Imajinasi dan Historisitas dalam Perencanaan Partisipatif dan Kaitannya dengan Dokumen Perencanaan di Indonesia Muhammad Ihsan Yudanto Tugas Mata Kuliah Teori Perencanaan, 2020 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
Abstrak Perencanaan dan pembangunan di dunia tengah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Imajinasi dan historisitas dari perencanaan merupakan unsur yang mempengaruhi perkembangan tersebut. Imajinasi perencanaan dijewantahkan dalam perencanaan partisipatif yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan dalam perencanaan dan pembangunan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui imajinasi dan historisitas dalam perencanaan partsipatif di Indonesia serta kaitannya dengan dokumen perencanaan sebagai produknya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan tinjauan data sekunder dan metode analisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil analisis penelitian ini ialah. Imajinasi dan historisitas merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dalam perencanaan dan pembangunan. Perencanaan partisipatif ke depannya akan mengalami peningkatan level partisipasi masyarakat yang akan mengakomodasi imajinasi perencanaan. Direkomendasikan untuk mengoptimalkan implementasi perencanaan partisipatif sebagai wadah pengimajinasian perencanaan. Kata Kunci: Imajinasi, Historisitas, Perencanaan Partisipatif
Latar Belakang Perencanaan di dunia terus mengalami perkembangan sejalan dengan historis di baliknya dalam menjawab tantangan. Perbedaan bentuk perencanaan dan fokus pembangunan di kota dipengaruhi oleh paradigma yang berkembang. Paradigma lahir dari kondisi, tantangan, serta imajinasi yang dapat berbeda di setiap era. Imajinasi merupakan kemampuan untuk membentuk reperesentasi berbagai aspek yang menentang kondisi yang ada. Dengan begitu imajinasi dalam perencanaan merupakan unsur yang tidak dapat ditolak. Imajinasi perencanaan yang perlu diakomodir ialah imajinasi masyarakat sebagai subjek dan objek dalam perencanaan. Bentuk perwujudan ruang imajinasi tersebut adalah adanya perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif melibatkan masyarakat untuk ikut berperan dalam perencanaan dan pembangunan. Maka diperlukan pembahasan letak partisipasi masyarakat di dalam perencanaan yang dapat ditinjau dengan menelaah dokumen perencanaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terkait imajinasi dan historisitas dalam perencanaan partsipatif. Penelitian ini akan membahas terkait imajinasi dan historistas dalam perencanaan yang diwujudkan dalam perencanaan partisipatif di Indonesia. Terbagi atas imajinasi dan historistias dalam pembangunan di dunia dan Indonesia, serta historisitas dari perencanaan partisipatif. Selain itu, akan ditinjau bentuk partisipatif dalam dokumen perencanaan di Indonesia, baik perencanaan pembangunan maupun tata ruang di Indonesia, guna mengetahui bentuk implementasi perencanaan partisipatif. Hal lainnya adalah bahasan 1
terkait tantangan apa yang akan dihadapi dan relevansi dari perencanaan partisipatif di Indonesia ke depannya. Tinjauan Pustaka 1. Imajinasi Perencanaan Imajinasi yang mengarah kepada perencanaan, budaya, dan “teori pemikiran� merupakan sifat kuat dari pikiran manusia. (Reuland, 2010). Inti dari kekuatan otak yang kita miliki adalah perencanaan, yang mana perencanaan bergantung pada imajinasi untuk dapat bertahan hidup. Imajinasi melibatkan kemampuan untuk membentuk representasi dari beberapa aspek dunia yang menentang representasi dunia. Perencanaan merupakan penetapan rangkaian tindakan yang diarahkan untuk menghilangkan kesenjangan antara dunia secara nyata dan dunia yang dibayangkan/diimpikan yang mungkin lebih cocok dngan keinginan seseorang. Dengan demikian perencanaan merupakan jenis perilaku yang melibatkan minimal perbandingan antara dua representasi dunia, dalam hal ini kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan/ideal. Imajinasi perencanaan merupakan sesuatu yang tidak dapat atau tidak akan ditolak (Hall, 2014). Imajinasi dalam konteks perencanaan berkaitan dengan utopianisme, namun pada dasarnya merupakan manifestasi dari keinginan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik. Kemampuan interpretasi untuk menghasilkan penggambaran yang kuat terhadap dinamika perkotaan menjadi tantangan tersendiri (Makkelo, 2017). Dibutuhkan kekuatan imajinasi yang berperan penting dalam membaca peristiwa atau persoalan yang terjadi. Kekuatan imajinasi memerlukan alat analisis, paradigma, teori yang mendalam dan memadai. Dalam praktiknya imajinasi perencanaan dipisahkan antara kolektif (birokrasi) dan individu (perencana) (Lee, 2018). Ketika perencana menggambarkan apa yang mereka bayangkan, makna subjektifitas yang disampaikan tersebut seakan tenggelam ketika dokumen rencana dipublikasikan. Pemisahan imajinasi perencana dan dokumen resmi mengharuskan perencana seakan harus bergerak di antara dua bidang yaitu sesuai peraturan publik atau imajinasi pribadi. Padahal imajinasi merupakan hal penting karena memberi perencana rasa kepemilikan pada produk mereka sendiri dan membuat visi yang cukup menarik untuk diikuti oleh generasi perencana. 2. Historisitas perkembangan kota Historisitas berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah (KBBI, 2020). Berdasarkan sejarah, perencanaan telah banyak dipengaruhi berbagai metode dan teknologi dari berbagai disiplin ilmu serta perkembangan perubahan global (paradigma) (Patta, 2001). Menurut Johnny Patta (2001) pada jurnal The Theory Development: Learning from The United States Experience terdapat 6 fase perubahan global (paradigma) yang ditinjau dari sudut pandang negara Amerika Serikat. Berikut merupakan 6 fese tersebut yang penulis elaborasi dengan Sejarah Perencanaan dalam buku Contemporary Urban Planning edisi 11 (M.Levy, 2017). I. Perencanaan di Era Perancangan Kota Ideal (1890- Tengah 1910) Di era awal perencanaan, perencanaan diarahkan dengan filosofi Physical Environment Determinism yang berarti bahwa perencanaan yang dibuat 2
berdasarkan kondisi lingkungan yang ada. Model perancangan kota ideal berdasarkan perspektif kesempurnaan yang diwujudkan dalam perancangan taman, boulevard, dan permukiman baru. Konsep seperti Howard’s Garden City, Le Corbusier’s Radiant City, dan Burnham’s Beautiful City yang mengubah ruang publik menjadi lebih estetik dilihat dari arsitektural. Pada era ini kota dituntut untuk diperbarui guna menangani masalah-masalah pertumbuhan kota, seperti sanitasi, ruang terbuka, perumahan, dan estetika. II. Perencanaan di Era Perancangan Kota secara Praktis (Tengah 1910-Awal 1930) Di era ini fokus perencanaan dalam hal efisiensi teknik rekayasa dan ekonomi. Adanya depresi ekonomi pada akhir era 1920 membuat perencanaan juga fokus pada pembenahan tatanan ekonomi. Perencanaan banyak membahas transportasi (penanganan kemacetan) dan zonasi guna lahan tersebut yang berkiblat pada model lahan blok di Frankfurt, Jerman yang diterapkan di Kota New York Seperti contoh pada Kota Metropolitan Boston yang melibatkan hubungan moda transportasi dan fasilitas secara komprehensif. III. Perencanaan di Era Pencarian Solusi Komprehensif (Tengah 1930-Akhir 1950) Era yang dianggap sebagai masa emas perencanaan ini diarahkan dengan pendekatan komprehensif yang rasional. Pada era ini ditekankan pada perspektif jangka panjang serta aturan spasial, analisis perencanaan sistemik, pelibatan social science untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat yang terus berubah dan mengoptimalkan sistem dan peran kota itu sendiri. Kota pada era setelah usai perang dunia ini banyak mengalami perkembangan dari perluasan, pembaruan, dan perencanaan jalan tol. IV. Perencanaan di Era Pencarian Solusi Ilmiah (Awal 1960-Akhir1970) Perencanaan di era ini diarahkan oleh filosofi rational scientifc determinism yang dibawa dengan ilmu informasi. Pokok bahasan dan penyelesaian masalah menggunakan perencanaan didasari oleh penggunaan ilmu informasi seperti analisis data, model matematika, statistik, linear programing, dan ilmu komputer. V. Perencanaan di Era Pencarian Solusi Praktis Bidang Politik (Tengah 1960Awal 1980) Di era ini, proses penentuan kebijakan dan hasil dari perencanaan yang menjadi fokus dari perencanaan itu sendiri. Adanya dinamisasi hasil yang didapatkan oleh masyarakat serta adanya kepentingan-kepentingan dari pihak terkait, seperti pemerintah dan kaum elitis, investor, masyarakat umum dan pihak lainnya menuntut perencanaan menggunakan berbagai teknonolgi dan juga partipasi publik. VI. Perencanaan di Era Pencarian Solusi Praktis Bidang Kewirausahaan (Awal 1980-1990) Adanya kegagalan pemerintah dengan menggunakan sistem politik praktis nyatanya menimbulkan kerugian dan krisis. Hal tersebut menjadi pemicu praktisi bisnis menilai adanya kesalahan manajamen kota baik oleh pemerintah maupun perencana. Perencana kemudian berparadigma pada ilmu manajemen sebagai 3
acuan pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya manusia, material, dan teknologi dalam penentuan perencanaan sebagai kebijakan publik. Dilakukan manajemen pertumbuhan kota dengan penerapan pertumbuhan yang cerdas. Terdapat satu fase tambahan, yaitu pada era 2000an dimana paradigma yang berkembang adalah perencanaan keselamatan publik dan perencanaan untuk bencana alam. Adanya beberapa peristiwa terorisme menuntut pengembangan kota yang fokus pada keamanan. Begitu juga terhadap ancaman bencana sehingga diperlukan pembangunan yang meminmalkan resiko terkena bencana yang dikhawatirkan semakin meningkat di masa mendatang, akibat kenaikan suhu atmosfir dan permukaan laut. Sehingga paradigma secara umum berkembang adalah terkait sustainability/ keberlanjutan. Berkembangnya industri 4.0 menjadikan pembangunan berbasiskan pada data dan informasi dan otomatisasi yang sangat menguatkan sistem informasi perencanaan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan. 3. Participatory Planning/Perencanaan Partisipatif Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk berkontribusi pada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab (Newstrom, 1989). Perencanaan/Politik partisipatif sebagian besar didasarkan pada alasan yang sama di seluruh dunia, yaitu adanya kegagalan dalam memperhitungkan ketidaksetaraan dan politik, yang membentuk implementasi dan praktik partisipasi (Holstein, 2017). Perencanaan partisipatif meminta masyarakat untuk secara sukerela ikut terlibat dalam perencanaan. Perlu adanya refleksi terhadap kesesuaian dalam meminta masyarakat untuk mendapatkan layanan publik yang seharusnya sudah mereka akses. Perencanaan partisipatif sejalan dengan status masyarakat di perkotaan, menggambarkan partisipasi sebagai kunci dari tercapainya citizenship (public action) dari proses politik inklusif serta sebagai wujud dari substansi hak di perkotaan (urban right) (Refstie, 2019). Bentuk public action yang ‘dibangun dari bawah’ sukses di beberapa negara, tetapi di satu sisi upaya ini juga membuktikan bahwa intervensi (terhadap masyarakat) merupakan hal yang sulit, bahkan hasilnya dapat keluar dari konteks yang diharapkan. Perencanaan partisipatif seringkali disambut baik oleh masyarakat, tetapi pengalaman tentang pemberdayaan dan inklusi terbatas (Holstein, 2017). Terdapat permasalahan dimana seringkali tidak terjadi partispasi atau partisipasi hanya menyelesaikan masalah sekunder. Keterlibatan masyarakat dirasa terbatas karena pengambilan keputusan hanya dikuasai oleh lembaga pelaksanaan proyek. Disparitas yang terjadi dalam hasil public action menjadi permasalahan dengan adanya kombinasi konfrontasi dan praktik negosiasi masyarakat (Refstie, 2019). Adanya teori dan praktik perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam proses formal, menjadikan peran dari perencanaan partisipatif sebagai wujud politik inklusif melalui masyarakat yang aktif (active citizenship) bisa dibangun dan diperkuat. Ruang politik yang telah ada, dapat membuat kondisi kapasitas internal dan eksternal dinamis, saling mempengaruhi antar individu yang diharapkan memulai menciptakan pergerakan kolektif. Terdapat bentuk dan siklus partisipasi (Cohen, 1977), yaitu sebagai beirkut:
4
1. Pengambilan Keputusan terikait perencanan dan program. Partisipasi diwujudkan dalam bentuk rapat-rapat bersama dalam mengidentifikasi masalah dan perencanaan. 2. Implementasi/Pelaksanaan. Partisipasi diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, materi, dan tindakan sebagai anggota proyek. 3. Evaluasi. Partisipasi masyarakat berupa umpan balik atau masukan untuk perbaikan implementasi rencana dan program. 4. Pemanfaatan. Merupakan tahap menikmati hasil yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat, melihat ketepatan dengan sasarannya, Dalam merepresentsikan tingkatan atau kadar partisipasi, terdapat ladder of participation (tangga partipasi) yang dirumuskan oleh Sherry R. Arnstein (1969). Terdapat delapan tingkat partisipasi yang dapat membantu dalam menganalisis masalah (Arnstein, 1969). Delapan jenis partisipasi tersebut disusun dalam pola tangga dengan setiap anak tangga sesuai dengan tingkat kekuatan masyarakat dalam menentuakan hasil akhir. Terdapat tiga pengelompokan lagi dari delapan anak tangga tersebut, yaitu Nonpartisipasi, tokenism, dan kekuatan masyarakat (dalam hal mengambil keputusan). GAMBAR 1. TANGGA PARTISIPASI
Sumber: Arnstein SR (1969) Anak tangga terbawah, yaitu Non-partisipasi terdiri atas anak tangga (1) Manipulasi dan (2) Terapi. Kedua anak tangga tersebut menggambarkan level nonpartisipasi yang telah dibuat oleh beberapa orang untuk menggantikan partispasi yang asli. Tujuan sebenernya tidak bukan untuk memungkankan masyarakat berpartisipasi tetapi untuk memungkinkan pemegang kuasa sekedar menyenangkan partisipan. Tingkatan kedua adalah tokenism yang terdiri atas (3) Pemberian informasi/mengetahui, (4) Konsultasi, dan (5) Penentraman/Placation. Pada tingkatan ini memungkinkan 5
masyarakat untuk dapat mendengar dan didengarkan, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa pandangan mereka akan diperhatikan untuk pengambilan keputusan. Pemberian informasi menunjukan adanya komunikasi satu arah dari pihak berwenang melalui berbagai media. Konsultasi menunjukan adanya komunkasi dua arah dari pihak yang berwenang dengan masyarakat, melalui pertemuanpertemuan. Penentraman melibatkan masyarakat pada aktivitas yang lebih mendalam (dapat terlibat dalam komite pembuatan kebijakan, meskipun pemegang kekuasaan memiliki hak lebih dalam pengambilan keputusan. Tingkatan tertinggi adalah kekuatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga anak tangga pada tingkat ini, yaitu (6) Kemitraan, (7) Delegasi Kekuasaan, dan (8) Kontrol Warga. Berikut ini merupakan penjabaran terkait tangga partisipasi Arnstein yang penulis olah dari Jurnal yang ditulis Permatasari, dkk (2018) dan Rosyida (2011) yang berisi terkiat penjelasan, hakekat kesetraaan dan tingkat pembagian kekuasaan pada tiap level/tingkat partisipasi. TABEL 1 PENJELASAN TANGGA PARTISIPASI No
Tangga/Tingkat Partisipasi
Hakekat kesetaraan
1
Citizen Control (Kontrol Masyarakat)
Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat
2
Delegated Power (Pendelegasian kekuasaan)
Masyarakat diberi kekuassaan (sebagian atau seluruh program) Timbal balik dinegosiasikan
3
Partnership (Kemitraan)
4
Placation (Penentraman)
Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan
5
Consultation (Konsultasi)
Masyarakat didengar tapi tidak selalu dipakai sarannya
6
Informing (Pemberitahuan)
Sekadar pemberitahuan searah/ sosialisasi
7
Therapy (Terapi)
Sekedar agar masyarakat tidak
Penjelasan Inisasi sepenuhnya datang dari masyarakat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengoprasian, tanggung jawab, pembiayaan, dan pemeliharaan Insiasi sudah datang dari masyarakat untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pegoperasian, tanggung jawab, dan pemeliharaan dengan meminta bantuan dari pihak terkait Insiasi sudah datang dari masyarakat tetapi pada perencanaan masih dibantu oleh pihak terkait dengan adanya kesamaan peran Masyarakat sudah melakukan kegiatan di atas secara sukarela, sudah mengetahui manfaatnya, sudah ada keinginan untuk berpendapat, dan masyarakat sudah dipersilakan menyampaikan usulan mengenai hal tersebut, tetapi hanya sebagian pendapat yang diterima Masyarakat sudah melakukan kegiatan di atas secara sukarela, sudah mengetahui manfaatnya, dan masyarakat dapat membuat usulan mengenai hal tersebut, walaupun tidak ada jaminan untk menerima Masyarakt sudah mendapatkan informasi mengenai manfaat dari kegiatan pengelolaan, tetapi tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat menyampaikan usulan Masyarakat melakukan kegiatan karena terpaksa dan sudah mengetahui
Tingkat Pembagian Kekuasaan
Tingkat kekuasaan ada di masyarakat
Tokenisme/ sekedar justifikasi agar mengiayakan
Tidak ada partispasi
6
Tangga/Tingkat Partisipasi
No
8
Manipulation (manipulasi)
Hakekat kesetaraan
Penjelasan
marah/sosialisasi Permainan oleh pemerintah
manfaatnya Mesyarakat melakukan kegiatan karena terpaksa dan tidak mengetahui manfaatnya
Tingkat Pembagian Kekuasaan (NonPartisipasi)
Sumber: (Rosyida, 2011) dan (Permatasari, 2018)
Metoda dan Data Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk memperdalam pengetahuan dan mencari ide-ide baru terkait pembahasan. Metoda pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari publikasi akademik, tinjauan kebijakan atau dokumen perencanaan dan media populer. Adapun metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif secara empirik untuk meninjau persoalan dan konteksnya di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah imajinasi dan sejarah perkembangan kota di Indonesia, dokumen perencanaan dan implementasi proses perencanaan partisipatif di Indonesia. Diskusi Diskusi pada penelitian ini akan membahas beberapa poin, yaitu Imajinasi dan Historisitas Pembangunan di Dunia dan Indonesia, Historistias Perencanaan Partisipatif di Indonesia, Imajinasi Perencanaan dalam Perencanaan Partisipatif pada Dokumen Perencanaan di Indonesia, Tantangan dan Relevansi Imajinasi dan Historsitas dalam perencanaan partisipatif di Indonesia. 1. Imajinasi dan Historisitas Pembangunan di Dunia dan Indonesia Pada poin ini akan dibahas terkait imajinasi dan historistias pembangunan di dunia dan Indonesia. Imajinasi yang dimaksud adalah paradigma pembangunan yang sedang berkembang, sementara historisitaas berisi penjelasan terkait penyebab munculnya paradigma dan penyebab runtuhnya paradigma tersebut. Kondisi tersebut akan merujuk pada tinjauan pustaka yang terjadi di Amerika, sehingga penulis menambahkan bagian yang kaitannya dengan kondisi di Indonesia pada tiap eranya. Berikut merupakan tabel bahasan pada poin ini: TABEL 2 IMAJINASI DAN HISTORISITAS PEMBANGUNAN DI DUNIA DAN INDONESIA No
1
Tahun/Era
1890 – Tengah 1910
Imajinasi/ Paradigma
Perancangan Kota Ideal (Estetika)
Historisitas Dunia
Kondisi di Indonesia
Menganut filosifi physical environtment determinsim. Fokus pada pembentukan wajah kota, mengubah ruang publik menjadi lebih estetik secara arsitektural. Runtuh karena tidak mampu mengatasi permasalahan perkotaan di perubahan abad ke 20.
Berada dalam kolonialisme pemerintah Belanda yang kemudian pembangunan berkiblat pada pembentukan kota bergaya eropa, secara struktur dan bangunan.
7
No
2
3
4
Tahun/Era
Tengah 1910 – Awal 1930
Tengah 1930 – Akhir 1950
Awal 1960 – Akhir 1970
Imajinasi/ Paradigma
Perancangan Kota Praktis (fungsi dan efisiensi)
Solusi Komprehensif
Solusi Ilmiah
5
Tengah 1960 1980
Solusi praktis bidang Politik
6
Awal 1980 - 1990
Solusi praktis bidang Kewirausahaan
Historisitas Dunia
Kondisi di Indonesia
Mengkritik secara efektifitas ekonomi pada paradigma sebelumnya, sehingga berorientasi pada perencanaan yang berfokus pada fungsi dan efisiensi (guna lahan dan transportasi). Berkiblat pada teknik rekayasa dan ekonomi. Runtuh karena hanya berfokus pada ekonomi saja. Pembangunan dengan pendekatan komprehensif yang rasional berprespektif jangka panjang dengan analisis sistemik. Melibatkan social science sebagai pertimbangan dalam merumuskan alternatif dan penentuan keputusan. Pengembangan kota pasca perang dunia berkembang kepada perluasan, pembaruan, dan perencanaan konektivitas. Perencanaan menjadi lebih rasional dan ilmiah serta dilihat sebagai proses terus menerus, menganut filosofi rational scientific determinism yang dibawa dengan ilmu informasi. Penggunaan ilum informasi dan komputer memperbarui pengoptimalisasian perencanaan komprehensif sebelumnya. Era ini runtuh karena teknik ini dinilai tidak akurat dan realistis dari segi penentu kebijakan dan hak asasi. Rational Comprehensive dan scientific planning di era sebelmnya dinilai sangat lengkap dan akurat dari segi data namun tidak realistis dari segi implementasi. Di era ini proses penentuan kebijakan menjadi fokus dimana terdapat dinamisasi hasil dari berbagai stakeholder termasuk masyarakat umum. Peran Urban Politics amat mempengaruhi pembangunan. Namun, paradigma ini runtuh karena munculnya kegagalankegagalan akibat inefisiensi dan penyelewengan kebijkan sehingga menuntut cara swasta untuk dapat meraih keuntungan. Adanya krisis menuntu perubahan dalam manajemen kota yang juga berorientasi pada
Berada dalam kolonialisme pemerintah Belanda dengan pembangunan infrastruktur dan transportasi (jalan antar provinsi/kota dan pelabuhan) guna meningkatkan konektivitas sehingga lebih efektif dan efisien. Pembangunan di Indonesia lebih dilandaskan pada pembangunan sifat atau Nation Building dalam artian lebih ke penekanan semangat kebangsaan dan bernegara mengingat adanya momentum kemerdekaan.
Merupakan era peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan rezim orde lamanya ke Presdien Soeharto dengan rezim orde baru. Kekuatan urban politics memengaruhi arah pengembangan kota. Pembangunan dipenaruhi oleh ekonom-ekonom yang baru pulang dari pendidikan di Amerika Serikat.
Kondisi di Indonesia mirip dengan yang dialami di Amerika dimana pemerintah memegang penuh kontrol dalam suatu pembuatan kebijakan. Munculnya Repelita (Rencana Pembangunan lima tahun) yang membuat perencanaan lebih sistemik. Namun, secara kekuasaan era ini bersifat sentralistik yang menidakan kreatifitas dan partisipasi masyarakat untuk berinovasi dan ikut menentukan kebijakan pembangunan.
Munculnya pengaruh global mengarahkan pembangunan dengan oreintasi yang lebih
8
No
7
Tahun/Era
2000 sekarang
Imajinasi/ Paradigma
Sustainability / pemanfaatan teknologi muthakhir
Historisitas Dunia
Kondisi di Indonesia
pasar. Berkembangnya kerjasama pemerintah dan swasata dengan pemanfaatan sumber daya manusia, material, dan teknologi dalam penentuan perencanaan sebagai kebijakan publik.
berprofit, namun dengan masih dibawah pemerintahan orde baru dengan otoritariannya. Di akhir era ini terjadi reformasi yang mengubah tatanan pemerintahan di Indonesia menjadi desentralisasi sehingga daerah lebih banyak turut andil dalam pembangunan. Indonesia amant merasakan dampak dari adanya ancaman bencana maupun kelestarian lingkungan yang minim. Pembangunan dilakukan dengan paradigma sustainability dimana kota-kota harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutannya. Selain itu, berkembangnya pemanfaatan sistem informasi untuk perencanaan telah merubah pengembangan kota berbasis teknologi informasi, seperti Smart City. Konsep-konsep kota seperti itu telah mulai diterapkan di Indonesia melalui perencanaan pembangunannya.
Era ini berfokus pada perencanaan keselamatan publik dan perencanaan untuk bencana alam. Hal ini karena munculnya ancaman terorisme dan kejadian bencana yang semakin rentan terjadi di berbagai wilayah dengan resiko tinggi. Maka munculah kota seperti Resilient City. Pembangunan berorientasi pada lingkungan yang berkelanjutan sehingga dampak ancaman dapat dimimalisisr. Munculah konsep kota Sustainability. Selain itu, di era ini berkembang industri 4.0
menjadikan pembangunan berbasiskan pada data dan informasi dan otomatisasi. Munculah konsep kota Smart City Sumber: Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan perbandingan pada tabel tersebut didapat sejumlah temuan. Pertama perkembangan imajinasi melalui paradigma yang ditanamkan terus mengalami evolusi untuk terus melakukan pembangunan yang lebih baik. Dasar dari imajinasi yang terbentuk adalah menentang dari ide atau paradigma sebelumnya. Perencanaan didasarkan pada pemikiran perbaikan atas kegagalan atau kekurangan pada paradigma yang sebelumnya telah berkembang. Selain itu, didapatkan juga bahwa perencanaan maupun pembangunan amat dipengaruhi oleh tantangan global dan perubahan tatanan kekuasaan (urban politics). Hal ini dapat dilihat dari momentum perang dunia serta krisis ekonomi yang mempengaruhi seluruh negara dunia. Berdasarkan berbagai hal itulah, imajinasi terus berkembang pada hal-hal baru karena perbedaan kondisi dari masa ke masa. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa adanya perbedaan sudut pandang dan imajinasi antara perencana sekarang dan perencana terdahulu sangat mungkin terjadi. Perbedaan historisitas yang dialami pada tiap era amat mempengaruhi wujud imajinasi apa yang akhirnya diajukan.
9
Temauan lainnya adalah imajinasi yang berpangku pada paradigma yang tengah berkembang di dunia tidak berarti berlaku untuk seluruh negara. Meninjau kondisi di Indonesia pada tiap eranya ditemukan sejumlah perbedaan kondisi. Pada era kolonialisme wujud pembangunan atau perencanaan kota ideal maupun kota efisien tidak lahir atas prakarsa masyarakat Indonesia, tetapi amat dipengaruhi pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Pada era pertengah abad ke 20 lainnya amat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan di tiap era pemerintahannya. Meski begitu paradigma yang telah berkembang di dunia tetap menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Masuk ke awal abad 21 atau tahun 2000an dimana era globalisasi sangat gencar membuat perencanaan dan pembangunan di Indonesia mulai mempertimbangkan imajinasi dunia dalam pengimplementasiannya di Indonesia. Meskipun pada akhirnya imajinasi tersebut akan memiliki bentuk yang berbeda karena menyesuaikan dengan karakteristik baik itu sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan di Indonesia. 2. Historisitas Perencanaan Partisipatif di Indonesia Bagian ini menjabarkan terkait historisitas perencanaan partsipatif di Indonesia. Historisitas mengacu pada kondisi Indonesia yang dilihat dari sistem pemerintahan di Indonesia dari masa ke masa. Level partisipasi mengacu pada Tangga Partisipasi Arnstein dan penjelasannya untuk melihat peran/bentuk partisipasi masyarakat. Berikut merupakan tabel historisitas perencanaan partisipatif di Indonesia: TABEL 3 HISTORISITAS PERENCANAAN PARTISIPATIF DI INDONESIA
1
1890 – Tengah 1910
Berada dalam kolonialisme pemerintah Belanda
Level Partisipasi Manipulation (Non Partisipasi)
2
Tengah 1910 – Awal 1930
Berada dalam kolonialisme pemerintah Belanda
Manipulation (Non Partisipasi)
No
Tahun
Kondisi
•
3
Tengah 1930 – Akhir 1950
•
Masa penjajahan Belanda kemudian Jepang Momentum kemerdakaan Indonesia (Pembangunan berbasis nasionalisme)
Manipulation, Therapy, Informing
Peran/Bentuk Partisipasi Masyarakat Masyarakat Indonesia tidak memiliki akses untuk berpartisipasi guna menyampaikan aspirasi dalam perencanaan dan pembangunan, kekuasaan dikendalikan penuh oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat hanya andil sebagai pelaku pembangunan, bukan elemen penentu kebijakan. Terbagi atas beberapa masa, (1) era penjajahan Belanda tidak tersedia ruang partisipasi dimana semua diatur oleh pemerintah Belanda (2) era penjajahan Jepang, tidak ada ruang partisipasi, melakukan kegiatan secara terpaksa tetapi manfaat dari kebijakan sudah diketahui (3) Masuk ke era pasca kemerdakaan dengan sistem
10
No
Tahun
Kondisi
Level Partisipasi
4
Awal 1960 – Akhir 1970
• Era Pemerintahan Orde Lama • Era Pemerintahan Orde Baru
Informing dan Consultation (Tokenism)
5
Tengah 1960 1980
• Era Pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik
Informing dan Consultation (Tokenism)
Awal 1980 1990
• Era Pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik • Masuk era reformasi perubahan tatanan pemerintahan yang lebih demokratis dan desentralisasi
2000an sekarang
• Era reformasi • Berkembangnya paradigmaparadigma yang membutuhkan kapasitas masyarakat untuk ikut andil dalam membuat keputusan perencanaan dan pembangunan • Kemajuan teknologi yang menyediakan banyak akses untuk masyarakat ikut berpartisipasi
6
7
Peran/Bentuk Partisipasi Masyarakat pemerintahan orde lama yang bersifat kurang partisipatif dimana partisipasi hanya sekadar mendapat informasi, kebijakan hanya diputuskan elit Adanya peralihan dari orde lama ke orde baru pemerintah menekankan stabilitas demokrasi cukup maju. Masyarakat tidak lagi hanya sekadar mendapat informasi tetapi dapat memberikan usulan meskipun tidak selalu usulan di terima karena kekuasan sepenuhnya dipegang presiden (1) Masyarakat dapat memberikan usulan-usulan namun kecenderungannya partisipasi lebih bersifat hanya pemberian informasi satu arah dari pemerintah.
(2) Memasuki era reformasi tingkat partisipasi Informing, meningkat dimana saran Consultation diterima tetapi tidak selalu (Tokenism), dan dilaksanakan, ini Placation dikarenakan penstabilan kondisi negara yang masih dominan dipegang pemerintah (1) Usai stabilisasi pasca reformasi, partisipasi meningkat pada level kemitraan dimana masyarakat berada pada tingkat mampu berpartisipasi. Insiasi pembangunan sudah datang dari masyarakat tetapi masih Partnership membutuhkan (Tingkat pendampingan dari pihak kekuasaan ada terkait. Seperti contoh di masyarakat) adanya Konsultasi Publik dan Musrenbang dalam perencanaan pembangunan (2) Berkembangnya teknologi semakin memudahkan masyarakat untuk mampu beraspirasi dan melaporkan apabila ada keluhan
Sumber: Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa historisitas (terkait sistem pemerintahan yang dianut) sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat 11
dalam perencanaan dan pembangunan. Tingkat partisipasi masyarakat di Indonesia untuk turut serta dalam melakukan perencanaan dan pembangunan semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat dari ruang aspirasi yang semakin luas dan peran yang semakin kuat dari masyarakat. Sistem pemerintahan yang lebih demokratis serta kemajuan teknologi informasi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dalam meningkatnya level partisipasi. 3. Imajinasi perencanaan dalam Perencanaan Partisipatif pada Dokumen Perencanaan di Indonesia Pada bagian ini akan dijabarkan terkait imajinasi perencanaan yang tertuang pada perencanaan partisipatif yang dikaitkan dengan dokumen perencanaan di Indonesia. Akan dilakukan peninjauan/penelaahan dokumen perencanaan yang dibagi atas rencana pembangunan dan rencana tata ruang di Indonesia. Peninjauan berfokus pada wujud partisipasi masyarakat dalam perencanaan yang bisa terdapat pada proses perencanaan, pemanfaatan serta pengendalian atau evaluasi dari rencana itu sendiri. Hal ini akaun memperlihatkan posisi partisipasi sebagai wujud dari bagaimana masyarakat dapat menuangkan imajinasi untuk ikut merencanakan. a. Rencana Pembangunan Rencana pembangunan di Indonesia terdiri atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Tahunan/Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Secara lingkupnya ketiga rencana tersebut berada pada tingkat Pusat dan Daerah. Rencana Pembangunan diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Tata cara perencanaan, pengendalian, dan evaluasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017. Berikut merupakan penjabaran terkait pemosisian partisipasi masyarakat dalam dokumen perencanaan di Indonesia. TABEL 4 PENEMPATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DI INDONESIA No 1
2
3
Bagian dan Isi Pengertian: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Asas: kepentingan umum, yaitu mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif Pendekatan proses perencanaan 1. Politik 2. Teknokratik 3. Partisipatif
Peran Masyarakat Sebagai unsur penyelenggara
Mendapatkan hak untuk memberikan aspirasi • •
Pada pendekatan politik, masyarakat ikut serta menentukan pemilihan Preside/ Kepala Daerah Pada pendekatan partisipatif,
12
No
4
Bagian dan Isi 4. Atas-bawah (top-down) 5. Bawah-atas (bottom-up) Tahap Perencanaan Pembangunan Nasional: Penyusunan RPJPN/D, RPJMN/D, RKP/RKPD memiliki tahap: 1. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan 2. Penyiapan rancangan rencana kerja 3. musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) 4. Penysunan rancangan akhir rencana pembangunan
•
•
Peran Masyarakat masyarakat dapat memberikan aspirasi Rancangan awal akan dibahas dengan pemangku kepentingan melalui forum konsultasi publik. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasi atau harapan terhadap tujuan, sasaran, dan program pembangunan Mengikuti Musrenbang pada penyusunan RPJP dan RPJM. Musrenbang mempertajam, menyelaraskan, mengklarifikasi dan menyepakati terkait visi, misi, arahan kebijakan, dan sasaran pokok. Berada pada tingkat musrenbang nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan
Sumber: Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembangunan di Indonesia telah mengakomodir dan menyediakan wadah partispasi bagi masyarakat. Berangkat dari pengertian yang menjadikan masyarakat sebagai unsur penyelenggara. Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Selain itu, adanya asas kepentingan umum dan pendekatan secara partisipatif menunjukan ada ruang partisipasi disana. Partisipasi diwujudkan dalam bentuk forum konsultasi publik dan Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) dimana masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya. Aspriasi inilah yang akan menjadi bentuk penjewantahan dari imajinasi yang diinginkan oleh masyarakat. Nantinya hasil forum konsultasi publik akan digunakan sebagai rancangan awal rencana pembangunan, sementara hasil Musrenbang akan menghasilkan rancangan akhir rencana pembangunan. b. Rencana Tata Ruang Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. rencana tata ruang terdiri atas rencana umum dan rencana rinci. Rencana umum berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota. Rencana berupa rencana tata ruang pulau, kawasan strategis, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai perangkat operasional rencana umum.
13
TABEL 5 PENEMPATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DI INDONESIA No 1
Bagian dan Isi Asas: keterbukaan dan kebersamaan dan kemitraan
2
Pembinaan Penataan Ruang: Pemerintah melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Beberapa diantaranya berupa: - Sosialisasi peraturan perundangan, dan pedoman bidang penataan ruang - Konsultasi penataan ruang - Pendidikan dan pelatihan - Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat - Pengembangan kesadaran dan tanggun jawab masyarakat Pengawasan Penataan Ruang dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat
3
4
Terdapat bab Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat. Berisikan hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penataan ruang Hak: - Mengetahui rencana tata ruang - Menikmati pertambahan nilai ruang - Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan - Mengajuka keberatan terhadap pembangunan yang tidak sesuai rencana tata ruang - Mengjukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan - Mengajukan gugatan ganti rugi
Peran Masyarakat Asas Keterbukaan: masyarakat mendapatkan akses terhadap informasi yang berkaitan dengan penataan ruang Asas Kebersmaaan dan kemitraan: ikut terlibat dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagai pemangku kepentingan Berhak mendapatkan informasi terkait penataan ruang termasuk peraturan perundangan dan pedomannya. Mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan dan pelatihan dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah. Laporan dapat berupa penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Penjelasan hak, kewajiban, dan peran masyarakat telah tertera dalam UU penataan ruang. Masyarakat dapat berpartisipasi di seluruh pelaksanaan penataan ruang, yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
Kewajiban: - Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan - Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang - Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruangl dan - Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh Peran Masyarakat: - Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang - Partsipasi dalam pemanfaatan ruang - Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang
14
No 5
6
7
Bagian dan Isi Rencana rinci tata ruang tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan Pelaksanaan program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang Jenis pelayanan dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, antara lain, adalah pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah
Peran Masyarakat Memberikan aspirasi dalam penyusuan rencana rinci tata ruang Menjadi pelaksana program pemanfaatan ruang
Ikut terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah
Sumber: Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan tabel di atas dapat didapatkan kesimpulan bahwa masyarakat telah mendapatkan tempat untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Asas keterbukaan dan kebersamaan dan kemitraan telah menjadi landasan bahwa rencana tata ruang membutuhkan peran masyarakat. Di seluruh tahapan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu pembinaan, pelaksanaan (terdiri atas perencanaan, pemanfaatan, pengendalian), dan pengawasan penataan raung terdapat peran masyarakat. Dibentuknya bab tersendiri terkait hak, kewajiban, dan peran masyarakat menunjukan posisi masyarakat yang semakin dianggap penting. Secara keseluruhan, rencana penataan ruang telah mengakomodir dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam rangka perencanaan partisipatif. Banyaknya ruang-ruang yang melibatkan masyarakat tentunya merupakan hal positif dalam mewujudkan perencanaan partisipatif di Indonesia. 4. Tantangan dan Relevansi Imajinasi dan Historsitas dalam perencanaan partisipatif di Indonesia Pada bagian ini, dibahas mengenai tantangan dan relevansi dari imajinasi dan historisitas dalam perencanaan partisipatif di Indonesia. Berdasarkan poin-poin diskusi sebelumnya, imajinasi dan historisitas menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan dalam perencanaan dan pembangunan. Imajinasi perencanaan yang membentuk representasi terus mengalami evolusi sejalan dengan alur historisitas yang berubah pada masa ke masa. Unsur historisitas tersebut kerap mempengaruhi proses perencanaan dan pembangunan di Indonesia. Historisitas itu pula yang mempengaruhi perubahan bentuk partisipasi dari masa ke masa. Sejauh itu pula imajinasi perencanaan dapat bersuara dalam pembangunan. Melihat tinjauan tersebut dapat disimpulkan bahwa perencanaan partisipatif ke depannya akan mengalami peningkatan level partisipasi masyarakat yang akan mengakomodasi imajinasi perencanaan yang dapat diaspirasikan oleh masyarakat. Melihat secara historistiasnya, era sekarang dan ke depan akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Teknologi yang berkembang pesat, apabila tidak disertai dengan perubahan mendalam dalam sistem sosialekonomi, dapat mengakibatkan melemahnya kohesi sosial (Vacek, 2017) Perkembangan ini dapat mempengaruhi bentuk perencanaan ke depannya. Salah satu tantangan ke depan adalah adanya Society 4.0. Society 4.0 diartikan sebagai 15
masyarakat informasi, yaitu keadaan masyarakat memahami bahwa menghubungkan informasi dari hal-hal yang tidak berkaitan akan memiliki makna lebih. Menurut Centre for Strategic Futures (CSF) Singapore (2019), di dalam society 4.0 terjadi pemisahan sudut pandang dalam menanggapi sesuatu. Hal ini akan menimbulkan konflik di dalamnya baik itu konflik antar sudut pandang maupun konflik antar identitias. Permasalahan tersebut perlu ditangani dengan pengadaan interaksi dan partisipasi. Pemerintahan perlu bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat untuk dapat membangun narasi-narasi/imajinasi yang disepakati bersama. Maka perencanaan ke depannya harus mampu menyediakan ruang-ruang partisipasi dengan berbagai inovasi metode. Hal ini dikarenakan ke depannya masyarakat akan mengandalkan teknologi guna menciptakan perencanaan yang efisien. Tantangan ini menjadikan perencanaan partisipatif ke depannya masih sangat relevan guna menyediakan wadah penyaluran aspirasi dan imajinasi perencanaan oleh masyarakat. GAMBAR 2. SKEMA IMAJINASI DAN HISTORISITAS DALAM PERENCANAAN PARTISIPATIF
Sumber: Hasil Analisis, 2020 Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan diskusi pada bagian sebelumnya, didapatkan sejumlah kesimpulan pada penelitian ini. Pertama, perkembangan imajinasi dalam historisitas pembangunan terus mengalami perubahan dengan penentangan/perbaikan dari imajinasi/paradigma pada masa sebelumnya. Imajinasi yang berkembang sangat dipengaruhi oleh tantangan global dan perubahan tatanan kekuasaan (urban politics). Imajinasi yang tengah berkembang di dunia tidak selalu sama di semua negara termasuk di Indonesia yang perlu menyesuaikan dengan 16
karakteristik dan kondisi Indonesia. Kedua, historistias perencanaan partisipatif di Indonesia sangat dipengaruhi sistem pemerintahan yang berlaku dan terus mengalami peningkatan level partisipasi. Ketiga, perencanaan di Indonesia, baik rencana pembangunan maupun rencana tata ruang telah menyediakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi baik dari segi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Keempat, tantangan perencanaan partisipatif mendatang adalah perkembangan teknologi informasi pada masyarakat (membentuk Society 4.0) sehingga perencanaan partisipatif masih relevan dan perlu dilaksanakan melalui penyediaan ruang-ruang aspirasi. Berdasarkan kesimpulan tersebut, terdapat sejumlah rekomendasi dari penelitian ini. Pertama, menjadikan imajinasi perencanaan dari masyarakat tetap sebagai unsur dalam perencanaan guna menjawab tantangan mendatang melalui perencanaan partipatif. Kedua, menjadikan historisitas sebagai unsur perencanaan guna melihat perubahan dan perbedaan dari masa ke masa. Ketiga, mengoptimalkan implementasi perencanaan partisipatif sebagai wadah penyampaian imajinasi sesuai yang sudah diamanahkan dalam peraturan, salah satunya dengan membentuk sistem adaptif dan kompatibel guna menjawab perkembangan dan tantangan mendatang.
Daftar Pustaka Arnstein, S. R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 216-224. Cohen, J. M. (1977). Rural Development Committe, Center for International Studies. New York: Cornell University. Hall, P. (2014). The Planning Imagination. Abingdon, Oxfordshire: Routledge. Holstein, E. V. (2017). Experiences of Participatory Planning in Contexts of Inequality: A Qualitative Study of Urban Renewal Projects in Colombia. Planning Theory & Practive, 39-57. KBBI. (2020, Mei 9). Diambil kembali dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online): https://kbbi.web.id Lee, K. W. (2018). Planning as State-Effect: Calculation, Historicity, and Imagination at Marina Bay, Singapore. Planning Theory & Practice, 477-495. M.Levy, J. (2017). Contemporary Urban Planning (11th Edition). New York: Routledge. Makkelo, I. D. (2017). Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis. Lensa Budaya, 83-101. Mardiyanta, A. (2013). State of the Art: Konsep Partisipasi dalam Ilmu Administrasi Publik. Journal Unair, 227-242.
17
Newstrom, K. D. (1989). Human Behavior at Work, Organizational Behavior (Eight Edition). New York: McGraw Hill Book Company. Patta, J. (2001). The Theory Development: Learning From The United States Experience. Jurnal PWK Vol.12 No.1, 46-55. Permatasari, C. (2018). Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis. Reka Lingkungan ITENAS. Refstie, H. (2019). Does Participatory Planning Promise Too Much? Global Discourses and the Glass Ceiling of Participation in Urban Malawi . Planning Theory & Practice, 241-257. Reuland, E. (2010). Imagination, Planning, and Working Memory. Current Anthropology, 99-110. Rosyida, I. (2011). Partisipasi Masyarakat dan Stakeholder dalam Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Dampaknya terhadap Komunitas Perdesaan. Jurnal Transdisilin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia IPB, 5778. Singapore, C. f. (2019). Foresight Conference 2019 Report Society 4.0. Singapore: Center for Strategic Futures Singapore. Vacek, J. (2017). On The Road: From Industry 4.0 to Society 4.0. Pilsen: University of West Bohemia. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 68. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No.104. Sekretariat Negara RI. Jakarta Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2017, No. 1312. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta
18