Katalog Pameran Keliling Kultursinema

Page 1


Dokumentasi Pameran Kultursinema #5: Gelora Purnaraga (2018) Galeri Cipta III - Taman Ismail Marzuki


BANDUNG / orbital dago. 7-11 Maret 2019 YOGYAKARTA / kedai kebun forum. 3-7 april 2019 SURABAYA / c2o library & collabtive. 24-28 april 2019 SEMARANG / hysteria. 1-5 mei 2019

arkipel.org / @arkipel / #kultursinema


Editor Afrian Purnama Penulis Afrian Purnama, Akbar Yumni, Mahardika Yudha, Yuki Aditya Perancang Grafis Buku Robby Ocktavian Foto Sampul Rizky Kurnia Ramadhan “kultursinema” Logo Type Andang Kelana

Tim Kultursinema Afrian Purnama Dini Adanurani Luthfan Nur Rochman Mahardika Yudha Prashasti Wilujeng Putri Wahyu Budiman Dasta

Percetakan Gajah Hidup Diterbitkan oleh Forum Lenteng Cetakan Pertama, Jakarta, Februari 2019 500 Eksemplar © Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT 007 RW 005, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta 12530 www.forumlenteng.org|info@forumlenteng.org|@forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival www.arkipel.org|info@arkipel.org|@arkipel Purnama, A. (Eds.) (2019). Pameran Keliling Kultursinema (1ed. Jakarta: Forum Lenteng) 92 halaman, 14.8 x 21cm


Catatan Direktur Festival. Yuki Aditya Peradaban Sinema Dalam Pameran: Jejak Langkah Kultursinema 1-5. Afrian Purnama Pameran Keliling Kultursinema. Kultursinema ‘Sinema yang Diperluas’ (Expanded Cinema) dalam membaca Struktur dan Sosiologi ‘Representasi’ dan ‘Budaya Tontonan’ di Masa Jajahan. Akbar Yumni Mengalami Sinema. Mahardika Yudha Seri Diskusi Forum Kultursinema Tim Kultursinema

4 9 21

44 56 80 86

3


Catatan Direktur Festival Yuki Aditya

ARKIPEL - Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival diselenggarakan pertama kali tahun 2013, sepuluh tahun setelah Forum Lenteng berdiri. Kami niatkan ini sebagai tempat transaksi pengetahuan tentang sinema berikut hal-hal sosial-budaya yang terkait bersamanya, untuk menjangkau publik lebih luas, baik lokal maupun internasional. Pameran Kultursinema sendiri sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari festival filem dokumenter dan eksperimental ARKIPEL sejak penyelenggaraannya di tahun kedua, yaitu 2014. Idenya untuk mempresentasikan peta perkembangan sinema di Indonesia pada khususnya, lewat arsip-arsip dan penelitian yang dilakukan baik oleh Forum Lenteng sendiri atau kawan-kawan lainnya. Bentuknya yang selalu dalam rangkaian instalasi merupakan eksperimentasi kami tentang perluasan bagaimana sinema bisa ditayangkan ke publik dalam format selain pemutaran di satu ruang yang khidmat. Walau tentu saja pamerannya selalu diadakan di ruang-ruang yang gelap layaknya sinema. Setelah lima kali berjalan, niat kami untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman sinema melalui pameran Kultursinema tercetus. Empat kota kami pilih di tahun ini sebagai rangkaian Pameran Keliling Kultursinema. Semoga dari pameran ini banyak masukan dan ide-ide baru untuk kami dalam pengembangan program Kultursinema di masa mendatang.

4


Kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada mitramitra yang mendukung penyelenggaraan ARKIPEL dari awal hingga kini. Baik komunitas, lembaga, perorangan, lembaga pemerintah, maupun rekanan festival filem lainnya. Terutama untuk Orbital Dago (Bandung), Kedai Kebun Forum (Yogyakarta), C2O library and collabtive (Surabaya), dan Hysteria (Semarang) yang akan berkolaborasi bersama ARKIPEL tahun ini untuk Pameran Keliling Kultursinema.

Salam sinema!

5


6


Dokumentasi Pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #1. Jajahan Gambar Bergerak: Lumiere (1896-1900) (2014) Gedung Laboratorium Film Produksi Film Negara

7


Foto kameraman angkatan pertama PFN 1951 Media Film Indonesia, Edisi Juni-Agustus 1983

8


Peradaban Sinema Dalam Pameran: Jejak Langkah Kultursinema 1-5 Afrian Purnama

Sejak lima tahun berjalan, seri Kultursinema mencoba membaca kembali arsip-arsip dari sinema Indonesia dan relevansinya dengan peradaban sinema dunia. Kultursinema mengkhususkan pada pembacaan bagaimana visual representasi kenyataan yang dihasilkan oleh teknologi sinema itu, termasuk juga bagaimana teknologi itu sendiri dalam mengintervensi bahasa visual representasinya. Tulisan ini adalah upaya merangkum apa yang sudah kami lakukan terhitung sejak pertama kali Kultursinema bergulir. Tema pertama yang diangkat oleh Kultursinema adalah berusaha menyingkap ‘bayi’ sinema. Sinema pada masa awal belum memiliki fondasi industri seperti sekarang, dan temuan ini serta-merta menjadi fenomena dunia. Persebaran teknologi sinema di Asia, Amerika Latin, dan Afrika menjadi fokus dalam program pameran ini. Salah satunya, adalah menghadirkan bagaimana fantasi orang-orang Eropa terhadap wilayah jajahannya dan khususnya Hindia Belanda melalui teknologi gambar bergerak. Sudah menjadi konsensus umum bahwa kelahiran sinema ditandai dengan penayangan Cinematographe, temuan dari Lumière bersaudara pada tahun 1895 di Paris, Prancis. Penemuan ini lalu menyebar ke seluruh dunia, salah satunya ke Hindia Belanda. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Dafna Ruppin,1 teknologi tersebut masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1896 oleh fotografer dan pengusaha penayangan keliling bernama Louis Talbot. Ini tentu menggoyang pandangan umum bahwa filem masuk pertama ke Hindia Belanda 1 Ruppin, D. (2016). Komedi Bioscoop. John Libbey Publishing.

9


pada tahun 1900, dan bukan negara lah yang memasukkannya, melainkan pihak swasta. Sebenarnya ada beberapa temuan teknologi gambar bergerak lainnya yang diciptakan juga oleh para industrialis seperti Thomas Alva Edison dengan Kinetoscope dan Vitascope-nya. Dengan hadirnya teknologi-teknologi itu, muncul pulalah kultur baru yaitu kultur merekam filem dan menonton. Perekaman filem mengikuti semangat kezamanannya saat itu. Banyak perusahaan filem yang mengirimkan ‘operator kamera’ (saat itu belum dikenal istilah sutradara atau cineaste, orang yang bertanggungjawab dengan pengoperasian kamera disebut dengan operator kamera) ke seluruh dunia. Beberapa wilayah seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin masih menjadi jajahan Barat. Karenanya, kamera menjadi semacam perantara dari obsesi orang-orang di Barat untuk melihat wilayah jajahannya yang berada di seberang jauh sana. Hindia Belanda memiliki kasus yang menarik karena perekaman yang dilakukan oleh Alexandre Promio—operator kamera dari perusahaan filem Lumière—sepertinya tidak dilakukan di Hinda Belanda. Alexandre Promio tidak pernah menginjakan kakinya di Hindia Belanda, namun Alexandre Promio tercatat sebagai seorang operator kamera di filem Danse Javanaise, Jongleur Javanais, dan Lutteurs Javanais. Lokasi perekamannya di Crystal Palace, Sydenham yang menjadi lokasi Pameran Besar (The Great Exhibition) tentang industri, teknologi dan budaya dari seluruh negara di dunia termasuk pameran masyarakat-budaya kolonial sejak tahun 1851. Filem tersebut menampilkan para penari, peragaan perang, dan permainan sepak takraw. Ketiga gambar bergerak ini menjadi pijakan awal sudut pandang gambar bergerak terhadap Hindia Belanda yang diusung oleh para operator filem Perancis hingga tahun 1913, yang disewa oleh perusahaan gambar bergerak Belanda dan diteruskan oleh para operator filem Belanda. Kultursinema #2 coba merentangkan kasus terhadap situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang, dan ilusi melalui teknologi sinema dari negerinegeri Eropa ke Hindia Belanda yang terjadi di masa-masa awal kehadiran teknologi sinema. Filem-filem yang diimpor dan ditayangkan di Hindia Belanda di masa itu, baik filem-filem dokumenter yang mengisahkan kehidupan masyarakat Eropa dan Amerika, maupun filem-filem fantasi seperti yang dibuat oleh Georges Méliès ataupun Edwin S. Porter, telah membentuk sudut pandang bagi masyarakat Hindia Belanda dalam melihat bangsa Eropa dan Amerika; 10


dan sebaliknya, filem-filem tentang Hindia Belanda yang diproduksi oleh korporasi maupun Pemerintah Kolonial, baik fiksi maupun dokumenter, telah merepresentasikan bagaimana kehidupan masyarakat Hindia Belanda kepada masyarakat global. Sinema pada titik ini sudah memiliki kulturnya sendiri. Sinema juga dianggap memiliki kekuatan untuk menyingkap dimensi lain, batas tipis antara kenyataan dan fiksi. Dari batas tipis inilah, produksi filem lalu digunakan untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah untuk kepentingan propaganda pemerintah kolonial, sosialisasi terhadap program kolonial yang terangkum dalam koleksi Van de kolonie niets dan goeds, Nederlands-Indie in beeld 1912-1942 yang disimpan di EYE Film Museum Amsterdam. Selain itu, terdapat juga dokumenterdokumenter mooi indie yang menampilkan beragam pemandangan, adat istiadat dan kostum di Hindia Belanda, yang sesuai dengan imajinasi Barat dalam membayangkan Timur. Di luar produksi filem-filem dokumenter tersebut, di kompilasi Van de kolonie niets dan goeds, Nederlands-Indie in beeld 1912-1942 terdapat satu filem cerita pendek, berjudul Mina, Het Dienstmeisje Gaat Inkoopen Doen. Schets uit het Indische Leven, yang berkisah tentang pembantu perempuan pribumi yang bekerja kepada seorang keturunan Belanda. Filem ini dibuat 12 tahun sebelum Loetoeng Kasaroeng (1926). Filem ini menjadi sketsa kehidupan pribumi yang masuk lebih jauh pada kultur kehidupan sehari-hari dari sudut pandang Kolonial Belanda melalui gambar bergerak. Berbeda dengan filem-filem dokumenter yang cenderung memperlihatkan lanskap-lanskap permukaan situasi fisik dan tradisi-kultur Hindia Belanda, filem yang diproduksi oleh Pathe ini lebih memperlihatkan konstruksi sikap masyarakat kolonial dalam memandang masyarakat pribumi. Salah satunya, bagaimana filem ini menggambarkan Mina, si pembantu yang meminta tambahan uang, namun setelah dihitung, ternyata uang berlebih dan sisanya diambil olehnya. Pada Kultursinema #3, Kami mengangkat bagaimana upaya kaum Bumiputra memproduksi filem. Kata Bumiputra di sini tidak merujuk pada satu ras atau suku tertentu, namun, pengertian Bumiputra di sini adalah orang-orang yang lahir dan tinggal di Hindia Belanda, lalu mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok masyarakat di Hindia Belanda. Pameran ini membagi dua kelompok produksi filem: pertama filem komersil dan kedua adalah filem yang diproduksi untuk rumahan, non-komersil. Di 11


produksi filem komersil, kita mendapati nama-nama seperti The Teng Chun, Joshua & Othniel Wong (Wong Bersaudara) dan Tan Tjoei Hock. Mereka adalah para pemodal filem yang juga merangkap sebagai pembuat, dan mengkhususkan pada pasar penonton lokal, sehingga filem-filemnya menggunakan bahasa melayu. Mereka bisa dibilang merupakan pionir dari industri filem di Indonesia. Mereka secara langsung bersaing dengan filem-filem import, dan ketika menonton filem-filemnya, kita bisa lihat mereka memakai beberapa siasat produksi untuk berusaha memenangkan pasar, seperti penggunaan aktris lokal yang terkenal saat itu, musik-musik di filem sebagai bagian dari hiburan dan adaptasi ceritacerita lokal yang sudah dekat dengan kultur penduduk setempat. Di produksi non-komersil yaitu produksi rumahan, terdapat nama Kwee Zwan Liang, seorang kepala laboratorium pabrik gula Djatipiring. Beliau merekam sejak tahun 1926 hingga 1937 tentang keseharian keluarganya hingga situasi di pabrik. Perekaman yang dilakukan Kwee Zwan Liang adalah sumber berharga untuk melihat bagaimana kultur di Hindia Belanda saat itu, di luar dari apa yang digambarkan di filem yang memiliki kepentingan komersil, maupun produksi kolonial. Filem-filemnya Juga menambah khasanah untuk melihat secara detail bagaimana representasi kehidupan intim keluarga Peranakan Tionghoa, yang selama ini didominasi oleh representasi kehidupan orang-orang Eropa, khususnya Belanda, yang menetap di Hindia Belanda melalui filem-filem rumahan yang dibuat oleh mereka. Kultursinema #4 mengetengahkan seorang tokoh bernama Hinatsu Eitaro alias Hue Yong alias Hae Young yang lalu berakhir dengan nama Huyung. Dia adalah seorang Korea yang sempat tinggal lama di Jepang, bekerja di industri perfileman Jepang saat itu, lalu saat Indonesia diambil alih oleh Jepang dari Belanda, dia datang ke Jawa dan bekerja di badan intelijen Angkatan Darat Beppan. Hinatsu menjadi bagian Jawa Engeki Kyokai, atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD), yang menjadi salah satu divisi di bawah Sendenbu (Kantor Propaganda Jepang). Di POSD, ia berkawan dan bekerjasama dengan seniman dan tokoh teater dari Indonesia. Ia cukup produktif ketika itu, membuat beberapa pertunjukan yang dipentaskan bersama POSD. Salah satu judul sandiwaranya yang cukup terkenal, yaitu Fadjar Telah Menjingsing yang dibuat untuk menyambut kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. 12


Salah satu karya monumentalnya adalah filem Calling Australia yang dibuat untuk kepentingan propaganda Jepang bagi penduduk Australia di tahun 1943. Filem ini merekam keseharian tentara Australia di penjara tentara di Jawa. Calling Australia memiliki satu sudut ambilan gambar yang sangat menarik, yaitu, filem seakan-akan dibuat oleh tentara Australia itu sendiri dengan memperlihatkan bagaimana mereka mengoperasikan kamera serta keseharian mereka yang sangat sejahtera sebagai tawanan Jepang dan diperlakukan manusiawi. Setelah Jepang menyerah, filem tersebut dijadikan materi utama filem Nippon Present yang dibuat oleh sutradara Belanda Jaap Speyer yang mencoba mendekonstruksi filem Calling Australia dengan memperlihatkan situasi tawanan Australia dan Eropa yang berbeda dengan situasi yang diperlihatkan dalam filem Calling Australia. Sementara di Australia, seorang sutradara Belanda lainnya, Joris Ivens, membuat Indonesia Calling. Ivens, yang menyatakan diri keluar dari Netherlands’ East Indies Film Commissioner, membuat filem tersebut bersama Waterside Workers Federation Australia sebagai bentuk dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia dan upaya protes terhadap pemerintah Belanda yang ingin memasukkan kapal laut bermuatan senjata dan amunisi untuk menjalankan aksi polisionil di Indonesia. Pemilihan judul “Indonesia Calling� secara tidak langsung menjadi tanggapan terhadap filem Calling Australia dan Nippon Present. Pasca-Proklamasi, Hinatsu tetap tinggal di Indonesia. Ia tidak kembali ke Jepang ataupun Korea. Ia mengubah namanya menjadi Huyung, berdasarkan nama asli Korea-nya. Petualangannya di dalam filem dan teater terus berjalan. Ia bergabung dalam gerakan Berita Film Indonesia yang baru saja mendapatkan alat-alat produksi filem, seperti kamera, bahan baku filem, dan alat-alat editing sederhana dari Nippon Eigasha Jakarta. Selain Huyung, dalam Berita Film Indonesia juga bergabung tokoh-tokoh filem Indonesia yang telah bekerja di bidang filem sejak masa berkuasanya Belanda di Indonesia, seperti dua bersaudara Wong, R.M. Soetarto, Rd. Ariffien, dan lain-lain. Huyung bersama Djajakusuma dan beberapa tokoh teater dan filem Indonesia mendirikan juga Kinodrama Atelier di bawah Stichting Hiburan Mataram. Selain memproduksi teater dan film, organisasi ini juga dikenal sebagai ruang pendidikan teater dan filem bagi anak-anak muda di Yogyakarta. Setelahnya, Huyung ke Jakarta dan membuat empat filem fiksi: Frieda (1950), Bunga Rumah Makan (1951), Kenangan Masa (1951), dan Gadis Olahraga (1951). 13


Saat ia meninggal di tahun 1952, Huyung dalam proses menuangkan gagasannya untuk menggabungkan konsep sinema sebagai media pendidikan, perjuangan, dan politik, dengan konsep sinema sebagai media hiburan dalam tulisan berseri yang dimuat di majalah Aneka. Perbincangan antara sinema sebagai media hiburan, alat perjuangan, dan politik, merupakan perbincangan hangat antara sutradara, seniman, intelektual, dan politisi. Dua sudut pandang tersebut menjadi dua sudut pandang dominan yang saling bersaing serta berbenturan. Huyung meninggal di Petamburan, Jakarta, pada 9 September. Kultursinema #5 merespons tentang sebuah peristiwa besar yang terjadi di tahun 1963, yaitu GANEFO (Games of The New Emerging Forces). Tidak hanya sekedar pesta olahraga, GANEFO juga adalah sebuah peristiwa kebudayaan yang rencananya berlangsung empat tahun sekali. GANEFO 1963 melibatkan 51 negara, menjadikannya pesta olahraga terbesar pertama di Indonesia. Ide utama pameran ini, selain menangkap peristiwa GANEFO tersebut adalah bagaimana medium filem merekam tubuh-tubuh sempurna yang termanifestasikan dalam atlet-atlet yang berlaga saat pesta olahraga tersebut. Dari tubuh-tubuh itu, kita bisa melihat bagaimana pembuat filem mentransmisikan semangat nasionalisme dan antiimperialisme, yang menjadi dasar juang perhelatan GANEFO tersebut. Ada banyak arsip tentang perekaman GANEFO ini, sebagai contoh, ada arsip resmi yang diterbitkan oleh negara melalui Gelora Indonesia, ada juga dugaan seperti Bachtiar Siagian yang konon membuat filem dokumenter juga untuk GANEFO. Selain arsip berupa filem, ada juga arsip berupa prangko, musik-musik yang memiliki irama dan lirik nasionalis serta patriotik yang diterbitkan untuk menyemarakkan GANEFO. Arsip dan Kultursnimea Pemanfaatan arsip sebagai materi pameran sebenarnya sudahlah lazim digunakan pada pameran seni rupa atau seni lintas medium lainnya. Secara fungsional, arsip umum dipakai sebagai rujukan data faktual bahwa telah terjadi suatu peristiwa di rentang waktu tertentu. Informasi tersebut memberi penekanan kontekstual, sebagai salah satu fondasi dasar dari pernyataan yang ingin diutarakan kepada khayalak terhadap peristiwa yang ingin diangkat. Masa lalu yang dibentuk oleh kehadiran arsip tersebut bersifat absolut dan 14


tidak bisa berdiri sendiri. Contohnya ketika sebuah pameran menampilkan arsip berupa foto dari suatu peristiwa di masa tertentu, foto tersebut memiliki nilai faktualitas yang tidak bisa digugat bahwa peristiwa itu pernah terjadi. Tetapi, arsip foto itu tetap memerlukan sebuah narasi besar untuk berada dalam ruang pamer dan dilengkapi dengan penjelasan deskriptif berupa teks untuk memberi nilai kontekstual yang terdapat di foto tersebut. Bila kita membicaran arsip filem, tentu ada cukup banyak objek-objek terkait yang berhubungan langsung dengan kultur filem tersebut. Selain materi filem itu sendiri, beberapa unsur-unsur yang terkait itu adalah poster filem, informasi penayangan filem di berbagai harian, pencatatan terhadap pengalaman menonton, hingga dokumentasi personal dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kesemuanya ini memiliki signifikansinya sendiri untuk dihadirkan dalam sebuah pameran. Kultursinema selalu berusaha memberikan penawaran lain terhadap penggunaan arsip dalam pameran. Penawaran ini berdiri pada anggapan bahwa arsip sebagai material faktual, perlu dikaji kembali dan dintrepertasikan ulang, baik bentuk maupun konteksnya, sesuai dengan kondisi mutakhir dan narasi yang diangkat. Ada cukup banyak pertanyaan ketika arsip sudah kami dapatkan, seperti: bila arsip tersebut berupa teks, siapa yang menuliskan teks itu, bila arsip itu berupa objek visual atau audio-visual, siapa yang melakukan perekaman dan atas kepentingan apa objek tersebut diarsipkan, lalu lembaga apa yang melakukan pengarsipan hingga apa saja proses yang dilalui oleh objek tersebut sebelum berakhir ke muara lembaga pengarsipan. Pemetaan terhadap jalur lalu lintas arsip ini penting untuk mendapatkan konteks kesejarahan arsip tersebut, guna mendukung narasi besar yang ingin dibangun dalam pameran. Proses pencarian arsip pada Kultursinema #3: Menangkap Cahaya adalah contoh menarik untuk melihat peliknya lika-liku perjalanan arsip hingga berada di sebuah institusi pengarsipan. Pada pameran Kultursinema #3, kami menghadirkan arsip filem keluarga yang dibuat oleh Kwee Zwan Liang, seorang kepala laboratorium pabrik gula Djatipiring yang merekam dengan menggunakan kamera kecil yang diciptakan untuk kebutuhan non-komersil dari tahun 1926 hingga 1937. Arsip filem tersebut disimpan di NIOD (Netherlands Institute for War Documentation) dan beberapa salinannya disimpan juga di EYE Film Museum Amsterdam. Walaupun kami sudah menemui anak-anak dari Kwee Zwan Liang 15


untuk menyampaikan maksud dan izin penayangan filem tersebut di pameran, tetap saja pada akhirnya kami harus membuat persetujuan pada lembaga yang menyimpan arsip tersebut karena sudah menjadi bagian dari arsip negara. (Proses pencarian ini sedikit-banyak terangkum dalam filem yang kami buat tahun lalu berjudul Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema) Di Indonesia sendiri, lembaga yang menyimpan arsip yang berhubungan dengan filem dan kultur yang melingkupinya adalah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Sinematek Indonesia, dan Perpusnas (Perpustakaan Nasional). Lembaga-lembaga tersebut cukup banyak menyimpan arsip-arsip filem yang sejujurnya belum banyak dipamerkan dan dikaji lebih dalam. Tantangannya adalah, saat kami ingin melakukan riset arsip tentang suatu subjek, dalam hal ini misalnya adalah Dr Huyung yang menjadi subjek utama di Kultursinema #4: Takdir Huyung, kami perlu mencari dan melacak ke seluruh lembaga tersebut, karena arsip-arsip yang berhubungan dengan Dr. Huyung tercerai-berai. Yang dimaksud tercerai-berai adalah katalogisasi yang dilakukan oleh lembaga arsip tidak mengenal pengkategorian bedasarkan subjek sehingga kami perlu menyisir arsip di berbagai lembaga itu dengan spekulasi bahwa memang ada arsip yang hendak kami cari di tempat tersebut. Kasus lain yang terjadi adalah ketika kami hendak melacak keberadaan filem Njai Dasima (1929) karya Lie Tek Swie. Filem tersebut memang sudah dianggap hilang baik materi film (seluloid) juga naskah filemnya, dan yang tersisa hanyalah bukti bahwa filem tersebut pernah ditayangkan berupa publikasi seperti poster filem tersebut dan rubrik iklan di berbagai harian. Menariknya, informasi tentang konten serta gambaran estetika filem ini bisa dibayangkan lewat sebuah artikel kritik filem di majalah Panorama yang ditulis oleh Kwee Tek Hoay. Kami merespon situasi ini dengan menciptakan penggambaran ulang filem menjadi sebuah filem pendek berjudul Sang Njai bedasarkan dari kritik tadi. Pemaknaan ulang arsip menjadi bentuk lain adalah upaya yang selalu dihadirkan oleh Kultursinema dalam tiap pameran. Hal ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengelabui, atau bahkan merusak keberadaan dari data faktual yang dikandung oleh arsip tersebut. Akan tetapi, Kultursinema berupaya menginterpretasi arsip dan memberi nilai artistik yang berbanding lurus dengan tema dan narasi besar yang coba diangkat dalam pameran sehingga saat penonton masuk ke dalam pameran, yang dialaminya bukan hanya sekadar menatap arsip mentah seperti melihatnya di lembaga arsip, tapi ada proses transformasi bentuk yang 16


dilakukan oleh tim Kultursinema sehingga arsip itu memiliki penyataan artistik yang sesuai dengan tema pameran. Pameran arsip seperti Kultursinema juga merupakan siasat untuk menyebarkan arsip-arsip tersebut ke publik. Beberapa arsip memang cukup sulit diakses oleh publik, terlebih arsip-arsip yang tidak berada di Indonesia. Tiap arsip yang kami angkat di pameran sudah melalui proses negosiasi dan pertimbangan bahwa informasi tersebut signifikan untuk dilempar ke publik, yang lalu kami harapkan bisa menjadi diskursus baru tentang sinema dan kesejarahannya di Indonesia.

17


Dokumentasi Pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #1. Jajahan Gambar Bergerak: Lumiere (1896-1900) (2014) Gedung Laboratorium Film Produksi Film Negara

18


19


Dokumentasi Pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #2. Antara Fakta dan Fiksi (2015) Galeri Cipta III - Taman Ismail Marzuki

20


Pameran Keliling Kultursinema

Kultursinema merupakan salah satu program ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang berlangsung sejak tahun 2014, yang mencoba membaca dan meletakkan berbagai fondasi tentang kehadiran eksperimentasi dalam berbagai bentuk produksi, penyebarluasan, dan sejarah sosial pada perkembangan sinema di Indonesia. Rentang 2014-2018, Kultursinema telah menyelenggarakan lima pameran arsip kultur sinema di Indonesia yang diselenggarakan di tiga lokasi berbeda, bekas gedung laboratorium filem Produksi Film Negara (2014), Gudang Sarinah Ekosistem (2016-2017), dan Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki (2015 & 2018). Kelima pameran ini diselenggarakan sebagai upaya untuk mengumpulkan, mendata, membaca, dan memaknai kembali perkembangan kultur sinema di Indonesia yang telah berjalan lebih dari satu abad. Dari pameran pertama hingga kelima, pameran ini menghadirkan beragam wacana yang coba dibaca secara kronologis, sesuai dengan poros tema festival. Diawali dengan pembacaan bagaimana pola-pola teknologi sinema disebarluaskan ke seluruh dunia di akhir abad ke-19; masuk, berkembang, hingga menjadi salah satu bagian kehidupan masyarakat Indonesia; dan kemudian sinema dipakai sebagai pernyataan politik global di masa 60-an. Dari 1896 hingga 1965, arsip-arsip perjalanan sinema di Indonesia dihadirkan kembali untuk melengkapi catatan-catatan kultur sinema yang telah dituliskan sebelumnya, beserta beberapa reproduksi, representasi, dan dekonstruksi wacana sinema yang pernah terjadi di dalam perkembangan sinema di Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai medium, mulai dari karya video, instalasi, teks, bebunyian, digital imaging, hingga objek. 21


Proses penerjemahan atau usaha untuk memberikan konteks terhadap arsiparsip tersebut ke dalam berbagai medium juga menjadi salah satu tujuan dari pameran ini untuk mencoba mempresentasikan perjalanan kultur sinema di Indonesia dengan menerjemahkannya ke dalam gagasan ‘sinema yang diperluas’; bagaimana menghadirkan dan atau mengkonstruksi gagasan sinema tidak hanya dalam bentuk presentasi konvensionalnya, tetapi melihat kemungkinan lain, terutama dalam menanggapi perkembangan teknologi media digital yang telah membentuk kultur menonton yang berbeda dengan masa sebelumnya. Kemungkinan lain itu, antara lain; seperti mencoba membayangkan sebuah ruang pameran sebagai bentuk fisik dari sinema yang tidak hanya memberikan pengalaman menonton, tetapi juga mengalami sinema. Lalu, setelah pameran berlangsung sebanyak lima kali, kami merasa perlu untuk berhenti sejenak dan melihat kembali dengan apa yang telah dilakukan pameran Kultursinema selama lima tahun ini. Setidaknya, ada empat hal yang kami coba lihat; pertama adalah tentang perkembangan wacana kultur sinema di Indonesia yang terbaca dari arsip-arsip yang telah kami kumpulkan dan presentasikan pada lima kali pameran sebelumnya. Kedua, mencoba membaca kembali catatancatatan kami dalam usaha mengumpulkan, mendata, membaca, dan memberikan konteks kepada arsip-arsip sinema tersebut, serta bagaimana pengalaman kami ketika berhubungan dengan lembaga-lembaga arsip, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ketiga, tentang bagaimana proses penerjemahan dan eksekusi artistik pameran terhadap wacana kultur sinema tersebut. Hal ini berkaitan dengan usaha mengevaluasi bagaimana peristiwa proses pra-saat-pasca pameran, menjadi semacam peristiwa untuk menguji bagaimana usaha dalam memberikan konteks kepada arsip-arsip tersebut diterima, diserap, diterjemahkan, dan/atau bahkan ditanggapi oleh pengunjung pameran. Keempat, ketika memulai pembacaan dari kelima pameran sebelumnya, kami tertarik untuk mencoba melihat bagaimana tegangan antara arsip yang telah kami presentasikan dan terjemahkan ke dalam pameran tersebut, dengan arsip [dokumentasi] yang kemudian dihasilkan oleh pameran Kultursinema itu sendiri. Dalam usaha memberikan konteks pada arsip-arsip sinema yang akan dipamerkan, arsip-arsip tersebut telah mengalami pemaknaan ulang sesuai konteks zaman—baik gagasan maupun materialnya. Lalu bagaimana seandainya jika arsip yang telah mengalami pergeseran, perubahan, dan pengurangan-pendalaman makna itu kemudian dilihat dari reproduksi arsipnya— melalui dokumentasi pameran Kultursinema? Apa yang kemudian terjadi? Apakah 22


ada peluang pemaknaan baru dari tegangan atas peristiwa tersebut? Seperti kita semua tahu, bahwa kehadiran kultur digital telah membuka eksisnya sifat kesementaraan dan kultur manipulatif dalam realitas sehari-hari. Berangkat dari keempat hal itulah, kami membuat Pameran Keliling Kultursinema ini di empat kota; Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Melalui pameran ini juga kami mencoba meneruskan praktik belajar kami dalam mengaktivasi arsip dan menyebarluaskan praktik penggunaan arsip sinema di Indonesia, serta mencoba tetap berpegang pada usaha kami dalam mengkonstruksi sinema dalam bentuk pameran. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada lembaga-lembaga yang telah membantu merealisasikan kelima pameran Kultursinema; Arsip Nasional Republik Indonesia, Sinematek Indonesia, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Beeld en Geluid Hilversum, EYE Filmmuseum Amsterdam, dan National Film Center Tokyo. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang telah bekerja merealisasikan kelima pameran Kultursinema yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Selamat menonton!

Kultursinema

23


Still image dari gambar bergerak Danse Javanais (1896) dan Lutteurs Javanais (1896) yang dibuat Alexandre Promio

24


Iklan Scenimatograh yang dimuat di Bataviaasch nieuwsblad, 9 Oktober 1896

25


Filmland, Desember 1927, diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia oleh M. D. Aliff

26


Poster filem Two Orphans produksi Nanyang Film Coy. Poster ini merupakan koleksi KITLV Leiden

27


"CINEKODAK DAN KODASCOPE. Penemuan terbaru KODAK. Unggul dengan keandalan dan kemudahan. Bekerja sepenuhnya otomatis, sebuah kenikmatan tersendiri untuk bekerja pada malam hari di alam terbuka yang sunyi. Harga mulai dari 180 Gulden sampai 190 Gulden. MEYSTERS FOTO-HANDEL. Kesawan." De Sumatra Post, 11 Februari 1928

28


Kwee Zwan Liang yang tertangkap kamera di dalam salah satu filmnya. Koleksi EYE Filmmuseum

29


Poster dan iklan pemutaran. (Kiri) Filem Njai Dasima di tahun 1906 (Bataviaasch nieuwsblad, 26 Juni 1906). (Tengah) Filem Njai Dasima yang dibuat oleh Lie Tek Swie tahun 1929. (Kanan) Dasima (Moderne Versie) tahun 1940 dibuat oleh Tan Tjoei Hock

30


31


32


Suasana kerja studio Jakarta Industrial Film (JIF) milik The Teng Chun yang dibangun tahun 1940. Pertjatoeran Dunia & Film, 1 Juli 1941

33


Dokumentasi pengambilan gambar Tanah Sabrang (1938) dibuat oleh Mannus Franken

34


Poster ini merupakan poster awal filem Lari Ka Arab (1930) karya Wong Bersaudara sebelum disensor Koleksi Sinematek Indonesia

35


Still image adegan ciuman 'a good night kiss' ini diduga sebagai adegan yang diprotes oleh sebagian kalangan ketika filem Antara Bumi dan Langit hendak diputar ke masyarakat. Setelah disensor filem ini berubah menjadi Frieda (1950)`

36


Sampul depan Brochure Kesenian (1949) yang diterbitkan oleh Kementrian Penerangan Republik Indonesia Lukisan yang dipakai berjudul "Kekau Penduduk Jogja" karya Sudibio

37


38


Explanatory note to the Indonesian draft of the GANEFO charter (1963). Koleksi Arsip Nasional Indonesia

39


40


41


Dokumentasi Pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #2. Antara Fakta dan Fiksi (2015) Galeri Cipta III - Taman Ismail Marzuki

42


43


‘Sinema yang Diperluas’ (Expanded Cinema) dalam membaca Struktur dan Sosiologi ‘Representasi’ dan ‘Budaya Tontonan’ di Masa Jajahan Akbar Yumni

Dalam seni kontemporer, batas antara satu bidang seni dengan bidang seni lainnya sudah semakin tidak mengambil jarak yang terlalu lebar. Modus ini seiring juga dengan tema-tema yang diangkat dalam seni kontemporer, yang berusaha melakukan perluasan realitas yang sedang diangkatnya, yang semakin kompleks dan kekinian dari tradisi seni sebelumnya. Semangat ini membawa beberapa perilaku seni kontemporer yang melakukan pelibatan dan membutuhkan cara pandang seni lain sebagai bagian dari perluasan kompleksitas dan kekinian realitas, sehingga membutuhkan perluasan-perluasan medium dari satu bidang seni ke bidang seni yang lain. Semangat perluasan-perluasan medium tersebut bisa jadi memungkinkan konsekuensi pada pengertian sebuah eksebisi dari bidang seni itu sendiri. Contoh paling kentara dari perilaku seni semacam itu, misalnya, anggapan bahwa pengertian-pengertian ‘representiasional’ (verisimilitude) dianggap sudah tidak memadai lagi untuk menjelaskan kompleksitas dan kekinian realitas yang diangkatnya, oleh karenanya seni kontemporer membutuhkan semacam ‘kehadiran’ (present) dan ‘peristiwa’ (event) demi menjangkau perluasanperluasan realitas yang dimaksud. Perilaku itu pada akhirnya berdampak pada model eksebisi yang notabene juga berasal dari konsekuensi perluasan medium dari bidang seninya. Beberapa model eksebisi seni kontomperer, bahkan tidak lagi merujuk pada penyajian-penyajian medium yang bersifat konvensional atau yang bersifat eksklusif, dalam artian ruang yang khusus untuk seni, melainkan berusaha melebur ke dalam konteks kesadaran dan sosiologi keseharian 44


masyarakat. Pada perkembangannya, seni kontemporer memperluas diri menjadi sebuah praktik kultural itu sendiri, sembari meluaskan idiom-idiom ‘representasional’ menjadi sebuah ‘kehadiran’ dan ‘peristiwa’ yang melekat dalam peristiwa sehari-hari masyarakat. Sinema Diurai dalam Perilaku Sosiologi Menonton Kultursinema #2: Jajahan Gambar Bergerak pada tahun 2015 lalu adalah sebuah pameran yang mencoba menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru terkait penggunaan medium sinema secara kekinian, dalam menyikapi realitas sosial kultural yang semakin kompleks. Perkembangan sinema yang tidak luput dari perkembangan mediumnya tersebut menjadikan sinema juga mengalami perluasan (expanded cinema) untuk menggapai dan menyikapi situasi kekinian. Dalam konteks keindonesiaan, sinema sebagai sejarah medium tidak lepas dari pengaruh kehadiran medium di masa lalu yang dibarengi dengan sejarah kolonial. Rentang sejarah sosial sinema dalam konteks sinema Indonesia tersebut bisa dilihat sebagai sebuah budaya tontonan yang diskriminatif, yang notabene adalah semacam homologi dengan praktik representasi visual sinema yang diproduksi di masa kolonial. Kompleksitas antara praktik representasi dan budaya tontonan di masa kolonial tersebut membutuhkan sinema tidak lagi sekadar dalam kerangka representasi, namun menuntut perluasan sinema sebagai semacam perilakunya yang sosiologis. Kerangka perluasan sinema ini tentu membutuhkan praktikpraktik kontemporer dalam penggunaan sinema sebagai medium, yang sekaligus juga sebagai usaha dalam melakukan cara untuk membaca kompleksitas sejarah sinema kala itu. Usaha-usaha Kultursinema dalam membawa sinema untuk menjangkau kompleksitas dan kekinian realitas ini, khususnya terkait dengan bacaan tentang sejarah sinema Indonesia di masa kolonial, adalah membawa sinema pada perilakunya pada selubung-selubung struktur sosiologis. Kebutuhan perluasan sinema ini tentu membutuhkan perluasan praktik-pratik sinema sebagai medium kekinian pula, sehingga di saat yang bersamaan model eksebisi sinema juga menuntut perluasaan dan kebaruan sebagai kebutuhan menjangkau komplesitas dan kekinian realitas. Dalam kerangka ini, Kultursinema mencoba menghadirkan sebuah pameran bertajuk “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” (19 – 29 Agustus 2015, di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta). 45


Dikuratori oleh Mahardika Yudha, pameran ini secara material menghadirkan arsip-arsip visual, baik berupa materi filem maupun poster atau teks-teks arsip lainnya, dalam model sebuah eksebisi sinema yang dihadirkan melalui tampilan pameran di ruang galeri. Pengertian sinema dalam konteks “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” ini, pada dasarnya tidak lagi berperilaku sebagaimana pengertian eksebisi sinema secara konvensional—yang umumnya menggunakan kanalkanal tunggal atau single channel), tetapi lebih pada bagaimana sinema dihadirkan dalam kerangka untuk menjelaskan kesadaran kultural dan sosiologi tontonan kala itu. Sinema dalam konteks pameran ini tidak lagi dibaca dalam pengertian esensialnya, tetapi lebih menekankan perilaku sinema itu sendiri sebagai medium dan struktur sosial bagi kalangan kaum pribumi Indonesia dalam kultur tontonan di masa penjajahan, yaitu masa Hindia Belanda. Usaha-usaha perluasan sinema dalam pameran ini, secara teknis bisa kita lihat bagaimana pengaruhpengaruh seni lain dalam memperlakukan medium sinema, seperti ketika medium sinema yang diperlakukan secara instalatif adalah kebutuhan untuk menguarai sinema dalam perilaku interaktifnya dengan para penonton. Praktik perluasan sinema lainnya adalah membayangkan sinema sebagai sebuah medium eksebisi yang menyatu dengan perilaku menonton yang sangat cair secara ruang, di mana secara teknis dalam penyajiannya sinema yang bisa disaksikan dalam model looping (berputar berulang-ulang). Dalam konteks sinema yang diperluas melalui penggunaan medium secara kekinian ini, sedemikian hingga bisa membuat para penonton dapat menikmati tontonan sebagaimana halnya melihat sebuah pameran seni rupa di sebuah galeri. Dalam keterangan kuratorial pameran ini disebutkan, bahwa filem pertama kali diputar di khalayak publik pada tahun 1896, di Jakarta (Batavia). Dalam khasanah sejarah sinema Indonesia itu sendiri, ada sebuah konteks situasi di mana para kaum pribumi kala itu hanya bisa menonton di dalam ruang yang dikenal sebagai ‘kelas kambing’. Konteks ‘kelas kambing’ dalam strata ruang menonton sinema pada masa kolonial ini adalah sebuah kelas menonton yang paling murah, sebagaimana konteks sosial ekonomi kaum pribumi kala itu. Saking buruknya layanan kelas kambing ini, kaum pribumi pun hanya bisa menonton di balik layar sinema sehingga mereka menonton filem dalam gambar yang terbalik, di mana subtitle/intertitles pada filem pun niscaya juga terlihat secara terbalik. 46


Dalam pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi”, struktur sosiologis sinema yang dihadirkan tersaji dalam bentuk yang instalatif, di mana sang kurator menghadirkan tiga layar yang berjajar. Ada semacam homologi antara layar-layar dengan gambar terbalik dengan situasi sosial ekonomi para kaum pribumi dalam mengakses sebuah layar tontonan di masa kolonial kala itu. Sementara secara instalatif, sinema dalam pameran ini membentuk perilaku struktural dan sosiologisnya, dalam membagi ruang tontonan bagi para penonton pribumi sehingga membentuk cara pandang representasi visual yang dihadirkan pada layar sinema secara khas. Layar-layar dalam uraian instalatif dengan gambar yang terbalik pada pameran ini, berisikan sebuah gambar bergerak berupa potongan-potongan dari sebuah filem, berjudul Mina, dan sebuah filem lagi yang diproduksi di Hindia Belanda, karya sutradara Belanda Mannus Franken dan Albert Balink, berjudul Pareh (1936). Menurut keterangan kuratorial Mahardika Yudha, filem Mina (Het Dienst meisje Gaat Inkoopen Doen) adalah semacam filem fiksi-dokumenter tentang seorang pembantu pribumi yang bekerja pada sebuah keluarga Belanda. Filem Mina ini dibikin 12 tahun sebelum filem Loetoeng Kasaroeng (1926). Sementara dalam konteks keterkaitannya dengan filem Pareh, kehadirannya seakan sebagai satu di antara penggambaran kaum Eropa terhadap kaum pribumi kala itu. Filem Pareh sendiri adalah sebuah filem yang diproduksi di Hindia Belanda, oleh Mannus Franken, salah seorang sutradara Belanda ternama kala itu. Pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” juga memamerkan arsip-arsip berupa poster bertuliskan “Komedi Gambar”, atau sebuah poster yang bertuliskan “gambar hidoep”. Istilah “gambar hidoep” istilah untuk filem pada masa kolonial kala itu, sebagai istilah yang mungkin diasalkan dari andaian sebuah gambar yang bergerak. Poster sendiri telah menjadi bagian yang melekat dari kultur filem kala itu, seiring dengan budaya tontonan lainnya, seperti pertunjukkan komedi stamboel/bangsawan yang juga banyak diminati oleh kalangan masyarakat pribumi. Mungkin, istilah “komedi gambar” yang tertera pada poster pada pameran ini, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kultur tontonan komedi stambul yang pada saat itu memang cukup populer. Selain itu, pameran ini juga menyajikan beberapa footage-footage yang dihasilkan pada masa kolonial. Footage-footage tersebut disajikan dalam bingkaian-bingkain gambar yang di pasang di dinding galeri bagaikan karya seni rupa, namun tidak 47


menghilangkan pengertian sinema secara luas. Konteks pengertian sinema dalam ranah yang dibingkai dalam ruang galeri ini sebenarnya tidak lepas dari perkembangan sinema pada era medium digital, di mana sinema tidak lagi dalam pengertian filem secara spesifik dalam ruang kanal tunggal sebagai kehadiran ‘representasional’, namun sinema dalam konteks ini dimungkinkan diurai ataupun diperluas sebagai perilaku sosiologis dalam bingkaian-bingkaian gambar yang ditempel di dinding. Pengertian sinema dalam konteks ini seperti halnya membayangkan pengertian seni menurut Joseph Kosuth yang membawa seni keluar dari pandangan yang formalis, di mana karya seni tidak lagi mengacu pada pengertian estetika yang konvensional, namun karya seni lebih pada proporsi analitik. Tuntunan seniman dalam pandangan Kosuth sudah tidak bergantung lagi pada mediumnya, sehingga komponen seni tidak lagi bermuara pada objeknya sendiri namun lebih pada ide atau konsep.1 Seperti halnya Marcel Duchamp yang membebaskan makna seni dari tuntutan sempit morfologisnya. Dalam konteks ini, sinema sebenarnya juga telah dilepaskan dari medium konvensionalnya, sehingga secara gagasan bisa diurai dalam perilakunya yang lebih luas. Sinema dalam konteks pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” bisa jadi semacam proporsi analitik tentang homologi struktur budaya menonton dan praktik representasi visual tentang kaum pribumi di masa kolonial. Model-model penyajian sinema pada pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” ini, bisa dibilang, merupakan usaha-usaha dari sinema “yang diperluas” (expanded) sebagai bagian dari budaya visual yang berlangsung di masyarakat. Dalam konteks ini, sinema tidak lagi berperilaku dalam pengertian yang esensial sebagai bahasa moving picture yang disajikan secara eksklusif dalam ruang bioskop (ruang gelap) yang secara spectacle terpisah dalam ruang keseharian masyarakat. Kehadiran sinema dalam perilakunya yang kekinian tersebut dimaknai sebagai sebuah medium yang bisa diurai dalam moving image, sebagai bagian dari perluasan kemungkinan mediumnya dalam konteks yang lebih luas, baik sebagai sebuah pernyataan analitis, maupun bagian dari kekinian dalam perayaan budaya visual yang melekat dalam perilaku keseharian masyarakat. 1  Joseph Kosuth. “Art after Philosophy”, dalam Conceptual Art: A Critical Anthology Edited by Alexander Alberro and Blake Stimson (Massachusetts: MIT Press 1999), hlm. 162

48


Pameran “Jajahan Gambar Bergerak” sebagai Perluasan (Expand) dari Kekinian bagi Kesejarahan Sinema di Indonesia Seperti yang telah disebutkan, pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” pada dasarnya adalah usaha untuk membuat semacam simulasi tentang sosiologi dan struktur budaya tontonan yang berlangsung pada masa kolonial besertaan dengan praktik representasi pihak kolonial dalam memandang kaum pribumi dalam bahasa visual (pameran). Praktik-praktik visual macam ini sesungguhnya juga tidak lepas dari perkembangan teknologi digital, semacam video dan komputer, di mana terdapat kesadaran baru dalam perilaku-perilaku sinema dalam memaknai kompleksitas dan kekinian realitas yang sedang berlangsung. Kesadaran baru yang muncul dari perkembangan medium sinema tersebut, oleh salah seorang teoretikus seni dan politik media, Gene Youngblood, disebut sebagai ‘sinema yang diperluas’ (expanded cinema). Istilah ‘sinema yang diperluas’, menurut Gene Youngblood sendiri, sebenarnya lebih berbicara tentang sinema sebagai perluasan kesadaran2 , meski kemudian kesadaran baru tersebut juga tidak luput dari pengaruh adanya perluasan bentuk dan penggunaan teknologi dari medium sinema itu sendiri. Hal ini terkait dengan istilah sinema yang bukan dalam pengertian esensial yang sepenuhnya, tetapi pada pengertian yang lebih luas di mana jejaring antarmedia, seperti sinema dan televisi, yang dalam kekiniannya sudah berfungsi bagaikan sistem saraf manusia. Sinema yang diperluas itu, seperti halnya kehidupan manusia, mengalami proses kemenjadian secara terus-menerus, yang digerakan oleh sejarah dalam mewujudkan kesadarannya di luar pikiran. Pada pameran ini, ketika sinema diurai dalam perilaku secara instalatif, adalah untuk memperlihatkan sebuah kesadaran visual yang melatari masyarakat pribumi kala itu melalui kemunculan teknologi pemutar filem di masa penjajahan. Dalam konteks ‘sinema yang diperluas’, keberadaan penoton, khususnya kalangan pribumi Hindia Belanda, adalah realitas yang ingin coba diangkat dalam pameran ini, yakni bagaimana sebuah rentang sejarah dan struktur sosial budaya yang melingkupi sebuah representasi tentang kaum pribumi diproduksi di masa kolonial. ‘Sinema yang diperluas’ dalam konteks ini lebih diarahkan pada keberadaan kaum pribumi dalam budaya tontonan yang berlangsung di masa 2  Gene Youngblood. “Expanded Cinema” (Toronto and Vancouver: Clarke, Irwin & Company Limited,1970), hlm. 41

49


kolonial, di mana berlangsung semacam homologi dengan produksi visual yang dihasilkan kala itu. Sinema melalui kemungkinan medium di era digital menjadi semacam proposisi tentang produk representasi dan konteks sosialnya, di mana hal tersebut menjadi bagian dari perluasan kesadaran sinema ketika dibaca dalam konteks perilaku sosiologis dan struktur sosialnya. Melalui sebuah instalasi, sinema diurai untuk memperlihatkan bagaimana sebuah struktur tontonan pada ‘kelas kambing’ yang dialami kaum pribumi, seakan memiliki ”homologisasi” pada praktik representasi visual kaum kolonial dalam memandang kaum pribumi pada filem Mina maupun Pareh. Sinema, dalam konteks ini, menjadi semacam bahasa yang berusaha mendapatkan aktualitas kekinian dalam memperlihatkan sejarah struktur sosial sinema di Indonesia. Dengan demikian, sinema berperilaku menggantikan ide filem lebih ke arah yang fenomenologis. Kerangka utama pameran itu mengurai sinema ke dalam pengalaman dalam budaya “mentonton filem” yang berlangsung pada masanya. Artinya filem dalam kerangka ini menjadi sesuatu yang bukan genuine, melainkan diperluas menjadi semacam ‘parasinema’ (paracinema), yakni sebuah istilah untuk merealisasikan potensi sinema tanpa filem3. Dalam hal ini, parasinema dipertimbangkan sebagai kesamaan atau kemiripan dari gagasan expanded cinema itu sendiri. Ia menjadi pembeda. Bila expanded cinema mencari perluasaan dalam hubungan sinema, kemenjadiannya, kesekitarannya, sementara parasinema mencari eksplorasi sinema ‘diluar atau melampaui mesin filem.4 Tentu, pengertian dari perluasan terhadap sinema ini adalah sebuah cara pandang yang dilatari dari banyak disiplin. Dalam kerangka kajian sinema (cinema studies), pengertian-pengertian sinema dalam konteks kekinian, terkait dengan sinema yang diperluas itu, menjadikan pengertian sinema juga mengalami perluasan dari sebagai sebuah moving picture menjadi moving image. Dalam kuratorial edisi Inggris, judul pameran ini juga menggunakan istilah ‘gambar bergerak’ dengan kata moving image. Sebagai sebuah istilah moving picture, ia adalah pengertian sinema secara spesifik, merujuk pada pengertian bahasa sinema secara esensial sebagai pada medium filemnya. Moving 3  Istilah para sinema di ambil dari A.L. Rees “Expanded Cinema and Narrative: a Troubled History” dalam Expanded Cinema: Art, Performance, Film; ed. A.L. Rees et.al (London: Tate Publishing 2011), hlm. 12. 4  Ibid

50


picture adalah sebuah rangkaian image fotografis secara berturut-turut yang diproyeksikan ke dalam sebuah layar dalam pergantian yang cepat sebagaimana untuk memberikan ilusi dari gerak 5. Sementara sebagai istilah “moving image”, ia adalah pengertian sinema yang lebih luas, karena sinema dilepaskan dalam kerangka esensi mediumnya. Pengertian medium secara esensial kira-kira adalah doktrin yang mana masing-masing bentuk seni memiliki kekhasan mediumnya sendiri, sebuah medium yang membedakan kelainan bentuk yang lain.6 Secara epistemologis, moving image bisa dimaknai cara pandang sinema dalam pengertian yang lebih luas, seperti ketika sinema disandarkan dalam cara pandang psikologis, semiotik, antropologis, sosiologis dan lain sebagainya. Dalam konteks teknologi, sinema dalam perkembangan kekinian juga sangat dekat dengan perkembangan teknologi digital, sehingga perilaku image sinema di era digital menjadi semakin kompleks dan memungkinkan untuk menggunakan bidang seni lain dalam perkembangan bahasanya. Perkembangan teknologi juga memungkinkan orang tidak lagi menonton sinema dalam tradisi yang spectacle, seperti membayangkan menonton dengan menggunakan in-focus di mana sorot cahaya bisa berada di depan penonton dan bukan di belakang penonton. Hal ini memungkinkan menonton sinema dalam konteks kekinian bisa berada di ruang yang terbuka, dan tidak lagi terfokus pada sebuah medium pemutaran yang eksklusif yang terpisah dari ruang-ruang sosial lainnya. Latar teknologi ini pulalah yang kemudian pameran Kultursinema Jajahan Gambar Bergerak pada ARKIPEL ke-3 kali ini juga yang memungkinkan sinema dihadirkan pada ruang-ruang galeri, menyatu dalam kesadaran keseharian masyarakat. Pengaruh perkembangan teknologi juga membawa batas-batas sinema secara konvensional dalam konteks kekinian telah mengalami perluasaan, sehingga kosa kata image dianggap sebagai sesuatu yang lebih luas. Konteks ini juga dibarengi dengan kultur kontemporer tentang pengertian seni luhur dan seni populer yang semakin memudar, sehingga pengertian kanon-kanon sinema seperti auteur cinema, experimental cinema dan lain sebagainya, juga mengalami perkembangan dari konvensinya yang tradisional. Dalam konteks ‘sinema yang diperluas’, moving image menjadi semacam 5  “Moving picture”, http://www.thefreedictionary.com/moving+picture.Di unduh pada 19 Desember 2015. 6  Noel Carrol.“Theorizing The Moving Image” (Cambridge: Cambridge Univesity Press 1996), hlm. 49.

51


‘fenomena sinema’, yakni pengertian sinema tidak berpatok langsung pada filem sebagai teknologi, tetapi bisa jadi lebih pada barisan-barisan teknologi. Pengertian moving image disini, dengan kata lain, menjadi semacam perilaku atau refleksi diri terhadap sinema itu sendiri, dan tentunya dalam uraian teknologi yang secara sinematis pula. ‘Sinema yang diperluas’ dalam pandangan Gene Youngblood adalah sinema yang keluar dari bingkai (frame) filem, ia kemudian berinteraksi dan terkoneksi dengan bentuk-bentuk kultur yang lain. Dalam pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi”, pengertian filem itu sendiri sebenarnya sedang dipertanyakan melalui kerangka yang sinematis. Hal ini jelas terlihat pada bagaimana model instalasi yang menggambarkan ‘kelas kambing’ pada pameran, yang menujukkan sebuah periode di masa analog, di mana cahaya memainkan peranan penting sehingga pertunjukkan filem bagaikan pertunjukkan wayang, yang mana orang pun dimungkinkan menonton dari balik layar. Era-era analog filem seakan menunjukan sebuah era kolonial secara homologi, di mana tidak ada andaian egaliter bagi kaum pribumi dalam mengakses instrumen hiburan kala itu, ketika sifat medium analog mengandaikan sebuah tontonan yang secara ruang bersifat eksklusif seperti halnya pertunjukkan wayang dalam kultur masyarakat pribumi. Konteks analog di masa kolonial adalah sebuah periode yang berbeda di era digital sekarang ini. Era digital memungkinkan semua masyarakat secara egaliter untuk mengakses instrumen hiburan karena sifatnya yang mobil dan tersebar luas. Dalam konteks ‘moving image’, sinema bisa memperluas diri terkait bentuk penyajiannya, sembari memperlihatkan bagaimana konteks sosial struktur budaya tontonan sebagai pola konsumsi kebudayaan. Kultursinema #2: Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi merupakan usaha-usaha dari perluasan dari bahasa sinema yang menggunakan medium seni diluarnya, seperti instalasi, atau bingkaian seni rupa, yang disajikan secara terbuka dalam kerangka galeri, sehingga medium sinema tidak lagi dihadirkan sebagai sebuah tontonan dan bahasa yang bersifat konvensional atau eksklusif (kanal tunggal). Kebutuhan perluasan ini sesungguhnya juga tidak lepas dari bagaimana sinema sanggup mengungkapkan realitasnya yang semakin kompleks, termasuk di dalamnya adalah bagaimana model eksebisi sinema yang juga mempertimbangkan kompleksitas kultur dan mobilitas masyarakat kontemporer. Sinema pada pameran ini bukan lagi sekedar persoalan representasi, namun lebih pada bagaimana sinema sanggup menjadi sebuah ‘kehadiran’ dan ‘peristiwa'. Dalam konteks ini, sebuah peris52


tiwa seni, khususnya sinema, adalah sebuah peristiwa perayaan budaya visual yang melekat dalam keseharian dan perayaan visual yang berlangsung dalam ruang publik yang lebih cair. Tabik‌

(Tulisan ini juga terbit di jurnalfootage.org dengan judul yang sama) 53


54


Dokumentasi Pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #1. Jajahan Gambar Bergerak: Lumiere (1896-1900) (2014) Gedung Laboratorium Film Produksi Film Negara

55


Mengalami Sinema Mahardika Yudha

“Kebutuhan akan pasar yang terus meluas bagi produkproduknya, mengejar kaum borjuis di seluruh permukaan bumi. Ia harus bersarang di semua tempat, bermukim di mana-mana, menjalin hubungan-hubungan di mana-mana.” — Marx-Engels1

I Bunyi katrol timbaan nyaring bergema dan saling sahut-menyahut. Bunyi tersebut mengawali perhatian pengunjung ketika memasuki ruang pameran. Bunyi yang mendiamkan kita pada ‘sesuatu’ yang sedang berputar. Selang sepersekian detik lalu terdengar deru dinamo yang memutar roda-roda penarik seluloid yang berasal dari dalam proyektor 16 mm. Delapan cahaya di kegelapan yang pekat menarik lihatan pengunjung terhadap gambar yang bergerak samar-samar: di dinding, langit-langit, dan tangki-tangki besi. Ukuran proyeksi bervariasi, ada yang selebar tiga meter dan ada pula yang sekecil tigapuluh centimeter. Terkadang berwarna putih (over), gelap (under), bergaris, bercak, atau terkadang sangat jelas memperlihatkan bentuk manusia berwarna abu-abu. Tak ada perbincangan orang atau bebunyian dari layar proyeksi. Suara gesek laju film, suara mesin mekanik proyektor 16 mm, suara tangki-tangki besi yang berdenyit, meningkatkan kemuraman suasana dari bangkai bangunan yang tidak terpakai. Sedikit menjorok ke ujung-ujung bangunan, mungkin kita akan ditemani oleh perasaan kehadiran hantu-hantu yang bergentayangan di ruang itu. Atau ketika kita sedang terfokus pada salah satu proyeksi, tiba-tiba di sudut-sudut mata kita seakan berkelebat berbagai bayangan abu-abu atau putih yang berasal dari pantulan-pantulan sinar proyeksi yang tak sengaja menyinari tangki-tangki baja. Seakan-akan seperti ada yang ‘menemani’ saat menonton. Tiba-tiba kita dikejutkan suara ‘sesuatu’ yang terputus, sobek, atau raungan rodaroda proyektor yang tersendat dan meloncat. Bau asam kimia yang menyengat terus mengintervensi. Saat itu juga tidak ada gambar di dinding, hanya cahaya putih kekuning-kuningan yang terbingkai; bercampur dengan warna alami 56


dinding yang menuju coklat. Nampaknya, film telah meninggalkan atau keluar dari mesin atau jalur sirkulasi yang telah dibuatkan itu. Entah terputus, keluar, atau kusut. Jika tidak ada satu pun jejak film di dalam proyektor, ia pasti terputus di suatu tempat. Kemungkinan besar letaknya, kalau tidak di rol-rol buatan bekas selotip paralon untuk melancarkan jalannya film, atau tersangkut di katrol timbaan. Sejak pameran berlangsung, film memang seringkali putus dan semakin hari panjangnya berkurang. Kemungkinan sebelum pameran berakhir, film positif tersebut sudah tidak bisa lagi diputar karena memendek. Hal ini bukanlah terjadi tanpa perhitungan. Karena sejak awal, pameran ini memang diniatkan untuk melihat seberapa jauh kemampuan teknologi sinema yang dinamakan film itu. Dari proses pengambilan gambar, membuat kimia, mencuci film, menjemur, memutar, hingga terjadinya penyusutan panjang film, lalu menyebabkan terjadinya reduksi atau bias makna yang diakibatkan dari terbatasnya kemampuan teknologi jenis film yang kami pakai. Pameran ini telah membukakan pintu bagi kami untuk masuk ke dalam realitas teknologi sinema dan mengalami sinema.2 Delapan proyektor itu menyorotkan 24 gambar bergerak 3 yang direkam oleh tiga orang operator kamera yang bekerja kepada perusahaan Lumière Bersaudara4 dan satu orang pembuat filem dari Azerbaijan. 5 Tak lama setelah kakak beradik Auguste dan Louis Lumière mempresentasikan temuannya kepada publik di kafe Grand Paris pada 28 Desember 1895, perusahaan mereka melakukan ‘ekspansi’ dengan mendemonstrasikan teknologi cinématograph hampir ke seluruh dunia. Satu-satunya saingan terbesar hanyalah Thomas Alva Edison, penemu dari Amerika Serikat yang juga mendemonstrasikan teknologi sinemanya, seperti; kinetograph, kinetophone, kinetoscope, dan vitascope ke seluruh dunia, termasuk ke Hindia Belanda. Salah satu film yang diputar merupakan representasi kenyataan Hindia Belanda yang paling awal yang kami ketahui. Buatan Alexandre Promio, salah satu operator filem yang bekerja kepada Lumière Bersaudara. Ia membuat filem tersebut tidak di Hindia Belanda, melainkan di Inggris tahun 1896. Jongleur Javanais tercatat pertama kali diputar 14 Agustus 1896 di Vichy, Prancis dan Cardiff Empire, Wales, pada September 1896. Selain Jongleur Javanais, Promio juga membuat dua filem lainnya saat itu; Danse Javanaise diputar perdana 14 Agustus 1896 di Vichy, Prancis, dan 16 Agustus 1896 di Lyon, Prancis. Gambar bergerak ini juga pernah dipamerkan di Gran Teatro Nacional di Mexico pada 57


1898. Lutteurs Javanais pertama diputar 9 Agustus 1896 di Lyon dan 31 Agustus 1896 di Valence, Prancis. Dalam keterangan katalog Lumière versi online; yang merujuk pada katalog yang dijual saat pemutaran pertama tahun 1896, performans di dalam gambar bergerak berasal dari Jepang. Lalu diubah menjadi multi etnis, termasuk orang Burma (Myanmar) yang saat itu di bawah kolonial Inggris Raya. Dan terakhir, diganti menjadi Jawa. Keraguan ini mungkin disebabkan karena Alexandre Promio tidak mengetahui dengan pasti dari mana para performans itu berasal.6 Namun untuk pameran ini, kami hanya dapat mengkonstruksi satu film saja, Jongleur Javanais. Filem itu satu-satunya filem yang kami miliki dalam format file digital DVD bajakan yang kami beli di Mangga Dua tahun 2012 dan kini tersimpan di perpustakaan film-video Forum Lenteng. Film 16 mm yang dipresentasikan pada pameran itu, bukanlah film original yang pernah dibuat oleh ketiga operator kamera perusahaan Lumière Bersaudara, tetapi reproduksi yang dibuat dari file digital. Dengan teknik merekam proyeksi file digital dengan kamera film 16 mm. Teknik ini lazimnya digunakan ketika kita melakukan digitalisasi film, tetapi pameran ini melakukan hal yang sebaliknya, mengembalikan filem format file digital ke medium film (seluloid). Mengembalikan sinema kepada teknologi asal adalah usaha untuk melihat bagaimana representasi kenyataan itu diciptakan oleh mesin. Hal ini relevan di saat situasi sekarang ketika teknologi digital telah membuat batas-batas antara privat-publik, fakta-fiksi, kenyataan-fantasi, nyata-maya, masa lalu-hari ini, tidak terlihat lagi batasannya, sehingga sangat sulit untuk memilah mana representasi dan presentasi kenyataan lewat sinema. Dengan memahami hal yang paling sederhana, mendasar, dan paling awal bahwa, cahaya yang jatuh pada sebuah obyek lah yang ditangkap oleh teknologi sinema, sedikit banyak telah membuka kesadaran bahwa gagasan sinema pada dasarnya bukanlah kenyataan yang ditangkap oleh sinema. Dengan begitu, realitas sinema bukanlah realitas seharihari, “Secara material film terdiri atau dibangun oleh gambargambar dan bukan oleh seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksikan pada layar sungguh-sungguh kenyataan. [...] Karena ilusi tentang kenyataan itu begitu besar pada film, kita jarang mengalaminya sebagai imaji belaka.â€?7 58


Jika kita kembali ke masa bayi sinema, dua penemu besar teknologi sinema, Lumière Bersaudara dan Thomas Alva Edison, menjadi tokoh yang justru paling tidak yakin dengan masa depan teknologi sinema. Apalagi hingga membayangkan bahwa suatu hari, teknologi ini akan memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengubah atau membentuk sudut pandang manusia terhadap kenyataan seharihari yang hingga hari ini, gagasan tersebut masih sangat relevan dan terus digunakan. Persoalan ini sebetulnya tidak terlepas dari bagaimana mereka— para penemu itu—melihat sinema hanya pada urusan pencapaian teknologi tinggi mutakhir untuk dapat bersaing di ajang pertarungan penemu. Dengan memahami cara kerja bagaimana filem merebut kenyataan, pameran ini hendak memulai percakapan sejarah kultur sinema dari bagaimana representasi itu diciptakan oleh mesin—baik kamera maupun proyektor—sebagai alat yang memiliki kuasa di dalam merepresentasikan gagasan kita terhadap kenyataan. Bukan untuk membangkitkan kerinduan masa lalu, apalagi teknologi seluloid yang hampir menemui ajal. Hal ini juga terkait tentang bahwa sejak teknologi sinema hadir di negeri ini, sebagai negeri yang berposisi negara konsumen—dan selamanya akan tetap menjadi negara konsumen—material teknologi sinema pada dasarnya adalah milik dan khusus diciptakan untuk kultur Barat. Mulai dari lensa, sistem mekanika, hingga filmnya. Contoh yang paling sederhana dan selalu menjadi persoalan dari masa ke masa adalah sulitnya membuat sistem penyimpanan teknologi film di Indonesia. Hal ini sebenarnya tidaklah tiba-tiba hadir begitu saja. Sejak kisaran tahun 1896, persoalan menyimpan teknologi film telah menjadi masalah hingga pada akhirnya terjadi kebakaran di studio milik L. Talbot di Batavia (Jakarta).8 Iklim tropis merupakan salah satu musuh terbesar bagi teknologi film. Juga berita di kisaran tahun 1920-an, yang menyebutkan bahwa untuk membuat studio dan atau ruang penyimpanan teknologi film, Bandung yang memiliki suhu yang relatif lebih dingin—lebih mendekati iklim di Eropa—sangat cocok untuk menyimpan dan mengembangkan teknologi film. Hal inilah yang mendorong sutradara seperti G. Krugers dan pemain bola sekaligus sutradara Flip Carli membangun studionya di Bandung, bukan di Batavia, Surabaya, atau Medan yang menjadi kota-kota urban Hindia Belanda. Contoh serupa juga terlihat di sebuah iklan kamera portable di pertengahan tahun 1920-an yang menjual slogan Tropen Camera Ideaal [kamera ideal untuk iklim tropis] yang seakan-akan teknologi itu telah menaklukkan keganasan iklim tropis, padahal tidak. Contoh lainnya adalah 59


lensa. Masih ingatkah kita dengan sebuah aturan bahwa ‘tidak boleh memotret atau merekam pada siang hari? Waktu untuk memotret atau merekam yang baik adalah pagi atau sore hari’ Karena apa? Karena gambar yang kita tangkap akan over kalau melakukannya di tengah hari bolong di iklim tropis. Maka muncullah teknologi filter untuk menyerap dan meredam intensitas cahaya. Sederhananya, lensa memang diciptakan untuk iklim di Eropa yang tidak mengenal perubahan intensitas cahaya secara drastis. Intensitas cahaya di pagi dan sore pada iklim tropis hampir mendekati iklim di Eropa. Namun, pada suatu waktu, kita pun bertanya, seandainya kita memotret atau membuat filem di tengah hari bolong, saat matahari sedang terik-terik menyinari garis khatulistiwa, lalu hasil gambar menjadi over, bukankah itu menjadi ciri khas bagi citraan wilayah tropis yang tidak mungkin dibuat di negeri asal lensa tersebut? Daripada memikirkan bahwa hal yang kita lakukan itu sebagai sebuah kesalahan atau kekurangan karena berpegang pada aturan-aturan negeri penemu, lebih baik kita mengubahnya 180 0 dan melihat hal tersebut sebagai kelebihan dan karakter. Mungkin gagasan ini terdengar subversif. Namun, untuk melihat teknologi sinema sebagai gagasan, dengan memasuki terlebih dahulu wilayah teknis untuk menemukan berbagai celah-celah sistem yang mungkin bisa didekonstruksi sesuai dengan filosofi, kondisi alam dan kultur kita, mungkin kita berpeluang merumuskan kartografi gagasan sinema kita. Seperti misalnya jika kita melihat gagasan teknologi sinema dan bukan kepada materialnya seperti yang dilakukan oleh Georges Méliès—yang awalnya sebagai penonton demonstrasi teknologi cinématograph Lumière—lebih tertarik kepada fantasi yang diciptakannya daripada teknologinya. Sehingga gagasan sinema dapat diperluas menjangkau disiplin pengetahuan yang lain dan tidak hanya berurusan pada teknis dan teknologi. Sinema adalah konstruksi representasi kenyataan sehari-hari yang bisa menciptakan sebuah realitas baru, realitas sinema yang berbeda dengan realitas sehari-hari namun tetap saling mempengaruhi. Mungkin inilah takdirnya, bahwa sebagai penemu— Lumière Bersaudara dan Thomas Alva Edison—, mereka hanya berhasrat akan kesempurnaan teknologi temuannya sehingga mereka tidak dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain dari teknologi tersebut. Tetapi ketika teknologi itu telah berada di tangan ‘konsumen’—Georges Méliès salah satu contohnya, berbagai peluang dan spekulasi pemanfaatan teknologi tersebut yang dihasilkan dari intepretasi terhadap gagasan teknologi sinema justru terbuka lebar. Seperti 60


yang diungkapkan oleh Andre Bazin, “Sinema adalah fenomena idealistik. Konsep yang sudah dimiliki manusia hadir begitu saja dengan kuat dalam pemikiran mereka, seolah dalam suatu surga platonis. Dan yang mengejutkan kita adalah adanya tantangan keras dari materi terhadap gagasan, bukan anjuran teknis dari imajinasi peneliti. Sinema tidak berutang secara virtual pada semangat keilmuan. Para penebar benihnya bukanlah para ilmuan terhormat, kecuali bagi Marey, tapi penting diketahui bahwa ia hanya tertarik menganalisa pergerakan kuda dan bukan pada rekonstruksinya. Bahkan Edison juga sejatinya hanya manusia jenius otodidak, seorang raksasa yang muncul dari Concours Lepine.9 Niepce, Muybridge, Leroy, Joly, Demeny, bahkan Louis Lumière sendiri, semuanya monomaniak,10 perajin, tukang, atau setidaknya industrialis pencipta. […] Mereka yang paling kurang yakin mengenai masa depan sinema sebagai seni dan bahkan sebagai industri adalah justru kedua industriawan itu.”11 Proses penubuhan atau mengalami sinema di sini—dan juga bagaimana sinema membentuk sudut pandang maupun gestur tubuh kita sendiri— menjadi salah satu pijakan yang ingin dilihat oleh pameran ini di tahun-tahun berikutnya. Melacak jejak-jejak bagaimana terjadinya proses penubuhan atau mengalami sinema setidaknya akan membuka berbagai pintu untuk memahami proses tegangan atau hubungan kausalitas antara realitas sinema dengan realitas sehari-hari yang terus diproduksi oleh pembuat maupun penonton filem, beserta perangkat-perangkat sosial sinema, yang telah berlangsung sejak teknologi sinema datang hingga hari ini. II Di luar gedung, empat buah proyeksi dari proyektor 35 mm menghantam dua gedung. Yang satu ke arah gedung bekas laboratorium Produksi Film Negara (PFN); sedang yang satu ke arah gedung studio, tempat bersemayamnya kisahkisah pembuatan produksi filem PFN, termasuk mitos boneka tangan Si Unyil. Kawasan PFN memang memiliki sejarah bangunan yang cukup panjang, sudah dibangun sejak masa kolonial. Di masa berkuasanya pemerintahan militer 61


Jepang di Indonesia, kawasan ini dimanfaatkan sebagai basecamp produksi Nippon Eigasha. Lalu ketika Indonesia merdeka, rentang 1945-1949, tempat ini dikuasai oleh NICA yang memproduksi filem-filem propaganda yang dikerjakan oleh Regerings Film Bedrijf. Di tahun 50-an, tahun lahirnya filem nasional, berdirilah PFN yang memproduksi berbagai filem dokumenter, filem berita, filem propaganda, dan filem fiksi. Di masa Orde Baru, mereka mencapai puncaknya bersamaan dengan puncak kejayaan pemerintahan Orde Baru dan berhasil memproduksi berbagai filem propaganda yang sukses di bioskop maupun menjadi alat yang paling ampuh dalam mendekonstruksi sejarah. Lokasi ini menjadi saksi keterlibatan negara di dalam pengembangan bahasa estetika sinema di Indonesia hingga ia mulai memudar popularitasnya pasca berakhirnya Perang Dingin di tahun 90-an. Setelah Reformasi 1998, negara tidak lagi memproduksi filem dan berdampak pada hilangnya peran negara di dalam pengembangan bahasa estetika sinema di Indonesia. Empat proyektor 35 mm itu bukan milik PFN, tetapi kami mengundang pengusaha layar tancap untuk menayangkan dua filem yang diputar tanpa suara: Benyamin Koboi Ngungsi (1975. Nawi Ismail) dan Djakarta 66 (1988. Arifin C. Noer). Bagi kami, pengusaha layar tancap merupakan satu-satunya penghubung perkembangan sinema di Indonesia yang dapat bertahan hingga sekarang. Ketika terjadinya proses perubahan besar-besaran di tahun 90-an yang diakibatkan oleh perubahan teknologi sinema dari analog ke digital atau peristiwa-peristiwa sosialpolitik global, ketika narasi-narasi besar stagnan atau bahkan mulai tumbang, layar tancap tetap berjalan di lajur narasi pinggirannya dan berhasil melewati masa-masa itu. Ia satu-satunya peristiwa sinema yang berhasil menjembatani keterputusan sejarah sinema di tahun 90-an. Dua filem yang diputar juga dibuat oleh sutradara-sutradara yang pernah terlibat dengan PFN. Nawi Ismail bekerja di PFN sejak PFN masih berupa janin yang bernama Berita Film Indonesia saat pasca kemerdekaan. Sedang Arifin C. Noer, merupakan generasi PFN tahun 80an. Setidaknya, dua filem tersebut dapat menggambarkan bagaimana dua estetika dari dua sutradara yang berbeda masa telah memberikan kontribusinya bagi pengembangan sejarah bahasa estetika sinema di Indonesia, khususnya PFN. Tanpa layar dan tanpa suara, proyeksi kanal ganda Djakarta 66 dan Benyamin Koboi Ngungsi menerangi dan memeriahkan sudut kawasan yang awalnya begitu muram dan sendu. Bunyi raungan roda-roda proyektor menambah suasana menjadi ramai dan mengingatkan kami pada perkembangan awal masuknya 62


teknologi sinema di Indonesia. Berbeda dengan yang terjadi di Eropa dimana kelahiran sinema ditandai oleh pemutaran publik di ruang tertutup kafe Grand Paris, kehadiran teknologi sinema di Indonesia bukanlah di ruang tertutup seperti yang kita amini hingga sekarang ini lewat buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950)12 yang berpegang pada iklan Bintang Betawi terbitan 30 November 1900, justru banyak terjadi di lapangan terbuka.13 Terbitnya buku The Komedi Bioscoop: Early Cinema in Colonial Indonesia. Volume 4 KINtop Studies in Early Cinema hasil penelitian Dafna Ruppin di tahun 2016 membuka kemungkinan lain untuk melihat perkembangan sinema di Indonesia. Misalnya, jika kita merujuk bahwa pertunjukan filem pertama di Batavia yang terjadi pada 5 Desember 1900 di “Roemah di Tanah Abang Kebondjae” yang memutar ‘gambar-gambar idoep’ Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika memasuki kota Den Haag,14 setidaknya ada dua hal yang kemudian menjadi pijakan: pertama bahwa sinema dibawa oleh ‘negara’ (Kolonial Belanda); kedua, sejarah sinema dimulai dari ‘bioskop’ atau pertunjukan dalam ruang tertutup. Temuan terbaru Dafna Ruppin memberikan tawaran lain bahwa sinema dibawa oleh korporasi atau swasta, pengusaha bisnis hiburan, yang ditayangkan juga berbagai peristiwa sehari-hari maupun fantasi, serta, pertunjukan banyak terjadi di lapangan terbuka, gagasan layar tancap. Dengan kemungkinan meletakkan informasi dan analisa yang dipaparkan oleh Dafna sebagai sudut pandang pijakan baru, lajur sejarah sinema di Indonesia menjadi sangat kaya. Penelitian Dafna Ruppin menjadi pijakan kami ketika membuat pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran #2. Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi di Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki. Kami berupaya menjadikan ruang dua lantai tersebut sebagai percobaan kedua untuk menjadikannya sebagai ‘ruang sinema’ yang memiliki lajur [dramaturgi] linear, dari bawah ke atas. Dimulai dari sisi bangunan luar yang terkesan seperti kubus berwarna hitam yang memunculkan sedikit cahaya yang keluar dari sela-sela huruf yang tersusun. Dua buah kuotasi yang bertuliskan “[...] Tiba-tiba ruangan menjadi gelap dan pertunjukan dimulai. [...] Setelah beberapa adegan, bumiputra heran sekaligus menatapnya sebagai sesuatu takhayul. [...] Akhirnya, para laki-laki melihat Yang Mulia Ratu tiba di Amsterdam, [...] sekarang mereka mendapat kesempatan 63


melihat Yang Mulia Ratu, sama seperti orang-orang di Amsterdam. Orang-orang Jawa sebelumnya hanya tahu Yang Mulia Ratu melalui foto, dan sekarang, berkat penemuan ajaib ini, seolah-olah lahirlah Sang Ratu ada di depan mereka�15 dan

“Melihat Hindia Belanda, seperti apa yang sesungguhnya kelihatan di sana, bukan hanya akan membangkitkan rasa cinta kepada negeri kolonial milik kita itu, tapi juga akan meluruskan banyak gambaran dan paham yang keliru yang kini telah demikian berurat-berakar pada banyak orang. Berjam-jam lamanya memberikan kuliah tentang Hindia tidak akan mencapai hasil yang sama dengan ‘melihat’ beberapa ribu meter filem. Maka orang akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang kerjabesar yang telah dilakukan orang Belanda di Hindia, karena memang kini orang bisa bercerotehan tentang penindasan dan penjajahan atas suatu bangsa yang diperbudak.�16

Dua kuotasi ini merujuk pada pernyataan buku Film Indonesia Bagian I (19001950) yang memasukkan peran negara dalam perkembangan sinema di Indonesia. Berita tentang Ratu Willhelmina dan filem merupakan salah satu berita yang cukup populer di masa itu. Terutama berita bagaimana masyarakat bumiputera menanggapi kemunculan Sang Ratu di dalam filem. Pameran ini menghadirkan salinan mikrofilm dari surat kabar Bintang Betawi tahun 1900 sebagai bukti otentik dengan kemasan kontemporer yang memanfaatkan teknologi CCTV untuk melihat secara detail apa yang diberitakan di dalamnya. Di samping mikrofilm terpasang baliho berukuran besar berisi pengumuman pertunjukan Java Biorama di Binjai, Sumatera Utara, tahun 1902.17 Java Biorama merupakan nama lain dari teknologi Biograph yang dibuat oleh Herman Casler di tahun 1896. Di hadapannya, terdapat tiga buah televisi. Televisi kiri menayangkan rekaman-rekaman fiksi, di tengah berisi iklan-iklan pertunjukan, sementara di kanan menampilkan rekaman-rekaman dokumenter. Semuanya itu merupakan data dan informasi yang ditampilkan sebagai upaya kami untuk mencoba menarik garis pemetaan bagaimana terjadinya pertunjukan gambar bergerak fiksi dan dokumentasi secara bersamaan di masa 64


awal masuknya teknologi sinema di Hindia Belanda. Ini juga adalah upaya kami untuk menawarkan narasi bahwa fondasi teknologi sinema di Indonesia adalah hasil perkawinan antara negara dan korporasi. Ketiga citraan pada layar-layar itu merupakan hasil pembesaran sekian kali lipat. Kiri dan kanan merupakan pembesaran yang dilakukan oleh alat perekaman, kamera. Sedang tengah merupakan pembesaran yang dilakukan oleh mesin editing digital, komputer. Hingga awal abad ke-20, sedikitnya telah masuk teknologi-teknologi sinema dari Eropa dan Amerika yang dibawa melintasi benua, seperti; Biorama, Biograph, Cinematograph, Cineograph, Kinetograph, Kinetoscope, Mutoscope, Ripograph, dan Scenimatograph. Teknologi-teknologi tersebut dibawa oleh pengusahapengusaha bisnis hiburan dari berbagai bangsa yang mencoba peruntungan di Hindia Belanda. Beberapa pengusaha itu adalah: Louis Talbot dari Perancis dengan teknologi Scenimatograph-nya, Harley membawa Kinetoscope Edison, atau Carl Hertz dari Amerika yang membawa Cinematographe Lumière. Dalam surat kabar Soerabaijasch handelsblad terbitan 17 April 1897, Kinetograph telah dipertunjukkan di Surabaya, sementara teknologi Ripograaf dari Reusachtige Cinematograaf yang memutar gambar bergerak buatan Lumière Bersaudara, seperti; De Charqes der lanciers atau De Serpentine dans diputar di Batavia.18 Ketika penonton pameran memasuki tangga-tangga menuju lantai dua, yang pertama kali terlihat adalah tiga buah foto yang menampilkan bagaimana gestur penonton bumiputera dan Eropa ketika menonton layar tancap dalam pertunjukan keliling Tanah Sabrang (1938. Mannus Franken). Kedua foto tersebut dibelah oleh satu still image dari filem tersebut, yang berisi adegan ketika Semar berdialog dengan Karija, Pardi, dan Sakrama, sebagai transmigran dari Jawa; Semar : Apa kalian dikirim Penjajah? Karija : Ya. Semar : Apa kalian dikirim Penjajah? Pardi : Ya. Semar : Apa kalian dikirim Penjajah? Sakrama : Ya. Semar : Aku sebenarnya sudah tahu keadaan orang yang dikirim Penjajah ke tanah ini. Apa kalian semua bahagia? Karija : Bahagia. Semar : Kamu juga bahagia? Sakrama : Bahagia. 65


Semar Pardi Semar

: Kamu juga bahagia? : Bahagia. : Aku mau pulang ke Tanah Jawa bersama anak lelakiku, Nala, Gareng, atau Petruk, beritahu petani-petani di Jawa. Aku sudah mengerti keadaan orang-orang yang dikirim Penjajah di sini Tanah di sini ini memang tanah yang subur.

Filem Tanah Sabrang merupakan filem yang sedikit berbeda dengan yang dibuat sutradara-sutradara Belanda lainnya. Ia dibuat oleh salah satu pelopor sinema eksperimental dari negeri Belanda, Mannus Franken. Beliau adalah seorang sutradara yang berkawan dekat dengan Joris Ivens, Sergei Eisenstein, dan Hans Richter. Ia juga produktif menulis di jurnal kecil Filmliga (1927-1935). Sebelum menyelesaikan filem Tanah Sabrang, ia telah sedikit memberikan kejutan di tanah Hindia Belanda dengan dengan membuat filem Pareh (1936) bersama Albert Balink, sebuah filem yang menggabungkan antara fiksi dan dokumenter. Konon, ia juga terlibat di dalam produksi filem Terang Boelan (1937) yang meledak secara komersil tidak hanya di bioskop-bioskop Hindia Belanda, tetapi juga hingga ke Malaysia. Bagi masyarakat Hindia Belanda sendiri, kultur menonton massal bukanlah hal yang baru. Mereka sudah terbiasa menonton pertunjukan teater rakyat, wayang, tonil, atau komedie stambul. Tak heran jika kemudian masyarakat Hindia Belanda segera dengan cepat beradaptasi dengan pertunjukan baru tersebut, antusias menyambut kedatangan dan menyaksikan gambar bergerak. “Segera setelah hari gelap, baik pintu-pintu utama dan seluruh bagian depan lapangan itu menonjol ketika ia memantulkan sebuah cahaya yang datang dari banyak cahaya alat pemutar filem... Sebuah kerumunan besar sekali duduk di tanah dengan pakaian terbaik mereka, yakni baju putih, sarung warna-warni, dan destar rapi di kepala... Di pekatnya kerumunan itu, ada warung-warung kecil dengan lampu-lampu minyak yang berkedip-kedip di atas kerumunan itu, dengan warna-warna merah, kuning, dan oranye, setiap saat berkas cahaya dari proyektor film jatuh ke arah lain. Di dalam kumpulan manusia yang besar sekali ini, tak ada apa-apa selain cahaya, warna, dan kedamaian; kedamaian terutama, 66


diambil oleh warna-warni dan cahaya, setiap kali ketika adegan menjadi terang oleh semburan cahaya mendadak dari teater film besar, sewaktu proyektor melepaskan berkas cahaya luas di atas seluruh lapangan; sekarang, setiap orang menjadi bersinar, sekarang berwarna merah tua, sekarang biru tua, sekarang oranye garang... Bagi kami, itulah kegembiraan pertunjukkannya! Wajah kebahagiaan damai ribuan orang; gambaran, yang berulang kali muncul dari kegelapan dalam sinar dahsyat proyektor film... senantiasa foto diam berwarna-warni yang menakjubkan, dan nyala minyak-minyak lampu warung-warung yang berkedip-kedip oranye dan merah. [...] Beberapa rombongan wayang menghibur kerumunan yang berpesta. Menjelang malam, lapangan itu diterangi lampu-lampu listrik, dan mulailah sebuah filem di udara terbuka. Tak lama kemudian, jatuh hujan deras, dan hujan itu mengguyur ke bawah, sehingga sejumlah besar lahan itu segera kebanjiran‌ Namun‌ antara 2.000 hingga 3.000 penonton tetap tinggal, berdiri di dalam air dan menonton sampai gulungan filem terakhir usai. [...] Ketika film itu usai, “Kepala-kepala orang pribumi dan para pekerja pribumi kembali ke wilayah-wilayah mereka yang terpencil dan jauh; mereka akan hidup kembali di kampung mereka, bekerja lagi dengan peralatan primitif mereka, sibuk dengan pekerjaan tangan murni mereka yang damai; bagi kami, orang Barat, mereka meninggalkan gambaran-gambaran sebuah kebudayaan kerja yang dimuliakan.â€?19 Berita potensi pasar tontonan Hindia Belanda dengan cepat menyebar ke Eropa dan Amerika. Hal yang juga mendorong semakin banyaknya pengusaha bisnis hiburan gambar bergerak yang datang ke tanah Hindia Belanda. Setiap pertunjukan bisa mencapai lebih dari 1.000 penonton. Hal yang hampir tidak mungkin terjadi di Eropa. Sejak awal, kultur menonton di Hindia Belanda terbentuk dari tegangan antara representasi fiksi-fakta, fantasi-kenyataan, lokal-global, privat-publik, maupun negara-korporasi. Tegangan representasi-representasi itulah yang menjadi fondasi hibridisasi sinema Indonesia yang semakin menguat di kemudian hari. 67


III Tiga layar yang menggantung menayangkan rekaman-rekaman gambar bergerak yang dibuat oleh operator filem dan sutradara dari Belanda, baik dokumenter maupun fiksi. Kesadaran membuat filem sebagai laporan keberhasilan pemerintah Kerajaan Belanda dalam menjalankan Politik Etis muncul tak lama setelah Koloniaal Institute berdiri tahun 1910 di Amsterdam, Belanda. Salah satu tokohnya adalah Johann Christian Lamster yang mulai merekam sejak Maret 1912 hingga Mei 1913.20 Selain kelompok pembuat filem yang bekerja untuk kepentingan Koloniaal Institute, di periode yang sama juga muncul beberapa pembuat filem yang melakukan perekaman dengan kepentingan yang berbedabeda, seperti: korporasi, lembaga penelitian dan pendidikan, lembaga keagamaan, ataupun untuk mendokumentasikan kehidupan pribadi, seperti filem perjalanan dan dokumentasi keluarga. Pada dasarnya, estetika semua filem-filem tersebut hampir mirip, namun ada catatan yang cukup penting di sini, terutama tentang produksi filem cerita atau fiksi tentang masyarakat Hindia Belanda. Dalam filem Het Nederlandsch-Indische Leger. De Infanterie [1914, J.C. Lamster] terdapat satu adegan berupa rekonstruksi tentang balas dendam masyarakat muslim kepada tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) akibat salah seorang saudaranya meninggal dunia. Juga filem cerita pendek berjudul Mina, Het Dienstmeisje gaat Inkoopen Doen. Schets uit Het Indische Leven [1914, Pathe] yang mengisahkan tentang bagaimana perilaku pembantu perempuan bumiputera digambarkan. Kedua filem ini jelas memiliki karakter dramaturgi filem cerita fiksi. Atau satu-satunya filem yang masih dapat ditonton dari sutradara berdarah Jerman, Georg Eduard Albert Krugers yang lahir di Banda Neira, Het Groote Mekka Feest [1928]. Filem ini menggabungkan tehnik penceritaan fiksi dengan dokumenter yang mengisahkan seorang lelaki tua yang melakukan perjalanan ibadah haji. Filem ini putar perdana di Leiden pada 8 November 1928. Pemutaran ini dihadiri oleh Putri Juliana dan diberi pengantar oleh intelektual ahli muslim dari Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje. Tak ada pembatasan atau tanda yang mengisyaratkan perbedaan antara kedua genre [fiksi dan dokumenter] yang diproyeksikan pada layar. Filem-filem tersebut dicampur dan ditayangkan secara loop [berkelanjutan]. Yang sedikit agak ‘ganjil’ adalah posisi proyeksi yang terbalik pada layar. Jika pada umumnya saat pertama kali menonton filem kita akan segera mendapatkan ‘posisi gambar yang benar’, namun tidak pada pameran ini. Sudut pandang yang pertama kali dilihat 68


pengunjung pameran justru posisi belakang layar sehingga gambar menjadi terbalik. Hal ini dicoba untuk menggiring penonton pada sebuah peristiwa di masa awal kehadiran sinema di Indonesia, tentang lahirnya kelas sosial di dalam kultur menonton yang berakibat bagaimana masyarakat bumiputera lebih sering menonton citraan yang terbalik dibanding masyarakat kelas atas dan Eropa. Selain munculnya peristiwa menonton filem dengan gambar yang terbalik, di kisaran tahun 1925 juga pernah terjadi sebuah peristiwa penayangan filem sortie atau filem yang disusun dari potongan-potongan sensor filem di bioskop dan filem tersebut sangat disukai oleh penonton bumiputera.21 Lalu, apa dampak dan bagaimana perkembangan lajur sejarahnya yang terbentuk kemudian dari kultur menonton seperti itu? Hal ini tidak bisa dilihat hanya sekadar kehadiran isu kelas sosial di dalam kultur menonton. Menonton potongan-potongan filem sensor dan menonton filem dari sudut yang terbalik tentu sangat berbeda dengan kita menonton secara normal. Menonton citraan secara flip horizontal akan membuat arah kiri menjadi kanan dan sebaliknya. Hal tersebut akan berdampak pada bagaimana masyarakat bumiputera Hindia Belanda menyerap dan kemudian membuat representasi kenyataannya sendiri melalui sinema. Ditambah misalnya, di saat itu, masyarakat Hindia Belanda belum bisa memilah atau membedakan mana fiksi dan fakta. Mereka mengenal semua gambar bergerak yang ditayangkan sebagai representasi kenyataan, sekaligus fantasi tanpa suara. Filem Perdjalanan ka Boelan, Perdjalanan Mengoelilingi Doenia, Perdjalanan ka Matahari, atau Impian Astronot yang dibuat oleh Georges MĂŠliès diputar bersamaan waktu dengan filem dokumentasi tari Tandak Bandung, Perang Anglo-Boer, Perang Jepang-Rusia, atau De Serpentine dans Lumière. Perubahan besar paradigma terjadi ketika filem bersuara ditayangkan di Hindia Belanda. Keasyikkan menikmati fantasi makhluk abu-abu dan fantasi negeri-negeri jauh, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan diri sendiri. Mahluk abu-abu itu tiba-tiba berbicara semirip dengan kehidupan sehari-hari. Memiliki wajah dan gestur yang sama dengan penonton. Ketika itulah, mulai banyak pertanyaan yang mulai dilontarkan seputar apakah kejadian di dalam filem itu benar-benar terjadi atau fantasi. “Penghidupan di layar putih, sebagaimana penggemarpenggemar bioskop sering lihat, tidak lain ada sebagian saja yang dilakukan oleh mereka di sana, pun dunia barat. Di matanya bangsa Timur, itu macam perlakuan 69


(berpeluk-pelukan, gaet sana, gaet sini) ada menjemukan sekali. Ada satu pembaca ada kata sama saya: “Jika itu terjadi dengan aku punya isteri, wah, ceritanya tidak beres!”22 Dan,

Atau,

“Opname dalam laut, bisa juga dibikin di satu panorama laut dan didapatkan kaca (cermin) supaya kelihatannya ada mirip betul. Air ombak yang bergolak tinggi, bisa didapatkan dengan kain layar yang sudah ditekan, kemudian disemprotkan dengan keran dari waterleiding, di mana di itu saat juga, kipas angin yang besar dikasi jalan, supaya itu kain layar (laut) menjadi berombakombak. Ini ada salah satu tipu dan banyak lagi yang ia orang bisa gunakan guna tipu penglihatannya berjutajuta penonton.”23

“Bandingkanlah jika dalam film perang, digunakan pelor yang betul-betul, tentu banyak yang mati, tidak, itu film perang dengan meledaknya meriam dan sebagainya, cuma ada triks, satu tipu. Kesalahan yang didapatkan dalam film, digunting, dan yang salah dibikin betul.”24 Ketika majalah Doenia Film diterbitkan di akhir tahun 20-an—edisi bahasa Indonesia dari majalah Filmland—hampir di setiap edisi, majalah itu selalu memuat kolom correspondentie yang berisi berbagai tanggapan dari redaksi terhadap surat-surat penonton. Dari jejak-jejak jawaban redaksi, yang pernah dikelola oleh Andjar Asmara,25 lalu di tahun 1930 digantikan oleh Bachtiar Effendy,26 terlihat bagaimana penonton Hindia Belanda telah menjadikan sinema sebagai salah satu bagian kehidupannya sehari-hari. Kolom tersebut juga menjadi salah satu kolom yang penting bagi pertukaran pengetahuan dan forum diskusi sinema bagi masyarakat bumiputera Hindia Belanda. Ketika masyarakat mulai kritis menanggapi filem-filem yang beredar, beberapa masyarakat keturunan, baik Indo maupun Peranakan Tionghoa, mulai membuat filem yang mencoba merepresentasikan kehidupan mereka di tanah Hindia Belanda. Dan sebagian lagi bahkan mencoba membuat kamera sendiri, seperti yang dilakukan G. Krugers, maupun The Teng Chun yang mengoprek kamera sistem tunggal menjadi kamera bersuara. 70


IV Saat berlangsungnya Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Semarang tahun 1914, teknologi kamera filem jinjing menjadi salah satu teknologi mutakhir yang ikut dipamerkan. Dan sekitar sepuluh tahun kemudian, di tengah tahun 20-an, kamera jinjing seperti Cine Kodak, mulai dipasarkan kepada masyarakat umum, terutama di kota-kota urban seperti Batavia, Surabaya, dan Medan. Kemunculan beberapa iklan kamera dan proyektor khusus rumahan itu telah memperlihatkan bahwa di tahun-tahun tersebut, telah ada masyarakat Hindia Belanda yang mampu membeli kamera dan proyektor— yang pasti juga membuat filem sendiri. Tak heran jika kemudian di tahun 1926, filem seperti Loetoeng Kasaroeng (1926) dibuat dan diputar di bioskop-bioskop di Jawa. Hadirnya teknologi kamera rumahan telah mendorong bermunculannya pembuat filem dari masyarakat Hindia Belanda. Salah satu pembuat filem rumahan yang menggunakan kamera jinjing untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga secara berkelanjutan selama bertahun-tahun adalah Kwee Zwan Liang, seorang kepala laboratorium pabrik gula di Jatipiring, Cirebon. Ia telah membawa kultur sinema dari kebudayaan urban ke kebudayaan rural, ke sebuah desa kecil di Jawa Barat. Jejak-jejak sinematik Kwee Zwan Liang dipamerkan dalam sembilan televisi LED dan LCD pada Kultursinema #3: Menangkap Cahaya di Gudang Sarinah Ekosistem tahun 2016. Sembilan layar inilah yang kemudian menyapa pengunjung pertama kali ketika memasuki ruang pameran. Sembilan layar itu merupakan kategorisasi berdasarkan jenis subyek perekaman Kwee Zwan Liang, seperti: peristiwa kenegaraan, hobi, kota-kota, transportasi, pabrik gula, pemakaman, pemandangan Hindia Belanda, isteri dan anak-anak Kwee Zwan Liang, serta keluarga. Dan hampir di setiap perekamannya, terdapat jejak-jejak kehadiran keluarganya. Televisi-televisi itu berbaur dengan beberapa gym ball yang akan menggelinding ketika terhempas angin. Gym ball ini difungsikan sebagai tempat duduk bagi pengunjung pameran. Di beberapa titik juga terlihat ember-ember kaleng yang sedikit terisi air. Ember-ember ini memiliki fungsi sebagai wadah air yang bocor dari atap seng ketika hujan turun. Maklum saja, pameran ini berlangsung di bekas gudang yang sudah tidak terpakai dari sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.

71


Terdapat dua bagian besar pada pameran ini, bagian televisi yang ditaruh mendekati lantai dan bagian proyektor yang dikonstruksi menjadi lima ruang. Dua bagian ini dibatasi oleh tiga layar televisi yang menayangkan perdebatan wacana tentang dimulainya produksi filem yang dilakukan oleh bumiputera, serta rekaman suara wawancara Salim Said dan Misbach Yusa Biran dengan Tachyar Idris,27 nama lain dari The Teng Chun yang mulai ia gunakan sejak berkuasanya pemerintahan Orde Baru di akhir tahun 60-an. Kisah Peranakan Tionghoa yang membuat filem di masa tahun 20-an hingga menjelang Perang Dunia II menjadi fokus Kultursinema #3. Pameran ini mencoba melihat bagaimana usaha kelompok ini mengembangkan sinema di Indonesia. Berbeda dengan G. Krugers atau Flip Carli yang berdarah Eropa, yang berhenti dengan membuat filem saja. Sutradara seperti Lie Tek Swie yang bekerja untuk Tan’s Film ketika membuat Njai Dasima (1929) dan sekuelnya Nancy Bikin Pembalesan (1930) telah menunjuk Bachtiar Effendy yang telah membantunya membuat dua filem tersebut, untuk menyutradarai Njai Dasima (1932) versi filem bersuara. Kisah sastra modern Nyai Dasima yang ditulis oleh G. Francis merupakan cerita yang telah dibuatkan filem sejak tahun 190628 bahkan hingga sekarang. The Teng Chun, selain produktif membuat filem, ia telah ‘menyediakan ruang belajar’ bagi bumiputera untuk mempelajari pembuatan filem. The Teng Chun melibatkan tokoh-tokoh seperti Andjar Asmara, Inu Perbatasari, Suska (Sutan Usman Karim), dan H.B. Angin untuk bekerja bersamanya dalam mengembangkan studio filem pertama di Hindia Belanda yang dibangun tahun 1940 yang lengkap dengan properti artistik, seperti crane dan bahkan hewanhewan jinak. Selain sutradara, di masa itu juga muncul penulis dan kritikus filem yang cukup handal dalam mengkritik filem-filem cerita untuk bioskop yang beredar di masyarakat. Kwee Tek Hoay dan Nio Joe Lan, adalah dua orang tokoh intelektual yang cukup produktif menulis kritik filem. Kwee Tek Hoay telah menulis kritik sejak filem cerita untuk bioskop yang dibuat bumiputera Hindia Belanda belumlah ada. Atau sosok Nio Joe Lan yang telah menulis panjang sejarah filem Hindia Belanda dalam bahasa Belanda yang dimuat pada majalah Koloniale Studies di tahun 1941. Nio Joe Lan dengan tegas menuliskan, “Jadi yang penting sekali ialah, bahwa produksi-produksi industri filem Hindia terus bertambah baik dan mencapai mutu lebih tinggi. Menurut pendapat kami hal ini sudah dijamin dengan adanya lebih dari satu perusahaan filem. 72


Karena dengan begitu timbul persaingan, yang mendorong ke arah perbaikan. Terutama karena sekarang filemfilem berbahasa Melayu sudah tidak bersifat baru lagi, filem-filem ini dapat tetap meningkat perhatian publik hanya melalui penyempurnaan. Dengan begitu industri filem yang sedang tumbuh ini akan merupakan berkah untuk kawasan ini dan keuntungan yang lumayan untuk kebudayaan di negeri ini. Di samping itu, penduduk golongan Cina akan merasa puas sekali, bahwa, dengan bekerja di bidang ini boleh membantu dalam pembangunan kebudayaan.�29 Dan berkah bagi pameran ini adalah bahwa arsip-arsip dari perusahaan Java Industrial Film yang dipimpin oleh The Teng Chun dapat dikatakan lebih banyak dibanding arsip-arsip filem lainnya sehingga kami dapat mengaksesnya di Sinematek Indonesia hingga hari ini. Filemnya yang berjudul Tie Pat Kai Kawin (1935) merupakan filem cerita untuk bioskop tertua yang disimpan oleh Sinematek Indonesia. Filem yang ceritanya diangkat berdasarkan kisah Perjalanan ke Barat yang ditulis oleh Wu Chengen pada masa berkuasanya Dinasti Ming di China. Pada umumnya, jika reproduksi sebuah karya seni yang didasarkan pada kisah Perjalanan ke Barat memilih tokoh Pendeta Tong atau Sun Go Kong, si raja monyet; The Teng Chun justru memilih Siluman Babi, Tie Pat Kai sebagai tokoh utama. Kesadaran pengarsipan yang dilakukan oleh The Teng Chun menjadi salah satu hal yang selayaknya dipuji. Sama halnya dengan cukup terawat dan lengkapnya filem-filem atau foto-foto keluarga Kwee Zwan Liang yang sekarang tersimpan di negeri Belanda, baik di keluarga, lembaga NIOD (Institute for War, Holocaust and Genocide Studies) maupun di lembaga Eye Filmmuseum. V Ketiadaan atau ketidaklengkapan arsip, telah mengajak kami untuk bermain memulung keping-keping sejarah yang tercecer. Setelah semua terkumpul, permainan bergeser ke penyusunan puzzle. Salah satu permainan yang mengasyikkan adalah ketika kami mencoba menyusun dua filem; Njai Dasima (1929) dan sekuelnya Nancy Bikin Pembalesan (1930) yang dibuat oleh Lie Tek Swie berdasarkan tulisan berseri Kwee Tek Hoay yang menggambarkan adegan-adegan yang terjadi pada filem. Dua filem tersebut tidak diketahui keberadaannya. Juga skenarionya. Alhasil, yang muncul kemudian adalah filem 73


dari hasil intepretasi dan fantasi kami yang tidak pernah menonton filem itu. Metode trial and error akhirnya digunakan sebagai usaha untuk, setidaknya, memvisualkan bagaimana adegan itu berlangsung dari sisa-sisa peninggalan yang berasal dari tulisan kritik. Sebagai sebuah pameran yang menggunakan arsip sinema sebagai bahan dasarnya, tentu tidak bisa terlepas dari bagaimana kami berhubungan dengan lembaga arsip. Dalam proses setiap pameran, kultursinema selalu berhubungan dengan berbagai lembaga arsip, baik di Indonesia maupun di luar negeri, seperti Belanda. Untuk menemukan data-data filem yang diproduksi Koloniaal Institute kami berhubungan dengan EYE Filmmuseum atau Beeld en Geluid di Belanda. Mencari filem cerita untuk bioskop, maka kami ke Sinematek Indonesia, atau untuk melacak filem-filem di masa revolusi dan republik, kami berhubungan dengan Arsip Nasional Republik Indonesia. Berbagai pengalaman berhubungan dengan lembaga-lembaga arsip tersebut menjadi bumbu petualangan kami. Jika berurusan dengan lembaga arsip yang berada di luar negeri, bisnis arsip adalah hal yang menjengkelkan. Harga arsip tersebut tidaklah murah. Jikalau berurusan dengan lembaga arsip di Indonesia, persoalan sistem pengarsipan menjadi masalah paling besar. Jangan terkejut jika seandainya suatu waktu kita akan menyaksikan bayangan manusia masuk ke dalam frame ketika menonton preview arsip-arsip tersebut. Bayangan itu sudah dipastikan bukan berasal dari filem, tetapi bayangan dari seseorang yang berada di dalam ruang ketika terjadi proses alih media dari film ke file digital. Ketika kami menelusuri jejak sinema Huyung; seorang sutradara yang lahir di Korea, mempelajari pengetahuan sinema di Jepang, lalu menjadi warga negara dan meninggal di Indonesia, kami berhubungan dengan lembaga arsip di tiga negara: Indonesia, Jepang, dan Belanda. Di Indonesia, untuk mendapatkan arsip filemnya yang masih utuh, Frieda (1950), kami menghubungi Sinematek Indonesia. Dan sangat disayangkan bahwa arsip itu juga sudah tidak terlalu baik kualitasnya. Padahal, menurut Misbach Yusa Biran, arsip itu pernah direstorasi oleh tiga lembaga dari tiga negara: Sinematek Indonesia, Festival Film Yamagata, dan Festival Film Busan di tahun 90-an. Dan di tahun 2013, arsip itu telah digitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Filem itu sangatlah penting untuk membaca bagaimana sensor terhadap filem telah muncul bersamaan dengan lahirnya film nasional. Diawali oleh sensor moral yang dilakukan oleh sekelompok orang di Sumatera Utara, hingga akhirnya mendorong 74


lembaga sensor untuk melihat ulang filem yang telah ditayangkan secara khusus itu. Filem Frieda awalnya memiliki judul Antara Bumi dan Langit, setelah adanya protes terhadap satu adegan di filem tersebut, maka digantilah judulnya menjadi Frieda Setelah penggantian judul itu, Armijn Pane selaku penulis skenario lantas meminta namanya dihilangkan dari daftar penulis skenario filem. Satu adegan yang membuat peristiwa ini menjadi besar dan berskala nasional adalah adanya adegan ciuman yang hingga hari ini, kami belum dapat memastikan ‘adegan ciuman’ yang dimaksud. Dalam satu artikel yang menulis tentang berita kematian dan biografis Huyung yang ditulis oleh Kumala Ratih, terdapat satu gambar adegan ‘Grace menyampaikan a good-night kiss kepada Bono. 30 Kami mencurigai bahwa kemungkinan besar adegan inilah yang diperdebatkan sebab di dalam filem Frieda yang kami tonton, kami tidak menemukan adegan tersebut. Tetapi, dugaan itu juga bisa diragukan. Apakah benar adegan itu atau filem Frieda yang kami tonton telah tereduksi. Kecurigaan ini muncul karena filem Frieda yang kami tonton itu berdurasi 64 menit, sedang menurut katalog film Indonesia, tertulis 70 menit. 31 Dalam sebuah situasi seperti ini muncul pertanyaan, apakah kami harus ke arsip Festival Film Yamagata atau Festival Film Busan untuk mengecek ulang? Yang, padahal, ketiga lembaga itu menyimpan master filem Frieda secara bersamaan. Tentang arsip yang lain, yaitu filem Calling Australia, yang dibuat oleh Hinatsu Eitaro alias Huyung bersama Nippon Eigasha di tahun 1943, kami mendapatkannya di Beeld en Geluid, Belanda. Filem tersebut dalam kondisi belum terdigitalisasi ketika pertama kali kami menghubungi lembaga tersebut. Hal ini menandakan bahwa filem itu ‘belumlah disentuh’. Namun, filem yang justru menjadi tandingan dari Calling Australia, Nippon Present (a.k.a. Nippon Calls. 1945) yang dibuat oleh Jaap Speyer telah terdigitalisasi dan bahkan telah ditayangkan di Festival Film Yamagata tahun 2005. Nippon Present menggunakan filem Calling Australia secara utuh sebagai materi utama filemnya. Filem tersebut membahas adegan-adegan di dalam filem Calling Australia yang dianggap sebagai sebuah kebohongan. Di dalam filem tersebut, Jaap Speyer menghadirkan para pemain di dalam filem Calling Australia untuk menceritakan kebenaran versi Belanda atau sekutu NICA. Filem Nippon Present merupakan filem di dalam filem. Yang juga menarik bahwa, filem Calling Australia dibuka oleh pernyataan baik melalui gambar maupun narator, bahwa filem itu dibuat sendiri oleh tawanan perang Australia dan Eropa. 75


Perdebatan filem antara Calling Australia dengan Nippon Present telah mendorong sutradara Belanda Joris Ivens untuk membuat filem Indonesia Calling (1946) yang diproduksinya di pelabuhan Australia. Joris Ivens yang lebih mendukung kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dengan membuat filem tersebut, sehingga menyebabkannya terusir dari negeri kelahirannya, Belanda. Hingga hari ini, filem Indonesia Calling menjadi filem yang sangat penting bagi Indonesia. Tidak hanya menjadi dokumen faktual sejarah, tetapi juga kontribusi estetika sinemanya bagi perkembangan sinema di Indonesia. Filem tersebut juga menjadi penanda bahwa sejak dimulainya revolusi 1945, negara ini telah berada di dalam pertarungan jejaring sinema global. Tidak hanya di dalam soal industri hiburan, tetapi juga tentang sosial politik global. Peristiwa perang ‘kebenaran dan atau kebohongan’ dengan filem propaganda telah terjadi di masa Perang Dunia II. Dilanjutkan oleh kelompok Berita Film Indonesia—Huyung ada di dalamnya—yang merekam berbagai peristiwa penting di masa 1945-1949 dan mengemasnya dalam sebuah filem dokumenter bersubteks Inggris untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Filem-filem produksi mereka menjadi tandingan bagi filem-filem propaganda yang juga diproduksi oleh NICA di masa itu. Beruntung bagi kami sebab format digital dari filemfilem Berita Film Indonesia telah tersedia di Arsip Nasional Republik Indonesia. Konon, film seri Berita Film Indonesia No. 1, 2, dan 3 yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia merupakan Salinan yang diperoleh dari Imperial War Museums di London, Inggris. Satu filem yang juga sangat penting perannya bagi perjuangan kedaulatan bangsa Indonesia di dalam pertarungan politik internasional adalah Fights for Freedom (1949). Filem berbahasa Inggris ini berisi kronologis perjuangan bangsa Indonesia terhadap pendudukan sekutu NICA dan Agresi Militer I dan II yang dilakukan oleh tentara Belanda rentang 1945-1949. Bagaimanapun, filem tersebut telah membantu dalam membangun opini publik internasional terhadap usaha Indonesia di meja-meja perundingan yang berakhir setelah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB) dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, tanpa Irian (Ikut Republik Anti Nederland) Jaya.

76


1 Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land-Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 3. 2 Untuk membuat pameran ini, kami tim Kultursinema melakukan lokakarya singkat selama kurang lebih dua bulan untuk membuat filem dengan seluloid bersama Edwin dari Lab Laba Laba. 3 Daftar lengkap filem, silahkan cek katalog ARKIPEL Electoral Risk – 2nd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, hlm. 205. 4 Pameran ini mempresentasikan beberapa gambar bergerak yang direkam oleh Alexandre Promio, Gabriel Veryre, dan Constant Girel, yang bekerja kepada perusahaan Lumière Bersaudara. 5 A.H. Mishon adalah seorang pembuat filem bumiputera dari Azerbaijan yang membuat filem menggunakan kamera cinématograph Lumière. 6 http://jurnalfootage.net/v4/alexandre-promio-dan-fantasi-hindia-belanda/, diakses terakhir kali tanggal 20 Februari 2019. 7 David Albert Peransi, D.A. Peransi & Film, editor Marselli Sumarno, Lembaga Studi Film, 1997, hlm. 3. 8 Baca Dafna Ruppin, The Komedi Bioscoop: Early Cinema in Colonial Indonesia. Volume 4 KINtop Studies in Early Cinema, John Libbey Publishing Limited, 2016. 9 Concours Lépine adalah kompetisi bagi para penemu dan ilmuwan yang diadakan sejak 1901 di Perancis. Kompetisi ini diambil namanya dari penemu Luis Lépine. 10 Monomaniak: antusiasme berlebihan atau obsesif untuk satu benda. 11 Andre Bazin, Sinema, Apakah Itu?, Regents of University of California, 2005. Terjemahan Bahasa Indonesia diambil berdasarkan terjemahan yang dilakukan oleh Mirza Jaka Suryana (tidak dipublikasikan). 12 Baca Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993. 13 Baca Dafna Ruppin, The Komedi Bioscoop: Early Cinema in Colonial Indonesia. Volume 4 KINtop Studies in Early Cinema, John Libbey Publishing Limited, 2016. 14 Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993, hlm. 49. 15 Albrecht Zondagsblad, 14 Mei 1899. Diterjemahkan oleh Umi Lestari. 16 Filmland, Desember 1927. Diterjemahkan oleh M.D. Aliff. Koleksi Sinematek Indonesia. 17 De Sumatra post, 29 Agustus 1902. 18 Bataviaasch nieuwsblad, 29 Mei 1897. 19 Baca Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land-Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 20 https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/jc-lamster, diakses terakhir kali tanggal 20 Februari 2019. 21 Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993, hlm. 62. 22 Tanggapan terhadap surat pembaca Eveready dari Pati, Kolom Correspondentie, Doenia Film dan Sport, Nomor 10, Mei 1932. 23 Tanggapan terhadap surat pembaca Rasmoen dari Malang, Kolom Correspondentie, Doenia Film dan Sport, Nomor 12, Tahun ke-4, 15 Juni 1932. 24 Tanggapan terhadap surat pembaca Soetadi dari Salatiga, Kolom Correspondentie, Doenia Film dan Sport, Nomor 3, Tahun ke-4, 1 Februari 1932. 25 Andjar Asmara adalah seorang wartawan dan juga sutradara teater. Menjelang Perang Dunia II, ia mulai menjadi sutradara filem di perusahaan Java Industrial Film milik The Teng Chun. 26 Sutradara Melayu pertama yang membuat filem dan filem bersuara. 27 Wawancara dilakukan pada 21 Juli 1976 di Jakarta. Koleksi Sinematek Indonesia. 28 Bataviaasch nieuwsblad, 26 Juni 1906. 29 Nio Joe Lan, Pembangunan Industri Film Hindia, Koloniale Studies, 25 Januari 1941. Diterjemahkan oleh M.D. Alif. Koleksi Sinematek Indonesia. 30 Majalah Aneka, 20 September 1952, hlm. 22. 31 http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a019-50-049868_antara-bumi-dan-langit#.XHhGq1MzY6U, diakses terakhir kali tanggal 20 Februari 2019.

77


78


Dokumentasi Pameran Kultursinema #5: Gelora Purnaraga (2018) Galeri Cipta III - Taman Ismail Marzuki

79


Seri Diskusi Forum Kultursinema

Arsip merupakan rujukan data bahwa telah terjadi suatu peristiwa di rentang waktu tertentu. Untuk itu, ia dianggap faktual. Pengarsipan sendiri merupakan upaya untuk mendefinisikan atau mengelompokan kejadian, situasi politik, bahkan status warga negara. Salah satu arsip yang memiliki banyak lapisan pengetahuan adalah sinema. Sebagai seni yang paling kompleks, sinema memiliki kemungkinan untuk bisa didekonstruksi untuk berbagai kepentingan ilmu pengetahuan. Tidak hanya untuk pembacaan sejarah sinema, tetapi juga sejarah-sejarah sosial yang pernah ia bekukan. Di sisi lain, teknologi film juga dipercaya sebagai salah satu medium pengarsipan yang memiliki daya tahan yang cukup lama ketimbang medium pengarsipan lainnya. Tak heran, jika film menjadi salah satu arsip yang paling sering digunakan sebagai bahan referensi untuk membaca berbagai peristiwa dan gagasan yang pernah terjadi di masa lalu. Berangkat dari berbagai hal tersebut, diskusi Pameran Keliling Kultursinema mencoba untuk melihat kemungkinan-kemungkinan dalam memanfaatkan arsip filem; kerja kuratorial atau pemograman dalam membuat pemutaran atau penayangan filem, penulisan sejarah sinema, dan upaya pengelolaan arsip untuk disajikan dengan bentuk kemungkinan lain, seperti pameran ataupun produk seni lainnya, berhubungan dengan konteks sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Diskusi ini akan berlangsung bersamaan dengan Pameran Keliling Kultursinema di empat kota; Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang, serta dihadiri oleh praktisipraktisi seni dan budaya yang berasal dari masing-masing kota.

80


Ruang Ruang Menonton dan Arsip Filem Filem memiliki beragam lapisan sudut pandang sehingga ia memiliki peluang untuk dibaca dan dijelajahi dari sudut pandang satu ke sudut pandang lainnya. Misalnya, di suatu hari, satu filem bisa saja dibaca dengan sudut pandang politik, namun di kemudian hari, ia hanya dibaca dari sudut pandang ekonomi. Di sisi lain, arsip-arsip filem merupakan salah satu sumber inspirasi dan materi penayangan bagi ruangruang menonton. Penggunaan dan pengelolaan arsip-arsip tersebut bisa menjadi salah satu strategi bagi ruang-ruang menonton tersebut untuk dapat bertahan hidup di tengah-tengah situasi produksi filem yang lesu. Mendaur ulang gagasan dengan menggunakan materi-materi filem yang telah ditayangkan sebelumnya menjadi salah satu peluang bagi para kurator atau pemogram untuk mencari moda distribusi, sudut pandang, atau pembacaan mutakhir terhadap gagasan-gagasan yang dapat dibaca dari filem. Berangkat dari peluang tersebut, usaha untuk memberikan konteks pada suatu filem, menjadi strategi bagi para kurator atau pemogram pemutaran dan penayangan filem untuk terus memproduksi pengetahuan yang mungkin dibongkar dan diperbaharui, serta menemukan berbagai konteks yang relevan untuk disajikan kepada penonton. Diskusi ini akan menghadirkan beberapa kurator atau pemogram, dan juga pengelola ruang-ruang menonton untuk membicarakan moda dan juga strategi mereka di dalam mempresentasikan kuratorial atau pemograman pemutaran dan penayangan filem.

81


Penulisan Sejarah dari Arsip Filem Berbicara mengenai sejarah filem, ia adalah mencakup sejarah teknologi, sejarah stilistika, sejarah sosial, bahkan sejarah politik. Penulisan sejarah filem adalah menulis deskripsi dan proses perubahan dari persinggungan filem dengan hal-hal di luar filem selain segi intrinsik filem itu sendiri. Pilihan untuk membingkai yang mana adalah tergantung sudut pandang dalam pendefinisian, minat, dan yang paling penting juga, ketersediaan arsip. Selain kritik filem, karya-karya yang lazim ditemukan juga adalah teks akademis yang membahas konteks sosiologis dan budaya dari kultur sinema Indonesia, bahkan menjadikan arsip filem sebagai sumber data untuk kajian sejarah. Namun tulisan yang menggunakan bingkai penulisan sejarah sistematis dan berlaku sebagai kanon sejarah filem belumlah lagi ditulis semenjak Misbach Yusa Biran, Taufik Abdullah, dan S.M. Ardan dengan buku mereka Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Selain itu, penulisan sejarah filem Indonesia pun masih menyisakan lubang kajian yang besar yaitu sejarah estetika filem Indonesia. Dari situasi tersebut, muncul berbagai pertanyaan yang dapat didiskusikan, antara lain: Perlukah penulisan sejarah filem Indonesia yang terpadu? Apa sejatinya karya atau peristiwa tonggak dalam sejarah filem Indonesia? Persoalan-persoalan apa saja yang dikira penting untuk disorot dan dibingkai dalam memahami peta sejarah [dan] kultur sinema di Indonesia? Pemetaan apa yang bisa kita lihat dari perkembangan filem di luar bioskop arus utama? Pemetaan apa yang bisa kita lihat dari perkembangan penulisan filem Indonesia saat ini ? Peluang-peluang apa yang dapat dihasilkan dari penemuan arsip terbaru terhadap penulisan sejarah filem Indonesia? Peluang-peluang apa yang dapat dihasilkan dari arsip filem terhadap penulisan sejarah Indonesia dalam konteks sosial politik? 82


Reproduksi dan Representasi Arsip Filem Suatu kejadian di masa lampau yang diarsipkan oleh lembaga pengarsipan tertentu, yang telah diberi konteks latar belakang situasi pada saat suatu kejadian berlangsung, tentulah dimaksudkan untuk menggiring pemirsa ke arah opini tertentu, dan ini pastinya merupakan hal yang politis. Kita sebagai pembaca arsip di masa kini tentulah punya latar belakang dan persepsi sendiri akan arsip tersebut. Bila kita membicarakan arsip dari sudut pandang dan bingkaian kini, tentu ada cukup banyak kemungkinan pembacaan akan arsip tersebut. Pembacaan kontemporer akan suatu arsip sangat memungkinkan untuk mengabaikan narasi tunggal yang disampaikan oleh suatu arsip dan kemudian menghasilkan narasi-narasi alternatif yang membuat pembacaan sejarah menjadi lebih signifikan. Panel ini ingin membahas bagaimana para pembicara melihat dan menginterpretasikan arsip, kemudian mengelola arsip menjadi suatu bentuk produk seni baru yang tentunya memiliki relevansinya sendiri, dan kemudian bisa membuka kemungkinan-kemungkinan interpretasi baru akan sejarah oleh pemirsa.

83


Dokumentasi Pameran Kultursinema #4: Takdir Huyung (2017) Gudang Sarinah Ekosistem

84


85


Tim Kultursinema

Afrian Purnama (Jakarta, 17 April 1989), lulusan Universitas Bina Nusantara, jurusan Ilmu Komputer. Anggota Forum Lenteng, penulis di www.jurnalfootage.net, peneliti untuk Program Media Untuk Papua Sehat, serta kurator di ARKIPEL.

Dini Adanurani (Jakarta, 6 September 1998) adalah seorang penerjemah lepas dan penulis yang tengah menjalani studinya di program studi Filsafat, Universitas Indonesia. Tahun ini, ia turut merancang UI Film Festival, dan bermain sambil belajar visual di Milisifilem Collective. Kunjungi keluh-kesahnya di jesuismager.wordpress.com

Luthfan Nur Rochman (Jakarta, 19 Agustus 1993), seorang pembuat film yang berbasis di Jakarta. Lulusan Arkeologi Universitas Indonesia ini, sehari-harinya juga aktif di Milisifilem Collective, sembari menyalurkan hobinya dalam mengulik budaya manga Jepang. Ia juga berkegiatan di Lab Laba-Laba.

Mahardika Yudha (Jakarta, 23 Januari 1981) seorang seniman, kurator, dan salah seorang pendiri dan bekerja di Forum Lenteng. Sejak 2014 hingga sekarang, ia menjadi kurator pameran Kultursinema yang menjadi bagian dari perhelatan ARKIPEL - Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Diluar dari aktivitas kuratorial rutinnya itu, ia juga menjadi kurator beberapa pameran, antara lain; Lost in Transaction, Pameran Tunggal Asep Topan (Jakarta, Indonesia, 2014); Reimagining Rocket rain (menjadi ko-kurator bersama Anggun Priambodo, Jakarta, Indonesia, 2014); OK. Video Orde Baru - 7th Indonesia Media Arts Festival (Jakarta, Indonesia, 2015); Prototipe, Pameran Tunggal Benny Wicaksono (Jakarta, Indonesia, 2015); dan Following (Jakarta, Indonesia, 2017). 86


Prashasti Wilujeng Putri (Jakarta, 5 Desember 1991), seorang seniman performans dan organisator seni. Menamatkan pendidikan di bidang Kriminologi di Universitas Indonesia tahun 2014. Selain menjadi Koordinator Program Forum Festival ARKIPEL, saat ini ia juga aktif mengelola 69 Performance Club, sebuah platform untuk studi mengenai sejarah dan seni performans yang digagas oleh Forum Lenteng, serta menjadi salah satu partisipan di Milisifilem Collective. Karya-karyanya dapat dilihat di www.prashastiwp.com.

Syaiful Anwar (Jakarta, 26 Februari 1983) seorang seniman, sutradara filem dan juru kamera. Saat ini ia adalah Koordinator Produksi di Forum Lenteng, serta salah satu tim selektor dari Arkipel – Festival Filem Internasional Dokumenter & Eksperimental Jakarta.

Wahyu Budiman Dasta (Jakarta, 2 Januari 1991), seorang pembuat filem. Pada tahun 2017 ia mengikuti lokakarya “Doc-Clinic� di Wisma Jerman. Menjadi volunteer untuk ARKIPEL 2017 dan sejak saat itu ia aktif berkegiatan di Forum Lenteng serta aktif menjadi partisipan dalam program Milisifilem Collective.

87


88


89


90


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.