Salam Demokrasi ! KOLONIALISME BELUM MATI! Tema besar yang diusung dalam menyikapi Konferensi Asia-Afrika di Jakarta Indonesia pada 22-24 April 2005. tema ini menegaskan bahwa dunia saat ini berada di bawah dominasi imperialisme, terutama imperialisme pimpinan Amerika Serikat (AS) yang merampok negeri-negeri di hampir seluruh belahan dunia ini. Mengapa disebut kolonialisme belum mati? Meskipun telah menyatakan diri merdeka melalui proklamasi kemerdekan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945, upaya pembebasan nasional yang dikobarkan melalui revolusi fisik dari tahun 1945-1949, ternyata harus berakhir dengan sebuah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditanda tangani oleh Hatta dan Sjahrir. KMB ibaratnya sebuah pengkhianatan terhadap darah dan juang yang telah dikorbankan sebelumnya untuk mempertahankan kemerdekaan, karena Indoensia harus mengakui kedaulatannya di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Fase yang kemudian menandai Indoenesia sebagai negeri setengah jajahan Menyadari hal itu Soekarno kemudian melepaskan Indonesia dari persemakmurannya dengan Belanda. Soekarno yang anti kolonialisme dan imperialisme kemudian berupaya menggalang kekuatan negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka dan sedang melakukan gerakan pembebasan nasional untuk bersatu membentuk blok kekuatan yang anti imperialisme bersama India, Burma, Srilanka dan Pakistan. Upaya ini terwujud dengan terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung 50 tahun yang lalu. Dasasila Bandung yang dihasilkan kemudian menjadi piagam penting bagi perjuangan negara-negara Asia Afrika ketika itu dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Kini setelah 50 tahun, KAA kembali diselenggarakan di Indonesia. Tapi apakah semangat kali ini akan sama dengan semangat KAA 50 tahun yang lalu ? jika melihat kondisi saat ini, dimana sebagaian besar negara-negara Asia-Afrika didominasi oleh imperialis AS dan sekutu serta kaki tangannya di negeri tersebut, maka siprit yang dibawa kali ini akan berbeda dengan semangat dasasila Bandung yang anti kolonialisme dan anti imperialisme. Indonesia sendiri merupakan sebuah negeri setengah jajahan yang berada di bawah dominasi imperialisme, khususnya AS. Berbagai kekayaan alam, tenaga kerja dan pasar sepenuhnya dikuasasi oleh imperialisme untuk mendatangkan keuntungan super bagi kaum kapitalis monopoli dunia ini. Perusahaan-perusahaan milik imperialis menguasai sebagian besar negeri ini. Sementara rezimnya selalu menjadi kaki tangan atau boneka dari imperialisme. Kenaikan harga BBM menjadi sebuah fakta bahwa pemerintah lebih suka mengikuti kepentingan pasar internasionalnya imperialisme dibandingkan mensejahterakan rakyatanya Namun ditengah momen yang justru mungkin akan membahas kerjasama dengan kaum imperialis ini, kiranya bagi gerakan massa demokratis untuk melakukan pembaharuan kembali terhadap semangat dasasila Bandung dan menggalang solidaritas rakyat untuk melawan imperialisme AS dan sekutunya berserta kaki tanagannya di berbagai negeri. Akankah SBY-Kalla dengan lantang berucap “ganyang nekolim� atau “go to hell with your aid US�? mimpi kali yee..! sepertinya SBY-Kalla akan tetap menjadi bonekanya amerika dan rezim anti rakyat.
PERLAWANAN Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: Hersa Krisna Pimpinan Redaksi: Ridwan Lukman Dewan Redaksi: Hersa Krisna, Ridwan Lukman, Koresponden: Hasbi Aldi (Jambi), Wahyu (Palembang), Catur (Tanggamus), Reza Gunada (Bandar Lampung), Irene (Jakarta), Surya Fer (Bandung), Zeny Olivia Noorma (Garut), Fazri (Purwokerto), Ida Lavigne (Yogyakarta), Sayid (Wonosobo), Abdullah (Jombang), Heni Dwi Utami (Malang), Imam Muclas (Surabaya), Edi (Lamongan),Hendro Purba (Mataram),Yoong (Lombok Timur) Alamat Redaksi: Jl. Salemba Tengah No. 36 C Gg II RT 02/RW 04, Kelurahan PasebanJakarta Pusat Telpon: 021-3915274 E-mail: perlawananfmn@yahoo.com Rekening: No Rek.0005485263 BNI Cab. U.I Depok a.n. Seto Prawono. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan AD/ART FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto, spasi satu setengah, huruf times new roman 12, diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin perlawanan.
Konferensi Asia Afrika 2005 Melenceng dari Semangat Awalnya
P
Im per ialis
ada bulan April ini, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Afrika Selatan akan menyelenggarakan Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Peringatan 50 tahun KAA yang akan dihadiri oleh sekitar 107 (seratus tujuh) negara tersebut merupakan pertemuan puncak dari pertemuan negaranegara Asia dan Afrika sebelumnya. Sebelum Peringatan 50 tahun KAA diselenggarakan, Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Afrika Selatan telah menyelenggarakan terlebih dahulu Asian-African Sub Regional Organizations Conference (AASROC) I pada bulan Juli 2003 di Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan AASROC II di Durban, Afrika Selatan pada bulan Agustus 2004. Dalam pertemuan AASROC dicetuskan “Deklarasi Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (New Asian-African S t r a t e g i c Partnership/NAASP)”. Sebagai pertemuan puncak, KAA 2005 akan mengagendakan pembahasan dan peluncuran NAASP serta pembahasan mengenai peluang-peluang kerjasama dalam bidang penanggulangan bencana (disaster relief). KAA 2005 Tidak Menjawab Persoalan Rakyat KAA 2005 telah melenceng dari semangat awalnya, yaitu semangat anti kolonialisme yang diusung pada KAA di Bandung pada bulan April 1955. Mengapa ? Mari kita uraikan satu persatu. KAA 1955 diselenggarakan dalam situasi dunia terbelah dalam dua blok kekuatan yang berseteru dalam perang dingin, yaitu “Blok Barat” yang dipimpin Amerika Serikat dan “Blok Timur” yang dipimpin oleh Uni Soviet. Perang imperialis II selain melahirkan dua blok kekuatan adidaya, juga diwarnai oleh bangkitnya gerakan pembebasan nasional dari berbagai belahan dunia, khususnya dari kawasan Asia Afrika. Rakyat dari kawasan Asia Afrika berhasil mengusir kekuasaan kolonial barat dan mendirikan negara-negara baru,
termasuk Indonesia. Namun demikian imperialisme dengan hasrat monopolinya pasca perang imperialis dunia II tiada henti dengan berbagai cara melakukan usaha-usaha untuk meletakkan dominasinya di negara-negara yang baru merdeka. Di Indonesia, pasca kemerdekaan, Dibawah kekuasaan Hatta-Syahrir, pemerintah mengadakan serangkaian perundingan yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB menghasilkan pembentukan Uni IndonesiaBelanda. KMB jelas-jelas mengembalikan Indonesia di bawah kekuasaan ratu Belanda dan memberikan keuntungan sangat besar kepada imperialisme. Dengan ditandanganinya KMB, Indonesia secara resmi menjadi negara setengah jajahan. A m b i s i memperluas ekspansi kapital, menguatkan subordinasi politik, dan penetrasi kebudayaan tidak saja dilakukan oleh imperialis pimpinan AS di Indonesia tetapi juga di berbagai negara-negara jajahan dan setengah jajahan di Asia dan Afrika. Dengan berlatar belakang perang dingin dan penghisapan yang dilakukan oleh imperialisme, negara-negara yang baru merdeka serta negara-negara jajahan dan setengah jajahan di Asia Afrika yang sedang melakukan pembebasan nasional mengadakan KAA pada tahun 1955 di Bandung, membawa semangat anti imperialisme dan kolonialisme. KAA 1955 menghasilkan Dasasila Bandung dan di akhir komunike konferensi menandaskan pertingnya kerjasama antar negara-negara di Asia Afrika agar bebas dari ketergantungan terhadap imperialisme. Lalu bagaimana dengan KAA 2005 ? KAA 2005 sama sekali tidak menegaskan tentang betapa pentingnya kemerdekaan sebuah negara untuk bebas dari imperialisme dan kolonialisme. Perlu digarisbawahi bahwa KAA 2005 merupakan satu rangkaian dari lanjutan pertemuan AASROC, sementara AASROC sendiri dalam pertemuannya
di Bandung pada tahun 2003 mengundang negara-negara imperialis, diantaranya Jepang, Amerika Serikat, Cina dan Canada, dan juga lembaga-lembaga donor seperti IMF dan Bank Dunia. Hal tersebut semakin memperlihatkan kekeliruan cara pandang dari pemerintah Indonesia dan Afrika Selatan sebagai penyelenggara, yang hendak mengatasi kemiskinan dengan membuka semakin lebar investasi dan arus ekspansi perdagangan di negaranya. Dalam hal perdagangan, AASROC menekankan, masalah liberalisasi perdagangan, termasuk perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), harus diarahkan langsung pada upaya pembangunan negara berkembang (Kompas, 31 Juli 2003). Jika pertemuan AASROC-nya saja demikian, maka dapat dipastikan dalam KAA 2005 yang dinyatakan sebagai pertemuan puncak dan merupakan satu rangkaian dari pertemuan AASROC, di dalamnya dipastikan tidak ada upaya kerjasama untuk bebas dari imperialisme dan kolonialisme. Meskipun kini bukan zamannya perang dingin, dan Indonesia juga tidak sedang dijajah secara langsung, namun semangat anti imperialisme dan kolonialisme masih sangat relevan untuk diusung. Mengapa ? Imperialisme adalah biangnya pencipta kemiskinan rakyat di banyak negara. Aktivitas pemusatan arus laba oleh kapitalis monopoli internasional terbukti telah menciptakan jurang kesenjangan yang sangat tinggi antara negara-negara imperialis dengan negara-negara jajahan dan setengan jajahan. Dua puluh persen orang-orang kaya di dunia saat ini menguasai 85 % pendapatan rakyat seluruh dunia. Tiga orang terkaya di Dunia memiliki kekayaan lebih besar dibanding pendapatan nasioal bruto dari 48 negara miskin yang memiliki penduduk lebih dari 600 juta. Mayoritas rakyat berpenghasilan di bawah 2 dollar AS per hari dan seperampat dari 1,2 miliar penduduk dunia berpenghasilan di bawah 1 dollas AS perhari. Usaha Imperialis untuk memusatkan laba tersebut dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan cara yang paling kasar seperti yang pernah dilakukannya terhadap rakyat Irak dan Afganistan, yaitu perang. Imperialisme, di bawah pimpinan AS selain menyebarkan krisis ekonomi ke berbagai negeri juga merupakan ancaman bagi perdamaian dan kemanusiaan. Fenomena yang paling mutakhir yang dilakukan imperialis AS dan sekutunya saat ini adalah ambisi menguasai sumber-sumber energi hingga melakukan agresi militer. Perang Irak serta ketegangan di Palestina yang diakibatkan oleh keserakahan penguasaan sumber-sumber energi imperialis AS dan sekutunya telah memicu naiknya harga minyak dunia hingga menembus level di atas US$ 50 /barel. Tingginya harga minyak mentah dunia mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia terbebani dengan mahalnya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM). Kaki tangan AS di Indonesia, Rezim SBY-Kalla dengan berbagai argumentasi mencabut subsidi BBM dan menaikkan harga BBM hingga sekitar 29 %. Argumentasi SBY-Kalla bahwa subsidi BBM telah membebani anggaran merupakan kebohongan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Faktanya justru alokasi anggaran untuk pembayaran utanglah yang telah membebani anggaran. Tahun ini utang telah mencapai total 71 triliun. Di lapangan, kenaikan harga
BBM telah memicu naiknya hargaharga kebutuhan pokok, hal tersebut juga sangat dirasakan mahasiswa. Kompensasi subsidi BBM untuk pendidikan hanyalah usaha SBY-Kalla untuk mengilusi pandangan masyarakat. Mengapa ? Pertama, Kompensasi BBM tersebut sangat kecil dan jauh dari jumlah yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, yaitu sebesar 20 % dari total APBN/APBD. Kedua, Subsidi pendidikan tidak seharusnya mengambil anggaran dari alokasi subsidi BBM. Seharusnya SBYKalla menghapus alokasi anggaran untuk pembayaran utang luar negeri, karena sangat tepat bila anggaran pembayaran utang tersebut dimanfaatkan untuk subsidi rakyat. SBY-Kalla telah menelanjangi dirinya sendiri, sebagai boneka imperialis yang tidak pernah peduli dengan kepentingan rakyat. Pencabutan subsidi pendidikan yang merupakan tuntutan imperialis AS dan sekutunya dilaksanakan oleh SBY-Kalla tanpa melihat tingkat pengidupan rakyat dan kondisi pendidikan yang sudah semakin memburuk. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya usaha yang konkret dari rezim SBY-Kalla untuk merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari total APBN/APBD. Kebijakan pencabutan subsidi pendidikan oleh negara dibarengi dengan dikeluarkannya berbagai Peraturan Pemerintah tentang Pem-BHMN-an Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Program-program komersialisasi pendidikan meluas di kampus-kampus negeri. Secara utuh pendidikan telah menjadi barang komersil yang hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang mampu, pendidikan tidak dinikmati oleh semua rakyat. Sementara karakter
korup dari birokrasi negara diperlihatkan dengan tingginya angka korupsi di dunia pendidikan. Rendahnya angaran dan korupsi di dunia pendidikan semakin memperburuk jaminan fasilitas penunjang pendidikan di Indonesia. Selain dibebani dengan SPP dan biaya pendidikan yang semakin tinggi, hak-hak demokratis mahasiswa juga dikekang dengan tidak diberikannya hak untuk ikut dalam pengambilan kebijakan kampus. Pengambilan kebijakan kampus saat ini –seperti di era Orde Baru— masih menjadi monopoli sepihak birokrasi kampus. Pada saat yang bersamaan di banyak kampus hak berekspresi dan berorganisasi pun dikekang oleh pihak kampus. Dalam situasi yang demikian, Rezim boneka SBY-Kalla tidak peduli dengan dikebirinya hak-hak mahasiswa di dalam kampus. Dominasi imperialisme di Indonesia, juga ditandai dengan diberlakukannya kurikulum pendidikan yang tidak ilmiah dan tidak mengabdi pada kepentingan rakyat. Mutu pendidikan yang rendah dijalankan sebagai usaha meredam laju kemajuan kekuatan produktif di Indonesia. Bisa dilihat, imbasnya adalah banyaknya pengangguran di kalangan pemuda karena kemampuan untuk menghadapi tuntutan obyektif dimandulkan oleh
imperialisme melalui kebijakan rezim bonekanya. Saat ini diperkirakan 40 juta rakyat Indonesia yang didominasi kaum muda harus menganggur karena berbagai keterbatasan. Semakin nyata, bahwa saat ini rezim SBY-Kalla yang merupakan kaki tangan imperialis AS dan sekutunya, adalah musuh nomor satu dari pemuda dan rakyat Indonesia pada umumnya. Pembaharuan Semangat KAA 2005 Berpijak dari pandangan tersebut, perjuangan nasional untuk membebaskan diri dari cengkraman imperialisme dan kolonialisme, yang mendasari diadakannya KAA, masih tetap merupakan perjuangan yang belum selesai sampai sekarang. Atau dengan kalimat lain, mayoritas negara-negara yang akan datang memperingati 50 tahun KAA nanti, masih merupakan negara-negara setengah jajahan, yang tunduk sepenuh hati pada dominasi kekuatan imperialisme. Dengan demikian Konferensi Asia-Afrika II yang diselenggarakan pemerintah Indonesia dan Afrika Selatan sesungguhnya telah mengkhianati spirit anti kolonialisme dan imperialisme yang berakar kuat di negerinegeri Asia-Afrika yang telah lama berjuang menuju pembebasan nasional. Peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) April 2005, harus dimaknai pemuda dan rakyat Indonesia sebagai momentum yang tepat untuk menyatakan perlawanan terhadap diskriminasi, penindasan, kemiskinan, dan perbudakan, yang telah menimpa rakyat Indonesia sejak berabad-abad yang lampau. Dengan begitu artinya peringatan 50 tahun KAA harus mampu menggelorakan semangat solidaritas internasional dan persatuan rakyat menuju gerakan pembebasan nasional melawan dominasi Imperialisme dan rezim-rezim boneka di berbagai negeri.(Red)
DASASILA BANDUNG 1. Menghargai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan Piagam Deklarasi Perhimpunan BangsaBangsa. 2. Menghormati kedaulatan dan kesatuan territorial dari semua bangsa 3. Mengakui kesetaraan atas semua ras dan kesetaraan antar bangsa-bangsa besar maupun kecil. 4. Menghindari segala bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain. 5. Menghargai hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri dengan sendirinya maupun secara kolektif dari dengan bersandarkan pada Piagam PBB. 6. (a) Tidak mengadakan kerjasama pertahanan bersama yang secara khusus melayani kepentingan Negara-negara adidaya. (b) menghindari penggunaan tekanan terhadap sebuah Negara oleh Negara manapun. 7. menahan diri untuk tidak melakukan tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik sebuah Negara. 8. Menyelesaikan segala bentuk perselisihan/sengketa internasional dengan cara damai melalui negosiasi/perundingan, konsiliasi, arbitrasi atau penyelesaian perselisihan secara hukum sebagaimana bentuk-bentuk cara penyelesaian damai lain yang didasarkan pada pilihan masingmasing dengan tetap berpegang pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 9. Mempromosikan kepentingan bersama dan kerjasama. 10. Menghormati keadilan dan tanggungjawab internasional.
Inilah Yang Harus Kita Perjuangkan ! (Agenda Perjuangan Menyongsong Hari Pendidikan Nasional)
H
ari pendidikan nasional (Hardiknas) akan tiba sebentar lagi, yaitu pada 2 Mei 2005 nanti. Setiap peringatan Hardiknas, khususnya bagi Front Mahasiswa Nasional (FMN) selalu disikapi dengan serangkaian aksi yang bertujuan mengkritisi sistem pendidikan nasional yang sampai kini memang masih bobrok (untuk mengetahui tentang hal ini, baca PERLAWANAN edisi IV Maret 2005). Sebagai ormas pemuda-mahasiswa yang konsisten memperjuangkan hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan jaminan terhadap pekerjaan, dalam menyikapi Hardiknas 2005 FMN kembali akan bersikap‌n the struggle continues. Untuk Hardiknas 2005 nanti, ada beberapa tuntutan yang akan diperjuangkan, yaitu : Realisasikan Anggaran Pendidikan 20 Persen Dari APBD dan ABPN, Wujudkan Demokratisasi Kampus, Pemberantasan Korupsi Dalam Dunia Pendidikan Dan Hentikan Pem-BHMN-an Terhadap Perguruan-Perguruan Tinggi Negeri (PTN-PTN) di Indonesia. Mengapa ini harus diperjuangkan? Kita kupas satu per Satu Realisasikan 20 Persen Anggaran Pendidikan dari APBN dan APBD Persoalan anggaran pendidikan merupakan salah permasalahan yang cukup krusial. Mahalnya biaya pendidikan saat ini pun tidak terlepas dari hal ini. Masalah biaya pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari anggaran negara yang dialokasikan untuk sektor ini. Walaupun konstitiusi telah mengamanatkan agar pemerintah untuk mengalokasikan 20 % dari APBN/APBD tetapi kenyataannya hanya sekitar 15 triliun pada tahun 2004 atau sekitar 5 % dari APBN. Kenyataan ini memang sangat disesalkan bahkan kepala Perwakilan The United Nations Childrens’s Fund (Badan PBB untuk masalah anak) di Indonesia, Steven Alen pernah mengungkapkan bahwa anggaran pendidikan di Indonesia
menripakan yang terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik (www.Tempo.co.id, 12 Desember 2004). Bukan hanya itu, dari Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata hanya disisakan 1,5 % untuk pendidikan. Bandingkan dengan negaranegara Asia lainnya yang mengalokasikan biaya pendidikannya dari PDB sebagai berikut : Malaysia (6,2%), Thailand (5,4%), Filipina (3,5 %), atau India (4,1%). Padahal kebutuhan untuk sektor pendidikan menurut Badan penelitian dan pegembangan (Balitbang) Depdiknas menjelaskan bahwa angka ideal 20% dari APBN adalah 71 triliun (perkiraan APBN yaitu, Rp 336, 156 trilyun) diluar gaji tenaga pendidik. Sedangkan saat ini, anggaran pendidikan tahun 2005 hanya sekitar Rp 25 trilyun. Darimanakah sisa Rp 51 trilyun tersebut? Sisa dana ini kemudian menjadi beban dari masyarakat. Untuk itulah pemerintah selalu berkampanye bahwa pendidikan juga tanggung jawab masyarakat. Masyarakat disini memang bukan semata-semata orangtua, tetapi unsur lainnya khususnya pengusaha. Namun dalam pelaksanaannya beban orang tua ternyata lebih besar ketimbang beban pemerintah dan masyarakat non orangtua. Jika merujuk hasil Penelitian Balitbang Depdiknas yang dilakukan di 56 kabupaten/kota yang mewakili Wilayah
Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua pada tahun 2003 menunjukkan bahwa biaya pendidikan selama ini lebih banyak ditanggung oleh masyarakat daripada pemerintah. Porsi biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa mencapai 53,74 persen-73,87 persen dari biaya pendidikan total (BPT). Sementara porsi biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua siswa) sebesar 26,13 persen46-26 persen dari BPT (Kompas, 29 Oktober 2004). Tindakan pemerintah tersebut jelas-jelas telah melanggar UUD 1945 (Pembukaan dan Pasal 31) dan UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Pemerintah tetap saja berkelit, anggaran negara yang defisit selalu dijadikan alasan untuk memangkas subsisdi sosial (termasuk pendidikan), dan menyatakan akan dinaikkan secara bertahap hingga 2009. Namun anggaran pendidikan setiap tahun tetap tidak beranjak dari kisaran 4-6 persen. Sebagian besar anggaran negara ternyata dialokasikan untuk menutup utang dalam negeri dan luar negeri sekitar Rp 64 triliun para bojuasi besar komprador dan kaum kapitalis birokrat yang memiliki deposito terkecil Rp 5 Milyar dan hanya berjumlah 14.000 orang di Indonesia. Utang-utang inilah yang sesungguhnya membuat kas negara defisit. Mahalnya pendidikan telah mengakibatkan kesempatan bagi anak dari klas buruh, kaum tani dan kaum miskin kota untuk bersekolah semakin sulit. Mantan Mendiknas Malik Fadjar pernah menyatakan bahwa kemampuan masyarakat untuk menikmati bangku sekolah SD-SMP, hanya sebesar 70%. Untuk tingkat SMU/SMK hanya sebesar 40%. Sementara masyarakat yang bisa mengakses bangku Perguruan Tinggi (PT), hanya 3% berasal dari keluarga miskin. Sementara sisanya berasal dari keluarga kelas menengahkeatas (Kompas, 23 April 2004). Untuk tahun 2004 saja BPS menyebutkan bahwa 44 juta atau 47% anak sekolah (7-15 tahun) diseluruh tanah air, belum mendapat layanan pendidikan dasar. Disinilah pentingnya realisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBd dilaksanakan. Dari pengalamam beberapa negara, Misalanya Malaysia, yang memberikan subisidi 25-30 persen, bisa menggratiskan biaya sekolah dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bahkan memberikan subsisdi bagi mereka yang kurang mampu melalui program bea siswa. Dengan
terealisasinya anggaran 20 persen upaya untuk mewujudkan sekolah gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah bisa terwujud dan biaya yang lebih murah bagi pendidikan tinggi. Sehingga anak-anak dari klas buruh, kaum tani dan kamu miskin perkotaan bisa tersenyum seperti anak-anak Indonesia yang lain. Bukankah suatu amal yang mulia jika pemerintah mau melaksanakannya. Mewujudkan Demokratisasi Kampus Demokratisasi kampus adalah sebuah perjuangan yang menjadi keniscayaan bagi setiap mahasiswa dan elemen gerakan pemuda-mahasiswa di Kampus. Selain berbicara tentang bagaimana terpenuhinya hakhak demokratis mahasiswa di kampus (baca PERLAWANAN edisi IV Maret 2005, Tentang Kampus Di Bawah Bayang-Bayang Represifitas) juga lebih akan berbicara tentang bagaimana menghilangkan pendikotomian yang selama ini terjadi antara lembaga ekstra dan intra kampus. Kita ketahui bahwa upaya untuk memberangus pemuda-mahasiswa sebagai salah kekuatan politik yang kritis terhadap kebijakankebijakan negara, telah dimulai oleh Orde baru dengan memberlakukan sistem NKK/BKK. Kemudian lahirlah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) melalui SK Mendikbud No. 0457/ U/1990 yang menggantikan posisi dari Dewan Mahasiswa. Peran SMPT selama zaman orde baru justru mengkebiri kekrtitsan mahasiswa, ditambah lagi kontrol negara yang begitu kuat terhadap terhadap ormas-ormas pemuda-mahasiswa, yang ketika itu direpresentasikan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). KNPI dalam perjalanannya justru menjadi alat bagi mesin politik Orba, yaitu Golkar. Akhirnya kampus dan kekuatan pemuda-mahasiswa seolah-olah kehilangan gaung untuk menunjukkan kekritisannya dan cenderung kooporatif terhadap kekuasaan orde baru. Menjelang massa tumbangnya Soeharto, mulai bermunculan kelompok-kelompok pemudamahasiswa, mulai dari kelompok studi, forum komunikasi hingga komite-komite aksi. Kelompokkelompok ini ketika itu menjadi pilihan organisasi bagi pemuda-mahasiswa dan cukup berperan atas tumbangnya rezim fasis boneka imperialis Seoharto. Elemen-elemen gerakan mahasiswa inilah yang dalam perjalannya lebih dikenal sebagai organisasi ekstra kampus. FMN secara
historis beranjak dari elemenelemen gerakan pemudamahasiswa tersebut. Meskipun saat ini NKK/ BKK telah dihapus, namun dalam prakteknya masih sangat dirasakan. Artinya posisi mahasiswa tetap menjadi subordinasi d a r i birokrasi kampus, dimana p e r a n Pembantu Rektor III d a n Pembantu Dekan III t e t a p berperan d a l a m mengontrol
aktifitas mahasiswa di kampus. Lembaga intra kampus tetap berada di bawah kontrol birokrasi kampus. Apalagi kini proses privatisasi pendidikan yang terus bergulir tentu saja akan mengarahkan mahasiswa untuk secepatnya menyelesaikan masa studinya tanpa perlu memikirkan persoalan-persoalan di sekitarnya baik di kampus atau di luar kampus. Hal itu bisa terlihat dengan pemberlakuan beberapa peraturan kampus yang represif seperti kode etik, jam malam, ancaman DO, larangan berdemonstrasi dan lain-lainnya. Kejadian yang menimpa anggota FMN STAIBU, FMN Mataram dan FMN Unsat Jakarta setidaknya cukup
Formulir Pendaftaran Front Mahasiswa Nasional
membuktikan kebenaran hal tersebut. Baik organisasi ekstra atau intra kampus akan menghadapi persoalan yang sama, yaitu ancaman terhadap kebebasan mimbar akademik di kampus. Sehingga tidak tepat lagi jika masih ada pendikotomian antara organisasi ekstra dan intra kampus. Justru kedua organisasi ini harus saling bahu membahu dalam memperjuangkan hak-ak demokratis mahasiswa di kampus. Untuk itu, segala macam bentuk peraturan yang masih memisahkan peran dari organisasi ekstra dan intra kampus harus segera dicabut, sebab hal tersebut hanya akan menjadi penghambat bagi mahasiswa dalam
memperjuangkan hak-hak demokratisnya di kampus. Pemberantasan Korupsi Dalam Dunia Pendidikan Survei terakhir Transparancy Internasional menunujukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 5 negara terkorup dari 146 negara. Ironisnya lagi Depdiknas merupakan salah satu sarang korupsi terbesar. Hingga akhir tahun 2003 tercatat 300 kasus dengan nilai Rp 630 juta. Dari jumlah tersebut yang telah ditindaklanjuti tuntas ada 10 kasus dengan nilai Rp 17 juta dan yang belum ditindaklanjuti ada 290 kasus dengan nilai Rp 613 juta. Penyimpangan sepertinya terjadi di semua lini, misalnya temuan BPK semester I 2002 di Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depertemen Pendidikan Nasional menemukan 144 kasus bernilai Rp 225 miliar rupiah. Sedangkan di Direktorat Jendral Pendidikan d\Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Depertemen Pendidikan Nasional sebesar Rp 79 Miliar dari 105 kasus (Sinar Harapan, 13 Novmeber 2004). Korupsi yang dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti biaya koordinasi, transport untuk pengawas atau yang paling trend adalah rekomendasi dari Depdiknas atau dinas bagi penerbit agar “dagangannya” bisa dengan mudah masuk ke sekolah. Bentuk lainnya adalah dengan mengajukan sekian pungutan kepada orang tua siswa. Di perguruan tinggi, bentuk korupsi yang lazim digunakan adalah pemanfaatan biaya masuk kuliah, jatah kursi anak dosen, jalur khusus, dan bentuk pungli yang dilegalkan oleh kampus kepada mahasiswa. Dengan maraknya kasus korupsi di sektor pendidikan tentu saja akan sangat
merugikan bagi siswa dan mahasiswa yang
merupakan donatur terbesar bagi sekolah dan kampus. Hal ini juga menegaskan bahwa birokrasi di jajaran adminstrasi pendidikan memiliki watak kapitalis birokrat (Kabir) yang berupaya mengeruk keuntungan dan menumpuk modal dari kekuasaan yang dipegangnya. Hentikan Pem-BHMN-an Terhadap PerguruanPerguruan Tinggi Negeri Sesuai Peraturan Pemerintah perubahan satus perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu PP 61 Tahun 1999, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Indonesia seperti UI, ITB, IPB, UGM, UPI dan terkahir USU telah beralih status menjadi kampus BHMN. Pem-BHMN-an PTN adalah merubah PTN menjadi persero yang memberi kewenangan kepada kampus untuk mencari uang sebebasnya. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah untuk tidak lagi memberikan subisidi pendidikan. (lebih jauh tentang Pem-BHMN-an PTN, baca PERLAWANAN edisi IV bulan Maret 2005) Apa yang terjadi kemudian? Kampus-kampus
yang awalnya menjadi idola rakyat dan dikenal murah ini, justru menjadi sulit dijangkau oleh rakyat. Mengapa? Karena upaya penjaringan dana tetap mengambil porsi terbesar dari mahasiswa dengan serangkaian biaya yang dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, pembukaan jalur khusus dibeberapa PTN seperti UI, ITB, Undip, dan UGM, menelan biaya masuk sekitar Rp 15-150 juta, bahkan ada yang mencapai Rp 500 juta. Belum lagi pembiayaan lainnya, seperti BOP, biaya materai, tes kesehatan, dan lainn-lainnya atau isitlahnya “pungli yang dilegalkan”. Diperkirakan kenaikan biaya kuliah ini akan terus terjadi, mengingat proyeksi pem-BHMNan PTN yang akan terus digulirkan oleh pemerintah. Belum lagi upaya Rencana strategis (renstra) yang kini diajukan oleh pemerintah. Dalam renstra tersebut, dibuat dua konsep pendidikan mandiri dan pendidikan umum. Konsep ini berupaya memisahakan antara sekolah bagi golongan kaya dan miskin yang diukur dari kemampuan ekonomi. Perguruan tinggi sendiri ditempatkan dalam kategori mandiri. Itu berarti pendidikan tinggi hanya layak untuk mereka yang berduit, lantas bagaimana dengan nasib sekian anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan yang ingin bersekolah? Sepertinya peringatan Hardiknas kali ini hanya akan menyisakan duka bagi kita semua. “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”. Mungkin tepat untuk menilai kinerja dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. The solve is problem, itulah pemerintah SBY-Kalla hari ini. Wajar jika SBY-Kalla disebut sebagai rezim boneka Amerika Serikat (AS) dan rezim anti rakyat. (Wa2n)
SATU MEI (MAYDAY) Hari Milik Buruh Sedunia
A
wal tahun 1800-an ketika industri baru tumbuh di Eropa dan Amerika, kondisi kehidupan kaum buruh pada saat itu sangatlah menyedihkan. Jam kerja yang diberlakukan oleh majikan/pemilik modal kepada buruh disetiap harinya sangatlah panjang, mulai dari 12 jam hingga 16 jam setiap hari. Panjangnya jam kerja menyebabkan kaum buruh tidak bisa memperoleh kehidupan yang layak dalam hidup sehari-hari. Awalnya perjuangan kaum buruh dilakukan secara terpisah dengan tuntutan yang berbeda pula, walaupun pada hakikatnya adalah sama yakni pengurangan jam kerja. Akhirnya di tahun 1830-an, tuntutan 10 jam kerja per-hari menjadi tuntutan umum para buruh. Hasilnya dari perjuangan kaum buruh mulai terlihat di tahun 1830-1860 rata-rata jam kerja adalah 11 jam yang kemudian menurun menjadi 10 jam sesuai tuntutan kaum buruh. Di tahun 1884 sebuah organisasi buruh progressif di Amerika, FOTLU (Federation of Organized Trades and Labour Union) memutuskan untuk mengorganisir kampanye nasional pada tanggai 1 Mei 1886 untuk menuntut 8 jam kerja. Rencana ini berjalan mulus, ratusan ribu buruh turut terlibat dalam aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi. Aksi besar terjadi di Chicago yang diikuti lebih dari 90.000 buruh, sebagian dari mereka (+ 40.000 buruh) mengikuti aksi sambil mogok kerja. Di New York, 10.000 buruh melakukan aksi reli ke Union Square, dan 11.000 buruh melakukan aksi di Detroit. Hampir setengah
juta lebih buruh terlibat aksi yang berlangsung di seluruh Amerika. Namun di Milwauke terjadi kebiadaban oleh penguasa yang menembaki peserta aksi. Tindakan represif itu mengakibatkan sembilan buruh meninggal dunia. Sebagai respon atas tragedi penembakan kepada buruh di Milwauke, Pada tanggal 4 Mei di Haymarket Square dilakukan rapat akbar untuk memprotes tindakan brutal aparat polisi. Pada akhir pertemuan berlangsung secara damai, namum polisi secara tiba-tiba melangkah maju dan memukul kerumunan massa. Dan pada saat itu sebuah bom meledak diantara para polisi sehingga mengakibatkan 8 orang polisi tewas. Polisi langsung menembaki peserta aksi secara membabi buta, Beberapa buruh tewas sementara ratusan lainnya cidera akibat tindakan aparat. Kemudian hari, meskipun tidak dapat membuktikan mengenai peledakan Bom tersebut, pemerintah Amerika melakukan penangkapan terhadap pimpinan-pimpinan buruh. Peristiwa ini dikenal dunia sebagai Tragedi Haymarket. Aksi mei 1886 membuat Amerika menjadi pusat perhatian gerakan buruh dunia. Ide untuk mendeklarasikan 1 Mei sebagai hari buruh internasional muncul dalam pertemuanpertemuan serikat buruh di seluruh dunia. Pada tahun 1889, lebih dari 400 orang delegasi pimpinan buruh dari berbagai negara bertemu di paris dalam rangka peringatan 100 tahun Revolusi Perancis dan kongres buruh internasional. Dalam kongres diputuskan untuk menyerukan kepada seluruh kaum buruh untuk melakukan aksi demonstrasi pada tanggal 1 Mei 1890. Seruan aksi internasional ini diikuti oleh kaum buruh. Pada tanggal 1 Mei 1890 kaum buruh di berbagai kota besar di Eropa, Amerika latin, Amerika utara dan berbagai tempat lainnya turun ke jalan. Semenjak saat itulah 1 Mei diperingati sebagai hari buruh Internasional. Kondisi Buruh dan Mayday di Indonesia Seperti di berbagai belahan dunia lainnya, kaum buruh di indonesia juga merayakan 1 Mei. Bahkan ketika Soekarno berkuasa, terdapat undangundang yang menetapkan 1 Mei sebagai
hari buruh dan waktu libur bagi buruh. Tetapi sejak rezim otoritarian Soeharto berkuasa, 1 Mei tidak lagi diperingati. Tidak hanya itu, Soeharto yang merupakan antek imperialis membungkam gerakan buruh di Indonesia. Organisasi-organisasi buruh progressif dimatikan. Semua organisasi buruh dipaksa melebur menjadi satu dibawah kontrol rezim penguasa pada tanggal 20 Februari 1973 melalui deklarasi Persatuan Buruh Indonesia (cikal bakal SPSI). Jika kaum buruh memprotes kebijakan perusahaan yang merugikan buruh maka yang menghadapi buruh bukan pengusaha melainkan tentara. Tidak terhitung lagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara untuk membungkam buruh. Salah satu kasus yang muncul adalah pembunuhan secara keji aktivis buruh perempuan Marsinah pada tahun 1993. Bahkan hingga saat ini pembunuh Marsinah belum jelas terungkap. Rezim terus berganti tetapi nasib buruh tidak pernah berubah tapi justru semakin suram. Hari ini pemerintah memberlakukan undangundang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-pasal dalam Undangundang ini yang merugikan kaum buruh adalah pertama, beberapa peraturan tentang sistem kerja kontrak atau yang dalam istilah yang dimuat dalam undang-undang tersebut disebut dengan istilah “Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu” atau disingkat PKWT. Kedua, ketentuan yang mempersulit hak buruh untuk melaksanakan mogok (pasal 137-145); Ketiga, adanya pasal yang mempermudah pengusaha untuk melakukan penutupan pabrik atau “lock out” (pasal 146149); Keempat, ketentuan yang membenarkan adanya percaloan dalam perekrutan tenaga kerja yang termuat dalam pasal-pasal yang mengatur lembaga penyalur tenaga kerja (pasal 64-66),
dan kelima dicabutnya pasal yang menetapkan hak buruh untuk merayakan “May Day”, tidak seperti yang dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang nomor 22 tahun 1957). Pemberlakuan undang-undang ini sejalan dengan sistem LMF ( Labour Market Flexibility/ Pasar Buruh Fleksibel) milik kaum imperialis. LMF sangat merugikan kaum buruh karena pertama; praktik hubungan kerja kontrak. Sistem hubungan kerja kontrak pada dasarnya merupakan suatu dekonstruksi (penghancuran) kolektifitas yang menjadi watak dan semangat dasar kelas buruh. Dengan penerapan hubungan kerja kontrak, karakter produksi yang berwatak sosial dipecah menjadi tanggungjawab individu buruh. Kedua, lemahnya daya tawar buruh yang berstatus kontrak di mata hukum, berdampak pada lemahnya daya tawar upah (upah kerja yang fleksibel) dan hak-hak dasar kelas buruh itu sendiri. Ketiga, dampak dari minimnya upah yang diterima memaksa buruh untuk bekerja lebih atau dipaksa bekerja lebih lama (jam kerja yang fleksibel). Keempat, akibat dari semua kondisi di atas adalah ruang bagi serikat untuk berperan dalam memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi kelas buruh menjadi semakin sempit. Praktik lain dalam konsep labor flexibility adalah outsourcing atau subkontrak di mana hubungan kerja menjadi berlapis-lapis dan mengaburkan kontradiksi antara buruh dengan majikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat, bagaimana nasib kaum buruh. Upah yang tidak pernah sesuai dengan kebutuhan hidup, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, PHK sepihak maka tidak ada pilihan lain bagi buruh kecuali bangkit dan bergerak tanpa melupakan senjata utamanya yaitu persatuan kaum buruh. (REDAKSI)
Satukan Tekad Lawan Imepralisme dan Rezim Bonekanya
A
pakah kita sudah M E R D E K A ? Pertanyaan ini sempat terlintas di pikiran seorang anggota FMN ketika sedang mengalami sebuah hambatan dalam aktivitasnya sehari-hari. Mungkin ada diantara pembaca dengan lantang akan menjawab, “ya, kita sudah mendapatkan kemerdekaan kita sejak 17 Agustus 1945?� Tetapi kita akan dipaksa berfikir ulang untuk menjawab pertanyaan itu jika kita melihat realitas di sekitar kita. Dalam kehidupan bernegara, Indonesia secara fisik terlihat merdeka, tidak ada lagi pemerintahan kolonialis yang terlihat wujud nyatanya. Tetapi ternyata penjajah bangsa ini hadir dalam bentuk yang berbeda seperti hutang luar negeri, investasi asing, dan berbagai macam jalan lainnya. Indonesia telah kehilangan kedaulatannya, sebagian besar kebijakan yang pemerintah berorientasi pada kepentingan imperialis. Mulai dari pencabutan subsidi bagi rakyat sampai dengan pembukaan pintu seluasluasnya bagi investasi asing.Hal ini diperparah dengan watak elit politik Indonesia yang komprador sehingga pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan boneka Imperialis. SBY-Kalla lebih memilih untuk mencabut subsidi BBM agar rencana pembayaran hutang luar negeri sebesar 71,9 triliun rupiah di tahun 2005 dapat terlaksana. Terlihat sekali SBYKalla tidak memperdulikan rakyatnya. SBY-Kalla ingin berlagak seperti Soekarno. Jika dahulu Soekarno pada bulan April 1955 di Bandung mengadakan Konferensi Asia Afrika (KAA) dengan membawa semangat anti imperialisme. Maka kali ini Rezim Boneka SBYKalla mengadakan peringatan 50 tahun KAA dengan semangat yang bertolak belakang. Semangat anti imperialisme dan solidaritas antara negara-negara jajahan dan setengah jajahan tidak akan kita temukan pada KAA 2005, yang ada adalah semangat mengabdi pada negara imperialis. Pihak yang paling dirugikan akibat kerja sama antara SBY-Kalla dengan Imperialis tentu saja rakyat. Tidak ada perbaikan kehidupan rakyat seperti yang di janjikan ketika kampanye pemilu, Kesejahteraan rakyat justeru dianak tirikan dengan menjalankan agenda-agenda imperialis. Di sektor perburuhan, agenda imperialis yang
utama adalah menjalankan Market Labour Fleksibility yang menindas buruh. Dalam konsep labor flexibility dikenal istilah outsourcing (subkontrak) di mana hubungan kerja menjadi berlapis-lapis dan mengaburkan kontradiksi buruh dan majikan. Di bidang pendidikan, privatisasi pendidikan menjadi agenda utama pemerintah. Dengan memakai pembenaran lewat UU Sisdiknas, PP 60 dan 61 tahun 99 pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dan diserahkan kepada institusi pendidikan itu sendiri serta masyarakat. Akibatnya Kampus-kampus negri berlomba-lomba untuk menjadi BHMN, sekolah menikan biaya pendidikan. Dengan kata lain, jangan pernah berharap menemukan sekolah dengan kualitas bagus dengan biaya murah. Ayo Bangkit dan Bergerak! Sudah cukup segala bentuk hinaan bagi rakyat. Rakyat akan mengorganisasikan dirinya dalam sebuah gerak perubahan. Dalam momentum KAA, Front Mahasiswa Nasional menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia khususnya pemuda-mahasiswa untuk menuntut diadakannya pembaharuan semangat KAA 2005. KAA 2005 harus menggelorakan semangat solidaritas untuk melawan imperialisme AS dan sekutunya serta kaki tangannya di berbagai negeri. Tidak hanya momentum KAA, pemudamahasiswa akan bersolidaritas kepada kaum buruh dengan mendukung perjuangan buruh dalam peringatan hari buruh sedunia tanggal 1 Mei esok.Solidaritas ini sebagai upaya kita untuk semkin mendekatkan diri kepada kelas buruh. Di sektor pemuda mahasiswa, kita tidak akan melupakan hari pendidikan nasional sebagai momentum untuk mengkampanyekan problematika pendidikan dan menuntut pemerintah untuk realisasikan 20 % anggaran pendidikan, demokratisasi kampus, memberantas korupsi dalam dunia pendidikan dan pencabutan PP tentang PBHMN-an. FMN sendiri akan menjadikan 2 Mei sebagai puncak kampanye massa yang diselenggaran di Jakarta dan beberapa cabang lainnya dan mengajak seluruh massa pemuda-mahasiswa untuk terlibat dalam kampanye massa FMN.(red)