Ruang edisi #3

Page 1

03

EDISI

MINGGUAN Minggu IV April2015

Mungkin Jogja Sudah Mulai Lelah

--OPINI

PROLOG

Keadilan dan keseimbangan tata ruang sangat bergantung dari bagaimana sebuah wilayah mensinkronisasi pembangunan dan alam

“Refleksi Alam”

Pada Keadilan dan Keseimbangan Ruang Oleh: Basanda Etavita

Yogyakarta - Rabu, 22 April 2015 tepat ketika media lokal hingga internasional mengelu-elukan tentang isu lingkungan hingga perubahan iklim dalam memaknai peringatan Hari Bumi. Petang hari hujan deras yang mengguyur lereng Merapi dan Sleman mengakibatkan munculnya 27 titik banjir akibat meluapnya Sungai Code, Kali Gajah Wong, Sungai Bulik, dan Sungai Winongo (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

...bersambung ke Halaman 2

Corbellis Lely menatap kotanya. Ia berharap hal ini tak akan terulang lagi di masa mendatang. Kota tempatnya tinggal kini berubah menjadi hamparan laut tanpa ujung. Padahal, seminggu yang lalu denyut kehidupan kota masih begitu kuat terasa. Semenjak hari itu, Cornellis Lely berkeinginan kuat untuk membangun negerinya. Satu hal yang ia pegang dan terefleksi dalam karyanya hingga saat ini. “Setiap kota di Belanda harus tangguh. Harus mampu tumbuh berdampingan dengan alam. Inovasi adalah kuncinya” gumamnya. Seperti halnya yang dialami kebanyakan insinyur waktu itu. Cornellis Lely terhalang pendanaan, birokrasi, serta pandangan pesimis masyarakat. Namun, Ia tak menyerah. Dengan semangat dan kerja kerasnya, dua tahun kemudian, insinyur pioner dari negeri Keju ini menjadi Menteri Lingkungan dan Infrastruktur Belanda. Ia kemudian mulai melakukan penataan besar-besaran wajah Belanda. Cornellis Lely, insinyur yang membangun proyek ambisius Zuiderzee Works, yang kelak menjadi salah satu Seven Wonder of Modern World. Cornellis Lely memang insinyur “ajaib”. Bahkan, puluhan tahun setelah tiada, citacitanya terus ditumbuhkan oleh generasi setelahnya. Belanda, negara yang adidaya dengan Water Management. Tampaknya harus berterimakasih atas perjuangan keras Le Conely. Dalam setiap karya besar selalu terdapat penghargaan terhadap karya lainnya. Dan jika ingin tetap terus melaju tanpa habis digerus waktu, ia harus mampu berjalan berdampingan dengan alam.

Redaksi: Ardianto Produksi: M Fachri IV, April 2015 Edisi 03

01


OPINI

Lanjutan... Masih dalam nuansa selebrasi Hari Bumi Sedunia yang diperingati tiap 22 April. Barangkali bagi masyarakat awam kebanyakan berpikir tidak tahu-menahu atau pun hanya menganggap tanggal tersebut sebatas suatu peringatan simbolis yang sering diteriakan penggiat-penggiat lingkungan dalam aksinya. Namun, tentunya dalam posisi pihak-pihak penggelut tata ruang, kacamata “keseimbangan dan keadilan alam”adalah suatu perspektif penting mewujudkan ruang hidup yang harmonis dan lestari. Dilansir dalam Kompas (23/4), Djati Mardianto, Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, masalah utama yang dihadapi Yogyakarta terhadap banjir, yaitu akibat ruang resapan yang makin sempit dengan beban kota yang semakin meningkat serta permasalahan drainase kota. Senada dengan paparan tersebut, menurut Bakti Setiawan, dosen dan Kepala Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, menyebutkan hal ini sudah menjadi tantangan lama untuk melahirkan solusi terhadap masalah permukiman bantaran sungai di Yogyakarta. Hal ini menjadi serius menimbang lebih dari seperempat warga kota Yogyakarta tinggal di daerah tepi sungai. Relokasi di sini menjadi pertanyaan sekaligus kritikan apakah hal ini bijak untuk memadukan tuntutan ekologi, kebiasaan sosial masyarakat, hingga perspektif ekonomi setempat. Polemik keadaan kota Yogyakarta saat ini juga diperparah dengan “imej kota investasi”. Paradigma kepentingan ekonomi sudah lama didengungkan berada pada tempat oposisi pada kelestarian lingkungan. Hal ini tampak jelas dari alih peran Sleman yang seharusnya menjadi kawasan resapan bagi Bantul dan Yogyakarta semakin ditumbuhi gedung-gedung komersil dengan lahan hijau yang semakin menyempit. Ekoturisme Kaliurang dan lereng Merapi pun mulai ditumbuhi vila-vila yang padahal kawasan tersebut seharusnya optimal sebagai daerah tangkapan hujan (catchment area). Belum lagi masalah perhotelan sebagai konsekuensi Yogyakarta Kota Wisata - magnet pihak pengembang, namun dilema secara respon sosial masyarakat, tata ruang kota, sirkulasi, kemacetan, managemen air, urban comfortability, hingga memicu kesenjangan sosial yang semakin tinggi.

02

..masalah utama yang dihadapi Yogyakarta terhadap banjir, yaitu akibat ruang resapan yang makin sempit dengan beban kota yang semakin meningkat serta permasalahan drainase kota.” Djati Mardianto, Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM

Padahal, cita-cita ruang adalah “ruang sebagai tempat tinggal fisik manusia sekaligus lahan terhadap hakikat manusia yang hidup sebagai komunitas yang memiliki kebutuhan interaksi sosial”. Kota - bekerja layaknya laboratorium mini yang merepresentasikan dunia dengan problem sosial budaya, tuntutan kebutuhan ekonomi, hingga kelestarian bumi sebagai habitat hidup manusia. Percuma pembangunan ekonomi dengan target income yang tinggi tanpa adanya prioritas kelangsungan hidup lingkungan. Pada kondisi kritisnya, senada dengan hukum momentum partikel, lingkungan pun akan selalu berusaha kembali ke titik seimbangnya, tidak peduli meskipun melalui cara destruksi seperti banjir dan longsor. Posisi perencana adalah sebagai advokat dan mediator yang menggabungkan interferensi masyarakat dengan kebutuhan ruang fisik dan natural. Manusia memegang peran penting sebagai user-interference yaitu bukan sekadar sasaran objek pembangunan up-bottom namun kualitasnya sebagai pihak pelaku akan menentukan degradasi atau pun kemajuan pembangunan itu sendiri. Manusia adalah komponen penting dalam perencanaan, tentang bagaimana jawaban atas kebutuhannya, atas penilaiannya, dan atas partisipasinya. Kota hijau, secara langsung juga akan menjelma menjadi kota berbasis lingkungan dan tanggap bencana mungkin masih menjadi harapan yang sangat utopis. Idealis memang, namun imajinasi bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun kota yang humanis. Sekarang kepada kita, saat ini bukan lagi saatnya berpikir pesimis terhadap tata ruang dan masalah klasiknya yang sudah ada sejak lama. Tidak melulu menunggu pemerintah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Mungkin, berawal dari bio-pori dan taman skala rumah tangga, kesadaran bahaya rumah tepi sungai, nilai arif pada keberadaan hutan resapan dan ruang hijau. Siapa tahu, partisipasi masyarakat mungkin tidak lagi akan mewujudkan garden city, tapi akan menciptakan city in the garden - harmoni alam yang humanis.

Edisi 03 IV, April 2015


SITEPLAN

Menggali Potensi Maritim Yogyakarta melalui Among Tani Dagang Layar Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan belasan ribu pulau dan ribuan kilometer panjang garis pantainya. Sejarah mencatat, dahulu nusantara kita pernah berjaya di lautan. Sebut saja Kerajaan Majapahit yang mempunyai area pendudukan yang paling luas. Setelah era Kerajaan Sriwijaya berakhir, Majapahit menjadi negara maritim utama yang memiliki armada maritim terbanyak dengan lebih dari 2800 perahu. Kitab Negarakertagama mengisahkan ada 98 tempat di nusantara yang membayar pajak kepada Majapahit, termasuk 16 kawasan di semenanjung Melayu, Pahang, Langkawi, Kelantan, Trengganu, Tumasik (Singapura), Kelang serta Kedah. Bertolak dari refleksi sejarah itu, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla, kini menaruh perhatian yang sangat serius terhadap sektor maritim kita. Pembangunan infrastrukturyang dulu dipusatkan di darat, kini arahnya mulai bergeser ke laut. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia. Visi Maritim tersebut rupanya telah ditangkap oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X jauh sebelum Presiden mengungkapkan keinginannya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pada tahun 2012, beliau mengungkapkan Paradigma“Among tani dagang layar”. Paradigma dari ‘Among Tani’ ke ‘Dagang Layar’ bukan berarti petani berpindah menjadi nelayan. Paradigma ‘Among Tani Dagang Layar’ merupakan kesatuan kalimat yang memiliki arti kegiatan usaha pertanian dan kelautan secara simultan dan terintegrasi membentuk sinergi dalam pengembangan potensi pantai selatan DIY serta pergeseran pola pikir masyarakat, bahwa potensi kelautan yang sangat besar di bagian selatan DIY sudah waktunya menjadi fokus baru dalam upaya mensejahterakan warga. Hal ini tentu sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi Yogyakarta saat ini, dimana ada kecenderungan yang mulai mengkhawatirkan terhadap usaha pertanian tradisional, yaitu terjadinya alih fungsi lahan yang sulit untuk dibendung. Pada tahun 2014 saja, ada 114 izin mendirikan hotel dan 3 buah Mall baru yang siap dibangun. Setiap tahun, sekurangnya 200 hektar lahan subur beralih fungsi ke lahan non pertanian. Selain itu, tenaga kerja di bidang pertanian memiliki pemasukan yang paling rendah dibandingkan sektor lain. Penyerapan tenaga kerja di bidang pertanian terus menurun tiap IV, April 2015 Edisi 03

tahun, serta generasi muda perdesaan enggan terjun ke bidang pertanian. Berangkat dari fakta tersebut, Pemerintah DIY harus serius menggarap sektor kemaritiman ini. Laut Selatan bukan lagi ditempatkan sebagai halaman belakang, tetapi justru dijadikan halaman depan. Bukan hanya dijadikan tempat wisata bahari, namun sebagai peluang pembuka keran investasi. Peralihan paradigma ini juga sejalan dengan kebijakan ekonomi nasional dengan ditempatkannya wilayah Kulonprogo dalam program MP3I (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia berupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), termasuk dalam ‘Koridor Delapan’ seluas 3500-3700 ha. Konsekuensinya, perlu melakukan kaji ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif, menyeluruh dan lengkap, dengan menempatkan Jawa bagian selatan untuk penyebaran pertumbuhan. Paradigma Among Tani Dagang Layar merupakan integrasi Pemerintah DIY dalam menangkap visi Pemerintah pusat di sektor maritim.Daerah Istimewa Yogyakarta tentu mempunyai potensi yang sangat luar biasa. Provinsi yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia ini memiliki garis pantai sepanjang 113 kilometer mil laut yang tersebar di 3 kabupaten, yaitu Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul. Wujud nyata yang dapat dilakukan dalam menginternalisasi paradigma tersebut salah satunya dengan mengalihkan pusat pertumbuhan ekonomi dari wilayah Pantura ke Pantai Selatan dengan mengembangkan klaster-klaster industri kecil dan agribisnis di pedesaan, serta industri kelautan, perikanan dan pariwisata maritim, yang didukung infrastruktur jalan selatan-selatan. Investasi skala besar juga patut dipertimbangan karena setiap kabupaten memiliki potensi nya masing-masing. Kulonprogo dengan bandara baru dan rencana pendirian pabrik pasir besinya, Bantul dengan potensi pembangkit listrik tenaga anginnya, serta Gunungkidul dengan potensi wisatanya serta tangkapan ikan yang melimpah. Kita tunggu saja, apakah paradigma ini akan berdampak pada kebijakan pembangunan Yogyakarta kedepan.

03


OPINI

MUNGKIN JOGJA SUDAH MULAI LELAH

Oleh: Nur Annisa Milyana

Yogyakarta memang belum kehilangan “rupa” saat ini. Tapi, boleh jadi kota Yogyakarta sedang bergerak menuju ke arah permasalahan yang lebih pelik. Setelah satu dekade terakhir sejumlah hotel dan mall memicu letupan gaya hidup perkotaan yang kian intens, kini mall dan kawasan urban baru siap hadir. Jogja Town Square (JTOS) salah satunya, merupakan satu dari sekian mall yang sedang hangat diperbincangkan. Berlokasi di Jalan Laksda Adisucipto, JTOS akan menjadi bagian dari pusat kawasan Malioboro. Bersama dengan JTOS pula, kawasan Malioboro nantinya akan diisi apartemen mewah dan hotel berbintang. Tak cukup dengan hadirnya Ambarukmo Plaza, JTOS dan Sahid Lifestyle, di kawasan timur Jogja ternyata juga akan segera dibangun Hartono Lifestyle Mall. Sedangkan di kawasan bagian utara, Mataram City Mall, City Walk, dan beberapa hunian modern sudah mulai dalam tahap pengerjaan dan akan segera selesai dalam kurun waktu dua tahun kedepan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya empat mall baru dan kawasan modern ini yang akan mengisi kota Jogja nantinya? Ternyata tidak, beberapa tahun mendatang sejumlah mall lain rupanya sudah mengambil ancang-ancang untuk berdiri di kota Jogja. Tercatat nama Sun Premiera dan Grup JW.Marriot

sudah bersiap-siap meramaikan kehidupan urban Yogyakarta yang sedang tumbuh pesat saat ini. Lalu, apa saja kah permasalahan yang timbul dari maraknya pembangunan-pembangunan tersebut? Yogyakarta saat ini sedang bertaruh untuk bertahan dengan idealisme luhurnya sebagai kota budaya. Perkembangan kota, aktivitas penduduk, dan dinamika masyarakatnya telah membawa Yogyakarta melesat menjadi “calon” kota metropolitan baru di Indonesia. Selain permasalahan tentang pergeseran idealisme, marak pula permasalahan mengenai lingkungan yang muncul akibat dampak pembangunan tersebut, termaksud permasalahan “Jogja Asat.” Kemudian, mengapa permasalahan ini terus muncul di Jogja? Apa karena maraknya pembangunan seperti yang telah disebutkan diatas? Atau ada sebab-sebab lainnya yang belum terungkap hingga saat ini? Entahlah, mungkin Jogja sudah mulai lelah dengan segala yang harus ditampungnya dari tahun ke tahun, tanpa penduduknya mau mengerti apa yang Jogja butuhkan untuk kembali nyaman seperti sedia kala...


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.