Forum Festival Arkipel 2020 Booklet

Page 1

i


Komite ARKIPEL Twilight Zone Twilight Zone ARKIPEL Committee ORGANIZING COMMITTEE Board of Artistic: Hafiz Rancajale Otty Widasari Mahardika Yudha Yuki Aditya EXECUTIVE COMMITTEE Chairperson – Artistic Director Hafiz Rancajale Festival Director Yuki Aditya Festival Manager Prashasti Wilujeng Putri SELECTION COMMITTEE Head Selector Otty Widasari FORUM FESTIVAL Prashasti Wilujeng Putri (Coordinator) Dhuha Ramadhani Valencia Winata Luthfan Nur Rochman Maria Deandra

ii

Communication & Publication Anggraeni Dwi Widhiasih (Catalogue Editor) Dhuha Ramadhani (Website Administrator) Ahmad Volta Jonneva, Dhuha Ramadhani (Festival Bumper Directors) Luthfan Nur Rochman, Alessandra Langit (Social Media Administrator) Robby Ocktavian, Pingkan Polla, Taufiqurrahman 'Kifu' (Graphic Designer) Niskala Utami (Reporter) Translation Anggraeni Widhiasih Dini Adanurani Niskala Utami Panji Anggira Valencia Winata Media Relation Alifah Melisa (Coordinator)


Daftar Isi Contents Komite ARKIPEL Twilight Zone / Twilight Zone ARKIPEL Committee

II

Catatan Direktur Festival IV Notes From Festival Director VI Tentang Forum Lenteng / About Forum Lenteng

VIII

Refleksi Arkipel / Arkipel Reflection Gambar-gambar Terakhir Sebelum Semburat Apokalips di Cakrawala 2 The Last Photographs Before the Apocalyptic Tinge in the Horizon 6 Forum Festival Tradisi Masa Depan: Melihat Masa Kini Sebagai Masa Lalu 14 Future Traditions: Perceiving The Present as The Past 15 Menavigasikan Zona Temaram Hari Ini 16 Navigating the Twilight Zone in the Current Time 18 Kebertahanan Ekosistem Seni dan Imajinasi Estetika Mendatang 20 The Survival of Art Ecosystem and Imagining the Aesthetic of Tomorrow 21 Praktek Lensa Alternatif dalam Kritisisme Filem 23 Alternative Lenses in Film Criticism Practice 24 Acknowledgement 26

iii


CATATAN DIREKTUR FESTIVAL Yuki Aditya

Kami memulai tahun 2020 seperti tahun-tahun sebelumnya, antusias mempersiapkan pembukaan pendaftaran filem-filem untuk program Kompetisi Internasional di ARKIPEL. Tiga bulan pendaftaran dibuka sampai bulan April 2020, sekitar 1.500 filem masuk didaftarkan ke kami. Merebaknya pandemi COVID-19 yang meluas sejak Februari 2020 tentu saja membuat kami terus memutar otak, menyusun strategi penyelenggaraan festival dari bulan ke bulan. ARKIPEL yang biasanya kami selenggarakan tiap bulan Agustus pun harus dijadwalkan ulang ke bulan November, dengan harapan persoalan pandemi ini sudah mereda. Namun situasi dan kondisinya belum juga memungkinkan, baik dari segi ruang pemutaran maupun keterbatasan mobilitas orang-orang. Kami sempat terpikir untuk tetap menyelenggarakan ARKIPEL secara daring, namun urusan infrastruktur bandwidth, geolokasi, serta platform streaming mana yang paling memungkinkan pun menjadi bahasan rutin di Forum Lenteng sepanjang tahun 2020. Sampai pada keputusan kami untuk menunda penyelenggaraan ARKIPEL secara fisik ke tahun depan, karena pertemuan intim antara penonton, kurator, dan pembuat filem secara fisik adalah yang terbaik untuk festival macam ARKIPEL. Tema tahun ini, Twilight Zone atau Zona Temaram, terasa sepakat dalam merespon situasi global saat ini, berangkat dari upaya melihat kembali pengetahuan lokal yang berhadapan dengan pengetahuan modern yang dibawa oleh arus globalisasi. Situasi dan kondisi terkait pandemi ini dalam konteks

iv


ARKIPEL dan Forum Lenteng pun membuat kami memikirkan strategistrategi lain untuk tetap berbicara tentang sinema. Untuk tahun ini, kami tetap menyelenggarakan Forum Festival yang sudah ada sejak kehadiran ARKIPEL pertama kali di tahun 2013. Forum Festival tahun ini akan berjalan secara daring pada tanggal 6-8 November 2020. Forum ini akan tetap mengundang pelaku-pelaku budaya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuannya dalam konteks aktivitas-aktivitas seni budaya yang telah mereka jalankan. Metode daring Forum Festival ini adalah kali pertama buat kami dan terbuka bagi yang tertarik dengan mendaftarkan diri lewat laman website ARKIPEL. Bagi kami, situasi ini pun merupakan potensi besar untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, dibandingkan penyelenggaraan biasanya yang secara fisik. Jumlah pendaftar yang mencapai lebih dari 250 orang, serta ragam sebaran lokasi pendaftar adalah hal yang biasanya sulit kami capai di tahun-tahun penyelenggaraan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu bagi kami untuk mengapresiasi kawan-kawan yang mendaftarkan diri untuk tetap menjaga semangat membicarakan persoalan-persoalan seni budaya untuk masa depan yang lebih baik. Kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada mitramitra yang sejak awal maupun baru mendukung penyelenggaraan ARKIPEL hingga kini. Baik komunitas, institusi, perorangan, lembaga pemerintah, maupun rekanan festival filem lainnya. Khususnya kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang mendukung penuh penyelenggaraan Forum Festival ARKIPEL 2020 ini. Juga kepada tenaga-tenaga Kesehatan, baik di Indonesia dan di belahan dunia lainnya, yang selama setahun ini telah bekerja keras dan terus akan bekerja keras di tengah masa-masa sulit ini. Semoga di tahun yang akan datang, ARKIPEL dapat terus hadir dengan inovasi-inovasi baru demi terus berusaha mewujudkan cita-cita akan dunia perfileman yang lebih baik lagi.

Jakarta, 1 November 2020

v


NOTES FROM FESTIVAL DIRECTOR Yuki Aditya

We started 2020 like the previous years, enthusiastically preparing to open the film registration for ARKIPEL’s International Competition program. The registration was opened for three months until April 2020, and we received around 1,500 films. The outbreak of the COVID-19 pandemic that has spread since February 2020 certainly makes us rack our brains from month to month, strategizing to organize our festival. ARKIPEL, which we usually hold every August, must be rescheduled to November, hoping that this pandemic outbreak will subside. However, the situation and conditions are still unfavourable to organize the festival, both in terms of screening space and people's limited mobility. We had the thought of continuing to hold ARKIPEL online. However, the issues regarding bandwidth infrastructure, geolocation, and which streaming platform to use have become a regular discussion at Forum Lenteng throughout 2020. Eventually, we decide to postpone the offline ARKIPEL for the next year, because we consider that intimate physical encounters between audiences, curators, and filmmakers are the best option for a festival like ARKIPEL. This year's theme, Twilight Zone, seems to align with the response to the current global situation, departs from an effort to revisit local knowledge that encounters modern knowledge carried by globalization. The situation and conditions related to this pandemic in the context of ARKIPEL and Forum Lenteng also made us think of other strategies to keep talking about cinema. For this year, we continue to hold the Forum Festival that has existed since ARKIPEL's first presence in 2013. This year's Forum Festival will be held vi


online on November 6-8, 2020. This forum will continue to invite cultural activists to share experiences and knowledge in the context of the cultural arts activities they have carried out. It will be the first time for us to conduct Forum Festival online. For those who are interested in participating in the forum, we opened a registration via the ARKIPEL website. For us, this situation also has great potential to reach a wider audience, compared to the usual physical events. The number of applicants that reached more than 250 people and the variety of applicants' locations are things that usually difficult for us to achieve in previous years. Therefore, we must appreciate these fellows who have registered to keep up the enthusiasm to discuss issues of art and culture for a better future. We would like to express our deepest gratitude to partners who have supported ARKIPEL from the beginning and those who have only recently supported ARKIPEL until now, both communities, institutions, individuals, government agencies, and other film festival partners. Especially to the Directorate General of Culture of the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia who fully supports this organizing of the 2020 ARKIPEL Forum Festival. I also want to thank the health workers, both in Indonesia and in other parts of the world, who have worked hard for a year and will continue to work hard amid these difficult times. Hopefully, in the coming year, ARKIPEL can continue to present innovations in order to continue to strive to bring forth the aspirations for a better world of cinema. Jakarta, November 1st 2020

vii


Forum Lenteng adalah organisasi non-profit berbentuk perhimpunan yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, dan mahasiswa komunikasi/ jurnalistik pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat itu untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas. ďż˝

Forum Lenteng is a non-profit collective based organization which was founded by artists, students, researchers, and cultural activists in 2003. The Forum has been working to develop media knowledge and cultural studies as an community based alternative education. The Forum is aiming to enact media and cultural knowledge for the society to lead a better life, building the awareness of media literacy, initiating and producing knowledge and distributing the knowledge universally.

www.forumlenteng.org info@forumlenteng.org @forumlenteng viii


Ketua / Chairperson Hafiz Rancajale Sekretaris Jenderal / Secretary-General Andang Kelana Keuangan / Finance Yuki Aditya, Pingkan Polla Penelitian & Pengembangan / Research & Development Mahardika Yudha Produksi / Production Luthfan Nur Rochman Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas / Director of Community Based Media Education Otty Widasari akumassa (www.akumassa.org) & sudji.id Anggraeni Widhiasih Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net) Afrian Purnama ARKIPEL (www.arkipel.org) Yuki Aditya Visual Jalanan (visualjalanan.org) / VJ>Play (play.visualjalanan.org) / VJLab (lab.visualjalanan.org) Andang Kelana / Theo Nugraha Diorama Dhuha Ramadhani (Coordinator) 69 Performance Club (www.performance.id) Prashasti W. Putri / Pingkan Polla / Dhanu Pandji / Maria Deandra Milisifilem Collective Alifah Melisa muarasuara Robby Ocktavian / Syahrullah ix




REFLEK SI ARKIPEL

GAMBAR-GAMBAR TERAKHIR SEBELUM SEMBURAT APOKALIPS DI CAKRAWALA Otty Widasari

Zona Temaram Saya jadi berpikir tentang apa yang telah dilakukan para sutradara sebelum mengirimkan film mereka ke meja seleksi ARKIPEL 2020. Pada kenyataannya, mereka sedang merekam gambar-gambar terakhir yang ada, sebelum semua orang di dunia harus masuk ke rumah masing-masing, dan menutup pintu rapat-rapat. Kelak kita semua akan keluar dari rumah-rumah dengan kenyataan sosial yang sungguh berbeda. Tahun ini tim seleksi ARKIPEL memulai panggilan terbuka pada tanggal 5 Februari 2020. Para sutradara punya waktu untuk mengirimkan film-film mereka hingga tanggal 31 Maret 2020. Artinya, pada saat itu sebagian negaranegara di seluruh dunia sudah memberlakukan peraturan kuncitara pada warganya. Namun tak satupun dari film-film tersebut melempar isu tentang virus corona yang sedang mewabah di dunia saat ini. Juga tak satupun yang mengetengahkan moda produksi yang menggambarkan situasi karantina. Bisa diprediksi bahwa para sutradara mengirimkan film-film yang dibuat sebelum situasi pandemi. Maka, ketigapuluh film yang telah terseleksi adalah gambaran tentang apa yang menjadi pemikiran manusia sebelum peradaban kembali temaram. ***

2


Hari ini kita menyaksikan kompleksitas globalisasi peradaban telah melampaui kemampuan daya dukung manusia. Globalisasi ternyata bisa menyebabkan meratanya sebuah pandemi. Ini adalah situasi yang mengguncang banyak ideologi, sistem, dan konsep-konsep yang selama ini telah mapan. Wacana dunia global yang timpang jadi teradilkan. Ada cerita tentang, bukan hanya warga negara-negara berkembang saja yang harus selalu dicurigai dan di-subdominan-kan jika masuk ke wilayah negara-negara maju. Para warga dari negara-negara yang selalu merasa lebih superior pun mengalami situasi dirundung, dicurigai dan terusikkan, di manapun. Secara historis, sinema selalu melakukan eksperimentasi bahasa dan mediumnya, untuk melepaskan diri dari dominasi wacana yang terpusat. Yang paling mendasar dari eksperimentasi tersebut adalah dengan terus menerus melakukan reproduksi kenyataan hingga dia makin menjauh dari keasliannya. Dengan cara itu sinema bisa menjadi wacana kritis untuk mengganggu kemapanan sebuah pilihan. Sinema, yang juga digunakan sebagai alat untuk membangun ilusi besar sebuah kekuasaan, mengalami kesurutan saat perkembangan teknologi media tidak terbendung mengiringi peradaban. Teknologi-teknologi perekam yang semakin baru tersebut terus diciptakan untuk mempermudah kehidupan sekaligus menjadi aparatus kekuasaan. Sirkulasi dari cara kerja teknologi perekam itu menghasilkan informasi-informasi yang menjadi konstruksi budaya, dan akhirnya meleburkan ideologi utama di dunia. Ugeng T. Moetidjo (2016), menuliskan di katalog ARKIPEL social/kapital tahun 2016 bahwa, “Motif, bentuk, dan dampak dari perilaku bermedia kita tidak secara nyata menempatkan kita pada posisi orisinal kita sebagaimana acap kita akui, melainkan melalui sebuah perantara besar yang menetapkan masing-masing porsi kebermediaan tiap pelaku.� Kita sudah tidak bisa lepas dari gelombang sosial dan kapital yang telah melebur dalam kehidupan masyarakat dunia secara global. Perilaku kita sekarang ini sudah berada dalam kendali yang mendorong kita menjadi seragam. Hal ini adalah sebuah bentuk nyata keterpenjaraan kita di dalam sebuah suaka hukuman ruang simulasi yang menyerupai balon udara raksasa.

3


Kita hidup di dalamnya sebagai pengembara, dan berpikir bahwa ini adalah alamiahnya diri kita. Kita berada di ambang kesadaran akan situasi seragam dalam koridor horizontal yang diisi oleh hubungan timbal balik antara kenyataan dan reproduksinya sebagai pengalaman-replikasi-informasi-konstruksi-keniscayaan. Tetap saja sinema terus mencoba mengkritisi kehidupan yang sudah menjadi serba tidak alamiah lagi tersebut, sebagai agen budaya peradaban dunia. Di dalam keterpenjaraan ini, justru karena terpenjara, sinema malah berpeluang menjadi agen yang lain untuk memprovokasi kehidupan dengan cara melenceng keluar dari koridor. Kesempatan untuk terlibat dalam demokratisasi teknologi memunculkan sifat dasar manusia sebagai mahkluk homoludens. Dengan bermainlah akhirnya aksi reproduksi kenyataan melompat jauh ke arah yang membalikkan konsep-konsep avant-gardisme. Entah bagaimana awalnya, situasi ruang dan waktu kita tiba-tiba telah terpetakan dengan sangat cepat, dan juga selalu termediasi. Keseharian menjadi sebuah hal yang penting. Dengan susah payah para sutradara konvensional menyusun gambar-gambar bukan kesehariannya demi tersampaikan pesan yang diinginkan, itu pun kadang hanya sedikit saja yang menonton dan mengapresiasi. Sementara kini kita bisa melihat seseorang bisa mendapat ribuan tanggapan di akun media sosialnya, hanya dengan memonyong-monyongkan bibir dalam beberapa ekspresi selama 60 detik. Situasi apakah ini?; Situasi yang mendorong para bromocorah keluar, menampakkan diri, dan menyatakan pendapatnya. Sejak menjadi makhluk pemburu dan pengumpul, bersuku-suku, kemudian memiliki kekuasaan yang terpusat, lalu mengontrol alam dan bahkan juga sesamanya, peradaban dibangun oleh manusia sambil meninggalkan artefak berupa gambar-gambar. Artefak-artefak yang dibuat berdasarkan naluri mencari makan manusia selamanya. Sebagaimana naluri itu berkembang menjadi bentuk yang paling kompleksnya pun gambar-gambar tetap terus tercipta. Gambar-gambar yang terlahir dari hasrat manusia pada kecintaan akan kenangan. Sepanjang sejarah peradaban manusia, hasrat membuat gambar-gambar selalu terhenti oleh berbagai hal yang menghancurkan peradaban. Salah satunya adalah wabah. Dalam beberapa literatur Kristen yang telah disimpulkan, dikenallah istilah “empat penunggang kuda� yang menandai kedatangan bencana oleh para antikristus, sebagai analogi hukuman Tuhan terhadap umat manusia yang tak setia pada-Nya. Keempat penunggang kuda itu diibaratkan sebagai empat bencana yang menjadi faktor eksternal runtuhnya sebuah peradaban: perang, kelaparan, wabah, dan kematian. 4


Hari ini semua orang harus berdiam selama berbulan-bulan karena pandemi. Nampaknya situasi pandemi menyeluruh diibaratkan sebagai penunggang kuda ketiga sedang datang berkunjung. Yang mengerikan dari peristiwa wabah kali ini adalah, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, wabah menyebar rata di seluruh dunia. Peradaban pun kembali temaram. Ya, peradaban kembali temaram. Padahal, usaha mengimitasi kenyataan sudah sampai di titik pergeseran yang paling jauh, di mana akhirnya kerja teknologis juga mempreteli ideologinya sendiri sambil makin memendekkan jarak realitas kehidupan umat manusia dengan representasinya. Aksi yang sungguh dinamis sekali. Setelah meredupnya keberadaan teknologi seluloid, video mengambil tempatnya dengan pasti dan merangsek, menguasai dunia produksi gambar. Hal ini bisa dilihat dari tilikan film-film yang hadir di ARKIPEL tahun lalu. Saat alat produksi rekam sudah tidak secara eksklusif dipegang oleh kelompok tertentu, video, dan kemudian internet, menjadi alat yang mampu bicara secara massal dan horizontal, di mana semua ukuran persisi harus menyesuaikan dirinya dengan ketidakteraturan: mengungkap politik kebertahanan para penghuni tepi-tepi, para Bromocorah. Pada ARKIPEL tahun lalu, walaupun masih ada usaha para sutradara mempertahankan keteraturan kerja teknologi perekam dengan mempersembahkan hasil hitungan yang pasti dalam bingkai-bingkai filmnya, namun banyak sekali ditemui gambaran yang lebih jauh daripada sekedar persoalan hasil kerja teknologis dari perangkat yang terukur itu sendiri. Karena politik ketahanan negara-negara non-Barat, penggunaan kamera menjadi bergeser ke fungsi sebaliknya, yaitu mengabaikan keteraturan. Struktur sistemik hanya tersisa di dalam perangkat kamera dan layar, karena benda-benda tersebut memang lahir dari Rahim teknologisme. Penghancuran ide penyerupaan realita makin dilakukan oleh para pemegang kendali sirkulasi citra-citra terhadap aksi mengimitasi kenyataan, hingga ke limitnya. Lalu, Apa yang Dilakukan Para Pembuat Film Sebelum Dunia Kembali Temaram? Dari kumpulan film-film yang terseleksi tahun ini, kita dapat melihat bagaimana sebuah usaha reproduksi kenyataan sudah mengambil peran untuk menyelidiki unit-unit pembentuk peradaban. Film telah menjadi metode bagi para pembuatnya untuk memberikan bukti kepada publik, bahwa sistem yang hingga 5


kini bekerja tidak pernah lepas dari kejahatan penguasa di masa lalu dan dilanjutkan di masa kini. Film-film yang terseleksi tahun ini menyajikan penggambaran ideide penelusuran kejahatan dunia yang bersifat global. Jika ilmu apapun tak bisa digunakan secara menyeluruh dalam menyidik kejahatan, sepertinya film, dengan semua permainannya, mengambil alih sebuah keagesian dengan lebih leluasa dalam mengungkap gelapnya kejahatan (di masa lalu). Jika kita mengasumsikan pandemi yang sedang terjadi ini adalah sebuah malapetaka, maka penyebabnya sungguh tak mudah diurai karena masa lalu sudah menjadi gelap. Sebagaimana hasrat manusia meninggalkan jejak ingatan dengan gambar-gambar, maka film berhasrat untuk menelisik apa yang ada di dalam gelap. Sebelum peradaban bertemu zona temaramnya, sinema seperti memiliki keharusan untuk melakukan kerja forensik terhadap peradaban. Peradaban diibaratkan sebagai sebuah corpus delicti (tubuh kejahatan), sekaligus sebagai sebuah tempat kejadian perkaranya. Para pembuat film ini mengkonstruksi tanda-tanda sebagai barang bukti yang mengarahkan persepsi kita untuk melihat bahwa telah terjadi suatu tindak kejahatan di sana. Konstruksi tersebut juga menunjukkan modus operandi yang telah melatarbelakangi kejahatan. Dengan caranya sendiri film bisa menghubungkan persepsi kita untuk mengidentifikasi pelaku, korban, dan saksi-saksi, dari kejahatan peradaban. Rupanya, runutan peristiwa dalam sejarah peradaban sekarang ini mengantar kita sampai di situasi yang kita alami sekarang. Peradaban ini pulalah yang memaksa kita untuk duduk diam di rumah sambil melempar seluruh diri kita ke dunia yang saling terhubung dalam jaringan, sebagai komunitas data biner yang siap terkomputasi untuk menjadi diri kita yang artifisial. Setelah peradaban menemui kehancurannya yang berulang, mungkin esok kita harus kembali mengais peradaban yang baru dengan menggunakan kumpulan gambar yang sempat direkam sebelum peradaban kembali temaram. Lenteng Agung, 26 Oktober 2020

6


ARKIPEL REFLEC TION

THE LAST PHOTOGRAPHS BEFORE THE APOCALYPTIC TINGE IN THE HORIZON Otty Widasari

Twilight Zone I wonder what the directors did before submitting their films to ARKIPEL 2020’s selection desk. Looking back, they were sending their last portrayal before everyone in the world had to retreat to their own homes and shut their doors. In the future, we will face a completely different social reality. This year’s ARKIPEL selection team called for submissions on February 5, 2020. These directors could submit their films until March 31, 2020. During those times, most countries in the world had enforced the lockdown policy on its citizens. But none of the films brought up the coronavirus issue, which had started to plague the world at the time. Also, none of them focused on the production mode that depicts quarantine. Most likely, these directors sent the films they made before the pandemic. Therefore, we had selected thirty films that depict humans’ last musings before the civilization went into twilight. ***

7


Today, we are witnessing the complexity of global civilization which has progressed beyond humans’ capacity. It turns out that globalization has also spread the pandemic evenly. The situation has shaken down many established ideologies, systems, and concepts. The tipped scales of global discourse have been balanced. We have heard that nowadays, not only the citizens of developing countries are being suspected and sub dominated when entering the territory of developed countries. Now, citizens of the countries that have always felt superior experience the same bullying, suspicion, and disturbance anywhere they are. Historically, cinema experiments with its language and medium to break away from the domination of the centralized discourse. The most essential thing from such experimentation is to continuously reproduce reality until it gets further away from the truth. Through these ways, cinema can become a critical discourse against the established electoral risk. It also functions as an apparatus to construct a grand illusion of authority, then regressed when media technology thrives unstoppably, progressing along with the civilization. More sophisticated recording technologies were massively produced to facilitate everyday life and become an apparatus of power. The circulation and mechanism of these recording technologies have produced information that constructs culture and eventually fuses the central ideology in the world. Ugeng T. Moetidjo (2016) wrote in the catalogue of ARKIPEL social/kapital that, “Motives, forms, and impacts of our media behaviour do not concretely put us at our original position as sometimes we tend to admit, but put us through a big intermediary that fixes our each portion of media behaviour.” We are inseparable from the waves of social and kapital fusing into the lives of the global community. Our contemporary behaviours are under control that pushes us into uniformity. This is our actual form of imprisonment in the simulation room’s penal colony, resembling a giant hot air balloon. We live inside it as wanderers, thinking that this is our nature. We belong on the verge of consciousness of the uniformity in the horizontal corridor filled with the reciprocal relations between reality and its reproduction as experience replication - information - construction - absoluteness. However, cinema, being the cultural agent of the world civilization, attempts to criticize this life, which has become so far from our nature.

8


Amidst this imprisonment—in fact, when triggered by this imprisonment, cinema has the opportunity to become another agent, provoking the every day by deviating from the corridor. The opportunity to be involved in the democratization of technology revealed human nature as homoludens. Through playing, reproduction of reality leaps into a direction where the concepts of avant-gardism are being reversed. Somehow, we have arrived at a stage where our spatial and temporal situation is always mapped quickly and mediated. Our daily life becomes essential. Conventional directors put much effort in arranging non-everyday images to convey their message, most of the time just to be met with little to no audience and appreciation. While nowadays, we can see people getting thousands of responses on their social media page just by pouting their lips in various expressions for 60 seconds. What kind of situation is this? The kind which draws the bromocorah to come out, appear in the flesh, and give their opinion. Since their days of hunting and gathering, living in tribes, then living under a centralized power, harnessing their power to control the nature and even each other; this civilization has always been built by humans, leaving their artefacts in the form of images. These artefacts have always been created by humankind’s instinct to forage food. They keep creating images, even when their instinct evolves into its most complex form. These images were born out of human’s desire for their love of memories. Throughout the history of human civilization, the desire to create images was always halted by many things that destroy civilizations. One of them is the plague. Some Christian literature mentions “the four horsemen of the apocalypse” as the foreshadows of the destruction brought down by the antichrists, an analogy for God’s punishment for humankind’s disloyalty towards Him. The four horsemen stood for the four disasters, which were the external factors of the collapse of civilization: war, famine, plague, and death. Today, everyone stays at their homes for months due to the pandemic, as if the third horseman is visiting. The most terrible thing from this plague, which has not happened before in history, is its global spread. Once again, the civilization goes into twilight. Yes, it goes back into twilight. Right in the moment where the attempts to imitate reality have arrived at the furthest shifting point, where the mechanism of technology disassembles its own ideology while shortening the distance 9


between human’s reality and its representation. What a dynamic feat! While celluloid technology fades away, the video takes its place with a thrust of certainty, dominating the production of images easily. We can take a glance at the films presented in ARKIPEL last year. When the recording devices no longer belong exclusively to a particular group, the video—and then the internet—become the tools that speak massively and horizontally, where every precise measurement must adjust to disorderliness: revealing the politics of tenacity maintained by the peripheral beings, the Bromocorah. In ARKIPEL last year, some directors still sustained the order of the recording technology by serving precise measurement in the frame. Yet, we also saw many images that were travelling far beyond the discussion regarding their state as a product of technological mechanism from a measurable apparatus. The politics of tenacity of non-Western countries shift the use of the camera to serve its opposite functions, to disregard orderliness. The systemic structure only remains in the camera equipment and on the screen since they were born from the womb of technologism. The concept of imitating reality gets increasingly destroyed by the masters of image circulation, up to its limit. we can see how actually Modernism itself — the birth mother of cinema — works upon us. So, What Did the Filmmakers Do Before the World Shift Back into Twilight? This years’ selected films reveal that the attempts to reproduce reality have taken a role in investigating the form-making units of the civilization. Film has become a method to prove to the public that the current system has never been separated from the past crimes of its rulers, which continue hitherto. They present ideas of the global criminal investigation. If no science can thoroughly investigate the crimes, it seems that film, and its playfulness, takes charge of its agency through its freedom to reveal the darkness of (past) crimes. Assuming this pandemic as an apocalypse, then it is far too difficult for us to pinpoint the cause since the past has turned into darkness. As human’s desire to leave traces of memory in the form of images, the film’s desire is to

10


seek what is in the dark. Before the civilization met its twilight zone, it is as if cinema must bear its duty to conduct forensic work upon civilization. Therefore, civilization becomes both the corpus delicti and the crime scene at the same time. The filmmakers construct signs as evidence to direct our perceptions to see a crime that had been committed. This construction reveals a modus operandi as a background of the crime. In its ways, a film can connect our perception to identify the perpetrator, victim, and witnesses from the crime of civilization. It turns out that the chronology of events in the history of civilization brought us to this situation. It has forced us to sit in our homes, throwing ourselves into a network of interconnected worlds as a community of binary data that is ready to be computed into our artificial selves. After the civilization has met its repeated destruction, tomorrow, we might have to build a new one from the ground by using the collections of ‘the last photographs before the apocalyptic tinge in the horizon’.

Lenteng Agung, October 26th 2020

11


12


FORUM FESTIVAL

13


Forum Festival

KEYNOTE SPEECH

TRADISI MASA DEPAN: MELIHAT MASA KINI SEBAGAI MASA LALU Pembicara/Speakers: Dr. Hilmar Farid Moderator: Prashasti Wilujeng Putri

Modernitas adalah ideologi tentang masa kini sebagai masa depan. Segala yang dapat dihadirkan sebagai kekinian diizinkan sejauh punya arti bagi suatu versi tentang masa depan. Sifat unik modernitas ini diperoleh dari interaksinya dengan proyek kolonialisme. Modernisasi adalah sebuah proyek meleburkan segalanya ke masa depan yang selaras dengan logika akumulasi kolonial, yakni membuat segala tempat menjadi bagian dari satu dunia di bawah kapital. Modernisasi, dengan demikian, adalah proyek pembentukan dunia. Namun hari ini pandemi menggulung balik proyek itu. Deglobalisasi membuat dunia menjadi daerah-daerah kembali. Oleh karenanya, tantangan kita hari ini adalah membayangkan masa kini sebagai masa lalu. Hanya dengan begitu kita dapat melihat masa depan.

14


FUTURE TRADITIONS: PERCEIVING THE PRESENT AS THE PAST

Modernity is an ideology that perceives the present as the future. Everything that can be presented as something contemporary is permitted as long as it has meaning for a version of the future. This unique character of modernity derives from its interaction with the project of colonialism. Modernization is a project of dissolving everything into the future in line with the logic of colonial accumulation, which is to make all places part of one world under the capital. Modernization, then, is a world-shaping project. However, today, the pandemic rolled it back. Deglobalization has made the world return to regions. Therefore, our challenge today is to imagine the present as the past. Only then can we see the future.

15


Forum Festival

PANEL 1

MENAVIGASIKAN ZONA TEMARAM HARI INI Pembicara/Speakers: Martin Suryajaya (Indonesia, penulis, filsuf, dan kritikus seni rupa dan sastra) Butet Manurung (Indonesia, penulis dan aktivis pendidikan) Hizkia Yosie Polimpung (Indonesia, penulis dan peneliti) Moderator: Luthfan Nur Rochman

Segera setelah Eropa menguasai ilmu navigasi samudera, dunia menemukan bentuk pemaknaannya yang baru semenjak revolusi agrikultur. Berabad kemudian, kolonialisme dan revolusi yang terjadi atas nama pencerahan melahirkan kosakata tunggal dalam merelasikan manusia modern dengan yang liyan (alam dan manusia yang belum tercerahkan). Krisis ekologi yang menjadi wacana sejak beberapa dekade silam membangunkan kita pada gagapnya, atau mungkin gagalnya, modernisme dalam memberikan kepastian hidup generasi yang akan datang di atas bumi. Sebagian menyebutnya Antroposen, atau era di mana manusia menjadi daya dominan pengubah bumi. Sebagian yang menolak, menyebutnya Kapitalosen (Capitalocene), di mana si pengubah adalah kapital dengan kebun, pabrik, bor minyak, tambang, limbah, dan struktur ekososbudpol yang dimodifikasinya untuk mendulang untung sebanyak-banyaknya. Mikroorganisme yang dinamakan SARS-CoV-2 meruntuhkan daya tahan tubuh materi dan kesepakatan-kesepakatan manusia di era Kapitalosen ini. Kapitalosen, yang telah mewariskan pada kita tatanan sosial yang mengasingkan, keterhitungan, ruang sebagai sesuatu yang dapat dilipat, dan waktu yang linear menemui lawan lamanya yang paling mematikan; pandemi. Ironisnya, virus muasal pandemi ini tidak hanya bermutasi secara biologis dan environmental saja, tapi ia bermutasi dan menyebar dengan menumpang interaksi transaksional yang dimungkinkan oleh kapitalosen. Ia secara radikal menyibak kepayahan sistem mapan hari ini dalam mengendalikan ekses-ekses sejarah yang digerakkan oleh kapital.

16


Interaksi transaksional yang menuntut penyeragaman simbol yang diinstitusikan itu telah sepanjang zaman menggerus pengetahuan jenial kita atas pengelolaan diri dan komunitas dalam ruang dan waktu. Di beberapa bagian bahkan mematikan suara mantra dan pengetahuan yang dianggapnya usang. Di celah-celah itulah, virus masuk dan mereplikasi dirinya untuk menjangkiti masyarakat urban global hingga penghuni hutan adat sehingga sistem yang terancam tidak hanya sistem kapital, namun juga seluruh sistem dan lapisan-lapisan kehidupan di dalamnya. Distribusi pelayanan kesehatan dan informasi yang tidak merata mengaburkan lagi prospek keberlangsungan hidup manusia dalam melewati penanda zaman ini. Zona temaram adalah pengetahuan yang bersembunyi dan ikut kusut dalam jalinan benang kerusakan ekologi, modernisme, kolonialisme, teknologi, algoritma internet, modal, dan politik identitas. Pandemi ini menuntut kita mengurai benang-benang itu dengan segera dan merumuskan strategi bertahan hidup, resiliensi, dan atau mungkin sebuah retaliasi. Panel ini berfokus pada pencarian tawaran lain dalam cara melihat, merasa, dan mengetahui dalam rangka produksi dan penyebaran pengetahuan yang dapat menavigasikan isu kontemporer secara all- encompassing (meliputi semua, tidak sektoral). Di tengah pandemi yang membuat kita merasakan krisis ekologi dan krisis ekonomi, tuntutan untuk mempertanyakan kembali sistem yang mapan meningkat. Seni sebagai pendekatan multidisipliner dan spekulatif punya andil besar dalam mempertanyakan kembali produksi pengetahuan yang selama ini ada. Bagaimana seni dan khususnya sinema memungkinkan kita untuk melihat, menginderai, dan mengetahui apa yang tersembunyi di balik modernisme untuk mengetahui diri kita sendiri? Hantu apa yang ada di balik modernisme itu? Alternatif apa yang dapat ditawarkan dalam membongkar cara mengetahui dan menginderai kita? Masyarakat apa yang lahir setelah pandemi ini selesai?

17


NAVIGATING THE TWILIGHT ZONE IN THE CURRENT TIME Once European colonies had mastered the art of navigating the ocean, the world discovered its new meaning since the end of the agricultural revolution. What came after was the age of colonialism and domination that happened in the name of enlightenment; an act which gave birth to a new approach on how modern humans associated with the Others (in this case, nature and unenlightened men). The ecological crisis that became a topic of discussion since a few last decades has made us more aware of the impediment, or maybe the failure, of modernism to give the life certainty for the upcoming generations who will live on earth. Some disagree and call this phenomenon the Capitalocene, where the perpetrators are corporations who own fields, factories, plantations, mining, waste, and other socio-eco-cultural structures that have been modified to gain as much profit as possible. The microorganisms called SARS-CoV-2 do not just break down a body’s immune system, but also the Capitalocene system. This Capitalocene system that has been bequeathing us a social order that alienates, formulates, as well as perceives land as something adjustable and time as something linear, has encountered its most deadly threat: the pandemic. Ironically, the virus that causes this pandemic does not just mutate biologically and environmentally; it also mutates and spreads through the social interaction made possible by the Capitalocene. It radically unmasks the failure of this established system by controlling the historical excess that had been made by the capital. Transactional interactions that demand uniformization of institutionalized symbols throughout the ages have eroded our knowledge and agency to govern our self and community. In some parts, they have silenced the rituals and knowledge that they deemed obsolete. Through those cracks, the virus enters and replicates itself to penetrate and infiltrate the global urban society and the customary forest inhabitants, until it

18


threatens not only the capitalistic system but every other system and everyone living within it. The disproportionate distribution of healthcare and information complicates the prospect of life sustainability after the pandemic. The Twilight Zone is a piece of hidden knowledge, tangled with the strings of ecological damage, modernism, colonialism, technology, algorithms, capital, and politics of identity. This pandemic forces us to immediately untangle these strings and create a new strategy as a means of survival, resilience, and maybe retaliation. This panel focuses on finding alternative ways of seeing, sensing, and understanding to produce and distribute the knowledge that can navigate all-encompassing contemporary issues. In the middle of the pandemic that is making us all experience ecological and economic crisis, a rise in the demand for a sturdy system occurs. Art, as a multidisciplinary and speculative approach, has a significant opportunity to question the current production of knowledge. To understand ourselves better, how does art, specifically cinema, make us see, sense, and understand what is hidden underneath the veil of modernism? What kind of ghost that lingers underneath modernism? What alternative can be offered in dismantling our way of knowing and sensing? What kind of society will be born during the aftermath of the pandemic?

19


Forum Festival

PANEL 2

KEBERTAHANAN EKOSISTEM SENI DAN IMAJINASI ESTETIKA MENDATANG Pembicara/Speakers: Alia Swastika (Indonesia, kurator) Cecil Mariani (Indonesia, desainer grafis, seniman, peneliti) Tonny Trimarsanto (Indonesia, pembuat filem) Moderator: Dhuha Ramadhani

Arus gerak sebagai nadi kapitalisme berhenti sementara, Pandemi COVID-19 seakan-akan menjadi arena tarung sejajar bagi sistem dominan ini dengan sistem yang dianggap pinggiran. Keduanya dihadapkan pada ancaman yang sama: keruntuhan. Pukulan besar yang melanda seluruh warga dunia ini turut merangsang kegairahan untuk menjawab pertanyaan tentang sistem apa yang akan bertahan atau lahir setelahnya. Infrastruktur hiburan, seni, dan budaya dalam kerangka ekonomi besar dan industrial turut hancur. Atas mereka yang bertahan, pandemi menampakkan pada kita setidaknya dua kelompok besar. Tidak untuk menyederhanakan kompleksitas persoalannya, namun kita dapat melihat ada “kelompok” pegiat hiburan, seni, dan budaya yang selamat karena berlindung di balik modal-modal besar dan ada “kelompok” yang selamat justru karena skala kegiatannya yang mikro, berkolektif, bahkan fokus pada persoalan ritus dan ritual sehari-hari. Tentu dampak pandemi tidak akan selesai dalam rentang waktu singkat. Konsep New Normal yang problematis itu bahkan barangkali dapat dilihat sebagai juru selamat yang ditujukan bagi kebertahanan sistem mapan yang berpihak pada modal. Segala bentuk “pembatasan” dan “keterbatasan” sebagai dampak dari pandemi sebetulnya adalah ruang yang dapat dikatakan telah diakrabi oleh kelompok yang hidup dengan sistem yang dianggap pinggiran. Dalam aspek seni dan kebudayaan serta pengetahuannya, katakanlah, muncul demikian banyak inisiatif yang menggaungkan “kembali” kerja-kerja gotong royong dan mandiri (do-it-yourself) sebagai upaya untuk bisa selamat bersamasama; tidak hanya selamat manusianya, melainkan berusaha merancang strategi bahkan sistem baru untuk diyakini dan dijalani bersama-sama. 20


Jika kita melihat sejarah dunia, “pembatasan� dan “keterbatasan� sebetulnya adalah aspek penting yang menjadi dasar serta semangat bagi pelbagai bentuk eksperimentasi, termasuk dalam aspek estetika seni dan budaya. Panel ini hendak menelaah kebertahanan ekosistem seni dan budaya dalam situasi sebelum, saat, dan setelah pandemi; membayangkan model produksi, festival, dan kepenontonan dari segi ekonomi, kemasyarakatan, dan estetika. Para panelis yang diundang diharapkan dapat membagikan temuantemuan dari amatannya sejauh ini. Melalui penelaahan itu kita kemudian dapat mengimajinasikan estetika seni dan budaya macam apa yang relevan dengan konteks sosial politik dunia hari ini dan di masa mendatang.

21


THE SURVIVAL OF ART ECOSYSTEM AND IMAGINING THE AESTHETICS OF TOMORROW

The flowing pulse of capitalism comes to a temporary halt, and the COVID-19 pandemic becomes a fighting ground for both dominant and peripheral systems as they are faced with the same threat: destruction. This colossal conflict that has affected everyone on Earth prompts the question: which system will survive and what will come after. Entertainment, art, and cultural infrastructures within the economy and industry are falling. For those who will survive, the pandemic will show us the presence of two big groups. Without simplifying the problem’s complexity, we can see how some “groups” of people in the field of art, entertainment, and culture are surviving by staying beneath the shield of corporate capital. Meanwhile, some other “groups” of people survive due to its micro-scale activity, its collectivism, and its focus on small everyday rituals. Of course, the pandemic will not end within a short time. The concept of New Normal is problematic in the way that it is advertised as the solution aimed for the survival of established system that favours capital. All that

22


proclamation about “boundaries” or “limitations” caused by the pandemic can be seen as something that the peripheral groups have experienced for a long time and are understood well. In terms of art and cultural understanding, there have been a lot of initiatives that amplify gotong royong (mutual cooperation) and independence (do-it-yourself) as a way to survive together; not just as a way to save its citizens, but as a strategy to design a new system for the society. If we look at world history, “boundaries” and “limitations” are essential aspects that become the basis and spirit of various forms of experimentations, including art and cultural aesthetics. This panel re-examines the survival of the art and culture ecosystem from before, during, and after the pandemic. It will also try to reimagine the model of production, exhibition, and spectatorship from the economic, social, and aesthetic standpoint. The panellists are expected to share their current findings and understandings regarding this topic. Through this study, we can then imagine what kind of art and cultural aesthetics that are relevant in the present and future social-political climate.

23


Forum Festival

PANEL 3

PRAKTIK LENSA ALTERNATIF DALAM KRITISISME FILEM Pembicara/Speakers: Dhuha Ramadhani (Indonesia, kurator filem) Intan Paramaditha (Indonesia, penulis, akademisi, dan peneliti filem) Seno Gumira Ajidarma (Indonesia, kritikus, sastrawan, dan akademisi) Moderator: Valencia Winata

Di saat pandemi COVID-19, ekosistem seni termasuk filem diuji pertahanannya. Dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi hingga kritisisme filem, kultur filem mengalami perubahan besar. Sistem atau model yang dulunya mendominasi dan mendikte pergerakan kultur filem, sekarang melemah kekuatannya, malah ada yang rontok dan hancur. Pandemi COVID19 ini memaksa kita melihat kembali, membongkar, dan mengkritik model ekosistem filem lama. Tak hanya itu, kita juga didorong untuk menyiasati dan merumuskan model ekosistem filem yang dapat beradaptasi dengan perubahan cara bertahan hidup sekarang. Di sinilah peran kritisisme filem menjadi penting. Kritisisme filem membuka kesempatan untuk membaca dan berpikir tentang filem dengan perspektif baru. Di samping itu, kritisisme filem merupakan ruang untuk merevisi dan mengimajinasikan estetika dan wacana filem yang jauh lebih inklusif untuk masyarakatnya. Panel ini bertujuan untuk menginvestigasi peran dan kontribusi kritisisme filem terhadap kultur filem dan masyarakat sekarang. Filem sebagai artefak kebudayaan dapat dibaca secara tekstual, historis, dan kultural. Interpretasi filem memang berbeda tergantung lensa dan posisi pembacaan

24


mana yang dipilih. Tugas penting di dalam kritisisme adalah membedah estetika filem secara bentuk dan komposisi, selain juga mempersoalkan dan menguak makna filem. Ini kemudian dapat membuat wacana filem tersirkulasikan dan membentuk pengetahuan baru, baik untuk pembuat filem dan penontonnya. Dengan demikian, kritisisme dapat dipandang sebagai roda yang memperdalam dan memperluas wacana filem. Panel ini mengundang panelis untuk berbagi gagasan, praktik, dan kontribusinya di bidang kritisisme filem. Bagaimana sebuah ideologi, pengetahuan, pengalaman dan agensi seseorang membentuk posisi dan respons membaca filem. Lensa dan kerangka berpikir apa yang digunakan secara strategis untuk mengartikan filem? Selain itu, bagaimana pemilihan posisi sudut pandang ini dapat menggugat kultur filem yang dominan, serta menawarkan gagasan baru mengenai estetika dan wacana filem?

25


ALTERNATIVE LENSES IN FILM CRITICISM PRACTICE

During the COVID-19 pandemic, the survival of the art ecosystem, including the film industry, is being tested. From production, distribution, consumption, and criticism, the film industry has experienced a considerable change. The system or model that has dominated and dictated the film culture is now deteriorating, and some even collapsed. The COVID-19 pandemic forces us to look back, deconstruct, and criticize the old model of the film ecosystem. Moreover, it urges us to navigate and formulate a new model of film ecosystem that suits our current way of life. This is where the role of film criticism becomes essential. Film criticism creates opportunities to read and think about the film from a new perspective. Film criticism is also a place to revise and reimagine film aesthetics and discourse that are far more inclusive for society. This panel aims to investigate the role and contribution of film criticism in the film culture and the public. As a cultural artefact, a film can be read in a textual, historical, and cultural context. Depending on the lens and position that are chosen, a film can be read in different ways. Film criticism plays a vital role in dissecting film’s aesthetics, in terms of form and composition, as well as questioning and uncovering meaning. It has the potential to circulate film discourse and build new knowledge for filmmakers and the public. Thus, criticism is also the driving force that deepens and expands film discourse.

26


This panel invites the speakers to share their ideas, practices, and contribution in the field of film criticism. How does a person’s ideology, understanding, experience and agency build their knowledge and response in reading a film? What are the lenses and frameworks that are strategically used to assign meanings to a film? How can one’s point of view contest the dominant film culture and offer a new idea on film aesthetics and discourse?

27


ACKNOWLEDGEMENT

Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Hilmar Farid Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ahmad Mahendra, S.Sos Ford Foundation – Jakarta Adyani Widowati Esther Parapak Keluarga Besar Forum Lenteng

Mitra Resmi / Official Partners

28


SEE YOU AT ARKIPEL - 8TH JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2021

29


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.