i
Penyunting / Editor Anggraeni Widhiasih/ Otty Widasari Penulis / Writers Afrian Purnama, Akbar Yumni, Anggraeni Widhiasih, Dhuha Ramadhani, Hafiz Rancajale, Mahardika Yudha, Luthfan Nur Rochman, Manshur Zikri, Otty Widasari, Robby Ocktavian, Scott Miller Berry, Syaiful Anwar, Yuki Aditya Penerjemah / Translator Anggraeni Widhiasih, Dini Adanurani, Manshur Zikri, Yuki Aditya English Proofreader Valencia Winata Perancang Grafis / Graphic Designers Robby Ocktavian & Dhanurendra Pandujiwangga Latar Sampul / Cover Image Otty Widasari & Taufiqurrahman Tipografi “bromocorah” / “bromocorah” Typography Otty Widasari ARKIPEL Tree of Knowledge Drawing Hafiz Rancajale ARKIPEL Logotype Drawing Ugeng T. Moetidjo Percetakan / Printing Gajah Hidup Diterbitkan oleh / Published by Forum Lenteng Cetakan Pertama, Jakarta, Agustus 2019 1000 eksemplar Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta. 12530 www.forumlenteng.org | info@forumlenteng.org | @forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival www.arkipel.org | info@arkipel.org | @arkipel Widhiasih, A., Widasari, O., (Eds.) (2019). ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. 1st ed. Jakarta: Forum Lenteng xvi + 210 halaman isi, 14,8 x 21 cm ISBN
ii
Komite Arkipel bromocorah bromocorah Arkipel Comitee ORGANIZING COMMITTEE Board of Artistic: Hafiz Rancajale Otty Widasari Mahardika Yudha Yuki Aditya Andang Kelana
FORUM FESTIVAL Prashasti Wilujeng Putri (Coordinator) Dhuha Ramadhani Maria Silalahi Pychita Julinanda Dini Adanurani Erviana Madalina
EXECUTIVE COMMITTEE Chairperson – Artistic Director Hafiz Rancajale Festival Director Yuki Aditya Festival Manager Prashasti Wilujeng Putri
KULTURSINEMA Curator Mahardika Yudha (Coordinator) Prashasti Wilujeng Putri Afrian Purnama Wahyu Budiman Dasta Luthfan Nur Rochman Robby Ocktavian Dini Adanurani
SELECTION COMMITTEE Coordinator Otty Widasari Selection Team Afrian Purnama Anggraeni Widhiasih Luthfan Nur Rochman Manshur Zikri Robby Ocktavian Syaiful Anwar CURATORS Film Curators Afrian Purnama Akbar Yumni Candrawala Curators Dhuha Ramadhani Special Program Curator Scott Miller Berry (re:assemblage collective, Toronto) Candrawala Curator Dhuha Ramadhani JURY Hafiz Rancajale Scott Miller Berry Akbar Yumni Mahardika Yudha
FESTIVAL OFFICE Operational Manager Pingkan Polla Database Dhuha Ramadhani Robby Ocktavian Art Handling Wahyu Budiman Dasta Dhanurendra Pandji Milisifilem Hospitality Team Pingkan Persitya Polla (Coordinator) Communication & Publication Alifah Melisa (Coordinator) Anggraeni Dwi Widhiasih (Catalogue Editor) Taufiqurrahman (Graphic Designer) Dhuha Ramadhani (Website Administrator) Otty Widasari, Maria Christina Silalahi, Luthfan Nur Rochman (Festival Bumper Directors) Luthfan Nur Rochman (Social Media Administrator) Robby Ocktavian (Festival Catalog)
iii
News Room Anggraeni Widhiasih (Coordinator) Dini Adanurani Media Relation Alifah Melisa (Coordinator) Documentation Team Luthfan Nur Rochman (Coordinator) I Gede Mika Technical Operational Film Screening Syaiful Anwar (Coordinator) Robby Ocktavian Festival Lounge Maria Christina Silalahi (Coordinator)
iv
Daftar Isi Contents Komite Arkipel bromocorah / bromocorah Arkipel Comitee
iii
Catatan Direktur Festival vii Notes From Festival Director x Pernyataan Artistik / Artistic Statement Membingkai yang Sisa-sisa 2 Framing the Outcast 6 Malam Pembukaan / Opening Night 12 Filem Pembuka / Opening Films 13 Malam Penghargaan / Awarding Night 14 Penghargaan / Awards 15 Catatan Selektor Kompetisi Internasional / International Competition Selector Notes BROMOCORAH: Kendali Keagensian Prosumer 18 BROMOCORAH: Power Agency of Prosumer 23 Kompetisi Internasional / International Competition IC1 Alegori Politis Bromocah dari Determinisme Teknologi 30 Bromocorah’s Political Allegory by Technological Determinism 32 IC2 Cermin yang Retak 36 The Mirror that Cracked 38 IC3 Sinema Melihat Citra-Citranya 44 Cinema Observing Its Images 46 IC4 Observasi Periferi 53 Observation to The Periphery 55 IC5 Perilaku Mimesis Evolusioner dalam Lingkaran yang Aneh 59 Evolutionary Memetic Behaviour in A Strange Loop 62 IC6 Memori Spasial Dalam Tubuh Mekanis 66 Spatial Memory in the Mechanical Bodies 69 IC7 Batasan Ketidakterbatasan 73 Limit of The Infinite 75 IC8 Indeks dan Konteks Eksperimen Bentuk 79 Index and Context of Formal Experimentation 81 IC9 Performativitas Keaktoran dalam Ruang-Ruang Realitas 89 The Performativity of Actorship within Spaces of Reality 91 IC10 Sinema Melihat Sinema 95 Cinema Observes Cinema 97 v
Program Kuratorial / Curatorial Program CP1 Uang! Tuhan yang Tampak! 104 Money! The Visible God! 108 CP2 Citra dan Disensus 112 Image and Dissensus 115 Candrawala Umpan Balik 122 Feedback 125 KULTURSINEMA #6: GELORA INDONESIA 140 KULTURSINEMA #6: GELORA INDONESIA 144 Presentasi Khusus / Special Presentation Jika Kau Telah Menjalaninya: Dis/Integrasi Unless You’re Living It: Dis/Integration
152 154
Penayangan Khusus / Special Screening Focus on Sardono W. Kusumo: Sinema Eksperimental di Indonesia 168 Focus on Sardono W. Kusumo: Experimental Cinema in Indonesia 172 Forum Festival Bromocorah: Posisinya dalam Konteks Sosial, Politik, Kultural 182 Bromocorah: Its Position in Social, Political, and Cultural Context 183 Bromocorah dalam Estetika Filem 185 Bromocorah Within Film Aesthetics 186 Studi Kasus terhadap Fenomena Bromocorah 185 Case Study of Bromocorah Phenomena 188 Eksperimentasi Seni dan Performativitas 189 Art Experimentation and Performativity 191 Redefinisi Komunitas di Era Digital 193 Community Redefinition in The Digital Era 195 Indeks Sutradara / Directors Index 196 Indeks Filem / Film Index 197 Acknowledgement 198 Anggota Forum Lenteng / Forum Lenteng Members 199
vi
CATATAN DIREKTUR FESTIVAL Yuki Aditya
Pada perhelatan tahun ketujuh ini, 1.200 lebih judul filem yang didaftarkan dari sekitar 60 negara untuk sesi Kompetisi internasional. Dan yang lebih membahagiakan, 120 dari 1.200 filem yang mendaftar datang dari sutradara Indonesia. 85 filem akan ditayangkan selama penyelenggaraan ARKIPEL 2019 ini, yang terbagi ke dalam beberapa sesi, seperti Program Kompetisi Internasional, Program Kuratorial, Program Candrawala, Program Pameran Kultursinema, Program Presentasi Khusus, Program Penayangan Khusus, dan Program Forum Festival. Keseluruhan rangkaian program ARKIPEL tahun ini akan digelar dari tanggal 18 sampai 26 Agustus 2019. Bayangan kami saat memulai ARKIPEL pertama kali tahun 2013, bekal kami adalah tontonan, teman, dan jaringan yang sudah ada. Kami belum tahu siapa yang akan datang menonton ke festival ini dan siapa yang akan mendaftarkan filem ke kami. Sampai tahun ke-7 ini kami senantiasa antusias mempersiapkannya, karena festival filem semacam ini harus tetap ada. Festival filem semacam ARKIPEL harus selalu ada, untuk membicarakan dan menyuguhkan hal-hal yang kurang atau masih harus dibicarakan dalam medan sinema kita; sesuatu yang belum diperhitungkan. Karena kami yakin potensi eksperimentasi di sinema yang luas dan akan selalui ada tiap zamannya. Merujuk pada tema kami tahun ini, Bromocorah, eksperimentasi dalam sinema diharapkan bisa keluar dari sistem yang ajeg, baik itu bahasa visual atau gaya narasinya. Program-program yang disediakan oleh ARKIPEL sedari awal diniatkan untuk membuka ruang diskusi tentang persoalan sosialbudaya dengan medium sinema berikut eksperimentasi bahasa tuturnya.
vii
Dalam rangka menjaga komitmen ARKIPEL sebagai salah satu pusat pengembangan wacana sinema di Indonesia, selama 9 hari kami kembali menghadirkan beberapa program seperti Forum Festival, Pameran Kultursinema, Kompetisi Internasional, Program Kuratorial, Presentasi Khusus, Penayangan Khusus, dan Candrawala. 28 filem dalam program Kompetisi Internasional kami harap dapat memberikan gambaran umum tentang eksperimentasi sinema di berbagai belahan dunia. Filem-filem dalam program Candrawala kami tetap tampilkan dan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sinema Indonesia di masa mendatang. Forum Festival kembali hadir dengan mengundang praktisi, aktivis, akademisi, dan perwakilan dari komunitas filem dari Indonesia dan negara-negara lainnya untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan jaringan, karena kita terus butuh aktivisme-aktivisme yang lebih masif untuk mengamplifikasi persoalan sosial dan budaya lewat sinema. Kita juga akan menyaksikan satu program penting tentang gagasan sinema eksperimental Indonesia lewat filem-filem yang dibuat oleh Sardono W. Kusumo, seorang tokoh tari kontemporer Indonesia. Sementara itu, pameran Kultursinema tahun ini memasuki kali ke-6, dengan tajuk “Gelora Indonesia�. Pameran ini akan menampilkan seri dokumenter Gelora Indonesia yang diproduksi oleh Perum PFN pada dekade 1950-an – 1970-an. Pameran Kultursinema #6 akan dihelat di Museum Nasional selama ARKIPEL berlangsung. ARKIPEL mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Pusat Pengembangan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dukungan ini menandakan suatu perkembangan positif, bahwa telah meningkatnya perhatian Pemerintah terhadap bidang sinema semacam ini. Bagi ARKIPEL sendiri, hal ini merupakan suatu capaian tertentu dalam hal kemitraan. Semoga hubungan kerja sama antara Forum Lenteng dan Pemerintah dapat terus berlanjut dan memicu perwujudan berbagai inisiatif kreatif yang lebih baik di masa depan. Demikian juga dengan dukungan dari lembaga-lembaga kebudayaan negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga swasta, yang selama ini memfasilitasi Forum Lenteng dan mendorong terwujudnya berbagai ide kreatif yang berhubungan dengan filem, khususnya festival ARKIPEL.
viii
Kami juga berterima kasih atas kolaborasi yang terjalin dengan rekananrekanan kami baik yang telah sejak awal bekerja sama maupun yang baru terwujud tahun ini seperti Perum PFN, Arsip Nasional Republik Indonesia, Museum Nasional, Goethe Institut Indonesia, Institut Franรงais Indonesien, Ontario Arts Council, dan Ford Foundation. Kolaborasi seperti ini adalah salah satu langkah penting dalam membangun dan mempertahankan jaringan antarfestival filem, kurator, penonton dan pembuat filem yang otomatis juga membuka akses dalam hal produksi dan distribusi pengetahuan yang lebih luas, baik bagi masyarakat Indonesia maupun dunia dalam ranah sinema dokumenter dan eksperimental. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada mitra-mitra festival, komunitas rekanan, seniman, para penonton, dan tak lupa kepada semua anggota Forum Lenteng yang telah bekerja keras untuk mewujudkan ARKIPEL Bromocorah, dan juga pada para relawan yang siap bekerja selama Bulan Agustus ini. Kami akan selalu menyambut masukan, gagasan, dan saran dari Anda semua. Selamat berfestival. Jakarta, 9 Agustus 2019
ix
NOTES FROM FESTIVAL DIRECTOR Yuki Aditya
In its seventh year, more than 1,200 film titles have been submitted from around 60 countries for the International Competition section. And 120 of the 1,200 films made by Indonesian directors. 51 films will be screened during the ARKIPEL 2019, which is divided into several sessions, such as the International Competition Program, Curatorial Program, Candrawala Program, Kultursinema Exhibition Program, Special Presentation Program, Special Screening Program, and Forum Festival. The entire programs this year will be held from 18 to 26 August 2019. When we started ARKIPEL for the first time in 2013, our assets were our knowledge on cinema, friends, and existing networks. We didn’t know yet who would come to the festival and who would submit the films to us. Until now we are always enthusiastic when preparing the festival because this kind of film festival should always exist. Film festival such as ARKIPEL should always exist, to talk about things that have not been discussed much in our cinema; something uncounted. Because we believe that the potential for experimentation in cinema is broad and will always progress. Our theme this year, Bromocorah, experimentation in cinema is expected to break out from the steady system, be it visual language or narrative style. The programs at ARKIPEL are always intended to open discussion on socio-cultural issues with cinema as its medium, along with its nature of experimentation. In order to maintain ARKIPEL’s commitment as one of the centers for the development of cinema discourse in Indonesia, we will again present several programs such as Forum Festival, Kultursinema Exhibition,
x
International Competition, Curatorial Program, Special Presentation, Special Screening, and Candrawala. We hope that the 28 films in the International Competition program can provide an overview of experimentation in cinema from various regions. The films in Candrawala continues to showcase and contributes positively to Indonesian cinema in the future. Forum Festival is inviting practitioners, activists, academics, and representatives from the film collectives in Indonesia and other countries to share experiences, knowledge, and networks because we continue to need more massive activism to amplify social and cultural issues through cinema. We will also showcase an important program on the idea of Indonesian experimental cinema through the films of Sardono W. Kusumo, a contemporary figure of Indonesian dance. Meanwhile, this year’s Kultursinema exhibition is entering its 6th time, titled “Gelora Indonesia.” This exhibition will feature the documentary series Gelora Indonesia produced by Perum PFN in the 1950s - 1970s. The Kultursinema #6 exhibition will be held at the National Museum during ARKIPEL. ARKIPEL expresses our gratitude for the support from the Film Development Center, Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia. This support signifies a positive development that the government has increasing its attention to this kind of cinema. For ARKIPEL itself, this is a particular achievement in terms of the partnership. May the cooperative relationships between Forum Lenteng and the government continue and trigger the realization of more creative initiatives in the future. Likewise, the support of cultural institutions of friendly countries and private institutions, which have been facilitating Forum Lenteng and encourage the realization of creative ideas related to cinema, in particular, ARKIPEL as a film festival. We are also grateful for the collaboration that has been established with our partners both from the beginning of ARKIPEL and which newly realized this year such as with Perum PFN, the National Archive of the Republic of Indonesia, National Museum, the Goethe Institut Indonesia, Français Indonesien Institute, Ontario Arts Council, and Ford Foundation. These collaborations are important step in building and maintaining a network of film festivals, curators, audiences and filmmakers that also automatically open access to wider production and distribution of knowledge for Indonesian xi
in particular and the world in general in the field of documentary and experimental cinema. We would like to thank our festival partners, partner communities, artists, audiences, and to all members of Forum Lenteng who have worked hard to organize ARKIPEL 2019 - Bromocorah, as well as anyone who are ready to help during the festival. We will always welcome your feedback, ideas, and suggestions. See you at ARKIPEL. Jakarta, 9 August 2019
xii
KOMITE EKSEKUTIF / E XECUTIVE COMMIT TEE
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL.
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Art Institute of Jakarta (IKJ), and is now the Chairman of Forum Lenteng and the ARKIPEL Artistic Director.
Yuki Aditya (Jakarta, 1981) adalah pegiat kebudayaan. Lulusan Jurusan Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia. Aktif berkegiatan di Forum Lenteng dan sejak tahun 2013 menjadi Direktur Festival ARKIPEL.
Yuki Aditya (Jakarta, 1981) is a cultural activist. He graduated Fiscal Administration at the University of Indonesia. He is a member of Forum Lenteng and since 2013 he becomes the Festival Director of ARKIPEL.
Prashasti Wilujeng Putri (Jakarta, 5 Desember 1991), seorang seniman performans dan manajer seni. Menamatkan pendidikan di bidang Kriminologi di Universitas Indonesia tahun 2014. Ia juga merupakan penari dari Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah dan Komunitas Tari Radha Sarisha. Aktif di 69 Performance Club dan Milisifilem Collective.
Prashasti Wilujeng Putri (b. Jakarta, 5 December 1991) is a performance artist and art manager. She graduated in Criminology at the University of Indonesia in 2014. Dancer of Radha Sarisha dance community and Central Java Pavilion Taman Mini Indonesia Indah. She is active in 69 Performance Club and Milisifilem Collective.
Hafiz Rancajale Artistic director
Yuki Aditya
Festival Director
Prashasti Wilujeng Putri Festival Manager
xiii
KUR ATOR / CUR ATORS
Afrian Purnama (Jakarta, 1989) adalah kritikus dan kurator film, anggota Forum Lenteng, dan penulis utama di Jurnal Footage (www. jurnalfootage.net). Lulus dari Jurusan Ilmu Komputer, Universitas Bina Nusantara, tahun 2013.
Afrian Purnama (Jakarta, 1989) is a film critic and curator, a member of Forum Lenteng and a main writer at Jurnal Footage (www.jurnalfootage. net). He graduated Computer Science at the Universitas Bina Nusantara in 2013.
Afrian Purnama Akbar Yumni (Jakarta, 1975) adalah kritikus, kurator filem, dan anggota Forum Lenteng, bertanggung jawab untuk program Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). Sedang menempuh pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia juga bekerja sebagai peneliti lepas di Dewan Kesenian Jakarta.
Akbar Yumni (Jakarta, 1975) is a film critic and curator, and a member of Forum Lenteng, in charge of Jurnal Footage program (www.jurnalfootage. net). He studies Philosophy at Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. He is also a freelance researcher at Jakarta Arts Council.
Akbar Yumni
Dhuha Ramadhani
xiv
Dhuha Ramadhani (1995) adalah lulusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.Ia merupakan anggota Forum Lenteng dan bertanggung jawab sebagai pengurus harian program AKUMASSA. Tahun 2017, ia menjadi salah satu partisipan Akademi ARKIPEL, angkatan pertama, untuk kategori penulis/ kritikus film. Kini, ia juga merupakan partisipan kolektif Milisifilem yang berfokus pada estetika pembuatan filem.
Dhuha Ramadhani (1995) graduates from the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. He is member of Forum Lenteng as one of the participants for AKUMASSA program. In 2017, he became one of the ARKIPEL Academy’s participants, the first batch, for category of writer/ film critic. Now, he is also the participant of Milisifilem collective focusing of the aesthetic of filmmaking.
KUR ATOR / CUR ATORS
Scott Miller Berry
Scott Miller Berry adalah seorang sutradara dan aktivis kebudayaan yang tinggal di Toronto. Ia adalah Managing Director di Worksman Arts, sebuah organisasi seni dan kesehatan mental yang menyelenggarakan Rendezvous With Madness Film Festival. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Direktur di Images Festival dari tahun 2005 sampai 2015. Ia menerima Rita Davies Margo Bindhardt Award atas dedikasi kerja kebudayaan yang ia lakukan di Toronto dan ia pun menjabat sebagai Dewan Direksi Toronto Media Arts Center. Filem-filemnya kebanyakan dibuat pada medium film 16mm dan/atau Super 8 film. Biasanya ia mengangkat isu tentang kematian, duka, memori dan sejarah kolektif. Kadangkala semua hal tersebut ia olah secara manual. Filemnya yang berjudul ars memorativa ditayangkan di seksi kompetisi di Oberhausen setelah penayangan perdananya di Experimenta India di Bangalore. Filem tersebut juga pernah ditayangkan di Jakarta, Ottawa, Lisboa, MontrĂŠal, Seoul, Wina, Regina dan di penayangan tunggal saat musim gugur 2015 bersama Colectivo Toronto.
Scott Miller Berry is a filmmaker and cultural worker who lives in Toronto. He is Managing Director at Workman Arts, an arts and mental health organization that presents the Rendezvous With Madness Film Festival. Previously, he was Director at the Images Festival from 20052015. Recipient of the Rita Davies Margo Bindhardt Award for cultural service in Toronto, he sits on the Board of Directors of Toronto Media Arts Centre. Most of his films are shot on 16mm and/or Super 8 film, and address themes of mortality, grief, memory and collective histories and sometimes are processed by hand. His film ars memorativa screened in competition at the Oberhausen after debuting at Experimenta India in Bangalore. Recent screenings include Jakarta, Ottawa, Lisbon, MontrĂŠal, Seoul, Vienna, Regina and a fall 2015 solo screening with Colectivo Toronto.
KETUA KOMITE SELEK SI / HE AD OF SELEC TION COMMIT TEE Otty Widasari (Balikpapan, 1973) adalah seorang seniman, sutradara, pegiat media, salah satu pendiri Forum Lenteng, dan Direktur Program Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas (AKUMASSA) Forum Lenteng. Lulusan Seni Murni, Institut Kesenian Jakarta, tahun 2013.
Otty Widasari (Balikpapan, 1973) is an artist, filmmaker, media activist, one of the founders of Forum Lenteng, and Director of Community-Based Media Empowerment Program (AKUMASSA) at Forum Lenteng. She graduated Fine Arts at the Institut Kesenian Jakarta in 2013.
Otty Widasari
xv
JURI / JUROR
lihat h.xiii
see p.xiii
lihat h.xiv
see p.xiv
lihat h.xv
see p.xv
Mahardika Yudha (lahir di Jakarta, 1981) adalah seniman, kurator, peneliti seni dan filem, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Karyakaryanya telah sering dipresentasikan di berbagai perhelatan nasional dan internasional. Tahun 2017, ia menjadi salah satu Asisten Kurator untuk Pekan Seni Media yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Forum Lenteng.
Mahardika Yudha (born in Jakarta, 1981) is an artist, curator, art researcher, and one of the founder of Forum Lenteng. His works has been presented in several art events nationally and internationally. In 2017, he is one of the assistant curators for Pekan Seni Media organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng.
Hafiz Rancajale
Akbar Yumni
Scott Miller Berry
Mahardika Yudha
xvi
Forum Lenteng adalah organisasi non-profit berbentuk perhimpunan yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, dan mahasiswa komunikasi/ jurnalistik pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat itu untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas. ďż˝
Forum Lenteng is a non-profit collective based organization which was founded by artists, students, researchers, and cultural activists in 2003. The Forum has been working to develop media knowledge and cultural studies as an community based alternative education. The Forum is aiming to enact media and cultural knowledge for the society to lead a better life, building the awareness of media literacy, initiating and producing knowledge and distributing the knowledge universally.
www.forumlenteng.org info@forumlenteng.org @forumlenteng 2
Ketua / Chairperson Hafiz Rancajale Sekretaris Jenderal / Secretary-General Andang Kelana Keuangan / Finance Yuki Aditya, Pingkan Persitya Polla Penelitian & Pengembangan / Research & Development Mahardika Yudha / Anggraeni Widhiasih / Dhuha Ramadhani Produksi / Production Syaiful Anwar / Robby Ocktavian Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas / Director of Community Based Media Education Otty Widasari akumassa (www.akumassa.org) Manshur Zikri / Dhuha Ramadhani / Maria Silalahi Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net) Akbar Yumni & Afrian Purnama Arkipel (www.arkipel.org) Yuki Aditya Visual Jalanan (www.visualjalanan.org) / Toko Store (@toko.store) Andang Kelana / Syahrullah / Wahyu Budiman Dasta 69 Performance Club (www.69performance.club) Prashasti W. Putri / Pingkan Persitya Polla Milisifilem Collective Alifah Melisa / Robby Ocktavian Web & Social Media Lutfhan Nur Rochman 3
PERNYATA AN ARTISTIK
MEMBINGKAI YANG SISA-SISA Hafiz Rancajale
Aku adalah lelaki tengah malam Ayahku harimau, ibuku ular Aku dijuluki orang sisa-sisa Sebab kerap merintih, kerap menjerit Temanku gitar, temanku lagu Nyanyikan tangis, marah, dan cinta Temanku niat, temanku semangat Yang kian hari kian berkarat (…) Aku berjalan orang cibirkan mulut Aku bicara mereka tutup hidung Aku tersinggung peduli nilai-nilai Aku datangi dengan segunung api (…) Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam Orang sisa-sisa menangis Air matanya Api! — Iwan Fals, Air Mata Api, Mata Dewa, 1989
4
Suatu ketika, saya mendapat kabar dari sahabat di kampung, bahwa seorang kawan kami ditangkap oleh aparat kepolisian karena kasus perampokan yang ia lakukan bersama kawanannya. Beruntung, ia tidak ditembak oleh petugas saat penangkapan di jalur Trans Sumatra itu. Kawan yang ditangkap ini adalah salah satu tokoh pemuda yang sangat dihormati di kampung saya. Ia adalah anak seorang tokoh masyarakat, pandai bergaul, dan tempat anak-anak muda di kampung minta pertolongan saat mendapat masalah seperti perundungan, kekerasan, pemalakan, dan sebagainya dari pemuda kampung lain. Pada suatu waktu, bahkan masyarakat kampung kami memilihnya sebagai ketua pemuda. Kawan saya ini adalah seorang sahabat yang baik, punya loyalitas dan dedikasi yang sangat kuat dalam membela hal-hal yang terkait kampung kami. Terlepas dari tindakan kriminal yang ia lakukan di luar kampung, ia sangat dihormati. Sejak saya pindah ke Jakarta, kami jarang bertemu. Sesekali, kalau saya pulang kampung, kami kadang bertemu, dan bicara hal-hal yang ia lakukan bersama gerombolannya, sembari menyampaikan keinginannya bertemu Iwan Fals, sang idola. Kampung di kota kelahiran saya ini terkenal sebagai tempat para pelaku kriminal sejak tahun 1970-an. Kampung yang sekarang sudah tidak menjadi kampung lagi ini, banyak melahirkan tokoh-tokoh pemuda kampung yang secara bergiliran menjadi pelanggan setia rumah tahanan di kota kami. Namun, orang-orang yang sebagian saya kenal ini, tentunya, selalu saya pandang sebagai kawankawan yang baik, karena berlaku baik pada saya dan keluarga saya.
5
Ingatan pada kawan-kawan di kampung menjadi bahasan yang tak pernah lepas dalam diskusi-diskusi saya bersama kawan-kawan Forum Lenteng untuk tema ARKIPEL tahun ini. Tema Bromocorah memicu saya untuk melihat lagi kepingan-kepingan peristiwa bersama orang-orang yang saya kenal di masa-masa kecil di kampung. Tentu hal ini sangat menantang, saat ia dihadapkan pada bingkai kebudayaan, apalagi sinema. Bromocorah adalah medan sosial kebudayaan yang tak pernah tuntas. Di berbagai catatan, baik secara akademik, berita media massa, dan kosa kata yang beredar di masyarakat, ia dikenal dalam berbagai istilah lokal Indonesia, seperti; gali, jago, dan jawara. Di kampung, saya dan kawan-kawan sering menyebutnya akak. Dalam konteks masyarakat, ia sering ditempatkan dalam posisi yang cukup diperhitungkan, walau tidak menjadi yang utama. Ia berpihak kepada rakyat, di lain kesempatan ia berselingkuh dengan penguasa, di mayoritas masa ia memilih berdiri untuk dirinya sendiri. Dalam catatan kami di ARKIPEL, istilah bromocorah dapat disejajarkan dengan berbagai istilah di belahan dunia lain, seperti di Australia: bushranger; Eropa: highwayman; Amerika Barat: road agent; dan Amerika Latin: cangaco dan clandestine. Instrumen hukum mengerdilkan bromocorah menjadi istilah-istilah konstruktif yang sempit: pelanggar hukum, kriminal, preman, vigilante, ataupun residivis. Yang jelas, istilah-istilah itu belum mampu menopang luasnya kekhasan makna dari konsep bromocorah itu sendiri. Dalam setiap zaman, ia nyaris selalu ada meskipun tak pernah tampil di pusat, namun tidak pula pernah hilang sama sekali. Dalam kondisi nadirnya, ia berupa residu sistem yang tetap signifikan. Ia dengan caranya sendiri dapat mengelabui sistem, aparatus kekuasaan, elite intelektual, dan, bahkan, waktu. Ketidakpekaan kita dalam meresapi siasat kebertahanan bromocorah adalah pangkal bagi ketergelinciran ilmiah dalam jumudnya sistem. Di Indonesia, bromocorah memainkan peran unik dalam perjuangan kemerdekaan, revolusi 1945, dan peristiwa misterius 1965. Sedangkan pada suatu rentang masa di era 1980-an, fenomena bromocorah menjadi polemik tatkala Penembak Misterius (Petrus) diterapkan sebagai strategi manajemen konflik—penguasa mengontrol masyarakat lewat kebijakan yang tak diakuinya secara formal, tetapi ada, nyata dialami, dan menjadi sejarah. Di lain gejala, menjelang kejatuhan dua rezim di negara ini, sebagian turunan bromocorah dikelola sebagai alat politik kaum elite yang mewujud menjadi 6
berbagai organisasi masyarakat. Namun, makna bromocorah tetap abu-abu, ia tak sepenuhnya ditolak dan malah terus hidup berdampingan dengan elemen masyarakat lainnya. Kedinamisan masyarakat kita hari ini justru berkembang karena keberadaan dan persepsi masyarakat tentang bromocorah itu sendiri yang tak pernah statis. Membingkai bromocorah sebagai fenomena sastraik ketimbang testimoni historis akan dapat menjelmakan bromocorah sebagai sebuah “kemungkinan�. Seperti halnya diskursus seni bekerja, pembingkaian atas bromocorah dapat pula berarti mengonstruksi konsep progresivitas. Karena sifat kelabu dan karakteristik pesiasat ulung bromocorah, yang tidak serta-merta dapat diputuskan dalam dikotomi baik dan buruk, pada tingkatan tertentu menyiratkan kelenturan tafsir dan daya pikir spekulatif. Progresivitas yang terkandung dalam konsep bromocorah bisa membukakan kita peluang untuk menyelaminya lebih dalam di ranah sinema. Sejak awal berkembangnya medium ini, bromocorah telah menjadi persoalan yang tidak jarang direspon dan membuahkan banyak eksperimentasi, baik dari segi modus penceritaan maupun dari modus bahasa visualnya. Bahkan, tidak sedikit gerakan-gerakan sinema dunia, termasuk di Indonesia sendiri, berkembang dan berhasil menawarkan sebuah lompatan estetis; hal itu seiring dengan usaha para pegiatnya dalam membingkai subjek-subjek dan medan sosial bromocorah, yang tiada henti menggelitik kanon-kanon sinema dan merangsang skeptisisme terhadap rezim pengetahuan mapan, sembari melemparkan pertanyaan kritis atas realitas sosial yang selalu dijerat oleh batasan-batasan moral dan etik, norma, dan standardisasi oleh sistem kekuasaan. Dengan melibatkan konsep bromocorah ke wilayah sinematik dan lantas menariknya kembali keluar dari alam estetika tersebut, kita mungkin dapat menoropong dan menerjemahkan gejala-gejala global terkini dan performativitas-performativitas kontemporer. Sebab, dengan meyakininya sebagai tanda yang hampir selalu ada pada setiap zaman, bromocorah menjadi kosa kata kultural yang melaluinya kita bisa melihat bagaimana sesungguhya Modernisme—induk bagi kelahiran sinema—bekerja pada diri kita. Tabik, selamat menyelami dunia orang sisa-sisa!
7
ARTISTIC STATEMENT
FRAMING THE OUTCAST Hafiz Rancajale
I am the man of night My father is a tiger, my mother is a snake They call me outcast Because I often groaning, screaming My friends are guitar and a song Singing tears, anger and love My friends are faith, enthusiasm That are increasingly corroded (…) And corroder I walk, people pout I talk, they cover their nose I am offended, ignoring values I go to them with a mountain of fire (…) The man of night droops on the edge of the night The outcast cries The tears Is fire! — Iwan Fals, Air Mata Api, Mata Dewa, 1989
8
One day, I received a news from a friend in my hometown, that our friend was arrested by the police because of the robbery he committed with his gang. Luckily, he was not shot by officers during his arrest on the Trans Sumatra route. This captured friend was one of the respected youth leaders in my kampong. He is the son of a community leader, sociable, and is the person wherein young people in my kampong seek for help when they get into problems such as harassment, violence, bullying, and also youths from other kampong. At one time, even the people in my kampong elected him as the youth leader. He is a good friend, has very strong loyalty and dedication to defend matters related to our kampong. Despite his criminal activities outside the kampong, he is highly respected. Since I moved to Jakarta, we rarely meet. Every now and then, when I return home, sometimes we meet and talk about the things he did with his gang, while also telling his desire to meet Iwan Fals, his idol. This kampong in my hometown is known as a place for criminals since the 1970s. The kampong, which is no longer a kampong anymore, has given birth to many youth leaders who alternately become a loyal visitor of detention centers in our hometown. However, I always see these people, whom I know mostly, as good friends because they are good to me and to my family. The memory of my friends in the kampong becomes a topic inseparable from my discussions with Forum Lenteng fellows on the theme of ARKIPEL this year. Bromocorah as a theme has triggered me to look again at the fragments of events with people I knew from my childhood in my hometown. Of course, it is challenging to put these fragments in cultural frame, especially in cinema. Bromocorah itself is an ‘unfinished’ social-culture scene. In various 9
publications, whether in term of academic, mass media news, and vocabulary circulating in society, it is known in various local Indonesian words, such as; gali, jago, and jawara. In the kampong, my friends and I often call these kind of people as akak. In society, they are often respected and important, even though not as the most. They might side with common people at certain times, yet on another occasion, they could conspire with the authorities. In ARKIPEL’s preface, the term bromocorah is culturally alike as bushranger (in Australia), highwayman (in Europe), road agent (in West America), and cangaço or clandestine activists in (Latin America). The legal institutions, restricts the word bromocorah into limited constructive terms: outlaw, criminal, preman (‘Indonesian gangster’), vigilante, or recidivism. Those terms are in fact inadequate to contain vast characteristic of the decent meaning of the concept bromocorah. In every age, the bromocorah almost always exist, even though they never appear as the central narratives, but they also never disappear entirely. In their nadir of existence, they still constitute significant as residues of a system. In their own way, they might trick the system, apparatus of power, intellectual elites, and, even, the time. Our insensitivity to absorb the bromocorah’s stratagem of survival means the beginning of intellectual fallacy in this rigid system. In Indonesia, the bromocorah played a unique role during the struggle for independence, the revolution of 1945, and in the tragedy of 1965. While in the 1980s, the phenomenon of bromocorah came into polemics when an extrajudicial execution, Petrus, was used as a government’s conflict management strategy—the governmental authority controlled the society through enforcement that they did not formally admit, but it existed, was experienced, and has been part of Indonesian history. In other indications, ahead of the downfall of two political regimes in Indonesia, some of the derivatives of bromocorah were managed as elites’ political instrument which then manifest in the form of civil organizations. However, the meaning of bromocorah remains ambiguous, they are not rejected completely and instead coexist with other elements of society. The dynamics within society in Indonesia today is, in fact, developing because the existence of the bromocorah and our perception toward that concept itself are never static. To frame it as a poetic phenomenon rather than as historical testimony will transform bromocorah into a “potentiality”. Just like how the discourse of arts 10
works, framing the bromocorah can also mean constructing the concept of progressivity. Because of bromocorah’s ambiguous nature and its characteristics as the tactician, which cannot necessarily be specified in good-and-evil dichotomies, to a certain degree implies flexibility of interpretation and speculative thinking. The progressivity conceived in the concept of bromocorah can open us an opportunity to delve deeper in the realm of cinema. Since the birth of cinema, bromocorah has become a subject matter that is frequently responded to and triggers a lot of experimentation, both regarding the mode of storytelling and the mode of visual language. In fact, in many movements in cinema, including in Indonesia, the understanding of that concept grows and has succeeded in offering aesthetic leap. It is in line with the attempts of cinema activists to frame the subjects and social world of bromocorah, which perpetually teases the canons of cinema and stimulates skepticism towards the established knowledge regime. At the same time, they offer critical questions over social realities which are usually confined by moral and ethical boundaries, norms, and standardisation by the system of power. By encompassing the concept of bromocorah into the cinematic universe and then drawing it back again out of that aesthetic realm, we may be able to gaze and interpret current global symptom and contemporary performativities. Because, by believing it as a sign that almost always exists in every era, bromocorah becomes a cultural vocabulary through which we can see how actually the Modernism itself — the birth mother of cinema — works upon us. Welcome to the world of the outcasts!
11
12
13
MALAM PEMBUKAAN / OPENING NIGHT
Out Of In The Penal Colony: The Partisan performance by 69
Performance Club
Pada kesempatan resital kali ini, 69 Performance Club akan menghadirkan karya Out Of In The Penal Colony: The Partisan – sebuah edisi dari seri performans Out Of In The Penal Colony yang dirancang oleh Otty Widasari bersama Kelompok Teater. The Partisan hadir sebagai bagian dari karya Out Of In The Penal Colony yang masih berlangsung sebagai sebuah karya dalam progres (bukan presentasi karya final). Kemungkinan tersebut dibaca oleh anggota 69 Performance Club dengan melakukan sejumlah eksperimentasi lanjutan dalam upaya mengontekstualisasikan cerita pendek karya Franz Kafka (In The Penal Colony) dalam situasi media dan seni saat ini. Kata kunci The Man, Decipher, The Wound, dan The Script menemukan bentuk barunya dalam edisi kali ini. In this occasion, 69 Performance Club will perform Out of in The Penal Colony: The Partisan – an edition from the performance series entitled Out of in The Penal Colony, designed by Otty Widasari and The Theater Group. The Partisan is present as part of Out of in The Penal Colony work which is also still ongoing as a work in progress (rather than a final presentation work). Members of 69 Performance Club read that possibility by doing several further experimentations in the attempt to contextualize Franz Kafka’s short story (In The Penal Colony) in the current situation of art and media. Keywords The Man, Decipher, The Wound, and The Script found a new form in this edition.
69 Performance Club adalah sebuah inisiatif yang digagas oleh Forum Lenteng sejak tahun 2016 untuk studi fenomena sosial kebudayaan melalui seni performans. Kegiatan 69 Performance Club berupa workshop dan performans setiap bulan, diskusi, serta riset tentang perkembangan performans di Indonesia. Inisiatif ini terbuka untuk para pemerhati, peminat dan pelaku performans untuk terlibat secara aktif menjadi bagian dari pprogram-program 69 Perfomance Club.
14
69 Performance Club is initiated by Forum Lenteng since 2016 to study socio-cultural phenomenon through performance arts. 69 Performance Club is doing activities such as conducting workshops, monthly performance, discussion, and research on the development of performance arts in Indonesia. This initiative is open to observers, enthusiasts, and performance actors to engage actively and be part of the 69 Performance Club programs.
FILEM PEMBUKA / OPENING FILMS
Chinafrika. mobile Daniel Kรถtter Germany, 39 mins, Color, 2017
Steine Stones Jรถrn Staeger Germany, 8 mins, Color, 2018
Adegan Yang Hilang dari Petrus Arief Budiman (Indonesia) Indonesia, 5 mins, Color, 2019
Chairs Avner Pinchover (Israel) Israel, 12 mins, Color, 2018
15
MALAM PENGHARGAAN / AWARDING NIGHT
Plague (Electron Edition) performance by Theo
Nugraha
Theo Nugraha akan menampilkan karya Plague (Electron Edition). Karya ini merupakan pengembangan karya pertamanya berjudul Plague dalam keikutsertaannya di 69 Performance Club edisi ke 14 dengan tajuk FRAMED BODY. Tubuh telah lama menjadi instrumen penciptaan bunyi melalui bermacam-macam cara kerjanya. Kemudian, perangkat elektronis hadir dan menawarkan kemudahan eksplorasi akan bunyi. Praktik dan temuannya memberikan peluang eksperimentasi lebih dengan memanfaatkan cara kerja elektronis. Dalam karya ini, selain mengeksplorasi tubuh dalam penciptaan bunyi yang menghasilkan bercak merah sebagai bentuk visualisasi bunyi, Theo juga bermain–main dengan kemungkinan cara kerja tubuh memproduksi bunyi melalui arus perangkat elektronis. Tubuh, sebagai instrumen bunyi utama, bertransformasi melalui kerja elekronis yang bersifat sesaat.
Theo Nugraha will perform Plague (Electron Edition). This work is the development of his first work titled Plague in his participation in 69 Performance Club 14th edition titled FRAMED BODY. The body has long been an instrument of sound creation through its various mechanism. Then, electronic device exists and offers an easy exploration of sound. Its practices and findings provide more experimentation opportunities by utilizing the electronic mechanism. In this work, aside from exploring the body in the creation of sounds that produce red spots as a form of sound visualization, Theo will also play with the possibility of the body’s mechanism in producing sound through the flow of electronic devices. The body, as the main sound instrument, is transformed through momentary electronic mechanism.
Theo Nugraha adalah seniman sound asal Samarinda. Dia telah menjadi bagian dari kancah eksperimental Indonesia sejak 2013. Diskografinya hampir mencapai 200 rilis, termasuk karya solo, album split , kolaborasi, remix, dan kompilasi. Dia sekarang belajar eksperimentasi visual di Milisifilem Collective dan juga menjadi editor untuk kolom VJ> Play di Visual Jalanan (www.visualjalanan.org).
Theo Nugraha is a sound artist from Samarinda. He has been part of the Indonesian experimental scene since 2013. His discography is almost 200 releases, including solo works, split albums, collaborations, remixes, and compilations. He is now studying experimental visual in Milisifilem Collective and also being the editor for VJ> Play column at Visual Jalanan (www.visualjalanan.org ).
16
PENGHARGAAN / AWARDS
ARKIPEL Award diberikan kepada filem terbaik utama secara umum yang, dalam penilaian dewan juri, memiliki pencapaian artistik yang tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perspektif kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa ungkap visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian terbaru akan pandangan dunia kontemporer kita sebagai diskursus yang menantang cara pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subject matter-nya. Filem terbaik dalam kategori ini, secara khusus, dapat dipandang mewakili pernyataan ARKIPEL akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap gambaran dunia yang di satu sisi telah sama-sama disepakati, namun di sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali. Jury Award diberikan kepada filem terbaik versi pilihan dewan juri, dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa ungkap yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman estetis, pergulatan atas konten, serta penjelajahan subjektif akan teks/konteks ke dalam representasi terkininya. Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk kategori ini semata-mata bersifat individual oleh karena isu dan pendekatannya tidak selalu berlaku secara umum di beragam konteks budaya dan sosial.
17
Peransi Award diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada aspekaspek kemediuman dan sosial. Secara khusus, kategori ini difokuskan kepada pembuat filem berusia muda. Penghargaan terbaik dalam kategori ini terilham dari nama David Albert Peransi (1939 –1993), seniman, kritisi, guru, dan tokoh penganjur modernitas dalam dunia senirupa dan sinema dokumenter dan eksperimental di Indonesia. Forum Lenteng Award, sebagai kategori penghargaan untuk filem terbaik pilihan Forum Lenteng, kategori ini merefleksikan posisi pembacaan dan sikap kritis kami atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran estetika dan konteks. Penghargaan diberikan kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi keberanian ekperimentasi. Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem seleksi dan mengajukan unggulan terbaik di kategori ini untuk diperdebatkan dengan Dewan Juri ARKIPEL.
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on the jury’s view, has the highest artistic achievement and potential power to give meanings to its contextual perspective choice. By the content, all those aspects through the film’s visual expression should be successful in offering the newest representation of our contemporary world view as a challenging discourse for the general view over a particular situation revealed by the subject matter. The best film in this category mainly can be considered as representing ARKIPEL’s statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world that on the one hand is approved of and on the other hand demands definition and re-definition.
18
The Jury Award is given to the best film of jury’s choice based on the consideration in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity in revealing and communicating aesthetic experience, struggle over the content and subjective exploration over text/context to its contemporary representation. It is highly likely that the best film in this category offers values of individual nature because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts. Peransi Award is given to a cinematic work that in special and fresh way experiments on various possible approaches of the medium and social aspects. Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award itself is inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher and exponent of modernity in the art world as well as documentary and experimental cinema in Indonesia. Forum Lenteng Award, as a category for the best film selected by Forum Lenteng, reflects our reading position or critical attitude toward the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level. The award for this category is given to the film deemed the most open in offering communicative values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a different social approach on art and broader experimental possibilities. A number of the jury (three) from Forum Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue.
19
C ATATAN SELEK TOR
BROMOCORAH: KENDALI KEAGENSIAN PROSUMER Otty Widasari
Perjalanan sinema berawal dari masa peralatan teknologis mulai dikembangkan, dan sejak masa itu (dan tentu sejak sebelumnya) ada satu sisi dalam kebudayaan manusia yang berhasrat untuk mengembangkan teknologi untuk memenuhi hasrat manusia akan eksistensi diri melalui gambar-gambar (bergerak). Gambar-gambar ini diinspirasi dari kenyataan. Entah bagaimana hasrat ini memenuhi hasratnya sendiri untuk berkembang, yang pasti dia membutuhkan seperangkat alat pendukungnya, yaitu kamera, perangkat yang bisa mengimitasi kenyataan, dan sebuah layar, yaitu bidang di mana hasil reproduksi tersebut diproyeksikan. Saya bertanya-tanya, mengapa kenyataan harus diimitasi? Saya hanya bisa mengira-ngira jawabannya, sama seperti saat kecil, saya bertanya-tanya sendiri, kenapa ketika saya mengingat bentuk ayam di dekat rumah, saya merasa harus menggambarnya. Lalu untuk apa saya gambar ayam tersebut? Dengan tidak mirip pula, alias menyederhanakan bentuknya. Si ayam tetap ada di dekat rumah. Gambar saya pun ada. Jadi, si ayam memiliki replikanya di kertas yang tersimpan di meja belajar saya. Pertanyaan berikutnya, mengapa reproduksi kenyataan itu harus dipertontonkan ke publik? Lagi-lagi saya mengira-ngira jawabannya sama seperti saat saya, waktu kecil, ingin sekali memperlihatkan gambar ayam tersebut di atas kepada ayah saya. Yang saya dapat dari pamer gambar tersebut hanyalah sekadar rasa senang mendapat pujian. Lalu saya akan menggambar ayam lebih banyak lagi. Dan saya makin percaya diri untuk memperlihatkan gambar ayam saya ke publik yang lebih luas: saudara-saudara, teman-teman
20
di sekolah, dan para orang dewasa yang bisa memberi pujian dan memberi banyak rasa senang kepada seorang anak kecil yang pandai menggambar. Untuk membagikan reproduksi kenyataan yang telah direkam kamera, dibutuhkan sebidang layar tempat reproduksi itu diproyeksikan. Dia selalu harus diproyeksikan. Diputar-ulang, diproyeksikan, atau kini kita sebut ditransmisikan, melalui bidang layar. Kenyataan (yang terkait dengan momen dan waktu) tidak bisa diputar-ulang. Dia hanya bisa diingat. Maka kita membekukannya dalam gambar-gambar, atau citra-citra (fotografi), kemudian ada hasrat lebih jauh untuk menghidupkannya (animating) dengan membuatnya bergerak (film). Saat publik memberikan semua tanggapannya dalam bentuk apa pun, pada saat itulah ada persinggungan antara penciptaan dan publiknya, yang disebut kritisisme. Salinan ingatan ini kelak menjadi bahan refleksi dan kemudian menjadi sebuah daya dorong kepada kultur masyarakat untuk melakukan tugas alamiahnya mengembangbiakkan citra-citra ingatan itu secara mutual. Langgam budaya bisa berubah-ubah dan bermutasi, sebagaimana citracitra juga bermutasi. Namun, hasrat manusia terhadap citra-citra selamanya sama. Selain hasrat, ada satu perangkat yang tetap selalu dibutuhkan di tiap babak perubahan langgam dan citra-citra itu, yakni sebuah layar untuk memproyeksikan hasrat manusia terhadap citra-citra. Dari catatan penyeleksian filem-filem yang masuk ke dalam program Kompetisi Internasional ARKIPEL tahun lalu, sebagaimana biasa, para selektor mempertimbangkan peluang konteks yang muncul dari filem-filem yang masuk. Secara garis besarnya, kategorisasi bagi produksi naratif dan non-naratif terbedakan dalam topik-topik sosial di satu pihak, dan isu-isu personal di pihak lain, baik atas nama ‘dokumenter’, maupun ‘eksperimental’. Kategorisasi tersebut, salah satunya, lantas berkembang ke lingkup wacana yang menunjukkan visualisasi eksperimental namun juga melalui ragam representasi performativitas yang umumnya diwujudkan ke dalam bentukbentuk performativitas tubuh. Dari tahun ke tahun, sebaran filem yang masuk ke dalam kotak penerimaan filem ARKIPEL, beranjak secara gradual, baik dari segi tema, gaya tutur, isu yang diangkat, maupun eksperimentasi di semua bidang-bidang tersebut. Uniknya, tahun ini ada perubahan yang cukup mencolok dari sebaran 21
filem-filem yang masuk dan kemudian terpilih untuk dikompetisikan: bukan persoalan tubuh, bukan isu, bukan pula persoalan gaya naratif maupun non naratif, melainkan pada perihal yang mempersoalkan bagaimana gambargambar diproyeksikan atau ditransmisikan pada penoton. Persoalan kamera dan layar! Refleksi Sebaran ke 28 filem yang ada dalam program Kompetisi Internasional ARKIPEL tahun ini memberi gambaran luas tentang perkembangan industri teknologi yang sejalan dengan kelahiran Modernisme di Barat, membuat segalanya memiliki keteraturan. Kata kunci yang diketahui dari revolusi sebuah zaman itu adalah: teratur, terstruktur, tersistem. Kamera menyajikan kerja mekanis yang sangat terukur, sambil menyembunyikan ketidakteraturannya. Lebih tepatnya, sambil mengabaikan ketidakteraturan. Bersifat komposisif, avangardisme yang musikal, dan sekat-sekatnya memberikan pengalaman tentang persejajaran human dengan humanoid. Kenyataan dunia diimitasi dengan koreografi urutan dan komposisi, menyajikan imitasi kenyataan secara performatif, baik melalui performativitas kamera, ruang, konsep tubuh, maupun montase. Itu semua menjadi siklus kemapanan, kemudian menjadi struktur yang sistematis. Namun, ada banyak juga karya-karya sutradara ini yang memberikan gambaran mengenai persoalan yang lebih jauh daripada sekadar persoalan hasil kerja teknologis dari perangkat yang sangat terukur itu sendiri. Karena politik kebertahanan sosial-ekonomi negara-negara non-Barat, penggunaan kamera jadi bergeser ke fungsi sebaliknya, yaitu mengabaikan keteraturan. Struktur sistemik hanya tersisa di dalam perangkat kamera dan layar, karena memang benda-benda tersebut lahir dari rahim teknologisme. Kamera yang sebelumnya merupakan pembatas jarak antara realitas dan subjek produsen reproduksi kenyataan akhirnya justru malah kerap memreteli ideologi perangkat teknologi itu sendiri, sehingga jarak tak lagi tampak. Eksperimentasi pemretelan itu bisa menumbuhkan empati yang berbeda dari spektator terhadap reproduksi kenyataan, dan meruntuhkan pandangan mapan Modernisme terhadap konsep “yang lian�. Sedangkan sinema, yang sejak awal sejarahnya diwakilkan oleh kamera, pada titik ini ikut beraksi memreteli
22
sistem, yang dalam kasus catatan selektor ARKIPEL tahun ini, mampu mengungkap konsep politik kebertahanan Bromocorah. Penghancuran ide penyerupaan realita makin dilakukan oleh para pemegang kendali sirkulasi citra-citra terhadap aksi mengimitasi kenyataan, hingga ke limitnya. Kendali Keagensian Prosumer Para pembuat filem yang kini tersebar hingga ke wilayah tepi-tepi sistem, memiliki keberdayaan untuk menciptakan estetika yang berlawanan dengan pakem modern tempat teknologinya dilahirkan. Walaupun kejaran capaiannya adalah menyerupai estetika mapan modern, namun kekuatan lokalitas yang memiliki ukuran berbeda akhirnya tetap kukuh sebagai keniscayaan sebagaimana hakikatnya sebuah lokalitas. Karena percepatan sebaran citracitra itu bersirkulasi di dunia, lokalitas dengan luwes menyelinapkan tubuhnya dan mensejajarkan diri dengan ukuran biner teknologi. Kamera, yang kini selain mengambil posisi berkawan dengan subdominan, juga memberi kesempatan kepada visual vernakular untuk membuka diri dengan lebih mudah kepada dunia global. Siklus dominan citra-citra yang beredar sekarang tampaknya dikendalikan oleh mereka yang pegang kamera, bahkan oleh mereka yang hanya duduk di depan layar komputernya. Replikasi kenyataan terus menggandakan dirinya berulang kali hingga objek makin menjauh dari materi asalnya. Bahkan sinema saat ini malahan menelaah citra dirinya sendiri dan jadi memiliki kemampuan layaknya otoritas, yaitu mendekonstruksi sejarah. Saat berhadapan dengan objek, sinema – dalam hal ini kamera – adalah aktor sebenarnya yang mereplikasi objek tersebut dalam bentuk yang sesuai dengan hasrat komunikasi sinema. Perannya menggiring persepsi penonton untuk memahami makna-makna susunan gambar. Namun, perubahan langgam kultur sekarang mengharuskan kamera dan layar sebagai perangkat sinematik ikut mereplikasi dirinya secara tak terbatas hingga dia menjadi anonim, untuk memainkan peran lainnya. Saat berhadapan dengan sebuah kultur yang tidak memiliki ukuran yang sama, kamera juga harus memainkan peran sebagai spektator, bekerja dengan cara menyesuaikan ukuran antarkultur. Maka kamera sekaligus sinema saat ini memiliki peran ganda, yaitu aktor sekaligus spektator. Tentu saja ada distorsi dalam aksi itu. Distorsi 23
pembingkaian, entah dalam bentuk narasi, bahasa, atau apa pun. Namun, karena peran spec-actorship-nya, distorsi bisa dilihat kemudian sebagai sebuah jembatan, karena pemahaman yang terjadi kini terletak di benak kultural publik. Sinema selalu melakukan pembesaran realita. Dengan peran ganda tadi, pembesaran tersebut sekarang dilakukan oleh benak kultural penonton. Pembesaran tidak lagi selalu dilakukan oleh kamera, melainkan oleh sudut pandang kutural hasil pembauran vernakularitas. Maka montase terukur filem sudah berubah menjadi konsep, karena ada penyimpangan dalam usaha penyamaan ukuran. Konsep desain dalam menyusun gambar sesuai ukuran dihancurkan oleh perubahan ide spektakel. Ada proses permainan bolak-balik pergantian peran, antara siapa orang yang memegang kendali di belakang kamera, dengan siapa yang berkuasa di depan layar. Tampaknya, hegemoni bahasa filem mulai dilarutkan oleh budaya prosumer sekarang yang mengaburkan batasan tentang ukuran-ukuran. Durasi, genre, ataupun bahasa yang spesifik bukanlah lagi perkara. Tapi justru ini mengindikasikan bahwa sinema saat ini benar-benar memegang peran keagensiannya sebagai cabang seni yang mampu menjadi pisau bedah untuk melihat persoalan sosial. Langgam budaya bisa berubah-ubah dan bermutasi, sebagaimana citracitra juga bermutasi. Namun, hasrat manusia terhadap citra-citra selamanya sama, yaitu hasrat untuk menghidupkan gambar-gambar yang merupakan replikasi kenyataan. Saat semua peran hegemonis sudah dipegang anonim yang banyak, tersebar dan terhubung, kendali wacana berada di tangan para agen kebudayaan yang sadar. Karena sinema adalah artefak kultural yang diciptakan oleh kultur yang spesifik dan merefleksikan kultur-kultur tersebut, dan sebagai timbal-baliknya, berefek pada sinema itu sendiri, maka sebuah festival harus memainkan peran keagensiannya sebagai layar yang memproyeksikan mutasi kebudayaan.
24
SELEC TOR NOTES
BROMOCORAH: POWER AGENCY OF PROSUMER Otty Widasari
The course of cinema began at the time of the technological apparatus started to be developed. Since then—and of course, even before that time—there’s one aspect in human culture tend to advance the technology to fulfill the desire of human existence by means of the [moving] images. Those images were inspired by reality. The desire somehow needs to develop itself, but it surely requires a set of supporting tools, such as camera, other kinds of tools which can be used to imitate the reality, as well as the screen—a surface on which the result of reproduction should be projected. I’m asking myself, why must the reality be imitated? I’m just guessing the answers. Just like when I was a child, I used to question: why did, when I recalled the image of a hen near my house, I feel that I have to draw it? The drawing was not even consimilar; I just simplified its body shapes. The hen was still near my house, so did my drawing. In other words, the hen already had its replication on the paper stored in my desk. The next question is, why does the reproduction of reality have to be shown before the public? Again, I’m assuming the reason just like when, in my childhood time, I really wanted to show the drawing to my father. What I got from showing off my drawing was simply pleasure of being praised. So, then I drew more pictures of the hen. And I became more confident to show them before the wider audience: to my brothers and sisters, my friends at school, and other adults who would praise me and gave much happiness to a talented girl. To share a reproduction of reality that had been recorded by the camera, a surface of screen onto which the image projected is needed. It always has to be projected. It is re-played, re-projected, or—as we call it today—transmitted 25
through the screen. The reality (related to moments and time) is impossible to re-happen; it can be only remembered. Thus, we eternize it into pictures, or images (photographs), followed by our further desires for animating them as moving images (film). The moment when the public gives responses in any form, it is the era when the creation truly intersects with its publics. Such an intersection is criticism. Later on, replication of memories probably becomes reflective matters as well as an impetus in our culture so that people do their natural role to evolve such memories mutually. Cultural style can be fluctuating and mutable, as the images also mutate. However, the human desire of image is forever the same. In addition to desire, there’s another device required in each stage of such style and image transformation, that is to say, the screen to project human desire of image. Based on our notes on the selection of submitted films in the International Competition program at ARKIPEL this year, as usual, the selectors considered potential contexts raised from the accepted films. Broadly noting, categorization of narrative and non-narrative production is divided into certain social topics on the one hand, and personal issues on the other, both in the name of “documentary” and “experimental.” Such categorization, among others, then not only developed into the discourse indicating experimental visualization but also through kinds of representation of performativity generally manifested in the form of corporeal performativity. Year by year, the statistical distribution of the films received by ARKIPEL’s server is gradually moving, both in terms of features of theme, styles of expression, the raised issues, and the experimentations in all of those aspects. Interestingly, there’s a quietly striking change in that distribution: it is no longer about the bodies and issues, neither the matter of narrative or nonnarrative styles, but it is all about the way how the images are projected and transmitted to viewers. It’s all about the camera and the screen! Reflection Diverse features distributed by 28 films in ARKIPEL’s International Competition program this year illustrates our extensive reading on the development of technological industry which is in line with the birth of Modernism in the West, a system that made everything has orderliness. 26
Given keywords of such a revolution are well-organized, structuralized and systemized. The camera provides a measurable mechanism while hiding its arbitrariness. More precisely, it denies its irregularity. It is composable, musically avant-gardist, and its barriers give an experience of aligning the human with the humanoid. The reality of the universe is imitated in sequential choreographs, and its composition performatively delivers such imitations both through cameras, spaces, concepts of body, and montages. They’re all to become the cycle of establishment, then become systematic structures. However, not a few of these filmmakers’ work indicates further questions rather than just the matters of technological results of those measurable devices themselves. Due to the non-Western countries’ politic of survival, the use of camera inverts its original function, that is to say: overruling the regularity. Systemic structures remain only in the camera and screen devices because indeed those objects were born from the womb of technologic-ism. The camera, which previously constitutes a spacer between the reality and the subjects who regenerate reality, eventually, even strip its ideology so that the distance no longer exists. Such stripping experiments can bring forth differential empathy from the spectator in facing the reproduction of reality, and overthrow established perspective of Modernism towards “the other.” Whereas cinema, which from the beginning of its history was represented by the camera, at this point participates in stripping down the system, which in the case of the ARKIPEL selector’s note this year, was able to unveil Bromocorah’s politic of survival concept. A deconstruction of the idea of reality resembling is increasingly carried out, by the control holders of image circulation, towards the action of reality imitation, up to its limit. Power Agency of Prosumer Filmmakers who are now spreading even to the edges of the system have their power to create counter-aesthetics against the modern standards from which their technological devices were actually born. Even though their pursued achievement is to resemble established aesthetics of the Modern, the power of localities which have a different criterion, in fact, constantly dauntless is a necessity, as their nature. Due to the acceleration of those images’ distribution 27
are circulating in our world, such localities flexibly slink in and make equal themselves with technology’s binary standards. The camera, which is now aligning itself with the subdominants, also allows visual vernacular to open themselves to the global world easily. The dominant cycle of images circulating now seems to be controlled by those who hold the camera, even by those who just sit in front of their computer screens. Replications of reality continue to replicate themselves repeatedly until the framed objects getting further away from their original characteristics. Even cinema today examines its own image and thus has the ability just like an authority; in other words, the ability to deconstruct history. When dealing with objects, the cinema, in this case the camera, is the actual actor who replicates the object in a form consistent with the cinema’s desire for communication. Its role leads the audience’s perception to understand the meaning of the pictorial arrangement. However, the changes of style in our latest culture requires the camera and screen, as cinematic devices, also to replicate themselves infinitely until they become anonymous, to play other roles. When dealing with a culture that does not have the same standards, the camera also seems to play the role of spectators, working by adjusting the gauge between cultures. So, the camera, as well as cinema, now has a dual role; the actor as well as spectator. Of course, there is a kind of distortions in action: the distortion of framings, either in the form of narration, language, or whatever. However, due to the role of the spec-actorship, such distortions can be seen as bridges, because the current understanding lies in the public’s cultural mind. Cinema always enlarges reality. With this double role, the enlargement is now carried out by the cultural mind of the audience. Enlargement is no longer always done by a camera, but rather by a cultural point of view of mixing vernacularity. Then the measurable montage of the film has turned into a concept because there are irregularities in the effort of generalizing the standards. The changes in the spectacle ideas destroyed the concept of design in arranging images according to normal standards. There is a process of playing back and forth of the role change, between those who hold control behind the camera and those who also have power in front of the screen.
28
The hegemony of film language is beginning to be dissolved by a presentday prosumer culture that blurs the boundaries of measurements. Duration, genre, or specific language is no longer a case. But precisely such a situation indicates that the cinema currently plays the role of its agency as a branch of arts, which can become a framework to address social problems. Cultural style can be fluctuating and mutable, as the images also mutate. However, human desire of image is forever the same; that is a desire to enliven the images constituting the replication of reality. When all hegemonic roles are held by the plentiful, spread, and networked anonyms, the control of discourse is on the hand of conscious cultural agents. Because the cinema is a cultural artifact thought out by specific cultures and reflects such cultures, film festivals must play their agential role as a screen on which cultural mutation is projected.
29
30
KOMPETISI INTERNASIONAL
31
Kompetisi Internasional
IC 1
ALEGORI POLITIS BROMOCORAH DARI DETERMINISME TEKNOLOGI Manshur Zikri Selektor
Gangguan subtil bagi sistem muncul dari keseharian orang-orang yang berada di “pinggiran”, sebagaimana direfleksikan oleh dua filem yang dikurasi di sini. Meskipun tidak selalu tuntas menggoyahkan kemapanan yang mendominasinya, model kerja, perilaku, atau tanggapan “menyimpang” kaum pinggiran (di luar sistem) melestarikan kritisisme terhadap determinandeterminan sosial dan ekonomi. Begitulah, agaknya, satu ciri keberadaan bromocorah di masyarakat. Akan tetapi, gagasan lain yang perlu dielaborasi dalam kuratorial ini ialah determinisme teknologis yang secara proporsional terbingkai pada masingmasing filem sebagai persoalan bahasa. Dari segi yang berbeda satu sama lain, isu teknologi yang menyertai narasi masing-masing filem mengundang pertanyaan terkait penuturan filemis sutradara dalam mengungkap identitas subjek dan/atau objek yang dipengaruhi oleh hubungan antara suprastruktur dan infrastruktur. “Siklus”, kata kunci untuk mengacu benang merah yang menautkan kedua filem, adalah jembatan untuk menelusuri kausalitas penentu modus bahasa masing-masing sutradara. Pada Big Brother Hui (2019) karya Feng Yangyang, “siklus” termaksud ialah karir kriminal Hui, dan adalah segi yang mesti disiasati oleh teknologi — kamera sutradara — saat memilah realitas paling personal yang terselip di antara peran sosial protagonis. Sementara itu, “siklus” di dalam Chinafrika. mobile (2017) karya Daniel Kötter merujuk kepada alur produksi telepon genggam lintas kawasan, dan merupakan segi yang, alih-alih sekadar diobservasi, justru mencerminkan posisi sosiokultural dari keberhinggapan sekaligus penggunaan kamera di luar kawasan dunia pertama. Meskipun 32
memiliki plot naratif yang berbeda, baik siklus yang terjadi pada subjek di filem pertama maupun pada objek di filem kedua sama-sama menggemakan ketegangan antara entitas-entitas pembentuk sistem dan sistem itu sendiri. Gelagat penggunaan kamera dalam proses merekam—sekaligus hasil tangkapannya terhadap—sejumlah “entitas pembangkang sistem” itu pun dapat digarisbawahi sebagai alegori dari politik kebertahanan bormocorah. Alegori itu tampak dari motif Hui merantau ke Guangdong dan upayanya mempertahankan posisi sebagai “the big brother” bawah tanah. Itu menentukan karakteristik siklus yang dijalaninya sebagai “pembangkang sistem” yang satu waktu pasti tergerus oleh zaman meskipun spiritnya tak akan hilang sama sekali. Menghindari stereotipe dan pelabelan, Yangyang menggali pandangan personal Hui untuk membangun empati terhadap siklus kebertahanan protagonis di tengah persaingan sosial-ekonomi. Sifat kamera mutakhir yang hari ini sudah kian menubuh di tangan pengguna mampu menghilangkan jarak antara perekam dan subjek yang direkam sehingga memaksimalkan fungsi kultural dokumentar observasional. Sementara itu, alegori bromocorah juga terepresentasikan dari realitas daur produksi berskala global pada model industri dunia ketiga. Siklus panjang itu merangsang beragam siasat bertahan hidup warga yang bergejolak di bawah arus utama kapital dan membangun struktur tandingan yang lebih bersifat organik. Melibatkan subjek-subjek lokal di China dan Afrika, pembingkaian Kötter atas fenomena itu secara tidak langsung memposisikan respon vernakular sebagai gaya ungkap sinematik yang, baik dari segi konseptual maupun praxis-nya, berpotensi meruntuhkan pandangan Modernisme terhadap “yang liyan” dan menuntut perspektif baru dalam memahami masa depan globalisasi ekonomi. Dengan kata lain, dampak teknologi pada tindakan dan pikiran manusia, entah selaras atau tidak dengan sistem yang menaunginya, adalah aspek yang menjelaskan alegori politis bromocorah pada kedua filem tersebut. Adopsi teknologi modern di negara pengguna mewujud dalam dua gaya. Kalau bukan gaya yang mengamini aturan teknologis dengan niatan untuk memperbesar potensi yang selama ini luput dari tangan Modernisme itu sendiri, adopsi justru dilakukan dengan ekstrem menyimpang dari prosedur sistem, dalam rangka membuat norma tandingan yang akan mengkritisi Modernitas. Pada tingkatan tertentu, determinisme teknologis semacam inilah yang juga mendasari konstruksi sinema Big Brother Hui dan Chinafrika. mobile. 33
International Competition
IC 1
BROMOCORAH’S POLITICAL ALLEGORY BY TECHNOLOGICAL DETERMINISM Manshur Zikri Selector
A subtle disruption to the system arises from the daily lives of people on the “periphery”, as reflected in two curated films here. Even though they do not fully agitate the dominating authorities, the “divergent model” of work, and the behaviour or response that belong to the marginalised people (outside the system) keep alive the criticism of social and economic determinants. That is perhaps the one of bromocorah’s existential trait in the society. However, another idea elaborated in this curatorial is technological determinism. It is proportionally framed in each film as language matter. Revealed from a different angle at each film, technological issues that accompany their respective narratives provoke questions regarding directors’ filmic articulation in revealing the identity of the films’ subject and/or object whose existence is determined by the superstructure-infrastructure relationship. “Cycle”, the keyword that links the two films, is a bridge to exploring the causal determinants of the language mode of each director. In Feng Yangyang’s Big Brother Hui (2019), the “cycle” is Hui’s criminal career, which is a part that technology—the director’s camera—has to negotiate when it selects the protagonist’ most personal realities, which are closely interlaced with his social role. Meanwhile, the “cycle” in Daniel Kötter’s Chinafrika.mobile (2017) refers to the cross-regional production flow of mobile phone which reflect, rather than just being observed, the socio-cultural position of the presence and uses of the camera outside the First World region. Despite having different plot respectively, both the cycle experienced by the subject in the first film and the cycle happening in the object in the second film echo a tension between the system and its forming entities. The camera’s 34
attitude in the process of recording such “dissident entities”—as well as the results of that process—can be underlined as an allegory of bromocorah’s politics of survival. Such allegory can be traced in Hui’s motives for migrating to Guangdong and his efforts to defend his position as the “the big brother” of the underground. That things determine the characteristics of his cycle as a dissident, which will eventually erode as time passes even though its ethos will not disappear at all. Avoiding stereotypes and labelling, Yangyang explores Hui’s personal views to build empathy for the protagonist’s cycle of survival amid socio-economic competition. The quality of sophisticated cameras increasingly adhered in the hands of nowadays users is able to eliminate the distance between Yangyang, the filmmaker, and Hui, the recorded subject, so as to maximize the cultural functions of observational documentaries. Meanwhile, the allegory of bromocorah is also represented by the reality of the global-scale production in the Third World industrial model. Its long cycle of production stimulates various schemes of citizen survival that flare up under the mainstream of capital and forming a more organic counterstructures. Involving local subjects in China and Africa, Kötter’s framing of the phenomenon indirectly posits the vernacular responses in the film as a cinematic style of expression which, both in terms of conceptual and praxis, has the potential to disrupt Modernism’s view of the “other” and demand new perspectives in understanding the future of economic globalization. In other words, the impact of technology on human actions and minds, whether being in accordance or not with the dominating system, becomes an aspect that explains bromocorah’s political allegory in both films. The adoption of modern technology in its user countries manifests in two styles. If it is not a style that follows technological rules with the intention to enhance the potential that has so far escaped the hands of Modernism itself, the adoption is then carried out with extreme deviations of the system procedures, in order to create counter norms that will criticize Modernity. To some degree, this kind of technological determinism also underlies the construction of the Big Brother Hui and Chinafrika.mobile cinema.
35
IC 1 / 21 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
BIG BROTHER HUI
Country of production China Language Mandarin Subtitles English 79 min, color, 2019
Yangyang merekam dengan begitu intim harihari yang dijalani Hui, laki-laki asal Henan yang bermigrasi ke Guangdong dan menjadi “The Big Brother” di sana. Hui memimpin operasi bisnis ilegal (perjudian dan prostitusi) di sebuah daerah yang termasuk dalam cakupan proyek Miles Silver Beach (milik perusahaan Country Garden). Ia mesti bersiasat menghadapi revitalisasi industri yang semakin massif di samping konflik-konflik eksternal dan internal antargang ataupun intrakelompok yang mengancam status quo-nya sebagai penguasa bawah tanah. Narasi kehidupan Hui mewakili fenomena sosiologis “bromocorah” secara aktual, bahwa relasi kekuasaan tersistem kerap mendominasi riak residual yang bergerak di luarnya, menciptakan dinamika kebertahanan hidup dan eksistensi kemanusiaan yang menggugah.
Yangyang so intimately filmed the days of Hui, a man from Henan who migrated to Guangdong and became “The Big Brother” there. Hui leads an illegal business (gambling and prostitution) in an area covered by the Miles Silver Beach project (owned by the Country Garden company). He has to face the increasingly massive industrial revitalization, in addition to external and internal conflicts of his group threatening his status-quo as an underground’s big guy. Hui’s life narrative represents the actual “bromocorah” sociological phenomenon in which systemic power relations often dominate residual ripples that work in the margin, echoing a dynamic of survivability and evocative human existence.
——Manshur Zikri
Feng Yangyang adalah pembuat film Tiongkok yang lahir pada tahun 1990 dan tinggal di Beijing. Dia bekerja sebagai asisten sutradara pertama di industri film dan televisi selama 6 tahun.
Feng Yangyang (China)
36
Feng Yangyang is a Chinese filmmaker who was born in 1990 and lives in Beijing. He is working as the first assistant director of the film and television industry for 6 years.
IC 1 / 21 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
CHINAFRIKA. MOBILE
Country of production Germany Language French & English Subtitles English 39 min, color, 2017
Menelusuri siklus produksi dari sebuah jenis teknologi komunikasi, telepon genggam, dengan mencakup alur persebaran lintas kawasan di tiga negara (Republik Demokrasi Kongo, China, dan Nigeria), filem ini menggarisbawahi hubungan dan peran China dan Afrika sebagai dua kekuatan yang juga menentukan globalisasi ekonomi, politik, dan budaya. Melibatkan para penambang, buruh pabrik, pedagang, dan pengumpul di tiga wilayah tersebut, Chinafrika. mobile hadir sebagai esai kritis mengenai Modernisme, yang di dalamnya terbingkai suatu artikulasi lokal yang secara nyata bersikap di luar ciri kewajaran ala tekno-sosial, memicu pertanyaan tentang peran benua adidaya lainnya di dalam hubungan politik antarkawasan dan perspektif baru mengenai masa depan kapital.
Tracing the production cycle of one type of communication technology, handphone, by covering the lane of distribution across regions in three countries (DR Congo, China, and Nigeria), this film underscores the relationship between and the role of China and Africa as two forces that also determine economic, political and cultural globalization. Involving miners, factory workers, traders, and collectors in the three regions in its film production, Chinafrika.mobile emerges as a critical essay on Modernism, in which the local articulation behaving outside the techno-social customs was framed; triggering questions of other superpower continents’ role in the crossregional political connection, as well as evoking new perspectives on the future of the capital.
——Manshur Zikri
Daniel Kötter
Daniel Kötter adalah pembuat filem dan sutradara teater musik yang aktif secara internasional. Fokus karyanya berkisar antara beragam media dan konteks-konteks kelembagaan, dan menggabungkan teknik filem eksperimental strukturalis dengan elemen performatif dan dokumenter. Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai festival seni, filem dan video, galeri, teater dan ruang konser internasional.
Daniel Kötter is an internationally active filmmaker and musical theatre director. His works oscillate between different media and institutional contexts and combine techniques of structuralist experimental film with performative and documentary elements. They have been screened worldwide at numerous film and video art festivals, galleries, theatres and concert halls.
(Germany)
37
Kompetisi Internasional
IC 2
CERMIN YANG RETAK
Afrian Purnama Selektor
Art, it is said, is not a mirror, but a hammer: it does not reflect, it shapes. But at present, even the handling of a hammer is taught with the help of a mirror, a sensitive film which records all the movements.
1
Sinema diumpamakan sebagai cermin. Setidaknya bagi Christian Metz, reproduksi gambar yang terjadi dalam layar filem membuatnya memiliki efek layaknya cermin. Walaupun konsep layar sebagai cermin ini berangkat dari teori Jacques Lacan tentang tahap pengenalan diri balita dan lingkungannya, Metz berpendapat bahwa layar sebagai cermin bekerja dengan cara sebaliknya: identifikasi terjadi dalam diri penonton dikarenakan mereka absen dan pasif di layar tersebut. Dalam keadaan demikian, penonton mengidentifikasikan dirinya sebagai kamera, yang mengikuti arah geraknya, lalu tanpa sadar penonton menjadi satu dengan kenyataan filemis yang hadir di layar itu. Menariknya di tahun 1924, Leon Trotsky juga mengumpamakan sinema seakan-akan seperti cermin, walaupun di sini konteksnya sangat berbeda dengan Metz. Dalam tulisan yang kuotasinya menjadi pembuka naskah program ini, Trotsky berusaha mengkritisi pergerakan Futurisme di Uni Soviet saat itu yang menolak menoleh ke belakang — kepada seni dan kebudayaan lampau — dan berusaha membebaskan diri darinya dengan 2
3
1. Trotsky, Leon. Literature and Revolution [First Edition]. International Publishers. 1925 2. Metz, Christian. Psychoanalysis and Cinema: The Imaginary Signifier. London, England: Palgrave Macmillan.1983 3. ibid
38
meninggalkan seni-seni tersebut secara total dan berfokus pada visi masa depan. Menurut Trotsky, seni yang hadir dari masa lampau itu sesungguhnya adalah upaya bagi masyarakat untuk merefleksikan diri (bercermin) dan membantu mereka untuk memahami kondisi sosio-politik saat itu. Trotsky kemudian memperluas arti ‘bercermin’ ini dengan penambahan makna bahwa di masa sekarang (di saat itu) terdapat cermin mutakhir yang mampu melakukan penggambaran akurat terhadap kenyataan, sehingga bisa menjadi alat edukasi massa, yaitu film. Pada program penayangan ini, saya ingin mengintepretasikan secara berbeda perumpamaan seni dan cermin yang dikatakan oleh Trotsky dan Metz tadi. Benar bahwa pada satu titik, kamera seakan-akan bertindak seperti cermin yang mereproduksi representasi tubuh, benda, serta gerak yang terkoneksi dengan presepsi kita terhadap realitas sehari-hari. Namun di titik lain, filem juga mampu menghancurkan persepsi kita terhadap reproduksi kenyataan tersebut, dengan menghadirkan berbagai elemen berbeda terhadap apa yang kita alami di luar dari keseharian. Sehingga peran filem, bila kita ingin menggunakan analogi di atas, adalah sebagai cermin dan juga godam; filem merefleksikan kenyataan dan menghancurkannya pada waktu bersamaan. Dalam kompilasi program ini, kita akan dihadapkan pada empat filem yang berupaya untuk mengungkap sesuatu yang sifatnya tidak hanya penyerupaan. Pembuat filem berusaha memvisualisasikan sebuah situasi dan kondisi keadaan manusia seperti teror, trauma, ingatan juga sensori panca indera lain di luar visual dan auditori. Penyampaiannya tentu menggunakan reproduksi yang lahir dari visi dan kenyataan fisik yang berada di sekitar pembuatnya, namun pembuat filem juga berusaha menyatakan sesuatu yang melampaui pengalaman visual dari reproduksi gambar tersebut. Seperti teror yang disampaikan melalui kursi yang dilempar ke arah tembok (Chairs), obsesi dan fetisisme (Dulcinea), kemencekaman yang hadir lewat repetisi gestur berbagai subjek (The Love of Statues) dan kontradiksi antara ritus dan siklus (Absent Wound).
39
International Competition
IC 2
THE MIRROR THAT CRACKED
Afrian Purnama Selector
Art, it is said, is not a mirror, but a hammer: it does not reflect, it shapes. But at present, even the handling of a hammer is taught with the help of a mirror, a sensitive film which records all the movements.
1
Cinema is likened to a mirror. At least for Christian Metz, a reproduction of the image on screen gives it a mirror-like effect. Although the concept of screen as a mirror departs from Jacques Lacan’s theory of the mirror stage, which is about children’s recognition of self and their environment, Metz argues that this concept works the other way around: the identification occurs to the audience because they are absent and passive on the screen. In such circumstances, the audience identifies themselves as the camera, which follows the direction of their movements, thus the audience unconsciously becomes one with the film reality that exists on the screen. Interestingly in 1924, Leon Trotsky also likened cinema to a mirror, although his context was very different from Metz. In his writing that has become the opening sentence of this piece, Trotsky tried to criticize the Futurist movement in the Soviet Union at that time, who refused to look back – to the arts and culture from the past – and who tried to free themselves from it by totally leaving the preceding arts and instead focusing on the vision of the future. According to Trotsky, the art that came from the past was actually 2
3
1. Trotsky, Leon. Literature and Revolution [First Edition]. International Publishers. 1925 2. Metz, Christian. Psychoanalysis and Cinema: the Imaginary Signifier. London, England: Palgrave Macmillan.1983 3. ibid
40
an attempt of the people to reflect on themselves (mirroring) and to help them understand their socio-political conditions at that time. Trotsky then expanded the meaning of this ‘mirroring’ by adding that in the present (at that time) there was a sophisticated mirror capable of making accurate portrayals of reality so that it could become a mass educational tool, namely film. In this program, I want to interpret differently the parable of art and mirror that Trotsky and Metz said earlier. It is true that at one point, the camera seems to act like a mirror that reproduces the representations of body, object, and motion, which are connected to our perception of everyday reality. But to some extent, cinema is also able to destroy our perception of the reproduction of this reality by presenting different elements of what we experience beyond everyday life. So, if we want to use the analogy above, that cinema can act as a mirror as well as a hammer; it reflects reality and destroys it at the same time. In this compilation, we will be confronted by four films that strive to uncover something that goes beyond the idea of similarities. The filmmakers try to visualize human conditions such as terror, trauma, memory as well as other sensory senses beyond visual and auditory ones. Of course, the filmmakers’ approaches use the reproductions born of the visual and physical reality around them, but they also try to express something that goes beyond the visual experience of the image reproduction. This can be seen in the terror that is conveyed as chairs that are thrown at a wall (Chairs), in the obsession and fetishism (Dulcinea), in the haunted feeling caused by the repetitive gestures of various subjects (The Love of Statues), and in the contradiction between rites and cycles (Absent Wound).
41
IC 2 / 21 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
DULCINEA
Country of production Italy Language Italian Subtitles English 64 min, color, 2018
Sebuah interpretasi kontemporer dari novel besar Don Quixote karya Miguel de Cervantes. Dulcinea, yang mana adalah salah satu tokoh dari novel tersebut diterjemahkan menjadi sebuah konsep yang dipersonifikasikan dalam bentuk hubungan antar manusia, rutinitas dan ritual.
A contemporary interpretation of a great novel, Don Quixote, by Miguel de Cervantes. Dulcinea is one of the characters from the novel that is translated into a concept personified in the form of relationships between humans, routines and rituals.
——Afrian Purnama
Luca Ferri (Italy)
42
Luca Ferri (Bergamo, 1976) bekerja pada wilayah visual dan tulisan. Pada tahun 2005/2008, ia menyutradarai filem pendek dan filem feature yang masuk dalam sejumlah kompetisi dan dihadirkan dalam pameran. Mempelajari filem secara otodidak, sejak 2011 ia telah mendedikasikan dirinya pada penulisan, sinematografi, dan penyutradaraan filem yang kemudian ditayangkan dalam berbagai festival filem di Italia dan internasional.
Luca Ferri (Bergamo, 1976) works on images and words. In 2005/2008 he directed short, medium and feature-length films that took part in competitions and were hosted in exhibitions. Self-taught, since 2011 he has dedicated himself to the writing, cinematography and direction of films presented in Italian and international film festivals.
IC 2 / 21 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
CHAIRS
Country of production Israel Language Subtitles 12 min, color, 2018
Seorang pria berdiri dan melemparkan kursi ke sebuah dinding dalam suatu ruangan. Tindakan repetitif ini membentuk sebuah wujud baru dan secara langsung membangunkan kesadaran kita terhadap apa itu kekerasan, juga ide-ide tentang spektakel yang terjadi di ruang pamer.
A man stands and throws a chair on a wall inside a room. This repetitive motion forms a new shape and directly awakens our consciousness of what violence is as well as ideas of spectacle that occur in exhibition space.
——Afrian Purnama
Avner Pinchover (Israel)
Avner Pinchover meraih gelar diploma setara MFA dari Program Pascasarjana Seni Rupa, Sekolah Seni HaMidrasha, Israel. Ia sebelumnya juga meraih gelar B.Arch (summa cum laude) dari Technion - IIT dalam program multidisiplin, menggabungkan studi filem di Universitas Tel Aviv dan studi fotografi di Universitas Haifa. Karya-karyanya mencakup video, performans, instalasi, gambar, dan cetak grafis. Karya-karyanya telah dipamerkan di museum, galeri dan festival di Swiss, Portugal, Polandia, Austria, Amerika Serikat, dan Israel.
Avner Pinchover holds an MFA equivalent diploma from the Postgraduate Fine Art Program, HaMidrasha Art School, Israel. He has received a B.Arch (summa cum laude) from the Technion – IIT in a multidisciplinary program, combining film studies at Tel Aviv University and photography studies at Haifa University. He works in video, performance, installation, drawing, and printmaking. His works have been exhibited in museums, galleries and festivals in Switzerland, Portugal, Poland, Austria, USA, and Israel.
43
IC 2 / 21 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
THE LOVE OF STATUES
Country of production UK Language English Subtitles 20 min, color, 2019
Dijahit dari berbagai footage dan juga rekamanrekaman yang direkam oleh pembuatnya, The Love of Statues berusaha menggambarkan satu kondisi auratik tertentu yang dibentuk oleh ruang visual yang berbeda namun disatukan oleh gerak ritmik yang spesifik.
Stitched from various footages including those recorded by the filmmaker, The Love of Statues tries to describe a certain auratic condition formed by different visual spaces but united by specific rhythmic motions.
——Afrian Purnama
Peter Samson (UK)
44
Peter Samson berkarya sebagai pelukis sambil memanfaatkan media filem sebagai kanal rasa pembebasan. Ia belajar melukis di Manchester dan RCA, kemudian mulai bereksperimen dengan filem di akhir tahun enampuluhan saat mengajar kelas kursus dasar di kampus Doncaster. Karya filemnya mencerminkan proses pendidikannya sebagai pelukis dalam hal penggunaan keterhubungan visual/kepuitisan dan penekanannya pada bentuk. Disarikan dari https://lux.org.uk/ artist/peter-samson dan http:// petersamson.artsident.org
Peter Samson works as a painter while utilizing the medium of film instilled a sense of liberation. He learned painting at Manchester and the RCA, then began experimenting with film in the late sixties while teaching on the foundation course at Doncaster college. His film work reflects his early training as a painter in its use of visual/poetic linkage and its emphasis on form. Retrieved from https://lux.org.uk/ artist/peter-samson and http:// petersamson.artsident.org
IC 2 / 21 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
ABSENT WOUND
Country of production Iran, UK Language Persian, English Subtitles English 10 min, color, 2017
Sebuah siklus yang terjadi bulanan dan dituturkan dengan puitis. Absent Wound menghadirkan sebuah gagasan terhadap apa itu ruang yang dibatasi oleh gender juga ingatan terhadap siklus itu sendiri.
A monthly cycle that is depicted poetically. Absent Wound presents an idea of what is space, limited by gender and also memory towards the cycle itself.
——Afrian Purnama
Maryam Takafory (Iran)
Maryam Tafakory (lahir Shiraz, Iran) adalah seorang seniman dan sutradara yang tinggal dan bekerja di London. Karyanya mengacu pada gagasan tentang ‘ yang personal sebagai yang politis’ dalam narasi yang terbelah yang melibatkan negosiasi halus antara faktual dan fiksi, mengeksplorasi bentuk-bentuk alegoris narasi visual, menggunakan motif abstrak, simbolik dan tekstual serta representasi mereka di layar. Karyanya telah dipresentasikan secara internasional termasuk di Rotterdam IFFR, Edinburgh EIFF, Festival Film Zurich, Melbourne MIFF, Hamburg IKFF, ICA London, BFI London, LSFF London, Ji.hlava IDFF, Barbican Centre London, Bloomberg New Contemporaries, New York UnionDocs, dan BBC Three. http://www.maryamtafakory.com
Maryam Tafakory (b. Shiraz, Iran) is an artist-filmmaker living and working in London. Her work draws on the notion of ‘personal as political’ in a fractured narrative that involves a subtle negotiation between factual and fiction, exploring allegorical forms of visual narrative, using abstracted, symbolic and textual motifs and their on-screen representation. Her work has been presented internationally including in Rotterdam IFFR, Edinburgh EIFF, Zurich Film Festival, Melbourne MIFF, Hamburg IKFF, ICA London, BFI London, LSFF London, Ji.hlava IDFF, Barbican Centre London, Bloomberg New Contemporaries , New York UnionDocs, and BBC Three. http://www.maryamtafakory.com
45
Kompetisi Internasional
IC 3
SINEMA MELIHAT CITRA-CITRANYA
Robby Ocktavian Selektor
Zaman internet adalah zaman tatkala informasi menyerebak ke dalam keseharian kita tanpa henti, menyasar penglihatan kita hampir tanpa seleksi; tidak terkecuali citra-citra, baik yang diam maupun yang bergerak. Mereka adalah entitas yang telah mengalami jutaan kali reproduksi, menjadi representasi yang bisa dibilang telah kehilangan sifat asalinya, lalu terusmenerus disebarkan—juga berkali-kali—oleh warganet melalui tindakan unduh-unggah-copy-share. Nyatanya, hampir semua citra-citra tersebut merupakan reproduksi dari rekaman-rekaman peristiwa masa lalu dan sebagian besarnya adalah turunan dari dokumen-dokumen yang diproduksi oleh otoritas pada zamannya. Keterbukaan akses yang dihadirkan teknologi masa kini memungkinkan warga mengakses dokumen-dokumen arsip milik penguasa meski dengan kualitas yang tidak sebaik materi aslinya. Dalam upaya menelusuri keterangan kasus-kasus tertentu melalui peramban, ataupun pada masa ketika TV masih mendominasi persebaran informasi, tidak jarang kita bertemu dengan citra atau visual yang sama, berulang-ulang. Dalam konteks budaya massa, citra-citra itu menjadi ikonik. Sebagai informasi kunci, keberadaan mereka sesungguhnya membuka kemungkinan atau spekulasi untuk mengajukan narasi-narasi historis tandingan yang lebih berpihak kepada kepentingan warga masyarakat umum. Sinema memiliki peluangnya sendiri dalam memilah, menjabarkan, dan mengonstruk secara baru suatu representasi berdasarkan citra-citra reproduktif itu. Praktik analisis melalui sinema, agaknya, bisa bertujuan untuk mendekonstruksi pemahaman kita mengenai representasi-representasi terbaru dari gejala-gejala global. Terutama, ketika kita berhadapan dengan 46
perbandingan antara melihat citra-citra aktual dan meninjau citra-citra masa lalu. Maka, dalam konteks hubungan perbandingan itulah sebenarnya sinema memainkan peran, yaitu ketika sinema (dalam hal ini, bidikan kamera) menelusup ke dalam konteks-konteks tersirat dari citra-citra masa lalu yang hadir dalam bentuk reproduksinya itu, atau meluaskan tafsir atas citra-citra hari ini, serta merefleksikan reaksi dari manusia yang berada di dalam proses pemahaman akan hubungan keduanya (masa lalu dan sekarang). Lima filem yang dihadirkan dalam kuratorial ini menawarkan beragam bentuk eksperimen terhadap arsip-arsip tentang peristiwa-peristiwa dan lokasi-lokasi penting. Eksperimentasi visual pada filem, nyatanya, dapat berlaku di luar intervensi kamera sejauh kepekaan sinematik sutradara bekerja pada aspek konstruksi gambar, bahkan dengan mempertanyakan ulang proses dan prosedur dari pembuatan sebuah filem. Sifat-sifat dasariah dari citra pun kerap dipertanyakan, begitu pula dengan sikap manusia terhadap teknologi rekam. Adegan Yang Hilang Dalam Petrus adalah contoh dari bagaimana perangkat lunak Microsoft Office memungkinkan aksi perekaman layar (screen recordings) menjadi modus utama produksi sebuah filem. Di dalamnya, arsip visual yang menyimpan memori kolektif mengenai teror dari penguasa terdahulu disusun dengan teks-teks yang ditampilkan sebagai gambar bergerak, serta suara latar wawancara, sebagai suatu komposisi untuk menarasikan peristiwa. Sementara itu, dengan metode yang hampir sama tapi berdasarkan perspektif yang berbeda — lebih analisis kritis ketimbang filemis — Real Time History memanfaatkan teks berupa dialog untuk menginvestigasi gambar-gambar kekerasan perang yang diunggah warga di internet. Ontologi citra dipertanyakan dalam What Remains lewat penarikan konteks sejarah dari istilah-istilah yang berkaitan dengan teknologi kamera, sedangkan esensi kemanusiaan dan relativitas dari moral kekuasaan yang terbingkai di dalam kamera dipertanyakan oleh The Trial dengan menjukstaposisikan dua jenis arsip yang memiliki perspektif berbeda satu sama lain. Pada Bocamina, akhirnya, sinema menawarkan pandangannya kepada kita mengenai orangorang yang melihat citra.
47
International Competition
IC 3
CINEMA OBSERVING ITS IMAGES
Robby Ocktavian Selector
The era of internet is an era when information continuously permeates into our daily life, targeting our sight almost without any selection – including still and moving images. They are entities that have experienced reproduction a million times; they have become a representation that has possibly lost its original nature, being spread continuously and repeatedly by netizens using the upload-download-copy-share method. In fact, most of the images are reproductions of the recordings of past events, and they are the derivation from documents produced by the authority during their reign. The openness of access brought by the technology today has enabled the public to access the archives owned by the authorities, even though its quality is not as good as its original one. In tracing some information with the web browser, or on TV when it used to dominate the distribution of information, we often see the same image or visual – repeatedly. In the mass culture context, that kind of image becomes iconic. As vital information, the existence of such an image opens up a possibility or speculation of an alternative historical narrative that is more aligned with the public’s interests. Cinema has the chance to sort out, decipher, and reconstruct a representation based on those reproduced images. Analyzing through cinema can deconstruct our understanding about the most recent representations from global phenomena. This matters especially when we deal with the comparison between seeing the images of the present and reviewing images of the past. In the context of such comparison, cinema plays its role, that is when cinema (in this case, the camera shot) slips into the implied contexts from the past images 48
that exist in the form of reproduction, or expanding the interpretation of images from today, as well as reflecting on the reactions of those who are in the process of understanding the relationship of those two images (past and now). Five films in this curation offer various forms of experiment on archives of important event and locations. The visual experimentation in the films is not limited to the intervention of the camera, it extends towards the director’s cinematic awareness in constructing images, in re-questioning the process and procedure of filmmaking. To also question the basic natures of the image, as well as the human’s attitude toward the recording technology. Adegan Yang Hilang Dari Petrus is an example of how Microsoft Office software enables screen recordings to be the primary mode of film production. To narrate an event, the visual archives–that stores collective memory of the terror committed by the past authorities– is combined with texts shown as a moving image along with interview voice(s) as its background sound. Meanwhile, using a similar method but based on a different perspective – a critical analysis rather than cinematic one – Real Time History uses texts such as dialogue to investigate images of war violence uploaded by netizens. What Remains questions the ontology of image by examining the historical context of the camera-related terminology, while The Trial questions the essence of humanity and moral relativity of the authorities by juxtaposing two kinds of archives that have different perspectives. In Bocamina, at last, cinema offers its perspective to us regarding the people who look at images.
49
IC 3 / 21 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
BOCAMINA PITHOLE Country of production Bolivia Language Spanish Subtitles English 22 min, color, 2018
Miguel membawa audiens untuk menyusuri Cerro Rico, yakni gunung yang menjadi lokasi pertambangan di kota Potosi, yang juga menjadi saksi peradaban di kota tersebut. Ia lekat dengan sejarah dan mitos-mitos yang menyertainya, yang kemudian dituturkan langsung oleh para pelajar yang hidup berdampingan dengan gunung tersebut, dan bahkan menjadi pekerja di pertambangan di dalamnya.
Miguel brought the audience to venture to Cerro Rico – a mountain that becomes a mining site in the city of Potosi, as well as the witness of that city’s civilization. The mountain is closely attached to the history and the myths embedded to it, that are spoken directly by the students who coexist with it, and even become workers in the mines within.
——Robby Ocktavian
Miguel Hilari (Bolivia)
50
Miguel Hilari (1985, Aymara/ Jerman) adalah seorang sutradara/ produser berbasis di La Paz yang fokus pada pembuatan filem dokumenter. Antara tahun 2006 dan 2009, ia mengambil studi perfileman di La Paz dan di Santiago, Chili. Pada tahun 2011, ia memproduksi filem pendek JUKU dan ia diberikan beasiswa MAEC untuk kursus Master Dokumenter Kreatif UAB. Filemfilemnya telah diputar di berbagai festival filem internasional.
Miguel Hilari (1985, Aymara/ German) is a La Paz-based filmmaker/ producer focused on documentary filmmaking. Between 2006 and 2009, he studied cinema in La Paz and in Santiago, Chili. In 2011, he produced the short film JUKU and he was granted a MAEC scholarship for the UAB Creative Documentary Master’s course. His films have been screened in numerous international film festivals.
IC 3 / 21 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
REAL TIME HISTORY
Country of production Syria Language Arabic & English Subtitles 23 min, color, 2018
Filem ini merupakan proyek yang sedang berlangsung dari Foundland Collective. Proyek ini menggunakan elemen-elemen internet sebagai aparatus penyampai narasinya. Teksteks ditampilkan dalam bingkai berbentuk peramban dan menggunakan arsip-arsip rekaman warga di lapangan yang dapat diakses melalui situs-situs daring. Praktik ini mengkritik subjektivitas pemberitaan dari media massa global dan transparansi pemerintah mengenai isu senjata pemusnah massal di Suriah, serta bagaimana pemberitaan palsu begitu mudahnya diproduksi.
This film is an ongoing project of Foundland Collective. It utilizes elements from the internet as an apparatus to deliver the narratives. The texts are displayed in a browser-shaped frame, and it uses the video archives from the people available on online websites. This practice criticizes the subjectivity of news reporting in global mass media and the government transparency on the issue of weapons of mass destruction in Syria, as well as the ease on the production of fake news reporting.
——Robby Ocktavian
Foundland Collective (South Africa/Syria)
Foundland Collective dibentuk pada tahun 2009 oleh dua orang seniman: Lauren Alexander dari Afrika Selatan dan Ghalia Elsrakbi dari Suriah. Sejak tahun 2014, mereka berbasis di Amsterdam dan Kairo. Kolaborasi keduanya mengeksplorasi narasi politik dan sejarah yang kurang terwakili dengan bekerja bersama arsip melalui seni, desain, penulisan, pendidikan, pembuatan video, dan bercerita. Sepanjang perkembangan mereka, keduanya secara kritis merenungkan apa artinya menghasilkan karya yang terlibat secara politis dari posisi seniman nonBarat yang bekerja di kawasan Eropa dan Timur Tengah. http://foundland.info
Foundland Collective was formed in 2009 by South African Lauren Alexander and Syrian Ghalia Elsrakbi and since 2014 is based between Amsterdam and Cairo. The duo collaboration explores underrepresented political and historical narratives by working with archives via art, design, writing, educational formats, video making, and storytelling. Throughout their development, the duo has critically reflected upon what it means to produce politically engaged work from the position of non-Western artists working between Europe and the Middle East. http://foundland.info
51
IC 3 / 21 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
THE TRIAL
Country of production France Language Romanian & English Subtitles 13 min, color, 2019
Sebuah penyajian montase gambaran keruntuhan rezim pemerintahan diktator di Rumania, dijukstaposisikan dengan tayangan ulang rekaman bagaimana keadilan itu bekerja. Komposisi dua arsip tersebut hadir pada masa sekarang, menghantam sisi kemanusiaan, yang dinarasikan melalui hubungan sebab-akibat.
A montage of the depiction of a collapse of a dictatorship regime in Romania, that is juxtaposed with the replay of the footage on how justice works. The composition of those two archives exists today, striking the humanity, narrated through a causality.
——Robby Ocktavian
Alexandra Bouge adalah pembuat filem, seniman plastis, dan penyair yang lulus dari jurusan Seni Plastis dan Komunikasi, Universitas Sorbonne. Puisi-puisinya telah diterbitkan dalam ulasan seni “Tout pour le Freak.” Sedangkan filemfilemnya telah diputar di berbagai festival filem, baik secara nasional maupun internasional. http://alexandrabouge.tumblr.com/
Alexandra Bouge (France)
52
Alexandra Bouge is a filmmaker, plastic artist, and poet who graduated from Sorbonne University of Plastic Arts and Communication. Her poems have been published in the art review “Tout pour le Freak.” Her films have been screened in various film festivals, both nationally or internationally. http://alexandrabouge.tumblr.com/
IC 3 / 21 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
ADEGAN YANG HILANG DARI PETRUS
Country of production Indonesia Language Javanese language & Indonesian Subtitles English 5 min, color, 2019
Sebuah rekaman dari bedahan skrip yang sedang disunting digulirkan pada layar. Ia hadir dengan menampilkan arsip-arsip untuk mengadegankan kembali sebuah peristiwa tentang bagaimana agenda penembakan misterius bermula. Rancangan adegan investigatif tersebut dirangkai dengan narator yang seolah-olah adalah saksi dari peristiwa tersebut.
A recording of an on-editing script is scrolled on the screen. It show the archives to reenact an event on how the extrajudicial killings agenda occurred. The design of the investigative scene was arranged by the narrator as if he were a witness to the incident.
——Robby Ocktavian
Arif Budiman (Indonesia)
Arif Budiman adalah seniman kelahiran Depok yang kini menjalani studi mengenai sinema di Yogyakarta. Arief menggunakan gambar bergerak sebagai medium utama karyanya. Di samping melakukan eksplorasi bentuk secara spontan dan intuitif, ia juga membahas isu tentang gaya hidup atau perilaku masyarakat terkini dan pengaruh Internet. Ia aktif di Piring Tirbing, sebuah kelompok produksi dan pengembangan konten audio visual. Selain itu ia ikut mengurus program Video Battle dan Cafe Society Cinema di Ruang Mes 56.
Arif Budiman is a Depok-born artist who is now studying cinema in Yogyakarta. Arief used moving images as the primary medium of his work. In addition to exploring forms spontaneously and intuitively, he also discusses issues about current lifestyle or community behavior and the influence of the Internet. He is active in Piring Tirbing, a group that produces and develops audio-visual content. Also, he took care of the Video Battle program and Cafe Society Cinema in Ruang Mes 56.
53
IC 3 / 21 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
WHAT REMAINS
Country of production Turkey Language Turkish Subtitles English 7 min, color, 2018
Upaya merelasikan tubuh manusia dengan ontologi produksi gambar secara bolak-balik dengan menggunakan arsip sebuah upacara kematian akibat kekacauan di Suriah. Melalui narasi yang filosofis, tubuh diposisikan sebagai perekam. Merujuk pada sejarah awal fotografi, tubuh yang mati direproduksi citranya sehingga tampak hidup. Citra tubuh yang tampak hidup tersebut dapat mengalami kerusakan, begitu pula citra digital yang berpontensi mengalami gangguan dead pixel. Kondisi ini serupa dengan kondisi tubuh manusia yang kelak pun akan mengalami kerusakan.
It is an attempt to reciprocally relate the human body with the ontology of image production by using the archive of a funeral rite caused by the chaos in Syria. A philosophical narrative sets the body as a recording device. Referring to the early history of photography, a reproduction of the image of a dead body makes it seem alive. That image could experience decay, so could the digital image that potentially experiences interference of dead pixel. A similar condition also happens to the human body that will decay later.
——Robby Ocktavian
Belit Sağ adalah pembuat video yang berbasis di Amsterdam. Ia mempelajari Matematika di Turki, Seni di Belanda, dan baru-baru ini menyelesaikan residensi di Rijksakademie. Latar belakang videonya berakar pada lingkup aktivis video dan kelompok seniman alternatif di Ankara dan Istanbul, tempat ia bersama-sama memprakarsai beberapa proyek video.
Belit Sağ (Turkey)
54
Belit Sağ is a video-maker based in Amsterdam. She studied mathematics in Turkey, art in the Netherlands, and recently completed a residency at Rijksakademie. Her video background is rooted in alternative video-activist and artist groups in Ankara and Istanbul, where she co-initiated some video projects.
Kompetisi Internasional
IC 4
OBSERVASI PERIFERI
Luthfan Nur Rochman Selektor
Dalam wacana filem dokumenter etnografis, perihal merepresentasikan subjek-subjek yang hidup di wilayah periferi turut melahirkan eksperimentasi estetika sinema. Ia sejalan dengan pergeseran paradigma ilmu sosial dan konsekuensi etik yang mengikutinya. Penjelajahan estetik mulai dari konstruksi dramatik yang serba-romantik a la Flaherty sampai bagaimana menginderai sebuah kenyataan antropologi a la filemfilem Sensory Ethnography Lab mewarnai wacana perkembangan genre ini. Kecenderungan terakhir sinema ini memang menjadi observasional dan partisipatoris. Namun observasional dan partisipatoris ini tidak lepas dari problematikanya sendiri. Dalam merepresentasikan subyek periferal, lebih-lebih yang jauh atau kurang mendapat paparan teknologi media, ada godaan untuk menjadikannya sebuah “penemuan�. Observasi dan partisipasi yang dilakukan oleh si pembuat filem, yang datang dari situasi bermedia yang mapan, membuatnya berjibaku dengan artefak, situs, cara hidup, modus berada, dan spiritualitas subyeksubyek tersebut. Poin-poin tersebut di atas merupakan perangkat-perangkat yang sangat dapat dikategorisasikan dan digeneralisasi ke dalam hipotesis ilmu tertentu, selain dapat dieksploitasi untuk mendapatkan efek empatik untuk penonton. Kalau benar kredo seni adalah penemuan akan kebenaran universal, konstruksi bentuk filem bagaimana yang dapat mengartikulasikan tegangan periferi dengan universal itu? Syahdan, pembuat filem datang ke Desa Kondwal di Bhimashankar, India. Desa yang kental dengan kisah harimau dan dewa penjaga kampung. Ia memberikan kita imaji hutan, tebing, kampung dan bahkan ruang privat 55
warga. Subjek-subjek (manusia) hadir dengan berdiri diam, tidur menghadap tembok, suara dari luar layar (non-diegetik), dan interteks. Dalam filem ini, kita melihat observasional, namun tidak dalam artian definitif. Permainan konstruksi filem lewat dekupase dari berbagai unsur sinematik – seperti suara, interteks, citraan, dan pengadeganan – mengisyaratkan sebuah capaian bentuk yang mengartikulasikan subjek periferi yang kompleks secara utuh. Pembuat filem lainnya datang ke Desa Tan Hiep di Provinsi Quang Tri. Provinsi Quang Tri adalah area yang mendapatkan bom paling banyak ketika Perang Vietnam terjadi. Sebuah lokasi di mana waktu berhenti dan di saat bersamaan bergerak pasti menuju kematian. Filem ini observasional, dalam terma sesungguhnya. Kamera masuk ke ruang privat obrolan protagonisprotagonisnya, hingga sanggup menangkap momen ledakan emosi-emosi secara tak tergoyahkan. Hampir-hampir sulit membedakannya dengan pengadeganan. Ia menjadi capaian bentuk yang utuh karena keleburan kameranya, di samping strategi montasenya, sehingga berhasil menyibak trauma sejarah yang bersarang dalam diri para subjek beserta relasi sosialnya. Yang menjadi penting dari filem-filem di kompilasi ini adalah bagaimana mengukur sejauh apa eksperimentasi bentuk dalam mengartikulasikan apaapa yang mengendap di dalam kesadaran kolektif subjek periferi. Diikat oleh hubungan erat manusia dengan situsnya, filem And What Is Summer Saying? dan The Future Cries Beneath Our Soil menawarkan mitos, sejarah, cara hidup, dan pandangan subjek-subjeknya tanpa harus jatuh kepada pakem filem dokumenter observasional yang umum. Bahwa fiksi dan dokumenter samasama ikhtiar menuju penemuan kebenaran universal dalam bentuk sinema.
56
International Competition
IC 4
OBSERVATION TO THE PERIPHERY
Luthfan Nur Rochman Selector
In the discourse of ethnographic film, representing the subjects living in the periphery will bring forth the experimentation of cinema aesthetics. The experimentation is in parallel with the paradigm shifts in social science and ethics that follow it. The aesthetic explorations, which range from a dramatic construction with the romantic style of Flaherty up to how to perceive anthropological facts with the style of Sensory Ethnography Lab films, contribute to the discourse on the development of this genre. The latest tendency of this cinema is indeed observational and participatory. But these observation and participation bear their own problems. In representing peripheral subjects, especially those who are far or less exposed to media technology, there is a temptation to treat them as a “discovery”. Through observations and participations, the filmmakers – who come from a condition wherein media are used fluently – are engaged with the subjects’ artifacts, sites, ways of life, mode of being, and spirituality.The points listed above are tools that can be categorized and generalized into certain scientific hypotheses, in addition to being exploited to evoke the empathy in the audience. If it is true that the creed of art is to discover universal truths, then how the film construction can articulate peripheral tension with that universality? Therefore, a filmmaker came to the village of Kondwal in Bhimashankar, India. Within the village, there is a grand tale of a tiger and the village deity. He gives us images of forests, cliffs, villages and even private spaces of inhabitants. Subjects (humans) present in standing still pose, facing a wall while sleeping, non-diegetic sounds and intertext. In this film, we see an observational 57
approach but not in a definitive way. The film construction through its decoupagé of various cinematic elements – such as sound, intertext, imagery, and scene making – implies an achievement of form that articulates complex peripheral subjects as a whole. Another filmmaker came to Tan Hiep Village in Quang Tri Province. Quang Tri Province was the most bombarded area during the Vietnam War. It is a location where time stops and at the same time moves firmly towards death. This film is observational in the truest sense of the word. The camera enters the private space of the protagonists, to the extent that it can steadily capture the moments of explosive emotions. It becomes almost undistinguishable from well-constructed mise-en-scene. It becomes an integral form because of the camera’s fluidity and its montage strategy, so that it manages to uncover the historical trauma that resides in the subjects and their social relations. What is important about the films in this compilation is how to measure the extent of experimentation of form in articulating the sedimentation within the collective consciousness of the peripheral subjects. Being tied up by close human relations with the site, the films And What Is Summer Saying? and The Future Cries Beneath Our Soil offer myths, history, ways of life, and worldviews of their subjects without having to fall into the common observational documentary film conventions. That fiction and documentary are both endeavors to discover universal truths in the form of cinema.
58
IC 4 / 22 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
AND WHAT IS SUMMER SAYING
Country of production India Language Marathi Subtitles English 23 min, color, 2018
Imaji hutan, lanskap kampung, interior rumah, dan figur manusia keluar dari bunga teratai bersanding dengan suara rimba dan celoteh warga Desa Kondwal, Bhimashankar, yang berbagi mengenai mitos, ingatan, keseharian dan keinginan mereka. Terdengar reflektif, malu-malu, kadang berbisik, dan kadang merupa interteks dan pengadeganan. Upaya puitik mengurai jalin-jalin hubungan dalam suatu lokasi yang kental dengan the unknown.
Forest images, village landscapes, home interiors, and human figures come out of lotus flowers coupled with the sounds of the jungle and the chatter of the residents of Kondwal Village, Bhimashankar, who share their myths, memories, daily lives, and desires. Sounds reflective, shy, sometimes whispering, and sometimes intertext and attitude. Poetic efforts break down relations in a location that is thick with the unknown.
——Luthfan Nur Rochman
Payal Kapadia (India)
Payal Kapadia adalah pembuat filem dan seniman yang berbasis di Mumbai. Dia belajar Penyutradraan Filem di Institut Filem & Televisi India. Karyanya berkaitan dengan apa yang tidak mudah terlihat, tersembunyi di suatu tempat dalam lipatan ingatan dan mimpi. Di antara gerakan feminin kecil dan fanalah dia mencoba untuk menemukan kebenaran yang membentuk praktiknya. Karya-karyanya telah ditayangkan di berbagai festival filem internasional bergengsi.
Payal Kapadia is a Mumbai based filmmaker and artist. She studied Film Direction at the Film & Television Institute of India. Her work deals with that which is not easily visible, hidden somewhere in the folds of memory and dreams. It is between minor, ephemeral feminine gestures where she tries to find the truth that makes up her practice. Her works have been presented in prestigious international film festivals.
59
IC 4 / 22 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
MÙA CÁT VONG THE FUTURE CRIES BENEATH OUR SOIL Country of production Vietnam Language Vietnamese Subtitles English 95 min, color, 2018
Si residu, desa Tan Hiap, provinsi Quang Tri, adalah area yang paling sering dibom ketika Perang Vietnam. Kini ia menjadi tempat tinggal para protagonisnya yang tua bersama serpihan bom. Bagi para tokoh, saat ini yang ada hanya sakit badan, kerja ladang, minuman keras, dan lagu-lagu tentang perang dan yang ditinggal perang. Sementara di kejauhan, tokoh yang lain (masih) mencari serpihan logam dengan pendeteksi logam rakitan sambil bersaing dengan para penyapu ranjau profesional bayaran negara dan lembaga donor. Sebuah ode tentang menjadi tua dan kesempatankesempatan yang hilang (dan timbul) karena trauma sejarah.
The residue, Tan Hiap village - Quang Tri province was the area most frequently bombarded during the Vietnam War. Now it is home to the old protagonists along with bomb fragmentations. For the leaders, at present, there are only body aches, fieldwork, liquor, and songs about war and those left behind by the war. While in the distance, other figures (still) were looking for metal fragments with metal detector assemblies while competing with professional mine sweepers paid by the state and donor organization. An ode about getting old and missing (and arising) opportunities due to historical trauma.
——Luthfan Nur Rochman
Pham Thu Hang (Vietnam)
60
Pham Thu Hang telah bekerja sebagai peneliti di Institut Kebudayaan dan Seni Vietnam sejak tahun 2004. Dia kemudian bergabung dengan HanoiDoclab, sebuah pusat film dokumenter dan seni video di Hanoi. DI sana, ia membuat beberapa film dokumenter pendek. Sejak itu, ia memutuskan untuk menambahkan suaranya di komunitas pembuat filem dokumenter independen kecil dan aktif di Vietnam. Hang baru-baru ini memperoleh gelar Master dalam bidang Penyutradraan Dokumenter di sebuah konsorsium tiga universitas di Eropa di bawah program Master Joint DocNomads di Lisboa, Budapest dan Brussels.
Pham Thu Hang has worked as a researcher in Vietnam Institute of Culture and Art since 2004. She later joined HanoiDoclab, a breakthrough documentary and video art center in Hanoi where she made several short documentary films. She has since decided to add her voice in the small but active and growing community of young independent documentary filmmakers in Vietnam. Hang recently obtained her Master’s in Documentary Directing in a consortium of three universities in Europe under the DocNomads Joint Master program in Lisbon, Budapest and Brussels.
Kompetisi Internasional
IC 5
PERILAKU MIMESIS EVOLUSIONER DALAM LINGKARAN YANG ANEH Otty Widasari Selektor
Evolusi Imitasi Perilaku Manusia Pada pertengahan abad ke-19, terjadilah sebuah revolusi dengan ditemukannya teori yang mempelajari perubahan perilaku manusia, yang kita kenal sebagai teori evolusi. Charles Darwin yang kita kenal sebagai pelopor teori ini mengekspresikan perubahan tersebut sebagai “keturunan dengan modifikasi�. Diyakini bahwa perubahan karakteristik populasi biologis diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, dengan karakteristik ekspresi gen dari induk diturunkan pada anak saat proses reproduksi. Pada pertengahan abad ke-20, Richard Dawkins mengemukakan prinsip-prinsip evolusioner dalam menjelaskan terjadinya persebaran ide dan fenomena kultural. Bahwa evolusi tidak hanya bergantung pada basis kimiawi tertentu dari genetis, tapi juga atas keberadaan unit transmisi lainnya, yang juga memiliki kemampuan mereplikasi diri sendiri. Dawkins mencontohkan meme sebagai unit replikasi diri lain yang signifikan dan potensial dalam menjelaskan perilaku manusia dan evolusi kultural. Meme adalah imitasi dari ide, perilaku atau gaya yang menyebar dari orang ke orang di dalam tubuh kebudayaan. Aksi meme sebagai sebuah unit untuk membawa ide, simbol atau praktik-praktik kultural yang bisa disiarkan dari satu benak ke banak lainnya melalui tulisan, pidato, gestur, ritual, atau fenomena lain yang bisa dibuat tiruannya. Memasuki abad ke-21, perilaku manusia berubah signifikan dengan makin gencarnya penggunaan internet. Imitasi dari ide, perilaku, dan fenomena lainnya dalam kebudayaan umat manusia berpindah wadah – jika perubahan perilaku manusia terjadi melalui replikasi genetis dalam tubuh dari 61
generasi ke generasi; kemudian kita bisa melihat imitasi perubahan tersebut dalam wadah kebudayaan berupa meme – maka kini kita bisa melihat imitasi perubahan perilaku manusia terkini terjadi dalam wadah budaya internet: Internet meme. Meme mereplikasi diri dengan mengopi sistem syaraf yang satu ke sistem syaraf yang lain, baik dengan cara komunikasi atau imitasi. Komunikasi dapat langsung atau tidak langsung, di mana meme ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui salinan yang direkam dalam sebuah sumber: image macro. Pola keberhasilan penularan pikiran dalam bentuk meme menjadi lestari dalam kebudayaan dapat diukur melalui bagaimana tingkat replikasi meme yang tinggi, karena meme bersanding dengan paparan ide-ide yang bersaing. Tingginya tingkat replikasi tersebut membutuhkan beberapa pola. Banyak orang menggunakan cara-cara yang humoris, sinis, serta bersifat puzzle atau teka-teki. Dalam era internet, tak jauh berbeda, namun perbedaan yang signifikan terletak pada bagaimana meme tersebar dengan sangat cepat. Maka bisa kita bayangkan betapa cepatnya perubahan perilaku manusia dalam wadah budaya internet sekarang ini. Konsep, aktivitas, ide, slogan (catchphrase), penggalan media, atau bahkan peristiwa, menyebar seperti virus (viral) dari orang per orang dengan sangat cepat dalam wadah jaringan budaya pergaulan yang selalu terhubung. Bentuk imitasi budaya mengalami perubahan besar. Dia memiliki peluang besar untuk bermain di wilayah arbitrer. Salah-eja, atau pun gramatika rusak bisa menjadi estetika baru dalam budaya yang diimitasi dalam wadah internet ini. Meme internet merupakan evolusi ragam gaya dan sensasi yang tumbuh dengan sangat cepat karena internet merupakan fasilitas transmisi komunikasi instan dari mulut ke mulut (word of mouth). Putaran Yang Aneh Filem karya Alxander Cooper berjudul WeirdLoop yang dikirimkannya ke Arkipel tahun ini adalah sebuah karya video blog (vlog) di akun Youtube pribadinya. Sebagaimana vlog, pengambilan gambar yang dilakukan Cooper bergaya snapshot, yaitu gagasan dalam fotografi yang diambil tanpa persiapan, dan kemudian akhirnya dijadikan sebagai estetika tersendiri. Jelas dia menggunakan estetika yang ada di ranah kultur internet. Kesadarannya sebagai vlogger yang seperti tidak mempersiapkan sesuatu jelas 62
mengindikasikan sesuatu yang justru dipersiapkan. Menariknya, si sutradara menerapkan estetika meme internet ini dalam sebuah lokasi nyata: berkeliling kota membaca tanda-tanda yang tersebar dan mengindikasikannya sebagai sebuah konspirasi jahat yang diatur oleh kekuasaan besar yang menggiring masyarakat untuk berporos, entah ke kanan, atau ke kiri. Filem ini seperti dijadikan oleh pembuatnya sebagai alat analisa yang menghubungkan titik-titik aneh yang sebenarnya tidak aneh sama sekali, sekedar untuk membalikkan pemikiran umum yang praktis. Jika kita menilik lagi bagaimana meme mereplikasi dirinya sendiri di wadah internet, dia bergerak dengan sangat masif karena di sana ada intervensi jaringan teknologi digital dan media sosial secara robotik. Tanpa berkontak dengan manusia, dia akan tersebar melalui kerja alamiahnya algoritme internet. Maka apa yang terjadi di sana bukanlah visual yang harus dibaca dalam konteks estetika buah pemikiran manusia, melainkan estetika komputasi internet. Dalam usahanya mempelajari perubahan perilaku manusia baik secara biologis maupun kultural, para ilmuwan bergerak sebagai agen dalam kapasitasnya untuk bertindak, memberi sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan. Weirdloop adalah filem yang memainkan kapasitas keagensiannya dalam membingkai situasi sosial (politik) sekarang, dengan skeptisisme yang bisa dilihat sebagai sebuah kritik. Dengan melompat keluar dari estetika seni filem itu sendiri, Weirdloop melakukan aksi berkelana memenuhi hasrat “tidak penting� layaknya meme dan menyajikan sebuah estetika sosial.
63
International Competition
IC 5
EVOLUTIONARY MEMETIC BEHAVIOUR IN A STRANGE LOOP Otty Widasari Selector
Evolution of Human Behaviour Imitation In the mid-19th century, a revolution occurred when a theory that studies changes in human behaviour, which we know as the theory of evolution, was discovered. Charles Darwin, who we know as the pioneer of this theory, expressed this change as “descendants with modification�. It is believed that changes in the characteristics of biological populations are continued from generation to generation; characteristics of gene expression from the parent passed on to children during the reproductive process. In the mid-20th century, Richard Dawkins proposed evolutionary principles in explaining the spread of cultural ideas and phenomena. That evolution depends not only on the certain chemical basis from genetics but also on the existence of other transmission units which also can replicate themselves. Dawkins exemplifies memes as another significant and potential self-replicating unit in explaining human behaviour and cultural evolution. Memes are imitations of ideas, behaviours or styles that spread from person to person in the body of culture. Meme becomes a unit to carry cultural ideas, symbols or practices that can be broadcast from one mind to another through imitable propagations such as writing, speech, gestures, rituals, or other phenomena. Entering the 21st century, human behaviour changes significantly with the increasingly incessant use of the internet. Imitation of ideas, behaviour and other phenomena in human culture moves to another container. If the changes in human behaviour occur through genetic replication in the body from generation to generation, we can see then the imitation of this change in 64
the cultural container in the form of memes. Thus, now we can see an imitation of the latest changes in human behaviour takes place in the pool of internet culture: the internet meme. The memes replicate themselves by copying one nervous system to another, either by communication or imitation. Both in the direct or indirect communication, the memes are transmitted from one person to another through a copy recorded in a source: image macro. The culturally sustainable pattern of success in transmitting thoughts in the form of memes is measured by the high levels of meme replication because memes coexist with the exposure of competing ideas. The high level of replication requires several patterns. Many people use humorous, cynical or puzzle-like methods. In the internet age, it is not much different, but a significant difference lies in how memes are spread very quickly. So we can imagine how fast changes happen in human behaviour in the pool of internet culture today. Concepts, activities, ideas, slogans (catchphrases), pieces of media, or even events, spread like a virus (viral) from person to person very quickly in the ever-connected social networks. The form of cultural imitation undergoes a major change. It has a great opportunity to play in an arbitrary area. Misspellings or even broken grammar can be a new aesthetic in the culture imitated in this internet container. Internet memes are an evolution of a variety of styles and sensations that are growing very fast because the internet constitutes facilities of instant communication transmission through word of mouth. The Strange Loop Alexander Cooper’s film, Weirdloop, which he sent to ARKIPEL this year, comes from a video blog (vlog) in his personal YouTube account. Like the vlog itself, Cooper’s camera captures the image by using snapshot style, that is a photography concept that captures reality unprepared, but eventually, it becomes a distinctive aesthetic. He used such specific aesthetics from the realm of internet culture. His awareness as a vlogger who does not seem to prepare something indicates that actually something was being prepared. Interestingly, the director implemented the aesthetics of this internet meme in a real location: travelling around the city to speculate about the scattered signs and explained it as an evil conspiracy governed by the great powers that 65
lead the public to pivot, either to right or left. The film’s creator seems to make it as an analytical tool that connects strange points which are not strange at all, just to reverse the common sense. If we look again at how the meme replicates itself on the internet, it moves very massively because there are robotically interventions from digital technology and social media networks. Without any contact with humans, it will spread through its natural mechanism of the internet algorithm. So, what happens there is not a visual that must be read in the context of the aesthetics of human, but rather the aesthetic of internet computation. In their efforts to study the changes in human behaviour both biologically and culturally, scientists move as agents in their capacity to act, to contribute to science. Weirdloop is a film that plays its agency in framing current social (and political) situations, with scepticism which can be seen as a criticism. By leaping out of the art aesthetics of the film itself, Weirdloop takes an action of wandering to fulfil the “unimportant� desire, just like a meme, and presents itself as social aesthetic.
66
IC 5 / 22 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
WEIRDLOOP
Country of production UK Language English Subtitles 131 min, color, 2018
Dengan menggunakan gaya vlogging, filem ini menghadirkan analisa spekulatif netizen tentang peta spekulatif autisme masyarakat yang mengurung diri dalam pengulangan yang aneh.
By using the style of vlogging, this film presents the netizen’s speculative analysis regarding the speculative maps of public autism who confine themselves to a strange repetition.
——Otty Widasari
Alexander Copper is a UK based actor and producer with numerous projects in various stages of development. He has taken various supporting artist and actor roles in TV and film projects such as The Greatest Living Englishman, Downton Abbey, The Imitation Game, Woman in Gold, The Man Who Knew Infinity and Bastille Day.
Alexander Copper adalah aktor dan produser yang berbasis di Inggris yang menginisiasi berbagai proyek yang kini dalam berbagai tahap pengembangan. Dia mengambil berbagai peran pendukung dalam proyek-proyek TV dan filem seperti The Greatest Living Englishman, Downton Abbey, The Imitation Game, Woman in Gold, The Man Who Knew Infinity dan Bastille Day.
Alexander Cooper (UK)
67
Kompetisi Internasional
IC 6
MEMORI SPASIAL DALAM TUBUH MEKANIS Syaiful Anwar Selektor
Salah satu contoh ironi yang paling pahit adalah bagaimana sejarah akan berulang. Dalam perkembangan dokumenter, kehadiran tubuh dan ruang sebagai refleksi atas penyimpanan peristiwa dan gagasan di waktu lampau adalah moda usaha artistik dalam menawarkan dan memaknai kembali sejarah primordial dari subjek-subjek latarnya. Kehadirannya kerap kali menjadi representasi aktual dalam menarasikan kisah; susunannya memungkinkan munculnya peluang tafsir dan dialog baru sesuai bacaan kita hari ini. Usaha untuk mendapatkan tangkapan mekanis di setiap bidikan, yang kemudian disusun di atas bangunan realitas, membuat mereka istimewa bagi proses pendedahan realitas itu sendiri. Permainan dan persilangan antara representasi subjek-objek dan si perekam menjadi ikatan biologis dari realitas yang terbekukan dalam bingkaian mekanis itu, demi menunjukkan kebenaran filemisnya. Dua filem dalam kuratorial ini, Come to Me, Paradise dan Last Night I Saw You Smiling, mencoba melihat peluang-peluang tersebut. Bagaimana maknamakna terselubung di dalam jalinan narasi faktual mengimajinasikan ruang baru kepada publik, bahwa, yang ada hanyalah kebenaran filemis. Come to Me, Paradise menangkap dan menyusun isu pergulatan kemanusiaan dari ekspresi tubuh-tubuh para buruh migran yang menjadi pembantu rumah tangga dalam menghadapi situasi sosialnya. Sutradara juga cukup jeli melibatkan partisipasi dari subjek-subjek filem, yaitu dengan mengumpulkan rekaman ponsel pribadi para buruh. Rekaman-rekaman personal itu disertakan ke dalam filem sebagai cara untuk melihat secara alamiah dialog antara kamera dan subjek. Observasi 68
dengan pendekatan partisipatoris tersebut memungkinkan sutradara untuk membongkar perspektif non-auteur. Sementara itu, bidikan-bidikan dari kamera drone menjadi cara untuk melihat ruang sosial yang melingkungi tubuh-tubuh migran. Pengelolaan moda artistik inilah yang menjadi refleksi timbal-balik dari situasi sosial yang mereka hadapi; sebuah penyusunan afirmatif mengenai suatu proses yang berlawanan. “My solitude is the same as the other women because all the videos they make are forever stored in my cache� “Once transmission back home is completed, they still live inside me� Teks dari filem, Come To Me, Paradise Sejalan dengan filem pertama, sutradara Last Night I Saw You Smiling menyuguhkan narasi dari representasi citra biologis dan figurasi ruang. Kamera menjadi saksi langsung detik-detik akhir dari pembongkaran tempat tinggal bersejarah, serta peristiwa relokasi para penghuninya. Filem ini menghadirkan bidikan-bidikan detail yang secara cermat mengobservasi situasi dan aktivitas sosial di lingkungan tersebut. Contohnya, ialah di awal filem, saat kamera membidik lorong panjang dan kegelapan gedung ketika anak-anak bermain. Juga adegan setelahnya, saat seorang pejabat pemerintahan memberi tahu setiap penghuni tentang prosedur keuangan mereka sambil mengawasi proses relokasi tersebut. Bidikan berlanjut kepada para penghuni lain yang terlibat dalam obrolan. Dengan sadar, sutradara menempatkan sang juru rekam suara ke dalam bingkai kamera, mengikuti pejabat tersebut saat melakukan pendataan warga yang akan dipindahkan. Kejelian dalam membangun narasi ini juga akan kita lihat lewat lapuknya sistem dan infrastruktur tersebut. Melalui bingkaian lain, misalnya obrolan-obrolan antar-penghuni, baik para senior yang termangu mengingat bagaimana bangunan itu mengalami masa kediktatoran Khmer Merah di waktu silam sebagai pangalaman alamiah, pun penghuni dari generasi selanjutnya yang sibuk berkemas. Sambil berkemas untuk pindah, gestur-gestur tubuh para pencerita ini mengalami rasa kecemasan tentang generasi yang telah kehilangan sebagian dari akar mereka— rumah mereka dan perasaan aman mereka. Hal ini tergambarkan 69
juga tatkala ada sisipan gambar yang menyelami masa-masa lalu, sutradara menghadirkannya lewat bidikan ke foto-foto lama, juga lagu-lagu pop lawas yang meraung dari apartemen yang tersekat oleh tembok-tembok yang mulai rapuh. Ini bukan hanya sekadar perasaan nostalgia, juga bukan semata perasaan akan kehilangan akar diri, melainkan rasa cemas para penghuni ketika harus berdamai kembali di masa depan, masa yang juga terbingkai dengan rapuh dalam tiap bidikan mekanis filem ini.
70
SPATIAL MEMORY IN THE MECHANICAL BODIES Syaiful Anwar Selector
One of the most bitter examples of irony is how history will repeat itself. In documentary development, the presence of the body and space, as reflections of the retention of past events and ideas, is a mode of artistic endeavour in offering and redefining the primordial history of its background subjects. Its presence often constitutes an actual representation in narrating a story; its structure allows the emergence of new interpretations and dialogue opportunities compatible to our reading today. The effort to get a mechanical capture in every shot, which is then arranged on the construction of reality, makes them special for the process of dissecting the reality itself. The play and the cross between the subjective-objective representation and the recorder merge like a biological bond of the reality that is affirmed in the mechanical frame, in order to show its cinematic truth. Two films in this curatorial, Come to Me, Paradise and Last Night I Saw You Smiling, seek to address these opportunities. How the meanings which are veiled in the fabric of factual narratives give imagination of new expanse to the public, that is, what exists is only the of cinematic truth. The first film captured and constructed the issue of the struggle for humanity from the expressions of the bodies of migrant workers who became housemaids in dealing with their social situation. The director is also quite keen to involve the participation of film subjects by collecting personal cell phone records of the workers. Such personal recordings were included in the film as a way to naturally see the dialogue between the camera and the subject. The observation with a participatory approach allows the director to reveal the non-auteur perspective. Meanwhile, shots from drone cameras were a way to 71
International Competition
IC 6
see the social space that surrounds migrant bodies. This management of this artistic mode is a reciprocal reflection of the social situation they face; it’s an affirmative arrangement of an opposing process. “My solitude is the same as the other women because all the videos they make are forever stored in my cache” “Once transmission back home is completed, they still live inside me” (Dialog excerpt from Come To Me, Paradise) In line with the first film, the director of Last Night I Saw You Smiling presents a narrative of the representation of biological images and figurations of space. The camera bears witness directly to the last seconds of the demolition of historic residences, as well as the relocation of its residents. This film presents detailed shots that carefully observe the situation and social activities in the environment. For example, at the beginning of the film, when the camera was aiming at the long hallway and the darkness of the building while the children were playing. Also, the following scene, when a government official notifies every occupant of their financial procedures while overseeing the relocation process. The shot continued to the other residents involved in the conversation. Consciously, the director puts the sound recordist into the camera frame, following the government official during the data collection process of the residents who will be moved. Carefulness in developing this narrative will also be seen through the obsolescence of the system and infrastructure. Through other framings, for example, is the inter-residents conversation, that is both the senior residents who were stunned to remember how the building experienced the Khmer Rouge dictatorship in the past as a natural experience and the junior residents of subsequent generations who were busy packing. While packing to move, the body’s gestures of the narrators experience a sense of anxiety about the generation that has lost some of their roots—their homes and their feelings of security. It was also illustrated in some images remembering the past. The camera captured the old portraits, while the old pop songs sound from the apartment covered by the broken walls. It is not just a feeling of nostalgia, it is also not just a feeling of losing one’s roots, but of the anxiety of the inhabitants when they have to reconcile in the future, a time that is also fragilely framed in each mechanical shot of this film. 72
IC 6 / 22 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
LUMAPIT SA AKIN, PARAISO COME TO ME, PARADISE Country of production Canada Language Tagalog, English Subtitles English 26 min, color, 2017
Potret tentang kehidupan koloni para pekerja A portrait of the life of Filipino women wanita rumah tangga Filipina yang tinggal di domestic workers who live in Hong Kong. Hong Kong. Melalui eksperimentasi gambar Through the image and sound experiment, the dan suara, narasi filem menggabungkan film narrative brings together documentary peristiwa dokumenter dan fiksi ilmiah. events and science fiction. The frame of drone Bingkaian kamera drone berperan menjadi camera acts as a narrator but a specter as well, narator sekaligus momok, yaitu sebagai that is a medium to deliver digital messages of perantara penyampai pesan digital tentang the existence of those workers’ daily activities eksistensi aktivitas keseharian para pekerja stored in the cellphone video, to be delivered wanita tersebut yang tersimpan di dalam video to their origin homes. They are gathering every ponsel untuk disampaikan ke rumah-rumah Sunday, a day that becomes a ritual of making asal mereka. Berkumpul di setiap hari Minggu, messages for them and of socializing among hari yang menjadi ritual membuat pesan bagi the colonies in public space — starting from mereka dan bersosialisasi antar koloni di ruang meditating, chatting, pampering oneself up to publik. Mulai dari bermeditasi, berbincang, creating new spaces underneath the height of memanjakan diri hingga membuat ruang-ruang Hong Kong’s buildings, only to remind them of baru di kolong-kolong tingginya bangunan their own identity. megah gedung-gedung di Hong Kong dilakukan, hanya sekedar untuk mengingatkan kembali akan identitasnya. ——Syaiful Anwar
Stephanie Comilang (Canada)
Stephanie Comilang is an artist living and working between Toronto and Berlin. She received her BFA from Ontario College of Art & Design. Her documentary-based works create narratives that look at how our understandings of mobility, capital and labor on a global scale are shaped through various cultural and social factors. Her work has been shown at Ghost : 2561 Bangkok Video & Performance Triennale, S.A.L.T.S Basel, UCLA, International Film Festival Rotterdam, and Asia Art Archive in America, New York.
Stephanie Comilang adalah seniman yang tinggal dan bekerja antara Toronto dan Berlin. Dia menerima BFA dari Ontario College of Art & Design. Karya-karya berbasis dokumenternya menciptakan narasi yang mencoba menelaah bagaimana pemahaman kita tentang mobilitas, modal dan tenaga kerja dalam skala global dibentuk melalui berbagai faktor budaya dan sosial. Karyanya telah ditampilkan di Ghost: 2561 Bangkok Video & Performance Triennale, S.A.L.T.S Basel, UCLA, International Film Festival Rotterdam, dan Asia Art Archive di Amerika, New York.
73
IC 6 / 22 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
YUB MENH BONG KEUNH OUN NHO NHIM LAST NIGHT I SAW YOU SMILING Country of production Cambodia Language Khmer Subtitles English 78 min, color, 2018
Rekaman fisik terakhir si pembuat tentang situs huniannya di hari-hari terakhirnya — Gedung Putih Phnom Penh. Ia merupakan hunian petakan bagi ratusan keluarga dan menjadi arus budaya karena kepadatan komunitasnya. Melalui obrolan dengan penduduk senior dan ayahnya, pembuat filem menghadirkan ceritacerita perjalanan dan peristiwa bersejarah di Kamboja yang melekat pada tiap tembok Gedung Putih. Sekarang, tembok itu rapuh dan roboh, seiring dengan bunyi mesin-mesin penghancur, dan para penghuni lama harus segera pindah. Keintiman terhadap bangunan yang telah menjadi akar bagi para penghuni untuk mengenal dirinya, kini berubah menjadi kecemasan dan kehilangan seiring dengan pertanyaan tentang bagaimana cara ‘berdamai‘ dengan masa depan.
The last physical recordings from the filmmaker regarding the final days of his home – Phnom Penh White House. It was home for hundreds of families and a cultural current due to its dense community. Through conversations with senior residents and his father, the filmmaker brings forth stories of historical journeys and events in Cambodia, embedded in every White House’s walls. Now, those walls are fragile and will collapse, as the sounds of crusher machine came while the residents must move away. Intimacy toward the building that has become root of its resident has become an anxiety and loss, as the question on how to ‘make peace’ with the future rises.
——Syaiful Anwar
Kavich Neang (Cambodia)
74
Kavich Neang (1987, Kamboja) mempelajari Musik dan Tari sebelum lulus dari studi Desain pada tahun 2013. Pada tahun 2010, ia menyutradarai filem pendek pertamanya, A Scale Boy, sebagai bagian dari lokakarya filem dokumenter yang dipimpin oleh sutradara Rithy Panh. Pada tahun 2014, ia ikut mendirikan perusahaan produksi independen bernama Anti-Archive. Fiksi pendek ketiganya, New Land Broken Road (2018), adalah bagian dari omnibus Asia Tenggara yang ditayangkan perdana di Singapura.
Kavich Neang (1987, Cambodia) studied Music and Dance before graduating in Design in 2013. In 2010, he directed his first short film, A Scale Boy, as part of a documentary film workshop led by filmmaker Rithy Panh. In 2014, he co-founded the independent production company Anti-Archive. His third short fiction, New Land Broken Road (2018), is part of a Southeast Asian omnibus which premiered in Singapore.
Kompetisi Internasional
IC 7
BATASAN KETIDAKTERBATASAN
Afrian Purnama Selektor
Saya tertegun saat melihat sebuah tayangan di kanal video streaming yang berisikan tentang investigasi penampakan mahluk halus di sebuah gudang kosong dan gelap yang dipercaya banyak dihuni oleh makhluk halus. Beberapa orang yang seakan memiliki akses dan dapat melihat ke dimensi lain menunjuk-nunjuk satu sudut gelap yang menurutnya dihuni arwaharwah; kuntilanak genderuwo, pocong, dan lain sebagainya. Setelah gestur menunjuk-nunjuk itu, adegan video berpindah ke tayangan dari kamera lain, yang menampilkan sudut lain dari tempat yang sama. Karena direkam di dalam ruangan yang sangat gelap, rekaman itu menghasilkan gambar yang sangat buram dan tebal akan noise. Seorang paranormal lalu datang dan melihat rekaman itu dan menjelaskan noise tadi sebagai gejala keberadaan mahluk halus yang mencoba berinteraksi dan terekam kamera. Seakan tidak cukup dengan imaji noise tadi, dia segera mengambil cat air dan kertas untuk menggambarkan rupa hantu yang mendiami tempat itu, seakan-akan dia sadar bahwa kamera, seberapa pun canggihnya, tidak akan mampu menangkap bayangan dari dimensi lain. Kasus tersebut adalah praktik yang menempatkan benda hasil perkembangan teknologi seakan-akan kehilangan fungsi aslinya. Kita melihat benda tersebut — yaitu kamera — dihadapkan pada suatu situasi kultural, sehingga keberadaannya tidak lagi hanya untuk menangkap objek fisik saja. Keterbatasan benda itu dilihat bukan sebagai dampak atas kelemahan yang terjadi dalam sistem mekanis dan elektronisnya, namun sebagai penggambaran subjek lain dan diinterpretasikan sejalan dengan pemahaman kulturalnya. Sedikit pengetahuan terhadap cara kerja kamera, khususnya 75
kamera digital, akan membuat kita paham bahwa perekaman di sebuah ruang dengan cahaya yang minim akan menghasilkan banyak sekali gangguan berupa noise. Dalam kasus ini, gangguan atau noise diterjemahkan ke dalam bahasa lain yang sama-sekali tidak berhubungan dengan cara kerja mekanis dan elektronis kamera. Ide terhadap keterbatasan atas cara kerja kamera, lalu menginterpretasikan, atau mentransformasikan keterbatasannya itu menjadi tema utama tulisan di seleksi ini. Dalam konteks berkesenian, keterbatasan sangat lekat dengan praktik eksperimentasi karena kondisi keterbatasan sering kali menjadi celah bagi seniman untuk mengupayakan rupa dan bentuk baru, sehingga hasil yang dicapainya menjadi berbeda dan progresif dari bentuk yang sudah pernah diupayakan sebelumnya. Kedua filem yang hadir dalam program seleksi ini membicarakan usaha-usaha metode representasi visual, yang sebenarnya menekankan pada dua hal yang berbeda, yaitu proses dan hasil akhir. Namun keduanya tetap terikat dengan ide terhadap keterbatasan sebagai dorongan eksperimentasi dalam ranah seni. Filem Camara Oscura menyituasikan penonton ke dalam proses ulang-alik reproduksi gambar; digital, analog hingga non-mekanikal. Dalam tangkapan gambarnya, kita melihat karakteristik masing-masing metode, apa-apa saja yang dapat ditampilkan, dan yang juga tidak dapat ditampilkan dari metode produksi gambar tersebut. Sementara dalam filem Memento Stella, kamera seakan-akan melampaui fitrahnya sebagai alat perekam gambar bergerak. Memento Stella memperlihatkan permainan tekstur cahaya yang dihasilkan oleh metode penumpukan gambar. Gambar yang multi-layer ini menciptakan suatu sugesti terhadap ruang yang tidak terbatas, konfigurasi cahaya abstrak, dan seakanakan tidak merepresentasikan objek fisik yang ditangkap kamera, tapi juga tetap bisa diintepretasikan secara subjektif oleh masing-masing penonton.
76
International Competition
IC 7
LIMIT OF THE INFINITE
Afrian Purnama Selector
I was stunned when I saw a video on a streaming channel about an investigation of the appearance of spirits in an empty and dark warehouse that was believed to be inhabited by ghostly spirits. Some people on the screen who seemed to have access and were able to look at the other dimensions, they pointed at a dark corner that they think was inhabited by the spirits; kuntilanak, genderuwo, pocong, and so on. After the pointing gesture, the video moved to a new shot filmed with another camera, which displayed another angle from the same place. Because it was recorded in a very dark room, the recorded video produced an image that looked very blurry and noisy. A psychic then came, saw the recorded video, and explained the image noise as a sign that there were spirits who were trying to interact and to be recorded by the camera. As if not enough with the image of noise, the psychic immediately reached for watercolor and paper to paint the image of the ghost that inhabited the place; it looked as if he realized that however sophisticated the camera was, it would not be able to capture the traces of the other dimensions. That case is a practice in which objects from technological development seem to lose their initial function. We see these objects – namely cameras – are placed in a cultural situation, and their existence is no longer just to capture physical objects. This limitation of the cameras is seen not as the impact of their weak mechanical and electronic systems, but a depiction of other subjects, and this limitation is interpreted in line with their cultural understanding. With a little knowledge of how cameras work, especially digital cameras, we know that recording in a room with minimal light will produce a lot of disturbance in the visual form of noise. In this case, the disturbance or 77
the noise is translated into another language, which is completely unrelated to the mechanical and electronic works of cameras. The idea of limitations on how the camera works and the interpretation of the transformation of their limitations become the main theme in this selection. In the context of art practice, limitations are very closely related to experimentation because the limiting conditions can often become an aperture to seek new forms and visuals so that the results of that practice can become different and more progressive compared to what has been attempted before. The two films in this program discuss the methods of visual representation that emphasize two different things, namely the process and the final result. But both remain attached to the idea of ​​limitations as an encouragement to experiment in the realm of art. Camara Oscura engages the audience in the processes of image reproduction; going back and forth between the digital, analog, and non-mechanical processes. In the images that it captures, we can see the characteristics of each image production method, and also see what can and cannot be displayed by those methods. While in Memento Stella, the camera seems to surpass its nature as a recording device. Memento Stella shows us the play of light texture produced by the method of layering images. These multilayered images suggest an unlimited space, configurations of abstract light, and they do not seem to represent the physical objects captured by the camera, yet the audience can subjectively interpret them.
78
IC 7 / 23 August, GoetheHaus, 13.30 / 15+
CÁMARA OSCURA
Country of production Argentine Language Subtitles 61 min, color, 2017
Seorang pria yang kira-kira berumur paruh baya berada sendirian di dalam ruangannya untuk melakukan proses produksi dan reproduksi gambar. Pria ini tidak memiliki kisah, tidak juga bercerita apapun tentang sesuatu yang personal, namun apa yang dilakukannya terhadap kamera, layar, juga kuas menceritakan proses ulang-alik tentang bagaimana sebuah gambar tercipta.
A middle-aged man is alone in his room, producing and reproducing images. This man does not have a story, nor does he tells anything about something personal, but what he does with the camera, the screen, and the brushes tells the process about how an image is created.
——Afrian Purnama
Javier Miquelez lulus dari jurusan Filem di Sekolah Seni Sinematografi di Avellaneda, Buenos Aires. Ia adalah director of photography pada beberapa filem, seperti “Lo Que Vendra,” “Trelew,” dan “Ronda Nocturna.” Dia juga bekerja di industri periklanan. “Cámara Oscura” adalah filem pertamanya sebagai sutradara.
Javier Miquelez holds a degree in Film Studies of Cinematographic Art School in Avellaneda, Buenos Aires. He was the director of photography on several films, such as “Lo Que Vendrá,” “Trelew,” and “Ronda Nocturna.” He has also worked in the advertising industry. “Cámara Oscura” is his first film as a director.
Javier Miquelez (Argentine)
79
IC 7 / 23 August, GoetheHaus, 13.30 / 15+
MEMENTO STELLA
Country of production Japan Language Subtitles 60 min, color, 2018
Memento Stella berisi konfigurasi abstrak dari pergerakan cahaya-cahaya yang direkam melalui kamera. Filem ini seakan-akan mengimajinasikan dimensi yang tidak terbatas, baik itu waktu, ruang serta arti terhadap gambarnya itu sendiri.
Memento Stella contains an abstract configuration of the motion of the lights recorded through a camera. This film seems to imagine an unlimited dimension, about the time, space, and the meaning of the image itself.
——Afrian Purnama
Takashi Makino (Japan)
80
Takashi Makino (1978) lahir di Tokyo. Ia merupakan lulusan studi Sinematografi/Perekaman Suara di Departemen Sinema Nihon University College of Art, Jepang, di tahun 2001 dan ia mengkaji filem, pencahayaan serta musik di Quay Brothers di Atelier Koninck QBFZ di London pada tahun 2001. Ia memperoleh keahliannya terkait filem dan video ketika ia bekerja sebagai Colorist yang mewarnai berbagai filmografi, iklan dan video musik dari tahun 2001 hingga 2011. Karyanya kini telah banyak dihadirkan pada berbagai festival filem dan acara kesenian. Ia tinggal dan bekerja di Tokyo.
Takashi Makino (1978) was born in Tokyo. He graduated from Cinematography / Sound Recording course at Department of Cinema at Nihon University College of Art, Japan in 2001 and he studied about film, lighting, and music under Quay Brothers at Atelier Koninck QBFZ in London in 2001. Makino gained his skills relating to film and videos while he was undertaking coloration as a Colorist on various filmography, CF, and music videos from 2001 to 2011. His works have been presented in various international film festivals and art context. He currently lives and works in Tokyo.
Disarikan dari https://urano.tokyo/ en/artists/takashi_makino/
Retrieved from https://urano.tokyo/ en/artists/takashi_makino/
Kompetisi Internasional
IC 8
INDEKS DAN KONTEKS EKSPERIMEN BENTUK Manshur Zikri Selektor
Eksperimentasi formal sebagai pengembangan estetika filem adalah upaya “meledakkan� potensi gambar, pada satu sisi, dan alat rekam (kamera) di sisi yang lain. Daur penjelajahan teknisnya, jika dipaparkan secara ringkas dengan mengacu teoretisasi Deleuze, ialah pada bidikan konstruktif — dan kemudian penyusunan gambar — yang berusaha mencapai batas daya penglihatan penonton. Tangkapan-tangkapan yang lumrah dan manusiawi menyajikan kepadatan gambar yang memiliki koneksi dengan kenyataan inderawi di luar bingkai sinema. Batasan itu lantas didobrak melalui investigasi ritmis terhadap elemen-elemen gambar yang bergerak serempak, untuk menciptakan kelenturan perseptual, yaitu sudut pandang yang cair tanpa bertumpu pada perspektif insaniah. Di situ, ketelatenan terhadap medium dan perangkat perekaman adalah basis eksperimen: bagaimana kamera disikapi dan diperlakukan, atau bahkan diinterpretasi pada fase ketika operasional dari proses produksinya telah berlalu. Penjelajahan sinema dalam rangka produksi bahasa seharusnya tidak berhenti pada kepekaan grid ataupun keselarasan komposisi visual, sebab representasi sinematik ialah zona dengan lapisan orbit tanpa sudut yang mengandaikan volume. Maka, melalui kesadaran terhadap interval sekaligus hubungan temporal antargambar, eksperimen bentuk perlu didorong untuk bisa mencapai interpretasi murni dari kerja mata mesin dalam menciptakan konten yang dinamis. Tempo dalam penyusunan gambar, baik dalam hal durasi, jarak terhadap subjek/objek ambilan, maupun perpindahan visi, akan
81
bisa memicu apa yang disebut Deleuze “afeksi� dan “ekspektasi� di kepala penonton sehingga narasi formal dari sinema menjadi bahasa yang aktif. Namun, penjelajahan formal pada filem tidak jarang menjerumuskan, baik pembuat maupun penonton, ke dalam perhatian semata visual sehingga konteks-konteks yang mendasari eksperimentasi menjadi terabaikan. Formalitas filemis bisa saja membuat kita steril dari realitas dunia sosial yang berada di luar batas transparan layar sinema. Menyadari hal itu, imajinasi bentuk seharusnya niscaya berangkat dari respon subjektif pembuat terhadap aspek-aspek sosial dari medium filem daripada sekadar terdorong oleh hasrat untuk menguliti aspek fungsional teknologi. Enam filem di dalam kurasi ini menunjukkan eksperimen sinematik yang menekankan intensitas bentuk. Mereka bisa dilihat sebagai indeks untuk mengacu sejumlah temuan-temuan eksperimen formal lintas zaman, tetapi juga dengan cermat menyertakan konteks yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah mengenai situasi aktual sekaligus sejarah dari bahasa dan model penggunaan teknologi-teknologi pencipta visual. Kemasan puitik pada konten mereka menyiratkan celah reflektif atas pengalaman-pengalaman massa dan individu, dulu dan kini, terutama karena pilihan material dan cara produksi masing-masing sutradaranya yang berusaha keluar dari preferensi arus utama.
82
International Competition
IC 8
INDEX AND CONTEXT OF FORMAL EXPERIMENTATION Manshur Zikri Selector
Formal experimentation as the development of film aesthetics is an attempt to magnify the images’ potential, on the one hand, and recording devices (cameras) on the other. Its pattern of technical exploration, if we briefly refer to Deleuze’s theorization, is initially on constructive shots — and then organization of images — that try to reach towards the zenith of the audience’s vision. Ordinary and humane shots present solidity of images that closely connect with the sensory reality outside the film frame. Such limitations are then broken through rhythmic investigation of the elements of the images which move simultaneously, to create perceptual flexibility that constitutes a liquid perspective without relying on a human perspective. There, tenacity in dealing with recording medium and devices is the foundation of the experiment. It’s about how to respond and address the camera, or how to interpret it even when its production process has ended. Cinematic exploration in terms of language production should not stop at the accuracy in grid or harmony in visual composition, because cinematic representation is a zone where its orbital layer without corner, presupposing volume. Thus, through the awareness of intervals as well as of temporal relationships between the images, formal experiments need to be encouraged to be able to achieve a pure interpretation of the works of machinery eye in creating dynamic content. Tempo in the arrangement of images – both in terms of duration, distance to the captured subject/object, and the shift of vision – will be able to evoke what Deleuze called “affection” and “assumption”
83
in the audience’s head, so that the formal narrative of cinema becomes an active language. However, formal exploration of the film often trick both creators and viewers into focusing extensively on the visuals, while the context underlying the experimentation itself is often ignored. Filmic formalities disconnect us from the reality of the social world that exists outside the edges of cinema screens. Therefore, the imagination of form should come from the filmmaker’s subjective response to the social aspects of film medium, rather than merely being driven by their desire to examine the functional aspects of technology. The six films compiled in this curation indicate a cinematic experiment on the intensity within forms. We can posit them as an index to refer to several formal experiments across the ages, but they also meticulously include the context of current issues as well as the language histories and usage model of technologies that create visual. Poetic presentment in their content implies a reflective aperture on the collective and individual experiences, past and present, particularly due to the material choices and the mode of production of each director who tries to get out of mainstream preferences.
84
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
MEMORIA DEL ESPACIA SPACE MEMORY Country of production Argentine Language Subtitles 10 min, color, 2018
Konstruksi formal atas cahaya yang menembus jendela gedung Ex-ESMA (gedung bekas Escuela de Mecánica de la Armada yang beralih fungsi menjadi museum peringatan) sebagai salah satu langkah dari semacam pengamatan yang teliti dan giat terhadap bagian dalam lokasi, demi menyelidiki arah dan persepsi waktu. Bentuk cahaya yang dimainkan pun menjadi puisi visual, sedangkan konteks situs seakan menarik kita kembali untuk mengingat sejarah kekerasan masa lalu yang pada masanya junta militer memainkan politik kontrol lewat penghilangan dan pembantaian untuk meredam gerakan oposisi — para gerilyawan. Jendela yang berpuisi itu seakan menjadi metafor bagi ambang ingatan kita, yang menghubungkan ruang dan waktu itu sendiri.
It is a formal construction of light coming through the window of the Ex-ESMA building (the former building of the Escuela de Mecánica de la Armada which turned into a memorial museum), as one step from a careful and active observation of the inner side of the site, to investigate the course and perception of time. The played form of light constitutes visual poetry, while the context of the site seems to draw us back to recall the history of past violence when the military junta played politics of control by enforced disappearances and massacres to quell the opposition movement — the guerrillas. Such poetic windows come to be a metaphor for the threshold of our memory, and it is itself connecting the space and time.
——Manshur Zikri
Rodrigo Noya adalah seorang seniman, musisi, dan guru di bidang audiovisual. Dia juga seorang desainer audiovisual di Universitas Buenos Aires. Dia telah mempresentasikan karyanya secara internasional, seperti di VideoBardo, Bienal de Imagen en Movimiento, Oberhausen Kurzfilmtage, BAFICI, Mata Negra, FIVA, PLAY, IVAHM, Escalatrónica, dan lainnya.
Rodrigo Noya is an audiovisual artist, musician and teacher. He is also an audiovisual designer at the University of Buenos Aires. He has presented his works internationally, such as at VideoBardo, Bienal de Imagen en Movimiento, Oberhausen Kurzfilmtage, BAFICI, Mata Negra, FIVA, PLAY, IVAHM, Escalatrónica, among others.
Rodrigo Noya (Argentine)
85
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
STEINE STONES Country of production Germany Language Subtitles 8 min, color, 2018
Dokumentasi eksperimental yang dikonstruksi untuk memposisikan batu, materi alam mayor dan telah menjadi bahan utama dalam sejarah perkembangan arsitektural di sepanjang peradaban manusia, sebagai figur utama. Dengan susunan bahasa filem berdasarkan formalitas visual objek tersebut, filem ini merangkai hubungan sebab-akibat yang muncul dari interaksi manusia dan alam, membawa kita ke ranah refleksi mengenai pembangunan, tata ruang kehidupan sosial, sekaligus juga dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan tindakan manusia terhadap lanskap-lanskap alamiah yang ada. Dari segi estetis, filem ini merupakan ungkaian tentang pertemuan antara formalitas kamera dan organisme alamiah, menyertakan narasi pertemuan antara lanskap bebatuan tanpa bentuk dan yang dibentuk manusia.
It is an experimental documentation constructed to position the stones, major natural material and has become the main ingredient in the history of architectural development throughout human civilization, as its main figure. By the composition of film language based on the visual formality of the object, it assembles a causal relationship arisen from human and natural interactions, bringing us into the realm of reflection on the development, spatial layout of social life, as well as the effects of climate change which related to human action on the existing natural landscapes. In terms of aesthetics, this film is a talk about a rendezvous between the camera formality and natural organisms, including the narrative of the encounter between the landscape of “construct-less” natural stones and human-constructed rocks.
——Manshur Zikri
Jörn Staeger (Germany)
86
Jörn Staeger lahir pada tahun 1965 di Berlin. Sejak tahun 1979, ia membuat filem pendek dan bekerja di bidang perfileman dan televisi (kebanyakan di belakang kamera). Tahun 1990, ia mendirikan perusahaan produksinya – Staeger Film. Fielm pendeknya “Spooky Transit” tayang di NFL 2015.
Jörn Staeger was born in 1965 in Berlin. Since 1979, he has made short films and worked for film and TV (mostly behind the camera). In 1990, he founded his production company – Staeger Film. His short film “Spooky Transit” was screened at the 2015 NFL.
http://www.staeger-film.de
http://www.staeger-film.de
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
LIQUID TRAITS OF AN IMAGE APPARATUS
Country of production Austria Language German Subtitles English 8 min, color, 2019
Filem ini membangun montase yang membebaskan kode-kode abstrak mesin digital dari makna bawaannya, yaitu gambar/bentuk yang merangsang kepuasan inderawi dan fisik manusia dari segi keterbacaan akibat konsepsi semantik dan fungsi instruksional yang mereka ciptakan dan miliki. Pembebasan makna bawaan itu, tentu saja, terjadi karena bingkaian filem membuat kode-kode tersebut menyerap karakteristik spasial dari citra sinematik yang lebih menekankan aksi lihatan (seeing) ketimbang membaca (reading), sehingga mereka terkonsentrasi sebagai semata gambar solid daripada unit-unit visual antarmuka. Sementara, yang tersisa ialah basis-basis pengalaman dan pemahaman kolektif kita yang dibentuk oleh mekanisme kerja media, menjadi benang merah yang membangun narasi filemis mengenai kelenturan sifat mereka.
This film builds a montage that frees the digital machinery abstract codes from their innate meanings, that is such images or forms stimulating sensory and physical satisfaction in terms of the readability due to the semantic conception they create and the instructional functions they have. The liberation of such innate meaning, of course, occurs because the film’s fame makes the codes absorb the spatial characteristics of cinematic imagery which emphasize the action of seeing rather than reading so that they are concentrated as mere solid images rather than visual units of the interface. Meanwhile, what remains are the bases of our collective experience and perception constructed by the media mechanism, which becomes connecting lines for filmic interpretation about the liquidity of their traits.
——Manshur Zikri Vera Sebert lahir pada tahun 1987 di Freiburg im Breisgau, Jerman. Ia tinggal dan bekerja di Braunschweig, Jerman. Ia belajar Seni Visual di HBK Braunschweig dan Academy of Fine Arts Vienna. Karya-karyanya berkisar di antara masalah area perbatasan antara media visual, bahasa, filem, dan program komputer.
Vera Sebert was born in 1987 in Freiburg im Breisgau, Germany, lives and works in Braunschweig, Germany. She studied Visual Art at HBK Braunschweig and Academy of Fine Arts Vienna. Her artworks ranged among the issue of border areas between visual media, language, film and computer programs.
Vera Sebert (Austria)
87
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
CENTAR
Country of production Serbia Language Subtitles 48 min, color, 2018
Dengan menunjukkan kepekaan tinggi pada komposisi matematis, Centar mengonstruksi sifat-sifat formal ruang dan lanskap bangunan bersejarah yang tengah menyambut masa lapuk keberadaannya sebelum memasuki fase baru sebagai bangunan privat. Para petugas kebersihan Sava Centar—gedung kongres yang berdiri sejak tahun 1978 dan telah menjadi representasi dari cita-cita tentang bangsa yang mandiri dari dua kubu—bekerja merawat gedung itu dalam irama gerak yang mengesankan adanya kesinambungan mekanistik antara rigiditas bangunan tua dan upaya pelestarian kenangan historis. Suara suasana yang melatari narasi formal pada filem ini seakan menjadi kiasan tentang keheningan menuju mumifikasi gagasan-gagasan idealisme lampau, menyisakan semata sublimasi nostalgis dari tujuan yang dahulu dibayangkan.
With its high sensitivity to mathematical composition, Centar constructs the formal characteristics of space and landscape of historical buildings that are facing its obsolescent period of existence before entering a new phase as a private building. The janitors at the Sava Centar – a congress building that was founded in 1978 and has become a representation of ideals of the future about an independent nation from the two powers –work to care for the building in a seemingly rhythmic motion, impressing a mechanistic interconnection between the old building’s rigidity and the preservation of historical memories. The sounds of ambience background the formal narrative of the film seems to be an allegory of silence towards the mummification of the notions of past idealism, remaining just a nostalgic sublimation of ideals that used to be imagined.
——Manshur Zikri Ivan Marković (lahir 1989 di Beograd, Yugoslavia) menyelesaikan studinya di bidang Sinematografi. Saat ini ia sedang menyelesaikan gelar masternya di bidang Seni dan Media di Universität der Künste Berlin. Pada tahun 2015, ia berpartisipasi di Berlinale Talent Campus. Filemfilemnya, antara lain Everything Is Safe (2009), Night Walks (2014), dan If and of any (2017).
Ivan Marković (Serbia)
88
Ivan Marković (b. 1989 in Belgrade, Yugoslavia) completed his studies in Cinematography. He is currently completing his master’s degree in Art and Media at the Universität der Künste Berlin. In 2015, he participated in the Berlinale Talent Campus. His films include Everything Is Safe (2009), Night Walks (2014) and If and of any (2017).
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
SATURATION
Country of production France Language France Subtitles English 29 min, color, 2019
Memfokuskan penelaahannya pada karakteristik kamera, Saturation bukan semata berbicara tentang pemanfaatan intensitas warna sebagai elemen bahasa visual. Menyaru dengan latar naratif filem, yaitu karakter Emma yang dihantui oleh pikirannya sendiri sehingga mengamati sekitar dengan pandangan kosong, montase Saturation yang bermainmain dengan tempo bidikan jauh, sedang, hingga extreme close-up mengindikasikan upaya realisasi gagasan “movement-image”nya Deleuze mengenai kelenturan dan sifat berubah-ubah dari persepsi sinematik, yang secara filosofis mengedepankan potensi kamera untuk melampaui daya penglihatan umum demi memburu visi yang murni dari kerja mata mekanis. Dalam konteks itu, Saturation berusaha merangkum sebagian sejarah estetika gambar bergerak yang keluar dari gaya ungkap filem yang sederhana.
Focus on the examination of the camera’s characteristics, Saturation is not just talking about using color intensity as an element of visual language. Vaguing by the film narrative’s background, in which Emma’s character was haunted by her thoughts so that she observes her surroundings with an absent eye, Saturation’s montage playing around with the tempo of the long, medium, and extreme close-up shots that indicates Deleuze’s idea of “movement-image”, that is the flexibility and the liquid traits of cinematic perception; the idea that philosophically emphasizes the camera’s potentiality in going beyond general perception in order to pursue a pure vision of mechanic-eyes. In that sense, Saturation tries to summarize some parts of moving images aesthetics that break through the mainstream style of film expression.
——Manshur Zikri Perrine Liévois adalah seorang sutradara, penulis skenario, dan sound editor. Sejumlah karyanya, antara lain Echoes (2008) yang mendapat penghargaan Best Film Moondance, The Human Function (2007), dan And if you meet a wall, cross-the (2006). http://www.perrinelievois.com
Perrine Liévois is a director, screenwriter, and sound editor. Some of her films, among others are Echoes (2008) which got Best Film Moondance, The Human Function (2007), and And if you meet a wall, cross-the (2006). http://www.perrinelievois.com
Perrine Liévois (France)
89
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.30 / 15+
SAPU ANGIN WINDSWEPT Country of production Indonesia Language Subtitles 6 min, color, 2017
Menempatkan kamera pada tubuh merpati Placing the camera on the body of the pigeon untuk merekam pemandangan dari langit, to record the scene from the sky, Sapu Angin Sapu Angin menyajikan bahasa eksperimental presents an experimental language through melalui visual yang terdeformasi; secara deformalized visual. It conceptually combines konseptual menggabungkan dua jenis bentukthe two type of imagery-forms: the first, the one citra: pertama, yang nonstruktural dan tak non-structural and unpredictable in perceptual terprediksi dari segi indera perseptual (karena senses (because the image capture was left pengambilan gambar diserahkan sepenuhnya entirely to the trajectory of the fluttering of the kepada trajektori kepakan sayap burung), dan bird’s wings), and the second, the visual form kedua, bentuk visual yang dapat diukur dalam that is measurable in anatomical logics—the logika anatomis — gerakan konstan sayap constant motion of the pigeon’s wings have been merpati telah terbukti secara ilmiah memiliki scientifically proved to have a certain pattern. pola tertentu. Produksi yang didasarkan pada The production based on the combination of kombinasi konsepsi yang kontradiktif seperti such contradictory conceptions, in fact, draws a itu, pada kenyataannya, menarik refleksi kritis critical reflection of technological development mengenai perkembangan teknologis dari alat of contemporary recording devices, in which rekam kontemporer, tatkala kombinasi kamera the combination of action-cams, mobile apps, aksi, aplikasi seluler, dan kendaraan udara tak and unmanned aerial vehicles commercially berawak muncul secara komersial, memenuhi emerge to meet our imagination of the imajinasi kita tentang gambar bergerak yang sophisticated moving images. canggih. ——Manshur Zikri
Cahyo Prayogo (Indonesia)
90
Cahyo Wulan Prayogo adalah seniman yang berbasis di Surabaya, Indonesia. Anggota Kinetik, sebuah komunitas yang fokus pada kegiatan seni dan sinema. Ia aktif membuat karya gambar bergerak menggunakan medium video sejak keterlibatannya pada program AKUMASSA Forum Lenteng. Sapu Angin merupakan salah satu output dari riset panjangnya mengenai fenomena “adu doro” di kotanya berada.
Cahyo Wulan Prayogo is an artist based in Surabaya, Indonesia. Member of Kinetik, a collective that focuses on arts and cinema activities. He has been active in making moving image works using video since his involvement in the Forum Lenteng’s AKUMASSA program. Sapu Angin is one of his films based on his long research on the phenomenon of “adu doro” (‘pigeon contest’) in his city.
Kompetisi Internasional
IC 9
PERFORMATIVITAS KEAKTORAN DALAM RUANG-RUANG REALITAS Anggraeni Widhiasih Selektor
Di dua masyarakat yang berbeda, dua pemerintahan yang berbeda, dua negara yang berbeda, dua benua yang berbeda, ruang publik dipertanyakan dengan dua cara yang berbeda pula; yang satu sinematis, yang satu serba politik. Tetapi keduanya sama-sama menawarkan suatu polemik tentang siapa yang berandil membentuk realitas di ruang publik: apakah mereka yang hadir di depan kamera, di belakang kamera atau di hadapan layar? Dalam situasi kontemporer, bangunan realitas terdiri dari kepingan informasi yang terserak di berbagai lini media massa. Para aktor hadir sebagai tokoh atau karakter yang mampu menghadirkan suatu daya tektonik yang membentuk lanskap realita di sebuah sistem, baik dengan memainkan peran maupun membentuk atau merusak suatu tatanan realitas. Keaktoran muncul sebagai sebuah konsep performatif yang bekerja di dalam bingkai sinema dan dalam kenyataan sehari-hari. Mengambil perlintasan antara komunikasi massa yang politis dan yang sinematis, filem-filem dalam kompilasi ini memantik pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keaktoran membentuk realitas di ruang publik, baik di dalam maupun di luar filem. Sinema, dalam hal ini, bisa memosisikan diri sebagai stimulan dan amunisi pikiran dengan berlaku menjadi informatif maupun kritis, seperti yang terjadi pada Tupinamba Lambido. Dalam filem tersebut, ruang publik dibentuk oleh kepentingan berbagai aktor yang memainkan perannya dalam proses demokrasi dan politik. Performativitas keaktoran hadir sebagai sebuah konsep ketimbang sebagai kehadiran yang
91
konkret dalam filem. Baik secara ide maupun secara fisik, ruang publik menjadi wilayah pertarungan politik untuk menyampaikan suara-suara para aktor. Tetapi di sisi lain, sinema pun mampu melontarkan sebuah dilema akan suatu kenyataan melalui kehadiran ambiguitas kenyataan filem dan kenyataan si tokoh dalam filem, seperti yang terjadi pada The Satan’s Horn. Di sana, ketokohan subjek filem hadir bersama dengan suaranya yang menjelma sebagai aparatus media massa yang berkelindan dengan suara-suara yang diproduksi oleh industri musik maupun iklan komersial. Keaktorannya dalam filem tibatiba bertemu dengan realitas keaktoran yang bukan filem dalam garis batas yang kabur. Alih-alih membentuk realitas ideal seperti yang kerap dilakukan moda komunikasi dalam industri, keaktoran dalam filem ini justru dijadikan sebagai pemantik untuk mempertanyakan kembali realitas yang telah dikonstruksinya. Performativitas keaktoran dan kehadiran moda komunikasi dalam narasi filem ini memantik imajinasi penonton hingga ke batas antara yang nyata dan yang rekaan.
92
International Competition
IC 9
THE PERFORMATIVITY OF ACTORSHIP WITHIN SPACES OF REALITY Anggraeni Widhiasih Selector
In two different societies, two different governments, two different countries, two different continents, public spaces are questioned in two different ways; the first one politically, and the second one cinematically. But both of them offer a polemic about who contributes to shape reality in public spaces: are they present in front of the camera, behind the camera or in front of the screen? In contemporary situations, the form of reality consists of pieces of information scattered on mass media. Actors have existed as figures or characters capable of presenting tectonic energy that shapes the reality landscape in a system, either by playing a role or shaping/ destroying an order of reality. Actorship appears as a performative concept that works within the perspective of cinema and in everyday reality. Crossing the border between political and cinematic mass communication, the films in this compilation spark questions about how actorship forms reality in public spaces, both inside and outside the films. Cinema, in this case, can position itself as a stimulant and ammunition for the mind, for example by being informative and critical, as demonstrated by Tupinamba Lambido. In that film, the public space is shaped by the interests of various actors who play their roles in democratic and political processes. The performativity of actorship appears as a concept rather than a concrete form in the film. The public space, both in terms of ideas and physical presence, becomes a political battleground to communicate the voices of the actors. But aside from that, cinema is also able to whip up a dilemma upon reality through the presence of ambiguity of the filmic reality and the reality of 93
IC 8 / 23 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
characters in a film, as demonstrated by The Satan’s Horn. The film features the figure of its subject through his voice, which is transformed as an apparatus of mass media and is intertwined with the voices produced by the music industry and commercial advertising. His actorship in the film is suddenly converged with the reality of non-film actorship into a blurred line. Instead of forming an ideal reality as often produced by communication modes from those industries, the actorship in that film is actually used as a trigger to question the reality that it has constructed. The performativity of actorship and the mode of communication in the narrative of the film ignite the audience’s imagination up to the limit between the real and the fiction.
94
IC 9 / 23 August, GoetheHaus, 19.30 / 15+
TUPINAMBÁ LAMBIDO
Country of production Brazil Language Portuguese Subtitles English 11 min, color, 2018
Situasi politik di sebuah negara dibuka dengan montase gambar ritual kanibalistik. Sementara itu, alat komunikasi massa – baik pada dinding maupun pada sinema – nampak hadir sebagai ruang pertarungan bagi para aktor dalam proses sosial-politik. Tupinambá Lambido adalah sebuah kelompok seniman poster wheatpaste yang memproduksi visual di dinding-dinding kota Rio de Janeiro dalam rangka advoksi demokrasi. Ia sekaligus adalah judul sebuah dokumenter yang bekerja dengan kerangka tujuan sejalan dengan aksinya di luar bingkai sinema. Ia menawarkan stimulan kritis tentang sebuah realitas politik, baik dengan menjadi tribut ataupun sebagai kumpulan ingatan tentang berbagai peristiwa politik yang menandai perubahan era di sebuah negara.
A montage of cannibalistic ritual’s image opens up a narrative about the political situation in a country. Meanwhile, a mass communication instrument – both on the wall and the cinema – appears as a battlefield for actors in the socio-political process. Tupinambá Lambido is a group of wheatpaste poster artists who produce visuals on the walls of Rio de Janeiro to advocate democracy. It is also a title for a documentary film that serves a similar purpose as its actions beyond the frame of cinema. It offers a critical stimulant about political reality, both by playing the role as a tribute or a set of memories about numerous political occurrence marking the turn of an era in a country.
——Anggraeni Widhiasih
Lucas Parente lulus dari jurusan Sejarah dari Fluminense Federal University. Ia juga menerima gelar master dalam jurusan filem dokumenter di Autonomous University of Barcelona dan dari jurusan filsafat di University of Paris 8 Vincennes-SaintDenis. Dalam berbagai kesempatan, karya-karyanya telah dipresentasikan dan menerima penghargaan.
Lucas Parente graduated in history from the Fluminense Federal University, master in documentary film at the Autonomous University of Barcelona and philosophy at the University of Paris 8 Vincennes-SaintDenis. His works have been awarded and exhibited in many occasions.
Lucas Parente (Brazil)
95
IC 9 / 23 August, GoetheHaus, 19.30 / 15+
THE SATAN’S HORN
Country of production Iran Language Persian Subtitles English 62 min, color, 2019
Imaji yang diperoleh Rasoul Soheylifard tentang keidealan duniawi-surgawi yang digaungkan lewat berbagai media massa – seperti melalui lagu-lagu cinta dan iklan di TV – terasa kontras dengan realitas yang dijalaninya sebagai pedagang barang-barang tersier. Sehari-hari, ia harus bernegosiasi dengan aparat ataupun warga lain, selagi menjadikan dirinya sebagai media untuk berkomunikasi dengan massa. Melalui corak sinema yang mempertanyakan filem melalui filem, sebuah realitas yang terkonstruksi oleh alat komunikasi massa hadir lewat kenyataan yang ambigu akan seorang tokoh dalam filem. Residu dari sistem negara, kapitalisme dan agama hadir melalui puisi-puisi Rasoul yang gagap asmara namun tetap jenaka dan optimis selagi membicarakan soal realitas dan bahkan sinema.
The imagery received by Rasoul Soheylifard regarding the worldly-heavenly idealistic life echoed by mass media – like through love songs and commercial advertisement in TV – felt contrasted to the reality he faces as tertiary goods seller. He must negotiate with the state apparatus and other people while utilizing himself as a media to communicate with the mass. Through the style that questioning film with film, a reality constructed by mass media instrument appears as an ambiguous reality of the figure in the film. A residue from the state’s system, capitalism, and religious faith manifests as Rasoul’s poems that stutter in romance but remains humorous and optimistic as it talks about reality and, even, cinema.
——Anggraeni Widhiasih
Mohammad Hadi Ghorbani adalah sutradara dari Isfahan, Iran. Selain menyutradarai film, ia juga aktif bekerja sebagai penulis skenario.
Mohammad Hadi Ghorbani (Iran)
96
Mohammad Hadi Ghorbani is a filmmaker from Isfahan, Iran. Aside from directing films, he has been actively working as a screenwriter too.
Kompetisi Internasional
IC 10
SINEMA MELIHAT SINEMA
Robby Ocktavian Selektor
Detail, pada umumnya, bukanlah sebuah kepastian yang utuh dari sebuah ingatan. Kehadirannya acap kali berupa fragmen-fragmen, yang bisa bercampur-baur dengan fragmen dari suatu ingatan lain yang berbeda masa dan ruang. Ingatan, pada akhirnya, rentan menguap seiring kualitas signifikasi (penandaan) dari peristiwa dan waktu yang dilalui oleh subjek pengingatnya. Akan tetapi, teknologi kamera mendatangkan keuntungan bagi manusia dalam upaya-upaya menggenggam ingatan. Lewat kerja kamera, kita—manusia—bisa menonton kembali ingatan, dengan lebih rinci. Kamera, dengan demikian, memungkinkan detail menjadi hal yang patut dibingkai dan diolah, lagi dan lagi. Rekaman kamera juga memungkinkan orang-orang meninjau ingatan yang bukan miliknya. Dalam budaya menonton, citracitra yang kita lihat barangkali hanyalah memang penggalan-penggalan ingatan, tetapi mereka dapat hadir secara utuh sebagai diri mereka sendiri dan membuka peluang untuk memantik kembali fragmen-fragmen ingatan lain yang terkait, menawarkan suatu signifikasi baru yang memadukan konteks personal dan massal sekaligus. Bahkan, citra bergerak dari kamera mempunyai caranya sendiri yang unik untuk mengingat diri dan sejarahnya, atau paling tidak mengajak kita untuk mengingatnya lewat fragmen-fragmen yang telah dikonstruk sebagai suatu jalinan tanda, yang melaluinya kita bisa mendapatkan pengalaman baru yang utuh: pengalaman sinematik. Sebagaimana dapat dirasa tatkala kita menonton Distant Tropic: tokoh “aku” seolah merupakan kamera yang tengah bertutur. Dituntun berdasarkan penggalan kisah dari log milik “si aku”, kita diajak untuk mengalami narasi yang lindap, yang tumpang tindih antara kenangan masa kecil dan peristiwa 97
aktual di garis pantai. Namun, dari penandaan visualnya, yaitu kehadiran bingkai periskop yang mendominasi narasi filem, kita bisa merasakan suatu intensi perluasan voyeurisme ke ranah pandangan mekanis; tentang daya intip melalui lensa yang memicu pertanyaan mengenai singgungan antara penglihatan insaniah dan penglihatan mesin. Adakah mungkin singgungan itu ialah simpul yang mencoba mempertemukan kita pada sinema yang sedang mengingat, atau justru melihat, sifatnya? The Plato adalah filem yang mengapresiasi sebuah periode dalam sejarah sinema Iran — bukan hanya dari aspek eksperimentasi bahasa sinema, tetapi juga politik estetika dari bahasa sinema itu sendiri — melalui pengingatan terhadap adegan-adegan ikonik dalam kisah Sang Sapi-nya Darius Mehrjui. Ingatan itu, salah satunya, dihadirkan lewat eksplorasi bidikan yang melampaui batasan-batasan logika komunikasi manusia, tanpa menghilangkan eksistensi dari montase genial khas negerinya. Filem ini, bisa dibilang, juga menarik ingatan kita—atau menawarkan acuan penting—mengenai sejarah bahasa sinema itu dengan metode pembesaran atau perluasan terhadap sejumlah kesimpulan yang telah dipaparkan Mehrjui. The Plato seakan menjadi semacam post-script dari pendekatan sinema yang menaruh perhatian pada konsep-konsep kegilaan dan hasrat manusia. Sebagaimana filem pertama, ia pun menjadikan fragmen-fragmen ingatan personal yang berkait-jalin dengan perilaku masyarakat sebagai suatu memorabilia universal, sebagai puisi, yaitu sinema itu sendiri.
98
International Competition
IC 10
CINEMA OBSERVES CINEMA
Robby Ocktavian Selector
Details, generally, are not a complete certitude from memory. Often, it exists as fragments that can mix up with fragments from a memory of other time and space. Memory, eventually, are prone to evaporate along with the quality of signification from the events and the time went through by its rememberers. However, the camera technology brings in advantages for human beings in their attempts to grip on the memory. Through the camera mechanism, we – human – could re-watch the memory in more details. In that way, the camera enables us to frame and process the details repeatedly. The recording from the camera also allows us to observe someone else’s memory. In the cinema culture, the images we see probably are just fragments of memory, but they can exist as an integral unit and opens the chances to re-ignite other related fragments of memory, offering a new signification that integrates personal and mass context at once. The moving images resulted from camera possess its unique mechanism to remember its self and history, or at least to invite us to remember it through the constructed fragments as a network of signs, of which we can gain a whole new experience: the cinematic experience. As we can experience when we watch Distant Tropic: the figure of “I” seems like a camera acting as a storyteller. Guided by the fragment of memory from the log of “I,” the film invites us to experience vague narratives, intertwining between childhood memory and actual events that occur in the coastline. But, from its visual signification, that is the presence of periscope frame dominating the film narrative, we could sense the intention to expand voyeurism into the mechanical gaze; the voyeuring ability through the lens that triggers the question about the crossing between humane gaze and 99
mechanical gaze. Is it possible that such crossing is a knot trying to bring us to the cinema that is remembering, or even observing, its nature? The Plato is a film that appreciates a period in the history of Iranian cinema – not only from its experimentation of cinema language but also from the politic of aesthetic from its cinema language – by remembering the iconic scenes from The Cow (Gāv – 1969) by Darius Mehrjui. Such memory was expressed, one of it, through the exploration of camera shots that goes beyond the limitations of human communications, without eliminating the presence of Iran’s unique genial montage. It is possible to say that this film also draws our memory – or offers essential reference – about the history of cinema language by magnifying or expanding some conclusions exposed by Mehrjui. The Plato acts like a post-script from an approach of cinema that focuses on the concept of human madness and desire. Like the first film, it situates the fragments of personal memory that intertwines with society’s behavior as universal memorabilia, as a poem, that is the cinema itself.
100
IC 10 / 24 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
THE PLATO
Country of production Iran Language Persian Subtitles English 69 min, color, 2019
Hubungan benci dan cinta antara si konservatif Plato dengan Khardezeh, seekor keledai betina uzur miliknya yang sudah tidak mampu bekerja. Mereka berdua menghadapi modernitas yang telah berada di depan pintu rumah mereka. Modernitas yang hadir tersebut dianggap mengganggu tradisi-tradisi yang telah dijalani dan dijaga oleh Plato sepanjang ia hidup.
The love and hate relationship between the conservative Plato and Khardezeh – an old female donkey who has been unable to work. They must face modernity that has arrived at their doorstep. That modernity is considered as disturbances for the traditions that have been lived and maintained by Plato throughout his life.
——Robby Ocktavian
Mohammad Ghanbari adalah penulis naskah dan sutradara berbagai filem pendek, seperti Nadir, Jabeja, Breath of Water, Tigers, Sparks, Help.
Mohammad Ghanbari is the author and director of a number of short films, such as: Nadir, Jabeja, Breath of Water, Tigers, Sparks, Help.
Mohammad Ghanbari (Iran)
101
IC 10 / 24 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
TRĂ“PICOS DISTANTES DISTANT TROPICS Country of production Brazil Language Portuguese Subtitles English 35 min, color, 2018
Penyintas perang yang terisolir dalam kapal selam melihat dunia luar melalui mata mekanik. Dengan perangkat tersebut, ia mengamati dari jarak kejauhan bagaimana kehidupan dan perilaku penduduk pribumi yang tinggal di pinggir pantai, yang mengingatkannya pada masa lalunya. Dalam amatan itu, ditunjukkan pula bagaimana para pribumi tersebut menyambut dan menerima kedatangan yang asing, juga menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya.
War survivors who are isolated in submarines see the outside world through a mechanical eye. With this device, he observed from a distance how the lives and behavior of the natives living on the coast, which reminded him of his past. In that observation, it was also shown how the natives welcomed and accepted foreign arrivals, as well as resolving the problems they caused.
——Robby Ocktavian
Marcelo Costa adalah penulis skenario dan sutradara filem. Dia juga seorang profesor perguruan tinggi di bidang perfileman dan seni visual, dengan fokus pada skenario, penyuntingan filem dan pembuatan filem. Sebagai kritikus filem, ia pernah meliput Venice Film Festival pada tahun 2008 dan 2009. Distant Tropics adalah film pertamanya.
Marcelo Costa (Brazil)
102
Marcelo Costa is a screenwriter and film director. He is also a college professor in cinema and visual arts, with a focus on screenplay, film editing and filmmaking. As a film critic he covered the Venice Film Festival in 2008 and 2009. Distant Tropics is his first movie.
103
104
PROGRAM KURATORIAL
105
Program Kuratorial
CP 1
UANG! TUHAN YANG TAMPAK!
Afrian Purnama Kurator
Sinema Robert Bresson selalu mensugestikan adanya ruang lain yang berada di luar dari apa yang terlihat di layar. Keduanya — baik yang tampak maupun tidak tampak — saling berinteraksi membentuk kesatuan persepsi kepingan peristiwa. Konsepsi ini berbeda dengan kenyataan layar yang memiliki tendensi untuk mengarah ke luar (sentrifugal) seperti yang pernah dituliskan oleh Andre Bazin. Teori Bazin berdasar pada realita alamiah layar filem bila dibandingkan dengan medium seni lain seperti panggung teater dan kanvas lukisan. Sementara dalam filem-filem Bresson, interaksi antara ruang yang terlihat dan yang tidak terlihat terhubung dengan perpetualitas gerak, suara dan waktu. Dengan demikian, kita sering sekali melihat bidikan-bidikan bersifat medium hingga close-up yang diproduksi melalui lensa 50mm. Bresson merasa tidak perlu mengambil bidikan terhadap ruang secara utuh; dia mengisolasi waktu, figur dan gerak sehingga menciptakan sebuah bahasa visual eksklusif sinematik. 1
2
Kasus: L’Argent L’Argent diangkat dari novel pendek berjudul Фальшивый купон (The Forged Coupon/Uang Palsu) karya Leo Tolstoy. Walaupun ada cukup banyak perbedaan antara versi novel dengan adaptasi yang dilakukan oleh Bresson; seperti latar belakang waktu dan pemenggalan alur cerita yang digunakan
1. Bazin, A. (2005). What is cinema? (H. Gray, Trans.). Berkeley: University of California Press. 2. Bresson, R., & Bresson, M. (2016). Bresson on Bresson interviews 1943-1983 (A. Moschovakis, Trans.). New York: New York Review Books.
106
dalam filem, namun perbedaan paling mencolok adalah fokus ceritanya itu sendiri yang direfleksikan dalam judulnya. Dalam novel, judulnya sudah menjelaskan bahwa filem ini adalah kisah tentang uang palsu. Namun dalam filem karya Bresson ini, hanya satu kata yang dipakai: uang, yang menegaskan bahwa filem ini berkisah tentang keberadaan uang secara keseluruhan, terlepas dari apapun legalitasnya. Pertama-tama kita diarahkan pada transaksi uang palsu yang dilakukan oleh sekelompok anak sekolah di sebuah toko peralatan fotografi. Saat pemilik toko sadar bahwa uang tersebut palsu, dia menggunakan uang itu untuk membayar seorang petugas pengantar gas, petugas itu — tidak menyadari bahwa uang yang diterimanya palsu — membayar minum menggunakan uang tersebut. Pengantar gas bernama Yvon Targe (dimainkan oleh Christian Patey) itu adalah satu-satunya orang yang tidak sadar bahwa dia menggunakan uang palsu ketika melakukan transaksi, dan dia satu-satunya yang dihukum karena kelalaiannya. Uang dalam L’Argent, dengan cara yang baik dan buruk, mengikat dan membentuk masyarakat. Bresson sepertinya berupaya memperlihatkan dampak dari daya rusak sistem yang dibangun bedasarkan kepercayaan kepada uang ini. Keyakinan adalah tema konsisten yang diangkat dalam karya Robert Bresson. Dalam beberapa filemnya, keyakinan menjadi semacam pendorong kehendak atau hasrat tokoh di filem tersebut dalam bertindak. Dorongan tersebut terlihat di beberapa filemnya seperti Journal d’un curé de campagne (1951), Procès de Jeanne d’Arc (1962) dan Un condamné à mort s’est échappé ou Le vent souffle où il veut (1956). Tokoh-tokoh dari filem Bresson tersebut berusaha mencari penebusan berdasar kepercayaan yang dimilikinya (hal ini terkait erat dengan keyakinan Bresson sendiri sebagai seorang Katolik). Namun di dua filem terakhirnya, Le diable probablement (1977) dan L’Argent (1983), tokoh utamanya seakan bertindak justru sebaliknya; ketidakpercayaan terhadap suatu sistem itulah yang mendorong mereka untuk bertindak, dan mereka mencari penebusan di dunia dari ketidakpercayaannya itu. Penebusan tersebut seringkali diakhiri dengan satu peristiwa: kematian. Dalam L’Argent, rangkaian tindak kriminal Yvon Targe tidak lagi didorong oleh nafsu akan kebendaan yaitu uang, atau kepercayaannya terhadap sistem keuangan itu sendiri. Tapi lebih jauh lagi, tindakannya bisa dilihat sebagai ekspresi kehilangan kepercayaan atas suatu struktur dan norma masyarakat. Frasa yang 107
diucapkan kawan Yvon Targe di kamar selnya “Oh uang! Tuhan yang tampak!” seakan lebih sebagai ejekan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap uang tersebut. Model: sebagai moda naratif dan sinematografi. Satu hal yang paling khas dalam kaidah pembuatan filem Robert Bresson adalah cara penyutradaraan pemainnya, atau ‘model’ dalam kaidah perumusan sinema yang diciptakan oleh Bresson, yang ia sebut sebagai sinematografi. Konsep ini, kembali lagi, adalah upayanya untuk menciptakan bahasa visual yang eksklusif yang hanya dapat diupayakan di sinema. Model-model ini bertindak, berbicara dan bergerak dengan presisi milimeter; yang artinya Bresson mengontrol secara total eksistensi mereka di filem, sehingga seakanakan penonton tidak melihat adanya improvisasi dari model-model tersebut dalam bentuk apapun. Yang disaksikan penonton bukanlah bagaimana model itu berakting dalam kaidah teatrikal atau bagaimana mereka bereaksi secara ekspresif terhadap suatu keadaan, tapi lebih kepada rangkaian peristiwanya itu sendiri. Kenihilan ekspresi model, alih-alih mereduksi kekuatan peristiwanya, justru bertindak sebaliknya; peristiwa menjadi teramplifikasikan karena penekanannya beralih tidak lagi kepada ekspresi, namun kepada peristiwa sinematiknya. Model menjadi kendaraan bagi Bresson untuk menciptakan formula bentuk filemis, juga naratif murni tanpa ada residu dari elemen lain. Penutup L’Argent adalah studi kompleks terhadap estetika sinema juga masyarakat dan kultur yang membentuknya. Sama seperti definisi bromocorah itu sendiri bahwa yang terpinggirkan akan selalu bermutasi dan membentuk sistemnya sendiri, filem-filem Robert Bresson adalah contoh bentuk mutasi tersebut dalam bentuk konten dan estetika. Di akhir filem L’Argent, orang-orang melihat Yvon Targe dibawa keluar dari bar oleh polisi dan filem ditutup dengan adegan tersebut. Adegan ini memiliki gaung yang sama dengan akhir cerita pendek Bromocorah karya Mochtar Lubis; sang jagoan memutuskan
108
untuk melanjutkan metode yang sudah diketahuinya, meneruskan apa yang sudah menjadi bagian dari diri dan kulturnya. Sementara dalam L’Argent, penonton sudah paham ke mana Yvon Targe pergi dan berakhir tanpa harus ditampilkan, yaitu kembali ke tempat sebelumnya – penjara. Keduanya menegaskan sebuah struktur yang membentuk satu putaran melingkar tanpa henti dan terus diwariskan, baik terlihat maupun tidak terlihat, dan seperti itulah kultur bromocorah.
109
Curatorial Program
CP 1
MONEY! THE VISIBLE GOD!
Afrian Purnama Curator
Robert Bresson’s cinema always suggests that there is another space off the screen. Both the visible and invisible spaces interact with each other to form a perception that unites series of events in the film. This conception is different from the reality of screen which has a tendency to point itself outwards (centrifugal) – as written by Andre Bazin. Bazin’s theory is based on the original nature of the reality in the cinema screen if it is compared to other art mediums such as stage (theater) and canvas (painting). While in Bresson’s films, the interaction between the visible and invisible space are connected with the perpetuality of motion, sound and time. As such, we often see in his films the shots that range from medium to close-up using a 50mm lens. For Bresson, there is no need to shoot the whole space; he isolates time, figures and motion so as to create an exclusive cinematic visual language. 1
2
Case: L’Argent L’Argent is based on a short novel titled Фальшивый купон (The Forged Coupon / Counterfeit Money) by Leo Tolstoy. Although there are quite a number of differences between the novel and the adaptation made by Bresson such as the time period and the plots, the most striking difference is the focus of the story itself which is reflected in the title. The title of the novel indicates that the film will be about counterfeit money. But there is only one word used in Bresson’s
1. Bazin, A. (2005). What is cinema? (H. Gray, Trans.). Berkeley: University of California Press. 2. Bresson, R., & Bresson, M. (2016). Bresson on Bresson interviews 1943-1983 (A. Moschovakis, Trans.). New York: New York Review Books.
110
film: money. Such title indicates that the film is about the existence of money as a whole, regardless of the legal status of that money.First, we are directed to the scene where a counterfeit money transaction is being carried out by a group of schoolchildren in a photo equipment store. When the shop owner realizes that the money is fake, he uses the money to pay his gas man. The gas man – unaware that the money he has received is fake – pays his drink using the money. The gas man named Yvon Targe (played by Christian Patey) is the only person who does not realize that he has used counterfeit money when making his transaction, and he is the only one convicted of his negligence. Money in L’Argent, in good and bad ways, binds and shapes the society. It seems that Bresson is trying to show the destructive impact of the system built on the belief in money. Belief is a consistent theme in Robert Bresson’s works. In some of his films, it becomes the driving force or the desire of its characters. This can be seen in several films such as Journal d’un curé de campagne (1951), Procès de Jeanne d’Arc (1962) and Un condamné à mort s’est échappé ou Le vent souffle où il veut (1956). The characters in his films try to find their redemption based on their belief (this is closely related to Bresson’s own conviction as a Catholic). But in his last two films, Le diable probablement (1977) and L’Argent (1983), the main characters seem to act in the opposite way; their disbelief in a system is what drives them to act, and they seek redemption in the world because of their disbelief. Their atonements often end with one event: death. In L’Argent, Yvon Targe’s series of crimes is no longer driven by the lust for material things – namely money – or by his belief in the financial system. But rather, his actions can be seen as an expression on the loss of his belief toward the structure and norms of society. The phrase that Yvon Targe’s comrade said in his cell room “Oh money! You visible God!” seems more like a mockery of people’s trust in money. Model: as narrative and cinematographic mode. One of the most distinctive features in Robert Bresson’s filmmaking is the way he directs his actors, or ‘models’ in his principles of cinema formulation, named as cinematography. This concept, again, is his attempt to create visual language that exclusively belongs to cinema. These models act, speak, and move with exact precision; it means that Bresson totally controls their existences to the extent that the audience are not aware of any of their improvisation in any 111
form. What the audience witnesses is not how the models act in theatrical principles or how they express their reactions to a particular situation; they witness the sequence of events. Instead of reducing the strength of the event, the nullity of the models’ expressions amplifies it because the emphasis is no longer on expressions, but on cinematic events. The models become a means for Bresson to create the formula for a filmic form, as well as a pure narrative without any residue of other elements. Closing L’Argent is a complex study of the aesthetics of cinema as well as of the society and culture that shape it. Just like the bromocorah definition in which the marginalized will always mutate and form its own system, Robert Bresson’s films are examples of these mutations in the form of content and aesthetics. At the end of this film, people see Yvon Targe being taken out of the bar by the police. This scene echoes the end of a short story titled Bromocorah by Mochtar Lubis; the hero decides to continue with the methods he has already known, continuing what is already part of himself and his culture. While in L’Argent, the audience already knows, without being shown, where Yvon Targe is going; he is returning to his previous place–the prison. Both characters emphasize a structure that forms an endless loop and continues to be passed down, both visible and invisible, and that is the culture of bromocorah.
112
CP 1 / 24 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
L’ARGENT UANG Country of production France Language French Subtitles Indonesian 83 min, color, 1983
Diadaptasi dari novelet karya Leo Tolstoy berjudul The Forged Coupon, Uang adalah kisah tentang seorang pria yang tidak sengaja terperangkap dalam arus transaksi uang palsu, yang kemudian menjerumuskannya lebih dalam lagi ke pusaran lingkaran kejahatan. Kisah pria tersebut bisa dianggap tidak hanya mewakili suatu cerita tunggal saja, tapi juga tentang masyarakat secara keseluruhan.
Loosely inspired by Leo Tolstoy’s novella the Forged Coupon, L’Argent is a story of a man who was trapped inadvertently within the current of forged money, that later brought him further into the vicious circle of evil. That man’s story can be considered not only to represent a single story but also about society in general.
——Afrian Purnama
Robert Bresson
Robert Bresson lahir di Prancis tanggal 25 September 1901. Ia dianggap sebagai salah satu praktisi dan pemikir terhebat dalam sejarah sinema. Karya-karyanya dianggap bertanggung jawab sebagai jawaban atas problematika sinema terhadap kenyataan, representasi, juga bentuk sinema sebagai medium seni yang mapan. Melalui karya-karyanya, beliau juga dikenal memiliki pandangan yang kritis dalam konteks sosio-politik saat itu.
Robert Bresson was born in France on September 25, 1901. He is considered one of the most excellent practitioners and thinkers in the history of cinema. His works are regarded as the answer to the problems of cinema against reality, representation, as well as the form of cinema as an established medium of art. Through his works, he is also known to have a critical perspective on the socio-political context at that time.
(France)
113
Program Kuratorial
CP 2
CITRA DAN DISENSUS
Akbar Yumni Kurator
Bromocorah secara kekinian, semacam kontingensi, ia postulat yang selalu berpotensi ada dalam setiap tatanan. Sebagaimana modernitas mengalami krisis dari paham esensialismenya, bahwa selalu ada yang ‘salah hitung’ dari pembagian geometris dalam sebuah tatanan yang didasari oleh esensialisme tersebut. Istilah ‘salah hitung’ merujuk pengertian ‘yang salah’ (the wrong/le tort) dari pandangan Jacques Ranciere dalam melihat sebuah tatanan bahwa selalu ada yang luput karena keterbatasan inderawi. Pengertian ‘yang salah’ bukan sebuah kategori moral, namun lebih dekat ke makna netral “keliru” atau salah hitung. Dalam kerangka politik Ranciere, ia adalah disensus (ketidaksepakatan, gangguaan) yakni ketika ‘yang salah’ yang menegaskan dirinya ada atau memverifikasi dirinya ada di depan tatanan yang tidak menghitungnya tersebut. Pandangan Ranciere ini, sebenarnya untuk menyatakan bahwa kesetaraan adalah pendasaran atas segalanya, namun kesetaraan bukanlah tujuan. Kesetaraan justru menjadi titik berangkat dan selalu diandaikan terus-menerus untuk mengakomodir hal ‘yang salah’ atau ‘tak dihitung’ memverifikasi dan menegaskan dirinya di hadapan tatanan sosial. Sementara jika kesetaraan sebagai tujuan maka akan merujuk pada kesetaraan distributif atau proposional, yaitu kesetaraan yang sudah mengandaikan pembagian-pembagian. Kesetaraan dalam pandangan Ranciere ini bersifat kontingen, ia bukanlah kesetaraan yang bersifat material, namun lebih kesetaraan akal budi yang memang dimiliki oleh semua manusia. Seturut tema bromocorah, dalam kaitannya dengan konsepsi ‘yang salah’ menurut Ranciere, postulatnya tidak lagi diandaikan dalam pretensi moral, namun bisa diandaikan sebagai pihak ‘yang salah’ sebagaimana pandangan Ranciere 114
tersebut, untuk melihat bagaimana kerja-kerja seni hari ini sudah tidak bisa lagi dipartisi dalam bidang-bidang medium maupun genre yang tetap, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan dari hal-hal yang tak terlihat dan tak terdengar menjadi nampak dari situasi sosial politik kekinian yang semakin kompleks. Filem Titan Serambut dibelah Tujuh (1983) oleh sutradara Chaerul Umam berdasarkan naskah Asrul Sani — Asrul sendiri sebelumnya telah memfilemkan naskahnya dengan judul yang sama pada tahun 1959 – merupakan kisah bagaimana keindividuan tokoh Ibrahim hadir memecah kejumudan tatanan sosial yang timpang secara moral. Ibrahim telah menjadi tokoh yang dalam kerangka pemikiran Ranciere ialah sebagai yang ‘tak dihitung’, yang kemudian menegaskan kesetaraannya dalam usahanya mengonfigurasi kembali tatanan yang ada. Secara naratif, tokoh Ibrahim adalah figur asing yang datang ke sebuah desa untuk menjadi guru, keindividuannya merupakan pandangan modernitas kala itu, namun posisinya biasanya dibaca sebagai sebuah pihak ‘yang salah’ ala Ranciere. Seperti biasa, dalam narasi lama kehadiran orang luar membawa sebuah kesadaran sosial baru yang kemudian mengubahnya dengan menyingkap beberapa kebobrokan tatanan lama yang bisu tanpa kehadiran orang ‘baru’. Tokoh Ibrahim adalah bromocorah dalam pengertian pihak ‘yang salah’ dalam kerangka pemikiran Ranciere. Ia bukan lagi bromocorah dalam konsepsi moral sebagai bandit, pemberontak dan lain sebagainya. Bromocorah dalam konteks tokoh Ibrahim adalah sebagai postulat individu yang selalu berusaha mengakali dan menegaskan dirinya di tengah kejumudan sebuah sistem agar untuk dikonfigurasi kembali. Membaca ulang filem Titian Serambut Dibelah Tujuh ini, sebagaimana semangat politik dalam diri bromocorah sebagai pihak ‘yang salah’ ala Ranciere, mendorong pembacaan yang meletakkan politik bukan lagi sebagai soal penggunaan dan perebutan kekuasaan. Politik adalah disensus – sebagaimana seni – ia adalah ketidaksepakatan atau gangguan terhadap tatanan yang ada, yang selalu mengandaikan ada pihak yang tidak dihitung. Hubungan citra pada filem pada dasarnya memiliki potensi kedekatan dengan politik, sebagaimana juga pandangan Ranciere yang melihat kedua hal tersebut sama-sama terlibat dengan apa yang disebutnya sebagai “partisi yang sensibel (inderawi)” (distribution of the sensible). Pengertian sensibel 115
bukanlah persoalan ketepatan persepsi (yang terlihat, yang dapat terdengar, yang dapat terjamah), namun sensibel yang beroperasi sebagai seperangkat hubungan yang terbuka pada kontestasi (Manuel Ramos, 2013:218). Sebagaimana postulat bromocorah, citra sendiri bukanlah sesuatu yang eksklusif. Ia dibentuk oleh elemen-elemen yang berbeda yang meluapkan sebuah kesatuan visual. Potensi citra ini bahkan juga mengakomodir potensi kapasitas penonton dan seniman yang setara agar tidak terjebak sistem beku dari geometris di antara keduanya. Melalui pandangan Roland Barthes tentang hubungan studium (maksud pengarang/seniman)-punctum (impresi penonton) mengandaikan bahwa citra selain memiliki potensi mengubah tatanan ‘apa yang tak visibel’ (terlihat) menjadi visibel, dan yang tak terdengar menjadi terdengar, citra juga mengandaikan ketaksaannya pada otonomi penonton yang lepas dari maksud pengarang. Sebagaimana ambilan panjang (long take) dari adegan-adegan pada filem Titian Serambut dibelah Tujuh ini, citra yang bergerak seperti yang dibayangkan Andre Bazin, ia selalu memberikan durasi bagi para penonton untuk terus memilih citra apa yang akan diimpresi sehingga citra bersifat taksa. Citra selalu memiliki potensi sebagai disensus. Sumber: Ramos, Manuel. “Ranciere’s Politic of the Image” dalam Theorizing Visual Studies (edited by James Elkins and Kristi McGuiere, with Maureen Burns, Alicia Chester and Joel Kuennen). New York: Routledge. 2013. Wibowo, Setyo. Pengantar dalam Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques Ranciere oleh Sri Indiyastutik. Jakarta: Penerbit Kompas. 2019.
116
Curatorial Program
CP 2
IMAGE AND DISSENSUS
Akbar Yumni Curator
Bromocorah today, a kind of contingency, is a postulate which always potentially exists in every social order. As modernity experiences its essentialism crisis, there is always a ‘miscount’ of geometrical division in an order based on that essentialism. The term ‘miscount’ refers to the definition of ‘the wrong/le tort’ from Jacques Ranciere’s view on seeing an order, that there is always something missing due to the limit of sense perception. The notion of ‘the wrong’ is not in terms of moral category, but closer to the neutral meaning of ‘the wrong’ or miscount. In Ranciere’s political framework, it is a dissensus (disagreement, disorder) when ‘the wrong’ confirms its existence or verifies itself in front of the order that does not count it. This perspective states that equality is the foundation of everything, but equality is not the goal. Instead, equality is the initial point and is continuously assumed to accommodate ‘the wrong’ or ‘miscount’ that verifies itself in front of the social order. If equality is assumed as a goal, it will refer to distributive or proportional equality; it is the equality that presupposes division. Equality in Ranciere’s perspective is contingent, it is not a material equality, but rather an equality of common sense which is shared by all humans. In accordance with the bromocorah theme, and in relation to the concept of ‘the wrong’ by Ranciere, the postulate of bromocorah is no longer assumed in moral pretensions, but it can be assumed as ‘the wrong’ party, to see how the works of art nowadays can no longer be divided into either fixed medium or genre, to see the possibilities that unseen and unheard things become apparent in this increasingly complex current socio-political situation.
117
The film Titian Serambut Dibelah Tujuh (The Narrow Bridge – 1983) directed by Chaerul Umam and based on Asrul Sani’s script – Asrul himself previously directed the script with the same title in 1959 – is a story of how individuality of the character named Ibrahim breaks the rigidity of a morally imbalanced social order. Ibrahim has become a figure whom in Ranciere’s framework is the ‘uncount’, who then confirms his equality in his attempt to reconfigure the established order. Narratively, Ibrahim’s character is an outsider who comes to a village to become a teacher, his individuality is a view of modernity at the time, but his position is usually read as ‘the wrong’ by Ranciere. In the old narrative, the presence of an outsider usually brings a new social awareness, which then changes the social order by exposing some of the depravity of the old order – the one without the presence of that ‘new’ person. Ibrahim is a bromocorah in the sense of ‘the wrong’ party in Ranciere’s framework. He is no longer a bromocorah in its moral conception as a bandit, a rebel and so on. Bromocorah in the context of Ibrahim is as an individualistic postulate who always tries to outsmart and assert himself in the midst of a rigid system of social order, so that the order will be reconfigured later on. Rereading the film Titian Serambut Di Belah Tujuh, similar to the political spirit in bromocorah as ‘the wrong’ a la Ranciere, encourages a reading that no longer puts politics as a matter of using and gaining the power. Politics is a dissensus – like art – it is a disagreement or interference towards the established order, it always assumes that there are parties uncount. The relation of image to cinema basically has the potential for closeness to politics, both of these are equally involved with what Ranciere called as ‘distribution of the sensible’. The meaning of the sensible is not a matter of accuracy of perception (the visible, audible, touchable), but the sensible which operates as a set of relations open to contestation (Manuel Ramos, 2013: 218). Similar to the bromocorah postulate, the image itself is not exclusive. It is formed by different elements which bring forth a visual unity. The potential of this image even accommodates the potential of equal capacity between the audience and the artists so as not to get caught up in the rigid geometrical system between the two. Roland Barthes’s view of the studium (author or artist’s intention) punctum (audience’s impression) relation presupposes that image potentially can change the order of ‘invisible’ to ‘visible’, the inaudible to audible; image 118
also presupposes its equivocality to the audience’s autonomy detached from the artist’s intention. The long takes in Titian Serambut Dibelah Tujuh, are the moving images as imagined by Andre Bazin, always providing duration to the audience to continue choosing which image to be impressed; thus, the image is equivocal. The image always has the potential as a dissensus. Source: Ramos, Manuel. “Ranciere’s Politics of the Image” in Theorizing Visual Studies (edited by James Elkins and Kristi McGuire, with Maureen Burns, Alicia Chester and Joel Kuennen). New York: Routledge. 2013. Wibowo, Setyo. Introduction in Dissensus: Democracy as Disputes according to Jacques Ranciere by Sri Indiyastutik. Jakarta: Kompas. 2019.
119
CP 2 / 25 August, GoetheHaus, 13.00 / 15+
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH THE NARROW BRIDGE Country of production Indonesia Language Indonesian Subtitles English 97 min, color, 1982
Berkisah tentang tokoh seorang guru Ibrahim yang datang ke sebuah desa tempat ia bertugas, filem Titian Serambut Dibelah Tujuh ini ditulis oleh Asrul Sani sebagai semacam semangat modernitas kala itu dalam pergulatan individu yang berhadapan dengan situasi tatanan sosial masyarakat. Tokoh Ibrahim yang bertugas di tempat barunya sebagai guru, menghadapi banyak kejanggalan sosial dan harus berhadapan dengan pergulatan moralnya, sampai kemudian selubung tatanan lama tersingkap dan Ibrahim membawa perubahan. Meski tema tentang isu ‘yang liyan’ tidak mendapatkan tempat secara kekiniaan, namun spektrum kerangka narasinya bisa dibaca sebagai sebuah pandangan kultur Islam kala itu.
Narrating a story of how a figure named Ibrahim came to a village for his duty, Titian Serambut Dibelah Tujuh (The Narrow Bridge) was written by Asrul Sani as a spirit of modernity at that time wherein individual struggle must deal with the social order of society. As a teacher who is on duty in a new place, he encountered social deviances and must deal with his moral struggle, until the old order in that society was unveiled and he could bring in the change. Although the issue of “the other” doesn’t receive a place in the contemporary era, the spectrum of this film’s narrative structure can be interpreted as the Islamic cultural perspective at that time.
——Akbar Yumni
Chaerul Umam (Indonesia)
120
Chaerul Umam (1943-2013) lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada 4 April 1943. Ia adalah seorang sutradara yang mengawali karirnya melalui ajakan sutradara Indonesia ternama – D. Djajakusuma – sebagai seorang dubber (pengisi suara). Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (tingkat II), dan aktif di Teater Amatir (1964-1966), dan Bengkel Teater Rendra (1966-1970). Beberapa karyanya mendapatkan penghargaan sebagai sutradara terbaik pada FFI (Festival Film Indonesia) seperti Ramadhan dan Ramona (1986), dan filemnya Titian Serambut Dibelah Tujuh mendapatkan penghargaan filem terbaik pada tahun 1983.
Chaerul Umam (1943-2013) was born in Tegal, Central Java, on 4 April 1943. He started his career as a dubber through an invitation from a famous Indonesian film director, D. Djajakusuma, before he became a film director. He graduated from Gadjah Mada University Yogyakarta and was active in Amatir Theatre (1964-1966) and in Bengkel Teater Rendra (1966-1970). Some of his works was awarded as best director in Indonesia Film Festival, such as Ramadhan dan Ramona (1986). His film, Titian Serambut Dibelah Tujuh (The Narrow Bridge) was awarded as best film in 1983.
121
122
CANDRAWALA
123
Candrawala
CW
UMPAN BALIK
Dhuha Ramadhani Kurator
Tak sukar memalingkan wajah dari situasi sosial-politik kita, semudah menggulirkan layar ketika menemui konten-konten yang tak sesuai selera, begitu saja. Meski seberapa pun kita mengabaikannya, konten-konten yang sengaja kita lewatkan tetap saja bersirkulasi di sekitar kita. Item-item digital ini bergerak, mulai dari ruang yang paling publik sampai yang paling privat dalam berbagai bilik komunikasi yang termediasi internet. Namun, ke mana perginya mereka setelah kita abaikan? Adakah mereka menyisakan jejak-jejak di memori kita dan secara tak sengaja muncul begitu saja dalam proses komunikasi yang tak termediasi internet? Tradisi lisan, “dari mulut ke mulut�, yang ada dalam keseharian kita, seakan mendapat “saluran� terbaiknya atas kehadiran internet: hasrat berbagi (sharing). Keinginan kita untuk memalingkan wajah dari konten-konten dengan muatan tertentu, pada tingkat tertentu, menjadi sukar dilakukan. Kontenkonten yang tampaknya tersebar acak dan berserakan tersebut lamakelamaan memperlihatkan kesamaan ciri dalam muatan, bentuk, bahkan sikap (mungkin politis) yang dikandungnya. Sirkulasi yang cepat tak membuat konten-konten ini lekas terlupakan atau punah sama sekali; justru ia beradaptasi melalui beragam cara dan terus-menerus direproduksi. Sampai pada akhirnya konten-konten ini mempunyai kemampuan kehadiran yang multi-dimensional — di tataran yang lebih luas, ia mampu membentuk pola pikir, perilaku, dan aksi suatu kelompok sosial. Konten-konten ini keluar dari ruang hampa nilai dan memperlihatkan keberpihakannya. Semakin lama ia bertahan dalam sirkulasi, kita dapat menduga, jika bukan karena kemampuan adaptasinya yang semakin canggih, boleh jadi keberadaannya 124
itulah yang begitu relevan dengan konteks sosiokultural kita saat ini. Dengan tidak melihatnya sebagai unit kultural tunggal, sejumlah teks, gambar, video, bahkan audio yang kerap berserakan dan kita abaikan itu agaknya dapat merefleksikan wacana publik yang penting. Jelas mereka merepresentasikan “suara” dan “perspektif yang beragam” akan banyak hal, dan bukannya hadir tanpa tujuan. Delapan filem yang dipilih ke dalam kurasi Candrawala tahun ini, setidaknya — dari konteks latar belakang, metode produksi, dan pilihan bahasa visualnya — mengindikasikan fenomena bagaimana unit-unit selain “konten media” juga mengalami gejala serupa, di mana sirkulasinya yang terarah ketimbang organik itu (sebagaimana yang tampak atau kita duga selama ini) merupakan apa yang sebenarnya kita hadapi sehari-hari. Replikasi ide, ketakutan, ujaran, slogan, narasi, memori, pengalaman, peristiwa — yang beradaptasi dan diadaptasi secara evolusioner di sepanjang kehidupan manusia — pada akhirnya menentukan sudut pandang subjek-subjek, termasuk subjek-subjek kreatif, dalam membingkai beragam persoalan yang sengaja dipertentangkan ataupun diselaraskan dengan apa yang dominan ataupun subordinat. Melalui Adegan Yang Hilang dari Petrus (2019), tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas persoalannya, kita disajikan latar belakang sejarah yang mendahului sejumlah situasi dan kondisi dalam atmosfer sosialpolitik hari ini. The Nameless Boy (2017) menjadi contoh teraktual tentang bagaimana proses replikasi sudut pandang akan persoalan berlangsung dan tidak hanya akan berdampak pada situasi hari ini melainkan juga memungkinkan di masa yang akan datang. Topo Pendem / Merged with The Ground (2018), Gowok The Ins and Outs of A Woman’s Body (2018), dan Blues Side on the Blue Sky (2018) menjadi percontoh ketika persoalan yang naik ke permukaan pada dasarnya bukanlah persoalan yang pokok dalam keseharian kita. Bahwa dalam sirkulasi teks, gambar, video bahkan audio dan percakapan kita sehari-hari rupanya tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang riil. Ia justru menghantarkan kepentingan-kepentingan politis yang lebih dekat ke persoalan politik elektoral. Fade Out (2019) dengan gamblang melancarkan kritiknya pada hal-hal yang mendasari tersendatnya kultur kritisisme di masyarakat kita ketika cara pandang tertentu dibatasi diskursusnya. Meski tidak menyinggung secara 125
langsung dan tidak berusaha menggambarkan latar sosial-politik tokohnya, Woo Woo / Or the Silence That Kills You and Me (2019) justru memperlihatkan pada kita bagaimana keterasingan seseorang dari manusia lain, dunia sosial, sudut-sudut pandang dan barangkali pilihan-pilihan alternatif berakhir pada sesuatu yang tidak konstruktif. Menyerahkan kerja perekaman pada seekor burung dara balap, Sapu Angin / Windswept (2017) menyediakan ruang reflektif antara kita sebagai subjek yang menonton dan dunia sosial yang tersaji dalam bingkaian si sutradara. Ia turut memberikan gambaran tentang kondisi carut-marut yang terefleksi bahkan dari sesuatu yang nampaknya tertata. Sebaliknya, juga menunjukan adanya keputusan-keputusan yang mendahului penggambaran yang carut-marut tersebut. Melaluinya kita dapat membayangkan proses kerja sebuah pembentukan cara pandang ataupun narasi akan situasi dan kondisi tertentu.
126
Candrawala
CW
FEEDBACK
Dhuha Ramadhani Curator
It is not difficult to look away from our socio-political situation; it’s as easy as rolling the screen when we face contents unsuitable with our taste as such. Though we ignore them, they still circulate us. These digital items move from the most public spaces to the most private in various internet-mediated communication pools. However, where are they going? Do they leave traces in our memory and presumably emerge in the world wherein communication occurs without the internet? Human oral customs or word of mouth transmission seemly get its best modes, thanks to the internet, to unleash our main desire: to share. Consequently, to some extent, it’s hard to turn away from some contents which have certain substances. These contents, which seems like they’re spreading randomly, show similarity to each other over time in their substance, form, even their attitude. The rapid circulation won’t make them extinct; they can adapt in many ways and are even reproduced constantly until they reach an ability to present themselves multi-dimensionally – in a higher level they can determine the mindset, behavior, and action of social groups. They come out of a vacuum of value and shows their partiality. We can argue that the longer those contents stay in the circulation, so to speak, the more relevant they would be to our current socio-cultural context, and it’s not only because of its increasingly sophisticated adaptability. By not seeing them as a single unit of culture, such scattered contents as texts, images, audios, and moving images reflect an important public discourse. It is apparent that they represent “voices” 127
and “diverse perspectives” of many things rather than being present without purpose. Eight films selected in Candrawala this year, at least —based on their background of context, method of production, and visual language choices— indicates the phenomenon of how units other than “media content” also experience similar symptoms. Such units have a directed circulation, rather than an organic one (as seemed or thought of all this time); that’s what we actually face every day. The replication of ideas, fears, speeches, catch-phrases, narratives, memories, experiences and events —those which evolutionarily adapt and are adapted throughout human life— ultimately determine the point of view of subjects, including creative subjects, in framing a variety of issues that are deliberately contradicted to or aligned with what is dominant or subordinate. Through Adegan Yang Hilang Dari Petrus (2019), without intending to simplify the complexity of the problem, the film features the historical background that precedes some situation and condition in the socio-political sphere today. The Nameless Boy (2017) is the most actual example of how replication of perspectives on a problem occurs, and it impacts not only the situation today but possibly the future, too. Topo Pendem / Merged with The Ground (2018), Gowok The Ins and Outs of A Woman’s Body (2018), and Blues Side on the Blue Sky (2018) are the examples of when the problems that emerge to the surface are not the main problem in our daily life. That within the circulation of contents, such as text, visual, video, even audio, and our everyday conversation doesn’t touch the actual fundamental problems. Instead, it delivers political interests that belong more to the affairs of electoral politics. Fade Out (2019) explicitly unleashes its criticism to some matters obstructing the culture of criticism in our society, that limits the discourse on a certain way of seeing. Although it doesn’t directly address or depict the socio-political background of its character, Woo Woo / Or the Silence That Kills You and Me (2019) shows us how the alienation of an individual from other individuals, the social world, perspectives, and alternatives choices would end up being unconstructive. Handing out the recording mechanism to a racing pigeon, Sapu Angin/Windswept (2017) provides us a reflective space between us, as the spectator, and the social world captured in the frame of the director. It also gives us the depiction of a chaotic condition reflected even from 128
something that seems is in an order. In contrast, it also shows the decisions that precede that depiction of chaos. Through it, we can imagine how the formation of perspective occurs regarding a particular situation and condition.
129
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
ADEGAN YANG HILANG DARI PETRUS
Country of production Indonesia Language Javanese language & Indonesian Subtitles English 5 min, color, 2019
Dalam filem ini, Arief Budiman mengangkat proses yang mendahului Peristiwa Lapangan Banteng. Tokoh dalam filem berkisah tentang perjalanan dirinya bersama Kelompok Fajar Menyingsing (KFM) menuju Jakarta dari Semarang pada tahun 1982. Lebih jauh, Arief mempersoalkan kembali peristiwa Petrus di tahun 1980-an ketika pemerintah dan elit politik menggunakan ketakutan sebagai instrumen kontrol masyarakat. Menggunakan sumber-sumber foto dan narasi yang tersebar di internet, filem Adegan Yang Hilang Dari Petrus mengeksplorasi pembuatan filem tanpa menggunakan kamera.
In this film, Arief Budiman raises a process preceding the Lapangan Banteng incident. The figure in this film narrates his journey with Kelompok Fajar Menyingsing (KFM), heading to Jakarta from Semarang, in 1982. Furthermore, Arief re-problematizes the Petrus killings that occurred in the 1980s when the government and political elites used fear as the instrument to control society. By using photographs and narratives scattered on the internet as his sources, Adegan Yang Hilang Dari Petrus explores a camera-less filmmaking process.
——Dhuha Ramadhani
Arif Budiman (Indonesia)
130
Arif Budiman adalah seniman kelahiran Depok yang kini menjalani studi mengenai sinema di Yogyakarta. Arief menggunakan gambar bergerak sebagai medium utama karyanya. Di samping melakukan eksplorasi bentuk secara spontan dan intuitif, ia juga membahas isu tentang gaya hidup atau perilaku masyarakat terkini dan pengaruh Internet. Ia aktif di Piring Tirbing, sebuah kelompok produksi dan pengembangan konten audio visual. Selain itu ia ikut mengurus program Video Battle dan Cafe Society Cinema di Ruang Mes 56.
Arif Budiman is a Depok-born artist who is now studying cinema in Yogyakarta. Arief used moving images as the primary medium of his work. In addition to exploring forms spontaneously and intuitively, he also discusses issues about current lifestyle or community behavior and the influence of the Internet. He is active in Piring Tirbing, a group that produces and develops audio-visual content. Also, he took care of the Video Battle program and Cafe Society Cinema in Ruang Mes 56.
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
THE NAMELESS BOY
Country of production Indonesia Language Indoensia Subtitles English 6 min, color, 2017
Ciri fisik dan faktor biologis telah lama kehilangan relevansinya untuk memahami mengapa seseorang menjadi pelaku penyimpangan atau kejahatan. Sejumlah kriminolog meyakini bahwa perilaku itu adalah sesuatu yang dipelajari secara sosial, sejumlah lain menekankan pada proses pewacanaan yang dilakukan agen-agen tertentu untuk mempertahankan ideologi bahwa kejahatan adalah realitas yang konkret. Relasi hierarkis memungkinkan sebagian agen menggunakan kekuatannya untuk membentuk wacana dominan tentang kejahatan: hukum, produksi dan reproduksi ketakutan, dan pemberitaan bernarasi tunggal. The Nameless Boy, selain sebagai arsip peristiwa sebuah proses sosial, juga dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana produksi sosial hari ini dapat mempengaruhi dunia sosial di masa depan.
Physical characteristic and biological factor have long lost its relevance to understand why someone becomes an offender or a deviant. Some criminologists believe that those behaviors are something studied socially, some others emphasize the discourse-making conducted by certain agents to defend an ideology that believes the crime as a concrete reality. Hierarchal relation allows some of the agents to use their power to shape the dominant discourse of crime: law, production, and reproduction of fear, and single narrative reporting. The Nameless Boy, besides as an archive of social occurrences, it can also be used to study how social production today could affect the social world in the future.
——Dhuha Ramadhani
Diego Batara Mahameru (Indonesia)
Diego Batara Mahameru adalah pembuat filem independen yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Setelah lulus dari jurusan ilmu politik, Diego bekerja sebagai jurnalis video. Karirnya sebagai pembuat filem dimulai dengan film pendek berjudul Calon (2015), yang terpilih di beberapa festival filem termasuk Jogja-Netpac Asian Film Festival. Filemnya yang berjudul The Nameless Boy (2017) telah dipilih di beberapa festival filem internasional. Dia saat ini berpartisipasi dalam lokakarya filem atau program beasiswa, seperti ASEAN-ROK Film Leader Incubator: FLY. Saat ini, ia sedang belajar di Busan Asian Film School (AFIS).
Diego Batara Mahameru is an independent filmmaker based in Jakarta, Indonesia. After graduated in political science major, Diego worked as a video journalist. His career as a filmmaker starts with a short film titled Calon (2015), it was selected in several film festivals including Jogja-Netpac Asian Film Festival. His film The Nameless Boy (2017) has been selected in several international film festivals. He is currently participating in film workshops or fellowship program, such as ASEAN-ROK Film Leader Incubator: FLY. Currently, he is studying in Busan Asian Film School (AFIS).
131
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
TOPO MENDEM MERGED WITH THE GROUND Country of production Indonesia Language Javanese Subtitles English 19 min, color, 2018
Laku topo pendem diyakini sebagai warisan Sunan Kalijaga, yakni seorang Wali yang kerap mengakulturasi budaya lokal dan Islam dalam berdakwah. Melalui aksi ini, dipercaya harapan kita akan dikabulkan Yang Maha Kuasa; umumnya kesehatan, keselamatan jiwa dan raga dari gangguan dan ancaman. Menokohkan seorang anak yang menyandang autisme, filem ini berkisah tentang usaha seorang bapak yang melakukan topo pendem demi anaknya. Dalam beberapa kasus, kondisi medis tertentu ditangani dengan cara ‘khas’ secara non-medis, bergantung pada budaya setempat – berlandaskan kepercayaan maupun keterbatasan pilihan. Topo Pendem membingkai ketidakberiringan sirkulasi masuknya pengetahuan dan produk massal di suatu wilayah yang terlanjur dianggap lumrah terjadi di Indonesia.
People believes that the act of topo pendem (merging with the ground) is a legacy from Sunan Kalijaga – a Wali (guardian) who often converge the local and Islamic culture in their preaching. Through this act, people believe that the Almighty will grant their pray; generally regarding health, safety of body and soul from any threat and intrusions. Capturing a child as an autistic figure, this film narrates the effort of a father who committed topo pendem for his son. In several cases, certain medical condition receives ‘typical’ non-medical treatment, depending on the local custom – based on a believe or the limited choices. Topo Pendem frames the unsynchronized circulation of the influx of knowledge and mass product in a certain location that already regarded as a habit in Indonesia.
——Dhuha Ramadhani
Imam Syafi’i (Klaten, 22 April 1997) adalah seorang mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta dan saat ini tinggal di Jawa Tengah, Indonesia. Ia kini aktif bergiat sebagai pembuat filem.
Imam Syafi'i (Indonesia)
132
Imam Syafi’i (Klaten, 22 April 1997) is a student in the Jakarta Institute of the Arts and he lives in Central Java, Indonesia. He is currenly active as a filmmaker.
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
GOWOK THE INS AND OUTS OF A WOMAN’S BODY
Country of production Indonesia Language Indonesian Subtitles English 17 min, color, 2018
Kedatangan dan kuatnya pengaruh Islam menekan Pemerintah Hindia Belanda menghapus tradisi Gowok. Istilah Gowok merujuk pada perempuan yang berjasa dalam mempersiapkan lelaki sebelum menikah. Utamanya memastikan si lelaki mampu memperlakukan perempuan dengan baik — mental dan fisik. Pemilihan Gowok umumnya disepakati kedua keluarga calon mempelai. Berlatar persoalan tingginya angka perceraian yang terjadi di Indonesia, filem ini berusaha menghadirkan kembali tradisi yang telah lama hilang dalam situasi kontemporer hari ini. Melaluinya kita dapat melihat persoalan tubuh perempuan ketika ia dihadirkan dalam bingkai kamera dan bagaimana hal ini dapat kita telaah untuk memahami ketabuan dan pengaruhnya di masyarakat kita.
The arrival of Islamic influence and its strength pushed the Dutch East Indies government to erase the tradition of Gowok. As a term, Gowok refers to the women who render service to prepare men before marriage, primarily ensuring the man’s ability to treat a woman well – mentally and physically. Family of the groom and bride usually decide the Gowok. Putting the height of divorce rate in Indonesia as its background, this film tries to bring forth again the long-lost tradition within today’s situation. Through it, we can see the case of woman bodies when it is in the frame of the camera and how we can analyze this to understand taboo and its influence in our society.
——Dhuha Ramadhani
Steve Masihoroe adalah sutradara filem pendek Ayo Kita Pulang, Closer dan Gowok yang telah diputar di berbagai festival filem. Ia belajar di Art Film School Yogyakarta dan di jurusan Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Dia juga penasihat di Ruang Gelap – sebuah klub audiovisual dan produksi.
Steve Masihoroe is director of short films Ayo Kita Pulang, Closer and Gowok that have been screened in numerous film festivals. He studied at Art Film School Yogyakarta and in Communication Science of Mercu Buana University Yogyakarta. He is also the advisor in Ruang Gelap – an audiovisual club and production.
Steve Masihoroe (Indonesia)
133
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
BLUES SIDE ON THE BLUE SKY
Country of production Indonesia Language Bugis language Subtitles English 16 min, color, 2018
Ketidakpahaman masyarakat akan kondisi medis terkait jiwa membuat beberapa penyandangnya berakhir dipasung — demi ‘melindungi’ dirinya dan orang sekitar. Tak jarang kondisi tersebut dikaitkan dengan halhal supranatural, gaib, dan non-medis seperti kerasukan. Mitos, dalam praktiknya, begitu kental mengalir dalam sebagian masyarakat kita dan ia cukup berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan. Menggunakan sarung sebagai metafora, Rachmat berupaya menampilkan bagaimana seorang ibu berjuang demi anaknya dalam situasi yang demikian itu.
Society’s misunderstanding of mental condition makes some of its patients end up in shackle – to ‘protect’ themselves and the people around them. Often that condition will be linked to supernatural, mystical, and non-medical things such as being possessed. The myth, on its practice, flows thickly in most of our society and it plays an important role in decisions making. Using sarong as a metaphor, Rachmat tries to showcase how a mother must struggle for her child within such a difficult situation.
——Dhuha Ramadhani
Rachmat Hidayat Mustamin (Indonesia)
134
Rachmat Hidayat Mustamin adalah pendiri Imitation Film Project dan produser dari beberapa proyek film. Ia adalah produser filem Menenggelamkan Mata yang pernah ditayangkan di SGIFF 2017 dan KADO (A Gift) yang pernah mendaptkan Golden Lion di La Biennale 2018, Venesia. Karyanya yang berjudul Blues Side on The Blue Sky pernah diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018.
Rachmat Hidayat Mustamin is the founder of Imitation Film Project and producer of several film projects. He is the producer of Menenggelamkan Mata that has been screened at SGIFF 2017 and KADO (A Gift) that received Golden Lion at 2018 Biennale, Venice. His work Blues Side on The Blue Sky has been screened at the 2018 JogjaNETPAC Asian Film Festival.
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
FADE OUT
Country of production Indonesia Language Indonesian Subtitles English 8 min, color, 2019
Tanpa berbasa-basi, filem ini mempersoalkan pelarangan cara berpikir tertentu dalam lingkungan yang diharapkan mampu melatih anak manusia dapat berpikir rasional dan kritis. Lebih dari 50 tahun, ia terus dimapankan melalui cara-cara formal, informal, maupun nonformal. Kurikulum diambil sebagai salah satu percontoh untuk memperlihatkan bagaimana rezim kebenaran tertentu dipertahankan melalui pengetahuan. Hal mana, pengetahuan barang tentu memiliki efek kuasa – yang melalui itulah kekuasan teraktualisasikan. Fade Out, dengan begitu gamblang, turut menyajikan bagaimana cara berpikir itu sebenarnya tetap hadir. Namun, kehadirannya yang hanya di ruang privat — bukan ruang publik — sekaligus juga menjadi gambaran mengapa rezim kebenaran tertentu tetap bertahan.
This film problematizes restriction on a certain way of thinking in an environment that is expected able to educate the human to think rationally and critically. More than 50 years, it gets more established through formal, informal, and nonformal ways. The curriculum is a sample showing how knowledge maintains a particular regime of truth. The knowledge surely has the effect of power – which through it, actualization of power occurs. Fade Out explicitly presents how that way of thinking remains exist. But the presence is only in private space – not in public space – and it becomes a depiction of why a certain regime of truth survives.
——Dhuha Ramadhani
Achmad Rezi Fahlevie (Kendawangan, 11 Juli 1996) adalah seorang pembuat filem dari Yogyakarta. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival filem nasional dan internasional.
Achmad Rezi Fahlevie (Kendawangan, 11 July 1996) is a filmmaker from Yogyakarta. His films have been screened in national and international film festivals.
Achmad Rezi Fahlevie (Indonesia)
135
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
WOO WOO / OR THE SILENCE THAT KILLS YOU AND ME
Country of production Indonesia Language Subtitles 13 min, color, 2019
Kesendirian yang menjadi semacam penyakit manusia modern, khususnya masyarakat urban, menjadi topik yang coba dibongkar oleh Woo Woo. Filem yang adalah adaptasi sebuah lagu dari band Sore ini bahkan tak menyinggung alasan-alasan – spiritual maupun ideologis – yang melatari aksi bom bunuh diri tokohnya. Meski mencoba tak terikat konteks sosial maupun politik, namun melaluinya kita dapat menelaah prakondisi yang memungkinkan terjadinya alienasi pada diri seseorang, baik dari manusia lain maupun dunia sosial. Plot disusun linier dengan kamera handheld yang apa adanya, Basbeth agaknya menyerahkan narasi filem pada interpretasi personal penontonnya.
Woo Woo attempts to unfold the topic of solitariness that has became a kind of modern human disease, especially in urban society. The film, which is an adaptation from a song by Sore band, doesn’t feature the reasons – both spiritually or ideologically – that drives its character to commit a suicide bombing. Even though the film tries not to be limited by a certain social or political context, but we can examine the preconditions that enable an alienation happens to an individual, both from other individuals or social world. The visuals from handheld camera compose its linear plot, it seems that Basbeth hand over the narrative of his film to the interpretation of the film’s audience.
——Dhuha Ramadhani
Ismail Basbeth (Indonesia)
136
Ismail Basbeth (Wonosobo, 1985) adalah seorang sutradara dan seniman visual Indonesia yang juga adalah lulusan Berlinale Talent Campus di Jerman dan Asian Film Academy di Korea Selatan – di sana, ia berhasil mendapat Beasiswa BFC & SHOCS. Sejak tahun 2008, ia telah memproduseri dan menyutradarai berbagai filem pendek maupun filem panjang yang tampil dalam berbagai festival nasional maupun internasional. Ia merupakan produser dan salah satu pendiri Matta Cinema dan Bosan Berisik Lab.
Ismail Basbeth (Wonosobo, 1985) is a self-taught Indonesian filmmaker and visual artist, alumni of Berlinale Talent Campus in Germany and Asian Film Academy in South Korea where he won the BFC & SHOCS Scholarship Fund. Since 2008, he had produced and directed various short and feature films which have been highlighted in prestigious national and international film festivals. He is a producer and co-founder of Matta Cinema and Bosan Berisik Lab.
CW / 25 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
SAPU ANGIN WINDSWEPT Country of production Indonesia Language Subtitles 6 min, color, 2017
Merekam masifnya ekspansi properti di pinggiran kota Surabaya. Ketimbang menyusun gambar-gambar secara konvensional, Sapu Angin memberikan tawaran pada kita dengan bahasa visualnya yang sama sekali lain dari kecenderungan tersebut. Melihat persoalan di suatu lokasi dengan menyerahkan kerja mekanik kamera pada seekor burung dara balap. Keputusan sutradara ini justru memberikan kita peluang pembacaan yang lebih luas dari sekadar isu-isu pembangunan. Ia turut memberikan gambaran tentang kondisi carut-marut yang terefleksi bahkan dari sesuatu yang nampaknya tertata.
The film records the massive expansion of property in the suburb of Surabaya. Instead of composing images conventionally, Sapu Angin offers us a completely different visual language from that tendency. The film looks at a problem in a location by handing over the mechanical work of the camera to a racing pigeon. This director’s decision gives us the opportunity for a broader interpretation than merely a problem of development. It allows us to offer a depiction of the chaotic situation reflected even from something that seems is in order.
——Dhuha Ramadhani
Cahyo Prayogo
Cahyo Wulan Prayogo adalah seniman yang berbasis di Surabaya, Indonesia. Anggota Kinetik, sebuah komunitas yang fokus pada kegiatan seni dan sinema. Ia aktif membuat karya gambar bergerak menggunakan medium video sejak keterlibatannya pada program AKUMASSA Forum Lenteng. Sapu Angin merupakan salah satu output dari riset panjangnya mengenai fenomena “adu doro” di kotanya berada.
Cahyo Wulan Prayogo is an artist based in Surabaya, Indonesia. Member of Kinetik, a collective that focuses on arts and cinema activities. He has been active in making moving image works using video since his involvement in the Forum Lenteng’s AKUMASSA program. Sapu Angin is one of his films based on his long research on the phenomenon of “adu doro” (‘pigeon contest’) in his city.
(Indonesia)
137
138
KULTURSINEMA #6 GELORA INDONESIA
139
Kultursinema
K
KULTURSINEMA #6: GELORA INDONESIA
“Dalam rangka memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka di wilayah pendudukan Jawa, pemerintahan militer Jepang memberikan perhatian besar tentang bagaimana ‘menyita hati rakyat’ dan bagaimana ‘mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka’. Mereka beranggapan bahwa perlu memobilisasikan seluruh masyarakat dan membawa sepenuhnya mentalitas rakyat Indonesia menuju kesesuaian dalam ideologi Jepang tentang Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Mereka berpikir bahwa orang Indonesia harus sepenuhnya dibentuk ke dalam pola tingkah laku dan cara berpikir Jepang. Dan propaganda dirumuskan sebagai suatu upaya untuk mengindoktrinasi rakyat Indonesia sehingga bisa menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Filem berita merupakan salah satu jenis filem yang memiliki sejarah panjang di Indonesia, selain filem fiksi dan filem dokumenter. Filem berita tumbuh dan berkembang sejak masa berkuasanya pemerintahan militer Jepang di Indonesia rentang 1942-1945. Di masa itulah, founding fathers sinema Indonesia mengasah dan memperdalam pengetahuannya dalam hal produksi filem, serta memahami gagasan dan fungsi sinema yang tidak hanya berhenti pada nilai hiburan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengonstruksi cita-cita identitas bersama. Tak lama setelah Proklamasi 1945, kelompok Berita 1
1. Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, diterjemahkan oleh Hermawan Sulistyo, Grasindo, 1993, hlm. 229.
140
Film Indonesia terbentuk. Selain mendokumentasikan berbagai peristiwa bersejarah saat Revolusi 1945-1949, kelompok ini juga membuat tiga filem berita yang diberi judul Berita Film Indonesia No. 1-3. Dan setelah penyerahan kedaulatan pasca Konferensi Meja Bundar, Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi filem berita Gelora Indonesia. Berbeda dengan filem berita Siaran Chusus yang terfokus pada isu spesifik di setiap edisinya, Gelora Indonesia menjadi semacam ‘catatan harian pemerintah’ yang memperlihatkan perkembangan negeri ini sejak ia diterbitkan pertama kali pada 5 Januari 1951 hingga berakhir di tahun 1976, dan kemudian diganti dengan Gelora Pembangunan di masa Orde Baru. Sepanjang 1951-1976, Gelora Indonesia sedikitnya telah memproduksi lebih dari 800 filem berita. Dari jumlah tersebut, 360 reel telah didigitalisasi (mendekati 50%) oleh Arsip Nasional Republik Indonesia dan dapat diakses oleh masyarakat umum. Apakah seluruh rekaman-rekaman Gelora Indonesia hanya menayangkan kebijakan negara dan aktivitas pemerintahan Soekarno dan Soeharto? Apakah Gelora Indonesia sama dengan pemerintah? Apakah Gelora Indonesia adalah filem berita propaganda? Mungkin jawabannya adalah Gelora Indonesia memang betul filem propaganda, kalau ditonton lengkap dengan mendengarkan suara narator yang mendeskripsikan, menyerukan jargon dan slogan propaganda. Namun jawabannya akan berbeda seandainya suara itu dihilangkan. Deskripsi, jargon, maupun slogan propaganda akan hilang pula. Jika begitu, bagaimana kemudian visual Gelora Indonesia bekerja? Apakah tetap akan disebut filem propaganda atau bahkan filem dokumentasi saja, atau bahkan hanya sekedar footage? Ataukah ada narasi lain yang bisa dimunculkan dari arsip sejarah filem tersebut? Misalnya, adakah narasi-narasi kecil di dalam narasi besar pembentukan identitas nasional itu? Jika ada, apakah narasi kecil di dalamnya memiliki fungsi yang lain, selain dianggap sebagai ‘sisipan’? Ini mungkin sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang ingin diutarakan pada pameran ini. Pameran Kultursinema #6: Gelora Indonesia mengundang enam kurator untuk bersama-sama membaca Gelora Indonesia. Masing-masing kurator diberi kebebasan untuk memilih satu tema dari sekian banyak tema yang dapat diolah dari arsip filem tersebut, serta mencoba mengkonstruksi kembali narasi perjalanan sejarah bangsa ini dengan konteks tema besar festival, Bromocorah. Memanfaatkan arsip filem sebagai sumber sejarah di dalam pameran ini 141
merupakan usaha untuk melihat seberapa jauh filem mampu menangkap sebuah peristiwa, membentuk persepsi dan perspektif publik, serta elemen sinematik dan rupa apa yang terdapat di dalam estetika bahasa sinema Gelora Indonesia. Luthfan Nur Rochman mencoba melihat bagaimana aktualitas peristiwa, teknifikasi peliputan, anonimitas kru, serta proses konstruksi sinematik Gelora Indonesia yang melibatkan pengendapan konstruksi agung dan juga instruksi dari penguasa saat itu, menjadi hal yang memberikan ketegangan baru untuk melihat adakah kepengarangan dalam Gelora Indonesia. Melalui pengimajinasian seleksi peristiwa Gelora Indonesia sebagai arsitektur pembangunan nasionalisme, Luthfan akan menyeleksi berita pembangunan dan membaginya menjadi proyeksi dua kanal berdasarkan kesadaran aspek komposisi dalam frame; komposisi unsur geometris dan komposisi unsur biomorfis. Wahyu Budiman Dasta akan fokus membahas bagaimana peranan negara dalam sikap politis dalam bentuk olahraga yang terdapat di siaran Gelora Indonesia. Sedangkan Prashasti Wilujeng Putri mencoba mengidentifikasi dan membandingkan dua jenis massa yang ada dalam Gelora Indonesia. Keberadaan massa homogen di Gelora Indonesia merupakan usaha untuk membuat orang-orang, atau penonton, percaya bahwa negara Indonesia, beserta seluruh komponennya – termasuk rakyat – adalah suatu negara yang sedang berjalan menuju kesempurnaan. Di samping itu terdapat juga massa heterogen, yang tidak punya identitas tunggal yang dapat membentuk persepsi penonton akan atribut identitas kenegaraan – salah satunya adalah imaji tentang rakyat yang mempunyai suatu identitas tunggal dan menginginkan kedaulatan atas negaranya. Afrian Purnama mencoba melihat metode transisi di dalam Gelora Indonesia, baik ketika diproduksi di masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Transisi dalam Gelora Indonesia lebih bertindak sebagai jembatan ketimbang pemisah. Pada Gelora Indonesia sebelum 1965, transisi berbentuk visual dan sifatnya meruang. Sedangkan pada tahun 1965 dan setelahnya, transisi lebih memakai elemen lain, yaitu suara musik yang berbeda dan disesuaikan dalam tiap-tiap peristiwa. Kedua jenis transisi ini tidak diniatkan sebagai peristiwa utama, transisi bekerja dalam ranah ketidaksadaran. Selain menjembatani peristiwa satu dengan lainnya, transisi juga menjadi titian 142
antara kognisi penonton dengan konten utama Gelora Indonesia. Bila kita melihat Gelora Indonesia sebagai bentuk propaganda, maka keberadaan transisi sesungguhnya vital bagi upaya doktrinasi ideologi yang dikandung Gelora Indonesia. Dini Adanurani mencoba melihat bagaimana gender perempuan dikonstruksi dalam Gelora Indonesia, terutama dalam segmen Dunia Wanita. Dalam berita film ini, perempuan cenderung diarahkan kepada subjek yang estetis, yakni kecantikan, peragaan busana, dan perawatan kebun. Aktivisme perempuan yang diberitakan terbatas pada ranah sosial (bukan politik), yang berhubungan dengan perawatan, pangan, serta peran mereka sebagai ibu dan istri. Sedangkan Robby Ocktavian mencoba melihat bagaimana isu pembangunan dan pengembangan teknologi menjadi salah satu isu global yang penting menjelang, saat, dan pasca Perang Dingin. Selain menghadirkan enam kuratorial yang membaca isu-isu spesifik pada Gelora Indonesia sebagai usaha mendedah dan menambah perbendaharaan wacana dan penulisan sejarah sinema di Indonesia, pameran ini juga akan merentangkan ‘catatan harian’ perjalanan bangsa ini melalui arsip-arsip filem Gelora Indonesia yang telah terseleksi. Menghadirkan arsip-arsip filem Gelora Indonesia ke tengah masyarakat menjadi salah satu usaha untuk mendorong semakin banyaknya inisiatif masyarakat mengakses maupun menggunakan arsip-arsip tersebut untuk berbagai kepentingan. Pameran ini juga akan menyelenggarakan program publik yang melibatkan masyarakat di dalam rangkaian diskusi dan pemutaran filem yang terfokus pada isu arsip filem, sejarah, dan sinema. Serta, program khusus penayangan film-film karya Abduh Aziz, terutama karya dokumenternya, yang akan bekerja sama dengan Koalisi Seni Indonesia. Kultursinema #6: Gelora Indonesia merupakan pameran bersama yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan ARKIPEL, Arsip Nasional Republik Indonesia, Perum Produksi Film Negara, dan Museum Nasional. Tulisan ini kolaborasi para kurator Kultursinema, yaitu Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashasti Wilujeng Putri, Robby Ocktavian dan Wahyu Budiman dengan dikompilasikan oleh Mahardika Yudha.
143
Kultursinema
K
KULTURSINEMA #6: GELORA INDONESIA1
“To enforce the Japanese military reign’s policy in the sector of population, they paid attention on potential ways to charm the hearts of the people, also on how to indoctrinate and domesticate them. They were keeping in mind the need to mobilize the mass through aligning the mentality of the Indonesian people into the Japanese ideology of the Commonwealth Zone with the Prospering East Asia. They saw that Indonesians had to be molded into the Japanese’s way of acting and thinking. A propaganda was formulated as an attempt to indoctrinate the Indonesians, with the aim to conduct a trustworthy partner in building the Commonwealth Zone with the Prospering East Asia,” Aiko Kurasawa wrote in Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945. Newsreel is one of the films that had quite a long history in Indonesia, besides fiction and documentary films. Newsreels started to grew during the Japanese military reign in Indonesia, around 1942-1945. During that time, the founding fathers of Indonesian cinema honed and deepened their knowledge in film production, while gaining an insight on the notion and function of cinema beyond entertainment: it also has potential to construct an aspired collective identity. Not long after the 1945 proclamation of national freedom, the group Berita Film Indonesia (Indonesian Film News) was initiated. Besides documenting various historical events during the 1945-1949 revolution, this 2
1. The word gelora means “spirit” or “passion”, so the title Gelora Indonesia can be translated roughly to “the passion of Indonesia”. 2. Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Indonesian language edition, translated by Hermawan Sulistyo, Grasindo, 1993, pg. 229.
144
group also produced three newsreels titled Berita Film Indonesia No. 1-3. Later on, after the transfer of sovereignty in the Konferensi Meja Bundar (Roundtable Conference), Perusahaan Film Negara (National Film Company, abbreviated to PFN) started to produce Gelora Indonesia newsreels. Unlike the Siaran Chusus (Special Broadcast) newsreels which focused on a specific issue in each of its editions, Gelora Indonesia becomes the government’s weekly log, showing the developments happening around the country since the first time it was broadcasted on January 5, 1951 up to 1976. After that, the title was changed into Gelora Pembangunan (the passion of development) during the New Order. During 1951-1976, Gelora Indonesia had produced more than 800 newsreels. Out of the total, 360 reels has been digitalized (almost 50% of the total) by Arsip Nasional Republik Indonesia (National Archives of the Republic of Indonesia), and can be publicly accessed. Does Gelora Indonesia only broadcast the country’s policies and Soekarno and Soeharto’s governmental activities? Does Gelora Indonesia speak as the government? Is Gelora Indonesia a propagandist newsreel? The probable answer is that it is a propaganda film, if it is watched while listening to the descriptive voice of the narrator, proclaiming the jargons and slogans of government propaganda. But then, the answer would be different if the narration is taken away. Of course, the descriptions, jargons, or slogans of propaganda will also be missing. Then, how do Gelora Indonesia’s visuals work? Can it still be called propaganda films? Or, will it become documentary films, or mere footages? Or, can we conclude new narratives from this archive? For example, does smaller narratives exist within the grand narrative of national identity? If the answer is yes, what function do these small narratives have, besides being insertions? This exhibition attempts to discuss some of these questions, and more. Kultursinema #6: Gelora Indonesia invites six curators to interpret Gelora Indonesia together. Each curators were given the freedom to discuss one of the many themes that can be drawn from the film archives, and to reconstruct the narrative of the nation’s history within the festival theme’s context, Bromocorah. In this exhibition, the treatment of film archives as a historical source attempts to examine the capability of film as a medium to capture an event, to form the public’s perception and perspective; and
145
to examine the types of cinematic and visual elements contained in Gelora Indonesia’s aesthetic languages. Luthfan Nur Rochman attempts to examine how an event’s actuality, coverage technification, crew anonymity, and Gelora Indonesia’s cinematic construction process which involved the interpolation of a grand construction and instruction from the ruling authority, can arouse a new tension on the question of auteurism in Gelora Indonesia. Through the imagining of selecting the events in Gelora Indonesia as the nation’s architect of development, Luthfan will select newsreels on development and constructions, and divide them into a two-canal projection based on the awareness of composition in frame; both the geometric and biomorphic compositions. Wahyu Budiman Dasta focuses on the nation’s role on forming political statements behind sports event in Gelora Indonesia newsreels. While Prashasti Wilujeng Putri attempts to identify and compare two kinds of masses in Gelora Indonesia. Homogenous mass in Gelora Indonesia aims to persuade the audience into believing that Indonesia, along with all its components--in which the people is a part of it--is a nation walking its path to completeness. There is also the heterogenous mass, standing without the singular identity that forms the audience’s perception of national identity--one of them is the image of the people, united by a single identity, aspiring for a sovereign nation. Afrian Purnama attempts to examine the method of transition in Gelora Indonesia, both in Soekarno and Soeharto’s era. The transition in Gelora Indonesia functions as a bridge rather than a divide. In Gelora Indonesia editions broadcasted before 1965, the transition was formed visually, and appears spatial. While in editions after 1965, the transition utilizes another element: a change in background music, chosen according to the events in the newsreels. Both of these transitions were never meant to be the main event; transitions work within the realms of unconsciousness. Other than bridging one event and another, transitions also acts as a tightrope between the audience’s cognition and Gelora Indonesia’s main content. Interpreting Gelora Indonesia as a form of propaganda, the existence of transition is therefore vital to the attempt of ideological indoctrination contained by Gelora Indonesia. Dini Adanurani attempts to read how women as a gender is constructed in Gelora Indonesia, especially in the Dunia Wanita (women’s world) segment. In this newsreel, women are generally directed to aesthetic subjects, such as 146
beauty, fashion pageants, and gardening. Displays of activism that involved women were limited to the social realm (not politics), related to caretaking, food, and their roles as mothers and wives. While Robby Ocktavian attempts to see how technology construction and development becomes one of the most important global issue before, during, and after the Cold War. Besides presenting six curatorials to interpret specific issues in Gelora Indonesia as an attempt of dissecting and enriching the discourse and historical writing of cinema in Indonesia, this exhibition will also elaborate the notes of journey of the nation through selected Gelora Indonesia film archives. Presenting Gelora Indonesia film archives to the public aims to push the people’s initiative to access or utilize those archives for various purposes. This exhibition will also hold a public program that involves the public in discussion and screenings focused on the issue of film archives, history, and cinema. There will also be a special screening of Abduh Aziz’s films, especially his documentary, in collaboration with Koalisi Seni Indonesia (Indonesian Arts Coalition). Kultursinema #6: Gelora Indonesia is a joint exhibition held by Ministry of Education and Culture, in collaboration with ARKIPEL, National Archives of the Republic of Indonesia, State Film Company (Perum Produksi Film Negara), and National Museum of Indonesia. This writing is the collaboration of Kultursinema curators, namely Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashasti Wilujeng Putri, Robby Ocktavian dan Wahyu Budiman compiled by Mahardika Yudha.
Kultursinema merupakan salah satu program ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang berlangsung sejak tahun 2014. Pameran ini diselenggarakan sebagai upaya untuk mengumpulkan, mendata, membaca, dan memaknai kembali kultur sinema di Indonesia dalam segala aspek yang telah berkembang selama lebih dari satu abad. Kultursinema selalu berupaya menghadirkan tema-tema spesifik yang beririsan dengan poros tema festival di setiap penyelenggaraannya. Dalam perhelatan keenam dan juga pada perhelatan berikutnya, pameran ini akan mencoba mempraktikkan moda kuratorial bersama yang melibatkan beberapa kurator untuk saling berdiskusi, membaca, dan menerjemahkan sejarah sosial dan sejarah estetika sinema di Indonesia melalui arsip-arsip sinema.
Kultursinema is one of the programs in ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival since 2014. This exhibition is held as the effort to collect, record, read and reinterpret the cinema culture in Indonesia in all aspects that has progressed for more than a decade. Kultursinema always attempts to bring forth specific themes that touch upon the festival themes each year. In its sixth and following exhibition, Kultursinema will try to implement collective curatorial that involves several curators to collectively discuss, read and interpret the social history and aesthetic of cinema history in Indonesia through the archives of cinema.
147
K / 25 August, Museum Nasional, 10.00 / 15+
PEMUTARAN FILEM HASIL RESTORASI DAN DIGITALISASI Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mempunyai program digitalisasi dan restorasi film-film yang telah dilakukan sejak tahun 2016. Beberapa hasil digitalisasi dan restorasi itu akan diputar di dalam rangkaian program Pameran Kultursinema #6: Gelora Indonesia sebagai usaha untuk melihat hasil dari digitalisasi dan juga restorasi film yang telah dilakukan selama ini. Pemutaran film ini akan fokus pada isu situasi awal masyarakat Indonesia pasca Revolusi; Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), Inspektur Rachman (Moh Said, Nawi Ismail, 1950), dan Pulang (Basuki Effendi, 1952).
DARAH DAN DOA Sutradara Usmar Ismail Negara Produksi Indonesia Language Indonesia Subtitles English 128 menit, hitam-putih, 1950
INSPEKTUR RACHMAN Sutradara Moh Said & Nawi Ismail Negara Produksi Indonesia Language Indonesia Subtitles English 64 menit, hitam-putih, 1950
PULANG Sutradara Basuki Effendi Negara Produksi Indonesia Language Indonesia Subtitles English 75 menit, hitam-putih, 1952
148
TRIBUTE TO ABDUH AZIZ Abduh Aziz (10 Oktober 1967 – 30 Juni 2019) adalah sosok penting dalam perjalanan sinema Indonesia dan bagi ARKIPEL sendiri. Beliau adalah aktifis yang dikenal luas, baik di kalangan sinema arus utama maupun di komunitas filem. Pada penyelenggaraan ARKIPEL pertama tahun 2013, Abduh berperan memberikan dukungan untuk terselenggaranya festival dokumenter dan eksperimental ini. Sebagai Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta kala itu, ia mendorong komunitas filem di Indonesia untuk dapat menjadikan ARKIPEL sebagai salah satu ruang pengetahuan tentang sinema Indonesia dan dunia. Salah satu dukungannya yang paling nyata adalah pada Program Kultursinema, dalam pendayagunaan arsip filem untuk pengetahuan sejarah sinema Indonesia. Untuk mengenang Abduh Aziz, ARKIPEL memutar sebuah filem yang ia produseri bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Filem ini merupakan kompilasi dari 4 filem pendek yang disutradari oleh 4 sutradara; Emil Heriadi, Lasja F.Susatyo, Ine Febriayanti, dan Chairun Nisa
KITA vs KORUPSI Sutradara Lasja Susatyo, Emil Heradi, Ine Febriyanti, dan Chairun Nisa Negara Produksi Indonesia Language Indonesia Subtitles 71 menit, warna, 2012
149
150
PRESENTASI KHUSUS
151
Presentasi Khusus
SP
JIKA KAU TELAH MENJALANINYA: DIS/INTEGRASI Scott Miller Berry, re:assemblage collective Penyaji
“But I never said I would stay to the end I knew I would leave you and fame isn’t everything Screaming like this in the hope of sincerity Screaming it’s over and over and over I leave you with photographs, pictures of trickery Stains on the carpet and stains on the memory Songs about happiness murmured in dreams When we both of us knew how the end always is How the end always is...” – The Cure, “Disintegration” (1989) Setiap filem dalam program kompilasi yang terdiri dari 9 filem pendek ini menggali makna kehilangan melalui eksplorasi pribadi dari manusia dan/atau melalui disintegrasi politik. Tiap filemnya juga adalah catatan harian dari seorang manusia tentang dirinya, masuk ke dalam ceritacerita mereka dengan cara yang emosional; di dalamnya, sentuhan pribadi si pembuat membentuk estetika: baik dengan proses manual menggunakan seluloid, rekaman footage arsip video, penciptaan langsung dalam kamera, rekaman VHS, rekaman dengan kualitas standard-definition atau pemrosesan filem dengan tumbuh-tumbuhan. Jika strip filem atau layar video bentuknya datar, maka apakah filem punya kedalaman? Apakah kedalaman tersebut diukur dari gradasi warnanya atau estetikanya atau apa yang dibicarakannya? Saya berpendapat bahwa filem atau video yang diproyeksikan benar punya kedalaman, tetapi bagaimana itu
152
bisa dilihat dalam format presentasi di bidang yang “datarâ€? atau kedalaman tersebut ada di benak penontonnya? Dalam tiap filem di program yang bertajuk Jika Kau Telah Menjalaninya: Dis/Integrasi, kedalaman emosi digali dengan indah melalui sentuhan tangan yang akan membawa tubuh dan jiwa penonton masuk ke dalam layar dan juga melampauinya. Tiga karya dari Christine Negus dalam program ini berbicara tentang eksplorasi pribadi akan kehilangan, kepunahan, dan luapan perasaan. Malena Szlam dengan filemnya Lunar Almanac membawa kita ke bingkaian suatu langit dengan refleksi dari cahaya yang menari-nari. Karya esai video dari Cecilia Aranade, The Space Shuttle Challenger, menggambarkan imbas peristiwa sejarah yang barbar terhadap seorang pengungsi belia. Alexandra Gelis lewat karyanya The Island adalah sebuah potret intim seorang tukang kebun yang terus melawan, bertahan, dan menjalani kehidupan; dengan medium seluloid lewat kebersentuhan tangan. Sarah Bliss dengan karyanya Unless You’re Living It adalah potret veritĂŠ akan sebuah kota kecil Mount Forest di Ontario, dituturkan melalui tangkapan foto dan wawancara yang intim dengan penduduk setempat, dengan medium film 16mm yang diwarnai. It Matters What karya Franci Duran adalah sebuah jukstaposisi kompleks tentang manusia, hewan, dan tumbuhan, dalam proses fotografis yang disarikan oleh Donna Haraway, seorang akademisi. Sharlene Bamboat menghadirkan sebuah esai video yang dinamis lewat karyanya Video Home System. Lewat filem itu, ia mengkontraskan budaya populer, gerakan politik nasionalisme, dan aspek ekonomi gerakan filem bawah tanah di Pakistan pada periode 1980-an dan 1990an.
153
Special Presentation
SP
UNLESS YOU’RE LIVING IT: DIS/INTEGRATION Scott Miller Berry Host
“But I never said I would stay to the end I knew I would leave you and fame isn’t everything Screaming like this in the hope of sincerity Screaming it’s over and over and over I leave you with photographs, pictures of trickery Stains on the carpet and stains on the memory Songs about happiness murmured in dreams When we both of us knew how the end always is How the end always is...” – The Cure, “Disintegration” (1989) The nine short films in this program each explore notions of loss through profound personal explorations of personal and/or political disintegration. Each short is a personal diary unto itself, delving into his/ herstories in profoundly emotional ways; wherein the form is only assisted through tactility: whether hand-processed celluloid, archival video footage, in-camera creation, VHS tapes, standard-definition recording or processing films with plant life. If the film strip or video screen is flat, does film have depth? Is such depth in regards to color grading or to the form or the content? I would argue that the projected film or video does have depth, but what does that look like in a ‘flat’ presentation or reception format? In each of the nine films in Unless You’re Living It: Dis/Integration, emotional depth is beautifully explored through hands-on approaches that bring the viewers body and mind into the screen and beyond. Christine 154
Negus’s videos anchor the program with three personal explorations of loss, extinction, and exaltation. Malena Szlam’s film Lunar Almanac takes us to the sky for a single frame ecstatic dance of light play and reflection. Cecilia Araneda’s video essay The Space Shuttle Challenger reflects on the impact of barbarous historical events on a young refugee. Alexandra Gelis’s The Island is a small-gauge hand-made portrait of a gardener who continues to resist, survive, and thrive. Sarah Bliss’s Unless You’re Living It is a verité portrait of small-town Mount Forest, Ontario told through intimate photography and interviews with its residents via hand-processed 16mm film and painted color. Franci Duran’s It Matters What is a multilayered juxtaposition of human, animal and plant lives and the power of plant life in the photographic process as filtered through theorist Donna Haraway. Sharlene Bamboat’s Video Home System is a dynamic video essay that contrasts popular culture, political nationalism and the underground film economies in Pakistan of the 1980s and 1990s.
155
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
LUNAR ALMANAC
Country of production Canada Language 4 min, color, 2013
“Lunar Almanac menelusuri titik-titik pengamatan siklus bulan dalam serangkaian visual. Dengan bingkai tunggal dan teknik fotografi long-exposure, tanpa diubah, dan penyuntingan langsung di kamera, filem ini memadu-padankan lebih dari 4.000 citra dari bulan setengah, bulan mati, dan bulan penuh. Citraan-citraan tersebut melintasi layar dengan energi yang intens, menerangi lamunan malam sebagaimana juga mimpi kita.”- M.Z.
Malena Szlam (Canada)
156
“Lunar Almanac traces the observational points of the lunar cycle in a series of visual notations. Using single-frame and long-exposure photography, the unaltered, in-camera editing accumulates over 4,000 layered field views of half-moons, new moons, and full moons. These lunar inscriptions flit across the screen with a frenetic energy, illuminating nocturnal reveries that pull at the tides as much as our dreams.” - M.Z.
Malena Szlam (lahir di Chili, tinggal di Montreal) adalah seorang seniman-pembuat filem yang bekerja di perlintasan antara sinema, instalasi, dan performans. Praktiknya mengeksplorasi hubungan antara alam, persepsi, dan proses intuitif. Karyanya telah dipamerkan di berbagai festival dan museum, termasuk di Toronto International Film Festival, International Film Festival Rotterdam, Viennale, Hong Kong Film Festival, New York Film Festival, Museum Seni Rupa Boston, Museum Seni Modern Buenos Aires, dan Museum Seni Modern Louisiana.
Malena Szlam (b. Chile, lives in Montreal) is an artist-filmmaker working at the intersection of cinema, installation and performance. Her practice explores the relationship between the natural world, perception, and intuitive process. Her work has been exhibited in festivals and museums including the Toronto International Film Festival, International Film Festival Rotterdam, Viennale, Hong Kong Film Festival, New York Film Festival, Museum of Fine Arts Boston, Buenos Aires Museum of Modern Art and the Louisiana Museum of Modern Art.
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
OUR HOME
Country of production Canada Language English 3 min, color, 2013
“Sebuah model miniatur kabin dibakar selagi lagu ‘This Haunted House’ versi Loretta Lynn dilantunkan dan dua pohon pelindung raksasa menatapnya.” - C.N.
Christine Negus (Canada)
“A miniature model of a cabin is set aflame while a droning version of Loretta Lynn’s ‘This Haunted House’ rings out and two ghoulish tree protectors stare on.” - C.N.
Christine Negus adalah seniman multidisiplin yang menerima penghargaan Pembuat Filem/ Video Kanada Terbaik dari NFB di Images Festival pada tahun 2008. Negus memperoleh gelar MFA dari Universitas Northwestern pada tahun 2010 dan gelar BFA dari Universitas Western pada tahun 2008. Beberapa pamerannya yang terkenal meliputi: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, dan Kasseler Dokfest. www.christinenegus.com
Christine Negus is a multidisciplinary artist who received the NFB’s Best Emerging Canadian Video/Filmmaker award at the Images Festival in 2008. Negus obtained her MFA from Northwestern University in 2010 and her BFA from Western University in 2008. Some of her notable exhibitions include: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, and Kasseler Dokfest. www.christinenegus.com
157
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
THE SPACE SHUTTLE CHALLENGER
Country of production Canada Language English and Spanish Subtitles English 10 min, color/B&W, 2017
“Menggunakan found footage, filem ini menjalin peristiwa tragis pesawat ulang-alik Challenger, Teluk Guantanamo, kudeta di Chile, dan pengalaman pribadi pembuatnya saat berusia 16. Ini juga adalah refleksi pribadi atas imbas peristiwa besar sejarah dunia dan momen kecil penuh harapan yang selalu ada.” – C.A
Cecilia Araneda (Canada)
158
“Through found footage, The Space Shuttle Challenger entwines the Challenger disaster, Guantanamo Bay, Chile’s coup d’état and experiences of being 16. It reflects on the personal impact of large events in world history and small moments of hope that survive.” - C.A.
Cecilia Araneda adalah pembuat filem asal Chili-Kanada yang datang ke Kanada sebagai seorang anak dan pengungsi bersama keluarganya setelah mereka lolos dari kediktatoran militer Chili. Dia telah menyelesaikan 15 filem pendek hingga saat ini, yang telah disajikan di berbagai festival filem, ruang-ruang yang dikelola seniman dan berbagai museum seni di seluruh dunia termasuk di Visions du Reél, Ann Arbor, Jihlava IDFF, Images Festival dan Festival du Nouveau Cinéma. Karya-karyanya pernah ditayangkan pula di Buenos Aires, Ottawa, Toronto dan Winnipeg. www.ceciliaaraneda.ca
Cecilia Araneda is a ChileanCanadian filmmaker who came to Canada as a child, as a refugee, with her family after they escaped Chile’s military dictatorship. She has completed 15 short films to-date, which have been presented at film festivals, artist-run centers and art museums around the world including Visions du Reél, Ann Arbor, Jihlava IDFF, the Images Festival, and Festival du Nouveau Cinéma. Solo surveys of her work has been presented in Buenos Aires, Ottawa, Toronto and Winnipeg. www.ceciliaaraneda.ca
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
THE ISLAND
Country of production Canada Language English Subtitles 6 min, color/ B&W, 2019
“Sebuah taman di antara Oakland dan Berkeley, California di Amerika Serikat, yang para penghuni di dalamnya menanam penghormatan atas sosok-sosok yang mereka cintai dalam bentuk bebuahan dan bebungaan. Ruang cinta dan kebebasan tersebut dijaga oleh Brian dalam 25 tahun terakhir. Pulau tersebut menolak, layaknya warisan sejarah Black Panthers di masa kini. Dibuat dengan Super 8mm, dan diproses dengan tangan lalu dipindai ulang berkali-kali sampai mencapai efek citraan yang semakin lama semakin rusak.” – A.G
Alexandra Gelis (Canada)
“A garden between Oakland and Berkeley, California, USA where residents of the neighborhood plant tribute to their loved ones via fruit plants and flowers. Spaces of love and freedom are cared for by Brian for the last 25 years. The island resists, like the living legacy of the Black Panthers today. Made in Super 8mm, processed by hand and re-scanned multiple times until it achieves a deterioration effect worthy of the image.” - A.G.
Alexandra Gelis adalah seniman Kolombia-Venezuela yang tinggal dan bekerja di Toronto, Ontario. Praktik studionya menggabungkan media baru, instalasi, dan fotografi dengan elektronik yang interaktif yang dibuat secara khusus. Proyek-proyeknya menggabungkan penelitian lapangan yang personal sebagai instrumen untuk menyelidiki ekologi berbagai lanskap dengan memeriksa jejak yang ditinggalkan oleh berbagai intervensi sosial-politik. Dia telah berpameran di berbagai negara seperti di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Ethiopia.
Alexandra Gelis is a ColombianVenezuelan artist living and working in Toronto, Ontario. Her studio practice combines new media, installation, and photography with custom-built interactive electronics. Her projects incorporate personal field research as a tool to investigate the ecologies of various landscapes through examining the traces left by various socio-political interventions. She has exhibited internationally in North and South America, Europe and Ethiopia.
159
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
UNLESS YOU’RE LIVING IT
Country of production USA/Canada Language English Subtitles 9 min, color, 2019
“Sebuah gambaran unik nan menggugah rasa akan tempat dan kuasa di lingkungan kulit putih di Ontario yang menantang korelasi antara melihat dan mengetahui serta kebinasaan kapitalisme tingkat lanjut. Diproses dengan tangan, cetak, pewarnaan, dan penyelarasan warna yang membuat seakan filem ini sendiri seperti tubuh-tubuh penduduk di Mount Forest, yang menahan luka serta menopang beban, tetapi memiliki kapasitas untuk bergembira, bersenang-senang, dan bertransformasi. Terima kasih khusus pada Phil Hoffman dan Program Retreat Film Farm 2016, dimana filem ini dibuat dan diproses.” - S.B.
Sarah Bliss (USA/Canada)
160
“An edgy, unsettling portrait of place and power in rural white Ontario that challenges the correlation between seeing and knowing and the ravages of late-stage capitalism. Handprocessing, contact printing, tinting, and toning engage the film as a body that, like the residents of Mount Forest, sustains injuries, wounds, and burdens, but also has the capacity for delight, revelatory pleasure, and transformation. With special thanks to Phil Hoffman and the 2016 Independent Imaging Retreat (“Film Farm”), where Unless You’re Living It was shot and hand-processed.” - S.B.
Sarah Bliss adalah seorang pembuat filem, seniman yang berasal dari keturunan Eropa Utara. Karyakaryanya mencoba memfasilitasi perjumpaan dengan tubuh yang merasa dan berhasrat. Ia juga melibatkan sejarah personal dan sejarah sosial, ia bekerja secara artisanal dengan film dan video yang menekankan pada proses sentuhan tangan, untuk menciptakan berbagai proyek eksperimental dan dokumenter serta berbagai instalasi yang melibatkan pemirsa secara mendalam.
Sarah Bliss is a filmmaker, artist and educator of Northern European descent whose work facilitates deep encounter with the sensate, desiring body. Engaging personal and social history, she works artisanally with hand-processed film and video to create experimental and documentary projects and immersive installations. Her work has been screened at festivals and museums including Edinburgh International Film Festival; Museum of Contemporary Art, Taipei; Fracto Film Encounter; Transient Visions and Anthology Film Archives. She teaches cameraless filmmaking and is a member of Boston’s AgX Film Collective.
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
FROZEN GIANTS
Country of production Canada Language English Subtitles 4 min, color, 2014
“Filem Frozen Giants menjelmakan sisi traumatis yang ada di lagu ‘Under the Sea’ (produksi Disney). Diproduksi di pantai Nova Scotia dengan fosil-fosilnya, narator dalam filem ini membisikkan ‘sang laut adalah rumah yang menyeramkan’ diiringi tangkapan terhadap bebatuan untuk menggambarkan kehilangan dan kematian.” - C.N.
Christine Negus (Canada)
“Frozen Giants realizes the traumatic truths going on (in the Disney song) ‘Under the Sea’. Shot on a Nova Scotia beach that is tormented with fossils, the narrator suggests ‘the sea is a haunted house’ as she uses the rocks, she finds to discuss loss and death.” - C.N.
Christine Negus adalah seniman multidisiplin yang menerima penghargaan Pembuat Filem/ Video Kanada Terbaik dari NFB di Images Festival pada tahun 2008. Negus memperoleh gelar MFA dari Universitas Northwestern pada tahun 2010 dan gelar BFA dari Universitas Western pada tahun 2008. Beberapa pamerannya yang terkenal meliputi: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, dan Kasseler Dokfest.
Christine Negus is a multidisciplinary artist who received the NFB’s Best Emerging Canadian Video/Filmmaker award at the Images Festival in 2008. Negus obtained her MFA from Northwestern University in 2010 and her BFA from Western University in 2008. Some of her notable exhibitions include: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, and Kasseler Dokfest. www.christinenegus.com
161
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
IT MATTERS WHAT
Country of production Canada Language English Subtitles 9 min, color, 2019
“Keabsenan dan proses penerjemahan memotivasi animasi eksperimental ini dalam eksplorasi metode dan bahan untuk reproduksi dan inskripsi. Sebuah fragmen dari esai Tentacular Thinking oleh Donna Haraway dimaknai ulang di sini sebagai sebuah manifesto yang puitis. Rekaman-rekaman yang ditemukan secara misterius mempertanyakan kekerasan manusia terhadap spesies hewan. Kehidupan tanaman adalah subjek dari citracitra dalam filem ini sekaligus membantu reproduksi fotografisnya. Teknik yang juga digunakan adalah animasi di dalam kamera, cetak-kontak dan phytograms yang dibuat oleh teknik eksposur filem 16mm yang dilapisi dengan bahan tanaman dan dikeringkan selama berjam-jam di bawah sinar matahari langsung.” - F.D.
Francisca Duran (Canada)
162
“Absences and translations motivate this experimental animation in an exploration of the methods and materials of reproduction and inscription. A fragment from Donna Haraway’s essay Tentacular Thinking is reworked here as a poetic manifesto. Enigmatic found-footage calls into question human violence over animal species. Plant life is both the subject matter of the images and assists the means of photographic reproduction. Techniques used include in-camera animation, contact-prints, and phytograms created by the exposure of 16mm film overlaid with plant material and dried for hours in direct sunlight.” - F.D
Francisca Duran adalah seniman media eksperimental asal Kanada yang berbasis di Toronto, Kanada. Lahir di Santiago, Chili, Duran bermigrasi ke Kanada sebagai pengungsi pasca kudeta militer tahun 1973. Karya-karyanya telah dipresentasikan baik secara nasional maupun internasional, termasuk di HotDocs, DOK Leipzig, Images Festival, Ann Arbor Film Festival, ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, Rotterdam International Film Festival, John Hansard Gallery dan Gallery 44.
Francisca Duran is a Canadian experimental media artist based in Toronto, Canada. Born in Santiago, Chile, Duran came to Canada as a refugee following the 1973 military coup. Duran has exhibited nationally and internationally including in HotDocs, DOK Leipzig, the Images Festival, Ann Arbor Film Festival, ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, Rotterdam International Film Festival, the John Hansard Gallery and Gallery 44.
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
VIDEO HOME SYSTEM
Country of production Canada Language English and Urdu Subtitles English 19 min, color, 2018
“Video Home System adalah karya yang menelusuri kembali pertemuan antara budaya populer dan gerakan politik di Pakistan pada periode 1980-an dan 1990-an. Video ini memaparkan hubungan antara budaya pop dan nasionalisme, serta bagaimana bisnis bajakan mampu membuat industri sinema tetap berjalan pada periode ketat sensor tersebut.” - S.B.
Sharlene Bamboat (Canada)
“Video Home System traces the convergence of popular culture and politics in Pakistan during the 1980s and 1990s. This video showcases connections between pop culture and nationalism and how bootleg economies kept the cinema industry alive during periods of censorship.” - S.B.
Sharlene Bamboat (lahir 1984, Pakistan) adalah seorang seniman video dan instalasi. Karyanya berkisar pada penelusuran sejarah yang absurd dan duniawi melalui estetika queer dan budaya populer. Karya-karyanya telah dipamerkan secara internasional termasuk di Sharjah Film Platform, Berlin Film Festival, Aga Khan Museum, London Film Festival (UK), Malmo Queer Film Festival dan Vasakh Film Festival. Selain praktik artistiknya, Sharlene juga adalah programer, anggota juri, dan anggota Dewan seni di Kanada. Dia saat ini adalah Direktur Pelaksana untuk Toronto Queer Film Festival. Ia tinggal dan bekerja di Toronto dan Montreal.
Sharlene Bamboat (b. 1984, Pakistan) is a video and installation artist. Her work is anchored in the absurd and mundane retracing of history through queer aesthetics and popular culture. Her works have exhibited internationally including: the Sharjah Film Platform, Berlin Film Festival, Aga Khan Museum, London Film Festival (UK), Malmo Queer Film Festival and Vasakh Film Festival. In addition to her artistic practice, Sharlene contributes regularly to the arts sector in Canada as a programmer, jury member and Board member. She is currently the Director of Operations for Toronto Queer Film Festival. Bamboat lives and works between Toronto and Montreal.
163
SP / 25 August, GoetheHaus, 16.00 / 15+
BETTER THAN AWFUL (BUT STILL PRETTY SHITTY)
Country of production Canada Language English Subtitles 2 min, color, 2016
“Filem ini mengajukan gagasan absurd dalam menghadapi trauma. Seiring narator mengajak dan mencoba menghibur dengan cara yang cetek, karya ini tanpa sengaja dan tanpa malumalu juga menertawakan rasa luka dan duka.” - C.N.
Christine Negus (Canada)
164
“Better Than Awful (But Still Pretty Shitty) provides an absurd proposal to cope with trauma. As the narrator makes (futile) suggestions at superficial solace, the work inadvertently and unabashedly laughs in the face of pain and suffering.” - C.N.
Christine Negus adalah seniman multidisiplin yang menerima penghargaan Pembuat Filem/ Video Kanada Terbaik dari NFB di Images Festival pada tahun 2008. Negus memperoleh gelar MFA dari Universitas Northwestern pada tahun 2010 dan gelar BFA dari Universitas Western pada tahun 2008. Beberapa pamerannya yang terkenal meliputi: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, dan Kasseler Dokfest.
Christine Negus is a multidisciplinary artist who received the NFB’s Best Emerging Canadian Video/Filmmaker award at the Images Festival in 2008. Negus obtained her MFA from Northwestern University in 2010 and her BFA from Western University in 2008. Some of her notable exhibitions include: the8fest, CROSSROADS, MIX NYC, Dunlop Gallery, Queer City Cinema, AKA artist-run, Artists’ Television Access, Milwaukee Underground Film Festival, Museum London, Media City Film Festival, Art Gallery of York University, Swedish Film Institute, and Kasseler Dokfest. www.christinenegus.com
re:assemblage collective berkomitmen untuk memperjuangkan suara dan perspektif yang kurang terwakili melalui pemutaran filem/video. Kami berkeliling dengan suatu niatan. Kami “menyusun kembali” asumsi-asumsi tentang praktikpraktik filem/video: siapa yang ditampilkan dan bentuk karya yang diperjuangkan. Kami terinspirasi oleh filem Trinh Minhha yang berjudul Reassemblage. re:assemblage collective berbasis di Toronto.
re:assemblage collective is committed to championing underrepresented voices and perspectives through public film/video screenings. We are itinerant and intentional. We are “reassembling” assumptions about artist film/video practices: who is shown and the forms of works championed. We are inspired by Trinh Minh-ha’s film Reassemblage. The re:assemblage collective is based in Toronto. Retrived from http://www. reassemblage.ca
Diperoleh dari http://www. reassemblage.ca
Dipresentasikan dengan dukungan Ontario Arts Council. Program presented with support from the Ontario Arts Council’s Touring Program
165
166
PENAYANGAN KHUSUS
167
Penayangan Khusus
SS
FOCUS ON SARDONO W. KUSUMO: SINEMA EKSPERIMENTAL DI INDONESIA Dhuha Ramadhani Kurator
“[…] Di luar seni tradisi yang kujejaki, filem merupakan dunia kedua yang kurambah dengan mesra.” – Sardono W. Kusumo –
Seni tari menjadi penghubung Sardono dengan filem. Sebagai penari, ia menggunakan filem dalam perjalanannya mempelajari beragam kebudayaan di berbagai lokasi, khususnya di Indonesia. Semula, rekaman tersebut ia niatkan sebagai semacam catatan hariannya, bukan untuk dipertontonkan ke publik. Namun, saat Ari Dina Krestiawan mengkurasi pameran arsip filem Sardono W. Kusumo di Singapura pada tahun 2016, rupanya filem rekaman Sardono membentangkan kesadaran filemisnya. Baginya, melihat melalui viewfinder adalah cara untuk melatih kepekaan visual, tak terpisah dari upaya melatih keenam panca indera yang dibutuhkannya sebagai penari dan koreografer: pendengaran, penglihatan, peraba, perasa, dan penciuman serta kekuatan jiwa dalam tradisi tari tertentu yang disakralkan. Ketimbang speciality and productivity, ia lebih percaya bahwa seni seharusnya didekati dengan modus training sensibility towards complexity. Ia mengkritik pendekatan modernitas abad ke-19 yang mendorong spesialisasi semata-mata demi mengejar produktivitas yang berakhir pada “kemacetan”— dan karenanya ia terlepas dari kenyataan sehari-hari. Hanya melalui latihan kepekaan itulah seniman mampu memahami kompleksitas kehidupan dan persoalan-persoalannya. 1
Sungguh, filem-filem Sardono dapat dinikmati sebagai karya yang tuntas meski tanpa intensi membuat filem sebagai produk akhir. Dalam
1. Wawancara penulis dengan Sardono W. Kusumo pada 9 Mei 2019 di Institut Kesenian Jakarta.
168
ranah sinema, apa yang dilakukan Sardono atas sebagian besar filemnya pada dasarnya berpegang pada teknik in-camera editing. Melalui modus semacam ini, Jonas Mekas – seorang pembuat filem yang juga progresif menggunakan in-camera editing dalam sebagian besar karya-karyanya, sebut saja dalam Diaries, Notes, Sketches (1964-1969) – membongkar dan menangkap momen sebuah realitas. Modus in-camera editing tentu membutuhkan kecermatan dan kesadaran dalam membingkai, sedangkan untuk menyadari momen (zen) sangat dibutuhkan pula kemampuan intuitif. Pada titik ini, sensibilitas Sardono yang terlatih melalui tari memainkan peran yang signifikan. Ia selalu menghitung sekaligus memperkirakan peristiwa apa yang mungkin terjadi. Setelah semuanya tersusun sebagai ide, saat itu lah Sardono mulai mencatat menggunakan filem . Itulah mengapa rekaman tari-tarian dalam bingkai kamera Sardono tidak menjadi dokumen gambar bergerak yang diam, justru melalui cutting langsung atas peristiwa di hadapannya lah tari-tarian ini menjadi dinamis, puitis. Filem Sardono sekaligus menjadi semacam autobiografi dirinya, cara pandang, perasaan, dan pikiran-pikirannya. Tanpa menafikan pentingnya Meta-Ekologi (1979) dalam sejarah filem eksperimental kita, nampaknya filem Taifun (1970) karya Sardono jauh melampaui capaian estetika filem tersebut. Filem ini merekam Sentot Sudiharto yang menari-nari di atas bebatuan saat kota Osaka di Jepang dilanda Taifun Olga. Sebagai dokumenter, katakanlah, susunan gambar yang direkam Sardono mampu menghadirkan konstruksi dramatik tertentu yang merangkum konflik, imajinasi, dan ruang kritik secara sekaligus dalam intensinya yang hendak memahami kompleksitas kehidupan. Diawali dengan lanskap urban di Osaka, filem ini mulai bergerak ke hal-hal yang lebih alamiah. Kita diantar untuk keluar dari urbanitas dan diajak mengimajinasikan sesuatu yang barangkali purba: mempertemukan manusia dengan kebesaran semesta, berhadap-hadapan. Fragilitas material film yang dipertahankan karena alasan estetik dalam versi digitalnya memperlihatkan reruntuhan-reruntuhan material yang mentransformasikan dirinya sebagai jejak waktu. Jejak waktu 2
3
2.  Ibid. 3.  Meta-Ekologi (1979) adalah filem karya Gotot Prakosa yang merekam seni pertunjukan berjudul sama Meta-Ekologi (1975) karya Sardono. Filem ini menjadi rujukan tertua di Indonesia jika kita hendak membicarakan singgungan antara seni pertunjukan (tari) dan filem eksperimental.
169
imajinatif yang takkan kita temukan dalam filem-filem digital dengan timestamp-nya. Atau lebih parah pada filem yang sengaja diberi efek-efek filem tua menggunakan filter untuk mengejar bentuk sebagai sebuah “filem eksperimental”—yang bagi Jon Jost, kecenderungan macam itu begitu banyak ia temui dalam filem-filem eksperimental yang lebih kontemporer: sebuah aksi menjadi eksperimental dengan cara keliru. Eksperimentasi bahasa gerak kamera juga dapat kita temui dalam Kecak Rina (Teges Village, Bali) (1971), sebuah rekaman catatan harian Sardono ketika ia dan rekannya melatih warga Desa Teges di Bali untuk menari kecak. Tanpa dibantu intertitles, skenario, atau unsur-unsur teater, murni sebagai rekaman atas sebuah peristiwa latihan menari kecak yang tampak, filem ini mengingatkan kita pada upaya Dziga Vertov dalam mencari bahasa sinema yang universal untuk membebaskan diri dari bahasa dalam sastra dan teater. Memformulasikan teknik Kino-Eye dan menerapkannya dalam filem Man With A Movie Camera (1929), Vertov mengharapkan proses pemaknaan dalam filem ada di tangan penontonnya dan bukan pada skrip. Atas teknik ini, D.A. Peransi menyatakan Vertov luput bahwa ada seseorang di balik kamera, atau dengan kata lain, realitas yang berusaha ditangkap Vertov pada akhirnya bergantung pada interpretasi si pemegang kamera (atau sutradara) akan peristiwa yang tersaji di hadapannya. Meski Kecak Rina masih disusun dengan modus cut to cut sehingga terasa cukup direktif, namun kita tetap dapat menangkap gagasan tentang deep focus yang dibayangkan oleh André Bazin. Ia (kamera) justru turut menjadi “subjek peristiwa” yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Tidak nampak upaya Sardono untuk menuturkan narasinya secara didaktif. Maka, ambilan-ambilan gambar yang disusun Sardono menghasilkan konstruksi yang terbuka bagi beragam impresi dan interpretasi dari tiap spektatornya. Keuletan Sardono dalam mengeksperimentasikan bahasa visual begitu nampak dalam Dongeng Dari Dirah (1992). Berbagai adegan tampil efektif, 4
5
6
4. Wawancara Jurnal Footage dengan Jon Jost pada 28 Agustus 2015. “Jon Jost: Seni Kontemporer Tidak Indah”. Diakses dari: http://jurnalfootage.net/v4/jon-jost-seni-kontemporer-tidak-indah/ pada 6 Agustus 2019 pukul 20.53 WIB. 5. Peransi, D.A. 1950. “Soal-Soal Seni Pada Filem Di Saat Ini”. Jakarta: MINGGUAN SIASAT edisi Minggu-12 Nopember 1950, Minggu-19 Nopember 1950, Minggu-26 Nopember 1950, dan Minggu-3 Desember 1950. Diakses dari: http:// jurnalfootage.net/v4/kronik20080501-01/ pada 6 Agustus 2019 pukul 21.06 WIB. 6. Filem berskenario pertama yang disutradarai Sardono bersama Robert Chappell. Diadaptasi dari karya koreografi berjudul sama, Dongeng Dari Dirah (1974).
170
dengan begitu menjadikannya puitik dan kontemplatif. Secara ketat ia mengukur tindak-tanduk aktor dengan kesadaran atas konteks spasialitasnya. Visual dan suara yang tersaji, pada taraf tertentu, berdiri secara otonom dan berdaya dramatik sehingga mengundang imajinasi kita pada pengalaman yang tak terbayangkan namun kontekstual dan relevan dengan masyarakat kita. Temuan-temuan bahasa visual Sardono adalah titik terang dalam kekhasan filem eksperimental kita, berbeda dengan tradisi Barat yang definitif, kaku, dan cenderung berkutat hanya pada persoalan eksplorasi bentuk-bentuk, komposisi, dan warna yang semata-mata demi estetika, yang pada taraf tertentu menjadikannya tercerabut dari konteks sosial-politik keberadaannya. Dalam konteks terkontemporer, sinema eksperimental, menurut Amy Fung, bukanlah purwa-rupa dari apa yang sudah dilakukan para pembuat filem eksperimental di dekade-dekade sebelumnya. Filem eksperimental seharusnya membuat kita lebih kritis terhadap segalanya, bukan sekedar bentuk.7 Dalam konteks ini, filem-filem Sardono mampu melampaui tuntutan itu. Maka, sejak saat ini, kita dapat mengenali Sardono sebagai pembuat filem eksperimental yang pertama di Indonesia.
7.  Wawancara Jurnal Footage dengan Amy Fung pada 29 Agustus 2015. “Amy Fung: Kita Perlu Sintaks dan Gramar Baru Sinema�. Diakses dari: http://jurnalfootage.net/v4/amy-fung-kita-perlu-sintaks-dan-gramar-baru-sinema/ pada 6 Agustus 2019 pukul 23.14 WIB.
171
Penayangan Khusus
SS
FOCUS ON SARDONO W. KUSUMO: EXPERIMENTAL CINEMA IN INDONESIA Dhuha Ramadhani Curator
“[...] Beyond traditional arts, cinema is the second world that I embrace intimately. “ - Sardono W. Kusumo –
Dance was the one that links Sardono with film. As a dancer, he uses film in his journey to learn various cultures in different locations, especially in Indonesia. Initially, he intended the recording as a kind of diary, not to be showcased to the public. However, when Ari Dina Krestiawan curated the archive exhibition of Sardono W. Kusumo’s film in Singapore in 2016, apparently those films unfolded Sardono’s filmic awareness. For him, seeing through the viewfinder is a way to practice his visual sensitivity, inseparable from the effort to train the six senses he needs as a dancer and choreographer: hearing, sight, touch, taste, and smell also the strength of soul in certain sacred dance traditions. Rather than speciality and productivity, he believes that art should be approached with the mode of training sensibility towards complexity. He criticized the 19th-century modernity approach that encouraged specialization solely in pursuit of productivity that came to “cul-de-sac”—and therefore it was detached from everyday reality. Only through sensitivity training can artists understand the complexity of life and its problems. Sardono’s films can be enjoyed as complete works even without his intention of making films as final product. In the realm of cinema, what Sardono did for most of his films basically is using in-camera editing techniques. Through this mode, Jonas Mekas— a filmmaker who also progressively uses in-camera editing in most of his works, i.e. Diaries, Notes, Sketches (19641
1. Curator’s interview with Sardono W. Kusumo on May 9, 2019 at the Jakarta Art Institute.
172
1969)— dissecting and capturing moments of reality. In-camera editing mode certainly requires carefulness and awareness in framing, while to realize the moment (zen) also requires intuitive abilities. At this point, Sardono’s sensibility that has been trained through dance played a significant role. He always counts and predicts what events might occur. After everything was arranged as an idea, it was then that Sardono began taking notes with his films. That is why the recording of the dances performances in Sardono’s frame does not become a static moving image document, but it is through direct cutting of the events before him that these dances become dynamic, poetic. Sardono’s films also become a kind of autobiography of himself, his perspective, feelings, and thoughts. Without overlooking the importance of Meta-Ecology (1979) in the history of our experimental film, it seems that the film Taifun (1970) by Sardono goes far beyond the aesthetic achievements of Meta-Ecology. This film records Sentot Sudiharto dancing on the big rocks when the city of Osaka in Japan was hit by the Olga Typhoon. As a documentary, the structure of images recorded by Sardono is capable of presenting certain dramatic constructions that summarize conflict, imagination, and space of criticism all at once in an intensification that wants to understand the complexity of life. Starting with the urban landscape in Osaka, this film progresses to a more pristine landscape. It leads us to get out of urbanity and invites to imagine something that might be archaic: colliding people with the universe, vis-à-vis. The fragility of film material preserved for aesthetic reasons in its digital version shows the debris that transformed itself as an epoch. Something that we will not find in digital films with its timestamp. Or worse, on films that are deliberately giving Old film effect by using filter to pursue the form as an “experimental film”. For Jon Jost, he encountered much of such tendencies in more contemporary experimental films: a misguided approach of experimental film. We can also see the experimentation of camera movement in Kecak Rina (Teges Village, Bali) (1971), a diary film by Sardono when he and his
2
3
4
2. Ibid. 3. Meta-Ecology (1979) is a film by Gotot Prakosa which records a choreography of the same title, Meta-Ecology (1975), by Sardono. This film is the oldest reference in Indonesia if we want to discuss the encounter between dance and experimental film. 4. Journal Footage interview with Jon Jost on 28 August 2015. “Jon Jost: Seni Kontemporer Tidak Indah”. Accessed from: http:// jurnalfootage.net/v4/jon-jost-seni-kontemporer-tidak-indah/ on 6 August 2019 at 20.53 WIB.
173
colleagues trained Teges Village residents in Bali to do Kecak dance. Without the help of intertitles, scenarios, or theatre elements, purely as a recording of people exercising the Kecak dance, this film reminds us of Dziga Vertov’s efforts to find a universal cinema language to free himself from language of literature and theatre. Formulating the Kino-Eye technique and applying it in the film Man With A Movie Camera (1929), Vertov expects the interpretation of the film is in the hands of the audience and not the script. For this kind of approach, D.A. Peransi stated that Vertov was missing a point that there was someone behind the camera, or in other words, the reality that Vertov was trying to capture ultimately depended on the camera holder’s (or director’s) interpretation of the events presented before him. Although Kecak Rina is still arranged in a cut-to-cut technique so that it feels quite directive, but we can still capture the idea of deep focus according to André Bazin. It (camera) would also become a “subject” that can affect or be influenced by the situation and conditions around him. There was no visible attempt by Sardono to say his narrative actively. So, the images taken by Sardono created a construction that was open to various impressions and interpretations of each spectator. Sardono’s tenacity in experimenting with visual language is evident in The Sorceress of Dirah (1992). Various scenes are effective, therefore it is poetic and contemplative. His attention to details measuring the motions of actors with awareness of their spatial context. The visuals and sounds presented, to some extent, stand autonomously and dramatically draw our imagination into transcendental experience that is relevant for to the context of Indonesian society. Sardono’s visual vocabularies are a distinct creature in the discourse of experimental filmmaking, in contrast to the Western tradition which is definitive, rigid, and tends to dwell only on the question of exploration of form, composition, color, etc for the sake of aesthetics, which to some degree alienate themselves from socio-political context. According to Amy Fung, contemporary experimental cinema should not be a replication of what experimental filmmakers have done in previous decades. Experimental films 5
6
5. Peransi, D.A. 1950. “Soal-Soal Seni Pada Filem Di Saat Ini”. Jakarta: MINGGUAN SIASAT Sunday-12 November 1950, Sunday-19 November 1950, Sunday-26 November 1950, and Sunday-3 December 1950 editions. Accessed from: http:// jurnalfootage.net/v4/kronik20080501-01/ on 6 August 2019 at 21.06 WIB. 6. The first screenplay film directed by Sardono along with Robert Chappell. Adapted from the choreography of the same title, Dongeng Dari Dirah (1974).
174
should make us more critical of everything, not just forms. In this context, Sardono’s films are able to surpass that assertion. From now on, we can recognize Sardono as the first experimental filmmaker in Indonesia. 7
7. Journal Footage interview with Amy Fung on 29 August 2015. “Amy Fung: Kita Perlu Sintaks dan Gramar Baru Sinema”. Accessed from: http://jurnalfootage.net/v4/amy-fung-kita-perlu-sintaks-dan-gramar-baru-sinema/ on 6 August 2019 at 23.14 WIB.
175
SS / 24 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
TAIFUN
Country of production Indonesia Language Subtitles 8 min, B&W, 1970
Pada tahun 1970, Taifun Olga terjadi di Osaka, Jepang. Angin menderu-deru, seorang lelaki berdiri di atas gugusan batu besar menari menghadapi terpaannya. Melalui filem ini, Sardono mempertemukan unsur-unsur kebesaran alam dan kemanusian.
In 1970, Hurricane Olga hit Osaka, Japan. The wind rumbled as a man who was standing upon a big cluster of rocks danced through the blasts. Through this film, Sardono brought together the elements of nature’s power and humanity.
——Dhuha Ramadhani
Sardono Waluyo Kusumo (Indonesia)
176
Sardono Waluyo Kusumo (lahir 6 Maret 1945 di Surakarta) adalah seorang koreografer, penari, sutradara filem, dan aktor. Ketika muda ia menekuni tari tradisional Jawa dan setelahnya berfokus dalam mengombinasikan tari tradisi dengan teknik tari modern. Pada tahun 1961, dia memimpin sebuah perhelatan tali kolosal dengan 250 penari di kompleks candi Prambanan, sekitar 18 km ke arah timur dari Yogyakarta di jalan menuju Surakarta. Pada tahun 1970-an, dia membentuk sanggar tari dan teaternya sendiri yang bernama Dance Theatre Sardono. Di samping karir profesionalnya, dia dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kelestarian hutan hujan di Indonesia.
Sardono Waluyo Kusumo (born March 6, 1945 in Surakarta) is an Indonesian choreographer, dancer, film director and actor. He studied classical Javanese dance and specialized afterwards in local dances in combination with modern dance techniques. In 1961, he led a major dance company of 250 dancers at the Hindu temple complex Prambanan, at about 18 km eastwards of Yogyakarta along the road to Surakarta. In the seventies, he founded his own theatre company, Dance Theatre Sardono. Next to his dancing career, he also was an actor and filmmaker. Besides his professional career, he is a promoter of the preservation of the rainforests in Indonesia.
SS / 24 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
KECAK RINA
Country of production Indonesia Language Subtitles 16 min, B&W, 1972
Warga Desa Teges di Bali berlatih tarian Kecak Rina yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sardono dan beberapa rekannya datang untuk membimbing. Warga kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Saat gladi pertama dimulai, atmosfer yang terjadi menghadirkan emosi yang tak terduga sebelumnya.
The people of Teges Village in Bali practiced Kecak Rina, a traditional dance they have never done before. Sardono and his colleagues came to the village as their mentors. The villagers were divided into groups. The atmosphere brings up unexpected emotions among them when the first rehearsal took place.
——Dhuha Ramadhani
-
-
Sardono Waluyo Kusumo (Indonesia)
177
SS / 24 August, GoetheHaus, 19.00 / 15+
DONGENG DARI DIRAH THE SORCERESS OF DIRAH Country of production Indonesia Language Subtitles 16 min, color, 1992
Sebuah filem yang diadaptasi dari karya koreografi berjudul sama, Dongeng Dari Dirah (1974) karya Sardono. Filem Dongeng Dari Dirah (1992) mencoba menafsirkan kembali kisah Calonarang. Berlatar pada mitos dan legenda yang berkembang di masyarakat Bali, filem ini menggali bagaimana peran Barong dan Rangda sebagai simbol keseimbangan antara kebaikan dan keburukan berlangsung di tengah masyarakat.
A film adapted from a choreographic work with the same title, Dongeng Dari Dirah ( The Sorceress of Dirah – 1974) by Sardono W. Kusumo. The Sorceress of Dirah (1992) tries to reinterpret the story of Calonarang. Set in the myths and legends that evolve in Balinese society, this film explores the role of Barong and Rangda as a symbol of a balance between the good, and the evil materializes amid Balinese society.
——Dhuha Ramadhani
-
Sardono Waluyo Kusumo (Indonesia)
178
-
179
180
FORUM FESTIVAL
181
Forum Festival
PANEL 1
BROMOCORAH: POSISINYA DALAM KONTEKS SOSIAL, POLITIK, KULTURAL Pembicara/Speakers: Ronny Agustinus (Indonesia, ahli kajian Amerika Latin) Manneke Budiman (Indonesia, akademisi) Philippa Lovatt (UK, akademisi) Moderator: Prashasti Wilujeng Putri
Pemaknaan akan konsep “bromocorah” bergeser dari masa ke masa, dari suatu tempat ke tempat lain. Yang selalu sama hanyalah bahwa konsep bromocorah selalu mempunyai posisi di luar sistem dominan. Oleh karena itu, ia selalu menjadi “orang lain”. Dalam pemaknaannya yang paling definitif, bromocorah diberikan suatu cap untuk kemudian negara dapat melakukan kategorisasi atasnya seolah-olah sebagai upaya untuk memasukkan bromocorah ke dalam sistem, terutama dalam kerangka hukum material dan formal. Akan tetapi anggapan masuknya bromocorah ke dalam suatu sistem tidak membuat keberadaannya dalam masyarakat menjadi bukan “orang lain”, melainkan justru menegaskan posisi bromocorah sebagai hal yang bukan bagian organik dari sistem. Hal ini menunjukkan bahwa kategorisasi terhadap bromocorah tidak lain adalah upaya untuk mengawasi dan menguasainya. Kita perlu mengkritisi kembali bentuk relasi antara “bromocorah” dan “sistem” dalam konteks kehidupan saat ini, mengingat adanya pergeseran-pergeseran struktural kehidupan masyarakat kontemporer, mulai dari cara mutakhir masyarakat untuk saling terhubung satu sama lain, persepsi baru di ranah norma sosial dan hukum, kondisi ekonomi global yang mengubah keadaan internal sebuah negara atau bentuk hubungan sosio-politik antar-negara di dunia, hingga persoalan bahasa yang menentukan penciptaan modusmodus kategoritatif baru atas beragam fenomena aktual yang sarat dengan karakteristik hiperealitas. Fokus pada lingkup Asia dan Amerika Latin, dua kawasan yang dianggap dapat menawarkan warna berbeda dari wacana dominan Modernisme Barat, panel ini diharapkan bisa menyajikan sebuah pendedahan visioner untuk 182
melihat kekinian bromocorah. Bagaimanakah kita seharusnya menerjemahkan posisi bromocorah sekarang ini, ketika kita menyadari bahwa, bahkan sebagai residu dari sistem pun, eksistensinya tak lekang oleh waktu; dan dengan segala sifat khasnya yang juga kerap membuatnya berada “di antara”, ia terus mempertentangkan ruang dan waktu zamannya, juga menggugah identitasnya sendiri dan medan-medan sosial tempatnya melestarikan kedinamisan masyarakat. Penelaahan lewat tinjauan atas produk-produk kultural semacam sinema, sastra, dan seni rupa, agaknya merupakan salah satu cara yang bernas untuk menajamkan bingkaian kita dalam proses penerjemahan itu.
BROMOCORAH: ITS POSITION IN SOCIAL, POLITICAL, AND CULTURAL CONTEXT The interpretation of “bromocorah” as a concept shifts through time and space. What remains is the position of bromocorah that is always outside the dominant system. Therefore, they are always “the others.” In its most definitive meaning, bromocorah is given a label for the government to categorize them as if to include them within the system, especially within the material and formal legal system. But the presumption of bromocorah included in the system does not cause their existence in the society not being the other. Instead, it emphasizes the position of bromocorah as a non-organic part of the system. This indicates that the categorization of bromocorah is nothing but an effort to monitor and control them. We need to criticize the relation of “bromocorah” and “system” in the context of today, considering the structural shifts of contemporary society, from the newest way of society to connect with each other, new perceptions of social norms and law, global economic conditions that changes the internal state of a nation or the form of socio-political relations between nations in the world, to the problems of language that determines the creation of new categorical modes of various actual phenomena loaded with hyperreality characteristics. Focusing on Asia and Latin America, two regions considered able to offer different perspectives from the dominant Western Modernism discourse; this panel is expected to provide a visionary exposure to see the contemporary 183
bromocorah. How we should translate the position of bromocorah in recent times, when we realize that even as a residue of the system, its existence is timeless; with all its distinctive qualities which also make them “in-betweenâ€?, it continues to contrapose the time and space of its era, and arouses its own identity and its social fields where it preserves the dynamism of society. Study through the review of cultural products such as cinema, literature, and art perhaps are one of the profound ways to sharpen our framing on the translation process.Â
184
Forum Festival
PANEL 2
BROMOCORAH DALAM ESTETIKA FILEM Pembicara/Speakers: Garin Nugroho (Indonesia, pembuat filem) Manshur Zikri (Indonesia, kritikus filem) Edwin (Indonesia, pembuat filem) Moderator: Dhuha Ramadhani
Sebagaimana diskursus seni bekerja, diskursus bromocorah selalu bergerak dinamis dan senantiasa progresif jika kita membingkainya sebagai sebuah fenomena sastraik ketimbang testimoni sejarah. Pembingkaian atas bromocorah dapat pula berarti mengkonstruksi konsep progresivitas. Energi bromocorah akan membawa kita terus keluar dari keteraturan sistem yang telah ada dan terlanjur diterima publik serta senantiasa dimapankan oleh sistem itu sendiri. Dengan bersepakat atas itu, maka dapat pula kita bersepakat bahwa “bromocorah itu seni”, atau lebih tepatnya “seni itu bromocorah”. Progresivitas yang terkandung dalam konsep bromocorah kemudian membukakan peluang bagi kita untuk menyelaminya lebih dalam di ranah sinema. Dalam genealoginya, secara teknologis maupun estetis, sinema lahir bersama progresivitasnya. Pada masa awalnya, ketimbang isu-isu kanonik atau gambar-gambar tentang keagungan, isu yang diangkat sinema pasti bersifat pinggiran: kriminalitas, perburuhan, humor slapstick, juga peristiwa massa yang dibingkai sebagai peristiwa sehari-hari di sekitar kita. Maka, secara genetik, sinema itu bromocorah. Sebagai konsep, bromocorah menjadi semacam virus yang menyusup ke dalam sistem – di dalam juga di luar tubuhnya – dan menggerogotinya. Dengan melihat bromocorah sebagai “kemungkinan”, melalui kultur sinema, para panelis diharapkan dapat memaparkan refleksi kritisnya dalam upaya membaca gejala-gejala ekonomi, sosial, politik, dan kultural terkini.
185
BROMOCORAH WITHIN FILM AESTHETICS Like how the discourse of art works, the discourse of bromocorah always moves dynamically and progressively if we put it as a literary phenomenon rather than a historical testimony. The act of framing bromocorah might also means constructing the concept of progressivity. Bromocorah energy will bring us out of the fixated system that already exists, previously accepted by the public, and established by the system itself. Based on that, we can also agree that “bromocorah is art,” or rather “art is bromocorah.” The progressivity contained in the concept of bromocorah then lays us opportunities to dive deeper into the realm of cinema. In its genealogy, technologically and aesthetically, cinema was born with its progressivity. In the early days, rather than canonical issues or images of greatness, the issues raised by cinema characterized as marginal: crime, labor, slapstick humor, as well as mass events that are framed as everyday events. So, genetically, the cinema is bromocorah. Analogically, bromocorah acts as some kind of virus that penetrates the system - inside and outside the body - and gnaws at it. By seeing bromocorah as a “possibility,” through the cinema culture, the panelists are expected to present their critical reflection in an attempt to read the latest economic, social, political and cultural phenomena.
186
STUDI KASUS TERHADAP FENOMENA BROMOCORAH Pembicara/Speakers: Maria Christina Silalahi (Indonesia, seniman) Dini Adanurani (Indonesia, direktur UIFF) Umi Lestari (Indonesia, akademisi filem) Moderator Dhuha Ramadhani
Adakah “bromocorah�, sebagai sebuah gagasan daripada hanya semata fenomena, terbingkai di dalam filem-filem kita? Asumsi pertama yang mesti kita hadirkan untuk menjawab itu ialah, tentu saja, ada, sebagaimana fenomena ini telah dirumuskan di dalam dunia sastra. Karena itulah, usaha untuk menghadirkan beragam presumsi berdasarkan telaah mendalam terhadap sejumlah filem-filem nasional menjadi penting bagi forum ini. Selain menjadi langkah awal untuk meletakkan fondasi estetika bromocorah ke dalam ide estetika sinema kita, panel ini memfasilitasi perbincangan aktual untuk merefleksikan kembali sosio-estetika bromocorah dari beragam sudut pandang, baik antara kritisisme independen dan metode-metode akademis, maupun antara penggalian sosiologis dan filsafat. Empat panelis yang akan mempresentasikan studi-studi kasus bromocorah di lingkup karya-karya filem nasional pada forum ini juga mewakili pandangan zaman kontemporer kita. Bagaimanakah kiranya kritisisme terhadap isu bromocorah itu dibingkai menjadi jarum-jarum seismografis yang bisa membantu kita menguraikan kejadian-kejadian liris, baik yang ada pada dunia representasi citra ataupun dunia sehari-hari yang nyata, menjadi suatu langgam percakapan sinematik yang baru?
187
Forum Festival
PANEL 3
CASE STUDY OF BROMOCORAH PHENOMENA
Is there “bromocorah�, as an idea rather than just a phenomenon, captured in the frame of our cinema? The first assumption to answer that is, of course, there is, as how this phenomenon is formulated in the world of literature. For this reason, efforts to display various assumptions based on extensive examinations of a number of national films are important for this forum. In addition to being the first step to lay down the foundation of the aesthetic of bromocorah into our cinema aesthetic ideas, this panel facilitates an actual conversation to reflect back on the socio-aesthetics of bromocorah from a variety of perspectives. Independent criticism and academic methods, as well as between sociological and philosophical excavations. The four panelists who present the case studies of bromocorah within the scope of national films at this forum will also present the views of our contemporary era. How the criticism of bromocorah as an issue will be framed into seismographic needles that can help us to describe lyrical events that exist both in the world of image representation or the real world, to become a new cinematic conversation style?
188
Forum Festival
PANEL 4
EKSPERIMENTASI SENI DAN PERFORMATIVITAS Pembicara/Speakers: Irwan Ahmett (Indonesia, seniman performans) Prashasti Wilujeng Putri (Indonesia, seniman performans) Tonny Trimarsanto (Indonesia, pembuat filem) Jasmine Nadua Trice (USA, akademisi) Moderator: Akbar Yumni
Dalam spasial tertentu, bromocorah bisa jadi para avantgardisme dalam pengertian para individu yang mencoba membangkitkan kembali makna subjek atau agensi dari kejumudan sistem. Tidak heran, para bromocorah selalu melakukan eksperimentasi, dan banyak karya-karya inovatif diawali oleh semangat bromocorah dalam ‘mengakali’ sistem, meski kemudian sebuah sistem selalu bisa merevisi dirinya sendiri membentuk sistem yang baru untuk mengantisipasi para bromocorah-nya. Bromocorah secara tidak langsung membangun situasi di luar normal sebuah sistem, sebagaimana para avant-gardisme dalam pandangan modern yang selalu mengusung semangat kebaruan dalam membentuk praktik- praktik yang keluar dari batas artistik yang berlaku. Namun tetap saja di dalam perkembangan sistem yang selalu memperbaharui dirinya sendiri, dan kemudian juga selalu memunculkan para bromocorah-nya, sebagaimana avant-gardisme dalam kebaruannya yang terus menerus dalam menyikapi keseimbangan baru sistem. Tidak heran, Theodor Adorno memandang bahwa avant- gardisme sering kali terpisah dari masyarakat, atau budaya massa. Ini disebabkan oleh kecendrungan individual dari kesadaran subyek yang mengental dan semangat yang keluar dari batasbatas yang berlaku. Tindak-tindak mengakali kejumudan sistem sebenarnya adalah semangat mengembalikan agensi, atau keindividuan di tengah gerak yang mekanistik dari sistem yang mengabaikan peran subjek pada individu. Keindividuan tindak bromocorah ini secara tidak langsung adalah sebuah tindak performatif, karena sebuah tindakan yang terus menerus untuk bisa lolos dari jeratan sistem untuk menegaskan dirinya, bergerak terus. Membayangkan 189
performativitas, sebagaimana praktik seni pertunjukan (performatif), di mana ia adalah sebuah peristiwa (event) ketimbang metode yang bisa di ulangulang secara reproduktif, karena objeknya adalah waktu dan spasialitas yang melingkupi seninya. Sifat spasialitas pada seni performatif tersebutlah yang kemudian menjadikan seni pertunjukan adalah seni peristiwa. Sebagaimana pembayangan peristiwa, ia sebenarnya bukan bentuk representasional, karena peristiwa sebenarnya adalah kehadiran (present) itu sendiri. Ia selalu terkait pada ruang waktu secara serentak. Sebagaimana tindak para bromocorah, kebersituasian (facticity) yang membentuk performativitasnya, menjadikan seni dalam postulat ini bersifat selalu tumbuh dan melekat pada spasialitasnya. Beberapa perkembangan kekinian, semangat bromocorah semakin mengental. Misalnya dalam dunia seni hari ini, karena kemujudan dari sistem seni representasional yang dianggap sebagai gambaran dunia yang tidak lagi memantulkan kompleksitas realitas hari ini. Membayangkan bahwa bahasa representasional tidak lagi memadai dalam menggambarkan kompleksitas realitas hari ini, serta gambaran relung yang paling dalam dari personalitas dalam menegaskan diri dari sistem-sistem tanda yang baku, maka penggunaan seni performatif dengan watak yang non representasional adalah semangat untuk mendapatkan spasialitas peristiwa. Sebagaimana para bromocorah yang selalu menolak kemujudan sistem, seni performatif juga untuk mengakomodir pengalaman-pengalaman non-bahasa (representasional), seperti pengalaman akan sensori sebagai basis yang paling individual dari akan pengalaman. Jangkauan akan kompleksitas realitas adalah sebuah peristiwa dan pengalaman, ketimbang penunggalan makna pada sistem representasional. Sistem representasional yang dimaksud menjadikan pengalaman akan masa lalu dan sejarah selalu terbuka dan beragam penunggalan sejarah dalam sistem kodifikasi dokumen dan arsip, selain spasialitas akan pengalaman lokal-global yang selalu diandaikan secara serentak.
190
ART EXPERIMENTATION AND PERFORMATIVITY In a particular spatial, bromocorah could be avant-gardists in terms of individuals who try to revive the meaning of subject or agency from the rigidity of the system. Therefore, these bromocorah are always experimenting, and many innovative works are initiated by the spirit of bromocorah in ‘outsmarting’ the system, even when the system has the ability to revise itself to anticipate its bromocorah. Bromocorah indirectly builds a situation outside the normal system, as the avant-gardists in the modern view who carried the spirit of novelty in shaping practices out of the prevailing artistic boundaries. But nonetheless, in the system that revises itself, and creates its bromocorah, as the avant-gardists in their perpetual novelty in responding the new balance of the system. No wonder, Theodor Adorno viewed the avant-gardists as separated from the society, or mass culture. This is caused by the individual’s tendency from the thickening subject consciousness and the enthusiasm coming out of prevailing boundaries. The acts to outsmart the rigidity of the system are actually the spirit of returning the agency or individuality in the mechanistic motion of the system that ignores the role of the subject in the individuals. Individuality of these bromocorah acts is indirectly a performative act, as a continuous action to get away from the system to assert themselves, keeps on moving. Imagining performativity, as the practice of performance art, where it is an event rather than a method able to be repeated reproductively, because the object is time and spatiality that surrounds the art. It is the spatial nature of the performative art that makes performance art as event. As the imagining of event it is not a representational form, because the actual event is the presence itself. It is always related to time and space simultaneously. As the acts of the bromocorah, the facticity creates its performativity, binding art in this postulate to grow and attached to its spatiality. In the recent developments, the spirit of bromocorah is thickening. For instance, in the art scene today, as the rigidity of the system of “representational” art that is considered as a depiction of the world no longer reflects the complexity of reality today. Imagining that representational language is no longer capable to depict the complexity of reality, and 191
the deepest depiction of the niche of the personality in asserting itself from standard sign systems, then the use of performative art with nonrepresentational characteristics is a spirit to achieve the spatiality of event. As the bromocorah constantly rejects the rigidity of the system, performative art is also to accommodate non-language (representational) experiences, such as sensory experiences as the most individual basis of an experience. The reach of the complexity of reality is within an event and experience, rather than the singularity of meaning in a representational system. Such a representational system makes the history and past experiences constantly open, while various historical consecrations in the codification system of documents and archives, in addition to that of spatiality about local-global experience, are always concurrently envisioned.
192
Forum Festival
PANEL 5
REDEFINISI KOMUNITAS DI ERA DIGITAL Pembicara/Speakers: Gorivana Ageza (Indonesia, komunitas Bahasinema, Bandung) Taufiqurrahman (Indonesia, Komunitas Forum Sudutpandang, Palu) Rosalia Engchuan (Jerman, peneliti komunitas filem di Indonesia) Moderator: Dini Adanurani
Ruang aktivisme filem semacam komunitas tumbuh berlantasan di beragam lokasi. Tanjakan kuantitas komunitas ini menggaungkan peluang adanya pola-pola baru dalam pertukaran wacana sinema kita. Untuk menguatkan daya tawarnya, komunitas perlu secara konsisten mengembangkan pengetahuannya tentang bahasa visual, teori, dan sejarah filem yang justru kerap terabaikan di sejumlah forum pertemuan komunitas. Topiknya melompat, katakanlah, lebih berfokus pada manajemen produksi profesional atau manajemen promosi dan publikasi satu arah: komunitas filem terancam bergeser posisinya sebagai hanya ruang pra-industri. Dalam penentuan bahasa sinema kita, atau bahasa sinema secara lebih global, aktivisme komunitas sesungguhnya memiliki potensi kuat dan peran yang teramat penting. Ragam inisiatif mulai dari aksi produksi, distribusi, eksebisi, hingga edukasi filem yang digagas sejumlah komunitas telah mengambil peran strategis. Strategis dalam bingkaian yang memperlihatkan bahwa aksi berkomunitas para pegiatnya tidak terlepas dari konteks posisinya dalam masyarakat, berlandaskan hasrat berbagi dan berorientasi pendidikan. Dengan demikian mereka semakin memantapkan demarkasinya dari kultur industri. Mengkritisi kultur dominan, komunitas bergerak dengan “cara tersendiri� sesuai kebutuhan dan kemampuan anggotanya. Kemudian melalui aktivitasnya itu komunitas menjadi fasilitator dalam upaya mempertemukan kepentingan publik yang lebih luas, menggunakan kultur bersinema. Konsistensi dalam aksi-aksi berkomunitas yang demikian membuat kita dapat membayangkan masa depan sinema kita.
193
COMMUNITY REDEFINITION IN THE DIGITAL ERA Film activism spaces such as communities grow in various locations. The rise in the quantity of this community creates opportunities for new patterns in the exchange of our cinema discourse. To strengthen its bargaining ability, the community needs to consistently expand its knowledge about visual language, theory, and film history, which often overlooked in some community meeting forums. The topic jumps, say, focused on professional production management or one-way promotion and publication management: the film community is in danger of shifting its position as just a pre-industrial space. In determining our cinema language, or global cinema language, community activism has important role as well as a strong potential. Various initiatives ranging from production, distribution, exhibition, to film education initiated by a number of communities have taken a strategic role. The strategic which shows that the community activists’ actions are inseparable from the context of its position in society, based on the desire to share and oriented towards education. Thus, they further strengthen their demarcation from industrial culture. Criticizing the dominant culture, the community moves in “their own way� according to the needs and abilities of its members. Through its activities, the community becomes a facilitator in bringing public interests together, using the cinema culture. Consistency in such community actions allows us to imagine the future of our cinema.
194
195
INDEKS SUTRADARA Directors Index
Achmad Rezi Fahlevie 135 Alexander Cooper 67 Alexandra Bouge 52 Alexandra Gelis 159 Arif Budiman 53, 130 Avner Pinchover 43 Belit Sağ 54 Cahyo Prayogo 90, 137 Cecilia Araneda 158 Chaerul Umam 120 Christine Negus 157, 161, 164 Daniel Kötter 37 Diego Batara Mahameru 131 Feng Yangyang 36 Foundland Collective 51 Francisca Duran 162 Imam Syafi'i 132 Ismail Basbeth 136 Ivan Marković 88 Javier Miquelez 79 Jörn Staeger 86 Kavich Neang 74
196
Luca Ferri 42 Lucas Parente 95 Malena Szlam 156 Marcelo Costa 102 Maryam Takafory 45 Miguel Hilari 50 Mohammad Ghanbari 101 Mohammad Hadi Ghorbani 96 Payal Kapadia 59 Perrine Liévois 89 Peter Samson 44 Pham Thu Hang 60 Rachmat Hidayat Mustamin 134 Robert Bresson 113 Rodrigo Noya 85 Sarah Bliss 160 Sardono Waluyo Kusumo 176, 177, 178 Sharlene Bamboat 163 Stephanie Comilang 73 Steve Masihoroe 133 Takashi Makino 80 Vera Sebert 87
INDEKS FILEM Film Index
Absent Wound 45 Adegan Yang Hilang dari Petrus 53, 130 And What Is Summer Saying 59 Better Than Awful (But Still Pretty Shitty) 164 Big Brother Hui 36 Blues Sides on the Blue Sky 134 Bocamina 50 Cámara Oscura 79 Centar 88 Chairs 43 Chinafrika. mobile 37 Come to Me, Paradise 73 Distant Tropics 102 Dongeng Dari Dirah 178 Dulcinea 42 Fade Out 135 Frozen Giants 161 Future Cries Beneath Our Soil, The 60 Gowok The Ins and Outs of A Woman’s Body 133 Island, The 159 It Matters What 162 Kecak Rina 177 L’Argent 113 Last Night I Saw You Smiling 74 Liquid Traits of an Image Apparatus 87 Love of Statues, The 44 Lumapit Sa Akin, Paraiso 73 Lunar Almanac 156 Memento Stella 80 Memoria del Espacia 85
Merged with The Ground 132 Mùa Cát Vong 60 Nameless Boy, The 131 Narrow Bridge, The 120 Our Home 157 Pithole 50 Plato, The 101 Real Time History 51 Sapu Angin 90, 137 Satan’s Horn, The 96 Saturation 89 Sorceress of Dirah, The 178 Space Memory 85 Space Shuttle Challenger, The 158 Steine 86 Stones 86 Taifun 176 Titian Serambut Dibelah Tujuh 120 Topo Mendem 132 Trial, The 52 Trópicos Distantes 102 Tupinambá Lambido 95 Uang 113 Unless You’re Living It 160 Video Home System 163 Weirdloop 67 What Remains 54 Windswept 90, 137 Woo Woo 136 Yub Menh Bong Keunh Oun Nho Nhim 74
197
ACKNOWLEDGEMENT
Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Hilmar Farid Pusat Pengembangan Perfilman – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Maman Wijaya Bapak Arifin Danu Dewa Ayu Oka Sulaksmi. S.Sos, M.Si Dra. Espita Riama Panji Wibisono Arsip Nasional Republik Indonesia Institut Français Indonesien Produksi Film Negara Matthieu de Faucal (Alm.) Abduh Aziz Scott Miller Berry Museum Nasional Ontario Arts Council Ford Foundation – Jakarta LIMA Distribution Alexander Irwan Theus Zwakhals Adyani Widowati Komunitas Yoikatra Esther Parapak Komunitas Sikukeluang Goethe-Institut Indonesien – Jakarta Komunitas Pasirputih Anna Maria Strauß Komunitas Gubuak Kopi Dinyah Latuconsina Sayuran Kita Ranggi Arohmansani Lilia Nursita (Gajah Hidup) Nurlaili Keluarga Besar Forum Lenteng
198
ANGGOTA FORUM LENTENG Forum Lenteng Members
Abi Rama
Agung "Abe" Natanael
Afrian Purnama
Ahmad Humaedi Onyong
Artist
Photographer
Writer
Cultural Activist
Albert Rahman Putra
Akbar Yumni
Andang Kelana
Andi K. Yuwono
Writer/Musician
Writer/Reseacher
Creative Consultant
Cultural Activist
Andrie Sasono
Andi Rahmatullah
Ardy Widi Yansah
Ari Dina Krestiawan
Content Writer
Journalist
Photographer
Artist/Lecturer
Anggraeni Widhiasih
Ario Fazrien
Arissa "Icha" Ritonga
Writer/Researcher
Videographer
Journalist
Andreas Meiki S.
Alifah Melisa Aprilani
Bagasworo "Chomenk"
Bobby Putra S.
Labour
Chinese Translator
Artist/Researcher
Enterpreneur
Bunga Siagian
Dian Komala
Dalu Kusma
Debora A. Nainggolan
Cultural Activist
Labour
Social Media Influencer
Stewardess
Dhanurendra Panji
Dhuha Ramadhani
Dini Adanurani
Cultural Activist
Writer/Researcher
Philosophy Student
Adawiyah Nasution Banker
Defina Martalisa Employee
Eko Yulianto
Erviana Madalina
Faita Novti Krishna
Fuad Fauji
TV Producer
Film Student
Wardrobe
Writer
Frans Sahala P.
Firman "Kaspo" S.
Fauzan "Padang" C.
Gunawan Wibisono
Media Practicion
Local Organizer
Enterpreneur
Employee
Hanif Alghifary
Herman Syahrul
Intan Pertiwi
Artist
Cameraman
Media Practicioner
Imam Rahmadi
Jean Marais
Klara Pokeratu
Luthfan Nur Rochman
Journalist
Actor
Fashion Stylist
Archeologist/Filmmaker
Hafiz Rancajale Artist/Curator
M. Hafiz Pasha
Mahardika Yudha
Manshur Zikri
Employee
Artist/Curator
Writer/Reseacher
Maulana "Adel" Pasha
Mira Febri Mellya
Mirza Jaka Suryana
Artist
Writer/Media Practitioner
Writer/Enterpreneur
Muhamad Sibawaihi
Mia Aulia
Mohamad Fauzi
Cultural Activist
Design Student
Video Artist
Niska H. Utami
Nurhasan
Otty Widasari
Pychita Julinanda
Film Student
Employee
Cultural Activist
Intl. Relation Student
Lulus Gita Samudera Journalist
Maria Deandra Film Student
Maria C. Silalahi Cultural Activist
Rayhan Pratama
Prashasti W. Putri
Researcher
Art Manager
Rachmadi "Rambo"
Ray Sangga Kusuma
Renal Rinoza
Artist
Entrepreneur
Writer/Researcher
Riezky A. Pradana
Rio
Robby Ocktavian
Sherly Triana H.
Journalist/Musician
Graphic Designer
Cultural Activist
Entrepreneur
Syahrullah "Ule"
Syaiful Anwar
Sysca Flaviana Devita
Taufiqurrahman
Cultural Activist
Director/Cameraman
Entrepreneur
Seniman/Graphic Desainer
Pingkan P. Polla
Ragil Dwi Putra
Artist
Artist
Putera Rizkyawan Graphic Designer
Titaz Permatasari
Titin Natalia Sitorus
Tiwi Novryanti
Theresa F. Umaratih
Music Enthusiast
Cultural Employee
Employee
Artist
Theo Nugraha
Ugeng T. Moetidjo
Umi Lestari
Wachyu "Acong" P.
Artist
Writer/Researcher
Writer/Reseacher
Photographer
Wahyu "Tooxskull" C.
Wahyu Budiman Dasta
Wahyu Gde Mika
Yose Rizal
Graphic Designer/Musician
Reporter
Film Student
Event Organizer
Yuki Aditya
Yonri Revolt
Yoyo Wardoyo
Cultural Activist
Cultural Activist/filmmaker
Graphic Designer
SEE YOU AT ARKIPEL - 8TH JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2020
Mitra Resmi / Official Partners
Mitra Budaya / Cultural Partners
Mitra Media / Media Partners
MELALI
NEWS