![](https://assets.isu.pub/document-structure/220829153632-a5bead8e105f4ad0325907ff5ed9a4e7/v1/03fd362684e20f72aebe429d69e41066.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
7 minute read
Cerpen
from Buletin Edisi 02
Danau Pilu Sang Kamanakan
Oleh : Icha Putri*
Advertisement
Haikil
Kala senja, di sebuah batu besar yang berada di tepi danau berdinding curam, seorang gadis muda berusia 20 tahun tengah duduk memeluk kedua lututnya. Batu itu dikelilingi rumput liar yang merebah kesana kemari disebabkan oleh terpaan angin. Angin yang cukup kencang membuat kain kerudung yang ia kenakan turun sampai ke bahu. Langit pun mulai mendung, dan membuat kulitnya merasakan udara yang dingin. Si gadis muda memandang kosong kearah danau itu, tempat dimana ia biasanya menceritakan segala keluh kesah hidupnya. Namun kali ini, tak ada cerita yang akan ia bagikan, hanya kesunyian dan suara gemuruh yang menggema di langit itu. Seakan mewakilkan kehancuran hatinya. Segala kesakitan dan kepedihan itu meluap dan mengalir menjadi air mata, hingga matanyapun tak sanggup untuk berkedip. Dari wajahnya tak menampakkan kebahagiaan, dan yang ada hanya kekecewaan serta keputus-asaan. Dalam pikirannya, ia kembali mengingat semua yang terjadi di hari itu. “Nur, ayo kita pulang, hari sudah mulai senja,” ucap seseorang kepadanya. “Iya Said, sebentar lagi. Nur ingin lebih lama di dekat ibu,” ucap Nur tak melepaskan pandangannya dari nisan ibunya itu. Sudah satu tahun penuh ibunya meninggalkannya. Disaat itu pula lah Nur yatim piatu.
“Iya, tapi masih ada hari esok, kita bisa ke sini lagi. Nanti pamanmu marah karena pulang lama,” ucap said sambil menaikkan penyangga sepedanya.
Akhirnya Nur menuruti perkataan temannya tersebut dan ia pun pulang diantarkan oleh Said, satu-satunya teman yang ia punya di kampung itu. Mamaknya atau pamannya tidak pernah mengizinkan dirinya bargaul dengan orang lain termasuk Said, ia tidak tahu alasannya.
Keluarga yang ia punya pun tak pernah memperlakukan ia dan ibunya dengan baik sebelum kepergian ibunya. Ia dan ibunya bak benalu, menumpang lagi menyusahkan. Selama ini tak ada satu pun orang yang bisa mendengarkan ceritanya, saudara-saudara ibunya, baik perempuan dan laki-laki, menutup mata dan telinga serta mulut untuknya, begitu pula sepupu-sepupunya.
Di Rumah Gadang itu, orang yang paling banyak berubah ialah mamaknya, satu-satunya orang yang dahulu menaruh perhatian besar padanya. Nur tidak pernah bertemu ayahnya. Ibunya selalu mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal dan dikuburkan di tanah Jawa.
Bagi Nur, mamaknya sudah lebih dari cukup menggantikan peran sebagai ayahnya. Tak pernah ia mendapat kejelasan dari mamaknya, setiap kali ia bertanya perihal ayahnya, sang mamak hanya menjawab “Kamu tidak perlu tahu, cukup ikuti saja apa kata mamakmu ini,” dengan suara datar dan dingin seperti biasa yang didengar Nur.
Sesampainya di halaman rumah gadang, Nur yang dibonceng Said terkesiap saat Said memanggilnya. ia baru sadar dari lamunannya. “Sepanjang jalan tadi, Nur hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku, ada apa Nur? Jangan dipendam masalah itu sendirian, tidak baik,” ucap said, mengerti apa yang sedang dipikirkan Nur. Tapi, Said tidak pernah diceritakan apapun mengenai apa yang sedang dialami temannya itu.
Nur berjalan menuju rumah gadang. Tak Nur sadari, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jendela rumah gadang beratap gonjong itu. Pria paruh baya itu menatap tajam pemandangan yang sama sekali tak ia inginkan. Kepalanya menengadah, kedua tangannya bertaut di belakang pinggang, jarinya memegang sebuah rokok yang sesekali dihisapnya.
Nur yang tengah melangkahkan kakinya menaiki rumah terkejut ketika sebuah tangan menariknya masuk. Sang mamak, yang menyeret dan menghempaskannya di lantai rumah itu. “Jadi iko kalakuan kau salamo ko Nur?! Bakawan jo jantan nan indak jaleh!. Kalau kau nio balaki, bia mamak kau nan mancarian. Indak paralu kau mambuek mamak malu!” (jadi ini kelakuanmu salama ini Nur?! Berteman dengan laki-laki yang tidak jelas! Jika kamu ingin bersuami, biarkan mamakmu yang mencarikan. Tidak perlu membuat mamak malu!) suara berat mamaknya mengiaskan rasa tidak suka.
“Nur hanya ingin pergi berziarah ke makam ibu, Nur tidak sengaja bertemu Said di jalan. Dia ingin menemani Nur,” jelas Nur dengan nada yang lembut bercampur takut. Nur menunduk, Ia tidak berani memandang mamaknya.
“Mengapa kamu mau ditemani olehnya? Tidakkah kamu sadar, disini ada saudara-saudaramu yang bisa menemani?” ucap mamaknya tegas sambil menunjuk ke lantai rumah dengan rokok yang masih dipegang, sebelah tangan lainnya masih berjuntai di belakang pinggangnya.
“Bagaimana Nur mau meminta ditemani, sedangkan mamak sudah tahu kalau di rumah gadang ini, dari bibi sampai mamak, tidak ada yang mau bertegur sapa dengan Nur. Sampai sekarang Nur masih tidak tahu penyebabnya,” Nur masih bersimpuh di lantai, matanya mulai berkaca-kaca. Sesekali memandang mamaknya masih dengan tatapan takut.
“Jangan kau mencari alasan! Sudah untung kau kubesarkan di rumah ini! menurut saja apa kata mamak kau ini! tidakkah kau tau apa yang kau perbuat tadi akan jadi bahan gunjingan di tengah masyarakat?” mamaknya menjeda sambil menghisap rokok ditanyannya itu.
“Perlu kau tau, mamak kau ini tidak hanya mamak di rumah gadang, tapi juga penghulu di nagari. Kemana mau ku sembunyikan muka ku kalau kau berbuat yang tidak patut?!”
“Sapantiang itu bana ‘namo’ dek mamak mak..., diateh tali darah lataknyo. Padohal Nur kamanakan mamak dibawah dagu mak. Indak kamanakan di bawah dado, indak di bawah pusek, indak pulo di bawah lutuik. Tapi baa dek sabantuak itu bana senjangnyo parlakuan nan mamak agiah kabakeh Nur dibandiangkan kamanakan mamak nan lain mak?” (Sungguh sepenting itu ‘nama’ bagi mamak..., diatas tali darah letaknya. Nur keponakan mamak di bawah dagu. Tidak keponakan di bawah dada, tidak juga di bawah lutut. Tapi mengapa seperti itu betul senjangnya perlakuan yang mamak berikan kepada Nur dibandingkan keponakan mamak yang lain?) Nur mulai memberanikan diri bertanya. Ia memiliki firasat yang tidak baik. Hatinya berkata, kebenaran dibalik itu semua akan menghujam jantungnya. Ia berdiri dari duduknya.
“Dahulu mamak tempat Nur bertanya, tempat Nur mengadu. Tapi mengapa mamak berubah? Tidak adil keputusan yang mamak buat untuk Nur? Apa yang salah dari Nur?” ucap Nur sambil menunjuk dadanya menangis terisak-isak. Kali ini ia menatap mata mamaknya, meminta jawaban. Matanya sembab dan air matanya terus membanjiri wajahnya. Bibir dan hidungnya memerah.
“Tidak pantas kau bertanya seperti itu ke mamakmu!” suara mamaknya meninggi, sampai-sampai menarik perhatian penghuni rumah gadang itu. Yang perempuan mendengar dari balik pintu kamarnya, dan laki-laki yang baru pulang dari ladang memasang telinga ditempat. Tak berani menyaksikan langsung apa yang terjadi.
“Tidak pantas bagaimana mak? Nur hanya mau...”
“Manjawek juo kau apo nan aden katoan! Iyo kamanakan indak tau diuntuang kau!,” (masih menjawab kau apa yang ku katakan! Benar-benar keponakan tidak tau diuntung kau!) sang mamaknya sudah diujung kesabaran, tangannya terangkat ingin menampar. Wajahnya memerah disebabkan amarah yang memuncak. Mamaknya naik pitam.
“Tidak tahu diuntung bagaimana Nur, Mak? Tamparlah Nur keponakan mamak ini hanya meminta jawab, Mak..” suaranya bergetar menahan kesedihan. Ia sudah tak peduli dengan amarah mamaknya. Ia meluapkan segala apa yang dipendamnya di lubuk hati sekian lamanya. Ia menatap mata mamaknya dengan matanya yang memancarkan kepedihan.
“Berkali-kali Nur mau mendengar jawabannya, Mak. Ada apa? Apa sebabnya, Mak?!” Nur mendesak meminta jawaban.
“Tolonglah mamak jelask...”
“Karano kau anak nan indak jaleh asal usulnyo! indak jaleh sia bapak kau Nur! Malu den kalau kau babuek sarupo jo amak kau! Lai jaleh dek kau tu?” (karena kau anak yang tidak jelas asal usulnya! Tidak jelas siapa bapak kau Nur! Malu aku kalau kau berbuat hal yang sama dengan ibumu! Sedah jelaskah bagimu?) potong mamaknya sambil menunjuk-nunjuk Nur.
Sudah habis kesabaran sang mamak. Sedangkan Nur terdiam mematung sembari terkejut mendengar kata yang terlontar dari mulut mamaknya. Tidak siap ia mendengar kenyataan itu. Lengkap sudah penderitaan gadis muda itu, yang hidupnya selalu diselimuti kesedihan. Tidak punya ibu, ayah yang tidak jelas keberadaannya, mamak yang tidak adil terhadapnya, dan keluarga yang tidak menganggapnya. Ia kecewa, kecewa akan mamaknya yang menyimpan rahasia besar itu darinya. Lebih dalam lagi kiranya kecewa itu mengetahui kenyataan bahwa mamaknya malu akan dirinya. Sampai-sampai ia berpikir Tuhan juga tidak adil terhadap dirinya. Tidakkah Tuhan ingin memberikan setetes kebahagiaan di hidupnya? Nur pergi dari hadapan mamaknya. Ia berlari keluar dari rumah itu.
Selepas kepergian Nur, sang mamak bermenung di atas kursinya dan mulai menyesal akan apa yang terlanjur ia ucapkan. Sadar akan perlakuan yang tidak seharusnya diterima keponakannya itu. Teringat ia akan gadis kecil yang selalu dipangkunya dahulu.
Matanya yang besar dan tawanya yang menyenangkan. Tangan kecil yang selalu dibimbingnya. Ponakan yang paling ia sayang, yang ia anggap sebagai anak sendiri dikala ia sendiri tidak memiliki keturunan. Seakan dibangunkan dari tidur panjangnya, sang mamak memanggil orang rumah untuk mencari keponakannya itu.
“Tempatnya biasa bermenung di tepi danau, Mak,” ucap Ahmad, keponakan laki-lakinya. “Cepatlah kita kesana, kau tunjukkan jalannya,” pinta mamak yang hatinya mulai cemas.
Kembali ke tepi danau, seorang gadis yang sedang putus asa, turun dari batu tempatnya bermenung. Diletakkannya kerudung milik ibunya diatas batu itu. Hujan mulai turun. Ia berjalan mendekat ke tepi danau nan curam itu. Memejamkan matanya, larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan.
Tak lama waktu berselang, sang mamak pun tiba di tepi danau. Melangkah ke tempat Nur bermenung. Hujan lebat membasahi sekujur tubuhnya. Namun, langkah kaki itu terhenti. Kali ini si mamak yang mematung. Matanya tak berkedip, melihat kerudung milik almarhum adiknya diatas batu besar tepi danau itu.
“Cari urang yang pandai baranang Maik,” ucap si mamak datar kepada keponakan laki-lakinya itu. Tanpa sadar air matanya mengalir tersamarkan air hujan yang turun dengan deras. Di tepi danau itu, sang mamak menyesali segalanya. *)
*Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas