Media Kebangsaan

Page 1



Horas bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id dibaliknya; Merawat kesaktian pancasila

SALAM REDAKSI

Opini

Assalaamu'alaikum wr wb Salam Kebangsaan Selamat datang di media Kebangsaan, wadah komunikasi kesatuan bangsa dan politik di Sumatera Utara. Media ini dibangun sebagai tempat 'berbagi informasi' para pegiat demokrasi dan pengambil kebijakan tentang kebangsaan untuk berbagi informasi seputar isu dan kegiatan kesatuan bangsa, politik, dan masih banyak lagi. Nah, diawal September ini yang juga bertepatan pada hari Kesaktian Pancasila, kami dari tim redaksi media Kebangsaan ingin mengucapkan, Selamat hari Kesaktian Pancasila. Semakin banyak hal yang bisa kita lakukan bagi bangsa ini untuk menjaga kesaktian pancasila. Semua persoalan bangsa ini sepertinya bisa terlepas jika kita mampu memaknai dan mengimplementasikan butir-butir pancasila. Semoga nilai-nilai pancasila tetap terpatri dalam diri kita. Pada kesempatan ini, kasmi mencoba menyajikan edisi khusus yang merupakan forum diskusi mengupas tuntas makna dan tujuan dari ideologi negara kita, Pancasila. Terbitan khusus ini berisi artikel-artikel berkenaan dengan tema kita Refleksi Hari kesaktian Pancasila. Sebagai pengantar, kita sepakat untuk memaknai kesaktian pancasila harus dimulai dari diri kita sendiri. Karena hanya dengan itulah kita mampu menjadi bangsa yang berjati diri dan berdikari dalam berbagai lini, sehingga apapun masalah bangsa ini mampu menjadi tantangan bagi kita untuk menjaga kesucian dan kesaktian pancasila. Setuju kan?? Selamat Hari Kesaktian Pancasila. Bravo Indonesia! Salam Redaksi

1 - 33. G30S/PKI: Antara kudeta atau rekayasa; Puisi Pancasila kunci Indonesia 50. Kesaktian Pancasila; untuk maju; Pancasila; Hari kesaktian Multikulturalisme; Sejarah Pancasila lahirnya pancasila sebagai ideologi dan dasar negara; Pancasila vs edia Kebangsaa diterbitkan Agama; Api Islam; oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan ‘Pancasila sebagai ideologi Perlindungan Massyarakat Provinsi terbuka’; Perbandingan Sumatera Utaea dan dimaksudkan ideologi pancasila dengan sebagai media informasi dan forum ideologi lain; Sistem pembahasan masalah ideologi kebangsaan, politik lokal, ketahanan ekonomi: Pancasila versus ekonomi bangsa, perkembangan sosial kapitalis; "Korupsi dan dan perubahan kultural yang terjadi di Pancasila"; provinsi Sumatera Utara dan sekitarnya.

M

Artikel

34 - 39. Urgensi Pemahaman Wawasan Kebangsaan Bagi Kalangan Mahasiswa

Opini

40 - 49. Pancasila dan kekuasaan; Makna kesaktian pancasila; Kaitan partisipasi politik dan kepercayaan masyarakat; Kesaktian pancasila makna dan simbologi

Berisi informasi kegiatan, tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survey atau gagasan orosinil yang kritis dan segar. Redaksi mengundang para ahli, tokoh agama, tokoh masyarakat, politisi, sarjana dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan berbagi informasi yang dapat menginspirasi sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisasn dalam Media Kebangsaan tidak selalu mencerminkan pendapat dan kebijakan Kesbangpollinmas, Redaksi dapat menyi8ngkat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Dilarang mengutip, menterjemahkan dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. Terbit setiap dua bulan (Februari, April, Juni, Agustus, Oktober, Desember)

Pendiri: Drs. H. Eddy Syofian, MAP | Penanggungjawab: Drs. H. Eddy Syofian, MAP | Pemimpin Redaksi: Zulkarnain Rangkuti, S.Sos |Wakil Pemimpin Redaksi: Putra landri Sitepu, SSTP, MSi | Redaktur Pelaksana: Ngadimin, S.Sos | Dewan Redaksi: Dra. Malentina Ginting, Thomson, Ahmad Firdausi Hutasuhut, Zulfikar Tanjung, Syamsuri Polem. Harry SSTP, MSi, Dra. Muliana | Sekretaris Redaksi: Cut Hurry Handayani |Produksi: Zulkarnain I Grafis: Widha Meidina Utary, S.Sos, Syamsuri Polem | Alamat: Jalan Gatot Subroto nomor 361, Medan, Indonesia. Telp: (061) 4524894 - 4557009 | Email: media_kebangsaan@yahoo.com |website : bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 3 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

G30S/PKI: Antara Kudeta atau Rekayasa ---- Dian hardiansyah ---

Sebuah tanda tanya besar, bahkan sangat besar masih tetap menjadi misteri perjalanan bangsa. Benarkah Gerakan 30 September 1965 merupakan kudeta berdarah yang dilakoni PKI ataukah sebuah rekayasa belaka? Yang jelas terpatri dalam benak sebagian besar bangsa kita adalah gegap gempita sebagai kegembiraan besar 12 Maret 1966, ketika itu jutaan rakyat Indonesia menyaksikan pembubaran PKI sebagai kekuatan politik. Sehari sebelumnya, 11 Maret 1966, adalah momentum dikemudian hari yang lebih dikenal dengan Supersemar, sebagai dasar konstitusi pembubaran PKI. Soal Supersemar sendiri, ditandatangani Bung Karno kepada Mayjen Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkabtib) untuk memulihkan keamanan dan pengendalian situasi darurat akibat panasnya gesekan politik. Kita tarik ke belakang dahulu, PKI berada di baris terdepan dalam upaya besar totaliter yang mampu meneriakkan dan menggelorakan kata-kata sakti "Revolusi" di berbagai pidato yang menggemuruh dan melindas. Gelora mengawal sekaligus menyebut kata revolusi bagai sebuah kata pamungkas yang harus dijaga dan dikawal dengan khidmat. Tiap argumen merasa perlu mengutip ideologi negara dan 7 bahan pokok indoktrinasi serta menunjukkan sikap setia kepada revolusi, tentu saja kepada Pemimpin besar Revolusi, Bung Karno. Di baris terdepan tadi, dengan telunjuk paling panjang dan paling keras menuduh segala hal ikhwal dari segenap

ol. 1 20 14 4 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

sesuatu yang berbau dan tak selaras dengan revolusi, sebagai anti-revolusi. Tinju mengepal keras ke atas, dengan teriakan keras, 'Basmi para munafik revilusi!" Karena revolusi harus dijaga tanpa sejenakpun tidur. Di baris terdepan pula, PKI paling santer berseru agar kekuatan-kekuatan politik terjun dalam persaingan dimana siapakan paling loyal dalam pedoman dan pandangam sesuai dengan ideologi Pemimpin Besar Revolusi. Siapa mengundurkan diri sebagai revolusioner dan siapa kontra-revolusioner yang sah untuk dihabisi. Barangkali itu pula sebabnya, tuntutan dari PKI supaya tani juga dipersenjatai. Sontak tudingan di awal dasawarsa 1960-an tadi melumpuhkan lawan-lawan politik PKI, menggetarkan karena PKI menjadi partai komunis terbesar diluar Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina. Tercatat di tahun 1965, anggota PKI mencapai 3 juta orang. Setelah pembantaian besar-besaran di revolusi Prancis, setelah Stalin membasmi dengan revolusi oktober, kita menyaksikan hal yang sama di Cina dengan revolusi kebudayaan, lalu hal yang sama berlaku di Indonesia semenjak awal tahun 1965. Makanketika tiba-tiba pada malam 1 Oktober 1965,sejumlah pembunuhan politik terjadi, Indonesia pun kemudian meledak oleh pertumpahan darah yang sangat mengerikan bahkan sampai ke desa-desa dan pelosok paling jauh. Banyak klaim dan data yang menyebutkan pertumpahan darah tahun 1965 itu telah menjatuhkan korban sebanyak 2 juta korban jiwa. Sebuah pertumpahan darah yang nyaris setara dengan perbuatan Kmer Merah di Kamboja.(***)


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Pengamat politik, Yudi Latif:

Pancasila Kunci Indonesia untuk Maju B

angsa Indonesia kini sedang sakit kronis dan menghadapi krisis multi dimensional. Tak seorang pun bisa mengobatinya, termasuk oleh pemerintahnya. Selain itu, Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan diri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh para pemimpinnya. Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraaan (PSIK) Yudi Latif mengatakan, ada sebuah cerita di mana ada seorang seorang pasien yang tidak ada satu dokter pun bisa mendeteksi penyakitnya. Seseorang yang sakit kronis, tapi tak kunjung bisa disembuhkan, hingga si pasien mengatakan kepada dokternya untuk dibawa pulang ke rumahnya. Ketika di rumahnya, pasien yang sudah lama dirawat tersebut tiba-tiba sembuh. Itulah yang sekarang dikenal dengan nostalgia, atau bahasa sederhananya sakit karena ingin pulang ke rumah. Selain itu, ada satu Peribahasa bugis yang mengatakan jika negeri kau kacau balau, bolehlah engkau pulang ke rumah sejatimu sendiri," paparnya memberi analogi. Saat ini, Indonesia sedang gelisah, mengalami krisis kepercayaan diri, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Beberapa kali Pemilu sudah dilakukan, bermiliar uang dihamburkan, rezim demi rezim berganti, partai demi partai silih bertumbuh, tetapi tidak ada kejelasan. Hal ini disebabkan karena inkosistensi, pengkhianatan, dan ketidakjelasan sikap dari para pemimpin bangsa. Sudah saatnya bangsa ini kembali ke rumah sendiri, yakni Pancasila. Selain unsur-unsur untuk mempersatukan bangsa Indonesia, butir-butir pancasila merupakan kunci Indonesia maju yang akan menuntun bangsa ini melangkah," paparnya. Persatukan Bangsa Yudi menuturkan, Pancasila mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak bangsa ini ke dalam sebuah satu bangsa. Elemen-elemen bangsa seperti Jawa, Tiongkok, Sunda, dan lainnya diturunkan menjadi suku bangsa. "Indonesia menjadi satu rumah besar yang ditopang oleh berbagai suku atau kaki yang banyak, dan seluruh

kaki-kaki ini dipersatukan dengan satu bintang kejora yang menuntun bangsa ke depan," kata salah sPengamat Politik dari Universitas Paramadina itu. Dalam Pancasila terdapat karakter-karakter yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Pertama, Indonesia adalah bangsa yang religius. Apapun agama dan Tuhannya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Untuk menjadi bangsa yang besar, harus memiliki dasar religius yang kuat. Peradaban-peradaban yang dapat bertahan dimuka bumi, adalah peradaban yang memiliki fondasi religius. Kedua, karakter bangsa ini adalah menjadi bagian dari kemanusiaan universal. Ia menjelaskan, elemen-elemen lokal yang ada di Indonesia selalu punya kaitan dengan tradisi-tradisi besar dunia. Menurutnya Bangsa ini akan kuat, bila memiliki satu wawasan kemanusiaan. "Tanjidor di Betawi misalnya. Dalam alat musik tersebut, terdapat unsur Eropa, Tiongkok, Arab. Bila dilihat secara satu persatu tidak ada budaya Betawi, namun ketika menjadi Tanjidor disebut budaya Betawi," katanya. Ketiga, lanjut penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila ini, walaupun Indonesia mempunyai keragaman, namun dalam setiap keragaman tersebut terdapat tenunan dan jalinan yang saling mempertemukan satu dengan yang lainnya. Ia mencontohkan dengan masakan soto. Di setiap daerah ada soto. Soto Madura, Banjar, Bandung, Betawi, atau Coto Makassar, yang mempunyai khas rasa lokal, namun tetap soto. "Kita boleh berbeda. Ada elemen-elemen lokal, tetapi selalu ada benang merah yang menyatukan kita. Seperti itulah filosofi dari Bhineka Tunggal Ika. Filosofi ini tidak muncul begitu saja, namun melalui proses yang panjang melalui pertemuan, peririsan, pembauran, dan lainnya dari setiap elemen lokal melalui perdagangan, kekuasaan kerajaan, dan penyebaran agama," urainya Keempat, di seluruh Nusantara, bangsa ini memiliki tradisi musyawarah di tingkat desa. Walaupun tradisi pemilihan tidak dikenal, namun bukan berarti tidak ada prinsip-prinsip

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 5 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

demokrasi. Di beberapa daerah, terdapat tanah milik desa, yang dalam penggunaannya harus melalui proses musyawarah. Musyawarah desa ini menjadi jantung demokrasi kita. Dalam musyawarah desa tersebut, pembelajaran bagaimana kepentingan ekonomi tidak bisa dilakukan tanpa partisipasi politik, dan begitu pula sebaliknya. "Emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi dan politik. Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi tidak akan bertahan lama," ujarnya. Empat unsur tersebut pada akhirnya kembali dipersatukan dengan cita-cita dan impian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "Dan akhirnya, di manapun kita berada, baik di Papua, Sumatera, atau lainnya, kita dipersatukan dengan impian masyarakat yang adil makmur, tentram raharja," katanya. Yudi Latif kemudian mengutip dari Bung Karno yang mengatakan, unsur-unsur yang telah dijabarkan tersebut adalah yang menyatukan Bangsa Indonesia, sekaligus yang memandu dan menentukan arah bangsa. Pilar-pilar Pancasila itulah yang kemudian membentuk keindonesiaan, dan bila satu pilar dihilangkan, maka bangunan "rumah" bangsa Indonesia terguncang. Direktur Eksekutif Reform Institute tersebut melanjutkan, "rumah" Indonesia dibangun dengan jenius oleh para pendiri bangsa. Namun, seringkali diremehkan oleh bangsa sendiri. Menurutnya bangsa ini mengidap inferior kompleks yang luar biasa. Terkadang masyarakat sering menempatkan para pendiri bangsa kita satu tingkat di bawah pemikiran-pemikiran negara lain. Ia kemudian membandingkan dengan Amerika Serikat. Ketika didirikan AS merupakan negara yang homogen untuk segala ukuran, sehingga tidak sulit mengelolanya. "Hanya ada orang white anglo-saxon protestan. Berkulit putih, etnisnya anglosaxon, dan beragama protestan dan politik negara itu (Amerika) maskulin, karena politik berarti jantan. Politik berarti laki-laki. Belum ada kesetaraan gender," paparnya. Yudi melanjutkan, ketika Republik Indonesia berdiri dan "rumah" keindonesiaan dirancang, para perancangnya sangat beragam. Dari segi etnik misalnya, tidak hanya etniketnik seperti Minang, Jawa, Sunda, tapi juga dari etnik penting lainnya di Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Manado. Selain itu, ada empat orang Tionghoa, satu orang keturunan Arab, dan Indo-Belanda. Dari sisi keagamaan, selain ada Islam, Hindu, Kristen, ada juga ada perwakilan dari penghayat kepercayaan. Selanjutnya, sejak awal negara ini dirancang, dalam BPUPKI sudah terdapat keterwakilan perempuan. Sedangkan Amerika memerlukan waktu 200 tahun bagi perempuan mempunyai hak pilih. Selain itu, ketika negara Indonesia berdiri sudah ada berbagai negara, Negara Mataram, Bone, Aceh, dan lain-lain sebelumnya. "Singkat kata, keragaman yang ada di muka bumi ini sudah bisa kita selesaikan ketika republik ini didirikan. Seluruh gagasan, ideal, dan cita-cita tersebut dituangkan ke dalam empat pikiran pokok dalam pembukaan UUD 1945," tutupnya. (***)

ol. 1 20 14 6 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

Multikulturalisme Malentina Ginting Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam arti ini keberagaman bukan sekedar keberagaman suku, ras, ataupun agama, melainkan keberagaman bentukbentuk kehidupan, termasuk di dalamnya adalah kelompokkelompok subkultur, seperti gay-lesbian, para pecinta prangko, punk, suckerhead, dan lainnya. Argumen inti multikulturalisme adalah, bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri. Maka setiap bentuk kehidupan layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandangan dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku (bukan hukum moral). (Taylor, 1994) Definisi Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. Secara etimologis, multikultural berasal dari kata multi, yang artinya banyak/beragam dan kultural, yang berartikan budaya. Keragaman budaya, itulah arti dari multikultural. Keragaman budaya mengindikasikan bahwa terdapat berbagai macam budaya yang memiliki ciri khas tersendiri, yang saling berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain. Paham atau ideologi mengenai multikultural disebut dengan multikulturalisme. "Multikulturalisme" pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007). Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan ("A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, cus-


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

toms and practices"; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007). Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174). Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000). Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho' Muzhar). Sejarah Multikulturalisme Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (preexisting homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaanperbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme. Jenis MultikulturalismeBerbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh): 1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. 2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 7 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id 3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokokpokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. 4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. 5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Multikulturalisme di Indonesia Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat

ol. 1 20 14 8 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam "politics of recognition" (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membedabedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat. (***)


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Sejarah Lahirnya Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara

I

deologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah Pancasila dijadikan ideologi atau dasar negara coba baca teks Proklamasi berikut ini. Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak bangsabangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik. Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun

1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan. Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang

mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklu-

mat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 9 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia) 2. Internasionalisme (Perikemanusiaan) 3. Mufakat atau Demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan yang Berkebudayaan Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu: 1. Sosio nasionalisme 2. Sosio demokrasi 3. Ketuhanan Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong. Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno

2. Ki Bagus Hadikusumo 3. K.H. Wachid Hasjim

R. Otto Iskandar Dinata 4. Mr. Muh. Yamin 5. M. Sutardjo Kartohadikusumo 6. Mr. A.A. Maramis 7. R. Otto Iskandar Dinata 8. Drs. Muh. Hatta Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno 2. Drs. Muh. Hatta 3. Mr. A.A. Maramis 4. K.H. Wachid Hasyim 5. Abdul Kahar Muzakkir 6. Abikusno Tjokrosujoso 7. H. Agus Salim 8. Mr. Ahmad Subardjo 9. Mr. Muh. Yamin Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih

ol. 1 20 14 10 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

dikenal dengan sebutan "Piagam Jakarta". Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata "ketuhanan" yang berbunyi "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh.


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang terusmenerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan "Yang Maha Esa". Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut: UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN (Preambule) Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan

oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.(***)

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 1 1 ol.1 201 11


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Pancasila vs Agama S

iapa yang tidak kenal dengan Pancasila dan Soekarno sebagai penggalinya? Pada tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya Bung Karno mengucapkan pidatonya di depan sidang rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan. Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamn-

ol. 1 20 14 12 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

ya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia yang menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga kasus kudeta DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan sebuah negara Islam. Atau kasus yang masih hangat di telinga kita masalah pemberontakan tentara GAM. Jika kita melihat semua kejadian di atas, kejadian-kejadian


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id itu bersumber pada perbedaan dan ketidakcocokan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang mereka anut. Dengan kata lain mereka yang melakukan kudeta atas dasar keyakinan akan prinsip yang mereka anut adalah yang paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang prinsip agama. Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul "PANCASILA VS AGAMA". Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa Pancasila tidak merupakan paham yang lengkap, juga tidak merupakan kesatuan yang bulat. Kelengkapannya bergantung pada pemikiran lain yang dijabarkan ke dalam Pancasila; dan kesatuan bulatnya juga demikian. Dalam rangka ini, paham agama bisa pula masuk. Keberadaan Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa A. Arti penting keberadaan pancasila Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos (kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukumhukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk diterapkan. Sejarah Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang berbasis agama dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku. B. Sila ketuhanan yang maha esa Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila "Ketuhanan yang Maha Esa". yang pada awalnya berbunyi "‌ dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya" yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara "fair" hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah "ketuhanan yang maha esa" yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Is-

lam namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada saat itu. C. Butir-butir pancasila sila pertama Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya: Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain. Bentuk kolaborasi pancasila dengan agama „ Ideologi pancasila sebagai pilihan Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka. Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang sendiri. Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia. Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 1 3 ol.1 201 13


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada ormas-ormas yang terang-terangan menolak isi dari Pancasila tersebut. Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis. Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis. Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun. Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi mayoritas - minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh sebuah definisi sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda terlibat didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam! Apakah yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati anda ketika sebuah kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda ditentukan oleh agama lain yang bukan anda anut? Sekarang di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan budaya yang selama ini telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun artinya dilarang dipakai olah putri daerah. Bukankah ini merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia yang begitu heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang terjadi di Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut agama minoritas di sana. Jika

ol. 1 20 14 14 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan Toleransi umat beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. „ Kontroversi Pancasila Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia. Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME (Allahu Ahad). Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara, kebanyakan terdiri dari Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh pada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi, karena kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada persatuan. Perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang pertumpahan darah. Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syari'at Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini? Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti Islam, namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia. Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanu-


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id siaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan. Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana. Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal mengatakan,"Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis." Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP. Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik pedas. "Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan," kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,"Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong Bhineka, adalah kekuatankekuatan yang ingin menyeragamkan." Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran. „ Pemahaman Dan Pelanggaran Terhadap Pancasila Saat Ini Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi

Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama. Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat. Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas. Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan permusuhan. Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas. „ Kesimpulan Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa. Sehingga jika ideologi Pancasila diganti oleh ideologi yang berlatar belakang agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang dijadikan ideologi negara tersebut. Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika melaksanakannya dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan terwujud. „ Implikasi Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu adanya peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah satunya dengan saling menghargai antar umat beragama. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah. „ Saran Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya. (***)

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 1 5 ol.1 201 15


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Api Islam Pengantar Dr. Yudi Latif pengamat politik dan pemikiran Islam

"Apakah sedemikian buruknya untuk disalahpahami? Pythagoras pernah disalahpahami, demikian pula Socrates, Yesus, Luther, Copernicus, Galileo, Newton, dan setiap spirit murni dan bijak yang berdaging. Untuk menjadi agung adalah untuk disalahpahami," tulis pemikir Amerika Ralph Waldo Emerson.

S

etiap pemikir besar terlahir karena lompatan berpikir jauh ke depan mengangkangi kelaziman pemikiran arus utama; menyimpang dari kelaziman pemahaman yang sering dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap keumuman. Meski sering disalahpahami, penyimpangan kreatif seperti itulah yang menjamin keberlangsungan sejarah umat manusia yang meniscayakan pembaruan. Kegentingan yang memaksalah yang kerap mendorong sang pemikir untuk berani mengambil pilihan yang sulit: berkhidmat pada ketentraman umum dengan risiko mempertahankan kejumudan pehamanan komunitasnya, atau berteguh pendirian menawarkan ide pembaruan demi pencerahan pehamanan komunitasnya meski berisiko disalahpahami dan dicaci-maki. Seorang pemikir besar terlahir karena keteguhan pendiriannya memancangkan ide pembaruan. Demikianlah, seorang Nurcholish Madjid (Cak Nur) mencapai kebesarannya sebagai pemikir karena tero-

bosan ide-ide pembaruannya untuk mencari persenyawaan yang kreatif dan produktif antara keislaman dan kebangsaan (ke-Indonesian) antara tradisi dan kemodernan. Suatu usaha penyerbukan silang budaya, yang dalam situasi ketegangan konflik ideologis, membuatnya berada di garis luar setiap pengkutuban; bagai binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang, dicerca, dikucilkan dan disalahpamahi. Tetapi berkat kebernasan rasionalitas, keteguhan dalam pendirian, serta kebersahajaan dalam hidupnya, ide-ide pembaruannya lambat laun menjadi mercusuar bagi biduk-biduk yang limbung di tengah samudera krisis aktualisasi diri komunitas Islam dalam konteks kebangsaan dan kemoderenan. Kegentingan yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari impasse politik Islam pasca Orde Lama. Turut andil dalam memberi jalan bagi kelahiran Orde Baru, harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitasi Partai Masyumi yang dibekukan rezim Soekarno bagai punduk merindukan

ol. 1 20 14 16 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

bulan, setelah Suharto menolaknya pada bulan Januari 1967. Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua. Dengan pemblokiran jalan politik ini, para mantan pemimpin Masjumi mulai menyadari pentingnya memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik. Selain itu, menyadari kenyataan rapuhnya Islam sebagai kekuatan politik mereka juga menyerukan perlunya mempekuat persatuan (integrasi) umat Islam. Tema 'integrasi' ummat dan pengembangan 'dakwah' lantas menjadi arus utama wacana Islam, terutama di kalangan para pemimpin Islam senior. Penanda penting dari arus kesadaran ini adalah pendirian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), pada Mei 1967. Krisis politik Islam di kalangan tua ini membawa luberan krisis identitas yang melanda lingkungan aktivis mahasiswa Islam. Identifikasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masjumi selama masa Orde Lama berarti bah-


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id wa kebijakan penjinakan Islam politik pada awal Orde Baru melahirkan kekecewaan yang besar. Padahal, dominasi HMI di antara organisasi mahasiswa yang ada sejak tahun 1960-an melambungkan harapan-harapan di kalangan para anggotanya untuk bisa memainkan peranan publik yang signifikan di masa depan. Situasi yang membingungkan ini menempatkan para aktivis HMI dalam posisi limbo, antara meneruskan proyek 'Islamisasi' dunia politik dan pendidikan ataukah beralih ke proyek liberalisasi pemikiran dan aksi politik Islam. Berhadapan dengan pilihan-pilihan ini, generasi ini terdorong untuk mengembangkan sebuah wacana tentang beberapa isu krusial mengenai sosok masa depan Islam dan historisitas HMI.Secara eksternal, muncul tuntutan untuk melahirkan respon-respon yang strategis dan tepat terhadap tantangan modernisasi dan pemarjinalan Islam politik. Pada saat yang sama, dituntut pula adanya respon terhadap dilema antara apakah mendukung 'integrasi ummat' ataukah mendukung agenda liberalisasi pemikiran Islam yang dikenal sebagai 'gerakan pembaharuan'. Secara internal, HMI harus memilih apakah tetap independen secara politik ataukah berada di pihak organisasi-organisasi sosial-politik Islam, dan apakah menjadi organisasi kader ataukah organisasi massa. Pada awalnya, reaksi umum dari para intelektual HMI terhadap proyek modernisasi Orde Baru bersikap defensif. Modernisasi dianggap sebagai sebuah dalih bagi proses westernisasi dimana di dalamnya terkandung proses sekularisme yang berbahaya. Dalam perkembangan lebih jauh, muncul tiga jenis respon: liberal, reaksioner (Islamis), dan moderat (moderat-reaksioner). Respon liberal yang pertama-tama datang dari lingkaran aktivias HMI di cabang Yogyakarta, yang kadangkala disebut sebagai Kelompok Yogya. Cabang ini pernah mendukung ManipolUSDEK selama periode Demokrasi

Terpimpin. Di antara para intelektual terkemuka dari kelompok ini ialah Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo. Di luar HMI, komunitas epistemik lainnya yang mempengaruhi perkembangan intelektual dari para intelektual muda ini ialah sebuah kelompok studi yang dikenal sebagai 'Limited Group'. Kelompok ini mulai hidup sejak tahun 1967 sampai dengan 1971 dengan Prof. Mukti Ali sebagai mentornya, yakni seorang dosen IAIN Yogyakarta yang berpendidikan Barat yang mengajarkan kepada mereka keahliannya dalam ilmu perbandingan agama dan pemikiran Islam modern. Dalam kasus Ahmad Wahib, dia memiliki hubungan emosional dan intelektual yang kuat dengan beberapa pastor Katolik karena dia pernah menghabiskan waktu beberapa tahun tinggal di asrama mahasiswa Katolik, yaitu Realino. Bagi kelompok ini, modernisasi pertama-tama disambut baik; lantas kemudian dianggap sebagai keharusan bagi kaum Muslim Indonesia, bahkan meskipun proses itu mungkin mengarah pada Westernisasi (Wahib 1981: 40, 149). Respon Islamis-reaksioner terutama datang dari para aktivis Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI HMI). Didirikan pada 1966, Ketua pertama lembaga ini ialah Imaduddin Abdulrahim dengan dibantu oleh Endang Saifuddin Anshari (keduanya berasal dari HMI Cabang Bandung), dan Miftah Faridl (dari Cabang Solo). Karena kantor pusatnya berada di Bandung, kelompok intelektual yang memiliki hubungan dengan lembaga ini seringkali disebut sebagai Kelompok Bandung. Selama periode demokrasi terpimpin, HMI Cabang Bandung menjadi penentang kuat Manipol-USDEK. Sikap umum dari kelompok ini terhadap proyek modernisasi cenderung reaksioner dan curiga, baik karena alasan semantik maupun politik. Kelompok ini tidak berkeberatan dengan rasionalisme modern, sains dan teknologi, karena antara doktrin Islam dan pene-

muan saintifik, menurut standar argumen dari kelompok Islamis ini, tidaklah bertentangan, melainkan malah komplementer. Hanya saja, kelompok ini berkeberatan dengan istilah 'modernisasi' karena istilah itu dianggap sangat berhubungan dengan proses Westernisasi dan sekularisasi, dan pengadopsiannya oleh rezim Orde Baru dicurigai sebagai dalih untuk memarjinalkan pengaruh Islam politik. Bahwa pandangan-pandangan dari kelompok ini menggemakan pandangan dari para pemimpin Masjumi, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Para pemimpin LDMI, terutama Imaduddin dan Endang, memang memelihara hubungan emosional dan intelektual yang erat dengan para pemimpin Masjumi dan DDII. Ayah dari kedua orang itu (yaitu Abdulrahim dan Muhammad Isa Anshari) berasal masing-masing dari Langkat (Sumatra Timur) dan Sumatra Barat. Abdulrahim adalah seorang lulusan Al-Azhar dan merupakan seorang pemimpin lokal Masjumi di Sumatra. Sedangkan Isa Anshari, setelah pindah ke Bandung, merupakan seorang pemimpin Masjumi dan Persis yang terkemuka dan militan. Selain itu, baik Imaduddin maupun Endang dididik oleh guru agama yang sama, yaitu Rusjad Nurdin (seorang pemimpin Persis dan Masjumi). Sebagai seorang anak pemimpin Persis, Endang memiliki hubungan yang lama dengan Nurdin, sementara Imaduddin memiliki hubungan dekat dengan Nurdin setelah Nurdin menjadi seorang dosen Studi Islam di ITB pada tahun 1962. Jadi, secara etnik, ideologi, maupun intelektual, baik Imaduddin dan Endang memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri dengan Natsir.[1] Lebih dari itu, keduanya juga termasuk dalam sebuah kelompok intelektual muda yang pernah mendapatkan pelatihan dari DDII sejak akhir tahun 1960-an untuk menjadi pendakwah Islam bagi komunitas Muslim di universitas-universitas sekuler. Di tengahnya ada kelompok moderat,

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 1 7 ol.1 201 17


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id yang menerima modernisasi dengan syarat. Pandangan ini direpresentasikan oleh sikap umum dari Pengurus Pusat (PB) HMI di Jakarta. Sebagai suatu kelompok dengan kecenderungan ideologis yang berspektrum luas, PB berada dalam situasi di tengah-tengah perang antara poros JakartaBandung versus poros Jakarta-Yogyakarta. Poros yang pertama disebut Cak Nur sebagai 'jalur politik', sementara poros yang kedua, disebutnya sebagai 'jalur ide'. Mengenai integrasi ummat, para intelektual HMI pada awalnya memandang isu ini sebagai perhatian utama. Kongres HMI kedelapan di Solo (1017 September 1966) mendukung ide Kongres Umat Islam. Kelompok liberal kemudian lebih menyukai agenda gerakan pembaharuan Islam, bahkan meskipun dengan memprioritaskan agenda ini akan berarti menyebabkan terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat. Bagi kelompok ini, problem utama bagi kaum Muslim Indonesia bukanlah perpecahan Islam, akan tetapi kemandegan pemikiran Islam. Namun, bagi kelompok Islamis, perselisihan-perselisihan di kalangan internal ummat merupakan akar dari ketidakberdayaan kaum Muslim, dan oleh karenanya, mempertahankan solidaritas Islam dianggap jauh lebih penting daripada petualangan intelektual yang hanya memuaskan diri sendiri. Bagi kelompok moderat, rekonstruksi pemikiran Islam itu penting, namun tidak perlu membawa risiko terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Cak Nur sendiri pada mulanya memiliki kecenderungan moderat ini, untuk alasan yang bisa diterka. Pada masa-masa genting di awal Orde Baru ini, Cak Nur terpilih sebagai ketua HMI untuk dua periode berturut-turut (1966-1968, 1968-1971), yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dalam posisinya sebagai ketua umum HMI, tentu saja ia dituntut menjembatani kutub-ku-

tub pemikiran yang berkembang. Selain itu, ia pun punya kedekatan hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi. Pada tahun 1968, Cak Nur menulis seri artikel yang berjudul 'Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi' yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat[2] dan Liga Demokrasi. Menurutnya, definisi modernisasi secara sederhana adalah 'yang identik, atau hampir identik, dengan rasionalisasi' dan jika istilah itu didefinisikan secara demikian, modernisasi bagi seorang Muslim adalah sebuah keharusan. Meski demikian, dia kemudian mengingatkan bahwa ada kemungkinan adanya sekularisme (termasuk humanisme, liberalisme, dan komunisme) dan Westernisasi yang bersembunyi di balik seruan 'modernisasi' ini. Dalam pandangannya, sekularisme harus dilawan karena hal itu akan menghancurkan dasar agama dari negara Indonesia. Pada saat yang sama, dia menekankan pada pentingnya ideologi dan ketakterelakkan agama sebagai syarat bagi terarahnya kehidupan nasional. Modernisasi dalam konteks Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengakibatkan berakhirnya ideologi, karena kehidupan tak mungkin berjalan baik tanpa seperangkat kepercayaan, ide, sikap dan keyakinan. Yang terakhir, dia mengingatkan akan bahaya agenda tersembunyi yang dikembangkan oleh beberapa elit Indonesia yang kebaratbaratan yang sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang bernada Islam. Pergeseran pemikiran Cak Nur ke arah pemikiran Islam yang lebih progresif merupakan hasil dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya. Seperti yang dikatakan Wahib (1981: 160161): 'Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya'. Karena hobi membacanya, kata Wahib, Nurcholish ad-

ol. 1 20 14 18 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

alah orang yang cukup punya peralatan ilmu sehingga dengan suatu sikap perubahan mental saja dia sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h. 163). Ia juga merupakan seorang individu independen yang tidak memiliki mentor khusus. Bagi seorang mahasiswa IAIN, menjadi ketua HMI merupakan sesuatu yang sangat tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya. Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa 'wacana intelektual' modern. Namun, impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah. Pada bulan Oktober 1968, dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat di bawah sponsor Council for Leaders and Specialists (CLS). Alasan di balik undangan ini, menurut seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, ialah 'sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini' (Wahib 1981: 161). Selama dua bulan perjalanannya di Amerika, dia mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari para mahasiswa, mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik, dan menyaksikan langung prestasi-prestasi peradaban Barat. Dia juga berkesempatan untuk menemui kompatriotnya, seorang intelektual sosialis yang berpengaruh, Soedjatmoko, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di AS, yang menyambut kunjungannya dengan ramah. Segera setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya ke Prancis, Turki, Lebanon, Syria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan Pakistan. Selanjutnya pada bulan Maret 1969, atas undangan Raja Faisal dari Saudi


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Arabia, dia naik haji bersama dengan 10 fungsionaris HMI lainnya. Saat berefleksi atas kunjungannya baik ke dunia Barat maupun ke dunia Islam, dia menjadi sadar akan adanya jarak antara ide-ide Islam dengan realitas kehidupan di dunia Muslim. Di sisi lain, Barat yang telah sedemikian banyak dikritiknya, menunjukkan banyak dimensi dan prestasi positif. Sejak saat itu, 'mulai terlihat perubahan-perubahan arah pikiran Nurcholish. Dia mulai tertarik pada segi-segi baik dari humanisme yang sebelumnya dicapnya sebagai agama baru' (Wahib 1981: 161). Perubahan mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari 'komunitas epistemiknya', berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya. Salah seorang tokoh kunci yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat acara halal bihalal setelah 'Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan tema 'Integrasi Ummat Islam' yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya

menangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan. Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: 'Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu'. Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acara halal bihalal setelah 'Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisir ber-

sama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih 'pembaharuan pemikiran dan integrasi' sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai pembicara. Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur mempresentasikan sebuah makalah berjudul 'Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat'. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai 'psychological striking force' dari diri ummat Muslim telah menyebabkan 'kemunduran 25 tahun' bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 1 9 ol.1 201 19


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id mungkin akan menghalangi usahausaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan ĂŠlan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi Muslim tradisionalis. Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai 'pembaharuan', Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari 'nilainilai tradisional'-nya dan menggantinya dengan 'nilai-nilai yang berorientasi masa depan'. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat untul mengadopsi 'sekularisasi', mempromosikan kebebasan intelektual, menjalankan 'ide tentang kemajuan' (idea of progress), dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah 'sekularisasi' di sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna 'desakralisasi' atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental. Yang terakhir

namun juga penting, dalam merespon kian meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: 'Islam, yes; partai Islam, No!' Keberanian Cak Nur dalam mengambil langkah yang tak populer dengan mengutamakan gerakan pembaharuan, meskipun berisiko mengundang kritik luas, merupakan sebuah momen menentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektual garda depan. Seperti yang dijelaskan Max Weber: 'Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan 'pengorbanan intelek''.[3] Ambivalensi yang secara tipikal muncul dari posisi seperti itu, diuraikan oleh Bernhard Giesen sebagai berikut (1998: 43): "Para intelektual mengeluhkan tidak adanya pemahaman dari publik yang memang tak paham, tak memiliki kesanggupan untuk paham, atau bahkan bersikap memusuhi, interpretasi-interpretasi para intelektual itu. Di sisi lain, persis karena adanya penolakan oleh publik itulah, secara khas tercipta ketegangan yang bisa dimaknai sebagai keunggulan interpretatif dari intelektual garda depan. Dalam keluhannya atas publik itulah, intelektual mulai mengkonstruksi struktur dasar yang di dalamnya dia bisa mencapai hal luar biasa sebagai intelektual. Sebaliknya, pengadopsian interpretasi-interpretasi intelektual oleh khalayak luas selalu menimbulkan bahaya berupa pudarnya seorang intelektual." Dengan memprioritaskan ide-ide di atas opini publik, Cak Nur cenderung kurang menghiraukan implikasi-implikasi sosial dari pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan kontemplatifnya. Hal ini terutama berlaku dalam pernyataan krusialnya mengenai

ol. 1 20 14 20 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

keharusan 'sekularisasi'. Apapun definisinya mengenai sekularisasi, suatu bahasa atau terminologi tidaklah bisa beroperasi secara terisolasi dan tak bisa mengelak dari sejarah. Makna selalu terkonstruksi dalam konteks sosial dan historis, dan dalam proses itu, institusi-institusi dan pergulatan sosial terlibat. Seperti yang diargumentasikan oleh Jay L. Lemke (1995: 9): 'Semua makna tercipta dalam masyarakat, dan karena itu analisis terhadap makna tak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi sosial, historis, kultural dan politik dari masyarakat ini'. Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah 'sekuler' dan derivasinya memiliki sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari 'kelianan' (otherness). Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang publik dan politik-yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam-dengan referensi khusus pada kebijakan kolonial Belanda yang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarjinalkan Islam politik. Keberatan-keberatan yang diajukan kaum Muslim terhadap istilah tersebut, diperparah dengan perujukan-perujukan yang terlalu sering yang dilakukan Cak Nur ke sumber-sumber akademis Barat, sehingga semakin memperkuat rasa keasingan dan kelianan dari istilah tersebut. Karena alasan-alasan yang sama, pernyataan Cak Nur mengenai 'Islam yes; partai Islam: no!' juga disalahpahami. Seperti halnya pernyataan Tjokroaminoto di hadapan kongres Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1931 bahwa 'SI bukan sebuah partai politik, dan bukan sebuah organisasi yang menginginkan suatu revolusi, namun merupakan sebuah organisasi yang loyal kepada pemerintah,' pernyataan Madjid itu pada hakekatnya tidaklah bermaksud untuk merobohkan pengaruh Islam secara politik. Sebaliknya, justru menyodorkan alternatif untuk memperkuat pengaruh Islam secara politik melalui pendekatan non-politik.


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Namun, sekali lagi karena pernyataan itu dianggap sebagai bagian dan paket dari pernyataannya mengenai sekularisasi, para kritikusnya tak bisa membaca esensi dan nuansadari pernyataan tersebut. Perbenturan antara 'visi' dan 'tradisi' berlangsung di seputar dua poin krusial dalam pemikiran Cak Nur tersebut, yang menimbulkan perdebatan-perbedatan intelektual yang melelahkan untuk beberapa tahun ke depan. Perdebatan menyita banyak waktu itu telah terperangkap pada persoalan semantik, dan gagal membicarakan isu-isu yang substansial. Skala kontroversi dan kesungguhan visi Cak Nur menjadi semakin meluas dan kuat karena intensitas dan densitas liputan media, terutama oleh majalah Tempo dan Pandji Masyarakat yang menjadi inisiator utama dari polemik ini. Dipacu oleh liputan media, elemen-elemen penentang dari kaum Muslim, baik dari generasigenerasi yang tua maupun muda dari kalangan intelektual Muslim, seperti H.M. Rasjidi (seorang pemimpin Masjumi/DDII), Abdul Qadir Jaelani (seorang pemimpin PII yang militan), dan Endang Saifuddin Anshari (seorang intelektual HMI yang berorientasi dakwah) mulai melancarkan serangan-serangan kritik yang pedas. Di antara serangan-serangannya, Rasjidi mengeritik pandangan sekularisasi Madjid sebagai sebuah interpretasi yang semena-mena karena istilah tersebut telah memiliki makna yang baku. Rasjidi juga menegaskan bahwa Cak Nur telah mengabaikan fakta bahwa proses sekularisasi pada gilirannya akan mengarah pada sekularisme. Mendukung kritik Rasjidi, para peserta polemik yang lain berkeberatan dengan apa yang mereka tangkap sebagai penolakan Cak Nur terhadap politik Islam. Mereka ini menyakini bahwa 'Islam, yes: partai Islam, yes!' Polemik dan kategorisasi yang dilakukan oleh media atau oleh para pengamat seringkali mendorong para peserta polemik untuk berpegang teguh

pada suatu posisi pemikiran intelektual tertentu, kendatipun sebelumnya bolehjadi mereka masih memiliki keraguan tentang hal itu. Meskipun niat awal dari ceramah Cak Nur hanyalah untuk menstimulus diskusi, efek dari kritik yang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh dalam memperjuangkan ide-ide pembaruan Islam. Ide pokok pembaruan pemikiran Cak Nur berporos pada persenyawaan dari segitiga "keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan". Dari segi keislaman, Cak Nur mengingatkan kembali sentralitas doktrin Tauhid (monotheisme) yang mengandung konsekuensi bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Jalan dari kenisbian mendekatkan kepada "Kebenaran" dan kemaslahatan hidup bersama ditempuh melalui kehanifan, kerendahhatian, kesalingpengertian (ta'aruf), dan permusyawaratan dalam suatu tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab. Berdasarkan hal itu, orang-orang Muslim dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama mereka sebagai pembawa kebaikan untuk semua (rahmatan lilalamin). Masalah yang secara khusus dihadapi umat Islam tidak dapat dipandang akan dapat diselesaikan hanya oleh mereka sendiri. Jika kesenjangan sosial dan antarbangsa merupakan sumber pokok masalah zaman sekarang, maka usaha untuk menutup kesenjangan tersebut menuntut kerjasama semua orang. Dalam semangat pencarian titik temu itu, klaim universal Islam harus didialogkan dengan realitas setempat. Orang-orang Muslim diharapkan mampu

mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, Muslim Indonesia menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara Islam dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilainilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila. Garis pemikiran seperti inilah yang mempertemukan Cak Nur dengan Bung Karno dari jurusan yang berbeda. Jika Bung Karno mengidealisasikan kebangsaan yang memuliakan nilai-nilai ketuhanan, Cak Nur mengidealisaikan ketuhanan (keislaman) yang memuliakan nilai-nilai kebangsaan. Seiring dengan itu, Cak Nur menyerukan bahwa dalam merespons dinamika perkembangan masyarakat semesta, tradisi Islam juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemoderenan. Tradisi yang dinamis menghendaki adanya pembaruan (tajdĂŽd), yang dengan tekun dikembangkan. Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan bersama sebagaimana yang dilakukan sejak zaman klasik. Tidaklah banyak artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan warisan kultural yang

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 2 1 ol.1 201 21


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id ditinggalkannya.dalam status dialog yang dinamis dan lestari, yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang. Oleh karena itu, yang amat diperlukan oleh Muslim Indonesia saat ini, ialah suatu persepsi kepada agamanya secara intelektual, disertai sikap kritis terhadap berbagai warisan sejarahnya sendiri. Seterusnya, yang harus dicari ialah bagaimana memelihara segi-segi yang baik dari masa lampau itu dan sekaligus mengambil hal-hal yang lebih maju dan lebih bermanfaat dari masa sekarang. Ide-ide pembaruan Cak Nur itu ternyata memiliki kakinya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa kebernasan gagasan, keteguhan pendirian, kelurusan niat dan kebersahajaan hidup sang pemikir membuat ide-ide yang semula disalahpahami dan dicerca pada waktunya bisa dipahami, diapresiasi dan bahkan diadopsi. Hampir tiga puluh tahun setelah pidato pembaruan Cak Nur yang menghebohkan, gerakan reformasi 1998 memberi ruang sejarah bagi pembuktian dan penerimaan ide-ide Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu 1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai "nasionalis-sekular" sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan

representasi keislaman. Di luar itu, apresiasi terhadap tematema pluralisme dan toleransi juga kian meluas dalam masyarakat. Apresiasi yang mencerminkan kesejatian, pencapaian dan kontribusi ide-ide pambaruan dalam mengupayakan penyerbukan silang budaya antara keislaman dan kebangsaan serta antara tradisi dan kemodernan. Singkat kata, pokok-pokok pembaruan pemikiran Cak Nur tidak akan aus karena kepergiannya, malahan kian aktual dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Dengan intensivikasi hubungan-hubungan sosial berskala global, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, "politik identitas" (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis, bahasa dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia sendiri, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi dan berasosiasi, namun sekaligus mengandung potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan yang menyertainya. Karena setiap pencarian identitas memerlukan perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan ancaman dari munculnya keyakinan atavistik yang berkeyakinan bahwa suatu identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness). Dalam situasi seperti itu, semangat

ol. 1 20 14 22 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

untuk memandang perbedaan sebagai rahmat sangat diperlukan. Di sinilah relevansi pemikiran Cak Nur terasa sangat kuat. Buku yang ditulis secara bersemangat oleh saudara Gaus ini merupakan suatu usaha untuk merekonstruksi bangunan pemikiran Cak Nur, lengkap dengan segala kontroversi, kesalahpahaman dan implikasi-implikasinya. Ia telah berusaha memperlihatkan hitamputihnya Cak Nur dengan menyertakan berbagai sudut pandang, meskipun berbagai sudut pandang itu boleh jadi merupakan persepsi subjektif orang luar yang belum tentu demikian sejatinya menurut Cak Nur sendiri. Sayang, Cak Nur sendiri telah meninggal sehingga tidak bisa memberikan tanggapan balik atas pandangan para komentatornya. Sungguh pun begitu, setiap teks memiliki sejarahnya sendiri. Sekali teks dinyatakan, penulisnya mati, membiarkan teks itu bebas diinterpretasikan oleh penerimanya. Apalagi jika teks itu mengandung ide besar dari seorang besar, sudah barang tentu mengundang bobot kontrovesri dan ragam tafsir, termasuk potensi kesalahpahaman yang begitu besar. Namun demikian, hal itu bukanlah suatu kecelakaan. Kesalahpahaman memang bagian inheren dari nama besar. Bahkan ketika sang pemikir besar itu telah wafat, kesalahpahaman bisa berlanjut meski suatu biografi ditulis untuk meluruskan tafsir yang bengkok. Apalagi jika biografi yang ditulis juga memancing kontroversi baru. Disalahpahami bukanlah sesuatu yang buruk. Seperti kata Cak Nur sendiri, kalau kita takut dikritik dan disalahpahami, maka, "Do nothing, say nothing, and be nothing!" Biografinya sendiri mempersaksikan keberaniannya untuk melontarkan ide progresif, tanpa takut penghujatan, dan membuktikan bahwa ide satu orang yang bernas, konsisten dan bersahaja memberi arti banyak bagi kehidupan banyak orang. Selamat membaca!


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

‘Pancasila sebagai Ideologi Terbuka’ Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta karakteristik masing masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri . Namun demikian dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut. Ideologi pancasila sebagai idielogi bangsa dan negara indonesia berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. pada awalnya secara kausalitas bersumber dari nilai - nilai yang dimilki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat - istiadat , serta dalam agama - agama bangsa indonesia sebagai pandangan hidup bangsa . oleh karena itu , nilai - nilai pancasila berasal dari nilai - nilai pandangan hidup bangsa telah diyakini kebenarannya kemudian diangkat oleh bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara dan kemudian menjadi ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu , ideologi pancasila ada pada kehidupan bangsa dalam rangka bermasyarakat , berbangsa dan bernegara. Seperti yang telah dijelaskan diatas

bahwa setiap bangsa pasti memiliki ideologi yang menjadi ciri khas dari bangsa itu. Dalam praktiknya, ideologi itu ada yang bersifat terbuka , dan ada pula yang bersifat tertutup. Dalam hal ini ,Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Sebagai ideologi terbuka , pancasila mudah disusupi oleh ideologi yang lain yang boleh jadi bertentangan dengan nilai dan jatidiri bangsa Indonesia. Segenap komponen bangsa Indonesia pun didorong untuk terus mengembangkan secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Karena itu , segenap komponen bangsa harus mempertajam kesadaran tentang nilai dasar pancasila itu dan nilai - nilai dasar pancasila itu bersifat abadi , dan universal.

Arti dan Pengertian Ideologi Terbuka Istilah Ideologi berasal dari kata "idea" yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita. Dan "logos" yang berarti ilmu. Dalam arti luas, Ideologi dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nila-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit Ideologi adalah gagasan-gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dengan bertindak. Atau, Ideologi adalah cara hidup atau tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukkan sifat-sifat tertentu pada seorang individu atau suatu kelas atau pola pemiki-

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 23 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id ran mengenai pengembangan pergerakan atau kebudayaan. Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional. Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, "... terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya dan mencabutnya". Ideologi terbuka adalah ideologi yang tidak dimutlakkan. Ideologi macam ini memiliki ciri- ciri sebagai berikut: a. Merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat (falsafah). Jadi, bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan kesepakatan masyarakat. b. Tidak diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri, ia adalah milik seluruh rakyat, dan bisa digali dan ditemukan dalam kehidupan mereka. c. Isinya tidak langsung operasional. Sehingga, setiap generasi baru dapat dan perlu menggali kembali falsafah tersebut dan kembali mencari implikasinya dalam situasi kekinian mereka. d. Tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan menginspirasi masyarakat untuk berusaha hidup bertanggung jawab sesuai dengan falsafah

itu. e. Menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima warga masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Bertolak dari ciri-ciri diatas, bisa dikatakan bahwa Pancasila memenuhi semua persyaratan sebagai ideologi terbuka. Hal ini dijelaskan, pertama, Pancasila adalah pandangan hidup yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia. Kedua, Isi Pancasila tidak langsung operasional artinya kelima nilai dasar Pancasila itu berfungsi sebagai acuan dan dapat ditafsirkan untuk mencari implikasinya dalam kehidupan nyata. Ketiga, Pancasila bukan ideologi yang memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat. Keempat, Pancasila juga bukan ideologi totaliter dan kelima, Pancasila menghargai pluralitas. Meskipun Pacasila memiliki watak sebagai ideologi terbuka, harus diakui bahwa Pancasila pernah dijadikan sebagai ideologi tertutup. Pada masa orde baru Pancasila digunakan penguasa sebagai cara untuk melakukan tipu daya guna menyembunyikan, kepentingan, mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Pengalaman itu memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia: ketika dijadikan sebagai ideologi tertutup, Pancasila cenderung kehilangan daya tarik dan relevansinya. Kenapa Pancasila tidak bisa dinyatakan sebagai Idiologi yang tertutup?? Karena ,pengertian dari Idiologi Tertutup adalah idiologi yang bersifat mutlak dimana nilai-nilainya ditentukan oleh negara atau kelompok masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung di didalamnya bersifat instan. Ciri-cirinya : a. Cita-cita sebuah kelompok bukan cita - cita yang hidup di masyarakat. b. Dipaksakan kepada masyarakat. c. Bersifat totaliter menguasai semua bidang kehidupan masyarakat. d. Tidak ada keanekaragaman baik

ol. 1 20 14 24 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

pandangan maupaun budaya, dll e. Rakyat dituntut memiliki kesetiaan total pada idiologi tersebut. f. Isi idiologi mutlak, kongkrit, nyata, keras dan total. Perbedaan ideologi terbuka dan ideologi tertutup dapat dipaparkan sebagai berikut :

Fungsi Ideologi Terbuka Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan UUD


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id 1945: terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturanaturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya. Definisi/ Pengertian Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Pancasila sebagai ideologi mencerminkan seperangkat nilai terpadu dalam kehidupan politiknya bangsa Indonesia, yaitu sebagai tata nilai yang dipergunakan sebagai acuan di dalam kehidupan berrnasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua gagasangagasan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini di tata secara sistematis menjadi satu kesatuan yang utuh, Sebagai ideologi, Pancasila berlaku sebagai pedoman dan acuan dalam menjalankan aktivitas di segala bidang, dan karena itu sifatnya harus terbuka, luwes dan fleksibel, dan tidak bersifat tertutup maupun kaku, yang akan menyebabkan ketinggalan zaman. Pancasila telah memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka, hal ini dibuktikan dan adanya sifat-sifat yang melekat pada Pancasila sendiri maupun kekuatan yang terkandung di dalamnya, yaitu memenuhi persyaratan kualitas 3 (tiga) dimensi di atas.

Mengenai pengertian Pancasila sebagai ideologi terbuka, bukanlah berarti bahwa nilai dasarnya dapat diubah atau diganti dengan nilai dasar yang lain, karena bila dipahamkan secara demikian (sebagai pemahaman yang keliru), hal itu sama artinya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/ jati diri bangsa Indonesia. Hal mana berlawanan dengan nalar dan tidak masuk akal. Maka di dalam pengertian Pancasila sebagai ideologi terbuka itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar daripada Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman. Pengembangan atas nilai-nilai dasar Pancasila dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dengan memperhatikan tingkat kebutuhan serta penkembangan masyanakat Indonesia sendiri. Dengan demikian nilai-nilai dasan Pancasila perlu dioperasionalkan, yaitu dijalankan dalam kehidupan sehanihani. Nilai-nilai dasar Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dijabarkan menjadi nilai instrumental, dan penjabaran atas nilai instrumental ini tetap mengacu pada nilai dasarnya, dan nilai instrumental menjadi nilai praksis. Adapun dokumen konstitusional yang disediakan untuk menjabarkan secara kreatif atas nilai-nilai dasar tersebut antara lain dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan berupa peraturan perundang-undangan, serta kebijakankebijakan Pemerintah lainnya. Budaya asing yang bernilai negatif, misalnya tentang samen leven yang tidak dilarang di dalam kehidupan budaya Barat, akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada sikap budaya dan pandangan moral religius, demikian pula dengan pandangan keagamaan yang dikenal dengan sebutan Children of God, ditolak karena tidak sesuai dengan pandangan keag-

amaan yang telah dihayati oleh bangsa Indonesia sejak lama. Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila merupakan ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembagan jaman tanpa pengubahan nilai dasarnya. Gagasan mengenai pancasila sebagai ideologi terbuka mulai berkembang sejak tahun 1985. T Selain itu, Pancasila memang memiliki syarat sebagai ideologi terbuka,sebab: 1. Memiliki nilai dasar yang bersumber pada masyarakat atau realita bangsa Indonesia seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Atau nilai-nilainya tidak dipaksakan dari luar atau bukan pembe-berian negara. 2. Memiliki nilai instrumental untuk melaksanakan nilai dasar, seperti UUD 45, UU, Peraturan-peraturan, Ketetapan MPR, DPR, dll 3. Memiliki nilai praksis yang merupakan penjabaran nilai instrumental. Nilai Praksis terkandung dalam kenyataan sehari-hari yaitu bagaimana cara kita melaksanakan nilai Pancasila dalam hidup sehari-hari, seperti toleransi, gotong-royong, musyawarah, dll. Tetapi semangatnya sudah tumbuh sejak Pancasila itu sendiri ditetapkan sebagai dasar Negara. . Indonesia menganut ideologi terbuka karena Indonesia menggunakan sistem pemerintahan demokrasi yang didalamnya membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai keinginannya masingmasing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah yang paling tepat digunakan Indonesia. Sebuah negara memerlukan ideologi untuk menjalankan setiap pemerintahan yang ada pada negara tersebut. Dan pancasila merupakan ideologi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri dan tentu saja tidak ada negara lain yang memiliki ideologi yang sama dengan negara Indonesia. Pancasila dijadikan cita-cita bagi rakyat

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 25 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id dan keseluruhan bangsa Indonesia dan juga menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Yang dimaksud dengan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila merupakan Ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa pengubahan nilai dasarnya.Ini bukan berarti bahwa nilai dasar Pancasila dapat diubah dengan nilai dasar yang lain yang sama artinya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas / jati diri bangsa Indonesia ( AL Marsudi, 2000:62 ). Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai nilai dasar Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman secara kreatif dengan memperhatikan singkat kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri.Pancasila menjadi sebuah ideologi yang tidak bersifat kaku dan tertutup,namun bersifat reformatif,dinamis,dan terbuka.Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila bersifat actual,dinamis,antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman,ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Ideologi dapat ditentukan oleh setiap masing-masing negara. Dan Indonesia sendiri memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa karena kelima sila dalam Pancasila dipandang baik dan cocok dengan bangsa Indonesia. Setiap sila menggambarkan bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman agama dan suku. Dan negara Indonesia juga merupakan sebuah negara yang terbuka dan demokratis. Pada suatu negara demokratis setiap masyarakatnya dapat mengutarakan aspirasinya untuk merubah sesuai dengan keinginan mereka atau memberikan suara mereka. Hal ini dapat dilihat dalam keseharian atau kebiasaan hidup bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan hal-hal yang menjadi isi dari pada Pancasila terse-

but kita diharapkan untuk bisa mempertahankan dan mengamalkan dalam berbagai bidang meliputi pemerintahan, kehidupan masyarakat dan dalam bidang pendidikan. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut : a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat. b. Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya. c. Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau. d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional. Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma - norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm). Perwujudan atau pelaksanaan nilainilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya. Keeterbukaan ideologi Pan-

26 | media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 ol.1 201

casila bukan berarti mengubah nilai nilai dasar yang terkandung di dalamnya,namun mengembangkan wawasannya secara secara lebih konkrit,sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah masalah actual yang selalu berkembang. Dalam lima sila Pancasila itu mengandung ciri universal sehingga mungkin saja ia ditemukan dalam gagasan berbagai masyarakat dan bangsa lain di dunia. Sedangkan, menurut Moerdiono menyebutkan beberapa faktor yang mendorong pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka, yaitu : *Dalam proses pembangunan nasional berencana, dinamika masyarakat kita berkembang amat cepat. Dengan demikian tidak semua persoalan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara ideologis dalam pemikiran ideologi-ideologi sebelumnya. *Kenyataan bangkrutnya ideologi tertutup seperti marxismeleninisme/komunisme. Dewasa ini kubu komunisme dihadapkan pada pilihan yang amat berat, menjadi suatu ideologi terbuka atau tetap mempertahankan ideologi lainnya. *Pengalaman sejarah politik kita sendiri dengan pengaruh komunisme sangat penting. Karena pengaruh ideologi komunisme yang pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila pernah merosot menjadi semacam dogma yang kaku. Pancasila tidak lagi tampil sebagai acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik. Kebijaksanaan pemerintah di saat itu menjadi absolute. Konsekuensinya, perbedaan-perbedaan menjadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai anti pancasila. *Tekad kita untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai catatan, istilah Pancasila sebagai satu-satunya asas telah dicabut berdasarkan ketetapan MPR tahun 1999, namun pencabutan ini kita artikan sebagai pengembalian


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id fungsi utama Pancasila sebagai dasar Negara. Dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, Pancasila harus dijadikan jiwa (volkgeits) bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam pengembangan Pancasila sebagai Ideologi terbuka. Di samping itu, ada faktor lain, yaitu adanya tekad bangsa Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai alternative ideologi dunia. Prinsip hakikat Pancasila sebagai Ideologi terbuka yaitu keterbukaan ideologi Pancasila berarti untuk memperkaya wawasan dan oreintasi dalam hidup bermasyarakat, berabangsa, dan bernegara. Keterbukaan ideology Pancasila maksudnya adalah warga negara sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk social. Keterbukaan menjadikan pancasila mempunyai nilainilai dasar pancasila dapat menyaring unsur-unsur baru yang dapat memperkaya perkembangan dan pelaksanaan ideology pancasila ke arah kemajuan kehidupan bangsa dan negara. Keterbukaan mendorong pancasila menjadi dinamis, untuk mengubah nilai dasar pancasila menjadi operasional kedalam sistem kehidupan secara nasional. Batas-Batas Keterbukaan Ideologi Pancasila Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut : a. Nilai Dasar. Nilai dasar Pancasila ( yang berjumlah lima nilai ) terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Kelima nilai dasar tersebut harus tetap permanen, lestari, dan tidak boleh ada pengubahan. Hal itu karena, kelima nilai dasar tersebut mengandung citacita nasional, dasar negara, dan sumber kedaulatan negara. b. Stabilitas nasional yang dinamis. Pada dasarnya, semua gagasan untuk menjabarkan nilai dasar bisa dilakukan. Namun, sejak awal sudah bisa diperkirakan bahwa gagasan tersebut akan menimbulkan dan membahaya-

kan stabilitas dan integritas nasional. Oleh sebab itu, layak dicarikan momen, bentuk, serta metode yang tepat guna menyampaikan gagasan tersebut. c. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme. Secara faktual, proses rontoknya ideologi komunis-marxisme terjadi dimanamana. Namun setiap warga negara tidak boleh begitu saja mengabaikan bahaya komunis-marxisme. Sebab, komunisme bisa berubah dalam bentuk dan wujud yang lain. d. Mencegah berkembangnya paham liberal. e. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat. f. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus. Konsekuensi terhadap bangsa Indonesia yang menganut dan mengakui Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung tiga nilai fleksibilitas berikut a. Nilai dasar, yaitu nilai dasar yang relatif tetap ( tidak berubah ) yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. b. Nilai instrumen, yaitu nilai-nilai dari nilai dasar yang dijabarkan lebih kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945, ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Yang bisa diubah hanyalah nilai Instrumental. Di dalam Pancasila, nilai Instrumental adalah nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar atau intrinsik yang dijabarkan lebih dinamis dalam bentuk UUD 1945, Tap. MPR, serta peraturan perundang-undangan lain. Agar nilai-nilai tersebut mudah direalisasikan oleh masyarakat, maka nilai-nilai instrumental itu dituangkan dalam bentuk nilai praksis. c. Nilai praktis, yaitu nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai praktis bersikap abstrak, misalnya menghormati, kerjasama, dan kerukunan. Hal ini dapat

dioperasionalkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku seharihari. Kelebihan Dijadikannya Pancasila sebagai Ideologi Terbuka *Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. *Pancasila mengakui hak hak milik pribadi dan hak hak umum tapi komunis menyerahkan semua yang dimiliki individu pada negara. *Pancasila bukan hanya mengembangkan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis,tetap juga demokrasi ekonomi dengan asas kekeluargaan. *Pancasila memberikan kebebasan individu dalam kerangka kepentingan social. *Pancasila dilandasi nilai ketuhanan tetapi komunisme mengagung-agungkan material dan kurang menghiraukan aspek immaterial religi. *Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualism,sedangkan kapitalisme mengakui individualism dan komunisme hanya mengakui kolektivisme. *Memiliki sikap-sikap posotif yang dimiliki ideologi-ideologi lain yang ada di dunia. *Membela rakyat. *Peran serta negara tidak membuat rakyat menderita (seharusnya) *Seluruh komponen masyarakat saling memiliki keterikatan. *Bersifat terbuka, dll. Permasalahan/ Kelemahan yang Mungkin Timbul Akibat Dijadikannya Pancasila sebagai Ideologi Terbuka a. Pancasila akan berkembang kalau segenap komponen masyarakat proaktif, terus menerus mengadakan penbafsiran terhadap Pancasila sesuai keadaan, bila masyarakat pasif maka Pancasila akan menjadi idiologi tertutup, relevansinya akan hilang. b. Karena terbuka untuk ditafsirkan

media Kebangsaan, No.4 VVol. 7 ol. 1 20 14 | 2 ol.1 201 27


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id oleh setiap orang maka tidak menutup kemungkinan Pancasila akan ditafsirkan menurut keinginan atau kepentingan. c. Terlalu ditinggi-tinggikan (berlebihan) Kelemahan Pancasila dibandingkan ideologi-ideologi lain sangatlah sulit untuk dicari. Karena Pancasila sendiri mengambil segala hal-hal positif yang ada dalam setiap ideologi yang ada. Untuk bangsa Indonesia Pancasila memang sudah tepat apabila dijadikan sebagai ideologi bangsa, hanya saja cara pengamalan bangsa kita saat ini terhadap Pancasila sudah salah kaprah. Segala sesuatu yang menjadi makna atau nilai Pancasila tersebut seakanakan sudah tidak ada lagi. Dan pratek untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila lama-kelamaan mulai memudar. Sikap Positif Terhadap Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Seluruh komponen bangsa harus berusaha bersikap dan berperilaku positif yang sesuai dengan nilai - nilai Pancasila. Walaupun dengan segala problem yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, seluruh warga negara wajib melestarikan Pancasila. Terutama kemurnian nilai dasar Pancasila. Di jaman globalisasi ini, bersikap cerdas terhadap gempuran budaya asing adalah salah satu usaha untuk melestarikan Pancasila. Jika warga negara kurang bijak dalam menghadapi globalisasi, maka bisa saja akan mengotori kemurnian Pancasila. Untuk skala dan usaha lebih besar, warga negara wajib mengawal pemerintahan yang sedang berjalan. Jangan biarkan para elite politik dan aparatur negara menyelewengkan serta menyalahgunakan keterbukaan ideologi Pancasila. Melestarikan Pancasila bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan cakupan aspek kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, permasalahan dalam masyarakat pun akan semakin kompleks pula. Kegelisahan masyarakat yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut akan berdampak pada kondisi stabilitas negara. Ancaman kekerasan, pemaksaan kehendak, antidemokrasi dan ter-

or tentunya akan selalu membayangi untuk menggulingkan Pancasila Kesimpulan Bangsa Indonesia yang besar ini tidaklah akan ada jika tidak memiliki sebuah landasan ideologi. Tentunya, sebuah ideologi yang kuat dan mengakar di masyarakatlah yang akan bisa menopang sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia ini. Ideologi yang kuat tersebut adalah ideologi Pancasila. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual. Keterbukaan ideologi Pancasila juga menyangkut keterbukaan dalam menerima budaya asing. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial senantiasa hidup bersama sehingga terjadilah akulturasi budaya. Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi terbuka terhadap pengaruh budaya asing, namun nilai-nilai esensial Pancasila bersifat tetap. Dengan perkataan lain Pancasila menerima pengaruh budaya asing dengan ketentuan hakikat atau substansi Pancasila yaitu: ketuhahan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan bersifat tetap. Secara strategi keterbukaan Pancasila dalam menerima budaya asing dengan jalan menolak nilai-nilai yang tertentangan dengan ketuhahan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan serta menerima nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar pancasila tersebut. Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan UUD 1945: "terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-

ol. 1 20 14 28 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya . Meskipun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar. Sehingga ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya sangat relevan dengan suasana pemikiran di alam reformasi ini yang menuntut transparansi di segala bidang namun masih tetap menjunjung kaidah nilai dan norma kita sebagai bangsa timur yang beradab. Dengan demikian maka bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tidak menutup diri dalam pergaulan budaya antar bangsa di dunia. Daftar Pustaka *Subandi, AL Marsudi, 2001. Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. *Sutrisno, Slamet. 1986. Pancasila Sebagai Metode. Liberty. Yogyakarta. *http:// kuliahsemester1.wordpress.com/pendidikan-pancasila/pancasila-sebagaiideologi-terbuka/ *M, Hasim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan . Jakarta: Quadra. *Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan; Dwi Winarno, S.Pd., M.SI , 2006\ *Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila; Prof. Drs. H.A.W Widjaja , 2002 *Pancasila Dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis; B. Sukarno, 2005 *Pendidikan Kewarganegaraan; Dadang Sundawa, Djaenudin Harun, A.T. Sugeng Priyanto, Cholisin, Muchson A.R , 2008 *Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila; Dr. Soerjono Soekanto SH., MA , 1982 *http://www.scribd.com/doc/ 24154562/Pengertian-Pancasila-Secara-Etimologis-Historis-Dan-Terminologis Minggu, 8 April 2012 pukul 11:38


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Perbandingan Ideologi Pancasila Dengan Ideologi Lain Pengertian Ideologi Berdasarkan etimologinya, ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu (idea) berarti perawakan, gagasan, dan buah pikiran dan (logia) yang berarti ajaran. Dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran atau (science des ideas). Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan seperti: 1. Bidang politik, termasuk bidang hokum, pertahanan, dan keamanan. 2. Bidang sosial. 3. Bidang kebudayaan. 4. Bidang keagamaan. Maka ideologi negara dalam arti citacita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakekatnya merupakan asas kerohanian yang antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1. Mempunyai derajat yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. 2. Oleh karena itu, mewujudkan

suatu asas kerohanian, pandangan hidup, pandangan dunia, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan, kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat. Karena filsafat merupakn dasar dari gagasan yang berupa ideology. Filsafat memberikan dasar renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dari sudut etimologinya, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu (filos) berarti cinta dan (Sophia) berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadifilsafat berarti cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran. Karena filsafat itu tersusun dalam suatu keseluruhan, kebulatan, dan sistematis maka pemikiran filsafat harus berdasarkan kejujuran dalam penemuan hakikat dari suatu obyek yang menjadi titik sentral pemikiran. Di sini jelas bahwa hubungan ideologi

dan filsafat itu sukar dipisahkan. Ideologi berdiri berdasarkan landasan tertentu yaitu filsafat. Dan masalah ideologi adalah masalah pilihan. Ketepatannya tergantung kepada jiwa bangsa itu sendiri. Ideologi yang dianngapnya benar dan sesuai dengan jiwa bangsa, apa lagi yang telah terbukti tetap dapat bertahan dari segala godaan dan cobaan ideologi lain melalui gerakan-gerakan atau pemberontakan akan memperkuat keyakinan pentingnya mempertahankan ideology. Ideologi Pancasila Pancasila berasal dari bahasa sansekerta, menurut Muhammad Yamin dalam dalam bahasa sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu: *Panca artinya lima *Syila artinya batu sendi, alas, dasar *Syiila artinya peraturan tingkah laku yang baik/senonoh Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang memiliki arti secara harfiah harfiah yaitu dasar yang memiliki lima unsur. Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu dalam ideologi Pancasila mengakui atas kebebasan

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 29 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia menurut Pancasila memiliki kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai Ketuhanan senantiasa menjiwai kehidupan manusia dalam hidup negara dan masyarakat. Kebebasan manusia dalam rangka demokrasi tidak melampaui hakikat nilai-nilai Ketuhanan, bahkan nilai Ketuhanan terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi kebebasan manusia. Perbandingan Pancasila Dengan Ideologi Lain Berikut beberapa perbandingan ideologi Pancasila dengan ideologi lain dalam beberapa aspek, yaitu: *Politik Hukum Pancasila > Demokrasi Pancasila, Hukum untuk menjunjung tinggi keadilan dan keberadaan individu dan masyarakat. Sosialisme > Demokrasi untuk kolektivitas, Diutamakan kebersamaan, Masyarakat sama dengan negara. Komunisme > Demokrasi rakyat, Berkuasa mutlak satu parpol, Hukum untuk melanggengkan komunis. Liberalisme > Demokrasi liberal, Hukum untuk melindungi individu, Dalam politik mementingkan individu. *Ekonomi Pancasila > Peran negara ada untuk tidak terjadi monopoli dll yang merugikan rakyat. Sosialisme > Peran negara kecil, Kapitalisme, Monopolisme. Komunisme > Peran negara dominan, Demi kolektivitas berarti demi Negara, Monopoli Negara. Liberalisme > Peran negara kecil, Swasta mendominasi, Kapitalisme, Monopolisme, Persaingan bebas. *Agama Pancasila > Bebas memilih agama, Agama harus menjiwai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sosialisme > Agama harus mendorong berkembangnya kebersamaan, Diutamakan kebersamaan. Komunisme > Agama harus dijauh-

kan dari masyarakat, Atheis. Liberalisme > Agama urusan pribadi, Bebas beragama (memilih agama/ atheis). *Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat Pancasila > Individu diakui keberadaannya, Hubungan individu dan masyarakat dilandasi 3S (selaras, serasi, dan seimbang). Sosialisme > Masyarakat lebih penting daripada individu. Komunisme > Individu tidak penting - Masyrakat tidak penting, Kolektivitas yang dibentuk negara lebih penting. Liberalisme > Individu lebih penting daripada masyarakat, Masyarakat diabdikan bagi individu. *Ciri Khas Pancasila > Demokrasi Pancasila, Bebas memilih agama. Sosialisme > Kebersamaan,Akomodasi. Komunisme > Atheisme, Dogmatis, Otoriter, Ingkar HAM. Liberalisme > Penghargaan atas HAM, Demokrasi, Negara hokum, Menolak dogmatis. Berdasarkan sifatnya ideologi Pancasila bersifat terbuka yang berarti senantiasa mengantisipasi perkembangan aspirasi rakyat sebagai pendukung ideologi serta menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Ideologi Pancasila senantiasa merupakan wahana bagi tercapainya tujuan bangsa. Kedudukan dan fungsi pancasila harus dipahami sesuai dengan konteksnya, misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Seluruh kedudukandan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana dikelompokkan maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar filsafat Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebu-

ol. 1 20 14 30 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

dayaan bangsa Indonesia sepanjang sejarah, yang berakar dari unsur-unsur kebudayaanluar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Hal itu bias dilihat dari proses terjadinya Pancasila yaitu melalui suatu proses yang disebut kausa materialisme karena nilainilai dalam Pancasila sudah ada dan hidup sejak jaman dulu yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan yang diyakini kebenarannya itu menimbulkan tekad bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan dalam sikap dan tingkah laku serta perbuatannya. Di sisi lain, pandangan itu menjadi motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari pandangan inilah maka dapat diketahui citacita yang ingin dicapai bangsa, gagasan kejiwaan apa saja yang akan coba diwujudkan dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Satu pertanyaan yang sangat fundamental disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara Republik Indonesia adalah " atas dasar apakah negara Indonesia didirikan?" ketika mereka bersidang untuk pertama kali di lembaga BPUPKI. Mereka menyadari bahwa makna hidup bagi bangsa Indonesia harus ditemukan dalam budaya dan peradaban bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dari nilainilai yang dimiliki, diyakini, dan dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahirnya. Nilai-nilai itu adalah buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Merela menciptakn tata nilai yang mendukung tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberi corak, watak, dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lainnya. Kenyataan yang demikian itu merupakan suatu kenyatan objektif yang merupakan jatidiri bangsa Indonesia.


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Memperhatikan perekonomian Indonesia dalam 2 bulan terakhir kita khawatir karena dengan naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah membuat daya beli masyarakat melemah , karena tingkat inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM masih belum terbendung. Apalagi dengan perdagangan global yang agak terguncang oleh statement bank sentral AS, melihat hal ini..tingkat inflasi di daerah akan naik tajam karena untuk kebutuhan pokok Indonesia masih impor dan perputaran modal oleh kapitalis adalah investasi untuk mengeruk hasil bumi Indonesia, bukan investasi untuk produk ekspor.

Menelaah perekonomian Indonesia secara makro dan mikro, sudah jelas tidak sesuai dengan amanat UUD 45 dan PancaSila yang menjadikan dasar negara Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia, kami menilai bahwa ekonomi kapitalis tidak sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila yang dianut oleh negara liberalisme yang menggadang-gadangkan kapitalisme. System Kapitalisme pertama kali diciptakan oleh Adam Smith dalam bukunya "The wealth of nation". System kapitalisme yang sebenarnya dibuat untuk menolong perusahaan2x mendapatkan modal untuk memajukan perusahaan. Selain itu system ini juga memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk ikut ambil bagian dalam perusahaan, ikut memiliki perusahaan, dan ikut meraih keuntungan dari perusahaan. Dimana kesempatan itu bisa di capai dengan cara

membeli saham perusahaan. Kejadian2x ekonomi, politik dan sosial budaya di Indonesia seringkali kita jumpai jauh dari nilai2x Pancasila. Bahkan cenderung menjatuhkan citra Pancasila sebagai "way of live". Bahkan terkesan bangsa ini telah mengadopsi nilai2x barat sebagai pandangan hidup, yakni kapitalis liberal. Perekonomian Indonesia mulai dirasakan dominan dengan sistem kapitalis sejak 1983. Kebijakan deregulasi 1983 dan liberalisasi perbankan 1988, yang keduanya jelas menggambarkan langkah terang-terangan memilih sistem ekonomi kapitalisme liberal. Meskipun tahun 1994, Mensesneg (saat itu) Moerdiono masih membantah bangsa Indonesia menerapkan liberalisme, namun Radius Prawiro mengakui sistem ekonomi Indonesia sejak 1988 menjadi "paling liberal di dunia".

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 31 ol.1 201


Opini bakesbangponilmas.sumup trov.god .i Sejak pemerintahan Orde Baru dengan sadar mengubah arah dan sistem pembangunan ekonomi Pancasila ke kapitalisme. Padahal, sistem ekonomi Indonesia telah ditetapkan sebagai sistem ekonomi Pancasila, sebagaimana dalam Tap No. XXIII/MPRS/1966 Pasal 6. Namun perkembangan selanjutnya, sistem ekonomi diubah ke arah sistem kapitalisme yang liberal dengan membiarkan perkembangan usaha swasta yang serakah dalam bentuk konglomerasi. Maka jelaslah di sini, proses swastanisasi atau privatisasi terjadi secara besar-besaran bersamaan dengan berkembangnya liberalisasi dan globalisasi, serta meningkatnya peran swasta yang tidak terkendali hingga kini. Ekonomi Pancasila versus Ekonomi Kapitalis Sistem Ekonomi Kapitalis 1. Cenderung privatisasi, yang menyebabkan ketergantungan ekonomi pada kepentingan ekonomi asing. Privatisasi yang melepaskan cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan individu yang secara kapital dipandang kuat dan efisien. 2. Menganut paham kapitalisme liberal, yang mengabaikan paham cooperativisme (tolong menolong) dan mementingkan kepentingan pribadi demi tercapainya kepuasan dan laba maksimal. Ataupun biaya minimal dan kerugian minimal. Inilah arti efisiensi ekonomi dalam persaingan, sehingga siapa yang tidak efisien harus kalah dan tersingkir. Sistem ini antisubsidi dan antiproteksi secara membabi buta, demi efisiensi si

lemah tidak perlu dilindungi dan ditolong, walaupun mereka sedang belajar sekalipun. 3. Tak ubahnya seperti ekonomi "peperangan" (perang bebas), menghadirkan kehidupan ekonomi penuh tensi dan stress, membentuk masyarakat kerja tanpa arah. Sistem ini jauh dari berpikir sinergi dan kerja sama mutualitas sebagai kekuatan ekonomi. Mengabaikan kewajiban hidup rukun untuk membentuk suatu masyarakat yang damai. Model ekonomi ini berjangkauan kepentingan parsial, semata-mata meraih nilai tambah ekonomi, sedangkan ekonomi kerja sama berjangkauan kepentingan multiparsial yang berorientasi tidak saja nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial-kultural. Sistem Ekonomi Pancasila Meberikan rakyat untuk berdemokrasi ekonomi menuju kemakmuran bersama. Adapun ciri2x ekonomi Pancasila;

ol. 1 20 14 32 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

1. Perekonomian yang berasaskan kekeluargaan. 2. Pengawasan oleh lembaga2x perwakilan. 3. cabang2x produksi penting, dikuasai oleh negara. 4. Hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. 5. Hak milik berfungsi sosial. 6. Daya kreasi warga negara bebas dikembangkan. 7. fakir miskin mendapat jaminan sosial dari negara. 8. Dikembangkannya nilai moral dalam berekonomi. Dari uraian di atas, cukup jelas jika bangsa Indonesia tidak akan maju tanpa nilainilai yang kuat. Maka kita wajib memperjuangkan sebuah sistem ekonomi di mana nilai religius ada di dalamnya. Disamping itu, hendaknya pemerintah memperkuat basis pembangunan ekonomi negara ini kepada 6 kebutuhan mendasar, seperti: 1. Swasembada pertanian (pangan) 2. Perumahan untuk rakyat 3. Pendidikan dan kesehatan 4. Supremasi hukum berdasarkan UUD 45 dan Pancasila 5. Mengurangi kepemilikan alam Indonesia oleh kapitalis 6. Menjalankan roda pemerintahan dengan akhlak mulia Sebagai himbauan kepada para pekerja/buruh, dimana memasuki masa kampanye ini, kami menghimbau untuk tidak terjebak dalam politik praktis yang dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok golongan guna mempertahankan seistem ekonomi liberalisme dan kapitalis. (dikutip dari berbagai sumber)


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

"Korupsi dan Pancasila" "Korupsi dan Pancasila" adalah suatu hal yang saling berhubungan di negeri ini. Korupsi dan pacasila yang saling berketerkaitan satu sama lain. Korupsi adalah suatu masalah yang besar di negeri ini. sehingga korupsi sangat menyalahi pancasila. Jadi, antara korupsi dan pancasila memiliki keterkaitan yang sangat dekat. Korupsi yaitu, masalah yang sangat-sangat besar yang sedang melanda negeri ini, para petinggi Negara berlombalomba menghabiskan duit Negara, bukan hanya para petinggi Negara, banyak masyarakat Indonesia yang korupsi, berawal dari hal yang kecil korupsi bisa terjadi. Sampai akhirnya hal yang besar yang membuat seseorang menjadi lebih ingin mencoba mengambil keuntungan dari kekuasaan. Itulah Indonesia, Negara besar yang memiliki segudang masalah. Pemerintah tidak pernahmelihat bagaimana nasib-nasib rakyatnya. Mereka hanya bisa memeras, merampas, mengambil, apa yang seharus nya menjadi hak rakyat. Tapi para petinggi Negara tidak pernah memperdulikan rakyatnya, yang mereka lakukan hanya bisa menghambur-hamburkan duit rakyat. "definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan public untuk kepentingan pribadi, atau privat yang merugikan public dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hokum yang berlaku" (Kalla, Jusuf. 2009 : 6). Itulah cerminan pemerintah kita yang sebenar nya hanya

bisa merugikan Negara dan rakyat nya. Tetapi, apa mau di kata, korupsi adalah sebuah budaya di negeri ini. Sulit untuk memberantas korupsi, Negara ini penuh dengan orang-orang yang serakah akan kekayaan. Semua hidup masing-masing, tanpa melihat kanan kiri mereka. Padahal di belakang mereka, banyak orang yang sedang kesusahan, banyak miskin, banyak yang tidak makan, banyak yang tidak mampu, tapi tidak ada yang memperdulikan mereka. Benar-benar miris melihat keadaan di Negara ini, penuh dengan tanda Tanya. Di mana sebenarnya hati nurani manusia itu berada. Sampai-sampai mereka melupakan sodara-sodara mereka yang sedang kesusahan. Apa mereka buta, sehingga tidak melihat anak-anak yang bersusah payah untuk mendapatkan uang, untuk makan sehari-hari. Itulah Indonesia, Negara yang memiliki masyarakat yang berbeda-beda, tetapi apakah kita semua bisa membasmi korupsi? Atau apakah kita bisa melawan korupsi? Jawaban nya akan kita bahas pada pembahasan.(***)

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 33 ol.1 201


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Urgensi Pemahaman Wawasan Kebangsaan Bagi Kalangan Mahasiswa

“

Abstrak.: Jangan tanyakan kepada negara, apa yang dapat diberikannya kepada kita, melainkan tanyakanlah kepada diri kita apa yang dapat kita dharma baktikan bagi negara kita, demikian John F. Kennedy yang menjadi Presiden Amerika Serikat tahun 1961-1963. Pendapat Kennedy di atas masih relevan untuk kita percakapkan, ketika banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.

Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika mengamati pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya kecenderungan kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya disorientasi dan perpecahan. Bangsa Indonesia yang menghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah sebuah bangsa yang besar. Negara dengan jumlah penduduk Âą 212.000.000 orang ini merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Keadaan tanahnya yang subur dan terletak diantara dua benua serta dua samudra besar membuat posisi geografis Indonesia sangat strategis menyebabkan banyak bangsa-bangsa lain di dunia sejak dulu ingin menguasai bumi Nusantara ini. Kondisi geografis yang sangat menguntungkan bangsa ini diperindah lagi dengan keanekaragaman suku, etnis, agama, bahasa dan adat istiadat, namun sangat rentan terhadap perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah "negara bangsa" diperlu-

kan suatu cara pandang atau wawasan yang berorientasi nasional (Wawasan Nasional) dan merupakan suatu kesepakatan bangsa Indonesia yang dikenal dengan "Wawasan Nusantara". Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika mengamati pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya kecenderungan kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan. Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan

ol. 1 20 14 34 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

Drs. H. Eddy Syofian, MAP (Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Sumatera Utara) salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence crisis) dan rasa hormat diri (self-esteem crisis) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terusmenerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu "nation".


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya "nation and character building" kita selama ini, karena mungkin saja persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal "kebangsaan" yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, "menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa." Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, "menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa". Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menja-

di keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda/mahasiswa-seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi bangsa, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai daerah, terutama yang amat mencekam adalah pertikaian yang terjadi di Ambon, Aceh, Papua dan Poso, dimana terdapat kecenderungan paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini. Melihat perkembangan wawasan kebangsaan yang dimiliki anak-anak bangsa seperti itu, apabila dibiarkan dapat dipastikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini akan terpecah-pecah, dan pada gilirannya akan memudahkan kekuatan asing masuk ke wilayah kita seperti terjadi pada jaman penjajahan Belanda dahulu. Ketika itu bangsa Indonesia ditindas, diperas dan dibelenggu kebe-

basan hak-haknya oleh Belanda. Dengan semangat persatuan Indonesia bangsa ini kemudian bangkit bersatu padu mengusir penjajah. Untuk diketahui bahwa, sebenarnya Wawasan Kebangsaan Indonesia sudah dicetuskan oleh seluruh Pemuda Indonesia dalam suatu tekad pada tahun 1928 yang dikenal dengan sebutan "Sumpah Pemuda" yang intinya bertekad untuk bersatu dan merdeka (satoe Noesa, Satoe Bangsa, Satoe Bahasa) dalam wadah sebuah "Negara Kesatuan Republik Indonesia". Untuk itu seharusnya dalam menghadapi keadaan negara yang serba sulit seperti sekarang ini kita bangsa Indonesia harus bangkit bersatu dan bergandengan tangan mengatasi masalah bangsa. Pengertian Wawasan Kebangsaan Secara hurufiah konsep Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu kata Wawasan dan Kebangsaan. Kata Wawasan yang berasal dari bahasa Jawa "wawas" berarti pandang. Sementara Wawasan berarti cara pandang yang meliputi baik cara atau metode maupun isi substansi pandangan tersebut. Kata Kebangsaan berasal dari kata "Bangsa" yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan Kebangsaan dalam kamus umum bahasa Indonesia mempunyai beberapa pengertian yaitu 1) ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, 2) perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan bangsa), 3) kedudukan (sifat-sifat) sebagai orang mulia (bangsawan), 4) kesadaran diri sebagai warga dari suatu Negara. Wawasan kebangsaan adalah pandangan dari suatu bangsa terhadap negaranya untuk mencapai tujuan-tujuan awal. wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 35 ol.1 201


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik. Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya. Dalam hal iniBudaya bangsa adalah kebiasaan-kebiasaan atau kebudayaan-kebudayaan yang dianggap sebagai dasar untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk melestarikan nilai-nilai budaya bangsa, wawasan kebangsaan berperansebagai benteng dalam mempertahankan kultur bangsa di era globalisasi. Tiga unsur Wawasan Kebangsaan yaitu : Rasa Kebangsaan, Paham Kebangsaan dan Semangat Kebangsaan. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Rasa Kebangsaansebenarnya merupakan sublimasi dari Sumpah Pemuda yang menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormati dan disegani diantara bangsa-bangsa di dunia. Kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang kuat atau besar, manakala kita secara individu maupun kolektif tidak merasa memiliki bangsanya. Rasa kebangsaan adalah suatu perasaan rakyat, masyarakat dan bangsa terhadap kondisi bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya menuju cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita sering membaca dan mendengar melalui media massa baik elektronik maupun cetak bahwa banyak orang menyampaikan pendapat tentang penyelesaian konflik Aceh menurut cara berpikir sendiri-sendiri, tetapi sampai sekarang belum ada yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk

membantu menumpas pemberontak GAM. Sebagai Contoh: Ketika bangsa ini membebaskan Irian Jaya, Presiden Soekarno menyatakan melalui siaran RRI : pada tanggal 1 Mei 1961, sebelum ayam berkokok Bendera Merah Putih sudah berkibar di Irian Barat dan Belanda sudah meninggalkan Indonesia. Saat itu juga para pemuda-pemudi bangsa Indonesia berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan sukarelawati untuk bersama-sama dengan Angkatan Perang mengusir Belanda, demikian juga pada saat konfrontasi dengan Malaysia. Ini semua menunjukkan bahwa pada saat itu rasa kebangsaan bangsa Indonesia cukup tinggi, yang sama sekali berbeda dengan kondisi sekarang. Paham kebangsaan merupakan pemahaman rakyat dan masyarakat terhadap bangsa dan negara Indonesia yang diploklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pemahaman tersebut harus sama pada setiap anak bangsa meskipun berbeda dalam latar belakang pendidikan, pengalaman serta jabatan. Substansi dari paham kebangsaan adalah pengertian tentang bangsa, meliputi apa bangsa itu dan bagaimana mewujudkan masa depannya. Uraian rinci tentang paham kebangsaan Indonesia adalah sebagai berikut: Pertama, Atas "Rahmat Allah Yang Maha Kuasa" pada tanggal 17 Agustus 1945, bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia lahirlah sebuah bangsa yaitu "Bangsa Indonesia", yang terdiri dari bermacammacam suku, budaya, etnis dan agama. Bangsa ini lahir dari buah persatuan bangsa yang solid dan kesediaan saling berkorban dalam waktu yang panjang dari para pendahulu kita. Bangsa Indonesia lahir tidak didasarkan sentimen atau semangat primordialisme agama, maupun etnis, melainkan didasarkan pada persamaan nasib untuk menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan terhormat. Setiap warga negara mempun-

ol. 1 20 14 36 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

yai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintah. Dengan demikian setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan tidak ada diskriminasi diantara warga masyarakat, termasuk upaya pembelaan negara. Apabila setiap warga negara konsisten dengan kesepakatan bersama yang dihasilkan oleh para pendahulu kita itu, kiranya bentrokan-bentrokan antar anak bangsa tidak perlu terjadi, hanya karena perbedaan suku, agama, etnis maupun golongan. Kedua, bagaimana mewujudkan masa depan bangsa ? Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia telah mengantarkan rakyat Indonesia menuju suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Uraian tersebut adalah tujuan akhir bangsa Indonesia yaitu mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan masa depan bangsa Indonesia menuju ke masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah telah melakukan upaya-upaya melalui program pembangunan nasional baik fisik maupun non fisik. Sasaran pembangunan yang bersifat fisik ditujukan untuik meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan yang bersifat non fisik diarahkan kepada pembangunan watak dan character bangsa yang mengarah kepada warga negara yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa dengan mengedepankan sifat kejujuran, kebenaran dan keadilan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Semangat Kebangsaan atau nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Kondisi semangat Kebangsaan atau nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman. Berbicara Semangat Kebangsaan, kita tidak boleh lepas dari sejarah bangsa, antara lain Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya dan Peristiwa 15


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Desember 1945 di Ambarawa, dimana Semangat kebangsaan diwujudkan dalam semboyan "Merdeka atau Mati". Semangat Kebangsaan merupakan motivasi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negaranya. Motivasi tersebut bagi setiap anak bangsa harus dibentuk, dipelihara dan dimantapkan sehingga setiap orang akan rela mati demi NKRI. Kita sadar betul bahwa kondisi bangsa yang pluralisme atau kebhinekaan memerlukan suatu pengelolaan yang baik, sehingga tidak menjadi ancaman bagi keutuhan dan kesatuan bangsa. Dengan Semangat kebangsaan yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Dari Semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Rasa kesetiakawanan sosial akan mempertebal semangat kebangsaan suatu bangsa. Kesetiakawanan sosial, mengandung makna adanya rasa satu nasib dan sepenanggungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hadirnya rasa kepedulian terhadap sesama anak bangsa bagi mereka yang mengalami kesulitan akan mewujudkan suatu rasa kebersamaan sesama bangsa. Semangat rela berkorban, kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar atau demi negara dan bangsa telah mengantarkan bangsa Indonesia untuk merdeka, lepas dari penjajahan. Sudah banyak korban para Kusuma Bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut. Sebagai bangsa yang besar sepatutnya kita semua wajib menghormati para pahlawan pejuang kemerdekaan. Kita semua sepakat bahwa semangat rela berkorban tersebut, bukan hanya pada saat perjuangan kemerdekaan saja, tetapi sekarang juga kita masih mendambakan adanya kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dalam pembangunan. Jiwa patriotik. Bagi bangsa

yang ingin maju dalam mencapai tujuannya, disamping memiliki semangat rela berkorban, juga harus didukung dengan jiwa patriotik yang tinggi. Jiwa patriotik akan melekat pada diri seseorang, manakala orang tersebut tahu untuk apa mereka berkorban. Bagi setiap anak bangsa jiwa patriotik ini hendaknya sudah menjadi darah daging dalam kehidupannya. Selain Wawasan Kebangsaan perlu dipahami pula apa itu Wawasan Nasional dan Wawasan Nusantara. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Wawasan Nasional diartikan sebagai "cara pandang suatu bangsa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam hubungan antar negara yang merupakan hasil perenungan filsafat tentang diri dan lingkungannya dengan memperhatikan sejarah dan kondisi sosial budaya serta memanfaatkan konstelasi geografis guna menciptakan dorongan dan rangsangan dalam usaha mencapai tujuan nasional". Sementara Wawasan Nusantaraadalah "wawasan nasional bangsa indonesia yang dijiwai Pancaasila dan Undang-undang Dasar 1945, menghendaki adanya persatuan dan kesatuan wilayah, rakyat dan pemerintah dalam mencapai tujuan nasional dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Pentingnya Wawasan Kebangsaan Menyimak keadaan Wawasan Kebangsaan Indonesia pada rakyat kita yang sangat memprihatinkan saat ini, sepatutnya bangsa ini sepakat untuk memantapkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang sudah longgar itu. Kita perlu suatu landasan yang kuat dan konsepsional untuk membangun kembali persatuan dan kesatuan bangsa serta jiwa nasionalisme yaitu "Wawasan Kebangsaan". Membahas Wawasan Kebangsaan, harus dimulai dari nilai-nilai yang dibangun oleh para pendahulu dan pendiri bangsa ini. Mereka telah menanamkan nilai-nilai persatuan dengan mencetuskan

"Sumpah Pemuda" yang kemudian menjadi embrio dari Wawasan Kebangsaan yaitu : Satoe Noesa, Satoe Bangsa dan Satoe Bahasa, yaitu Indonesia. Makna dari Wawasan Kebangsaan memang belum begitu popular dalam kehidupan masyarakat kita, sehingga sampai saat ini belum ada rumusan yang baku tentang Wawasan Kebangsaan itu, mengingat sifatnya abstrak dan dinamis. Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau ter-erosi terutama di kalangan generasi muda/mahasiswa-seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi bangsa, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai daerah, terutama yang amat mencekam adalah pertikaian yang terjadi di Ambon, Aceh, Papua dan Posos, dimana terdapat kecenderungan paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini. Kelihatannya masyarakat intelektual bahkan para pakar lebih tertarik dan mementingkan nilai-nilai universal daripada nilai-nilai nasional. Akibatnya rumusan pengertian Wawasan Kebangsaan sangat beragam dan sulit dipahami oleh masyarakat umumnya. Sesungguhnya Wawasan Kebangsaan perlu dipahami oleh seluruh anak bangsa, bukan hanya oleh kelompok tertentu saja. Dengan demikian Wawasan Kebangsaan akan bermakna dan menyentuh langsung kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 37 ol.1 201


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id bernegara. Pada lingkungan internasional, fenomena yang muncul adalah isu-isu global yang memuat nilai-nilai universal dan mengungguli nilai-nilai nasional. Nilai-nilai universal tersebut bahkan sengaja dipaksakan kepada negara tertentu oleh negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara yang paling menjungjung tinggi nilainilai tersebut. Upaya Penerapan Wawasan Kebangsaan di Kalangan Mahasiswa Mahasiswa ideal itu adalah mahasiswa yang selalu melakukan hal yang positif dan berguna bagi diri sendiri, orang lain dan negaranya. Menjadi mahasiswa yang ideal juga harus mempunyai tujuan dan cita-cita dan tidak lepas dari usaha dan kerja keras yang selalu membantu untuk mewujudkan citacita tersebut. Mahasiswa ideal juga dapat dikatakan sebagai mahasiswa yang dapat menggabungkan antara sisi akademik, organisasi dan pekerjaan menjadi satu. Sehingga mahasiswa tidak hanya bertujuan mendapat IPK tinggi akan tetapi dapat mengembangkan kemampuan berorganisasi, kemampuan menjadi seorang pemimpin, dan mengeluarkan pendapat di depan banyak orang sehinga dapat terjun kedunia masyarakat yang luas. Untuk menjadi mahasiwa ideal membutuhkan proses panjang yang harus dilewati, diwujudkan, terus berusaha, dan tidak kenal kata malas. Berbeda dengan jaman sekarang, banyak mahasiswa yang sering berprilaku menyimpang yang tidak pantas di contoh dan dapat merusak generasi pemuda penerus bangsa, contohnya saja banyak mahasiswa yang terpengaruh temannya untuk menggunakan narkoba, sex bebas, sering bolos kuliah, hidupnya tidak teratur atau malas, dan hal-hal negatif lainnya. Untuk menjadi mahasiswa yang ideal sebaiknya sifat dan prilaku tersebut harus di hindari karena kita sebagai mahasiswa harus berfikir positif untuk mencapai cita-cita

dan tujuan kita nanti sebagai penerus bangsa ini. Disinilah peran mahasiswa sebagai motor penggerak gerakan wawasan kebangsaan harus dimulai. Bukan hal mudah untuk mewujudkan tekad dalam memahami wawasan kebangsaan. Namun menghadapi millenium ke III yang dimulai pada abad ke XXI ini, wawasan kebangsaan Indonesia mutlak dihayati dan diwujudkan oleh kita sebagai orang muda khususnya elemen mahasiswa kita bersamasama dengan seluruh bangsa kita demi keutuhan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Pengalaman menunjukan bahwa, Yugoslavia dan Uni Soviet adalah contoh negara-negara yang porak poranda menjadi banyak negara kecil karena mereka masing-masing tidak memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang berakar pada kebudayaan nasional mereka masingmasing . Sebagai bagian dari anak bangsa, kita memiliki Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa, dasar negara dan ideologi nasional di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang berakar kuat di dalam kebudayaan daerah-daerah Indonesia. Rasa memiliki dan keyakinan menjadi bagian integral dari bangsa kita inilah yang perlu kita pupuk dan kembangkan di antara generasi muda. Pengenalan lebih dalam mengenai aneka ragam adat istiadat, flora fauna, kekayaan alam, kelebihan dan kekurangan masyarakat kita, lagu-lagu rakyat, nyanyian dan tarian daerah, sastera daerah, pemahaman humaniora dan historiografi peristiwa-peristiwa daerah dan nasional Indonesia, tantangan yang dihadapi bangsa di dalam abad XXI di bidang-bidang ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan keluarga, riwayat hidup pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia, peran serta rakyat Indonesia di dalam upaya kemanusiaan dan perdamaian di dunia internasional, sumbangsih Indonesia di dunia olah raga dan kesenian merupakan upaya yang dapat dilaksanakan

ol. 1 20 14 38 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

dengan pelbagai metode yang relevan untuk melaksanakan bimbingan di atas di sekolah maupun di keluarga. Cara-cara yang dapat digunakan selain membaca buku-buku, mendengarkan nyanyian-nyanyian juga mengadakan festival, lomba, sayembara, penjelajahan, diskusi, seminar, lokakarya, kegiatan rohani di pelbagai bidang seni, sastera, ilmiah pada peringatan harihari nasional atau pada kesempatankesempatan lain. Di rumah, cara-cara ini memang dilakukan secara informal. Di sekolah cara-cara ini dapat dilakukan sebagai kegiatan ko kurikuler dan ekstra kurikuler yang dilaksanakan secara sistematis dan sistemik, berkesinambungan, berjenjang mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Strategi Metode Pelaksanaan Pemantapan Wawasan Kebangsaan Strategi metode pelaksanaan Pemantapan Wawasan Kebangsaan adalah : 1. Pendidikan dan Pembelajaran Penyelenggaraan pemantapan wawasan kebangsaan dilakukan melalui : Pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan Non-formal, yaitu jalur pendidikan diluar pendidikan formal seperti pelatihan pegawai, pelatihan kewirausahaan, ketrampilan profesi, pelatihan kepemimpinan. Pendidikan informal, yaitu pendidikan keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggungjawab termasuk mengedepankan prinsip "mentransformasikan agama, bukan mengagungkan tradisi". Pendidikan jabatan, yaitu jalur pendidikan jabatan seperti Prajabatan dan pendidikan jabatan, struktural di lingkungan permerintahan. 2. Pendidikan dan Pembelajaran Ceramah. Diskusi dan dialog Pengalaman lapangan Permainan (outbound)


Artikel bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Bercerita dan bertutur Estetika dan seni Audio visual Partisipasi Kelompok Curah Pendapat Bermain peran Simulasi metode Sandiwara Peragaan Permainan Iklan layanan Masyarakat melalui media 3. Pembudayaan

Pembudayaan dapat dilakukan deengan memberikan pemahaman nilai-nilai kebangsaan melalui keteladanan, pembiasaan, pengarahan seperti kegiatan dalam kepramukaan yang mengandung unsur pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan, kebersamaan, gotong royong, kecintaan pada lingkungan, dan penanaman sportivitas, kerjasama dan kegigihan untuk berusaha. 4. Pemberdayaan Pemberdayaan pemantapan wawasan kebangsaan dimulai dengan penanaman empati dan peduli yang dilakukan sejak dini dengan pemberdayaan keluarga, masyarakat, organisasi dan parpol, dunia usaha dan media massa. 5. Kerjasama Pemanta-

pan nilai-nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan bekerjasama antara lembaga, agen, dan pemerhati pengembangan karakter bangsa yang saling terkait dan lain-lain Penutup Wawasan kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh kita semua sebagai anak bangsa terutama Mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa, yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan para pahlawan dalam rangka membangun suatu Bangsa dan Negara menjadi Bangsa dan Negara yang maju, sejahtera, dan tentram-damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar kultur bangsa kita menjadi kultur bangsa asli dan tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat menghilangkan jati diri bangsa. Untuk itu perlu diperhatian: Pertama, tumbuh kembangkan terus pemahaman tentang Wawasan Kebangsaan sebagai alat pemersatu bangsa dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah rakyat, walaupun latar belakang suku, agama, ras dan adat istiadat yang berbeda; Kedua, hayati dan pahami secara utuh tentang butir-butir dari Wawasan Kebangsaan yaitu; rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan yang merupakan jiwa bangsa Indonesia dan pendorong tercapainya cita-cita bangsa; dan Ketiga, bina terus semangat kebangsaan, di lingkungan kita sebagai anak bangsa dalam upaya mewujudkan Persatuan dan kesatuan bangsa. Pelaksanaan Wawasan Kebangsaan dilakukan dengan pendekatan kognitif, afektif, andragogi, normatif, regulatif, egaliter dan tidak bersifat indoktrinatif atau tidak dogmatis. *) disampaikan pada "Seminar Sehari Pemahaman Wawasan Kebangsaan Di Kalangan Mahasiswa" di Fakultas Dakwah Dan Komunikasi IAIN Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada 4 September 2014

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 39 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Pancasila dan Kekuasaan Dengan diberi bobot dan nuansa baru di sana-sini, Resonansi ini didasarkan kepada makalah yang disampaikan di depan Forum Purnawirawan Perwira TNI dan undangan lainnya, bertempat di Gedung Cawang Kencana, Jakarta, pada 27 April 2006, dihadiri oleh sektar 300 peserta. Setelah berjalan tujuh tahun, keadaan bangsa dan negara belum juga ada perubahan fundamental. Pancasila tetap saja tidak dipedomani secara nyata dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, suatu kelengahan konstitusional yang sangat menyakitkan, jika bukan telah dan sedang berlakunya pengkhianatan kolektif. Keadilan sosial masih jauh dari kenyataan sebagian besar rakyat Indonesia. Setiap pergantian sistem kekuasaan selama kurang-lebih 69 tahun Indonesia merdeka, selalu saja ada harapan untuk kebangkitan dan perubahan mendasar agar lebih adil dan lebih baik. Tetapi, setelah sistem baru berjalan dengan 1.000 janji, kekecewaan dan rasa tidak nyaman di kalangan rakyat luas mencuat lagi dan lagi. Dengan demikian, kebangkitan sejati belum pernah terjadi selama sekian dasawarsa di era kemerdekaan. Mula-mula kekecewaan itu dirasakan oleh kelompok kecil, kemudian radiusnya semakin meluas sehingga negara tidak mampu mengontrolnya lagi. Sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) telah roboh secara dramatis, pertumpahan darah

Ahmad Syafii Maarif Bulan depan, tanggal 17 Agustus 2014, genaplah usia kemerdekaan kita 69 tahun, sesuatu yang patut kita syukuri dengan segala plus-minusnya perjalanan bangsa dan negara ini. Di samping sisi-sisi positif dan konstruktif, kita tidak boleh menutupi sisi-sisi gelap bila kita tempatkan di bawah nilai-nilai luhur Pancasila. sesama anak bangsa sukar sekali dihindarkan. Ajaibnya adalah, Pancasila secara formal konstitusional tetap berada pada posisi puncak, sedangkan nilai-nilai luhurnya tidak pernah dijadikan pedoman dan acuan secara sungguh-sungguh dalam cara kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Era Reformasi sejak 1998 sampai sekarang dengan slogan anti-KKN, otonomi daerah, dan demokratisasi, ternyata telah berjalan tersendatsendat, sementara tingkat pengangguran tidak semakin berkurang, berbarengan dengan munculnya orang kaya baru yang diuntungkan. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan, Gerakan Reformasi telah mati suri. Pertanyaannya adalah, mengapa bangsa ini tidak becus mengurus dirinya? Di mana letak kelemahan kita dalam berbangsa dan bernegara selama ini? Uraian berikut akan mencoba memberikan jawaban kualitatif

ol. 1 20 14 40 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan pertanyaan lain yang relevan. Di sekitar era proklamasi 1945 dan tahun 1950-an, kita memang terganggu oleh masalah pertarungan Pancasila versus Islam sebagai dasar negara. Tetapi, dengan dikukuhkannya Pancasila sebagai dasar filosofi negara di era 1980-an dan diterima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai. Sekarang hampir tidak ada lagi kekuatan politik yang berarti yang mampu melawan kenyataan ini. Sekalipun masih ada beberapa kelompok masyarakat yang mencoba menghidupkan kembali priGubsu H Gatotkesetiaan Pujo mordialnya, pasti tidak mendapat Nugroho ST MSi pasaran yang berarti dalam proses menyerahkan buku Sumut kenegaraan kita. Bangkit kepada Presiden Adapun sekarang Pancasila sudah Prof Dr Susilo Bambang jarang disebut sejak 15 tahun teraYudhoyono Gubernuran khir, jangan diartikandibahwa filosofi Medan.


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id ini ingin diganti dengan yang lain. Sama sekali tidak. Yang terjadi di bawah permukaan adalah kekecewaan berat masyarakat karena nilai-nilai luhur Pancasila itu lebih banyak dijadikan retorika politik, sedangkan dalam perbuatan nilai-nilai itu malah dikhianati tanpa rasa malu. Jadi, yang berlaku adalah pengkhianatan terhadap Pancasila dalam praktik. Mari kita cermati dalam kehidupan kolektif kita bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila tidak lagi hidup dalam menuntun perilaku kita sebagai bangsa. Sila pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Semestinya, sila ini dijadikan payung moral oleh semua kita. Benar, masjid, gereja, wihara, pura, klen-

teng, dan lain-lain tempat ibadat masih banyak pengunjungnya. Tetapi, apakah kehadiran orang di tempattempat ibadah itu ada pengaruhnya dalam memperbaiki perilaku kita sebagai individu atau secara kolektif? Saya sangat meragukan. Dalam pantauan saya, sebegitu jauh proses internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila belum terjadi secara efektif, terutama di kalangan pejabat tinggi, apalagi di kalangan politisi. Kenyataan ini sungguh sangat memprihatinkan. Tempat-tempat ibadah yang terus bertambah seperti tidak ada korelasi positif dengan perubahan perilaku ke arah kebaikan dan kejujuran. Ini suatu yang sangat serius yang sedang melingkungi kita, sebuah per-

tunjukan kemunafikan sosio-kultural yang masih menerpa bangsa ini secara keseluruhan. Sila kedua adalah "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Rumusannya sangat padat dan padu, memberi arah yang jelas ke mana bangsa ini semestinya bergerak. Tetapi, kenyataan pada masa-masa tertentu dan di daerah tertentu, sejak beberapa tahun belakangan, yang berlaku adalah proses penindasan kemanusiaan dengan cara yang zalim dan biadab. Tidak jarang dilakukan dengan alasan politik, ekonomi, dan bahkan agama. Kita telah kehilangan perspektif moral dalam berhubungan sesama anak bangsa. Sistem politik sentralistis selama puluhan tahun telah menginjak-injak sila ini dengan membunuh rasa keadilan dengan cara yang tidak beradab. Di era reformasi, keliaran politik dan ekonomi semakin tidak dapat dibendung dan dikendalikan. Akibatnya, partisipasi dalam pemilu telah merosot secara dramatis. Demokrasi dijadikan ajang pertarungan berebut rezeki dan kekuasaan, sementara sebagian besar politisi masih saja merasa benar di jalan dusta tunanurani.

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 41 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id PERINGATAN Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965. Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G.30.S/PKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Pada saat itu setidaknya ada enam orang Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun, berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila dalam sejarah Republik Indonesia. Makna Kesaktian Pancasila Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan. Melainkan juga Pancasila dapat dikatakan sebagai sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Pancasila mengandung berbagai makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makna yang pertama Moralitas, sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa" mengandung pengertian bahwa negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang hanya berdasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karenanya asas sila pertama Pancasila lebih berkaitan dengan legitimasi moralitas. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, serta para penegak hukum,

Makna Kesakt Tepat tanggal 1 oktober, kita kembali memperingati hari yang sangat krusial bagi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Mungkin kini banyak yang lupa atau bahkan melupakan hari kesaktian Pancasila, sebab seiring perkembangan teknologi dan informasi yang semain pesat, kita pun seakan terbius untuk melupakan sejarah yang sangat penting sebagai wujud terbentuknya dasar negara kepulauan, Indonesia. haruslah menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis yang kita junjung, juga harus diikutsertakan dengan legitimasi moral. Misalnya, suatu kebijakan sesuai hukum, tapi belum tentu sesuai dengan moral. Salah satu contoh yang teranyar yakni gaji para pejabat penyelenggara negara itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral). Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan bernegara. Makna kedua Kemanusiaan, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" mengandung makna bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab, selain terkait juga dengan nilai-nilai moralitas dalm kehidupan bernegara.

ol. 1 20 14 42 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan normanorma baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap lingkungannya. Oleh Karena itu, manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapat jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asas) manusia. Selain itu, asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Makna ketiga, Keadilan. Sebagai


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

tian Pancasila

bangsa yang hidup bersama dalam suatu negara, sudah barang tentu keadilan dalam hidup bersama sebagaimana yang terkandung dalam sila II dan V adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Dalam pengertian hal ini juga bahwa hakikatnya manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap lingkungannya, adil terhadap bangsa dan negara, serta adil terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan,

serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas keadilan. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makna keempat, Persatuan. Dalam sila "Persatuan Indonesia" sebagaimana yang terkandung dalam sila III, Pancasila mengandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemenelemen yang membentuk negara berupa suku, ras, kelompok, golongan, dan agama. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi

tetap satu sebagaimana yang tertuang dalam slogan negara yakni Bhinneka Tunggal Ika. Makna kelima, Demokrasi. Negara adalah dari rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung makna demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pancasila adalah adanya kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinannya, adanya kebebasan berkelompok, adanya kebebasan berpendapat dan menyuarakan opininya, serta kebebasan yang secara moral dan etika harus sesuai dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Seandainya nilai-nilai Pancasila tersebut dapat diimplementasikan sebagaimana yang terkandung di dalamnya, baik oleh rakyat biasa maupun para pejabat penyelenggara negara, niscayalah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan secara nyata. Terlebih lagi hingga kini kita selaku bangsa tentulah malu terhadap para pendiri negara yang telah bersusah payah meletakkan pondasi negara berupa Pancasila, sedangkan kita kini seakan lupa dengan tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila yang sangat sakti tersebut. Perilaku KKN, kerusuhan antar sesama warga negara, ketidakadilan dan ketimpangan sosial, berebut jabatan, perilaku asusila, serta berbagai perilaku abmoral lainnya adalah segelintir perilaku yang hanya dapat merusak nilai Pancasila itu sendiri. Kini, Marilah kita kembali junjung tinggi nilai-nilai Pancasila agar kita tetap dipandang sebagai bangsa dan negara yang beradab, beragama, beretika, dan bermoral.

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 43 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Kaitan Partisipasi Politik dan Kepercayaan Masyarakat Kepercayaan masyarakat adalah modal penting pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Dalam perspektif politik, kepercayaan (trust) merupakan faktor penting bagi berkembangnya demokrasi. Legitimasi pemerintah dan institusi politik didasarkan atas kepercayaan. Dalam sistem demokrasi bersifat tak langsung era modern, rakyat mendelegasikan kedaulatan mereka terhadap pemimpin dan institusi politik, karena itu faktor kepercayaan masyarakat terkait erat dengan mandat yang diberikan rakyat ke pemegang kekuasaan agar dijalankan secara tepat, baik, dan benar. Berdasarkan perkembangan akhirakhir ini, rakyat memiliki kadar kepercayaan yang menurun terhadap sistem politik, institusi politik, dan pemerintah di Indonesia. Secara agregat, hal ini tak pelak bisa dipastikan sebagai faktor penyebab krusial atas menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Menurunnya partisipasi politik ini merupakan akibat kekecewaan masyarakat terhadap sistem politik, termasuk lembaga-lembaga politik dan penyelenggara pemilu. Mari misalnya mengintrospeksi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden dan Partai

Demokrat (PD). Saat pertama kali menjabat sebagai Presiden RI tahun 2004, sebagian besar masyarakat memuji, menyetujui bahkan membanggakan setiap langkah SBY. Bisa dikatakan saat itu masa kejayaan PD yang mengusung SBY, sehingga tidak sedikit orang yang beralih memilih pindah dan bergabung dengan PD. Bagaimana perbandingannya kini? Semenjak wajah politisi banyak tercoreng, jadi tersangka dan dibui oleh KPK, muncul kritik dan hujatan dimana-mana. Apalagi ternyata di antara sejumlah politisi pesakitan itu, tidak sedikit kader PD. Ini sedikit demi sedikit mengikis kepercayaan masyarakat. Kemerosotan kepercayaan ini ditambah kian kritik terhadap kualitas pelayanan pemerintah di daerah-daerah. Sementara media pun kian intens memuat berita-berita yang kian mempertebal persepsi miring atas dunia politik. Hasil survey LSI pada 1-12 Februari 2012 membuat miris. Dari 2.050 re-

ol. 1 20 14 44 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

sponden yang diteliti dengan metode acak bertingkat, temuannya lebih 50 persen berpotensi tidak akan memilih pada pemilu 2014. Hanya 49 persen responden yang sudah mantap menentukan pilihan (Tempo, 19 Februari 2012). Survei ini menunjukkan kondisi krisis kepercayaan politik di titik nadir. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik begitu rendahnya bahkan hingga ke daerah, seperti dirasakan pada rendahnya partisipasi politik dalam berbagai pelaksanaan pemilukada di berbagai daerah. Ini tentu kondisi sangat memprihatinkan. Sebab, dalam konteks demokrasi kepercayaan masyarakat adalah unsur utama demi tegaknya dan kuatnya sebuah pemerintahan. Sebuah pemerintahan demokratis yang kuat tak akan bisa eksis tanpa didukung oleh kepercayaan masyarakat yang kuat pula. Hal ini karena fatwa demokrasi jelas bahwa pemilik kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat.


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

DR. Adi Suryadi Culla, MA Dosen Pascarajana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar

Pemilu dan Partisipasi Politik Pemilu merupakan program pemerintah lima tahunan. Pemilu merupakan wujud demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan dalam menentukan arah dan kebijakan politik. Pada saat ini pemilu secara nasional untuk pemilihan anggota legislatif (Pileg) dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat ditingkat Pusat ataupun ditingkat Daerah. Disamping itu diselenggarakan pula Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat sesudah Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan. Selain itu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pemilihan Walikota/Bupati dan Wakilnya. Dalam Pemilu baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada itu, partisipasi masyarakat sangat penting, karena sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu salah satunya adalah ditentukan penggunaan hak pilih yang disalurkan. Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Karena melalui hal itu, rakyat mempengaruhi dan dapat menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Ramlan Surbakti, 1992:40). Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yakni dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung,

mempengaruhi kebijakan pemerintah (Miriam Budiardjo, 1998:2). Aktivitas seperti memberikan suara dalam pemilu ini merupakan ciri yang paling sering dan mudah untuk dilihat terutama dalam negara-negara demokratis. Dalam konteks demokrasi umumnya dianggap bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi politik masyarakat, menunjukkan warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah dianggap sebagai tanda kurang baik, karena diartikan warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan, lalu pemimpin terpilih akan mengalami krisis legitimasi dalam menjalankan pemerintahnya, sehingga cenderung melayani kepentingan kelompok saja. Partisipasi dapat diklasifikasi aktif dan pasif. Partisipasi aktif meliputi seperti kegiatan mengajukan usul tentang kebijakan umum, alternatif kebijakan umum yang berlainan kebijakan pemerintah, kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. Di samping itu, terdapat jenis partisipasi tidak termasuk kategori aktif maupun pasif, yaitu aktivitas masyarakat yang menganggap sitem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut apatis atau golongan putih (golput). (Ramlan Surbakti, 1992:143-144). Tidak semua warga negara ikut

dalam proses politik, walaupun di dalam sistem politik demokrasi, partisipasi politik merupakan hak warga negara. Secara garis besar ada dua hal mendorong partisipasi: kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah, Yang dimaksud dengan kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Yang dimaksud sikap dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak (Ramlan Surbakti, 1992:144). Dalam konteks kepercayaan dan legitimasi itulah, rendahnya partisipasi politik adalah terkait rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan pemerintahan. Membangun Kepercayaan Masyarakat? Ada pendapat mengatakan bahwa terjadinya penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu tidaklah berarti mencerminkan pula kemerosotan demokrasi. Hal itu mungkim bisa dilihat sebagai indikasi tumbuhnya kesadaran politik yang kian matang dari masyarakat. Jadi, partisipasi politik tidak selamanya, bahkan tidak selalu harus melalui atau dikaitkan dengan pemilu. Pemilu hanya merupakan salah satu dari wujud partisipasi politik, disamping aktivitas lainnya seperti lobi, aktivitas organisasional (nonparpol), kontak individual dengan pejabat publik, dan (bahkan) kekerasan - dalam arti upaya mempengaruhi keputusan pemerintah (Robert P. Clark, 1986:73). Dengan demikian, menurut Clark, ada banyak pilihan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis. Baginya, pilihan untuk ikut atau tidak ikut pemilu merupakan bentuk ekspresi dari hak-hak politik yang sama sekali tak mengganggu kualitas demokrasi. Artinya, kalaupun misalnya terjadi peningkatan non voter atau pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, maka hal itu bukan berarti sama dengan merosotnya partisipasi politik

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 45 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id demokratis. Ikut pemilu hanya satu pilihan saja dari beberapa pilihan proses politik demokratis. Oleh karena itulah, terjadinya penurunan jumlah pemilih dalam pemilu atau sering juga diistilahkan golongan putih (golput), hal itu bukanlah suatu keadaan yang perlu dikhawatirkan. Namun demikian, untuk negara berkembang seperti Indonesia, gambaran rendahnya partisipasi politik harus dilihat sebagai suatu hal serius dan memprihantinkan. Hal ini disebabkan partisipasi politik berhubungan dengan indikasi keberhasilan dalam membangun kultur demokrasi yang semakin baik. Berbeda konteksnya dengan di negara maju yang tingkat kesadaran dan pendidikan politik masyarakatnya sudah lebih matang dan merata, dimana partisipasi politik lewat pemilu sudah menjadi sesatu yang dianggap rutinitas dan tidak mempengaruhi sistem politik. Untuk konteks Indonesia, ukurannya adalah bahwa terjadinya penurunan partisipasi politik dalam pemilu menjadi gambaran buruk upaya mengembangkan kultur demokrasi yang sehat. Jika ditarik inti dari segala problem partisipasi politik yang dibahas di sini, maka hemat saya hal yang terpenting dan paling berpengaruh besar di antara berbagai hal adalah tingkat pendidikan politik. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi politik (Kenneth Prewitt dan Sidney Verba, 1993). Karena itu, suatu tindakan penting dilakukan dalam upaya membangun kepercayaan masyarakat atas penyelenggaraan pemilu dan aktivitas kelembagaan politik umumnya, setidaknya dua hal sbagai berikut. Pertama, pembenahan terhadap sistem administrasi pemilihan disertai sosialisasi yang lebih intensif oleh penyelenggara pemilu dibantu oleh pemerintah dan dengan bekerjasama parpol dan elemen-elemen masyarakat sipil. Namun, hal ini tidak aka nada artinya jika tidak dibarengi perubahan pada factor berikutnya. Yaitu, kedua, perubahan perilaku elit kekuasaan yang berada dii legislatif, eksekutif, dan yudukatif, serta di lembaga-lembaga politik lainnya termasuk parpol. Dengan menunjukkan perilaku moral yang konsisten, keteladanan dan instrospeksi, keterbukaan atas kritik, dan bertindak sesuai tuntutan hukum dan aspirasi publik, hal itu akan memulihkan tingkat kepercayaan masyarakat dan efeknya sekaligus diharapkan dapat berpengaruh terhadap partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemilu.*****

ol. 1 20 14 46 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

Kesaktian Pancasila Makna dan Simbologi Dibaliknya

Tanggal 1 Oktober di Indonesia diperingati sebagai hari kesaktian pancasila. Peringatan Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965. Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam orang Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun konon berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Jadi, penulis menyimpulkan bahwa kemunculan peringatan Kesaktian Pancasila disebabkan oleh gagalnya misi kaum Komunis mengganti dasar negara Indonesia. Karena kegagalan itulah se-


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id Gubsu H Gatot Pujo Nugroho dan Wakil Gubsu HT Erry Nuradi bersilaturahmi dengan ratusan janda perintis/pejuang kemerdekaan RI Provinsi Sumatera Utara, di rumah dinas Gubernur Sumut Jl Sudirman No.40 Medan.

lanjutnya Pancasila dianggap sakti, atau justru Pancasila kemudian dibikin sakral dan dianggap sakti. Pancasila secara de yure dan de facto memang merupakan dasar negara Republik Indonesia resmi. Beberapa dokumen penetapannya ialah : *Rumusan Pertama : Piagam Jakarta - tanggal 22 Juni 1945 *Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945 *Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949 *Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950 *Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959) Entah secara kebetulan atau tidak, ternyata Pancasila merupakan ajaran moral agama Budha. Dalam sebuah referensi disebutkan bahwa Pancasila merupakan filosofi negara Indonesia yang istilahnya diambil dari bahasa Sansakerta yang berarti lima tingkah laku baik. Pancasila sendiri merupakan ajaran dasar moral agama Budha, dimana ajaran tersebut dianut oleh pengikut Siddharta Gautama (SUMBER). Di Dalam agama Budha, mentaati Pancasila dianggap sebagai sebuah Dharma. Dharma yaitu suatu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dalam filsafat agamaagama (seperti kebenaran pluralisme). Dharma Pancasila sendiri berisi ajaran-ajaran: 1. untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi. 2. untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan) guna mencapai samadi. 3. untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga) guna mencapai samadi. 4. untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar / berbohong, berdusta, fitnah, omong-kosong (nilai kejujuran) guna mencapai samadi. 5. untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan) guna mencapai samadi. Dalam bahasa Pali, isi Pancasila tersebut disebutkan sebagai berikut: 1. Pĕnĕtipĕtĕ veramani sikkhapadam samĕdiyĕmi 2. Adinnĕdĕnĕ veramani sikkhapadam samĕdiyĕmi 3. Kĕmesu micchĕcĕra veramani sikkhapadam samĕdiyĕmi 4. Musĕvĕda veramani sikkhapadam samĕdiyĕmi 5. Surĕ meraya majja pamĕdatthĕnĕ veramani

sikkhapadam samĕdiyĕmi Bahasa Pĕli (पाऴि) adalah sebuah bahasa Indo-Arya dan merupakan sebuah bahasa prakerta atau prakrit. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pengantar Sang Budha saat menerangkan ajarannya. Bahasa yang dipakai dalam kitab suci Tipitaka atau Tripitaka (lih. Wikipedia). Jadi, secara umum, penulis dapat menarik suatu benang merah dan simpulan bahwa terminology Pancasila lebih tepat dikatakan berasal dan berakar pada ajaran agama Budha bukan pada akar kepribadian bangsa Indonesia secara umum. Lantas, kenapa Pancasila dianggap SAKTI? Apakah Pancasila merupakan sebuah benda atau wujud atau sesuatu yang dianggap sebagai objek selayaknya Keris yang dilabeli kata SAKTI menjadi KERIS SAKTI?. Dimanakah letak sebenarnya Kesaktian Pancasila itu sementara Pancasila sendiri setuju atau tidak setuju tidak lagi ditaati sebagai sebuah jiwa yang menyatu pada diri bangsa Indonesia. Dimanakah letak Kesaktia Pancasila itu sementara Pancasila sendiri memiliki arti dan makna yang berbeda di setiap rezim yang memimpin negara ini? Lantas, apakah ada perbedaan kesaktian antara Kesaktian Pancasila dengan istilah KERIS SAKTI, KERA SAKTI, PUSAKA SAKTI, BIMA SAKTI, atau SAKTI MANDRAGUNA misalnya? Sekedar info, ternyata terminology kata SAKTI Sakti (kekuatan, kekuasaan atau energi) adalah sebuah konsep ajaran agama Hindu atau perwujudan dari aspek kewanitaan Tuhan (Baca: Dewata). Sementara itu, lambang burung Garuda yang sering menjadi satu kesatuan frase dengan kata Pancasila menjadi GARUDA PANCASILA ternyata memiliki dasar filosofis tersendiri yang oleh beberapa kalangan disebut berasal dari akar Yahudi. "Simbol negara "burung Garuda" juga dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai simbol Yahudi. Pemilihan simbol "burung Garuda" sendiri sebagai lambang negara adalah sebuah kontroversi karena hanya ditentukan oleh segelintir orang saja tanpa memperhatikan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. "Burung Garuda" memang ada dalam mitologi Hindu yang pernah menjadi agama mayoritas Indonesia di masa lalu, namun pada masa kemerdekaan, Hindu tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan." (SUMBER) "Agama Islam sendiri sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia setelah era Hindu juga tidak mengenal simbol "burung Garuda". "Burung Garuda" juga tidak pernah benar-benar ada karena hanya sebuah mitos, berbeda dengan burung elang botak yang merupakan binatang asli Amerika. Karena bukan simbol asli bangsa Indonesia maka tidak ada lain simbol "burung Garuda" mengadopsi simbol-simbol kebudayaan asing yang memang memuja-muja simbol "burung mirip Garuda", yaitu Yahudi yang gerakan Fremason-

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 47 ol.1 201


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

ry-nya sangat berpengaruh sampai saat ini." (SUMBER) Pengaruh Yahudi di Indonesia itu dimulai pada abad 18 melalui gerakan perkumpulan rahasia Vritmetselarij atau Freemasonry yang berkembang di kalangan elit Indonesia baik di kalangan orang-orang Belanda maupun pribumi: pejabat, bangsawan, pengusaha, ilmuwan, seniman/sastrawan dan kalangan intektual lainnya. Gerakan tersebut selanjutnya berkembang menjadi beberapa cabang seperti Himpunan Theosofi, Moral Rearmemant Movement (MRM) dan Ancient Mystical Organization of Ancient Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc) dan sebagainya. Orang-orang yang merancang simbol "burung Garuda" sebagai simbol negara adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantoro dan Muhammad Yamin. Ketiganya adalah pengikut gerakan Vrijmeselarij dan Theosofi. Sedangkan Presiden Soekarno yang menetapkan simbol "burung Garuda" sebagai lambang negara juga berada dalam pengaruh Fremasonry melalui ayahnya yang merupakan anggota Perhimpunan Theosofi Surabaya. Untuk menguak korelasi simbologi antara Simbol-Simbol Negara RI dengan Yahudi dan Zionisme silakan banyak membaca buku-buku karangan Herry Nurdi (Jejak Freemason & Zionis Di Indonesia, Penerbit Cakrawala); Ridwan Saidi (Fakta dan Data Yahudi di Indonesia), dan Muh Thalib & Irfan S Awwas (Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila, Penerbit Wihdah Press). Kesimpulannya, pernyataan mengenai Pancasila dan segenap Lambangnya digali dari prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia ternyata tidak seperti yang diungkapkan dalam buku-buku formal di Toko Buku dan Perpustakaan atau yang pernah diajarkkan guru-guru PMP, P4, dan PPKn di bangku sekolah. Justru banyak budaya-budaya asing dan filosofis agama tertentu yang menjiwainya. Bahkan unsur Yahudi yang merupakan agama yang tidak diakui justru banyak memainkan peran pentingnya.

ol. 1 20 14 48 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

JANEDJRI M GAFFAR

TANGGAL 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini merujuk pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mencoba menggulingkan kekuasaan dan mengubah dasar negara Pancasila. Selain itu, peristiwa lain yang menunjukkan kesaktian Pancasila adalah upaya pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Terlepas dari kontroversi sejarah yang masih tersisa, peristiwa tersebut juga telah memperteguh keyakinan bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara. Kendati demikian, tentu sudah bukan saatnya lagi memosisikan Pancasila sebagai makhluk hidup ataupun spirit yang berbeda dan terpisah dari masyarakat dan bangsa. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, bukan makhluk hidup yang memiliki kesaktian dan menjadi sandaran untuk melindungi bangsa dan negara. Sebaliknya, kesaktian Pancasila terletak pada penerimaan masyarakat dan bangsa terhadap kebenaran dan kesesuaian nilai- nilai Pancasila sebagai dasar dan bintang pemandu dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ancaman terhadap posisi dan keberlakuan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara akan


Opini bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Merawat Kesaktian Pancasila senantiasa muncul. Jika pada 30 September 1965 Pancasila menghadapi ancaman nyata berupa penggantian pandangan hidup bangsa dan dasar negara melalui kekuatan bersenjata dengan menggulingkan kekuasaan yang sah, ancaman saat ini dan ke depan lebih halus bahkan tidak terlihat, namun dengan tingkat dan daya rusak yang tidak kalah berbahayanya dengan ancaman melalui penggulingan kekuasaan. Dalam konteks bernegara, ancaman yang paling kuat dan berbahaya adalah peminggiran dan pengesampingan nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Akibat itu, negara dijalankan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilainilai Pancasila. Ancaman nyata yang sudah dirasakan berbagai pihak adalah ada kepentingan-kepentingan asing, baik dari negara lain maupun korporasi internasional. Perkembangan global memacu kompetisi antarnegara dan korporasi internasional. Mereka berupaya membuka jalan untuk mengambil keuntungan dengan memengaruhi hukum dan kebijakan negara dengan berbagai cara dan instrumen, mulai dari introduksi sistem asing sampai proteksi dari negara. Dalam kehidupan ekonomi, ini dapat dirasakan dari kuatnya sistem ekonomi liberal yang didesakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ini secara yuridis sudah dapat dilihat dari pembatalan UU Ketenagalistrikan, pengujian UU Migas, dan pembatalan keberadaan BP Migas oleh MK. Tentu saja pengaruh luar yang patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tapi juga terjadi di bidang politik dan sosial budaya. Sistem dan budaya politik yang berkembang pesat saat ini sudah saatnya dievaluasi untuk dikembalikan ke dalam kerangka demokrasi Pancasila yang mengedepankan “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan�. Ancaman terhadap Pancasila tentu saja tidak hanya berasal dari luar bangsa Indonesia atau dari ideologi lain. Ancaman terbesar justru ada dari dalam bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat yang saling berinteraksi melahirkan persepsi dan keyakinan terhadap tata nilai tertentu yang memengaruhi pemaknaan terhadap nilai-nilai Pancasila yang secara tidak sadar telah mengingkari nilai-nilai Pancasila. Nilai persatuan Indonesia yang semula dimaknai sebagai pengutamaan identitas satu bangsa di atas bangsa lain sehingga lahir sikap hidup toleran terhadap perbedaan di dalam kehidupan bersama bergeser pemaknaannya menjadi toleransi

untuk hidup dalam satu negara Indonesia, tetapi di lokasi yang berbeda. Dalam konteks ini Pancasila menghadapi ancaman internal yang tidak secara nyata mengganti pandangan hidup bangsa dan dasar negara, namun secara jelas telah membajak dan memanipulasi pemaknaan nilai-nilai Pancasila, baik dalam aturan maupun penyelenggaraan negara. Ancaman internal juga muncul dari sikap permisif masyarakat dan segenap penyelenggara negara. Walaupun beberapa kalangan telah kembali memiliki antusiasme untuk melakukan studi dan mendorong elaborasi relevansi nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, itu belum menjangkau masyarakat luas. Contoh paling mudah dilihat adalah masih maraknya politik uang dalam berbagaihajatanpemilu. Halyang sama juga terjadi pada penyelenggara negara, belum banyak yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan acuan dalam pembentukan hukum dan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan. Ancaman di atas lebih berbahaya karena tidak mudah dikenali. Tidak ada satu kelompok pun yang dapat diberi label antiPancasila atau berupaya mengganti Pancasila. Lebih sulit lagi karena sangat mungkin semua kelompok dan pandangan akan mengklaim diri sebagai paling sesuai dengan Pancasila. Akibat itu, suatu saat kita mungkin akan dikejutkan dengan kesadaran yang terlambat bahwa Pancasila memang masih diakui dalam berbagai seremoni kenegaraan, namun telah hilang dari substansi hukum dan kebijakan negara. Untuk menghadapi ancaman tersebut, dibutuhkan kesaktian dengan level lebih tinggi. Yang dibutuhkan bukan kesaktian berupa kekuatan sipil bersenjata atau bahkan satu pasukan khusus. Yang dibutuhkan adalah kepedulian dan komitmen setiap lapisan masyarakat dan segenap penyelenggara negara terhadap Pancasila. Baik ancaman dari luar maupun dari dalam hanya dapat dihadapi dengan cara merawat kesaktian Pancasila yang bersumber pada kepedulian dan komitmen masyarakat dan penyelenggara negara terhadap Pancasila. Sebesar apa pun kekuatan asing yang hendak mengendalikan hukum dan kebijakan nasional akan mudah diinsyafi dan dikembalikan ke dalam kerangka dasar Pancasila. Demikian pula dengan dinamika internal akan senantiasa dipandu oleh nilai-nilai dasar Pancasila sehingga tidak mungkin berkembang hingga terjadi pertentangan yang saling meniadakan. „ Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

media Kebangsaan, No.4 VVol. ol. 1 20 14 | 49 ol.1 201


Puisi bakesbangpollinmas.sumutprov.go.id

Kesaktian Pancasila

PANCASILA

Dalam pengharapan tentang sosok pahlawanku dari raga hingga ke jiwa........ dari jejakmu hingga langkahmu... yg tertinggalkan di bumi TUHAN ini

Kau lah dasar kokoh penopang negara Memberi kami tumpuan untuk meraih cita cita Kaulah pusat pembentuh hukum yang berkuasa Membuat kami teratur dalam menjalankan negara tercinta

meski sejengkal kenang memudar namun segenggam harap manismu terdengar sebab,engkau adalah sang pahlawan yg tak sedikitpun berdegub jantung berdetak, yg hanya karna letusan senapan serdadu melesat, akan tetapi terdengar merdu di telingamu

Sebait singkat dalam setiap sila mu Memiliki makna luas berilmu Hari hari ku yang di penuhi bait dalam sila mu Di penuhi indah oleh norma penyejuk jiwaku

wahai engkau pahlawanku..... selamat jalan.... selamat menikmati...doa-doa... yang kami panjatkan untukmu meski hanya dengan memunguti helai demi helai doa yang meninabobokanmu di ranjang syurga merah putihmu engkau persembahkan untuk anak cucumu,dan menghangatkan dalam jiwa memurnikandalam kenangan bangsa yang memutihkan langit untuk KITA yang memerahkan tanah untuk INDONESIA. Hari ini... Hari kesaktian pancasila 1 Oktober milenium kedua Aku tak faham... Sakti dari mana Pun dari segi apa Yang ku tahu... Pancasila adalah ideologi negara Negara Indonesia Yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradap Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Itulah bunyi pancasila Yang sejak SD guruku mendiktekannya Dalam tiap upacara bendera Dan kini kutulis puisi tuknya Tuk hari kesaktiannya Hari kesaktian pancasila

ol. 1 20 14 50 | media Kebangsaan, No.4 V Vol. ol.1 201

Saat syair dalam kehebetan mu mulai terlupakan Menjadikan anak bangsa terjerumus dalam keburukan Tak ada persatuan, Tak ada kejujuran Yang ada hanya kemunafikan Kami yang mencari jalan dalam kegelapan hukum Berharap kau bersinar memancarkan keadilan Memecahkan segala urusan yang terangkum Demi nikmatnya kemakmuran Pemuda pemudi indonesia penerus bangsa Terus berjuang menjunjung tinggi nama mu Meneriakan serta menjalankan makna PANCASILA satu pedoman ku

Hari Kesakstian Pancasila Kau kibarkan benderamu sebagai tanda selalu jaya Kau ikrarkan dirimu sebagai jati diri bangsa Indonesia Kau teriakkan sila-silamu sebagai jiwa sebuah bangsa Kaulah PANCASIA dasar negara kesatuan Indonesia Meski musuh ingin selalu merongrongmu Namun menyerah itu tak ada dalam sejarahmu Terbukti musuhmu tak dapat menggantikanmu Hingga kini kau masih berkemenangan selalu Hiduplah kau selalu PANCASILA Agar bangsa Indonesia tetap jaya Jangan pernah menyerah oleh apapun juga Hingga bangsa Indonesia mencapai yang di cita


bi alal angh n b da es ning esar k forum r o b m n a a e d erg fe Cof l kelua provsu Aula K stus i a l u ha linmas egis d l 5 Ag t pol m stra tangga u r n fo gsaa ban 4. 201

Dirjen Kesbangpol didampingi Kepala Kesbangpol Sumut, berjalan menuju acara Rakor Kesbangpol.

Pembukaan Rapat Koordinasi tentang perumusan kebijakan tentang konflik di wilayah perbatasan antar negara, Grand Kanaya.

Kaban Kesbangpol Sumut, Drs Eddy Syofian MAP menerima delegasi pengujukrasa di DPRD Sumut.

Sekda Provsu didampingi Kepala Badan Kesbangpol Sumut dan unsur FPK berfoto di Museum Negeri Sumut.

media Kebangsaan, No.2 VVol. ol. 1 20 14 | 51 ol.1 201 Sekada Provsu, Nurdin Lubis SH, MM mengunjungi posko Pusdalsis di kantor Kesbangpol Provinsi Sumut.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.