// ?
;
KO TA sebuah narasi, sebuah interpretasi:
! &
DA
LAM KA TA
?/ ! &;
kami persembahkan sebuah narasi, sebuah interpretasi. kontributor aji, ichsan, husna, farhan, ipank layout husna dapat juga diakses melalui tagar #kotadalamkata di instagram
Berbicara dengan angka, kita dihadapkan pada sajian fakta; absolut, suatu kepastian, akan keadaan yang sebenarnya terjadi. Tetapi kemudian apa makna dari sekumpulan fakta yang tersaji jika tidak semua orang mampu menginterpretasikan fakta, atau bahkan tidak peduli dengan angka-angka? Sebagai seorang perencana, yang selalu bersinggungan dengan apa yang terjadi di kehidupan kota, kita seharusnya mampu membuat fakta fakta tersebut menjadi narasi yang menarik, dibumbui oleh perspektif personal menjadi sebuah kritik terhadap kota dan isu-isu hangat disekitarnya. Melalui kota dalam kata, fakta bukan sekedar fakta. Kota bukan sekedar sekumpulan bangunan yang tidak bermakna.
“
..kota tercipta atas adanya ruang dan aktor-aktor yang saling besinggungan dalam sebuah wadah pluralisme.
foto oleh @philkecetite
Pluralisme dan Kota, Tahun baru imlek baru saja sedang berlangsung dan seluruh masyarakat khususnya etnis Tionghoa tengah sibuk mempersiapkan penyambutan perayaan tahunan ini. Di sisi lain, ada sebuah permasalahan yang sedang bergejolak panas di tengah – tengah masyarakat, yaitu sentimentil antar kelompok yang memiliki pemahaman yang berbeda. Kasus ini akhirnya menjadi besar dan dahsyat akibat kekuatan serta kekuasaan yang dimainkan oleh masing – masing individu. Hal tersebut menggiring saya kepada secuil perenungan mengenai perspektif keilmuan yang saya pelajari terhadap keberagaman faham dan ideologi atau yang dapat kita sebut sebagai Pluralisme di masyarakat. “Kota tercipta atas adanya ruang dan aktor – aktor yang saling besinggungan dalam sebuah wadah pluralisme” – inti yang saya dapat ambil dari diskusi IMPULSE tanggal 12 Januari 2016, pada saat itu tema bahasan kami adalah Politik Multikulturalisme. Saya rasa banyak yang tidak beres pada kebanyakan masyarakat kita saat ini untuk memahami arti keberagaman (saya pun masih belajar) sehingga berdampak pada hilangnya ruang untuk interaksi dan “mengenal” satu sama lain. Yang ada hanyalah perasaan untuk menjatuhkan yang lain dan ingin mensuperriorkan diri sendiri. Kota dan bangsa ini ada di tangan kita masing – masing. Hancur dan dan berlangsungnya tatanan sosial yang sudah kita perjuangkan sejak zaman kolonialisme adalah tanggung jawab kita bersama. Yogyakarta, 2017 Wahyu Aji
“
...keindahan tak jarang berdiri diatas sebuah ketimpangan. Kemiskinan mempunyai kenikmatan bagi kelas atas yang menontonnya.
foto oleh @gehitto
Pergi dan pulang sudah menjadi hal yang biasa. Melihat wajah ibu kota meyakini ada sesuatu yang selalu menarik terjadi disana. Ketimpangan memang jelas terukur diperlihatkan dari sudut manapun. Kemelaratan beralih fungsi menjadi estetika-estetika subjektif para pencari moment. Tuhan telah menganugerahi mereka mata yang tajam untuk mengawasi ibu kota. Siang dan malam berjaga di pinggir jalan (seperti dalam foto). Memotret mereka dengan kesadaran penuh dan waktu kerja yang terbatas bukanlah hal yang mudah. Dan apakah hal itu diperbolehkan secara etika? Seorang fotografer majalah Tempo pernah bilang apakah formula estetika tersebut memang manjur karena menyentuh kegelisahan manusia? Atau apakah merupakan sebuah jembatan sehingga kita tidak bisa lagi melihat estetika dengan cara lain? Sebuah pertanyaan yang cukup sentimentil terhadap pencari momen jaman sekarang. Semenjak itu saya sering bertanya-tanya. Apakah keindahan itu? Mengapa begitu sering ia berdiri diatas ketimpangan. Bagaimana jika orang tersebut (yang saya foto) melihat fotonya sendiri? Sampaikah terucap "Seneng wis motret wong kere" Ibu kota menghadirkan itu semua dalam satu perjalanan. Banyak yang perlu ditelisik dan menimbulkan kegelisahan-kegelisahan. Bahwa keindahan tak jarang berdiri diatas sebuah ketimpangan. Kemiskinan mempunyai kenikmatan bagi kelas atas yang menontonnya. Memang selalu ada yang menarik setiap saya kembali ke ibu kota. Orang yang saling tidak kenal, pergerakan yang tidak bisa diatur. Dan saya datang dengan tangan kosong, dan siap akan ketidakdugaan manusia-manusia. Jakarta, Januari 2017 Gehitto
“
...kita membuat bingkai itu dan akhirnya justru menghalangi mata kita untuk melihat lebih jernih.
foto oleh @ďŹ ldzahusna
Adalah hal yang menyedihkan bahwa penggusuran seringkali terbingkai oleh narasi yang salah. Ketika bertemu dengan sepotong fakta, terburu-buru membuat kesimpulan dengan terlalu banyak asumsi dan perspektif personal, menyebarkannya pada orang lain, menjadi siklus berulang dan membuat narasi yang yang tidak sempurna. "Mereka, kan, memang ilegal" "Iya, nggak apa apa digusur. Toh mereka memang melanggar tata ruang" Sayang sekali, kita terlanjur memahat bingkai itu, bahwa memang mereka yang salah. Kita membuat bingkai itu dan akhirnya justru menghalangi mata kita untuk melihat lebih jernih. Membuat kita kerap mensimpliďŹ kasi sesuatu, ya salah satunya adalah penggusuran. Pada kenyataannya, tidak semua dari area yang tergusur itu melanggar tata ruang. Padahal bisa jadi deďŹ nisi legal-ilegal kita pun belum didasari pada tumpuan yang sama. Jadi mengapa terburu-buru membuat kesimpulan? Saya menulis ini karena pada dasarnya saya tidak tega menuduh seseorang salah, membenarkan ketidakadilan yang terjadi atasnya, bahkan dengan narasi "mereka sudah pasti salah" kita membuat penggusuran akan terus terjadi. Ketidakadilan yang akan terus dianggap sebagai hal biasa. (Foto diambil 17 Januari 2017 di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Digusur April 2016, lokasi penggusuran hingga kini masih ditelantarkan pemerintah: tidak melanggar zonasi tata ruang)
“
...dialog yang kami kira akan berjalan menarik ternyata berjalan mengherankan.
foto oleh @farhanshar
Alangkah gembiranya kami diajak dosen untuk memenuhi "undangan" di salah satu hotel termewah di Kota Bandung. Judul acaranya adalah Dialog Publik Kereta Cepat Indonesia-China. Para pejabat publik muncul pada dialog tersebut untuk menggadang-gadangkan pentingnya proyek berbasis TOD ini. Jargonnya: "Kawasan baru mencuat, ekonomi menguat!" Mereka mempresentasikan akan ada empat stasiun yang dibangun. Loh. Aneh. Itu artinya berkurang empat dari rencana yang kami tahu sebelumnya. Dialog yang kami kira akan berjalan menarik ternyata berjalan mengherankan. Lebih-lebih saat sesi tanya jawab dibuka. Pertanyaan-pertanyaan mulai diajukan. Soal Amdal yang belum terbit padahal sudah groundbreaking, kejelasan tentang teknis-teknis, dan hal-hal lainnya. Akan tetapi, semuanya dijawab dengan terburu-buru dan tidak jelas. Mereka malah memberikan lebih banyak waktu kepada seorang yang mengaku warga yang diuntungkan oleh proyek tersebut (entah siapa yang mengundang dia) untuk bercerita panjang lebar dan tidak karuan. Duh. Akhirnya, setelah empat jam, acara bernama dialog publik ini ditutup secara sepihak. Padahal, masih banyak orang yang ingin bertanya. Mereka malah menyuruh kepada hadirin untuk menikmati jamuan yang sudah disediakan. Di tengah keheranan tersebut, dosen kami berbisik kepada kami: "Kalian beruntung. Beginilah birokrasi. Asosiasi Perencana Indonesia tidak diundang ke acara ini." [2017] Sebelum saya mengetik cerita ini, saya mengirim pesan kepada teman saya untuk melihat alamat web yang tertera pada booklet publikasi proyek yang diberikan kepada kami setahun yang lalu. . "Nggak ada webnya." . Begitulah. Jadi, saya tidak tahu harus menuliskan apa pada paragraf Januari 2017 ini. Tidak ada penjelasan langsung dari pihak pengembang tentang proyek ini. Google hanya lebih banyak bercerita tentang proyek yang direncanakan selesai tahun 2019 melalui pihak kesekian.
“
...sosialisasi, pengetahuan, pembelajaran untuk masyarakat juga merupakan sesuatu yg sangat vital
foto oleh @ghifaripp
Berdasarkan berbagai sumber, MRT ditargetkan bakal beroperasi awal tahun 2019.. Itu artinya kita tinggal menunggu sekitar 2 tahun lagi untuk menikmatinya.. Alhamdulillah.. Ibu kota bakal memiliki transportasi massal yang cukup memadai untuk pergerakan warganya dalam beraktivitas di kota yang sibuk ini. Namun, rasa syukur ini seakan dibarengi dengan rasa khawatir dari gw.. Apa tuh yang dikhawatirkan? Bukan proses pembagunannya yang mebuat Jalan Fatmawati berubah jadi jalan tikus, bukan juga suktikan dana proyek tersebut.. Tetapi yang sebenernya gw khawatirin adalah kesiapan warga Jakarta dalam menghadapi hadirnya moda transportasi ini.. Sori banget nihhh gw sampe bilang kaya gini... Gw bicara keraguan ini berdasarkan pengalaman aja sih nih ya... Yang gw khawatirkan adalah dari segi “etika� dalam memanfaatkan moda transportasi ini.. Nahh ini nih hal yang paling gw khawatirkan.. Simpel aja kok.. Siap ga sih, kita masuk ke dalam kereta dengan tertib? Hmmm kalo yang gw alami di commuter line sih yaaaa.. Buat keluar kereta pada rush hour di sebuah stasiun susah banget cuy.. Itu karena orang sudah menutup jalan buat keluar dan udah berebut duluan buat masuk kereta, padahal yang di dalem belum turun.. Bahkan gw pernah liat sampe ada perempuan yang jatuh pas keluar kereta gara2 desek2an.. Penjaga/satpam juga kan blm tentu ada di setiap pintu kereta buat ngatur.. Apa jangan2 salah pemerintahnya juga yang ga ngasih petunjuk buat orang yang akan masuk buat nunggu orang yang keluar, dan jalur buat orang yang keluar itu sendiri.. Atau kurang ada sosialisasi untuk masyarakatnya sendiri? Entahlah gw mesti menyalahkan siapa... . Gw bukan yg tiap hari beraktivitas pake public transport di jakarta... Yaa jujur aja lah yaa... Itu cuma yg gw alami aja... Jadi... Mohon maaf aja bila kenyataannya kurang tepat. Yaaa semoga kekhawatiran gw aja yg teralu berlebihan ya... Karena gw yakin pada dasarnya masyarakat ibu kota sudah cerdas... Gw hanya sekedar berpendapat bahwa sosialisasi,pengetahuan,pembelajaran untuk masyarakat juga merupakan sesuatu yg sangat vital... Kita sebagai masyarakat pengguna jg harus menaati ketertiban loh ya
Divisi Pendidikan Penelitian dan Profesi bekerja sama dengan Divisi Media dan Informasi. Prajurit Prawiratama HMTPWK UGM 2016/2017