diffa
Media Dunia Disabilitas
SETARA DALAM KEBERAGAMAN
Latihan Kerja untuk Tunagrahita Anggie Regina dan Filma: Sinetron dan Down Syndrome h.06
Perlukah Ujian Nasional untuk Siswa SLB h.46
Mas Bejo dan Pojok Disabilitas h.24
No. 18 - Juni 2012 l Rp 21.500,-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 1
5/22/12 7:21 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 2
5/22/12 7:21 PM
Mata Hati
Miracle Still Happen
P
ERTANDINGAN penentu-
polos tidak terkontaminasi oleh kerumitan
an juara Liga Utama Inggris
dan arogansi kehebatan pikiran manusia
antara Manchester City dan
dewasa. Namun justru dalam kepolosan
Queens Ranger Park ber-
pikiran itulah sebuah kekuatan yang jauh
langsung di luar ramalan,
lebih besar bisa kita temukan, bukan dalam
analisis, dan hitungan-hitungan di atas
kerumitan atau kehebatan pikiran manusia
kertas dari para pengamat dan pakar sepak
dewasa. Dalam kepolosan pikiran dan jiwa
bola. Dalam pertandingan pada 13 Mei
kanak-kanak terdapat kepercayaan besar
2012 malam itu, Manchester City ternyata
pada kekuatan-kekuatan di luar nalar pikir
tidak menang dengan mudah. City bahkan
an manusia dewasa. Dan dalam kepercaya
sempat kecolongan gol dan tertinggal 1-2.
an tanpa syarat pada kekuatan-kekuatan
Suatu hal yang sungguh di luar dugaan
itulah, keyakinan bahwa miracle still (atau
banyak orang. Para fans City bahkan sudah
bahkan always) happen terjaga sebagai
meneteskan air mata, menginjak-injak
sebuah keutuhan jiwa, hati, dan pikiran
jaket, kaos, syal, dan atribut yang mereka
seorang anak seperti Harkafka Nagendra.
bawa dengan penuh kekecewaan, kesedih
Pada kasus duel Manchester City - Queens
an, dan kemarahan. Komentator pertan
Park Ranger, keajaiban lalu benar-benar
dingan sudah berucap, “…banjir airmata
terjadi sebagaimana yang diyakini Harkaf-
sepertinya bakal segera melanda.…” Sang
ka. Dalam 2 menit terakhir dari waktu
pelatih, Roberto Mancini, juga dilanda ke-
tambahan, City berhasil mencetak dua gol
bingungan karena tak mengerti mengapa
sehingga memenangi pertandingan itu dan
bisa terjadi seperti itu.
mewujudkan mimpi panjang 44 tahun,
Harkafka Nagendra, 12 tahun, seorang anak penggemar berat Manchester City di
menjadi juara Liga Utama Inggris. Kisah nyata di atas bisa menjadi pela-
Pemimpin Perusahaan/ Pemimpin Redaksi FX Rudy Gunawan General Manager Jonna Damanik Redaktur Eksekutif Nestor Rico Tambunan Konsultan Yunanto Ali, Handoyo Sinta Nuriah Wahid Mohamad Sobary, Jefri Fernando Redaktur Irwan Dwi Kustanto Aria Indrawati Mila K. Kamil Purnama Ningsih Athurtian Kontributor Andhika Puspita Dewi (Semarang) Fadjar Sodiq (Yogyakarta) Yovinus Guntur (Surabaya) Lutfi Anandika (Jawa Tengah) Redaktur Bahasa Arwani Redaktur Kreatif Emilia Susiati Hilma Awalina Rizky Fotografer Adrian Mulja Sigit D Pratama
kawasan Jabodetabek, pada menit-menit
jaran penting bagi semua manusia dewasa,
akhir pertandingan, akhirnya berkomen-
baik penyandang disabilitas maupun
Ilustrator Didi Purnomo
tar pasrah, “…only miracle can help
nondisabilitas. Dalam menjalani hidup,
Iklan dan Promosi Venny Asyita Octatya
City….” Sama seperti para penggemar lain
kita –para manusia dewasa–terlalu banyak
di seluruh pelosok dunia, Harkafka juga
terkontaminasi oleh arogansi kebablasan
Administrasi Eka Rosdiana
sangat kecewa dan tak percaya kesebela-
yang akhirnya berujung pada frustrasi,
san favoritnya bisa dipecundangi sam-
skeptik, dan akhirnya keputusasaan yang
pai mendekati akhir pertandingan oleh
terus-menerus berusaha kita ingkari. Kita
kesebelasan yang tak dijagokan dalam
tak pernah mau mengakui dan kemudian
liga itu. Akankah keajaiban terjadi? Masih
berserah diri dengan segala kerendahan
adakah keajaiban dalam hidup ini? Tentu
hati bahwa kita hidup karena kehendak
saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak ter-
Yang Maha Kuasa dan bahwa kita ada
lintas dalam benak seorang anak berumur
dalam kekuatan mahabesar Sang Maha
12 tahun. Ketika mengucapkan kalimat
Kuasa. Dan dalam kekuatan mahabesar itu,
“only miracle can help City”, Harkafka jelas
semua keajaiban bisa terjadi jika kita tetap
percaya masih ada keajaiban dalam hidup
dan terus percaya tanpa sedetik pun ragu.
ini. Bahwa keajaiban masih terjadi dan bisa
Para penyandang disabilitas seperti Nick
diharapkan terjadi dalam situasi-situasi
Vujicic, Stevie Wonder, atau Helen Keller
yang di luar kuasa kekuatan dan kehebat
adalah bukti nyata bagaimana kekuatan
an manusia.
mahabesar Sang Pencipta mewujud di ha-
Pikiran kanak-kanak yang masih
Distribusi dan Sirkulasi Jonna Damanik Berliaman Haloho PT Trubus Media Swadaya Jl Gunung Sahari III/7 Jakarta Pusat 10610 Penerbit PT Diffa Swara Media Yayasan Mitra Netra Percetakan PT Penebar Swadaya Alamat Redaksi Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430 Telepon 62 21 44278887 Faxs 62 21 3928562 e-mail: redaksi@majalahdiffa.com
diffa SETARA DALAM KEBERAGAMAN
dapan kita semua. n FX Rudy Gunawan
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 3
03 5/22/12 7:21 PM
sambung rasa Salam dari London
H
ELLO, Bang Nestor, paribanku, bagaimana kabar? Semoga sehat-sehat selalu. Dua hari yang lalu, saya menyempatkan membaca ulang majalahmajalah diffa yang pariban kasih padaku waktu kita bertemu di Jakarta, akhir April lalu. Wah, aku sangat terharu dan tarilu (meneteskan air mata – Red.). Keren sekali majalah ini. Pariban dan teman-teman yang mengerjakan majalah ini sungguh keren, karena punya visi sosial yang bagus. Mestinya harus mendapat dukungan besar dari pemerintah, organisasi atau yayasan-yayasan disabilitas di seluruh Indonesia. Pariban, apakah saya bisa saya bisa berlangganan? Saya ingin pesan 4 eksemplar tiap nomor
04
setiap bulan untuk dikirim ke kampung kita di Tobasa. Salah satunya ke perpustakaan desa yang baru saya rintis ketika pulang kemarin di Lumbanlobu, Kec. Bonatua Lunasi, Kabupaten Tobasa. Isi majalah ini akan menggugah kesadar an dan kehormatan orang Batak kepada orang cacat. Mereka akan salut, karena ternyata banyak orang catat lebih mandiri dari orang yang normal tapi malas. Saya minta tolong, bagaimana cara pembayarannya. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih. Sukses untuk Pariban dan teman-teman di majalah diffa. Horas! Nelly Br. Torus, London, Inggris
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 4
5/22/12 7:21 PM
daftar isi tapak Berbagi Kasih ala Smile For Children 20 kolom mas Bejo Pojok Disabilitas 24
Belajar dari Kesultanan Tidore 39 piranti Mouse and Keyboard untuk Kaki
30
sambung rasa 04 sudut pandang 35 apresiasi 38 ragam 43 konsultasi pendidikan 46 ruang hati 48 puisi 50 cerpen 52 konsultasi kesehatan 56 pindai 58 bisikan angin 62 cermor 68 pelangi 70
biografi Guru dan Pendamping Hellen Keller
64 mata hati Miracle Still Happen 03 cerita sampul Senyum Iim Bersama Dua Bidadari 06
empati Berbuat Banyak Lewat Komite Sekolah 16 sosok Lukisan Pembangkit Spirit 26
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 5
05
Didi Purnomo
Didi Purnomo
beranda Isara Anak dari Kineck Xbox untuk Tunarungu 08
retina Pelatihan Kerja untuk Tunagrahita 09
5/22/12 7:22 PM
cerita sampul
Senyum Iim Bersama Dua Bidadari
S
ORE itu menjadi hari yang berbeda untuk Filma Aditya Fimartiananda yang akrab dipanggil Iim, karena dia akan difoto untuk cover majalah diffa. Iim seorang down syndrome yang memiliki banyak talenta. Dia bisa bernyanyi dan berakting di depan kamera. Semua itu Iim dapatkan setelah belajar di Sanggar Ananda, sekolah nonformal dalam pengembangan talenta usia dini. Sore itu Iim bersama ibu dan kakaknya sudah berada di kantor VHRmedia, di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Adrian dan Sigit sudah mempersiapkan perlengkapan pemotretan. Sebelum pemotretan, FX Rudy Gunawan, Pemred diffa, mengajak Iim bersama sang ibu Herlina dan sang kakak Anggie ngobrol sambil bercanda, agar Iim tidak bosan menunggu. Iim anak kedua pasangan H. Kamaruzaman dan Hj. Ir. Herlina Machmur MM. Iim anak istimewa. Meski menyandang down syndrom, dia tidak minder pada teman temannya. Dia sangat ceria dan tidak pemalu. Ia memiliki banyak kegiatan. Selain sekolah di SLB, Iim juga mengikuti sekolah akting. Tak heran Iim meraih banyak prestasi. Tahun 1995 Iim mendapat penghargaan juara favorit dalam lomba akting lenong. Bersama grup lawak cilik, dia memperolah berbagai penghargaan. Iim juga mendapatkan peran spesial membintangi film layar lebar Rumah Tanpa Jendela. Prestasi Iim itu termotivasi oleh sang kakak, Kilau Angie S.Psi, yang akrab disapa Anggie, artis multitalenta. Dia bisa bernyanyi, berakting, dan menjadi pembawa acara. Di bidang tarik suara, Angie sudah mengeluarkan dua album solo. Di bidang akting, Anggie antara lain pernah main dalam sinetron Lenong Bocah, Liontin, dan Rahasia Ilahi. Di layar lebar Anggie pernah membintangi Buruan Cium Gue. Belakangan kesibukan artis Anggie sedikit berkurang. Setelah mengantongi gelar sarjana psikologi, ia meneruskan ke jenjang S2. Selain sibuk sebagai artis dan kuliah, Anggie juga sering menyempatkan diri bermain bersama sang adik. Memiliki adik yang berkebutuhan khusus tak pernah
06
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 6
5/22/12 7:22 PM
Foto: Sigit D. Pratama
membuat Anggie malu. Bahkan ia teramat sayang pada Iim. “Pipi dan wajah polosnya itu yang bikin gue gemes,” ujarnya. Begitu pula dengan Herlina, sang ibu. Waktu pertama mengetahui putranya menyandang down syndrom, Herlina kaget dan bingung. Tapi sang suami memberinya dukungan moral dan kekuatan. Akhirnya Herlina menyadari putranya anak istimewa yang dititipkan Allah kepadanya. Sejak itu ia mencari berbagai macam terapi dan pengobatan, juga pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Semangat dan kasih sayang Anggie dan Herlina menjadi payung yang melindungi Iim. Ia seakan didampingi dua bidadari. Pemotretan dimulai. Adrian mengatur pose Iim, Anggie, dan Herlina. Tidak terlalu susah menyuruh Iim tersenyum, karena sudah akrab dengan kamera. Anggie mengajak Iim berpose dengan berbagai gaya sambil mengajak bercanda.
Hal ini memudahkan Sigit mengambil gambar. Hanya sekitar satu setengah jam sesi pemotretan rampung. Sebelum pulang, Herlina menunaikan salat maghrib. Melihat itu, Iim langsung melepaskan sepatunya. “Jangan dibantuin. Dia sudah terbiasa mandiri kok,” kata Anggie, ketika seorang kru diffa akan membantu melepaskan sepatu Iim. “Iim salat sendiri, ya. Mama kan sudah selesai,” ujar Herlina ketika selesai salat. Iim langsung mengambil sajadah dan salat sendiri. Tak lama kemudian, FX Rudy mengajak Iim, Anggie, dan Herlina makan nasi kotak bersama-sama. Iim makan sendiri sambil bercanda-canda. Tak tampak lelah di wajah nya. Dia tetap bersemangat. Begitu pula ketika pamit pulang bersama kedua bidadari pendampingnya. n Lutfi Anandika
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 7
07 5/22/12 7:22 PM
Beranda
T
EKNOLOGI terus berkembang di tengah kemajuan peradaban. Manusia mampu menyulap teknologi yang sudah ada menjadi teknologi yang inovatif dan luar biasa untuk membantu penyan-
gesture. Alat yang diciptakan dengan menggunakan Kinect sebagai sensor gerak dan video ini didesain agar tunarungu menjadi lebih asyik, interaktif, real time, dan menyenangkan dalam belajar bahasa isyarat.
muncul notifikasi. Teknologi tersebut ditujukan agar perbedaan para penyandang disabilitas tidak menjadi penghalang untuk menikmati kecanggihan teknologi dan, menjadi manusia yang “sadar teknologi�. n Athurtian Sumber gambar: http://web-vassets.ea.com/Assets/Richmedia/Image/Screenshots/Kinect_RH_01-uk. jpg?cb=1315963650
Â
dang disabilitas. Para penyandang tunarungu masih dianggap kaum minoritas yang terpinggirkan hak-haknya, termasuk dalam hal ini pemenuhan atas kebutuhan teknologi. Padahal, sebagai manusia, penyandang tunarungu memiliki hak yang sama untuk memperoleh edukasi dan informasi. Dari pemikiran tersebut hadir alat Sensor Kinect XBOX 360 dari Microsoft. Ini teknologi yang menjadikan game tambah mengasyikkan dengan menggunakan sensor gerak tubuh atau
08
Aplikasi Isara kamus bahasa isyarat ini berbasis Natural User Interface (NUI). Aplikasi ini utamaya merupakan perangkat sensor yang dihubungkan dengan PC webcam. Pengguna berdiri di depan sensor dalam jarak satu meter. Dalam layar akan muncul menu utama berisi kamus, video, dan game yang semuanya berbasis gesture. Fitur game berisi tebakan kosakata yang harus dijawab dengan gesture. Pengguna menirukan gambar video, kemudian terlihat apakah gerakan tubuh benar atau belum. Jika salah atau benar akan
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 8
5/22/12 7:22 PM
Foto:-foto: Havel Hardian Kersna Narendra, Lutfi
Isara Anak dari Kinect Xbox untuk Tunarungu
Foto:-foto: Havel Hardian Kersna Narendra, Lutfi
retina
W
Anak dengan tunagrahita (ADTG), penyandang disabilitas dengan keterbatasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja khusus untuk mereka.
Pelatihan Kerja untuk Tunagrahita diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 9
09 5/22/12 7:22 PM
Foto: Sigit D Pratama
10
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 10
5/22/12 7:22 PM
A
NAK dengan tunagrahita (ADTG), penyandang disabilitas dengan keterbatasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja khusus untuk mereka.
Salah satu lembaga yang memiliki unit latihan kerja khusus untuk penyandang disabilitas tunagrahita adalah SLB Unit Latihan Kerja di Jalan Lebak Bulus 3, Jakarta Selatan. Lembaga pendidikan ini berdiri dan beroperasi sejak tahun 1987 dan telah berbuat banyak hal sangat berarti dan berguna untuk anak-anak belia penyandang tunagrahita.
Pendidikan dan Pelatihan Ramartini, Kepala Sekolah SLB Unit Latihan Kerja, mengatakan awalnya lembaga pendidikan ini hanya berupa tempat pelatihan kerja di bawah Dinas Sosial Pemda DKI Jakarta. Tanah tempat berdirinya lembaga pendidikan ini berupa tanah seluas 3.500 m² hibah Gubernur Ali Sadikin. Agar dapat memberikan layanan yang lebih bebas dan luas, status lembaga pelatihan diubah menjadi sekolah luar biasa (SLB) dan pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Bina Karya Wahana. Dengan status sebagai SLB, lembaga ini memberikan layanan pendidikan dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dan menerima segala jenis disabilitas, bahkan yang
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 11
11 5/22/12 7:22 PM
double handicap alias disabilitas ganda. Yang khas dan menonjol dari SLB ini, sesuai dengan namanya, adalah unit latihan kerja. Mayoritas yang mengikuti pendidikan di unit latihan kerja ini penyandang tunagrahita. Masruchah Penyandang disabilitas tunagrahita termasuk paling sulit masuk dalam lapangan kerja karena mental tidak stabil. “Mereka tiba-tiba bisa ngambek, mogok kerja, atau ngamuk. Hari ini mau kerja, besok nggak. Atau maunya hanya mengerjakan yang dia suka. Ya, bekerja kan tidak boleh seperti itu,” ujar Ramartini. Karena itu, unit pelatihan kerja di SLB ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pelatihan kerja tingkat dasar, meliputi pemanduan atau pemilihan bakat hingga pelatihan sampai tahap mampu bekerja atau berproduksi. Bagian kedua unit workshop. Di bagian ini anak-anak yang sudah mengikuti pelatihan dan mampu berproduksi mengerjakan pesanan dan memperoleh penghasilan. Pendidikan latihan kerja berlangsung selama tiga tahun. Setelah lulus, peserta pelatihan diberikan sertifikasi
12
sesuai bidang pelatihan. Sertifikasi itu untuk bukti keahlian mereka sekaligus untuk memudahkan mereka mencari kerja. “Biasanya, ada yang diterima untuk bekerja di luar. Ada yang bekerja secara mandiri. Mereka yang belum Lily Purba mendapat kesempatan bekerja di luar, kami tampung di unit workshop,” kata Ramartini. Lulusan yang diterima bekerja di luar, menurut Ramartini, ada yang bekerja jadi office boy. Sementara yang memilih bekerja mandiri, antara lain membuka usaha air isi ulang. “Tapi kebanyakan memilih bekerja di workshop di sini, mengerjakan pesananpesanan,” ujar sarjana pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.
Fasilitas dan Pelatihan Sejalan dengan perkembangan dan perjalanan waktu, kini di lokasi SLB ini tersedia berbagai layakan pendidikan dan pelatihan beserta sarana dan prasana pendukungnya. Prasarana utama adalah bangunan gedung sekolah SLB beserta berbagai fasilitas pendukungnya, ruang baca, dapur, ruang makan, dan asrama. Juga ada
lapangan serbaguna yang bisa digunakan untuk tempat upacara, lapangan senam aerobik, olahraga bulu tangkis, sepak bola, dan sebagainya. Ada pula lapangan khusus olahraga bocci, permainan bola khusus penyandang tunagrahita. SLB ini memiliki beberapa ruang untuk pelatihan kerja dan workshop. Unit latihan kerja dalam ruangan antara lain perkayuan, tata busana, tenun, sablon, dan tata boga. Tanah kosong di pekarangan sekolah dimanfaatkan untuk pertanian. Menurut Sumardi, guru sekaligus pembimbing, di bidang perkayuan, peserta pelatihan didik membuat alat peraga untuk anak TK seperti balok dan puzzle (bongkar pasang). Bidang sablon dan percetakan membuat kop surat dan amplop. Di bidang kerajinan membuat hiasan meja dan dinding, antara lain tempat tisu. Biasanya hasil kerajinan itu dijual saat ada undangan berpameran. Di bidang tata boga, untuk keseharian anakanak yang mengikuti pelatihan menjual makanan ringan ke kantinkantin. “Saat
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 12
5/22/12 7:22 PM
Lebaran atau hari besar lainnya, kami juga mendapat banyak pesanan kue,” ujar Sumardi. Di bidang pertanian, anak-anak dilatih menanam, memelihara, dan memanen berbagai tanaman sayuran, seperti jagung, kangkung, terong, bayam, singkong, dan pisang. Untuk menghemat pengeluaran, peserta pelatihan diajari memanfaatkan bahan yang ada untuk dijadikan pupuk kompos. Selain aneka pelatihan dan workshop SLB ini juga menyediakan asrama dengan kapasitas 20 orang untuk anak-anak yang mengalami kendala transportasi atau tempat tinggalnya jauh. Kamar asrama berisi tempat tidur, lemari, dan meja kecil. Ada seorang penanggung jawab untuk mengurus dan mengawasi mereka selama di asrama. Ada perjanjian dan persyaratan tertentu untuk tinggal di asrama. Menurut Sumardi, perlu kejelasan misalnya punya riwayat sakit apa, kalau kambuh penanganannya harus bagaimana, rumah sakit langganan, dannya, biasanya di mana. Kalau hari libur, mereka harus tetap dijemput dan tinggal bersama keluarga. SLB ini mengantisipasi jika ada
orang tua yang kesulitan ekonomi. “Karena, tidak semua orang keadaan ekonominya sama. Kami bantu dengan pembebasan biaya yang berasal dari subsidi dana BOS. Selebihnya dibantu pihak yayasan,” jelas Sumardi.
Dikelola Bersama Menurut Sumardi, yang sudah memegang unit latihan kerja selama tiga tahun, pengelolaan latihan kerja dan workshop serta penyaluran hasilnya dilakukan bersama-sama. Ada pengurus yang mendampingi anakanak bekerja, ada yang menyalurkan
atau memasarkan ke masyarakat. Hasilnya dari semua unit disetor ke yayasan untuk menambah biaya operasional. Sebagian dari penghasilan dikembalikan kepada anak-anak yang bekerja di workshop sebagai insentif dan penyemangat. “Tidak terlalu besar. Tapi mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 200 ribu.“ Dari seluruh unit latihan kerja dan workshop pemasukan terbesar diperolah dari pertanian. Hasil pertanian biasanya dijual ke masyarakat sekitar. “Pisang kami tidak menjualnya kepada masyarakat umum, karena di
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 13
13 5/22/12 7:22 PM
pelajaran motorik bagi anak-anak TK , seperti puzzle bongkar pasang, dan alat permainan susun, hasil kerja anak-anak tunagrahita tidak kalah bagus dari buatan pabrik. “Pokoknya apa saja kami lakukan demi mencapai visi dan misi Ulaka (unit latihan kerja) ini, yaitu menjadikan anak-anak yang siap bersaing dalam dunia kerja yang sesungguhnya.”
ULK Versi Asih Budi
lingkungan ini sendiri sudah sangat laris,” katanya. Selain untuk memperoleh pemasukan, penjualan ke masyarakat sekaligus untuk menunjukkan bahwa anak-anak peserta unit latihan kerja bisa menghasilkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu yang berguna. “Keuntungan belum kami pikirkan secara ekonomi profesional. Tapi, ya tetap masih ada pemasukan,” ujar Sumardi. Unit latihan kerja tata boga pun demikian. Selain secara rutin menyalurkan kue ke kantin-kantin, unit ini juga mendapat banyak pesanan pada waktu tertentu, misalnya saat Lebaran dan Hari Natal. Begitu pula hasil unit latihan kerja lain seperti perkayuan dan tata boga. Menurut Sumardi, alat-alat bantu
14
Lembaga pendidikan lain yang sudah lama memiliki unit latihan kerja adalah Sekolah Asih Budi. Selain memberikan layanan pendidikan dari TK/LB hingga SMA/LB, Asih Budi juga memiliki ULK dengan empat bidang kegiatan, yaitu tata boga, tata busa/keterampilan menjahit, hasta karya, serta sablon dan percetakan. “Yang berjalan dengan baik tata busana, menjahit, dan kerajinan dari tekstil. Sekarang kami punya outlet di daerah Mega Kuningan. Permintaannya cukup baik,” kata Toeti Aryanto, Ketua Yayasan Asih Budi, sudah 30 tahun memimpin Asih Budi. Unit lain yang memberikan harapan cerah adalah layanan sablon dan percetakan. “Layanan ini sudah mendapat order rutin, antara lain dari sebuah sekolah swasta di Jakarta. Semua buku dan barang cetakan sekolah tersebut dipesan di Ulaka Asih Budi.”
Menurut ibu yang mendiang anaknya juga penyandang tunagrahita ini, ULK sangat penting, bahkan jadi muara utama dari pemberdayaan anak tunagrahita. “Sebab, dari semua penyandang disabilitas, yang paling termarginalkan tunagrahita. Yang lain-lain kan bisa menggunakan intelektualnya, bisa masuk sekolah inklusi, dan sebagainya. Mereka ini nggak. Nggak ada kurikulim untuk tunagrahita di dalam sekolah inklusif.” Karena itu, menurut Toeti Aryanto, penyandang tunagrahita perlu mendapat perhatian yang lebih spesifik dan intens, seperti menyediakan ULK. “Perlu dibangkitkan kepedulian dan layanannya terhadap komunitas tunagrahita, agar mendapat kesempatan yang sama pada setiap aspek kehidupan dan penghidupan, terutama dalam hal kemampuan mandiri dan bekerja.” Karena itu, menurut mantan pejabat bank ini, Asih Budi termasuk yang pertama merintis pendirian unit latihan kerja. Pemerintah dan masyarakat memang masih perlu berbuat banyak. Karena lembaga pendidikan, khususnya unit latihan kerja untuk penyandang tunagrahita di negeri kita amat sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Betapa! n Hilma/Nestor Foto-Foto: Sigit D. Pratama, Lutfi A.
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 14
5/22/12 7:22 PM
Jangan Mengaku Sudah Beradab Kalau Belum Memahami DISABILITAS..! Majalah diffa
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 15
15 5/22/12 7:22 PM
empati
Budiarti Sofyan
Berbuat Banyak Lewat Komite Sekolah
B
UDIARTI Sofyan, yang biasa dipanggil Bu Yayuk, mungkin tidak seterkenal aktivis disabi litas lain. Tetapi ia salah satu sosok ibu yang mau, mampu, dan banyak berbuat untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), khususnya tunagrahita. Kebetulan, salah seorang buah hati Bu Yayuk, Amal Zaky Sofyan, penyandang tunagrahita. Kebetulan pula, di semua sekolah tempat Amal belajar, Bu Yayuk selalu dipercaya menjadi ketua komite sekolah. Baik ketika di SD Asih Budi, SMP Wimar Asih, maupun SLB Ulaka Penca sekarang ini. Mengapa Bu Yayuk jadi “spesialis” ketua komite sekolah? Apa saja yang bisa dilakukan lewat organisasi persatuan orang tua murid ini? Ternyata peran orang tua memang sangat besar dalam penanganan disabilitas. Berikut petikan percakapan Bu Yayuk dengan diffa.
Sejak kapan aktif dalam organisasi komite sekolah?
16
Saat anak saya Amal memasu ki usia delapan tahun, tepatnya tahun 1988. Ketika itu saya melihat ia butuh perhatian lebih dari saya. Sebelumnya ia lebih banyak diasuh oleh omanya. Setelah itu saya turun tangan sendiri mengasuhnya. Sejak saat itu juga saya mulai aktif dalam kepengurusan komite sekolah di tempat anak saya belajar, di Asih Budi. Dulu, namanya masih POM (persatuan orang tua murid). Anak saya sekolah di Asih Budi hanya sampai SD. Untuk tingkat SMP, sekolah Asih Budi berlokasi di Duren Sawit, Jakarta Timur. Buat saya terlalu jauh. Jadi, saya menyekolahkan Amal di SMP Wimar Asih, yang lebih dekat ke rumah, di Pejaten.
Mengapa hanya aktif dalam komite sekolah? Tidak ingin masuk kepengurusan yayasan? Saya memang tidak pernah mau terlibat dengan yayasan. Karena saya berpikir, kalau di POM saya bekerja sama dengan orang
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 16
5/22/12 7:22 PM
Foto: Sigit D. Pratama diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 17
17 5/22/12 7:22 PM
tua yang lain. Kalau di yayasan itu, kan lain. Kalau terjun langsung di sekolah, saya akan lebih dekat dengan guru, orang tua, dan anakanak. Kebetulan, di semua tempat anak saya sekolah, saya selalu diberi kepercayaan menjadi ketua komite. Saya berusaha selalu menjalankan kepercayaan itu dengan baik.
Apa saja kegiatan dan tanggung jawab ketua komite sekolah? Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat insidentil. Seperti kegiatan di SOIna (Special Olympic Indonesia), mengadakan berbagai lomba. Saya lebih suka terjun langsung bersama anak-anak, bermain bersama anak-anak. Terus terang, kepuasan saya ada di situ: bisa main dengan anak-anak. Kalau suntuk di rumah, saya bisa seharian bermain dengan mereka. Rasanya hidup saya untuk mereka. Di sana saya merasa beruntung sekali jadi manusia, dibandingkan dengan anak-anak itu, yang selalu membutuhkan dampingan, perhatian, dan kasih sayang. Meskipun demikian, saya juga tetap punya kehidupan lain. Selain sibuk mengurus keluarga, dulu saya juga aktif di kepengurusan Dharma Wanita. Saya juga kan harus meluangkan waktu khusus untuk Amal. Ya, saya harus pintar-pintar juga untuk membagi waktu. Tapi, sekarang sudah pensiun. Sudah selesai. Kalau untuk kegiatan sekolah, biasanya tidak terlalu padat atau sibuk. Biasanya, kalau ada acara tujuh belasan, saya bantu koordinasi, mencari dana, dan macam-macam. Kadang-kadang ada masalah, seperti kekurangan guru atau masalah lain yang kurang tertangani. Tapi biasa nya kami bisa bersama-sama men-
18
cari solusinya. Contoh masalah yang terakhir kam tangani, pembangunan asrama. Itu kerja komite sekolah.
Untuk apa asrama itu? Asrama itu untuk anak-anak. Ada beberapa murid di sini yang tidak bisa mengikuti pendidikan karena terken dala transportasi. Dulu kami punya dua unit mobil untuk antar-jemput. Karena rusak, sedangkan kami tidak punya biaya perbaikan, dan yayasan belum mampu mengganti, akhirnya untuk jalan keluar kami buat asrama. Tapi, dengan adanya asrama itu kami tidak mau anak-anak seratus persen ada di asrama. Hanya pada hari sekolah. Jumat siang mereka harus dijemput keluarga masing-masing. Kemudian Senin pagi baru diantar kembali untuk bersekolah. Maksud kami dengan aturan seperti itu, mereka tetap punya waktu dengan keluarga. Karena yang sudahsudah, banyak sekali saya perhatikan, tidak semua orang tua mau mengurus sepenuhnya anak mereka yang berkebutuhan khusus. Dengan berbagai alasan, dan terus terang banyak orang tua yang merasa terbeban, sehingga membiarkan anak-anak mereka tinggal menetap di asrama. Mereka hanya memberikan uang untuk biaya pera watan. Tidak ada kasih sayang. Padahal, anak-anak ini kan tetap manusia yang butuh kasih sayang keluarga. Tapi, buat saya, semua yang saya lakukan ini bukanlah beban. Saya selalu berpikir ini adalah ladang amal. Jadi, saya jalankan dengan senang hati. Untuk asrama itu saya tidak bekerja sendiri, bersama teman yang lain. Tapi, karena tesman saya harus ikut suami bertugas di luar negeri, untuk sementara saya tangani sendiri dengan anggota lain.
Apa kesulitan selama menjadi ketua komite sekolah? Sebenarnya, karena menjalani dengan enjoy, saya tidak merasa ada beban, tidak pernah merasa sulit. Hanya kadang-kadang saya merasa prihatin. Saya ingin berbuat lebih ba nyak, tapi kemampuan saya terbatas. Saya juga salut pada guru-guru di sini, yang begitu sabar. Hari-harinya dihabiskan bersama anak-anak. Kalau dipikir-pikir, saya punya anak satu saja masih butuh banyak bantuan dari keluarga. Sedangkan, di sini satu guru bisa menangani beberapa anak. Itu luar biasa buat saya. Saya sangat hargai. Sejauh ini kesulitannya hampir tidak ada. Saya happy-happy saja. Saya malah senang kalau Ibu Martini, Kepala Sekolah, butuh bantuan saya dan saya bisa bantu.
Bagaimana pelayanan yang diberikan? Apakah sudah merasa puas? Bicara soal pelayanan, sebenarnya kalau dibilang kurang, ya kurang maksimal, sih. Tapi itu sebatas keterbatasan guru-guru dalam menangani mereka. Kalau saya lihat dan boleh mengusulkan, saya ingin dalam satu bulan ini ada dokter gigi yang mau mampir ke sini, memeriksa, melihat gigi anak-anak. Lalu, bulan berikutnya ada dokter umum memeriksa kese hatan anak-anak. Hal tersebut juga berguna untuk memperkenalkan mereka dengan dokter. Anak-anak ini juga kan kalau dibawa ke dokter gigi atau dokter umum sangat sulit. Tapi untuk saat ini, usul tersebut masih terkendala dengan keterbatasan dana. Selain itu, yang sudah dilaksa nakan soal pelayanan, yaitu diberikan makan siang untuk anak-anak. Hal itu saya usulkan atas dasar jam belajar mereka yang cukup panjang. Karena
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 18
5/22/12 7:22 PM
waktu itu saya usulkan agar hari Sabtu diliburkan, otomatis jam belajar di hari lain harus ditambah. Jadi, mereka belajar dari pukul 08.00 sampai 15.00. Dan untuk mendukung aktivitas belajar yang padat, saya usulkan seperti itu. Kan sudah tersedia dapur dan ruang makan. Di asrama sudah ada penanggung jawab satu orang, karena memang yang tinggal di asrama baru tiga anak. Interaksi guru dengan anak-anak sangat baik. Menurut saya, guruguru ini hebat. Tidak ada perbedaan sikap dalam menangani setiap anak. Contohnya, perlakuan guru-guru terhadap anak saya. Mereka perlakukan sama seperti kepada anak-anak lain. Memang dari awal saya sudah katakan, “Saya tidak mau anak saya diistimewakan.”
Pelayanan dalam hal biaya? Bagaimana dengan orang tua yang secara ekonomi kurang mampu? Untuk hal itu, di sini banyak orang tua yang tidak mampu secara ekono mi, sehingga dibebaskan dari biaya SPP. Kan dari pemerintah juga sudah ada bantuan subsidi, seperti dana BOS. Kami manfaatkanlah bantuan itu. Selebihnya, ya dibantu oleh yayasan.
Oh, kalau dibilang kebanggaan sih, ya nggaklah. Saya lakukan ini untuk ibadah. Untuk anak-anak. Kalau dibilang kebanggaan, saya merasa belum banyak berbuat apa-apa untuk anak-anak itu. Tidak seperti jasa guru kepada anak-anak muridnya. Saya hanya turut membantu.
Apa pesan untuk para orang tua dengan anak tunagrahita? Satu hal yang paling penting, luangkanlah waktu untuk anak-anak kita. Saya melihat banyak juga orang
tua yang sulit sekali meluangkan waktu untuk anak sendiri. Sekadar mengambil rapor anak-anak mereka, banyak orang tua yang menyuruh anggota keluarga lain, bahkan pengasuh. Padahal, kedatangan orang tua ke sekolah akan memudahkan komunikasi dan sharing langsung antara guru dan orang tua. Toh, itu semua untuk anak sendiri. Mereka sangat butuh perhatian dan kasih sayang kita, terutama orang tua. n Hilma Awalina
B
UDIARTI lahir di Jakarta, 28 Januari 1955. Ia menikah dengan Sofyan Rais, asal Aceh yang bekerja di Elnusa, 28 Oktober 1977. Mereka dikaruniai tiga buah hati: Nadya Ismoedi (33 tahun), Amal Zaky Sofyan (31 tahun), dan Ziad “Emenk” Risqi (30 tahun). Anak nomor dua, Amal Zaky Sofyan, menjadi anak spesial karena karena menyandang tunagrahita. Tapi kondisi itu tidak mempengaruhi kasih sayang keluarga, bahkan mendorong Bu Yayuk banyak berbuat untuk dunia tunagrahita. Amal berkembang menjadi atlet Special Olympic dan pernah meraih medali emas tingkat Asia-Pasifik dalam olahraga bocci, permainan bola khusus penyandang tunagrahita. Amal menempuh pendidikan formal hingga lulus SMA-LB dan kini mengikuti pelatihan di SLB Unit Latihan Kerja Penca di Lebak Bulus, di mana Bu Yayuk juga jadi ketua komite sekolah. Keluarga Sofyan Rais tinggal di rumah yang nyaman di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
Ibu merasa bangga dengan tanggung jawab ini?
diffa edisi 14 - Februari 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 19
Foto: Sigit D. Pratama
Saya bersama dengan anggota komite yang lain ingin mencari tenaga-tenaga relawan seperti dokter gigi, mahasiswa dari fakultas kedokteran gigi atau umum. Pokoknya pelayanan kesehatan dari pihak lain. Misalnya dari salah satu produsen pasta gigi untuk menjaga kesehatan gigi anak-anak.
Foto: Dok. Humas UGM
Apa rencana ke depan sebagai ketua komite sekolah?
19 5/22/12 7:22 PM
tapak
Berbagi Kasih ala Smile For Children
20
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 20
5/22/12 7:22 PM
K
EBAHAGIAAN bisa lahir dari memberi. Itulah yang dilakukan anak-anak muda Yogyakarta yang bergabung dalam komunitas Smile For Children. Mereka berbagi kebahagian dengan anak-anak penyandang disabilitas dari panti asuhan. Ruang kafe di kawasan Monjali, Yogya, malam 2 Mei 2012 itu lebih ramai dari hari biasa. Rombongan anak-anak istimewa penyandang aneka disabilitas memadati salah satu sudut kafe. Mereka memeriahkan konser amal yang diselenggarakan komunitas Smile For Children. Konser bertajuk Charity for Difable itu untuk mencari dana yang akan disumbangkan ke panti-panti anak berkebutuhan khusus. Ada dua panti yang diundang dan akan mendapatkan sumbangan dana dari acara tersebut, yaitu Panti Asuhan Sayap Ibu dari Kalasan dan Panti Asuhan Bina Remaja dari Monjali.
Komunitas Smile For Children atau SFC terbentuk pada 2 Desember 2011. Mereka sudah melakukan banyak hal untuk berbagi kebahagiaan dengan anak-anak penyandang disabilitas. SFC memiliki 70 anggota aktif dan banyak anggota donatur. Para anggota iuran Rp 25 ribu untuk serangkaian kegiatan, termasuk menyumbang panti asuhan. Komunitas SFC berjalan per periode. Tiga bulan sekali dilakukan pergantian pengurus. Ketua periode ke-2 saat ini Asari Taswin yang biasa dipanggil Mas Ari. Ia juga sedang menggalakkan kegiatan sosial dengan anak panti asuhan berkebutuhan khusus. “SFC ingin berbagi kebahagian dengan cara mengajak anak-anak bernyanyi, sekalian membantu mereka dengan menyumbangkan sedikit dana,� ujar Radin, ketua panitia Charity for Difable. Para pengunjung disuguhi penampilan band-band
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 21
21 5/22/12 7:22 PM
Foto-foto: Lutfi A.
22
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 22
5/22/12 7:22 PM
asal Yogya, di antaranya Kata Kita, Devous, 81 liiv, serta Jony and Friends. Pengunjung juga diajak tertawa lewat penampilan stand up comedy dari Universitas Negeri Yogyakarta. Di pertengahan acara, anak-anak dari Sayap Ibu dan Bina Remaja berpartisipasi memeriahkan acara. Anak-anak berkebutuhan khusus itu menyanyikan beberapa lagu, antara lain “Bunda” ciptaan Melly Guslouw dan “Jangan Mmenyerah” ciptaan D’Masiv. Penampilan mereka disambut tepuk tangan meriah penonron. Menurut Radin, justru anak-anak itu meminta ikut mengisi acara. Panitia langsung mempersiapkan pendukung dan pendamping. Salah satu band juga kemudian mengajak anak-anak bernyanyi bersama. Di tengah keceriaan, panitia menyodorkan kejutan berupa sebuah video serangkaian kegiatan di beberapa
panti sebelum acara konser. Ada rangkaian permainan game, kegiatan outbond, dan sebagainya. Video menampilkan keceriaan anak-anak bercanda dengan anggota komunitas SFC yang membuat anak-anak dan pendamping tersenyum dan tertawa. Selama acara, panitia berkeliling membawa kotak untuk mengumpulkan dana amal dari pengunjung. “Kotak ini adalah kotak ajaib. Seberapa pun kebaha giaan yang Anda masukkan di dalamnya, akan berlipat ganda kebahagiaan yang Tuhan berikan kembali,” ujar Radin. Acara berakhir dengan kegembiraan anak-anak dan para pengunjung kafe serta panitia. Komunitas Smile For Children sukses berbagi senyum kebahagiaan bagi anak-anak penyandang disabilitas. n Lutfi Anandika
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 23
23 5/22/12 7:22 PM
kolom mas bejo
Didi Purnomo
Pojok Disabilitas FX. Rudy Gunawan
24
I
DE untuk memunculkan pojok disabilitas terpercik dalam pembicaraan Mas Bejo di tengah kerja keras awak redaksi diffa yang berjuang memenuhi tenggat waktu atau deadline penerbitan. Mas Bejo hadir di tengah-tengah kesibukan itu karena kebetulan hari “libur kejepit” nasional yang sekarang lebih dikenal dengan istilah cuti bersama. Jadi, pada saat sebagian besar orang Jakarta berlibur ke Puncak, Bandung, Anyer, atau tempat rekreasi lain, para awak redaksi justru bekerja keras tanpa kenal lelah. Itulah dedikasi mereka pada dunia disabilitas. Selain itu, mungkin juga karena orang-orang seperti Mas Bejo dan awak redaksi memang tidak cukup punya uang untuk berlibur. “Hahaha, ya benar sekali itu, Mas Bejo,” sahut salah seorang staf redaksi sambil tertawa keras. Untuk soal kemampuan menertawakan diri sendiri, di kalangan kawan-kawan penyandang disabilitas memang sudah menjadi kemampuan tersendiri, termasuk kalangan yang akrab dan dekat dengan mereka seperti tim redaksi diffa. Mas Bejo pun belajar untuk menertawakan diri sendiri dari mereka. Hidup ini lucu. Itulah kalimat yang sering dilontarkan kawan Mas Bejo, seorang penulis yang bukan penyandang disabilitas. Namun, meski kawan penulis ini sangat meyakini pendapatnya tentang hidup yang lucu itu, Mas
Bejo masih lebih sering melihatnya berwajah murung daripada tertawatawa. Sebaliknya, para penyandang disabilitas yang hidupnya jauh lebih terpuruk, baik oleh keadaan eksternal maupun internal mereka, kerap lebih sering tertawa-tawa, meski itu sekadar menertawakan diri sendiri. Tentu tak semua memiliki kemampuan itu. Banyak juga yang masih “asyik” terpuruk dalam hidup yang penuh kemurungan. Pada akhirnya pilihan ada di tangan kita masing-masing. Namun, bagi mereka yang mau bangkit dari keterpurukan —disabilitas atau bukan—pasti pertama-tama harus bisa belajar menertawakan diri sendiri terlebih dulu. Selanjutnya, upaya kebangkitan atau keluar dari keterpurukan akan bisa menjadi sesuatu yang tidak melulu dipenuhi derai air mata.
Keluar dari Keterpurukan Tema “keluar dari keterpurukan” itulah yang menjadi pintu masuk munculnya ide pojok disabilitas. Selama ini, sepanjang sejarah perjuang an disabilitas di berbagai wilayah atau bidang kehidupan, hanya segelintir penyandang disabilitas yang terekspose oleh media dan kemudian diketahui masyarakat luas. Biasanya itu lebih disebabkan adanya faktor akses pada media yang sangat sedikit dimiliki para penyandang disabilitas. Media massa adalah dunia yang kini lebih banyak dikendalikan oleh hukum dagang dan industri, sehingga jika secara dagang dan industri, dunia disabilitas tidak profitable, atau tidak bisa mendatangkan untung, maka por-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 24
5/22/12 7:22 PM
si peluangnya untuk muncul di media massa menjadi sangat kecil. Padahal, sebenarnya asumsi tersebut juga belum tentu benar, karena secara kasar saja, jumlah penyandang disabilitas di setiap negara lebih kurang 10% dari jumlah total penduduk. Artinya, untuk industri apa pun di Indonesia, angka 25 juta orang adalah potensi pasar yang sangat besar untuk mendatangkan keuntungan. Lepas dari konteks industri besar, para penyandang disabilitas dalam skala sangat kecil selama ini telah berjuang untuk menjadi bagian atau kelompok masyarakat yang juga produktif. Mereka mencoba keluar dari kungkungan keterpurukan sebagai kelompok yang termarginalkan dan terdiskriminasi dengan mengikuti kursus-kursus di balai atau unit latihan kerja sampai memiliki keterampilan untuk memproduksi barang-barang kerajinan yang bisa dijual. Tahap mempelajari suatu keterampilan sampai masuk dalam proses produksi masih merupakan tahapan yang boleh dikatakan menyenangkan, karena belum berhadapan dengan persoalan paling berat dalam dunia industri sesungguhnya, mulai dari permodalan sampai strategi pemasaran. Mas Bejo yang pernah beberapa kali terjun ke dunia bisnis juga merasakan betul betapa susah proses mencari modal dan kemudian proses memasarkan hasil produksi. Nah, dari membahas yang sulit-sulit inilah terlontar ide dari Jonna Damanik, General Manager diffa, yang sangat sederhana namun konkret: pojok disabilitas di mal. “Kita mulai saja dengan menyediakan satu outlet di salah satu mal Jakarta yang mau membantu. Isi outlet itu adalah semua karya kerajinan, aksesoris, pernik-pernik, kaos, dan barang-barang sejenis yang memang dibuat dan diproduksi oleh individu ataupun komunitas penyandang dis-
abilitas. Nah, kita namakan outlet itu sebagai pojok disabilitas atau apalah,� tutur Jonna dengan bersemangat. Mas Bejo pun langsung manthuk-manthuk. “Ide yang luar biasa. Sederhana, konkret, tapi sekaligus mengena dan penting!� Lantas diskusi pun langsung menjadi seru dan serius. Untuk keluar dari keterpurukan kita harus mulai dari satu langkah kecil dulu. Tak usah muluk-muluk, tak usah langsung bermimpi mewujudkan ide-ide besar seketika, karena itu jauh lebih sulit. Lebih masuk akal jika kita memulainya dari ide-ide kecil yang sederhana. Tak perlu modal besar untuk memulai sebuah ide kecil. Semua bisa dilakukan dalam satu networking dari berbagai kelompok atau organisasi yang ada. Itulah poin-poin penting yang muncul dalam diskusi spontan Mas Bejo dengan kawan-kawan redaksi di tengah kesibukan memenuhi tenggat tulisan-tulisan dan hasil liputan lainnya. Kesimpulannya sederhana saja: keluar dari keterpurukan bisa dimulai dengan mendirikan outlet pojok disabilitas di salah satu mal Jakarta.
Konsep Pojok Disabilitas Sederhana saja konsepnya. Mulai dari mencari tempat di salah satu mal yang mau memberikan keringanan, lalu mengajak kerja sama semua jaringan yang memiliki basis atau sentra produksi, membuat seleksi dan workshop standar kualitas, dan akÂhirnya membuka outlet dengan sebuah acara yang dipersembahkan oleh komunitas budaya disabilitas. Dengan konsep sederhana semacam itu, tak perlu waktu lama untuk menginisiasi gagasan ini. Modal yang diperlukan relatif kecil. Selama ini sedikit sekali barang yang dihasilkan komunitas atau individu disabilitas mendapat tempat untuk dipasarkan langsung ke masyarakat. Pojok disabilitas atau apa pun na-
manya nanti, sekaligus akan menjadi pusat informasi dan interaksi masyarakat umum dengan dunia disabilitas. Melalui karya-karya langsung yang akan dijelaskan siapa yang membuat, bagaimana proses produksinya, dan sejarah perjuangannya, masyarakat akan mengenal lebih jauh tentang dunia disabilitas dengan cara yang benar dan mudah. Tidak perlu seminar, diskusi, teori, atau analisis apa pun yang rumit. Cukup dengan menghadirkan karya yang bisa dibeli sekaligus mendapatkan informasi yang akurat. Itulah terobosan kecil, sebuah langkah sederhana yang tidak muluk namun nyata. Setiap bulan sekali bisa diadakan acara-acara kecil menampilkan potensi, kemampuan, dan kiprah para penyandang disabilitas di berbagai bidang sebagai bagian dari perluasan strategi kampanye sekaligus marketing produk-produk yang dijual. Wow! Alangkah keren gagasan ini. Mas Bejo tak henti-henti menguatkan dan mengompori Bang Jonna agar serius segera mewujudkan pojok disabilitas pertama di Jakarta. Tak terasa diskusi spontan itu berlangsung sampai jam makan malam. Dan nasi goreng pun segera dimasak oleh chef andalan diffa, Mas Giatno, yang selalu siap masak dengan bumbu yang ada. Sama seperti gagasan pojok disabilitas yang bisa diwujudkan dengan apa yang sudah ada. Sambil agak kepedasan, Mas Bejo melahap nasi goreng ikan asin yang memang enak itu. Satu pelajaran sederhana Mas Bejo petik: kita bisa berbuat sesuatu kapan saja, tak perlu menunggu jadi kaya raya terlebih dahulu. Syaratnya cukup dengan kreativitas, niat, dan kesungguhan hati. Selebihnya tinggal mengerjakannya. Jadi, mari kita wujudkan. Let’s do something! n FX Rudy Gunawan
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 25
25 5/22/12 7:22 PM
sosok
Maghfur Rondi
Lukisan Pembangkit Spirit
M
Foto-foto: Andika P.D
AGHFUR Rondi mengalami koma dan lumpuh karena ugal-ugalan di jalanan. Akibat kecelakaan itu dia tenggelam dalam keterpurukan. Sampai kemudian sahabat tunanetra membangkitkan semangatnya. Dan semangat itu menjelma jadi lukisan.
Maghfur Rondi mengalami koma dan lumpuh karena ugalugalan di jalanan. akibat kecelakaan itu dia tenggelam dalam keterpurukan. Sampai kemudian sahabat tunanetra membangkitkan semangatnya. Dan semangat itu menjelma jadi lukisan.
26
Seekor kerbau besar kokoh di tengah sawah yang segar. Kerbau abuabu dengan otot yang kuat itu seakan hendak menunjukkan tekad tak kenal lelah. Areal persawahan yang baru selesai dibajak memberi harmoni yang menyejukkan. Komposisi kerbau dengan areal persawahan itu sebenarnya tidak nyata. Tidak ada. Itu hanya ada dalam imajinasi Maghfur Rondi, seorang tunadaksa dengan kelumpuhan dari dada hingga ke bawah karena kecelakaan. Dan imajinasi kemudian ia goreskan dalam permainan warna cat di atas kanvas. Ya, lahirlah lukisan kecil dengan dimensi 30 cm x 40 cm. Lukisan yang cantik. Siapa sangka pemuda berusia 23 tahun ini baru menekuni dunia lukis pada Januari 2012?
Remuk Karena Kecelakaan Ya, Maghfur Rondi belum lama menekuni seni lukis. Sebelumnya Rondi hanyut dalam keterpurukan. “Dunia saya hancur begitu saya mengalami kecelakaan sembilan tahun
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 26
5/22/12 7:22 PM
lalu. Saya hanya mengurung diri dikamar. Baru pada Januari lalu saya belajar melukis dan langsung jatuh cinta pada dunia lukis,” ujarnya sambil tersenyum, mengenang masa sulitnya. Keterpurukan Rondi berawal dari jalanan. Dia mendapatkan motor baru dari ayahnya, yang membuat Rondi yang ketika itu baru berusia 14 tahun lupa diri. Setiap hari dia meluncur di jalanan dengan kecepatan tinggi. Hingga kemudian kecelakaan pada Desember 2004 mengubah hidupnya seketika. “Tiga hari saya koma, tidak ingat apa-apa. Bahkan untuk mengingat saya menabrak apa pun saya tidak tahu. Memori saya hilang separo. Ibu yang memberi tahu bahwa orang yang saya tabrak meninggal seketika,” tutur Rodi dengan mata berkaca-kaca. Ketika sadar pun, Rondi tidak berdaya. Tulang ekornya hancur
yang mengakibatkan tubuh bagian dada ke bawah lumpuh. Rondi mulai merasakan duka dan penyesalan yang amat dalam. Meskipun sang ibu, Siti Musaadah, terus memberinya dukungan, Rondi telanjur patah dan hilang semangat. Sekolahnya tidak dilanjutkan, meskipun ketika itu sudah kelas III madrasah tsanawiyah. Hari-hari Rondi benar-benar hanya sebatas kamar di rumahnya yang kecil di Desa Lebosari, Krajan Kidul, Kecamatan Kangkung, Kendal, Jawa Tengah. Sampai kemudian Rondi berkenalan dengan Basuki, penyandang tunanetra yang kemudian menjadi sahabat matanya. “Sahabat mata” berarti orang yang butuh bantuan dalam hal penglihatan. Bertemu dengan Basuki membuat mata dan pikiran Rondi terbuka. “Kalau Mas Basuki yang tidak bisa melihat saja bisa berkarya, kenapa aku yang masih
diberi kesempatan untuk hidup justru larut dalam kesedihan?” ujar Rondi mengungkapkan awal kebangkitan semangatnya. Spirit kebangkitan dan naluri survival serta kegelisahan eksistensi yang ditularkan Basuki kemudian mendorong Rondi kembali terpikir menekuni dunia lamanya. Dunia masa kecilnya adalah suka mencoret-coret dinding rumah dan menggambar. Dunia yang memberinya kegembiraan. Masuklah Rondi ke ruang seni lukis. Melihat semangat Rondi bangkit, ibunya pun senang dan mendukung. Rondi dibelikan peralatan melukis. Dan dengan bantuan semangat adik-adiknya, Robitul Ikhwan, Robiah Aldawiyah, dan Imam Romli, jadilah lukisan pertama Rondi, sawah dan kerbau dengan komposisi indah itu. “Tanpa bantuan adik-adikku, aku
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 27
27 5/22/12 7:22 PM
tak akan mampu menjadi seperti ini. Merekalah yang memberi aku semangat untuk terus berkarya,� ujarnya. Rondi merasa, sebagai anak sulung harus mempunyai semangat untuk memberi contoh kepada adikadiknya.
Semangat dan Harapan Meskipun baru menekuni seni lukis secara serius sejak Januari 2012, Rondi sesungguhnya memang dianugerahi talenta sejak kecil. Cuma, karena asyik dengan sekolah, bermain, dan kemudian tenggelam dalam frustrasi, dia tidak pernah terpikir menekuni kembali kegemaran dan talenta itu. “Sebelum kecelakaan, kalau di sekolah, ya paling banyak belajar pengetahuan umum, IPA, matematika, bahasa, dan lain-lain. Namun untuk melukis nggak pernah,� ujarnya. Kini Rondi sadar, bakat dan kegemaran di masa kecil, seperti hobinya mencoret-coret gambar, mungkin akan bisa memiliki nilai kalau kita sudah dewasa. Rondi juga berpikir, seseorang tidak akan menjadi sesuatu jika tanpa karya. Dan dia memilih berkarya melalui lukisan. Hingga kini Rondi sudah menghasilkan sekitar tujuh lukisan, yang semuanya bertemakan alam. Seluruhnya lukisan itu beraliran naturalis. Dengan penuh semangatnya untuk belajar, Rondi terus mencoba mematangkan teknik melukisnya. Bahkan dalam kondisi kelelahan seka-
28
lipun, tangannya masih tetap lincah memainkan kuas. Bulan Mei ini, misalnya, dia mesti menyelesaikan empat lukisan dalam seminggu untuk diikutkan sebuah festival budaya. Soal spirit, Rondi mengakui peran Basuki sangat vital. Sebagai sesama penyandang disabilitas, meski disabilitas berbeda, Rondi merasa Basuki berhasil membangkitkan kegelisahan eksistensinya. “Meskipun tidak bisa melihat, orangorang mengenal Mas Basuki. Bahkan Mas Basuki lebih terkenal dibanding orang-orang normal di kampungnya. Saya ingin juga terkenal, melebihi teman-teman sekolah saya dulu,� kata Rondi. Karena barua berkecimpung di dunia lukisan, Rondi juga tidak mematok harga tinggi untuk lukisannya. Dia berharap lukisannya mampu menjadi sumber penghasilan dan penghidupannya kelak. Tentu saja Dan Rondi punya hak untuk itu. Lebih dari itu, dia sudah menunjuk-
kan menjadi penyandang disabilitas tidak berarti kiamat, kalau mau bangkit. Dan, memang harus bangkit! n Andhika PD
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 28
5/22/12 7:22 PM
Jangan Mengaku Sudah Memahami Disabilitas Kalau Belum Membaca
Majalah diffa
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 29
29 5/22/12 7:22 PM
piranti Difmonkey
Mouse dan Keyboard untuk Kaki
T
IM mahasiswa Teknik Industri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menciptakan perangkat mouse dan keyboard komputer untuk penyandang disabilitas yang mengalami masalah dengan tangan atau tubuh bagian atas. Perangkat yang dinamai Difmonkey (difable mouse and
30
keyboard) ini mendapat penghargaan internasional di Bangkok. PT Telkom pun mensponsori agar perangkat unik ini bisa diproduksi untuk membantu para penyandang disabilitas.
Terpilih ke Bangkok Menurut Reza Bayu, mahasiswa Jurusan Teknik Industri UGM ang-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 30
5/22/12 7:22 PM
Asia (International Convention on Rehabilitation Engineering and Assistive Technology) itu dilaksanakan di Bangkok, Thailand, Juli 2011. Dalam konferensi tersebut terdapat rangkaian ke giatan untuk mahasiswa, Student Design Challenge, yaitu eksibisi dan kompetisi ide untuk rehabilitasi dan teknologi bantu untuk disabilitas. Rheza Adipratama kemudian mengajak Reza Bayu mencoba mengikuti Student Design Challenge. Reza tertarik dan mengajak dua teman lain, Sunu Wicaksono, mahasiswa Teknik Industri 2007, dan Helmi Andang Kurniawan, mahasiswa Teknik Industri 2009. “Kami mulai berkumpul, mencari ide dan membuat proposal kompetisi,” tutur Reza Bayu. Akhirnya, muncul ide membuat mouse dan keyboard yang dioperasikan dengan kaki untuk orang yang menyandang disabilitas tubuh bagian atas. “Kami memberinya nama Difmonkey.” Setelah ide terbentuk, para mahasiswa itu merancang konsep dan segera menyelesaikan proposal. ”Proposal kami kirim pas pada hari deadline,” kenang Reza Bayu. Dan, surprise, sebulan kemudian mereka menerima pemberitahuan lolos dalam Student Design Challenge bersama 20 kontestan lain dari Singapura, Thailand, dan India. katan 2008, awal mula penciptaan Difmonkey bermula dari teman seangkatannya, Rheza Adipratama, yang melihat informasi mengenai konfe rensi internasional tentang disabilitas di jejaring sosial Facebook. Informasi itu di-posting dosen mereka, Budi Hartono. Konferensi internasional iCreate
Didukung Telkom Reza dan kawan-kawan dari tim Teknik Industri UGM berangkat ke Bangkok dengan bimbingan Budi Hartono, arahan semua dosen, dan dukungan dari pihak kampus, baik dukungan finansial maupun jaringan, seperti KBRI di Thailand. Di sana,
mereka mengikuti eksebisi SDC dalam iCreate Asia selama tiga hari. Hari pertama, mereka presentasi Difmonkey. Hari kedua, eksibisi. Dan hari ketiga presentasi kepada Her Royal Highness Thailand. Pada eksibisi, peserta memamerkan prototipe dari ide masing-masing. Tim UGM membawa perangkat prototipe Difmonkey hasil mitra produksi dengan unit usaha open source UGM dan sebuah perusahaan otomotif di Yogyakarta. Pada eksebisi ini tim UGM bertemu dengan tim dari PT Telkom Indonesia, yang juga mempresentasikan karyanya. Karya tim UGM mendapat tanggapan baik dari peserta konferensi. Seusai konferensi, tim UGM diminta mempresentasikan Difmonkey di ASIA TV dalam program “ASIA Talks”. Pemerintah dan masyarakat Thailand memang dikenal sangat memiliki atensi terhadap persoalan disabilitas. Setelah segala aktivitas di Thailand selesai, tim Teknik Industri UGM kembali ke Indonesia. Selang satu bulan, Rheza menerima e-mail dari PT Telkom. Isinya, Telkom tertarik bekerja sama dalam program Difmonkey sebagai bentuk program corporate social responsibility (CSR) Telkom dan bakti untuk kampus. Reza dan kawan-kawan segera menyambut dan terjalinlah perjanjian kerja sama dalam pengembangan Difmonkey. Untuk melaksanakan proyek pengembangan Difmonkey, Reza dan tim dibantu 16 rekan mahasiswa dari Teknik Industri UGM. Bentuk proyek terdiri atas pengembangan perangkat Difmonkey (desain, ergonomi, fungsi, kualitas) dan implementasi (workshop, seminar, coaching) kepada tar-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 31
31 5/22/12 7:22 PM
get penyandang disabilitas di sekitar Yogyakarta. Bentuk pengembangan, semula Difmonkey 1 hanya produk dengan konsep alphanumeric, seperti keyboard handphone konvensional (nonqwerty). Kemudian dikembangkan menjadi Difmonkey 2, dengan konsep model keyboard qwerty dan mouse touchpad seperti di laptop. Namun, biaya Difmonkey 2 menjadi dua kali lipat, sekitar Rp 10 juta. Karena itu diluncurkan Difmonkey 3, gabungan Difmonkey 1 (keyboard alphanumeric) dan Difmonkey 2 (mouse touchpad) dan biayanya kembali ke awal, sekitar Rp 5 juta. Selanjutnya dilakukan user testing (test ergonomi dan penggunaan) seberapa cepat produk tersebut dapat dipelajari pengguna awal, seberapa efektif, dan seberapa puas pengguna menggunakan produk. Setelah itu, ditetapkan desain fix dari pengembangan dan penelitian tersebut, dan segera diproduksi 10 produk Difmonkey. Setelah itu, menuju implementasi yang nantinya terdapat serangkaian acara seperti workshop, seminar, atau coaching terkait Difmonkey ataupun dalam bentuk forum diskusi. Rencananya, program CSR ini dilakukan dalam tempo delapan bulan, terhitung dari penandatang anan perjanjian kerja sama. Saat ini perjanjian kerja sama sedang dalam proses revisi dan penandatanganan. Rencananya akhir Mei 2012 proyek siap dilaksanakan.
CSR untuk Disabilitas Andreas W. Yanuardi dari Business Research & Development Center PT Telkom Bandung, mengatakan pihaknya berkomitmen mendukung pengembangan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan melalui program CSR. Salah satu program CSR untuk orang berkebutuhan khusus
32
adalah i-CHAT (I Can Hear and Talk), yaitu aplikasi dan portal untuk pembelajaran bahasa bagi tunarungu yang diluncurkan 18 April 2010. Aplikasi ini dibagikan kepada seluruh SLB di Indonesia secara gratis. Menurut Andreas, tim Telkom bertemu dengan tim UGM pada event i-CREATe 2011 di Bangkok. i-CREATe merupakan wadah bagi para researcher, engineer, serta akademisi -- termasuk para profesional -- di Asia untuk mempresentasikan dan sharing atas kegiatan riset dan aktivitas pengembangan aplikasi yang berkaitan dengan rehabilitasi dan teknologi untuk membantu orang-orang berkebutuhan khusus. Pada event tersebut tim Telkom mempresentasikan paper “Multimedia Sign Language Dictionary for The Deaf and Hard of Hearing�. Saat penyusunan rencana dan kegiatan Telkom untuk tahun 2012, Andreas dan teman-teman Business Research & Development Center Telkom Bandung menyampaikan kepada unit Community Development Center (CDC) di kantor pusat Jakarta, rencana kegiatan CSR Telkom untuk masyarakat berkebutuhan khusus, yaitu pendampingan i-CHAT yg saat ini sudah
masuk versi 3 dan kerja sama dengan tim UGM untuk pengembangan Difnonkey bagi masyarakat disabilitas tunadaksa. Rencana kerja sama itu disetujui. Menurut Andreas, saat ini kerja sama pengembangan dan implementasi Difmonkey memasuki tahap perjanjian kerja sama yang akan segera ditandatangani. Kerja sama meliputi pembuatan prototipe Difmonkey sesuai hasil diskusi tim UGM dan tim Telkom. Uji coba Difmonkey kepada yayasan, SLB, komunitas tunadaksa dan pembuatan atau produksi Difmonkey sesuai hasil uji coba untuk beberapa institusi disertai pemberian bantuan komputer. Dana untuk kegiatan pengembangan dan implementasi Difmonkey menggunakan dana kegiatan CSR Telkom. Semoga dukungan PT Telkom untuk Reza dan kawan-kawan dari tim Teknik Industri UGM untuk pengembangan dan memproduksi Difmonkey berjalan lancar. Dan Difmonkey menjadi sumbangan yang berarti bagi masyarakat disabalitas Indonesia, khususnya penyandang tunadaksa. n Nestor
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 32
5/22/12 7:22 PM
Foto-foto: Tim Teknik Industri UGM
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 33
33 5/22/12 7:23 PM
Nantikan... LOMBA CIPTA LAGU DISABILITAS
ORGANIZED BY
diffa SETARA DALAM KEBERAGAMAN
34
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 34
5/22/12 7:23 PM
sudut pandang
Jiwa yang Bergerak Esai Foto oleh Sigit D Pratama
nP
Ada belahan tubuh yang terasa hampa. Ketika mata tak bisa melihat dunia. Ketika telinga tak bisa mendengar, dan mulut tak bisa berkata-kata. Ketika akal tak mampu memahami. Atau tubuh lumpuh tak berdaya. Tapi tubuh punya roh dan jiwa. Dan ketika sekelompok seniman membagikan roh. Jiwa-jiwa pun bergerak. Lihatlah, gadis-gadis kecil down syndorame bisa menari. Si tunarungu berpantomim dan melukis. Tunadaksa dan tunanetra menghasilkan benda seni. Seni dari jiwa-jiwa yang bergerak. Bergerak! Opung Nestor
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 35
35 5/22/12 7:23 PM
36
diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 36
5/22/12 7:23 PM
diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 37
37 5/22/12 7:23 PM
apresiasi
Sudut Pandang “Taman“ dari Seorang Tunanetra Judul Buku : Penulis : Penerbit : Halaman :
T
AMAN dalam pandangan kita pada umumnya adalah suatu tempat yang hijau, teduh, rimbun, penuh warna-warni bunga, tempat duduk-duduk, atau tempat bermain anak-anak. Itulah yang ada dalam bayangan kita tentang taman. Namun, dalam Taman Dalam Gelap, buku kumpulan sajak Irwan Dwikustanto, kita akan menemukan makna taman dari sudut pandang yang berbeda. Penyair tunanetra ini mempunyai persepsi dan mempunyai cara tersendiri dalam menggambarkan taman lewat baris-baris puisinya. Meskipun tak pernah menyaksikan taman yang sesungguhnya, karena sejak lahir tunanetra, Irwan dengan sebebas-bebasnya mengambarkan taman dengan indera rasa, dengan pendengaran, dengan sentuhan, dan mungkin yang lebih dalam lagi… dengan mata hati! Maka, saat membaca puisipuisi dalam buku ini, kita dapat
38
Taman Dalam Gelap Kumpulan Sajak Seorang Buta Irwan Dwikustanto Spasi Media 106 + xvi hal.
merasakan nuansa yang berbeda. Kita seperti diajar melihat alam dan kehidupan lewat indera rasa. Lihatlah, bagaimana Irwan mengajak kita melihat dengan “pendengaran” dalam sajak “Keluh”: Waktu senja menggumam padamu Di taman itu aku bisu Bayang-bayang angin menjelma rumpun bambu Duduk di antara kita termangu Irwan mengajak kita melihat kehidupan lewat kegelapan dan kesunyian melalui 93 puisi yang terhimpun dalam buku kumpulan sajak pertamanya sendiri. Sebelumnya ia menerbitkan buku kumpulan puisi Angin Pun Berbisik bersama istri (Siti Atmamiah) dan anaknya (Zeffa Yurihana). Dalam 93 puisi itu Irwan mengungkapkan berbagai rasa. Dari rasa syukur atas jasa huruf Braille dan tongkat putih, hingga kegalauan pada belantara Jakarta yang tak ramah bagi seorang penyandang disabilitas seperti
dia. Kegelisahan akan cita-cita, keterpurukan kondisi, semangat untuk mewujudkan mimpi, hak mencintai dan dicintai. Semua itu menjadi bahan renungan dalam puisi-puisi Irwan. Buku kumpulan puisi ini mendapat apreasi dari penyair yang juga dosen Sastra UI Ibnu Wahyudi, yang memberi catatan pengantar buku. tersebut menga ku kagum atas pilihan kata dan penggambaran suasana puisi-puisi Irwan yang benar-benar membawa pembaca pada nuansa yang berbeda. Kemampuan puitik Irwan memang tak perlu diragukan. Banyak puisinya dari buku Angin Pun Berbisik dimusikalisasi. Lebih dari itu, Irwan Dwikustanto telah menunjukkan bahwa menyandang disabilitas tunanetra tidaklah menghambatnya menjadi penyair yang awas dan tajam melihat situasi dan kondisi sosial. Ia telah menunjukkan disabilitas itu: bisa! n Jonna Damanik
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 38
5/22/12 7:23 PM
jejak
Belajar dari Kesultanan Tidore
I Foto-foto Sidit D Pradana
NDONESIA adalah negara kepulauan. Tidore salah satu pulau di kawasan Maluku Utara yang masih memelihara dan menjaga keaslian budaya, sistem sosial-ekonomi, dan kemandirian dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki. Salah satunya yang terkenal adalah cengkeh. Adi, seorang anak muda Tidore, menjelaskan dengan bangga bahwa di Tidore kehidupan masyarakat masih teguh berpegang pada budaya asli Kesultanan Tidore dan perekonomian tidak tergantung pada peranan pihak luar. “Di Tidore pendatang pun masih sangat sedikit dibandingkan dengan daerah lain di Maluku Utara,� ujarnya. Dibandingkan dengan Ternate misalnya, pendatang jauh lebih banyak dan para anak muda pun sudah lebih bergaya metropolitan. Tempat hiburan seperti karaoke sudah banyak terdapat di Ternate, sedangkan di Tidore tak ada satu pun.
diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 39
39 5/22/12 7:23 PM
Dari Pelabuhan Ternate ke Tidore hanya berjarak tempuh 15 menit de足 ngan menumpang speed boat. Laut biru kehitaman pun seperti aspal keras saat diterjang speed boat dengan kecepatan tinggi. Setiap penumpang hanya dikenai biaya Rp 8 ribu untuk sampai ke Pelabuhan Rum, Tidore. Sesampai di Pelabuhan Rum, ada dua pilihan angkutan untuk mencapai kota Tidore. Kita bisa naik angkutan umum atau menyewa ojek motor. Naik angkutan umum akan makan waktu lebih lama tentunya. Jadi, jika bergegas atau waktu terbatas, lebih
40
baik naik ojek dengan biaya Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu tergantung tujuan jarak tempuh. Untuk beberapa tujuan sekaligus dan ditunggu oleh abang tukang ojek, kita harus merogoh kocek sekitar Rp 50 ribu. Kita bisa berhenti pertama di benteng peninggalan Portugis, Tangga Seribu, Keraton Kesultanan Tidore, dan air terjun, serta putar-putar kota. Tak banyak tempat wisata atau situs sejarah dan budaya di Tidore karena kotanya kecil saja. Hanya butuh waktu 2 jam saja untuk berkeliling kota de足足ngan naik ojek.
Kesultanan Tidore Kesultanan Tidore mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa kekuasaannya (1797 - 1805), wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai tanah Papua. Wilayah sekitar Pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 40
5/22/12 7:23 PM
Nau, Nuku Oro, dan Nuku Nono. Itu terjadi pada masa-masa kejayaan Tidore. Namun, sebagai jejak sejarahnya, hingga saat ini masih ada sebuah kampung yang penduduknya lebih mirip orang Papua daripada orang Tidore. Saat ini mereka telah menjadi bagian dari suku-suku yang ada di masyarakat Tidore. Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan telah ditata dengan baik. Saat itu Sultan (Kolano) dibantu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syaraa, adat Nakudi. Dewan ini dipimpin Sultan dan pelaksana tugas diserahkan kepada Joujau (Perdana Menteri). Anggota Dewan Wazir terdiri atas Bobato Pehak Raha (Bobato Empat Pihak) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato bertugas mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan
Wazir. Sistem dan struktur pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Tidore pada masa lampau cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan Sultan. Menariknya, di keempat Kerajaan di jazirah Maluku Utara yang dikenal dengan Moloku Kie Raha�, yaitu Kerajaan Jailolo, Kerajaan Bacan, Kerajaan Ternate, dan Kerajaan Tidore, tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di kawasan Nusantara. Seleksi seseorang untuk menjadi Sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri atas Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum, dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi Sultan Tidore.
Ampat dan Pulau Seram Timur. Menurut beberapa tulisan di berbagai situs internet, kekuasaan Tidore sampai ke beberapa kepulauan di Pasifik Selatan, di antaranya Mikronesia, Melanesia, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marianas, Kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 41
41 5/22/12 7:23 PM
Saya mengunjungi Tidore dalam kesempatan berkeliling ke beberapa pulau di kawasan Halmahera Utara. Satu kesan yang menancap kuat, selain pemandangan laut dan gunung yang indah, adalah kehidupan masyarakat yang ditopang dan berfondasi kearifan lokal yang ternyata tetap relevan menjawab tantangan zaman. Saat banyak kearifan lokal dari berbagai daerah mulai teronggok, dianggap usang, dan ditinggalkan oleh masyarakat yang terbius racun modernitas, sepertinya kita perlu menengok kembali nilai-nilai kearifan lokal. Di Tidore, penghormatan pada kearifan lokal sebagai tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat terasa masih kental. Adat istiadat masyarakat berpegang pada kearifan itu dengan pemahaman yang jernih bahwa nilai-nilai itu bisa menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Baik
42
Foto-foto Sidit D Pratama
Kearifan Lokal
dalam hubungan sesama manusia maupun hubungan manusia dengan alam. Inilah pelajaran penting yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi semua wilayah lain di Indonesia. Atau bagi Indonesia secara keseluruhan sebagai satu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekadar informasi: Presiden pertama RI Soekarno semula ingin memasukkan seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Tidore pada masa kejayaan
menjadi bagian dari NKRI, namun akhirnya diputuskan hanya bekas jajahan kerajan Belanda yang menjadi wilayah RI. Soekarno pernah berkata, “…Tanpa Tidore, tak akan ada lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke’….” Ya, itulah pesan penting yang tak boleh kita lupakan. Terutama jika kebetulan Anda melancong ke Tidore. n FX Rudy Gunawan
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 42
5/22/12 7:23 PM
Foto-foto: Athurtian
ragam
Pelatihan Manajemen Sehjira
Y
AYASAN Tunarungu Sehat Jiwa Raga (Sehjira) bekerja sama dengan Disability Right Fund menggelar Training Capacity Building 2 untuk para penyandang tunarungu dan organisasi disabilitas lain. Pelatihan ini bertujuan agar para tunarungu, khususnya dan aktivis organisasi disabilitas umumnya, lebih memahami pengelolaan keuangan perusahaan atau organisasi. Pelatihan diadakan di Gedung Rektorat Universitas Mercu Buana, Puri Kembangan, Jakarta Barat, 17 Mei 2012. Menurut Revita, ketua pelaksana, pelatihan ini merupakan acara lanjut an dari Training Capacity Building 1. Pelatihan pertama lebih mengarah pada kegiatan secara internal, antara lain bagaimana membuat artikel dan pembahasan mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Sedangkan pelatihan ke-2 lebih terfokus pada ma nagemen atau kesekretariatan, meliputi administrasi, keuangan, monitoring hasil kerja laporan, dan sebagainya. Pelatihan diikuti sekitar 40 peserta dari organisasi disabilitas, menampilkan dua pembicara, yaitu
Drs H Nasrudin Hasibuan dan Asep Supena dari Universitas Negeri Jakarta. Asep Supena menyampaikan, dalam pengelolaan organisasi atau perusahaan perlu dua hal utama. Pertama, pemimpin. Kedua, manajemen yang mengatur seluruh keiatan organisasi atau perusahaan. “Kedua hal tersebut saling berkaitan dan membuat organisasi berjalan dengan baik. Tanpa keduanya tidak mungkin organisasi atau perusahan bisa berjalan. Kalaupun berjalan, pasti menuju suatu kehancuran,” kata Asep. Yayasan Sehjira mengundang banyak organinasi penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan ini, antara lain PPCI, HWPCI, PPUA, Pertuni, dan Portupencanak. “Peserta pelatihan tidak dipungut biaya. Biaya dari saya pribadi,” kata Rachmita M Harahap, pendiri dan Ketua Yayasan Sehjira. Majalah diffa ikut berpartisipasi dengan membagikan majalah secara gratis kepada semua peserta. n Athurtian
diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 43
43 5/22/12 7:23 PM
Foto-foto: Athurtian
Hidup Tenang Tanpa Glaukoma
belum mengerti tentang
M
Mata Aini Farida Sirlan mengatakan,
obat mata yang bisa melebarkan pupil.
glaukoma. Glaukoma
penduduk Indonesia yang mengidap
Tidak emosional berlebihan. Tidak be-
salah satu jenis penyakit mata dengan
kebutaan mencapai 1,5 persen dari
rada di tempat gelap atau remang-re-
gejala tidak langsung, yang secara
jumlah penduduk. Penyebab kebutaan
mang. Semua itu, selain faktor genetis,
bertahap menyebabkan pandangan
paling banyak katarak dan glaukoma.
dapat dapat menyebapkan glaukoma
atau penglihatan semakin berkurang
“Kebutaan yang terjadi akibat katarak
secara tidak langsung.
dan bisa menyebabkan kebutaan. Hal
bisa disembuhkan dengan melakukan
ini disebabkan saluran cairan yang
operasi dan penglihatan bisa kembali
dari Yayasan Glaukoma Indonesia,
keluar dari bola mata terhambat, se-
pulih. Glaukoma menyebabkan kebu-
perwakilan WHO Indonesia, serta ma-
hingga bola mata akan membesar dan
taan total dan kebutaan permanen.”
syarakat umum. Masyarakat umum
ASIH banyak orang
Direktur Utama Rumah Sakit
menekan saraf di belakang bola mata.
Dokter Amyta Miranty, ketua
lain tidak sembarangan meneteskan
Acara dihadiri sekitar 70 peserta
dikenakan biaya Rp 50.000 sebagai
Akhirnya saraf mata tidak mendapat-
pelaksana seminar yang juga salah satu
pengganti konsumsi. Pada kesempa-
kan aliran darah dan mati.
pembicara, mengingatkan masyarakat
tan itu Rumah Sakit Mata Aini juga
akan pentingnya penglihatan dan men-
memberikan pelayanan gratis peme
Internasional sekaligus hari jadi
Memperingati Hari Glaukoma
jaga penglihatan dengan pemeriksaan
riksaan mata dan cek gula darah.
ke-32 Rumah Sakit Mata Aini Jakarta
reguler di rumah sakit. Pembicara lain dr
pada Sabtu 5 Mei 2012 mengadakan
Srinagar M Ardjo, dr Rudi Putranto, dan
sering diadakan, untuk menyadar-
seminar tentang glaukoma. Seminar
perwakilan Yayasan Glaukoma Indone-
kan masyarakat bahwa penglihatan
bertema “Jangan Biarkan Hidupmu
sia.
sangat penting,” kata Monang, peserta
Gelap dengan Glaukoma” ini untuk
Dokter Srinagar menjelaskan be-
“Kalau bisa acara serupa lebih
seminar yang juga penderita glau-
menyadarkan masyarakat bahwa
berapa jenis glaukoma dapat menyerang
koma.
glaukoma bisa menyerang siapa saja
mata secara perlahan dan mengungkap-
n Athurtian
tanpa terkecuali.
kan beberapa cara pencegahan. Antara
44
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 44
5/22/12 7:23 PM
IDDC, Komunitas Disabilitas Baru
L
berharap banyak dukungan dari anak-anak muda mahasiswa ini,” ujar ibunda Habibie Afsyah ini. Seperti ketika pencanangan di Plaza Semanggi, dalam peresmian komunitas dan peluncuran website IDCC di Taman Bacaan Masyarakat Blok M-Mall, hadir perwakilan berbagai komunitas disabilitas dan kelompok mahasiswa pemerhati disabilitas dari berbagai kampus. Peresmian komunitas dan peluncuran website yang bersamaan dengan perayaan Hari Kebangkitan Nasio nal itu menampilkan tiga narasumber: wartawan senior majalah diffa Nestor Rico Tambunan, penulis dan pakar creative parenting Melly Kiong, dan komisioner Komnas HAM penyandang tunanetra Dr. Saharuddin Daming. Masukan dari para narasumber diharapkan menjadi bekal bagi para pengurus dan aktivis pendukung IDCC. Selamat datang di dunia perjuangan disabilitas. Kita pasti… bisa! n Nestor
Foto-foto: Nestor
AHIR lagi komunitas baru di bidang disabilitas, Indonesia Disabled Care Community atau IDCC. Kelahiran komunitas ini dicanangkan di Learning Lounge, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, 5 Mei 2012. Peluncurannya dilaksanakan di Taman Bacaan Blok M-Mall, Kebayoran, Jakarta Selatan, 20 Mei 2012. Pendirian IDCC dimotori Habibie Afsyah dan Endang Setyati dari Yayasan Habibie Afsyah. Pencanangan di Plaza Semangi dihadiri perwakilan berbagai komunitas disabilitas, antara lain Yayasan Tunarungu Sehjira, Panti Bina Daksa Pondok Bambu, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Sampoerna Education School, Universitas Trisakti, Unindram, dan UNJ. Juga hadir perwakilan komunitas disabilitas dari Solo dan beberapa pemerhati disabilitas, antara lain Nestor Rico Tambunan dari majalah diffa. Menurut Endang Setyati, tujuan pendirian komunitas ini untuk lebih menyatukan gerak dan semangat dalam menggerakan disabilitas di Indonesia. “Kita
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 45
45 5/22/12 7:23 PM
konsultasi pendidikan
Perlukah Ujian Nasional untuk Siswa SLB? Pak Asep yang terhormat, Saya Netty, guru sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra. Saya sudah mengajar sekitar lima tahun. Saat awal saya mengajar, beberapa senior mengatakan SLB untuk tunanetra, khususnya tingkat SMP dan SMA, lebih diperuntukkan mereka yang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah umum secara inklusif. Mereka adalah siswa tunanetra yang juga memiliki disabilitas lain, misalnya tunanetra dan tunarungu serta tunanetra dan hambatan kecerdasan. Sedangkan pada tingkat sekolah dasar, SLB untuk tunanetra juga berperan menyiapkan siswa tunanetra – yang tak memiliki disabilitas lain – agar dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum secara inklusif. Dalam praktiknya, sekolah kami memang menjalankan itu. Siswa tunanetra di SLB kami sebagian mengalami disabilitas ganda. Selain tunanetra, mereka juga memiliki hambatan kecerdasan atau hambatan dalam interaksi sosial. Dengan kondisi siswa SLB yang semacam ini, menurut saya tidak lah tepat jika sistem pendidikan kita menerapkan ujian nasional untuk siswa tunanetra di SLB. Apakah pendapat saya ini benar? Mohon penjelasan Pak Asep. Penjelasan ini sangat penting bagi saya, agar dapat menyikapi pencapaian siswa-siswa dengan lebih tepat. Saya menyadari, se bagai guru saya harus mengikuti sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah. Namun, memiliki pemahaman yang benar akan membantu saya dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai guru di SLB dengan lebih baik. Terima kasih.
46
P
Ibu Netty yang baik, ELAKSANAAN pendidikan di SLB memang masih menghadapi sejumlah persoalan. Salah satunya persoalan yang Ibu tanyakan. Saya sependapat, tunanetra yang cukup cerdas memang sebaiknya difasilitasi untuk menempuh pendidikan di sekolah reguler secara inklusif. Hal ini terutama untuk siswa tunanetra pada tingkat SMP dan atau SMA. Alasan yang melatarbelakangi pemikiran ini, karena tunanetra yang memiliki kecerdasan cukup, apalagi yang di atas rata-rata, sangat mungkin untuk melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi. Dan untuk bisa melanjut ke perguruan tinggi, mereka harus berasal dari SMA umum atau yang biasa disebut SMA inklusif. Mengapa begitu? Karena kurikulum SMA/LB tunanetra (SMA yang ada di SLB) tidak sama dengan kurikulum SMA reguler. Kurikulum SMA/LB tunanetra lebih banyak mengandung muatan keterampilan daripada materi akademik. Artinya, siswa SMA/LB tunanetra lebih dipersiapkan untuk menguasai keterampilan yang akan bermanfaat untuk kehidupan di masyarakat. Dengan demikian, tunanetra yang memiliki kemampuan akademik relatif kurang dan diprediksi tidak dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi, memang lebih disarankan sekolah di SMA/LB daripada di SMA reguler. Per-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 46
5/22/12 7:23 PM
Dr. Asep Supena, M.Psi
tulis Braille, kemampuan orientasi dan mobilitas, penanaman konsepkonsep yang membutuhkan peralatan dan strategi khusus. Hal-hal tersebut umumnya tidak tersedia di SD umum dan hanya ada di SLB. Pertanyaannya, apakah seperti itu format kurikulum SLB yang dianggap ideal? Ini merupakan pertanyaan penting yang harus terus dikaji dan didiskusikan. Prinsip dasar yang perlu dipahami, SLB dan sekolah umum harus memiliki keseteraan dan memberikan peluang yang sama bagi tunanetra untuk berkembang dan mewujudkan potensinya, baik secara akademik maupun psikomotorik (skill). Ke depan mungkin perlu diwacanakan agar SMP/LB dan SMA/LB memiliki keseteraan akademik dengan SMP/SMA umum. Bagaimana dengan ujian nasional? Jika ujian nasional adalah kebijakan pemerintah yang harus dijalankan, maka prinsipnya tetap bisa dilakukan juga di SLB, dengan catatan soalsoalnya harus merujuk kepada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang berlaku di SLB. Artinya,
Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
jika kurikulum SMP/LB tidak sama dengan kurikulum SMP umum, maka seharusnya soal-soal ujian nasional-nya juga tidak sama, karena soal ujian nasional harus berangkat dari kurikulum yang diberlakukan. Apalagi untuk tingkatan SMA/LB, karena kurikulum mereka semakin berbeda lagi dibanding kurikulum SMA umum. Ini adalah prinsip dasar yang harus dijadikan acuan. n
Didi Purnomo
timbangan yang melatarbelakangi pemikiran ini adalah karena SMA/ LB akan lebih bermanfaat secara fungsional bagi mereka daripada SMA reguler. Untuk melengkapi penjelasan ini, silakan Ibu Netty mencermati ulang isi kurikulum SLB tunanetra, kemudian bandingkan dengan kurikulum yang ada di sekolah umum. ������������������������� Pada tingkat SD, kurikulum SLB tunanetra hampir sama atau sama persis dengan kurikulum SD umum. Tetapi untuk tingkat SMP sudah mulai berbeda. Muatan keterampilan lebih diperbanyak dalam kurikulum SMP/LB. Dan kurikulum SMA/LB jumlah muatan keterampilan lebih diperbanyak, bahkan porsinya lebih banyak daripada materi akademik. Untuk tingkatan TK dan SD, sementara ini saya berpendapat tunanetra sebaiknya berada di SLB. Paling tidak ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, karena kurikulum yang digunakan di SD/ LB dan SD umum sama. Jadi, tidak ada bedanya mereka belajar di SD umum atau di SD/LB. Alasan kedua yang lebih mendasar adalah karena tunanetra pada usia TK dan SD membutuhkan pelayanan khusus untuk mengembangkan kompetensikompetensi khusus yang diperlukan sebagai modal untuk belajar dan berinteraksi dengan dunia luar. Misalnya kemampuan baca
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 47
47 5/22/12 7:23 PM
ruang hati
Mengajarkan “Privacy” pada Anak Lemah Kecerdasan Nama saya Tari. Saya seorang ibu yang memiliki dua anak perempuan, satu di antaranya anak dengan lemah kecerdasan atau tunagrahita, namanya Vina. Vina adalah anak kedua. Jika baru bertemu pertama kali, sepintas Vina tampak seperti anak yang tidak memiliki hambatan apa pun. Namun, jika sudah berbicara, lambat laun kita akan dapat merasakan jika Vina memiliki kekurangan intelektual. Rosa, kakak Vina, saat ini telah remaja. Usianya 16 tahun. Sedang Vina tiga tahun lebih muda. Sebagai anak remaja, Rosa mulai memiliki “wilayah pribadi” yang ia ingin setiap orang dapat menghormatinya. Sebagai orang tua, saya dan suami tentu memahami itu. Namun, tidaklah mudah bagi kami untuk mengajarkan soal privacy itu kepada Vina yang memiliki hambatan kecerdasan. Sebagai Ibu, saya terus berusaha memberikan pengertian soal privacy itu kepada Vina. Contoh kecil, jika ingin masuk ke kamar kakaknya dan pintu kamar sedang tertutup, saya ajarkan agar Vina mengetuk pintu terlebih dahulu. Contoh lain, saya juga mengajarkan agar Vina tidak membuka lemari kakaknya tanpa ijin dari Rosa, dan hal-hal lain terkait soal privacy. Karena Vina memiliki hambatan kecerdasan, kami orang tuanya juga mengerti bahwa tidak mudah untuknya memahami itu. Ia ������������������������������������������������������������� selalu bertanya, mengapa tak boleh ini, tak boleh itu. Sementara Rosa, kakaknya, juga belum sepenuhnya dapat berempati pada adiknya yang lemah kecerdasan. Ketidakmengertian itu sering kali berdampak pada timbulnya pertengkaran, baik antara Rosa dan Vina serta antara saya dan Rosa. Pertanyaan saya, adakah saran dari Ibu Farida bagaimana cara praktis mengajarkan soal “privacy” kepada anak yang memiliki hambatan kecerdasan seperti Vina? Karena privacy adalah sesuatu yang sangat abstrak, terlebih mungkin bagi orang yang memiliki hambatan kecerdasaran seperti Vina. Atas bantuan Ibu Farida saya mengucapkan terimakasih.
48
S
Ibu Tari yang baik, EMOGA Ibu dan keluarga dalam keadaan baik dan sejahtera. Kami bisa memba yangkan kerepotan yang Ibu rasakan sehari-hari pada saat kedua puteri Ibu terlibat dalam keributan. Suatu hal yang sebenarnya wajar, karena juga dialami oleh banyak keluarga dengan anak-anak yang berangkat remaja. Namun bukan berarti kita harus berdiam diri membiarkannya. Kita harus terus mengupayakan terciptanya hubungan yang harmonis di antara anak. Hubungan yang dilandasi dengan perasaan saling menerima dan menghargai masing-masing. Saya akan mencoba memulai penjelasan dari Vina, sang adik. Agar dapat membantu Vina untuk memahami hal yang baru dan cukup sulit dipahaminya, kita harus mengingat dan mengikuti beberapa prinsip. Hal pertama adalah kesederhanaan. Kata-kata yang dipakai untuk berkomunikasi atau menjelaskan adalah kata-kata yang sederhana yang telah dikenal dan biasa dipakai oleh Vina sehari-hari. Hal kedua adalah kekonkritan atau keberwujudan. Selama berkomunikasi, Ibu bisa menggunakan benda-benda yang berada di sekitarnya (di dalam rumah) atau benda yang
Didi Purnomo
Ibu Farida yang terhormat,
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 48
5/22/12 7:23 PM
Didi Purnomo
disayanginya, seperti boneka, dan sebagainya. Hindari menggunakan perumpamaan atau membandingbandingkannya dengan seseorang. Hal ketiga adalah waktu penyampaian yang cukup singkat. Sampaikan sesuatu sedikit demi sedikit, dan jangan terlalu lama. Hal ini untuk menyiasati perhatian Vina yang mudah teralih. Hal keempat adalah pengulangan. Janganlah Ibu bosan untuk mengulangi dan melakukan nya secara rutin. Vina mudah lupa dan harus ada yang membantunya untuk terus ingat. Hal kelima adalah penghargaan. Berilah pujian, misalnya, “pintar”, “anak cantik” dan lain-lain, setiapkali dia berhasil melakukan sesuatu dengan baik. Adanya pujian membuat ia tahu bahwa perilakunya mendatangkan hal yang positif dan menyenangkan, dan ia akan terdorong untuk mengulanginya. Lalu bagaimana menggunakan kelima hal di atas dalam mengajarkan “privacy” kepada Vina?
Ajaklah ia berkeliling rumah sambil menjelaskan bahwa setiap orang di dalam rumah memiliki kamar. Ada kamar Ibu, kamar kakak, dan kamar Vina. Apabila Ibu memelihara hewan, bisa juga disampaikan ada kandang untuk Hero (nama hewan). Berilah tanda untuk setiap kamar untuk memudahkannya mengingat. Misalnya gambar warna kesukaan masing-masing yang di bawahnya bertuliskan Ibu dan Bapak, Kakak, Vina, lalu ditempel di pintu kamar masing-masing. Beri pula tanda pada setiap barang yang dimiliki Vina dan kakaknya, misalnya di lemari pakaian, atau mug kesukaan. Untuk membantunya mengingat suatu aturan, Ibu bisa menempelkan gambar dan tulisan seperti “ketok pintu sebelum masuk” di tempat yang sesuai. Atau menyediakan tempat yang berbeda untuk menyimpan barang-barang mereka. Misalnya alas kaki (sandal atau sepatu) Vina di rak warna ungu, kakaknya di rak merah. Apabila Vina masih sering menanyakan “mengapa begini, mengapa begitu” untuk hal yang Ibu atur, ambillah contoh pelajaran dari lingkungan sehari-hari. Nyalakan TV, dan tontonlah acara kehidupan fauna. Tunjukkan bahwa sarang burung hanya cocok untuk burung, bukan untuk kucing. Mengapa? karena letaknya di pohon yang tinggi, dan kucing tidak bisa terbang ke sarang burung tersebut. Penggunaan kelima prinsip di atas membutuhkan waktu dan dukungan dari orang di sekitar agar dapat mencapai keberhasilan yang Ibu harapkan. Vina tetap membutuhkan contoh dari orangtua dan saudaranya. Hal tersebut juga perlu diterapkan secara konsisten oleh semua anggota keluar-
Farida Kurniawati Yusuf Psikolog anak, termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Master’s Degree Inclusive Education Universitas Meulborne, Australia. Doctoral Programme, Faculty of Behavioural and Social Sciences, Universitas Groningen, Belanda.
ga. Dan hal yang tidak kalah penting adalah sikap sabar menghadapinya. Vina membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memahami dan menerapkannya, karenanya tetaplah menjaga sabar dan semangat. Rosa, sang kakak, tetap membutuhkan perhatian dan ingin pula dimengerti. Sediakan waktu khusus untuknya. Ibu bisa mengajaknya berjalan-jalan atau berbelanja berdua sambil menyelami keinginan dan kebutuhannya. Hal ini bisa membuat nya merasa disayangi, sama besarnya dengan yang diterima oleh adiknya. Mintalah kepadanya untuk sedikit demi sedikit mendukung orangtua dalam mengasuh adiknya. Pada awalnya mungkin susah baginya, seperti yang Ibu telah katakan. Namun setelah melihat betapa sabarnya Ibu dalam menghadapi Vina, saya yakin ia akan mengikutinya. Ajarkan kasih sayang pada adik, sehingga dia juga mau memaklumi dan membantu memperlakukan si adik seperti langkah-langkah yang ibu lakukan. Semoga saran ini bermanfaat. Salam hangat. n
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 49
49 5/22/12 7:23 PM
puisi
Kuterima Kusambut Amanahmu Kau dengan Syukurku Rachman Hadi
Ada dada yang berdebar Ada hati yang bergetar Saat tangan bergenggam erat Saat bibir mengucap akad Ya Robbi… Telah Kau akhirkan kesendirianku Telah Kau tutup masa sunyiku Dan Kau buka hidup baru untukku Mengarungi samudra luas, membawa sebongkah hati, amanah-Mu Ya Robbi… Tanganku terlalu lemah untuk menjaganya Jemariku terlalu kecil untuk membelanya Jaga belahan jiwaku ini ya Rabbi… Dari kerasnya hidup Dari riuhnya godaan Ya Robbi… Jadikan kesetiaan sebagai fondasi Sakinah sebagai pagar hati Mawaddah warahmah sebagai penjaga nurani Hingga hanya takdir yang mampu menceraikan hati
Syahdu tangismu memecah gelisah Berlaksa harap terjawab sudah Berjuta cemas tersingkap, berubah Haru, bahagia, membaur menepis gelisah Azan dan iqamah kusenandungkan Deraian shalawat kudendangkan Berlaksa syukur kupersembahkan Demi menyambutmu, permataku, sayang Kan kuseka air matamu dengan shalawat Kan kubalut tubuh mungilmu dengan doa Kan kuukir lembar hidupmu dengan ahlaqul karimah Dan kuisi ruang hatimu dengan firman-firman-Nya Tenanglah engkau dalam timangan Jadilah kelak Qurata a’yun, shalikhah, dan muslimah tauladan Sejuk bagi siapa saja yang bersamamu Pembuka pintu syurga, bagi ayah bundamu Jangan pernah ada tangismu, sayang Jangan pernah ada air matamu Kecuali untuk Rabbimu Saat engkau mesra di sepertiga malammu Kami titipkan doa dalam genggamanmu Untuk kau ukir, dan kau kirim saat kami tak kuasa merengkuhmu Saat kami hanya membutuhkan doa-doamu Segera besar, permataku sayang Tenteramlah siapa pun yang bersamamu Tebarkan firman Allah di setiap langkahmu
50
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 50
5/22/12 7:23 PM
Lindungi Aku Ya Robbi
Ketika hatinya tak lagi senandungkan lagu rasa tulus Ketika tuturnya tak lagi tertata halus Ketika tembang-tembang penggoda menebar lirik di hati indahnya Tangan lemah ini terlalu rapuh untuk bersamanya Ampuni aku, ya Robbi… Sebegitu lemahnya jiwa ini hingga tak mampu menjaga amanah suci Sebegitu rapuhnya hati ini hingga tak kuasa membentengi belahan hati Sehingga tarian indah mengusik kalbunya, menebarkan aroma penggoda Ya Robbi… izinkan aku mengeluh Lihatlah, hatinya tak lagi utuh Mengoyak hati dengan nyanyian selingkuh Di hatinya nama indah telah tersimpan kukuh Perlahan, namaku layu, jatuh… luruh Jaga aku, ya Robbi… Agar tidak menabrak kaidah-Mu Untuk kuat menjaga amanahmu Dan kembalikan hatinya yang perlahan menjauhiku Kuatkan aku, ya Robbi… Agar bergeming dari hatinya Saat ada jelita tiba Dan nafsu mengajakku mengisi hatinya
n
Rachman Hadi, tunanetra, guru sekolah luar biasa untuk tunanetra di Jember, Jawa Timur
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 51
51 5/22/12 7:23 PM
cerpen
Bunga untuk Ibu Jonna Damanik
Didi Purnomo
S
52
UDAH agak siang ketika aku terbangun. Aku tidak tahu sudah jam berapa. Yang jelas, aku merasakan kepenatan yang luar biasa mendera seluruh tubuhku. Seminggu lebih mengawasi persiapan dan pelaksanaan masa bim bingan alias mabim, masa perkenalan dan orientasi mahasiswa baru di tujuh fakultas, bukanlah kerjaan ringan. Rapat sana, rapat sini. Cek sana, cek sini. Kadang lewat tengah malam baru berhenti. Tapi aku merasa puas. Ini perhelatan besar pertama bagiku sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Semua acara mabim di semua fakultas berjalan lancar. Tidak ada kasus atau skandal yang harus dipertanggungjawabkan ke pemimpin universitas. Hanya ada pengaduan-pengaduan kecil, seperti panitia senior yang sok overacting. Tapi, hei… ke mana teman-teman anggota BEM yang lain? Aku bangkit dari matras tipis di sudut kantor BEM yang berantakan. Jangankan mandi, bahkan untuk cuci muka pun rasanya malas. Aku menghempaskan pantat dengan malas di salah satu kursi, mengangkat kaki ke
meja, dan menghidupkan TV dengan remote control. Masih dengan celana pendek dan kaos belel yang kupakai tidur. Tok-tok-tok! Terdengar ketukan di pintu. “Masuk!” kataku, tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. Kupikir, paling salah seorang teman anggota BEM. “Permisi, Kak.…” Aku tersentak, dan … waaw, enam bidadari cantik berdiri di depan pintu. Cantik semua. Aku terpana, hingga kemudian menyadari tawa kecil me reka. Mereka menatapku dengan geli. Mungkin karena penampilanku yang super hancur dan di luar bayangan mereka. “Ada apa?” ujarku, agak gugup. Ya, jujur, aku tidak biasa menghadapi situasi seperti ini. Aku boleh perkasa dan lantang ketika berpidato, boleh berwibawa ketika memimpin rapat, apalagi dengan setelan jeans dan t-shirt serta dibalut jaket almamater. Tapi menghadapi enam perempuan cantik dalam keadaan seperti ini…? Alamaak! “Kak, kami mau minta tanda tangan,” kata salah seorang dari mereka yang kelihatan lebih berani, dengan wajah tersenyum-senyum. “Kok nekat ke sini? Kenapa nggak minta tanda tangan sama senior kalian di fakultas masing-masing?”
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 52
5/22/12 7:23 PM
“Bukan gitu, Kak. Kata senior kami, kalau dapat tanda tangan kakak di buku suci kami, nilainya paling besar dari nilai tanda tang an senior yang lain.” Si Pemberani itu melangkah masuk mendekati aku, diikuti lima temannya yang lain. “Sekalian, Kak… kenalan sama presidennya mahasiswa di kampus ini,” kata si Pemberani sambil menyodorkan tangannya kepadaku dengan gaya yang agak genit. Lima temannya mengikuti. Ketika menyalami orang yang terakhir, aku terpaku. Tangannya terasa amat dingin dan lembut. Ketika menatap wajahnya, aku tersirap. Begitu cantik dan lembut. Matanya bening, tapi seperti menyimpan sesuatu yang sendu. Aku seperti tiba-tiba menemukan wajah yang telah puluhan tahun kucari-cari. Anggun sekali cewek ini, batinku bergelora. “Okelah. Mana buku kalian?” kataku. Pikirku, agar mereka cepat pergi. Suasana ini sangat tidak menguntungkan. “Kok, nggak dihukum, Kak…?” Si Pemberani yang centil itu malah menantang. “Nggak usahlah!” kataku sambil meraih bukunya dan menorehkan tanda tangan. Satu per satu temannya menyodorkan bukunya. Ketika tiba pada yang terakhir, pada wajah lembut dan mata be ning yang menyimpan kesenduan itu, aku seperti grogi sendiri. “Terima kasih, Kak.…” Aku seperti tersirap. Suara gadis itu pelan tapi merdu. “Terima kasih, ya Kak. Ternyata Kakak baik, kok. Orang bilang, galak.” Si Pemberani menatapku dengan matanya yang genit. “Boleh dong, Kak, sering main-main
ke sini? Ngajak makan siang sambil belajar jadi anggota BEM.” “Itu nanti saja. Selesaikan dulu mabim kalian dengan baik.” Satu per satu enam mahasiswi cantik yang masih berbau SMA itu mengucapkan terima kasih dan pamit. Aku hanya memperhatikan langkah si mata bening. Bahkan langkahnya pun tampak anggun dan lembut. Alamaak! Jonna, apa yang terjadi pada dirimu? Dan tiba-tiba saja aku tersentak? Tadi mereka dari fakultas mana? * HARI-HARI selanjutnya aku dibayangi keinginan untuk bertemu Si Anggun itu. Aku jadi rajin berkeliling fakultas. Tapi ternyata sulit bertemu dengan seseorang di belantara kampus yang luas dengan ribuan mahasiswa, apalagi tidak tahu nama dan fakultasnya. Kadang aku mengutuk kebodoh anku yang waktu itu tidak bertanya fakultas dan jurusan yang jelas. Itu gara-gara aku grogi. Katro benar! Sampai suatu saat Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi mengundangku dalam acara fakultas mereka. Acara itu semacam inaugrasi penyambutan ikatan mahasiswa terhadap mahasiswa baru. Acara diadakan di sebuah tempat berpemandangan bagus di luar kota. Aku pun berangkat dengan beberapa rekan anggota BEM. Malam inaugrasi itu berlangsung sangat meriah, di tengah dinginnya malam yang menusuk, meskipun dihiasi hangatnya bara api unggun. Lebih dari itu, mahasiswi psikologi terkenal cantik-cantik dan keren. Mereka juga menampilkan berbagai acara yang tak kalah keren. Aku menikmati semua acara. Sampai kemudian pembawa acara mempersilakan aku menyampaikan sambutan. Tidak seperti kalau pidato
di kampus, aku menyampaikan sambutan dengan gaya santai. Tapi mahasiswa-mahasiswa baru yang duduk melingkar di depanku kelihatan mendengar dengan serius. Sampai tiba-tiba aku seperti terhenyak, karena mataku menangkap wajah Si Anggun berada di barisan terdepan sebelah kiriku. Aku benar-benar terkejut. Selama dua bulan ini khayalanku dihantui bayangan wajah lembut dan mata mata bening itu. Selama dua bulan terakhir aku mencaricarinya di keluasan kampus. Bergemuruh rasanya dadaku, hingga tanpa sadar sambutanku sempat terhenti, dan membuat heran teman-teman mahasiswa senior. Tapi, akhirnya aku tersadar dan menyelesaikan sambutanku dengan baik. Para mahasiswa baru bertepuk tangan, tampak senang mendengar sambutanku. Termasuk Si Anggun. Selesai itu, ketika acara dilanjutkan dengan hiburan, aku tak mau membuang waktu. Aku mendekati Si Anggun. “Hai…!” sapaku. Entah kenapa, dia tampak kaget dan terdiam. Mukanya tampak memerah, kemudian tertunduk. “Apa kabar?” “Baik,” jawabnya, dengan suara merdunya yang hampir tak terdengar. Sebelum aku melanjutkan menyapa, tiba-tiba beberapa teman anggota BEM dan mahasiswa senior riuh menyoraki. “Gile… aku yang ngotot mencari kakak ke kantor BEM, tapi ternyata Ajeng yang dikenang,” si Pemberani nan centil tiba-tiba muncul mendekat. ”Wah… patah hati aku.” “Jadi… itu yang membuat pidato Jonna tadi terhenti?” teriak seorang teman anggota BEM.
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 53
53 5/22/12 7:23 PM
“Akhirnya ketua kita dapat jodoh…!” Teriakan terakhir kontan diikuti tepuk tangan dan sorakan. Aku jadi salah tingkah. Ajeng tampak malu. Wajahnya memerah. Akhirnya dia berlari ke tengah kerumunan teman-temannya. Tapi di sana pun dia menjadi sasaran godaan teman-temannya. Aku melihat ada yang memeluknya, ada yang mencubit pipinya, ada yang menarik rambutnya. Sampai kemudian ada yang berteriak. “Hidup Ibu Ketua BEM!” Semua tepuk tangan riuh dan bersorak-sorak. Aku terdiam. Entah malu, entah merasa bahagia. * SEJAK pulang dari malam inaugurasi mahasiswa psikologi itu, hari-hariku menjadi penuh semangat dan keceriaan. Aku sudah tahu ke mana harus berburu Si Anggun. Hidupku terasa jadi terasa penuh gelora. Tanpa malu aku mulai rajin mengunjungi gedung Fakultas Psikologi, untuk bertemu atau sekadar melihat wajah Si Anggun. Aku tidak peduli, walau risikonya seba gai orang ngetop di kampus aku harus menerima godaan temanteman mahasiswa senior yang tahu tujuanku ke ke sana. Bahkan aku dengan terus terang meminta bantuan teman-temannya. Salah satunya si centil pemberani Riana, yang dulu memimpin teman-temannya menemuiku di kantor BEM. “Susah dekati dia. Orangnya pendiam, hatinya beku sedingin salju,” goda Riana sambil tertawa berderai. “Dekati gue aja. Hatiku penuh bara api,” lanjut Si Rame ini. Tapi akhirnya aku mendapatkan banyak info tentang keseharian
54
Ajeng, tempat kosnya, bahkan kemudian nomor HP-nya. Sejak itu aku berusaha rajin mengubungi Ajeng. Mula-mula SMS, kemudian menelepon. Dia selalu menjawab SMS teleponku dengan santun, tapi selalu menolak dengan halus setiap diajak bertemu. Alasannya, dia masih mahasiswa baru. Dia masih belajar menyesuaikan diri dengan suasana kuliah dan beradaptasi dengan para dosen. Sebagai orang yang sudah berumur 18 tahun dan sudah mahasiswa, aku yakin dia mengerti maksud SMS dan teleponku. Dia pasti tahu aku melakukan itu karena naksir dirinya. Karena itu aku yakin dia menolak ajakanku karena tidak tertarik kepadaku. Hal itu membuat aku agak sedih dan kecewa. Tapi aku tidak mau menyerah. Bayangan sosok dan wajahnya yang anggun telanjur bersemayam dalam rongga hatiku. Aku akan terus berusaha sampai titik batas yang kubisa. Mungkin karena merasa tidak enak terus menolak, akhirnya Ajeng mau juga sesekali bertemu denganku. Itu pun hanya dalam bentuk ngobrol sambil makan siang di kantin fakultasnya. Ia tidak mau diajak pergi, makan di tempat lain, atau nonton. Bahkan ia tidak mengizinkan aku main ke tempat kosnya. Aku tentu kecewa. Tapi bisa memaklumi. Sedikit banyak aku jadi mengerti, dia teguh dengan prinsipnya. Selain itu dia serius menuntut ilmu. Dia pintar di kelas. Paper-papernya selalu mendapat nilai bagus. Tipe cewek, yang terus terang, aku suka. Aku tidak suka mahasiswi yang terlalu banyak pecicilan sana-sini. Satu hal yang membuat aku lebih tersentuh, dia cenderung pemurung karena ternyata diliputi kesedihan.
Tiga bulan sebelum dia kuliah di Jakarta, ibunya meninggal karena suatu penyakit. Kesedihan itu masih terus membekas di hatinya. Waktu Ajeng bercerita tentang bagaimana ia begitu menyayangi ibunya dan bagaimana rasa kehilangan itu, aku seperti ikut merasakan kesedihan yang luar biasa. Cara dia bercerita dan kesedihan di wajahnya sangat membekas di batinku. Dia anak yang begitu penyayang pada orang tua. Hal itu membuat aku merasa makin suka dan sayang padanya. Tapi aku juga jadi tidak berani terlalu memaksa untuk menerimaku. Aku mungkin terkenal di kampus ini. Tapi aku tidak bisa memaksa semua orang menyukaiku. Aku bisa saja mencintai dia. Tapi aku tidak mungkin memaksa dia mencintai aku. Aku takut ditolak dan malah kehilangan dia jika memaksakan keinginan hati. Menyadari itu aku jadi merasa diriku kecil. Intensitas hubungan dan pertemuan kami tetap baik dan relatif makin sering. Tapi, entah kenapa, aku tidak punya keberanian untuk menyatakan perasaanku kepadanya. * Ujian akhir semester tiba. Seperti biasa semua mahasiswa sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, termasuk aku dan Ajeng. Selama ujian aku tidak berani mengganggunya. Hanya beberapa kali mengirim SMS menanyakan kesehatan dan ujiannya. Seperti biasa dia menjawab dengan bahasa yang singkat dan santun. Hingga akhirnya masa ujian semester selesai. Malam itu aku menele ponnya, ingin mengajaknya makan atau nonton, sekadar melepaskan stres ujian. Tapi Ajeng bilang dia mau pulang dulu ke kotanya untuk berlibur sekaligus bertemu dengan keluarganya yang sudah sekitar 10 bulan dia
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 54
5/22/12 7:24 PM
tinggalkan. “Lusa aku berangkat, naik pesawat jam 11,” katanya. Aku terdiam. Wah, berarti sebulan lebih aku tidak akan bertemu dengan dia. Alamak! Apakah aku sanggup berpisah, tidak melihat wajahnya selama itu? Lebih dari itu, aku belum sempat mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Aku belum mendapat kepastian, apakah sebenarnya dia mau menerima cintaku. Pikiran itu membuat malam itu kulewati dengan sangat gelisah. Aku merasa bodoh karena selalu ini tidak pernah berani mengungkapkan isi hati. Aku tidak boleh terus seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Besoknya aku menelepon, menyampaikan aku ingin mengantarnya ke bandara. “Boleh kan, aku mengantar Ajeng?” “Nggak usah repot-repot, Bang. Aku bisa sendiri.” Aku bingung. Ajeng tetap seperti menolak. Tapi aku tidak boleh menye rah. Kalau tidak sekarang, aku tidak akan pernah punya kesempatan. Aku sibuk memutar otak, sampai tak terasa aku tidak bisa tidur. Tapi akhirnya aku menemukan cara itu. Esok paginya aku sudah berada di depan tempat kos Ajeng. Dia kelihatan agak keberatan, tapi tidak berani menolak ketika aku membantu membawakan kopernya. Kami menuju bandara dengan bus DAMRI. Di dalam bus, Ajeng lebih banyak diam. Hal itu membuat perasaanku semakin kalut. Dia kelihatan tak begitu suka aku antar. Aku jadi grogi dan tegang sendiri. Bagaimana nanti aku menyampaikan perasaanku, yang kurencanakan dan kusiapkan semalaman? Satu jam kemudian kami turun di teras Terminal A Bandara SoekarnoHatta. Bersamaan dengan itu terdeng ar pengumuman pesawat yang akan Ajeng tumpangi akan berangkat sejam
lagi dan calon penumpang dipersilakan chek in. “Aku harus langsung masuk, check in,” kata Ajeng sambil menarik roda kopernya dan menyeret perlahan menuju pintu masuk. Aku kalut. Aku mengiringi langkahnya sambil berpikir keras. “Tunggu sebentar, Ajeng,” akhirnya aku memberanikan diri. Kalau mau ditolak, ditolak-lah. Tapi aku harus menyampaikan. “Ada apa?” Ajeng menghentikan dengan wajah heran. “Aku ingin menyampaikan se suatu…” ujarku agak gemetar, sambil membuka ranselku. Aku mengambil beberapa tangkai bunga mawar putih yang kuikat jadi satu dengan pita. Ajeng tampak kaget bercampur heran. Aku mengacungkan bunga itu kepada Ajeng. Tapi… semua kata yang kususun semalam, bahwa bunga itu sebagai pertanda melepas dia dengan cinta, seketika seperti hilang begitu saja. Aku tak berani mengucapkan. Mulutku seperti terkunci. “Aku… aku titip ini, yah… buat ditaruh dimakam Ibu….” Aku tidak tahu dari mana asalnya kata-kata itu, karena sama sekali tidak terpikir sebelumnya. Tapi, wajah Ajeng seperti tersentak. Seperti ada badai di matanya yang bening. Ia mengulurkan tangan menerima bunga yang kusodorkan tanpa berkata apa-apa. “Terima kasih.…” gumamnya. Dan ketika ia menunduk, memasukkan bunga itu dengan hati-hati ke dalam tas tangannya, aku melihat setitik air jatuh dari matanya. Dan ketika ia menengadahkan wajahnya, aku melihat mata yang bening itu memang berkabut penuh air. Aku jadi merasa bersalah karena membuat dia jadi sedih. Aku jadi mengutuki diriku sendiri. Kenapa ucapan itu yang keluar dari mulutku?
Kenapa tidak mengatakan, bunga itu sebagai tanda cinta, yang ingin dikenang dan dibawa pergi. Aku memang tolol. Aku…. “Terima kasih, ya.…” tiba-tiba Ajeng menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. “Ajeng akan meletakkan bunga itu di sisi nisan Ibu. Nanti, kalau kembali ke Jakarta, jemput aku, ya.…” Aku ternganga, seakan tidak percaya. Dia memintaku menjemputnya? Berarti.… “Pasti! Pasti aku akan menjemput Ajeng.” “Abang baik-baik jaga diri. Sekarang Ajeng berangkat dulu.” Ia melepas tanganku sambil tersenyum. “Iya… iya.…” Hanya itu yang mampu kuucapkan. Aku sungguh tidak mengira bahwa ucapan yang salah itu justru menyentuh hati Ajeng. Ah, dasar aku memang bodoh. Kutatap langkah anggun Ajeng menuju pintu pemeriksaan. Sejenak ia berbalik, melambaikan tangan sambil tersenyum. Senyum terindah yang pernah kulihat sepanjang hidupku. * * Jonna Damanik, Sarjana Teknik penyandang low-vision, General Manajer diffa
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 55
55 5/22/12 7:24 PM
konsultasi kesehatan
Bayiku Tidak Dapat Melihat. Bisakah Berkembang? Tiga bulan lalu saya melahirkan anak pertama, seorang bayi perempuan. Sampai sekarang anak saya hanya bisa telentang, lengannya belum bisa meraih benda. Menurut dokter, kedua matanya tidak bisa melihat sama sekali sejak lahir dan penyebabnya jenis yang tidak bisa disembuhkan lagi. Mengapa ya, anak saya? Mengapa pula, walaupun lengan dan tungkainya dapat bergerak, dia belum bisa tengkurap dan meraih sesuatu di depannya? Mohon saran dokter, apa yang bisa saya lakukan di rumah untuk memacu perkembangannya sehingga anak saya bisa berkembang seperti bayi lainnya. Kalau sudah besar apakah anak saya bisa melakukan berbagai kegiatan? Saya sungguh cemas akan perkembangan bayi saya. Terima kasih. Siska - Jakarta
56
P
Ibu Siska, ERTAMA, saya ingin membesarkan hati Ibu. Walaupun putri Ibu tidak dapat melihat sama sekali, ia tetap masih dapat dilatih mengerjakan hampir semua kegiatan yang dapat dilakukan oleh anak lain sebaya dan tidak terganggu penglihatannya. Mengenai perkiraan penyebab dan tindakan pencegahan berikutnya, sebaiknya Ibu menghubungi dokter spesialis mata anak, bila memungkinkan dokter spesialis anak dan dokter spesialis kandungan. Sekadar data, penyebab kebutaan pada anak antara lain ambliopi (retina lepas), katarak, glaucoma, dan per���� tumbuhan abnormal retina pada bayi yang lahir prematur. Mengapa putri Ibu belum bisa tengkurap dan meraih sesuatu di depannya walaupun lengan dan tungkainya bisa bergerak? Karena bayi yang tidak dapat melihat sama sekali akan mempunyai hambatan dalam belajar menggunakan anggota tubuhnya. Hal ini karena bayi yang tidak dapat melihat tidak mengetahui kejadian di sekitarnya, tidak mengetahui ada posisi telentang dan tengkurap, bagaimana menggunakan bagian tubuh, cara orang miring, cara dari telentang ke tengkurap, dari tengkurap ke te-
Didi Purnomo
Dr. Ferial yang baik,
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 56
5/22/12 7:24 PM
Ferial Hadipoetro Idris
Didi Purnomo
lentang, cara merangkak, cara duduk, berdiri, berjalan, dan sebagainya. Bayi yang tidak dapat melihat tidak mengetahui cara meraih benda, menyentuh, meraba, memungut, memegang, dan menggunakan benda. Tidak dapat mengetahui anggota keluarga dan orang lain, cara berkomunikasi dengan mimik wajah, dan sebagainya. Karena itu, bayi dengan gangguan penglihatan tidak akan bisa mem-
pelajari kejadian atau kegiatan di sekitarnya bila tidak dibantu dengan menjelaskan dan melatihnya.
Jadi, rangsanglah putri Ibu untuk mempelajari hal-hal baru. Tunjukkan kasih sayang dengan memberikan waktu lebih banyak bersamanya. Tunjukkan Ibu senang bila anak telah berhasil mempelajari hal baru dengan cara mengatakan secara lembut, dengan dekapan, sentuhan hangat, dan sebagainya. Bayi yang tidak dapat melihat mempelajari dunia sekelilingnya dengÂan meraba, mendengar, mencium, dan menjilat.
Larang an hanya dilakukan bila anak mengerjakan hal-hal yang dapat mencederai dirinya. Apa yang diajarkan? Ajarkan secara bertahap sesuai dengan umur perkembangannya, menyusu, makan, mendengar, dan mengenal anggota
Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi USTH Philippines, Magister Faal dan Kesehatan Olahraga Pasca UNPAD, dokter FKUI. Dosen/Narasumber/Saksi Ahli bidang Rehabilitasi Medik dan RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat). Pendiri dan Ketua PSIKI (Pusat Studi dan Informasi Kecacatan Indonesia). Koordinator Pemberdayaan Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia)
keluarga. Ajarkan anak mendengar dan mengetahui suara-suara di sekitar. Ajarkan anak mengenal orang dari suaranya. Misalnya, “Ini kakakmu Sri yang sedang bicara,� sambil mendekatkan wajah yang sedang bicara ke si anak sehingga ia dapat merabanya. Demikian juga dalam hal gerakan. Ajarkan anak bertepuk tangan secara pelan, keras, cepat, dan lambat. Letakkan tangan Ibu di atas tangan anak dan ajarkan anak untuk mendengarkan. Buatlah bermacam-macam bunyi seperti meniup, bersiul, bunyi gerakan lidah, atau bunyi gerakan jari. Suruh anak mendengar dan menirukan bagaimana cara membuat bunyi tersebut dengan meraba gerakan mulut dan tangan Ibu. Anak sering mudah takut mendengar sesuatu yang asing karena tidak dapat melihat. Bila dia sedang ketakutan, peluklah dan jelaskan itu suara apa. Bicaralah sesering mungkin
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 57
57 5/22/12 7:24 PM
kepada anak sehingga mengetahui bahwa Ibu berada di dekatnya dan memberikan rasa aman. Ajarkan anak berbicara. Anak tunanetra tidak dapat melihat gerakan bibir orang yang sedang berbicara, karena itu biasanya perkembangan bicaranya terlambat dan perlu dilatih. Letakkan tangan anak pada mulut Ibu waktu berbicara agar anak merasakan gerakan bibir dan aliran udara keluarmasuk mulut dan hidung. Setiap kali anak memegang benda, sebutkan namanya. Setiap berbicara, sebutlah namanya, karena kalau tidak demikian dia tidak akan tahu Ibu berbicara dengannya. Ajarkan mengenal rasa gerak deÂngan cara anak dipangku dan dibiarkan meraba gerakan kepala dan lengan Ibu ketika berbicara. Anak digendong dan Ibu berjalan. Anak berdiri di pangkuan dan digoyanggoyangkan. Kalau umurnya sudah cukup, ajarkan merangkak. Peganglah anak yang bertumpu pada kedua lutut dan tangannya serta rangsanglah agar anak mau bergerak maju dengan membunyikan bunyi-bunyian atau memanggil manggil namanya. Bila anak telah dapat merangkak, rangsangÂlah agar bergerak dan mengenal alam sekitarnya. Merangkak juga mengajar anak menggunakan lengan dan tungkainya. Pada saat Ibu mulai mengajarkan anak berjalan, bicaralah pada anak bahwa tanah yang diinjak kasar, halus, berpasir, atau berumput. Ajaklah merasakan tanah yang diinjak dengan kaki atau tangannya untuk mengetahui perbedaannya. Ajarkan berjalan deng an bantuan/petunjuk tali. Jelaskan permukaan tanah/lantai yang sedang diinjak seperti kerikil, lumpur pasir, atau ubin. Ajarkan anak berjalan dengan melindungi dirinya, satu tangan di depan
58
muka dan tangan yang lain meraba di depan dada. Hal ini diajarkan bila anak tidak mau bergerak karena takut membentur benda di depannya. Ajarkan anak cara jatuh yang aman, yaitu kepala dan badan diusahakan tidak membentur dan jatuh bertumpu pada lengan. Lindungilah anak dari tempat-tempat yang berbahaya seperti api, sumur, atau sungai. Buatkan pagar pengaman di sekitar tempat yang berbahaya. Kalau sudah bisa jalan-jalan, ajarkan anak mengenal lingkungannya. Ajarkan meraba dan memegang benda-benda. Letakkan tangan Ibu di atas tangan anak, kemudian rabakan tangan anak pada permukaan benda, sehingga ia dapat mengenal benda tersebut pada saat Ibu menjelaskan. Kalau bepergian, ajaklah anak mengenali/meraba benda-benda di sekitar. Untuk mengenalkan anak pada benda yang bergerak seperti binatang, letakkan tangan Ibu di atas tangan anak kemudian rabakan pada benda yang bergerak, sehingga ia dapat merasakan gerakan tersebut. Bantulah anak mengenal benda-benda dan gunanya. Berikan benda pada anak agar dapat mengenal bentuknya seperti apa dan gunanya untuk apa. Bila Ibu menganggap anak sudah siap untuk bergerak sendiri, mintalah paket pelatihan pada kader Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). Anak sebaiknya dapat makan, minum, berpakaian, dan ke toilet tanpa bantuan orang lain. Biarkan anak melakukannya sendiri walaupun sangat lambat. Hal ini akan mengakibatkan anak lebih mandiri, lebih bahagia, dan lebih sehat. Ibu pun jadi mempunyai waktu untuk mengerjakan pekerjaan lain. Berikanlah kesempatan seluasluasnya agar bayi dan anak bermain untuk mengembangkan diri. Sebab, sekali lagi, anak dengan gangguan
penglihatan dapat berkembang melalui permainan meraba, mendengar, mencium, menjilat, dan merasakan. Melalui permainan juga anak dapat mengembangkan kemampuan berbicara, belajar, dan bergerak. Melalui permainan, anak belajar berperilaku seperti anak lainnya. Anak dengan gangguan penglihatan harus sekolah seperti anak lain. Secara garis besar banyak tunanetra yang sudah meraih gelar sarjana, bahkan master dan doktor. Modal utama ialah tekad yang tinggi dan dukungan keluarga serta orang lain di sekitarnya. Ini yang disebut aksesibilitas non-fisik. Artinya, memberikan kemudahan agar anak dapat mempelajari sesuatu. Bila telah besar, anak diwajibkan pula mengerjakan pekerjaan di rumah seperti anak lain. Bila anak telah dewasa ia dapat belajar bekerja dan mencari penghasilan sendiri. Apabila Ibu ingin panduan lebih detail, sudah tersedia buku-buku manual Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk keluarga. Antara lain Ibu bisa meng hubungi Pusat Studi dan Informasi Kecacatan Indonesia (PSIKI). Juga banyak banyak lembaga tunanetra atau disabilitas yang memberikan pelayanan assesmen terhadap keluarga yang dianugerahi anak penyandang disabilitas, seperti Mitra Netra dan Rawinala. Mendapat tuntunan dari ahli dan berkumpul bersama orang-orang tua lain yang memiliki persoalan sama akan memberikan pengetahuan dan dorongan semangat bagi Ibu. Jangan berputus asa, karena kesempatan begitu luas. n
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 58
5/22/12 7:24 PM
pindai Rumah Belajar Tabo
Tempat Belajar Semua Anak
S
EPASANG suami-istri membuat rumah belajar untuk anak-anak jalanan kota Bandung, termasuk anak penyandang disabilitas. Niat tulus, bagaimana pun bentuknya, selalu memberi arti. Rumah Belajar Tabo di Jalan Dago Pojok, Bandung, Jawa Barat, mulai dirintis tahun 2002. Saat itu rumah belajar ini belum memiliki nama. Rumah ini bermula dari pendidikan anakanak jalanan kota Bandung. Kemudian pada tahun 2003 Rahmat Jabaril mendirikan Rumah Belajar Tabo bersama sang istri, Ika Ismurdyahwati, dengan satu teman dari Jerman, Sabineu Muller. Mereka membuka kursus gratis bagi anak-anak yang berminat belajar. Nama “Tabo” diambil dari istilah yang dikemukakan ahli psikoanalisa Sigmund Freud dalam salah satu bukunya. Tabo berarti larangan. “Larangan dalam kata ini berarti larangan untuk tidak belajar,” ujar Rahmat Jabaril. Rahmat Jabaril dan kawan-kawan
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 59
melibatkan anak-anak muda, terutama mahasiswa yang berminat menjadi relawan di Rumah Belajar Tabo. Mereka mulai mencoba mendekati masyarakat sekitar dengan menga-
dakan berbagai kegiatan di daerah Dago. Kegiatan itu bermula dari acara kegiatan Agustusan. Dari keterlibatan dalam Agustusan itu mulailah Rumah Belajar Tabo dikenal masyarakat sekitar.
Konsep dan Hambatan Menurut Rahmat Jabaril, konsep pendidikan yang dirintis Rumah Belajar Tabo memiliki dua falsafah. Pertama, belajar tidak mengenal batas.
Kedua, di Rumah Belajar Tabo guru dengan murid sama-sama sebagai subjek pendidikan. Rumah Belajar Tabo melawan konsep pragmatisme dalam pendidikan. Dalam pandangan kebanyakan orang, belajar untuk memiliki ijazah. Di rumah belajar ini ijazah bukanlah tujuan. Rumah Belajar Tabo juga melawan konsep birokratisme. Menurut Rahmat Jabaril, kehidupanlah yang harus dijadikan pembelajaran. “Apa pun yang terjadi dalam lingkungan dan kehidupan kita, itulah pembelajaran.” Tidak kalah penting, Rumah Belajar Tabo memandang semua anak sama. Artinya, semua anak memiliki hak pendidikan yang sama tanpa memandang latar belakang budaya, agama, ras, gender, disabilitas, dan sebagainya. Dari falsafah inklusif tersebut, semua anak termasuk anak-anak disabilitas, bisa belajar dengan leluasa di rumah belajar ini. Untuk mencapai pendidikan
5/22/12 7:24 PM
yang bermutu tentu membutuhkan proses dan pasti menghadapi berbagai hambatan. Begitu pula Rumah Belajar Tabo. Salah satu hambatan utama pada awal berdirinya adalah ketidaksetujuan masyarakat akan keberadaan rumah belajar ini. Karena sebagian masyarakat menganggap Rumah Belajar Tabo memiliki misi-misi tertentu untuk anak-anak di daerah Dago. Bahkan sempat beredar rumor dan provokasi negatif tentang Rumah Belajar Tabo. Selain itu ada beberapa kelompok dan ormas agama yang berpura-pura ingin membantu, padahal hanya ingin menjalankan misi kelompoknya. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi. Rumah Belajar Tabo bisa membuktikan kepada masyarakat sekitar mereka murni ingin berbuat sesuatu untuk pendidikan anak-anak marginal.
erti sekolah atau bekerja. Mereka ikut belajar di tempat ini dengan harapan memperoleh ilmu dan pengalaman yang tidak didapatkan di luar. Anak-anak penyandang disabilitas ini mengaku merasakan banyak kemajuan setelah belajar di komunitas ini. Mereka mampu mengoptimalkan potensi. Motorik halus mereka, terutama anak tunadaksa, mengalami kemajuan. Emosiemosi negatif di-manage dengan baik dan di sal-
Â
Rumah Belajar Tabo yang hanya bermula dari kursus bimbingan belajar gratis mulai merambah ke dunia kursus melukis dan kursus Paket C gratis bagi anak-anak jalanan yang ingin mengikuti ujian nasional. Termasuk anak-anak penyandang disabilitas. Tidak banyak lembaga sosial yang dapat menampung minat dan bakat anak-anak penyandang disabilitas. Rumah Belajar Tabo menerima anakanak penyandang disabilitas sebagai manusia seutuhnya yang mampu mengaktualisasikan bakat dan minat. Terutama dalam mengekspresikan emosi-emosi positif lewat lukisan, belajar bersama, dan melakukan kegiatan positif lainnya. Anak-anak penyandang disabilitas yang belajar di Tabo mayoritas penyandang tunadaksa. Mereka belajar setiap hari Minggu, karena di hari biasa melakukan aktivitas lain, sep-
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 60
Foto-foto: Nera Insan
Warna Inklusif
urkan pada hal positif seperti melukis, bermain musik, dan bersosialisasi. Gaya belajar yang diterapkan kepada penyandang disabilitas di Tabo lebih difokuskan pada pengenalan terhadap diri sendiri. Belajar meningkatkan kemampuan, tanpa memikirkan ijazah. Selain itu, mengikuti pembelajaran di Tabo tidak dipungut biaya. Meskipun gratis, tidak mengesampingkan kualitas pembelajaran. Menurut salah seorang mahasiswa yang menjadi pengajar di Tabo,
Â
anak-anak penyandang disabilitas sangat semangat dan riang mendapatkan pelajaran baru. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan salah satu murid, Jefri. “Senang banget belajar di Tabo. Soalnya guru-gurunya baik, mengerti kebutuhan kita,� katanya. Sesudah belajar di Tabo, banyak anak yang yang bisa mengembangkan bakat, bahkan dalam perlombaan bergengsi. Contohnya dalam hal lomba melukis. Anak-anak Tabo yang masih duduk di jenjang SD umum-
5/22/12 7:24 PM
nya mampu mengukir prestasi lebih baik dibanding dengan teman-teman sebaya.
mengikuti ujian nasional. Selain itu, Rumah Belajar Tabo juga mulai mengembangkan semangat inklusif ke kampung-kampung
Pesan Rahmat Jabaril, pendidikan bukan alat untuk tipu-tipu. “Pendidikan harus menjadi ruang yang mampu menciptakan semua anak dan pelaku pendidikan mengenali siapa dirinya,� katanya. Benar! n Nera Insan Nurfadilah
Â
Menyebarkan Semangat Kini Rumah Belajar Tabo, yang hanya bermula dari kursus bimbingan belajar gratis, mulai merambah berbagai kegiatan. Selain kegiatan kursus melukis, kini ada dan kursus Paket C gratis bagi anak-anak jalanan dan penyandang disabilitas yang ingin
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 61
Â
lain. Mereka ingin semangat inklusif berkembang di masyarakat umum agar pendidikan bisa menyentuh semua anak, termasuk anak-anak disabilitas. Untuk itu, Rumah Belajar Tabo mengadakan festival kampung, antara lain di daerah Cicadas, Ciroyom, dan Leuwi Panjang.
5/22/12 7:24 PM
Bisikan Angin
Anggie
Siap Membantu
62
hiburan, Iim pasti ikut kakaknya. Anggie juga tidak merasa malu memperkenalkan adiknya kepada teman-temannya. Dan temantamannya banyak yang suka Iim. “Mukanya yang polos dan imut itu bikin gemes,” ujar Anggie. Kedekatan dua bersaudara ini terlihat selama sesi pemotretan. Iim ceria memeluk sang kakak. Anggie pun memeluk adiknya dengan
penuh kasih. Seusai pemotretan, Anggie mengatakan ingin sekali berpartisipasi dalam Lomba Cipta Lagu Penyandang Disabilitas (LCLPD) yang akan digelar majalah diffa. Sebab, ajang tersebut dapat menggugah semangat para penyandang disabilitas untuk terus mengembangkan potensi. “Saya siap membantu,” ujarnya tulus. n Lutfi Anandika
Foto: Sigit D Pratama
A
NGGIE Regina Anandari bisa disebut artis multitalenta. Selain penyanyi, dara cantik kelahiran Pontianak ini pemain sinetron, aktris layar lebar, presenter, dan bintang iklan. Awal kariernya di dunia tarik suara ketika dia mengikuti ajang Asia Bagus 1999. Di tengah segudang kesibukan sebagai artis, Anggie tetap memen tingkan pendidikan. Dia sudah meraih gelar sarjana psikologi dan berniat melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Sore itu diffa bertemu dengan Anggie karena adiknya, Filma, yang biasa dipanggil Iim, akan dipotret untuk cover diffa edisi Juni 2012. Sang adik penyandang down syndrome. Anggie datang mengantar Iim bersama sang bunda, Herlina. Keberadaan sang adik membuat Anggie sejak kecil sudah terbiasa dengan dunia disabilitas. Anggie mengakui, awal mengetahui adiknya menyandang down syndrome, ia dan keluarga sangat terkejut. Sebab, dalam sejarah keluarga mereka tidak ada penyandang disabilitas seperti itu. Tapi kemudian mereka sadar, sang adik adalah manusia spesial yang dianugerahkan dan dititipkan Tuhan kepada mereka. “Kami belajar tentang disabilitas. Bahkan kemudian saya mengambil kuliah di psikologi,” ujarnya. Iim terlihat sangat dekat dengan Anggie. Anggie sangat sayang pada sang adik. Kalau jalan jalan ke tempat
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 62
5/22/12 7:24 PM
Ahmad Tohari I usia 63 tahun, Ahmad Tohari, penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala, masih terlihat segar, sehat, kalem, ramah, dan santun, sebagaimana ia dikenal dari dulu. Mas Tohari, begitu ia biasa dipanggil sebagian teman dekatnya, diminta kelompok penulis Cendol Secoteng jadi pembicara dalam workshop penulisan bertema “Budaya Lokal dan Sastra” di Purawisata, Yogyakarta, akhir April 2012. Ia tampil bersama pengarang dan penulis skenario Nestor Rico Tambunan. Dengan gaya kalem dan kebapakannya yang khas, Mas Tohari bercerita tentang proses kreatif menulis karya triloginya yang terkenal, diterjemahkan di berbagai negara, dan belum lama ini difilmkan. “Tujuan saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk adalah melahirkan. Karena saya sudah hamil selama 15 tahun,” katanya. Ia lalu bercerita betapa peristiwa huru-hara G30S tahun 1965 menimbulkan guncangan yang hebat dalam dirinya. Ia melihat langsung pembunuhan – pembunuhan yang dilakukan bangsa ini terhadap sesama sebangsa sendiri. Ia merasa bangsa ini telah kehilangan rasa sopan dan kemanusiaan. Ia marah. Dan ia menunggu pengarangpengarang menulis tentang peristiwa itu. “Akhirnya saya tulis sendiri. Trilogi ini saya tulis selama lima tahun, dari tahun 80 sampai 85. Jadi, novel ini sebenarnya pemberontakan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini penderitaan kita semua,” katanya. Selama bercerita ia berkalikali menghapus air mata. Tapi ayah lima ini mengaku
sangat bersyukur, novel yang menceritakan penderitaan itu memberi rezeki tak terukur bagi keluarganya. “Alhamdulillah, sudah 31 tahun dan berkali-kali dicetak ulang. Novel itu mengentaskan kelima anak saya menjadi sarjana, tiga di antaranya jadi doktor,” ujarnya, lagi-lagi dengan haru. Ia memang seniman yang penuh perasaan. n Nestor
Foto: Nestor
D
Menulis dengan Hati
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 63
63 5/22/12 7:24 PM
biografi
ANNE SULLIVAN Guru dan Pendamping Helen Keller
Didi Purnomo
Didi Purnomo
Anne Sullivan adalah tokoh paling penting di balik kesuksesan dan nama besar Helen Keller. Ia mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk Helen Keller. Dan Helen Keller mencintainya lebih dari siapa pun.
64
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 64
5/22/12 7:24 PM
Guru Privat Helen
A
NNE Sullivan bernama lengkap Johanna Mansfield Sullivan. Ia lahir di Feeding Hills, Massachusets, Amerika Serikat, 14 April 1866. Anne mempunyai tiga saudara kandung, yaitu Jimmie, Ellen, dan Mary. Kedua orang tua Anne, suami-istri Thomas Sullivan dan Alice Cloesy Sullivan, adalah pasangan imigran Irlandia yang buta huruf dan miskin. Begitu miskin mereka, hingga tidak sanggup merawat anak-anak mereka dengan layak. Mungkin karena kemiskinan itu pula, saat Anne berumur 5 tahun kehilangan sebagian besar penglihatannya karena penyakit trachoma yang tidak segera ditangani. Saat Anne menginjak usia 12 tahun, ibunya meninggal dunia karena penyakit tuberculosis. Sepeninggal ibunya, Anne diabaikan oleh ayah nya. Dia dan Jimmie dikirim ke sebuah panti di Tewksbury dan tinggal di sana selama 4 tahun. Tahun 1880, saat masih tinggal di panti, Jimmie meninggal dunia. Anne lalu dikirim ke Perkins School for the Blind, sekolah tunanetra tertua di Amerika Serikat. Di sekolah itu Anne dilatih untuk menjadi guru bagi anak-anak tunanetra. Ketika bersekolah di Perkins, dua kali Anne menjalani operasi mata, sehingga memperoleh penglihatannya kembali. Meskipun tidak sepenuhnya sembuh, dia kembali dapat membaca huruf dalam ukuran normal.
Pada usia 20 tahun Anne lulus dari Perkins dan mulai mencari pekerjaan. Ini hal yang sulit karena kondisi penglihatannya yang tidak sempurna. Karena itu, ketika ditawari Michael Anagnos, Kepala Perkins School for the Blind untuk mengajar Helen Keller, dia menerima dengan senang hati, meskipun belum pernah punya pengalaman mengajar anak buta-tuli yang nyaris bisu. Di kemudian hari, terbukti memilih Anne sebagai guru untuk Helen adalah keputusan yang tepat. Karena selain pernah menjadi murid teladan, Anne pernah mengalami kebutaan sehingga dapat sangat mengerti apa yang dirasakan dan dialami Helen. Anne datang ke rumah keluarga Keller pada Maret 1887. Itu merupakan awal bagi hubungan yang harmonis Anne dan Helen. Sejak itu, sebagai guru dan pendamping seumur hidup bagi Helen, Anne tinggal, bekerja, belajar, membantu, dan menemani Helen ke mana pun dan kapan pun. Saat pertama mengajar, Anne memberi Helen hadiah sebuah boneka dan mengajarinya kata pertama, yaitu doll. Caranya, Anne menulis huruf demi huruf di telapak tangan Helen. Tapi Helen tak bisa menangkap pelajaran pertamanya itu dan merasa frustrasi. Helen tidak mengerti bahwa setiap benda mempunyai sebutan masing-masing untuk membedakannya dari benda-benda lain. Tapi Anne tidak putus asa. Dia mengajari Helen kata berikutnya, yaitu mug, yang berarti cangkir. Namun Helen masih tetap tidak mengerti. Dia justru semakin frustrasi dan merusak bonekanya. Karena Helen nyaris tak bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya, maka dia pun tak mengerti apa-apa tentang sopan santun. Helen menjadi anak yang berperilaku liar dan pemarah.
Anne kemudian mengajak Helen tinggal di pondok kecil di pekarang an rumah keluarga Keller agar bisa mengajarinya berperilaku baik. Untuk tahap awal, perhatian utama Anne adalah mengajari tata cara makan. Helen mempunyai kebiasaan yang buruk, selalu makan dengan tangan, yang bagi orang Barat dianggap tidak sopan. Dia mengambil makanan dari piring-piring orang lain tanpa izin. Anne harus berjuang keras mengajari Helen sopan santun. Namun upaya Anne mengajari tata cara makan, membiasakan menyi sir rambut, dan mengancing sepatunya, justru membuat Helen semakin sering mengamuk secara tiba-tiba. Sering kali Anne menghukum Helen dengan cara menuliskan kata-kata di telapak tangan Helen. Anne menolak berbicara pada Helen bila Helen tidak mau bersikap manis. Pengalaman satu bulan pertama Anne mengajar Helen ini di kemudian hari diabadikan dalam novel Miss Spitfire: Reaching Helen Keller, yang ditulis Sarah Miller. Novel ini ditulis dengan menggunakan sudut pandang dan sisi emosional Anne saat berjuang keras menangani Helen. Anne akhirnya berhasil membuat Helen memahami konsep nama benda saat mengajaknya memompa air di halaman rumah. Helen mempunyai kenangan abadi tentang kejadian bersejarah yang menjadi titik balik hidupnya ini. “Dia meletakkan tanganku di bawah pancuran. Ketika aliran air yang dingin menyiram sebelah tanganku, dia menuliskan kata ‘water’ di telapak tanganku yang satunya lagi. Awalnya lambat, kemudian semakin lama semakin cepat. Seluruh perhatianku tertumpah pada gerakan jari-jarinya. Tiba-tiba aku merasakan seberkas kesadaran akan sesuatu yang selama ini terabaikan. Akhirnya aku memecahkan ‘misteri bahasa’. Aku
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 65
65 5/22/12 7:24 PM
mulai mengerti bahwa ‘water’ adalah nama benda yang dingin dan ajaib yang mengalir di atas telapak tang anku. Kata ‘water’ seolah hidup dan membangunkan jiwaku; memberi cahaya, harapan, kesenangan, dan membebaskan jiwaku!” Begitulah, berkat kecerdikan, keuletan, dan kesabaran Anne, Helen pun akhirnya dapat memahami konsep nama benda dan menghubungkan kata dengan benda. Dia lalu meminta Anne menuliskan kata “pump” di telapak tangannya. Dan sepanjang perjalanan kembali pulang ke rumah, Helen menyentuh berbagai macam benda dan meminta Anne menuliskan nama-nama benda itu. Anne juga menuliskan “teacher” di telapak tangan Helen untuk memberi tahu bahwa dia boleh memanggil Anne dengan sebutan itu.
Mampu Sekolah Sejak saat itu kemajuan Helen sangat pesat. Kemampuannya belajar jauh melebihi penyandang bisu-tuli mana pun saat itu. Itu terjadi tak lama setelah Anne mengajari Helen membaca (mula-mula dengan huruf Latin timbul, lalu dengan huruf Braille) dan menulis (dengan mesin ketik biasa dan mesin ketik Braille). Anne juga mengajari Helen cara “mendengarkan” suara orang lain. Setiap kali berbicara, Anne meletakkan jari-jari Helen di wajah Anne. Ibu jari diletakkan di pangkal tenggorokan untuk meraba getaran pita suara, jari telunjuk diletakkan di bibir untuk membaca gerak bibir, dan jari tengah diletakkan di sisi hidung. Dengan cara itulah Helen merasakan getaran suara Anne. Di kemudian hari, cara ini tetap digunakan Helen untuk “mendengarkan” perkataan lawan bicaranya. Pada Mei 1888 Helen meninggalkan rumah untuk kali pertama, didampingi Anne. Helen menjalani
66
pendidikan di Perkins Institute for the Blind sebagai tamu bagi Kepala Sekolah Michael Anagnos. Bagi Anne, ini adalah saatsaat nostalgia, karena dulu pun dirinya menuntut ilmu di sekolah yang sama. Setamat dari Perkins, pada usia 13 tahun, Helen melanjutkan pendidikan ke WrightHumason School for the Deaf di New York. Anne pun mengikuti Helen pindah ke New York. Di sekolah itu Helen menjadi satu-satunya murid bisu-tuli. Dengan setia, Anne menyentuh-nyentuhkan jarinya di telapak tangan Helen membentuk setiap kata yang ada di buku atau diucapkan oleh guru. Dengan cara itu Helen bisa menyerap begitu banyak informasi dan mampu berkomunikasi baik dengan orang dewasa maupun anak-anak. Helen yang dulunya tak bisa berbahasa lisan sebagai akibat dari kondisi tulinya, kini bahkan mulai belajar berbicara. Hasrat Helen untuk berbicara akhirnya terwujud pada tahun 1890. Dia belajar berpidato pada Sarah Fuller di Horace Mann School for the Deaf, sekolah tunarungu tertua dan terbaik di Amerika Serikat. Ini semua adalah
hasil perjuangan Anne yang telah dengan gigih membuat Helen mampu berkomunikasi dengan orang lain. Tahun 1900 Helen melanjutkan studi di Radcliffe College di Cambridge, Massachusetts. Ini adalah masa yang sulit bagi Helen dan Anne. Banyaknya tugas yang harus dikerjakan Helen berpengaruh buruk bagi penglihatan Anne.
Keliling Dunia Selama masa studi di Radcliffe, Helen mulai menulis kisah hidupnya yang kemudian diedit oleh John Albert Macy, pengajar dan kritikus sastra di Harvard University. Berkat bantuan John pulalah maka buku pertama Helen The Story of My Life dapat diter-
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 66
5/22/12 7:24 PM
bitkan pada tahun 1903. Di antara kesibukan membantu Helen menulis buku itu, cinta bersemi antara Anne dan John. Mereka berdua akhirnya menikah pada tahun 1905. Karena Anne tak mau meninggalkan Helen, setelah mereka menikah, John ikut tinggal bersama dengan Anne dan Helen di Wrentham, Massachusetts. Anne dan John tetap mendampingi Helen saat pindah ke Forest Hills, Queens. Di sana, Helen menggunakan rumahnya sebagai awal perjuangan untuk The American Foundation for the Blind, organisasi yang mempunyai misi untuk menghilangkan kendala, menciptakan solusi, dan memperbesar kemungkinan bagi tunanetra menampilkan potensi terbaik mereka. Sayang, pernikahan Anne dan John tak bertahan lama. Pada tahun 1914 mereka berpisah meskipun tak pernah secara resmi bercerai. John menghilang dari kehidupan Anne, dan sejak itu Anne tak pernah menikah lagi. Anne kemudian mendampingi Helen berkeliling dunia untuk memberi kuliah umum di berbagai tempat. Helen berbicara tentang pengalaman dan keyakinannya kepada banyak orang. Karena Helen tak bisa mengucapkan kata-kata sejelas orang lain, maka dalam kuliah itu kalimat-kalimat yang diucapkan Helen diulang kembali oleh Anne. Helen dan Anne memperoleh banyak penghasilan dari mengisi kuliah umum di seluruh dunia itu. Sejak tahun 1918 permintaan mengisi kuliah mulai sepi. Sebagai ganti, Anne dan Helen melanjutkan perjalanan keliling dunia untuk menjadi bintang utama dalam berbagai pertunjukan teater dan film. Cerita yang diangkat dalam pertunjukan itu adalah kisah bersejarah titik tolak kemajuan Helen saat dia mulai memahami arti
kata “water”. Peran Anne Sullivan sebagai guru bagi Helen juga diangkat ke dalam pementasan drama The Miracle Worker yang naskahnya ditulis William Gibson. Drama ini menceritakan perjuangan Anne menembus keterasingan yang dialami Helen karena ketidaktahuan bahasa dan kondisi buta-tuli, sampai kemudian Helen memiliki kemampuan berbahasa. Drama yang sesungguhnya diproduksi untuk tontonan di televisi ini dipentaskan di Broadway untuk kali pertama pada tahun 1957, sebelum akhirnya dijadikan film bergenre feature pada tahun 1962. Dalam film ini Anne Sullivan diperankan Anne Bancroft dan Helen Keller diperankan Patty Duke. Drama tiga babak yang diadaptasi dari novel karya Hellen The Story of My Life ini berhasil mengantarkan Anne Bancroft dan Patty Duke memenangi Academy Awards untuk kategori Pemeran Wanita Terbaik dan Pemeran Pembantu Wanita Terbaik. Karier akting Helen berlanjut ke panggung drama vaudeville. Anne mendampingi Helen selama tur keli ling. Dalam tur keliling itu Helen juga tak absen memberi kuliah. Sebetulnya Anne tidak menyukai gaya hidup glamor, berlawanan dengan Helen. Akhirnya pada tahun 1922 mereka berhenti main teater dan film karena tur keliling semacam itu terlalu melelahkan untuk Anne.
Persahabatan Abadi Pada tahun 1914 kondisi kesehatan Anne, termasuk penglihatannya, mulai memburuk. Helen lalu menggaji Polly Thomson untuk bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Tahun 1922 Anne terserang bronchitis akut yang membuatnya tak mampu lagi berbicara kecuali sekadar berbisik. Kesehatan Anne terus memburuk,
terutama setelah mendengar kabar kematian John Macy pada tahun 1932. Meskipun perkawinan mereka sudah hancur beberapa tahun sebelumnya, kematian John membuat semangat hidup Anne meredup. Penglihatan Anne juga terus memburuk dan pada tahun 1935 buta total. Setahun kemudian, tepatnya 20 Oktober 1936, Anne meninggal dunia di Forest Hills, New York, dalam usia 70 tahun. Abu jenazah Anne kemudian disimpan di Washington National Cathedral. Setelah Anne meninggal dunia, Helen dan Polly pindah ke Arcan Ridge, di Westport, Connecticut. Di sanalah Helen menghabiskan sisa hidupnya. Tahun 1953 Helen mulai kembali menulis buku berjudul Teacher yang bercerita tentang Anne Sullivan dari kaca mata Helen Keller. Buku ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Saat Helen meninggal dunia, tahun 1968, abu jenazahnya ditempatkan bersebelahan dengan abu jenazah Anne. Sebuah simbol persahabatan dan cinta abadi yang mesra dan indah antara guru dan murid. Kini tempat peristirahatan terakhir Helen dan Anne menjadi tempat wisata yang terkenal. Di sana ada sebuah piagam perunggu yang ditulis dengan huruf Braille: “Helen Keller dan pendamping tercintanya, Anne Sullivan Macy, dikebumikan dalam makam di kapel ini”. Kisah mereka sungguh menggetarkan. Dan, menggugah dunia. n Mila K. Kamil
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Anne_Sullivan http://en.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller http://www.afb.org/braillebug/hkmuseum.asp
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 67
67 5/22/12 7:24 PM
cermor
Pahala Kapal Kaki
68
Didi Purnomo
P
ADA bulan Ramadhan, Pondok Pesantren Windan mengadakan ke giatan pesantren kilat bagi para penyandang disabilitas. Juminten tidak mau ketinggalan. Selain aktif di kegiatan pondok, kebetulan ia menjadi organiser di komunitas para penyandang disabilitas. Waktunya salat maghrib berjamaah, Juminten bergegas ke masjid pondok. Nahas, ketika di depan tempat wudhu Juminten terpeleset dan jatuh. Pak Kiai pun bergegas menolong Juminten, sambil berkata, “Hati-hati, Nduk, itu licin.” “Terima kasih, Pak Kiai. Tapi tidak apa-apa, Pak, cuma sakit sedikit,” sahut Juminten. Saat itu, tanpa sengaja Juminten melihat ada kapal, kerak di kulit karena sering dipakai bertumpu, di lutut, punggung telapak kaki, dan mata kaki Pak Kiai. Juminten mengira itu lebam. Jangan-jangan Pak Kiai habis kecelakaan, pikir Juminten. Selesai salat maghrib, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan buka bersama. Saat buka bersama Juminten mendekati Pak Kiai. “Pak Kiai, Bapak sedang sakit, ya?” tanyanya. Jawab Pak Kiai, “Tidak, Nduk, Bapak sehat-sehat saja.” Juminten diam sejenak sambil berpikir merangkai kalimat yang baik. “Tapi tadi saya lihat di kaki Bapak ada bekas luka-luka memar, hitam seperti bekas jatuh atau kecelakaan,” katanya kemudian. Sejenak Pak Kiai menghentikan makan kemudian melirik ke kakinya sambil tersenyum. “Ini, ya Jum? Oalah, Nduk, ini bukan bekas luka, melainkan kapal karena sering dipakai untuk salat. Ini besok bisa menjadi bukti dan saksi kalau badan ini sering digunakan untuk salat. Ini ada hitungan pahalanya,” ujar Pak Kiai.
“Oh, begitu, ya Pak Kiai? Saya juga punya kapal di kaki, Pak, lebih tebal dan lebih lebar. Tapi bukan karena sering dipakai untuk salat.” Pak Kiai menatap Juminten dengan penuh tanda tanya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. “He-he-he... kaki Juminten kapalan karena dipakai untuk ngesot dan merangkak, Pak.” Tiba-tiba Pak Kiai tertawa sambil menatap Jumin ten. “Wah, itu berpahala juga, Nduk. Karena kaki itu lulus ujian kesabaran. Dia telah berusaha keras untuk membantu aktivitas kamu.” “Ah, Pak Kiai menghibur,” ujar Juminten sambil tersenyum malu. n
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 68
5/22/12 7:24 PM
Keranda Kursi Roda
S
UATU ketika Juminten diundang mewakili penyandang disabilitas se-Jawa Tengah dalam Kongres Nasional HAM dan Disabilitas, di Denpasar, Bali. Setelah lima hari, kongres pun selesai dan Juminten harus kembali ke kampung halaman. Saat itu giliran Juminten masuk ke pesawat, karena para penyandang disabilitas mendapat prioritas yang pertama masuk ke pesawat. Ternyata di Bandara Ngurah Rai Bali belum ada fasilitas belalai untuk masuk ke kabin pesawat. Jadi Juminten harus naik tangga. Lumayan, ada 13 anak tangga. Dia pun bingung setengah mati karena tiba-tiba kakinya kesemutan. Juminten kemudian bilang kepada petugas bandara yang mendorongnya di kursi roda, “Mas, maaf ini kaki saya kesemutan, jadi saya tidak bisa jalan naik tangga.” Sahut petugas, “Tidak apa-apa, Mbak, nanti saya gendong.” “Waduh, yang benar saja, Mas. Saya berat banget. Sampean yakin kuat mengangkat saya seorang diri? Saya 65 kilo, lho. Benar, tidak bohong. Nanti kalau roboh bagaimana?” ujar Juminten. Padahal, sejujurnya ia malu kalau harus digendong, apalagi kalau harus digotong-gotong. Ia merasa tidak nyaman karena menyusahkan orang lain. Tanpa menyahut atau meninggalkan pesan, Juminten ditinggal di bawah anak tangga. Petugas bergegas naik ke pesawat kemudian keluar membawa dua teman awak pesawat. “Ayo, diangkat saja langsung dengan kursi rodanya,” kata si Petugas. Tiga petugas itu pun bekerja dengan kompak. Dua orang mengangkat di kanan dan kiri, satu orang menjaga di belakang jika kursi roda tergelincir ke belakang. Juminten pun sampai di kabin pesawat dengan kursi rodanya. Sambil tersenyum malu-malu Juminten berkata, “Terima kasih, Mas. Waduh, ini kursi roda saya bisa jadi keranda, ya Mas.” “Wah, kalau keranda harus ada kain penutupnya, Mbak,” si Petugas tertawa sambil melap keringatnya yang bercucuran. “Tapi diet ide yang bagus untuk dicoba lho, Mbak.” “Tapi, tidak ada bersyaratan berat maksimal orang naik pesawat, kan?“ kata Juminten berusaha menutupi rasa malu. n
n Zipora Purwanti, penyandang disabilitas daksa
Didi Purnomo
pengguna kursi roda, aktivis disabilitas di Solo
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 69
69 5/22/12 7:24 PM
pelangi
ELUM lama ini diffa menghadiri pesta pernikahan seorang penyandang disabilitas tunanetra dengan seorang wanita penggiat pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Sepanjang prosesi hari yang bahagia itu diffa turut serta dalam setiap acara, karena kebetulan penyandang disabilitas ini adik General Manager Majalah Diffa. Banyak hal mengharukan, terutama dari keluarga yang hadir pada prosesi adat yang dijalankan. Memang luar biasa pernikahan ini, menggabungkan setidaknya tiga budaya, yaitu Flores, Jawa, dan Batak, sehingga banyak hal yang harus dijalankan seperti pada umumnya pernikahan lintas budaya. Jika kita berbicara budaya, tentulah pernikahan ini tidak mudah terlebih karena pengantinnya penyandang disabilitas. Budaya di Indonesia masih banyak yang keliru dalam mempersyaratkan calon menantu. Seperti ungkapan kesempurnaan, latar belakang, ekonomi, bibit, bebet, dan bobot. Jika kita masukkan persyaratan tersebut ke dalam dunia disabilitas, tentu ada hal-hal yang tak terpenuhi. Oleh sebab itu pernikahan ini boleh dikatakan sesuatu yang menembus keterbatasan, bahkan mendobrak paradigma budaya yang lazim di Indonesia. Perjuangan yang sama dalam mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia ternyata juga menumbuhkan benih cinta di antara kedua insan, sehingga berujung pada pernikahan suci. Mungkin tak mudah bagi
70
pengantin wanita untuk menerima pengantin pria. Namun, kasih telah mempersatukan mereka. Setidaknya itulah yang dikatakan pengantin wanita ketika kami berbincang pada saat persiapan. Seusai acara pernikahan, diffa menyempatkan bertanya kepada orang tua pengantin wanita, mengenai menantunya yang disabilitas. Sang ibu berujar, “Kasih mengalahkan segalanya! Dan Ibu tidak pernah merasa aneh. Semua Ibu kembalikan kepada mereka berdua dan menjadi tugas Ibu untuk menjelaskan kepada keluarga besar Ibu yang sebagian besar berlatar belakang budaya Jawa.� Hal yang sama diffa tanyakan kepada bapak mempelai wanita, yang menjawab, “Saya seorang akademisi yang puluhan tahun menjadi pendidik. Wajar awalnya saya melihat dari sudut pandang logika. Namun, dalam pertemuan kedua dengan menantu saya, saat itu saya sudah menggunakan mata batin dan mata hati untuk melihat calon menantu secara keseluruhan. Kemudian kami makan bersama dan saya melihat menantu apa adanya. Dan seperti kata Ibu, kasih yang lebih besar dari sekadar cinta itu sempurna,
termasuk dalam menerima siapa pun apa adanya. Sudah menjadi tugas Bapak dan Ibu untuk menjadi juru bicara kepada keluarga besar yang berlatar belakang budaya Flores dan Jawa untuk menjelaskan, bahkan tak jarang berargumentasi, bahwa kasih tak mengenal disabilitas. Selamat untuk kedua mempelai, teruskan perjuangan pendidikan inklusif di Indonesia. Diffa mendoakan keluarga kalian bahagia dan hanya maut yang memisahkan kalian berdua. n Jonna Damanik
Didi Purnomo
B
Kasih Menembus Batas Disabilitas
diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 70
5/22/12 7:24 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 71
5/22/12 7:24 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 72
5/22/12 7:24 PM