasa Inggris “Denazification” masyarakat Jerman untuk memperkenalkan nilai-nilai barat mengenai demokrasi dan budaya kepada mereka (masyarakat Jerman). Kultur memainkan peran yang besar dalam hal ini. Sehingga sektor tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama, juga sektor ekonomi dan sektor budaya yang pendanaannya sangat didukung dan ditopang oleh negara. Orang-orang seperti saya, yang lulus dari universitas dan kini bekerja di bidang filem maupun kebudayaan, tidak dapat bekerja tanpa ada pendanaan dari negara. Selain itu, proyek-proyek yang saya dan kolega-kolega saya selenggarakan tak akan berjalan tanpa adanya pendanaan negara. Sehingga produksi filem di Jerman, sesungguhnya bukan produksi komersial. Setidaknya sekitar 80% produksi filem yang ditayangkan di bioskop itu didanai oleh negara. Produksi komersial tetap ada, namun kebanyakan ini untuk TV. Jadi, ini adalah sebagian dari jawaban saya. Saya kira sebagian lainnya berkaitan dengan kritik filem, saya kira saya telah mencoba untuk memberi beberapa jawaban dalam pernyataan pertama saya. Namun saya kira sehubungan dengan kekayaan dari kritik filem di Jerman, saya bisa menyebutkan 20 atau 30 nama. Bahkan saat ini di tahun 2018 kita memiliki beragam kritikus yang masing-masing telah mengembangkan gaya pribadi, yang dapat dikenal jika kita berusaha mencari gaya penulisan; terkadang singkat, terkadang panjang, terkadang seperti puisi yang berbungabunga, terkadang seperti percakapan surel, terkadang seperti—sebagai contoh, saya pernah memproduksi buku di mana 93 penulis diharuskan untuk menulis tentang hanya satu menit dari sebuah filem yang kebetulan berdurasi 93 menit. Jadi buku ini terdiri dari 93 teks, 93 perspektif. Namun buku ini tidak memperoleh pendanaan. Jadi ini adalah contoh untuk beberapa yang memperlihatkan bagaimana kita harus membiayai diri kita sendiri namun kita tetap dapat memperoleh 93 orang untuk menulis tentang sebuah filem di Jerman. Ini menunjukkan betapa lanskap kritik filem dan penulisan tentang filem di Jerman sangatlah kaya, saya rasa, dan telah menghasilkan banyak perspektif individual.

Moderator Terima kasih Michael. Baik, apakah ada yang mau melemparkan pertanyaan?

Ugeng T. Moetidjo (Forum Lenteng) Menurut saya, panel ini harus dengan tegas membedakan antara kritik


dan kritisisme. Jadi, dari dua pembicara tadi kelihatannya kedua istilah atau fenomena itu tidak cukup ditegaskan secara prinsip maupun disiplindisiplinnya. Menurut saya, kritik bekerja ketika filem berlangsung—untuk satu audiens yang terbatas, untuk satu ruang yang terbatas. Sementara kritisisme itu bekerja setelah filem berlangsung; untuk waktu, untuk situasi dan konteks yang berbeda-beda, tergantung ruangannya. Sehingga dengan demikian kita bisa tetap melihat sebuah filem meskipun dengan pengertian atau dengan makna yang baru. Meskipun kalau itu [berasal] dari karya [yang dibuat ketika] kita belum lahir, atau dari konteks yang kita tidak tahu. Itu adalah salah satu fungsi kritisisme. Fungsi kritik lebih sesaat ketimbang kritisisme. Nah, kritisisme ini bekerja berdasarkan kritik-kritik yang sudah ada, maupun ulasan-ulasan yang pernah berlangsung terhadap karya seni tertentu. Nah, kesulitannya dengan kritik maupun kritisisme untuk filem Indonesia adalah kenyataan bahwa modus produksi wacana di Indonesia tidak ditentukan oleh pergulatan estetik, tapi oleh semacam pergumulan politik. Sehingga kita tidak memiliki periodisasi kerja-kerja artistik dalam sinema dalam konteks estetik. Kita hanya tahu bahwa, dalam konteks Indonesia ya, filem Usmar Ismail digolongkan sebagai filem revolusi, atau filem dengan tema perjuangan dan seterusnya dan seterusnya, kalau kita ingin mengikuti periode dalam perkembangan sinema Indonesia. Nah, kritisisme sebenarnya berfungsi ketika periode-periode itu dipertanyakan, termasuk juga kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang membuat para kritikus filem Indonesia ketika itu tidak berani bersikap atau kurang mampu bersikap. Menangani kenyataan bahwa filem-filem di luar konsep nasionalisme itu selalu dikatakan sebagai bukan filem yang baik atau bukan filem yang pantas dikritik. Kritisisme mengisi ruang yang kosong atau peluang yang tidak diambil oleh kritikus yang setia pada slogan negara, bahwa misalnya sebuah filem yang baik adalah sebuah filem yang mengikuti kepribadian bangsa, memiliki moral didik, dan sebagainya. Sehingga kita tidak akan tahu filemfilem yang diproduksi secara populer yang–yang jasanya dipecah sebagai komersialitas belaka–sebetulnya memiliki makna atau memiliki fungsi untuk mengisi konteks kehidupan, [dan] kebudayaan masyarakat. Dan bahkan juga, sebetulnya, negara itu sendiri atau bangsa. Jadi, kalau misalnya saya melihat ada Tangga Odessa, hadirin tahu Tangga Odessa ya?2 Tangga Odessa dari karyanya Sergei Eisenstein di Battleship Potemkin (1925 – Peny), itu ada di filem Atheis (1974 –Peny) karya Sumanjaya, dan kemudian ada di filemnya Afrizal, ya? Eh, bukan, Norman Benny, di filem 2\ Tangga Odessa, atau lebih dikenal sebagai Tangga Potemkin merupakan sebuah tangga besar di Odessa,

Ukraina. Tangga ini muncul dalam salah satu adegan di filem Battleship Potemkin (1925) karya Sergei Eisenstein dan menjadi rujukan adegan yang ikonik terkait teori montase Soviet, khususnya yang merujuk pada pemikirian Sergei Eisenstein. –Peny


Makelar Kodok (1989 – Peny). Nah, yang publik perlu tahu adalah sebetulnya baik yang di Russia, baik yang di Eisenstein, maupun yang di Sumanjaya dan kemudian di Norman Benny, sebetulnya punya nilai yang – katakanlah sebetulnya – setara. Mereka memiliki kemungkinan untuk menjadi egaliter dalam konteks kritisisme. Nah, bagaimana sebetulnya pegiat sinema bisa menarik pemahaman tentang itu, bahwa sebetulnya Kadir3 dan Doyok4, dan Sumanjaya dan Eisenstein itu memiliki situasi egalitarian atas pandangan mereka tentang dunia. Tentu saja konteksnya berbeda. Tapi sebetulnya secara nilai sama. Itu pertama. Terus kedua, harap disadari bahwa modernitas yang kita terima itu tidak diproduksi melalui kritisisme tersebut, misalnya, melalui produksi literatur dalam buku-buku. Modernisasi di Indonesia, baik dalam sinema, seni rupa maupun sastra, diproduksi melalui kolom-kolom kecil di rubrik-rubrik budaya di koran-koran umum. Ini sebetulnya menjelaskan bagaimana modus pencerahan dari modernitas di Barat sana itu telah mengalami peluluhan ketika dipraktikkan dalam kerja-kerja budaya atau kerja-kerja artistik di Indonesia . Pertanyaan lainnya menyusul setelah mendapat jawaban dari Akbar maupun Michael Baute, boleh?

Moderator Baik, penanggap kedua. Hafiz?

Hafiz Rancajale (Forum Lenteng) Terima kasih. Kalau saya sih mencoba melihat bagaimana situasinya sekarang, karena judul panel ini adalah kritisisme filem dalam lembaga perfileman. Dalam konteks di sini sebenarnya ada hal menarik yang perlu kita highlight tentang kelembagaan. Dalam konteks Indonesia, kelembagaan ini sebenarnya penting. Kelembagaan itu ada. Kelembagaan yang sangat alternatif, [ya]itu kolektif, berkumpul, dan lain sebagainya, yang sudah dimention oleh Akbar. Misalnya kolektif-kolektif itu membuat kanal-kanal kritik yang bisa menjadi corong atau cara untuk menawarkan kritik yang berbeda dari media massa. Tapi kalau menurut saya bukan hanya ke kritiknya, tapi kelembagaannya. Bahwa institusionalisasi, baik di level komunitas, di grassroots (akar rumput) dan lain sebagainya, maupun yang paling atas, yaitu industrinya dan lain sebagainya, telah diinstutisionalisasikan oleh negara, 3\ Aktor dan pelawak Indonesia yang terkenal dengan logat Madura-nya sejak membintangi filem Cintaku di Rumah Susun (1987) yang disutradarai oleh Nya Abbas Akup. (Disarikan dari laman Wikipedia tentang Kadir, https://id.wikipedia.org/wiki/Kadir, diakses pada 19 Juli 2019 pukul 12:07 WIB.) –Penyunting. 4 \ Aktor dan pelawak Indonesia yang juga bermain dalam filem Cintaku di Rumah Susun (1987) yang disutradarai oleh Nya Abbas Akup. Ia terkenal kerap menjadi rekan humor Kadir. (Disarikan dari laman Wikipedia tentang Doyok https://id.wikipedia.org/wiki/Doyok, diakses pada 19 Juli 2019 pukul 12:37 WIB.) –Peny


sebenarnya. Indonesia pun punya undang-undang perfileman yang jelas menyebut nama satu lembaga sebagai rumahnya orang-orang perfileman. Saya menyebut BPI, Badan Perfilman Indonesia, disebutkan di situ. Nah, di sini padahal juga dalam lima belas tahun atau hampir dua puluh tahun terakhir ini, filem Indonesia dihidupi oleh institusi-institusi kecil, yang diinisiasi oleh anak-anak muda, warga, dan sebagainya. Dari Komunitas Film Independen (Konfiden – Peny), Forum Lenteng, lalu ada banyak kelompok . Dan festival-festival pun menjadi institusi-institusi kecil, yang menurut saya menjadi formalitas yang cukup penting dalam membangun bagaimana mengkritik kultur sinema di Indonesia itu sendiri. Nah, menurut saya itu yang sering terabaikan oleh kita. Bahwa misalnya jutaan penonton, atau ratusan ribu penonton yang ada di sinema sekarang – misalnya di bioskop-bioskop 21 itu, kita harus berterima kasih terhadap jasa – salah satunya – Konfiden5, yang membangun kesadaran tentang menonton balik ke bioskop, misalnya. Menurut saya itu perlu dibaca. Dan saya melihatnya jauh ke kelembagaan. Karena menurut saya dalam konteks Indonesia, kelembagaan itulah yang membuat kultur sinema Indonesia itu bisa terjaga dan menggulirkan kritiknya. Seperti yang dilakukan oleh ARKIPEL. ARKIPEL dari enam tahun yang lalu men-declare dirinya untuk membangun wacana kritisisme di dalam sinemanya. Menurut saya, itu tidak dilakukan oleh negara atau bahkan [oleh] sekolah filem. Di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) dulu itu sempat ada jurusan Kritik Filem, hanya bertahan tiga sampai empat tahun, [lalu] bubar, ditutup. Jadi menurut saya ini yang perlu juga kita mention dalam diskusi ini; bahwa kelembagaan ini menjadi sangat krusial dalam konteks di sini. Terima kasih.

Moderator Ya baik. Mungkin Akbar atau Michael Baute mau menanggapi dulu tanggapan dari Ugeng Moetidjo tadi.

Akbar Yumni Terima kasih koreksinya dari Ugeng yang membedakan kritisisme dan kritik itu sendiri. Tapi misalnya berkaitan dengan tahun 1960-an, suatu ketika saya juga pernah menonton sebuah pameran, yang isinya timeline tentang sejarah bioskop dan filem. Atau mungkin membaca buku seni secara umum yang notabene bahwa sejarah seni itu, atau pembagian seni itu, di bawah pembagian sejarah sosial politik. Jadi, misalnya seni di zaman sebelum kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, zaman Orde Baru, 5 \ Konfiden merupakan sebuah organisasi pelopor komunitas filem pendek/independen di Indonesia yang

hadir sejak tahun 2000. Salah satu programnya kini berfokus pada pengembangan situs web http://filmindonesia.or.id. –Peny


Orde Lama, Reformasi. Jadi saya juga belum pernah membaca ada sejarah bentuk yang berdiri sendiri di luar sejarah sosial-politik. Atau yang mungkin dibalik, sejarah sosial politik di bawah sejarah estetika. Termasuk mungkin di teks-teks besar di narasi besar seni, nggak lepas dari [pandangan] bahwa bagaimana besarnya sejarah sosial politik mempengaruhi sejarah estetika. Bisa jadi, di tahun 1960-an, itu[lah] yang kemudian [membuat] produkproduk kebudayaan dan pembacaannya yang tidak terkoneksi dengan tema sosial-politik [jadi] tidak terbaca, atau mungkin lolos, [sebagaimana] yang saya maksud tadi. Kemungkinan juga, pembacaan hubungan baru dalam praktek kesenian filem yang [ada] di luar pengertian pembacaan periodisasi di tahun 1960-an juga belum ditulis sebagai capaian-capaian estetika, misalnya. Saya pikir, itu juga sebangun dengan bagaimana kita juga membuat periodisasi seni yang sebenarnya juga di bawah bayang-bayang periodisasi sosial-politik. Jadi sebenarnya, seni sebagai pencapaian nggak pentingpenting amat kalau kita baca sejarah, karena selalu di bawah kategorikategori sosial-politik. Hampir semua timeline yang biasa di pameran seni pun, di mana-mana juga selalu begitu. Timeline-nya selalu hapalan kan : zaman Jepang, zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan lain sebagainya. Sementara mungkin secara bentuk lebih kompleks produksinya, atau dia (si pengkarya) berpikir [tentang] sejarah bentuk tidak selinear itu. [Sehingga] kemudian, mungkin perlu juga kita buat timeline sejarah estetika sendiri yang lebih bersifat kritisisme. Atau mungkin seni punya catatan sejarahnya sendiri, yang berbeda dari sejarah sosial politik, yang menurut saya juga penting, untuk dibaca ulang. Kira-kira begitu.

Moderator Bagaimana, Michael, ada tanggapan untuk dua tanggapan tadi?

Michael Baute Ya, saya kira pertanyaan pertama luar biasa. Rasanya sangat sulit untuk menjawabnya karena saya tidak tahu soal sejarah filem Indonesia. Saya hanya tahu sepintas dan saya suka cara Anda membedakan antara kritik dan kritisisme. Kritisisme yang lebih diilhami oleh pembacaan atas filem dan hubungan filem dengan sejarah seni. Namun, terlintas sebuah pemikiran menarik, bahwa kritisisme mungkin juga melibatkan proses penerimaan terhadap sebuah filem sebagai sebuah kemampuan kritis, semacam melaksanakan protokol menonton film. Sebagai contohnya yaitu film yang Anda sebutkan. Saya tidak tahu filem itu, namun di dalamnya terdapat adegan tangga seperti yang saya dengar dari Anda. Dan saya rasa ini cukup menarik untuk dipikirkan, sebagai seseorang yang tidak mengetahui referensi filem tadi – yaitu referensi pada filem Eisenstein. Bagaimana kira-kira referensi yang


ikonik ini dapat bekerja tanpa mengetahui referensinya, misalnya. Mungkin ini adalah sebuah permasalahan akademis, akademis dalam bidang estetika khususnya, [atau semacam] tugas-tugas estetis yang menjadi formal (bersifat kelembagaan – Peny). Namun saya tetap melihat hal ini sebagai sesuatu yang menarik. Dalam perjalanan saya ke sini, saya menonton sebuah filem di pesawat yang disutradarai oleh Steven Spielberg, judulnya Ready Player One (2018 – Peny). Ini merupakan sebuah filem tentang video game, setidaknya sebagian besarnya, dan tentang perbedaan antara kehidupan nyata dengan realitas maya dan kehidupan maya. Filem yang banyak meletakkan referensi terhadap budaya pop, yang sebetulnya tidak dapat saya tangkap dengan baik. Mungkin sekitar 90% referensinya tidak saya pahami. Meski demikian, saya tetap menangkap impresinya, bahwa yang saya tonton dalam filem itu ilah referensi terhadap budaya pop atau referensi budaya secara umum. Saya kira [ini] tidak akan terjadi 8 atau 10 atau 15 tahun yang lalu. Bahwa Anda dapat membuat filem yang jelas-jelas mereferensikan sesuatu, yang meskipun kita tidak paham referensinya, namun tetap kita paham filem-nya. Ini berkaitan erat dengan gambar-gambar yang kehadirannya di mana-mana dan berlebihan, serta fungsi dari lain dari gambar, yang mana telah kita bicarakan di awal. Tentunya, ini menghasilkan semacam estetika–saya belum mampu memjelaskannya dengan baik–yang saya rasa sangat menarik: bagaimana teknik untuk menulis dan menyampaikan hal-hal ini. Dan saya minta maaf, saya tidak bermaksud untuk membajak contoh Anda melalui perbandingan dengan film Steven Spielberg. Itu sama sekali bukan maksud saya. Dan saya lihat ini sedikit bermasalah karena ini jelas sesuatu yang sangat berbeda. Namun, saya melihat hal ini, dari sudut pandang saya, sebagai sesuatu yang sangat menarik dan menantang. Kemudian terhadap tanggapan yang satu lagi. Saya rasa, lembaga-lembaga kecil ini, festival-festival kecil ini, komunitas dan berbagai kanal kritis ini, sungguh inilah yang saya pun pikirkan; bagaimana membangun sebuah massa yang kritis, bagaimana menemukan ruang semacam ini, dengan orang-orang yang tertarik [pada sinema], dan semua orang [di dalamnya] merasa tertarik untuk berdiskusi maupun memproduksi, atau bahkan jika hanya sekedar untuk bermain. Bagi saya, setelah saya menjadi seorang formalis – saya pernah menjadi seorang penulis formalis dan seorang formalis yang kukuh, bahkan dapat disebut sebagai penulis formalis strukturalis selama 5, atau 6, atau 7 tahun–saya menjadi lebih peka terhadap fungsi sosial dari seni, fungsi yang lebih sosial dan kritis dengan menjadi sosial, menyediakan peluang secara sosial dan kapasitas untuk mengembangkan sesuatu yang sifatnya kritis. Demikian tanggapan saya.


Moderator Oke, kita masih bisa punya satu pertanyaan lagi. Ya, mungkin ada tanggapan lagi dari Ugeng. Tolong tanggapannya sesingkat-singkatnya karena kita hanya punya waktu lima menit.

Ugeng T. Moetidjo (Forum Lenteng) Bukan, saya cuma ingin menganjurkan bahwa, pada akhirnya sekarang kalau kita ngomongin kritisisme, tapi mungkin bukan lembaga perfileman ya yang paling penting, tapi kelembagaan teks. Jadi, bagaimana sebetulnya teks-teks yang tidak pernah kita kenal, atau kita kenal karena pernah tersimpan dalam kamar gelap perpustakaan, misalnya, [yang] sulit ditembus, muncul kembali. Tapi, saya hanya ingin mengakhiri apa yang tadi saya nyatakan, yaitu, agaknya kita harus berpihak kepada publik ketimbang misalnya kepada yang kanonik. Lalu, kalau misalnya kita katakan ada fungsi sosial dalam filem, barangkali dimensinya tidak pernah jadi tunggal, atau barangkali sebetulnya tidak ada fungsi sosial dari filem. Sebagai contoh, ketika beberapa tahun yang lalu saya menonton di Goethe-Institut, waktu itu masih di Matraman, yaitu satu filem yang katakanlah cukup kanonik di filem Indonesia yang pernah saya tonton sebelumnya. Tetapi saat itu saya menontonnya dalam suara atau dalam dubbing Bahasa Jerman. Saya cukup mengenali para aktornya, yaitu orang-orang yang tidak punya kemungkinan untuk berbahasa Jerman, dan pada saat itu saya menyadari bahwa apakah ada fungsi sosial di dalam filem, saat saya menikmati bentuk baru dari dubbing, yang masih dari para aktor berbahasa Jerman untuk suatu filem Indonesia yaitu kalau tidak salah adalah Ranjang Pengantin (sutradara Teguh Karya, 1974 – Peny). Itu saja, terima kasih.

Moderator Ya, terima kasih. Sepertinya kita sudah berada di penghujung. Ada tanggapan? Ya silakan Michael.

Michael Baute Ini sangat, sangat sulit untuk ditanggapi, namun saya paham maksud Anda. Ini memang menantang tentunya, menggali gagasan tentang fungsi sosial, karena percakapan [tentang] ini memang agak mati. Produksi gagasan ini telah dipertarungkan dalam sejumlah debat selama berpuluh-puluh tahun. Bisa dibilang nyaris paradoks.

Moderator Oke, baik, kita langsung ke penghujung saja. Jadi di panel kedua ini, Akbar tadi mencoba membandingkan bagaimana kritik di Indonesia dengan di Eropa. Sebenarnya kalau dibandingkan, Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang


kelengkapannya komplet sebagai infrastruktur modernisme. Lalu, Akbar juga menyinggung soal Cahiers du CinĂŠma, kritik yang dilembagakan. Juga Akbar sempat membicarakan tentang Jurnal Footage, kritik berbasis web yang dengan sadar membicarakan dua medium yang berbeda dalam filem, yaitu analog dan digital. Dan pada akhirnya Akbar juga sempat membicarakan apakah kritik sendiri bisa menjadi kompas dalam praktik filem. Lalu dari Michael Baute, dia membedakan antara film critic dan film review, yang mana menurutnya, film review lebih ke proses produksi, public relation, juga tentang cerita dari filem itu sendiri. Sementara film critic jauh lebih kompleks. Dia menjadi semacam satu genre literatur. Michael juga sempat merujuk pada Akbar, yang mengatakan bahwa ide dari sinema itu selalu berubah, sifatnya revolusioner. Lalu, dia juga menyinggung tentang sistem yang equal, sistem yang setara antara produksi dan kritik filem, yang mana merupakan suatu bentuk yang memang seharusnya terjadi di sebuah ekosistem yang sehat antara produksi dan kritik filem.


PANEL 2

Film Criticism and Film Institution

Afrian Purnama (Moderator) Let us continue to the second panel. This panel will discuss the Film Criticism and Film Institution as its theme. Now, have two panelists: Akbar Yumni in my right side and Michael Baute on my left side. Akbar Yumni was born in Jakarta. He is a film critic, curator and a member of Forum Lenteng. He is the Editor in Chief of Jurnal Footage. Our next panelist is Michael Baute. He is an author, a curator, and lecturer in media study. In 2001, he founded web blog http://newfilmkritik.de1 This panel will discuss how film criticism could respond to the film institutions that have their own aesthetic and censorship elements. Also, there is a need to expand the scope of critique to find out the relationship between formal and informal institutions, as well as the institutionalization of film criticism itself.

Akbar Yumni Good morning everyone. Today we are going to talk about criticism and institutions, which have been discussed on multiple occasions, for example, in film forums. I will try to get into the Akbar Yumni Michael Baute Moderator Afrian Purnama

context of criticism in Indonesia, film criticism, 1\ Webblog http://newfilmkritik.de is a website based in Germany that

contains reviews and criticisms of various films. The site was founded by Michael Baute and Volker Pantenburg in 2001, inspired by the journal Filmkritik (1974-1984) that was organized by Harun Farocki along with Hartmut Bitomsky, Peter Nau, Gerhard Theuring, Wolf Eckart Bßhler. –Ed


especially based on [some kind of] research I have done. It is not really a research, perhaps, [because] the materials are rather insufficient. But surely, we can discuss this. Essentially, I want to talk about how critics, as a matter of fact, are part of the infrastructure or ecology of an artistic or film production in the world of cinema. In Europe, for instance, especially in fine art, the critics are an essential signifier in the social field of art, or in the artwork itself, or even in the discourse of fine art. It exists to nurture the idea that art also departs from a theoretical foundation. It is essential to see criticism at that level. That the critics also sustain art. For example, when we look at Andy Warhol’s Brillo Box (1984 – Ed), it is clear that what differs art from the ordinary things in our daily life – aside from the museum and gallery – is the art itself. Such significance that it makes criticism plays a prominent role in fine art. On that point, does film also possess the same culture? We might discuss that matter. There is a crucial period in the writings of Cahiers du Cinéma, a French [film] magazine, where criticism can truly affect or become a culture that exists concurrently with film production. If we read the early world film literature, almost all of the critics helped to formulate the national identity. Many French writers and critics, up to French realism, who indirectly helped to create a national identity through their aesthetical achievements. The first question is if the starting point is to determine national identity, then in this digital era which is signified by the death of the national, a period where the nation is increasingly flexible, in our era to put it bluntly, where do critics belong? That is the first thing that we can discuss for this forum. In the case of Indonesia–as I’m going to discuss further–criticism has not become part of an ecosystem integral to the production of archives or films. Most of the time, criticism belongs in mass media. In Jurnal Footage, for example, there is a chronic forum where amateur authors attempted to write film criticism under their current knowledge spectrum, in which case they do not see critics as a profession. Or perhaps, a person on the level of Usmar Ismail also wrote criticism, and some other authors might also have a background unrelated firmly to the field of film. That is the history of criticism or–if I can elaborate further–the history of modernity in Indonesia, which might be distinctive from the history of modernity in Europe. It ultimately affects the definition of “criticism” as an institution. As such, it has evident impact on the contemporary context, wherein this digital era we might find critics websites, critics journals, in Indonesia, that were initiated—perhaps—by a community or public, or an individual, who attempted to write a review or anything related to film, which previously


tend to be supported by printed mass media only. My first topic of discussion in the context of contemporary criticism is that there’s an interpretation. Once I discussed a film with a friend. It was Enam Djam di Jogja (Six Hours in Jogja, 1951 – Ed). There was an interesting shot, but the writers did not write about that scene at that time. Thus, in the context of film criticism in Indonesia, such as today, it is also essential to write about film works produced in the past. This might be because in the past, the level of visual criticism sensitivity, or perhaps the culture of criticism itself, was not flourishing. At that time, there might be no awareness of criticism as part of the industry. For that reason, Jurnal Footage is still writing about films produced years in the past. I want to show you a film scene which, in my observation, has not been talked about by Indonesian authors or critics in the past. This is Usmar Ismail’s film titled Enam Djam di Jogja. There are a lot of examples in other films, such as a scene in Harimau Tjampa (Tjampa Tiger, 1953 – Ed). There is a scene that, I’d argue, shows the situation of film medium [in year 1953]. In that scene [in Harimau Tjampa], the shot used a spinning camera to depict a scene of a person being hit in order to illustrate dizziness, or other such effects. I would argue that those little things have not been discussed as a part of an aesthetic achievement, and I would say that it is important to be read by the future generation. It means there are actually a lot of films in the past, especially in Indonesia during 1990’s, that have not been discussed. It signifies the fact that the critics’ sense was not strong enough or it wasn’t really part of the ecosystem that supports film production at that time. At some point, Jurnal Footage, a web containing film criticism writings that was initiated by members of Forum Lenteng since 2009, once wrote an editorial in an attempt to formulate the contemporary period of Indonesian cinema, which was named as post-Garin period. However, the editorial itself is still in a draft and we are still conjecturing about the idea. There was also an article that situates Garin as a new period in Indonesian cinema. I remember that J.B. Kristianto was quite detail when he wrote some of the scene in Cinta Dalam Sepotong Roti (Love in a Slice of Bread, 1991 – Ed) which was a canon for the emergence of Garin Cinema. Well the period of Garin cinema is also quite long in Indonesian cinema. We also need to formulate the new period after Garin where new directors emerge, such as Ismail Basbeth, Anggi Noen, Purba (BW Purba Negara – Ed), etc. There is also emergence of cinema community such as Forum Lenteng and other communities that produced films to contribute to the resource of Indonesian film. Aside from that, film critics and authors need to also


formulate this as an important part of the Indonesian film’s resource. We can also see in Usmar Ismail’s film Enam Djam di Jogja (Six Hours in Jogja). (Screening a scene of Usmar Ismail’s film “Enam Djam di Jogja”) Let me underline a close-up scene of a mouth. In my observation, I have not seen anyone who sees that scene as a—I have not found an article from those years that discusses it as an aesthetic achievement of Usmar Ismail. There might also be another scene, such as when they shot the scene of legs, creating a blocking. Or the two layers of event in one room, using a camera movement which was also there, and it signifies a logic of blocking. Perhaps if any of you have found articles discussing the close-up scene of mouths as I talked, then we can discuss it further. However, to my knowledge, it is an important scene where no film critics or authors at that time responded to or wrote as Usmar Ismail’s aesthetical awareness. Now during those years, in the 1960’s especially, it was obviously the years filled to the brim with politics. During the post-independence era, many film critics tend to write in a narrative tradition, but has not used the perspective of film as visual tradition. Meanwhile, in the context of Enam Djam di Jogja, there are many that can be interpreted as visual tradition. Although perhaps Rosihan Anwar has written a lot about the influences of Italian Neorealism in Usmar’s film. It is a pretty huge discourse, that Usmar’s shots can actually be interpreted as a visual tradition. I consider that there were many aesthetics undiscussed in those years, that we will need to rewrite today as Indonesian critics. As such, going backward, or changing the formation of the past through a new tradition of contemporary cinema is an important task at our hands – to read the past as a whole. I believe that history is very open to interpretation, it always depends on the time. History can also be read as historical situation; hence the work of Indonesian critics is actually to shoulder the burden of connecting to the past since there are still many aesthetics undiscussed by the authors at that time. We understand that Indonesia during 1960’s was filled to the brim with politics in which most of the time—The narrative tradition was strong at that time. Most films were written in the narrative context. We do aware at the strong struggle between the left and the right party during those years, hence the tendency of critics or film readers at that time was to be influenced by the socio-political situation. This is what I actually want to propose for us to discuss today. Perhaps all of you in this Forum Festival have another topic that we can discuss. Now,


Jurnal Footage itself is a platform for criticism in the era of web. Maybe, basically our background is not [from] film study professional or academia. This is the same as the film culture in Indonesia that tends to make film reviews in magazines and other similar publications as foundation, whereas those writings were not from a cinema expert. Thus, the perspective used by the critics today actually is not the formalistic institution one. Since everyone can write, there is the web, etcetera, then the perspective of public or amateurism are also important as a part of solution for criticism in Indonesia today. The second is about how the definition of cinema itself is continuously changing as time goes by. Perhaps the formalization of cinema—Before, the definition of experimental has a strong formalism aspect since the medium demands us to be discipline. The analog demands us to be discipline. Master the technology and the medium will require a strong discipline in the analog era. Whereas in the digital era, film practices no longer require such discipline since the medium is more flexible, so it requires a more flexible interpretation as well. For example, the works in ARKIPEL last year, there were many film practices that no longer employ camera. They only use found footage photos or the logic of Google Earth as part of their film practice, in which case its definition of mise-en-scène shall also be different than films in the analog era. Some of the articles in Jurnal Footage are actually attempting to read the alternative possibilities of contemporary film, including the definition of body. For instance, in Apichatpong’s film, Cemetery of Splendour (2015 – Ed), where there are a lot of scenes that blurs the line between human body and another object’s body. It might also be different from the Aristotelian-modernism that sees the body as the peak of everything. Well of course, the dramatization is in the body instead of other objects, for example. In films influenced by such tradition, we will also see body as the main image. Also, in the same film, for example, when we look at the definition and description of Southeast Asia context, the definition of realism in the supernatural space and daily space. In the context of Apichatpong’s film, that [space] also becomes increasingly flexible, since the people there are also the same. Hence, the scenes no longer draw a line between the supernatural and daily lives, as often happens in the context of non-real or supernatural modern film, where the ghosts are always being exaggerated or dramatized as a specter. Yet in Apichatpong’s film, that kind of things are depicted as the same, unexaggerated. That is why interpreting the new things in the contemporary context is also important for a critic, because it will also become a perspective towards


the cinema. Just like how in fine art tradition, for example, according to Arthur Danto, the production of art is part of the attempt to formulate what we define as art. We can imagine this in film criticism, that it is also a part of the attempt to formulate what we mean by cinema and it continues to develop and change to fit in the current space and time. And I think the public today has a great opportunity to write about film due to the culture of the web–everyone can write about film, they can create any kind of websites, which enables a much diverse perspective. But the problem is, whether or not pluralism and opportunity for everyone to write about film is actually being reflected by filmmakers in producing their films. In the past, criticism is a formal system where there might only be one or two figures that the industry completely adheres to, that was the only reference for filmmakers in producing films. When many people are writing about film today, does that kind of tradition still lingers and becomes a reference or compass to guide the direction of Indonesian film culture today? So, it might be a dilemma that when the public is open to write about film, it is still uncertain whether or not film criticism can become a compass or seismograph that can guide or interpret the era, or whatever. Institutionally speaking, criticism is, to that end, not as firm as during the modern era. That is my proposal. Not too much perhaps, but I hope that my topic can be furthered by everyone, who might have another topic to be discussed today. Thank you.

Moderator Alright, thank you Akbar Yumni. Next, our second panelist is Michael Baute.

Michael Baute Thank you, Akbar, for your inputs. Thank you all for attending. Maybe I can add some of your proposals and bring my specific perspective from Germany, and my specific perspective also as a person. I grew up in the 1970s and 1980s in Western Germany, and especially in the 1980s, I became really interested in film, film culture. And, as you already said, the European tradition of critics, criticism on art and film has probably been very rich, especially in Germany and in France. For example, when I grew up and became interested in film as a 12 or 13-year-old boy, I came into contact with interesting writings on film very easily, which kind of different from the classical idea of film criticism and film reviewing. First of all, I would make a distinction between film criticism and film reviewing. Film reviewing is something which takes place in newspapers,


or nowadays in online magazines, which doesn’t have this specific quality, I would say, film criticism has – for me. Film reviewing is more a part of the production process, it’s more part of the public relation, it’s more part of informing the possible audience about the genre, the plot, the storyline, the valuable spectacles a particular movie has. But what I think we should, or are talking about, for me, is more of a kind of literary job or academic or scholarly genre, but for me, I would instead focus on the literary part of this genre. In Europe, in America, in Germany, we have–from the beginning in the 1950’s that I’ve already mentioned–the French traditions of the [film] writers, from Cahiers du Cinéma. After they published [writings] in the Cahiers du Cinéma, [they] would be recognized as filmmakers. Godard, Lubitsch, Truffaut, Luc Moullet [are some of the example]. They became very influential in this specific modernist tradition, or you could say, the heroic first tradition of modernist filmmaking. And in Germany, we had a very similar phenomenon, which was built maybe, I think, after the modern of Cahiers du Cinéma. These writers like Godard, Truffaut, Luc Moullet, as I said. This [phenomenon] basically took place in one magazine, which was called Filmkritik. It existed between 1957 and 1984, where very influential writers published their articles. And some of these writers also became directors, like in the French tradition. One of the writers was Harun Farocki, whose movies will be presented in the course of this festival. But there have also been other names which I can drop, like Frieda Grafe (1934-2002 – Peny). She is very influential for many filmmakers, even if she didn’t become a filmmaker herself. Her writing style, the specific subjectivity towards movies, and towards perception of movies became really influential. She talks not only in regards of movies she talks about, but also in regards of movies which have been produced after reading her texts. It shows a very sensitive kind of reception towards the moving image, towards the narratives, towards the formalist tradition, towards the ways of looking, the way of negative space and positive space, and colors. Just during the break, I talked with one guy about colors and how difficult it is to describe colors and describe the specific terminology of colors. So, this just brings me back to my main point: film criticism is really a kind of literary genre. For me, it’s really like a literary task on how to describe what happens with the audience of a film, what happens with me as part of the audience, what happens with my body and my perception. I think this is definitely something which never stops being a literary task, since the means of production changes, the means of reception changes and also the amount of films, which we call film history, [also] accumulates a lot. So, we don’t have a stable knowledge of what cinema is. But as you


(Akbar) also said–I also refer to your presentation–the idea of the definition of cinema is continually changing and won’t ever stop or come to an end. So, it’s absolutely a very fantastic task for people who are in some ways, in love or in hate with cinema, to find poetic means to describe and convey them. And I think this idea which I only briefly tried to characterize, this idea of film criticism as a literary task–which not only involves an analytical and scholarly task, but mostly to get the acknowledgments which should be read or understood by others as a literary task. And now I come to my first point, which is how to connect to the title of the panel. How to give and how to achieve, by working with a literary task, to give the means to institutionalize groups of people who can refer to writing by watching movies and also producing movies. This is a little bit vaguely discussed because English is not my first language as you probably have noticed by now. But I think this brings me back to my examples. I think the specificity of Cahiers du Cinéma as I said, where Godard, Luc Moullet, Truffaut, and all the others published their articles on cinema in the 1950s and continued afterward, specifically was [on] that kind of building a critical mass of individual texts, and they respond to each other’s writings, and the people outside their circle as well, such as directors, producers, actors, and technicians and obviously the audience. As you said about this ecosystem of production and reception, how to build it if you don’t have as much money as Hollywood has? Because Hollywood can pay people to produce beautiful texts about their films, and it’s very easy because this economic infrastructure builds that [film] ecosystem. The ecosystem is really something built out of capital means. But this group, the Cahiers du Cinéma group, and all the others who followed, [including] the formalists tradition and also the tradition in Germany, they didn’t have so much money. They are, more or less, Minor Cinema. Minor Cinema means that there is not so much money involved in the production and also in the distribution of the movies where film reviews would take part in. So, they have to build another kind of intelligence, sensitivity, and attractivity to – kind of – institutionalize certain practices of filmmaking. And I think, this is really the task where film criticism takes a critical point. In Germany, in the middle of the 1990s until around 2010, there has been the development of a new group of filmmakers which was labeled [as] Nouvelle Vague Allemande or the Neue Berliner Schule, or in English: The New Berlin School. The directors [in this group] are people like Angela Schanelec, Thomas Arslan, Christian Petzold, Christoph Hochhäusler, and Valeska Grisebach. Maybe some of their films are unknown here, or perhaps Goethe-Institut has shown some of them too because they travel a lot. They have been recognized by critics a lot. The critics have been writing [about them].


At that time, I was a critic, and I was a part of this ecosystem. So, I can describe [it] from my perspective, that this has been really important to have this kind of critical mass for an individual author, who can relate to not only other current pieces of work but also the historical ones, which you can relate to the current production. And then, there are also other texts you can refer. And this has been a really happy and lucky experience for me to feel, or to perceive oneself as part of the movement. It is not really a movement actually. But to be connected to a different kind of aesthetic practices, which takes place not only in film production but also in writing and the social practice of meeting. It brings me back to the first panel and Azar Mahmoudian’s remarks about this, [that is] a kind of social cohesion that art and film can provide. And I think it comes from a feeling of connectivity. And this, I think for me, is institutionalization. Institutes of things which are more durable, or built to be durable, to be cohesive, to provide the possibility of people to refer to, and these are basically my thoughts on the panel. I hope this was not too random and I hope you can respond. I would be really interested in your perspective, and I would love to hear more questions and remarks about that.

Moderator Before I open the Q&A session, I want to ask our two panelists about the interrelatedness of formal institutions, i.e. state institution and film criticism. So, how do the two entities relate to each other?

Akbar Yumni Referring to Europe [cinema] for instance, many film writers in German Cinema or Cahiers du Cinéma indirectly write about–in other countries, the state supports the formation of national identity through the production of criticism. But in Indonesia, the national identity was first initiated by mass media. Perhaps more as an art review, or we might refer to it as film criticism. I’m not sure that in Indonesia there is a conviction to invest in the experiments, including criticism. Have we ever thought about the fact that LIPI (Indonesian Institute of Science – Ed) is funded as a research institution, yet the result of their research is not line with the production of development. Is the relationship between criticism and the state something organic or not? Perhaps, it is important to ask this question, aside from the situation that criticism in Indonesia is not very prominent or becoming a part of the ecosystem. I cannot answer to the question on how does the formal institutional


relationship work. But if I have to make an analogy from my opening, the desire of a homo faber (Man the Maker – Ed) is much more prominent than homo ludens (Man the Player – Ed), because perhaps we would rather believe in result or production – the end product. But believing in the process might just be too difficult, that criticism is a part of ecosystem [too]. That textual process can also be interpreted as knowledge, and it is supposed to have a connection with the production. Well, there might be not that much confidence in this investment, just like how we cannot ascertain whether the state owns the confidence to invest in this experimental field. And make it the standard for aesthetics, or part of the development of film industry. In the case of various countries in Europe, the investment toward knowledge becomes part of the national identity, or part of political-cultural struggle. For instance, the case of French poetic realism, where it was fought for as the resource of national identity. During the time to deal with the silent era, where a powerful force emerged, the montage. When the era of talkies emerges, it was welcomed by the French as an effective tool to fight against montage, and also long take. I believe that art also has cultural projects in a country that might expand to influence other countries as part of global, artistic and aesthetic struggle. Indonesia might not yet have a mindset to invest in such field, to put aesthetics as part of national identity. We do not yet have such aspiration, because perhaps the formulation of Indonesia itself is always diverse and the competition is never fair. Hence our national culture is also in line with the definition of Indonesia today. In such case, the formation of aesthetics itself will also be part of an investment to shape national identity. Now, referring to Afrizal’s opinion in the previous panel, does artist who talk about democracy also have a strong connection in that field. That’s first. The second is, well, it might need to be answered individually though, whether or not formal institution is connected to criticism, the state especially? Because today, most of criticism was initiated by the public. Some examples are Cinema Poetica, Jurnal Footage, filmindonesia.or.id. Those are, perhaps, the public’s initiatives unsupported by state institution. Because the state also used to have PFN (State Film Production) and now we don’t even hear about it anymore. What kind of film production standard that PFN provides? Well that’s for me.

Moderator Ok, thank you, Akbar. What about you, Michael Baute? Perhaps we can discuss it using the perspective in Germany or Europe.


Michael Baute I think it’s really a difficult and complicated question. I think in Germany, at least in West Germany [because] as you know, Germany has been divided after the war. At least in West Germany between 1949 and when the Federal Republic of Germany has been created in 1989, there has been this reunification between the Federal Republic of Germany and the German Democratic Republic. I was born in the western part in the Federal Republic, and basically, Western Germany was a federal state until 1989; it means that different provinces had their own hegemony over the culture and politics. And so, all these different federal parts of Germany like Bayern and Berlin and Northern Austria, they built institutions and also film institutions, like film museums. In the 1960s and 1970s, they have communal Kinos (movie theatre —Peny), communal cinema, Minor Cinema, where cinema has shown and also produced, and [there are also] film schools. All these kinds of cultural activities, in a way, were economic program. But in a way, they were also a political program of the “Entnazifizierung,” as we said: the denazification of the German public, to bring them the western belief in democracy and culture. The culture has been a huge part of this. So, this, as we know, is the sector of the economy, which is the cultural sector, which has been very much state-provided, state-funded. People like me, who have been in university and now work in this cultural film field, could not work without state funding. Also, the projects I and my colleagues have undertaken, none of these could have been possible without state funding. And also, the film production in Germany, it’s not really a commercial production, but most of them – I think 80% of the production of films which will be released in cinemas – are statefunded. There is commercial production, but it is mostly TV. So, this is one part of the answer. I think the other part is, what is the relation to film criticism. I think I tried to give some of the answers in my first statement. But I think, the richness of the German film criticism, really, I could name you 20 or 30 names. Even now, even [in] 2018, we have different critics [who] have developed individual styles, recognizable styles of relating, to find the writing styles, [that is] sometimes short, long, sometimes like an exclamation poem, sometimes like email conversations. For example, I produced a book where 93 authors were obliged to write only about one minute of the film, which happens to be 93 minutes long. The book consists of these 93 texts, 93 perspectives. But this book didn’t get funding. So, this is an example for some people where we had to finance it ourselves. But to have the possibility to get 93 people to write about a film in German shows that the German landscape of film criticism and film writing is very rich, I think, and [it] has developed many individual perspectives.


Moderator Thank you, Michael. Alright, anyone wishes to ask some questions?

Ugeng T. Moetidjo (Forum Lenteng) I believe this panel should clearly draw the line between critique and criticism. Based on what I hear from the two speakers, it seems that the two terminologies or those phenomena have not been clearly defined in terms of their principles and disciplines. I believe that critique works when a film is ongoing–for a limited audience, for a limited space. Whereas criticism works after the film is over; for a different time, situation and context, depending on its space. Hence, we can still watch a film even in the new definition or meaning–even if we were not born when the work was created, even if we do not know the context of that time. That is one of the roles of criticism. Critique’s role is more temporary compared to criticism. Criticism works based on existing critiques, as well as existing reviews toward certain artwork. Now, the difficulty of critique and criticism in the context of Indonesian cinema is the fact that the means for producing discourse in Indonesia is not determined by aesthetic struggle, but rather a political one. As a result, we do not have any periodization for artistic work in cinema under the context of aesthetics. We only know that, in the context of Indonesia, Usmar Ismail’s film is categorized as revolution film, or a film about struggle and so on. That is what will happen if we want to trace back the period of cinema development in Indonesia. Now, criticism actually works when the periods are put under question, including governmental political policies that repress critics from speaking what they actually want to say. To overcome the fact that films without theme of nationalism is always considered as not a good film or not a film worthy of critique. Criticism fills in the blank space or the opportunities not taken by critics who adhere to the state slogan, such as the idea that a good film is a film that reflects the national philosophy, having educational purpose, and so on. As a result, we would never know whether the films produced popularly, whose service is simplified as a mere commerciality, whether or not those kinds of film actually have a meaning, or a function to reflect on the context of life, [and] the people’s culture. And even, the state or the nation itself. So, for example if I look at The Odessa Stairs, you know about The Odessa Steps, right?2 The Odessa Steps from Sergei Eisenstein’s Battleship Potemkin 2\ The Odessa Steps, better known as the Potemkin Stairs, is a large staircase in Odessa, Ukraine.

This staircase appeared in one of the scenes in the film Battleship Potemkin (1925) directed by Sergei Eisenstein and became an iconic reference related to the theory of Soviet montage, specifically referring to Sergei Eisenstein. –Ed


(1925 – Ed), it appears in Sumanjaya’s Atheis (1974 – Ed), as well as in Afrizal’s film, I think? Eh, no, I mean Norman Benny, in his Makelar Kodok (1989 – Ed). Now, what the public needs to know is that whether the actual stairs in Russia, in Eisenstein, or in Sumanjaya and then Norman Benny, all of them actually possess a value that is, let’s say, equal. The question is how can film activists draw an understanding, that Kadir3 and Doyok4, as well as Sumanjaya and Eisenstein, all of them have an egalitarian situation on their perspective toward the world. Of course, their contexts are different, but their value is the same. That is my first point. Secondly, please be aware that the modernity we receive is not produced through the production of criticism in literatures or books. Modernization in Indonesia, whether in cinema, fine art or literary, is produced through small columns in cultural rubrics of general newspapers. This actually explains how the means of enlightenment and modernity in the West have been reduced in the practices of cultural and artistic works in Indonesia. I can ask questions will be asked after I get answer from Akbar and Baute, can’t I?

Moderator Sure. Alright, next? Hafiz?

Hafiz Rancajale (Forum Lenteng) Thank you. For me personally, I prefer to see the current situation I suppose, because the title of this panel is film criticism in film institution. In that regard, there are interesting things that need to be highlighted in terms of institution. In the context of Indonesia, institutionalization is actually very important. Institution does exist. Aside from the alternative institution such as collective, gathering, etcetera, that Akbar has mentioned. For example, those collectives create the channels for critique that can accommodate or become a means to offer an alternative version of critique to mass media. But I think it’s not only in terms of critique, but the institution. That institutionalization in the level of community, grassroots, and so on up to the top level, namely the industry and so on, all of them has been institutionalized by the state. In actuality, Indonesia has a law concerning film that clearly stipulates the name of an institution as the house of film community. I am talking about BPI, Indonesian Film Agency. 3\ Indonesian actor and comedian known for his Madura accent since he starred the film Cintaku di

Rumah Susun (1987) directed by Nya Abbas Akup. (Referenced from Wikipedia page about Kadir, https:// id.wikipedia.org/wiki/Kadir , accessed on 19 July 2019 at 12:07 GMT+7.) –Ed 4\ Indonesian actor and comedian who also starred the film Cintaku di Rumah Susun (1987) directed by Nya Abbas Akup. (Referenced from Wikipedia page about Doyok, https://id.wikipedia.org/wiki/Doyok, accessed on 19 July 2019 at 12:37 GMT+7.) –Ed


Well as a matter of fact, over the past 15 or 20 years, the Indonesian cinema has been fostered by small institutions, mostly initiated by young people, citizen, and so on. From Independent Film Community (Konfiden – Ed), Forum Lenteng, and many other groups, from festivals to small institutions. And I think all of them has become a significant formality that shape the criticism of cinema culture in Indonesia. So often we ignore this matter, I think. The fact that millions of audiences, or hundreds of thousands audience, in cinema such as 21 Cinema5 today, we have to thank the service of Konfiden6, for instance, who built the awareness of moviegoing. I think that is what we need to read. And I will look further at the institution. Because I believe in the context of Indonesia, institutions are the one that sustains the cinema culture of Indonesia as well as producing the criticism of it. This is what ARKIPEL does. Over the past 6 years, ARKIPEL has committed itself to build a discourse on criticism in the cinema. I’d say, this has not been practiced by the state or even film school. IKJ (Jakarta Institute of the Arts) used to have a Film Criticism department, it only lasted for 3-4 years before it was closed. So, I think we need to mention it in this discussion; that these institutions are crucial in this context. Thank you.

Moderator Alright. Perhaps Akbar and Michael Baute would like to make a response to Ugeng Moetidjo?

Akbar Yumni Thank you for Ugeng’s correction in differentiating between criticism and critique. But let’s say with regard to the 1990s, one day I saw an exhibition, containing the timeline of theatre and film history. Or I also read an art book that in general contains the history of art, or the division of art, under the categorization of sociopolitical history. So, for example art before independence, post-independence, New Order, Old Order, Reform. I’d say, I have never read about the history of form that exists beyond sociopolitical history. Or vice versa, the history of socio-politics under the history of aesthetics. This includes, I think, major literatures in the great narratives of art adhering the view that sociopolitical history influences the history of aesthetics. Perhaps, this is the reason why in the 1960s, the cultural products and its 5\ 21 Cinema, or XXI Cinema, is a big commercial cinema in Indonesia. –Ed 6 \ Konfiden is a pioneer organization of short / independent film communities in Indonesia that has been existed since 2000. Now, one of its programs is focusing on developing the website http://filmindonesia. or.id. –Ed


interpretation that are disconnected from the sociopolitical theme went undiscussed, as I mentioned previously. There is also the possibility that the new connection in the practice of film as art, beyond the definition that befell under the periodization in the 1960s, have not been written as aesthetical achievements, for example. I think, this is also in line with how we build the periodization of art that actually falls under the guise of sociopolitical periodization. So, in actuality, art as an achievement is not that important if we read the history, because it is always under the categorization of socio-politics. Almost all of the timeline presented in art exhibition, wherever they are, is always like that. The timeline is always just a recollection: the Japanese era, the colonial era, Old Order, New Order, Reform, etcetera. Whereas perhaps in terms of form, the production is more complex, or not as linear, which means we might also need to create a timeline for aesthetical history, whose nature can be more in line with criticism. Or maybe art also have their own historical footnote, which might be different than the sociopolitical history, I’d say it is also important, for the purpose of reinterpretation. I think that’s it.

Moderator What about you, Michael, do you have any response to these two remarks?

Michael Baute I think the first question was marvelous. It’s very difficult for me to answer that because I don’t know Indonesian film history. I only had brief glimpses into it, and I like your distinction between critique and criticism. The criticism being a more informed way of reflecting on films and the relation of film and art history. But I still think, an interesting thought, criticism could involve the reception of film as a critical faculty, like doing a protocol of watching a movie. For example, the movie you referenced, which I didn’t know, but which includes this scene – the staircase scene–as I understand from the description. And I really find it interesting to think about oneself, as someone who doesn’t know the reference to the film–which is to Eisenstein. How this iconic reference would work without knowing the reference, for example. Maybe it’s an academic problem, much to aesthetic, [or an] aesthetically formalized task. But I still find it interesting, and promising really, to think about that, to think about stuff. During my flight here, I watched a movie on the plane by Steven Spielberg, which was called Ready Player One (2018 – Ed). It was a film about video games, mostly, and about the distinction between real-life and virtual reality and virtual life. This is a film that refers to a lot of pop culture and I had the feeling that I couldn’t grasp [them]. Maybe 90% of


the references I didn’t get [it]. Although I did have the impression, I had the certainty that these are pop culture references or cultural references. I think it wouldn’t happen 8 or 10 or 15 years ago. That you [can] make a movie which obviously refers to something, but you don’t understand the reference[s], yet you understand the movie. This has something to do with this ubiquitousness of this superfluousness of images, and this other function of images, which the first time we also talked about. Obviously, it’s kind of produces a certain aesthetic—which I am yet not capable of describing very well—but I find it interesting: the techniques of writing, of conveying this kind of things. And I’m sorry, I didn’t want to hijack your example by comparing it to the movie by Steven Spielberg. That was not my intention. And see this is a little bit my problem because it’s obviously something else. But yet I find this interesting and challenging, from my perspective. And also, to the other remark. I guess, these small institutions, small festivals, community-building, these critical channels, this is really what I was really thinking about; how to find a critical mass, how to find a space like this, with enough interesting people in it, that everyone will find it attractive to discuss or produce, or just to play. And this, for me, after being a formalist–I have been a very strong formalist writer and a very strong formalist, even structuralist formalist writer in the last 5, or 6, or 7 years–I became much more aware of the social function of art, social and critical function, by being social, by providing social opportunities and the capacity of building something that is critical. So just a remark to you.

Moderator Alright, we still have one more question. Perhaps, there is another response from Ugeng. Please make a short remark because we only have 5 minutes.

Ugeng T. Moetidjo (Forum Lenteng) No, I only want to suggest that, ultimately if we talk about criticism, perhaps it is not the film institution that matters the most, but rather the institutionalization of text. So, how those unknown texts, or texts that we recognize due to being stored in the dark room of library, for example, the unreachable ones, reemerge. But I just want to end what I mentioned before, that it seems like we might need to take the public’s side instead of the canons’ side. Furthermore, if we concede to the idea that there is a social function in a film, perhaps the dimension was never singular, or perhaps there are no social functions in film. As example, when I watch a movie in Goethe Institute some years ago, back then it was still in


Matraman, it was a film that–I’d say–pretty canonic in Indonesian film that I have watched before. At that time, I watched it in the dubbing of German. I could recognize the actors, they are the people who have no possibilities to speak German, and at that time I realized whether there is a social function in film, when I can enjoy the new form of dubbing, that comes from German-speaking actors in an Indonesian film, Ranjang Pengantin (directed by Teguh Karya, 1974 – Ed), if I’m not mistaken. That’s all, thank you.

Moderator Right, thank you. Looks like we have reached the end. Any response? Yes, please Michael.

Michael Baute This is very difficult to respond to, but I really see your point. This is challenging, obviously, to dig a hole in the idea of social function because it’s kind of defunct. The production of this idea has been battled in some debates for decades. It is nearly a paradox.

Moderator Alright, let’s just go to the conclusion. In this second panel, Akbar tried to compare film criticism in Indonesia and in Europe. If we make a comparison, Indonesia actually has no complete infrastructure as the infrastructure of modernism. Akbar also talked about Cahiers du Cinéma, an institutionalized criticism. Akbar also discussed about Jurnal Footage, a webbased critique that consciously talked about two different mediums in film; analog and digital. And ultimately Akbar also asked whether or not critique can become a compass in film practices. Then Michael Baute talked about the difference between film criticism and film review, in which he argued that film review is more akin to production process, a public relation, as well as the story of the film itself. Whereas film criticism is much more complex. It has become a genre of literature. Michael also referred to Akbar, who said that the idea of cinema is constantly changing, it’s revolutionary in nature. Also, he discussed about an equal system, an egalitarian system of film production and criticism, which is a form that is supposed to occur in a wholesome ecosystem of film production and criticism.


panel3



PANEL 3

Pendidikan Filem Sekarang dan Masa Mendatang Moderator Selamat siang semuanya, terima kasih pada teman-teman yang masih hadir di acara Forum Festival homoludens. Sekarang kita masuk ke sesi Panel Ketiga. Judul panel ini adalah “Pendidikan Filem Sekarang dan Masa Mendatang�. Persoalan tentang institusi pendidikan, seperti sekolah, atau lembaga formal yang memiliki tujuan memproduksi pengetahuan, dalam konteks ini adalah bidang perfileman, merupakan topik yang saya kira kurang terbahas di kalangan para pegiat filem sendiri. Dalam artian dibahas dalam situasi perbincangan intelektual seperti yang coba kita usahakan sekarang ini. Setelah sempat berdiskusi dengan beberapa pembicara, kami sepakat, bahwa karena sebagian besar partisipan Forum Festival sekarang ini adalah mahasiswa dan juga pegiat komunitas, keaktifan hadirin diminta untuk kita bersama-sama membedah atau berspekulasi tentang bagaimana tataran atau idealisasi dari pendidikan filem itu. Untuk tujuan itu, kita di sini meghadirkan tiga pembicara yang merupakan pegiat filem, pelaku profesional di bidang filem, dan juga mempunyai keaktifan tertentu di wilayah pendidikan atau di wilayah akademik. Yang pertama adalah mas Choiru Pradhono. Ia

Choiru Pradhono

adalah pengajar di Program Studi Televisi dan

Kus Sudarsono

Film ISI Padangpanjang. Kemudian, di sebelah

Ifa Isfansyah

Mas Choiru ada mas Kus Sudarsono. Mas Kus Sudarsono merupakan Ketua Program Studi Film

Moderator

dan Televisi di Universitas Multimedia Nusantara.

Manshur Zikri

Dan pembicara yang ketiga, di sebelah kiri saya,


yaitu Mas Ifa Isfansyah, kita tahu dia adalah sutradara filem Garuda di Dadaku dan filem The Dancer, dan ia juga mendirikan Jogja Film Academy. Untuk yang pertama, Mas Choiru akan bercerita mengenai perspektifnya. Mas Choiru akan berbicara soal pendidikan filem dalam konteks spesifikasi ISI Padangpanjang berdasarkan pengalaman dia sebagai pengajar di sana dan mungkin mencoba mencari faktor-faktor lain yang eksternal di wilayah itu. Silakan Mas Choiru.

Choiru Pradhono Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang. Hari ini saya akan memaparkan dan menceritakan kondisi yang saya lihat pada mahasiswa-mahasiswa filem, terutama mahasiswa di kampus saya ISI Padangpanjang. Dan saya kira kondisi semacam ini juga dialami oleh para mahasiswa di kampus seni lainnya, misalnya di Solo atau di Yogyakarta. Topik utama yang akan saya bahas adalah persoalan penciptaan. Di antaranya terkait kegiatan mahasiswa dalam penyelesaian tugas akhir, baik tugas akhir penciptaan filem maupun pengkajian filem, di sekolah filem atau sekolah seni pada umumnya. Di sekolah filem seperti Institut Seni Indonesia (ISI), misalnya, ada inisiatif yang baik di masa-masa awal pendirian sekolah tersebut. ISI mencoba menyikapi praktik industri yang waktu itu sedang marak-maraknya, khususnya dalam dunia filem. Sampai hari ini, sekolah filem terus berkembang dan masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan dunia filem dan industrinya terkini. Setelah saya perhatikan, nampaknya sekolah filem cukup berkiblat pada pasar. Fokus institusinya kemudian mencari metode bagaimana menciptakan lulusan sekolah filem yang dapat masuk dan segera bekerja di industri filem. Sesuai yang diharapkan, pada akhirnya memang rata-rata lulusan dari sekolah filem berkarir di industri perfileman, sebagai pekerja-pekerja. Dalam proses pembelajarannya, mahasiswa filem memang dibentuk untuk mempunyai daya dan keahlian untuk bidang itu. Dalam proses perkuliahan terdapat spesifikasi, misalnya saja berfokus dalam mengkaji perfileman, contoh lainnya adalah melatih mahasiswanya memiliki keahlian tertentu dalam penyutradaraan dan penulisan skenario. Sebagai muara dari proses spesifikasi tersebut pada akhirnya hal itu akan menentukan menentukan proyek final apa yang akan dikerjakan oleh mahasiswa, yaitu antara penciptaan dan pengkajian karya seni—barangkali teman-teman yang tidak berasal dari sekolah seni agak asing dengan -konsep semacam ini. Kira-kira begini, mahasiswa yang memilih fokus pada penciptaan karya seni akan dibentuk untuk mempunyai kemampuan memproduksi filem yang sesuai dengan visi dan misi lembaganya. Misalnya di ISI Padangpanjang, ISI mempunyai visi untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dasar budaya Melayu.


Penekanan akan visi ini kemudian tidak hanya diberikan pada mahasiswa jurusan Film, tapi juga pada mahasiswa jurusan lain. Para mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan karya-karya yang berkaitan dengan budaya Melayu. Oleh karena itu, secara tematik, penciptaan karya di ISI Padangpanjang cenderung mengarah ke topik-topik dalam budaya Melayu. Dalam proses pembelajarannya, mahasiswa akan dibimbing dan diberikan pembekalan melalui mata kuliah tertentu, baik yang membahas materimateri pokok, maupun materi tambahan. Melalui ini, diupayakan mereka akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu menciptakan karya yang dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban yang dimaksud setidaknya akan Nampak dalam proses penulisan laporan ilmiah tentang proses penciptaan karya yang menjadi tugas akhir mereka. Untuk itu, mahasiswa diharapkan mampu menulis proses penciptaan karyanya sesuai dengan teori yang mereka pahami. Sedangkan, bagi mahasiswa yang mengambil spesialisasi kajian seni diwajibkan untuk membuat skripsi. Pembuatan skripsi ini juga dilengkapi dengan dukungan pembekalan yang sama namun dalam porsi yang berbeda dengan mahasiswa dengan fokus penciptaan karya seni. Mereka diharapkan mampu menganalisa filem dengan perspektifnya menggunakan teori-teori tertentu yang telah dibekalkan dalam proses perkuliahan. Kondisi ini sebetulnya sudah saya lihat, tidak hanya ketika saya menjadi dosen di tahun 2008, tetapi sejak saya menjadi mahasiswa. Saat saya menjadi mahasiswa di ISI Yogyakarta pada waktu itu, kondisi semacam ini sudah terjadi. Ada dikotomi antara mahasiswa penciptaan karya seni dan mahasiswa kajian seni. Sampai hari ini, mayoritas mahasiswa memilih fokus penciptaan karya seni untuk tugas akhir kelulusannya. Sekarang saya akan paparkan kondisi terkini. Kejadiannya, yang bisa diserap oleh industri pada umumnya adalah mahasiswa yang memilih tugas akhir penciptaan atau karya seni. Situasi ini membuat para mahasiswa punya keyakinan bahwa kuliah filem identik dengan tugas akhir penciptaan atau harus punya karya—karya yang akan menjadi portofolio mereka kelak. Di titik inilah terjadi ketidakseimbangan di kalangan mahasiswa, antara memilih tugas akhir pengkajian (atau skripsi) dan tugas akhir penciptaan karya seni. Meski sebenarnya kondisi seperti ini juga dibangun dari keyakinan atau dugaan dari mahasiswa kebanyakan bahwa mereka yang mengambil tugas akhir skripsi adalah mahasiswa-mahasiswa yang hanya ingin lulus cepat dan mendapatkan ijazah, atau tidak ingin repot, tidak ingin berproses secara maksimal. Mungkin pandangan ini ada benarnya, karena saya juga sempat berpikir seperti itu saat saya kuliah. Meski sepengetahuan saya, alasan mengapa pandangan itu bisa ada adalah karena mahasiswa yang memilih pengkajian cenderung tidak terserap di dunia kerja. Mahasiswa


dengan skripsi selalu bekerja di bidang-bidang yang tidak terkait dengan dunia filem. Mereka kemudian lulus dan setelahnya akan bekerja di bank atau di bidang-bidang lainnya yang tidak ada kaitannya dengan filem. Itu terjadi karena mereka bertujuan untuk bisa cepat lulus dan mendapatkan ijazah. Sedangkan, mahasiswa penciptaan mengalami proses berkarya yang punya begitu banyak lika-liku masalah. Ada yang harus mengumpulkan modal, mengumpulkan teman-teman yang bisa diajak kerja secara kolektif. Sementara, mahasiswa yang mengambil tugas akhir skripsi tidak mengalami proses itu. Mereka berproses secara cepat dan mungkin instan. Padahal, karya skripsi, menurut saya, ada di posisi yang sama pentingnya dalam ekosistem perfileman, meski sangat disayangkan umumnya skripsi diselesaikan secara tidak maksimal. Kembali alasannya adalah untuk segera memenuhi syarat dalam memperoleh ijazah. Pada akhirnya, meskipun skripsi itu selesai, tidak ada kontribusi yang bisa diberikan pada dunia perfileman. Pemahaman semacam ini lah yang berkembang di mahasiswa. Dan jika kita melihat situasinya sekarang, mungkin teman-teman juga mengetahui, semua yang menjadi pengkaji filem itu rata-rata bukan dari teman-teman yang lulus dari studi kajian filem. Saya melihat, orang-orang yang kuliah filem itu, mereka tidak mempunyai keinginan atau bayangan untuk menjadi pengkaji filem saat mereka mendaftar ke sekolah filem. Ketika mendaftar ke sekolah filem keinginan mereka adalah menjadi sutradara atau menjadi pekerja filem yang membuat filem, bagian dari tim produksi filem. Bukan secara spesifik berniat untuk mengambil peran sebagai pengkaji filem. Tradisi ini, sampai sekarang masih terjadi. Sehingga, mungkin kita dapat menyimpulkan, jika di sekolah filem ada program studi pengkajian filem, program itu dibuat hanya sebagai salah satu syarat struktural kampus. Ini yang membuat proses perkuliahan tidak berjalan dengan baik. Bahkan, tradisi menganalisa filem tidak tumbuh di mahasiswa. Saya ambil contoh di ISI Padangpanjang, penciptaan filem tidak selalu diiringi dengan diskusi-diskusi untuk membicarakan tentang konten filem yang diciptakan. Setelah selesai dengan filem ciptaannya, yang diputar atau didistribusikan ke berbagai tempat, tidak ada evaluasi atau tidak ada iklim untuk mengkritisinya. Kebiasaan ini yang menjadikan mahasiswa atau calon-calon mahasiswa tidak berpikir untuk mendalami kajian filem. Itu kondisi yang saya lihat, sekali lagi, khususnya di Padangpanjang. Meskipun saya juga melihat situasi di ISI Yogyakarta juga serupa, ini setelah saya sempat berdiskusi dengan beberapa dosen di sana. Perbandingannya barangkali 70:30—antara penciptaan filem dan kajian filem. Kurang lebih di ISI Solo juga demikian adanya: mahasiswa penciptaan karya lebih mendominasi daripada mahasiswa kajian filem. Dan sayangnya, mahasiswa filem juga punya keyakinan yang seperti itu, bahwa mahasiswa filem harus


mampu menghasilkan karya filem. Kemungkinan yang terjadi ke depan adalah, ada yang tidak berjalan secara beriringan antara proses di lembaga pendidikan filem—khususnya di tingkat S1—dengan semangat mahasiswa dan industri filem yang berlangsung. Jadi, tidak ada kesinambungan antara sekolah filem, minat mahasiswa yang menjalankan proses belajar atau yang terlibat dalam iklim kreativitas itu, dengan situasi di industri filem. Begitu saya melihatnya, dan saya harap kondisi di sekolah filem akan lebih baik ke depannya. Cukup sekian, dan saya harapkan ini bisa kita bicarakan dengan teman-teman mahasiswa semuanya. Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Moderator Yak terima kasih pada Mas Choiru. Ini memberikan tambahan tentang kecenderungan yang terjadi di dalam lingkungan kampus atau di lingkungan sekolah filem tentang lebih cenderung pada untuk menciptakan filem atau membuat filem dibandingkan dengan kajian filem. Mungkin nanti bisa kita diskusikan lebih jauh, teman-teman bisa memberikan tanggapan tentang itu juga. Pembicara kedua adalah Mas Kus Sudarsono. Ia akan menampilkan slide powerpoint. Secara umum dia akan mencoba menawarkan modus pendidikan yang sedang coba dikembangkan di UMN lewat e-learning atau kursus atau belajar sinema, belajar filem lewat platform online. Kepada Mas Kus, dipersilahkan

Kus Sudarsono Oke! Kami dari UMN mencoba melihat ke depannya seperti apa, karena temanya adah Pendidikan Filem – Masa Kini dan Masa Mendatang, mungkin saya akan berbicara sedikit, masa depan pendidikan filem itu seperti apa. Sekarang sudah revolusi industri 4.0, terus efeknya apa kepada kami? Banyak yang memprediksi pada tahun 2030 nanti, profesi dosen itu akan hilang, jadi kasihan kita-kita di depan ini akan hilang dalam waktu dekat dan mungkin akan digantikan dengan internet. Asumsi orang-orang seperti itu: online learning dan segala macam. Kami di UMN mencoba mendisrupsi kami sendiri. Kami mencoba berpikir, apa, sih, efek dari revolusi industri ini terhadap pelajaran, terutama filem, yaitu prodi kami‌? Kita ngomongnya di Indonesia, ya! Indonesia itu gede banget, luas banget, dan akses internetnya sudah luar biasa. Data tahun lalu menunjukkan, ada 143 juta orang yang sudah punya akses ke Internet. 143 juta itu gede banget, dihitung-hitung, ya! Dan perkembangannya itu, dari tahun ke tahun, selalu


naik. Hampir setiap tahun, ada sekitar 10%, dan 10% dari 143 juta itu, luar biasa, ya! Nah, gimana, sih, internet ini mengubah edukasi, terutama di industri filem? E-learning sekarang itu berubah jadi ada tiga. Yang awalnya adalah adjunct, yaitu traditional face to face —ada dosen, ada mahasiwa, dan mereka ngobrol, belajar, dan segala macam. Kemudian, ada mixed atau blended, di mana offline dan online itu digabung menjadi satu. Dan yang terakhir adalah fully online. Nah ini kontinum. Kenapa kontinum? Karena, sudah tidak ada lagi sekatsekat yang spesifik. Semuanya berjalan dengan interaksi antara online dan offline. Apakah yang tradisional itu tidak memakai cara online? Tidak juga, mereka masih memanfaatkan teknologi. Sampai yang fully online, itu adalah kontinum. Ada dua cara mengajar, yaitu sinkron dan asinkron. Sinkron adalah, misalnya, pada saat yang bersamaan saya berada di sini, kemudian saya memberikan kuliah pada mahasiswa saya di UMN atau di mana pun juga, tidak harus di UMN, secara bersamaan. Saya ngomong, mereka mendengarkan. Saya bertanya, mereka bisa menjawab, itu sinkron. Kalau asinkron adalah, saya menyiapkan materi-materinya, seperti materi ajar, tugas, dan segala macam. Saya sampaikan di online. Saya taruh di online learning-nya, anak-anak bisa mengakses kapan pun mereka bisa. Tidak perlu di saat yang bersamaan. Itu asynchronous e-learning. Jadi, ada dua cara untuk menyampaikan e-learning, ada sinkron dan asinkron. Nah, di Indonesa, gimana, nih? Indonesia sebenarnya sudah cukup mengantisipasi ini. Sekarang sudah ada yang namanya PJJ, Pendidikan Jarak Jauh. Bahkan, sekarang sudah ada prodi-prodi yang sudah fully online. Tentu contoh terbaiknya adalah Universitas Terbuka1. Universitas Terbuka sudah sekian lama melakukan hal tersebut. Itu sudah disetujui. Nantinya akan ada prodi-prodi yang hanya online saja, itu sudah disetujui oleh RISTEKDIKTI. Dari RISTEKDIKTI, itu ada yang namanya PEDATI, yaitu Pelajari, Dalami, Evaluasi, dan Terapkan. Ini singkatan yang sangat PNS sekali, ya, PEDATI…?! Jadi, ada empat hal—kalau Anda belajar online atau Anda bikin kelas online—empat hal ini harus ada di metode pengajaran Anda. Yang “Pelajari”, Anda harus punya materi atau video, audio, berupa kuliah yang direkam, ataupun materi yang bisa disampaikan di sana. Kemudian, ada forum, yang ada di setiap kuliah. Forum ini biasanya [tempat] diskusi antara mahasiswa 1 \ Universitas Terbuka sepenuhnya menggunakan mode pembelajaran pendidikan jarak jauh. UT telah dirancang untuk menjadi universitas yang fleksibel dan murah yang berfokus pada melayani orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk menghadiri mode tatap muka sistem pendidikan tinggi karena berbagai kendala, termasuk kurangnya dana, tinggal di daerah terpencil dan pedesaan, dan bekerja serta komitmen lainnya. Sistem UT terus berevolusi dan meningkatkan dalam hal sistem pengajaran dan pembelajaran, manajemen, dan layanan dukungan bagi siswa. Dengan demikian, posisi UT saat ini tidak hanya mencerminkan perkembangan dan pencapaiannya di masa lalu, tetapi juga arah masa depan dalam konteks kebutuhan peserta didik dalam masyarakat Indonesia. –Peny


dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan dosen. Forum ini, apa, ya…? Kalau Anda ingat zaman-zaman kaskus, ya, mirip kayak gitu. “Oke, Gan…?!”. Ya, hal-hal seperti itu, membahas topik-topik tertentu. Misalnya, suatu topik dilempar oleh dosen, membicarakan filem Koki-Koki Cilik-nya Mas Ifa Isfansyah. 2 Dengan informasi tersebut, mahasiswa bisa saling berinteraksi antarmahasiswa sendiri, ataupun dimoderasi oleh sang dosen. Kemudian, ada “Evaluasi”. Di setiap materi, di setiap pembelajaran, harus ada evaluasinya. Ada sesuatu yang di-assess di sana, ada sesuatu apakah itu berupa tugas, berupa kuis, berupa laporan. Harus ada yang di-assess. Semuanya diterapkan secara online. Jadi, ini adalah rujukan yang harus kita capai di kampus kami maupun di mana pun juga. Karena ini adalah prinsip yang harus diterapkan dan sesuatu yang diikuti jika mau mengajar secara online atau e-learning. Jadi, ini harus ada di silabusnya. Ini berita sedih, bahwa di Indonesia, ada 29.250 perguruan tinggi tapi sekolah filemnya hanya ada tujuh belas. Ini data-data dari Forum Laporan Perguruan Tinggi, ya, katanya ada 17 sekolah filem. Kenapa e-learning penting bagi pendidikan filem? Ya, ini, cuma 17 dari 29.000 perguruan tinggi. Sedih, angkanya, sedih banget! Kalau mau orang mengakses yang lebih luas dalam waktu yang cepat, ya, mesti di-online-in, se-simple itu, sih…! Karena, saat ini, mereka yang belajar filem adalah orang-orang yang punya kemampuan finansial lebih atau kemampuan inteligensia yang lebih. Karena, rata-rata, universitas negeri atau universitas swasta, ya, biayanya lumayan, ya…?! Karena cuma ada 17, platform online bisa menjadi jawaban. Bayangkan, kalau ada yang bisa di-online-kan, 143 juta orang tadi, yang punya akses ke internet, bisa belajar di sekolah filem, belajar filem. Terus, gimana kalau di UMN? Ini studi kasus di kami, ya: ngajarin filem itu, ternyata, setelah kami pelajari, tidak bisa semua full online. Kenapa? Karena di filem ada teamwork. Di filem ada diskusi. Di filem ada alur produksi. Di filem ada hal seperti itu yang agak susah untuk di-online-kan. Belum lagi kalau kita ngomongin estetika. Filem bagus, menurut Anda, belum tentu filem bagus menurut dosen, misalnya. Nah, saat ini, kita mengajar menuju blended learning, antara offline dan online. Itu kita gabungkan menjadi satu. Itu dirancang dari awal, dari silabusnya. Ya, ini contohnya, situs e-learning kami, di kampus kami, http://elearning. umn.ac.id. Ini adalah mata kuliah studio, Studio 1. Studio 1 itu berarti basic filmmaking, isinya seperti itu (merujuk ke slide). Yang coba kami lakukan adalah: hal-hal yang harus disampaikan secara 2 \ Koki-koki Cilik merupakan film drama anak Indonesia yang dirilis pada 2018 dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. (Lihat Kusuma, Mawar (15 Juli 2018). “Mimpi Masak di Bioskop”. Kompas. Hlm.17).


teori itu dilakukan secara online. Jadi, ngomongin bikin script, ngomongin soal struktur organisasi, ngomongin soal teori-teori, itu dilakukan secara online. Nah, di waktu offline, baru mereka diskusi dengan dosennya, baru mereka diskusi dengan teman-temannya. Baru mereka diskusi bersama untuk bikin karyanya. Tapi, untuk teorinya, segala macam, dilakukan secara online. Sehingga, waktu belajarnya juga lebih efektif. Jadi, mereka tidak boleh datang ke kelas kalau belum menyelesaikan ini. Contohnya, ngomongin scriptwriting. Maka, akan ada video di sana, akan ada textbook di sana, akan ada materi Powerpoint dan PDF di sana mengenai hal tersebut. Nah, karena tadi harus ada PEDATI, maka kita juga harus menciptakan tugasnya. Kita harus menciptakan assessment-nya seperti apa, kita juga menciptakan forumnya seperti apa. Sehingga, ini akan menjadi suatu kelas yang proper, tergantung dengan capaian pembelajarannya seperti apa. Jadi, kalau kita lihat di slide, di bagian sebelah kiri website adalah silabusnya. Setiap minggu sudah ada rencana studinya. Week 1, isinya pendahuluan, bentuk filem, kuis 1, produksi, diskusi, kuis 2, dan seterusnya. Itu satu week. Sekali pertemuan, isinya akan seperti itu. Kemudian, week 2, week 3, sampai week 4. Ini menghemat energi para dosen juga untuk mengulang hal yang sama. Tentunya nanti ada proses refreshment di kelas. Di sini harusnya mereka sudah baca sebelum kelas. Seharusnya mereka bisa menguasai modul sebelum kelas. Sebenarnya, ada masalah menarik, cuma tidak bisa saya tayangkan di sini (di slide—ed.), di video itu, ada kuisnya. Misalnya, di suatu video, saat saya tengah berbicara, video akan berhenti di menit ketiga dan akan menampilkan kuis. Anda tidak akan bisa lanjut ke menit keempat kalau belum menyelesaikan kuisnya karena itu bisa dievaluasi. Jadi, setiap materi selalu ada tugasnya, ada kuisnya. Mestinya itu tidak di UMN doang. Kenapa? Karena software tadi, yang barusan saya jelaskan itu, gratis, bisa diakses oleh semuanya, namanya MOODLE.3 MOODLE ini adalah online platform, ini gratis untuk seluruh dunia. Jadi, mestinya, semua lembaga pendidikan bisa mengakses ini secara gratis. Ya, tentu perlu pengetahuan tentang IT dan programming, segala macam, tapi paling tidak basic-nya gratis dan bisa diakses oleh seluruh orang. Jadi, apakah [e-learning] mesti mahal‌? Nggak, karena basic-nya aja gratis, kok! Anda bayangkan, kalau semua institusi melakukan hal yang sama, akan 3\ “Moodle (Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment) adalah platform open source dan

courseware online yang berjalan di bawah semua sistem operasi utama. Dikembangkan oleh Martin Dougiamas di Curtin University di Australia, Moodle menyediakan semua alat yang diperlukan bagi para pendidik untuk membuat ruang kelas virtual melalui Internet.� (Pengertian ini dikutip dan diterjemahkan dari https:// encyclopedia2.thefreedictionary.com/Moodle).


mudah banget, ya, 143 juta orang tadi untuk belajar filem…?! Akan mudah banget, orang yang tadinya nggak punya akses, minimal bisa belajar basic filmmaking, deh…! Minimal, mereka punya referensi belajarnya, minimal punya referensi filem yang bagus itu seperti apa. Itu yang minimal kita coba capai dengan online course ini. Buat sekarang, saya pribadi dengan 2 dosen lainnya—tahun lalu kita mendapatkan hibah DIKTI, dari hibah DIKTI penelitian—akan mengampanyekan ini. Mungkin tahun depan, kalau kita sudah selesai, kita akan punya website yang memberikan online learning untuk basic filmmaking. Doakan lancar, ya, Bapak dan Ibu…! Semoga bisa ada pendidikan basic filmmaking gratis berbahasa Indonesia yang bisa diakses oleh semua orang di Indonesia. Oke, terima kasih, Bapak, Ibu!

Moderator Yak terima kasih pada Mas Kus, kita langsung aja ke Mas Ifa untuk menyampaikan makalahnya.

Ifa Isfansyah Terima kasih atas waktunya, selamat siang teman-teman semua! Saya Ifa Isfansyah, saya pembuat filem dan juga penggagas Jogja Film Academy. Sebelumnya, terima kasih untuk ARKIPEL yang sudah membuat forum ini dan menunjuk kami untuk sharing tentang pendidikan filem. Mungkin saya akan awali dengan sedikit bercerita awal mula kenapa lahir Jogja Film Academy. Bicara tentang era digital, bahwa sebuah ruang pendidikan filem yang memang benar-benar lahir dari era ini—mungkin saat awal-awal revolusi teknologi, revolusi digital ini mulai—di akhir-akhir tahun 90-an, di Jogja, banyak sekali anak-anak muda yang menggunakan kamera sebagai medium mereka untuk berekspresi. Mungkin karena juga secara ruang, karakter kota ini, memang ada banyak sekali anak-anak muda beraktivitas, berkomunitas dengan berbagai macam karakter. Teknologi [video] ini muncul di saat kamera yang tadinya adalah sesuatu yang sangat terbatas, sangat eksklusif, dankomputer yang tadinya cuma bisa buat ngetik, sekarang bisa buat memotong gambar dan lain sebagainya. Kemudian, banyak sekali anak-anak muda yang, di tahun-tahun itu, mulai menggunakan kamera ini, termasuk di antaranya, saya dan teman-teman yang lain. Nah, ketika itu berkembang, ya, bisa dibilang sepuluh tahun kemudian baru terasa impact-nya. Banyak sekali karya dihasilkan, dan tidak hanya semuanya berfokus pada produksi filem. Ada yang memang concern pada apresiasi filem, distribusi filem, dan sebagainya. Yang kemudian, sepuluh tahun itu


sudah bisa dibilang, dalam tanda kutip, menciptakan sebuah kultur baru di Jogja: budaya sinemanya sendiri. Dan itu yang menurut kami terjadi begitu cepat, dan saya yakin budaya-budaya ini bukan budaya baru. Yang saya tahu, bahkan sebelumnya Jogja juga sangat dekat dengan sinema itu sendiri. Beberapa pembuat filem berproses di Jogja. Kemudian ada ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film). Dan dari situ akhirnya muncul kekhawatiran, muncul kegelisahan, bahwa di saat satu generasi ini, generasi digital ini, yang kemudian memilih filem, yang telah berproses ini, ada kekhawatiran bahwa, apa ruang untuk kemudian mendokumentasikan ilmu ini, atau kalau tidak jadi bidang ilmu, bagaimana mendokumentasikan pengalaman ini. Bagaimana mendokumentasikan budaya yang baru ini. Bahkan, ada kekhawatiran bagaimana di saat budaya ini hilang, di saat kita belum sempat mendokumentasikan, belum sempat menularkan kepada generasi-generasi yang selanjutnya. Karena memang itu yang kami rasakan, bahwa proses ataupun budaya filem yang dulu ada di Jogja ini sangat terputus dengan yang ada di masa sekarang. Itu yang tidak kami inginkan. Memang banyak sekali ruang-ruang pendidikan yang nonformal, seperti workshop, yang berusaha menyalurkan dan menularkan pengalamanpengalaman dan ilmu ini. Akan tetapi, menurut saya dan beberapa teman, kita merasa bahwa sekolah formal adalah satu-satunya ruang yang sangat tepat dan bisa kontinyu. Kemudian, kita bisa melakukan upaya untuk pendokumentasian dan upaya untuk meneruskan kultur ini. Kemudian Jogja Film Academy lahir dan digagas, sebagai bentuk tanggung jawab kami yang merasa harus membutuhkan ruang untuk pendokumentasian. Itu kenapa, kemudian, sistem yang kita buat, sistem yang kita rencanakan, benar-benar sistem yang mengacu ke itu semua. Bahwa, ini adalah sebuah zaman di mana muncul teori-teori baru, muncul perspektif baru, muncul gagasan-gagasan baru, muncul sistem produksi baru. Karena, apa yang terjadi di Jogja, sistem produksi, kemudian mungkin bisa dibilang sistem distribusi, bukan hanya berbeda tetapi juga sangat berpengaruh dengan lokasi di mana budaya itu tumbuh. Jadi, budaya sinema ini pasti akan berpengaruh dengan di mana dia muncul. Maka saya pikir sekolah menjadi ruang yang sangat tepat untuk memunculkan hal-hal tersebut, untuk menjawab tantangan-tantangan yang baru ini. Kami merencanakan sekolah ini menjadi sebuah ruang pendidikan yang formal. Karena kami percaya kalau itu satu-satunya cara untuk membuat ini terus kontinyu. Dan prosesnya ternyata tidak mudah. Itu yang sekarang sedang terus diperjuangkan, bagaimana kurikulum yang dibuat ini dapat mendukung iklim dan mendukung karakter-karakter yang tadi saya sebutkan


di awal. Jadi, beberapa sistem dan prinsip belajar kita jalankan, kita upayakan, dengan dasar yang tadi saya ceritakan. Kemudian, kita melakukan, mencari prinsip-prinsip apa yang coba kita terapkan dalam proses belajar-mengajar. Dan terutama, yang jelas, kita ingin sekali bahwa pengajar ini adalah sumber dari ilmu itu sendiri. Buku tentu saja menjadi sangat penting untuk pegangan-pegangan teknis. Tapi sangat penting bagaimana pengajar merupakan ilmu yang memang mempunyai pengalaman untuk kemudian bisa ditularkan pada generasi-generasi selanjutnya. Itu kenapa kemudian proses-proses pembuatan filem, proses-proses produksi, dan aktivitas filem lainnya menjadi sangat penting. Karena pengalaman yang ada di lapangan ini sendiri, atau sistem-sistem distribusi yang ada, menjadi cukup penting dalam upaya pendokumentasian dan untuk membuat pengalaman ini terus ditularkan. Yang kedua tentu saja karakter anak-anak muda yang sangat dekat dengan teknologi digital ini. Kita ingin sekali menjadikan sistem belajar yang ada dapat melampaui kapasitas mereka, melampaui batas kemampuan yang mereka miliki. Mereka sudah sangat terbiasa dengan peralatan-peralatan yang ada, sangat terbiasa membuat karya sehingga pada saat belajar mereka langsung mempraktikkan pembuatan karya-karya filem. Dan itu memang karakter anak-anak muda. Tapi bagaimana itu didorong lagi agar mereka tahu bahwa sebenarnya ada kemampuan yang harus diperjuangkan lagi. Agar mereka terus menggali lagi dan melampaui batas-batas yang menurut mereka selama ini sudah cukup. Ini memang tidak mudah, dan akan terlihat sekali mana yang benar-benar ingin berproses dengan cara seperti itu dan mana yang sudah cukup dengan kemampuan yang mereka miliki. Karakter selanjutnya yang kita lihat adalah, bahwa, sekarang referensi sangat gampang didapat. Artinya, anak-anak muda yang ingin membuat filem sangat mudah mendapatkan referensinya di internet dan sebagainya. Mereka datang dengan sesuatu yang sudah mereka pegang. Ada sutradara yang mereka suka; ada filem yang sudah sangat mereka suka. Kita berusaha untuk masuk dengan apa yang sudah mereka punya, kemudian kita bahas lebih lanjut agar kemudian terbuka lagi referensi-referensi yang lain. Yang cukup disiplin kita terapkan adalah bagaimana proses belajar secara teknis ini kita pisahkan dari proses mencipta, dari berkarya. Mungkin hal kayak gini sudah menjadi kebiasaan dalam belajar ketika melihat temanteman, misalnya anak-anak muda yang belajar musik. Saat belajar bermain gitar, yang pertama dilakukan adalah tahu chord-nya, terus kemudian belajar, terus kemudian menirukan lagu orang lain, meng-cover, meng-copy lagu orang lain sebanyak-banyaknya, sampai kemudian baru berani menciptakan lagu sendiri. Tapi kecenderungan anak-anak dengan kamera sekarang ini


adalah, pada saat masih belajar teknisnya pun, mereka ingin sekali untuk segera mencipta. Segera membuat cerita sendiri, segera ingin langsung berkarya, punya filem, untuk disebut kameraman, sutradara, dan sebagainya. Itu yang memang berusaha kita pisah. Bahwa, tugas-tugas yang kita berikan adalah tugas-tugas yang bahkan, bisa dibilang, banyak sekali kita menonton filem, banyak sekali kita menganalisa filem, banyak sekali kita me-remake atau mereka ulang adegan dari filem tertentu, untuk sampai kemudian di tugas akhir, itu baru pertama kali mereka benar-benar “dalam tanda kutip� mencipta karya mereka, membuat cerita. Jadi, sebelumnya, banyak sekali adaptasi, banyak sekali belajar-belajar yang sifatnya sangat teknikal. Itu ada hubungannya juga dengan mental dan attitude. Banyak teman-teman masuk sekolah filem dengan perspektif dan dengan mental bahwa mereka sudah membuat filem. Mereka sudah menjadi sutradara, mereka sudah menjadi kameraman, menjadi editor, dsb. Karena memang sekarang sangat gampang sekali. Teknologi ini sudah gampang sekali diterapkan dan itu berpengaruh sekali pada mental. Dan itu yang berusaha kita ubah, berusaha kita hancurkan. Bahwa, sebenarnya, proses belajar menjadi sutradara, proses belajar menjadi tim, elemen yang lain itu, berbeda sekali. Ada proses belajarnya, ada tahapnya. Itu kenapa kemudian sistem-sistem itu kita coba terapkan, agar temanteman ini punya mindset dan mempunyai attitude yang baik dalam menyikapi teknologi ini. Karena memang, sekarang ini adalah era mereka. Tapi banyak sekali presentasi, banyak sekali kita menganalisa untuk membaca, menonton, banyak sekali kita menyadarkan, bahwa aktivitas menonton filem ini sebenarnya merupakan aktivitas yang sama dengan membuat filem. Banyak yang hanya suka membuat filem tetapi sama sekali tidak suka menonton filem. Jadi, sebenarnya, itu yang menurut kami, sekolah, adalah ruang yang, bukan satu-satunya ruang, tapi ruang yang sangat tepat untuk membuat itu menjadi lebih efektif, membuat itu menjadi lebih disiplin. Jadi, itu sedikit tentang Jogja Film Acedemy yang bisa saya sampaikan. Terima kasih!

Moderator Dari presentasi ketiga pembicara tadi kita cukup banyak mendengar tentang kecenderungan sekolah filem, dan bahwa tradisi yang dibangun di sekolah filem adalah wilayah penciptaan atau produksi karya. Bahkan termasuk juga pada presentasi dari Mas Kus tentang upaya untuk mencoba mengeksplorasi gaya pembelajaran melalui platform online. Bagi saya sendiri, yang kemudian terpicu, pertanyaannya adalah, kalau misalnya kita mencoba mengaitkan diskusi ini dengan panel kedua dan panel pertama tadi soal kritisisme kita


di wilayah perfileman atau imajinasi kita tentang pengembangan estetika penciptaan filem, apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang berbeda ini, misalnya di ISI Padangpanjang, kemudian di UMN dengan kurikulum platform online-nya, dan respons terhadap era digital yang diajarkan di Jogja Film Academy, memengaruhi perubahan, atau apakah memberikan pengaruh tertentu di wilayah penciptaan filem? Misalnya, kalau sekarang saya, sebagai orang yang hidup di generasi milenial, mempelajari estetika, mempelajari sejarah filem itu sangat mudah sekali, tinggal klik YouTube, tutorial filem atau tentang sejarah filem; mau tahu tentang estetika Kurosawa, tinggal klik di YouTube. Itu sudah berbeda bentuk pengalaman mencari referensi. Nah, ketika itu diterapkan dalam konteks pendidikan di wilayah lembaga formal ataupun alternatif yang mencoba men-declare posisinya sebagai lembaga pendidikan, ketika gaya itu diadaptasi, apakah itu memberikan efek signifikan terhadap output yang kemudian dibayangkan oleh para penyelenggara pendidikannya? Mungkin itu pertanyaan dari saya kepada para pembicara, mungkin bisa ditanggapi terlebih dahulu sebelum kita melemparkan kesempatan pada audiens. Mungkin Mas Ifa mau menjawab duluan?

Ifa Isfansyah Kalo menurut saya, memang, ruang pendidikan filem ini bisa dibilang, apa ya, ruang yang memang bisa membuat semua proses itu menjadi tersistematis, menjadi terencana, menjadi lebih efektif. Jadi, memang benar sekarang ini adalah era yang informasi apa saja ada, bahkan bisa dibilang too many informations yang bisa didapat. Tapi tidak semua orang bisa menyikapi ini dengan bijak. Bahkan, justru “tidak ada informasi� itu juga sama bermasalahnya dengan “kebanyakan sekali informasi�. Memang benar, untuk bisa membaca kita tidak perlu sekolah. Tapi sekolah adalah ruang di mana semua diatur dan ada sistem yang harus dijalani. Ada jadwalnya, ada disiplinnya, yang membuat semuanya lebih terencana dan ada tujuan yang mau dicapai. Jadi, menurut saya, justru, sistem pendidikan yang bisa menggabungkan keduanya menjadi lebih efektif. Seperti tadi saya dengar, di UMN, sebenarnya E-learning ini pun ada website yang free dan sebagainya; ini adalah informasi-informasi yang bahkan bisa dilihat dari perspektif yang, bagi sekolah, mungkin, ya, udah enggak penting lagi. Tapi, saya pikir, buat saya sekolah adalah ruang yang penting untuk membuat kita jadi lebih disiplin. Misalnya, untuk saya yang sangat ingin mengerti tentang proses pembuatan filem dan sangat ingin menjadi pembuat filem dan belajar dari berkomunitas, seperti saya dan teman-teman lain, mungkin bisa membutuhkan waktu sampai puluhan tahun atau 10 tahun. Nah, ada


program yang memang dirancang untuk 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 5 tahun, untuk membuat semuanya menjadi lebih efektif Saya rasa, salah satu fungsinya di situ. Jadi, memang informasi itu sudah ada di era digital ini, tapi bagaimana kemudian sekolah harus menjalankan fungsinya untuk mendisiplinkan itu. Itu tanggapan dari saya.

Moderator Mungkin Mas Kus‌? Terutama, soal output‌?

Kus Sudarsono Pertama, dari hasil kajian kami, belajar filem itu tidak bisa fully online untuk saat ini karena di situ harus ada teamwork. Kemudian kita harus belajar pipeline-nya. Pipeline ini yang tidak bisa digantikan secara online. Kalau Anda belajar sendiri, Anda bisa jadi kameraman yang sangat jago. Akan tetapi nanti giliran bertemu dengan editor, harus membagi file-nya seperti apa, dan segala macam lainnya, itu hal yang berbeda lagi. Anda bisa jadi seorang sutradara yang jago, sendirian. Tapi begitu bertemu klien, nggak bisa ngomong apa-apa, itu juga susah. Nah, kawah candradimuka-nya, ya, sekolah. Betul, kata Mas Ifa tadi, sekolah masih menjadi sebuah bagian penting dari pendidikan filem. Soal efeknya kepada mahasiswa, saya terus terang, di UMN, itu kembali ke masing-masing mahasiwanya, karena kita menawarkan sebuah skema atau sebuah platform pendidikan, tapi output-nya kembali ke mahasiswanya. Kalau mahasiswanya seperti Mas Zikri, misalnya, bisa lari, segala macam. Tapi di kampus kami juga masih ada mahasiswa-mahasiswa yang alasan masuk ke sekolah filem, ya, karena enggak pengen ketemu matematika, fisika, kimia. Sesederhana itu mereka masuk ke filem. Mahasiswa yang seperti ini nggak bisa kita harapakan hasilnya maksimal. Mereka-mereka ini, ada yang bisa sukses, dan ada yang bisa gagal di tahun pertama, itu banyak juga yang gagal mahasiswa-mahasiswa seperti itu. Kalau dari output di tugas akhir dan segala macam, saya rasa hasilnya sama, ya. Di semua kampus pun, ada yang bagus, ada yang jelek. Kalau saya lihat efeknya pada mahasiswa, saya rasa, sih, mereka jadi lebih melek teknologi, ya, kalau ngomongin tadi, online learning, segala macam. Tetapi, secara taste, secara estetika, segala macam, mereka diajarin, tetapi tidak semuanya bisa menyerap hal yang sama.


Choiru Pradhono Menurut saya, sekolah masih penting. Soal pintar atau tidak, itu urusannya memang ke mahasiswa, tapi ada tradisi di sekolah yang tidak bisa dicapai selain kita ada di sekolah. Misalnya, seperti tradisi untuk saling berkumpul dan berbagi. Itu masih didapatkan di sekolah-sekolah walaupun kita bisa mengakses informasi sekarang dengan sendiri-sendiri, kita akan jadi pintar sendiri. Akan tetapi, dengan adanya sekolah, ada tradisi berkumpul dan berbagi, itu yang bisa saling memintarkan sesama teman-temannya dan tidak menjadi individual. Kalau saya, kebiasaan-kebiasaan untuk berbagi, untuk berkumpul itu yang harusnya didapatkan di sekolah. Kita, sebagai pengajar atau dosen, menurut saya, bukan hanya untuk berbagi ilmu, untuk membuat pintar, tapi juga bagaimana bisa memotivasi. Ini bisa dicapai dengan bertemu. Tadi jawabannya Mas Dodo soal blended itu, ada yang online, tapi juga tetap harus ada yang berkumpul. Itu keuntungannya kalau bertemu langsung, dosen bisa memotivasi mahasiswanya dengan bertatap muka, yang mana lebih punya arti bagi mahasiswa, bukan masalah pintar atau tidak pintarnya. Mungkin, menurut saya, sekolah masih penting, walaupun dengan metode-metode yang baru, seperti yang disampaikan Mas Dodo tadi.

Moderator Ya, langsung saja saya lemparkan kesempatan pada teman-teman yang ingin bertanya. Kevin, Hafiz. Yak, Kevin dulu! Mohon sebutkan nama, kemudian perwakilan dari komunitas mana.

Kevin Aldrianza (Blurg! Project) Saya Kevin dari Jogja membawa komunitas Blurg! Project dari majalah Jogja. Kebetulan saya mahasiswa dari Seni Media Rekam ISI Jogja. Sebenarnya, saya ingin menambahkan [pendapat] dari Mas Choiru tadi soal pengalaman saya kuliah di sekolah filem. Sekarang, tahun 2018, saya dan teman-teman angkatan 2014 mau mengerjakan tugas akhir. Yang mau saya utarakan mungkin lebih ke mahasiswa sekarang ini yang lebih banyak memilih penciptaan. Di angkatan kami, ada 190-an anak, dan pengkajian hanya sekitar 15-20 orang. Ini sebenarnya saya ingin mengutarakan pendapat dan pengalaman saya sebagai mahasiswa pengkajian. Di kampus ISI itu, kebanyakan materi yang diberikan dari kampus itu mengenai penciptaan dan produksi, sedangkan pengkajian mungkin hanya sekitar 20-30% dari 100%. 70% itu produksi. Maka mungkin timbul pemikiran bahwa penciptaan itu lebih banyak karena materi soal produksi lebih


banyak diberikan. Sedangkan materi pengkajian hanya analisis isi, analisis biasa sehingga tidak seperti atau bukan mahasiswa filem. Sebenarnya, itu menimbukan sedikit pernyataan satir dari saya: apakah di pendidikan filem di masa mendatang pengkajian itu masih diperlukan? Padahal, di pengkajian, kan, bisa muncul teori-teori baru soal filem. Dan mungkin di kampus ISI sendiri pengkajian filem sangat terbatas, hanya sekadar untuk melihat teknis dalam filem, gaya dalam filem. Gaya dalam filem pun sebenarnya juga dibatasi. Dan untuk mengkaji filem ini juga ada suatu batasan yang dibuat dari kampus untuk mengkaji filem-filem baru saja dan lebih baik filem-filem di bioskop, sedangkan filem alternatif masih belum bisa.

Moderator Terima kasih Kevin. Langsung saja ke Hafiz

Hafiz Rancajale (Forum Lenteng) Terima kasih! Sebenarnya ada satu sajian hari ini yang menjadi kurang karena memang ada sekolah yang paling tua di Indonesia, yaitu IKJ tidak hadir. Memang teman-teman panitia Forum Festival sempat menghubungi temanteman di IKJ tetapi tidak ada respon, sayang sekali memang. Penting ada dan menghadirkan IKJ karena sejarah pendidikan filem di Indonesia itu akarnya ada di IKJ. Jadi, kritik kepada panitia, salah satunya itu, karena tidak bisa menghadirkan IKJ. Kedua, buat saya, dari presentasi tiga panelis ini, problem yang paling dasar adalah, yang disampaikan adalah hal yang praktikal. Saya berharap, karena ini sekolah, yang namanya sekolah itu ada cita-cita kebudaayannya, gitu! Cita-cita kebudayaan itu adalah hal yang jauh lebih besar daripada hanya ngomongin penciptaan atau praktik-praktik, e-learning‌, saya nggak masalah itu; itu teknis. Yang namanya pendidikan, ada cita-cita kebudayaannya. Problemnya adalah, pendidikan filem kita ini, sekolah filem kita, kayak sekolah politeknik, dia cuma kayak kursus, orang masuk belajar kamera, belajar sutradara, udah, diserap oleh industri atau oleh televisi. Kita belajar dari sejarah, saya kebetulan memang tahu Ifa dari zaman kuliah, sudah kenal sangat lama sekali. Hampir semua pelaku-pelaku “pentingâ€? di dalam sejarah sinema Indonesia sekarang, baik pelaku sutradaranya, baik produsernya, baik pelaku eksibisinya, baik pelaku kritiknya, itu pada umumnya tidak ada yang dari sekolah seni atau sekolah filem. Yang dari sekolah filem, ya, hampir hanya 10%. Pelakunya siapa? Pasti dari komunitas. Apa tanggung jawab dari sekolah filem? Yang sudah sadar, misal IKJ dari tahun 1970, ISI Padangpanjang mungkin dari delapan atau sepuluh tahun yang lalu, UMN mungkin lima


tahun yang lalu, sekarang Ifa dan teman-teman fourcolours-nya dan Mas Garin bikin Jogja Film Academy, tanggung jawabnya gimana? Karena, kalau di dalam dunia kebudaayan, menurut saya, sekolah filem menjadi institusi yang gede untuk menentukan, mengarahkan ke mana arah filem Indonesia atau filem sebuah negara. Bukan Miles films, bukan apa lah! Bukan itu! Menurut saya, memang, sekolah filemnya yang menentukan. Sampai sekarang, misalnya, kita tidak bisa menemukan jurnal yang diterbitkan oleh sekolah-sekolah filem. Untuk menulis, kalau harapan dari teman tadi dari ISI mengatakan kritik atau pengkajian tidak hidup, jurnal bukan hanya bicara tentang teori dan sebagainya, mungkin tentang hal yang teknis, tapi bicarakanlah dengan jauh lebih akademik, barangkali itu. Kemudian, praktik-praktik eksibisinya, dulu memang di IKJ ada namanya festival filem, namanya saya lupa, festival filem kecil, festival filem 8mm, dan sebagainya, macam-macam. Menurut saya, pada saat itu, peran sekolah sangat signifikan, sehingga akhirnya melahirkan orang-orang seperti Garin Nugroho, Riri Riza; yang menghidupkan itu. Tapi bagaimana sekarang? Sekarang praktik eksibisi pun tidak dilakukan oleh sekolah-sekolah, melainkan komunitas. Seperti Forum Lenteng, Ifa dengan fourcoloursnya, atau di Purbalingga, Bowo dengan teman-teman Cinema Purbalingga (CLC – Cinema Lovers Community). Terus, ini, kemana kampus? Kemana, ini, yang kita sebut sebagai akademisi? Yang sekolahnya sampai S2 dan S3, dsb. Itu bagaimana? Saya sebenarnya berharap di panel ini ada pencerahan, bagaimana akademik, dunia akademisi, melihat pengetahuan filemnya? Saya tidak memisahkan apa itu industri, filem eksperimental, filem alternatif, atau filem independen, saya nggak memisahkan, tapi bagaimana akademisi melihat pengetahuan filemnya? Apakah mereka melakukan hal-hal yang jauh lebih bermain? Saya setuju dengan Ifa bahwa sekolah itu ada aturan-aturan, tetapi aturan-aturan yang bagaimana yang bisa melahirkan orang-orang yang kredibel? Karena saya akan percaya banget, bahwa orang-orang yang keluar dari ISI, dari UMN adalah sarjana. Sarjana adalah orang yang berpengetahuan tentang filem. Tapi bagaimana kita percaya sarjana yang berpengathuan tentang filem, karena seorang sarjana filem sama dengan sarjana hukum, mereka equal. Seorang sarjana hukum, dia hapal KUHP. Apa sarjana filem hapal tentang tata krama dalam filem? Itu pertanyaanpertanyaan paling basic dari panel ini Saya ingin tahu dalam panel ini. Bukan melihat filem itu jelek, tapi mungkin dari perspektif para akademisi, para scholar bisa memberikan pencerahan pada kami, kepada saya yang belasan tahun bekerja di dunia filem, di dunia


kerja-kerja aktivisme, di dunia ini, dan para teman-teman komunitas, temanteman kurator di sini, mungkin mendapat pencerahan. Kan, selalu dilihat bahwa kerja-kerja di dunia ini dunia yang serius, dunia yang pahit, dunia yang nggak mengenakkan, gitu, bahwa dunia yang sepi, dan sebagainya, tapi ini, kan, juga tanggung jawab para akademisi. Jadi, kalau saya lihat bahwa kita hanya bergerak di wilayah praktikal, menurut saya kita tidak akan menemukan orang seperti siapa lah, saya nggak mau mencontohkan Garin Nugroho lagi. Saya tidak bisa menemukan orang seperti Ifa Isfansyah lagi, tidak menemukan seorang Apichatpong, dan siapa pun yang besar-besar. Enam tahun ARKIPEL berdiri dan kita ada International Competition, cuma ada dua kali filem di International Competition-nya, filem Indonesia yang lolos. Itu ada karyanya Wregas sama filem Turah, karya Wisnu. Itu hanya dua yang anak sekolah filem. Menurut saya, kita harus melihat persentase itu, bahwa ini, kan, tanggung jawab sekolah filem, sebenarnya. Sejauh mana praktik-praktik akademik? Praktik-praktik membangun pengetahuan filem di tingkat mahasiswa atau di tingkat belajar filem itu bisa menjadikan mereka berpengetahuan. Kan, sekolah filem itu mahal, katanya, tadi mas Kus bilang. Saya akan bisa mengatakan, ngapain gue buang-buang duit puluhan juta, ratusan juta, untuk akhirnya juga tidak memberikan hal yang signifikan dalam konteks kebudayaan‌?! Terima kasih!

Moderator Terima kasih, Hafiz. Saya rasa tanggapan antara Kevin dengan Hafiz ini cukup esensial, ya! Seperti keluhannya Kevin, misalnya, tentang jumlah mata pelajaran, proporsinya, biasanya selalu diarahkan pada penciptaan, sementara kajian itu malah sedikit. Saya kira, itu menjadi counter pembicaraan tentang bahwa ketika saya tadi bertanya tentang soal apakah modus-modus baru dalam pendidikan ini memang memengaruhi output, pembicara mencoba menanggapinya dengan bilang bahwa itu kembali pada mahasiswanya. Bisa jadi dibalik, jangan-jangan justru universitasnya atau kampusnya yang mensituasikannya seperti itu. Jadi, itu yang saya rasa perlu kita bongkar bareng-bareng atau mengimajinasikan bagaimana kita menyikapi situasi itu. Saya rasa ini perlu ditanggapi.

Ifa Isfansyah Ya, terima kasih! Saya mungkin bersamaan saja, karena mungkin ada hubungan untuk menanggapi ini. Dan saya pribadi, saya setuju dengan apa


yang diresahkan teman-teman, Kevin ataupun Hafiz. Tapi, dari perspektif saya, memang, semua sekolah ini pasti, disengaja ataupun tidak—dan pasti disengaja—ada karakternya masing-masing. Misalnya dalam case Jogja Academy, saya sudah sampaikan di awal, bahwa awalnya [lembaga ini] benar-benar dirancang untuk pendidikan tiga tahun, dalam hal ini bahkan label “academy” sendiri memang sangat teknikal, akan menjadi sesuatu yang vokasional (kejuruan—ed.). Di Jogja memang banyak ruang-ruang yang kemudian lebih berfungsi kajian dan sebagainya. Itu memang terjadi. Tetapi ketika sekolah ini dirancang arahnya memang sudah seperti itu. Dan itu potensi yang memang kami miliki, sesuatu yang secara karakter direncanakan seperti itu. Cuma, memang, kalau misalnya kayak tadi di ISI Jogja, terus kemudian ada 190 siswa, kemudian yang terjadi adalah hanya ada 20 orang di kajian, ya, saya melihatnya menjadi tidak ada masalah. Secara karakter, yang terbentuk selama ini memang seperti itu. Itu bisa dilihat dari lulusannya, mungkin, yang kemudian akan lebih menarik orang untuk datang ke sana, untuk menjadi pekerja filem, menjadi pembuat filem daripada mengkaji filem. Yang akhirnya, menurut saya, karakternya akan bisa berubah, baik dengan catatan atau tidak. Tapi, memang, ada beberapa kasus yang bisa saya…kalau misalnya dalam kasus Jogja Film Academy, ya, itu, ya, memang selama ini juga kita rasakan bahwa pada saat, apa istilahnya…, saat ruang pendidikan ini didirikan, kurikulum yang disusun adalah kurikulum untuk proses belajar untuk menjadi pembuat filem, bahkan pekerja filem. Nah, itu yang, pengajarpengajar seperti saya dan seperti teman-teman yang lain yang bahkan…, apa... istilahnya…, interest juga, tertarik di wilayah yang lain, sering kali justru merasa, pada saat kita mengajar dan kebablasan dari sisi yang praktikal tadi, kita justru merasa salah. Karena, sebenarnya, kalau kita mau tiba-tiba ngomongin, mau menganalisa filem, dsb, itu, tuh, tiba-tiba, kita merasa, seharusnya ada di ruang yang lain. Misalnya, yang saya jalani, ada festival, ada Jogja-NETPAC Asian Film Festival ( JAFF) atau fourcolours film, yang memang bisa lebih secara konteks, lebih bisa ngomongin apa aja. Itu yang ngomongin tentang kedisiplinan, ngomongin tentang aturan tadi adalah sesuatu yang bisa dibilang positif, tapi memang impact-nya adalah,sesuatu yang bahasa negatifnya bisa menjadi sangat kaku. Sekolah itu, bagaimanapun, ya, sekolah. Yang tiba-tiba kayak ada birokrasi, ada sistem, yang enggak bisa ngawur, gitu. Dan sama saja kayak kita masuk, secara personal kita punya visi, tetapi masuk ke sebuah sistem pemerintahan atau masuk ke sebuah sistem negara. Nah, sekolah itu sangat mirip dengan seperti itu, bahwa setiap sekolah


punya aturan, pasti punya rule, punya visi. Tiba-tiba, ketika kita masuk ke kapal itu, harus mengikuti itu. Nah, Itu yang menjadikan, dari perspektif efek sampingnya, sangat kaku. Itu kenapa, walaupun saya tertraik sekali untuk ngomongin hal yang lain, tapi begitu saya mengajar ke sebuah sistem yang sudah bernama akademi, dan yang diomongin seharusnya adalah sesuatu yang teknikal, ya, tiba-tiba menjadi harus ngomong begitu. Tapi juga ada sekolah-sekolah yang pastinya punya karakter yang sebaliknya. Kayak misalnya, saya dimintabertemu, mungkin tiga tahun yang lalu, saat di UNPAD (Universitas Padjajaran, Bandung) dibuka jurusan filem. Di saat ada keputusan dari, saya tidak tahu, dari menteri atau dari presiden untuk membuka jurusan filem, dan tiba-tiba diputuskan di UNPAD ada jurusan filem, di saat itu juga, di SBMPTN ada 2000 orang yang mendaftar. Karena, filem ini menarik sekali. Padahal, nggak ada satu pun pengajar yang siap. Itu akhirnya sekarang sudah berjalan sekitar 2-3 tahun, saya memberi workshop di sana. Ya, akhirnya, memang karakter yang muncul adalah karakter yang sifatnya kajian. Karena banyak sekali pengajar yang dari komunikasi. Saya tidak bicara ini dari perspektif negatif, tapi saya bicara ini dari perspektif [bahwa] akhirnya ada karakter yang terbentuk di situ. Itu kenapa, mungkin, benar sekali yang disinggung Hafiz di awal, bahwa mungkin menarik sekali kalau di forum ini ada yang berbagai macam karakter itu tadi. Belum sampai setahun yang lalu, saya berkunjung ke UMN untuk sharing, ada karakter yang saya temui, dan itu tidak ada di Jogja Film Academy. Misalnya, justru di UMN, tapi mungkin mas Dodo nanti bisa tambahkan, karakter tentang bisnis filemnya sangat juga diutamakan. Bahkan, ada beberapa mata kuliah yang memang bicaranya bisnis filem, bahkan bicara bukan hanya filem, misalnya web series dan sebagainya. Karena memang, sengaja atau tidak sengaja, diarahkan untuk ke situ. Mungkin ISI Padangpanjang lain, mungkin ISI Jogja lain, walaupun sama-sama ISI. Dan itu kadang-kadang memang direncanakan, kadang-kadang memang based on mahasiswa yang masuk dan lulusan yang masuk. Jadi, akhirnya, memang, setelah puluhan tahun berbagai, sekolah filem itu mempunyai karakter masing-masing. Dan untuk kami sendiri di JFA, kita menginginkan karakter yang berada di wilayah akademi tadi itu, vokasional, lebih kepada pembuat dan pekerja filem. Bisa dibilang seperti itu. Terima kasih!

Kus Sudarsono Terima kasih! Saya coba ke Mas Kevin dulu. Ya, tadi curhatnya pengkajan, ya, saya rasa di masa mendatang, pengkaji justru penting banget, ya. Karena


ini zamannya data dan pengolahan data, seperti data mining, data analysis, dan segala macam. Justru, pengkajian yang ke arah sana belum ada, dan itu sangat penting. Dari belajar data dan segala macam, mengolah data tersebut, itu bisa menjadi pengetahuan. Misalkan, Anda mengkaji filem komedi di Indonesia kemudian Anda menemukan resep filem komedi yang sukses. Nah, itu, kan, suatu hal yang secara komersial bisa dijual. Nah, itu yang belum terlalu dikaji di Indonesia. Di UMN sendiri, [kami] mencoba untuk mulai mempelajari data-data tersebut, tetapi terus terang data-data secara real itu susah banget didapat. PH-PH (production house—Peny) juga tidak membuka data dengan baik, sehingga kami kesulitan untuk melakukan itu. Tapi data mining, pengkajian tentang bisnis perfileman, itu juga sangat dibutuhkan ke depannya. Ya, datadata seperti algoritma YouTube, segala macam itu, juga belum pernah ada yang mengkaji, sih! Itu juga sangat-sangat penting, gitu. Itu, sih, yang kita coba push, gitu! Di UMN, pengkajian mendapatkan hal yang khusus. Jadi, kalau mahasiswa mau pilih pengkajian, IPK-nya harus di atas 3.2, tidak boleh di bawah itu. Karena, kalau di bawah, kami merasa nanti analisisnya akan kurang kuat. Jadi, kita batasin, gitu, untuk jadi pengkajian; harus ada analitik yang kuat. Itu yang kita bedakan di sana. Kalau [jawaban untuk] Mas Hafiz tadi, ya, betul, Mas. Tadi, Mas Ifa juga sudah menyinggung. Saya ikut sebagai anggota ASPROFISI, Asosiasi Prodi Film Televisi Indonesia. Itu ada 13 prodi yang tergabung di sana. Dan memang, setiap prodi itu punya ciri khas masing-masing, berbeda-beda. Misalkan, dari ISBI Bandung, dia lebih ke arah dokumenter, misalnya. Kemudian kami, di UMN, seperti tadi Mas Ifa sudah jelaskan, memang arahnya ke bisnis. Kenapa bisnis? Karena itu merupakan penurunan dari visi dan misi kampus kami, UMN. Bahwa memang kita arahnya adalah berbasis ICT dan kewirausahaan. Oleh karena itu, banyak mata kuliah kami yang mengarah ke bisnis. Kirakira, ada 9 SKS mengarah ke bisnis. Dari Introduction to Creative Bussiness, Enterpreneurship and Creative Bussiness, sampai Film Marketing, itu ke arah bisnis semua. Jadi, memang, setiap institusi punya ciri khas masing-masing dan itu diperbolehkan dan itu memang disarankan oleh DIKTI. Jadi, jangan semuanya sama, gitu! Saya merasakan keresahan Mas Hafiz. Sama, kenapa, kok nggak ada yang kajian, segala macam‌? Tapi, ya, institusi kami di UMN memang arahnya ke sana, bukan ke kajian budaya, [sebagaimana] tadi yang sempat Mas Hafiz omongkan. Tapi kami sendiri begini: kalau dari segi kurikulum, misalkan, kami punya SOP dari DIKTI itu. Pada saat mau bikin kurikulum, kita harus nanya ke industri. Kemudian, kalau kita akreditasi, yang ditanya adalah berapa lulusan kamu


yang langsung terserap sama industri. Jadi, secara sistem, kami, universitas ini, memang diarahkan agar lulusannya langsung diserap oleh industri. Itu ada kebutuhan kami di sana untuk mengikuti rule dari si DIKTI tersebut. Kalau kami keluar dari sana, maksudnya keluar itu nyeleneh dari situ, nanti akan ada pertanyaan-pertanyaan, ‘Lho, kok, kurikulumnya nggak ngajak industri, gitu? Kok waktu bikin kurikulum, industri nggak ditanyain, gitu?’ Apalagi, sekarang kita harus berdasarkan SKKNI, sedangkan SKKNI di Indonesia itu sangat-sangat teknis. Dari tata kamera, tata suara, tata artistik, sama satu lagi, editing. SKKNI tentang perfileman itu baru ada empat: tata suara, tata kamera, editing, dan tata artistik. SKKNI-nya itu, isinya sangat teknis, harus bisa ini, harus bisa itu, harus bisa ini, harus bisa itu. Jadi, kita tidak bisa terlalu lepas dari sana. Tapi, kenapa kami tetap sarjana? Karena, gini, dari kurikulum kami, 60% tetap teori, 40% praktik. Jadi, teori itu tetap jadi yang lebih besar dibandingkan praktiknya. Ini juga mandat dari DIKTI. Kemudian, yang terakhir, [soal] eksebisi tadi, ya. Kenapa, sih, nggak ada festival, gitu? Kalau di kampus kami, di UMN, setiap tahun kita mengadakan dua kali festival, biasanya di bulan Maret dan di bulan November. Kita adakan di kampus kami. Bahkan, di November itu, ada yang namanya UCIFest, itu adalah kompetisi filem pendek dan dokumenter mahasiswa se-Indonesia. Jadi, [calon peserta dari] seluruh Indonesia itu bisa submit ke kami di bulan November, ada kompetisinya. Mas Ifa barusan setuju jadi jurinya, ya, Mas, ya? Lumayan banyak dokumenter. Dokumenter itu yang menang tahun lalu itu dari, saya lupa universitasnya, tapi dari jurusan komunikasi dari Ambon, ya, dari Ambon. Dia menang dokumenter di UMN. Ini skalanya nasional. Mungkin, hal-hal tersebut belum ter-expose. Mungkin kami juga kekurangan dalam pemasaran, karena kurang banyak orang yang tahu. Itu yang kami coba lakukan secara rutin setiap tahun, di bulan Maret dan di November. Itu yang kami coba lakukan saat ini. Terima kasih!

Choiru Pradono Kalau menurut saya, memang agak susah di kampus, di akademi kampus, untuk mencoba membentuk agar filem Indonesia punya arah tertentu. Karena banyak keterbatasan atau, seperti tadi, birokrasi dan segala macam yang diceritakan Mas Dodo. Itu yang mungkin agak susah, kita yang di bawah itu, ya, dosen-dosen atau segala macamnya, untuk bisa memberikan masukan. Karena ada banyak kepentingan yang saya sendiri juga nggak begitu paham. Satu yang bisa kami lakukan, adalah justru kampus itu yang menggandeng komunitas-komunitas untuk membuat iklimnya menjadi lebih baik di


kampus. Karena iklim komunitas filem itu, kalau saya lihat—saya pernah berdiskusi dengan Zikri—bahwa iklim komunitas teman-teman di luar itu lebih baik daripada iklim kreativitas teman-teman di kampus, di kampus filem apalagi. Jadi, bagaimana kemudian komunitas atau teman-teman di kampus, mahasiswa di kampus filem, itu punya hubungan-hubungan dengan komunitas-komunitas filem di luar, atau sebaliknya. Justru itu yang mau dibangun. Sehingga setidaknya mereka bisa mempunyai wawasan yang lebih karena banyak keterbatasan tadi. Kalau pembentukannya sendiri, tadi, seperti kata Mas Ifa dan Mas Dodo itu, setiap kampus memang sudah ada pembeda, ya, karakter yang diciptakan, gitu. Tetapi menurut saya, kalau misalnya ukuran kampus itu kembali ke masalah serapan pekerjanya ke dunia industri, itu juga akan, apa‌, bentukan dari kampus itu juga akan buyar lagi. Karena dia bekerja dengan meninggalkan karakter yang sudah dibangun. Yang diharapkan oleh kampus justru bagaimana orang-orang, teman-teman dari mahasiswa yang sudah punya karakter sendiri dalam berkarya sesuai dengan yang diinginkan oleh lembaganya itu, mampu bertahan untuk bisa tetap berkarya walaupun dia bekerja di industri. Itu yang mungkin agak jarang terjadi di kalangan mahasiswa, khususnya di Padangpanjang, yang saya sangat tahu. Tujuan mereka itu hanya bekerja. Lulus dan bisa bekerja. Dan kampus juga punya ukuran yang seperti itu, keberhasilannya adalah ketika dia bekerja sesuai pada bidangnya. Tetapi, yang tadinya dia sudah dibentuk untuk mempunyai karakter, seperti misalnya di ISI Padangpanjang dengan karakter yang sangat bagaimana budaya di sana bisa hadir di dalam filem, gitu, dengan penuturan yang mungkin berbeda dengan filem yang lain, tapiitu yang kemudian tidak bisa kita lihat karena mereka akan berhenti ketika mereka sudah lulus. Menurut saya, seperti itu. Jadi, ya, agak susah kondisinya, kalau menurut saya.

Moderator Ya, memang belum terjawab, ya, ternyata kasusnya‌?! Masalah bagaimana menghadapi situasi ini, apa, ya, medan diskursusnya sendiri, sebenarnya, yang menjadi persoalan. Terutama, yang dijelaskan oleh Mas Kus tadi, bahwa ada ketentuan-ketentuan dari penentu kebijakan yang kemudian memengaruhi bagaimana kampus itu menentukan arah atau direksi, dari output yang diterapkan dalam modus pendidikannya. Saya rasa, ini menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian yang lebih dari kita, pegiat-pegiat perfileman. Terima kasih pada teman-teman semua! Selamat sore!



PANEL 3

Film Education: Current and Future Practice

Moderator Hello everyone, good afternoon. Thank you for being here in the Forum Festival homoludens. We shall now proceed to the Third Panel session. The theme of this panel is “Film Education: Current and Future Practice”. The issue of educational institutions, such as formal schools or institutions that have the purpose of producing knowledge in this context, specifically the field of cinema, can be considered as a topic that is less discussed among the film activists – in the sense of being discussed in an intellectual conversation as we are trying to do now. After talking with the speakers, we agreed that, because most of the Forum Festival participants today are students as well as community activists, we need everyone to participate in analyzing or speculating the situation and ideal of film education by discussing it together. For that reason, we have invited three speakers who work as film activists and film professionals but with several degrees of experience in the field of education or academia. At the rightmost, we have Choiru Pradhono. He is a lecturer in Television and Film Studies – ISI Padangpanjang. Then, next to Mas Choiru, we have Kus Sudarsono. He is the Head of Film and Choiru Pradhono

Television Studies Program at the Universitas

Kus Sudarsono

Multimedia Nusantara. And the third speaker,

Ifa Isfansyah

on my left side, we have Mas Ifa Isfansyah. He is the director of the film Garuda di Dadaku and The

Moderator

Dancer, and he is also the founder of Jogja Film

Manshur Zikri

Academy.


Choiru Pradhono Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Good afternoon. Today I will try explain the conditions that I know and see on the film students in my perspective, specifically the students at my campus, ISI Padangpanjang. And I think this kind of condition is also experienced by students in other art campuses, for example in Solo or in Yogyakarta. The main topic that I will discuss is the matter of students’ final project. Also any other things related to student activities in completing their final project, either in the form of a film or film studies, in film schools or art schools in general. In film schools such as the Indonesian Institute of the Arts (ISI), I remember, there were good initiatives in the early days. ISI tried to respond what was the trend in in the industry that time, especially in the film scene. To this day, film schools continue to grow and are still trying to adjust to the current state of the film scene and its industry. In my opinion, I would argue that it seems that film schools begin to turn their focus to the market. The focus of the educational institution is to turn their graduates into workers in film industry. Indeed, most of them turned out to be film workers as expected. In the learning process, film students are trained to have the ability and expertise in the field of film. We can see that its learning process are based on specifications, let say, just focusing on film studies, or to have certain expertise in directing and script writing. As the result, it will ultimately determine the students preference on what kind of final project they will create: between filmmaking or film studies—perhaps some of you that were not from art schools are rather unfamiliar with this kind of concept. To sum it up, students who choose to focus on making a film will be taught to have the ability to produce films that go in line with the vision and mission of their educational institution. For instance, ISI Padangpanjang has vision to uphold the basic values of the Malay culture. The accentuation of this vision is given, not only to film students, but also to all art students. The students are encouraged to be able to produce art works related to Malay culture. Therefore, thematically, the creation of art works at ISI Padangpanjang tends to be related to Malay culture. During classes, students will be taught through certain subjects. Through this, they will strive to become a capable human resource so they can create a finished art work. And the work must be defended by making scientific writing, detailing its process of creation. Thus students are expected to be able to write about the process of creation according to theories that they understood or used. Meanwhile, students who specialize in film studies are required to make a thesis. The students who choose to make a thesis is also supported with the same courses but in a different portion with them who are focus on filmmaking. They are expected to


be able to analyze films with their perspectives using certain theories that have been provided in the lecture process. This kind of situation has already existed not only when I become a lecturer in 2008, but also when I was only a student. When I was enrolled as student at ISI Yogyakarta, this situation was already became a common reality. There is a dichotomy between students who focuses on art creation and art studies. To this day, the majority of students choose to focus on art creation for their final project. Now I will tell you the situation nowadays. In general, the film industry are mostly hiring the students who make films as their final project. Thus the students believe that at film school, they should make films—which can be their portofolio to look for a job after graduating. At this point, the number of students who write thesis in contrary to students who make films as their final project become imbalance. The current situation is the large portion of students who choose art creation as their final project, in a hope that they can be absorbed by the industry. Hence students were led by a belief that film study equals creating work or that having a work is mandatory. This results in imbalance between students who choose art creation and students who choose thesis as their final project. This situation is also shaped by an idea or perspective that students who choose thesis as their final project are those who only want to quickly graduate and receive their certificate – i.e. someone who wants to have it easy. Perhaps there are some truth to this idea, because this was what I also thought back then, when I was a student. This idea persists because students who choose thesis as their final project will not be absorbed by the industry. In the end, students who go with thesis tend to work in non-film industries, such as bank or other fields that have no relation whatsoever with cinema. The only benefit that they got from choosing thesis is graduating faster and certificate. The two specializations have two very different processes. Students that choose to make films will have to deal with many difficulties. They will need to raise some fund and organize some people to work collectively. While the process of working on thesis tends to be quicker and instantly. This is what the students believe. In my opinion, writing thesis should be seen as important as making a film in the film ecosystem. By only wanting to graduate faster, in general the thesis written are not comprehensive enough to contribute some knowledge to the film discourse in Indonesia. If we look at the current condition, you might see that most film scholars are not graduating from film studies. From what I saw, those who enroll


in film school have no dream of becoming a film scholar. They only want to become a film director or technician who produce film – part of film production team. No one specifically wants to be a film scholar. This tradition still exists until today. So that maybe we might suspect, if there a major of film studies in a film school, it is opened only as obligation based on the government regulation for educational institution. Perhaps that is the reason why the learning atmosphere is not good. Which then forms no habit amongst the students to analyse and critical towards film. For example, in ISI Padangpanjang, when they are making films, no constructive discussions or criticism about the films along with the process of production. So, once they finish making the film, it will be screened or distributed to wherever, but there is no evaluation or critical discussion following after. This kind of habit might be the reason that make students and the freshmen to not think film study as a crucial part in their learning process. This is the condition that I see, especially in Padangpanjang. I also saw in ISI Yogyakarta, when I talked to some of the lecturers. They also claim that the situation is practically the same in their institution. They said that the proportion is 70:30 in ISI Yogyakarta between the number of students who enroll for filmmaking compares to film study. The situation in ISI Solo is more or less the same, where filmmaking students is far more dominant. Film students also share this belief, that film students must produce film. I foresee that in the future there will be a disjointed learning process in film school, especially the undergraduate level, between student’s motivation and film industry. Thus, no reciprocal symbiosis within the film ecosystem amongst the film school, the film students, and the film industry. That is my opinion, otherwise, I hope that things will be better in the future. I hope we can further discuss about this matter. Thank you. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Moderator Alright, thank you to Choiru. This provides insight about the tendency in campus or film school which prioritizes film creation or film production over film study. Perhaps we can further discuss about it, and I hope all of you will give a comment. The second speaker is Kus Sudarsono. He will present a powerpoint slide. In general he will attempt to propose a mode of education that he is currently developing in UMN through e-learning or cinema course, i.e. studying film through online platform. Kus Sudarsono, the stage is yours.


Kus Sudarsono Okay! We in UMN are looking forward to the future, since the theme is Film Education – The Present and the Future, allow me to speak a little about the future of film education. Regarding the Industrial Revolution 4.0, how will it affect us? Many predicted that in 2030, lecturer as a profession will disappear, so it will be a pity for us who will disappear in the near future, replaced with internet. Online learning, etcetera, that is the common assumption. In UMN, we attempt to disrupt ourselves. We try to reflect on the effect of this industrial revolution to the process of learning, especially in regard to film studies,, our department. We are talking about the situation in Indonesia! Indonesia is a big country, very large, and internet access in this country is already extraordinary. According to the data from last year, 143 million people already has access to the internet. If we think about it, 143 million is a large number! And it continues to grow every year. Every year, there is approximately 10% growth – 10% from 143 million, isn’t it amazing? So, how exactly does the internet transform our education system, especially in the film industry? In general, there are three types of e-learning. The first type is Adjunct, i.e. traditional face-to-face [session] where there are the lecturer and the students, and they talk with each other, they teach and study on the spot. Then, the next type is Mixed or Blended, where offline and online learning is combined into one. Last but not least, the learning process becomes fully online. This is called Continuum. Why is it called the continuum type? Because, at that point, there are no longer specific boundaries. Online and offline interaction goes hand in hand. Don’t the traditional method use internet? They still do, they use the technology. But, the continuum type is the only type of learning that occurs fully online. There are also two methods of teaching: synchronous and asynchronous. With the synchronous method, for example, I can be in this room while simultaneously giving a lecture to my students in UMN, or it can be anywhere, not only in UMN. I talk, they listen. I ask, they can answer, that’s the synchronous method. In the asynchronous method, I prepare the materials, I prepare the tasks, and the rest. Then, I deliver them online, I put them in an online learning platform, and the students can access them anytime they can. They don’t need to access it at a certain time. That is asynchronous e-learning. So there are 2 methods to deliver e-learning, synchronous and asynchronous. How is the case in Indonesia? We actually have quite anticipated this trend.


Now, there is a system called LDL – Long Distance Learning. In fact, some campuses have already gone fully online. Of course, the best example is Universitas Terbuka1. Universitas Terbuka has been doing this for quite a long time. They have gained official approval. In the future there will be some majors that can only be accessed online, the Ministry of Research Technology and Higher Education (RISTEKDIKTI) has approved them. RISTEKDIKTI also has something they referred to as PEDATI which is an acronym for Pelajari (Learn), Dalami (Understand), Evaluasi (Evaluate), and Terapkan (Implement). PEDATI sounds like an acronym for a public servant slogan, right? But there are four things that are required in your teaching method when it comes to online learning or online class. In “Learn”, you need to have the material or video, audio, recorded lecture that can be delivered online. Then there are forums, every class needs a forum to allow discussion among students, and between students and lecturers. What do I mean by this forum? Perhaps you remember the days of Kaskus2, it is pretty much the same. “Oke Gan…?!” 3 A similar forum, to discuss some topics. For example, a lecturer started a topic about Ifa Isfansyah’s film Koki-Koki Cilik4. Starting from this information, students can interact among themselves, with or without the lecturer’s moderation. Then, there is “Evaluate”. After learning new materials, there has to be an evaluation. Things must be assessed, whether it is a task, a quiz, a report, they need to be assessed. And everything must be done online. This is what we are trying to achieve in our university, and anywhere. This is the principle that needs to be applied and followed if we want to teach online or through e-learning. Thus, this needs to be included in the syllabus. It is very unfortunate that Indonesia has 29,250 universities but only 17 film schools. This is based on the Forum of Higher Education Reports’ data, they said there are only 17 film schools. So, why is e-learning so important for film education? It is due to the fact that there are only 17 film schools out of 29,000 universities. These figures are saddening, really saddening! If we want the mass to be able to access it in a short time, online learning is the solution, it’s that simple. Nowadays, the only people who study film are those who are financially able or exceptionally intelligent, since private and 1 \ Terbuka can be translated to “open”or “opened”. Universitas Terbuka entirely uses long-distance educa-

tion mode of learning. UT is designed to be a flexible and affordable university focused on serving people who lack the opportunity to attend face-to-face mode of higher education system due to various constraints, including lack of funding, living in isolated and rural areas, work, as well as other commitments. The UT system has continued to evolve and improve in terms of its teaching and learning systems, management, and support services for students. Accordingly, UT’s current position reflects not only its past development and achievements, but also the future direction in the context of learners’ needs within Indonesian society. (accessed from https://www.ut.ac.id/en/brief-history) –Ed 2\ Kaskus is an Indonesian Internet forum that was the largest Indonesian online community. Every registered member has access to more than twenty regional and subject-related sub-forums. 3\ “Gan” is a slang nickname to call other Kaskus users, short for Juragan, which can be translated into“boss”.–Ed 4\ Koki-koki Cilik merupakan film drama anak Indonesia yang dirilis pada 2018 dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. (Lihat Kusuma, Mawar (15 Juli 2018). “Mimpi Masak di Bioskop”. Kompas. Hlm.17).


public university are both quite expensive. Since there are only 17 film schools, online platform can become a solution. Imagine if [film study] can be done online, the 143 million people with internet access can now study in film school, to study film. What about in UMN? I’ll tell you our case. Teaching film, after many considerations, cannot be fully done online. Why? Because film needs teamwork. Film needs discussion. Film has production steps. When it comes to film, these kinds of things are difficult to learn online. Not to mention aesthetics. A good film for you would not necessarily mean a good film for the lecturer, for example. What we are trying to achieve right now is the blended learning method, a combination between offline and online learning. We combine both of them. This has been designed from the beginning, in the syllabus. For example, this is our e-learning site, http://elearning.umn.ac.id. This is the studio course. Studio 1. Studio 1 is basic filmmaking, which contains the following (referring to the slide). What we are trying to do is: theoretical discussion is conducted online. Discussions about script, organizational structure, all those theories, can be done online. During offline session, they can discuss it face-to-face with their lecturers, then they can discuss with their friends. Finally, they can all have a discussion together to produce their creation. But the theory is delivered online. This makes learning more effective. We prohibit them from coming to the class if they have not finished this. For example, in discussing scriptwriting. There will be a video uploaded, as well as textbook, Powerpoint presentation and PDF on that topic. Since there are needs to be elements of PEDATI, we also need to prepare the task. We need to prepare the assessment; we also need to plan what kind of forum we would like to have. This turns the experience into a proper class session, depends on what kind of result that we are expecting. So if we take a look at the left side of the slide, there is the syllabus. There are detailed study plans for every week. Week 1 contains introduction, types of film, first quiz, production, discussion, second quiz. All of it should be done in one week. Every session will be like that. Then during week 2, week 3, up to week 14. This allows the lecturer to spend less energy and prevent them from repeating the same things. The lecturers will only review the material during class. The students are expected to already read things before attending their class. We even expect them to master the module before. Actually, there is an interesting issue but I can’t show it here (in the slide), a


quiz is included in the video. For example, in this video, while I am talking, the video will pause on the third minute, and the quiz will appear on the screen You cannot continue to the fourth minute if you haven’t finished the quiz, and the results will be evaluated. So, every material is always accompanied by an assignment, a quiz. This should not only be implemented in UMN. Why? Because the software that I presented to you is free, accessible to everyone. It’s called MOODLE.5 It is an online platform that is free for everyone in the world. Every educational institution should be able to access this free of charge. Well, IT and programming knowledge is certainly required, but at least the basic service is free and accessible to everyone. So, must [e-learning] be expensive? I’d say no because the basic is free. Just imagine, if every institution does the same, it would be very easy, no? Those 143 million will be able to study film. It would be really easy. People who previously have no access can at least learn basic filmmaking. At least they have the reference for learning, they will at least now what good film reference is. That is the minimum that we are trying to achieve with this online course. For my part and other lecturers, we received a research grant last year from DIKTI. We will use it to campaign about this. Maybe next year if we have already finished, we will have a website that provide online learning for basic filmmaking. Let’s hope it will go smoothly, ladies and gentlemen. I truly hope that there will be a free basic filmmaking education in Bahasa Indonesia that can be accessed by everyone in Indonesia. Alright, thank you ladies and gentlemen.

Moderator Alright, thank you Mas Kus, let’s just go to Mas Ifa to present his paper.

Ifa Isfansyah Thank you for the time, good afternoon everyone. I am Ifa Isfansyah, a filmmaker and the founder of Jogja Film Academy. Allow me to first express my gratitude to ARKIPEL who has organized this forum and appoint us to share about film education. Perhaps I’ll start with a bit of story about the genesis of Jogja Film Academy. With regard to the digital era, a space for film education is born. Perhaps, during the early days of technological revolution, in the digital revolution that began in late 90s in Jogja, many 5 \ “Moodle (Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment) is open source, online courseware

platform that runs under all major operating systems. Developed by Martin Dougiamas at Curtin University in Australia, Moodle provides all the necessary tools for educators to create a virtual classroom via the Internet.” Source: https://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Moodle).


young people started using camera as a medium to express themselves. Perhaps, because there was already a space, since the city had been filled to the brim with the activities of many young people, creating various communities. And the [video] technology appeared in the moment when camera was very limited, very exclusive; when the computer which used to be only for typing, can now be used to edit pictures and so on. Many young people during those years started to use this camera, including me and many other people. So, when this trend starts growing, the impact was felt ten years later. Many works were created, and not all of them focused on film productions. Some were concerned with film appreciation, film distribution, et cetera. Finally, the ten-year process results to the creation of a new culture in Jogja – its own cinema culture. We believe that all of it happened so fast and I’m sure these cultures are nothing new. What I know, is that Jogja has already been familiar to cinema even years before. Some filmmakers moulded themselves in Jogja. There was also ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film / Drama and Film Art Academy). There is a growing concern out of this trend, that when this one generation, this digital generation, chooses film, that has undergone this process, there is a concern on the space to document this knowledge, or if it is not going to result in a scientific discipline, how to document this experience, how to document the new culture. There is even a concern on how this culture might just disappear, undocumented, before we pass the torch to the next generations. That is indeed what we, [my generation], experience, that the film process or culture that used to be in Jogja is not connected with the current process. We do not want that to happen again. There are many non-formal education spaces, like workshops, that aims to channel and pass these experience and knowledge. But my friends and I believe that formal school is the only proper and sustainable space. We also made the attempts to document this process and to continue the culture. That is how Jogja Film Academy was born, as a manifestation of our responsibility and our need for a space of documentation. That is why, the system we have created, the system we have planned, is a system that refers to all of it. That today is an era where new theories emerge, new perspectives emerge, new ideas emerge, new modes of production emerge. What happened in Jogja, its production system, and what might be called as distribution system, is not only different but is certainly influential to the culture where it grows. So, this cinema culture will definitely influence the place it emerges. So, I think school is the right space to bring those things up, to answer the latest challenges.


We have planned this school as a formal space of education. Because, we believe that it is the only way to make this sustainable. Yet, the process is not that simple. This is what we are currently struggling with: how to make the curriculum capable of supporting the aforementioned culture and environmen. We run some learning systems and principles based on the things I have mentioned in the beginning. Then, we seek the principles that we will apply in the learning process. And the most important thing is, we really want the teachers to be our source of knowledge. It is true that book is essential for technical guideline. But it is essential for teachers to have the experience that they can pass to next generations. That is why the process of filmmaking, production, and other film activities are very important. Field experience or our current distribution systems are important to be documentated in order to pass these experiences. The second point is obviously these young people who are quite native in digital technology. We really want a learning system that can go beyond their capacity, beyond the limit of their capability. They are familiar with the existing equipment, accustomed to produce films, sothe study and practice always goes hand-in-hand. It’s in their nature. But we want to push them to the point where they realize that they need to improve, to reach beyond their limits. That way they can continue to make progress. It’s not an easy path, but it reveals the difference between those who are willing to undergo the process, and those who feels satisfied with the skills they have. The next phenomenon we observe is the fact that reference can now be easily obtained. It means that young people who are interested to make films can easily obtain the reference in the internet and so on. They come to us with their prior knowledge. They have their favorite directors and films. And we try to relate their studies with what they already have, and we take a deep dive into it, so they can be more open to other references. Another thing that we try to strictly enforce is how the technical learning process should be separated with the process of creation and making works. It is a habit for most people, for example those who learn music, perhaps trying to learn guitar. The first thing they’ll do is to find out the chord, practice it, then they try to cover other people’s song, as many as they can find, before they finally have the courage to make their own song. But the tendency of these young people with camera today is that when they have only learned the technical aspects, they already want to create their own works as soon as possible. They want to tell their stories, to shoot their own films, to be referred to as a cameraman, a director or whatever. We try to separate this. We assign them to watch many films, to analyze


them, to remake certain scenes from a film, before arriving at the final task: the first opportunity for them to actually “create” their first work, their first story. Before they can reach that point, they need to undergo many adaptations, many processes that are very technical. And this is very connected with their mental and attitude. Many people who enroll in film schools are under the perspective and mentality that they have already made films. That they are already a director, a cameraman, an editor and so on. It is common, because today it is very easy to claim those positions. The technology today is at their disposal, and it affects their mentalities. We are trying to change it; we want to destroy it. In fact, the process of learning to become a director, to work as a team, and other elements, is far different. There is a process to reach that point, the steps that must be taken. That is why we try to implement these systems, so that these people can have the right mindset and attitude in addressing the technology. While it is true that we’re living in their era, there are many presentations, many ways to analyse, to read, to watch, to realize that the act of watching films are essentially the same as making them. There are many students who like making films but have no interest in watching them. That is why we believe that school is the right space, although not the only space, to make it more effective, to turn the process into a discipline. That is a little story about Jogja Film Academy that I can share with all of you. Thank you.

Moderator Based on the presentations of the three speakers, we have learned quite a lot about the tendency in film school, and the tradition that is being built in film school is in the area of creation or production. This also includes the presentation from Kus on the attempts to explore an online-based learning method. Personally, I’m quite intrigued. My question is that if we, for example, try to relate this discussion with the second and first panel regarding the criticism for our film scene or imagining the development of aesthetics in filmmaking, what are the effort these various institutions try to implement, for example in ISI Padangpanjang, in UMN with their online platform, and how Jogja Film Academy responds to the digital era, does all of them contribute to a change, or could they perhaps contribute a unique influence in certain area of filmmaking? Let’s say that in my case, as a person who lives in the millennial generation,


learning film aesthetics and history is very easy. I can just click a keyword on YouTube, film tutorial or film history. If I want to learn about Kurosawa’s aesthetics, I can find it on YouTube. That is already a different form of experience in finding references. So when we apply that to the context of formal or alternative institutions that wishes to declare its position as an educational institution, when we try to adapt this style, does it create significant effect to the output that the institution expected? That would be my question to the speakers, which perhaps can be responded first before we give the chance to the floor. Perhaps Mas Ifa might want to answer first?

Ifa Isfansyah I’d say that film education is, let’s say, a space that can make the process more systematic, planned, and effective. Indeed, it is true that today is the era where any information is easily accessible. In fact, there are too many informations we can obtain, but not everyone can address it wisely. When it comes to information, having no information is as problematic as having too much information. It’s true that we don’t need to go to school to learn to read. But school is a space where everything is put into order and a system that the people can go through. There is a schedule, a discipline which makes everything more planned with a concise goal to achieve. So in my opinion, an education system that can combine both of them would be more effective. According to what I heard from UMN’s presentation, the fact that e-learning can now be facilitated using free website is an information that might give the impression that that schools are no longer necessary. But for my part, school is an important space to discipline ourselves. For example, a person who really want to learn about filmmaking process and truly want to become a filmmaker and started out from communities, like my friends and I, we might need years to achieve that. But then there is a program that is designed for a year, 2 years, 3 years, 5 years, which makes everything more effective. I believe, that is one of its functions. Yes, information is can be easily accessed in this era, but school is necessary to create an order to it. That is my response.

Moderator Mas Kus perhaps? Especially concerning output.


Kus Sudarsono Firstly, according to our research, film studies cannot be fully learned online for now, because it requires teamwork. And we need to learn the pipelines. These pipelines cannot be replaced using online. You can learn by yourself to become an expert cameraman but how you meet an editor, how you distribute the files – that would be a different story. You can also become a bonafide director, all by yourself, but you can have some difficulty to speak in front of clients, and it will be an obstacle. The way to mold people into those professions is school, I agree with Mas Ifa, school is still an essential part of film education. With regard to its effect to students, I’d say honestly, in UMN, it all depends on each of the student. We are offering a scheme or a platform for education, but the output will depend on the students. If our students are like you, Zikri, they would excel with flying colors. But we also found some students who got into film studies simply because they dislike math, physics, or chemistry. They enrolled merely for that reason. We cannot really expect much from this kind of students. Some of them can find success, but some can fail even in the first year. When it comes to the output, and the result of their final assignments, I’d say the result is no different in every campus. Some achieved good grades, some flunked, that’s the general case. I’d say they are becoming more familiar with technology due to online learning. But when it comes to taste, or aesthetics, these things are taught in the classes, but not everyone can absorb it the same way.

Choiru Pradhono I agree that school is still important. The student’s intelligence level depends on themselves, but there are things that can only be achieved by school’s tradition. For example, the habit of coming together and sharing what we have. That still can be obtained in school, even though we can now access information by ourselves, and enrich our knowledge without school. But through schools, we preserve the culture of togetherness and sharing, therefore it can enrich everyone at the same time, not only individually. For me, the habit of sharing and coming together is what we should learn in school. As a teacher or lecturer, I believe that there are more than the distribution of knowledge or enrichening of minds, but how we motivate our students. And I believe that can be achieved by meeting face-to-face, not otherwise. Mas Dodo’s blended learning method is a good example in which we can learn online, but we still need to meet offline. Lecturers can motivate students by meeting face to face, which would be more meaningful for the


students – it matters more than whether they are bright or not. Through face-to-face meetings, many processes can be carried out. I believe that school is still important, despite the emergence of new methods, as explained by Mas Dodo previously.

Moderator Okay, now is the chance for anyone interested in asking. Is there anyone? Kevin, Hafiz. Ok, Kevin first, please state your name and your affiliation.

Kevin Aldrianza (Blurg! Project) I am Kevin from Jogja, part of Blurg! Project of Jogja magazine. I also happened to be a student of Seni Media Rekam ISI Jogja. I actually want to add my experience of studying in a film school to Mas Choiru’s opinion. This year, my friends and I from the batch of 2014 are doing the final assignment. What I want to say is that many students now prefer film creation as their final assignment. In my batch, which consists of 190 students, only 15 or 20 chose film studies. I want to tell you my experience as a student who choose film studies as his final task. In ISI Jogja, most of the subject taught to the students consists of film creation and production, but the subject on film studies only consisted of 20-30% of the curriculum. So perhaps that’s why film creation is more preferred in ISI Jogja, because most of the curriculum provided to the students are about film production. While the subjects taught in film studies are only about content analysis, general analysis, it feels like we don’t need to be film students to learn that. This makes me want to raise a satirical question: Will film education in the future require film studies? After all, film studies can produce new theories about film. And perhaps in ISI the subject of film studies is very limited, only to understand the technical aspects of film, different styles of film. Studies about the styles of the film is also limited, as a matter of fact. And film studies itself is limited by the campus, to new films, preferably box office movies, while alternative films are discouraged. That’s what I want to say.

Moderator Thank you, Kevin. Let’s just go to Hafiz

Hafiz Rancajale (Forum Lenteng) Thank you! I want to say that there is something missing from today’s discussion because indeed the oldest film school in Indonesia, Institut Kesenian Jakarta (IKJ/Jakarta Arts Institute), is not present. The organizers


of this Forum Festival had attempted to invite people from IKJ, but they did not respond, which is unfortunate. IKJ is essential in this forum because the history of film education in Indonesia is rooted in IKJ. That is one of my critiques for the organizer, because they are unable to invite IKJ. Secondly, for me, the essential problem in the presentation of the three speakers is that they are too focused on practicalities. I was expecting, since we are talking about school, every school needs to have a cultural aim. Cultural aim is more prominent than simply talking about creation or practices, e-learning, I have no problem about it, those are technicalities. Education always needs a cultural aim. The problem with our film education is, that our film school, simply feels like a polytechnic college, a course, people get in to learn about camera, learn to direct, too absorbed by the industry or television. Looking back, I happened to know Ifa since our time in university, we have known each other for a very long time. Almost all “important” actors in the history of cinema, either directors, producers, exhibitors, or even its critiques, most of them generally did not come from art school or film school. Only about 10% came from film schools. So, where did those actors come from? Obviously from the film communities. Where is the responsibility from the film schools? For those who have grown aware, such as IKJ since the 1970, ISI Padangpanjang perhaps since 8 or 10 years ago, UMN perhaps in the past 5 years, and now Ifa and his fourcolors and Garin who founded Jogja Film Academy, how do you take responsibility of this situation? I believe that in the world of culture, film school is a prominent institution who should be able to determine, to direct the future of Indonesian film or a national film. Not Miles films, or any other production houses! I believe film schools are the ones that should decide. For instance, up to this day, we cannot find journals published by these film schools. In terms of writing, if our friend from ISI thought that film critique or film studies have become stagnant, a journal does not have to be completely theoretical, perhaps a bit technical, but maybe, we can explain things in a more academic way. Furthermore, in the practice of exhibition, IKJ used to have film festival, I forgot the name, a small film festival, 8mm film festival, and others. I believe that, at the time, schools play a significant role in this case, they’ve given birth to people like Garin Nugroho, Riri Riza; they brought the film scene alive. But what about now? Exhibition is not carried out by schools, but communities, such as Forum Lenteng, Ifa with his fourcolors, or Bowo and his friends in Purbalingga with Cinema Purbalingga (CLC – Cinema Lovers Community). So, where the heck is Campus in this scene? Where are these so-called scholars? Those who took master and doctorate degrees, where were they?


I actually expected this panel to provide enlightenment on how the world of academia views film? I do not want to separate industry films, experimental films, alternative films, independent films, I do not want to separate it, but I want to see how these scholars view its knowledge. Have they done things that are more experimental? I agree with Ifa that school has rules, but what kind of rules that can produce credible people? Because I truly believe that people who graduated from ISI, from UMN, they are scholars. Scholars are people with knowledge about film, because a film scholar is the same as law scholar, they are equal. A law scholar, they know everything that is to know about Criminal Code Book (KUHP). Do film scholars understand film etiquette? Those are the most fundamental questions for this panel. I want to know from this panel. I’m not seeing film as something bad, but perhaps the perspective of scholars can enlighten us, to me who has been working in this field for dozens of years, in the world of activism, in this world, and to our friends in the communities, the curators, they can get enlightened. It is common knowledge that the act of working in this world are always deemed as serious, it is a bitter world after all, terrible, desolate, and other things, yet, isn’t all of these the responsibility of scholars? Which is why I believe, if we only look at the practical things, I believe we will not be able to find the kind of people that we were expecting, for example—I don’t want to mention Garin Nugroho again. I cannot find a person like Ifa Isfansyah anymore, not another Apichatpong, not anyone that matters anyway. ARKIPEL has been founded for six years and we have an International Competition, yet only 2 Indonesian films have passed for International Competiton. It was the work of Wregas, and Turah by Wisnu. Only those two that film schools have contributed. Looking at the percentage, I believe that film schools still has a heavy responsibility. How far can we push academic practices? The practices that can build film knowledge among students or in learning film so they can be knowledgeable. They said that film school is expensive, Mas Kus did mention it. I’d say, why would I waste millions, hundreds of millions, if I ultimately cannot make significant cultural contribution? Thank you.

Moderator Thank you, Hafiz. I believe that Kevin’s and Hafiz’ response are quite essential. Kevin told us his complain that the proportion of subject always leans more to film creation, while film studies was not much encouraged. I think it countered our discussion when I asked about whether or not new modes in this education influence the output. The speakers attempted


to respond to it by saying that it all depends on the student. But what if the reverse is true? What if the university and the campus is the one responsible for this situation? I think that is what we should explore or imagine how to address this situation. I believe this requires a response.

Ifa Isfansyah Yes, thank you! I’ll answer both questions, because it is quite related. For me personally, I agree with your concern, both Kevin and Hafiz. But from my perspective, every school is certainly, intentional or not, well obviously intentional, has their own character. For example, in the case of Jogja Academy, I have told a bit in the beginning, that it has been designed as a three-year education, which in this case the label of “academy” should signify that it is very technical – very vocational. Jogja does have spaces that are more inclined for film studies and the rest, it does happen. But this school has been designed to go into that direction. And that is the potential that we have, and that is the character that is designed for this school. But, well, if what happened is the case of ISI Jogja, when there are 190 students but only 20 are interested in film studies, well I don’t see any problem with it – if that is the character that they are trying to shape. We can see this from the graduates that might attract people to become film workers and filmmakers instead of film scholars. Ultimately, the character may change in the future, either conditionally or not. But in some cases it does happen … such as the case of Jogja Film Academy, well that is also what we feel when, how can I say, the space for education was founded, the curriculum was indeed prepared to educate filmmakers and film workers. That is what the teachers, such as my friends and I, were quite interested as well, and I do sometimes feel a bit guilty when I taught too much on the practical side. Because, honestly, if we want to analyze, to discuss about films, etc., we suddenly feel like we should be in the other room. For example, if we run a festival, such as the Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) or fourcolors film, we can be a lot more contextual in that scene, we can talk about anything. What we talked about earlier, about the discipline, the regulations, those are good things. Yet its impact, strictly speaking, can be a bit rigid. School will always be school, after all. There is a bureaucracy, a system, we can’t just do whatever we want in it. The same thing happens when we first step into it, we might have vision,


but we have to adjust ourselves in a governmental system or a state system. Schools are just the same, in fact every school has its regulation, a rule, a vision. When we get on board, we must follow it. That is indeed the side effect which makes everything too rigid. That is why, even though I am very interested to talk about other things, but if I am teaching in a system called academy, and I am supposed to talk about technicalities, well I just have to talk about it. But obviously, there are schools with different character. Like, if I was asked, if I met, perhaps 3 years ago, when UNPAD (Padjajaran University – Bandung) opened film department. When there is a decision, I don’t know, from the minister or the president to open film department, and suddenly UNPAD decided to open film department, at the same time, 2,000 people applied themselves through SBMPTN (national university placement test). Because film is very interesting. Even though no teachers were prepared for it. The department has now been running for about 2-3 years, I taught a workshop there. The character that emerged was academic, because many of the lecturers were from Communication Department. I am not talking about this in a negative way, I merely talk about the character that eventually appear from that process. Which is why I agree with Hafiz’s comment, that it would be interesting if this forum has a diverse character as such. Less than a year ago I visited UMN for sharing session, I found some character in that place that I cannot found in Jogja Film Academy. For example, in the case of UMN, perhaps Mas Dodo might add, the business side of the film is very emphasized. There are even some subject that specifically discuss about film business, not only film per se, such as web series and others. Because after all, intentionally or not, they aim for that direction. Perhaps ISI Padangpanjang and ISI Jogja has different character, although both of them are ISI [Indonesian Art Institution]. These things are planned, or sometimes occurs due to its students and graduates. So, in the end, indeed, after tens or so years, film schools have their own character. For us in JFA, that is indeed the character that we want, as an academy, a vocational institution, that caters more toward filmmakers and film workers. That is what I want to say. Thank you.

Kus Sudarsono Thank you, I’ll try to first answer Mas Kevin’s question on the matter of film study. I think that in the future, film scholar will be far more important because this is the age of data and data processing, such as data mining, data analysis, and others. Well, actually those kinds of study have not


been popular, even not yet existed, and I’d say it is very important. By studying data and processing data, we can produce knowledge about many important things. You can find a successful comedy film. That is something that has large commercial application. That is still missing in Indonesia. In UMN, we try to start and study those data, but real data is difficult to obtain. Production Houses do not open their data for public, which is why we are having difficulties to do this. But like, data mining, film business study, those are really important in the future. Data such as YouTube algorithm, those kinds of thing, nobody has researched it. That is also very important, so we are trying to push toward it. In the case of UMN, film study is a very specific thing. Hence if a student wishes to undergo film study, their GPA must be at least 3.2, no less. We were concerned that if they have less than that, their analysis will be weak. So, we are trying to limit film study, only for those with strong analytical skill. That is the difference we are trying to make. In response to Mas Hafiz, yes, as have been said by Mas Ifa. I am a member of ASPROFISI (Asosiasi Prodi Film Televisi Indonesia/Indonesian Association of Film-Television Department). 13 schools are a member of the association. And it is true that each department has their own unique trait. For example, in ISBI Bandung, they are more focused on documentary film. While us in UMN, as said by Mas Ifa, we are more focused of business. Why business? Because it goes hand in hand with our campus’ vision and mission. We are indeed aiming for ICT-based entrepreneurship. Therefore, many of our subjects are about business. About 9 SKS (credits) are about business. From ‘Introduction to Creative Business’, ‘Entrepreneurship and Creative Business’ to ‘Film Marketing’ all of it talks about business. So yes, every institution has their own uniqueness, and it is actually recommended by DIKTI. Therefore, not everyone should aim for the same thing. I do feel Hafiz’s concern. I do wonder about the absence of film studies and the rest. But, well, our institution, UMN, aims for a different thing, not for cultural studies, as Hafiz said. But this is our situation: in terms of curriculum for example, we have a standard procedure from DIKTI. When we are about to make a curriculum, we have to ask the industry. Then, if we want to be accredited, we will be asked about how many of our graduates ended up working with the industry. Thus, systematically, our university is created to direct its graduates to work in the industry. That is our needs, to follow the rules from DIKTI. If we go outside of the rule, meaning we go rogue, there will be questions such as why the curriculum does not follow the industry? Why did you not consult the industry when you made the curriculum? Especially now, everything must comply to SKKNI (national work competency


standard), while SKKNI in Indonesia is very very technical – from camera procedure, sound system, artistic style, and also editing. SKKNI on film is only consisted of four elements: sound system, camera procedure, editing, and artistic style. SKKNI is very technical, students must be able to do this, that, whatever. We cannot go that far from it. But why are we still eligible for the title, scholar? Because well. Our curriculum is still 60% theory and 40% practice. Hence theory still has a bigger proportion than practice. This is also the mandate from DIKTI. Lastly, with regard to exhibition. Why there is no festival, right? In the case of our campus, UMN, every year we held two festivals, usually in March and November. We held it in our campus. In fact, in November we have UCIFest, it is a short film and documentary film competition for students throughout Indonesia. So, everyone in Indonesia can submit their film in November, there is a competition, too. Ifa just agreed to be one of the juries, isn’t it right? The participants were also quite large, like for documentary. The last year winner was, I forgot the name of the university, but they are from the communication department in Ambon. Yes, from Ambon. They won the documentary competition in UMN. This is a nationwide competition. Maybe this festival is not yet quite exposed. Perhaps we lack in the marketing department, since not many people know about it. We are trying to do it routinely, in March and November, that is what we are trying to do. Well, I guess that’s it. Thank you.

Choiru Pradhono So yes, I believe it is difficult to do in schools, to shape Indonesian film into certain direction. There are way too many limitations, as mentioned previously, such as bureaucracy, and other things Dodo told us before. Those are the difficulties, because we are under a system, lecturers and the like cannot provide input. There are also way too many interests, that I don’t quite understand myself. One thing that we can do is to arrange the campus to collaborate with communities to create better environment in the campus. Because, the environment of film community, from what I saw—based on my discussion with Zikri—is that the environment of our friends in the communities, your creativity, is much better than ours in the campus. Students in film school do have relations with external film communities and vice versa. That is what we are trying to build. So they can have more knowledge and not limited by those aforementioned things.


In terms of the mold, as mentioned by Ifa and Dodo, every campus has their own uniqueness, their own character. But, I think, if a university is measured based on how much its graduates works in the industry, that will also affect, let’s say, the university’s character itself. Since they will work by leaving behind the characters that the university has molded for them. What the university expect is that those people, the students who already have their own character, can keep making works as expected by the institution, and that they can keep making works despite working in the industry. That rarely happens among students, especially in Padangpanjang, last time I check. Their goal is simply to work. They graduate, and they can work. And university is measured that way as well. Their success is determined based on whether or not they are working in their field. But those who have been molded to have a character, such as in ISI Padangpanjang who has a character that is woven by its culture, can produce something different from other films. But we cannot see it, because they will stop immediately after they graduate. That is my opinion. The condition makes it quite difficult, I believe.

Moderator Alright, so I guess there has been no decisive answer on this case. The way to address this situation, well, let’s say that the discourse itself is still problematic. Especially, regarding to Kus’ comments that there are boundaries created by policymakers, which in turn influences the direction of a campus, its output resulted from its mode of education. I think this is a problem that requires further attention from film activists. Thank you, everyone. Good Afternoon!




panel4


PANEL 4

Melampaui Kolaborasi: Antara Berkarya Secara Kolektif dan Individu Moderator Selamat datang semuanya. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah datang pada pagi hari ini untuk mengikuti program Forum Festival ARKIPEL Homoludens. Hari ini kita akan melanjutkan rangkaian Forum Festival [yang sudah berlangsung] sejak kemarin. Kita sekarang masuk panel keempat. Judul panel hari ini adalah “Melampaui Kolaborasi�, antara praktik individual dan praktik kolaborasi, bagaimana kita bisa menemukan suatu pembacaan baru dari praktik kesenian, baik itu seni visual maupun filem secara spesifik, dan pergerakan di wilayah itu. Di sini, saya mengundang dua pembicara. Sebelah kanan saya adalah Helen Petts, dia adalah artist-filmmaker, seniman yang berkecimpung dengan moving image terutama karya-karya yang belakangan. [Ia] fokus mengeksplorasi lanskap, kemudian wilayah rural, dan praktik-praktiknya berkolaborasi juga dengan beberapa musisi eksperimental. Dia juga punya pengalaman bekerja di wilayah komunitas video, tetapi produktivitasnya sebagai seniman individual juga memiliki intensitas yang cukup tinggi. Begitu juga dengan pembicara yang kedua, yaitu Otty Widasari. Dia adalah seniman, filmmaker,

Helen Petts

penulis, kritik, kurator, dan juga salah satu kurator

Otty Widasari

di ARKIPEL. Otty, sejak tahun 2003, mendirikan Forum Lenteng, kemudian, sejak tahun 2008

Moderator

menggagas program AKUMASSA yang secara

Manshur Zikri

spesifik berbicara tentang eksplorasi teknologi


video dan kolaborasinya bersama komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah. Sebagai seorang seniman individu, dia juga mempunyai produktivitas yang tinggi [terutama dalam] membicarakan persoalan-persoalan ritual, yang berkaitan dengan media, khususnya. Saya kira, dua pembicara ini bisa memicu perbincangan kita lebih jauh tentang pandangan kita secara filosofis memaknai apa itu, sebenarnya, kolaborasi. Apakah kolaborasi itu hanya persoalan tentang “bekerja sama dengan mitra atau sponsor, atau dengan teman, atau dengan keluarga, atau sebenarnya ada wilayah lain di balik itu yang bisa membuat kita menjadi lebih mendalami apa sebenarnya esensi dari praktik bermedia atau praktik memproduksi gambar bergerak. Nah, secara urutan, kita akan meminta Helen untuk berbicara pertama kali. Dia juga nanti akan menampilkan sedikit highlight tentang karya-karyanya selama ini. Sementara, Otty akan menampilkan beberapa arsip tentang media online, dari media sosialnya, tentang praktik yang berkaitan dengan AKUMASSA, khususnya. Jadi, kita persilakan Helen untuk berbicara secara spesifik, mengenai praktik Anda sebagai seniman, kemudian pengalaman dengan para seniman lain. Silakan, Helen!

Helen Petts Terima kasih, Zikri! Iya, nama saya Helen Petts. Saya datang dari London tapi saya juga bekerja di beberapa tempat di dunia dan saya juga pernah bekerja di daerah yang cukup sederhana dan terpencil. Mulanya, saya bekerja di sebuah tempat yang kami sebut komunitas. Saya mulai bekerja di tahun 1980-an. Pada awal 1980-an, kamera video sudah bisa dibeli oleh organisasi-organisasi komersial; tetapi ia tidak dapat dibeli oleh individu karena masih sangat mahal. Tapi ia bisa dibeli oleh organisasi-organisasi dan proyek-proyek komunitas. Pada saat itu di Inggris Raya, pemerintahan kami dipegang oleh sayap kanan, tapi di London, kita mempunyai pemerintah lokal yang sangat condong ke kiri, dan Majelis London Raya (Greater London Council) diasosiasikan dengan revolusi sosialis di London. Mereka memberikan dana ke kelompok-kelompok komunitas untuk membeli kamera video, dan kita turun ke jalan dan menggunakan kamera video untuk merekam cerita-cerita yang berbeda dari cerita di televisi mainstream, dan dari sanalah semuanya dimulai. Saya diberi pelatihan karena saat itu sedikit sekali wanita yang terlibat di pembuatan filem. Saya dilatih bagaimana menggunakan [kamera]; itu merupakan kesempatan yang sangat luar biasa bagi saya. Pada mulanya saya adalah aktivis politik, tapi saya sendiri bahkan tidak menyadari gagasan kreatif saya sendiri. Saya cukup lihai mendokumentasikan perlawanan orang lain, membuat filem untuk


mendukung mereka, tapi saya tidak tahu siapa saya sebenarnya. Karya pertama yang akan saya presentasikan – saya mengumpulkan semua karya saya menjadi sebuah kompilasi, dari karya pertama sampai yang saya buat baru-baru ini. Karya pertama saya adalah filem yang saya buat bersama dengan sebuah komunitas, yaitu grup teater remaja feminis. Filem ini adalah sebuah karya teatrikal tentang kontrasepsi, pendidikan seks, dan sebagainya. Tetapi filem ini akhirnya menjadi bagian dari sebuah kompilasi filem karya grup komunitas yang lain, dengan semua wanita muda dan remaja perempuan. Filem itu kemudian disiarkan di TV dan lumayan sukses. Saya kemudian, saya mengakui, saya bekerja di perusahaan TV mainstream. Pada saat itu, saya miskin; saya butuh uang. Di Inggris Raya, yang biasanya bekerja di media selalu anak kaya, yang datang dari keluarga kaya dan yang berlatar belakang serupa. Saya tidak berani bermimpi bekerja di media. Jadi untuk saya, kesempatan itu adalah sesuatu yang luar biasa. Majelis London Raya, kalian tahu, mereka membiayai semua kegiatan saya. Dan sekarang ada beberapa orang yang menulis tesis PhD-nya tentang periode itu dan mendiskusikannya dengan saya. Jadi, kemudian, ketika saya bekerja di perusahaan TV mainstream, saya membuat berbagai macam hal, dan ada sedikit pengaruh ideologi sayap kiri saya di dalamny. Tetapi kemudian saya mengalami kecelakaan yang sangat serius dan saya tidak bisa lagi bekerja sebagai kru, tidak bisa bekerja dua belas jam sehari, ataupun kerja enam hari seminggu. Jadi ketika saya mendapat kompensasi kecelakaan, saya belajar seni murni di Goldsmith’s College. Saya menjadi pelukis selama kira-kira sepuluh tahun, pelukis abstrak, dan itu mempengaruhi karya-karya saya sekarang. Saya kembali membuat filem karena dua hal: yang pertama adalah kamera sudah menjadi jauh lebih kecil sehingga memungkinkan saya untuk membuat filem. Saya bekerja dengan kamera yang ukurannya seperti sekarang ini, sendirian. Sebagai pembuat filem, saya yang pegang kamera, saya yang merekam suara, saya yang mengatur fokus. Saya yang mengedit – tetapi saya juga berkolaborasi dengan seniman lain dan membuat filem bersama. Dan pengalaman di sekolah seni juga membuat saya mengerti siapa diri saya sebagai seniman, yang sebelumnya pemahaman itu tidak saya miliki. Yah, saya sosialis, saya feminis, tapi soal berkarya sebagai seniman, dulu saya tidak tahu siapa saya. Mengenai karya saya yang terakhir... Eh, maaf, saya tadi bilang ada dua alasan yang mendorong saya mulai membuat filem lagi. Pertama adalah karena kamera menjadi semakin kecil; dan yang kedua karena pasangan saya – kami tidak menikah namun kami sudah hidup bersama bertahun-tahun – meninggal, dan melukis seorang diri menjadi kegiatan yang sepi – saya merasa saya akan gila. Jadi saya mulai bekerja dengan musisi-musisi karena


saya suka pergi ke konser. Saya tidak mampu beli tiket masuk konser karena saya tidak punya uang. Jadi supaya bisa masuk, saya memberi tawaran untuk memfilemkan mereka. Dan itu terus berlanjut, sehingga saya menjadi semakin percaya diri memfilemkan musisi. Mereka sangat eksperimental, bergerak di bidang “improvisasi bebas”, dan saya mulai berimprovisasi dengan mereka dan membuat gambar-gambar yang cukup abstrak tentang kegiatan mereka bermain musik. Itulah isi sebagian besar kompilasi ini, yang kemudian berkembang menjadi semacam misi bagi saya sebagai seniman untuk membuat filem dengan musisi-musisi di dalamnya. Tetapi saya yang memegang kontrol – kita akan berbicara lebih tentang itu nanti: saya berkolaborasi dan saya yang membuat keputusan akhir. Baiklah, silahkan diputar filemnya! (video diputar) Di bagian terakhir, yang di awalnya ada burung-burung, adalah karya saya yang terbaru yang merupakan komisi Manchester Art Gallery. Filem itu adalah respons saya sebagai seniman terhadap arsip Li Yuan-Chia, seorang seniman dari Taiwan. Filem ini sedang dipamerkan di Manchester Art Gallery, bersama dengan seniman-seniman lain yang terinspirasi olehnya. Ia adalah seniman dari Taiwan yang meninggalkan Taiwan dan tinggal di Inggris Raya, meninggal dalam keadaan sangat miskin dan dilupakan orang di awal tahun 1990-an. Sekarang ini ia sedang dibicarakan kembali dan saya bekerja menggunakan arsip rekaman filemnya ditambah dengan rekaman punya saya sendiri. Bagian sebelum itu, yang ada air dengan – close up shot air dan musisi – dua penyanyi, saya memilh itu karena tema ludic. Phil Minton adalah seniman yang paling ludic menurut saya; dia bereksperimen dengan vokal dan dia juga adalah penyanyi jazz yang fantastis, tetapi dia sudah beralih ke teknik vokal yang extended. Saya sudah cukup sering bekerja dengannya, dan itu adalah cuplikan dari filem berjudul The Cutty Wren (2010 —Peny), isinya satu close up shot mukanya saja. Awalnya dia bernyanyi secara kontekstual, kemudian performansnya menjadi lebih gila lagi. Sebagian besar filem ini ada di akun Vimeo saya, Helen Petts (https://vimeo.com/helenpetts), atau di Youtube saya (https://www.youtube.com/channel/UCiP-hll_qLxFuhay8fvWi4w), yang semua isinya adalah konser –saya memfilemkan konser sesungguhnya, bukan membuat filem yang diniatkan sebagai filem, konser itu lantas terekam sebagaimana mestinya. Di filem yang ada airnya itu, ada Phil dan Roger Turner, seorang pemain instrumen perkusi, yang meniup sedotan dan mereka memainkannya sebagai sebuah karya musik, dan saya suka membuat karya seni dengan mereka. Filem yang akan saya putar pada program kuratorial saya di ARKIPEL


tahun ini, juga ada Phil Minton yang menghadirkan karya vokalnya. Tapi filem ini adalah respons saya terhadap seniman dari Jerman bernama Kurt Schwitters, dan dia juga adalah seorang seniman yang bekerja dengan tema “homoludic�, yang bermain dengan hal-hal konyol, gila, dan sureal – ia diasosiasikan dengan gerakan Dada, dan kita akan berbicara lebih lanjut tentang itu pada program saya. Tapi saya cuma mau memberi tahu bahwa filem itu berasal dari karya yang ini. Dan lagi-lagi, proyek semacam itu mengharuskan saya berpergian ke lanskap yang cukup terpencil. Saya sekarang punya masalah kesehatan. Tapi dulu dan sampai sekarang sebetulnya saya sangat suka mendaki. Saya suka mendaki gunung, dan dulu saya membuat filem tentang kesendirian bersama lanskap, dan bagaimana saya mengatasi situasi semacam itu. Saya pernah pergi ke Nepal, jalan-jalan di Himalaya dan saya mengambil footage ini. Karena karya Kurt Schwitters cukup abstrak dan banyak repetisi, saya mengambil satu rekaman di mana saya sedang menyebrangi jembatan. Dan saya pakai rekaman itu, saya ulang, ulang dan ulang, saya melakukan itu karena saya pernah kena serangan vertigo yang sangat parah, dan musiknya juga membuat saya mengalami vertigo, jadi saya memutuskan untuk menggabungkan keduanya. Tapi menurut saya, kolaborasi itu bisa dilakukan bersamaan; dia juga bisa dilakukan setelahnya; dia bisa dilakukan setelah salah satu seniman sudah meninggal. Pemain saksofon (Lol Coxhill di Solo Soprano [2014] – Peny.), saya membuat sebuah kolaborasi di mana saya merekam Lol Coxhill ketika ia sudah tua. Dia punya demensia, di shot yang sebelah kanan itu dia sedang sehat, sedangkan di shot sebelah kiri dia mengalami demensia yang cukup parah, tapi dia masih bisa memainkan musik dengan sangat indah. Setiap kali saya bertemu dia, saya berhasil membujuk dia untuk bermain solo, dan saya edit permainan-permainan solonya itu menjadi sebuah karya. Saya juga mau bilang bahwa kebanyakan karya saya dipamerkan di galeri seni dan museum sebagai instalasi. Jadi karya-karya itu mempunyai tempo yang cukup lambat, dan orang-orang biasanya menonton lebih dari sekali, atau mereka keluar dan mereka menontonnya selama beberapa menit. Terutama yang tentang musik, karya itu biasanya tidak dipertontonkan di ruang gelap; jadi itu sebuah topik yang lain lagi. Diskusi tentang perbedaan, antara menunjukkan karyamu sebagai seniman dan menunjukkannya di museum.

Moderator Terima kasih, Helen! Sebenarnya, dari presentasi Helen tadi, kita sempat di-notice tentang bagaimana, dalam praktik berkaryanya, dia merespons praktik dari seniman di masa lampau, yaitu Kurt Schwitters dan Li Yuan-chia. Saya kira, itu nanti bisa dielaborasi lebih jauh, terutama yang merespon Kurt Schwitters itu. Helen menerapkan metode yang digunakan oleh Kurt


Schwitters juga di dalam karyanya, dan itu juga berkolaborasi dengan musisimusisi eksperimental. Itu memiliki aspek yang, saya rasa, bisa meluaskan makna dari kolaborasi yang tidak hanya sekedar joint fasilitas, joint instrument, kemudian membuat karya bersama. Tetapi lebih ke dalam cara berpikir bagaimana sebenarnya produksi image itu bisa, bahkan, melintasi ruang gerak masing-masing individual dan juga melintasi ruang-waktu yang sudah lampau dan kini. Dan perbandingan itu menjadi sesuatu yang menarik, sebenarnya, dalam konteks estetika, yang saya maksud. Kita lanjut ke Otty. Kita persilakan, Otty...!

Otty Widasari Selamat pagi! Terima kasih [atas] kedatangannya di pagi-pagi yang masih ngantuk ini! Saya akan ngomong tentang,… tema di Forum Festival kali ini kan, Beyond Collaboration atau ‘Melampaui Kolaborasi’. Buat saya sendiri, sebetulnya kata ‘kolaborasi’ itu, kan [dalam] Bahasa Indonesia, ‘collaboration’ dalam Bahasa Inggris dan ia kata serapan yang kita dapat dari Bahasa Inggris: aksi kerja bersama orang lain untuk membuat sesuatu. Sementara, dalam Bahasa Indonesia, kita punya “kerja sama”— kerja bersama-sama. Dalam terma Bahasa Indonesia, juga ada kata yang kita selalu kenal, “gotong royong”, yang artinya ‘mengangkat atau mengangkut’— [kata] “royong” itu [berarti] ‘bersama-sama’. Jadi, saya melihatnya agak sedikit berbeda. Kalau kata “kolaborasi” yang diserap dari Bahasa Inggris itu adalah, semangatnya, ‘membuat’, [kata] “kerja sama” di Indonesia—kalau kita merujuk pada karakter orang Indonesia—“gotong royong” itu, lebih [berarti] ‘semangatnya bekerja’, bukan ‘membuat’. Dan menurut—saya cari-cari tahu sedikit di Google—M. Nasrun, yang dianggap sebagai pelopor kajian filsafat Indonesia, istilah “gotong royong” itu sangat Indonesia. Itu seperti termanifestasikan dalam ajaran filosofisnya, “masyarakat Indonesia yang mufakat”; ada dalam pantun-pantun, ada dalam hukum adat kekeluargaan, bahkan ada di dasar negara kita, di undangundang atau dasar negara Indonesia. Jadi, itu sangat khas Indonesia; dia tidak Barat, tidak Timur juga. Ya, udah, Indonesia aja, gitu! Artinya, “kerja sama” yang dimaksud di sini, kalau kita merujuk ke tema “gotong royong”, adalah sesuatu yang sudah ada di keseharian masyarakat Indonesia, keseharian kita. Saat kita menerapkannya dalam kerja kreatif, misalnya bidang seni, seperti berkolektif atau membuat filem, sadar atau tidak kita sedang menerapkan keseharian kita kedalam proses kerja kreatif itu. Kemudian, saat kita mulai merumuskan atau merformulasikannya, yang artinya mencoba membaca kerja kita sendiri, kita jadi seperti mencoba membaca sesuatu yang terpisah dari diri kita sendiri. Kalau [menurut] saya,


terinspirasi omongannya Afrizal Malna (pada panel pertama Forum Festival ini – Peny), aksi itu [seakan] sedang melakukan proses eksternalisasi. Padahal “kerja sama” itu adalah bagian dari tubuh kita, dari keseharian masyarakat Indonesia itu sendiri. Seolah kita tidak memahami apa itu “kerja sama”, kemudian menjadikannya semacam kurikulum, kemudian mempelajarinya. Jadi, buat saya, ini agak sedikit janggal, tapi itulah yang terjadi. Karena, menurut pendapat saya pribadi, pengetahuan yang kita dapat dan kita terapkan pun, sebenarnya, banyak banget serapan, yang “barat-sentris”; kita memang menyerap ilmu dari sana, kan? Jadi, saat kita mencoba merumuskan apa itu “kolaborasi” atau “kerja sama”, kita sedang mengadopsi sebuah istilah yang kita serap dari Barat, yang karakternya, sebetulnya, agak sedikit berbeda atau lebih berbeda. Secara karakter, masyarakat Barat itu lebih individual; kita lebih komunal. Sementara “kolaborasi”, yang tadi saya pertama bilang, aksinya itu lebih membuat, “kerja sama” yang kita dekatkan dengan kata “gotong royong”, [aksinya] lebih bekerja. [Istilah] “kolaborasi” yang kita adaptasi itu terdengar lebih bermuatan, ada interest di sana, walaupun mungkin cuman tipis-tipis saja perbedaannya. Saya akan meng-highlight kerja kolaborasi yang saya lakukan. Saya adalah Direktur Program AKUMASSA di Forum Lenteng. Itu program sejak [tahun] 2008, program pemberdayaan masyarakat berbasis media, bekerjasama dengan komunitas-komunitas. Garis besarnya, adalah, kita merespons situasi bermedia di Indonesia pasca-Reformasi, di mana media massa mainstream sarat dengan kepentingan komersial, kepentingan korporasi, kepentingan politik, golongan, dan sebagainya. Lalu, masyarakat makan informasi apa? Nah, gerakan AKUMASSA adalah gerakan yang memproduksi informasi dengan perspektif warga, aksinya adalah dengan mereduksi unsur subjektivitas dalam memproduksi informasi, untuk mereduksi kepentingankepentingan yang kita kritik itu. Kepentingannya adalah kepentingan warga. Ada kepentingan, pasti, ya, kepentingan warga. Kalau kepentingan warga, saya pikir, tidak tersegmentasi, tidak seperti kepentingan yang tadi saya sebut sebelumnya. Di tahun 2016, saya menyelenggarakan sebuah proyek seni di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, lebih tepatnya lagi di kota [sic] Pemenang. Proyek dari Forum Lenteng ini bernama AKUMASSA Chronicle, dan [untuk] proyek seni yang dilakukan di Pemenang itu, kita sebut Bangsal Menggawe. “Menggawe” itu dari bahasa lokal di sana, artinya ‘berpesta’. “Bangsal” itu nama pelabuhan di sana. Kita bekerja sama dengan sebuah komunitas, [bernama] pasirputih, di Lombok Utara. Sejak 2010, mereka bergabung dengan Program AKUMASSA. Isu yang selalu direspon oleh komunitas pasirputih adalah turisme atau pariwisata di lokasi mereka. Pemenang ini, di sana ada pelabuhan bernama


Bangsal. Pelabuhan ini adalah gerbang utama menuju ke “Tiga Gili�, tiga pulau kecil di Lombok yang menjadi tujuan wisata internasional. Di Lombok sendiri, pariwisatanya pesat banget sejak pertengahan 1990-an. Setelah bom Bali (terjadi tahun 2002 – Peny), dia menjadi tujuan wisata ke-2 setelah Bali dan itu sangat mengubah wajah Pemenang. [Isu] itu selalu direspon oleh teman-teman di Lombok Utara. Lombok Utara sendiri adalah sebuah kabupaten baru, pemekaran dari Lombok Barat. Di tahun 2010, waktu kita mulai [workshop] AKUMASSA di sana, [kita] kerja sama dengan mereka (pasirputih) dan Lombok Utara baru berusia satu tahun sebagai sebuah kabupaten. Komunitas pasirputih sangat concern dengan bagaimana pariwisata mengubah wajah Pemenang. Kota Pemenang ini adalah kota-kecamatan yang memiliki masyarakat yang hidup rukun antara tiga agama; di sana ada agama Hindu, Buddha Sasak, dan Islam. Mereka hidup rukun di sana, tapi ketiga [pemeluk] agama ini juga merasa ada benturan yang diakibatkan oleh pariwisata; benturan antara pola hidup tradisional, keagamaan, juga dengan turisme. Tapi, sejak 1990-an, mau nggak mau, hidup masyarakat di sana memang sangat bergantung [pada pariwisata] secara ekonomi, terutama [karena] itu pemasukan untuk Pemda (Pemerintah daerah – Peny). Akhirnya, pola hidup masyarakat berubah; orang berubah pekerjaan, dari nelayan menjadi penjual mutiara atau penjual souvenir, jadi boatman, dan kemudian di Tiga Gili terdapat banyak sekali cottage, villa, dan hotel yang 90%, bisa dibilang, pemiliknya adalah orang dari luar negeri atau orang dari Jakarta, atau dari Bali atau dari Surabaya, bukan orang lokal. Jadi, masyarakat sejak saat itu adalah pelayan turisme. Anak-anak sekolah, mereka tahunya, nanti lulus sekolah akan melanjutkan ke sekolah pariwisata, untuk bekerja di hotel. Bayangan di masyarakat Pemenang adalah bagaimana melayani turisme, karena itu adalah kehidupan utama, pemasukan utama ekonomi di Lombok Utara. Itu selalu jadi concern teman-teman pasirputih: kehidupan masyarakat yang semakin bergeser. Pada Proyek Seni AKUMASSA Chronicle di Lombok Utara tahun 2016, kita merespon situasi itu; merespon fenomena turisme. Bagaimana friksi yang terjadi di sana direspon dan bagaimana nilai-nilai yang sebetulnya dianggap sebagai kearifan lokal yang ada di masyarakat itu tumbuh dan tidak tergerus oleh turisme. Bagaimana masyarakat bisa mengingat kembali bahwa Pelabuhan Bangsal adalah jantung hati sejak mereka kecil, bahwa di situ adalah tempat masyarakat bertemu dan bertegur sapa, mereka pertama kali bisa berenang di sana; kalau ada acara olahraga sekolah, mereka bertanding bola pasir di sana; jajan plecing dan jajan es limun. Tapi itu sudah tidak ada, semuanya harus ada urusannya sama uang. Sejak turisme meningkat di sana, orang cuma tahu persaingan antar-boatmen, persaingan antara syahbandar dan koperasi,


juga pengelola pertiketan, persaingan antara para penjual souvenir dan lain sebagainya. Sudah nggak ada lagi yang [sebagaimana] setiap lebaran, atau setiap tahun, pasti ada panggung dangdut yang di sana dikelola oleh pemilik band lokal dan sebagainya. Di proyek seninya AKUMASSA Chronicle ini, saya mengundang sebelas seniman dari berbagai kota di Indonesia. Di proyek ini, saya dan para seniman ini [punya ide] bagaimana kalau kerja samanya, berkolaborasi dengan masyarakat. Yang menarik dari proses proyek seni ini, saat seniman saya tantang untuk, “Bagaimana kalau kalian mundur sebagai seniman dan bikin bintang-bintang masyarakat di sini, tuh, nongol…?” Jadi, bagaimana seniman itu adalah panitia, bukan bintangnya. Caranya bagaimana, itu [adalah] proses yang sangat panjang: para seniman itu melakukan residensi selama 1.5 bulan, dan baru berkarya. Puncak acaranya adalah melakukan pawai dengan meng-highlight karya-karya kolaborasi para seniman dengan masyarakat itu. Misalnya, saya kasih contoh, ada seorang seniman dari NTB, namanya Nash Jauna. Dia adalah aktor pantomim. [Awalnya] yang dia bayangkan adalah dia harus bikin panggung, entah di pelabuhan bangsal atau di mana, kemudian dia berpantomim, memanggungkan naskahnya atau apa. Tapi kemudian, dia pikir bagaimana, ya, caranya berkolaborasi selama residensi di sana. Akhirnya, dia berpikir, “Sudahlah, saya gangguin Bangsal saja!” Dia mulai berpantomim sendirian setiap hari di pelabuhan, mengganggu orang, mengganggu turisme. Ada yang terganggu, ada yang senang, turis-turis memotret-motret dia sebagai objek yang menarik. Para boatman merasa, “Hmm…, ganggu tamu gue, nih!” Yang paling tertarik dengan aksi Nash adalah anak-anak kecil. Sejak ada Nash di sana, anak-anak kecil suka bergerak-gerak, “mengadakan” yang “tidak ada”—kalau pantomim itu, kan, “mengadakan yang tidak ada”. Dan akhirnya kolaborasinya Nash adalah dengan anak-anak kecil, setiap hari berpantomim. Dan di puncak acara, saat semuanya pawai bersama, saat semua seniman dan kolaborator ini berpawai bersama untuk menggawe, pesta, seperti tradisi yang zaman dulunya ada di Pemenang, Nash dan anak-anak kecil ini nggak pantomim sih, nggak manggung, mereka cuman bawa karung sambil membersihkan sampah bekas pawai. Tapi selama proses satu bulan setengah itu mereka selalu bergerak-gerak aneh, “mengadakan” yang “tidak ada” di pelabuhan. Contoh lain yang menarik adalah seorang seniman dari NTB juga, namanya Asta Tabibuddin. Dia adalah aktor monolog, teater. Terus, dia selalu berpikir, “Saya harus ngapain, ya, kalau harus kolaborasi? Saya, kan monolog?”


Monolog itu, aktor, kan, sendirian. “Saya harus berbuat apa, nih…?” Akhirnya, dia tiap hari bertemu sama orang, mencari siapa bakat-bakat aktor monolog di sana, mungkin ada, mengunjungi banyak orang di kampung-kampung situ. Sampai akhirnya, dia bertemu bahwa di Pemenang, anak-anak muda sampai tua suka sekali dengan bola. Mereka sangat tergila-gila dengan bola. Bahkan sejarahnya, zaman dulu masyarakat tuh pernah patungan jual pisang, ada yang jual kelapa dan hasil buminya, mereka bareng-bareng beli satu tanah dan sekarang namanya Lapangan Guntur Muda—sekarang sudah jadi pasar. Lapangan itu sudah jadi lapangan bola milik bersama. Fenomena bola ini sangat kencang di Pemenang. Akhirnya, yang dilakukan Asta, yang seorang aktor monolog ini, bukannya dia juga memanggungkan diri, melainkan dia bikin —[karena di masyarakat Pemenang] tidak pernah hidup bolanya karena persaingan antardusun— liga [bola]; dia membuat Bangsal Cup, yang dilanjutkan sekarang. Jadi, setiap tahun ada liga. Si aktor monolog malah bikin liga, yang di setiap pertandingannya, dia bermonolog dengan menjadi komentator bola. Puncak acara Bangsal Menggawe ini adalah [pertandingan] final [Bangsal Cup]. Jadi, semua orang pawai. Setelah pawai, semuanya stop di pantai dan menonton pertandingan final Bangsal Cup. Ya, itu contohcontohnya. Saya akan tampilkan gambarnya dari Instagram saya. Ini contoh keseharian Nash selama di sana. (Video diputar) Oke, makasih. Video yang terakhir adalah puncak acaranya. Kita sama sekali tidak menyangka tadinya, [bahwa] masyarakat mau ikut pawai atau tidak. Tapi karena dibangun kerja sama tersebut, dan memang sebetulnya [seperti] yang saya bilang tadi, kerja sama dan gotong royong itu udah di masyarakat kita, itu udah biasa aja, gitu. Seni itu cuma membingkai persoalan saja. Rakyat menggawe di sana, atau berpesta di pantai itu .Kita memperkirakan ada tukang warung yang menyumbang 500 nasi bungkus – dengan harga potongan sih, bukan nyumbang, tapi ada juga yang nyumbang Aqua 500 [buah]. Kita membayangkan ada kurang lebih 500an orang yang pawai. Tapi kenyataannya, yang datang ke situ 5.000 orang, ke pantai itu dan ikut menggawe bersama. Bahkan, bupati baru yang berpidato, waktu itu dicuekin orang. [Warga] menggawe seperti zaman dulu, berenang, mencari keke atau mencari kerang di sana, “memunggungi” pariwisata. Tadi ada karya Ismal Muntaha, yang ada orang ngangkat gapura. Waktu itu semuanya orang kerja aja. Karena gapuranya Ismal berat, jadi semuanya yang bekerja. Yang satu ada bapak-bapak itu, ia adalah salah satu senimannya juga. Dia dalang wayang sasak. Lalu masyarakat Buddha, masyarakat Islam bareng-bareng. Itu seperti hal yang organik saja terjadi. Jadi, yang terjadi saat itu yang paling menarik buat saya adalah, sejenak turisme itu diam. Turis tidak bisa


menyeberang ke Gili, karena boatmen-nya lagi tanding bola. Jadi syahbandar atau koperasi yang jual tiket, nggak bisa, nggak bisa, boatmennya juga lagi tanding, mereka masuk final, ya? Masuk final apa semi-final saya lupa. Nggak bisa, pokoknya turisme diam sejenak untuk aksi kultural. Saya mau lanjutkan, itu adalah proyek Bangsal Menggawe, AKUMASSA Chronicle 2016. Tanggal 5 kemarin, 5 Agustus hari Minggu jam 7 malam kita dapat pesan di WhatsApp group, karena semua komunitas Akumassa yang aktif pasti [ada] di satu grup bersama kita semua di Forum Lenteng, sudah jadi jaringan saja. Muhammad Sibawaihi, pelopor komunitas pasirputih mengabarkan tentang gempa magnitudo 7,7 skala Richter di Lombok. Gempa itu masih disusul sampai hari ini yang terjadi sekitar 318 kali. Saat itu, Siba ada di bukit bersama 700-an orang lainnya, karena pesannya kalau mereka [sedang] di pantai dan ada gempa, [maka] lebih baik segera naik ke gunung karena ada peringatan tsunami. Tapi yang terjadi adalah, tsunaminya [memang] terjadi, tapi cuma sekitar 13 cm. Sedangkan mereka sudah ada di gunung dan jalan malah terputus, [sehingga] mereka tidak bisa turun [gunung] dan tidak ada makanan. Itu terjadi sampai sekitar 2 hari. Tetapi kita tetap bisa berkontak karena jaringan internet tetap nyala, sampai akhirnya baterainya Siba dan teman-teman kami di sana habis. Telpon tinggal 2 persen. ʺInnalillahi, gempa lagi ya?ʺ Itu terjadi terus sampai setiap 5 menit sekali. Dan kita di sini sedih, karena kita mesti ngapain, kita jauh. Dan terjadi lagi, terjadi lagi terusmenerus gempanya. Kita coba kontak terus. Kalau kita telpon juga ngabisin baterai, akhirnya Whatsapp-an, sampai pagi masih bisa telpon. Sedih! Kebetulan di sana juga ada Albert. Dia adalah [perwakilan] komunitas Akumassa dari Solok, Padangpanjang. Kita selalu berjejaring dan Albert sedang residensi di pasirputih, di Lombok Utara. Albert juga menjadi bagian dari pengungsi sekarang, di gunung itu. Dan Siba mengirim beberapa foto di grup WhatsApp dan terus di-update. Boleh diperlihatkan sedikit? Mungkin foto ini [adalah] foto-foto yang sering kita lihat juga beberapa hari ini. Ini adalah foto update waktu gempa pertama kali terjadi, dan mereka naik gunung. Kerusakan yang terjadi di Lombok Utara [yang] paling parah ternyata. Tadi pagi saya telpon teman saya, jaringan komunitas Akumassa juga, namanya Naufal. Dia adalah wartawan koran ANTARA di Surabaya. Dia masih di sana. Dia memotret pakai drone. Dia berani bilang kalau kerusakan di Lombok Utara 90 persen. Jadi, kawan-kawan kita sekarang nggak ada rumah. Udah, habis? Ini terakhir juga Siba mengirim, [bahwa] mereka sudah bisa turun dari bukit.


Dia dan Albert naik motor ke Mataram dan kemudian mendapatkan bantuan dan semuanya. Mereka mulai menggalang donasi dan menyalurkannya bukan cuma ke desa mereka, tapi ke semua daerah yang membutuhkannya. Sejak malam itu, tanggal 5 malam, tepat setelah kejadian gempa itu, kami nggak bisa berbuat banyak. Kami jauh dan bukan punya uang, jadi kita sebisa mungkin lewat media sosial dan sebagainya. Menggerakkan jaringan kita ini, termasuk jaringan kita yang lebih luas lagi selain jaringan Akumassa, untuk, walaupun mungkin itu nggak banyak banget, nggak besar banget yang dilakukan, tapi itu berjalan dengan baik. Menghubungi PMI dan sebagainya, menghubungi teman yang di sana, teman yang di sini, itu berjalan dengan baik. Sampai ya, mudah-mudahan, ini membantu. Bahkan teman kita yang dari ANTARA, di Surabaya itu, paginya dia berangkat tanpa redaksi khusus dari pemred-nya (pemimpin redaksi – Peny). Dia kebingungan. Tadi pagi, saya menghubunginya lewat telpon. Dia bilang, “Ya, saya jalannya ke [lokasi] ini, [lokasi] ini, [lokasi] ini. [Saya] menghubungi ini, itu di Mataram karena saya kebingungan. Nggak tahu disuruh ngapain. Jadi, saya pemred-nya Mbak Otty ya”. Akhirnya dia ikut ambulans dan sebagainya tadi pagi. Dan tadi pagi kita masih bertelpon, Naufal bilang, «Saya terharu banget Mbak, karena kawan-kawan ini – Siba dan lain-lainnya, termasuk Albert yang dari Sumatera Barat – mereka kan korban, rumahnya nggak ada, makanan nggak ada dan kesulitan banget, tapi mereka malah jadi relawan. Jadi yang menggerakkan posko dan sebagainya di Lombok Utara itu, menurut Naufal yang dari jaringan Akumassa ini, penggerak relawan itu adalah komunitas pasirputih. Sebetulnya itu bukan hal yang heroik atau apa. Sebetulnya itu ada di karakter kita. Kerja sama. Bekerja, bukan membuat. Kerja sama atau gotong royong itu mengangkat, mengangkut, menggotong. Itu bersama-sama. Itu sudah ada di karakter kita. Persoalannya adalah, dia tersistemasi dengan baik atau tidak. Kemudian dia juga pernah tergerus oleh yang [dating] dari luar kita, mengadopsi yang lain, kemudian apakah kita kembali lagi atau tidak, atau bagaimana kita menyikapi itu. Menyikapi apa makna kerja sama itu sendiri. Dan saat ini wajah Pemenang berubah lagi. Lagi-lagi, saya ulangi kata-kata yang tadi, turisme juga diam sejenak, untuk aksi kultural ini, walaupun karena gempa. Tapi kolaborasi aksi kultural yang dilakukan itu berjalan terus. Yaitu yang saya maksud tentang bagaimana kita berjaringan dan memaknai apa itu arti kerja sama, aksi gotong royong yang hidup lagi. Mungkin itu mendekati atau tidak, karena saya tidak punya pembicaraan tentang filem. Itu sudah ada semua di program 10 tahunnya Akumassa. Tapi saya lebih berbicara tentang, mungkin mendekati tema yang Zikri buat tentang Beyond Collaboration. Terima kasih.

Moderator Terima kasih, Otty. Jadi, waktu kita mencoba meng-conduct tentang tema “Melampaui Kolaborasi” ini, terjadi percakapan antara saya dan Helen Petts,


dan kemudian Otty, via email tentang bagaimana sebenarnya “kolaborasi” yang kita maksud. Dan Helen juga waktu itu pernah menyebutkan, bahwa, misalnya ketika saya berkarya, dia bilang,“Saya lebih senang bekerja dengan orang-orang yang saya kenal. Bahwa teman-teman terdekat sayalah yang saya filemkan.” Bukan dalam artian, hubungan itu terjadi karena pertemanan. Dan poin itu sebenarnya juga menjadi hal yang penting, yang sebenarnya juga menubuh dalam konteks di masyarakat kita, bagaimana tradisi tolongmenolong itu dilakukan tanpa ada harapan, feedback, dan lain segala macam. Dan saya kira, cara berpikir ini sebenarnya menjadi kerangka alternatif dalam melihat bagaimana praktik atau aksi kultural itu bisa mencapai titik tergaungnya dalam melakukan apa pun, misalnya semacam Rumah Sosial dan segala macam. Misalnya seperti kasus terbaru yang terjadi di Lombok; [kejadian] bencana alam kemudian menjadi sesuatu yang dapat ditanggapi dengan cepat karena ada kesadaran tentang kolaborasi yang kita coba bongkar maknanya ini. Dan itu tentu pasti memiliki ambivalensinya dengan praktik seni, yang di satu sisi juga tidak menafikan subjektivitas dari individu si senimannya sendiri. Saya rasa, itu presentasi dari dua pembicara kita. Mungkin saya akan langsung saja berikan kesempatan kepada teman-teman yang mau mencoba memberikan tanggapan atau pertanyaan, baik dari praktik kedua pembicara atau pun mau mencoba mendiskusikan lebih jauh tentang makna kolaborasi. Silakan, tiga pertanyaan dahuu untuk kesempatan pertama!

Helen Petts Zikri, saya boleh menanggapi perkataan Otty?

Moderator Iya, silakan.

Helen Petts Kamu benar. Orang di Inggris Raya memang lebih individual. Kami tidak punya tradisi kerja kolaboratif yang sama dengan kalian, tapi itu juga dipengaruhi oleh sistem politik sekarang yang sangat condong ke kanan. Sebagian besar komunitas video, mereka bubar karena orang-orang mendapat pekerjaan konvensional di perusahaan TV – seperti saya. Dan orang yang dulunya belajar membuat filem, mereka menjadi produser dan sutradara TV. Kami pernah membuat proyek yang mirip dengan kalian. Itu masih berlanjut. Tentang melatih orang untuk bekerja di perusahaan TV. Itu tujuannya. Itu bukanlah intervensi budaya terhadap apa yang sedang terjadi. Tapi pada tahun lalu, terjadi perubahan besar; di lingkungan saya, ada bencana besar. Greenfell Tower, sebuah menara apartemen, dia hangus terbakar satu tahun yang lalu (2017 – Peny.) dan itu dikarenakan oleh bahan


bangunannya yang sangat murah. Lebih dari 100 orang meninggal dan peristiwa itu menjadi skandal yang sangat sekaligus sangat traumatik bagi komunitas saya; saya tinggal setengah kilometer dari sana. Sejak itu, ada proyek-proyek artistik. Orang-orang berkolaborasi membuat video-video tentang pengalaman itu. Hal itu membawa dampak positif yang sangat besar bagi aktivitas kreatif di lingkungan tersebut, dan itu bukanlah soal menghasilkan uang. Itu bukan soal mendapatkan pekerjaan di perusahaan TV, tetapi hal itu menjadi pernyataan bahwa, “Kami ini penting, kami tinggal di sini dan kami adalah rakyat�. Dan itu sedikit mirip dengan lingkungan di sini. Saya kemarin berjalan di satu daerah, ada rumah-rumah besar, dan ada kota kecil sederhana tepat di sebelahnya; dan itulah lingkungan tempat tinggal saya di London; di Notting Hill. Dan semua tahu Notting Hill itu fashionable, tapi jika kamu pernah ke sana, tempat itu adalah bagian komunitas yang sebenarnya sangat miskin. Sekarang kegiatan budaya melonjak sejak banyak orang meninggal. Jadi, saya pikir ada beberapa hal yang mirip ya.

Riar Rizaldi (Kurator & Seniman) Halo, mau menanggapi. Saya punya pertanyaan dan tanggapan buat Mbak Otty. Tanggapan pertama buat Mbak Otty, saya suka banget sama praktikpraktik seperti ini, karena menurut saya, praktik seperti ini menghindari halhal yang disebut eksploitasi. Banyak seniman atau filmmaker datang ke suatu tempat, mereka mengambil sari-sari masalah komunitas tersebut, terus mereka punya agensi mereka sendiri sebagai seniman, dan cuma mereka yang akhirnya menjadi corong atau spotlight. “Nih si orang ini yang aktivis, seniman aktivis yang membantu komunitas tersebut.� Tapi sebenarnya, pada akhirnya komunitas tersebut tetap termaginalkan. Seni tidak membantu apa-apa ke mereka, dan tidak ada aktivasi atau hal-hal yang memberdayakan mereka sebagai masyarakat. Dan menurut saya, praktik-praktik seperti AKUMASSA inilah yang semestinya disebut sebagai kolaborasi. Karena kalau kita berkaca pada kolaborasi ala Barat, atau apalah itu relational aesthetics atau participatory, menurut saya itu omong kosong. Seharusnya jika memang mau berpartisipasi langsung, ya langsung terjun ke pusat permasalahan dan kita bekerjasama dengan orang-orang di sekitarnya yang memberdayakan mereka, bukan cuma menambah isak tangis mereka sebagai seniman dan hura-hura setelahnya. Jadi menurut saya, ini praktik yang memang sangat sangat baik. Karena ini filem festival, mungkin juga banyak filmmaker juga seharusnya bisa berkaca, bisa punya semacam praktik artistik yang seperti itu. Apalagi dokumenter kan, yang sebatas ingin mewartakan, tanpa ada timbal balik ke masyarakat sekitar. Lalu, saya punya pertanyaan buat Helen. Saya suka ide karya Anda yang berkolaborasi dengan musisi improvisasi Phil Minton. Saya familiar dengan


karya Minton karena pernah berada di festival yang sama dengan Minton tahun lalu. Saya juga suka ide bagaimana memadukan gambar bergerak (moving image) dengan musik improvisasi. Pertanyaan saya, apa arti improvisasi untuk filem, untuk gambar bergerak, dan apa arti gambar bergerak dalam improvisasi? Terima kasih.

Helen Petts Ah, menarik. Saya harus mengatakan bahwa banyak musisi yang berkolaborasi dengan saya hanya melihat saya sebagai cara untuk mendapatkan publisitas. Bolehlah mereka punya telinga yang canggih, tapi mata mereka sebaliknya. Mereka tidak benar-benar melihat apa yang saya lakukan, kecuali Steve Beresford yang bermain piano, dia berkolaborasi dengan Christian Marclay, dan dia memiliki banyak pengalaman bekerja dengan seniman visual. Tapi Phil Minton, sepertinya dia tidak tertarik dengan apa yang saya lakukan sebagai pembuat filem. Dia melihat saya sebagai seseorang yang bisa mempublikasikan karyanya. Saya tidak tahu apakah dia akan keberatan jika saya mengatakan hal ini. Tapi bagi saya, sebagai pembuat filem, dengan masalah kesehatan sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, saya tidak pernah tahu hari demi hari apakah saya akan punya energi atau tidak. Bahkan, ada setengah hari ketika saya benar-benar lelah. Jadi, saya sudah belajar untuk menghadapi masa-masa itu, dan memilih untuk memfilemkannya. Biasanya, saya tidak merencanakan kegiatan saya, tapi ada juga beberapa proyek yang saya rencanakan ketika melakukan perjalanan jauh. Saya buat filem pada hari Sabtu bertepatan dengan perjalanan ke Norwegia, sembari menjelajahi tempat kesukaan Kurt Schwitters ketika dia tinggal di sana. Tetapi dalam perjalanan tersebut, saya mempelajari bagaimana saya mengatasi sesuatu, mendefinisikan diri saya sebagai orang dengan disabilitas, padahal saya terlihat sehat dan bugar walaupun tidak lincah. Saya harus berbaring dalam beberapa jam kemudian. Tentu ini menjadi masalah bagi saya sebagai pembuat filem. Namun, bekerja dengan para musisi menyadarkan saya bahwa harapan itu ada. Saya membuat filem dan berimprovisasi seiring waktu. Saat mengedit, saya belajar untuk merasakan jenis ritme yang berbeda. Menonton Lol Coxhill, pemain saksofon, menyadarkan saya bahwa ada saat-saat untuk mencatat irama dengan mudah. Coxhill akan menunggu, lalu dia akan menggunakan irama yang sedikit berbeda dan itulah bagian yang saya suka ketika mengedit. Saya benat-benar berhutang pada para musisi itu. Mereka mampu memberikan saya cara pandang yang berbeda. Lalu saya juga ingin tahu pendapat Anda tentang filem ini. Jadi, mari kita berdiskusi setelah seminar.


Moderator Tadi waktu presentasi, anda juga sempat menyebutkan bahwa dulu anda cukup aktif mendokumentasikan konser-konser gigs, tapi anda sempat bilang ke saya bahwa anda memutuskan untuk tidak lagi merekam gigs. Mungkin bisa cerita tentang pengalaman itu, pengalaman merekam skena musikmusik alternatif di kala itu.

Helen Petts Karena semua orang melakukannya, makanya saya berhenti. [tertawa]. Sekarang, semua orang memiliki gawai. Sedangkan pada waktu itu, belum ada banyak pertunjukan musik di YouTube. Saya bekerja dengan John Russel, seorang gitaris; dia mengadakan beberapa konser. Kami menyebutnya manggung, kalian juga kan? Russel mengadakan pertunjukan musik gratis secara regular. Dia menyuruh saya datang dan mendokumentasikan pertunjukannya. Saya berdiri di atas panggung, bahkan mengubah set lampu, dan itu benar-benar luar biasa. Kemudian saya unggah videonya ke saluran YouTube saya “Helentonic�, total ada 300 pertunjukan. Bahkan, sampai sekarang orang-orang masih menontonnya. Pada masa itu, saya menggunakan zoom recorder dan kamera terbaru. Jadi, di awal-awal YouTube, itu hal tak biasa karena sebagian besar video konser di YouTube memang berkualitas buruk. Beda dengan sekarang, kalian bisa lihat video-video yang tampak professional dan luar biasa di YouTube. Sekarang, ketika saya pergi ke konser musik, semua orang merekamnya dengan gawai, dan itu yang membuat saya berhenti membuat video konser. Di sisi lain, video-video tersebutlah yang membuat saya menjadi seniman. Bagi saya, ini sangat penting sebagaimana yang dilakukan Otty sekarang. Sayangnya, saya harus berhenti karena sudah tua dan ada keinginan untuk serius berkarya. Sebagai perempuan, saya pernah mendukung kreativitas orang lain yang kebetulan mayoritas adalah pria. Dulu saya menyiapkan makan, mengatur barang-barang, bahkan mencari pendanaan. Sekarang, saya ingin melakukannya untuk diri saya sendiri. Dulu saya tidak tahu apa yang ingin saya buat sebagai seniman hingga butuh sekian tahun untuk tahu cara berkarya. Bahkan, hingga sekarang, saya tetap membuat filem tentang seniman-seniman lain. Orang-orang berpikir bahwa saya punya cara unik dalam menyampaikan pesan. Meski begitu, saya lebih memilih untuk mengangkat para seniman yang telah dilupakan.

Moderator Hiroshi, Anda ingin bertanya?


Hiroshi Sunairi (Pembuat Filem) Saya ingin bertanya tentang karya saxophone man. Anda merekam dan mengedit, kemudian mengkomposisi musiknya melalui berbagai cara. Bagaimana tanggapan dia tentang Anda yang mencampurkan, dan bahkan memproduksi, musiknya? Karena dia yang mengkomposisi musik tersebut dan Anda benar-benar mengeditnya menjadi komposisi baru. Jadi, Anda juga bisa disebut komposer.

Helen Petts Saya membuatnya setelah dia meninggal. Semacam karya memorial. Saya pernah syuting berkali-kali dengannya dan memiliki hubungan yang sangat dekat. Tapi, saya tahu kelak dia juga akan mati. Saya pun membuat rekaman-rekaman tentangnya tanpa tahu apa yang akan saya lakukan nantinya. Yang jelas saya ingin merekamnya untuk memastikan suatu hal. Saat itu, dia seperti orang gila, tapi permainanya juga semakin bagus. Jadi saya merekamnya karena dia pasti akan meninggal nantinya. Setelah dia meninggal, sebuah festival yang pernah bekerja dengannya menghubungi saya. Mereka ingin membuat filem tentang Lol. Dan saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya tidak punya wawancara dengan dia, tapi saya berhasil menemukan filem lain yang dibuat pada tahun 1970-an. Lalu saya berhasil mendapatkan izin untuk menggunakan arsip tersebut. Jika Anda ingin mendapatkan jawaban lengkap, nanti saya beri tautan pribadi dari Vimeo, itu instalasi video yang ditampilkan di beberapa galeri. Tapi dalam hal mengkomposisi ulang musiknya, sebenarnya saya sangat gugup. Itu terjadi secara kebetulan karena sebenarnya saya tidak ada niatan melakukannya. Saya pikir itu sangat menarik. Bisakah saya melakukan itu? Apakah saya berhak melakukan itu? Dan dia telah berkolaborasi dengan Steve Beresford, yang merupakan pianis yang muncul di akhir filem; dia bermain bersama Steve selama bertahun-tahun — Steve adalah teman baiknya. Saya tunjukkan bagian pertama filem saya ke Steve, dapatkah saya melakukan ini? Apakah ini ok? Dan dia berkata, “Ya, tentu saja!” Lalu saya bertanya juga kepada istrinya, “Ya. Lakukanlah!” Mungkin sebenarnya ada musisi lain yang tidak setuju, tetapi sejauh ini tidak ada yang mengatakannya. Pertanyaan yang sangat bagus, saya juga menanyakan hal tersebut.

Moderator Ada lagi yang mau bertanya? Otty sedang permisi ke toilet. Nah sebenarnya juga diskusi kita bertiga via email itu juga sempat membahas, menyinggung tentang bagaimana pengalaman ketika bekerja bersama atau berkolaborasi itu mempengaruhi praktik ke tiap individu, dan begitu juga sebaliknya. Waktu itu, Helen sempat menanyakan itu kepada Otty. Nanti pertanyaan ini akan saya pertanyakan juga ke Otty, tapi mungkin Helen juga bisa memberikan


impresi, tanggapan tentang itu; bagaimana pengalaman berkolaborasi mempengaruhi praktik individual, dan individual mempengaruhi praktik ketika bekerja sama atau berkolaborasi.

Helen Petts Maksudnya kolaborasi ketika saya membuat filem?

Moderator Ya.

Helen Petts Di akhir komunitas video ini, kami memiliki ide, entah bagaimana saya mengatur orang dan menjadi sutradara. Seharusnya kami tidak melakukan itu. Semua orang harus mempertahankan perannya dan juga tampil. Kami membuat banyak pekerjaan tapi tidak pernah selesai. Dan ada banyak arsip yang hanya mengendap di dalam kotak, tanpa ada seorang pun yang ingin menguliknya. Saya pikir, nantinya arsip-arsip itu bisa diulik lebih mendalam. Saya bekerja dengan gadis-gadis remaja dan saya sedang mengeksplorasi identitas mereka. Apa yang mereka rasakan tentang diri mereka sendiri, bagaimana mereka terepresentasi, dan di bagian mana mereka akan cocok dengan dunia ini. Kami menggunakan kamera video secara bergantian. Ini kegiatan positif untuk dilakukan. Tetapi saya pikir Anda tidak benar-benar mendapatkan hasil akhir, dan ada banyak perdebatan pada waktu itu, pada awal 1980-an, tentang apakah hasil akhir itu penting atau tidak. Sebenarnya, tak masalah jika tak punya hasil akhir. Tapi, saya menginginkan hasil akhir. Saya ingin punya sesuatu untuk ditunjukkan. Jadi, saya pun menjadi sutradara, sutradara yang sebenarnya. Sejujurnya, saya juga punya banyak pengalaman bekerja dengan para sutradara lain. Tapi mereka mengambil filem yag telah kami buat bersama, mendaftarkannya ke festival filem, menerima penghargaan, dan tak pernah memberitahukannya pada saya. Kelakuan seperti itu yang membunuh saya. Saya tidak ingin melakukan praktik kolaborasi seperti itu. Lucunya, minggu kemarin saya reuni dengan orang yang bekerja pada bidang tersebut, kami mendiskusikan bagaimana kami bekerja, apa yang kami lakukan, dan ternyata orang-orang itu telah terjun ke bidang mainstream dan mendapatkan uang darinya, sebaliknya saya tak punya uang sama sekali.

Moderator Otty, tadi ketika Otty ke toilet, saya melempar pertanyaan tentang diskusi kita di email waktu itu, tentang bagaimana pengalaman berkolaborasi itu kemudian mempengaruhi ketika kita memutuskan bekerja secara individual dalam berkarya, dan sebaliknya. Itu mungkin Otty bisa memberikan tanggapan.


Otty Widasari Itu bukan hal yang benar-benar pernah saya pikirkan. Misalnya, saya biasa kerja sama orang, kemudian itu mempengaruhi kerja individual saya. Atau kerja individual saya... Itu pasti saling mempengaruhi. Tetapi itu bukan sesuatu yang berbeda atau saya pikirkan lebih jauh. Dalam membuat karya baik individual ataupun berkolaborasi dengan orang lain, itu adalah sama. Misalnya membicarakan concern saya terhadap sesuatu yang bersifat arsip, sesuatu yang merespon bagaimana media bekerja. Jadi nggak spesifik ngomongin tentang perbedaan kerja individual dan kerja kolaborasi. Saat saya membuat kerja individual, pasti saya sangat tertarik dengan sesuatu yang bersifat arsip, sejarah, bagaimana sejarah itu direkonstruksi, bagaimana kemudian media itu bekerja, berperan untuk membuat makna pemahaman yang kita tahu sekarang. Saat berkolaborasi pun kita menjalankan kerja yang mengangkat isu yang sama. Ketertarikan dengan isu yang sama, bagaimana arsip dengan AKUMASSA, bagaimana kita bikin arsip. Bagaimana arsip tapi pakai perspektif kita? Jadi nggak fokus tentang perbedaan kolaborasi atau tidak. Begitu sih.

Helen Petts Boleh saya bertanya?

Moderator Silakan

Helen Petts Seberapa pentingkah memiliki karya akhir yang memiliki pesan jelas terhadap apa yang ingin Anda sampaikan?

Otty Widasari Proses pasti lebih penting. Tapi karena saya menyukai keindahan, maka bagi saya hasil akhir itu pasti harus sesuatu yang kita rancang untuk menjadi indah seperti yang kita mau. Tapi sejak lebih banyak bekerja [dengan] kolaborasi, saya merasakan justru yang paling indah adalah di prosesnya.

Moderator Ada yang masih mau memberi tanggapan? Ya, silakan, Scott.

Scott Miller Berry (Film Programmer) Terima kasih. Pertanyaan saya ke Otty. Saya suka belajar tentang cara pengorganisasian kolektif. Saya merasa banyak belajar dari tantangan dalam proyek. Jadi, saya ingin mengetahui mana yang harus dibedakan atau ditingkatkan dalam cara mengurus proyek kolaborasi artistik. Karena Anda


terlihat sibuk, selalu bekerja dengan berbagai isu, bahasa, dll. Sementara saya hanya orang luar. Jadi, penjelasan Anda tentang kerja kolaboratif terlihat sangat mudah bagi saya. Apa yang Anda pikirkan tentang pengorganisasian bersama, dan mengapa Anda harus maju? Apa yang Anda yakini dengan cara itu?

Moderator Terima kasih, Scott.

Otty Widasari Ini nggak mudah, dan ini nggak sulit. Nggak sulit mungkin bukan cuma buat saya, tapi seperti tadi di materi yang saya bawa bahwa karakternya orang Indonesia tuh memang sudah seperti itu. Jadi bukan sesuatu yang sulit juga. Saya malah membayangkan bagaimana Scott Miller Berry setiap tahun dari Kanada menghadiri Arkipel yang jauh banget di Jakarta. Itu mungkin lebih berat, buat saya gitu. Tapi kalau kerja kolaborasi, berjejaring, memang berpindah-pindah tempat untuk mengerjakannya. Betul sibuk, tapi juga bukan hal yang sibuk-sibuk banget. Gimana ya? Tantangan ya? Yang paling menantang dari kerja-kerja begini justru bukan proses kolaborasinya. Proses kolaborasi mau sebaik apapun atau seburuk apapun itu, dia akan tetap seperti itu. Karena pasti terdiri dari individu-individu. Dia nggak harus ikut satu sistem tertentu yang dimaui,[atau] diingini oleh seorang sutradara, misalnya. Tidak bisa. Kita jadi sutradara, tapi saat kita kerja kolaborasi, tidak bisa untuk saya. Yang justru menantang itu adalah bagaimana kita meng-counter atau menandingi, menggugah, mengganggu kerja otoritas. Kerjanya otoritas. Program-program pemberdayaan itu selalu mengusung jargon “pemberdayaan masyarakat�. Seolah-olah masyarakat tidak berdaya. Empowerment of the people. Seolah-olah people tidak punya power. Padahal, mungkin sebenarnya sistemlah yang membuat masyarakat terlihat tidak berdaya. Ada sebuah tulisan yang sangat menarik bagi saya. Penulisnya ada di sebelah saya, namanya Manshur Zikri. Dia menulis tentang pemberdayaan pemerintah. Itu yang harus dilakukan sebenarnya. Aktivisme yang sebenarnya harusnya berada di ranah itu; pemberdayaan pemerintah. Yang harus diberdayakan itu pemerintah. Pemerintah yang mengorgansir dana untuk publik, pemerintah yang membuat aturan untuk publik, dan yang menyalahgunakannya juga. Yang paling menantang dari kerja-kerja kolaborasi itu adalah, salah satunya, memberdayakan pemerintah atau mengganggu atau menggugat pihak otoritas. Itu sih. Terima kasih.

Moderator Ada lagi yang mau bertanya? Oh iya, Hiroshi, mungkin kesempatan terakhir ya.


Hiroshi Sunairi (Pembuat Filem) Jadi, ini seperti komentar Otty. Sangat menarik apa yang Anda bicarakan; ada bencana, dan kemudian ada komunitas kreatif yang terdampak. Dan entah bagaimana karena mereka sudah terlibat dalam kolaborasi, seni menjadi semacam proses penyembuhan. Baru-baru ini di Jepang tempat saya juga berasal, saya tinggal di New York, tetapi [juga] di Hiroshima dan beberapa bagian lainnya, ada hujan lebat, yang mengakibatkan banjir. Sudah banyak orang yang dievakuasi dalam bencana ini. Dan di kota saya, ada beberapa tempat yang evakuasi. Saya melihat berita ini di TV tentang bagaimana ada satu komunitas di kota kecil, yang seluruh komunitas di kota tersebut terselamatkan karena ada satu pria, semacam pemimpin komunitas, yang selalu berkomunikasi dengan semua orang di kota. Itu adalah kota kecil, mungkin sekitar 30 hingga 40 orang penduduknya, tetapi entah bagaimana seluruh kota ini diselamatkan oleh upayanya untuk berkomunikasi dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa mereka perlu mengungsi. Dan di Jepang kontemporer, meskipun negara Asia, tapi ia mengikuti jalan individualisme Amerika dan Barat. Jadi, dalam beberapa hal, komunitas lama benar-benar tidak ada lagi. Orang-orang menjadi asing dengan tetangga mereka sendiri. Mereka tidak ingin diganggu, mereka tidak ingin berpartisipasi dalam masalah komunitas secara keseluruhan. Tapi entah bagaimana, kota kecil ini melakukan usaha yang luar biasa, dan acara TV ini coba memperlihatkan bagaimana pemimpin komunitas berhubungan dengan semua orang. Dan di sini, saya tergerak untuk mengomentari Anda dan Scott. Lebih ke bagaimana Anda mengumpulkan orang-orang tersebut. Sangat sulit untuk mengumpulkan orang semacam itu karena saya pikir, mereka yang biasanya bekerja dengan komunitas, adalah orang-orang yang memang suka melakukannya. Karena saya pikir sulit untuk menyuruh orang, “Oke, Anda yang akan bertanggung jawab pada bagian ini,� dan kemudian dia akan mulai berkomunikasi dengan orang-orang. Perlu seseorang yang memang menyukai hal itu. Jadi dengan begitu, Otty, saya merasa sepertinya, Anda suka melakukan itu. Anda suka berhubungan dengan orang-orang dan Anda suka menciptakan situasi untuk para seniman dan komunitas, ketimbang hanya memperkuat diri sendiri. Tentu saja beberapa harus diperkuat dan dikembangkan. Jadi, itulah komentar atau pendapat tentang cara menemukan dan mengumpulkan orang-orang yang tepat.

Moderator Terima kasih Hiroshi. Sebenarnya kita sudah di penghujung waktu. Tapi ya, silakan, mungkin saya beri kesempatan untuk sekalian menanggapi.


Otty Widasari Singkat aja, saya menanggapi tadi, kalau saya nggak tahu itu pertanyaan atau bukan. Tapi saya tanya, bagaimana mengumpulkan orang sebanyak ini? Saya pikir itu bukan karena saya punya kesenangan, tapi bagi saya itu kerjanya seniman sih sebenarnya. Seni yang bisa melakukan itu. Jadi masyarakat itu pasti punya, semua orang di dunia, seperti tadi Helen cerita bahwa masyarakat di London juga punya society yang sama, melakukan aksi yang sama. Semua manusia pasti punya itu. Tapi sistem yang berjalan biasanya membuat itu jadi tidur, sifat dasar itu menjadi tidur. Yang perlu dilakukan itu adalah mengaktivasi. Saya piker, seni bisa mengaktivasi itu. Seni membingkai sesuatu dan dia bisa mengaktivasi itu. Bukannya saya suka melakukannya, tapi karena saya seniman! Seniman mengaktivasi itu dengan karyanya. Saya pikir sih itu. Seniman harusnya jadi panitia. Kurang lebih seperti itu. Tapi intinya seni bisa melakukan itu.

Moderator Helen?

Helen Petts Maaf, saya tidak yakin apa pertanyaannya.

Moderator Saya memberi kesempatan untuk, memberikan pernyataan penutup, menanggapi juga apa yang dibilang oleh Hiroshi tentang esensi bekerja itu. Karena tadi Otty mengatakan bahwa, jika Hiroshi mengatakan bahwa Otty bekerja secara politik karena dia suka, Otty menanggapi bahwa tidak, bukan karena suka tapi karena ia seniman. Karena seni lah yang bisa mengaktivasi kegiatan-kegiatan yang sifatnya sebenarnya bekerja sosial. Ya mungkin Helen punya tanggapan.

Helen Petts Saya tidak yakin bagaimana menanggapi hal ini. Maksud saya, ini pertanyaan yang sangat besar. Bisakah saya mengaktivasi manusia, ya, tentu saja, kita bisa. Ya ya. Saya tidak percaya siapa pun bisa jadi seniman. Saya dulu demikian, tapi tidak lagi. Saya pikir semua seniman memiliki tanggung jawab untuk membuat karya mereka, dan membagikan visi mereka melalui praktik artistik. Dan saya pikir, bekerja di komunitas sebagai seniman adalah hal yang berbeda. Saya tahu banyak orang yang bisa melakukannya. Kalau saya, saya tidak bisa lagi melakukannya. Itu hanya memperlemah penciptaan kreativitas saya. Saya merasa benar-benar lelah. Jadi saya menghabiskan banyak waktu untuk bekerja sendirian.


Moderator Oke, kita sudah di penghujung panel ini. Terima kasih, berikan tepuk tangan pada kedua pembicara kita; Helen Petts dan Otty Widasari. Kita akan jeda sekitar setengah jam. Nanti jam 11 kita akan berkumpul lagi untuk panel kelima. Saya rasa panel kelima ini juga bisa dianggap sebagai lanjutan dari perbincangan ini, karena yang akan menjadi panelisnya adalah para penggiat komunitas dari tiga kota berbeda di Indonesia. Dan terima kasih buat partisipasinya dalam panel ini. Selamat siang.


PANEL 4

Beyond Collaboration: Between Collective and Individual Practice Moderator Welcome, everyone. Thank you to all of our friends who are here this morning to attend Forum Festival ARKIPEL Homoludens. Today’s forum is a continuation of Forum Festival program that has been going since yesterday. This is the fourth forum titled Beyond Collaboration, between individual and collaborative practices, how we can find a new way of reading art practices – through looking at the practices of visual arts or of the film in specific – and their movement. There are two speakers with me; on my right side, there is Helen Petts. She is an artist-filmmaker; she’s been working with moving image lately. Her focus is on exploring the landscape, rural areas, she also collaborates with experimental musicians. She’s worked with a video community, yet her productivity level as an individual artist is highly intense. The second speaker is Otty Widasari. She is an artist, filmmaker, writer, critic, curator, and also one of the curators in ARKIPEL. In 2003, she founded Forum Lenteng, and since 2008 she has initiated AKUMASSA program, which focuses on exploring video technology and collaborates with local communities in several areas. As an individual

Helen Petts

artist, she is highly productive [particularly] in

Otty Widasari

talking about rituals that are related to media. I think the talks from these two speakers will further

Moderator

our discussion on the philosophical definition of

Manshur Zikri

collaboration. Is a collaboration only about working


together with a partner, sponsor, friends, family, or is there something else that could make us understand the essence of media practice or moving image practice? We will ask Helen to present first. She will show us a brief highlight of her works. Meanwhile, Otty will show us her archives of online media and the practices related to AKUMASSA through her social media. So, we will welcome Helen to talk about your practice as an artist and your experience of working with other artists. Helen, the floor is yours.

Helen Petts Thanks, Zikri! Yes, my name is Helen Petts. I come here from London, but I also work all over the world, and I have worked in quite rude and remote landscapes. Yeah, I started out working in what we called a community. I started working in the 1980s. In the early 1980s, it’d been possible for video cameras to be bought by commercial organizations; individuals couldn’t buy them; they were still very expensive, but organizations and community projects could buy them. And at the time in the UK, we had a rightwing government, but in London, we had a very leftwing local government, with the Greater London Council, it was linked with the socialist revolution in London. They gave money to community groups to buy video cameras, and we went out into the streets and used this video camera to tell a different story from stories that mainstream television was making, and that’s where I started. I was given to training around because there were very few women who were involved in making films. I was trained on how to use [the camera]; it was the most incredible opportunity for me. I started out working as a political activist, but I have no idea what my own creative voice was. I was very good at documenting other people’s struggles, making films to support other people, but I didn’t know who I was, really. The first piece that I’m going to show you — I’ve put together in a compilation of my works, from the very first piece to the piece that I’ve just made recently. And the first piece was a film I made with a community, a feminist teenage theatre company. It’s a film… Well, it’s a theatric piece that I’ve made, about contraception, sex education and things like that. But it ended up in a big compilation with lots and lots of community groups, all young women and girls. It was shown on TV eventually and because that was quite successful. I then, I confessed, I went to work on mainstream TV. I was poor; I needed money. The thing is in the UK, those who are in the media were always very much rich kids, people who came from rich families and people from that


kind of background. I couldn’t even dream of working in the media. And so, for me, to get a chance to do that was amazing. The Greater London Council, you know, they financed everything that I did. And now, people are writing a Ph.D. thesis about that period and talking to me about it. So, then, when working in mainstream TV, I did all kinds of things, and there was a bit that my leftwing politics influenced them. But then I was involved to a very serious road accident, and it no longer became possible for me to work as part of the crew and to be able to work 12-hours per day, six days a week. So when I got the compensation from the road accident, I went to Goldsmith College to study Fine Arts. I was a painter for about ten years, an abstract painter, and that influences the work I now might concern. I went back to filmmaking for two reasons: one was that cameras became much smaller, and it became possible. I work with the camera about that big much through the time now, and I do everything alone. So, as a filmmaker, I did the camera work, I did the sound recording, I did the zoom. I do my own editing —but I do collaborate with other kinds of artists, making films with them. And also, going to art school gave me a sense of who I am as an artist, which I didn’t have before. You know, I was a socialist, I was a feminist, but in terms of making work as an artist, I had no idea who I was. Now, the last piece that I’ve done… Oh, sorry, I said two reasons why I started making films again. One was because the technology got smaller; the other was because my partner —we wouldn’t be married, but he’s the man I lived with for many years— he died, and it was too lonely to work alone in painting—I thought I was going to go crazy. So, I started to work with musicians, because I like to go to concerts. I couldn’t afford to get in because I was so broke so I offered to film them, in order to get in. And that grew and grew and grew, and I became more confident in filming the musicians. They were very experimental musicians who worked in a field called “free improvisation”, and I started to improvise with them and do quite abstract images of what they would play. So, that’s what most of the compilation is, and it allows me to bring a mission as an artist to make films where I also put those musicians into my films. But, I’m in charge— we’ll talk about that later: I collaborated, and I made the final choice. So, okay, you can play the film! (A video was played) The last piece which began with the birds is my most recent work which is commissioned by Manchester Art Gallery. It’s my response as an artist to the archive of a Taiwanese artist called Li Yuan-Chia. They have an exhibition of this work at the Manchester Art Gallery at the moment, with other artists who are inspired by him. He was a Taiwanese artist who left Taiwan and went to live in the UK and died pennilessly and pretty much forgotten in the early


1990s. At the moment, he’s being rediscovered, and I work with his archive of film footage and his sub recording as well as my own. The work before that, the water with —the close up of the water and the musicians— the two singers, I chose those because of the theme of the ludic. Phil Minton is the most ludic artist I can think of; he does experimental vocal work, and he is a fantastic jazz singer as well, but he moved into the extended vocal technique. I’ve worked with him quite a lot actually, and that is an extract from the film called The Cutty Wren (2010—Ed), which is just a single close up of his face. He starts singing in a contextual way, and he gets even crazier. Most of this work is either on my Vimeo site, Helen Petts (https://vimeo.com/helenpetts), or on my YouTube site (https://www.youtube. com/channel/UCiP-hll_qLxFuhay8fvWi4w) which is specifically concerts —I filmed actual concerts rather than films that are made as films, just in their own right. The water piece is Phil and Roger Turner, a percussionist, blowing with straws and they’re doing it as a musical piece, and I loved making art with them. The film I am going to show on my curatorial program in ARKIPEL this year has Phil Minton in it, doing vocal work again. But it’s my response to the German artist Kurt Schwitters, and that is, again, an artist who worked within the theme “homoludic,” in that he played with the ridiculous, the crazy, the surreal — he was associated with the Dada movement, and we’ll talk about that more on my program. But I just wanted to let you know that the film came out of this work. And again, it involves me going on a journey in quite remote landscapes. I now have health problems, but I used to be, I still am, a really keen hiker, you know. I like going hiking in the mountains, and I started to make films about me alone in the landscape, and how I cope with that, you know. I went to Nepal, tracking in the Himalayas and I had all these footages. Because his works are quite abstract and involve sort of repetitions, I had this one shot of walking across the bridge. I just used it, repeat it and repeat it, I did that because I had a really bad attack of vertigo, and his music gave me quite attack of vertigo as well, so I thought to put the two together. But for me, collaboration can be at the same time; it can be afterward; it can be after another artist has died. The saxophone player (Lol Coxhill in Solo Soprano [2014] —Ed.), I made that as a collaboration, where I filmed him as he got older. He actually got dementia, so in the shot on the right he was well, the shot on the left he had quite severe dementia, but he was still playing really beautifully. Every time I saw him, I got him to play solo, and I edit the solos together into a piece of work. I should say that most of my work is shown in art galleries and museums as installations. So, they’re quite slow, and people usually watch them more than once, or they walk out and they watch for a couple of minutes. Especially for the ones about the music,


they are not usually seen in the cinemas; that’s another thing. The discussion about differences, I think, between showing you works of an artist in the cinema and showing it in a museum.

Moderator Thank Wyou, Helen! Actually, from Helen’s presentation, we notice how her works respond to the practices of her predecessors, such as Kurt Schwitters and Li Yuan-Chia. I think that part about Kurt Schwitters can be elaborated later. Helen used the same method as Kurt Schwitters’ and they both collaborated with experimental musicians. That could be seen as expanding the meaning of collaboration, that a collaboration does not merely mean a joint facility, joint instrument, whose outcome is about making a piece together. Instead, in a collaboration, one considers how image-making can even go beyond individual space, time and space of the past and now. That comparison is interesting in the context of aesthetics in my discussion. We will continue to Otty. Otty, the floor is yours.

Otty Widasari Good morning! Thank you for coming despite the sleepy morning! I’m going to talk about... the topic of this Forum Festival is Beyond Collaboration or ‘Melampaui Kolaborasi.’ For me, the word ‘kolaborasi’ in Indonesian, ‘collaboration’ in English, the Indonesian word is absorbed from the English one: the action of working with someone to produce something. Meanwhile, in Indonesian, we have “kerja sama” – working together. We also have another word, “gotong-royong,” which means ‘to lift or to carry’– [the word] “royong” [is] ‘together.’ So, I have a different interpretation. If ‘kolaborasi,’ which is absorbed from English, means that the spirit is ‘producing,’ then [the word] “kerja sama” – if we refer to the Indonesian character – “gotong royong” [means] that the spirit is ‘working’ rather than ‘producing.’ According to – I googled a bit – M. Nasrun who is regarded as the initiator of the studies of Indonesian philosophy, “gotong royong” is very Indonesian. It’s manifested in our philosophy, “Indonesian citizens in accord with each other”; in poems, in customary law, even in the basis of our country, in the State Constitution or the State Principles. So, it’s very Indonesian; it is neither Western nor Eastern. It’s just Indonesian, and that’s it! It means that “kerja sama”, if we refer to the theme “gotong royong,” is something that has been embedded in everyday life of Indonesian, our daily life. When we are applying it into our creative works such as arts, collective works or making films, whether we are aware of it or not, we are applying our everyday life into the


process of those works. Then, when we began to theorize or formulate it, which means trying to read our works, it seems that we were trying to read something that was detached from us. For me, and Afrizal Malna’s talk inspires this (in the first panel –Ed), [it looks like] that act is an act of externalizing. But in fact, “kerja sama” is part of our body, part of our everyday life. It seems that we don’t know the meaning of “kerja sama,” which we’ve made into a subject to be studied. For me, it’s a bit strange, but that’s what happened. Because I think the knowledge that we have learned and applied, much of it is through absorbing and that is “western-centric”; indeed, we obtain information from the West. So, when we were trying to theorize the meaning of “kolaborasi” or “kerja sama,” we were looking at something that we have absorbed from the West, whose character is a bit or more different. Character-wise, Western people are more individualistic; we are more communal. “Kolaborasi,” the one I was talking about earlier, its action is emphasized on “producing,” “kerja sama” if we relate it to “gotong royong,” [its action] is emphasized on “working.” [The term] “kolaborasi” the adopted one, it sounds like it contains some purpose, despite its little difference, it sounds like there is an interest held in that word. I’m going to highlight the collaborative works that I’ve done. I’m the Program Director of AKUMASSA in Forum Lenteng. It’s been going since 2008, promoting community-based media empowerment, working with communities. In summary, we respond to the media atmosphere in Indonesia after the Reformation in which the mainstream mass media is significantly controlled by the interests of commerce, corporates, politics, certain groups, and so forth. Then, what information do people consume? So, the AKUMASSA is a movement to produce information in communitybased perspective using actions of reducing the subjective bias of the producers, to reduce the conflict of interest owned by such groups that have to be criticized. Its interest is the interest of the common people. There is always an interest, that’s correct, but this time the interest belongs to the common people. When it comes to the common people’s interest, I think it is not segmented like those from the groups that I have mentioned. In 2016, I organized an art project in North Lombok, West Nusa Tenggara, in [sic] Pemenang town to be more precise. This project of Forum Lenteng is called AKUMASSA Chronicle, and we call our art project in Pemenang “Bangsal Menggawe.” In its local language “Menggawe” means “partying.” “Bangsal” is the name of the harbor there. We work together with a community named pasirputih, in North Lombok. Since 2010, they have joined AKUMASSA Program. The issue that they always respond to is tourism in their town. They have a harbor called Bangsal.


This harbor is the gate to “Tiga Gili” (Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air –Ed), the three small islands in Lombok that has become an international tourist destination. Lombok has seen rapid growth in tourism since the mid-90s. After Bali Bombing (in 2002 –Ed), Lombok became the second most popular tourist destination after Bali, and that completely changed Pemenang. Our friends in North Lombok have always responded that [issue]. North Lombok is a new regency, a result of the creation of new regions out of West Lombok. In 2010, we began AKUMASSA [workshop] there, [we] worked together with them (pasirputih) and at that time, North Lombok as a regency just turned one year old. The pasirputih community was really concerned about how tourism altered their town. The town is a subdistricttown, and the people live harmoniously affiliated to three religions; Hindu, Sasak Buddha, and Islam. They live harmoniously, but the three [affiliated] religions also felt that there were clashes caused by tourism; the clash between traditional life, religion, and tourism. But since the 1990s, like it or not, their lives have heavily depended on [tourism] economy, [because] that is the primary source of income for the local government. That means their lives have changed; people’s jobs change, from fishermen to pearl sellers, or souvenir sellers, or boatmen, and in Tiga Gili there are lots of cottages, villas, and hotels whose 90% of them are owned by foreigners or people from Jakarta or Bali or Surabaya, they are not locals. Since then, the locals have been working for tourism. Schoolchildren; their graduation plan is to get to a hospitality school then work at hotels. What the Pemenang people have in mind is how to work for tourism, because that’s their lives, that’s the primary economic income in North Lombok. That always concerns our friends in pasirputih: the continuing changes in the locals’ lives. In AKUMASSA Chronicle art project in North Lombok in 2016, we responded to that situation; responding to tourism phenomenon. What were the responses to that friction and what were the ways to develop the local wisdom and not let it deform due to tourism? How the people could remember that Bangsal Harbour has been an essential place since they were little; the place where they met and greeted each other, where they learned to swim for the first time, where they played beach soccer for their school events, where they ate plecing and drank lemonade. Those sights disappeared; everything has to be related to money. Since tourism takes over, all they think is the competition between boatmen, between harbourmasters and cooperatives, ticketing agencies, souvenir sellers and so on. There were no more events [as] in every Eid al-Fitr or every year when there was always a Dangdut stage organized by a local band owner and some other, that’s gone. For this AKUMASSA Chronicle art project, I invited eleven artists from several


cities in Indonesia. In this project, the artists and I [had this idea of] thought of working together, this time by collaborating with the locals. What was interesting in this project is when I challenged the artists too, “how about you step back and instead let the locals take the stage?” So, the artists were the organizer, not the stars. The way they did it, that [was] a very long process: they spent 1,5 months in residency, then they created some works. The outcome was the parade that highlighted the collaborative practices between the artists and the locals. For example, there was an artist from West Nusa Tenggara; his name is Nash Jauna. He is a mime artist. [In the beginning] what he had intended to do was he ought to build a stage in the harbor or somewhere, and he would do a mime, enact his play or whatever. But then he thought what the ways to collaborate with the locals for his residency were. In the end, he thought, “Screw it, I’ll just disturb the Bangsal then!” Alone, he started to mime in the harbor every day, disturbing people, disturbing the tourism. Some were upset, and some were entertained, tourists took a picture of him and thought he was an interesting object. The boatmen thought, “Hmmm..., you just disturbed my guests!” The ones who were very interested in Nash’s act was the small kids. Since Nash had been there, the kids liked to move animatedly, gesturing on something that actually “doesn’t exist”—thus the pantomime, it makes something that “did not exist” “existed” so people could see what was invisible. In the end, Nash’s collaboration was miming with kids every day. At the peak of the event, when all artists and their collaborators were parading for “menggawe,” a party just like the old tradition in Pemenang, Nash and the kids did not mime anyway, they did not perform on stage, they just carried a sack and collected the rubbish from the parade. But during that 1,5 months of process, they were always moving animatedly and in a strange way, “performing” something that was “not present” in the harbor. Another interesting example is this artist who also comes from West Nusa Tenggara; his name is Asta Tabibuddin. He is a monologue actor from the theatre. And he thought, “If I have to collaborate, what should I do as a monologue actor?” In the monologue, the actor is alone, right? “What should I do then?” In the end, every day he met the local people, looking for some talents in monologue, perhaps he would find some, by meeting lots of people in those villages. He then realized that in Pemenang, from the youngsters to their elders, they all love football. They are crazy about it. There’s even a story that in the past, the locals sold their bananas, coconuts, and natural resources, then together they bought one piece of land, Lapangan Guntur Muda is the name now–it has turned into a market. That land became a


football field for all of them. The football fever is very strong in Pemenang. In the end, instead of performing on stage as monologue actor, he created – [because in Pemenang] football did not really develop because of the competitions between one village with the other village s– a [football] league; he created the Bangsal Cup that still continues until today. The Cup is held once every year. This monologue actor ended up creating a league, and in every match, he did a monologue as a commentator. The peak of Bangsal Menggawe is the [match] final [of the Bangsal Cup]. So, everyone went parading. After the parade, everyone stopped at the beach and watched the Bangsal Cup final. So, those are examples of the project. I will show the pictures from my Instagram. This is the example of Nash’s daily life there. (Video is being played) Okay, thanks. The last video is the peak of the event. We didn’t know whether the locals were going to join the parade or not. But because of the working together that had been built with the locals, as I have said earlier, that working together and gotong royong is already rooted in us, so it’s just normal for us. Art was just there to frame the issue. The people menggawe or partied at the beach. There were street vendors who donated about 500 boxes of rice – giving us a discount actually, not donation, but there was indeed a donation of 500 [bottles] of mineral water. We had estimated that there would be around 500 people joining the parade. But in reality, there were 5000 people at that beach and menggawe together. The people even ignored the new regent who was giving a speech at that time. [They] menggawe just like old times, they swam, looked for keke or clams, “turning their backs on” tourism. There was a piece by Ismal Muntaha [in the picture] that had people lifting a gopuram. And everyone just worked. Because Ismal’s gopuram was heavy, everyone became involved in it and worked together. Among them, there was a man, also involved as one of the artists in that piece. He is a wayang sasak puppeteer. Then the Buddhists, the Moslems, were working together. It just happened so organically. So, what was happening at that time, and it was the most interesting thing for me is that tourism was inactive for a moment. The tourists could not get to Gili because the boatmen were playing a football match. The harbourmaster or cooperative who sold tickets will say that the boatmen were playing. Did they reach the final? Was it a final or semi-final? I can’t remember. So no, the tourism stayed inactive for a while for a cultural event. Let me continue; this is Bangsal Menggawe project, AKUMASSA Chronicle 2016. On the 5th of this August, on Sunday at 7 pm we got a message on our


Whatsapp group because all active members of AKUMASSA community are definitely in one group with Forum Lenteng, so we’re interconnected. Muhammad Sibawaihi, the initiator of pasirputih community, informed us that there was an earthquake with 7.7 magnitudes on the Richter scale in Lombok. Aftershocks followed that earthquake up to 318 times. At that time, Siba was on a hill with about 700 people, because they’ve been told, that if they were at the beach and there was an earthquake, then it would be safer to go to the hill because of a tsunami warning. The tsunami [did] happened, but the height was only 13 cm. Meanwhile, they were on the hill and the road was shattered, [so] they could not come down [from the hill], and there was no food. That happened for about two days. But we could still contact each other because the internet connection was still working until Siba’s and our friends’ phone batteries died. “Only 2% left. Innalillahi, is there another earthquake?” That kept happening every 5 minutes. And we were sad because we couldn’t do anything, we were far away from them. And the earthquake happened again and again. We tried to stay in contact. If we had called them, it would have drained their batteries, so we could only WhatsApp each other. It was sad! Coincidentally, Albert happened to be there. He is [a representative for] AKUMASSA community from Solok, Padangpanjang. We always stay connected, and Albert is in a residency program in pasirputih, North Lombok. Albert was also a refugee on that hill. And Siba sent us some photos on WhatsApp and kept us updated. Can I show you? Maybe these photos [are] the ones that we have often seen lately. This photo is an update of the first earthquake, and they went to the mountain. Actually, the worst destruction happens in North Lombok. This morning I called my friend, who is part of AKUMASSA community as well; his name is Naufal. He is a newspaper journalist at ANTARA in Surabaya. He is still there. He took photos using a drone. He is confident that 90% of North Lombok is damaged. So, our friends over there have lost their homes. Is that the end? This is the last update from Siba, [that] they had descended the hill. Albert and he rode a motorbike and accepted the aids and everything. They started to ask for donations, and they did not only give those donations to their village, but they also distributed them to all areas that needed them. Since that evening, the night of the 5th of August, after that earthquake, we could not do much. We live far and don’t have enough money to help, so we have been making use of our social media and so on. We reached our networks, including those outside AKUMASSA, too – even though it was not much help, not a lot, but it went well. We called the Indonesian Red Cross and the


others, we called our friends over there, and our friends here, it went well. Hopefully, it can help them. Even our friend from ANTARA in Surabaya, he left this morning without any specific editorial from his editor-in-chief. He was confused. And this morning, I called him. He said, “I am going to this [location], and this [location], and this [location]. [I] called here and there in Mataram because I was so confused. I don’t know what I am supposed to do. So, Otty, can you be my editor-in-chief?”. This morning, he ended up following an ambulance and some others. We still communicated this morning, Naufal said, “I am so touched, because these friends – Siba and the others including Albert from West Sumatra – they are the victims, they have lost their homes, they do not have foods, and it is tough for them, but instead they act as the volunteers. So, the one that has been organizing the command posts and so on in North Lombok, according to Naufal from AKUMASSA, the organizer of the volunteers is pasirputih community. Actually, it’s not a heroic act or what. It’s actually in our character. Working together. To work not to produce. Working together or gotong royong is lifting, carrying, carrying a heavy load together. It’s done together. It’s already in our character. The problem is whether it’s well systematized or not. And it has also been deformed by external influences, we have adopted something different from us, now the question is whether we return and get back to our old self or not, or how do we respond to that. Responding to the meaning of working together. And now Pemenang has changed again. I am repeating the words I have said earlier, for a moment the tourism also goes inactive because of this cultural event, even though the earthquake causes it. But that collaborative cultural event still continues, which is about interconnecting and understanding what working together means, the gotong royong that has been revitalized. Maybe it’s related, maybe it’s not, because I don’t have things to say about the film. It’s been in AKUMASSA program for 10 years. But my talk is more about, perhaps related to Zikri’s theme about Beyond Collaboration. Thank you.

Moderator Thank you, Otty. So, when we were trying to conduct this forum with the theme Beyond Collaboration, I talked with Helen Petts then Otty via email about our definition of “kolaborasi”. And Helen said to me, that for instance when she was working, she said, “I am happier working with the people I know. It’s my closest friends who I film as my subject”. It does not mean that collaboration exists because of a friendship. And that point is essential, it’s actually embodied in the context of our people, that in our tradition, helping each other is done without any expectation, any feedback, and so on. I think this way of thinking becomes an alternative frame for looking at some cultural practices and acts, how they can reach the pinnacle of


their capabilities to do anything, for instance in Social Care and the others. For example, with the latest case in Lombok; the natural disaster could be quickly managed because of the collaborative awareness, whose meaning we’re trying to decipher here. And certainly it has its ambivalence in art practices where on the one hand, the subjectivity of artist isn’t dismissed. I think those are the presentations from our two speakers. I’ll just let our friends respond or ask questions, either about the practices of the two speakers or about the meaning of collaboration that you would like to discuss further. Let’s start our first round with three questions!

Helen Petts Zikri, could I respond to what Otty just said?

Moderator Yes, please!

Helen Petts You’re actually right. People in the UK are much more individualistic. We don’t have that same tradition of working collaboratively, but it’s been very influenced by the political system that we have at the moment which is very right-wing. Most of the community video, they disintegrated because people got proper jobs in TV – like me. And the people who were originally learning filmmaking, they became TV producers and directors. We once did this project similar to yours. It still exists. It’s about training people to work in TV. That is the objective. It’s not to make cultural interventions into what is happening. But, there has been a big change in the past year; in my neighbourhood, we had a big disaster. Grenfell Tower, which was a tower block of apartment, it was burned down a year ago (in 2017 – Ed) and it was a result of very cheap building materials. Over a hundred people died and it has been a big, big scandal, it’s been terribly traumatic for my community; I lived half a kilometre from there. And since then, there has been artistic projects. People making videos in collaborations about that experience. It’s been hugely positive for creative work in the neighbourhood, and it’s not about making money. It’s not about getting a job in the TV, it’s about saying, “We are important, we live here and we are people.” And it’s a bit like this neighbourhood here. I walked down this neighbourhood yesterday, there’s really big houses, and then there’s a shanty town next to it; and that’s the neighbourhood I live in London; it is in Notting Hill. And everybody knows about Notting Hill being fashionable, but if you’ve been there, actually it’s a really poor part of the community. And now, there’s this cultural upsurge of activity since people were killed. So, there are similarities, I think.


Moderator Okay, friends, anyone wants to ask questions. Yes, Riar, the first question please.

Riar Rizaldi (Curator & Artist) Hello, I have questions and responses for Otty. First, I am quite fond of this kind of practice. I think it can prevent any form of exploitations. Many artists or filmmakers come to a place, trying to observe the crucial issue of community, but they failed to amplify it. They are bounded by their identity as artists and only speak in their agency, “look this person is an activist and artist-activist who helps the community.” The community remains marginalized. There is neither activations nor empowerment, and in the end, art does not provide a solution. In my opinion, practices such as AKUMASSA supposedly should be addressed as collaboration. Western collaboration — relational aesthetics, participatory, or whatever, is nonsense. If you want to participate, jump to the center of the problem, work with the people around, and empower them instead of adding any cheap sob stories. So, AKUMASSA is an ideal practice of collaboration. While in this film festival, I hope the filmmakers here are having an insight into some artistic practices similar to AKUMASSA. It goes particularly for documenter filmmakers who want to proclaim an issue without making any reciprocal impact to it. Then, a question for Helen. I have a question for you; I like the idea of your work that collaborates with improvisation musicians, especially Phil Minton because I am familiar with his work. I was at the same festival last year with Phil Minton. And I like the idea of how moving image works together with improvisation music. So, my question is like, what does improvisation mean for the film, for moving image, and what does moving image mean for the improvisation? Thank you.

Helen Petts Ah, interesting. I have to say a lot of musicians I’ve collaborated with just see me as a way of getting publicity. I realize that working with a lot of musicians have very sophisticated ears, but their eyes are not sophisticated. They don’t really see what I’m doing, and there are exceptions, like Steve Beresford who is playing the piano, he collaborates with Christian Marclay, and he has a lot of experience working with visual artists. But Phil Minton, I don’t really think he is really that interested in what I do as a filmmaker. He sees me as someone who can publicize his work. I don’t think he’d mind me saying that either. But for me, as a filmmaker, what I have learned is like what I talked earlier about having health problems now, I never know from one day to the next


whether I’m going to have the energy or not. I have some half days where I’m really tired. So, I’ve learned to live in the moment, and film what I see at that moment. I don’t usually plan what I do, I set certain projects where I’ll maybe go on journeys. I filmed on a Saturday, on a journey to Norway, where I explore the landscapes that were loved by Kurt Schwitters when he lived there. And it was me on a journey, but part of that journey is how I cope, I define myself as a disabled person, because I look pretty fit and healthy, but I just, can’t live. In a couple of hours, I have to lay down. It’s something that could have been really problematic as a filmmaker. But working with those musicians, I realized that actually, in my day when a piece of light would come in and that will be amazing and beautiful, and I can film that, and I just improvise as I go along. The other thing I learned when I’m editing, is a sense of a different kind of rhythm. Lol Coxhill, the saxophonist, watching him, I realized there were times when it would be easy to make a note at the obvious beat, and he would wait, and then he would just slightly use a slightly different rhythm, a slightly different beat, and I like that when I’m editing. And I’ve come to learn this slightly more abstract way of making films when editing my films, and I totally owe it to those musicians. They gave me a different way of looking. Please talk to me after this about what you think of the film. I am really curious to know.

Moderator Helen has discussed that she was quite active in documenting concerts, then she decided to stop. Would you like to share the experiences of documenting alternative music scenes at that time?

Helen Petts I stopped doing it because everybody was doing it. [laughing]. Everybody has their phone now. It was in the very old days of YouTube before there were lots of gigs on YouTube. I was working with a guitarist called John Russell; he put some concerts – we say gig, do you say gig? Yeah, he put on a regular monthly gig of free improvised music. He just said come along and film all gigs, so that meant that I could stand on the stage and I could change the lighting, and it was great. It was called helentonic, my YouTube channel, and it’s about three hundred gigs. I don’t do anything with it now but people still watching it. I think the difference for me was I used a zoom recorder and a recently decent camera. So, in the early days of YouTube, that was unusual, most concerts on YouTube were really bad. Now you get amazing professional stuff on YouTube all the time; so I stopped doing it because I got to the gig and


everybody is filming the gig because everybody’s got a mobile phone. But also I think I just started making work as an artist. For me —I mean it was very important in the same kind of things that Otty is doing now— I had to stop doing it because I’m old and I wanted to make my work. As a woman, I was doing a lot of supporting other people’s creativity, and not all of them were men, but usually, they were men. I was, you know, feeding them or organizing things or sorting out the budgets or raising the funding, and I wanted to do something for me. And I didn’t know what “me” wanted to make as an artist, and it took me quite a lot of years to find out how to do that; even now I’m making films about other artists, but people seem to think that I have a unique way of doing that. Even so, I’m exploring artists who have been overlooked.

Moderator Hiroshi, you want to ask a question?

Hiroshi Sunairi (Filmmaker) Specifically, I have a question about the piece you did, about the saxophone man. In some ways because by recording his music and you are editing, you are then composing his music in some ways. And how did he feel about you in some ways, kind of mixing in terms of music or areas, or producing, because he creates sound and you are actually editing them into a sort of like new composition? So, you are also a composer in that way.

Helen Petts I made it after he died. It was made as a sort of memorial for him. He was someone who I filmed many times, I had a really good relationship with him, but I knew that he was going to die. And I make those recordings, with no idea what I was going to do with them, but I wanted to make a record, make sure there was something because he kind of lost his mind, but he was playing better and better. So, I just recorded him so that there was a record because I knew he wasn’t going to live much longer. After he died, I was asked by a festival that he worked with if I wanted to make a film – any kind of film – and I said I’d like to make a film about Lol. And I didn’t know what I was going to do, I had no interviews, I had nothing of him talking, but I found another film that had been made in the 1970s, and I got permission to use some of that archives. If you want to see the full thing you can talk to me afterward, I can give you the link to it, because it’s on Vimeo but it’s a private link, it was commissioned as an installation, and it was shown in a few galleries. But, in terms of my right to re-mix his music, I was very nervous about doing that. But it happened by accident; I didn’t decide to do it. It just happened


by accident. I thought that is really interesting. Can I do that? Do I have the right to do that? And he had collaborated with Steve Beresford, which is the pianist at the end of the film; he played with Steve for many many years — Steve was the very first proper friend of his. I showed the first part of the film, can I do this? Is this ok? And he said, “Yes, absolutely!” And then I asked his wife as well; I would not have done it if they hadn’t said, “Yes, it works. Do it!” Actually, there are other musicians who played with him who might disagree, but so far nobody has said so. But that’s a very good question, and I asked it myself many times.

Moderator Anyone else who wants to ask question? Otty is in the toilet. Well, the three of us already discussed how collaboration work affects individual practices and vice versa. And that time, Helen also asked Otty, so I will ask the same question to Otty, later Helen can give her impressions or responses on it. How collaborative experiences affect individual practices? How individuals influence practice during collaboration?

Helen Petts Do you mean collaborating when I was making films?

Moderator Yes.

Helen Petts Because at the end of this community video, we had this idea, it was somehow I run people and become a director. We shouldn’t do that. Everybody should retain roles and comes up. We make a lot of work and never got finished. And there are a lot of archives that were just sitting in boxes, that nobody really wants to watch, I think. And I think, it’s a perfectly fine thing to do, to explore. I was working with teenage girls and I was exploring identity and what they felt about themselves and how they looked and where they fitted into the world. And so just using a video camera and taking turns to use the video camera with each other, was a very positive thing to do. But I think you don’t really get an end product, and there was a lot of debate at that time, in the early 1980s, about whether an end product was important or not. And it was fine not to have an end product. But for me, I wanted an end product; I wanted something to show [about] what we’d done. So, I went on to being a director, a proper director. To be honest, I also had experience


of me doing a lot of work with the other directors. They were never making any sense, taking a film we made to a film festival and receiving a prize for it and not telling me. And that kind of act killed it, for me. I didn’t want to work collaboratively any more after that. And it’s funny, last week I was in this reunion with people who worked in this area in Italy, and we were talking about how we worked and what we did, and everybody got into working in mainstream stuff that earned money, but I don’t have any money at all.

Moderator Otty, while you are in the toilet, I asked questions about what we’ve discussed via email about how collaborative experiences affect our individual practices. Probably you can give us your response.

Otty Widasari I never think about me because I used to work with people and I believe either collaborative or individual work will affect each other. There is no need to deeply consider, creating an artwork collaboratively and individually is still the same thing after all. For instance, discussing my concern on archives, history, and its reconstruction, how media works. So, it doesn’t specify the difference between individual and collaborative work. During individual work, I will be interested to issues related to archives, history and how the history is reconstructed, how media works, which all of them construct our comprehension. During collaborative work, we raise the same issue, how is the archives of AKUMASSA, how we make archives by using our perspective. So not only focus on differences in collaboration or individual work.

Helen Petts Can I ask you a question?

Modertor Yes.

Helen Petts How important is it for you to have a finished piece of work with a message, with a clear message, of what you want to say?

Otty Widasari The process is definitely more important. But because I like fineness, for me, the result must be something that we design as fine as we want. On the


other hand, because I work more in collaborative realm, I feel that the finest thing of it is not result but the process itself.

Moderator Any responses? Scott, please.

Scott Miller Berry (Film Programmer) Thank you. My question to Otty. I love to learn a little about how to produce collective organizing. I feel like I learn a lot from the challenges in projects. So, I love to know which should be the difference or could be improved in how you organize artistic projects collaboratively. Because I have this conception that you are always busy, you are always working across in massive countries with different original issues, languages, etc. And I’m the outsider. So, you make them look very easy to me. What do you think about collective organizing, and why should you keep going? What do you believe in that way?

Moderator Thank you, Scott.

Otty Widasari It’s not easy, neither difficult. It’s easy because as I have written in the text that this is the character of Indonesian people. So, it’s not something difficult either. On the other hand, I can’t even imagine how Scott Miller Berry every year from Canada visits Arkipel in Jakarta, which is very far. That might be harder, for me. But for collaborative work, it is required to advance your networking and also makes you move periodically. It’s indeed busy, but it’s also not. So, what to do? Challenge huh? The most challenging of this job is the opposite. It’s not the collaborative process itself. You know, the collaboration process even if it’s great or worst, it will remain the same as it consists of the individuals. It doesn’t have to follow a particular system which is desired by the film director. We become directors, but when we work collaboratively, it can’t be for me. What is challenging is how we counter, trigger, disturb the mechanism of authority. Empowerment programs always carry the jargon of “community empowerment”. As if the community is helpless. Empowerment of the people. As if people don’t have power. It might be a system that makes people looks helpless. There is an article that is very interesting to me. The author is next to me, Manshur Zikri. He writes about government empowerment. The real activism should be in that realm — the government


empowerment. They must be empowered. They are organizing public funding, making rules for the public, as well as abusing the power on it. Thus, the most challenging of the collaborative works is empowering the government, disrupting, and suing the authorities. That is. Thank you.

Moderator Anyone wants to ask? Oh yeah, Hiroshi. Last question.

Hiroshi Sunairi (Filmmaker) So, this is like a comment to Otty. It was interesting what you talked about; there was a disaster, and then there was a creative community that was affected. And somehow because they were involved already in the collaboration, the art was in some ways a healing process. Recently in Japan where I’m also from, I live in New York, but [also] in Hiroshima and some other parts, there was a huge rain, and there have been many floods. There have been many people who were evacuated in this disaster and things. And in my local town, there were spots. I saw this TV news about how there’s this one community in a very small town, but the whole community was saved because there was a guy, sort of a community leader, who was always in touch with everybody in town. It was a small town, maybe about 30 to 40 people, but somehow this whole town was saved by his effort to communicate and make people know that they need to evacuate. And in contemporary Japan, even though it’s an Asian country, it has followed the path of so-called American and Western individualism. So, in some ways, the old community really doesn’t exist anymore. People are rather strangers to their own neighbors. They don’t want to be interfered, they don’t want to participate in the whole community thing. But somehow this little town, it was amazing effort, and this TV show was trying to see how do you invent this person, this community leader who is in touch with everybody. And here, I’m sort of like moving into commenting you and Scott. It’s rather like how do you invent that person? It’s really difficult to invent that person because I think, usually, those who were likely to work these things, to be in touch with everybody in the community, is because he likes to do it, rather than he was asked to do so. Because I think it’s hard to ask someone, “Okay, you should be in charge,” and then he would start talking to people. It needs to be someone who’s already liking that thing. So that way, Otty, I felt like, you like doing that. You like being in touch and you like inventing situations for the artists and the community, rather than you have cultivated yourself. Of course, some gets cultivated and evolved. So that was my comment slash opinion about how do you invent that person.


Moderator Thank you Hiroshi. Actually we are at the end of time. But yes, please, maybe I’ll give a chance to response.

Otty Widasari I will respond the earlier, I don’t know it’s a question or not, but I am asking “how to invent these people?”. It’s not that I have a kind of enjoyment on it, but for me, it’s the real artwork. Art can do that. So, I believe every community has the type of people who is willing to act, just like what Helen has told us about people in London. All humans must have it. But the system that runs usually makes it sleep. I think what needs to be done is activating and art is capable of doing that. Art can convey something as well as activate it. Not that I like to do that, but because I’m an artist! Artists should activate it through their works. The artist should be the committee. More or less. But the point is that art is capable of doing that.

Moderator Helen?

Helen Petts Sorry, I wasn’t quite sure what the question was.

Moderator I am allowing delivering a closing statement as well as commenting Hiroshi’s statement about the essence of collaborative work. Hiroshi said that Otty worked politically because she liked it, while Otty determined that rather than likeness, it’s more her responsibility as an artist. Because art can activate social works. Maybe, you have a response, Helen.

Helen Petts I’m not sure how I can add to that actually. I mean, I think it’s an enormous question. Can I activate human beings, yes, of course, we can. Yes, yes. I don’t believe anybody is an artist actually. I used to; I don’t anymore. And I think artists just have the responsibility to make their work, to distribute their visions, their artistic practice. And I think working in a community as an artist is a different thing, actually. I know lots of people who can do it. I can no longer do it. It exhausts my creative output. I just become dead, exhausted. So I spend a lot of time working alone as well.

Moderator Okay, we’re at the end of this panel. Thank you, please give applause to our speakers; Helen Petts and Otty Widasari. Thank you for your participation in this panel. See you.




panel5


PANEL 5

Peran Komunitas dalam Menentukan Bahasa Sinema Moderator Selamat pagi rekan-rekan semua. Terima kasih sudah datang kembali ke forum festival. Ini adalah panel kelima atau panel terakhir. Kita akan membahas tentang Peran Komunitas Dalam Menentukan Bahasa Sinema Kita. Sampai saat ini ruang aktivisme untuk film dalam bentuk komunitas atau kolektif seperti kita ketahui bersama tumbuh berlantasan di berbagai lokasi. Mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Situasi tersebut menggaungkan semacam peluang akan adanya pola-pola baru dalam pertukaran wacana sinema kita. Namun dalam situasi seperti ini komunitas-komunitas atau kolektif yang tumbuh di berbagai wilayah tersebut perlu meningkatkan semacam daya tawarnya. Meningkatkan pengetahuan, baik itu dari bahasa filem, teori filem, maupun sejarah filem itu sendiri. Topik-topik yang mana pada umumnya itu terabaikan atau tidak terlalu dibahas di pertemuanpertemuan komunitas-komunitas filem yang kerap ada. Kadangkala ketika kita hadir ke satu pertemuan yang membahas komunitas, pembahasannya kerap kali meloncat ke hal-hal yang lebih berfokus pada manajemen produksi dan manajemen

Findo Bramata Sandi

publikasi dan promosi yang sifatnya lebih

Dini Adanurani

satu arah. Kemudian, dengan kata lain, agak

Rachmat Mustamin H

mengkhawatirkan bagi komunitas karena ada peluang atau potensi bergesernya posisi komunitas

Moderator

ke sebuah ruang yang kemudian membatasi

Dhuha Ramadhani

dirinya, atau menjebakkan dirinya sebagai ruang


pra-industri. Padahal dalam sejumlah hal, misalnya dalam penentuan bahasa sinema kita atau bahasa sinema yang lebih global, komunitas memiliki potensi kuat dan peran penting. Sebagaimana kita sudah tahu beberapa komunitas sudah menggagas sejumlah kegiatan mulai dari produksi, kemudian, distribusi, eksibisi, termasuk kritik dan edukasi yang digagas oleh mereka berperan di masyarakat Indonesia secara cukup strategis. Aksi-aksi para penggiat komunitas ini pada umumnya tidak terlepas dari konteks posisinya di masyarakat. Jadi, mereka yang sudah melakukan sejumlah kegiatan tadi, tidak melepaskan dirinya dari konteks masyarakat di mana dia berada. Agaknya peluang-peluang semacam ini bisa kita bayangkan kedepannya. Hasrat mereka biasanya dilandasi oleh hasrat untuk berbagi daripada hasrat yang lain. Dan umumnya berorientasi pada pendidikan. Apa yang dilakukan oleh sejumlah komunitas dengan kegiatannya yang tadi semakin memantapkan semacam demarkasi antara komunitas filem, dan dan kultur industri itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh para komunitas agaknya menampakkan aksi-aksi yang mempertimbangkan kemampuan anggotanya, baik itu secara personal maupun secara kolektif. Dan kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan sehingga mereka akan bergerak dengan cara tersendiri. Cara itu yang hendak kita ketahui dari ketiga panelis yang kita hadirkan bersama di sini. Harapannya komunitas komunitas dengan aksi yang seperti itu dapat mempertemukan, atau menjadi fasilitator dalam mempertemukan kepentingan publik yang lebih luas. Pembicara kita kali ini, ada di sebelah kanan saya Findo Bramata Sandi. Dia lahir di Perawang, Riau, founder komunitas Relair Cinema. Yang kedua ada Dini Adanurani, adalah seorang mahasiswa jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Di kampus aktif sebagai content writer untuk Unit Kegiatan Mahasiswa Sinematografi UI; komunitas mahasiswa di kampus UI. Yang ketiga ada Rachmat Hidayat Mustamin, teman kita dari Makassar, seorang sutradara, penulis, penyair, performer, serta seniman. Ada dua komunitasnya, yaitu Kinotika dan Imitation Film Project; komunitas yang berbasis di Makassar. Untuk yang pertama kita akan menonton sebuah cuplikan dari filem Rel Air yang diproduksi oleh teman-teman Komunitas Relair dan disutradarai oleh Findo. (Video berjudul “Rel Air� diputar)

Findo Bramata Sandi Assalamualaikum Wr. Wb. Sebelumnya saya berterima kasih. Kalau bahasa di kampung saya, (bahasa Padang -Peny) yang artinya: kalau ada sebuah kegiatan yang bagus, kalau kita tidak datang ke kegiatan tersebut, orang


tidak akan datang ke kegiatan yang akan kita buat ke depannya. Saya mengucapkan terima kasih kepada ARKIPEL, telah mengundang saya dari Relair Cinema untuk hadir. Untuk kita saling berbagi pada kesempatan ini. Kenapa saya putarkan satu shot dari film saya? Kebanyakan ini sering terjadi ketika bertemu teman-teman, mereka bertanya “Rel air itu apa, sih, Fin?” “Kenapa sih, rel air?” Rel air itu sebuah terowongan, jalur irigasi air pada zaman kolonial Belanda, tahun 1901. Saya akan sedikit bercerita tentang sebuah cerita dari tanah asal saya. Kebetulan saya, dan keluarga saya memang pada dasarnya berasal dari Minangkabau. Tepatnya di daerah Kanagarian Salido Pesisir Selatan, tapi saya memang jarang pulang. Saya besar di Riau, saya hanya pulang ketika libur kuliah saja. Dan saya tidak pernah tahu. Ada sesuatu yang saya rasakan, dalam artian berupa pertanyaan-pertanyaan yang hadir, ketika saya yang memang jarang pulang, ketika itu melihat peninggalan-peninggalan kolonial di daerah Salido Pesisir Selatan. “Salido” yang artinya pintu gerbang menuju tambang emas. Saya melihat ratusan anak tangga yang menempel di Bukit Saringan. Kiloan meter terowongan yang berada di perut bukit. Serta jembatan-jembatan air yang menambah hasrat saya untuk menggali narasi-narasi mengenai bangunan tersebut. Agak lucu rasanya ketika kita berasal dari suatu daerah, tapi tidak mengenali daerah itu sendiri. Kalau di Salido banyak narasi-narasi sejarah. Salah satunya yaitu tambang emas Salido yang menjadi salah satu tambang tertua di Sumatera. Dulunya Salido seperti itu, sebuah area industri besar. Dan sampai sekarang kita dapat melacaknya dari catatan seorang Portugis dan keturunan Arab tentang daerah tersebut. Sebuah kota besar tetapi sekarang keemasannya sudah mulai hilang. Karena tambang itu sudah hilang sejak lama. Terakhir dibuka tahun 80-an lalu terjadi konflik. Hal itu memancing saya untuk melakukan pencarian. Dalam artian saya ingin tahu narasi-narasi apa yang ada di daerah saya sendiri. Sebelum adanya Relair, saya dapat pengetahuan tentang filem dari Himpunan Jurusan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, yang melakukan program pemutaran filem untuk mahasiswa baru tahun 2013. Selama satu tahun, terus memutar filem, dan berdiskusi. Nah berbekal itu, kenapa tidak saya sambil mencari tahu tentang nagari1 saya sendiri? Mengapa tidak membuat filem dengan kemampuan seadanya? Dan sampai ketika sebelum produksi filem ini, cameraman saya baru belajar kamera sekitar 2-3 minggu. Rel Air ini juga filem pertama saya untuk filem dokumenter. Sebelumnya saya pernah membuat filem fiksi untuk sekolah. Kemudian hal itu yang membuat saya untuk mewujudkan idenya. Idenya 1\ Awalnya, nagari adalah salah satu struktur sosial masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan unit permukiman yang memiliki teritorialnya sendiri dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri. Sekarang istilah nagari setara dengan istilah desa atau kelurahan yang digunakan di provinsi lain. –Peny


sangat sederhana, ingin mencari tahu tentang cerita tanah asal saya. Maka saya buat dokumenter ini bersama rekan saya, sekaligus pendiri Relair Cinema juga, Muhaimin Nurrizqy dan Zikwan A.B. Pada filem ini saya mencoba mengajak kembali kedua narasumber saya untuk menjemput kembali mengenai apa yang mereka ketahui tentang bangunan tersebut. Tentang apa saja, entah itu terowongan, atau tentang masyarakat yang melintasi bangunan tersebut. Saya mencoba untuk tidak membenturkan mereka dengan data sejarah yang kami miliki. Riset saya ketika itu tidak cukup panjang, hanya enam bulan. Tapi saya dapat data-data dari Leiden, ada dosen, alumni kami di situ, Dr Suryadi. Saya sangat banyak mendapatkan data, salah satunya, dan yang membuat saya terkejut, adalah listrik pertama kali ada di situ, puluhan kilometer dari Padang. Itu membuat saya sangat tertarik. Tetapi, saya tidak membenturkan tentang data sejarah yang kami miliki dengan apa yang diketahui narasumber saya. Karena yang saya inginkan adalah menggali memori. Karena sifatnya, ketika itu, saya pun juga baru belajar tentang kebudayaan Minangkabau, sifat kita tradisi lisan. Saya hanya ingin fokus pada bagaimana yang mereka tahu, itu yang mereka ceritakan. Ketika saya merekam, apa yang dikatakannya, itulah kebenaran ketika itu, bagi saya kala itu. Kemudian saya memang tidak ingin menghakimi mereka dalam filem ini. Menghakimi dengan kata: benar atau salahnya. Itu sedikit cerita tentang asal dokumenter “Rel Air.� Kemudian saya akan membahas kelahiran Relair Cinema. Sebelum memproduksi filem dokumenter ini, sebelumnya kami hanya sekadar merekam seni-seni pertunjukan di fakultas kami. Pada setiap bulannya tentu ada seni pertunjukan. Saya beserta Muhaimin memang selalu ditugaskan oleh Himpunan untuk merekam. Di situ kami tertarik untuk mengelola seluruh arsip seni-seni pertunjukan selama setahun. Dan di situ kita tahu, capek juga ya mengelola arsip. padahal hanya seni pertunjukan. Setelah filem ini diproduksi, kami bersepakat untuk mendirikan komunitas yang berfokus pada produksi, penelitian, dan apresiasi. Sejak berdirinya pada tahun 2015, Relair Cinema mulai mengadakan beberapa program seperti produksi, Layar Terkembang, dan yang terakhir adalah Andalas Film Exhibition. Selain program-program tersebut, tentunya setiap anggota yang ada di dalam Relair juga melakukan riset mengenai bioskop serta menulis kritik filem. Tentunya seluruh program tersebut tidak lahir begitu saja. Karena kita sadar, kami bukan dari orang yang punya pendidikan filem. Ada beberapa kendala untuk mengeksekusi seluruh program. Pada awalnya ketika didirikan tentu sudah merancang program-program tersebut. Untuk mengeksekusi program tersebut tentunya perlu tahap demi tahap. Karena selain persoalan produksi, tentu kami juga perlu mencari apa sih sebenarnya


filem ini dari waktu ke waktu. Tentunya kita tidak lepas dari pembacaan terhadap sinema itu sendiri. Salah satu dari kendala kami adalah latar belakang kami yang bukan berasal dari pendidikan filem. Tentunya kendala-kendala itu bukan berarti menjadi sebuah kendala yang besar. Kalau biasanya di kampus kan selain kurangnya akses informasi dapat terjadi, tentu juga perjuangan finansial. Tetapi, kami tidak pernah sedari awal mempersoalkan itu. Dengan adanya satu filem ini, mengantarkan kami untuk mengirim ke satu festival dan akhirnya kami bertemu dengan teman-teman komunitas, mungkin ada beberapa yang hadir di hari ini. Nah, di situ kami membuat jejaring. Dan juga selain dari hanya produksi, akhirnya kita memulai Layar Terkembang. Sebelum kami memulai Layar Terkembang, kami berpikir, filemnya dari mana saja? Apakah hanya dari Sumatera Barat saja? Sementara Sumatera Barat (Sumbar) pun, koneksinya ketika itu belum juga banyak. Tapi seiring menjalani proses, seiring kita bertemu, entah itu di ruang-ruang festival, entah itu di kedai kopi, bahasanya. Seperti saya bertemu, di sini ada Anggi (Anggi Rusidi, Ladang Rupa -Peny), main di kafe kampus saya, atau kawan-kawan yang lainnya. Atau seperti saya bertemu dengan Albert (Albert Rahman Putra -Peny) dari Gubuak Kopi, itu di sebuah pementasan musik eksperimental seingat saya. Nah, dari situ kami membangun jejaring dan melakukan kerjasama program, khususnya di Sumatera Barat. Layar Terkembang juga bekerja sama dengan Layar Kampus, Bioskop Taman, juga Sinema Pojok. Itu yang kami lakukan untuk membangun jaringan kita dan saling silang pengetahuan. Tentunya bukan hanya di Sumbar. Kalau kami hanya berpikir, hanya berkutat di Sumatera Barat, tentunya hal yang lebih besar tidak akan kami dapat. Tentu kita harus membuka jaringan-jaringan ke luar Sumatera Barat. Nah, ketika itu kita mengikuti beberapa program. Karena kita sadar program selanjutnya ada kendala yang lebih besar. Nah ketika itu ada beberapa program yang ada di luar Sumatera Barat kami ikuti, seperti Akademi ARKIPEL. Karena apa? Kita sadar bahwa ada beberapa akses, seperti di panel kemarin, ada (pengetahuan -Peny) yang bisa kita akses di internet. Tapi secara kenyataannya, yang kami rasakan ketika itu, itu tidak afdol ketika kita hanya sekadar membaca di internet tanpa mendiskusikannya dengan orang yang kami katakan tepat, yang lebih berpengalaman. Maka kami memutuskan, kita harus keluar juga. Selain untuk menambah jaringan, kalau bagi saya, kalau sekadar jaringan, bertemu, ngomong, itu percuma saja, jika tanpa kita realisasikan programnya. Tentu setelah kita sesuaikan di daerah kita. Contohnya kita mengikuti... beberapa teman-teman dari daerah lain juga, mengikuti program Akademi ARKIPEL, kemudian juga bertemu dan mengikuti forum-forum seperti yang diselenggarakan oleh Jogja-NETPAC Asian Film Festival ( JAFF). Nah, forum-forum seperti itu bagi kami, yang kami rasakan adalah memang memiliki dampak yang signifikan.


Terutama untuk pengembangan program-program kami selanjutnya, untuk mempertimbangkan program-program kami selanjutnya. Tentu setelah satu program berakhir, kita tidak puas, selalu evaluasi. Nah akhirnya pada 2017 kita menyelenggarakan Andalas Film Exhibition yang memang dari tahun 2015 kita rencanakan. Andalas Film Exhibition (AFE), jujur saya katakan, tidak lahir begitu saja. Dan kami di Relair Cinema paling anti merencanakan, “ini untuk mengejar proker (program kerja -Peny). Biasanya, ketika masih di kampus kita, mengincar ini sebagai proker akhir tahun. Kita dari awal memang anti, anti dengan itu. Kita melakukan program atas keinginan kita dan melihat respons di Padang. Penting, bagi kami, ketika itu penting untuk menyelenggarakan sebuah event. Yang event itu adalah muara dari seluruh program kami pada tahun 2017. Bukan hanya sekedar memutarkan film. Yang saya juga cukup berterima kasih, event pertama kita mendapatkan 117 filem. Tapi, AFE bukan sekedar kita hanya menonton filem. Kita sadar ada kebutuhankebutuhan untuk membangun pengetahuan, saling silang pengetahuan. Apalagi khususnya di Sumatera Barat, kita lebih memperkuat jaringan. Nah, tentu kita menghadirkan beberapa program. Pertama kita di program Layar Terkembang, setelah rangkaian AFE kita bekerja sama dengan beberapa komunitas seperti Aceh Documentary, untuk menghadirkan filemnya, kemudian CLC Purbalingga, dan juga bekerja sama dengan ARKIPEL melalui program Candrawala. Kemudian untuk memberikan ruang bagi komunitas untuk kita saling mengisi, saling silang pengetahuan tentunya perlu dihadirkan sebuah ruang diskusi. Makanya kami menghadirkan sebuah simposium ketika itu. Ada tiga panel yang kita hadirkan. Yang pertama, kita melihat filem sebagai media perubahan sosial. Yang kedua, karena satu setengah sampai dua tahun terakhir ruang-ruang alternatif di Sumatera Barat tumbuh dan bergerak, kita perlu membaca ruang apresiasi di Sumatera Barat. Dan yang paling penting di panel ketiga yang memang kita rencanakan dari awal. Di Sumatera Barat, komunitasnya mungkin ada yang berusia 10 tahun, ada yang 12 tahun, sementara Relair tiga tahun. Tapi ada pertanyaan, ke mana filem-filem yang diproduksi? Ke mana sih yang selama 11 tahun ini? Kita tidak pernah melihat. Nah, apa yang terjadi setelah 11 tahun? Makanya di panel ketiga kita membicarakan iklim produksi filem kampus. Tentunya, kita pada panel-panel tersebut menghadirkan panelis-panelis yang kita anggap sesuai di bidangnya. Contohnya saja kita mengundang Adrian Jonathan dari Cinema Poetica, kemudian ada Manshur Zikri dari Forum Lenteng, ada teman-teman dari Bioskop Taman, ada dari Sinema Pojok, Delva (Delva Rahman -Peny).


Mungkin hanya sekian dulu saya membagikan tentang program-program Relair dan cara-cara kami untuk menggerakan program tersebut dengan memaksimalkan jaringan dan terus membuka jaringan. Dan dari hasil jaringan itu kami mencoba membuat sebuah program dan mempraktikannya di daerah kami. Setelah kami pertimbangkan baik dan buruknya. Namun saya sadar, bahwa tiga tahun, masih seumur jagung, Relair ini masih belum ada apa-apanya. Dan beberapa programnya masih terus kita evaluasi. Mungkin segitu saja, mudah-mudahan teman-teman juga memberi masukan. Karena saya sendiri hadir di sini, kalau judulnya jadi panelis, tapi saya hadir di sini malah saya sendiri juga belajar. Karena setiap kami menghadiri suatu forum, kita ingin belajar, bukan kita yang memberikan sesuatu. Tapi kita mengharapkan saling silang pengetahuan. Terima kasih.

Moderator Baik terima kasih, Findo. Selanjutnya Dini, dipersilakan.

Dini Adanurani Di sini saya ingin berbagi saja tentang komunitas filem dan sarana pencarian identitas. Tapi tentu sudut pandang saya terbatas. Saya berasal dari Sinematografi Universitas Indonesia, mungkin saya hanya bisa melihat dari lingkup itu dan apa yang terjadi di lingkungan saya. Akan sangat menarik jika teman-teman yang banyak dari kampus-kampus lain bisa memberi insight lain. Mungkin kalau di kampus kalian itu seperti apa. Kalau misalnya tadi Findo ngomongin tentang lokalitasnya, organisasi yang sangat rooted on daerah. Saya harus balik lagi ngomongin tentang siapa itu sebenarnya “mahasiswa.â€? Sebelum kita bicara tentang filem mahasiswa, kita harus tanyakan hal itu. Ketika ngomongin mahasiswa, mungkin akan tergambar sebuah gambaran seperti: mahasiswa itu, seorang yang baru menetas dari pendidikan dasar, yang mereka masih idealis, masih ingin mengubah dunia dengan hasrat dan semangat mereka yang menggebu-gebu. Dan kalau kita lihat pergerakanpergerakan, seperti di masa reformasi, itu kan juga dimotori oleh mahasiswa. Jadi ada‌ kalau saya di sini melihatnya ada mitos mengenai mahasiswa yang sepertinya: “aktivis banget lah pokoknya.â€? Tentu pendapat ini tidak bisa mewakili suara mahasiswa secara umum. Namu kalau saya sendiri merasa bahwa mahasiswa itu... semangat idealisme mahasiswa makin ke sini itu makin memudar. Bukan berarti kita itu tidak aktif di kampus, tentu saja sangat aktif di kampus.


Aktivisme sendiri tidak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Ia terwadahi lewat organisasi kampus, mulai dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa -Peny), BPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa -Peny), organisasi minat; yang mana UKM Sinematografi UI itu tercakup di sini. Dan kemudian ada ratusan kepanitian yang berjalan setiap tahunnya. Namun seringkali tak ada tujuan bersama yang cukup besar untuk mengarahkan idealisme itu menjadi perubahan yang signifikan. Aktivitas-aktivitas kampus itu kemudian dia hanya jadi pemenuhan program kerja tahunan yang repetitif. Tadi Findo bilang komunitas mereka menolak mengejar program, karena sudah independen, di luar kampus. Namun kalau masih berakar di kampus, mungkin masih ada tuntutan seperti itu dari kampus. Kalau dalam kampus saya melihat ada tendensi seperti itu dan kemudian kalau ngomongin organisasi kampus, keuntungannya tentu saja ada nama kampus yang memayungi kita. Kita lebih legit, istilahnya. Kemudian kampus juga memberikan beberapa dana-dana dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan kita. Namun, pada saat yang sama otoritas kampus juga menciptakan iklim formal ini, formalitas semata, dalam banyak hal. Dan kadang-kadang memang birokrasi kampus itu membatasi pergerakan organisasi. Misalnya, kalau di kampus saya butuh izin khusus yang diajukan kepada Rektorat untuk melakukan syuting di area kampus. Kadang-kadang kalau misalnya kita syuting di luar (ruang -Peny), kadang-kadang ada satpam lewat: “dek, ada suratnya nggak?â€? langsung, kita pun dibubarkan. Kemudian kalau di UI kita punya ruangan khusus untuk memutar filem, namanya Cinema Room. Dia itu mirip seperti ruangan di Kineforum, kirakira besarnya seperti itu. Tetapi kemudian di tahun 2015 atau 2016 itu terjadi sebuah kebocoran di sana. Kemudian melalui tahap renovasi, tetapi kemudian kita juga tidak mendapat kabar apa-apa dari sana. Sehingga kita sulit lagi untuk mencari izin untuk ruangan-ruangan lainnya. Dan juga, ekosistem kampus, kalau yang saya lihat itu semakin ke sini itu semakin mekanis. Kalau zaman, mungkin dulu, mahasiswa bisa stay sampai pagi di kampus, sekarang mungkin fokusnya jadi ke arah (penyelesaian -Peny) tugas. Semakin mekanis, tugas dan jadwal yang ketat juga memaksa kita untuk mengerahkan sebagian besar energi kita untuk studi. Nah, di sini, UKM kampus itu perannya ya‌ mahasiswa jadi butuh untuk mencari penyegaran dan menyalurkan minat ekstrakurikuler mereka, misalnya tari, filem. Namun bagaimanapun dalam ekosistem kampus yang mekanis sulit bagi mahasiswa untuk berkomitmen lebih daripada sekadar kumpul-kumpul dan menjalankan program kerja. Komunitas tak lebih daripada sekadar tempat rehat, di mana individu mencoba-coba dan menguji minat mereka di suatu


bidang. Jika mereka memang ternyata tidak cocok, tidak berkenan, dia akan pindah ke bidang lain. Di satu sisi ini merugikan segelintir mahasiswa komunitas yang serius dalam komitmennya memajukan komunitas tersebut. Namun di sisi lain ini juga bukan hal yang buruk. Karena kebebasan yang terbatas itu mendorong mahasiswa untuk mengeksplor diri mereka. Meskipun tidak maksimal tetapi mereka paling tidak ada ruang eksplorasi di sana. Coba ini, coba itu. Ada usaha untuk mengenali identitas diri mereka di sana. Dan posisi komunitas dalam lingkup mahasiswa juga menjadi menarik. Dalam hal ini, misalnya organisasi filem kan banyak mahasiswa yang ingin bergabung, yang bergabung karena memang ingin belajar tentang filem, ingin membuat filem, maupun ingin mencari teman mengobrol tentang filem. Namun Sinematografi UI, dalam hal ini, kita cuma satu dari banyak organisasi minat lainnya yang dapat diakses dengan mudah. Tentu tidak semua anggota yang daftar ke dalam itu melihat UKM kami sebagai passion utama. Dalam prosesnya tentu akan terjadi tarik ulur sehingga organisasi kampus dapat dinomorduakan oleh studi, organisasi lainnya, bahkan kepanitiaan acara. Kalau misalnya dalam organisasi kita sendiri, mungkin dalam satu angkatan, misalnya tahun 2017 yang daftar itu sekitar 60an orang, tapi yang aktif benar-benar cuma 20-30an. Dan saya rasa kalau kita kembalikan lagi hal ini ke pertanyaan yang pertama, tantangan ini cukup mencerminkan identitas mahasiswa. Memasuki ranah pendidikan tinggi, kami diberikan kesempatan untuk mencicipi dunia orang dewasa. Namun pada saat yang sama itu masih ada dalam gelembung keamanan universitas. Ada banyak pengalaman yang bisa diakses baik di dalam maupun di luar kampus. Pada saat yang sama itu terjadi benturan antara idealisme dan realita. Dan ketika kita tentu saja ketika lulus dari sekolah mungkin masih punya idealisme-idealisme tersendiri. Kemudian kita entah harus beradaptasi dengan kenyataan yang ada atau kita mewujudkan keinginan kita dalam bentuk yang lebih realistis. Kita berkompromi, belajar berkompromi dengan institusi-institusi di sekeliling kita. Dan balik lagi, kalau mahasiswa itu adalah orang-orang yang sedang bereksperimentasi dan mencari identitas mereka, saya rasa UKM kita juga sama. Menggunakan metode, mengambil pendekatan yang sama kurang lebih tentang itu. Kalau misalnya di UKM kita, di awal semester ganjil kita mengadakan pendaftaran, kemudian yang daftar mereka akan ikut workshop produksi dan apresiasi bagi anggotanya. Kemudian kalau untuk syarat masuknya dia harus‌ dalam kegiatan workshop yang panjang itu, mereka harus bikin satu resensi dari filem yang ditayangkan di UI Film Festival. UI Film Festival itu kebetulan juga diadakan di awal semester ganjil, jadi bertepatan sekali dengan mahasiswa-mahasiswa yang masuk. Mereka juga harus memproduksi satu filem bersama. Calon-calon anggota itu dibagi kelompok lalu mereka langsung berproduksi meskipun baru kenal, jadi itu juga sekaligus ajang bonding sebenarnya. Bagi mahasiswa


yang memiliki bekal pengetahuan filem diharapkan bisa membimbing yang awam, intinya seperti itu. Kalau dalam kegiatannya sendiri, Sinematografi UI itu mempunyai dua program besar, secara garis besar produksi dan apresiasi. Dalam produksi ada tantangan tersendiri bagi kita, karena kita bukan mahasiswa dari kampus filem. Tentu kalau misalnya dilihat dari production value kita harus bekerja lebih ekstra kalau misalnya kita mau menyusul produksi-produksi kampuskampus filem yang sekarang mungkin memang lagi banyak banget di festivalfestival. Dan kemudian perhatian kita harus dibagi lagi dengan studi nonfilem. Dan juga dengan kepanitiaan dan organisasi lainnya. Makanya yang kita kedepankan dalam program-program produksi kita itu lebih ke bonding internalnya, antaranggota, yang terjadi dalam prosesnya. Kita melihatnya ini sebagai rehat dari kepenatan kita sehari-hari, untuk berkumpul saja. “Yuk produksi!â€? “Ayo!â€? Untuk mencari wadah dan teman yang satu minat sih sebenarnya, pada akhirnya. Dan juga, kalau keuntungan‌ bukan keuntungan juga sih‌ Mahasiswa non-filem juga punya sudut pandang lain ketika dia mungkin melihat filem dengan ilmu, bagasi-bagasi pengetahuan yang dia sudah punya. Misalnya dia kuliah di sosial humaniora, atau mungkin dari kriminologi, dari filsafat, dari sejarah, arkeologi, dan banyak lainnya. Mungkin dia akan memasukan teori-teori mereka ke dalam filem yang akan diproduksi. Kalau pengalaman saya, ada produksi bersama mahasiswa psikologi, lalu dia bikin filemnya, naskahnya, itu didasarkan sama Tahapan Perkembangan Psikososial oleh Erik Eriksson. Panjang kalau saya ceritakan di sini. Program lainnya yaitu apresiasi. Program kita yang paling besar itu UI Film Festival. Dan ini pertama kalinya didirikan pada tahun 2014, para pendirinya mengidekan itu dengan semangat dari mahasiswa, untuk mahasiswa, oleh mahasiswa. Kita ingin, atau, para pendirinya ingin merepresentasikan suara mahasiswa dalam perfileman Indonesia, sih. Karena kalau kita lihat filem pendek di Indonesia itu ada banyak. Cuma mungkin yang festival yang khusus mahasiswa itu tidak sebanyak itu. Dari filem ini mungkin menarik untuk merefleksikan kembali persoalan-persoalan yang penting bagi mahasiswa, dan bagaimana kita menuturkannya kembali dalam bentuk audio visual. Karena kalau misalnya mau mengkotakkan filem‌ kita bisa lihat kalau mahasiswa ternyata apa yang mereka anggap penting, bagaimana cara mereka mengungkapkannya itu, ternyata beragam sekali. Mahasiswa tidak bisa dimasukan ke dalam satu kotak. Kalau misalnya dalam program kompetisi, biasanya banyak dari filem-filem yang lolos itu genre-nya luas sekali. Mulai dari komedi sehari-hari, komedi yang agak imajinatif, drama keluarga, kebudayaan lokal, sampai horor. Bahkan kadang filem-filem mahasiswa sekarang sudah makin sulit dibedakan sama filem-filem non mahasiswa, karena mungkin dari segi production value dan narasinya itu


sudah sangat matang. Dan kemudian, kita juga dari UI Film Festival itu bukan cuma ladang kompetisi, namun kita juga memberi kesempatan untuk bersama-sama kita membaca filem, baik dari penyelenggara, maupun partisipan. Kalau dari penyelenggara kita belajar menyeleksi dan mengkurasi program, untuk mengedepankan wacana. Wacana apa yang dipentingkan bagi mahasiswa, apa yang butuh dibicarakan melalui filem sebagai mediumnya. Contohnya tahun 2015 kita sempat menayangkan program kuratorial “Menengok Papua,� yang berusaha mengangkat isu-isu penting di Papua, yang masih sering diabaikan, bahkan sampai sekarang. Kalau saya sendiri, mungkin koreksi, tadi moderator bilang kalau saya kepala penayangan filem, saya wakil kepalanya, sebenarnya.

Dhuha Ramadhani Maaf salah.

Dini Adanurani Iya tidak apa-apa. Saya bantu rekan saya untuk mengkurasi filem-filem non-kompetisi ke dalam beberapa program. Dan kita juga turut merasakan sulitnya, mungkin karena tidak begitu terbiasa kali, ya. Untuk membaca, mencari-cari wacana. Kita ini mau ngomongin apa kira-kira, seberapa relevan isu tersebut dengan konteks sosial budaya yang sekarang, dan bagaimana filem-filem itu bisa saling melengkapi dalam wacana yang ingin kita kemukakan. Kita tidak bisa bilang bahwa apa yang kami lakukan di festival ini adalah sesuatu yang baru, namun kita selalu bisa memberikan sudut pandang yang lebih segar dari tahun sebelumnya. Dari segi partisipan, kami menyelenggarakan program Mahasiswa Bicara Film. Dari tahun ke tahun, kecuali tahun lalu, kita mengundang mahasiswa seluruh Indonesia untuk turut mendiskusikan dan menilai filem-filem finalis. Jadi, program ini menjadi ajang tukar wawasan dan nongkrong yang cukup produktif, menyatukan mahasiswa dari berbagai latar dan sudut pandang yang berbeda-beda. Mereka semua punya hasrat yang sama terhadap sinema. Bahkan beberapa alumni program, yang saya dengar, beberapa alumni program di tahun 2015 mereka bikin komunitas sendiri yaitu Bahasinema yang berbasis di Bandung. Itu adalah komunitas kritik, kajian, dan penayangan. Di sini, UI Film Festival memegang peranan penting sebagai fasilitator dalam hal pertukaran pengetahuan, maupun jejaring minat dan inisiatif di antara para partisipan. Kalau kita balik lagi ke semangat dari, oleh, dan untuk mahasiswa itu, di sini mahasiswa itu bukan‌ misalnya sering ada semacam workshop filem mahasiswa, mahasiswanya tidak perlu diberikan workshop lagi. Mereka dianggap memiliki pengetahuan tentang filem dan pengetahuan sosial


budaya yang cukup untuk bisa bicara tentang filem. Kemudian, kalau misalnya bicara tentang UI Film Festival (UIFF) ini, kita kemudian jadi sangat berorientasi ke luar. Di mana kami menjalankan peran kami sebagai salah satu motor yang terus mengusahakan penayangan, produksi, pertukaran wawasan, maupun kegiatan berjejaring antara mahasiswa dan komunitasnya. Selain menyediakan tempat berjejaring, kita pun dari anak-anak UIFF juga suka main‌ misalnya tahun lalu ke JAFF, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, kemudian ada beberapa anak yang sempat ke Ganffest, Pesta Film Solo sama Temu Komunitas Film Indonesia. Dan di sini kami punya posisi tertentu yang sejajar sama komunitas-komunitas film independen yang lainnya. Namun secara internal posisi kami dalam kampus non-filem sangat terikat secara kelembagaan. Di sini, fungsi kita menjadi sebatas wadah bereksperimen untuk teman-teman kita dalam hal minat dan bakat di bidang filem. Kemudian, kalau terkait batasan-batasan organisasi kampus, kita ada sistem regenerasi tentu saja. Jadi, misalnya kita sudah bikin program dan program itu misalnya berhasil, namun apakah di tahun selanjutkan akan bisa dipertahankan? Misalnya yang sudah lulus, mungkin tidak bisa terusmenerus kontrol ke sana. karena sudah punya kegiatan-kegiatannya sendiri. Dan, organisasi kami pun masih berusia lima tahun sebenarnya, sehingga sistem yang diterapkan pun masih eksperimentasi yang berubah-ubah setiap tahunnya. Kemudian ada lagi, tadi masalah komitmen yang sudah saya sebutkan, dari masalah itu sekali dua kali produksi yang kami laksanakan sempat tidak berbuah karena anggota kelompok produksinya menghilangkan diri dari peredaran. Produksi terhenti, karena hal ini cukup mengurangi antusiasme dari anggota-anggotanya. Saya kira itu saja. Cukup untuk sekarang. Sebagai statement terakhir saya, intinya, karena ini pun‌ Sinematografi UI kita punya cita-cita untuk menjadi tolak ukur perkembangan produksi dan apresiasi filem mahasiswa—saya cek di profil UKM-nya, katanya seperti itu. Tapi saya kira, kita butuh waktu yang lebih alam sebelum cita-cita tersebut tercapai. Ini pun proses ya. Karena mahasiswa pun, kita masih manusia-manusia setengah matang, yang masih cari-cari identitas kita, cara kerja yang cocok bagi kita, belum dapat sistem yang mapan lah, intinya. Kita berusaha sebaik-baiknya untuk menyediakan ruang pencarian tersebut di tengah-tengah ekosistem yang kurang memahami kami dan masih cenderung dikotomis membicarakan minat dan akademis. Ya mungkin itu saja dulu, kita melakukan usaha yang terusmenerus untuk memercik kan kecintaan kita pada medium filem di kampus.

Dhuha Ramadhani Terima kasih, Dini. Selanjutnya kita akan jalan-jalan ke Makassar. Rachmat nanti akan menceritakan soal bagaimana iklim perfileman‌ tadi kita sudah


dengar di Padang seperti apa, kemudian di lingkungan perfileman mahasiswa seperti apa, selanjutnya kita akan dengar dari Rachmat soal bagaimana iklim perfileman di Makassar atau Sulawesi Selatan. Kalau bisa lebih luas, Indonesia Timur atau semuanya. Langsung saja.

Rachmat Hidayat Mustamin Terima kasih atas kesempatannya. Terima kasih kepada ARKIPEL mengundang kami dari Kinotika dan Imitation Film Project untuk berbagi apa yang kami kerjakan dan yang akan kami kerjakan nantinya. Sebelumnya saya harus bicara bagaimana kemudian saya bisa masuk ke dalam komunitas. Pada mulanya saya kuliah di Malaysia, tidak mengambil jurusan filem. Saya mengambil jurusan komunikasi. Setelah itu, tahun 2014 saya bekerja di salah satu rumah produksi di Jakarta selama dua tahun. Saya lahir di Sidrap (Kabupaten Sidenreng Rappang -Peny), besar di Pare-Pare, tinggal di Makassar. Tetapi, kalau saya pulang kampung, ke Bone. Jadi, saya juga tidak tahu tubuh seperti apa yang saya kenakan sekarang. Kemudian salah satu… bos saya, bertanya, “Kita akan membuat filem di Makassar, kamu kenal siapa di Makassar?” Kemudian saya tidak bisa menjawab siapapun nama yang bergiat dengan komunitas di Makassar atau apapun itu, yang bekerja dengan filem di Makassar. nah, setelah pertanyaan itu mengoyak-oyak saya, saya akhirnya pulang ke Makassar dan saya bergabung dengan komunitas bernama Kinotika; sebuah ruang menonton yang lahir sejak tahun 2012. Jadi baru kemudian saya ketahui ternyata Kinotika hadir karena respons… hampir semua pemuda-pemuda atau orang-orang muda yang membuat filem di Makassar hanya ingin menjadi sutradara, tidak ada layar tonton yang khusus untuk menayangkan filem-filem independen dan mengundang filmmaker-filmmaker atau mengundang filem-filem untuk ditayangkan di Makassar. Kinotika ini telah bekerjasama dengan beberapa events. Japanese Film Festival, SEAScreen Academy, dan yang terakhir Makassar International Writers Festival. Hubungan-hubungan ini, jaringanjaringan ini yang kemudian membentuk cakupan Kinotika dalam bekerja. Basecamp Kinotika berada di Rumata’ ArtSpace; rumah budaya yang diinisiasi oleh Lily Yulianti Farid dan Riri Riza. Setelah itu saya kemudian bergabung dengan kelompok belajar filem yang namanya Imitation Film Project yang waktu itu anggotanya hanya tiga orang. Jadi ketika saya masuk, ya empat orang. Setelah itu, saya kemudian mencari tahu kenapa Imitation Film Project ini bisa terbentuk. Ternyata, Imitation Film Project adalah kelompok yang berusaha untuk mencoba kemungkinan-kemungkinan baru dalam bertutur. Di Makassar, sebelumnya ada kampus filem, namanya Institut Kesenian Makassar (IKM). Yang mana, orang-orang dalam kelompok Imitation Film Project itu adalah orang-orang yang menjadi mahasiswa di IKM itu. Sebelum


saya masuk, IKM tutup. Jadi teman-teman saya putus sekolah. Jadi Imitation Film Project adalah tempat belajar, untuk apapun itu, terutama tentang filem. Di Imitation Film Project, kita ada beberapa filem yang telah dibuat. Filem pertama yang dibuat judulnya A Tree Growing Inside My Head (2016), filem yang saya tulis dan saya sutradarai. Filem itu juga yang membuat saya bisa berkomunikasi dengan teman-teman baru, kemudian teman-teman itu yang bisa juga mengenal saya. Filem ini merespon tentang LGBT yang ada di Makassar. Saat penayangan filem ini kami juga agak deg-degan karena takutnya ada FPI (sebuah organisasi massa berbasis Islam -Peny) yang datang di sana. Karena ada adegan-adegan yang kami takutkan menimbulkan efek yang besar. Tapi ternyata tidak ada. Filem yang kedua, yang saya buat bersama Imitation Film Project judulnya The End (2016). Itu merespon teks-teks, atau nama-nama yang dekat dengan saya, sekaligus relasi-relasi, ingatan-ingatan saya, pengalaman-pengalaman saya dengan nama-nama yang saya susun selama lima menit, kira-kira lima menit. Filem terakhir yang saya buat bersama Imitation Film Project adalah Blues Side on The Blue Sky (2018), tadi sudah disebutkan bahwa filem ini pertama kali tayang secara internal bersama “dosen-dosen� di Akademi ARKIPEL. itu sebetulnya adalah usaha untuk kembali ke dalam, kembali untuk mengenal di mana saya hidup, saya berlatar dari mana. Karena seperti yang saya sebutkan tadi, saya kerap tinggal di berbagai daerah, tetapi ketika saya pulang kampung saya ke Bone. Filem ini berusaha untuk mencari identitas saya kemudian dibantu oleh teman-teman dari Imitation Film Project. Bagaimana iklim komunitas filem di Makassar? Bagaimana ya? Jadi, iklim komunitas filem di Makassar sebetulnya sudah masif dilakukan sejak tahun 2008. Tahun 2008, ada satu komunitas namanya Meditatif Film, kemudian RumahMedia Makassar yang membentuk semacam antologi filem di Makassar. Ada sekitar delapan filem yang dibuat dan ditayangkan secara independen, ditayangkan di Gedung Kesenian Makassar, kalau saya tidak salah. Filem-filem itu antaranya Cinta sama dengan Cindolo na Tape sutradara Rusmin Nuryadin, Dobel Enam sutradara Ilham N. Bardiansyah, Pamali sutradara Rezkiani, Field sutradara Muhammad Asyraf, Masalahta’ Cika’ sutradara Iking Siahsia dan Dari Mulut Singa ke Mulut Buaya sutradara Arman Dewarti. Setelah itu kemudian diikuti filem panjang pertama yang dibuat oleh komunitas filem di Makassar, namanya Aliguka (Arman Dewarti, 2010), setelah itu dibuat filem pendek lagi, judulnya Memburu Harimau (Arman Dewarti, 2012) dan filem panjang kedua di Makassar yang dibuat oleh komunitas nama filemnya Rindu Randa (Rusmin Nuryadin, 2013). Beberapa filem yang saya sebutkan tadi mendapat beberapa penghargaan, masuk kompetisi di FFI, kemudian di Jepang. Andreuw Parinussa dengan filemnya Adoption (2013) menjadi nominasi untuk filem pendek terbaik di FFI 2012 dan


filem Sepatu Baru (2014) yang disutradarai oleh Aditya Ahmad meraih First Size pada ISCA 2013 di Osaka. Setelah itu tidak ada gerakan sinema, tidak ada wacana-wacana filem setelah filem Sepatu Baru tayang atau booming, istilahnya. Kemudian di tahun 2016 tiba-tiba ada filem berjudul Uang Panai’ 2 (sutradara Halim Gani Safia, Asril Sani -Peny) yang menjadikan kamerakamera luar Makassar seperti “wah ini adalah wajah filem Makassar,” atau “filem Uang Panai’ ini adalah filem yang dibuat oleh komunitas filem di Makassar dan bisa masuk bioskop dan mendapat 500.000 penonton dengan tiket 30-45 ribu rupiah.” Filem itu sebetulnya tidak berangkat dari komunitas. Filem itu dibuat oleh pebisnis. Banyak orang bertanya ke saya, “Bagaimana respons komunitas filem Makassar atas kehadiran Uang Panai’ ?” Padahal, Uang Panai’ bukan representasi dari filem Makassar. Kemudian tahun 2016 itu juga, dengan adanya euforia filem Uang Panai’ itu, Imitation Film Project membuat beberapa kompilasi filem pendek. Salah satu filem pendek yang dibuat di Imitation judulnya ‘Menenggelamkan Mata’ (Feranda Aries). Filem itu adalah respons terhadap reklamasi yang masih berlangsung di Pantai Losari Makassar. Sekarang, kalau kita datang ke Makassar dan ingin menyaksikan Pantai Losari, menyaksikan matahari tenggelam di Pantai Losari, menyaksikan senja, semua itu sudah tidak seindah kemarin karena dampak reklamasi. Filem ini tayang di Singapura dalam program Histories of Tomorrow: Indonesian Cinema After the New Order. Yang menarik dari proses reklamasi ini, pertama-tama Pemerintah membangun adalah masjid. Jadi tidak ada orang yang berani berdemo karena siapa juga yang mau melawan agama. Di saat yang bersamaan ada festival yang dibuat oleh Pemerintah namanya F8. F8 inilah yang mengalihkan perhatian kita pada reklamasi yang sedang berlangsung. Seakan-akan, ia menjadi semacam perayaan atas reklamasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah: membuat festival budaya yang dinamakan sebagai F8. Filem tersebut mengkritik hal ini. Tahun lalu, ketika masih kuliah, salah seorang dosen saya yang bernama Garin (Garin Nugroho -Peny), mungkin ada yang kenal, dia berkata “Filem dan komunitas filem di Makassar itu diperhitungkan sekali sekarang.” Lalu dia melanjutkan, “Jangan salah, filem produksi dari Makassar banyak loh penontonnya! Kok bisa begitu, ya?” Saya tidak tahu, apakah dia benar-benar bertanya atau hanya sekedar basa-basi. Tetapi, saya berusaha menjawab bahwa Uang Panai’ itu booming karena timing-nya tepat. Pada akhir 2015 peristiwa begal terjadi di mana-mana. Orang takut keluar rumah di malam hari, begitu juga di sore hari. Mereka khawatir dibegal. Selain itu, di media massa juga ada berita tentang anak yang menampar orang tuanya, anak yang 2\ Uang panai adalah uang hantaran pernikahan di Bugis. Uang panai diberikan berupa uang, berbeda dengan mas kawin. Diberikan saat acara lamaran. –Peny


menampar gurunya dan seterusnya. Filem Uang Panai’ itu kemudian hadir tiba tiba dan seolah-olah membuat warga Makassar ini tenang dan kembali tertawa. Saya jelaskan kepada Mas Garin bahwa sebetulnya dulu juga sudah ada filem-filem yang dibuat dan diproduksi di Makassar. Di antaranya: Prajurit Teladan (1997), Teror di Sulawesi Selatan (1964), Di Ujung Badik (1971), La Tando di Toradja (1971), Sanrego (1971), Senja di Pantai Losari (1975), Embun Pagi (1976), dan seterusnya, dan seterusnya. Akibat dari filem Uang Panai’ ini dikira booming, banyak orang-orang Jakarta atau yang memiliki duit berusaha untuk menginvestasikan uangnya dan melakukan produksi filem di Makassar. Jadi, orang-orang Jakarta datang ke Makassar untuk syuting sekaligus meminimalisir bujetnya. Kalau di Jakarta, katakanlah, bujetnya satu miliar rupiah atau dua miliar rupiah, maka di Makassar bisa ditekan hanya berbiaya Rp. 500 juta, itu pun sudah mahal sekali. Hal ini lah yang merusak ekosistem komunitas yang ada di Makassar. Apalagi bagi mahasiswa-mahasiswa yang baru belajar filem dan melihat satu-satunya filem yang baik adalah filem seperti Uang Panai’. Itu efeknya, dan sekarang masih bisa kita saksikan. Ada begitu banyak lagi filem-filem Makassar yang dibuat dan sudah ditayangkan dan akan ditayangkan lagi. Namun tidak se-booming Uang Panai’ itu, karena seperti yang saya katakan tadi, ia booming karena timing-nya tepat saja. Karena begitu banyak filem-filem yang akan tayang, kemudian timbul pertanyaan di antara kami di Kinotika dan Imitation Film Project. Apakah filem-filem seperti itu, yang mengangkat nuansa kelokalan, bisa memantik atau menambah pengalaman-pengalaman menonton kita? Saya tidak bisa menjawab itu. Tetapi, kalau misalnya hanya satu nuansa, ya, kita tidak akan mendapat variasi atau cara menonton yang berbeda. Maka dari itu kemudian Imitation Film Project membuat program kecil-kecilan yang bernama One Shot Project. One Shot Project mengambil gagasan dari filem pertama yang saya buat di Malaysia dengan hanya menggunakan satu shot. Saya percaya, kita bisa bicara tentang banyak hal hanya dengan menggunakan satu shot. Jadi, kami berusaha mengajak filmmaker atau pembuat filem di Makassar atau di luar Makassar untuk ikut menayangkan filemnya di tempat kami. Proses perekamannya hanya dilakukan dengan satu shot, begitu saja. Setelahnya, filem-filem itu kita tayangkan dan kita ajak teman-teman di Makassar untuk ikut berdiskusi. Dalam penayangan filem pertama kami memutarkan delapan filem. Karena Imitation Film Project ini adalah kelompok kecil, dan belum memiliki terlalu banyak jaringan di luar, kami hanya mengajak teman-teman untuk menayangkan filemnya. Kebetulan ada yang mengirim juga dari Malaysia dan Australia. Kami beruntung sekali bisa dapat materi itu. Kemudian tahun lalu, pada 2017, kami juga membuat penayangan One Shot Project yang kedua. Kalau kita lihat jumlah penontonnya, penonton One Shot


Project ini pada mulanya 80 orang. Itu menurut kami sudah sangat banyak. Kemudian di tahun lalu, penontonnya bertambah dua kali lipat, 150 orang. Hal ini kemudian membuat kami bertanya-tanya, apakah medium seperti ini memang mampu untuk memantik pengalaman baru atau memberikan alternatif baru dalam menyaksikan layar, terutama di Makassar? Yang terakhir yang ingin saya jelaskan adalah metode penciptaan filem di Imitation Film Project. Sebetulnya, karena teman-teman saya belajar filemnya di kampus terputus (drop out), jadi kami bisa mencoba banyak hal karena tak terbatas pada kaidah-kaidah pengajaran. Sebelum saya melanjutkan kuliah— karena memang baru saya yang betul-betul lulus dari kampus—saya yang selalu ditugaskan untuk pergi ke mana-mana. Agar ketika saya pulang ke Makassar, saya bisa presentasi ke mereka, “saya mendapatkan ini...” Terutama ketika kemarin saat saya hadir di Akademi ARKIPEL. Tentu saja saya banyak mendapat banyak hal di sana. Tidak hanya tentang filem, tetapi di luar dari itu juga. Hasil dari pembelajaran-pembelajaran saya di Akademi ARKIPEL, juga di Solo, saya presentasikan kepada teman-teman yang memang tidak bisa melanjutkan kuliahnya, tidak belajar filem. Metode yang kami lakukan di Imitation Film Project yang pertama adalah kami meletakan tubuh sebagai pra-rekam. Yang pertama dilakukan adalah masing-masing dari kami belajar presentasi. Ini penting sekali, belajar presentasi. Karena beberapa dari kami itu ada yang tidak bisa “ngomong”. Apalagi ketika orang Jakarta datang, itu masih tergagap-gagap, typotypo, apa sih istilahnya… Jadi kami belajar presentasi. Presentasi ini akan memberikan kepekaan kepada tubuh kita untuk berhubungan dengan subjek, berhubungan dengan objek yang akan menopang image-image yang akan kami susun. Itu yang pertama. Yang kedua, kami menggunakan ruang. Jadi kami membawa kamera, dan belum on, sambil jalan-jalan saja. Saat jalanjalan, kami mencoba melihat ruang. Mungkin secara teori tidak seperti itu cara membuat filem. Tapi, itu yang bisa kami lakukan. Sembari jalan-jalan dan mengeksplor ruang, kami menemukan dua kemungkinan, kita sebagai subjek memilih ruang atau dipilih oleh ruang. Selain itu juga kami menyaksikan respon masyarakat ketika kami berjalan. Jadi ada… kan biasa kalau kita jalan berombongan, orang asing, terus tiba-tiba ditanya “mau ke mana? ” Setelah itu dia mulai secara tidak langsung mulai bercerita, curhat, dan itu menambah gagasan-gagasan yang mungkin nantinya kita akan jadikan materi ke dalam filem. Contoh filem terakhir yang kami produksi di Imitation, filem yang saya tulis dan sutradarai, judulnya Blue Side on The Blue Sky. Filem ini syutingnya di Bone, Sulawesi Selatan. Kalau teman-teman belum pernah pergi ke Bone, untuk mencapai Bone dari Makassar membutuhkan waktu tempuh tiga jam menggunakan mobil dan tidak ada sinyal. Ketika kamera masuk ke lokasi


yang adalah kampung saya sendiri, anak-anak yang melihatnya menjadi antusias. Ada yang datang, mendekati, memegang. Kemudian secara spontan anak-anak ini menjadi kru. Mereka mengajak kami pergi ke sungai. Mereka mengajak kami pergi melihat pohon-pohon, masuk ke hutan-hutan cokelat dan seterusnya. Setelah itu kami mulai bekerja dengan kamera, istilahnya kami sudah syuting, dan dibantu mereka. Kami juga mengikutsertakan warga lokal untuk ikut masuk ke dalam filem. Jadi, sebetulnya, dalam filem Blue Side on The Blue Sky itu ada warga lokal, tetangga saya yang sebenarnya saya tidak kenal tetapi kami ajak untuk ikut beraksi menantang kamera. Hal itu sangat membantu kami berurusan dengan orang-orang asing, berurusan dengan orang-orang yang belum kami kenal sebelumnya. Pengalaman ini begitu menantang, bagaimana mengarahkan seseorang yang bukan aktor. Setelah semua proses syuting selesai, sebelum kami bekerja di meja editing, kami endapkan semua filenya dahulu. Kami tinggalkan selama sebulan, atau beberapa lama untuk ditonton kembali, membaca ulang gambar-gambar yang telah kami rekam. Menyaksikan image-image yang telah kami buat. Baru setelah itu, kemudian kami mulai menantang meja editing. Begitulah, jadi tidak ada landasan teoritis seperti yang kampus ajarkan dalam proses produksi filem di Imitation Film Project. Pengalaman-pengalaman seperti itu yang kami bagikan melalui workshop, melalui metode apa pun. Ini dilakukan karena kebanyakan workshop-workshop filem di Makassar berbayar. Dan juga cara kerja dan ajarnya seperti kampus mengajar mahasiswa. jadi tidak ada caracara lain atau inisiatif-inisiatif lain dalam menyusun gambar. Workshop ini kami beri nama Imitation Film Lab, berjalan dua bulan, seadanya. Hanya berbagi pengalaman tentang apa yang kami dapatkan ketika membuat filem. Termasuk ketika menghadiri festival seperti ARKIPEL ini. Mungkin itu saja dulu. Saya berharap teman-teman bisa memberikan masukan, memberikan tanggapan, terhadap apa yang telah kami paparkan siang ini. Sekian. Terima kasih.

Moderator Terima kasih untuk ketiga teman kita. Kebetulan semuanya masih mahasiswa, ya. Untuk rekan-rekan dipersilahkan jika ada komentar atau pertanyaan atau ketidaksetujuan atau masukan, dan sebagainya.

Fay (Liga Film Mahasiswa ITB) Perkenalkan saya Fay dari Liga Film Mahasiswa ITB. Saya ingin bertanya kepada teman-teman, sesuai temanya. Ada dua pertanyaan. Pertanyaan


pertama, menurut teman-teman, bahasa sinema Indonesia itu seperti apa? Apakah misalnya seperti berbahasa Indonesia atau mungkin berdasarkan pengalaman teman-teman tokoh-tokoh dalam filemnya harus berdialek seperti bahasa daerahnya? Kemudian dengan cara apa, sehingga kita sebagai komunitas betul-betul bisa mempengaruhinya. Pertanyaan kedua, berangkat dari kesadaran tersebut, saya mengasumsikan teman-teman pasti ada di struktur teratas di komunitas masing-masing. Apa yang teman-teman lakukan untuk bisa meningkatkan kesadaran kolektif bahwa sebagai anggota dari komunitas yang bergerak di bidang perfileman, kita bisa punya andil dalam menentukan arah gerak dari sinema Indonesia sendiri. Terima kasih.

Astari (Umum) Selamat siang. Saya Astari. Kebetulan saya baru terjun di dalam dunia filem ini, lagi menggarap acara di TV. Saya mau tanya, Kak. Sejujurnya, ketika saya sedang dalam proses syuting filem, manajer saya selalu memberi tahu, “Ini, kamu adegannya begini, begini, begini…” Tentu saya bisa membaca naskahnya, tapi saya tidak bisa berdialog dengan baik. Contohnya begini, saya berperan sebagai Pak Ustad, bagaimana saya bisa memerankan Pak Ustad. Saya bisa, kalau di masjid, dalam filem, saya bisa. Kalau dialog kadangkadang dikasih tahu sama sutradaranya, “ini lu begini, begini lu ngomong.” Ya sudah saya ngomong. Tapi jujur saya tidak bisa berdialog. Tolong kakak-kakak ini sharing, ajarin saya berdialog dalam filem. Terima kasih, Kak.

Anggy Rusidi (Ladang Rupa) Terima kasih atas kesempatannya. Mungkin saya juga ingin sharing, juga ada yang ingin saya tanyakan. Saya juga dari Padang, juga dari komunitas. Jadi sama seperti Findo, sama seperti Rachmat, saya juga berasal dari daerah di luar Jakarta. Kalau saya melihat posisi komunitas, khususnya di Sumatera Barat, itu sudah banyak kantong-kantong, atau boleh dibilang ruang-ruang menonton alternatif, baik itu di kampus ataupun di luar kampus, contohnya Bioskop Taman, salah satu program dari komunitas Ladang Rupa. Meski sebenarnya Ladang Rupa bukan komunitas filem, tapi kami berusaha membuka ruang menonton. Lalu juga ada Sinema Pojok di Solok, Relair, dan Layar Kampus yang memang basisnya di kampus. Tapi kalau pikir kembali bagaimana posisi komunitas, terkait dengan bagaimana komunitas menentukan bahasa sinema, akhirnya komunitas dengan cara-cara sendiri memberi sesuatu yang mungkin bukan hal baru, tetapi menjadi baru karena mengkolaborasikannya dengan pembaruan-pembaruan terutama dalam hal teknologi. Kalau bisa saya sebutkan beberapa contoh, seperti yang dilakukan di Sinema Pojok di Solok, teman-teman di sana membuat filem


atau membuat video dengan handphone, dengan alat seadanya. Maksudnya, menggunakan teknologi-teknologi yang memang sebenarnya sudah dekat dengan masyarakat, dan itu diterapkan bersama masyarakat. Mereka bikin vlog, seperti itu. Dan bagaimana mereka menularkan praktiknya kepada masyarakat. Dalam hal ini, komunitas pun akhirnya tidak hanya berperan sebagai ruang produksi tetapi juga sebagai distribusi. Misalnya ketika saya bicara tentang Bioskop Taman, kami bukan komunitas yang memproduksi filem, tapi memang pure kami hanya memutarkan filem. Filem-filem yang kami putarkan itu kebanyakan filem-filem yang memang didapatkan dari sharing antar teman. Misalnya kami mendapat filem dari anak-anak Sinema Pojok atau dari anak-anak ISI Padang Panjang, karena di Sumatera Barat ada kampus filem, begitu kan. Ternyata mereka juga membutuhkan ruang-ruang alternatif untuk bisa memutarkan filem mereka dan mendapatkan apresiasi terhadap filem-filem mereka sendiri. Itu juga merupakan proses belajar bagi para filmmaker sendiri. Itu tadi kalau saya berbicara tentang peran komunitas seperti yang dikatakan Rachmat di Makassar, bagaimana kerja komunitas filem berkontribusi terhadap pengembangan filem. Bagaimana komunitas filem di Makassar merespons kehadiran filem Uang Panai’ juga menarik. Pertanyaannya, mungkin ini untuk Dini, yang memang berbasis di Jakarta, kota besar. Bagaimana komunitas mampu berkontribusi dalam membaca perkembangan bahasa sinema dan dapat mengenalkannya kepada masyarakat. Maksudnya, kalau kita bicara tentang daerah kan kita membaur dengan masyarakat secara lebih organik, bagaimana situasinya di kota besar sendiri? Terima kasih.

Moderator Baik, terima kasih. Ada tiga orang yang memberikan pertanyaan. Karena keterbatasan waktu, mungkin saya kira pertanyaan dari ‌ tadi namanya siapa? Anggi. Pertanyaan dari Anggi menjadi pertanyaan terakhir dan saya langsung serahkan ke taman-teman panelis untuk merespons sejumlah pertanyaan tadi. Ada yang ingin mulai duluan? Rachmat sudah siap. Silakan.

Rachmat Hidayat Mustamin Terima kasih atas pertanyaannya. Tadi pertanyaannya adalah bagaimana bahasa sinema kita hari ini. Sebetulnya dalam konteks Makassar, bahasa sinema di Makassar ya rasa lokal. Mengumbar mitos lokal dan apapun itu. Tapi persoalannya adalah: lokal seperti apa, mitos yang seperti apa yang ditawarkan ke penonton. Mungkin itu yang menjadi bacaan-bacaan kami di Makassar. Itu juga yang mempengaruhi pembuat-pembuat filem di Makassar, terutama yang rencananya diputar di bioskop reguler, bioskop-


bioskop besar. Akhirnya mereka ke terjun ke tema-tema filem yang lebih pop, meninggalkan lokalitas. Karena mereka merasa bahwa lokal itu sekarang sudah tidak menjual. Jadi, justru di Makassar sekarang, yang menjadi pertanyaan awal sebelum membuat filem adalah: menjual atau tidak menjual? Itu kan sangat bertentangan dengan visi dari Kinotika dan Imitation Film Project. Kemudian menyambung apakah kesadaran kolektif itu bisa menentukan bahasa sinema? Sebetulnya kami membuat filem di Imitation Film Project itu tidak ada visi besar seperti misalnya ujaran tentang yang kita mau saat ingin membuat filem ini harus “bagaimana� begitu. Sebetulnya kami berangkat dari permasalahan di Makassar dulu, yang dekat-dekat. Apakah nanti filemfilem yang kami buat bisa menawarkan bahasa-bahasa baru, itu jauh dari ekspetasi kami. Tentu saja kami bahagia kalau bisa mencapai itu. Mungkin itu dulu.

Findo Bramata Sandi Kalau saya tidak jauh berbeda. Tadi pertanyaannya bahasa sinema Indonesia, bisa dikatakan Indonesia atau lokal. Kalau bagi saya di daerah yang berada di luar Jakarta, khususnya di Padang, saya memang melihat kecenderungan kita secara lokalitas. Tapi ada permasalahan tersendiri di situ, bagaimana cara kita memandang lokalitas itu sendiri. Seperti ada beberapa produksi yang berlatarbelakang budaya, sangat-sangat banyak. Terutama beberapa tahun terakhir demikian yang saya lihat. Persoalannya, apakah budaya hanya sebagai latar dalam filem tersebut atau bagaimana? Hal semacam itulah yang kami respons di Relair Cinema: untuk melihat segala sesuatunya lebih dalam. Persoalan budaya, seperti Minangkabau katakanlah, bagi kami, kalau ingin bicara lokalitas, bukan sekadar menghadirkan rupa Gunung Marapi. Contoh lain, segala filem dengan tema Minangkabau tidak selamanya harus dibuka dengan Saluang atau Rumah Gadang. Namun, hal ini masih banyak terjadi, bukan hanya di kalangan filem-filem pelajar, tapi bahkan di kalangan yang barangkali sudah rutin produksi filem sepuluh atau dua belas tahun lebih. Kalau kami sendiri kan, walaupun ada produksi, tapi produksi filem kami tidak banyak, hanya dua atau tiga. Dan itu‌ di setiap produksi kami, kami selalu mencoba sesuatu. Jika nanti hasilnya kami rasa tidak sesuai, kami tidak langsung mengatakan, “ini harus dilihat seperti ini.â€?. Tapi seiring dengan berjalan proses. Melalui pengalaman produksi filem kami, apa yang kami dapat, kami coba praktikkan di lain kesempatan. Kami lebih mencoba seperti itu.


Dini Adanurani Kalau misalnya bicara sinema, balik lagi saya setuju dengan Rachmat dan Findo, kalau menurut observasi saya, bicara konteks seluruh Indonesia, mungkin bahasa sinema yang sekarang, yang saat ini, saya memang sering melihat fenomena‌ kebanyakan filmmaker dari daerah mereka merengkuh lagi apa yang dekat dengan mereka. Banyak filem-filem yang tadi kata Findo berlatarkan budaya, yang menggunakan bahasa daerah dan ada banyak instrumen-instrumen kedaerahan lainnya yang terkandung dalam filem itu. Tapi kalau misalnya kita bicara filem mahasiswa juga, saya rasa mungkin tidak... karena mahasiswa tidak selalu berasal dari daerah. Mungkin kalau misalnya dari yang urban seperti Jakarta, daerah Jabodetabek, mungkin kita lebih fleksibel. Kalau yang saya lihat, kita memiliki spirit yang sama dengan para pembuat filem lokal, kita merengkuh apa yang dekat dengan keseharian kita. Misalnya, kalau ada filem-filem yang mungkin dia menengok kehidupan mahasiswa. Ada juga salah satu filem Sinematografi UI yang dia judulnya Map Biru (2017), meski belum pernah masuk ke festival mana pun. Filem ini bercerita tentang keseharian orang mau melamar kerja. Posisinya di situ kan mahasiswa yang baru lulus yang mau melamar kerja. Itu kan sesuatu yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka. Kemudian kalau dalam produksi kampus lainnya, ada satu filem dari komunitas Perfilma di Fakultas Hukum UI. Filem itu mengangkat tentang hoax, penyebaran gosip di lingkungan kampus. Dan menurut saya, itu sesuatu yang sangat dekat, tapi itu cara kita sebagai mahasiswa yang mengungkapkannya dalam bahasa visual yang sudah kita pilih. Yang mungkin berasal dari banyak referensi yang kita serap dan kita keluarkan lagi dengan pengolahan kita masing-masing dan pengetahuan yang kita punya. Mungkin itu saja.

Moderator Baik, terima kasih. Ada pertanyaan yang belum terjawab, jawabannya saya rasa akan cukup praktikal dan panjang. Mungkin bisa dijawab oleh Rachmat, pertanyaan kedua, terkait dialog.

Rachmat Hidayat Mustamin Sebetulnya dialog itu dekat dengan bahasa. Apa pun yang kita sebut bahasa. Saya waktu kuliah‌ begini, selama di Sulawesi Selatan saya sering berpindahpindah tempat tinggal. Setiap daerah punya bahasanya masing-masing, punya bunyinya masing-masing. Kemudian saya kuliah di Malaysia, saya juga terbata-bata ketika bicara dengan orang di sana, memakai bahasa Melayu. Di rumah saya memakai bahasa Bugis dan Bahasa Indonesia. Kemudian setelah itu saya kerja di Jakarta. Saya juga tidak terlalu terbiasa menggunakan “luâ€?


menggunakan “gue”. Saya kira bagaimana cara berdialog ya terus saja bicara, terus saja diskusi dengan orang. Saya kira itu bisa mempengaruhi, atau menambah pengetahuan Kakak dalam berdialog. Lagi pula saya juga sampai sekarang masih terbata-bata. Apalagi bicara di depan banyak mata yang menantang, begitu. Terima kasih.

Moderator Baik teman-teman, terima kasih. Saya kira ada beberapa kata kunci yang perlu disebutkan kembali. Seperti misalnya dalam pembicaraan ada pembahasan tentang wacana atau isu yang kemudian diangkat dalam sinema, terkait pembingkaiannya seperti apa. Dan tadi dari Anggi sedikit menambahkan soal eksplorasinya ada di tatanan teknologis. Kemudian tadi dari Rachmat dia bicara tentang kehadiran kamera sebagai “benda asing” di suatu lokasi, kemudian mengundang respons spontan dari penduduk setempat terhadap si “benda asing” tersebut. Kemudian juga ada isu-isu terkait berkolaborasi dengan warga lokal dalam pembuatan filem. Dan yang cukup mendominasi terkait pengangkatan kisah tentang orangorang di sekitar kita ke dalam sebuah filem. Sejumlah pertanyaan juga tadi menyinggung soal arah gerak sinema kita dan kemudian apa yang dimaksud dengan bahasa sinema itu sendiri. Namun pembahasannya masih terbatas pada tataran bahasa verbal atau dialog, seharusnya kita bisa membicarakan lebih lanjut bahasa visual dalam filem. Saya kira, teman-teman yang masih hendak menggali tentang itu bisa hadir ke pemutaran program Candrawala tanggal 13 pukul 7 malam di sini. Candrawala adalah salah satu program di ARKIPEL yang berfokus untuk membaca perkembangan sinema atau produksi audio visual terkini di Indonesia yang kemudian dibaca melalui sebuah kerangka kuratorial dari filem-filem Indonesia yang terdaftar ke ARKIPEL. Di sana akan membahas tentang bagaimana perkembangan sinema tiap tahunnya. Candrawala tahun ini adalah tahun ketiga. Kecenderungan apa yang terjadi… tadi kalau kita bicara tentang sinema Indonesia, sebenarnya kecenderungan itu bisa kita baca dari filem-filem yang masuk ke ARKIPEL, khususnya yang berasal dari Indonesia. Ada pembahasan soal eksplorasi teknologis, kemudian ada pembahasan soal… tadi misalnya soal spontanitas anak-anak itu. Yang saya kira cukup bisa menambah wawasan kita semua terkait bagaimana filemfilem yang diproduksi oleh teman-teman kali ini, ada enam filem, itu bisa kita lihat sebagai salah satu filem yang ada untuk membaca perkembangan sinema Indonesia. Saya kira Panel dicukupkan. Assalamualaikum Wr. Wb.


PANEL 5

Role of Community in Determining Our Language of Cinema Moderator Good morning. Thank you for returning to the Forum Festival. This is our fifth or last panel. We will discuss The Role of Community in Determining Our Language of Cinema. Space for cinema activism in the form of community or collective has grown continuously heretofore in many locations; from Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi until Papua. Such a situation has been echoing a kind of potential for the emergence of new patterns in the discourses of our cinema. At the same time, these communities or collective need to elevate their bargaining of power too. One way is by improving knowledge, both in the topics of cinema language, film theory, or the history of cinema itself. The issues above, however, are generally ignored or left untouched in the frequently conducted meetings of the film community. Sometimes in the meetings discussing film community, the conversation will jump into issues that focus more on the management of production, publications, and promotions which take educational aspects less notice. It becomes a concern that there’s a potential of the shift of the position of film community which likely

Findo Bramata Sandi

turns into a space that limits or entraps itself as

Dini Adanurani

only a pre-industrial space. Meanwhile in some

Rachmat Mustamin H

aspects, for instance, in determining the language of our cinema or global cinema language, film

Moderator

community holds strong potentials and essential

Dhuha Ramadhani

roles. As we know, some film communities have


started to initiate various activities, starting from production, distribution, exhibition, including film criticism and education. Those initiations indeed play strategic roles in society of Indonesia. Generally, the activities carried out by film community activists are inseparable from the context of their position in society. So, when they have carried out the activities above, they also become part of the context of the society in their location. It seems that such potentials are something we can imagine in the future. The desire of film community activists usually is also based on the willingness to share, and most likely driven by education. The activities carried out by film communities, such as those mentioned above, has further strengthened a kind of boundary between the film community and the culture of the industry itself. These activities have also reflected the actions that consider the capacity of the community’s members, both personally or collectively. By adjusting to their needs, each film communities are working in their own method. In this occasion, we would like to understand further the methods of several film communities through the discussion with our three panelists here. We expect that through their actions, film communities have also enabled or facilitated the confluence of broader public concerns. On my right side is Findo Bramata Sandi as one of the panelists today. He was born in Perawang, Riau, and is the founder of Relair Cinema community. The second panelist is Dini Adanurani, a student from Philosophy study of Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. Dini has been active as a content writer in Sinematografi UI; a community based on Student Activity Unit in the Universitas Indonesia focusing on students’ interest toward films, books, and the popular culture. The third panelist is Rachmat Hidayat Mustamin from Makassar. He is active in two film communities in Makassar namely Kinotika and Imitation Film Project, which makes him based on Makassar. First, we will watch footage from Rel Air film produced by Relair Community and was directed by Findo. (A video titled “Rel Air” was played)

Findo Bramata Sandi Assalamualaikum Wr. Wb. First, I would like to say thank you. In my village (speaks a proverb in Padang language) which means: if there is a good event we don’t attend, later people will not participate in the events we make in the future. I want to thank ARKIPEL since it invites me to represent Relair Cinema and to enable us to share our thoughts. Why


did I screen a footage from my film? Most people will ask me, “What is Rel Air?”, “Why do you use Rel Air as the name?”. Rel Air refers to a tunnel of an irrigation canal from the era of Dutch colonial in 1901. I will share a little about my hometown. Coincidentally, my family and I were originally from Minangkabau, from Kanagarian Salido Pesisir Selatan to be exact. But I rarely go to my hometown. I grew up in Riau, and I only came to my hometown during college holiday. As a person who rarely comes to this hometown, I always wonder when I look at the colonial legacy in Salido Pesisir Selatan. “Salido” itself means the gate to a gold mine. Here, I saw hundreds of stairs attached to Saringan Hill. The long tunnel crossing through the hills and the many water bridges I saw have fueled up my desire to dig into the stories regarding those buildings. I think it is a bit funny when a person comes from a particular region but remains unknowledgeable about it. In Salido itself, historical narratives exist plentifully. The Salido gold mine is part of those narratives considering it has been the oldest mining in Sumatera. As a city, Salido was a big industrial area in the past. We can still trace that history heretofore from the notes written by a Portuguese and an Arabian descendant. Salido is a big city whose golden era has worn off since the gold mine was also long gone. The mining itself was opened for the last time in the 1980s; a conflict happened at that time. It pulls me to search further, so I will be able to understand the narratives from my location. Before Relair Cinema was founded, I earned the knowledge about the film from the Student Association in the Faculty of Humanities of Andalas University that organized film screenings for new students in 2013. For a year, they kept on screening films and held discussions. Taking lessons from those experiences, I thought, why not explore my Nagari1? Why not make a film with the resources I have? And until I was about to start the film production, my cameraman had just learned to use the camera 2-3 weeks before. Rel Air is also my first film, especially as a documentary film. Previously, I have made a fiction film for school task. But these all encouraged me to realize this idea. And the idea was simple; I want to explore the story of my hometown. So, I make a documentary with my friends, who are also the founders of Relair Cinema, Muhaimin Nurrizqy, and Zikwan A.B. In this film, I invited my two sources to revisit their knowledge about those buildings, the tunnel, and people who went through it. I tried to avoid the collision between their knowledge and the historical data we obtained. At 1\ At first, nagari was a social structure of the Minangkabau society. Nagari is a village which has its own

teritory and its own political structure and its own legal apparatus. Now the term of ‘nagari’ is equal with ‘village’ or ‘kelurahan’ (district) that used in others province. –Ed


that time, my research was quite short. It was only for six months. But I collected data from Leiden, from our lecturer who was an alumnus of the university. His name was Dr. Suryadi. We obtained many data, one that stunned us most is a document mentioning that it was the first place that had electricity at the time, tens of kilometer away from Padang. It surprised me. But again, I avoid the collision between historical data we obtained and the knowledge of our sources because my aim was actually to delve into the memory.

At that time, I just learned about the Minangkabau culture which nature tends to be dominated by oral traditions, like most of the Indonesian culture. I only wanted to focus on how they obtained the knowledge that they told us. The words they said, at the moment of recording, for me, is the truth at that very moment. And I avoid any judgment toward them in this film by telling right or wrong. That’s a slight background story from Rel Air film. I want to share the founding process of Relair Cinema. Before producing this documentary film, our activities usually were documenting the performing art in our faculty. Every month, our faculty holds art performances. The Student Association always appointed Muhaimin and I to document them at that time. From that experience, we developed an interest to maintain the archives of performing art during that year. After that, we also realized how much energy was needed to maintain archives, even if it is only archives of the performing art. After the production of this film, we established a community that focuses on production, research, and appreciation. Since its founding in 2015, Relair Cinema has held some programs such as production, Layar Terkembang, and the most recent one is Andalas Film Exhibition. Besides those programs, each member of Relair Cinema also conducts research on film criticism and cinema. Indeed, those programs didn’t emerge out of the sudden. We realized that none of us comes from formal film education. Sometimes there are obstacles on executing the programs. When we founded Relair Cinema, we had planned those programs. But executing those programs shall require a step-by-step process. Because, asides from matters regarding production, we also need to figure out what is cinema from time to time. Surely, our activities were inseparable from the study about cinema itself. Amongst the obstacles is our background that doesn’t originate from formal film education. Surely, obstacles do not always imply a big problem. Inside the campus, the constraints are not only about the lack of access


toward information, but also struggle for financial support. But we decide to take it easy since the beginning. Through the production of this one film, we can go to festivals and meet our community friends. Some of them are probably here today. From that encounter, we build our network. And aside from production, we also start the Layar Terkembang program. Before we began Layar Terkembang, we thought about the source of films for our activity. Is it only from West Sumatra? Meanwhile, our network in West Sumatra was not well developed at that time. But as the process progressed, we met more friends in various places. One friend I met, who is here in this room right now, is Anggi (Anggi Rusidi, Ladang Rupa -Ed). She came to the café on my campus at that time.. I also met Albert (Albert Rahman Putra -ed) from Gubuak Kopi. We met at an experimental music performance as I recall. From that encounter, we build our network and work together in some programs, especially in West Sumatra. Layar Terkembang also works with Layar Kampus, Bioskop Taman, and also Sinema Pojok. Those are among the activities we do to develop our network and exchange knowledge. Surely it is not limited to only West Sumatra. Because if we only dwell in West Sumatra, it will be hard to expand. Thus, it is necessary to open up our networks beyond West Sumatra. So, we also participated in some programs because we realize that there might be more significant obstacles in our next program. We participated in some programs outside West Sumatra, like in Akademi ARKIPEL. We understand that there is available access (to knowledge -Ed) on the internet, as discussed in the panel yesterday. But it doesn’t feel whole if we only read from the internet without actually discuss it with the right and experienced people. Thus, we decide to go out. For me, the aim of joining other programs is not only to extend our network. Because if we meet people for just talking, it will be a waste. We also need to accomplish the programs. Surely, we adjust the programs to the need of each region. Along with friends from other areas, we participated in Akademi ARKIPEL and other film community forums, such as the one Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) held. For us, those forums provide a significant impact, especially to be part of the consideration for our next programs. When one program ends, we will evaluate it and won’t be satisfied easily. And finally, in 2017 we conducted the Andalas Film Exhibition that we have planned since 2015. Honestly, Andalas Film Exhibition (AFE) did not emerge out of the sudden. Members of Relair Cinema will not plan an activity only to accomplish a program. Usually, such activities will be aimed to be a year-end work program on campus. But since the beginning, we refuse to do such things. We work on a program based on our own will, and observation towards


the audience’s responses in Padang. For us, it is important to organize an event. The event is the firth for our whole program in the year 2017. AFE is not only about film screening. We are grateful that our first event has received 117 films. But, AFE is not just about watching the film. We recognize the needs to build the education and exchange of knowledge too. We wish to strengthen our network, especially in West Sumatra. So, we carried out some programs. First, we organized Layar Terkembang, then we held AFE by working together with Aceh Documentary to present its films, with CLC Purbalingga, and also with ARKIPEL through its Candrawala program. A space for discussion is needed for the film community to share knowledge. Thus, we also held a symposium at that time. There were three panels in the symposium. In the first panel, we would like to see the film as a medium for social change. In the second panel, we need to read also the space for appreciation in West Sumatera, because the alternative spaces in West Sumatra have grown and moved for the last two years. And the third panel is the most important one because we also have planned it since the very beginning. In West Sumatra, some communities have lasted for 10 or 12 years, while Relair Cinema has just existed for three years. There was a question, where are the films produced in these 11 years? Why do we never watch any of them? What happened in these 11 years? So, the third panel would discuss the situation of film production on campus. In these panels, we invited panelists who are considered suitable for the discussion. For example, we invited Adrian Jonathan from Cinema Poetica, Manshur Zikri from Forum Lenteng, Bioskop Taman, and Delva (Delva Rahman -Ed) from Sinema Pojok. For now, maybe these all I can share about the programs of Relair Cinema and about our methods in implementing those programs by maximizing the network and keeping it open. From that network, we try to make a program and exercise it in our region after we examine its benefit and possible harm. But I am aware that existing for just three years makes us very young. Relair has a lot to do, and we need to evaluate some programs. I am also still learning, even with my presence here as a panelist. Because every time we attend a forum, we wish to learn and not just to give something. We expect to exchange knowledge too. Thank you.

Moderator Thank you, Findo. The next panelist is Dini.


Dini Adanurani I want to share about the film community and medium for identity search. But of course, I’m speaking from a limited point of view. I am from Sinematografi Universitas Indonesia, so probably I only can see from that scope and what has happened in my environment. It will be fascinating if fellows from other campuses can give other insight too about the situation on your university. Findo has talked about an organization that is deeply rooted in its locality. I must talk about who is “student.” Before we talk about student film, we must ask that question. When we talk about the student, we picture them as someone freshly out of the compulsory education, those who are still idealistic, they want to change the world with their desire and passionate spirit. And if we look at civil movements, like in the Reformation era, it was also initiated by the students. So, I think, there is a myth about students who seem “very activist.” Indeed, this opinion doesn’t represent the voice of students in general. But personally thinking, the spirit of idealism in the students has been increasingly fading away. It doesn’t mean that we are not active on campus. We are very active in the campus indeed. Activism itself has been part of the student’s life. It is manifested through the student’s organization, starting from BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) or Board of Student Executive, DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) or Board of Student Representation, the organization of students’ interest in which Sinematografi UI is included. There have also been hundreds of committees organizing activities each year. However, often no common goal is big enough to direct the idealism into a significant change. Then, campus activities only fulfill a repetitive annual work program. Findo has said that their community refused to pursue such program because it was independent and working beyond the campus. But if it’s still rooted on campus, such demands from campus might still appear. If we talk about the organization on campus, we have the advantage of the name of the university as our patron. The campus also provides funding and facility for our activitieBut at the same time, the campus authority also creates a formal environment, and formality in many aspects. And sometimes, that campus bureaucracy restricts the organization movement. For instance, we need specific permission to the Rectorate to record some images in the area of campus for the purpose of shooting films. Sometimes if we record the image outdoor, the security will pass us and asks, “do you have any permissions?”. Then we will be dismissed in place. In Universitas Indonesia, we have a special room to screen a film, named Cinema Room. In term of size, it is similar to Kineforum (alternative cinema


-Ed). But then in 2015 or 2016, there was a leak there. A renovation was made, but then we didn’t receive any news about it. It gets difficult to gain permission for other rooms. The campus’ ecosystem gets even more mechanized. Before now, the students could stay overnight on the campus, but now they are more focused on only finishing the assignments. Tight schedule and assignments also force us to utilize most of our energy to the only study. In this situation, the role of Student Activity Unit is as space for the student to refresh their mind and express their extracurricular interest, for example in dance or film. Even so, it becomes difficult for the student to be committed in a community by more than just gathering and doing the work program if the ecosystem of campus is mechanical. The community is merely a resting place where individuals do trial and error as well as testing their interest in a particular field. If they are not fit for it, or they aren’t pleased, they will move to another field. It is a disadvantage for other students who are serious and well committed to advance that community. But it is also not really a bad thing because such limited freedom pushes the students to explore their selves more. At least there is a space for their exploration even though it is not optimal. They can try to do anything. There is an effort to find out their identity there. And the position of community in the scope of students become very interesting. For example, usually many students want to join the film organization because they want to learn about film, they want to make a film, or they want to meet friends to talk about film. But in this situation, Sinematografi UI is only one of many organizations on the campus that is accessible for the students. Not all members who apply to Sinematografi UI puts our activities as their primary passion. Throughout the process, there are also situations that might put the organization in second priority due to study, other organizations or event committee. In our organization for example, if a generation of 2017 consists of about 60 students, maybe the active ones are only 20 or 30 students. And I think we can return to our first question because this challenge reflects the identity of students. Entering a higher education, we get the opportunity to taste the world of adult. But at the same time, we are still protected in a bubble of the university’s security. There are countless experiences to learn both inside or outside the campus. At the same time, a collision between idealism and reality happens. Maybe when we had graduated fromour compulsory education, an aspiration was growing. Later in university, we will either try to adapt to reality, or to actualize our desire more realistically. We learn to compromise with the institutions around us. And if those students are experimenting and searching for their identity, I think Student Activity Unit


is also the same. They use a similar approach and method. For example, in the Student Activity Unit, the open application takes place during the beginning of the odd semester. Those who apply will join a workshop of film production and appreciation. Then as a requirement for the application, the prospective member must write a review of one film screened in UI Film Festival during the long workshop. Usually, the festival is held at the beginning of the odd semester, around the same time with the student’s arrival in the new semester. They must produce a film together also. Those prospective members will be divided into groups, and they will produce a film even if they haven’t known each other well. So that process is also a bonding process. The students who already know film are expected to guide those who are new in the field of cinema, that’s the point. In its activity, Sinematografi UI has two main programs. Generally, they are film production and appreciation. In film production, the challenge is our non-film background. In the production value, we must do extra work if we want to catch up with the production of film schools. Currently, many of their films are screened in many film festivals. But our focus must also be divided with non-film studies and with other organization or another campus event. Thus, in our film production program, we try to prioritize the internal bonding process between the members. We see it as a moment to relax from our everyday routine by simply gathering. “Let’s make a film!” “Let’s go!” In the end, the aim is to search for a place and friends who share the same interest. And maybe the non-film students have a different perspective when they watch a film through the knowledge they have learned. For example, if they study social humanities, or criminology, philosophy, history, archeology and many other, maybe they will put the theories they have learned in the film they produce. In my experience when I made a film with a student from Psychology, the script was based on the theory of Psychosocial Development by Erik Eriksson. It will be long if I explain it here. Another program is film appreciation. Our most significant program is UI Film Festival. And it was held for the first time in 2014. The founders began it with the spirit: from students, for students, by students. We, or rather the founders, want to represent the voice of students in Indonesian cinema. There are many Indonesian short films. But maybe there are only a few festivals that focus on student’s film. From those student film, perhaps we can reflect on matters that are important for the students and how we express it through the audio-visual form. Because if you want to categorize films according to what is considered necessary by students and how they represent it, it will be very diverse. Student film cannot be simplified into one category. Usually, the genre of the selected student


films in a competition program is vast. They are starting from everyday comedy, imaginative comedy, family drama, local culture, to horror. Now the student films are increasingly difficult to distinguish from non-student films because maybe in terms of production value and its narrative are very mature. The UI Film Festival itself is not only a place for competition, but we also provide opportunities to study films together, both the organizers and participants. As the organizers, we learn to select and curate programs to prioritize discourse. What discourse is essential for students and what needs to be discussed through films as its medium. For example, in 2015, we screened a curatorial program “Looking at Papua,” as an attempt to raise important issues in Papua which are often ignored heretofore. Maybe as a correction, the moderator said that I am the head of film screening program. I am the deputy head of the film screening program.

Dhuha Ramadhani Sorry for the mistake.

Dini Adanurani It’s alright. I help to curate non-competition films to be put into several programs. We also experience the difficulties there, maybe because we are not accustomed to reading and constructing a discourse. We need to consider the issue we want to talk about and its relevancy with the sociocultural context today, along with the way the films might complement it. We don’t claim that this festival’s method is a new thing, but we can always offer a fresher perspective from the year before. In term of participants, we hold a program named Mahasiwa Bicara Film (literal translation: student talks about film -Ed). From year to year, unless last year, we invite students from all around Indonesia to participate in the discussion and assess the competition film. So, this program is also a way to productively exchange knowledge and experiences to bring together the students from different background and vision. All of them have similar desire toward cinema. I even heard that some of the program alumni from 2015 made their film community named Bahasasinema, based in Bandung. It was a community of film criticism, study, and screening. Therefore, UI Film Festival hold important roles to also facilitate the exchange of knowledge, network, interest, and initiative between its participants. If we reflect on the spirit of UI Film Festival “from students, for students, by students,” even if usually there are many film workshops for students, in this case, the students are not obliged to receive workshops again. They are considered to have enough knowledge about film and social, cultural


context to be able to talk about films. The outward orientation of UI Film Festival makes us focus on our role as one of the motors that always try to organize screenings, film production, discussion as well as networking activities between students and community. Aside from providing a space to build the network, we also visit other festivals such as JAFF or JogjaNETPAC Asian Film Festival, Ganffest, Pesta Film Solo and Temu Komunitas Film Indonesia. Here, the position of the students’ film community is also equal to other independent film community. But internally, our position within the non-film campus makes us bounded institutionally. In this event, our purpose is only as a space for experimentation in the field of film. Regarding the limit as a campus organization, we also have a regeneration system. So once a member succeeds in making programs, the question is, will it be sustainable for the following year? For instance, those who have graduated will be unable to keep supervising the community, because they have their own activities. Our organization is only five years old. Thus, the implemented system takes form as an ever-changing experiment in each year. Then, about the commitment issue, I have mentioned previously. From that issue, sometimes our production is fruitless due to the disappearance of the production group’s member. The production stopped, because that issue affects the enthusiasm of other members. I think that’s all for now. As my final statement, Sinematografi UI aspires to become the benchmark of students’ film production development and appreciation. I read that in the profile of Student Activity Unit. But we need more time before we achieve that aspiration. And that’s just about the process. Students are half-mature humans who are still searching for an identity, a method that suits us. The point is, we are not in an established system yet. We do our best to provide the space for identity search amidst an ecosystem that lacks understanding toward us and dichotomizes passion and academic. Maybe that’s all. We continuously make an effort to spark our love toward film on the campus.

Moderator: Thank you, Dini. Now, let’s go to Makassar. We have heard about the sphere of cinema in Padang and the sphere of student’s film. Now let’s listen to Rachmat who will talk about the cinema in Makassar or South Sulawesi. Maybe if it is possible, the sphere of cinema in a wider area such as East Indonesia, or even all.

Rachmat Hidayat Mustamin Thank you for the opportunity. Thank you ARKIPEL for inviting us from


Kinotika and Imitation Film Project to talk about our current and upcoming activities. I must talk about how I get into the film community first. I went to study in Malaysia, but my major was not film. My major was communication. After that, I worked in a production house in Jakarta in 2014 for two years. I was born in Sidrap (Sidenreng Rappang regency -Ed), grew up in Pare-Pare and lived in Makassar. But my hometown in Bone. So, I don’t really understand either what kind of body I am wearing right now. One day, my boss asked me a question, “We will make a film in Makassar, do you know anyone there?” At that time, I could not mention any name of people from the film community in Makassar, or anyone who works in this field in that town. After such a wrenching question, I decided to return to Makassar, and I join a film community named Kinotika; a cinema space that existed since 2012. After that, I start to know how Kinotika emerges as a response to the situation where almost all the youth in Makassar who makes a film only wishes to be a film director, but there is no specific space to screen independent film and to invite both films or filmmakers to Makassar. On its journey, Kinotika has worked with some events such as the Japanese Film Festival, SEAScreen Academy, and the most recent one is Makassar Internasional Writers Festival. These connections form a scope where Kinotika works. Kinotika’s basecamp is in Rumata ArtSpace; a cultural space initiated by Lily Yulianti Farid and Riri Riza. After that, I joined a film study group named Imitation Film Project. At that time, the member was only three people. So, when I joined it, the member became four people. I tried to find out how the Imitation Film Project was founded. It turns out that the Imitation Film Project is a group that attempts to try new possibilities in telling a story. In Makassar, there was a film campus named Makassar Art Institute from which the members of Imitation Film Project originate. However, the institute was closed before I had a chance to enroll it and my friends have to drop out. So, the Imitation Film Project is a space for learning about anything, especially about film. In the Imitation Film Project, we already made some films. Our first film is A Tree Growing Inside My Head (2016). I was the director and scriptwriter. That film helps me to communicate with new friends while they also learn to know me. This film tries to respond to the issue of LGBT in Makassar. During the screening, we are slightly nervous if the FPI (a Muslim-based mass organization -Ed) came to the event. We were worried if some scenes in the film might trigger certain effects. But fortunately, none of it happened. The second film I made with Imitation Film Project was The End (2016). The film tries to respond to texts, or familiar names, along with my relations, memories, experiences with the names that I arranged in about five


minutes. The most recent film I made with Imitation Film project was Blues Side on The Blue Sky (2018), it was mentioned previously that this film was internally screened for the first time in the Akademi ARKIPEL, and was seen by the “lecturers” there. It was indeed an effort to look inside, to know about the place where I live and my background. Because as I mentioned before, I often live in various places, but my hometown is Bone. This film is an attempt to retrace my identity with the help from Imitation Film Project. About the situation of cinema or film community in Makassar, we can see that film community has appeared massively in Makassar since 2008. There are some film communities such as Meditatif Film, and Rumah Media Makassar that made an anthology of films in Makassar. Eight films are produced and screened independently in the Makassar Art Building if I am not mistaken. The films are Cinta sama dengan Cindolo na Tape directed by Rusmin Nuryadin, Dobel Enam directed by Ilham N. Bardiansyah, Pamali directed by Rezkiani, Field directed by Muhammad Asyraf, Masalahta’ Cika’ directed by Iking Siahsia and Dari Mulut Singa ke Mulut Buaya directed by Arman Dewarti. After that, the first feature film by film community in Makassar was made. The title is Aliguka (Arman Dewarti, 2010). Then a short film titled Memburu Harimau (Arman Dewarti, 2012) was made. The second feature film is Rindu Randa (Rusmin Nuryadin, 2013). Some films I mentioned previously have received several awards, included in the Indonesian Film Festival’s competition, and was brought to Japan. The films are Adoption (2013) by Andreuw Parinussa and Sepatu Baru (2014) by Aditya Ahmad. After Sepatu Baru, there was no particular movement or discourse in Makassar cinema. In 2016, suddenly there was a film titled Uang Panai’ 2 (directed by Halim Gani Safia, Asril Sani-ed) that attracted the attention from outside Makassar. “Ah it’s the new face of Makassar cinema,” or “Uang Panai’ is a film made by film community in Makassar, it is screened in Makassar and received 500.000 audiences with ticket price about 30-45 thousand.” But the film was not from film community. Businessman made it. Many people asked me, “What is the response of the Makassar film community to the presence of Uang Panai’ ?” In fact, Uang Panai’ is not a representation of Makassar films. Then in 2016, with the euphoria of the Uang Panai’ film, the Imitation Film Project made several short film compilations. One of the short films was titled Menenggelamkan Mata (Feranda Aries, 2016). The film is a response to reclamation that is still ongoing at Losari Beach, Makassar. Now, if we come to Makassar and want to see Losari Beach, watch the sun set on Losari Beach, watch the twilight, all that is not as beautiful as yesterday due to the impact of reclamation. 2\ Uang panai is the delivery money in Bugis marriage. Uang panai is given in the form of money, in contrast to dowry. It is given during proposal. –Ed


This film was screened in Singapore in the Histories of Tomorrow program: Indonesian Cinema After the New Order. What’s interesting about this reclamation process is that the government first built a mosque. So, no one dares to protest because, who wants to fight religion? At the same time there is a festival made by the government named F8. F8 is what turns our attention to ongoing reclamation. As if, it was a kind of celebration of the reclamation that had been carried out by the fovernment: making a cultural festival called F8. The film criticizes this. Last year, when I was in college, one of my lecturers named Garin (Garin Nugroho -Ed), maybe someone knows him, he said “Film and film community in Makassar are taken into account now.” Then he continued, “Don’t get me wrong, film from Makassar has a lot of audience! How come that is so?” I do not know whether he really asks or is just small talk. However, I tried to answer that Uang Panai’ was booming because the timing was right. At the end of 2015 there were robbery happening everywhere. People are afraid to leave the house at night, as well as in the afternoon. They are worried about being robbed. In addition, in the mass media there was also news about children who slapped their parents, children who slapped their teacher and so on. The Uang Panai’ film came suddenly and seemed to make the people of Makassar calm down and laugh again. I explained to Garin that in fact there had been films also made and produced in Makassar. Among them: Prajurit Teladan (1997), Teror di Sulawesi Selatan (1964), Di Ujung Badik (1971), La Tando di Toradja (1971), Sanrego (1971), Senja di Pantai Losari (1975), Embun Pagi (1976), and so on, and so on. The effect of the Uang Panai’ film is thought to be booming, many Jakarta people or those who have money try to invest their money and do film production in Makassar. So, Jakarta people came to Makassar to shoot while minimizing the budget. In Jakarta, say, the budget is one billion rupiahs, or two billion rupiahs, then in Makassar it can be reduced to only cost 500 million rupiahs, in fact this number is expensive. This is what damages the community ecosystem in Makassar. Especially for students who are just learning about film and seeing the only good films are films like Uang Panai’. That’s the effect, and now we can still see it. There are so many Makassar films that have been made and have been screened and will be screened again. But it’s not as booming as Uang Panai’, because as I said earlier, it is booming because the timing is just right. Because so many films will be launched, questions arise between us at Kinotika and the Imitation Film Project. Can such films, which elevate the tone of locality, ignite or add to our viewing experiences? I can’t answer that. But, if for example there is only onetone, yes, we will not get different variations or ways of watching. So from that, the Imitation Film Project


created a small program called One Shot Project. One Shot Project takes ideas from the first film I made in Malaysia using only one shot. I believe, we can talk about many things just by using one shot. So, we try to invite filmmakers or filmmakers in Makassar or outside Makassar to participate in producing the film in our place. The recording process is only done in one shot, just like that. After that, we make film screening and we invited friends in Makassar to take part in the discussion. In the screening of the first films we played eight films. Because the Imitation Film Project is a small group, and doesn’t have too many networks outside, we only invite friends to showcase the film. Incidentally there were films that was sent from Malaysia and Australia. We were very fortunate to get this material. Then last year, in 2017, we also made the second One Shot Project. If we look at the number of audiences, this One Shot Project audience was originally 80 people. For us, it’s beyond expectation. Then last year, the audience doubled to 150 people. This then made us wonder whether a medium like this is indeed able to ignite new experiences or provide a new alternative in watching the screen, especially in Makassar? The last thing I want to explain is the method of creating films in the Imitation Film Project. Actually, because my friends were dropped out from film campus, we could try many things because it was not limited to the rules of teaching. Before I continued my study–because it was only me who really graduated from campus—I was always assigned to go everywhere. So that when I returned to Makassar, I could present to them, “This is what I’ve learned ...” Especially when I attended Akademi ARKIPEL. Of course, I got a lot of things there. Not only about film, but also beyond that. As a result of my studies at the Akademi ARKIPEL, also in Solo, I presented it to friends who did not continue their studies, did not study film. The method we use at the Imitation Film Project was that we put the body as a pre-record. The first thing to do is that each participant learns to do presentation. This is very important. Because there are some of us who cannot “talk”. Especially when Jakarta people come, we tend to stutter. So, we learn to do presentations. This presentation will increase our body’s sensitivity to relate to the subject, to relate to the objects that will support the images that we will arrange. That’s the first. Secondly, we use space. So, we bring a camera, and it hasn’t been on, while just walking around. While walking, we try to see space. Maybe it’s not theoretically the way to make films. But that’s what we can do. While walking and exploring space, we find two possibilities: whether we as subjects choose our own space; or are chosen by space. Besides, we can also see how the public respond to us when we walk. So, there is ... it is normal, right, if we walk in groups, strangers, then suddenly someone would ask “Where are you going?” After


that the participant starts indirectly starting to tell stories, confide in, and that adds ideas that might later be made into material in the film. An example of the last film we produced at Imitation, the film I wrote and directed, was titled Blues Side on The Blue Sky. This film was shot in Bone, South Sulawesi. If you have never gone to Bone, you know, to reach Bone from Makassar takes three hours to travel by car, and there is no communication signal. When the camera entered the location, which was my own village, the children who saw it were excited. Some come, approach, hold. Then spontaneously these children became the crew. They invited us to go to the river. They invited us to go see the trees, enter the chocolate forests and so on. After that we started working with cameras, as if we were already filming, and they helped us. We also included local residents to participate in the film. So, actually, in the Blues Side on The Blue Sky film there are local residents, my neighbors who I don’t really know but we invited him to take action to challenge the camera. It really helped us deal with new people, dealing with people we had not known before. This experience was so challenging, how to direct someone who was not an actor. After the shooting process was complete, before we worked at the editing table, we left the footage for a month, or for a while to be watched again, re-interpret the pictures we had recorded, re-watch the images that we have made. Only then did we start challenging the editing table. So, that’s it, at the Imitation Film Project, there are no theoretical foundation like the one that the campus teaches in the process of producing films. We share such experiences through workshops, through any methods. We do this because most film workshops in Makassar are paid, and the method of how to work and teach film is like the method in campus. So, there are no other ways or other initiatives in constructing images. We named this workshop Imitation Film Lab, it was run for two months, with the limited resource we had. We mostly share our experiences about what we got when making films. Including when attending a festival like ARKIPEL. Maybe that’s it. I hope you can provide some input, feedback, on what we have explained this afternoon. Thank you.

Moderator Thank you for all the speakers. Incidentally, all of the speakers are still undergraduate students. For now, we welcome comments or questions or disagreements or input, anything.


Fay (Liga Film Mahasiswa ITB) Let me introduce myself. I am Fay from Student Film League of Bandung Institute of Technology. I want to ask the panelists, according to the theme. There are two questions. The first question is what do you think the language of Indonesian cinema is like? Is it in Bahasa Indonesia, or perhaps, based on your experience, the characters in the film have to speak local language? Then what can we do as a community so that we can really influence it (the language of Indonesian cinema -Ed)? The second question, I assume all of the panelists must be in the top structure in your communities. Please share with us about what you do to increase the members’ awareness in a film community, that we can have a role in determining the direction of movement of Indonesian cinema itself. Thank you.

Astari (Film Worker) Good afternoon. I am Astari. Incidentally, I have just plunged into the film field, and now I’m working on a program on television. I want to ask. To be honest, when I was in the process of filming films, my manager always told me, “ The scene will be like this, like this, like this ...” Of course, I can read the script, but I can’t have a good dialogue. For example, when I acted as a Cleric. I was told by the director, “You should act like this, you should speak this dialogue.”Okay I do that. But honestly, I can’t make a good dialogue. Please share to us your knowledge on this, how to do dialogue in films. Thank you.

Anggy Rusidi (Ladang Rupa) Thank you for the opportunity. I want to share, and there is something I want to ask. I am from Padang, also from a community. So like Findo and Rachmat, I also come from an area outside Jakarta. If I look at the position of the community, especially in West Sumatra, there are already lots of spaces, or arguably alternative screening space, whether on campus or off campus, for example Bioskop Taman, one of the programs of Ladang Rupa community. Although actually the Ladang Rupa is not a film community, we are trying to open a screening space. Then there is also a Sinema Pojok in Solok. There are Relair, and Layar Kampus which are based on campus. But if you think again about the position of the community, related to how the community determines the language of cinema, finally the community in its own way gives something that may not be new, but becomes new because it collaborates with reforms, especially in terms of technology. If possible, I mentioned a few examples, such as those done at Sinema Pojok


in Solok, friends there made films or made videos with mobile phones, with daily tools. That is, using technologies that are actually already close to the community, and that is applied together with the community. They make vlogs, and such. And how they spread the practice to the community. In this case, the community ultimately not only acts as a production space but also as a distributor. For example, when I talk about Bioskop Taman, we are not a community that produces films, we only screen films. The films we put forward were mostly films that were obtained from our friends. For example, we got films from Sinema Pojok or from the students of ISI Padang Panjang, because in West Sumatra there is a film school, right? It turns out that they also need alternative spaces to be able to screen their films and get appreciation for their own films. It is also a learning process for the filmmakers themselves. That was when I talked about the role of the community as said by Rachmat in Makassar, how the work of film community contributed to the development of films. How the film community in Makassar responds to the presence of Uang Panai’ film is also interesting. The question, maybe this is for Dini, which is based in Jakarta, a big city. How the community can contribute to interpreting the development of the language of cinema and can introduce it to the community? That is, if we talk about small cities, we blend in with the community more organically, what is the situation in the big city itself? Thanks.

Moderator Okay, thank you. There are three people who ask questions. Due to time constraints, maybe I think the question from Anggi was the last question and I immediately submitted it to the panelists to respond to a number of questions. Does anyone want to start first? Rachmat is ready. Please.

Rachmat Hidayat Mustamin Thank you for the question. So, the question is about the language of our cinema today. Actually, in the context of Makassar, the language of cinema in Makassar is our locality. We indulge in local myths and such. But the problem is: what kind of locality, what kind of myth is offered to the audience. Maybe that’s our interpretation in Makassar. This also affected filmmakers in Makassar, especially those planned to be screened in regular cinemas, big cinemas. Finally, they go into more pop film themes, leaving locality behind. Because they feel that locality is no longer selling. So, in Makassar now, the initial question before making films is: does it generate profit? That is very contrary to the vision of Kinotika and Imitation Film Project.


Then about whether the collective consciousness can determine the language of cinema? In fact, in making films at the Imitation Film Project, there is no big vision, such as how it should be to make film properly when we want to make this film. Actually, we departed from the problems in Makassar first, things that are familiar to us. Can our films offer the possibility of new languages, that is far from our expectations? Of course, we are happy if we can achieve that. Maybe that’s it for now.

Findo Bramata Sandi For me, there’s not much difference. If the question was the language of Indonesian cinema, it’s usually Indonesian or local languages. For me, who lives outside Jakarta, especially in Padang, I see our tendency in locality. But another problem is, how do we view locality itself? For instance, there are a number of productions with cultural backgrounds. Especially in the last few years. We have to underline, does culture exists merely as a background in the film, or what? That’s the kind of thing we respond to at Relair Cinema: to see things deeper. Cultural issues, like Minangkabau, for us, if we want to talk about locality, it is not just presenting the form of Mount Marapi. Another example, all films with Minangkabau themes should not always be opened with Saluang or Rumah Gadang. However, this still happens a lot, not only among student films, but even among those who has been producing films for more than ten or twelve years. In my community, film production runs routinely, but it’s not that much, only two or three films. And in each of our productions, we always try things out. If we find the result unsuitable, we don’t immediately claim “this should be seen this way!” We learn through the process. We always try to practice what we got from our previous film production experience.

Dini Adanurani Speaking about cinema, again I agree with Rachmat and Findo. According to my observation, in the context of Indonesia, maybe in the current language of cinema, there is this phenomenon where most filmmakers in every region embrace what is close to them. Many of the films that Findo said were based on culture, using local languages and there were many other local instruments contained in the film. But, if for example we talk about student films too, I don’t think it that’s the case... because students don’t always come from regions with singular cultures. Maybe, if for example they come from an urban city like Jakarta, Jabodetabek area, we are more flexible. From what I see, we have the same spirit as local filmmakers, we embrace what is close to our daily lives. For example, there are films that


might take a look at student life. There is also one of the Sinematografi UI films titled Map Biru (2017). This film tells the story of a man who is about to apply for work. The character is a fresh graduate who wants to apply for a job. That’s something that’s really very close to them. Then there is a film from Perfilma community at the Faculty of Law, Universitas Indonesia. The film attempted to raise conversationsabout hoaxes, the spread of gossip in the campus environment. And in my opinion, it’s something very close but that’s how we, as students, express it in the visual language we have chosen. Which might come from many references that we absorb and we put out again with our respective processing and the knowledge we have. Maybe that’s all.

Moderator Okay, thank you. There is still one unanswered question, the answer I think will be quite practical and long. Rachmat might answer, the second question, related to dialogue.

Rachmat Hidayat Mustamin Actually, the dialogue is close to language. Whatever it is, we can call it “language”. When I was in college, in South Sulawesi, I often moved around, I didn’t stay in one place. Each region has its own language, each has its own sound. Then I went to college in Malaysia, I also stammered when talking to people there, using Malay. At home I use Bugis and Bahasa Indonesia. Then after that I worked in Jakarta. I am not used to use “lu” or “gue” 3 in everyday conversations. I think, how to master dialogues, just keep talking, learn to discuss things with people. I think it can affect or enrich your knowledge of dialogue. Besides, I still stammer when I speak, now and then. Especially when talking in front of many challenging eyes. thanks.

Moderator Alright, thank you. I think there are a number of keywords that needs to be mentioned again. For example, there was a discussion about the discourse or issue which was later raised in the cinema, regarding how we frame the issue. And earlier, Anggi, added something about the exploration in terms of technology. Then, Rachmat talked about the presence of a camera as a “foreign object” in a location, which invited a spontaneous response from the local residents. Then, there are also issues related to collaborating with 3\ “Lu” (you) and “gue” (me) are local Betawi dialect, commonly used by people in Jakarta. Considered cool by the youth. –Ed


local residents in making films. And, the discussion heavily revolved around the matter of adapting the stories of people around us into films. There were discussions regarding the direction of our cinema movement, and then what is the language of cinema itself. But the discussion is still limited to the level of verbal language or dialogue, we should be able to further discuss the visual language in the film. I think, those who are still trying to understand this issue can attend the screening of the Candrawala program on the 13th of August at 7 PM, in this very room. Candrawala is one of the programs in ARKIPEL that focuses on reading the latest developments in cinema or audio-visual productions in Indonesia, which are then interpreted through a curatorial framework of Indonesian films submitted to ARKIPEL. We will discuss the development of cinema each year. This is Candrawala’s third year. The current affairs... if we talk about Indonesian cinema, we can actually read a pattern from films that are submitted to ARKIPEL, especially those from Indonesia. We can discuss their technological exploration, also about the spontaneity of the children, which, I think, is enough to give us an insight on how films are produced today. There will be six films in the program, we can see them to understand the development of Indonesian cinema. I think, this is the end of our panel. Assalamualaikum Wr. Wb.


MODERATORS

Prashasti Wilujeng Putri seorang seniman performans dan manajer seni. Menamatkan pendidikan di bidang Kriminologi di Universitas Indonesia tahun 2014. Selain menjadi Koordinator Program Forum Festival ARKIPEL, saat ini ia juga aktif mengelola 69 Performance Club, sebuah platform untuk studi mengenai sejarah dan seni performans yang digagas oleh Forum Lenteng, serta menjadi salah satu partisipan di Milisifilem Collective. Karya-karyanya dapat dilihat di www.prashastiwp.com.

Prashasti Wilujeng Putri is a performance artist and art manager. She graduated in Criminology at the University of Indonesia in 2014. Besides being the Coordinator of Forum Festival Program at ARKIPEL, she is currently managing the 69 Performance Club, a platform for the study of history and performance art initiated by Forum Lenteng, as well as being one of the participants in Milisifilem Collective. Her works are available at www.prashastiwp. com.

Afrian Purnama adalah kritikus, kurator, dan pembuat filem, anggota Forum Lenteng, dan penulis utama di Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). Lulus dari Jurusan Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara, tahun 2013. Ia juga menjadi asisten kurator untuk Program Kultursinema di ARKIPEL 2018.

Afrian Purnama is a filmmaker, critic, and curator, a member of Forum Lenteng and one of the main authors at Jurnal Footage (www. jurnalfootage.net). He graduated Computer Science at the Universitas Bina Nusantara in 2013. He is also the assistant curator for Kultursinema Program at ARKIPEL 2018.


Manshur Zikri adalah seorang kritikus, kurator, dan peneliti yang fokus pada ranah seni, media, dan sinema. Menamatkan pendidikan di bidang Kriminologi di Universitas Indonesia pada tahun 2014.

Manshur Zikri is a critic, curator, and researcher who focuses on the realm of art, media, and cinema. He graduated in Criminology at the University of Indonesia in 2014.

Dhuha Ramadhani adalah lulusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ia merupakan anggota Forum Lenteng dan bertanggung jawab sebagai pengurus harian program AKUMASSA. Tahun 2017, ia menjadi salah satu partisipan Akademi ARKIPEL, angkatan pertama, untuk kategori penulis/ kritikus filem. Kini, ia juga merupakan partisipan Milisifilem Collective yang berfokus pada estetika pembuatan filem.

Dhuha Ramadhani graduates from the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. He is a member of Forum Lenteng as one of the participants for AKUMASSA program. In 2017, he became one of the ARKIPEL Academy’s participants, the first batch, for a category of writer/ film critic. Now, he is also the participant of Milisifilem collective focusing of the aesthetic of filmmaking.


SPEAKERS

Azar Mahmoudian adalah seorang kurator dan pendidik yang berbasis di Tehran. Ia pernah menjadi programer pada penayangan di SOAS, London; HFK, Bremen; Blackwood Gallery, Universitas Toronto dan menjadi co-kurator di 11th Monitor Festival, SAVAC. Ia pernah menjadi anggota Dewan Juri pada Images Festival 2015, Toronto dan juga bagian dari tim kuratorial Biennal Gwanju 11th, 2016. Ia kini tengah mengerjakan seri kedelapan dari sebuah rangkaian penayangan filem, Sensible Grounds and Tectonics of Camaraderie, sebagai bagian dari proyek 4Cs yang didanai oleh Uni Eropa (2918-2020, di berbagai lokasi).

Azar Mahmoudian is an independent curator and educator based in Tehran. She has programmed screenings at SOAS, London; HFK, Bremen; Blackwood Gallery, Toronto University, and co-curated 11th Monitor Festival, SAVAC, among others. She was a jury member at Images Festival, Toronto (2015) and was part of the curatorial team of the 11th Gwangju Biennial (2016). She is currently working on an eight-chaptered film program, “Sensible Grounds and Tectonics of Camaraderie,” as part of the 4Cs Project (multiple venues, 2018-2020).

Afrizal Malna kini aktif mengurus program teater di Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Buku-buku terbarunya yang telah terbit, antara lain Teks Cacat Di luar Tubuh Aktor (Kalabuku, Yogyakarta, 2017); Pagi yang Miring ke Kanan (Nyala, Yogyakarta, 2017); Pada Batas Setiap Masakini (Octopus, Yogyakarta 2017). Ia juga menjadi salah satu seniman dalam Jakarta Biennale 2017.

Afrizal Malna is in charge of theater programme at the Theater Committee of the Jakarta Arts Council. His latest published books: Teks Cacat Di Luar Tubuh Aktor (Kalabuku, Yogyakarta, 2017); Pagi yang Miring ke Kanan (Nyala, Yogyakarta, 2017); Pada Batas Setiap Masakini (Octopus, Yogyakarta 2017). He was also included as an artist in Jakarta Biennale 2017.


Akbar Yumni adalah kritikus, kurator filem, dan anggota Forum Lenteng. Ia adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Footage (www.jurnalfootage. net). Sedang menempuh pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia juga bekerja sebagai peneliti lepas di Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini ia tengah mengerjakan proyek performan dan arsip filem-filem yang hilang di era kekuasaan otoriter.

Michael Baute adalah seorang penulis, pengajar, pekerja media, dan kurator. Tahun 2001, ia turut mendirikan weblog newfilmkritik. de. Antara 1996-2004, ia banyak berkecimpung di produksi filem sebagai peneliti, pencatat adegan, manajer produksi, asisten sutradara, dan pelaksana produksi selama produksi filemfilem dari Thomas Arslan, Harun Farocki, Christian Petzold, Angela Schanelec, dan lain-lain. Pada tahun 2006, ia menjadi co-editor (dengan Volker Pantenburg) buku Minutentexte. The Night of the Hunter (Berlin: Brinkmann und Bose). Ia juga turut menulis drama radio “Minutentexte” pada 2008.

Choiru Pradhono adalah lulusan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2005. Kemudian ia melanjutkan studi di program pasca sarjana ISI Yogyakarta dan lulus pada 2014. Ia tergabung dalam komunitas filem “Justkidding Video Explore” sejak 1999 hingga sekarang. Pada 2003 sampai 2007, ia tergabung dalam kelompok pembuat video musik “Populair Project”. Sekarang ia mengajar di Program Studi Televisi dan Film ISI Padangpanjang.

Akbar Yumni is a film critic and curator, and a member of Forum Lenteng, as well as Editor in Chief of Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). He studies Philosophy at Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. He is also a freelance researcher at Jakarta Arts Council. He is currently working on a performance project and archives of the lost films in the authoritarian era.

Michael Baute is an author, lecturer, media-worker and curator. In 2001 he co-founded the weblog newfilmkritik.de. Between 1996 and 2004 he did several activities in film production such as researcher, script-continuity, production manager, assistant director and production driver during the production of films by Thomas Arslan, Harun Farocki, Christian Petzold, Angela Schanelec and others. In 2006 he was a co-editor (with Volker Pantenburg) of the book Minutentexte. The Night of the Hunter (Berlin: Brinkmann und Bose). He was a co-author of the radio play “Minutentexte” in 2008.

Choiru Pradhono graduated from Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta in 2005. Then he continued his studies in ISI Yogyakarta postgraduate program and graduated in 2014. He is incorporated in the film community “Justkidding Video Explore” since 1999 until now. In 2003 to 2007 he joined the group of music video maker “Populair Project”. Now he is a lecturer in Television and Film Studies – ISI Padangpanjang.


Kus Sudarsono merupakan profesional di industri filem, iklan, dan televisi. Pada tahun 2011-2013, ia mulai mengajar sebagai dosen paruh waktu di Universitas Multimedia Nusantara, Binus University, dan IDS sambil meneruskan studi S2 di Institut Kesenian Jakarta. Sejak pertengahan 2014, ia bergabung secara penuh waktu sebagai dosen di Universitas Multimedia Nusantara, dan tahun 2015 dipercaya menjadi Koordinator Lab Fakultas Seni dan Desain. Pada 2017, ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Program Studi Film dan Televisi sampai sekarang.

Kus Sudarsono is a professional in the television, advertising, and film industry. In 2011-2013 he began teaching as a part-time lecturer at Universitas Multimedia Nusantara, Binus University, and IDS while continuing his master programme at the Jakarta Art Institute. Since mid-2014 he became a full-time lecturer at Universitas Multimedia Nusantara, and in 2015 he was the Lab Coordinator of the Faculty of Arts and Design. Since 2017 until now he is the Head of Film and Television Studies Program.

Ifa Isfansyah Ia dipilih oleh Asian Film Academy BUSAN pada tahun 2006 dan mendapatkan beasiswa untuk belajar di Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts, Korea Selatan. Ia memproduksi Siti (Eddie CAHYONO, TELLURIDE 2015), Turah (Wicaksono Wisnu LEGOWO, entri resmi Indonesia pada OSCAR 2018) dan The Seen and Unseen (Kamila ANDINI, TORONTO IFF 2017). Isfansyah adalah pendiri JOGJA-NETPAC Asian Film Festival yang dimulai pada tahun 2006 dan juga mendirikan JOGJA FILM ACADEMY pada tahun 2014.

Ifa Isfansyah was selected by the Asian Film Academy BUSAN in 2006 and got a scholarship to attend the Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts, South Korea. He has produced Siti (Eddie CAHYONO, TELLURIDE 2015), Turah (Wicaksono Wisnu LEGOWO, Indonesian Official Entry for OSCAR 2018) and The Seen and Unseen (Kamila ANDINI, TORONTO IFF 2017). Isfansyah is also a founder of JOGJA-NETPAC Asian Film Festival that started in 2006 and a founder of the JOGJA FILM ACADEMY, which was established in 2014.

Otty Widasari salah satu pendiri Forum Lenteng, dan kini bertanggung jawab pada Program AKUMASSA. Ia pernah kuliah di Jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, dan kemudian menamatkan pendidikan di bidang Seni di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2013. Otty telah menyelenggarakan pameran tunggal, di antaranya Ones Who Looked At the Presence (2015, Arke Galerie, Yogyakarta) dan Ones Who Are Being Controlled (2016, Dia. Lo.Gue Artspace, Jakarta).

Otty Widasari iis one of the founders of Forum Lenteng and is in charge of AKUMASSA Program at Forum Lenteng. She had once studied Journalism at Institute of Social and Political Sciences (IISIP) Jakarta and then finished her education in Arts at the Jakarta Arts Institute in 2013. Otty is also active to create artworks and has organised solo exhibitions, Ones Who Looked At the Presence (2015, Arke Galerie, Yogyakarta) and Ones Who Are Being Controlled (2016, Dia. Lo.Gue Artspace, Jakarta).


Helen Petts adalah seniman dan pembuat filem yang kerap mengeksplorasi ritme, tekstur, suara, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan, baik di lanskap pedesaan maupun dalam hubungannya dengan musisi eksperimental. Ia bekerja dengan komunitas video dan membuat filem untuk TV, tetapi kini ia kerap menampilkan karya-karyanya di berbagai galeri seni dan festival. Karya-karyanya kini didistribusikan oleh Lux Artists Moving Image.

Helen Petts is a British artist-filmmaker who explores rhythm, texture, sound and chance events, both in the rural landscape and with experimental musicians. She has worked in community video and made films for TV, but she now shows her work in art galleries and festivals. Her works are distributed by LUX Artists Moving Image.

Findo Bramata Sandi adalah salah satu pendiri Relair Cinema. Komunitas Relair Cinema didirikan tanggal 16 Agustus tahun 2015. Findo juga merupakan Direktur Andalas Film Exhibition 2017 dan Programmer Sumbar Film Festival 2018. Ia juga pernah menjadi programmer untuk Bioskop Samotra (2014); sebuah program distribusi filem lokal dan filem-filem yang tidak diputar di jaringan bioskop komersil yang berbasis di Padang, Sumatera Barat. Rel Air (2016) mendapat penghargaan sebagai Best Documentary Film pada Bandung Independent Film Festival 2016.

Findo Bramata Sandi is ne of the founders of Relair Cinema. The Relair Cinema collective established on August 16, 2015. He is also the director of Andalas Film Exhibition 2017 and Programmer of West Sumatra Film Festival 2018. He has been a programmer for Samotra Cinema (2014); a local film distribution program that not screened on a commercial cinema, based in Padang, West Sumatra. Rel Air (2016) has been awarded as Best Documentary Film at the Bandung Independent Film Festival 2016.

Rachmat Hidayat Mustamin adalah seorang sutradara filem, penulis, penyair, performer, dan seniman. Ia juga adalah seorang kontributor di Kinotika, sebuah komunitas yang mengorganisir pemutaran dan lokakarya filem, dan Direktur Program di Imitation Film Project, sebuah komunitas dan laboratorium filem yang berfokus dalam pembuatan program dan filem alternatif, keduanya berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan.

Rachmat Hidayat Mustamin is a film director, writer, poet, performer and artist. He is also a contributor in Kinotika, a community is organising film screening and workshops, and Program Director at Imitation Film Project, a community and mini creative film development lab that focuses on the making of alternative programs and films, both based in Makassar, South Sulawesi.


Dini Adanurani tengah menjalani studinya di program studi Filsafat, Universitas Indonesia. Ia adalah seorang penulis, pembuat film, dan penerjemah lepas. Tahun ini, ia turut merancang UI Film Festival sebagai Direktur Festival, dan bermain sambil belajar visual di Milisifilem Collective. Blognya dapat dikunjungi di jesuismager. wordpress.com

Dini Adanurani is a student majoring in Philosophy, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. She is a writer, filmmaker, and freelance translator. This year she is involved in UI Film Festival as a festival director. She is currently studying visual in Milisifilem Collective. Her writings are available at jesuismager. wordpress.com.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.