Perlawanan maret 2005

Page 1


Salam Pembebasan ! Imperialisme menjadikan rakyat Indonesia ibarat tamu di negeri sendiri. Kedaulatan bangsa dinjak-injak demi kepentingan modal asing. Kekayaan alam tidak dinikmati hasilnya oleh rakyat. Perusahaan asing milik imperialis terus mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia. Freeport, Exxon Mobil Oil, Caltex Newmont dan sebagainya tetap tegak di tengah kemiskinan rakyat. Pasar Indonesia dibanjiri dengan produk-produk asing yang mematikan potensi ekonomi dalam negeri. Rakyat dikuras tenaganya untuk melayani kepentingan kaum imperialis. Sementara pemerintah begitu welcome terhadap kepentingan imperialisme. Sebut saja, utang luar negeri, pembebasan tarif impor, privatisasi BUMN, deregulasi hingga pencabutan subsidi sosial. Persoalan lain yang dihadapi adalah permasalahan feodalisme. Masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah kaum tani, ternyata tidak memiliki kedaulatan atas tanah. Imperialisme juga telah memasuki ranah hidup kaum tani. Tanah dan berbagai sumber daya agraris banyak dikuasai oleh tuan tanah bersama kaki tangan imperialis yaitu borjuasi besar komprador. Bagi kaum perempuan, feodalisme menyisakan budaya patriarki yang mengental selain ekploitasi oleh sistem kepemilikan modal. Imperialisme dan feodalisme adalah satu sumber penindasan rakyat Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan Hak-hak demokratis rakyat, baik hak sosial-ekonomi dan politk tidak mampu dipenuhi oleh negara. Mahasiswa sendiri turut mengalami praktek penindasan imperialisme dan feodalisme. Pendidikan bagi imperialisme adalah bisnis atau industri jasa. Praktek feodalisme mengancam kehidupan berdemokrasi di kampus. Hak-hak demokratis kita seperti kesempatan bersekolah, biaya kuliah yang murah, fasilitas pendidikan yang nyaman, jaminan lapangan pekerjaan hingga hak politik untuk berorganisasi, menyampaikan pendapat dan turut menentukan kebijakan pendidikan di kampus masih dibatasi oleh negara ataupun institusi pendidikan. Menyadari bahwa praktek ini terus menjadi-jadi, maka buletin PERLAWANAN kembali hadir. Edisi 04 ini, akan banyak mengupas tentang problematika pendidikan dan hak-hak demokratis pemuda/mahasiswa, langkah-langkah pembetulan organisasi, serta tampilan rubrik baru, yaitu Bunga PERLAWANAN dan Media PERLAWANAN. Semoga dengan terbitnya PERLAWANAN edisi 04 akan terus mengobarkan semangat dan praktek kita melawan dominasi imperialisme dan feodalisme di Indonesia serta membangun FMN baru yang patriotis, demokratis dan militan.(Redaksi)

Redaksi Perlawanan Yang terhormat, Saya Fame, mahasiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan juga anggota FMN UII. Kapan sih Perlawanan akan terbit lagi? Katanya sudah hampir dua tahun tidak terbit ? Kita kan butuh media propaganda yang rutin, biar bisa menopang kelancaran kerja-kerja organisasi Ok, sekian dulu Fame Jl. Taman Siswa No.40 Mergangsan Kidul, Yogyakarta Dari Redaksi : Ya benar sekali. Buletin PERLAWANAN memang sudah lama tidak terbit seperti yang bung sebutkan. Dan Redaksi meminta maaf atas hal tersebut. Kerisauan bung kami jawab dengan menerbitkan buletin PERLAWANAN edisi IV kali ini. Selanjutnya Buletin PERLAWANAN akan terbit secara rutin 3 bulan sekali. Terima kasih atas masukannya. Salam, Saya Bobby, mahasiswa Fisip, Universitas Jakarta. Saya pernah mendapatkan terbitan FMN, yaitu Sebar Perlawanan edisi September 2004. Dan saya tertarik sekali dengan tulisan yang dimuat. Apakah FMN juga memiliki terbitan yang lain? Boby, Jl. Damai 4 Cipete Utara Jakarta Dari Redaksi : Pertama kali, redaksi ingin mengucapkan terima kasih atas sambutannya terhadap Sebar Perlawanan. Selain Sebar Perlawanan, kami memiliki buletin PERLAWANAN yang mulai edisi IV ini, akan terbit per tiga bulan sekali. Sebar Perlawananan sendiri, sementara waktu ini dihentikan. Jika ingin mendapatkan buletin PERLAWANAN, anda bisa langsung menghubungi korespondensi kami di Jakarta atau alamat redaksi yang tertera buletin. Terima kasih

PERLAWANAN Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: Hersa Krisna Pemimpin Redaksi: Ridwan Lukman Dewan Redaksi: Seto Prawono,Nasyihand Burhan,Zainul Wafa Koresponden: Hasbi Aldi (Jambi), Wahyu (Palembang), Catur (Tanggamus), Reza Gunada (Bandar Lampung), Irene (Jakarta), Surya Fer (Bandung), Zeny Olivia Noorma (Garut), Fazri (Purwokerto), Ida Lavigne (Yogyakarta), Sayid (Wonosobo), Abdullah (Jombang), Heni Dwi Utami (Malang), Imam Muclas (Surabaya), Edi (Lamongan),Hendro Purba (Mataram),Yoong (Lombok Timur) Alamat Redaksi: Jl. Salemba Tengah No. 36 C Gg II RT 02/RW 04, Kelurahan Paseban-Jakarta Pusat Telpon: 021-3915274 E-mail: perlawananfmn@yahoo.com Rekening: No Rek.0005485263 BNI Cab. U.I Depok a.n. Seto Prawono. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan AD/ART FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto, spasi satu setengah, huruf times new roman 12, diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin perlawanan.


PENDIDI K Kri si s Se

I

stilah masa depan suram atau trend disebut “madesu” mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia. Minimnya akses pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, terbatasnya sarana pendidikan, disorientasi kurikulum, rendahnya kesejahteraan guru, problem demokratisasi di lembaga-lembaga pendidikan, komersialisasi pendidikan, tingginya angka buta huruf, minimnya subsidi pendidikan dan membludaknya sarjana yang menganggur, sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Di lain sisi, pemerintah seperti menutup mata menghadapi permasalahan ini. Padahal penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah, sebagaimana amanat UUD 1945 hasil amandemen IV (Pembukaan dan Pasal 31) dan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Pemerintah justru mengambil langkah-langkah penyelesaian yang memperkeruh permasalahan. Lihatlah bagaimana langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus ruislag (tukar guling) SLTP 56 Melawai, yang justru membela PT Tata Disantara (perusahaan milik Abdul Latief) bahkan menurut kejaksaan Agung terindikasikan adanya praktek korupsi. Jujur diakui bahwa sektor pendidikan belum mendapatkan prioritas utama dalam kebijakan-kebijakan negara. Sebagai contoh, anggaran pendidikan setiap tahun tidak pernah melebihi 6 persen. Tahun 2004 anggaran pendidikan di alokasikan sebesar 15,2 triliun atau 4,12 persen dari APBN. Dalam RAPBN 2005 sektor pendidikan hanya mendapatkan porsi 6 persen dari total anggaran. Angka ini tentu sangat jauh dari jumlah yang tertuang dalam konstitusi RI, yaitu minimal 20 persen dari APBN. Bukankah ini suatu langkah inkonstitusional oleh negara. Berbagai tuntutan dan protes tak henti-hentinya disuarakan tentang hal ini. Bagaimana respon pemerintah dan pengelola institusi pendidikan? Jawabnya adalah NATO (No Action Talk Only)! Sebaliknya, tindakan represifitas menjadi ancaman bagi mereka yang menuntut. Front Mahasiswa Nasional (FMN) mengalami sendiri kenyataan ini. Di Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB), tiga anggota FMN sempat diancam Drop Out (DO), atas keterlibatannya dalam aksi menolak kenaikan biaya SPP. Di Sekolah Tinggi Agama Islam Bahrul Ulum (STAIBU) Jombang, enam anggota FMN di DO tanpa alasan yang jelas dan kasusnya sengaja di”peti es”kan oleh kampus hingga kini. Di Universitas Satyagama (Unsat) Jakarta, kegiatan musik tentang pendidikan murah diboikot oleh pihak birokrasi kampus. Sekilas paparan di atas menunjukkan betapa buruknya dunia pendidikan kita. Kenyataan ini, tidak terlepas dari praktek dominasi imperialisme dan negara sebagai alat kekuasaan (the ruling classes). Imperialisme, khususnya Amerika Serikat (AS) yang berkolaborasi dengan klas-klas berkuasa dalam negeri (borjuasi besar komprador dan tuan tanah) menjadikan pendidikan layaknya “barang dagangan”, bukan media untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan kehidupan masyarakat Indonesia dari keterbelakangan.

Liberalisasi pendidikan dengan menekankan penetrasi modal, ternyata menebar ancaman dengan mahalnya pendidikan, jaminanan masa depan dan persoalan demokratisasi dunia pendidikan. Inilah krisis dunia pendidikan yang telah berlangsung sejak dahulu dan terus menajam hingga kini. Sejarah Singkat Pendidikan Indonesia Ketika sistem kerajaan di Indonesia masih mendominasi di abad 15-16, pendidikan telah dikenal oleh masyarakat. Indikasinya bisa diukur dari keberadaan sekolah Buddha di zaman Sriwijaya. Pendidikan yang diberikan selain menyalurkan ilmu pengetahuan, juga ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan raja dan keturunannya. Pengetahuan tentang sistem pemerintahan, sastrabudaya, strategi perang, strategi penguasaan sumber-sumber ekonomi-finansial dan berbagai pengetahuan mempertahankan kekuasaan adalah materi wajib yang diberikan kepada keturunan dan kerabat raja. Rakyat biasa (wong cilik) tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam penyaluran pengetahuan saat itu. Jikalau pun ada berbagai apresiasi budaya seperti tarian rakyat, hal itu bukanlah hasil transformasi pendidikan kepada rakyat, tetapi wujud pemberontakkan rakyat terhadap sistem budaya yang diskriminatif dan eksploitatif. Memasuki fase kolonialisme, kesempatan mengenyam pendidikan bagi masyarakat masih tetap terbatas, walaupun pemerintah kolonial Belanda melaksanakan program edukasi melalui Politik Etis. Pendidikan atau sekolah tidak ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan bangsa Indonesia. Pemerintah Belanda mendirikan sekolah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik dan perkebunan modern serta mengisi pos adminstrasi pemerintahan kolonial. Sekolah-sekolah tersebut hanya dinikmati oleh sebagian golongan saja—sesuai stratifikasi sosial pemerintah kolonial—. Hanya orang Belanda, Eropa, golongan Indo, priyayi pribumi (tuan tanah) dan golongan Asia Timur Jauh yang bisa merasakan bangku sekolah. Berbagai sekolah pun dibuka, mulai dari sekolah keguruan hingga kejuruan. Tahun 1852 berdiri sekolah guru (kweekschool) pertama di Solo. Kemudian disusul dengan sejumlah sekolah sejenis, di Bukit Tinggi (1856), Probolinggo dan Bandung (1866), Tanah Batu (1862), Sekolah Dokter Jawa (1851) dan dibuka sekolah mantri cacar (1849). Sekolah lain didirikan di Tondano (1873), Amboina (1874), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), Padang Sidempuan (1879) dan di daerah Indonesia Timur. Sekolah tinggi mulai dibuka di akhir abad 19 dan awal abad 20. Tahun 1892 di dirikan sekolah pamong praja


(Hoofdenschool), kemudian diganti menjadi Opleiding school vor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA) tahun 1900 di Magelang. Tahun 1902 didirikan STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang kemudian menjadi NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 dan GHS (Geneeskundige Hoge School) sebagai embrio fakultas kedokteran. Kemudian disusul dengan berdirinya Rechts School tahun 1922 dan menjadi Rechthoogen School tahun 1924 sebagai embrio Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta tahun 1940 didirikan Faculteit de Letterenen Wijsbegeste yang kemudian menjadi Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Di Bandung tahun 1920 didirikan Technische Hoge School (THS). Sementara di Bogor didirikan Landsbouwkundige Faculteit pada tahun 1941, sekarang disebut Institut Pertanian Bogor (IPB). Sekolah-sekolah dasar juga didirikan, tetapi masih bersifat elitis. Sekolahsekolah elit itu adalah Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Chineesche School (HCS) pada jenjang pendidikan dasar, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada jenjang SLTP, dan Algemeene Middelbare School (AMS) dan Hogere Burgerschool (HBS) pada jenjang SLTA. Rakyat jelata hanya mendapatkan sekolah pribumi angka 2 yang kemudian ditutup tahun 1929 akibat krisis malaise. Di masa ini, kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pendidikan di Negeri Belanda. Itulah sebabnya, lulusan pribumi—dengan kriteria–kriteria yang diskriminatif—dapat melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Terbatasanya akses pendidikan bagi rakyat pribumi, selain adanya diskriminasi juga disebabkan mahalnya biaya pendidikan ketika itu. Untuk biaya kuliah per tahun, harus mengeluarkan biaya sebesar 300 fl (gulden) atau sekarang setara dengan Rp 36 juta per mahasiswa. Untuk sekolah menengah (MULO), dikenakan biaya 5,60 fl atau Rp 672.000 per bulan. Menyadari bahwa pemerintah kolonial sangat diskriminatif dalam menyelenggarakan pendidikan, sebagian kaum pribumi berinisiatif untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi masyarakat luas. Tahun 1922, didirikan Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara, yang memberikan pendidikan budi pekerti dan semangat kebangsaan. Kyai Haji Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah Muhammadiyah. Tahun 1919 Sekolah Sarekat Islam didirikan oleh Tan Malaka, Zending, dan lain– lainnya. Tahun 1932 diberlakukan onderweer ordonantie. Onderweer Ordonantie adalah produk hukum yang bertujuan menutup semua sekolah yang tidak disubsidi dan dianggap liar oleh pemerintah kolonial. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat kaum pribumi untuk tetap membuka sekolah bagi kalangan rakyat jelata. Bekal ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh kaum muda terpelajar, menggugah kesadarannya atas penindasan kolonialisme Belanda. Kaum muda terpelajar menceburkan dirinya ditengah rakyat dan mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan. Keterlibatannya kaum muda terpelajar tercermin dengan bangkitnya “Pergerakkan Nasional”. Kaum muda terpelajar juga memiliki andil besar dalam lahirnya organisasi-organisasi politik modern di Indonesia. Kaum muda terpelajar juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air melalui peristiwa Sumpah Pemuda 1928, hingga peranannya dalam proses menuju proklamasi 17 Agustus 1945. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintah berupaya untuk membangun infrastruktur pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mendirikan Balai Perguruan Tinggi RI yang kemudian mendorong berdirinya Universitas Indonesia (UI). Tanggal 19 Desember 1949 pemerintah mendirikan Universitas Gajah Mada (UGM). Dua universitas ini kemudian dikembangkan menjadi lima dengan hadirnya Institut Teknologi Bandung (ITB-1959), Institut Pertanian Bogor (IPB-1963) dan Universitas Airlangga (Unair-1954). Sementara, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang berdiri tahun 1948, merupakan perguruan tinggi swasta pertama dan paling tua di Indonesia. Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) umum juga didirikan, untuk membuka kesempatan secara luas kepada masyarakat bersekolah.

Orde Baru : Hegemoni Modal Asing dan Penguasa Naiknya rejim fasis boneka Imperialis Orde baru (Orba), tidak lantas membuat kondisi dunia pendidikan Indonesia membaik. Di tingkat perguruan tinggi, represifitas negara menjadi ancaman demokratisasi di kampus. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) mengakibatkan pemberangusan terhadap Dewan Mahasiswa (DEMA), pembredelan pers mahasiswa, penculikkan bahkan pembunuhan terhadap aktivis. Kampus berada di bawah kontrol negara lewat Rekotrat/dekanat dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Aktifitas kampus dirubah menjadi sekedar aktifitas hobi, seperti musik, olah raga, dll. Ormas-ormas mahasiswa dan pemuda juga dikontrol secara ketat oleh negara. Ilmu pengetahuan diarahkan atas nama pembangunan yang sesungguhnya bertujuan menopang kelancaran operasional perusahaanperusahaan imperialis dan melanggengkan kekuasaan orba. Kurikulum terdistorsi demi mendukung kepentingan pasar. Kampus berubah menjadi mesin pencetak tenaga terdidik yang siap pakai dan murah. Peran mahasiswa sebagai intelektual ditujukan untuk mempropagandakan nilai-nilai hegemoni negara dan imperialis. Insinyur, dokter, pengacara, ekonom dan arsitek, tidak diarahkan mengabdi kepada rakyat. Pengacara mengabdi kepada uang demi membela penguasa korup, arsitek membangun gedung pencakar langit di atas tanah dan perumahan rakyat yang digusur, sementara para ekonom gencar menerapkan kebijakan pembangunan Orba yang memperlebar jurang kemiskinan. Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan membuka seluas-luasnya sekolah dan jalur pendidikan kejuruan, ternyata mengalami kegagalan dalam meningkatkan mutu pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja. Konsep Link and Match ala Jepang yang diterapkan lewat kurikulum 1994, tidak mampu menampung lulusan sekolah dalam pasar tenaga kerja. Hasil studi Bank Dunia memperlihatkan bahwa 40 % tenaga kerja Indonesia tidak memiliki keahlian (Abdullah Idi, 2004). Sementara hasil penelitian LPTK seIndonesia tahun 1994, menunjukkan bahwa selama dua dasawarsa terakhir, yang memilih masuk IKIP/ LPTK bukannya kelompok top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU. Itu berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan. Sentralisasi kekuasaan mengakibatkan roda perekonomian dan politik terkonsentrasi di kotakota besar Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sekolah-sekolah bermunculan di berbagai daerah, namun memaksa lulusannya meninggalkan daerah. Kualitas pendidikan yang tidak merata, mengakibatkan daya tampung lapangan kerja di perkotaan minim dan menambah deretan pengangguran. Hasil penelitian


World Economic Form 1995, menunjukkan bahwa komposisi ketenagakerjaan di Indonesia sebagai berikut : lulusan SD (60%), lulusan SLTP (20%), lulusan SLTA (15 %), lulusan PT (5 %). Di lihat dari stuktur lapangan kerja, pertanian (47, 3 %), perdagangan (16,6 %), jasa (14,5 %) dan industri (10,7 %). Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, pendidikan di Indonesia tertinggal belasan tahun. Liberalisasi Pendidikan : Lepasnya Tanggung Jawab Negara Pencabutan subisidi sosial mengakibatkan pendidikan menjadi mahal, karena negara tidak lagi mengucurkan subsidi. Anggaran pendidikan yang seharusnya di alokasikan 20 persen, tidak pernah beranjak dari kisaran 4-6 persen. Mantan Mendiknas Abdul Malik Fadjar pernah mengatakan bahwa alokasi 20 persen APBN akan dilaksanakan secara bertahap sampai tahun 2009. Itu berarti diperlukan kenaikan 14 triliun per tahun. Kenyataannya, kenaikan anggaran pendidikan untuk tahun 2005 hanya sekitar 2,4 triliun. Minimnya anggaran pendidikan, karena setiap tahun negara harus mengeluarkan sekitar 134 triliun untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri dan domestik borjuasi besar komprador. Subsidi tersebut pun hanya terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit, sementara sekolah-sekolah negeri dan swasta pinggiran yang menampung golongan miskin dan bodoh malah tidak ada subsidi sama sekali. Pem”BHMN”anisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau otonomi kampus (Otkam) telah mengakibatkan kuliah menjadi barang langka di pasaran, karena biayanya yang selangit. Tahun pertama dilaksanakan Otkam saja, terjadi kenaikan biaya sebesar 300-400 persen. Bahkan kini, biaya masuk PTN bisa mencapai Rp 45 juta hingga Rp 1 miliar. Kenaikan biaya kuliah terus terjadi hampir setiap tahun, baik di PTN ataupun PTS. Selain itu, masih ada sederetan biaya-biaya lain seperti SPP, SKS, uang praktikum, dana bangunan, uang KKN, dll. Sesuai SK Mendiknas No 045/U/2002, dibangun relasi antara intitusi pendidikan dan dunia usaha. Menurut Anita lie (Sekjen Dewan Seklah Jatim), ..kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka (Kompas,17/07/2004). Apakah lantas menjamin lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi? Ternyata tidak, dari 100,8 juta angkatan kerja, lulusan diploma dan perguruan tinggi hanya sebesar 5,5%, sisanya berpendidikan SD ke bawah (58%) dan SMP/SMU (36,5%). Dibukanya kesempatan bagi lembaga pendidikan asing, juga menjadi ancaman tersendiri. Sekitar enam negara maju, yaitu Amerika Serikat,

Australia, Selandia Baru, Republik Korea, Cina, dan Jepang berkeinginan mendirikan dan menjalankan perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd, Bila kemudian masyarakat kita “menyerbu” PTA, terlepas motivasinya akademis atau sekadar meningkatkan derajat sosial, bisa jadi PTN dan PTS kita akan kekurangan mahasiswa, bahkan sebagian akan mengalami tutup buku (Kompas, 11 September 2003). Kesepakatan tentang hal ini telah diatur dalam GATS (General Agreement On Trade Service) oleh lembaga perdagangan dunia milik imperialis, yaitu World Trade Organizaton (WTO). Dalam kesepakatan tersebut diatur bahwa pendidikan tinggi adalah salah satu instrumen penting industri jasa, selain 11 bidang jasa yang lain. Pemerintah Indonesia bahkan telah didesak negara-negara majau untuk segera merealisasikannya pada tahun 2005. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, komersialisasi pendidikan semakin menjadi-jadi. Saat ini, masuk TK dan SDN dipungut biaya Rp 500.000Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara untuk SLTPSLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Perbedaan biaya antara sekolah negeri dan swasta pun beda tipis. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ternyata dijadikan alat untuk memoblisasi dana masyarakat, karena negara tidak lagi membiayai. Komite sekolah beralih fungsi menjadi lembaga “pungli” bagi orang tua murid, dengan masuknya unsur pengusaha. Orang tua murid dipaksa mengeluarkan duit untuk seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya terus menerus. Sebagaian besar orang tua akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah anaknya. Kesempatan bersekolah yang minim selain persoalan biaya, juga disebabkan tidak meratanya pembangunan sarana dan pra sarana pendidikan, khususnya di pelosok-pelosok desa. Angka buta huruf pun masih cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 9,07 persen atau sekitar 15,5 juta, tersebar di seluruh provinsi. Menurut Direktur Pendidikan Masyarakat, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, Ekodjatmiko Soekarso, dalam setiap tahun masih terus terjadi adanya siswa usia sekolah dasar yang tidak sekolah atau tidak tertampung di SD kelas 1, 2, dan 3. Sekitar 200.000-300.000 orang yang disinyalir kembali buta aksara (Replubika, 17 Desember 2004). Hingga kini, indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia menempati posisi 111 dari 174 negara (laporan UNDP 2004). Begitu pula dengan posisi beberapa universitas favorit di Indonesia yang hanya menempati peringkat 60 dan 70 an di Asia Pasifik. Negara Harus Bertanggung Jawab Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa negara bertugas “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu tujuan nasional. PASAL 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 (yang sempat menimbulkan kontroversi) menyatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu jaminan pelayanan dan kemudahan kepada rakyat (termasuk anggaran), sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat 1, pasal 6 ayat 1, pasal 11 dan pasal pasal 49. Dari perangkat hukum yang ada, bisa dipastikan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara sepenuhnya. Konvensi Internasional bidang pendidikan tahun 2000 di Dakkar telah menghasilkan kesepakatan tentang kewajiban setiap negara memberikan pendidikan dasar bermutu dan gratis kepada semua warga negaranya. Mengacu pada hal ini dan UU Sisdiknas, seharusnya anak-anak Indonesia yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun (SD-SLTP) berhak mendapatkan pendidikan secara gratis. Di beberapa daerah pemerintah setempat telah memberlakukan sekolah gratis dari SD-SMU. Sayangnya, hal ini tidak terealisasi secara merata di seluruh


daerah. Subsidi yang diberikan terkadang jauh dari unit cost sekolah (baik swasta atau negeri) yang rata-rata di atas Rp 20 ribu. Sementara masih ada pembiayaan lainnya seperti, seragam sekolah, buku paket, sepatu, darmawisata dan lain-lain. Untuk membiayai sekolah SD hingga SMU saja sudah mencekik leher. Bagaimana harus membiayai hingga bangku kuliah? Mahalnya biaya kuliah, memaksa orang tua mengorbankan harta benda keluarga bahkan ada mahasiswa yang terpaksa membanting tulang, agar bisa tetap berkuliah. Menurut Dwi Haryanto (mahasiswa D3 Politeknik UNY Yogyakarta), orang tuanya terpaksa menjual sawah dan ternak yang merupakan aset keluarga demi kelancaran kuliahnya. Sementara Insan, (mahasiswa Teknik Universitas Satyagama Jakarta) mengungkapkan bahwa dia terpaksa bekerja sambilan untuk mencukupi biaya hidup dan kuliahnya, karena pendapatan keluarga minim sekali.

Pendidikan tinggi yang diharapkan mampu melahirkan sarjana-sarjana yang mengabdi kepada rakyat, ternyata tidak terbukti. Kurikulum pendidikan diarahkan untuk mendukung kepentingan pasar bebas dan globalisasi-nya imperialis. KKN justru menjadi ajang menambah kantong birokrasi kampus. Hasil-hasil riset kampus digunakan perusahaan-perusahaan asing demi kepentingan akumulasi modal. Dunia kerja hanya sebatas mimpi, justru pengangguran yang terus membludak. Jutaan anak dinegeri ini, terancam putus sekolah dan tidak bisa bersekolah. Inikah masa depan pendidikan Indonesia? Bagaimana sikap rejim saat ini? Direktur pascasarjana UPI, Prof Dr Asmawi Zaenul menilai bahwa arah kebijakan pemerintah SBY dalam masalah pendidikan belum terlihat. Lewat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pun belum ada kebijakan yang jelas. Padahal, kebijakan itu sangat penting sebagai

Formulir Pendaftar Front Mahasiswa Nas

kerangka awal bagi pendidikan nasional (Media Indonesia, 13/12/2004). Selain itu, dalam merealisasikan 20 persen anggran pendidikan dari APBN dan APBD, rejim SBY-Kalla masih sekedar lip service. Hal ini sangat kontras dengan janjijanji SBY-Kalla ketika berkampanye pada waktu Pemilu 2004 lalu. Hingga 100 hari pemerintahan SBY-Kalla hanya kebohongan yang ditawarkan kepada kaum pemuda/ mahasiswa dan rakyat Indonesia. Menuntut tanggung jawab negara dalam memperbaiki kondisi dunia pendidikan dan jaminan terhadap hak-hak pemuda/ mahasiswa harus terus dikampanyekan. Mengapa? karena pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara harus bertenggung jawab untuk itu. Kita sudah bosan dengan janji-janji kosong. Rakyat dan pemuda/mahasiswa Indonesia membutuhkan bukti konkrit. Jika SBY-Kalla tidak sanggup, maka kita nyatakan : “SBY-Kalla Pembohong, Antek Amerika�. (OnE)


I

nternational Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama. Apakah Knowledge Economy? Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, maka industri di negara-negara maju membutuhkan kualifikasi buruh yang tidak saja terampil di bidangnya, namun juga mampu menguasai sistem teknologi dan informasi yang dipakai secara luas dalam dunia profesional. Penguasaan dan pemahaman teknologi amat diperlukan, guna membantu mempercepat proses pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi. Agar produktivitas di berbagai bidang jasa baru bisa ditingkatkan. Jika tidak, kualitas sumber daya manusia (tenaga produktif) dari negara-negara tersebut akan menurun. Hal ini akan berdampak pada hilangnya keunggulan kompetitif angkatan kerja yang dimiliki masingmasing negara. Di Indonesia, hal ini tidak seperti kenyataan sesungguhnya. Di lain sisi, pendidikan tinggi telah dijadikan industri yang sangat menguntungkan bagi pemodal di negaranegara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pendidikan berubah menjadi komoditas yang siap dinegosiasikan (ripe to negotiate) dan diperjualbelikan dalam arus perdagangan iinternasional. International Education (2000) menyebutkan bahwa dari industri pendidikan bisa menghasilkan keuntungan sebesar 100 miliar US dollar. UNESCO di tahun 2001 menyebutkan pengelolaan pendidikan tinggi sebagai “Trade in higher education is a million dollar business ...�. Lembaga perdagangan duina milik imperialis, World Trade Organization (WTO) dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) telah membuka penguasaan (monopoli) pasar di sektor industri jasa. Dalam perundingan WTO, Pendidikan Tinggi dimasukkan dalam industri sektor jasa bersama 11 bidang jasa lainnya.

Komitmen ini dibahas dalam WTO Round di Meksiko, pada September 2003, sebelum diimplementasikan pada 1 Januari 2005. Dengan begitu, orientasi pendidikan telah bergeser dari proses pelayanan negara terhadap rakyat, menjadi industri di sektor jasa yang berorientasi semiprofit. Peran pemerintah kemudian diambil alih oleh pihak swasta (baca : liberalisasi pendidikan). Proses ini, imbas dari liberalisasi ekonomi dan politik (neo-liberalisme) yang telah menyatukan pasar Eropa (Uni-Eropa) dan globalisasi. Sesuai dengan semangat awal kapitalisme, konsep ini meninggalkan sepenuhnya tanggungjawab negara untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state). Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar lebih banyak, jika menginginkan pelayanan pendidikan yang lebih baik. Kemudian, peran lembaga pendidikan semata-mata ditujukan sebagai lembaga riset (Researche University) yang mendukung bagi kepentingan industrinya kaum kapitalis monopoli. Pendidikan Tinggi di Indonesia : Liberalisasi Kebablasan Skema di atas sesuai kepentingan imperialis untuk membuka akses pasar sebebas-bebasnya (free market) di Indonesia. Free market bertujuan memonopoli pasar dalam negeri di Indonesia. Maka, segala subsidi untuk rakyat dan

proteksi terhadap produk atau industri dalam negeri harus dihapuskan. Dengan demikian, akan memudahkan jalan menguasai industriindustri dalam negeri (BUMN) dan lembaga layanan publik (sekolah, rumah sakit, universitas, dsb) dari pemerintah ke tangan swasta atau asing melalui jalan privatisasi. Kebijakan mengurangi subsidi terhadap sektor pendidikan (seperti tertuang dalam Letter of Intent (LOI) Pemerintah RI dengan IMF di tahun 1999), mengakibatkan biaya kuliah dan sekolah setiap tahun mengalami kenaikan. Hal ini didukung dengan penetapan PP 60 dan 61 1999, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, SK Mendiknas No 045/U/2002 tentang Kurikulim Pendidikan Tinggi, dan Peraturan Pemerintah tentang Status BHMN bagi Perguruan Tinggi Negeri (PP 152, 153, 154 Tahun 2000). Jelas bahwa negara telah melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Sesuai dengan PP 60 1999 dan PP 61 1999, institusi pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah status dari lembaga yang berada di bawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa kampus besar negeri (UI,UGM, ITB, IPB dan Unair) menjadi “kelinci percobaan� (pilot project) pertama dari proses privatisasi PTN ini. Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang sempat menjadi idola rakyat Indonesia menjadi sulit dijangkau, karena biayanya yang kini mahal sekali. Diperkirakan PTN-PTN lain akan menyusul di-BHMN-kan beberapa tahun kemudian. Pencabutan subsidi merupakan suatu kebijakan yang sangat membingungkan. Di satu sisi, kualitas perguruan tinggi di Indonesia sangat rendah (laporan Asiaweek tahun 2003, menyebutkan bahwa empat universitas terbaik Indonesia menempati jajaran terbawah dalam peringkat universitas di wilayah Asia Pasifik).


Sementara untuk menaikkan kualitas, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Memang, masih ada dana yang disalurkan pemerintah melalui mekanisme block grant (hibah) dan pembiayaan program reguler. Tetapi dana yang dikucurkan akan disesuaikan dengan jumlah lulusan suatu perguruan tinggi (outputnya), bukan pada kebutuhan berapa jumlah mahasiswa yang masih berkuliah yang harus dibiayai oleh negara. Tentu saja, dana hibah tersebut tidak akan mencukupi. Pencarian Dana : Komersialisasi Terselebung Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terus berlomba-lomba mencari tambahan dana agar tetap bisa bertahan. Sumber dana utama tetap dilimpahkan kepada “si pengguna jasa” yaitu mahasiswa. Setiap tahun terjadi kenaikkan biaya perkuliahan. Di tahun 1999 saja, terjadi kenaikan biaya kuliah sekitar 300 hingga 400 persen di beberapa PTN terkemuka di Indonesia. Tahun ajaran baru 2004/ 2005, hampir seluruh kampus negeri maupun swasta menaikkan biaya kuliahnya. Di Universitas Indonesia (UI), mahasiswa baru yang lulus lewat mekanisme Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dikenakan biaya sebesar 5-25 juta rupiah. UGM memasang tarif Rp 20 juta untuk biaya Sumbangan Peningkatan Mutu akademik (SPMA), sedangkan Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah lebih awal (di tahun 2003) menarik uang masuk puluhan juta rupiah lewat mekanisme penerimaan mahasiswa lewat jalur khusus. Di Unpad, kampus negeri yang belum jadi BHMN, telah memasang biaya Rp 6 juta untuk calon mahasiswa yang tidak lulus SPMB. Herannya, mereka kemudian berkuliah dijalur yang sama (S1) dengan mereka yang lulus SPMB. Biaya ini belum termasuk dengan berbagai macam biaya “pungutan liar yang dilegalkan”, seperti uang materai, tes kesehatan, dsb. Kenaikan SPP dan biaya perkuliahan lainnya. Kenaikkan biaya kuliah juga terjadi di kampus BHMN lain seperti IPB, UPI dan kampus–kampus negeri lain yang diproyeksikan sebagaii BHMN. Realitas ini bertentangan dengan ucapan Dirjen Dikti di tahun 2000, Prof.Dr.Sumantri Brodjonegoro yang mengatakan “…subsidi untuk pendidikan tinggi tetap ada, dan tidak ada alasan (bagi Perguruan Tinggi) untuk menaikkan SPP.” (Bernas, 15/11/2000).

Diperkirakan, tahun 2007 akan terjadi kenaikan biaya perkualiahan secara gilagilaan. UGM sendiri, diprediksikan akan terjadi kenaikan biaya kuliah sebesar Rp 1215 juta pertahun. Untuk menambah jumlah pemasukan, ditambah kapasitas mahasiswa—di Unpad dikenal dengan kebijakan Student Body—. Hal tersebut dilakukan dengan membuka jurusan baru yang sedang menjadi trend di pasar kerja. Jurusan yang sudah ada, dimodifikasi agar menarik calon mahasiswa. Selain itu, dibuka program–program “siap saji” dan tidak jelas, seperti Kelas Jauh, Ekstensi dan Program Diploma. Jurusan yang tidak market oriented, harus menerima kenyataan kekurangan peminat dan terancam tutup. Perguruan tinggi juga membuka usaha-usaha bisnisnya, seperti UGM dengan PT Gadjah Mada Usaha Mandiri (GMUM), atau ITB dengan Perusahaan Air Ganeshanya. Cara lainnya, dengan mengkomersilkan fasilitas kampus (termasuk terhadap mahasiswanya sendiri), seperti lapangan olahraga, gedung pertemuan, hingga perpustakaan. Di beberapa kampus, mulai dibangun restoran siap saji, pom bensin, dan beberapa industri ritel lainnya yang semakin memudahkan penetrasi modal dan penguasaan fasilitas kampus oleh perusahaan asing. Hal di atas dilakukan dengan meminggirkan akses mahasiswa terhadap fasilitas kampus. Di UPI Bandung misalnya, berdirinya BNI mengakibatkan sebagian jalanan kampus di sekitar area bank tertutup bagi mahasiswa. Di UGM, beberapa akses jalan menuju kampus tertutup bagi mahaiswa atau pengguna jalan. Efisiensi birokrasi ala kapitalisme pun diterapkan. Dengan konsep BHMN,

status pegawai PTN berubah dari pegawai negeri sipil (tenured track employees) menjadi pegawai dengan sistem kontrak. Bukan tidak mungkin, tenaga kerja luar negeri lebih mendapatkan prioritas utama. Dikhawatirkan pula, akan terjadi rasionalisasi (pemecatan) terhadap pegawai lama di kampus BHMN, layaknya BUMN–BUMN yang telah diprivatisasi. Apakah kualitas pendidikan bertambah? Pertanyaannya lemudian, apakah kualitas pendidikan tinggi meningkat? Belum tentu. Dari Hasil Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun BHMN yang diselenggarakan di Kampus UI, ternyata tidak didapatkan adanya peningkatan secara berarti terhadap kualitas sarana pendidikan seperti komputer, internet, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Mahasiswa tetaplah sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas tersebut (Kompas, 25/8 2004). Kualitas perguruan tinggi Indonesia masih yang terendah se-Asia-Pasifik. Universitas seperti UGM saja menempati peringkat 77 dari 77 Universitas di Kawasan Asia-australia (Laporan Asiaweek tahun 2003). Begitu pun dengan kualitas dosen. Banyak dosen yang berorientasi kepada proyek atau uang. Sering dijumpai dosen yang sedang sibuk mengerjakan proyek penelitian dengan alasan rupiah. Ada juga dosen yang mengajar di berbagai kampus, sehingga seringkali bolos ngajar karena sedang mengajar di kampus lain. Dengan Konsep Research University, pergururan tinggi mencoba membangun relasi dengan dunia industri. Salah satunya bagaimana melaksanakan kerjasama penelitian. Namun harus diingat bahwa belum memiliki industri nasional. Seluruh industri hulu dikuasai oleh kapitalis monopoli asing (kaum imperialis). Hasil


penelitian tersebut melalui mekanisme hak paten, akan menjadi hak bagi industri asing. Kampus justru mengabdikan dirinya kepada kaum imperialis yang telah membuat rakyat Indonesia menderita. Kampus mengkhianati sendiri cita-cita Tri Dharma perguruan tinggi. Menurut arah kebijakan pendidikan nasional, Pendidikan tinggi kita berorientasi mempersiapkan tenaga profesional (buruh) dan cendekiawan (KRP, 2001). Lantas sejauh mana kualifikasi tenaga kerja yang dihasilkan? Hanya 5,5 persen lulusan S 1 dan D 3 yang tertampung di Indonesia. Sementara itu, 40 persen tenaga kerja Indonesia tidak memiliki keahlian dan berada di peringkat terbawah negaranegara ASEAN. Tenaga kerja yang dibutuhkan kaum imperialis bukanlah tenaga kerja dengan skill kompetitif, namun sekedar tenaga kerja yang bisa mengoperasionalkan kebutuhan di sektor manufaktur, jasa dan pengepakan. Dengan begitu, harganya bisa lebih murah. Tenaga kerja yang murah akan mengefektifkan akumulasi modal, karena mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan asing imperialis dan borjuasi besar komprador. Jadi, konsep Knowledge Economy seperti di negara-negara maju, tidak akan sepenuhnya diterapkan di negara setengah jajahan seperti Indonesia. Indonesia hanya menjalankan sisi meruginya saja, yaitu privatisasi Pendidikan. Dimana tanggung jawab negara terhadap pendidikan dilepaskan dan diambil alih oleh pihak asing dan swasta. Siap-Siaplah Terbelakang! Akibatnya jelas, akses pendidikan tinggi bagi rakyat miskin akan semakin tertutup. Pendidikan tinggi hanya akan mampu diakses oleh kalangan menengah ke atas. Menurut Prof.Dr.Sutjipto (Rektor

Universitas Negeri Jakarta), di tahun 2002 hanya 10% penduduk usia perguruan tinggi di Indonesia yang belajar di perguruan tinggi. Contoh lain yang terjadi di UGM, dimana mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak (sekitar 77%) adalah mereka yang orang tuanya berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta perbulan. Dan 20%-nya adalah mahasiswa yang orangtuanya berpenghasilan Rp 2 juta ke atas (Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2003). Bandingkan dengan gaji seorang buruh di Indonesia (sesuai UMR), yang rata-rata berpenghasilan 600-700 ribu rupiah perbulan. Wajar jika anak seorang buruh tidak bisa berkuliah. Dampak privatisasi juga dirasakan oleh pengelola Perguruan Tinggi Swasta (PTS), khususnya yang tidak memiliki nama besar. Banyak PTS harus kekurangan peminat dan terancam gulung tikar, sepeti yang dialami oleh Kampus IKOPIN dan UNINUS di Bandung. Hal ini tidak saja terjadi di Bandung, tetapi hampir di seluruh Indonesia. Dari data yang ada, sekitar 40 persen dari sekitar 2.300 perguruan tinggi swasta (PTS) di seluruh Indonesia saat ini memprihatinkan, baik dari segi fasilitas maupun kualitas pendidikan, sehingga tidak layak disebut sebagai perguruan tinggi (Kompas, 31 Mei 2004). Permasalahan lain adalah ancaman berdirinya perguruan tinggi asing di Indonesia. Sebagaimana kesepakatan dalam GATS WTO dan Pasar Bebas ASEAN (AFTA), telah direncanakan pembukaan sejumlah cabang (branch) perguruan tinggi Internasional di Indonesia, seperti Monash University, Oxford, ataupun Yale. Dengan kualitas yang berbeda jauh, bisa ditebak perguruan tinggi di dalam negeri akan kalah bersaing. Bila perguruan tinggi dalam negeri tidak mampu survive, maka hanya ada dua pilihan, yaitu gulung tikar atau dimergerkan (baca : dicaplok) oleh perguruan tinggi asing.

Skema ini mirip sekali dengan pola akuisisi atau merger perusahaan multinasional terhadap perusahaan lokal yang kolaps. Privatisasi PTN juga berdampak pada kehidupan kampus yang tidak demokratis. Kultur ilmiah-kritis digantikan dengan kultur ilmiah-pasar industri. Kultur politis diganti menjadi kultur bisnis. Mahasiswa diarahkan secepatnya menyelesaikan studi, terlepas apakah nanti menganggur atau tidak. Logika ini mirip sekali dengan pola bank melakukan sirkulasi uang melalui penjaringan nasabah. Penetrasi modal ternyata tidak membawa angin demokratisasi di kampus. Mahasiswa tetaplah kelompok yang terasing dalam proses pengambilan keputusan di kampus. Dalam Majelis Wali Amanat (MWA) misalnya, keterwakilan mahasiswa tidak lebih dari 2 %. Tidak dilibatkannya mahasiswa dalam pengambilan kebijakan kampus sudah menjadi rahasia umum bagi mahasiswa di Indonesia. Represifitas kampus selalu menjadi ancaman bagi mahasiswa dalam mewujudkan kebebasan mimbar akademk. Tiga orang anggota FMN di Universitas Mataram (UNRAM) NTB, sempat diancam DO karena terlibat dalam aksi menolak kenaikan biaya SPP tahun ajaran 04/05. Di Jombang, 6 orang anggota FMN di DO secara sepihak dan kasusnya hingga kini sengaja di�peti es�kan. Di Unsat Jakarta, mahasiswa sempat ditodongkan pistol oleh aparat kepolisian, ketika membubarkan aksi mahasiswa di kampus. Di tempat yang sama, pentas musik untuk pendidikan murah yang diselenggarakan oleh FMN Unsat, diboikot oleh birokrat kampus. Kedua kejadian tersebut terjadi pada bulan Oktober 2004. Ya, pada akhirnya Perguruan tinggi di Indonesia, mengutip Heru Nugroho, layaknya seperti restoran siap saji McDonald, yang berfungsi untuk melayani para “konsumen� yang mampu membayar lebih, dimana kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas dan hitungan untung-rugi menjadi prioritas diatas tanggung jawab terhadap rakyat. Institusi Pendidikan juga pada akhirnya tetap menjadi mesin untuk mereproduksi nilai-nilai dan budaya imperialisme. Perlahan tapi pasti, rakyat Indonesia tidak punya hak lagi terhadap pendidikannya sendiri. Lalu, apakah kita hanya diam atau bangkit melawan?Mari bangkit, bergerak dan berorganisasi, wujudkan kampus yang demokratis, ilmiah dan kerakyatan. (deek2)


MENGAPA KITA MEMPERJUANGKAN PENDIDI KAN BERWATAK NASIONAL, DEMOKRA DAN BERVISI KERAKYATAN

P

endidikan adalah sebuah proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal pikirnya, menerapkan ilmu pengetahuan dalam menjawab problem–problem sosial, serta mencari hipotesa–hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Pendidikan merupakan media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga intelektual dan praktisi sebagai penopang bagi perkembangan hidup masyarakat. Pendidikan adalah salah satu faktor pendorong kemajuan menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis. Kenyataan berkata lain, pendidikan di Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Kondisi dunia pendidikan kita masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan selama ini, selalu dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa dan kaum pemodal (khususnya Imperialisme). Hingga kini, pendidikan Indonesia belum mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan rakyat Indonesia. Lepasnya tanggung jawab negara dan penetrasi modal asing (baca : imperialisme) telah merubah pendidikan sebagai komoditi bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi pengelola jasa pendidikan. Sementara output pendidikan, tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Persoalan-Persoalan Pokok Pendidikan Di Indonesia Tingkat permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks dan beragam. Dari sekian permasalahan tersebut, terdapat beberapa yang merupakan persoalanpersoalan pokok pendidikan di Indonesia yaitu : 1.Mahalnya Biaya Pendidikan Hampir setiap tahun biaya pendidikan mengalami kenaikan, baik di tingkat pendidikan dasar dan jenjang

pendidikan tinggi swasta atau negeri. Salah satu indikasi penyebabnya adalah minimnya alokasi anggaran pendidikan dan pencabutan subsidi sosial. Minimnya anggaran pendidikan, bukan berarti negara kekurangan atau tidak memiliki dana sama sekali. Dengan mengalokasikan anggaran 20 persen, minimal sekolah untuk tingkat SDSLTP bisa gratis. Sebagai contoh, Kabupaten Waringin di Kalimantan yang mengalokasikan 20 persen dari APBD-nya mampu memberikan layanan pendidikan gratis dari SD-SMU/SMK. Sementara bagi mereka yang berkuliah, diberikan bantuan subsidi pendidikan berupa bea siswa.

Dalam konstitusi (Amandemen IV UUD’45), diatur bahwa negara harus mengalokasikan 20 persen dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Kenyataannya, hal tersebut masih isapan jempol semata. Sajauh ini, anggaran pendidikan tidak pernah beranjak dari kisaran 4-6 persen. Rejim Orba sekalipun hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9 persen. Alokasi anggaran yang minim karena negara harus menanggung beban utang domestik dan luar negeri (berupa pembayaran cicilan dan bunga utang) para borjuasi besar komprador sebesar 30-40 persen per tahun dari APBN. Dari produk domestik bruto (PDB), pemerintah hanya

menyisakan 1,5 % untuk pendidikan. Sementara beberapa negara di Asia menyisakan 3-6% PDB nya untuk pendidikan. Pencabutan subsidi sosial terhadap sektor publik (termasuk pendidikan) merupakan kebijakan pemerintah yang mengakibtkan mahalnya biaya pendidikan. Kebijakan ini memaksa insitusi pendidikan (khusunya milik negeri) mencari tambahan dana untuk kebutuhan operasional, karena kucuran subsidi dari negara tidak turun lagi. Sayangnya, upaya pencarian dana harus mengorbankan mahasiswa sebagai “sumber dana utama” bagi kampus. PTN-PTN yang di-BHMN-kan adalah korban kebijakan ini. Beberapa PTN yang telah diBHMN-kan seperti UI, ITB, IPB dan UGM, setiap tahunnya mengalami kenaikan biaya kuliah. UI misalnya, pada tahun 2004 menerapkan uang pangkal atau admission fee bagi peserta jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebesar Rp 5 jutaRp 25 juta dan Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp 25 juta-Rp 75 juta (Kompas, 21 Juli 2004). Biaya-biaya di atas belum termasuk biaya perkuliahan lainnya, seperti SPP, praktikum, biaya gedung atau biaya “pungli” yang sengaja dilegalkan kepada mahasiwa. Akibatnya, masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses jenjang pendidikan. Jumlah lulusan SLTA yang sanggup melanjutkan kuliah hanya sebesar 11 persen. Angka ini bisa saja bertambah, mengingat proses pem-BHMN-an akan terus dilanjutkan oleh pemerintah. Belum lagi kemungkinan bertumbangannya PTS-PTS swasta akibat kebijakan pembukaan lembaga pendidikan asing dan swastanisasi PTN-PTN di Indonesia. Ke depan, bisa dipastikan hanya anak golongan kaya yang mampu berkuliah, sementara anak golongan melarat seperti buruh, tani, kaum miskin perkotaan harus merelakan masa depannya terancam. Menyedihkan sekali!


2.Pendidikan Yang Tidak Merata Dan Rendahnya Kualitas Pendidikan Mahalnya biaya pendidikan ternyata tidak diiringi dengan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Di berbagai pelosok desa Indonesia, jumlah sekolah yang tersedia sangat sedikit. Jika berangkat ke sekolah harus menempuh perjalanan kaki sekian kilometer. Tenaga pengajar yang tersedia juga sangat terbatas. Contoh, di daerah Sarongge, Kabupaten Bogor, sejak bulan Januari 2005 kegiatan belajar mengajar berhenti sama sekali karena tenaga pengajar yang tersedia sudah tidak ada lagi. Laporan UNDP tentang indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia menempatkan Indonesia di peringkat 111 dar 174 negara. Dari 77 perguruan tertinggi terkemuka di Asian Pasifik, 4 perguruan tinggi Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61 dan ke-75. Sementara jumlah sarjana (S1 dan D3) yang tertampung dalam dunia kerja, hanya 5,5 persen dari 100,8 juta angkatan kerja. Dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, 40 persen diantaranya tidak memiliki keahlian. Sememtara angka pengangguran (terbuka dan tertutup) telah mencapai 40 juta jiwa. Pemerataan juga menyangkut penyediaan fasilitas pendidikan. Persoalan ini masih menjadi problem yang cukup krusial. Di Kalimantan Selatan, sebanyak 10.442 ruangan tidak layak pakai. Jumlah ini berasal dari 2.952 bangunan SD negeri dan swasta. Rinciannya, 4.403 ruangan rusak berat dan 6.039 ruangan rusak ringan. Bangunannya rata-rata dari kayu yang didanai Inpres tahun 1980-an. Di beberapa daerah jumlah sekolah yang rusak dan ambruk terus bertambah. Kebutuhan seperti tenaga pengajar, penyediaan buku pelajaran dan sarana transportasi juga masih terbatas.

Hal yang sama terjadi Di beberapa kampus. Seringkali calon mahasiswa tertipu dengan “iklan komersil� yang ditawarkan oleh kampus. Di Universitas Satyagama (Unsat) Jakarta, sebagain besar mahasiswa merasa tertipu, karena setelah masuk fasilitas seperti sarana olahraga, ruang kelas, sarana ibadah (masjid), WC, dan sebagainya, tidak seperti yang terpampang dalam brosur promosi. Di fakultas hukum UII Yogyakarta, bangku kuliah yang digunakan telah berusia belasan hingga puluhan. Bangkunya sendiri terbuat dari kayu, yang jika diduduki tidak begitu nyaman. Sementara setiap tahun biaya kuliah terus naik. Dari data teratas terlihat bahwa pemerintah belum memiliki komitmen melakukan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan sangat penting demi kelancaran proses belajar mengajar dan peningkatan prestasi peserta didik. Dalam sebuah acara televisi yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta, Mendiknas Bambang Soedibyo menyatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga pemerataan pendidikan terpaksa dikorbankan. Pernyataan ini mencerminkan keblinger-an dari aparat pemerintah. Realitas yang dihadapi saat ini, bahwa meningkatkan mutu pendidikan adalah berbicara tentang kemampuan masyarakat membiayai pendidikan. Lantas sejauhmana mutu pendidikan akan tercipta, jika masyarakat dihadapkan pada pilihan mahalnya biaya pendidikan dan praktek komersialisasi yang merajalela. Tentu saja tidak akan terjadi pemerataan pendidikan, karena yang bisa menikmati pendidikan hanya mereka yang berpenghasilan di atas rata-rata. Itu berarti secara sistematis pemerintah membiarkan

rakyat Indonesia tetap bodoh dan terbelakang. Peningkatan kualitas mau tidak mau harus diiringi dengan pemerataan pendidiikan. Dengan begitu upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional lebih terbuka, karena masyarakat tetap memiliki kesempatan menikmati pendidikan Jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Kuba dan Malaysia, Indoensia tertinggal sangat jauh dalam hal ini. Di Kuba, pemerintahannya memberikan layanan pendidikan gratis dan berhasil memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Kuba adalah salah satu negara yang memiliki tingkat kualitas hidup manusia tertinggi di dunia, bahkan melebihi musuhnya Amerika Serikat (AS). Paramedisnya telah banyak menyumbang tenaga untuk misi kemanusiaan di dunia. Teknologinya berhasil menemukan pembangkit listrik di luar tenaga konvensional seperti air, diesel dan nuklir. Malaysia yang memberikan subsidi 25 persen untuk pendidikan, mampu memberikan layanan pendidikan gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Secara mutu Malaysia lebih baik dari Indonesia yang hanya menempati peringkat 12 dari negara di ASEAN. 3.Orientasi Pendidikan Yang Tidak Ilmiah, Pro Imperialis Dan Anti Rakyat Dua permasalahan di atas adalah akibat dari orientasi pendidikan yang tidak ilmiah, pro imperialis dan anti rakyat. Aspek ini tercermin dari sistem kurikulum dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Sistem kurikulum secara jelas mendukung kepentingan pasar bebas imperialisme. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekedar ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja terdidik dan bisa di upah murah. Skema yang sesuai dengan kepentingan imperialisme akan tenaga kerja murah. Contoh dalam kasus industri otomotif. Walaupun produk otomotif berkeliaran di iIndoensia, namun Indonesia sesungguhnya tidak memiliki industri otomotif nasional. Di Indonesia hanya terdapat perusahaan rakitan produk otomotif asing dan perusahaan jasa untuk memasarkan produk tersebut. Tenaga kerja untuk merakit dan memasarkan, tidak memerlukan keahlian penguasaan iptek yang tinggi dan daya serap yang luas. Dengan alasan kualitas yang rendah, imperialisme kemudian menekan upah buruh serendah mungkin. Dengan demikian, imperialisme akan mendapatkan


keuntungan akumulasi modal yang lebih besar (laba super). Disamping itu, hasil-hasil penelitian juga tidak dirasakan oleh rakyat. Melalui mekanisme hak paten, sebagian besar hasil penelitian dimiliki oleh perusahaanperusahaan imperialis dan borjuasi besar komprador yang bekerja sama dengan pihak kampus. Hasil riset tersebut lantas diproduksi menjadii komoditi yang diperdagangkan di pasar. Inilah salah satu bentuk akumulasi produksi yang didapatkan imperialisme dari sektor pendidikan. Beralihnya pendidikan sebagai industri jasa, mendatangkan keuntungan lain bagi kaum imperialis dan borjuasi besar komprador. Keuntungan itu diperoleh dengan melakukan praktek komersialisasi pendidikan secara gila-gilaan. Dengan masuknya unsur pengusaha, pendidikan berubah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi kaum imperialis dan borjuasi besar komprador. Di lain sisi, mencekik leher rakyat yang terus dipaksa merogoh kocek untuk membiayai pendidikan. Maraknya praktek korupsi dalam dunia pendidikan belakangan ini, menandaskan bahwa jajaran birokrasi pendidikan memiliki mentalitas sebagai kapitalis birokrat. Mereka mengambil keuntungan dari jerih payah rakyat yang pontang-panting membiayai pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan Kebijakankebajakan negara yang selalu saja merugikan rakyat. Sebut saja kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) yang justru membebankan siswa dan orang tua siswa Disinilah letak keilmiahan sistem pendidikan Indoensia dipertanyakan. Keilmiahan tidak hanya berkaitan dengan knowledge (pengetauan), namun juga m e m i l i k i kemampuan memecahkan problematika yang di alami rakyat. Kenyataannya, s i s t e m pendkian

indonesia belum mampu menjawab permasalahan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang terus menghantui denyut nadi rakyat Indonesia. 4. Sistem Pendidikan Yang Tidak Demokratis Nilai-nilai demokratis dalam sistem pendidikan nasional masih perlu dipertanyakan. Apa yang menimpa 6 orang anggota FMN STAIBU Jombang, adalah bukti dari kehidupan kampus yang tidak demokratis. Pengambilan kebijakan masih menjadi monopoli pihak birokrasi kampus. Partispasi mahasiswa sangat minim, bahkan terkadang tidak dilibatkan sama sekali dalam hal ini Kekritisan mahasiswa baik dalam proses belajar mengajar di kampus dan menuntut hak-hak demokratisnya, masih seirng mendapatkan represifitas dari birokrasi kampus dan negara. Ancaman DO, nilai jelek, hukuman presensi (terkadang kekerasan), dijadikan alat untuk membatasi ruang gerak dan kekritisan mahasiswa. Kampus ternyata belum mampu menjamin kebebasan mimbar akademis bagi mahasiswa. Kebebasan berpendapat dan berorganisasi serta keterlibatan mahasiswa dalam menentukan kebijakan di kampus masih dikekang. Begitu juga dengan Independensi lembaga kemahasiswaan yang sering dintervensi dan terdistorsikan oleh pihak birokrasi kampus. Praktek seperti ini, mengingatkan kembali tentang penerapan NKK/BKK oleh rejim Orba. Pendidikan Berwatak Nasional, Ilmiah, Demokratis Dan Bervisi Kerakyatan. Persoalan-persoalan di atas mendorong Front Mahasiswa Nasional (FMN) menyajikan sebuah tawaran konsep pendidikan yang akan diperjuangkan. Mengapa? FMN sebagai ormas pemuda/mahasiswa yang melandaskan perjuangannya untuk memenuhi hak-hak demokratis pemuda/mahasiswa (secara sosial-ekonomis dan politik), merasa bahwa hak-hak demokratis pemuda/mahasiswa selama ini telah dipasung oleh rejim boneka imperialis. Maka, FMN akan terus berupaya membangkitkan, menggerakkan dan mengorganisasikan massa mahasiswa menuntut hak-hak demokratisnya. Untuk itulah tawaran ini hadir. Apakah pendidikan berwatak nasional, demokratis ilmiah, dan bervisi kerakyatan tersebut? 1. Menjangkau Seluruh Rakyat Indonesia Seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mengenyam pendidikan tanpa memandang status sosial dan unsur SARA. Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan kewajiban negara untuk menyelenggarakan, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 (Pembukaan dan Pasal 31). Tanggung jawab negara bukan berarti meminta rakyat untuk terus menerus membiayai pendidikan. Tetapi bagaimana negara mampu membuka kesempatan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan dan melakukan pemerataan sarana dan pra sarana pendidikan. Salah satu kewajiban negara tersebut adalah merealisasikan anggaran 20 persen dari APBN dan APBD. 2.Menjunjung Kehormatan Dan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sejauh ini sistem pendidikan Indonesia diarahkan sesuai skema kepentingan imperialisme, baik dari input, proses hingga output. Di zaman Orba, pendidikan nasional disesuaikan dengan model pembangunanisme hasil kreasi Bank Dunia. Kini, pendidikan diarahkan untuk mendukung upaya privatisasi pendidikan di sektor industri jasa. Privatisasi pendidikan sesuai dengan kepentingan WTO—lembaga perdagangan dunia bentukan negara-negara imperialis—yang tertuang dalam General Agreement On Trade Service (GATS). Pendidikan dicantumkan sebagai salah satu sektor industri jasa bersama 11 sektor jasa lainnya. Dengan demikian cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa telah dikhianati. Dan berarti pula kehormatan dan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa telah diinjakinjak oleh Imperialisme. Pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) Indonesia harus lepas dari segala kepentingan imperialisme demi tegaknya kedaulatan bangsa. 3.Memajukan Ilmu dan Teknologi Nasional Sejak zaman diberlakukannya Politik Etis hingga saat ini, pendidikan di Indonesia selalu ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja terdidik dan murah. Pendidikan tidak mampu mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional bangsa, karena kurikulum mengabdi kepada kepentingan pasar global. Untuk itu, sekolah,


kampus, dan lembaga penelitian di Indonesia harus menjadi tempat dimana ruang–ruang perdebatan ilmiah berkembang dan melahirkan penemuan–penemuan baru yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Dalam hal ini, kurikulum berbasiskan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional yang bersandar pada pemanfaatan sebesar–besarnya potensi dan kemampuan bangsa Indonesia serta mendorong kemandirian bangsa Indonesia dalam penemuan–penemuan baru. 4.Mendukung Bagi Terciptanya Industri Nasional Yang Tangguh Pendidikan tidak sekedar menghasilkan buruh siap dipakai dalam pasar tenaga kerja, tetapi sekaligus menciptakan kemandirian dalam menciptakan lapangan kerja. Artinya output pendidikan didorong mendirikan industri nasional yang tangguh demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Industri nasional akan melepaskan ketergantungan dari kepentingan ekspansi, ekploitasi dan akumulasi imperialisme atas kekayaan alam, tenaga kerja dan pasar di Indonesia. Industri nasional ditopang oleh ketersediaan sarjana ahli dan mandiri. Maka, tugas utama negara dan lembaga pendidikan adalah menghasilkan sarjana ahli, mandiri dan mengabdi pada rakyat (serve the people). 5. Mengandung Nilai-Nilai Keilmiahan Keilmiahan adalah hakikat pendidikan yang bertujuan mencerdaskan umat manusia dan memajukan IPTEK. Keilmiahan tidak sekedar membuat kurikulum materi pendidikan, tetapi diikuti dengan metode belajar–mengajar yang mendorong kebebasan berdiskusi, berdebat dan kekritisan agar tercipta pemikiran–pemikiran baru. Pendidikan tidak bebas nilai, karena mencerminkan nilai–nilai budaya masyarakat. Pendidikan yang ilmiah mampu mengaitkan realitas sosial dengan teori–teori yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, sejahtera dan berdaulat. Merombak pola pikir dan budaya masyarakat Indonesia yang masih diselimuti budaya feodalisme (mistis, patronase dan patriarkal) dan penetrasi budaya ala imperialisme (indivdualisme). Negara harus mampu mengimplementasikan nilai–nilai keilmiahan mulai dari perumusan kebijakan, kurikulum materi pendidikan, metode pendidikan, tujuan dan output yang dihasilkan. Tentu semuanya sesuai kenyataan sosial dan ditujukan memajukan kehidupan rakyat Indonesia. 6. Mengandung Nilai-nilai Demokratis Pendidikan demokratis menyangkut tentang nilai-nilai demokrasi dalam metode pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan. Nilai–nilai demokrasi bersandarkan pada prinsip kesetaraan, partisipatif, kepentingan mayoritas dan berkeadilan. Di tingkat perumusan kebijakan pendidikan, negara atau institusi pendidikan mampu melibatkan seluas–luasnya partisipasi rakyat. Sehingga kebijakan pendidikan berorientasi pada kepentingan rakyat Indonesia, bukan sebagai alat penguasa ataupun kaum pemodal. Kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi sivitas akademika di kampus adalah unsur demokrasi yang harus dipenuhi. Hal ini bertujuan agar terciptanya kampus yang demokratis, dimana posisi mahasiswa dan birokrasi kampus berdiri sejajar (secara

kelembagaan ataupun individu). Dengan begitu, Mahasiswa tidak lagi terancam DO dan nilai jelek atas kekritisannya terhadap metode pengajaran dan menyikapi permasalahan-permasalahan kampus. Tidak ada lagi patronase ala dosen ataupun birokrasi, sehingga menghambat tingkat kekritisan mahasiswa di kampus. Kampus yang demokratis mencerminkan sistem pendiddikan yang ilmiah. 7. Pendidikan Nasional Yang Bervisi Kerakyatan Pendidikan bervisi kerakyatan mengandung arti pendidikan yang bertujuan memajukan kebudayaan dan taraf berfikir rakyat. Selain pendidikan yang mampu menjangkau seluruh rakyat (khususnya dari kelas buruh, kaum tani, kaum urban dan golongan marginal lainnya), juga menghasilkan lulusan pendidikan yang bertanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat. Lulusan pendidikan tidak hanya sekedar memiliki kecakapan pikir dan keahlian, tetapi sekaligus menjadi pejuang demi terbebasnya rakyat Indonesia dari belenggu imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat yang menyebabkan keterbelakangan. Kurikulum pendidikan disertakan muatan–muatan yang memaparkan realitas sosial rakyat Indonesia. Kurikulum bervisi kerakyatan akan mengarahkan peserta didik agar tidak terasing dari keadaan sosialnya. Metode Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdistorsi, harus dikembalikan sesuai tujuan awalnya. KKN harus diperjelas dan dipertegas visinya, sehingga tidak hanya sekedar menjadi sarana “tamasya” mahasiswa. Dengan demikian, fungsi ilmu pengetahuan benar-benar diabdikan untuk kepentingan rakyat. (Redaksi)


Tugas Ki t a : MEMBANGUN GERAKAN PEMUDA/MAHASISWA PATRIOTIS, DEMOKRATIS DAN MI LITAN Ol eh : Hersa Kri sna Ket ua Pi mpi nan Pusat FMN

D

ominasi kapitalisme telah mencapai tahap tertingginya, yaitu Imperialisme. Imperialisme adalah sistem kapitalis monopoli oleh perusahaan raksasa dunia (MNC-TNCs) dengan melakukan akumulasi produksi dan modal melalui usaha ekspansi dan ekploitasi di negara-negara terbelakang. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Jepang, Prancis, dan Cina adalah representasi dari negara imperialis yang berkeinginan membangun imperium modal di bawah kekuasaannya.Imperialisme AS saat ini, menjadi kekuatan kapitalisme monopoli internasional paling kuat dan memimpin di antara kekuatan-kekuatan imperialisme dunia lainnya. Lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO, dan PBB, berada di bawah kendalinya. Lembaga-lembaga tersebut menjadi instrumen bagi AS untuk memaksakan kebijakankebijakan imperialisme di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Di Indonesia, Soeharto membuka diri lebar-lebar terhadap berbagai kepentingan imperialisme. Ikatan hutang untuk menundukkan Indonesia dikucurkan oleh sebuah persatuan negara donor Inter Government Group on Indonesia (IGGI)—kini CGI—, sebesar US$ 200 juta pada tahun 1967. Kemudian ditingkatkan tahun 1968 sebesar US$ 325 juta, sebagain besar digunakan untuk “stabilitas”. Tahun 1967, IMF memberikan bantuan sebesar US$ 51 juta. Hutang demi hutang terus ditumpuk diluar batas kewajaran. Hingga tahun 2004 saja, hutang Indonesia mencapai US$ 136.679 miliar (lembar info KAU edisi II/2005). Mega proyek imperialisme semakin menambah keterpurukan rakyat. Privatisasi BUMN, pencabutan subsidi sosial, deregulasi, pembebasan tarif impor, rescheduling utang, dan lainlain, telah menyeret rakyat Indonesia dalam jurang kemiskinan luar biasa. Tercatat 38,4 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (BPS 2002). Selanjutnya 53 persen dari penduduk Indonesia (110 juta jiwa) hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 2 US dollar per hari. Angka pengangguran (terbuka dan terselubung) diperkirakan mencapai mencapai 40 juta jiwa. Hasil sensus pertanian 2003, menyebutkan bahwa terjadi kenaikan jumlah petani gurem dari 52,7 persen di tahun 1993 menjadi 56,5 persen (BPS 2003). Di wilayah pertanian, imperialis menjalankan politik konsolidasi tanah dengan sistem Pertanian Kontrak. Hal ini dilakukan bersama sekutunya, tuan tanah dan borjuasi besar komprador dengan menyewa tanah petani untuk masa waktu yang panjang (25 hingga 30 tahun). Tanah-tanah tersebut, ditanami kapas dan jagung serta tanaman lain yang menguntungkan bagi industri negeri-negeri imperialis. Begitu pun halnya dengan program “revolusi hijau” yang membuat rusaknya produktivitas tanah, ketergantungan terhadap pupuk kimia dan marginalisasi peran perempuan di sektor pertanian. Sistem kepemilikan tanah perseorangan yang sangat luas, tidak lagi seperti zaman VOC atau Sistem Tanam Paksa. Penguasaan tanah kini terkonsentrasi pada pengusaha-pengusaha perkebunan negara dan perseorangan, institusi militer, pengusaha-pengusaha

pemegang HPH melalui KKN, pemodal asing (dengan cara sewa dan kontrak jangka panjang), perseorangan pemegang hak absente, tuan tanah desa (di luar batas maksimum menurut UUPA 1960), dan seluruh tuan tanah yang mempekerjakan orang lain, mengeruk keuntungan besar dan bergantung hidup dari penguasaan tanah tersebut. Mereka adalah kaum tuan tanah dalam kenyataan hari ini, pada zaman setengah feodal, di bawah dominasi imperialisme. Dengan demikian semakin jelas, bahwa Indonesia adalah sebuah negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Pemuda/Mahasiswa di bawah Rezim Boneka SBY-Kalla Rezim yang memimpin Indonesia hari ini hakekatnya adalah rezim boneka yang merupakan perwujudan kekuasaan bersama tuan tanah dan bordjuasi komprador di bawah dominasi imperialisme. Sudah menjadi watak rezim yang demikian, untuk melakukan penyelewengan kekuasaan guna mencari kapital, memperkaya diri, keluarga dan klik kekuasaannya. Tiada henti memberikan fasilitas, sumber daya, kepada imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri untuk memperkuat dukunganya agar terus menerus berkuasa di birokrasi. Rezim boneka tidak pernah berpihak pada rakyat, termasuk pada pemuda/mahasiswa. Pencabutan subisidi sosial, memaksa sekolah/kampus (khususnya kampus negeri) terus menaikkan biaya kuliah. Akibatnya, akses untuk menikmati bangku sekolah/kuliah semakin terbatas. Tercatat, hanya sekitar 10 persen lulusan SLTA mampu mengenyam bangku kuliah. Dengan demikian, hanya golongan menengah ke atas yang mampu menyekolahkan dan menguliahkan anaknya. Di kampus, mahasiswa masih tetap “sapi perahan” yang utama. Mahasiswa dibebani dengan sekian biaya kuliah, mulai dari SPP, SKS, KKN, praktikum, uang gedung dan sejumlah “pungli” yang dilegalkan oleh kampus. Berbagai aset kampus pun turut dikomersilkan untuk menambah pundi-pundi kas birokrasi. Di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, kertas jadwal ujian yang dulunya gratis, kini dipungut Rp 100 per mahasiswa. Sementara mahasiswa STMIK di Unsat Jakarta harus mengeluarkan biaya untuk penggunaan komputer. Jaminan lapangan kerja adalah problem berikutnya. Laporan UNDP 2004 tentang indeks pembangunan manusia (HDI) menempatkan Indonesia di peringkat 111 dari 174 negara, dengan beberapa indikasi dari akses pendidikan dan lapangan pekerjaan. Hanya 5,5 persen lulusan S1 dan Diploma yang tertampung di dunia kerja saat ini. Jika pun bekerja, hanya dihargai murah atau bekerja tidak sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya selama kuliah. Kualifikasi tenaga kerja yang rendah, tak terlepas dari orientasi pendidikan yang sekedar menciptakan tenaga kerja terdidik dan murah sesuai kepentingan modal asing di Indonesia. Rezim SBYKalla membiarkan pendidikan terus mahal, fasilitas kampus amburadul, mahasiswa terancam DO sepihak dan pengangguran yang merajalela. Rezim ini, adalah sasaran perlawanan dari perjuangan demokratis pemuda/ mahasiswa dalam menuntut haknya.


Gerakan Pembetulan : Bangkitkan Kembali Gerakan Massa Demokratis. Selama hampir 30 tahun, Indonesia mengalami pasangsurut gerakan massa demokratis. Gerakan massa demokratis adalah gerakan massa yang bertujuan menuntut pemenuhan hak-hak demokratis (hak sesial-ekonomi dan politik). Tahun 70an gerakan massa bangkit melalui beberapa momen seperti Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan Soeharto sebagai presiden tahun 1978. Represifnya negara memaksa gerakan massa tiarap. Tahun 80an gerakan massa bangkit lagi (ingat kasus Kedung Ombo, Badega, Nipah, dll), kemudian menghilang sesaat. Di masa akhir kekuasaan ORBA, kebangkitan gerakan massa muncul kembali. Puncaknya adalah dengan lengsernya Soeharto melalui gerakan reformasi ‘98. Pasca reformasi, gerakan massa demokratis terus berjalan, termasuk gerakan mahasiswa, meskipun dengan estimasi dan eskalasi yang masih minimalis. Persoalannya, hal ini belum terkonsolidasikan secara rapi. Aksi-aksi demokratis belum seluruhnya terpimpin oleh sebuah perjuangan yang bertujuan menghancurkan dominasi imperialisme dan sisa feodalisme di Indonesia. Upaya menarik dukungan massa yang luas, konsisten, serta menjaga kesatuan aksi dalam perjuangan hingga membangun organisasiorganisasi massa dari tingkat basis-nasional masih menjadi tugas besar gerakan massa demokratis di Indonesia. Sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, perjuangan demokratis nasional menjadi jalan perjuangan seluruh rakyat tertindas di Indonesia. Perjuangan demokratis nasional merupakan perjuangan dari seluruh nasion (klas, sektor, golongan dan kelompok) Indonesia yang anti Imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat. Surutnya perjuangan gerakan mahasiswa demokratis di kampus harus menjadi perhatian kita. Dengan berpegang pada garis bahwa perjuangan menuntut pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan adalah bagian dari perjuangan demokrasi nasional, maka tugas utama kita sekarang adalah membangkitkan lagi gerakan mahasiswa demokratis di kampus. Dalam kerangka pembangunan organisasi massa, maka garis organisasi ditempatkan pada prinsip-prinsip organisasi massa yang sejati. Sentralisme Demokrasi, Kepemimpinan Kolektif, Sistem Komite dan Garis Massa adalah prinsip-prinsip yang harus dijalankan secara teguh. Selanjutnya, tetap berupaya menghindari praktekpraktek revisionisme, opurtunisme dan liberalisme yang akan menghambat perjuangan massa. Ini adalah garis politik dan garis organisasi yang akan mempersatukan seluruh massa rakyat tertindas dan organisasi-organisasi massa dalam membangkitkan kembali gerakan massa demokratis. Gerakan Pemuda/Mahasiswa Patriotis, Demokratis dan Militan Tugas kita adalah membangun gerakan pemuda/ mahasiswa yang patriotis, demokratis dan militan. Pekerjaan ini akan kita lakukan untuk menjamin kemenangan perjuangan pemuda/ mahasiswa dalam memperjuangkan haknya. Patriotis menunjukkan semangat anti imperialisme. Patriotis bukanlah chauvinis, tetapi didasari rasa cinta tanah air yang telah dirampas imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri, siap membela rakyat dan teguh berjuang dengan tetap memegang semangat solidaritas internasional terhadap perjuangan rakyat tertindas di seluruh dunia melawan imperialisme. Demokratis artinya mempunyai semangat untuk melawan feodalisme dan klas reaksioner di dalam negeri. Sisi lain, adalah menekankan proses demokratis dalam tubuh organisasi gerakan massa tersebut.

Militan, mencerminkan konsistensi perjuangan dan keyakinan terhadap perjuangan massa sebagai satu-satunya jalan mencapai perubahan. Ormas pemuda/mahasiswa harus mendidik anggota dan massanya menjadi militan. Itu berarti, hak-hak demokratis pemuda mahasiswa hanya bisa didapatkan dengan jalan berjuang. Perjuangan yang ditempuh adalah perjuangan massa. Sebab perubahan merupakan “karya massa�. Massa adalah sumber ide sekaligus pelaksana dari perubahan yang diperjuangkan. nilah ciri gerakan pemuda/mahasiswa sejati. Ormas pemuda/mahasiswa tidak sekedar bertujuan menampung mahasiswa untuk menyalurkan hobby dan minatnya, memfasilitasi massa mendapatkan Indeks Prestasi (IP) tinggi di kampus, tetapi juga menyelesaikan persoalan-persoalan massa melalui jalan perjuangan, seperti biaya kuliah yang mahal, jaminan fasilitas kampus, dan lain-lain. Selanjutnya, siap bahu membahu dengan gerakan rakyat dalam perjuangan membebaskan negeri ini dari tiga musuh besar rakyat, yaitu imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat. Satukan Tindakan Betulkan Organisasi Kita menyadari bahwa FMN sebagai ormas mahasiswa belum sepenuhnya ideal sebagai sebuah ormas mahasiswa yang patriotis, demokratis dan militan. Kita masih harus mempelajari banyak hal secara teori dan praktek dalam berorganisasi dan berjuang. Untuk itu, upaya membetulkan beberapa hal yang masih keliru menjadi tugas bersama seluruh semesta FMN. Ada beberapa hal yang terkait secara politik dan organisasi harus dibetulkan secara serius. Di lapangan politik, hal-hal yang harus kita betulkan adalah : Pertama, meluruskan cara pandang yang keliru tentang pemisahan antara gerakan pemuda dan mahasiswa. Secara sosiologis, pemuda adalah mereka yang berusia kira-kira 15 hingga 35 tahun. Tersebar di perkotaan dan pedesaan. Pemuda perkotaan yang berkuliah, kemudian disebut mahasiswa. Pemuda berkuliah dan yang tidak berkuliah memiliki persoalan dalam hal jaminan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mereka banyak yang tidak berkuliah karena biaya pendidikan sulit dijangkau. Fenomena pengangguran juga dialami oleh pemuda yang tidak berkuliah. Untuk itu, harus dipahami bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan pemuda juga. Dan FMN, adalah organisasi massa pemuda di sektor mahasiswa. Belajar dari pengalaman, dimana sering terjadi aksi-aksi mahasiswa yang dipukul oleh pemuda pengangguran perkotaan atau pemukulan terhadap aktivis mahasiswa oleh pemuda kampung di sekitar kantor/sekretariat. Maka, penting bagi kita untuk berinteraksi dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Penting bagi kita mengorganisasikan pemuda non mahasiswa juga. Karena sesungguhnya mereka mendukung apa yang diperjuangkan oleh kita. FMN harus memulai mendekatkan dirinya dengan pemuda di luar mahasiswa melalui Program Pelayanan Massa. Pekerjaan ini terutama akan kita lakukan di sekitar wilayah kantor/sekretariat, kost-kostan kita, dan sekitar kampus kita. Selanjutnya menjalankan program 3 S (sama kerja, sama makan dan sama tinggal). Program ini bertujuan mendekatkan mahasiswa dengan kelas yang paling tertindas dan menjadi kekuatan pokok perubahan di negeri ini, yaitu buruh dan tani. Sehingga akan mengikis watak individualisme dan elitisme, serta menjadikan perjuangan mahasiswa segaris dengan perjuangan rakyat. Waktu liburan semester bisa kita manfaatkan untuk melaksanakan program 3 S di desa atau pemukiman buruh selama liburan


Kedua, tentang pekerjaan investigasi sosial dan analisis kampus (ISAK), kita akan menggiatkan kerja ISAK secara mendalam. Hal ini bertujuan agar kita mampu secara cepat memahami persoalan dan kebutuhan mahasiswa, kondisi dan situasi kampus serta lingkungannya. Prinsip yang penting dalam kerja ISAK ini adalah melakukan penilaian atas realitas kampus dan lingkungannya dengan berdasarkan pada analisa yang konkret atas situasi yang konkret. Metode yang digunakan bertalian erat dengan massa dan bertujuan mengetahui persoalan-persoalan massa serta mengambil jalan keluar untuk menyelesaikannya. Ketiga, aktif melakukan propaganda dan kampanye massa dengan didasarkan pada hasil ISAK dan garis perjuangan demokratis nasional. Kampanye massa akan menguji objektifitas hasil ISAK dan sejauh mana perjuangan kita didukung oleh massa mahasiswa serta elemen kampus. Karena kampus adalah basis kita, maka aktifitas kampanye massa akan semakin kita giatkan di kampus. Pekerjaan propaganda dan kampanye massa diarahkan untuk membangkitkan, menggerakkan, dan mengorganisasikan massa mahasiswa di kampus. Sehingga gerakan massa demokratis di kampus akan massif. Dalam lapangan organisasi, pembetulan yang dilakukan meliputi pelaksanaan prinsip sentralisme demokrasi, kepemimpinan kolektif, sistem komite dan garis massa, serta aspek langgam kerja yang menyangkut konsolidasi anggota dan ekspansi organisasi, aspek administrasi organisasi, hingga koordinasi. Langgam kerja yang dilakukan sejauh ini, belum sepenuhnya mencerminkan sentralisme demokrasi, kepemimpinan kolektif, sistem komite dan garis massa. Kerja-kerja konsolidasi kita belum cukup maksimal, mengingat tingkat partisipasi anggota dalam setiap aktifitas organisasi masih minim. Sentralisme Demokrasi (Sendem) adalah prinsip berorganisasi yang berdasarkan pada demokrasi yang dipusatkan dan kepemimpinan pusat yang berbasis demokrasi. Tujuannya agar terjadi kesatuan tindakan dari organisasi, sehingga tidak terpecah belah ketika harus mengambil tindakan nyata. Untuk menunjang terlaksananya prinsip tersebut, maka ada beberapa hal yang harus kita betulkan seperti, tidak rutinnya pelaporan kerja dan perkembangan organisasi dari bawah ke atas atau sebaliknya, keterlambatan pimpinan dalam mengatasi persoalan-persoalan di tingkat bawah, hingga persoalan yang menyangkut kesatuan aksi dalam pelaksanaan program. Juga tidak lupa, urusan peng-administrasian segala macam dokumen merupakan pekerjaan yang juga harus dirapikan karena untuk menunjang pekerjaan rapat dan pelaporan. Selanjutnya menjalankan Kepemimpinan Kolektif secara benar. Kepemimpinan Kolektif adalah metode memimpin yang tidak bertumpu pada segelintir tokoh atau perseorangan yang menonjol. Karena FMN bukan milik satu dua orang, tetapi organisasi kita milik massa sepenuhnya. Di dalam kepemimpinan kolektif terdapat tanggung jawab individu dan kolektif. Kebijakan yang diambil berdasarkan keputusan bersama. Dalam pelaksanaan, kolektif bertanggung jawab terhadap kebijakan yang diambil, sementara individu bertanggung jawab atas kewenangan kerja yang dilimpahkan. Dalam bekerja, kita menggunakan Sistem Komite. Sistem Komite merupakan sistem kerja harian organisasi, dimana terdapat pembagian-pembagian kerja dan keterlibatan anggota di dalam setiap bagian kerja organisasi. Namun bukan berarti sistem ini terpisahpisah. Pikiran-pikiran “departementalisme� harus dibuang jauh-jauh. contoh pikiran departementalisme adalah : mengatakan bahwa urusan pengorganisasian massa diserahkan sepenuhnya kepada departemen pengembangan organisasi (DPO) saja. Dari sisi

tanggung jawab kerja tidak salah, namun dari segi praktek pengorganisasian massa sangat keliru. Tugas setiap anggota FMN adalah membangkitkan, menggerakkan dan mengorganisasikan massa mahasiswa, terlepas posisinya Ketua, Sekjend, Agitprop atau Dana Usaha. Ketika di kampus, setiap anggota wajib berpropaganda, mendidik dan mengajak massa terlibat dalam organisasi, baik dalam bentuk kegiatan atau menjadi anggota. Garis Massa menjadi prinsip utama yang tidak bisa ditinggalkan. Garis massa merupakan prinsip yang melandasi semua pekerjaan sehari-hari. Prinsipnya adalah “dari massa untuk massa�. Sering muncul pertanyaan “kenapa program perjuangan kita sulit diterima massa di kampus? Ini yang harus kita betulkan. Sejauh mana kita melakukan investigasi sosial dan analisa kampus? Sejauh mana propaganda kita lakukan di kalangan massa? Massa memiliki berbagai kepentingan. Disinilah organisasi berperan memimpin perjuangan massa ke arah yang tepat. Dalam garis massa organisasi, khususnya pimpinan harus berpegang pada beberapa hal berikut ini, yaitu : mengerti kepentingan massa, memahami perasaan massa, mendengar suara massa, mempercayai dan menyimpulkan pikiran massa serta mengarahkan dan memimpin kehendak massa. Pembetulan juga dilakukan dalam kerja-kerja konsolidasi dan ekpansi organisasi. Dalam hal ini, mengkombinasikan kerja rekrutmen terbuka dan solid organizer (pengorganisasian solid). Kita memiliki pengalaman mampu merekrut anggota dengan jumlah yang besar, tetapi kemudian mengalami permasalahan dengan keaktifan anggota dalam berorganisasi. Mengapa? Jawabnya setelah menjadi anggota tidak dipersiapkan pengorganisasian solid didalamnya. Misalnya kita mampu merekrut 50 orang, selanjutnya mereka dibagi dalam grup-grup pengorganisasian berjumlah 5-7 orang. Grup-grup ini di koordinir oleh pimpinan organisasi. Dengan demikian konsolidasi anggota tetap terjaga, karena pimpinan organisasi langsung turun tangan dan melakukan aktifitas edukasi, propaganda dan pengorganisasian massa bersama anggota. Selanjutnya mentradisikan budaya merangkum pengalaman kerja kita (summing-up), menilai pekerjaan kita (assesment) dan Kritik Oto Kritik (KOK) dalam setiap kerja dan rapatrapat organisasi. Dalam KOK ada 3 hal yang harus diperiksa, yaitu periksa barisan, periksa organisasi dan periksa pimpinan/periksa diri. Periksa barisan adalah memeriksa keadaan anggota dan masa. Apakah anggota dan massa terkonsolidasikan atau tidak? Periksa organisasi berarti memeriksa kebijakan yang telah dilaksanakan apakah tepat dalam mengkonsolidasikan anggota dan massa. Sementara periksa pimpinan memiliki pengertian tentang apakah kepemimpnan telah dilaksanakan secara tepat, mengevaluasi kerjakerja yang dilakukan pimpinan secara kolektif ataupun individu. Kritik Oto Kritik sebagai cara untuk menyelesaikan kontradiksi internal organisasi, dilandasi dengan semangat persatuan-kritik-persatuan. Terakhir meningkatkan disipilin dalam bekerja. Usahakan kita memiliki jadwal kerja harian per orang, mencatat setiap agenda kerja yang telah dilaksanakan, mempersiapkan agenda-agenda pembahasan sebelum rapat, menepati waktu dalam rapat-rapat, diskusi, aksi massa dan lain-lainnya, bangun pagi, mengurangi kegiatan-kegiatan non produktif seperti berlama-lama main game, kongkow-kongkow, dll, serta meninggalkan perilaku-perilaku asosial seperti mabuk-mabukan dan sejenisnya. Itulah beberapa hal tentang “Gerakan Pembetulan� secara umum dan secara khusus di FMN. Mari satukan tindakan, kita betulkan organisasi menuju FMN baru yang patriotis, demokratis dan militan.


Kampus Di bawah Bayang-Bayang Re (Catatan Pengalaman FMN Dalam Mewujudkan Demo “Kami ini jualan disini. Kampus ini warung yang lengkap dengan segala macam menu dan ketentuan harga tetapnya tidak bisa ditawar. Siapa yang mau dan mampu bayar silahkan. Siapa yang tidak mau dan tidak sanggup bayar ya ndak usah disini. Cari warung lain atau makan sendiri di rumah “

U

capan di atas terlontar dari mulut seorang pejabat teras Universitas Negeri Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB), ketika berlangsung dialog antara mahasiswa dengan pihak pengelola kampus mengenai rencana kenaikan biaya SPP tahun ajaran 2004/05. Kisah ini berlanjut dengan dkeluarkan surat ancaman Drop Out (DO) kepada 3 anggota FMN yaitu Suhaimi, Reza Safetsila dan Rido Pratama atas keterlibanya dalam aksi demomstrasi mahasiswa menolak kenaikan SPP pada tanggal 30 Agustus 2004. Tanggal 1 Septemer 2004, Dekan fakultas hukum mengeluarkan ancaman pemecatan atas perintah Rektorat. Namun hal ini baru diketahui oleh ketiga anggota FMN tersebut pada tanggal 4 Sepetember 2004. Kawan-kawan yang terkena ancaman diminta melakukan klarifikasi (permintaan maaf) atau menerima pemecatan tanpa klarifikasi sampai tanggal 9 September 2004. kawan-kawan FMN bersikukuh untuk tidak melakukan klarifiaksi. Karena jika demikian, itu berarti mengiyakan apa yang dituduhkan pihak kampus bahwa mereka melakukan pencorengan nama baik kampus. Kawankawan FMN ini tidak melakukan pencorengan nama baik, mereka bersama massa mahasiswa hanya berupaya memperjuangkan hak-haknya sebagai mahasiswa di kampus. Untuk menekan gejolak massa di kampus, pihak birokrasi Unram menyebarluaskan berita ancaman DO ke seluruh kampus. Dengan harapan dukungan solidaritas terhadap ketiga anggota FMN

yang diancam DO tidak mengalir. Namun pihak birokrasi tidak bisa menahan kehendak massa. Surat protes atas kejadian ini dan dukungan terhadap ketiga kawan kita terus bergulir ke rektorat Unram. Dukungan tersebut datang dari seluruh Cabang FMN, elemen-elemen demokratis hingga tokohtokoh yang mendukung perjuangan FMN Di Mataram sendiri, peristiwa ini disikapi tanpa kegetiran sedikit pun oleh kawan-kawan FMN. Bertepatan dengan hari pemberantasan buta huruf Internasional 8 September 2004, dilakukan aksi demostrasi

memprotes keputusan pemecatan yang akan dilakukan oleh pihak kampus. FMN Unram, elemen-elemen demokratis dan massa mahasiswa turun bersama melakukan aksi massa. Tanggal 9 Spetembr 2004, forum untuk klarifikasi berubah menjadi forum pembatalan putusan DO ketiga anggota FMN. Satu kemenangan yang tentu saja cukup membanggakan. Kemengangan kecil kawan-kawan di Mataram tidak terlepas dari militansi perjuangan, dukungan massa mahasiswa, dan elemen demokratis. Kemenangan ini membuktikan bahwa perjuangan massa lah yang mampu melahirkan perubahan. Tanggal 14 September 2004, datang kabar dari Jombang tentang

pemecatan 3 anggota FMN STAIBU oleh pihak kampus STAIBU. Mereka adalah Nur Maliki, Imam Tauhid dan Taufiq Hasubullah. Sementara seorang lagi, yaitu Imroatul Azizah mendapatkan ancaman DO secara lisan. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah anggota FMN yang di DO bertambah menjadi 6 orang, yaitu Sumanto, Nur Cholilah dan Imroatul Azizah yang semula hanya di ancam akan di DO. Ke enam anggota FMN ini dipecat tanpa alasan yang cukup ilmiah. Mereka dituduh melakukan pelanggaran tertib administrasi, melanggar kesopanan dan aktif sebagai pengurus FMN. Dua orang kawan (Nur Maliki dan Imama Tauhid) yang teridentifikasi melakukan pelangaran tata tertib administrasi, sesungguhnya telah meminta keringanan dispensasi pembayaran SPP. Mereka meminta dispensasi karena kondisi keuangan keluarga yang sedang kritis. Namun pihak STAIBU tetap bersikeras untuk tidak memberikan dispensasi. Alasan melanggar kesopanan tidak memiliki bukti hukum yang mengatur mengenai hal ini. Alasan ketigalah yang mendasari pemecatan terhadap 6 anggota FMN di STAIBU. Dari keterangan yang diterima, pemecatan selalu dihubungkan dengan keaktifan mereka di FMN. Kawan-kawan yang dipecat bisa tetap berkuliah, jika mereka bersedia melepas bajunya sebagai anggota FMN. Tindakan ini jelas melanggar UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak untuk menikmati pendidiikan dan memiliki kebebasan berserikat. Upaya advokasi terhadap kawankawan FMN yang dipecat tidak pernah berhenti. Di Jombang, kawan-kawan FMN Jombang dengan dukungan dari kawankawan FMN Jatim terus melakukan aksi demonstrasi menuntut pencabutan keputusan DO oleh pihak STAIBU. Kawan-kawan di Jombang bahkan sempat melakukan dengar pendapat (hearing) dengan pihak DPRD Jombang. Namun langkah penyelesaian yang dilakukan DPRD justru mengecewakan.


DPRD Jombang melakukan penyelesaian di bawah tangan, bukan secara kelembagaan. Hasilnya, keenam anggota FMN yang dipecat bisa tetap berkuliah, jika tidak terlibat lagi dalam kegiatan FMN dan menaati segala peraturan di STAIBU Pimpinan Pusat FMN juga berupaya melakukan advokasi dengan meminta dukungan solidaritas dari berbagai Cabang FMN di Indonesia dan beberapa elemen demokratis yang ada. Pressure lewat surat protes yang dilayangkan ke pihak STAIBU, ternyata tidak digubris sama sekali. Terakhir upaya advokasi melalui Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnasham) dibalas oleh pihak STAIBU dengan mengatakan bahwa kasus yang menimpa 6 anggota FMN STAIBU Jombang telah ditutup alias dibekukan. Tindakan dari pihak pengelola STAIBU ini, mencerminkan arogansi, kepicikan berpikir dan mentalitas birokrat yang anti rakyat sekaligus anti demokrasi. Ke-blinger-an pengelola STAIBU semakin nyata dengan intimidasi yang dilakukan terhadap anggota FMN lainnya. Anggota FMN yang tidak di DO, terus menerus dipaksa melepaskan keanggotaan dari FMN. Kondisi tersebut sangat mempengaruh psikologis kawan-kawan yang kini begitu tertekan. Pihak STAIBU juga menghembuskan isu bahwa FMN telah mencoreng nama baik almamater dengan aktifitas yang dilakukan. Dua orang yang di DO (Taufik Hasubullah dan Nur Cholilah) terpaksa harus mutasi ke kampus lain, karena terus didesak untuk dengan alasan mencoreng nama baik kampus. Beberapa kawan yang lain tetap mencoba bertahan, walaupun intimidasi dan represi terus membayangi. Imroatul Azizah misalnya, tidak dimasukkan namanya dalam daftar absen kuliah meskipun tetap berkuliah. Blangko pembayaran yang dimilikinya juga disita oleh pihak STAIBU, sehingga tidak bisa melakukan heregistrasi. Lagi-lagi alasan Pihak STAIBU mengenail ini, karena yang bersangkutan tetap aktif di FMN. Gila, kejam dan keterlaluan! Itulah ungkapan tepat untuk menilai tindakan yang dilakukan pihak pengelola STAIBU terhadap kawan-kawan FMN STAIBU Jombang. Langkah terkahir dari penyelesaian kasus ini, kemungkinan besar akan ditempuh melalui jalur hukum. Upaya-upaya persuasif yang telah dicoba, ternyata tidak mendapatkan respon positif dari pihak STAIBU. Sebaliknya, kampus semakin gencar melakukan tidakan represif terhadap anggota-anggota FMN STAIBU. Jika langkah ini terealisasi, maka dukungan dari seluruh anggota FMN di 18 Kota di Indoesia sangat berarti. Upaya hukum yang akan kita lakukan sekaligus mencoba membuktikan dimana sesungguhnya hukum dan keadilan berpihak. Bagi kawan-kawan FMN STAIBU tetap tegar di garis perjuangan yang telah dikobarkan. Tidak perlu takut, jika kita berdiri di atas garis massa. Karena kebenaran sesungguhnya terletak pada garis massa. Untuk seluruh anggota FMN yang lain, mari belajar dari pengalaman kawan-kawan FMN STAIBU yang memiliki militansi dalam berjuang. Dukungan terhadap perjuangan kawan-kawan kita ini juga harus tetap diberikan dalam bentuk apapun. Represifitas kampus juga dialami oleh kawan-kawan FMN Unsat Jakarta. Tanggal 13 Oktober 2004 di kampus Unsat Cengkareng, diadakan pentas musik pendidikan murah yang diselenggarakan

oleh FMN Unsat. Kegiatan ini terhenti di tengah jalan, karena diboikot oleh pihak kampus. Pihak Kampus memang tidak berniat agar acara ini sukses. Dari pengakuan panitia penyelenggara, acara yang seharusnya dibuka pukul 15.00 terpaksa molor dua jam karena terjadi tarik menarik pendapat mengenai penggunaan listrik. Ketika acara sedang berlangsung, penanggung jawab acara dipanggil ke kantor adminstrasi dan diminta segera membubarkan acara. Kawankawan meminta agar ada penambahan waktu sekitar dua jam, karena mahasiswa mulai berdatangan dan sedang menikmati pertunjukkan. Belum sejam acara berjalan, tiba-tiba aliran listrik dipadamkan dan pihak kampus menyatakan bahwa acara tersebut dibubarkan. Dengan arogannya, pihak kampus berucap bahwa di kampus ini hanya boleh ada organisasi intra kampus. Organisasiorganisasi ekstra kampus seperti FMN dilarang keberadaannya di kampus. Ucapan ini, sangat mengecewakan kawan-kawan FMN dan sempat berdampak pada melemahnya semangat kawan-kawan FMN dalam beraktifitas di Kampus. Upaya mengucilkan FMN oleh pihak kampus semakin gencar dilakukan dengan mempropagandakan FMN melalui stigmaisasi ala orde baru. Namun di tengah represifitas yang cukup tinggi, kawan-kawan FMN Unsat secara perlahan mulai menata kembali organisasi di kampus. Pelajaran berharga dari pengalaman kawan-kawan FMN di atas adalah bahwa represifitas kampus tidak akan pernah menghalangi ataupun menghentikan perjuangan FMN dalam mewujudkan demokratisasi kampus yang menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi serta ketrlibatan mahasiswa dalam pengambilan kebijakan di kampus. Apapun bentuk represifitas terhadap FMN dan massa mahasiswa, bukanlah alasan bagi FMN untuk tidak memimpin perjuangan massa maahasiswa di kampus dalam meununtut hak-hak demokratisnya. Demokratisasi Kampus = Kedaulatan Mahasiswa Kisah perjuangan kawan-kawan FMN di atas, menunjukkan bahwa kedaulatan mahasiswa di kampus masih tercabikcabik oleh represifitas birokrasi kampus. Kampus yang tidak demokratis, tidak akan mampu menumbuhkan dinamika kampus yang menghargai pluralisme, perbedaan pendapat, kekritisan, dan partispasi mayoritas. Untuk itulah, perjuangan mewujudkan demokratisasi kampus sangat penting bagi mahasiswa dan FMN. Mahasiswa adalah donatur terbesar bagi kas keuangan birokrasi kampus. Sudah seharusnya jika aspirasi dan kepentingan mahasiswa lebih diutamakan. Kenyataannya tidak demikian. Mahasiswa terus didorong sebagai mesin pencetak uang yang produktif bagi kampus. Sementara peran mahasiswa di kebiri sekedar belajar dan menerima pengetahuan yang belum tentu juga mampu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Inlah ketimpangan hubungan yang terjadi antara mahasiswa dan birokrasi kampus. Demokratisasi sangat menekankan pentingnya tingkat partisipasi dan kesetaraan di antara sesama. Apsek partisipasi dan kesetaraan juga dibutuhkan dalam mewujudkan kehidupan kampus yang demokratis (baca : demokratisasi kampus). Perjuangan mewujudkan demokratisasi


kampus adalah perjuangan untuk memenuhi hak-hak demokratis (hak-hak dasar) secara sosial ekonomi dan politik di kampus. Hakhak tersebut adalah hak mendapatkan layanan pendidikan yang layak (fisik dan non fisik), kebebasan berpendapat dan berorganisasi di kampus, hak terlibat dalam menentukan kebijakan di kampus, dari pengelolaan kampus serta kesetaraan antara birokrasi kampus dengan mahasiswa. Hak mahasiswa untuk mendapatkan jaminan pendidikan yang layak, berbicara mengenai tanggung jawab pengelola kampus memberikan jaminan fasilitas yang layak dan kemudahan bagi mahasiswa dalam persoalan akademis lainnya. Kelas yang terbatas, WC bau dan mampet, sarana olahraga yang terbatas, kurangnya OHP, minimnya laboratorium, kemudahan dalam dispensasi hingga persoalan dosen sering dijumpai di kampus-kampus. Biaya mahal yang dikeluarkan ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan fasilitas kampus. Bukankah ini tidak adil? Kebebasan berpendapat dan berorganisasi berarti bahwa kampus menjamin kebebasan mahasiswa dalam menuangkan atau menyuarakan ide-ide dan kekrtiisannya, baik dalam proses belajar mengajar dan menyikapi persoalan-persoalan sosial ekonomi dan politik di kampus. Kebebasan berorganisasi akan mendorong tumbuhnya dinamika kampus, sehingga ruang perdebatan, kajiankajian ilmiah dan pluralisme lebih terbuka. Hal ini belum sepenuhnya terlaksana. Masih sering ditemukan mahasiswa yang di ancam DO, nilai jelek dan terkena hukuman presensi, hanya karena mengkritisi dosen, menyikapii persoalan kampus atau aktif di organisasi yang dianggap menggangu stabilitas kampus. Praktek selama ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan tiba-tiba saja muncul tanpa sepengetahuan dan sosialisasi terlebih

Perl awanan Jokes Corner

dahulu kepada mahasiswa. Untuk itu, mahasiswa juga berhak menentukan kebijakan di kampus. Hal ini merupakan upaya meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam mengontrol penyelenggaran pendidikan di kampus. Dengan demikian, mahasiswa bisa mengetahui arah kebijakan kampus dan sejauh mana pihak kampus berupaya memenuhi hak-hak mahasiswa. Kesetaraan antara mahasiswa dan birokrasi kampus menjadi persolaan yang sangat urgen. Meskipun NKK/BKK telah dihapus, namun prakteknya masih terlihat nyata. Birokrasi kampus tetap saja represif terhadap mahasiswa dalam rangka membatasi ruang gerak mahasiswa Peran Pembantu Rektor III (Purek III) dan Pembantu Dekan III (PD III) masih mendominasi terhadap mahasiswa. Seharusnya mahasiswa sejajar posisinya dengan birokrasi kampus. Namun kenyataan berkata lain. Hubungan birokrasi kampus dengan mahasiswa tidak jauh berbeda dengan hubungan antara majikan dan pembantu. Bedanya, majikan di kampus dibayar oleh pembantunya. Kesetaraan yang dimaksudkan adalah kesetaraan secara kelembagaan dan individu. Secara kelembagaan bagaiamana mendorong lembaga kemahasiswaan yang independen, terlepas dari kooptasi kepentingan birokrasi kampus. Kesetaraan secara individu, berbicara mengenai tidak adanya perlakuan diskriminasi terhadap mahasiswa oleh birokrasi kampus. Mahasiswa juga memiliki hak sosial-ekonomi dan politik yang sama dengan birokrasi kampus Walaupun demokratisasi kampus masih menjadi sebuah cita-cita. Namun perjuangan mewujudkan demokratisasi kampus sesungguhnya secara terus menerus telah dilakukan oleh mahasiswa dan secara spesifik dilakukan juga oleh FMN. Ancaman represifitas tidak akan menghalangi perjuangan massa mahasiswa dan FMN untuk mewujudkan demokratisasi kampus. (Tomi/Burhan)

Reformasi & Demo Pada masa orde baru dimana posisi kepala negara masih dipegang oleh presiden soeharto banyak mahasiswa dari segala penjuru indonesia melakukan demonstrasi menuntut adanya reformasi, salah satu mahasiswa dengan bertelanjang bulat berteriak-teriak di depan istana negara: “Soeharto Babi... Soeharto Babi...”. mahasiswa itupun segera diamankan dan divonis penjara 50 tahun. 2 tahun karena mengganggu ketertiban umum dan 48 tahun karena membocorkan rahasia negara. Neraka Seorang warga Indonesia meninggal dan menuju ke neraka. Di sana ia mendapatkan bahwa terdapat neraka yang berbeda-beda bagi tiap negara. Pertama ia ke neraka Jerman dan bertanya: “Kalian diapain aja di sini?” Jawab mereka: “Pertama-tama, kita didudukkan di atas kursi listrik selama satu jam. Lalu ada yang membaringkan kita di atas ranjang paku selama satu jam lagi. Lalu, setan Jerman muncul dan memecut kita sepanjang sisa hari.” Karena kedengarannya

tidak menyenangkan, sang orang Indonesia menuju tempat lain. Ia coba melihat-lihat bagaimana keadaan di neraka AS dan neraka Rusia, dan banyak lagi. Ia mendapatkan bahwa kesemua neraka-neraka itu kurang-lebih mirip dengan neraka orang Jerman. Setiap orang mendapat perlakuan serupa, disiksa di kursi listrik, dibaringkan di ranjang paku,lalu dipecut sepanjang hari. Akhirnya ia tiba di neraka Indonesia, dan melihat antrian panjang orang yang menunggu giliran ingin masuk ke sana. Dengan tercengang ia bertanya: “Apa sih hukuman yang diberlakukan disini?” Ia memperoleh jawaban: “Pertamatama, ada yang mendudukkan kita di stas kursi listrik selama satu jam. Lalu ada yang membaringkan kita di atas ranjang paku selama satu jam lagi. Kemudian setanIndonesia muncul dan memecut kita selama sisa hari.” “Tapi itu persis Sama dengan neraka-neraka yang lain, kan? Lantas kenapa dong begitu Banyak orang ngantri pengen masuk ke sini?” “Disini maintenance-nya payah banget, kursi listrik pada nggak nyala,ada yang mencuri seluruh paku dari ranjang paku, dan setannya adalah mantan pegawai negeri, jadi ia cuma datang, tandatangan absen, lalu pergi ke kantin......!”


G

empa bumi dan tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 mustinya tidak perlu memakan korban jiwa sebesar saat ini. Pada tanggal 12 Januari 2005 saja tercatat 106.523 orang meninggal dunia, lebih dari 12.047 orang hilang dan 694.760 mengungsi. Jumlah orang meninggal semakin bertambah setiap hari hingga Februari 2005. Hal ini terjadi karena rezim SBY-Kalla terlalu bebal dan tidak pernah belajar mengenal keadaan alam dan rakyat Indonesia. Rezim SBY-Kalla tidak punya pengetahuan yang cukup tentang alam dan masyarakat Indonesia khususnya tentang Aceh, sehingga merasa tidak penting untuk memiliki teknologi yang dapat memberikan peringatan dini pada rakyat tentang kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami. Rezim hari ini tidak mau belajar dari sejarah, bahwa di tempat yang sama dan berpuluh tempat lainnya di Indonesia sangat labil gempa bumi dan tsunami, karena secara geografis berada di atas tiga lempengan besar dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut terdiri beberapa lajur patahan yang setiap saat menciptakan gempa yang sangat dahsyat. Pemerintah RI hanya punya nafsu menguasai sebuah daerah tanpa perlu memikirkan perlindungan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Mereka hanya punya nafsu besar mempertahankan Aceh dalam wilayah republik, tanpa memikirkan nasib rakyat Aceh dari tikaman bencana alamdan tikaman sosial yaitu kemiskinan. Bencana alam bukan pertama kalinya terjadi di negeri ini. Puluhan kali

gunung meletus, gempa, tsunami, ratusan kali banjir, ratusan ribu nyawa melayang, namun pemerintah masih berkelit dan menunjukan kebebalannya dengan mengatakan tidak punya pengalaman menangani bencana sebesar yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Serta tidak malu mengatakan tidak memiliki peralatan dan dana yang memadai untuk menangani bencana. Alam kita masih seperti yang dulu, bergunung-gunung, berawa-rawa dan hutan yang lebat, bila putus sebuah jembatan masih terbuka udara kita, jika tertutup udara masih terbuka lebar sungai, danau dan lautnya. Kenapa Rezim SBY-Kalla beberapa waktu yang lalu masih mengatakan bahwa susah sekali untuk membuka daerah-daerah yang terisolir? Kenapa tidak dari dulu menyiapkan diri dengan peralatan-peralatan khusus untuk membuka daerah-daerah yang sukar dijangkau dari pada menumpuk Volvo, Mercedez Benz, dan korupsi di kota? Butuh berapa gempa dan tsunami lagi agar pemerintah belajar menyelamatkan nyawa manusia dengan cepat dan tepat. Rakyat Indonesia punya pengalaman pahit dengan bencana dan pemerintah tahu persis akan hal itu. Apabila dari segudang pengalaman itu kita belajar dengan baik, maka kita sekarang sudah memiliki pengetahuan dan teknologi yang cukup untuk mengantisipasi hal tersebut. Sayang negeri ini selalu dipimpin oleh borjuasi komprador dan tuan tanah yang menjelma menjadi kapitalis birokrat sehingga terlalu keras kepala untuk sekedar belajar melindungi rakyat dari bencana. Lima kesahan fatal rezim SBY-Kalla dalam menangani Gempa dan Tsunami Di tengah kerja keras banyak kalangan yang membantu rakyat Aceh muncul pertanyaan: Apa yang telah dan akan dilakukan oleh rezim SBY-Kalla dan seluruh jajaran aparaturnya untuk menangani gempa dan tsunami? Pertanyaan ini teramat penting, sebab kerja pemerintah beserta aparaturnya dalam

memimpin pekerjaan penanggulangan atas bencana sejauh ini tidaklah sekeras dan senekad keinginan mereka mempertahankan Aceh sebagai bagian utuh dari Republik ini. Aparatnya di lapangan lamban dalam bekerja, bahkan sering dijumpai melakukan kejahatan yang menghambat mobilisasi tenaga dan dana bantuan. Hal ini menyebabkan banyak korban masih hidup tidak tertolong lagi. Pemerintah lebih banyak mengeluh dari pada bekerja membantu korban dan secara sengaja maupun tidak melakukan tindakan yang menghambat proses pertolongan atas korban, seperti memaksa mensentralkan bantuan di institusi militer dengan alasan takut jatuh ke tangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menghabiskan banyak waktu untuk mempersoalkan kehadiran relawan yang tidak secara formal mendaftarkan diri di institusi pemerintah. Aparatur pemerintah yang ada tidak membuat masalah menjadi mudah, bahkan mencari-cari kesalahan dengan maksud menguatkan otoritasnya. Padahal dalam kenyataan mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dalam hal memimpin penanganan gempa dan tsunami rezim SBYKalla terbukti mempunyai lima kesalahan fatal. Apa itu ? Mari kita uraikan satu persatu. Pertama, sangat lambat membuka daerah-daerah yang terisolir dan lamban dalam memobilisir tenaga (termasuk satuan TNI) dan peralatan taktis lainnya sehingga menghambat upaya pertolongan terhadap korban yang masih hidup. Hal ini telah menyebabkan membengkaknya korban meninggal dunia dan semakin parahnya keadaan beberapa korban yang terluka. Termasuk beberapa tindakan aparat yang melarang pihak sipil, kecuali wartawan memasuki daerah-daerah tertentu dengan alasan keamanan, padahal mereka sendiri tidak bertindak apa-apa untuk mempercepat pekerjaan. Sampai hari ke tujuh pasca gempa dan tsunami terjadi, beberapa daerah tertentu yang masih terisolir tidak segera dibuka jalurnya. mereka memaksakan jalan darat, padahal dengan menggunakan


helikopter dan alat angkut lainnya, bahan makanan dan obat-obatan dapat dijatuhkan termasuk penerjunan oleh TNI dan sukarelawan lainnya. Dapat dikatakan mobilisasi tenaga militer untuk bencana alam sangat lamban dibandingkan mobilisasi pasukan untuk menggempur GAM. Kedua, pembangunan tempat pemukiman sementara atau kamp pengungsi dan rumah sakit darurat sangat lamban, sehingga memperparah keadaan pengungsi terutama orang-orang tua, perempuan, anak dan bayi yang membutuhkan perawatan khusus. Pemerintah masih kebingungan menetukan pusat penampungan. Dari pemberitaan media, 27 kamp yang berhasil dibangun jauh dari syarat-syarat kesehatan karena penuh genangan air, tidak steril dari bau mayat dan sangat jauh dari jangkauan sumber logistik karena pihak pemerintah (dalam hal ini TNI) memaksakan bantuan terkonsentrasi di institusi militer. Hingga saat ini problem ini belum bisa dipecahkan, apalagi dengan bertambah lebatnya hujan yang datang, kamp pengungsi menjadi masalah pokok yang harus menjadi perhatian. Ketiga, pemerintah tidak memiliki politik anggaran untuk bencana. Mereka tidak menghitung dengan cermat dan tepat berapa keperluan darurat bagi korban-korban bencana agar dapat bertahan hidup. Berapa jumlah makanan, minuman, obat-obatan, dan pakaian yang dibutuhkan oleh pengungsi. Berapa kebutuhan lainnya seperti tenaga perawat , dokter, terapis, dan lain sebagainya. Dalam membuat perkiraan atas pemenuhan pendanaan darurat dan rekontruksi, pemerintah kenyataanya tidak memberikan prioritas atas pendanaan keadaan darurat. Akibatnya dana darurat yang seharusnya lebih cepat pemenuhannya dari pada dana rekonstruksi menjadi terhambat. Keempat, ketika ribuan relawan sibuk menghitung mayat untuk dikuburkan, rezim SBY-Kalla justru sibuk menghitung proyek yang bisa diraih dari bencana Aceh. Di Jakarta, rezim SBY-Kalla mengemas bencana yang menelan ratusan jiwa itu ke dalam dokumen-dokumen proposal permohonan bantuan yang siap edar. Dari kantor menteri negara PPN / Bapenas yang dikepalai Sri Mulyani, disusun proposal yang intinya permohonan bantuan untuk mengatasi pendanaan guna penanganan bencana gempa dan tsunami. Sri Mulyani yang pernah menjadi antek International Monetary Fund

(IMF) untuk kawasan Asia Pasifik, mengajukan beberapa rencana penanggulangan yang terdiri tiga fase penanganan, yaitu fase darurat, rekonstruksi, dan fase rehabilitasi. Dalam tulisannya di Kompas edisi 17 Januari 2005, Sri Mulyani menyebutkan butuh angka 377 juta dolar AS untuk 6 bulan fase pertama keadaan darurat, angka itu belum termasuk program pangan, dan pendanaan untuk merelokasi penduduk. Sampai saat ini, Indonesia masih mengharapkan realisasi pendanaan hasil KTT Tsunami yang dihadiri 25 negara di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2005 lalu. Padahal bila kita belajar dari pengalaman bencana-bencana besar yang terjadi di masa lalu, realisasi bantuan biasanya hanya setengah dari komitmen bantuan yang diutarakan. Selain itu, bantuan yang terkumpul pun tidak semuanya berbentuk hibah. Australia misalnya, mengalokasikan dana sekitar 750 juta dolar AS, namun hampir setengahnya adalah bantuan berbentuk hutang. Singkatnya, bantuan yang mereka janjikan belum konkret dan tidak sepenuhnya ikhlas untuk mengatasi masalah kemanusiaan akibat gempa dan tsunami. Bagi negara imperialis, bantuan merupakan media untuk mengeksploitasi sebuah negeri. Kehancuran infrastruktur yang paling tidak membutuhkan biaya rehabilitasi lebih dari Rp 10 trilyun adalah proyek yang menggiurkan bagi perusahaanperusahaan infrastruktur milik negara-negara imperialis. Di samping itu, kepentingan untuk memperoleh dan memperkuat konsesikonsesi pertambangan seperti eksplorasi mineral dan kekayaan alam juga menyisip dan beredar di seputar pelaksanaan KTT. Dengan konsekwensi yang merugikan rakyat Indonesia ke depan tersebut, pemerintah masih ngotot meminta bantuan melalui forum Consultative Group on Indonesia (CGI) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 19-20 januari 2005 lalu. Sampai tulisan ini dibuat rezim boneka SBY-

Kalla masih bernafsu menggalang dana dan bantuan seluas-luasnya terutama dari negeri-negeri imperialis tanpa menjelaskan seberapa besar kebutuhan mendesak rakyat kita yang menjadi korban dari hari-ke hari. Kelima, beberapa kejahatan yang muncul ditengah-tengah kesengsaraan rakyat seperti perdagangan anak dan perempuan, penipuan, korupsi dana bantuan, penjarahan, dan pemalakan dilakukan oleh aparat dilapangan terhadap truk-truk dan pesawat pembawa batuan dengan alasan untuk penjagaan keamanan, serta masuknya militer asing tanpa kontrol yang jelas dari pemerintah tidak bisa ditangani oleh rezim SBY-Kalla secara tepat dan cepat. Rezim SBY-Kalla harus bertanggungjawab atas bencana gempa dan tsunami Melihat beberapa carut marutnya penanganan gempa dan tsunami di Aceh oleh rezim SBY-Kalla, serta beberapa kebijakan yang dilakukan yang pada dasarnya kontra produktif dengan kepentingan korban bencana dan seluruh rakyat yaitu : meminta hutang luar negeri dan di lain sisi secara pengecut tidak berani meminta penghapusan hutang. Seharusnya pemerintah mengakui bahwa mereka telah lalai karena tidak memperhatikan pentingnya antisipiasi terhadap bencana alam baik tsunami, gempa bumi maupun banjir yang sudah menjadi agenda rutin alam Indonesia, yang memang rentan bencana. Pemerintah harus mau mengakui dan bertanggungjawab bahwa karena kelambanan mereka dengan alasan dana, tenaga dan peralatan, telah menyebabkan membengkaknya jumlah korban meninggal, dalam bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Pemerintah harus segera menghentikan beberapa kebijakan yang membawa bangsa Indonesia kepada cengkraman imperialisme yang semakin parah yaitu meminta hutang baru dan investasi atas nama gempa bumi dan tsunami baik melalui hubungan bilateral, multilateral ( CGI, Bank Dunia, ADB, IMF, dll). Segera menghentikan investasi asing dan mega proyek yang akan dibangun di atas tanah rakyat seperti jalan tol, pelabuhan, tambang, pembangkit listrik, dan lain sebagainya. Caracara seperti ini adalah cara lama yang dilakukan Orde Baru(Redaksi)


M

ulai dari Soeharto sampai SBY-Kalla, kekuasaan dibangun berdasarkan konsesi dengan kaum Imperialis, khususnya imperialis AS. Imperialis sangat membutuhkan sumber kekayaan alam, tenaga kerja murah dan pasar bagi produk imperialis di Indonesia. Ketika Pemerintahnya merupakan kaki tangan imperialis sudah barang tentu kebijakannya sejalan dengan kepentingan imperialis. Sudah dapat dirasakan oleh rakyat bagaimana pemerintah secara sepihak mencabut subsidi, merepresi gerakan demokratik, menjadikan pendidikan sebagai industri dengan menetapkan UU Sisdiknas, dan berbagai kebijakan lain yang anti rakyat. Semakin hari rakyat makin tersadarkan. Saat ini hampir di seluruh wilayah Indonesia rakyat bangkit dan menuntut haknya. Dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) pun ikut menjadi bagian dalam gerak perlawanan rakyat. Hari Ham Internasional 10 Desember 1948 Piagam Hak Asasi Manusia (Declaration Of Human Rights) ditandatangani oleh PBB. Deklarasi ini berisikan tentang hak untuk mendapatkan hidup yang layak, hak untuk hidup merdeka, hak untuk mendapatkan pelayanan sosial oleh negara, dll. Di Indonesia sendiri, pemerintah belum mampu memenuhi hak-hak dasar rakyat. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi rakyat menjadi tontonan sehari-hari. Penyerobotan lahan pertanian, penggusuran pemukiman rakyat, penculikan dan pembunuhan para aktivis, pendidikan yang tidak terjangkau oleh masyarakat, serta buruh yang harus mengalami kemiskinan akibat upah yang tidak layak. Berdasarkan atas kondisi Indonesia hari ini, FMN melakukan aksi dengan memakai momentum Hari HAM Internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2004 dengan tuntutan kepada rezim SBY-Kalla Untuk memenuhi hak-hak demokratis rakyat, beberapa cabang tersebut yaitu : Palembang, FMN cabang Palembang menggelar aksi untuk memperingati hari HAM yang diikuti oleh 50

orang anggotanya. Peserta aksi membuka aksinya di monumen cinde kemudian aksi dilanjutkan menuju Kantor Gubernur.Aksi kemudian ditutup di kantor DPRD Palembang dengan pembacaan pernyataan sikap oleh kawan Wira (Koordinator Komite Persiapan Cabang Palembang) di depan ketua komis A DPRD sumsel. Bandar Lampung, 60 orang mahasiswa yang tergabung dalam GERAM (Gerakan Rakyat Marjinal) mengadakan aksi menuntut dipenuhinya hakhak dasar rakyat. Geram terdiri dari FMN Cabang Bandar Lampung, GmnI Lampung dan PMKRI. Aksi dibuka di Universitas Lampung pada pukul 10.00 Wib, Kemudian massa aksi melanjutkan aksi ke kantor DPRD Lampung. Ketika berada di DPRD, M. Yanuar Maulid (Ketua FMN Cabang Bandar Lampung) dan Andi (GMNI) melakukan hearing dengan perwakilan dari DPRD Lampung. Aksi Ditutup dengan pembacaan sikap oleh kordum aksi. Malang, KARD ( Komite Aksi Rakyat Demokratis ) yang terdiri dari FMN Cabang Malang, SBSI, PMII, PMKRI, dan SBDM mengadakan longmarch dengan rute Stadion Gajayana menuju DPRD Malang. Aksi ini diikuti oleh 50 orang peserta aksi. Aksi ditutup di Hotel tugu dengan pembacaan pernyataan sikap. Jakarta, FMN tergabung di Komite Aksi Bersama (KAB) yang terdiri dari FMN, FPPI, GMNI, PMII, dan FAM UIN. Aksi KAB dipusatkan di istana negara dan diikuti oleh 50 orang peserta aksi. Selain aksi di beberapa kota diatas, Cabang FMN yang lain juga mengadakan aksi yang serupa. BBM Naik, Rakyat Berlawan Pemerintah rencananya akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM, akan dibarengi dengan naiknya harga barangbarang kebutuhan pokok. Hal ini diperparah dengan tingkat inflasi pada awal tahun 2005 yang mencapai 1,43%. Dapat dibanyangkan beban yang harus ditanggung oleh rakyat akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Kebijakan menaikan

harga BBM adalah kebijakan yang anti rakyat. Melihat fakta yang terjadi hari ini, Pimpinan Pusat FMN menyerukan kepada seluruh cabangnya untuk berbareng bergerak bersama elemen rakyat lainnya menuntut : Pertama, Menolak kenaikan harga BBM. Kedua, Menolak pencabutan subsidi sosial untuk rakyat, seperti BBM, listrik, telepon pendidikan dan kesehatan. Ketiga, Sita aset-aset kekayaan koruptor untuk subsidi sosial. Keempat, Hentikan privatisasi BUMN-BUMN. Kelima, Hapus utang lama dan tolak utang baru. Dan Keenam, putuskan hubungan kerjasama dengan negaranegara imperialis AS dan sekutunya serta lembaga-lembaga perdagangan dan donor internasional, yaitu WTO, IMF, Bank Dunia (World Bank), CGI dan Paris Club. Beberapa cabang dengan cepat merespon seruan tersebut. Pada tanggal 27 Desember 2004 35 Orang anggota FMN Cabang Bandar Lampung bergerak untuk menolak kenaikan BBM dengan rute Bundaran Pasir Gintung menuju Plaza Artomoro. Di Lampung, FMN, menjadi organisasi yang pertama kali menolak kenaikan BBM. CGI Sidang, FMN Menghadang Pada tanggal 19-20 Januari 2005 pemerintah RI mengadakan pertemuan dengan CGI (Colsultative Group on Indonesia) di Jakarta. CGI merupakan sebuah forum gabungan negara donor seperti Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Inggris, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Swedia, Amerika Serikat, serta berisikan lembagalembaga diantaranya Asian Development


Bank (ADB), International Monetary Fund (IMF), dan Wolrld Bank. Dalam pertemuan tersebut Indonesia mendapatkan kuncuran hutang baru. Padahal kita semua tahu konsekuensi dari hutang luar negri yaitu liberalisasi ekonomi, privatisasi BUMN, dan pencabutan subsidi bagi rakyat. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, hutang hanya akan menyengsarakan rakyat. Melihat hal ini, FMN tidak tinggal diam. Di Jakarta, FMN bersama AGRA, STN, SPP, FPPI, KM-AI, KAU, Warga bojong dan Warga Indramayu mencoba menghadap sidang CGI di Jakarta dengan memakai nama Front Anti Imperialisme (FAI). Aksi FAI dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2005 dengan rute bundaran Hotel Indonesia menuju gedung Bank Indonesia. Aksi ini diikuti oleh 1000 massa aksi yang menuntut dibubarkannya CGI. Selain di Jakarta, beberapa cabang FMN juga mengandakan aksi serupa, diantara adalah FMN cabang Malang yang melakukan rangkaian aksi. Dimulai pada tanggal 18 Januari 2005, FMN Kampus Universitas Merdeka melakukan aksi selebran dan penempelan pamflet di Universitas Merdeka. Dilanjutkan pada tanggal 19 Januari FMN Kampus Universitas Merdeka mengadakan mimbar bebas dan FMN Kampus Universitas Brawijaya melakukan aksi massa bersama HMI dan komunitas Atap Jerami dengan memakai nama Aliansi Masyarakat Anti Utang. Rangkaian Aksi diutup pada tanggal 20 Januri 2005, Puluhan anggota FMN Cabang Malang menggelar aksi menolak sidang CGI. aksi longmarch ini dibuka di stadion Gajayana menuju DPRD. SBY-Kalla Berjanji, SBY-Kalla Mengingkari Pemerintah SBY-Kalla telah berjalan 100 hari. Namun gebrakan perubahan yang dijanjikannya hingga kini masih belum terasa. Pemenuhan hak-hak dasar rakyat hingga sekarang masih buram. Pemerintah belum memenuhi hak-hak dasar rakyat, belum menghasilkan perubahan mendasar. Atas dasar inilah, pada tanggal 28 Januari 2005 FMN Bergerak di berbagai kota untuk menuntut Rezim SBY-Kalla agar memenuhi hak-hak dasar rakyat. FMN Cabang Jambi dalam momentum ini bergerak bersama FMN, FKMJ, dan MMP dengan memakai nama FAI (Front Anti Imperialisme). Aksi ini di ikuti oleh

60 orang peserta aksi. Aksi dibuka di Universitas Jambi Telanai kemudian menuju DPRD Propinsi Jambi dan ditutup di RRI untuk sianran pers. Sementara Di Bandar Lampung, FMN beraliansi dengan GMNI. Aliansi ini memakai nama Front Rakyat Berlawan (FRB) dan diikuti oleh puluhan peserta aksi. Aksi di buka di bundaran Pasir Gintung, di lanjutakan ke bundaran gajah dan kemudian menuju DPRD Propinsi Lampung. FMN Cabang Bandung, dalam menyikapi momentum 100 hari SBY-Kalla menggalang aliansi bersama HMR,FAMU, GEBRAK, dan GMP. Aliansi ini memakai nama KMBB (komite mahasiswa Bandung Bersatu). Rute aksi dimulai di monumen perjuangan – DPRD – BIP – Unpas. Aksi ini diikuti oleh 60 orang massa aksi. Di Jakarta, FMN tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersati (ARB) bersama LMND, PMKRI, GmnI, KontraS, Walhi, KAU, LS-ADI, Poros UBL, KBM UBK, KM UIN, GMNK, ASPEK, FOBMI, PIJAR, SPKT, PRD, FNPBI, GASPERMINDO, HUMANIKA, BOR, GPK, SRMK, FPDRA, PMII, KAMJAK, STN, JMD, IKOHI, SRKPHAM, NOVICO, HIKMABUDHI, JPW, LBH Jakarta. Aksi dikonsentrasikan di Istana Negara dan diikuti oleh 300 orang peserta aksi. Ketika aksi sedang berlangsung, Monang Tambunan (GmnI) ditangkap polisi dengan alasan menghina presiden. Sekali lagi rezim berusaha membungkam gerakan pro demokrasi. Sebelum melakukan aliansi, FMN melakukan aksi di Komnas HAM untuk melakukan advokasi bagi anggota FMN Cabang Jombang yang di DO secara sepihak. Target aliansi ini terpenuhi yaitu Komnas HAM akan menindaklanjuti kasus DO Jombang dengan menjadi mediator antara FMN dan pihak STAIBU. FMN Peduli Aceh Indonesia Menangis, bencana alam berupa gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter dan disertai gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004

membawa duka yang mendalam bagi Bangsa Indonesia. Sedikitnya 106.523 Rakyat Indonesia tewas. Angka tersebut belum termasuk jumlah orang luka-luka, kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal yang diperkirakan jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. FMN adalah ormas mahasiswa yang kegiatannya tidak hanya diskusi dan aksi. Melihat keadaan Aceh dan Sumatera Utara membutuhkan bantuan, anggotaanggota FMN tergerak hatinya untuk menolong. Di Jakarta, FMN Kampus Universitas Satyagama mengadakan Aksi sosial dan membuka posko Aceh bersama organisasi intra kampus. Di malam tahun baru, PP FMN bersama FMN Kampus Unsat memilih merayakan tahun baru dengan mengumpulkan dana bagi korban tsunami. Selain di Jakarta, basisFMN yang mengadakan bakti sosial bagi aceh adalah FMN Kampus Universitas Lampung, FMN Cabang Bandung, FMN Cabang Purwokerto, FMN Cabang Jogyakarta dan cabang-cabang FMN lainnya. Sumbangan yang berhasil dikumpulkan, disalurkan ke lembaga/organisasi yang dapat dipercaya. Tidak hanya mengumpulkan sumbangan, anggota FMN pun ada yang menjadi sukarelawan di Aceh yaitu kawan Hamna (FMN Cabang Jogyakarta), Ahtam (FMN Cabang Bandung) dan kawan Arab (FMN Kampus Unsat). Untuk membangun kembali Aceh dan Sumatera Utara memang menbutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi bukan berarti menjadi alasan untuk mengemis kepada negara lain. Pemerintah kembali menjual rakyatnya. Bencana Tsunami bukannya dijadikan alasan untuk meminta penghapusan hutang justru dijadikan alasan untuk berhutang lagi. Inilah yang menjadikan alasan FMN untuk menggalang aliansi bersama FPPI, LS-ADI, dan KAU pada tanggal 13 Januari 2005 bertepatan dengan KTT PBB untuk Tsunami. Selain menolak bencana tsunami dijadikan alat untuk berhutang lagi, aliansi ini juga menuntut pemutusan hubungan dengan lembagalembaga donor. Rute Aksi ini semula direncakan dari Depdiknas menuju hotel Grand Hyatt (tempat pertemuan KTT), tetapi ketika aksi baru dibuka, aksi dibubarkan oleh aparat dengan alasan akan memberikan citra buruk bagi Indonesia. Pembubaran aksi ini menunjukan bahwa pemerintah lebih memilih untuk membungkam rakyatnya demi mendapatkan curahan hutang.(Redaksi)


Perempuan Indonesia : Bangkit Melawan !!!

S

udah menjadi rahasia umum bahwa kaum perempuan hingga saat ini masih terdiskriminasikan. Perempuan tidak hanya menjadi lebih miskin, terpuruk secara sosial, ekonomi juga pendidikan. Sebagai seorang manusia baik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki berhak mendapatkan pendidikan yang memanusiakan manusia. Semuanya memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan. Namun kenyataan berkata lain, rakyat (terutama perempuan) tidak bisa mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya. Pembicaraan mengenai dampak diskriminasi berdasarkan jenis kelamin terhadap kesejahteraan sudah berlangsung sejak awal tahun 1930-an. Diskriminasi memiliki arti sebagai pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang memiliki tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap perempuan disebabkan oleh ‘bias gender’. Gender sendiri merupakan istilah Barat yang dikonstruksi dari Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita. Apa yang terjadi dari revolusi ini, kemudian menjadi pilar utama perabadan Barat. Secara otomatis dampaknya juga dirasakan di Indonesia, yang pernah mengalami jajahan kolonialisme Belanda. Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus”, yang memiliki arti tipe atau jenis. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya, tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya. Bias gender yang berkembang di masyarakat, mempengaruhi peran dan posisi manusia berdasarkan jenis kelamin sebagai lelaki ataupun perempuan. Bahkan terkadang mempengaruhi manusia dalam mendapatkan hak dan kewajibannya. Potret Perempuan Dalam Dunia Pendidikan Dalam dunia pendidikan, masih sarat praktek tentang pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Contoh sederhana, dari data statistik; 99,5% siswa STM adalah laki-laki dan 99% siswa SPG dan SMK adalah perempuan. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini wajar-wajar saja. Namun, kondisi ini sesungguhnya tidak terlepas dari bangunan sosial yang mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan atau laki-laki. Tingkat kualitas pendidikan juga menunjukkan adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Jumlah perempuan yang mengalami buta aksara hampir 20% sedang laki-lakinya kurang dari 10% (Tempo, 12 Desember 2003). Pusat Data dan Informasi Pendidikan Balitbang Depdiknas 2001, menunjukkan bahwa hanya 71,4% siswa SD perempuan yang melanjutkan ke SLTP sedangkan laki-laki 72,8%. Dari SLTP ke SLTA, jumlah siswa perempuan yang melanjutkan sebanyak 72,7% dan laki-laki 76,3%. Sementara, jumlah lulusan siswa perempuan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya 44,7%, sedangkan laki-laki 51,4%. Dari data tersebut, bisa dilihat adanya kesenjangan pendidikan yang diperoleh perempuan dan laki-laki. Akses perempuan dalam pendidikan lebih kecil dibandingkan lakilaki. Dari sekian banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah, sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Walaupun angka partisipasi di tingkat SD dan SLTP amat tinggi (diatas 95%), siswa perempuan lulusan SLTA lebih sulit mengakses jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, dalam materi pelajaran yang didapatkan di sekolah dan buku-buku pelajaran, sering dijumpai diskriminasi peran antara perempuan dan laki-laki. Contoh dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di bangku SD seperti, “Ayah pergi ke kantor, Ibu memasak di dapur”. “Tono bermain sepakbola, Tini menyiram tanaman”. Konteks lain seperti pemilihan Ketua kelas. Biasanya yang terpilih sebagai Ketua Kelas, selalu dari siswa laki-laki. Sementara, jabatan sekretaris sudah pasti milik siswa perempuan.

Itu berarti, sejak dini telah ditanamkan bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan. Laki-laki lah yang mengurusi dunia publik, sedangkan perempuan hanya mengurusi persoalan domestik. Mainstream yang muncul kemudian bahwa perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika nantinya juga mengurusi dapur”. Itulah ungkapan yang sering kita dengarkan, ketika seorang anak perempuan meminta kepada orang tuanya untuk melanjutkan sekolah. Tak heran banyak kasus dimana siswa perempuan tidak melanjutkan sekolah karena harus menikah. Belenggu Patriarkhi Feodalisme Diskriminasi terhadap kaum perempuan tidak terlepas dari masih mengentalnya budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi mengakibatkan peran dan posisi perempuan tersubordinasi dan termarginalkan. Perempuan lebih berfungsi sebagai the second sex. Dalam budaya patriarkhi, laki-laki lebih berkuasa untuk menentukan segala sesuatu. Kerja produksi disesuaikan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Itulah sebabnya, kaum perempuan lebih banyak berkutat dalam urusan domestik (dapur, kasur dan sumur). Budaya patriarkhi merupakan cerminan dari sisa-sisa feodalisme di Indonesia. Budaya patriarkhi menjuruskan perempuan semata-mata sebagai tenaga kerja reproduksi. That’s why, perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan yang tinggi. Kerja reproduksi adalah kerja “memproduksi manusia”. Bukan berarti sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, seperti hamil, melahirkan dan


menyusui. Namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari anak secara fisik dan mental. Bukankah berat sekali, jika hanya dipikul oleh perempuan semata. Dampak lainnya terjadi pemisahan kerja produksi dan reproduksi. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, sementara urusan rumah merupakan tanggung jawab sepenuhnya kaum perempuan. Sterotip perempuan sebagai sosok lemah gemulai dan harus menuruti kemauan laki-laki, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Tahun 2002 terdapat 846 kasus kekerasan dilingkungan umum, 626 kasus merupakan kasus pemerkosaan. 182 korban perempuan ini adalah anak perempuan dibawah umur. Sementara ditahun 2004, kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat 20 % dibanding tahun sebelumnya. Ingat kasus pemukulan artis Five oleh suaminya? Ini salah satu bukti kekerasan terhadap kaum perempuan. Selain itu, patriakhi membatasi hakhak perempuan lainnya yang dipandang dari kacamata laki-laki, seperti persoalan kepemimpinan, poligami, masalah waris, kesaksian perempuan dan lain sebagainya. Niliai-nilai ini bahkan begitu mengakar lewat konstruksi sosial di tengah masyarakat. Patriarkhi feodalisme hanya akan menyisakan satu ucapan bagi kaum perempuan, yaitu : “Wis toh, cah wadon kuwi gawene ning omah wae”. Nggak gitu lhooo…!

Revolusi Hijau adalah suatu model pertanian dengan melakukan homogenisasi berbagai ragam pengetahuan pertanian manusia dan direduksi menjadi satu pola bentuk pertanian. Proyek ini didukung oleh pengusaha multinasional (kaum Imperialis) melalui International Rice Researc Institute (IRRI) di philipina dan IMMYT di Mexico. Revolusi Hijau mengakibatkan kontrol atas benih padi terlepas dari tangan petani perempuan ke teknokrat IRRI dan perusahaan bibit multinasional. Petani perempuan yang sebelumnya menjadi penjaga benih, tidak bisa lagi mengontrol dan memproduksi benih itu sendiri. Revolusi Hijau tidak saja merampas ribuan jenis varietas tradisiobnal, tetapi juga keseluruhan tanaman padi yang semula berada di tangan petani perempuan. Revolusi yang dibangga-banggakan oleh Orde Baru, ternyata mendatangkan petaka bagi kaum tani. Petaka ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan hidup kaum tani sangat rendah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, akhirnya kaum perempuan beranjak ke kota mencari tambahan penghasilan. Di kota, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh. Namun nasibnya tetap tereksploitasi. Selain upah kerja yang tak layak, kaum perempuan tetap dipaksa bekerja ketika sedang mendapatkan haid. Perusahaan atau pabrik juga tidak memberikan jaminan tambahan ketika hamil atau melahirkan. Kekayaan alam Indonesia yang separuh lebih dikuasai oleh kaum imperialis, memaksa negara mendatangkan pendapatan lain dengan mengekspor tenaga kerja ke luar negeri (buruh mingran). Dari keseluruhan buruh migran yang dikirim ke luar negeri, rataratanya adalah kaum perempuan (sebagian besar berasal dari desa). Meskipun upah sebagai buruh migran lebih besar ketimbang bekerja sebagai buruh di Indonesia, namun hal itu berbanding terbalik dengan nasib yang mereka terima. Di negeri seberang, TKW mendapatkan perlakuan cukup keji dari majikan yang mempekerjakannya. Penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan, bukan lagi berita burung bagi kita. Jaminan hukum bagi TKW tidak ada sama sekali. Kecewanya lagi, pemerintah justru lebih banyak berdiam diri dalam menyikapi persoalan ini. Bagi imperialisme dan kaki tangannya borjuasi besar komprador, perempuan adalah komiditi sekaligus pasar yang menguntungkan. Perempuan dijadikan pasar bagi laris manisnya produk-produk, seperti kosmetik, fashion, dan lain-lain. Icon seks yang ditempelkan imperialisme pada kaum perempuan, dimanfaatkan sebagai alat eksploitasi. Llihatlah periklanan di Indonesia yang cenderung memanfaatkan kelebihan fisik perempuan. Begitu pun halnya dengan bisnis dunia gemerlap (dugem), yang mengeksploitasi perempuan secara seksual. ILO menyebutkan bahwa jumlah pekerja seks di Indonesia mencapai 650.000, dimana 30 % diantaranya berusia dibawah umur dan berasal dari kelurga miskin.

Penindasan Ala Mahcois Imperialisme Penindasan lain yang dihadapi kaum perempuan adalah machois ala imperialisme. Perempuan bagi imperialisme adalah salah satu komoditi yang menguntungkan bagi akumulasi modal. Di Indonesia kaum perempuan telah merasakan penderitaan ini ketika imperialisme masih dalam bentuk kunonya, yaitu kolonialisme. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1932 melegalkan tempat-tempat pelacuran yang diisi oleh kaum perempuan pribumi untuk melayani nafsu para tentara Belanda. Ketika rejim fasis Jepang menjajah Indonesia, kaum perempuan lebih tersiksa lagi. Ribuan bahkan ratusan ribu kaum perempuan Indoensia, dipaksa menjadi “jugun ianfu” demi melayani nafsu bejat tentara-tentara Jepang. Ketika “Revolusi Hijau” digunakan dalam strategi pembangunan pertanian Indonesia oleh rejim boneka imperialis Soeharto, peran kaum perempuan dalam berproduksi digeser secara sistematis.

Saatnya Bangkit Melawan Berdasarkan paparan diatas, terlihat bahwa hak-hak (hak-hak sosial-ekonomi dan politik) kaum perempuan Indonesia masih terbelenggu. Pembelengguan ini disebabkan oleh penindasan yang dilakukan oleh feodalisme dan imperialisme. Untuk itu, kaum perempuan Indonesia harus bangkit melawan menuntut keadilan bagi dirinya. Namun bukan berarti perjuangan kaum perempuan adalah anti laki-laki, seperti yang dilakukan oleh kaum feminis liberal. Perjuangan kaum perempuan adalah perjuangan membela tanah air dan membela haknya sebagai perempuan bersama seluruh lapisan massa rakyat tertindas di Indonesia untuk melawan Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalis Birokrat. Berorganisasi merupakan langkah awal bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Sejarah perlawanan rakyat Indonesia mencatat bahwa kaum perempuan memiliki andil melalui organisasi-organisasi yang didirikannya seperti, Aisyah (1917), Kowani (1946), Pakiwa (1950), dan Gerwis (1950) yang kemudian menjadi Gerwani. Sayangnya, kemajuan ini dipangkas habis oleh Orde Baru (Orba) melalui depolitisasi dan deorganisasi terhadap kaum perempuan Indonesia. Organisasi-organisasi perempuan yang didirikan Orba seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK, lebih berfungsi sebagai corong propaganda pemerintah demi kelancaran program-program pembangunan Orba. Hasilnya, kaum perempuan menjadi buta politik. Hak untuk memilih, berorganisasi secara indpenden dan turut menentukan kebijakan politik sama sekali dihapuskan. Tugas kaum perempuan Indoensia saat ini adalah bangkit melawan dengan menggerakkan dan mengorganisasikan massa perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak kaumnya, serta berjuang bersama massa rakyat tertindas untuk membebaskan negeri ini. (Heni/Ida)


Mari Menggal ang Dana

S

ering kali masalah pendanaan kurang mendapat perhatian dari kita. Memang dana tidak boleh menjadi halangan dalam bekerja tetapi sering kali kerja yang telah direncanakan tidak berjalan maksimal karena tidak memiliki dana yang cukup. Hal Ini menjadi tugas bagi seluruh anggota organisasi untuk memecahkan permasalahan yang kelihatannya sepele tetapi terkadang cukup mengganggu. Lantas, bagaimanakah cara pemecahannya? Prinsip dalam pendanaan yang harus ditekankan adalah bahwa organisasi massa dihidupi oleh anggotanya sendiri. Tetapi bukan berarti sekedar mengharapkan iuran dan sumbangan dari anggota saja, melainkan menggali potensi anggota dalam pencarian dana. Semua anggota harus berpartisipasi dalam usaha pendanaan organisasi, mulai dari membayar iuran hingga berperan aktif dalam usaha kreatif organisasi. Membuat Anggaran Keuangan Langkah awal dalam menjawab masalah pendanaan adalah membuat anggaran keuangan. Idealnya anggaran dibuat untuk satu masa kepengurusan. Namun membuat anggaran seperti ini cukup berat. Kita bisa berlatih dengan membuat anggaran keuangan per bulan. Anggaran keuangan dibuat dengan menghitung kebutuhan organisasi, skala prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi lebih dulu, jumlah dana yang dibutuhkan dan dari mana dana tersebut diperoleh. Anggaran yang disusun harus realistis, jika tidak kita akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keuangan Iuran, Siapa Takut ? Iuran anggota adalah bentuk partisipasi seluruh anggota dalam pemenuhan kebutuhan pendanaan organisasi. Setiap anggota wajib membayar iuran tanpa terkecuali. Kesadaran membayar iuran imencerminkan rasa memiliki organisasi dan loyalitas anggota. Anggota yang loyal akan membayar iuran tanpa perlu ditagih. Iuran anggota merupakan upaya penggalangan dana yang pertama kali harus dilakukan. Iuran menjadi hal yang penting karena iuran akan membangun keterikatan anggota dan kesadaran membangun organisasi. Menumbuhkan kesadaran membayar iuran memang cukup sulit. Ada beberapa trik yang bisa digunakan untuk menggalakan penarikan iuran, yaitu : 1. Mengadakan gerakan penarikan iuran. Gerakan penarikan iuran bertujuan membangun kesadaran anggota agar membayar iuran tepat pada waktunya. Gerakan penarikan iuran bisa berjalan dengan baik, bila beberapa hal disepakati secara demokratis dan diketahui oleh seluruh anggota, seperti : besarnya iuran, waktu penarikan, petugas penarik iuran, dan transparansi keuangan. 2. Menentukan besarnya iuran dan waktu penarikannya

Besarnya iuran ditentukan berdasarkan besarnya kebutuhan biaya per bulan dan kemampuan anggota. Misalnya, ketika mendaptkan kiriman uang bulanan, maka iuran bulanan segera dibayarkan. Cara lain dengan mencicil iuran. Misalnya, iuran sebesar Rp 12.000,dapat dibayarkan dua minggu sekali sebesar enam ribu rupiah. Petugas penarik iuran sebaiknya memiliki jadwal penarikan iuran. 3. Membuat kelompok-kelompok kecil Untuk memudahkan penarikan iuran maka sebaiknya dibuat kelompok-kelompok kecil. Dan setiap kelompok memiliki penanggung jawab iuran. 4. Transparansi keuangan Anggota berhak mengetahui untuk apa uang iuran digunakan. Maka, pemakainan iuran harus dilaporkan kepada anggota secara reguler. Laporan keuangan bulanan sebaiknya ditempelkan di papan informasi sekertariat organisasi, sehingga setiap anggota dapat membacanya 5. Menekankan kedisiplinan dan kejujuran Kedisiplianan dan kejujuran harus ditekankan kepada anggota, sebagai upaya mengikis watak borjuasi kecil. Terkadang ada anggota yang mengelak jika diminta membayar iuran dengan alasan tidak memiliki uang. Namun ternyata bisa membeli rokok berbungkusbungkus atau maen PS terus. Jika kita sudah menyepakati sebuah keputusan, maka harus dijalani sepenuh hati. Sebaiknya, iuran dibayar tanpa harus ditagih. Diupayakan kita tidak menunggak iuran, karena hanya akan menyulitkan diri sendiri. Tunggakan hanya akan membuat jumlah iuran yang harus dibayarkan semakin besar, ga ada ruginya kan kita disiplin iuran untuk kemajuan organisasi. Ayo Usaha Kreatif ! Organisasi tidak mungkin sekedar mengandalkan iuran anggota dalam penggalangan dana. Metode lain yang bisa digunakan adalah usaha kreatif (fund raising). Usaha kreatif adalah upaya pencarian dana organisasi dengan memaksimalkan potensi organisasi. Bentuknya sangat beragam, seperti menjual merchandise organisasi, sablon, koperasi organisasi dan sebagainya. BIsa bersifat monumental, seperti jualan bunga/coklat/kipas saat wisuda atau usaha kreatif yang sifatnya permanen, seperti usaha sablon. Untuk kebutuhan modal, anggota bisa patungan mengumpulkan dana. Karena modal berasal dari anggota, maka setiap anggota harus menyadari bahwa usaha adalah milik bersama, sehingga berkewajiban membesarkan usaha tersebut. Kunci dari keberhasilannya adalah kejelian dalam membaca peluang menggalang dana. Tidak perlu terpaku pada usaha yang berbau gerakan, selama tidak bertentangan dengan prinsip organisasi, maka ilaksanakan. Contoh, ketika FMN membuat kaos kelas/jurusan. Karena ini usaha bersama, maka manajemen pengelolaan keuangan harus profesional dan transparan. Dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan), hasil usaha wajib dilaporkan kepada anggota.(Wafa)


Membangun Sol i dari tas Anti Kabar Gembira Dari Belanda Sidang Umum Internasional ke dua (SIA) Liga Internasional Perjuangan Rakyat (ILPS) berjalan dengan sukses. Kegiatan yang diselenggarakan awal Desember 2004 di Belanda ini, berhasil meningkatkan persatuan politik dan organisasi dari seluruh organisasi peserta yang terlibat. Sidang dihadiri 232 delegasi yang berasal dari 32 negara.Dari keseluruhan peserta, delegasi perempuan berjumlah 40 persen. Jumlah organisasi yang terlibat dalam ILPS juga mengalami peningkatan dari 218 menjadi 329 organisasi. Salah satu hasil terpenting dari Sidang Umum ke dua ILPS adalah Deklarasi Sidang Umum Internasional Ke dua ILPS yang berjudul “Mendorong Maju Solidaritas Rakyat dan Perjuangan Untuk Pembebasan Dan Demokrasi Melawan Perampokan Dan Perang Imperialis�. Deklarasi ini memuat 18 butir perjuangan pokok ILPS diantaranya, pembebasan nasional, demokrasi dan pembebasan sosial melawan imperialisme dan semua kaum reaksioner (butir ke 1), dan Hak pendidikan dan pekerjaan bagi kaum pemuda (butir ke 8). Sidang juga telah menyelesaikan perumusan program 3 tahun ke depan (2005-2007) yang terdiri dari program Pendidikan Politik, Organisasi dan Mobilisasi Massa. Masing-masing program terdiri dari tugas-tugas mendesak yang harus segera dilaksanakan. Beberapa program tersebut adalah, mempropagandakan Deklarasi Umum hasil Sidang Umum Internasional Ke dua, mendirikan seksi-seksi nasional ILPS dengan garis front persatuan demokratis anti imperialis, memulai atau turut serta dalam kampanye-kampanye massa, aktivitasaktivitas mobilisasi massa yang terjadi dan konferensi internasional yang luas dengan garis perjuangan demokratis dan anti imperialis. FMN adalah salah satu delegasi dari Indonesia yang diundang. Sayangnya, sidang tersebut tidak bisa dihadiri oleh FMN. Atas ketidak hadirannya, FMN memberikan surat dukungan terhadap sidang tersebut dan

hasil-hasilnya. Surat dukungan tersebut mendapatkan sambutan positif dari mayoritas delegasi sidang. Sidang kemudian menunjuk FMN sebagai salah satu anggota Komisi Koordinasi Internasional (ICC) bersama perwakilan organisasi dari 21 negara. Congratulations for Second International Assembly of ILPS! People Around The World Unite Against US Imperialism! Menyongsong WTO 6 th Ministerial Meeting 2005 Pertemuan tingkat menteri WTO ke-6 akan diselenggarakan pada 13-18 Desember 2005 di Hong Kong. Merespon hal tersebut, beberapa organisasi di Hong Kong seperti, ormas, serikat buruh, serikat buruh migran, dan NGO membentuk Hong Kong Peoples Alliance Against WTO (HKPAAWTO) yang didirikan tanggal 22 Sepetember 2004. Aliansi juga akan melakukan pertemuan konsultasi internasional (International consultation meeting) untuk membentuk International Coordinating Network (ICN). Pertemuannya akan diselenggarakan di Hong Kong Polytechnic, Hung Hom, Kowloon, tanggal 26-27 Februari 2005. ICN akan bertugas mengkoordinasikan seluruh kekuatan di berbagai negara yang anti WTO dan siap ikut dalam aksi protes bersama, baik di tingkat global dan nasional nanti. FMN termasuk organsasi yang diundang untuk menghadiri pertemuan tersebut. Lagi-lagi kendala logistik yang menyebabkan FMN tidak bisa menghadiri pertemuan tersebut. Tetapi FMN telah memberikan pernyataan tertulis tentang sikapnya terhadap WTO dan dukungan kepada HKPAAWTO. Long Live International Solidarity ! LFS Terlibat Pemberantasan Malaria Di Philipina League of Filipino Students (LFS) pada tanggal 18-22 Desember 2004, melakukan misi pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada masyarakat di daerah

Baggao propinsi Cagayan, Philipina. Misi tersebut bekerja sama dengan dinas kesehatan dan pengembangan, KagimuyanCagayan (organisasi petani di Cagayan) dan organisasi non pemerintah yang terdiri dari dokter, dokter gigi dan perawat. Turut terlibat organisasi-organisasi mahasiswa dari Manila, khusunya organisasi yang menaungi mahasiswa keperawatan, paramedis dan kesehatan. Sekitar 1000 orang terlibat dalam kegiatan ini. Misi kesehatan di Baggao, Cagayan, adalah bentuk komitmen LFS dalam rangka melayani rakyat (Serve The People). Baggao merupakan salah satu daerah yang terjangkit malaria cukup parah. Di daerah yang berjumlah kira-kira 6000 penduduk ini, ini pelayanan kesehatan dan obat-obatan sangat terbatas. Penduduk disana rata-ratanya petani yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selain perawatan dan pemeriksaan terhadap penderita malaria, pelayanan seperti pediatric, pemeriksaan paru-paru, ginekologis, dan kesehatan gigi juga diberikan, termasuk pemberian obatobatan secara gratis. Disamping itu, diadakan juga workshop tentang penaggulangan bahaya malaria dan penyakit paru-paru. Kegiatan lainnya adalah penyuluhan kesehatan kepada penduduk setempat. Melalui misi kemanusian ini, LFS berharap setidaknya mampu mengurangi korban malaria yang berjatuhan. Menurut Laorence Castillo (LFS National Chairperson), di Philipina sebagian besar penduduk kesulitan mengakses kesehatan, karena ongkos rumah sakit dan dokter sangat mahal. Sebagian besar biaya mereka hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Disamping itu, pemerintah dalam memberikan jasa pelayan kesehatan juga sangat buruk. Menurutnya lagi, kegiatan yang dilakukan oleh LFS ini seharusnya menjadi tanggung jawab rejim Arroyo, tetapi Arroyo lebih suka melayani AS dibandingkan rakyatnya sendiri. (Redaksi)



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.