The 1st Series of Book on Korea

Page 1

INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Sejarah Korea Menuju Masyarakat Modern: Beberapa Peristiwa Penting Penulis: Novi Siti Kussuji Indrastuti Yuliawati Dwi Widyaningrum Suray Agung Nugroho Mukhtasar Syamsuddin Park Jae Bong Ratih Pratiwi Anwar Lim Kim-Hui Yang Seung Yoon Nur Aini Setiawati Tulus Warsito

INAKOS (the International Association of Korean Studies in Indonesia) bekerjasama dengan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada

1


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Sejarah Korea Menuju Masyarakat Modern: Beberapa Peristiwa Penting Tim Editor: Dr. Mukhtasar Syamsuddin (ketua) Dr. Nur Aini Setiawati Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti Suray Agung Nugroho, M.A. Min Seonhee, M.A. Lenny Dianawati Penerbit: INAKOS (the International Association of Korean Studies in Indonesia) bekerjasama dengan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada Alamat: INAKOS c/o Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada Bulaksumur B-9 Yogyakarta 55281 Indonesia Website: www.inakos.org.id/www.puskor.ugm.ac.id E-mail: inakos_2009@yahoo.com/pskugm@yahoo.com Telepon: 62-274-554323 Fax. : 62-274-554323 Cetakan Pertama: Oktober 2010 ISBN 978-979-25-8817-0 Ketentuan Pidana Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Arp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama (5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5000.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

2


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN BAB II BIDANG KEBUDAYAAN 2.1 Pendidikan Seni dalam Pembangunan Bangsa Korea (Novi Siti Kussuji Indrastuti) 2.2 Korea sebagai Negara Multireligi (Yuliawati Dwi Widyaningrum) 2.3 Hallyu di Indonesia: Selama Dekade Pertama pada Abad ke-21 (Suray Agung Nugroho) 2.4 Pilar-Pilar Kekuatan Orang Korea (Mukhtasar Syamsuddin) BAB III BIDANG EKONOMI 3.1 Perkembangan Ekonomi Korea Selatan dan Implikasi untuk Ekonomi Indonesia (Park Jae Bong) 3.2 Pembangunan Ekonomi di Korea Selatan: Masa Presiden Park Chung Hee (Ratih Pratiwi Anwar) 3.3 Strategi Korea Selatan Bangkit dari Krisis Ekonomi (Ratih Pratiwi Anwar) BAB IV BIDANG SOSIAL-POLITIK 4.1 Dokdo atau Takeshima? : Perselisihan Kedaulatan Wilayah Korea-Jepang (Lim Kim-Hui) 4.2 Masalah Wanita Penghibur Jugun Ianfu : Antara Kriminalitas, Martabat Bangsa, dan Permainan Semantik (Lim Kim-Hui) 4.3 Park Chung Hee dan Kim Il Sung: Bagaimana Park Dapat Mengalahkan Kim? (Yang Seung Yoon) 4.4 Saemaul Undong dalam Proses Perubahan Pembangunan Desa di Korea Selatan (Nur Aini Setiawati) 4.5 Perkembangan Hubungan Industrial di Korea Selatan dalam Menuju Demokrasi (Tulus Warsito)

3


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN

4


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

PENDAHULUAN Dalam memasuki jaman modern bangsa Korea telah melalui bermacam-macam kesulitan serta menghadapi kesengsaraan dan tantangan berat karena kerajaan dan bangsa Korea tidak pernah mengenal perubahan yang terjadi di dunia luar dan tidak sempat untuk mencari pengetahuan baru yang pesat berkembang maju. Baik kerajaan maupun bangsa Korea tidak sempat mempersiapkan diri menyambut kedatangan masa modern. Oleh karena itu, kelangsungan Dinasti Joseon (1392-1910), kerajaan terakhir dalam sejarah Korea yang telah berlangsung selama 600 tahun terhenti dan terpaksa menerima nasib sedih yang dibuka dengan masa penjajahan Jepang (1910-1945) selama 35 tahun. Selama masa penjajahannya, Jepang dengan seribu daya berupaya menyatukan Semenanjung Korea dengan Kepulauan Jepang dengan tujuan untuk menyempurnakan tujuan nasionalnya, yaitu menjadi negara daratan. Semua sistem penjajahan, dengan mengatasnamakan kebijakan Polisi Militer, dikuasai secara total oleh militer Jepang. Mereka juga memaksa bangsa Korea untuk mengubah nama keluarganya menjadi nama bangsa Jepang. Dengan tujuan untuk memadamkan bangkitnya semangat bangsa Korea, mereka memaku paku besi raksasa (yang panjangnya 40-60 sentimeter) di setiap puncak gunung ternama di Korea. Pada saat itu, Jepang menyebut nama Laut Timur (Laut Jepang) sebagai ‗Danau Jepang‘. Perang Pasifik (1942-1945) telah mengubah nasib Jepang. Akan tetapi selama berlangsungnya perang yang diakibatkan oleh pertentangan antara Jepang dan Amerika Serikat itu, baik bangsa Korea maupun bangsa-bangsa di wilayah Asia Tenggara yang berada dalam penjajahan Jepang mengalami kesengsaraan luar biasa. Selain dari pengerahan pembantu serdadu Jepang dan barang-barang serta bahan-bahan kebutuhan Perang, para wanita pun dimobilisasi dan dipaksa dengan seribu daya untuk terjun ke medan perang dengan menjadi wanita penghibur para tentara Jepang. Sampai saat ini, masalah ‗Jugun Ianfu‘ masih hangat dibicarakan di Korea dan di negara-negara Asia Tenggara yang pernah dijajah Jepang sementara pihak yang bersangkutan tidak bersedia mengakui kesalahan mereka. Nasib malang bangsa Korea terus berlangsung bahkan setelah merdeka pada tahun 1945, karena Semenanjung Korea segera dibagi dua oleh Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II.

5


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Pembagian Semenanjung Korea ke dalam dua negara Korea itu sama sekali tidak disetujui oleh bangsa Korea yang terdiri dari satu suku bangsa, yang bertutur bahasa yang sama dan memiliki sejarah yang sama sehingga leluhur dan kebudayaan bangsa Korea pun tidak berlainan satu sama yang lain di kedua Korea. Pembagian dan pemisahan Semenanjung Korea itu diwujudkan oleh ketertiban politik internasional yang baru, yang terdiri dari dua blok besar, yaitu sosialisme-komunisme dan demokrasi-kapitalisme. Korea Utara dibantu oleh Uni Soviet dan Republik Rakyat China sebagai dua negara pemimpin Dunia Timur, sedangkan Korea Selatan mendapatkan bantuan dan dukungan dari Dunia Barat, khususnya dari Amerika Serikat. Dalam hal itu, Semenanjung Korea semakin berkembang menjadi ruang pameran (show window) bagi persaingan unggulnya ideologi yang telah membelah dunia. Setelah merdeka, hampir semua bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari Korea Selatan dibantu oleh Amerika Serikat sebagai negara pelindung yang menguasai Korea Selatan selama 3 tahun (1945-1948). Nasib Korea Utara berbeda dengan Korea Selatan. negara pelindung mereka, yakni Uni Soviet, sejak awal telah mempersiapkan agar Korea Utara dapat unggul dalam hal kekuatan militernya. Perang Korea (1950-1953) disulut oleh serangan mendadak Korea Utara yang sepenuhnya dibantu oleh Uni Soviet. PBB segera memutuskan untuk mengirimkan pasukan PBB yang terdiri dari 16 negara. Republik Rakyat China pun ikut mengirimkan ratusan ribu serdadunya. Seluruh Semenanjung Korea selama berlangsungnya perang saudara itu telah menjadi medan perang. Jutaan orang berkorban, hampir semua fasilitas industri hancur. Ditambah lagi di kedua Korea terjadi kemalangan yang luar biasa, yaitu 10 juta orang Korea telah terpisah dengan keluarganya. Sang isteri masih berada di Korea Utara, sementara suaminya pergi ke Korea Selatan. Kakak bersama kakeknya memilih Korea Utara, sementara adik dan ibu-bapak memilih untuk menyeberangi garis perbatasan menuju Korea Selatan. Setelah ditetapkan garis perbatasan yang baru sesaat setelah Perang Korea berakhir, Korea Utara yang tetap dikuasai oleh sistem kediktatoran sosialisme terus berkembang maju, sedangkan ekonomi Korea Selatan semakin merosot karena banyaknya jumlah penduduk dan kurangnya bahan-bahan industri. Ekonomi nasional Korea Utara terus meningkat, sebaliknya di Korea Selatan semakin cepat meluas rasa kalah dan menyerah (defeatism). Dalam keadaan

6


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

serupa itu, ekonomi Korea Utara berhasil mengungguli Korea Selatan dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai akhir tahun 1960-an. Negara dan bangsa Korea di Korea Selatan mulai bangkit setelah Presiden Park Chung Hee berhasil sukses dalam percobaan kudeta pada tahun 1961. Presiden Park terlebih dahulu mengobarkan api semangat di bidang pendidikan dan berusaha membangkitkan semangat bangsa Korea. Sejalan dengan bangkitnya pendidikan dan semangat rajin bekerja membara dalam diri rakyat Korea Selatan, semua urusan nasional dan masyarakat secara bersaing untuk bangkit kembali. Ekonomi nasional pesat berkembang sejalan dengan gerakan Saemaul Undong, yaitu gerakan membangkitkan semangat bangsa Korea. Keajaiban Sungai Han terjadi pada pertengahan tahun 1970-an, sementara ekonomi nasionalnya telah berhasil mengungguli Korea Utara. Keberhasilan Olimpiade Seoul pada tahun 1988 memperlihatkan keunggulan semangat bangsa Korea dan kemajuan ekonomi nasionalnya ke dunia internasional. Setelah Presiden Park Chung Hee wafat, di Korea Selatan muncul pemerintahan semimiliter selama 12 tahun. Kerusuhan masyarakat dan demonstrasi mahasiswa sering terjadi selama waktu itu. Sejalan dengan gerakan masyarakat anti-pemerintah, kegiatan sayap-kiri yang cenderung ke arah Korea Utara bermunculan. Akan tetapi kekuatan bangsa Korea yang bersifat dinamik berhasil mengatasi kesulitan dan kesengsaraan itu. Panggung politik berkembang maju. Walaupun masih banyak ketidaksesuaian, sistem dua partai semakin ditetapkan. Jalannya masih sangat jauh. Namun, meskipun ada yang negatif, terdapat lebih banyak hal yang positif. Sebagai contoh, apabila muncul kegiatan pro-Korea Utara, gerakan masyarakat anti-komunis segera bersatu melawan para simpatisan sosialisme-komunisme. Dalam keadaan bermunculannya sifat dinamik itu, berhasil diwujudkan kebudayaan Hallyu, yaitu kebudayaan Korea gaya baru atau masa modern. Dalam masyarakat yang dinamis, ekonomi nasional Korea Selatan sudah tercatat menduduki tempat di antara 10 negara terbesar di dunia. Sementara itu, negara kecil itu sudah bergabung ke dalam G20 bersama dengan China, India dan Indonesia. Dengan demikian, negara Korea Selatan mencatat rekor pertama sebagai negara miskin yang pada awalnya selalu mendapatkan bantuan dari luar negeri berubah menjadi negara kaya yang dapat memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan di seluruh dunia. Meskipun

7


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

demikian, negara dan bangsa Korea masih harus menghadapi banyak halangan dan tantangan menuju masa depan dengan bermacam-macam konflik yang terjadi di dalam masyarakatnya sendiri yang dinamis serta permasalahan besar dalam hal mewujudkan reunifikasinya dengan Korea Utara. Buku Pengantar Korea Seri Nomor 1 yang berjudul Sejarah Korea Menuju Masa Modern: Beberapa Peristiwa Modern ini merupakan kumpulan yang terwujud sebagai hasil dari workshop yang diselenggarakan di Jogjakarta pada Februari 2010. Buku ini terdiri atas empat bab termasuk pendahuluan yang masing-masing mewakili peristiwa penting dalam berbagai aspek penting dalam perjalanan sejarah Korea menuju masyarakat modern, yakni bidang kebudayaan, ekonomi, dan sosial-politik. Untuk bidang kebudayaan, dibicarakan unsur-unsur kebudayaan, antara lain seni, agama, Hallyu yang membawa dampak besar di Indonesia, dan pilar-pilar kekuatan bangsa Korea yang merupakan modal utama untuk mewujudkan masyarakat dan negara maju. Pada bab berikutnya, dibicarakan beberapa peristiwa penting dalam bidang perekonomian, mulai dari sejarah perkembangan dan pembangunan perekonomian di Korea sampai dengan strategi bangsa Korea dalam menghadapi krisis ekonomi. Untuk bidang sosialpolitik ditampilkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan hubungan Korea dan Jepang, hubungan Korea Utara dan Selatan, Gerakan Saemaul Undong yang merupakan gerakan penting yang berfunsi membangkitkan semangat bangsa Korea, serta perkembangan hubungan industri di Korea Selatan dalam mewujudkan demokrasi. Kesuksesan bangsa Korea dalam ketiga bidang tersebut, yakni bidang kebudayaan, ekonomi, dan sosial-politik merupakan bidang-bidang yang telah membawa bangsa Korea menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Hal tersebut bisa dijadikan pandangan dan masukan bagi bangsa lain, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia. Buku seri yang pertama ini akan diikuti oleh penerbitan seri-seri berikutnya. Buku seri yang ke2, yang berjudul Politik dan Pemerintahan Korea, saat ini sedang dalam proses persiapan untuk diterbitkan, menyusul buku seri yang pertama ini. Jogjakarta, Oktober 2010

Tim Editor

8


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

BAB II BIDANG KEBUDAYAAN

9


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

PENDIDIKAN SENI DALAM PEMBANGUNAN BANGSA KOREA

Novi Siti Kussuji Indrastuti (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Seperti halnya di Indonesia, jenjang pendidikan di Korea terdiri atas jenjang pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah (SMP dan SMA), serta Pendidikan Tinggi (universitas, akademi, dan pascasarjana). Jenjang Pendidikan di Korea menganut sistem alur tunggal (single track) 6-3-3-4, yang terdiri atas 6 tahun di tingkat Sekolah Dasar, 3 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP), 3 tahun di Sekolah Menengah Atas, dan 4 tahun di Perguruan Tinggi (S-1) (Ministry of Education and Human Resources Development ROK). Pendidikan seni merupakan salah satu bagian dari kurikulum di sekolah Korea. Korea terkenal sebagai bangsa yang sangat kokoh mempertahankan tradisi. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan, kesenian tradisional mayoritas diajarkan sejak usia dini, yakni sejak jenjang pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar. Dengan diajarkannya seni tradisi sejak kecil diharapkan kesenian tersebut dapat terserap secara fundamental dan melekat kuat dalam jiwa siswa-siswinya. Hal tersebut disebabkan seni tradisi itu diharapkan dapat menjadi pegangan yang kuat dalam menghadapi berbagai pengaruh dari luar di masa-masa mendatang. Dengan demikian, pendidikan seni merupakan sarana untuk menanamkan rasa nasionalisme yang tinggi. Lebih lanjut, pendidikan seni memiliki peran yang penting dalam pembangunan bangsa Korea. Akan tetapi, bangsa Korea sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk menerima pengaruh dari luar. Hal tersebut ditunjukkan dengan diajarkannya balet dan berbagai alat musik dari Barat pada jenjang pendidikan menengah. Diajarkannya budaya Barat bukan menjadi kekhawatiran bagi bangsa Korea karena ketika siswa-siswi Korea duduk pada bangku Sekolah Dasar, mereka telah dibekali kesenian tradisional secara memadai. Dengan demikian, mereka telah memiliki dasar yang kuat sehingga dapat mempelajari kesenian dari negara lain, tanpa

10


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menghilangkan rasa cinta pada budaya sendiri.

Bangsa Korea sangat gemar memadukan

budaya-budaya dari negara lain dengan budayanya sendiri. Hal tersebut dimaksudkan agar karakter bangsa Korea tetap terefleksi meskipun dalam implementasinya juga terdapat unsurunsur yang merupakan hasil adopsi dari bangsa lain. Misalnya, dalam dunia kuliner dikenal Hamburger Kimchi, Pizza Kimchi, dan sebagainya. Dalam dunia busana, juga tampak dalam modernisasi hanbok (pakaian tradisional Korea).

Modernisasi dilakukan dengan tetap

memperhatikan kaidah-kaidah pokok (pakem) yang ada dalam tradisi Korea.

Sekilas tentang Implementasi Pendidikan Seni di Korea

Pendidikan seni di Korea diberikan dalam porsi yang memadai pada tingkat SD dan SMP. Akan tetapi, pendidikan seni berkurang porsinya ketika telah mendekati waktu ujian akhir SMA karena semua siswa sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan seni di Korea meliputi teori dan praktik. Dengan demikian, dalam pendidikan seni, bahan ajar berupa buku teks tetap dipergunakan. Implementasi pendidikan kreativitas seni di Korea, yang meliputi seni musik, seni suara, seni rupa, seni tari, dan seni sastra akan diuraikan satu per satu di bawah ini.

1. Seni Musik Siswa kelas 4 sampai dengan 6 wajib menguasai beberapa peralatan musik tradisional Korea, yakni Danso dan Janggo. Danso adalah salah satu jenis seruling di Korea. Danso dibuat dari bambu dengan panjang 40 cm. Danso memiliki lima lubang dan untuk mengontrol nad, pemain Danso membuka dan menutup lubang tersebut dengan ujung-ujung jari-jemarinya. Danso dikenal sebagai alat musik tradisional bagi pemula. Danso dapat dimainkan sebagai instrumen tunggal dan dapat juga dimainkan sebagai bagian dari berbagai instrumen musik dalam sebuah pertunjukkan. Karena alat musik Danso sangat mudah dibawa, alat musik ini digemari banyak orang Korea. Dewasa ini, dengan semakin meningkatnya minat terhadap musik tradisional Korea, Danso menjadi sangat populer di kalangan masyarakat luas.

11


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Saat ini, Danso juga banyak digunakan untuk mengiringi puisi-puisi tradisional Korea yang dilagukan, misalnya gasa, sijo, dan sebagainya. Gasa adalah salah satu bentuk puisi Korea yang sederhana. Gasa tidak hanya sekedar merupakan ekspresi perasaan individu, tetapi di dalamnya juga terkandung pesan moral atau nasihat. Tema-tema umum dari gasa adalah tentang alam, percintaan dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pria. Bentuk-bentuk gasa awalnya muncul pada masa dinasti Goryeo dan menjadi popular pada masa dinasti Joseon. Seperti halnya gasa, sijo adalah salah satu bentuk puisi Korea Seiring dengan munculnya nasionalisme pada masa dinasti Joseon (dimulai pada 1392) muncullah tiga baris puisi yang disebut sijo. Sijo mencapi puncak popularitasnya pada akhir abad XVIII. Sijo dinyanyikan dengan iringan musik. Tema-tema yang sering muncul di dalam sijo adalah suasana pedesaan, hal-hal yang berkaitan dengan metafisika, dan hal-hal yang berhubungan dengan alam. Di Korea, pada saat ujian akhir, seorang siswa kelas 6 SD harus menempuh ujian praktik memainkan alat musik Danso dan diujikan satu per satu. Lagu yang harus dibawakan ketika memainkan Danso adalah lagu-lagu rakyat yang sangat terkenal di Korea, seperti Arirang dan Doraji. Selain itu, biasanya, siswa-siswi tersebut juga mampu memainkan alat-alat musik tradisional yang dipergunakan dalam Samulnori. Jadi, samulnori adalah permainan empat instrument musik tradisional korea. Yang terdiri atas: * Janggo (sebuah drum berbentuk jam pasir) * Buk (per barel drum mirip dengan bass drum) * Jing (gong besar) * Kkwaenggwari (gong kecil) Janggo adalah alat musik yang paling banyak dipergunakan dalam permainan musik tradisional Korea. Ada beberapa jenis janggo, tetapi pada intinya berbentuk seperti jam pasir dan kedua sisinya terbuat dari kulit binatang. Kedua sisinya menghasilkan nada yang berbeda, yang apabila dimainkan bersama dipercaya merepresentasikan harmoni antara laki-laki dan perempuan. Janggo dapat dimainkan dengan duduk atau dibawa dengan menggunakan tali yang diikatkan pada bahu. Janggo dimainkan dengan menggunakan tongkat kecil atau stik. Buk adalah drum tradisional Korea. Buk berbentuk seperti gentong pendek. Buk terbuat dari kayu berbentuk bulat yang kedua sisinya terbuat dari kulit binatang (seperti kendang yang pendek).

12


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Kkwaenggwari adalah gong kecil yang datar. Alat musik ini merupakan alat musik yang utama dalam permainan musik tradisional rakyat Korea. Kwaenggwari dibuat dari kuningan dan dimainkan dengan menggunakan tongkat kecil (stik yang keras). Penamaan alat musik ini merupakan onamatope karena merupakan tiruan suara yang diproduksi alat musik ini, yakni ―kkwaeng kkwaeng‖. Alat musik ini menghasilkan suara yang keras dan melengking mirip dengan suara dua piringan kuningan yang diadu (suara gembreng). Alat musik ini merupakan alat musik yang sangat penting dalam permainan samulnori dan pungmulnori. Jing adalah gong berbentuk rata dan berukuran sedang yang digunakan dalam musik tradisional Korea. Alat musik ini biasanya dibuat dari kuningan. Alat musik ini digunakan dengan pemukul yang besar dan terbuat dari kain yang lunak (seperti pemukul gong) untuk mendukung produksi suara yang dihasilkan. Sesungguhnya samulnori apabila dimainkan secara lengkap mirip dengan permainan orchestra atau gamelan lengkap di Indonesia. Samulnori dengan menggunakan empat alat musik yang pokok dahulu dimainkan dengan cara berpindah-pindah sebagai musik tradisional rakyat. Di samping belajar Samulnori, siswa-siswi di Korea juga belajar mempergunakan alat-alat musik tradisional yang dimainkan dalam Pungmulnori, yang terdiri atas alat-alat Samulnori (janggo, kkwaenggwari, buk, dan jing) ditambah dengan nabal, taepyeongso, serta sogo. Nabal adalah alat musik tiup tradisional Korea yang berbentuk mirip terompet panjang. Nabal juga dipergunakan dalam musik militer, seperti daechwita dan orchestra. Taepyeongso adalah alat musik tiup yang panjangnya sekitar 40 cm dan ujungnya berbentuk seperti corong. Alat musik ini dibuat dari kayu lapis yang berbentuk pipa dan dipadu dengan kuningan pada corong dan pangkal pipa yang ditiup dengan mulut. Sogo adalah tambur (“buk‖) berukuran kecil. Alat musik ini biasanya berdiameter 20 cm dan tebalnya 5 cm. Pada pangkalnya terdapat pegangan yang panjang dan alat ini ditabuh dengan menggunakan tongkat kecil (stick) yang dipegang dengan tangan kanan. Untuk pelajaran seni musik, metode pembelajaran yang diterapkan meliputi teori dan praktik. Teori diajarkan di kelas pada saat jam pelajaran. Pada saat itu, alat-alat musik tersebut diperkenalkan dan diperlihatkan secara nyata di depan kelas. Selanjutnya, guru mengajarkan cara mempermainkan alat tersebut sambil praktik dan memberi contoh di depan kelas. Untuk

13


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

samulnori dan pungmulnori, biasanya digunakan perangkat audio-visual sebagai media pembelajaran di dalam kelas. Siswa-siswi melakukan praktik atau latihan mempergunakan alatalat musik samulnori dan pungmulnori tersebut pada sore hari di luar jam pelajaran. Dengan kata lain, kegiatan tersebut merupakan kegiatan ekstrakurikuler. Pada umumnya, hampir semua sekolah, bahkan universitas di Korea memiliki klub samulnori. Sejak awal 1980-an hampir setiap kampus menggunakan samulnori sebagai sarana untuk mengumpulkan peserta demonstrasi. Pada tataran yang lebih tinggi, yakni tingkat SMP, ujian untuk seni musik diwujudkan dalam bentuk praktik bermain salah satu alat musik yang dikuasai oleh siswa, misalnya piano, biola, atau seruling. Untuk alat musik seperti biola dan piano, tidak ada waktu latihan khusus di kelas maupun di luar kelas. Hal tersebut disebabkan orang-orang Korea biasanya sudah menguasai alat-alat tersebut sejak kecil. Sejak usia dini mereka dipanggilkan guru les musik atau mengikuti kursus di ―sekolah-sekolah‖ musik. Untuk menunjukkan permainan alat-alat musik, seperti piano dan biola, di kelas permainan, alat musik tersebut ditunjukkan dengan sarana video. Selain Danso, yang dikenal orang sebagai alat bagi pemula untuk mengenal alat musik tradisional Korea, ada beberapa jenis seruling lain di Korea, yakni tungso, piri, dan daegeum yang cara memainkannya lebih sulit. Tungso adalah alat musik tiup dari bambu yang mirip dengan danso, tetapi lebih panjang. Piri adalah instrument musik tiup yang juga terbuat dari bambu. Alat musik ini memproduksi suara yang halus dan lembut dibandingkan alat-alat musik tiup yang lain. Piri digunakan sebagai instrument musik klasik dan musik tradisional rakyat. Daegeum adalah seruling bambu besar yang digunakan dalam musik tradisional Korea. Alat ini memiliki membran berdengung yang menghasilkan warna suara yang khusus.

2. Seni Tari Untuk murid-murid TK dan SD kelas 1—2 diberikan pelajaran tari Kkokdugaksichum. Kkokdugasichum merupakan sejenis wayang golek di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarian ini sejenis wayang orang di Jawa Barat. Tarian ini adalah tarian yang bisa dilakukan untuk murid-murid perempuan dan laki-laki.

Mereka menari berpasangan

dengan posisi anak perempuan di depan dan anak laki-laki di belakangnya. Metode pengajaran

14


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dilakukan dengan cara guru memberi contoh gerakan di depan dan murid-murid menirukannya di belakang. Untuk siswi SD kelas 6 atau SMP kelas 1 diajarkan tari Buchaechum (tari kipas), Talchum (tari topeng), atau Hansamchum (tari sapu tangan). Buchaechum adalah tari Korea yang ditarikan oleh perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian tradisional Korea dengan membawa kipas pada kedua belah tangannya. Biasanya ada unsur merah jambu pada kostum tari tersebut. Para penari juga mengenakan semacam mahkota di kepalanya. Kipas yang digunakan untuk manari bermotif bunga-bunga dan pada pinggir kipas diberi bulu-bulu. Sesungguhnya, pada awalnya, tari kipas ini hanya dibawakan oleh seorang penari, tetapi sekarang ditarikan oleh sekelompok penari dalam jumlah yang banyak. Gerakan tari ini lembut dan anggun serta membentuk seperti lingkaran, bunga, dan gelombang. Talchum adalah tari Korea yang dilakukan dengan memakai topeng dan bernyanyi. Ada banyak nama lain, seperti tallori, sandaenoreum, atau gamyeongeuk. Pada prinsipnya, bentuk pertunjukkan ini adalah drama dengan pemain-pemainnya yang mengenakan topeng. Pada masa lalu, pertunjukkan ini dipentaskan di atas panggung, tetapi sekarang biasa dipentaskan di tempat-tempat terbuka. Karakter yang berbeda ditunjukkan dengan perbedaan kostum dan topeng. Bukan hanya tarian yang dilakukan oleh penari, tetapi juga sebuah drama dengan karakter yang menggambarkan orang, binatang, atau makhluk gaib. Drama ini merefleksikan perasaan antipati atau ketidak senangan masyarakat umum terhadap kaum bangsawan karena adanya tindakan yang merugikan rakyat jelata. Tema mendasar dari drama ini adalah pengusiran roh-roh jahat, ritualisme, satire, serta parodi situasi sosial dan kelas bangsawan. Drama ini digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik terhadap para biksu dan bangsawan. Tema popular lain adalah konflik suami-isteri yang disebabkan karena hadirnya isteri simpanan (selir). Adapun Hansamchum ditarikan oleh sekelompok perempuan dengan tangan yang tertutup kain seperti sapu tangan. Hal ini disebabkan pada masa itu tangan perempuan tidak boleh diperlihatkan di muka umum. Gerakan tari Hansamchum sangat halus dan musik iringannya terkesan melankolis.

Pada zaman dahulu, tarian ini

dibawakan di istana.

15

merupakan tarian yang


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Dalam metode pengajaran tari dipergunakan media audio-visual, misalnya dengan memutar video pertunjukan tari-tarian tersebut. Di samping itu, juga dipergunakan peralatanperalatan tari yang diperlukan, misalnya kipas, topeng, sapu tangan/handuk, dan sebagainya. Selain itu, guru juga memberikan contoh-contoh gerakan secara langsung. Untuk materi pengajaran di kelas, yang diajarkan hanya gerakan-gerakan dasar saja. Untuk ujiannya, para siswa dituntut untuk mampu menciptakan sebuah tari menurut kreativitasnya sendiri berdasarkan gerakan-gerakan dasar yang telah diajarkan di kelas. Untuk materi seni tari, biasanya hanya diperuntukkan bagi murid perempuan. Di Korea, hal tersebut sangat dimungkinkan karena beberapa tahun yang lalu sekolah untuk laki-laki dan perempuan dipisahkan. Jadi, ada sekolah yang muridnya terdiri atas perempuan saja atau laki-laki saja. Akan tetapi, dewasa in, di Korea, banyak bermunculan sekolah-sekolah yang siswanya terdiri atas perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, materi seni tari tetap diberikan kepada murid perempuan saja, sedangkan murid laki-laki diberikan mata pelajaran olahraga khusus yang dinamakan gimajeon. Gimajeon sebenarnya menceritakan tentang perang di atas kuda. Olah raga ini ditujukan untuk menumbuhkan keberanian siswa lelaki. Selain tari tradisional, di SMP juga diberikan pelajaran tari Balet. Banyak orang Korea yang sudah belajar balet sejak kecil. Perkembangan tari modern di Korea diawali oleh para perintis, seperti Cho-Tak Won dan Choi Sung-hi. Perkumpulan Balet Seoul yang merupakan perkumpulan balet pertama di Korea didirikan pada 1950. Yang perlu dicatat adalah tidak semua sekolah menyelenggarakan pelajaran tari. Di Korea juga ada sekolah mengah seni (seperti SMKI) dan universitas atau perguruan tinggi seni (seperti ISI). Siswa sekolah seni juga mengikuti kurikulum seperti di sekolah-sekolah umum, tetapi secara khusus mereka mengikuti kurikulum pelajaran seni secara mendalam. Untuk kostum tari Korea, dipergunakan hanbok (pakaian tradisional Korea). Hanbok di Korea sering disebut chima-jeogori karena terdiri atas rok panjang yang disebut chima dan bolero semacam jaket kecil yang disebut jeogori. Pada umumnya, siswi-siswi Korea mampu mengenakan pakaian hanbok sendiri karena ketika mereka duduk di bangku kelas 1—2 diajarkan cara memakai pakaian tradisional Korea tersebut. Jadi, pada saat para siswi akan menari untuk pertunjukkan, mereka dapat mengenakan sendiri kostum tersebut. Di sekolah-

16


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sekolah, mulai TK, sering diadakan perlombaan peragaan busana tradisional Korea. Mulai sejak kecil murid-murid TK, terutama yang perempuan, selain diajarkan cara membawakan busana tradisional mereka juga diajarkan beberapa tata cara dalam bersikap, misalnya cara memberi hormat dan sebagainya.

3. Seni Suara Untuk bidang seni suara, murid-murid SD kelas 2—3 diajari menyanyi lagu-lagu rakyat, seperti Arirang dan Doraji. Arirang adalah contoh yang baik untuk lagu rakyat Korea. Hampir semua orang Korea bisa menyanyikan lagu ini. Seperti nyanyian rakyat pada umumnya, orang Korea tidak mengetahui sejarah Arirang secara pasti. Nyanyian ini tersebar dari mulut ke mulut. Versi Arirang pun berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain. Arirang yang paling populer dalam masyarakat Korea adalah versi Arirang Gyeonggi. Jika dilihat dari aspek arti, Arirang sesungguhnya tidak mempunyai arti. Akan tetapi, Arirang merupakan lagu yang secara simbolik memperlihatkan semangat nasionalisme bangsa Korea. Berikut ini potongan teks lagu Arirang: Arirang, Arirang, Arariyo... Arirang gogaero neomeoganda. Nareul beorigo gasineun nimeun Simlido motgaseo balbyeongnanda. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Arirang, Arirang, Arariyo... Saya melewati jalur arirang Dia yang meninggalkan diriku disini Kakinya akan terluka sebelum mencapai 10 mil pun (dia tidak dapat pergi jauh meninggalkanku jauh begini) Selain itu, berbagai lagu anak-anak juga diajarkan, misalnya lagu anak-anak yang

17


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sangat terkenal ―pureun haneul‖. Untuk murid-murid SMP, guru mengajarkan lagu-lagu lama yang muncul sekitar tahun 1920—1930-an. Metode pengajaran di kelas dilakukan dengan cara guru memberi contoh berdasarkan buku ajar yang dibagikan untuk masing-masing murid dan murid tersebut menirukannya. Di samping buku ajar yang di dalamnya memuat lagu-lagu yang diajarkan, sarana audio-visual juga dimanfaatkan dalam proses belajar-mengajar. Model ujian yang diterapkan untuk pelajaran seni suara ini adalah setiap murid diminta menyanyikan lagu yang disyaratkan secara satu per satu.

4. Seni Rupa Di Korea, semua sekolah mengajarkan seoye. Seoye adalah semacam ―kaligrafi‖ (bisa berupa lukisan atau tulisan indah) dalam huruf Korea dan Cina. Huruf-huruf tersebut ditulis satu per satu dalam gaya tulisan yang unik. Penulis seoye mula-mula harus mempersiapkan tinta hitam yang dibuat dengan cara menuangkan air di dalam batu persegi, tempat membuat tinta dan kemudian diaduk. Selanjutnya, kuas dicelupkan dalam-dalam ke dalam tinta dan digunakan untuk menulis huruf pada bagian dari lembaran kertas. Dalam penulisan seoye dibutuhkan ketelatenan, ketelitian, dan kecermatan dari penulis. Pembuatan seoye memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, seoye bukan hanya sekadar hasil tulisan tangan yang indah, melainkan juga merefleksikan mental, emosi, dan kepribadian penulisnya. Seoye diajarkan kepada murid-murid mulai dari kelas 3 atau 4 sampai dengan kelas 6. Dalam pelajaran ini, murid-murid diajar mempraktikkan bermacam-macam gaya atau tipe huruf/tulisan. Pada saat ujian, murid-murid harus dapat membuat seoye sesuai dengan tipe huruf yang diminta. Selain seoye, di Korea, biasanya murid-murid diminta untuk menggambar dengan contoh objek yang nyata. Jadi, misalnya mereka diminta untuk menggambar tanaman yang ada dalam pot, guru akan membawa pot yang berisi tanaman secara nyata dan diletakkan di depan kelas untuk ditransfer menjadi sebuah gambar. Jika murid-murid diminta menggambar manusia, di depan kelas akan ada orang yang menjadi modelnya. Para murid tersebut diajarkan untuk menggambar objek yang dilihat secara nyata.

Untuk keperluan menggambar ini dipakai

peralatan khusus yang dinamakan but-paen (perpaduan antara kuas dan pena).

18


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

5. Seni Sastra Di Korea, seni sastra, dalam praktik pengajarannya termasuk dalam bagian dari materi pelajaran bahasa Korea.

Untuk murid-murid SD, diperkenalkan cerita-cerita rakyat yang

terkenal, misalnya Dan-Gun. Dan-Gun adalah pendiri legendaris Gojoseon, kerajaan Korea pertama. Dia dipercaya sebagai cucu dari surga, dan telah mendirikan kerajaan tahun 2333 SM. Meskipun istilah Dan-Gun merujuk kepada pendiri, beberapa orang percaya bahwa hal itu juga berarti "Imam Besar" yang digunakan oleh semua pemimpin Gojoseon dan bahwa Wanggeom adalah nama pendiri yang tepat. Versi yang paling awal tercatat bahwa legenda Dan-Gun muncul pada abad ke-13 dalam Samguk Yusa. Samguk Yusa, atau Memorabilia dari Zaman Tiga Negara, adalah kumpulan legenda, cerita rakyat, dan catatan sejarah yang berkaitan dengan Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Baekje dan Silla), serta untuk periode lain sebelum, selama, dan setelah periode tiga kerajaan tersebut. Siswa-siswi SMP juga diajarkan untuk menganalisis makna beberapa puisi dan cerpen yang cukup terkenal di Korea. Dalam ujian, siswa-siswi SMP juga diminta untuk menganalisis puisi atau cerpen yang telah ditentukan dalam soal ujian. Untuk seni peran atau drama, siswa-siswi SMP biasanya diminta untuk bermain drama sesuai dengan teks dialog yang diberikan. Kadang-kadang, naskah-naskah lama yang dipergunakan dalam drama tari Korea juga dipergunakan sebagai bahan untuk latihan drama. Ada banyak variasi tipe drama tari topeng Korea. Drama tari Korea dari daerah yang satu dengan daerah lain berbeda variasinya, meskipun tema yang dikemukakan pada umumnya sama. Akan tetapi, sekarang ini drama tari topeng Korea bisa dibagi menjadi dua kategori besar. Kategori pertama adalah drama tari yang dipertunjukkan dalam upacara di tempat-tempat suci di daerah pedesaan dan disebut Sonang-je. Kategori kedua adalah drama tari topeng yang bagian terbesarnya adalah tari singa (saja-chum atau saja dance). Drama tari topeng Korea ini merupakan perpaduan dari seni tari, seni musik/suara, dan seni drama. Untuk sastra lisan, biasanya guru memperlihatkan pertunjukkan pansori dengan mempergunakan perangkat video. Pansori adalah drama musik tradisional Korea. Pansori berasal dari kata ―pan‖ yang berarti tempat umum yang dijadikan tempat berkumpulnya orang banyak dan ―sori‖ yang berarti suara atau lagu. Pansori dimainkan oleh dua orang, yakni gosu

19


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sebagai pemain ―buk‖ dan gwangdae sebagai penyanyi yang menyuarakan puisi yang sangat panjang dengan kipas lipat (jwilbuchae) di tangannya. Pada awalnya, penikmat Pansori adalah masyarakat golongan kelas bawah. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, Pansori digemari oleh masyarakat Korea dari berbagai kelas sosial. Ketika pertunjukkan Pansori berlangsung, para penonton bisa ikut menanggapi.

Penutup

Pendidikan seni memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa di Korea. Oleh karena itu, materi maupun metode atau arah strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kepentingan tersebut. Pada tataran pendidikan dasar seni tradisional dijadikan fundamen atau dasar dalam pembentukan mental generasi muda sehingga tumbuhlah rasa nasionalisme yang kuat. Dengan telah terciptanya rasa nasionalisme yang tinggi yang mendasari mental generasi muda Korea, ketika ada pengaruh modernisasi maupun pengaruh-pengaruh dari luar, rasa nasionalisme itu tidak akan pernah luntur. Dengan demikian, rasa nasionalisme yang kuat ikut berperan serta pembangunan bangsa di Korea. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan mengenai strategi pembelajaran kreativitas seni di sekolah-sekolah umum di Korea. Selain itu, tulisan ini juga ditujukan untuk memberikan informasi mengenai implementasi pendidikan seni di Korea. Hal ini dapat dijadikan sebagai masukan yang positif dalam pengembangan strategi pembelajaran senibudaya di Indonesia, dengan syarat harus tetap disesuaikan dengan kepribadian bangsa dan kondisi di Indonesia.

Penulis: Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum. Ph. D. (Kyungnam University, Korea), Direktur Pusat Studi Korea, UGM E-mail: vindra68@yahoo.com

20


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

DAFTAR PUSTAKA

Indrastuti, Novi Siti Kussuji. 2007. ―The Korean and Indonesian Mask Dance Dramas in the Dimension of Literature and Performance Art: Cross-Cultural Semiotic Study‖. Masan: Kyungnam University. Korean Culture and Information Service. 2008. Facts about Korea. Seoul. Korean Overseas Information Service. 2003. Guide to Korean Cultural Heritage. Seoul. The National Academy of the Korean Language. 2002. A Illustrated Guide to Korean Culture. Seoul: Hakgojae. Pelayanan Informasi Korea, Badan Informasi Nasional. 1999. Korea Selayang Pandang. Jakarta: Grafika Indah.

21


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

KOREA SEBAGAI NEGARA MULTIRELIGI

Yuliawati Dwi Widyaningrum (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Lewat undang-undang pemerintah Korea menjamin kebebasan bagi warganya untuk memeluk suatu kepercayaan. Jaminan ini menyebabkan Korea tumbuh menjadi sebuah negara multiagama. Beraneka jenis kepercayaan ada di Korea. Namun demikian tak satu pun dari agama tersebut dijadikan sebagai agama secara resmi oleh pemerintah. Hal yang perlu dicatat adalah agama-agama tersebut dibawa masuk ke Korea dari negaranegara lain. Meskipun pada masa lalu pernah terjadi penganiayaan terhadapan beberapa penganut Katolik, secara umum agama asing diterima dengan mudah dan menyebar dengan relarif cepat di Korea. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Korea merupakan masyarakat yang berpandangan terbuka terhadap agama. Pada umumnya agama di Korea terdiri dari tiga jenis. Jenis yang pertama adalah agama yang dianut secara dominan oleh penduduk, yaitu Budha, Konfusianisme, Kristen dan Katolik. Yang kedua adalah agama-agama yang dianggap berseberangan dengan agama jenis pertama, seperti Donghak, Cheondogyo, Chungsangyo, agama dari Jepang, Islam, dan agama-agama baru lainnya. Kemudian jenis yang ketiga adalah kepercayaan masyarakat yang cenderung tidak disebut sebagai agama tapi keberadaannya sangat kental di dalam kehidupan, seperti Shamanisme, pemujaan kepada alam, geomansi atau yang lebih dikenal dengan istilah feng-sui dan Tao. Dalam bahasa Korea Tao disebut dengan Dogyo. Taoisme merupakan filosofis mistik yang dikenalkan dari Cina bersamaan dengan masuknya agama Budha. Banyak prinsip-prinsip ajaran Tao yang sama dengan kebudayaan Korea, seperti konsep menitikberatkan keselaranan

22


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dengan alam, kesederhanaan, kemurnian, dan keabadian. Selain Shamanisme, Budha dan Konfusianisme memainkan peranan yang penting dalam pembentukan sekaligus perkembangan budaya dan karakter bangsa Korea. Pengaruh kuat yang dimiliki oleh ketiganya nampak jelas tercermin dalam pemikiran, tingkah laku, dan karya seni yang dihasilkan oleh bangsa Korea. Di samping berhubungan erat dengan kebudayaan, kehidupan beragama di Korea juga memiliki hubungan langsung dengan sejarah Korea. Berdasarkan sejarahnya, agama Budha masuk ke Korea lewat Cina pada abad keempat, pada masa Tiga Kerajaan. Sama dengan Budha, masyarakat mengenal ajaran Konfusianisme juga dari Cina. Kepercayaan ini pun masuk ke Korea pada zaman Goryeo. Bila Budha sempat menjadi agama resmi negara pada masa Tiga Kerajaan (57 SM ~ 935 M) dan Dinansti Goryeo (935 M ~ 1392 M), maka Konfusianisme diangkat menjadi agama pada masa Dinasti Joseon (1392 ~ 1910). Perlu diketahui bahwa bahwa pada tahun 1995 pemerintah Korea menyatakan Konfusianisme sebagai agama, bukan sebagai agama negara melainkan sebuah kepercayaan yang setara dengan agama. Di Korea pada umumnya Konfusianisme memiliki pengaruh kuat pada kehidupan masyarakat. Bahkan banyak ahli berpendapat bahwa pengaruh Konfusianisme di Korea jauh lebih besar daripada di Cina, Jepang dan Vietnam. Pada akhir abad 18 agama Kristen dan Katolik tumbuh subur. Hanya dalam waktu satu abad gereja didirikan di mana-mana. Agama Islam mulai dianut oleh masyarakat Korea pada pertengahan abad 20. Sampai detik ini jumlah pengikut agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan tabel hasil survei tahun 2003 di bawah ini terlihat bahwa 54% dari penduduk Korea usia di atas 15 tahun menganut suatu agama. Dari berbagai agama yang ada, pada saat ini Budha, Kristen Protestan, Katolik dan Konfusianisme merupakan agama yang menduduki tempat penting dalam kehidupan masyarakat Korea. Kemudian 1,3% penduduk menganut agama di luar keempat agama tersebut. Nampak pula bahwa dari keempat agama tersebut agama Budha dan Kristen Protestan merupakan dua agama yang paling banyak dianut. Tabel 1. Persentase Pemeluk Agama di Korea

23


Sumber:

Lee,

Seon-i,

Korea

Today-Wegukineul

wihan

MemilikiAgama pemeluk agama

pemeluk agama 46% dari

Tidak

Konfusianisme pemeluk agama 0,7% dari

Katolik

Protestan

pemeluk agama 14% dari

Kristen pemeluk agama 37% dari

Budha 47% dari

Agama

usia 15 th 54%

Penduduk di atas

Pemeluk

INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Hanguk

Hyeondae

Munhwa (2007:100)

Menurut tabel di atas diketahui pula bahwa kurang dari separo orang Korea, tepatnya 46% populasi Korea Selatan mengaku tidak memeluk suatu agama atau kepercayaan secara khusus. Meskipun demikian, hampir dapat dipastikan seluruh orang Korea, baik yang menganut suatu agama maupun yang tidak pasti mendapatkan pengaruh ajaran Budha dan Konfusianisme dalam diri mereka. Hal ini membuktikan bahwa Budha dan Konfusianisme telah berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat Korea. Hal menarik lainnya dalam kehidupan beragama di Korea adalah adanya sinkretisme agama. Hal ini berarti dalam waktu yang bersamaan banyak orang Korea memeluk kepercayaan lebih dari satu. Disadari atau tidak mayoritas dari mereka menggabungkan beberapa ajaran agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan nyata mereka. Sebagai contoh, beberapa orang memeluk Budha sekaligus menganut Konfusianisme, beberapa yang lain secara bersamaan menganut Konfusianisme dan Kristen, serta yang lainnya mengamalkan baik Budha maupun Shamanisme dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebuah fenomena yang sangat menarik bahwa sampai detik ini para penganut beraneka ragam agama dan kepercayaan dapat hidup berdampingan secara damai di Korea. Agama-agama yang berasal dari luar negeri dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dan alam masyarakat Korea. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa agama di Korea, yaitu Budha,

24


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Konfusianisme, Kristen, Katolik, Dongak, Cheondogyo, dan Islam.

Agama-Agama di Korea

1. Budha Berdasarkan tabel.1, nampak bahwa Budha merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Korea. Hal ini menunjukkan bahwa Budha memiliki peranan yang penting dalam kehidupan beragama di Korea. Selain dari banyaknya jumlah pemeluk, pentingnya posisi Budha dalam masyarakat Korea tercermin dari pernah dijadikannya agama ini sebagai agama resmi negara pada permulaan tahun 500 sampai 1392. Atas dasar itu lah agama berdisiplin tinggi, menekankan pengorbanan pribadi, serta kelahiran kembali dalam sebuah reinkarnasi yang terus menerus ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah, budaya dan sistem nilai yang ada di Korea. Dukungan para penguasa terhadap agama Budha menyebabkan ajaran ini tumbuh dan berkembang dengan subur. Tak lama setelah diperkenalkan di Korea, ajaran Budha menyebar ke seluruh daratan Korea. Pada masanya Budha menjadi pilar ideologi dan dasar bagi seni dan budaya Korea. Berdasarkan sejarahnya, ajaran Budha Mahayana untuk pertama kalinya diperkenalkan dari Cina ke Korea pada abad ke-4, ketika semenanjung Korea terbagi ke dalam kekuasaan Tiga Kerajaan, yaitu Kerajaan Goguryeo (37 SM ~ 668) yang terletak di bagian barat laut semenanjung Korea, Baekje (18 SM ~ 660) di barat daya semenanjung, dan Silla (57 SM ~ 935) di bagian tenggara semenanjung. Pada tahun 372, di tahun kedua Raja Sosurim memerintah Kerajaan Goguryeo, seorang pendeta Budha Sundo dari Dinasti Qian Qin di Cina datang ke Goguryeo sambil membawa kitab suci Budha dan patung Budha. Kedatangan dan siar pendeta ini di Goguryeo disambut baik oleh keluarga kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian dukungan penuh kerajaan atas dibangunnya dua kuil, Chobunsa dan Ibullansa. Kedua kuil ini merupakan kuil Budha pertama yang didirikan di Korea. Kelak dari dua kuil ini dihasilkan pendata-pendeta Budha terkenal.

25


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Selanjutnya di tahun pertama pemerintahan Raja Chimru di Baekje (384), biksu Marananta yang berasal dari negara bagian Jin Timur di Cina membawa ajaran yang berasal dari India ini ke Kerajaan Baekje. Kedatangan biksu ini kemudian diikuti oleh kedatangan biksubiksu lain, baik yang berasal dari Cina maupun dari Kerajaan Goguryeo. Penguasa kerajaan Baekche pun sangat menyambut baik kedatangan biksu-biksu tersebut dan bahkan selanjutnya mengirimkan orang-orang pilihannya untuk secara langsung belajar tentang Budha ke India. Pada pertengahan abad ke-5, biarawan Ado dari Goguryeo menyebarkan ajaran Budha ke Kerajaan Silla. Di kerajaan ini, berbeda dengan dua kerajaan sebelumnya, pada awalnya masyarakat biasalah yang pertama-tama tertarik memeluk ajaran Budha. Meski pada awalnya penyebaran ajaran Budha di Kerajaan Silla tidak semudah di Kerajaan Goguryeo maupun Baekje, namun pada akhirnya ajaran ini menjadi dikenal luas di seluruh wilayah kerajaan pada tahun ke-14 pemerintahan Raja Bobeung (527). Pada masa Tiga Kerajaan ini, para penguasa kerajaan sangat antusias mempropagandakan ajaran Budha. Mereka mengangkat Budha sebagai agama negara dan memerintahkan seluruh masyarakat untuk memeluk dan secara aktif mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan Budha. Salah satu alasan besarnya dukungan Tiga Kerajaan terhadap agama Budha adalah ketika Budha datang, ketiga kerajaan tersebut sedang dihadapkan pada masalah pencarian sistem pemerintahan yang tepat, khususnya masalah yang berhubungan dengan sentralisasi kekuasaan, kedudukan kerajaan dan pembentukan identitas negara. Mereka menilai bahwa ajaran Budha dianggap sesuai dengan konsep keagamaan dan tata susunan pemerintahan yang diharapkan oleh tiga kerajaan tersebut. Ajaran yang mengangkat Sang Budha sebagai simbol tunggal objek pemujaan pada agama Budha dianggap sesuai dengan konsep raja sebagai simbol tunggal kekuasaan pada kerajaan Goguryeo, Baekje dan Silla. Konsep-konsep dalam agama baru ini dianggap berguna dalam pembentukan sistem sosial politik dan bisa dijadikan alat untuk membangun kerajaan yang hebat. Budha tidak hanya ajarkan bagaimana mencegah ketidakberuntungan tapi juga menjanjikan kebahagiaan tanpa akhir setelah mati. Supaya lebih bisa diterima Budha mengadaptasikan unsur-unsur Shamanisme. Pemikiran Budha mempengaruhi dalam-dalam pemikiran dan filosofi orang Korea tentang hidup. Ajaran-ajaran Budha berakar dalam

26


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

kehidupan dan pemikiran masyarakat. Budha mengajarkan kepada masyarakat cara menyikapi hidup, menerima kenyaataan dan menawarkan kepada mereka solusi untuk melarikan diri dari realita dan keluar dari masalah. Penerimaan akan ajaran ini menghasilkan sebuah sifat penuh kesabaran pada bangsa Korea dalam menerima nasib saat mengalami peperangan dan kemiskinan. Atas dasar alasan-alasan tersebut Budha menjadi diterima, diadopsi, dan dikembangkan untuk tujuan menguatkan autoritas kerajaan serta mewujudkan tercapainya persatuan negara secara ideologis. Selain berperan sebagai ideologi sosial politik, Budha juga menginspirasi tumbuhnya keingintahuan masyarakat secara intelektual, melatarbelakangi munculnya berbagai kegiatan akademik, dan tumbuh kembangnya aneka aliran seni yang kreatif. Dengan kata lain ajaran Budha mendominasi nilai-nilai estetika dan spiritual, serta mengilhami karya intelektual dan seni pada masa Tiga Kerajaan. Di bawah dukungan kerajaan, candi dan biara yang didirikan serta jumlah pemeluk Budha meningkat dengan pesat. Bahkan, pada abad ke-6, pendeta dan seniman Budha membawa kitab suci dan hasil karya seni keagamaannya ke Jepang guna menyebarkan agama Budha di negeri seberang tersebut. Keberhasilan Kerajaan Silla (668 ~ 935) mempersatukan seluruh semenanjung Korea ke dalam Silla Bersatu pada tahun 668 makin membawa dampak baik bagi perkembangan agama Budha. Meskipun pada saat itu sistem pemerintahan diselenggarakan berdasarkan ajaran Konfusianisme, namun penguasa menunjuk agama Budha sebagai agama negara. Budha yang pada awalnya secara mayoritas dipeluk oleh kalangan atas, lambat laun juga dianut oleh masyarakat biasa. Pada era ini Budha berkembang dalam berbagai aliran atau sekte. Lima sekte lebih memusatkan pada kitab suci dan sembilan sekte memusatkan ajarannya pada meditasi. Sembilan sekte meditasi atau yang dikenal dengan nama sekte Seon atau disebut dengan aliran Chan di Cina ini menekankan pada kebenaran universal melalui kesederhanaan hidup. Aliran ini berkembang sebagai reaksi keprihatinan atas mulai tertariknya para bangsawan akan kehidupan yang mewah. Seiring berjalannya waktu aliran ini berkembang pesat pula di Jepang dan lebih dikenal dengan istilah Budha Zen. Selain berkembangnya berbagai aliran, pada masa Silla Bersatu karya seni Budha makin banyak dihasilkan dan candi atau kuil Budha makin banyak juga didirikan. Salah satu kuil yang

27


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

terkenal di antaranya adalah kuil Bulguksa yang didirikan di kota Gyeongju, ibu kota Silla Bersatu. Seorang pelancong dari Cina menulis di catatan perjalanannya mengenai kunjungannya ke Gyeongju. Dalam catatan tersebut Gyeongju digambarkan sebagai sebuah kota yang dipenuli dengan kuil dan stupa Budha. Ketika Kerajaan Goryeo menjadi penguasa di Semenanjung Korea (918 ~ 1100), dukungan terhadap kehidupan agama Budha makin besar. Di kala Raja Wang Geon berkuasa, Budha diangkat sebagai agama negara. Gabungan antara ajaran Budha Seon, ajaran Tao dan beberapa unsur Konfusianisme menjadi dasar ideologi dan spiritual bagi Dinasti Goryeo. Selain agama Budha diputuskan sebagai agama negara, dukungan kerajaan dan kaum bangsawan terhadap agama ini makin besar. Karya seni Budha dan arsitektur Budha makin tumbuh dan berkembang. Bantuan yang besar dari kerajaan dan kaum bangsawan memperkaya kuil Budha. Ritual Budha seperti permohonan kemakmuran negara di gelar tiap tahun sebagai upacara kenegaraan. Puncak dari karya seni Budha terjadi pada masa kerajaan ini, yaitu dengan dibuatnya Tripitaka Koreana. Ukiran ayat-ayat dalam kitab suci Budha pada 84.000 panel-panel balok kayu. Peninggalan maha karya Budha ini tersimpan baik dan bisa disaksikan di kuil Heinsa. Lambat laun keberpihakan kaum bangsawan pada Budha menumbuhkan berbagai masalah sosial. Budha menjadi sekular di bawah perlindungan kaum aristokrat, kesejahteraan negara menjadi terganggu karena demi aktifitas kebudhaan negara dianggap menghamburhamburkan uang dan menyebabkan mundurnya produktivitas masyarakat. Ditambah lagi mulai muncul konflik antara pengikut Budha dan Konfusianisme. Kondisi ini menyebabkan Dinasti Jeoson (1392~1910) mengambil sikap untuk tidak lagi menjadikan Budha sebagai agama negara. Sebagai gantinya mereka mengangkat Neo-konfusianisme sebagai agama negara sekaligus ideologi bangsa. Sejak saat itu lah dukungan terhadap Budha ditangguhkan, posisi dan pengaruh Budha perlahan-lahan mulai melemah. Bahkan ada usaha untuk menghilangkan pengaruh Budha dalam pemerintahan. Sebagai dampak nyata lainnya adalah banyak kuil dipindahkan dan didirikan di gunung-gunung atau di daerah pedalaman. Dalam kondisi terpinggirkan, beberapa kalangan tetap memeluk agama Budha. Setiap usaha menghidupkan kembali ajaran Budha selalu mendapat tentangan keras dari para ahli dan

28


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pejabat konfusianisme. Ketika Jepang menguasai dinasti Joseon pada tahun 1910, terdapat usaha-usaha mempersatukan ajaran Budha Jepang dan Korea. Namun usaha ini pun gagal. Dibalik kegagalan tersebut timbul usaha membangkitkan kembali ajaran Budha Korea. Sebagai wujud dari usaha ini, sebagian dari pendeta Budha tetap tinggal di pegunungan untuk mempelajari disiplin diri dan bermeditasi serta sebagian lainnya turun gunung untuk kembali melakukan siar agama Budha. Meskipun kini beraneka agama ada dan tumbuh berkembang di Korea, agama Budha merupakan agama yang penting di Korea. Gejala kebangkitan kembali semangat Budha di Korea dapat dirasakan akhir-akhir ini. Pada hari-hari tertentu banyak orang datang dan berdoa di kuil. Kemudian, setiap mendekati hari kelahiran Budha, pada bulan 4 tanggal 1 kalender bulan para penganut agama Budha menghiasi kuil dan jalan dengan lampion-lampion serta mengadakan pawai. Selain itu lewat berbagai program yang diselenggarakannya, beberapa kuil di Korea juga membuka diri bagi siapa saja yang ingin mempelajari Budha. Banyak pula kuil yang menawarkan program homestay bagi masyarakat umum untuk sekedar bisa merasakan kehidupan di dalam kuil. Bagi orang Korea agama Budha memiliki dua makna penting. Yang pertama, agama budha banyak memberi pengaruh pada cara berpikir masyarakat Korea tentang hubungan antar manusia, alam semesta dan kehidupan. Pemikiran bahwa semua yang ada di dunia ini saling berhubungan mendasari sikap orang Korea akan konsep kebersamaan. Makna yang kedua adalah perjalanan sejarah agama Budha di Korea yang sangat lama dan panjang banyak meninggalkan warisan budaya yang indah dan sangat dicintai oleh bangsa Korea.

2. Konfusianisme Konfusianisme merupakan sebuah ajaran etika moral yang diasaskan oleh Kong Fu Tze, filsuf Cina yang hidup pada 551 S.M - 479 S.M. Setelah melewati berbagai perkembangan dan sejarah yang panjang, akhirnya ajaran ini tidak hanya berpengaruh di negara Cina saja, tetapi juga di negara-negara lain termasuk Korea.

Kurangnya data peninggalan sejarah yang

menjelaskan hubungan antara Cina dan Korea di masa lalu, menyulitkan para ahli memastikan kapan tepatnya ajaran ini masuk ke Korea. Namun demikian beberapa sumber memperkirakan

29


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bahwa paling tidak Konfusianisme telah masuk ke Korea setelah tahun 108 S.M ketika aksara Cina dan buku-buku dari Cina masuk ke Korea dan sebelum tahun 372, saat didirikannya National Confucian Academy (Daehak) di Kerajaan Goguryeo. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada tahun 1995 pemerintah Korea menyatakan bahwa Konfusianisme merupakan sebuah agama, bukan sebagai agama negara melainkan sebuah kepercayaan yang setara dengan agama. Namun demikian, bila dilihat dari konteks kekinian Konfusianisme lebih merupakan filosofi moral ketimbang sebuah agama. Sebagai satu falsafah pemikiran, Konfusianisme merupakan etika moral yang mengajarkan bagaimana selayaknya manusia bertingkah laku. Etika mengenai manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lainnya baik sebagai seorang individu maupun sebagai anggota suatu kelompok masyarakat Dari berbagai peninggalan diketahui bahwa pada zaman Tiga Kerajaan, Konfusianisme telah memberi pengaruh yang luas pada kehidupan masyarakat Korea. Salah satu di antaranya adalah di bidang pendidikan. Seperti yang tertulis di atas, Kerajaan Goguryeo telah mendirikan National Confucian Academy pada tahun 372. Selain itu beberapa institusi semacamnya pun banyak didirikan di seluruh wilayah Goguryeo. Dapat dikatakan bahwa pada masa ini sebagian dari masyarakat telah mendapatkan pendidikan tentang Kofusianisme melalui Five Classics of Confucianism dan beberapa kitab yang lain yang berisi tentang ajaran Konfusianisme dan sejarah Cina. Berbagai lembaga pendidikan semacam juga didirikan di wilayah Kerajaan Baekje. Bahkan dikatakan bahwa sistem pendidikan yang digunakan oleh Kerajaan Baekje adalah sistem pendidikan Konfusianisme.

Meskipun lebih lambat bila dibandingkan dengan dua

kerajaan yang lainnya, pada zaman Kerajaan Silla pun nilai-nilai moral Konfusianisme telah menyebar luas di masyarakat. Kerajaan mengirimkan beberapa sarjana ke Cina untuk melihat dan terlibat secara langsung dalam aktifitas lembaga-lembaga Konfusianisme di sana. Selanjutnya, empat belas tahun setelah di mulainya era Silla Bersatu, sebuah institusi dengan nama National Confucian College (Gukhak) didirikan dengan tujuan untuk lebih menyebarluaskan filosofi Konfusianisme dan pemahaman budaya Cina. Institusi ini kemudia dikembangkan menjadi National Confusian University (Daehakkam). Confucian Analects dan

30


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

the Classics of Filial Piety Daehakkam menjadi kajian wajib dalam seluruh kurikulumnya. Pada abad ke-10, di tengah-tengah tumbuh suburnya agama Budha dan diangkatnya Budha menjadi agama resmi negara di Kerajaan Goryeo, Konfusianisme tetap menjadi filosofi, ideologi politik dan dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Diberlakukannya gwago,

ujian pegawai negeri dengan materi utama tentang nilai-nilai Konfusianisme yang wajib ditempuh bagi siapa saja yang akan dan sedang bekerja sebagai pegawai negeri makin memantapkan posisi Konfusianisme dalam masyarakat Goryeo. Banyak institusi pemerintah maupun swasta didirikan di seluruh negeri khusus untuk mendidik para calon pegawai negeri maupun masyarakat awam. Selain itu semakin banyak materi ajar konfusianisme yang diimpor ke Korea dan semakin banyak pula kaum intelektual Korea yang dikirim untuk memperdalam ilmu Konfusianismenya ke Cina. Kuil-kuil Konfusianisme tersebar sampai ke seluruh pelosok Korea dan dua perpustakaan khusus untuk menyimpan koleksi buku-buku Konfusianisme juga didirikan. Pemikiranpemikiran Konfusianisme juga banyak berpengaruh pada penulisan karya sastra dan sistem budaya masyarakat Goryeo. Pada periode ini pendidikan Konfusianisme, khususnya pendidikan swasta berkembang pesat. Bahkan dapat dikatakan bahwa

pada zaman Goryeo ajaran

Konfusianisme menjadi standar bagi pendidikan sekolah, serta aturan dan etika moral Konfusianisme menjadi aturan negara. Buku A Complete Book of Chu Hsi pada akhir abad ke-13 menandai masuknya aliran Neo-Konfusianisme pada akhir masa Goryeo. Aliran ini berkembang di Cina pada zaman Dinasti Sung (960-1279). Aliran ini ditetapkan oleh Dinasti Joseon sebagai ideologi resmi bagi penyelenggaraan negara selama kurang lebih 500 tahun. Selain makin berkembangnya pengaruh Konfusianisme pada seluruh lapisan masyarakat, hal lain yang menonjol adalah dilakukannya berbagai ritual Konfusianisme dan adanya usaha-usaha untuk mereformasi ajaran-ajaran Konfusianisme demi menyesuaikannya dengan perubahan zaman. Begitu kentalnya nilai-nilai Konfusianisme dalam kehidupan sehari-hari menjadikan Kerajaan Joseon disebut sebagai Negara Konfusianisme. Dilihat dari rentetan sejarah yang telah dilaluinya, nampak bahwa pada periode awal terutama periode Goryeo Konfusianisme lebih dipusatkan pada pendidikan dan pengembangan

31


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

kebangsawanan, sedangkan pada periode akhir, yaitu pada periode Joseon terlihat peran Neokonfusianisme sebagai filosofi dan ideologi negara lebih besar. Selama berabad-abad bagi masyarakat Korea nilai-nilai dan norma-norma Konfusianisme telah memberi pengaruh yang besar pada kehidupan sehari-hari. Konfusianisme menawarkan standar etika moral bagi setiap individu, tata moral dalam hidup bermasyarakat, dan aturan hubungan moral dengan negara. Kebajikan, kebenaran dan keadilan, rasa hormat serta kesetiaan atau loyalitas sangat dititikberatkan dalam ajaran ini. Etika moral tersebut juga terefleksikan dengan jelas dalam kedekatan hubungan antar keluarga, kode-kode hubungan antar manusia, dan pandangan negara akan warganya dan sebaliknya di Korea. Secara garis besar hubungan antar manusia yang diatur dalam norma-norma Konfusianisme terangkum dalam lima dasar pola hubungan sebagaimana berikut ini : 1) Hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya (orang tua dan anaknya) 2) Hubungan antara kakak dan adik (yang tua dan yang muda) 3) Hubungan antara suami dan istri (laki-laki dan perempuan) 4) Hubungan antar teman 5) Hubungan antara penguasa dan rakyat Konfusianisme juga telah membawa pengaruh yang besar pada pendidikan di Korea. Ajaran yang menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti dan pengetahuan ini memberi pengaruh yang nyata pada tujuan, metode dan kurikulum di sekolah serta pendidikan yang diselenggarakan di rumah. Tak heran apabila Konfusianisme dianggap membawa peran yang penting dalam mencerahkan masyarakat Korea. Pemujaan terhadap nenek moyang sebagai salah satu ritual Konfusianisme menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Korea. Sebagai salah satu ajaran Konfusianisme, bakti kepada orang tua merupakan fenomena yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Korea. Wujud rasa bakti ini salah satunya diekspresikan dalam bentuk pemujaan kepada leluhur. Secara teoritis konsep bakti ini muncul dari rasa hormat kepada zat yang absolut. Dikatakan bahwa zat ini lah yang menciptakan manusia dan seluruh yang ada di alam semesta ini. Namun demikian, zat itu sendiri tidak dapat dilihat, dicium baunya serta bekerja tanpa suara dan tanpa bau. Di satu sisi manusia hanya bisa melihat orang tuanya dan orang tua dari orang tuanya diciptakan

32


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sebelumnya oleh suatu zat. Berpijak dari pemikiran tersebut, sebagai satu bentuk rasa bakti, manusia harus menunjukkan rasa terima kasih kepada orang tua, karena orang tua merupakan wujud yang kongkrit sedangkan zat di atas merupakan sesuatu yang abstrak. Pemikiran seperti ini meluas sampai pada pemikiran tentang alam baka, bahwa roh orang yang meninggal tidak hilang begitu saja. Dipercaya oleh orang Korea bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan seseorang karena roh orang meninggal pasti akan berada di suatu tempat di antara bumi dan langit. Dengan alasan ini lah seorang anak, terutama anak laki-laki dari seseorang yang meninggal harus selalu tetap menunjukkan baktinya meski pun orang tua atau leluhurnya telah tiada. Pemujaan kepada leluhur tentu saja bukan satu-satunya fenomena dalam kehidupan Konfusianisme di Korea. Namun demikian kecenderungan dan dampak yang ditimbulkan dari wujud bakti tersebut turut mengakibatkan timbulnya budaya religius yang menonjol di Korea hingga saat ini. Berbagai upacara ritual yang dilakukan oleh masyarakat Korea tidak hanya mengekspresikan rasa bakti, namun juga mengekspresikan aneka makna ajaran Konfusianisme yang lainnya. Di bawah ini empat jenis upacara atau ritual yang sarat dengan nilai-nilai Konfusianisme :

(1) Kwalle - Upacara Akil Baliq Upacara ini dilakukan bagi mereka yang memasuki usia dewasa. Meski pun akhir-akhir ini sudah tidak banyak dilakukan, namun pada zaman dulu ritual ini diselenggarakan pada bulan Januari, ketika seorang laki-laki berusia 15 atau 20 tahun. Tiga hari sebelum upacara dilaksanakan, diwajibkan terlebih dahulu melakukan pemujaan kepada leluhur. Selanjutnya pada hari pelaksanaannya upacara akil baliq ini dihadiri oleh sanak famili dan dipimpin oleh seorang ‗guru‘. Pertama-tama anak yang menginjak dewasa tersebut diharuskan untuk menanggalkan baju kanak-kanaknya dan berganti dengan baju yang biasa dikenakan oleh orang dewasa, memakai topi dan berdiri menghadap ke selatan. Langkah yang kedua dia harus mengenakan baju warna hitam dengan sabuk kulit terlilit dipinggangnya, memakai sepatu baru dan pada saat ini lah ‗guru‘ memberikan ucapan selamat sekaligus serangkaian wejangan yang diperlukan untuk menapaki dunia orang dewasa. Kemudian langkah ketiga adalah mengenakan

33


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

baju seragam resmi dan penutup kepala dari rami serta memegang tongkat kebesaran yang terbuat dari batu giok. Setelah itu anak yang bersangkutan dipersilahkan untuk meminum anggur, dan biasanya pada saat ini guru pun akan memberi nama tua kepadanya. Ritual ini ditutup dengan kembali mengadakan ritual pemujaan kepada leluhur. Upacara akil baliq tidak hanya diperuntukkan kepada kaum laki-laki, namun juga kepada kaum perempuan. Pemakaian ornamen kepala wanita dewasa menjadi simbol beranjak dewasanya seorang perempuan. Ritual ini juga dipimpin oleh seorang guru dengan dihadiri oleh kerabat perempuan yang telah berusia lanjut dan bijaksana. Sejak selesainya upacara ini maka laki-laki dan perempuan tersebut bertanggungjawab melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Tentu saja rangkaian ritual Kwalle, simbol-simbol yang digunakan, terutama wejangan yang disampaikan oleh guru sangat berhubungan dengan etika-etika moral Konfusianisme.

(2) Holle - Upacara Pernikahan Menurut

ajaran

Konfusianisme

ada

7

tahap

yang

harus

ditempuh

dalam

menyelenggarakan upacara pernikahan. Namun kini upacara ini telah disederhanakan hanya dengan menyisakan 4 tahap yang harus dilakukan. Pembicaraan mengenai pernikahan: Pada tahap ini kehadiran perantara sebagai pihak yang mempertemukan calon pengantin laki-laki dan perempuan, serta keluarga pihak laki-laki dan perempuan merupakan hal yang penting. Sebagai catatan hingga kini pun masih sangat lazim perjodohan atau pernikahan seseorang diawali dengan adanya jasa percomblangan. Napchae – Pertunangan: Setelah negosiasi antara pihak calon pengantin laki-laki dan perempuan dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pertunangan. Lewat jasa perantara pula surat lamaran yang disertai dengan penyerahan Saju, kertas berisikan hari, tanggal dan jam kelahiran calon pengantin pria kepada keluarga calon mempelai putri. Penyerahan saju merupakan hal yang penting. Karena lewat sajulah hari pernikahan ditentukan dan bahkan apakah kedua calon pengantin tersebut berjodoh atau tidak diketahui. Setelah menerima surat lamaran maka pihak

34


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

calon mempelai perempuan akan membalas dengan memberitahukan tanggal pelaksanaan pernikahan. Nappae - Penyerahan Bingkisan Perkawinan: Sebelum upacara pernikahan, dilakukan prosesi penyerahan bingkisan pernikahan dari keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan. Bingkisan yang penyerahannya diwakili oleh teman-teman calon pengantin laki-laki ini paling tidak berjumlah dua buah dan tidak lebih dari sepuluh buah. Setelah serah terima bingkisan dilakukan, maka pihak penerima mengadakan jamuan bagi teman-teman calon pengantin laki-laki tadi. Chinyoung - Upacara Pernikahan: Pada zaman dahulu upacara pernikahan biasanya dilakukan di rumah pihak pengantin perempuan, seiring dengan perkembangan zaman dewasa ini hampir semua upacara pernikahan dilakukan di gedung pertemuan. Meski pun demikian hampir dapat dipastikan hingga kini ritual pernikahan tradisional Chinyong tetap dilakukan beriringan dengan jamuan gaya barat. Aneka ritual yang menyimbolkan ajaran-ajaran Konfusianisme digelar pada upacara ini, seperti ritual serah terima bebek liar yang terbuat dari kayu, penghormatan istri kepada suami dan sebaliknya, penghormatan kepada orang tua, bersulang minum anggur. Empat tahap prosesi pernikahan tersebut hingga kini masih dengan mudah ditemukan di Korea.

(3) Sangle - Upacara Penguburan Bila ada seseorang yang meningal dunia, maka sudah sewajarnyalah anak laki-lakinya menjadi pemimpin upacara penguburannya. Pada zaman dahulu, sejak hari kematian orang tuanya sebagai bentuk rasa bakti kepada yang meninggal, keturunannya terutama anak lakilakinya harus melakukan serangkaian hal, seperti menggunduli rambutnya selama beberapa waktu (bervariasi mulai dari 3 bulan sampai 3 tahun), tidak makan nasi dan menanggalkan baju kesehariannya serta menggantikannya dengan baju berkabung yang terbuat dari rami. Meski pun sarat dengan muatan nilai-nilai Konfusianisme, upacara ini mulai jarang dilakukan di Korea.

(4) Jerye - Upacara Persembahan Upacara persembahan atau yang juga disebut sebagai upaca pemujaan ini terbagi dalam dua

35


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

jenis, yaitu sije dan gije. Sije adalah ritual untuk mengenang, menghormati dan berterima-kasih kepada leluhur yang dilakukan serempak oleh seluruh masyarakat Korea pada tahun baru penanggalan bulan dan pada saat musim panen tiba tanggal 15 bulan 8 kalender. Sampai hari ini pada ke dua hari itu hampir seluruh masyarakat Korea dari berbagai lapisan pulang ke kampung halaman, pergi ke makam leluhur, membersihkan makam, melakukan ritual persembahan untuk mereka dan saling berkunjung ke rumah kerabat. Karena begitu bermaknanya hari tersebut bagi masyarakat, maka pemerintah Korea menetapkan hari itu sebagai hari libur nasional. Sedangkan gije atau yang lebih sering disebut dengan jesa adalah ritual tahunan yang dilakukan pada tanggal satu hari sebelum leluhur tersebut meninggal. Sije untuk empat generasi ke atas wajib dilakukan setiap tahunnya. Upacara ini juga merupakan salah satu ekspresi puji syukur dan bakti orang Korea terhadap para leluhurnya. Aneka sesaji yang dipersembahkan pada saat sije dan jesa pun menyimbolkan nilai-nilai Konfusianisme. Hingga kini kedua macam upacara persembahan ini tetap dilaksanakan oleh orang Korea. Bila keempat jenis upacara di atas merupakan upacara yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Berikut ini beberapa ritual yang diselenggarakan khusus oleh kerajaan : 1) Gil-lye : ritual untuk memohon kebaikan dan kemakmuran 2) Ga-rye : ritual untuk mengungkapkan rasa senang 3) Hyung-nye : ritual berkabung 4) Pil-lye : ritual yang ditujukan kepada para tamu. 5) Gul-lye : ritual militer. Tragedi politik penyerahan Dinasti Choson pada imperialisme Jepang pada tahun 1910 mempengaruhi nasib Konfusianisme. Tekanan politik Jepang pada budaya Korea menyebabkan tradisi yang telah berurat dalam masyarakat Korea berada dalam posisi yang buruk. Fenomena ini berlanjut dengan hadirnya tentara Amerika setelah kemerdekaan Korea pada tahun 1945. Pemerintahan militer Amerika tidak menunjukkan penghargaan sama sekali pada usaha restorasi budaya tradisional Korea. Sistem pemerintahan yang dulu berlandaskan Konfusianisme dan ujian negara gwago bagi calon pegawai pemerintah ditiadakan. Sekolah tidak lagi diselenggarakan berdasarkan ajaran tradisional namun berdasarkan gaya barat. Doktrin tentang Neo-konfusinisme tidak lagi

36


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

diajarkan di sekolah. Meskipun akhirnya dunia pendidikan betul-betul menerapkan pola pendidikan modern, hingga saat ini masih terdapat

beberapa perguruan tinggi yang

memfokuskan diri pada pengajaran Konfusianisme. Selain itu, pembangunan ekonomi yang luar biasa sejak tahun 1960 membawa perubahan yang besar pada masyarakat Korea yang sebelumnya berpola agraris. Pencapaian ini telah mengakibatkan Korea berubah menjadi masyarakat industri. Merupakan sebuah reaksi yang wajar apabila pencapaian ini berdampak adanya gaya hidup baru yang melanda masyarakat Korea. Gaya hidup terutama yang memuat nilai-nilai barat yang lambat laun mulai menggeser kedudukan ajaran yang berasal dari timur ini. Meskipun Korea telah berlabel sebagai negara industri dan Konfusianisme tidak lagi mendominasi, namun di satu sisi yang lainnya pada beberapa aspek kehidupan, Konfusianisme masih mempunyai pengaruh yang kuat terutama pada bidang sosial dan budaya. Etika dan moral orang Korea masih diliputi oleh pandangan-pandangan Konfusianisme. Rasa sayang kepada keluarga, setia kawan, hormat pada guru, bekerja keras, setia pada pekerjaan dan negara serta karakter-karakter lainnya merupakan perwujudan betapa masih melekatnya nilai-nilai Konfusianisme pada masyarakat Korea.

3. Katolik Perkenalan orang Korea dengan agama Katolik diawali dengan masuknya buku-buku dari Cina yang berisi tentang ajaran Katolik pada abad 17. Di Cina sendiri agama Katolik mulai diperkenalkan pada abad 16. Buku yang paling banyak dibaca oleh kaum intelektual Korea pada saat itu adalah buku yang ditulis oleh Matteo Ricci yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Beberapa orang yang membacanya akhirnya menjadi tertarik dan kemudian memutuskan untuk memeluk agama Katolik. Salah satu di antaranya adalah Lee Seung-hoo. Setelah dibaptis di Peking dia memutuskan untuk kembali ke Korea dan mulai menyebarkan agama Katolik pada masyarakat Korea. Kepulangan Lee Seung-hoo ini menandai dimulainya gerakan misionaris Katolik pertama kali di Korea. Di Korea Lee Seung-hoo membaptis beberapa orang yang sebelumnya telah belajar tentang Katolik lewat buku. Bertambahnya jumlah pemeluk Katolik di akhir abad

37


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

18, membidani lahirnya komunitas penganut Katolik dan kemudian dilanjutkan dengan didirikannya Katedral Myeongdong sebagai gereja pertama di Korea pada tahun 1784. Komunitas ini mengadakan pertemuan secara diam-diam dan mencoba menyebarkan ajaran kepada yang lainnya. Atas nama cinta, mereka saling membesarkan hati satu sama lain dengan mengesampingkan perbedaan kelas dan kekayaan di antara mereka. Tak jarang dalam rangka menyebarkan agama, mereka membantu tetangga-tetangga yang miskin dengan memberikan bantuan keuangan dan juga membebaskan budak. Lambat laun jumlah pemeluk Katolik makin bertambah banyak. Komunitas Katolik berkembang makin cepat ketika Pendeta Choo Moon-mo datang ke Korea pada tahun 1794. Pada saat yang sama kehidupan sosial politik masyarakat Joseon berada dalam keadaan tidak stabil. Usaha para penguasa untuk mempertahankan pemerintahan feodal makin membuat rakyat menderita. Diskriminasi kelas sosial dan eksploitasi secara ekonomi menyebabkan masyarakat sangat berharap adanya suatu perubahan ekononi dan hubungan sosial yang sejajar. Agama Katolik yang menawarkan persamaan antar sesama umat manusia menjadi angin segar dan sumber harapan baru bagi masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini siar agama Katolik disambut baik oleh masyarakat. Namun di satu sisi, Katolik yang mengakui Tuhan sebagai satu-satunya kekuatan dan mengajarkan kesetaraan dan kebersamaan ini dianggap sebagai ajaran yang bertentangan dengan ideologi Konfusianisme yang saat itu dianut. Ajaran Katolik dianggap bertentangan dengan kondisi sistem politik, sosial kemasyarakatan, budaya dan keluarga yang berbasis pada konsep Konfusianisme. Pada berbagai aspek bentrokan antara ajaran Katolik dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tak dapat dihindarkan. Salah satu contoh bentrokan yang terjadi di antaranya bersumber pada adanya larangan bagi pemeluk Katolik untuk melakukan upacara persembahan kepada leluhur. Bagi sebagian besar masyarakat larangan ini merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Hal ini dikarenakan upacara persembahan yang telah dilakukan oleh masyarakat sejak dulu secara turun temurun dianggap sebagai wujud penghormatan serta ekpresi loyalitas dan bakti orang Korea kepada nenek moyangnya. Dengan kata lain apabila seseorang menolak untuk melaksanakannya berarti orang tersebut mengabaikan tata sosial dan nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat sejak dahulu kala. Katolik dinilai berseberangan

38


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dengan etika feodal yang menitikberatkan pada loyalitas kepada negara dan bakti kepada orang tua. Atas dasar ini lah, penguasa Joseon tidak mengakui nilai-nilai ajaran Katolik dan tidak menerima Katolik sebagai agama. Pelarangan akan ajaran ini berimbas pada penangkapan, penyiksaan bahkan hukuman mati bagi para pemeluknya. Namun demikian, meskipun dilarang beberapa pihak tetap kukuh pada pendiriannya untuk memeluk agama Katolik. Siar agama pun dilakukan dengan cara diam-diam. Selama periode pelarangan ini kira-kira 10.000 orang dan 10 pendeta mati karena tetap teguh menganut agama Katolik. Pada akhir abad 19 sejarah Korea memasuki babak baru. Kekuatan raksasa, seperti Jepang, Amerika, Perancis, dan Rusia mencoba masuk ke Korea. Di antara negara-negara tersebut Jepang dianggap menjadi negara yang memberi pengaruh besar. Karena Jepang berhasil memaksa Korea untuk membuka negara pada 1876. Semenjak itu hal-hal dan pemikiranpemikiran barat membanjiri Korea. Sebagai salah satu imbasnya adalah larangan terhadap agama Katolik lambat laun melemah dan bahkan pada akhirnya kebebasan beragama diberlakukan pada tahun 1899. Mulai saat itu Katolik mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1925, 79 orang Korea yang mati karena membela ajaran katolik diabadikan di Basilika Santo Petrus Roma, disususl 24 yang lainnya pada tahun 1968. Selama perang Korea (1950 – 1953) jumah organisasi Katolik dan misionaris meningkat dan gereja dibangun di banyak tempat. Pada perayaan 200 tahun gereja Katolik Roma di Korea di tahun 1984, Paus Yohanes Paulus II berkesempatan hadir dan memimpin upacara penyucian yang untuk petama kalinya dilakukan di luar Vatikan.

4. Kristen Agama Kristen merupakan agama yang berkembang sangat pesat di Korea. Hal ini ditandai dengan mudahnya menemukan gereja-gereja Kristen di seluruh Korea, baik di kota maupun di pelosok-pelosok. Saat ini Korea merupakan negara dengan penganut Kristen terbesar di Asia Timur. Sebelum diperkenalkan secara resmi ke Korea, terlebih dahulu seorang misionaris Protestan yang bertugas di Cina Karl A. F. Geutzlaff datang ke Korea dengan menumpang kapal

39


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dagang Inggris pada tahun 1832. Setelah mendarat di pantai barat Korea, pendeta ini membagibagikan kitab injil yang ditulis dalam bahasa Cina pada masyarakat Korea. Akan tetapi, larangan dagang dengan pihak asing yang diberlakukan oleh penguasa Korea menyebabkan kapal dagang beserta pendeta tersebut harus meninggalkan Korea setelah satu bulan tinggal sana. Pada tahun 1874 JohnRoss dan Jon McIntyre, misionaris Presbitarian yang dikirim ke Manchuria, perbatasan Cina dan Korea, bertemu beberapa pemuda Korea di sana. Pemudapemuda tersebut diminta untuk mengajar bahasa Korea serta membantu kedua misionaris menerjemahkan injil ke dalam bahasa Korea. Akhirnya pemuda-pemuda ini pun menganut ajaran Kristen dan dibaptis oleh McIntyre di tahun 1876. Mereka ini lah orang-orang Korea pertama yang menganut agama Kristen. Pada saat pemuda-pemuda tersebut kembali ke Korea, mereka membawa injil yang telah mereka terjemahkan dalam jumlah yang banyak. Mereka mulai mengajarkan agama Kristen kepada masyarakat dan akhirnya mendirikan gereja-gereja. Di waktu yang sama, Lee Soo-joong, petugas pemerintah Korea di Jepang juga telah menjadi pemeluk agama Kristen di Jepang. Dia juga menerjemahkan injil ke dalam bahasa Korea dan kemudian mencetaknya di Yokohama Jepang pada tahun 1885. Dalam siar keagamaannya ke Korea misionaris berkebangsaan Amerika, Horace G. Underwood membawa banyak injil terjemahan Lee Soo-joong. Merupakan hal yang istimewa bahwa sebelum dilakukan oleh misionaris asing, siar agama Kristen di Korea telah dimulai oleh orang Korea sendiri dengan menggunakan kitab suci yang juga mereka terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Korea. Kira-kira satu abad setelah didirikannya Gereja Katolik Roma, sebelum kaum misionaris Kristen asing datang ke Korea, beberapa gereja Protestan telah didirikan di Korea. Pembangunan gereja-gereja ini pun dilakukan atas usaha orang Korea sendiri. Kenyataan-kenyataan ini begitu membanggakan kaum Kristiani Korea. Ketika Kristen diperkenalkan, Korea tengah dilanda krisis sosial. Korea sedang dihadapkan pada berbagai konflik baik internal maupun eksternal. Cepatnya industrialisasi dan urbanisasi yang terjadi di Korea ternyata menimbulkan goncangan sosial dalam masyarakat. Industrialisasi menyebabkan perpindahan masyarakat secara besar-besaran dari desa ke kota. Tata kehidupan yang pada awalnya berbasis pada pola agraris berubah menjadi kapitalis.

40


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Perubahan ini membawa keresahan bagi banyak warga Korea, terutama bagi mereka yang berlatar belakang petani. Ketidaksiapan akan perubahan dan besarnya tuntutan kemampuan adaptasi yang cepat menyebabkan banyak orang merasa tercabut dari akarnya bahkan merasa kehilangan identitas diri. Selain itu sistem sosial politik yang cenderung bersifat kediktatoran dan menganut sistem

kasta menimbulkan banyak kekecewaan pada masyarakat. Hal ini

menimbulkan maraknya gerakan anti pemerintah yang berimbas pada makin tidak stabilnya kondisi sosial politik Korea. Ditambah lagi, kontak dengan bangsa asing yang berdampak masuknya hal-hal baru dan asing dari luar negeri serta imperialisme Jepang yang menimbulkan banyak penderitaan makin menimbulkan kecauan sosial psikologis pada masyarakat. Dalam keadaan yang demikian sebagian masyarakat Korea tergerak untuk mencari tempat bersandar yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi segala permasalahan yang ada. Pada saat yang bersamaan ajaran Kristen yang masuk ke Korea pada tahun 1880-an, memperkenalkan kepada masyarakat Korea pemikiran dan nilai-nilai baru yang lebih modern. Bagi orang Korea ajaran Kristen yang demokratis mereformasi pola pikir masyarakat. Konsep ketuhanan yang menjunjung tinggi persamaan antara semua manusia baik laki-laki maupun perempuan, serta pemerintahan demokratis yang menghapuskan sistem kelas masyarakat mencerahkan pemikiran orang Korea. Lebih-lebih sebagai sarana siar keagamaan kaum misionaris memberikan pelayanan medis serta menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat umum. Mereka mendirikan rumah sakit, rumah yatim piatu dan sekolah swasta. Peran serta kaum misionaris dalam memerangi buta huruf di Korea sangat besar. Bahkan atas dalil persamaan pendidikan untuk semua, banyak institusi pendidikan tinggi khusus didirikan untuk perempuan, golongan masyarakat yang pada saat itu dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Salah satu di antarnya adalah Universitas Yonsei dan Universitas Ehwa. Melihat aneka pembaharuan yang dibawa oleh agama Kristen, tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat Korea percaya bahwa Kristen adalah sumber semangat dan jalan keluar bagi kegundahan yang sedang mereka alami. Atas dasar itu lah beberapa orang memeluk agama Kristen. Proses penyebaran dan penerimaan masyarakat akan nilai-nilai yang dibawa oleh Kristen relatif cepat. Dalam hal ini industrialisasi yang membawa Korea pada modernisasi turut

41


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

memegang peranan penting. Modernisasi yang terjadi di Korea menyebabkan jumlah kalangan menengah meningkat. Kalangan ini cenderung lebih mudah terpengaruh oleh pemikiran barat dan modern yang dibawa oleh Kristen. Dukungan besar kaum Kristiani pada kaum menengah pun turut menyebabkan agama ini makin diterima oleh masyarakat. Jumlah pemeluk Kristen makin melonjak tajam sejak tahun 1950, bahkan berdasarkan hasil sensus tahun 2003 agama Kristen sekarang menjadi agama terbesar kedua setelah agama Budha. Tiga puluh tujuh persen (37%) dari pemeluk agama di Korea menyatakan diri memeluk agama ini. Dengan kondisi ini berarti saat ini Kristen merupakan salah satu kelompok mayoritas dan memiliki tanggung jawab yang besar pada kehidupan masyarakat, negara dan dunia. Bagi Korea, Kristen memiliki dua makna. Selain sebagai agama yang membawa pencerahan peradaban modern atas dasar ketuhanan, Kristen juga memiliki hubungan yang erat dengan nasionalisme di Korea. Kristen secara aktif mendukung gerakan demokrasi di Korea. Kristen juga yang telah membawa Korea pada tata kehidupan sosial politik yang setara satu sama lain. Kemudian, turut sertanya kaum misionaris dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Korea pada masa pendudukan Jepang pun membuktikan hal ini. Sampai saat ini pun Kristen turut aktif dalam usaha reunifikasi negara. Salah satu usaha yang dilakukannya dalam proses reunifikasi tersebut adalah dengan mengusahakan persatuan gereja-gereja yang tersebar di seluruh Korea dalam satu kesatuan.

5. Agama-agama Baru pada Abad ke-18 dan ke-19 Memasuki akhir abad ke-19 berbagai masalah muncul dalam kehidupan masyarakat Korea. Kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat Korea sebagai akibat dari berbagai masalah internal maupun eksternal termasuk ekspansi bangsa barat ke negara-negara timur dan imperialisme Jepang ke Korea serta penderitaan rakyat. Kesulitan tersebut muncul karena korupsi dan pemerasan yang dilakukan oleh kaum bangsawan merupakan hal yang pada saat itu dengan mudah ditemui di Korea. Satu hal lain yang tak kalah penting adalah tak dapat dipungkiri bahwa masuknya pemikiran-pemikiran serta agama-agama barat seperti Kristen dan Katolik di tengah-tengah pola pikir dan cara hidup tradisional membawa kegelisahan sosial bagi sebagian warga Korea. Selain

42


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

membingungkan aneka nilai-nilai baru tersebut membawa berbagai konflik batin dan sosial bagi kenyamanan hidup masyarakat. Pelarangan dan penolakan melakukan ritual persembahan kepada lelulur, serta peristiwa pembakaran benda-benda simbolis sebagai wujud penghormatan kepada leluhur oleh mereka yang baru saja dibaptis setelah menganut satu agama yang datang dari barat menimbulkan syok dan kekacauan budaya pada masyarakat Korea. Di tengah-tengah suasana seperti di atas, masyarakat merasa bahwa kepercayaan tradisional seperti Shamanisme, Budha, dan Konfusianisme pun tidak mampu memberikan bukti bisa membawa masyarakat keluar dari problem-problem seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam kondisi yang demikian, muncul pemikiran bahwa untuk menyelesaikan segala permasalahan dan kekacauan yang terjadi diperlukan suatu gerakan menggali kembali nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat Korea. Implementasi dari gerakan ini memunculkan banyak agama baru pada awal abad 18 dan akhir abad 19. Hampir semua dari agama-agama baru ini bersifat sinkretik, menggabungkan berbagai sistem kepercayaan yang berbeda. Dua dari beraneka agama baru tersebut adalah Donghak atau yang kemudian diberi nama Cheondogyo dan Daejonggyo.

(1) Donghak Istilah Donghak yang terdiri dari kata dong (timur) dan hak (ajaran, pengetahuan) merupakan istilah yang merujuk pada suatu ajaran ketimuran yang dianggap sebagai agama baru yang pertama di Korea. Dilihat dari asal katanya ajaran ini sebetulnya merupakan bentuk perlawanan dari ajaran-ajaran barat. Didirikan pada tahun 1860 oleh Choe Je-u, seorang bangsawan dari Gyeongju. Dia mengaku mendapat wangsit diutus oleh Tuhan untuk memberi pencerahan kepada seluruh umat di dunia. Lewat gerakan Dongak ajaran ini menyebar di kalangan masyarakat pedesaan yang miskin. Ajaran Donghak merupakan gabungan dari ajaran-ajaran Shamanisme, Tao, Budha, Konfusianisme, Katolik, dan Kristen. Menekankan persamaan di antara seluruh umat manusia dan semua manusia harus dihormati. Kepercayaan ini mengajarkan kepada masyarakat tentang penyatuan surga dan manusia. Di dalam semua orang terdapat sifat ketuhanan dan sifat ini menjadi sumber dari martabat seseorang. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan

43


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

wajib memberdayakan dirinya sendiri untuk bisa mengekspresikan sifat ketuhanan tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dipercaya bahwa kesempurnaan diri merupakan jalan untuk menuju keselamatan dan olah spiritual membuat seseorang menjadi orang yang baik. Son Byeong-hui, pemimpin ketiga aliran ini, mengubah nama Dongak menjadi Cheondogyo. Bersama pengikut Konfusianisme dan Kristen penganut Cheondogyo memiliki peran yang besar dalam gerakan nasionalisme di Korea.

(2) Daejonggyo Kegagalan demi kegagalan politik yang dialami dalam usaha membebaskan negara dari kolonisasi Jepang, selain menimbulkan berbagai krisis juga menyadarkan banyak pihak bahwa usaha politis memiliki keterbatasan, tidak menjamin keberhasilan dan memiliki resiko gagal yang tinggi. Kondisi ini melahirkan munculnya pemikir-pemikir nasionalis, seperti Hongam Hacheol yang menyerukan pemujaan kepada Dangun, tokoh legenda yang dipercaya sebagai cikal bakal bangsa sekaligus pendiri negara Korea. Munculnya agama baru ini bermula pada tahun 1908, saat Hongam mendapat pengalaman batin diminta oleh Dangun membentuk agama baru untuk menyembah kepadanya. Berdasarkan bisikan ini, akhirnya pada tahun 1909 tanggal 15 Januari penanggalan bulan, dideklarasikanlah agama Dangun. Kepercayaan yang didasarkan pada mitologi Dangun ini pada tahun berikutnya berganti nama menjadi Daejonggyo. Para penganut Daejonggyo tidak menyebut tanggal 15 Januari sebagai hari didirikannya agama Daejonggyo, tapi sebagai hari bangkitnya kembali kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Hal ini disebabkan menurut pendapat mereka kepercayaan ini sebetulnya telah ada sejak Dangun dipercaya ada, yaitu 24 abad sebelum masehi. Invansi Mongol ke Korea selama satu abad pada abad 13 lah yang menyebabkan Korea kehilangan kebanggaan sebagai keturunan Dangun yang selanjutnya membawa akibat memudarnya ajaran Daejonggyo. Rasa hilangnya kebanggaan seperti ini kembali muncul pada saat invansi Jepang atas Korea. Dibangkitkannya kembali agama Daejonggyo, menumbuhkan kembali kebanggaan pada diri masyarakat Korea sebagai keturunan dewa. Kebanggaan ini memberi semangat, kekuatan dan kepercayaan pada masyarakat untuk bisa keluar dari kesulitan nasional.

44


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Daejonggyo juga bermaksud menyadarkan kembali masyarakat bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama sekaligus menumbuhkan semangat persatuan senasib sepenanggungan di antara seluruh rakyat. Tujuan dari agama ini adalah kemerdekaan dan kedaulatan Korea. Sejak invasi Jepang ke Korea pada 1910 sulit bagi kaum nasionalis dan orang-orang yang anti Jepang seperti penganut Daejonggyo bertahan di Korea. Beberapa penganut, termasuk pempimpin Daejonggyo memutuskan pindah ke Mancuria dan banyak yang lainnya bergabung dengan tentara berperang melawan Jepang. Dikatakan bahwa 80% imigran Korea yang bermigrasi ke Mancuria pada saat itu merupakan pengikut Daejonggyo. Setelah Jepang menyatakan kalah dalam perang dunia kedua, Korea pun dinyatakan merdeka dan kembali berdaulat penuh. Sebagai dampak dari keadaan ini banyak pemeluk Daejonggyo yang sebelumnya pindah ke Manchuria kembali ke Korea. Namun demikian, seiring dengan telah tercapainya tujuan utama dari Daejonggyo, yaitu kemerdekaan Korea menyebabkan lambat laut pengaruh agama ini pun melemah. Namun demikian, beberapa pihak menganggap Daejonggyo merupakan kepercayaan yang paling nasionalistik.

(3) Islam Diperkirakan kontak pertama kali Korea dengan kaum muslim telah dimulai sekitar 1000 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarawan dan ahli geografi muslim pada abad 10, seperti Ibnu Khurdadbih, Sulaiman al-Tajir, dan al-Mus‘udi yang menjelaskan tentang al-Silla, Kerajaan Silla. Pencatatan tentang Korea oleh ahli geografi Arab dan Persia ini terus berlangsung sampai abad 14. Menurut catatan, satu group yang terdiri dari 100 muslim datang ke Kerajaan Goryeo di bulan September pada tahun pemerintahan ke 15 Raja Hyonjong (1024) dan satu kelompok yang lainnya yang terdiri dari 100 pedagang datang menyusul di tahun berikutnya. Dua abad berikutnya Kerajaan Goryeo diinvasi oleh Mongol kira-kira selama satu abad (1269 – 1368). Selama periode ini terjadi kontak budaya dan personal di antara kedua negara, seperti perkawinan antara raja Korea dengan putri dari Mongol, kehadiran pegawai dan tentara Mongol di Korea. Di antara mereka-mereka yang terlibat kontak, terdapat pula kehadiran muslim Turki dari Asia Tengah. Berdasarkan catatan yang ada pada awal Dinasti Joseon mereka

45


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

membentuk suatu komunitas muslim. Pada masa Goryeo ini para pedagang muslim yang datang ke ibu kota Goryeo membawa merkuri, parfum, obat, tembaga, juga anggur dan wine. Saat Kerajaan Joseon makin meningkat kekuasaannya, dan saat pelarangan semua yang berbau asing mulai diberlakukan pada tahun 1427 catatan perdagangan antara kaum muslim dengan pihak Korea terhenti. Satu kontribusi muslim ke Korea pada awal Joseon yang tercatat adalah diperkenalkannya kalender Islam untuk memperhitungkan tanggal gerhana bulan dan matahari. Catatan mengenai kedatangan muslim ke Korea baru kembali ada setelah 500 tahun kemudian, yaitu saat Sultan dari Turki melakukan perjalanan ke Korea untuk mencari tahu tentang Kerajaan Jepang pada tahun 1909. Catatan berikutnya menjelaskan bahwa 200 muslim Turki dari Asia Tengah datang ke Korea pada tahun 1920-an sebagai orang yang terusir dari Rusia akibat suksesnya revolusi komunis di Rusia. Namun demikian, setelah perang dunia kedua para penganut agama Islam ini kembali bermigrasi ke negara lain dan tidak memberi pengaruh apa pun pada kehidupan agama Islam di Korea. Pada tahun 1920-an, di bawah kebijakan kolonial Jepang beberapa orang Korea dipaksa pindah ke Manchuria, tempat yang pada saat itu juga sama-sama diduduki oleh Jepang. Pertemuan beberapa orang Korea dengan muslim yang berasal dari Turki dan Cina yang tinggal di Manchuria ini menyebabkan sebagian dari mereka turut memeluk agama Islam. Setelah Perang Dunia Kedua beberapa dari muslim Korea ini kembali ke Korea, mereka ini lah yang menjadi cikal bakal komunitas muslim di Korea. Di Korea mereka tidak memiliki tempat untuk melakukan sembahyang sholat Jumat sampai akhirnya tentara Turki yang datang ke Korea sebagai pasukan PBB selama Perang Korea (1950-1953) mengizinkan mereka sholat berjamaah bersama mereka. Pada tahun 1953 pengajian khusus untuk muslim Korea diselenggarakan untuk pertama kalinya di masjid nonpermanen yang didirikan di base camp militer Turki. Dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan September tahun 1955 dilakukan pengukuhan Islam Korea sebagai organisasi masyarakat Islam di Korea yang dilanjutkan dengan pemilihan imam Korea yang pertama. Kemudian sebuah ruang untuk sholat dan dua ruang kantor didirikan dari 3 tenda bantuan tentara Turki pada bulan selanjutnya Kunjungan pemimpin umat Islam Korea ke beberapa negara muslim pada tahun 1959

46


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

membuahkan hasil dukungan negara-negara muslim tersebut

akan perkembangan muslim

Korea. Salah satu wujud dari dukungan tersebut adalah undangan yang diberikan kepada 11 muslim Korea untuk belajar tentang Islam di Malaysia. Organisasi masyarakat Islam Korea berkembang dan selanjutnya direorganisasi menjadi Federasi Muslim Korea pada tahun 1967. Atas bantuan Malaysia juga pada tahun 1967 masjid di Seoul mulai dibangun di atas tanah bantuan pemerintah Korea seluas 5.000 meter. Namun karena kekurangan dana pembangunan masjid ini tidak dapat diselesaikan. Lewat berbagai donasi akhirnya pada tahun 1976 selesailah pendirian masjid yang terletak di daerah Itaewon Seoul ini. Masjid tersebut dilengkapi dengan islamic center yang hingga ini menjadi pusat siar dan menyelenggarakan pendidikan agama Islam serta kursus bahasa Arab bagi umum.

Penutup

Negara Korea merupakan negara multireligi. Dari berbagai agama yang ada, Budha, Konfusianisme, Kristen, dan Katolik merupakan empat agama terbesar sedangkan Dongak, Daejonggyo, Islam dan yang lainnya merupakan agama minoritas. Meskipun mayoritas dari agama-agama yang ada di Korea berasal dari luar negeri, terbukti bahwa Korea mampu dengan kreatif mentransformasikan dan menyesuaikan agama-agama tersebut selaras dengan alam dan kebutuhan masyarakat Korea. Kemampuan adaptasi ini menyebabkan hingga ini beraneka agama tersebut dapat hidup berdampingan secara harmonis. Kehidupan beragama di Korea merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus sejarah Korea. Berdasarkan perjalanan panjang yang telah dilaluinya terlihat bahwa agamaagama memiliki peranan penting dalam pembentukan budaya Korea, serta mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat baik dalam pola pikir, tingkah laku maupun tata nilai. Secara garis besar agama di Korea memiliki tiga makna, yang pertama sebagai sistem nilai yang membimbing masyarakat Korea dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Kemudian agama juga meninggalkan berbagai adat kebiasaan masyarakat yang penting. Yang ketiga, agama

47


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

mewariskan beraneka seni dan corak budaya bagi masyarakat Korea.

Penulis: Yuliawati Dwi Widyaningrum M.A.(Kyungnam University, Korea), staf pengajar Jurusan Korea, UGM E-mail: nining_mz@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Fraeye, Mark & Frits Vos, Korea – Scenic Beauty and Religious Landmarks., Germany: Schillinger Verlag Gembh-Freiburg im Breisgau, 1995. Grayson, James Huntley, Korea – A Religious History., New York: Routledge Curzon, 2002. Keum, Jang-tae, Confucianism & Korean Thoughts., Seoul: Jimoondang Publishing Co, 2000. Kim, Chongsuh, Reader in Korean Religion., Seoul: The Academy of Korean Studies., 1993. Lee, Sang-oak, Korean Language and Culture – Hangugeowa Hanguk Munhwa., Seoul: Sotong, 2008. Lee, Seon-i, Korea Today-Wegukineul wihan Hanguk Hyeondae Munhwa., Seoul: Hanguk Munhwasa, 2007. Pelayanan Informasi Korea -Badan Informasi Nasional, Korea Selayang Pandang., Jakarta: Dian Lestari Grafika, 1999. The National Academy of Korean Language, An Ilustrated Guide to Korean Culture: 233 Traditional Key Words., Seoul:Hakgojae, 2002 Yang, Seung-Mok, Korea, Old to New., Seoul: Moon Yang Gak, 1994.

48


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

HALLYU DI INDONESIA: SELAMA DEKADE PERTAMA DI ABD KE-21

Suray Agung Nugroho (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Fenomena satu dekade Hallyu ‗gelombang Korea‘ di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara benar-benar menunjukkan kesinambungan aliran budaya Korea ke negara-negara tetangganya. Hallyu memang merupakan fenomena yang layak dicatat dalam sejarah modern Korea, khususnya sejarah dunia hiburan Korea karena budaya kontemporer Korea telah berhasil melampaui batas wilayah negaranya. Di era saat pertukaran informasi takterbantahkan, Korea berhasil mengambil langkah menyebarkan benih budayanya ke negara lain yang akhirnya telah menjadi kekuatan dan pengaruh budaya di wilayah Asia. Sebagai sebuah istilah baru yang muncul akibat semakin terkenalnya budaya pop atau budaya kontemporer Korea, Hallyu mulai menjadi ikon budaya Korea pada akhir tahun 90an di China, yang akhirnya menjalar ke negara-negara Asia lainnya; mulai dari Jepang, Taiwan, sampai akhirnya menjamah semua negara-negara Asia Tenggara dan akhirnya ke hampir seluruh belahan dunia lain pada awal abad ke-21 ini. Penyebaran Hallyu dapat dirunut melalui peran media massa Korea yang secara sukarela juga berandil dalam mengalirkan budaya kontemporer Korea ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa media massa-lah yang membentuk Hallyu saat ini. Sebagai sebuah negara yang menjadi perhatian media massa, banyak yang dapat dipetik tentang bagaimana media massa dan sebagian besar perangkat di negara Korea bersatu membuat public relation yang baik sehingga Hallyu bisa menjadi komoditas budaya yang menjanjikan.

49


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Hallyu di Indonesia (1) Tanda-Tanda Umum Keberadaan Hallyu di Indonesia Bisa dikatakan bahwa Hallyu telah menyambangi Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Secara khusus menyinggung keadaan Hallyu di Indonesia, tidak ada yang menyangka bahwa Korea berhasil mengekspor budayanya dan bersaing pengaruh dengan budaya Jepang yang telah dulu singgah di Indonesia. Perlu diingat pula bahwa para penyuka Korea atau mereka yang suka dengan drama, film, lagu, atau budaya Korea tidak semuanya tahu atau harus tahu akan adanya istilah ini. Namun, dengan semakin banyaknya interaksi dan arus tukar informasi di dunia maya dan dunia hiburan antarnegara pada awal abad ke-21 ini, Hallyu terdongkrak popularitasnya di seluruh kawasan Asia termasuk Indonesia. Gambaran paling mudah untuk menjelaskan awal datangnya Hallyu adalah terkenalnya drama-drama televisi Korea sejak awal 2000-an hingga tahun 2010, yaitu meledaknya drama Korea seperti Winter Sonata & Endless Love yang terus dilanjutkan dengan drama-drama lain seperti Full House, Dae Jang-Geum, Boys Before Flower dan drama-drama lain yang menyertainya selama kurun waktu satu dekade. Satu gambaran lain yang muncul dalam sepertiga terakhir dekade tersebut adalah semakin terkenalnya K-Pop atau Korean Pop, yaitu lagu-lagu bernuansa pop yang dibawakan oleh seseorang atau grup penyanyi Korea, biasanya grup cowok dan cewek remaja Korea dengan dibalut tarian atau dance yang rancak dan dinamis—salah satu ciri khas yang menjadi daya tarik K-Pop di mata para pecinta K-Pop di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Satu hal luar biasa yang patut dicatat mengenai awal mula kegandrungan sebagian orang Indonesia pada umumnya dan para remaja Indonesia pada khususnya adalah keberhasilan Korea dalam menarik hati para fansnya di belahan dunia lain di luar Korea. Keberhasilan ini terjadi saat negara-negara lain banyak terpengaruhi oleh Hollywood dengan industri hiburannya yang sangat kuat. Walaupun Korea juga menjadi salah satu negara yang terkungkung dalam pengaruh Hollywood, namun untuk urusan film dan dunia hiburan, bisa dikatakan bahwa industri kreatif mereka tetap eksis di tengah terpaan gelombang Hollywood—bahkan bisa dikatakan mereka bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Di tengah itu pula, Korea berhasil ‗mengekspor‘ budayanya ke Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada

50


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dekade pertama abad ke-21, Korea dengan industri hiburannya telah menjadi satu dari segelintir negara (misalnya AS, Jepang, Taiwan, dan India) yang berkemampuan mengambil hati sebagian masyarakat Indonesia. Membicarakan bagaimana Hallyu telah berada di Indonesia selama satu dekade (20002010) memang membutuhkan waktu dan usaha yang besar; namun secara singkat dapat dikatakan bahwa drama Korea dan film menandakan kehadiran budaya Korea kontemporer dari tahun 2000-2006. Dari tahun 2006 hingga pertengahan 2008, film Korea dan sebagian drama Korea mendominasi; lalu dari awal 2009 hingga 2010, K-Pop mengambil kendali penuh. Selama dekade ini pula, banyak stasiun televisi di Indonesia berlomba menayangkan drama-drama dan film-film Korea. Melalui media televisi ini pulalah, Hallyu semakin aktif menyapa penggemarnya di Indonesia. Bahkan semakin mudahnya penjualan dan distribusi film dan drama Korea dalam bentuk DVD di hampir seluruh kota besar dan kecil di Indonesia telah membantu dikenalnya budaya kontemporer Korea. Para distributor CD lagu dan DVD film Korea baik yang resmi maupun tak resmi telah menambah gairah sirkulasi budaya Korea. Dilihat dari kacamata positif, fenomena ini memudahkan para penggemar atau fans Korea untuk mencari apa yang mereka inginkan. Di sisi lain, adanya fans dan eksistensi penjualan barangbarang tersebut menunjukkan adanya pasar yang terbuka di Indonesia. Dekade di mana budaya pop Korea mulai digemari ini juga ditandai dengan semakin banyaknya remaja yang mulai melirik bahasa Korea sebagai bahasa yang ingin dipelajari. Dekade ini juga ditandai dengan semakin mudahnya orang Indonesia—terutama para remaja— menggunakan internet untuk berinteraksi dengan sejawat dari belahan tempat lain di dunia ini. Lewat internet yang semakin murah dan terjangkau ini, para fans budaya pop Korea di Indonesia memiliki kesempatan untuk bertemu, berbincang, dan berdiskusi tentang apa pun mengenai Korea. Lewat situs pertemanan semacam facebook dan twitter, mereka ‗bergerilya‘ menyatukan kegemaran mereka terhadap budaya pop Korea. Bisa dikatakan bahwa remaja SMP, SMA, dan para mahasiswa pada umumnya adalah faktor vital dalam penyebaran Hallyu di Indonesia. Sebagian dari mereka memiliki komputer atau notebook dengan akses internet. Ditambah dengan hape atau telepon seluler generasi 3G dengan segala fiturnya memungkinkan mereka mengakses apa pun yang berkaitan dengan aktor atau aktris Korea yang mereka sukai.

51


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Di lain pihak, mereka juga adalah target penjualan CD dan DVD lagu dan film Korea. Selama dekade itu pula, bersama dengan fan lain khususnya para ibu dan wanita penggemar drama Korea, para remaja tersebut secara tidak langsung telah menjadi duta budaya Korea di Indonesia. Keberadaan mereka adalah bukti nyata adanya pengaruh Hallyu di Indonesia. Bahkan, para fan berat di Indonesia banyak mendedikasikan kecintaan mereka dalam pembuatan situs-situs dan kegiatan-kegiatan perkumpulan sesama penggemar di berbagai kota di Indonesia. Satu hal terakhir yang perlu ditambahkan dalam catatan mengenai dekade masuknya Hallyu di Indonesia adalah didirikannya program studi bahasa dan budaya Korea di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Nasional di Indonesia. Pendirian program studi di ketiga universitas tersebut ditambah dengan banyaknya kursus-kursus bahasa Korea (walaupun hal ini tidak secara langsung berkaitan dengan Hallyu) telah menandai adanya bukti semakin dikenal dan diminatinya Korea sebagai ilmu dan bahan kajian di Indonesia. (2) Gambaran Hallyu di Indonesia selama satu dekade (2000-2010) Walaupun Korea dari sisi budaya sudah mulai dikenal pada awal tahun 2000-an, pada saat Piala Dunia 2002 Jepang-Korealah Korea semakin dikenal lagi. Saat itu televisi swasta di Indonesia menayangkan drama Korea yang secara fenomenal menyedot perhatian publik Indonesia. Drama tesebut adalah Winter Sonata dan Endless Love yang akhirnya menjadi drama yang sering ditayang ulang di beberapa stasiun TV di tanah air. Para remaja putri dan para ibu menyukai Endless Love yang ditayangkan pada tahun 2002 itu. Berdasarkan survei dari AC Nielsen Indonesia (Kompas online 14 Juli 2003), drama ini mendapatkan rating 10 yang berarti drama tersebut ditonton oleh sekitar 2,8 juta orang di lima kota besar di Indonesia. Drama ini menjadi bukti nyata bahwa drama negeri ginseng ini mulai menebar pengaruh di Indonesia. Drama 18 episode ini menjadi drama yang paling banyak digemari dan ditonton oleh pemirsa Indonesia di antara drama Jepang dan Taiwan yang saat itu juga tayang di Indonesia. Beberapa pendapat atau studi menyatakan bahwa antusiasme terhadap aktor dan aktris Korea melalui drama Korea adalah karena mereka memiliki perbedaan yang khas dibandingkan dengan para aktor dan aktris Jepang dan Taiwan yang sudah familiar. Didukung dengan teknologi sulih suara dan program dwibahasa, drama Korea mulai menebar pesonanya sejak itu.

52


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Pada paruh pertama dekade awal tahun 2000-an, stasiun TV swasta di Indonesia seperti RCTI, Trans TV, TV7, Indosiar, and SCTV menayangkan drama-drama Korea. RCTI dengan Endless Lovenya yang fenomenal; Trans TV memutar Glass Shoes dan Lover; TV7 dengan Beautiful Days-nya yang lumayan menarik perhatian; SCTV menayangkan Invitation, Pop Corn, Four Sisters, Successful Bride Girl, Sunlight Upon Me, Memories in Bali, dan yang paling populer di antara semua itu: Winter Sonata. Bahkan Indosiar memutar ulang Winter Sonata pada tahun 2004 setelah ditayangkan TV lain karena tingginya permintaan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa fenomena Hallyu adalah fenomena sesaat yang singgah di Indonesia. Namun, fakta berkata lain karena selama satu dekade (2000-2010) Hallyu tetap lalu lalang di Indonesia berdampingan dengan pengaruh Hollywood dan Bollywood di ranah industri hiburan di Indonesia. Di paruh kedua dekade pertama tahun 2000-an ini, stasiunstasiun TV Indonesia menayangkan Full House (2007) dan menayang ulang pada tahun 2009; Jewel in the Palace atau Dae Jang Geum (2008), dan Boys Before Flower/BBF (2009) yang ternyata menarik lebih besar penggemar di tanah air. Drama Korea yang rata-rata berbumbukan kisah komedi romantis ini mulai bercahaya di Indonesia dengan munculnya Full House dengan pemeran terkenalnya Rain dan artis Song Hye Kyo yang menawan. Lalu datang K-drama lain dengan genre yang mirip yaitu, Sassy Girl Chun Hyang, Lovers in Paris, Princess Hours, My name is Kim, Sam Soon, My Girl, Hello Miss!, and Coffee Prince. Namun demikian, dalam kasus Indonesia, Boys Before Flower (BFF)-lah yang paling fenomenal. Kesuksesan drama ini pada tahun 2008-2009 menjadi bukti bahwa drama Korea sukses bersaing dengan drama Jepang dan Taiwan. Walaupun kisahnya mirip dengan Meteor Garden (drama Taiwan) dan Hana Yori Dango (drama Jepang) yang juga tayang di Indonesia, BFF berhasil mencuri perhatian yang lebih besar dari pemirsa terutama para remaja Indonesia. Kesuksesan BFF di Indonesia melahirkan idola-idola baru di dunia industri Indonesia. Para pemain BFF seperti Lee Min Ho, Kim Hyun Joong, Kim Bum, Kim Joon, dan Go Hye Sun banyak menghiasi sampul-sampul majalah remaja dan tabloid hiburan di Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga 2010. Ada pendapat dari seorang sineas film Indonesia yang terkenal, Garin Nugroho, yang menyatakan bahwa drama dan film Korea berhasil menembus pasar Indonesia karena keunikannya sendiri. Selain karena adanya tradisi yang kuat, drama Korea sering dibumbui

53


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dengan emosi atau jiwa orang Asia Timur yang dikemas dalam melodrama yang efektif dan efisien. Hal inilah yang membuat drama Korea layak jual. Rumus-rumus klise seperti si kaya melawan si miskin dan baik melawan buruk selalu muncul. Namun, dengan tambahan para pemain berwajah kontinental yang ganteng dan cantik, drama Korea memiliki daya tarik yang khas buat orang Indonesia. (Suara Merdeka, 12 Juli 2002) Apa yang terjadi dalam dekade 2000-2010 sedikit berbeda dengan dekade sebelumnya. Pada tahun 1990-an, pemirsa Indonesia terbiasa dengan dorama TV Jepang yang menjadi tonggak pengaruh budaya pop Jepang di Indonesia. Dorama Jepang menambah daftar pengaruh budaya Jepang di samping manga yang sudah terlebih dahulu memiliki fans yang kuat di Indonesia. Lalu pada tahun 2000-an datanglah Korea dengan cara-cara barunya dalam menampilkan nilai-nilai Asia melalui drama dan film yang umumnya bersifat komedi-remajamodern—yang ternyata berhasil mengambil porsi perhatian masyarakat Indonesia. Ditunjang dengan penyebaran persewaan dan penjualan VCD dan DVD, drama dan film Korea mendapatkan bagiannya di pasar terbuka Indonesia. Saat itu toko-toko penjual CD dan DVD, misalnya Bulletin dan Disc Tarra telah secara resmi menjual film dan lagu-lagu Korea. Yang menarik adalah sulitnya menemukan CD atau film Korea satu dekade sebelumnya. Hal ini menunjukkan telah terjadinya perubahan selama kurun waktu tersebut. Pada paruh kedua dekade ini, banyak orang dapat mencari secara online berbagai hal tentang drama Korea baik yang telah lama tayang seperti Endless Love, All about Eve hingga drama yang populer di dua tahun terakhir dekade ini, yaitu Full House, Boys Before Flower, dan Dae Jang Geum. Distributor seperti PT Duta Cahaya Utama (www.disctarra.com) telah menjadi salah satu penjual resmi drama dan film Korea. Adanya perkembangan seperti ini sekecil apa pun telah menunjukkan adanya permintaan pasar terhadap produk budaya Korea di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu juga diceritakan latar belakang sejarah mengenai awal mula penetrasi budaya Korea di Indonesia. Pada tahun 2002, banyak film Korea yang datang ke Indonesia melalui Cina dengan film-film yang berjudul Cina atau ditulis dalam tulisan Cina dan bersubtitle Cina. Pada saat itu, tidak banyak orang yang mengenal atau apalagi bisa membedakan Hanja, Katakana, Hiragana, dan Hangeul. Banyak orang Indonesia yang tidak dapat membedakannya dan kemungkinan jumlahnya juga masih besar—kecuali mereka yang

54


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

telah mempelajarinya, tentunya. Oleh karena itu, bukanlah suatu yang aneh bila pada tahuntahun pertama dekade itu masih banyak orang yang menyangka bahwa film-film tersebut adalah film Cina walaupun pastinya ada sebagian orang yang merasa atau berpikir bahwa itu bukan produk Cina. Untuk itulah, apa yang terjadi di paruh kedua dekade itu membuktikan hal yang telah berubah. Semakin banyak orang yang sadar perbedaannya. Semakin banyak DVD, VCD, dan CD di toko dan persewaan yang secara sengaja membedakan film Jepang, Cina (Hong Kong), dan Korea. Fakta ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran akan apa itu Korea dan bagaimana huruf Korea (Hangeul) itu—suatu fakta yang mengindikasikan adanya proses belajar orang Indonesia (dalam hal ini para pemilik toko, distributor, dan para konsumen) dalam memahami dan menerima ciri khusus produk budaya Korea dilihat dari jenis hurufnya. Walaupun kemungkinan besar orang Indonesia menonton drama dan film Korea melalui DVD pinjaman atau bajakan (suatu fakta yang patut disayangkan), hal ini tetap saja menunjukkan adanya fakta bahwa produk budaya Korea telah bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Dekade merebaknya perfilman Korea (berikut produk budaya lainnya) telah menaikkan citra Korea di dunia global—dalam artian bahwa Korea telah menjadi satu dari sedikit negara yang dalam tataran tertentu berhasil bersaing dengan dominasi kedigdayaan Hollywood. Bagi orang Indonesia, film Korea telah menjadi salah satu preferensi hiburan yang bisa mereka pilih. Pendek kata, sama halnya seperti produk Hollywood, produk budaya Korea (baik film, drama, dan K-Pop) telah menghadirkan fans beratnya di Indonesia. My Sassy Girl, My Wife is a Gangster, the Host, and Haeundae yang terkenal menunjukkan adanya kehadiran nyata film-film Korea di Indonesia. Dalam kurun waktu satu dekade, stasiun TV juga berlomba memutar film-film Korea. Walaupun masih ditayangkan pada tengah malam dibandingkan dengan film Hollywood yang masih mendapat jam tayang utama, film Korea telah menjadi menu reguler di program televisi Indonesia. Trans TV adalah salah satu stasiun TV swasta terbesar yang secara reguler menayangkan film-film Korea. Beberapa contoh yang bisa dipaparkan di sini adalah telah diputarnya film-film terkenal Korea seperti Sassy Girl, Libera Me, Sorum, Joint Security Area, the Host, dan Dragon War. Fakta kecil ini menggambarkan bahwa film Korea telah terbiasa

55


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menjadi salah satu program sajian film bagi orang Indonesi di tengah maraknya film Hollywood dan Hongkong atau pun Bollywood. Sejak tahun 2008, film Korea telah mendapatkan distributor resminya di Indonesia melalui jaringan bioskop Blitzmegaplex. Hal ini menjadikan film Korea tak lagi dapat diakses melalui DVD saja, namun juga melalui bioskop—suatu kebijakan positif di tengah maraknya pembajakan hak cipta. Walaupun dibutuhkan tenaga dan perhatian ekstra untuk menayangkan film Korea di bioskop, langkah ini telah mulai menunjukkan komitmen Indonesia untuk melakukan apa yang benar. Dalam bingkai lain dapat dikatakan bahwa hal ini bisa menjamin adanya tempat yang layak bagi film Korea untuk orang Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran suatu produk budaya tertentu tak serta merta menunjukkan fakta bahwa semua orang (di negara tersebut) menerima dan menyukai produk itu. Namun, ada kaitan jelas antara kehadiran suatu produk dengan minat suatu kelompok tertentu terhadap produk yang dijualbelikan. Dalam kasus produk budaya Korea, ada sebagian orang Indonesia yang menunjukkan minat dan cintanya terhadap produk Korea yang pada akhirnya telah menjadikan produk itu sebagai gaya hidup atau bagian hidupnya. Dalam hal media massa, perlu juga dicatat adanya berbagai artikel, berita, dan informasi di koran dan tabloid (baik online maupun offline/cetak) yang secara khusus memberitakan dunia hiburan Korea. Contohnya adalah tabloid Bintang Asia. Tabloid ini didedikasikan untuk mengulas segala sesuatu tentang dunia hiburan Hong Kong, Taiwan, Jepang, dan Korea. Dilihat dari kacamata budaya, kehadiran tabloid semacam ini di Indonesia menunjukkan keberhasilan dunia industri negara-negara di Asia Timur dalam bersaing dengan industri Hollywood dalam menarik hati konsumen Indonesia. Kehadiran drama dan film Korea benar-benar telah membawa suatu fenomena dan pengaruh tersendiri di pasar Indonesia. Bahkan dunia hiburan Indonesia mencoba juga membuat drama atau film-film yang mirip. Drama Korea Sassy Girl sangat populer di Indonesia bahkan ada drama Indonesia yang dibuat oleh sebuah rumah produksi di tahun 2004 yang mirip dengan drama Korea itu, Walaupun bisa disanggah seberapa jauh drama tersebut mengadaptasi atau meniru Sassy Girl, fakta ini menunjukkan bahwa film Korea telah secara besar-besaran memberikan pengaruh budaya yang fenomenal di kawasan ini. Di satu tahun terakhir dekade

56


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pertama ini (2010), beberapa stasiun televisi membuat kuis yang mirip dengan kuis-kuis yang ada di stasiun TV Korea. Ada kuis Ranking 1 yang mirip dengan kuis Golden Bell di Korea. Lalu, ada stasiun TV juga yang serius mengadakan lomba mencari grup pop Indonesia yang meniru gaya grup musik Korea, terutama grup cowok dan cewek lengkap dengan tarian khasnya yang dinamis dan enerjetik. Berkaitan dengan hal tersebut, memang patut dicatat bahwa Hallyu yang ada di Indonesia terus berkembang. Sejak tahun 2009 hingga 2010, K-Pop menjadi produk budaya Korea yang paling berpengaruh dibandingkan drama dan film Korea. Walaupun drama dan film Korea masih dan tetap ditayangkan di televisi, lagu-lagu Korea atau lebih tepatnya penyanyi Korea dalam balutan grup mirip Boy-Band dan Girl-Band telah berhasil menebar pesona dan menari perhatian para remaja Indonesia. Shinhwa, Big Bang, SS501, T-Max, Shinee, The Wonder Girls, Super Junior, TVXQ, Rain, 2PM, 2AM, U-Kiss, MBLAQ, BEAST, SNSD, 4Minute, KARA dan masih banyak yang lain telah menyebarkan pengaruh yang besar di Indonesia. Murid dari tingkat SD hingga SMA, para mahasiswa, dan remaja pada umumnya telah mulai meniru gaya dansa dan menirukan lagu-lagu Korea di pesta sekolah dan kegiatan lainnya. Ada beberapa acara yang bisa dipaparkan di sini sebagai bukti. Ada acara Korean Day atau semacam festival budaya Korea yang diadakan oleh mahasiswa di beberapa universitas di Indonesia. Setiap tahun sejak 1999 mahasiswa-mahasiswa berbagai prodi dan terutama Program Studi Bahasa Korea Universitas Gadjah Mada mengadakan acara itu. Patut pula dicatat apa yang telah dilakukan para mahasiswa Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Jakarta yang juga mengadakan acara yang bernuansa sama yang diadakan untuk merayakan budaya Korea di kampus masing-masing. Itu baru yang bisa terlihat, belum lagi universitas-universitas lain atau kelompok-kelompok lain yang tersebar di pelosok Indonesia. Ada juga festival Kimochi yang diadakan sejak tahun 2008 di Jogjakarta yang dimotori oleh para mahasiswa UKDW dan yang diikuti oleh berbagai ragam remaja di seluruh kota. Beberapa partisipan memamerkan kebolehan mereka dalam berkoreografi bak penyanyi pop Korea diiringi lagu-lagu yang sedang tren. Yang menarik adalah adanya kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka tidak menganggap masalah perbedaan bahasa sebagai hambatan untuk

57


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bereskpresi. Sebagai catatan, festival Kimochi ini sebenarnya adalah acara budaya Jepang, namun ternyata banyak lagu Korea dan nuansa Korea yang ditampilkan. Yang patut menjadi pertanyaan adalah bagaimana para remaja dan orang-orang muda di Indonesia ini dengan mudahnya mengetahui artis dan penyanyi Korea padahal tak ada siaran TV Korea yang setiap saat bisa didapatkan di Indonesia. Hanya mereka dari keluarga yang mampu dengan akses TV kabel atau parabola saja yang mampu setiap saat melihat artis idaman mereka atau acara TV Korea lewat Arirang dan KBS World. Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan mudah karena ternyata di samping media televisi, banyak kaum muda yang menonton, mendengarkan, mengunduh, dan berbagi lagu-lagu Korea melalui dunia internet. Dua situs yang menjadi medium utama mereka adalah youtube (www.youtube.com) dan facebook (www.facebok.com). Dua situs utama inilah yang menjadi medium mereka berinteraksi secara tak langsung dengan segala sesuatu tentang artis Korea atau dunia hiburan Korea. Digambarkan pula bahwa asalkan suatu grup tersebut berasal dari Korea, terlepas apa pun jenis musiknya, hampir dapat dipastikan mereka akan mendapatkan penggemar. Untuk itulah, konser musik Rain tahun 2009 di Jakarta berhasil menyedot histeria para remaja Indonesia hanya untuk melihat sekilas Rain lewat konser pertamanya di Indonesia. Begitu pula konser mini Wonder Girls pada tahun 2010. Bahkan konser-konser para artis Korea di negara Asia Tenggara lainnya pun juga dalam jangkauan para remaja Indonesia untuk didatangi demi melihat artis pujaannya.

(3) Jejak-Jejak Hallyu di Indonesia Apa yang akan dipaparkan di bagian berikut ini adalah hasil dari dua cara utama pengumpulan data selama satu dekade mengenai riset Hallyu di Indonesia. Yang pertama berasal dari poling, survei, komentar, diskusi, dan berita-berita baik dari sumber online maupun media cetak seperti koran dan bulletin yang menyajikan berita Hallyu di Indonesia. Penggunaan hasil survei dari sumber online hanya untuk menunjukkan adanya cakupan penikmat budaya Korea yang terus berkembang dan terus meluas—dari media TV menjadi meluas menjadi media internet yang tak bisa terbantahkan. Walaupun diskusi internet dan wadah sosial online kemungkinan hanya menunjukkan keterlibatan mereka yang mampu secara ekonomi, namun tak bijaksana bila fakta ini disepelekan karena jumlah mereka semakin banyak dan semakin

58


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bertambah. Pada tataran tertentu, konten situs-situs internet memang bisa menunjukkan apa yang orang Indonesia katakan tentang dan pandang dari budaya Korea. Yang kedua berasal dari berbagai hasil riset yang ada selama lima tahun terakhir dekade pertama. Paling tidak ada tujuh jejak yang patut dipaparkan di sini. Pertama adalah semakin terbiasanya publik Indonesia dengan artis dan aktor Korea. Kedua adalah meningkatnya jumlah Fan Club di Indonesia. Ketiga adalah berkembangnya situs pertemanan sosial online yang berfokus pada budaya pop Korea. Keempat adalah munculya situs-situs internet yang dibuat oleh orang Indonesia yang mendedikasikannya untuk drama dan film Korea. Kelima adalah terbiasanya konsumen Indonesia dengan VCD, DVD, CD, MP3, termasuk ringtone telepon selular yang bernuansa Korea. Keenam adalah berkembangnya komik-komik dan buku Korea terjemahan bahasa Indonesia. Ketujuh adalah menjamurnya tabloid cetak yang berfokus pada dunia industri Asia, termasuk Korea. Pertama, semakin terbiasanya publik Indonesia dengan artis dan aktor Korea. Dalam dekade ini telah terjadi perkembangan besar tentang seberapa jauh orang Indonesia mengenal Korea. Ketika seseorang ditanya mengenai apa yang mereka ketahui tentang Korea. Banyak orang Indonesia yang menjawabnya dengan mengaitkannya dengan persepakbolaan Korea atau Piala Dunianya; atau menjawabnya dengan satu hal yang khusus yaitu drama Korea dari televisi. Sebagian dari mereka mengaitkannya dengan satu atau dua judul drama televisi atau nama artis yang mereka ingat; dan sebagian mengacu pada Dae Jang Geum atau drama lain yang mereka lihat atau dengar. Di samping itu, nama-nama seperti Won Bin, Bae Young Jun, and Rain muncul dalam jawaban. Walaupun pertanyaan ini sepele bagi sebagian orang, yang patut diketahui adalah fakta bahwa tak pernah sebelumnya terjadi bahwa orang Indonesia memiliki kesamaan pengetahuan mengenai Korea. Banyak orang yang dulu gandrung dengan drama Jepang atau Taiwan akhirnya juga menaruh minat dengan drama serial Korea. Meningkatnya popularitas pemain drama Korea telah membawa berkah tersendiri yaitu adanya penjualan memorabilia yang berkaitan dengan drama tersebut. Para aktor dan penyanyi Korea telah menjadi gambar sampul yang lumrah di berbagai majalah dan tabloid. Ditambah lagi penjualan foto, gantungan kunci, poster, dan kalender bergambar artis-artis Korea yang semakin biasa. Hal ini menunjukkan diterimanya artis Korea di pasar Indonesia bersama dengan

59


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

artis Hollywood—sesuatu yang layak dicatat dalam sejarah modern budaya Korea mengingat telah kuatnya pengaruh Hollywood di Indonesia serta bagian dunia lainnya. Kedua, meningkatnya jumlah Fan Club di Indonesia. Ketenaran drama Korea tak hanya menaikkan citra para aktor dan aktrisnya, namun hal ini juga mematrikan keberadaan mereka dalam bentuk fan club yang tersebar di berbagai tempat. Para fan tak hanya mengidolakan mereka, namun mereka juga ingin tahu lebih banyak dan terlibat dengan orang lain yang berminat sama. Pada titik ini, munculnya klub Won Bin dan Bae Young Jun/BYJ (mulai 2003-an) adalah sebagian dari banyak fan club yang didedikasikan untuk kegilaan terhadap budaya pop Korea. Anggota dari fan club ini berasal dari beragam kota di Indonesia. Misalnya adalah BYJ club yang didirikan pada tanggal 29 Agustus 2004 dan tetap eksis. Situs klub ini adalah www.byjindofamily.com di mana para anggotanya dapat memuaskan keingintahuan mereka akan berita, informasi, profil, dan tautan-tautan dengan BYJ klub lain di dunia maya. Ketiga, berkembangnya situs pertemanan sosial online yang berfokus pada budaya pop Korea. Forum-forum diskusi online yang berkutat seputar informasi mengenai budaya populer Korea terus menjamur terutama pada paruh terakhir dekade ini. Ruang ngobrol dan forum diskusi bertema film, drama, aktor, artis, K-Pop, dan berbagai macam lagu Korea banyak menarik perhatian. Dibarengi dengan semakin murahnya harga netbook dan mudah didapatkannya lingkungan ber-wifi di ruang publik telah membantu memfasilitasi orang-orang yang tertarik pada budaya pop Korea. Mereka dapat mengaktualisasikan minat dan kegemaran mereka dengan ikut berpartisipasi dalam forum dan perkumpulan sosial online tersebut. Dua contoh yang patut dicatat di sini adalah forum diskusi di Lautan Indonesia yang bertautan dengan stasiun TV swasta Indosiar serta situs www.facebook.com/pages/K-Pop-Hunt...) serta situs (http://twitter.com/Kpop_on_IndoTV) yang berjuang dengan cara mengkhususkan diri menggaet satu juta pendukung K-Pop di Indonesia. Situs pertama telah ada sejak awal tahun 2002-an, sementara yang kedua baru muncul pada tahun 2010. Situs pertama terkenal karena memberikan tempat bagi mereka yang keranjingan dengan drama-drama Korea. Forum ini menyatukan semua orang dari berbagai lapisan yang ingin menunjukkan antusiasme mereka terhadap K-drama. Bahkan, mereka telah mengadakan pertemuan rutin untuk berdiskusi dan

60


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

saling berkenalan dengan sesame anggota. Situs kedua dibuat oleh seorang remaja Jogja yang ingin menyatukan semua pecinta K-Pop di tanah air untuk mendukung adanya gerakan datangnya artis Korea ke Indonesia karena kuatnya fan di Indonesia. Ada dua contoh bagaimana dunia maya dapat dijadikan gambaran bagaimana Hallyu diterima di masyarakat Indonesia. Pertama adalah poling online yang dilakukan oleh Indosiar pada tahun 2004 di (http://www.indosiar.com/v2/da/polling.htm?id=340) di mana poling tersebut menggambarkan drama apa saja yang disukai oleh pemirsa. Hasilnya bisa dikatakan bahwa para penggemar menyatakan bahwa dua drama Korea yaitu Winter Sonata dan Endless Love sebagai drama yang terus mereka ingat, bahkan yang pertama sebagai drama yang pantas tonton. Lalu ada pula poling yang bisa terlihat di

http://www.indosiar.com/v2/da/polling.htm?id=277 di mana

hasilnya mengatakan bahwa tiga dari drama Korea yang diingat pemirsa adalah drama Korea. Endless Love menempati tempat kedua karena setelah drama ini, drama-drama Korea lainnya membanjiri Indonesia pada tahun 2004. Bahkan sampai tahun 2010, K-drama tetap mendapat tempat di TV Indonesia walaupun tidak tayang pada jam tayang utama. Namun demikian, hal ini menunjukkan bahwa kurun waktu tersebut menunjukkan kesinambungan penayangan drama dari Korea. Website-website yang disebut di atas tersebut hanyalah segelintir dari beratus situs yang bersinergi dengan para anggotanya untuk memberikan info seputar artis Korea memang membantu mereka untuk bertugas pikiran, mengkritik, berharap, dan mengomentari apa pun tentang K-drama dan film. Isi forum-forum tersebut mengindikasikan apa yang mereka perbincangkan, bagaimana mereka saling berkomentar, dan apa yang terbaru dan menarik buat mereka. Dalam hal jumlah pengunjung yang berjumlah ribuan, forum-forum tersebut merefleksikan antusiasme/kegemaran sebagian orang Indonesia terhadap soundtrack drama Korea, foto-foto terbaru seputar dunia hiburan Korea, gossip terbaru, dan berita-berita lainnya. Secara singkat, dunia online dan maya memang menceritakan gambaran terkini dan terbaru tentang bagaimana produk budaya Korea diminati dan dihargai di Indonesia. Keempat, munculya situs-situs internet yang dibuat oleh orang Indonesia yang mendedikasikannya untuk drama dan film Korea. Penayangan K-drama telah memicu ekspansi situs-situs yang terkait di Indonesia. Dilihat dari mesin pencari www.google.co.id misalnya,

61


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

apabila dientri hal-hal yang berbau Korea, maka akan terlihat bagaimana dan apa saja yang terpampang di sana. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa mesin pencari tak menunjukkan data yang sebenarnya, namun hasil dari mesin pencari akan menunjukkan bahwa apa yang ada di dalamnya adalah cerminan realitas yang ada. Sejak banyak orang menggunakan internet sebagai sumber informasi, maka tak terelakkan pentingnya mengetahui apa yang orang modern lakukan, baca, tukar, dagangkan, dan bicarakan. Semua itu terpampang di dunia maya. Selama dekade pertama abad ke-21 ini, banyak sekali terjadi perubahan yang terjadi. Situs-situs yang dibuat oleh orang Indonesia mengenai drama seperti Winter Sonata, Endless Love, Sinetron Korea, film Korea, K-Pop, Dae Jang Geum, Boys Before Flower dan berbagai entri lain yang terkait denga Korea terus bertambah—jumlahnya mencapai ribuan dan terus bertambah. Hal ini menunjukkan fakta adanya orang Indonesia yang membicarakan tentang budaya Korea—bukan orang Korea. Kelima, terbiasanya konsumen Indonesia dengan VCD, DVD, CD, MP3, termasuk nada dering telepon selular yang bernuansa Korea. Film dan drama Korea (kebanyakan serial) yang diproduksi antara 2000-2010 telah beredar di toko dan emperan toko di pelosok negeri. Mereka bisa mudah dikenali dengan adanya tulisan Hangeul dan judul Inggrisnya. Banyak judul lama dan baru yang beredar dan terus berputar di masyarakat. Melihat banyaknya permintaan, judul-judul drama atau film baru bisa diadakan. Walaupun ada yang asli, film bajakan juga ada. Terlepas dari itu, keberadaan fakta ini paling tidak menunjukkan adanya permintaan pasar akan film dan drama Korea. Di sisi lain, toko-toko kaset, CD, dan DVD biasanya menjual produksi berlisensi resmi walaupun jumlahnya tak sebanyak dan tak seberagam koleksi yang dijual bebas di pasar tak resmi. Di toko-toko ini biasanya menjual produk yang salah satunya berlisensi dari Blockbuster Indonesia (www.blockbuster.co.id) yang memegang lisensi untuk menjual dan mendistribusikan film Korea dengan subtitle Indonesia. Kebanyakan dari koleksi yang dijual adalah koleksi lawas drama-drama Korea, original soundtrack drama-drama Korea, dan beberapa film Korea. Pada sekitar tahun 2005-an mencari film Korea di toko resmi masih sulit. Hal ini bukannya disebabkan oleh tak adanya koleksi CD atau DVD, namun karena film produksi Korea masih disatukan dalam rak berisi film dari Hong Kong, Taiwan, dan Jepang. Bahkan ada kalanya para

62


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

penjaga toko tak mengetahui bahwa film tersebut adalah produksi Korea karena memang tak terlihat berbeda buat orang awam. Namun, sejak tahun 2009 hingga 2010 hal semacam itu sangat jarang terjadi baik di toko resmi maupun di penjaja kaki lima karena jarang yang tidak tahu mana film dan drama Korea. Bahkan di beberapa toko dapat dijumpai film dan drama serial Korea telah mendapat rak tersendiri dibedakan dengan produksi Jepang atau Hong Kong. Walaupun kelihatan sepele, hal ini adalah suatu kemajuan pemahaman tentang eksistensi produk budaya Korea di masyarakat Indonesia. Bersamaan dengan populernya lagu-lagu yang menghiasi drama Korea dan semakin seringnya terdengar lagu-lagu K-Pop (terutama dari dunia maya), nada dering telepon selular yang berisikan lagu Korea juga semakin terbiasa terdengar dan tersedia di kios-kios maupun secara online. Para pemakai nada dering ini pastinya adalah mereka yang telah mengenal produk budaya Korea sehingga mereka mencari dan mengunduh lagu-lagu tersebut untuk dijadikan nada dering seluler mereka. Keenam, berkembangnya komik-komik dan buku Korea terjemahan bahasa Indonesia. PT Gramedia sebagai salah satu penerbit buku terkemuka dan jaringan toko buku terbesar di Indonesia cukup memahami keberadaan Hallyu di Indonesia. Buku dan komik Korea terutama yang terkait dengan budaya populer pernah diterbitkan pula oleh penerbit ini. Pada tahun 2002 ada buku versi terjemahan kisah Endless Love karya Oh Soo Yeon yang diterbitkan dengan judul Cinta Tanpa Akhir bersamaan dengan meluasnya gaung drama Korea saat itu. Pada tahun 2010 PT Elex Media menerbitkan beberapa komik dari Korea. Salah satu yang pada tahun 2009 dan 2010 dipajang di banyak toko buku terkemuka Indonesia adalah terbitan komik ilmu pengetahuan seri Why yang ditujukan untuk anak-anak didik sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas.

Beberapa orang mengetahui bahwa itu dari Korea, tapi sebagian besar tak

mengetahuinya hingga mereka membuka bagian dalam. Namun nama pengarang dan penerbit asli yang tertulis dari Korea memang menunjukkan adanya bukti terjemahan komik Korea ke dalam versi Indonesia. Lalu, PT Erlangga sebagai salah satu penerbit terkemuka di Indonesia juga sering menerbitkan serti komik pengetahuan dari Korea. Telepas dari definisi Hallyu yang terlihat lebih memfokuskan pada dunia hiburan, keberadaan hal-hal ini menunjukkan adanya keragaman pengaruh Hallyu ke Indonesia.

63


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Ketujuh, menjamurnya tabloid cetak yang berfokus pada dunia industri Asia, termasuk Korea. Selama tahun 2009-2010, jumlah tabloid yang menampilkan artis Asia termasuk Korea semakin banyak peminatnya. Bintang Asia dan Asian Plus adalah dua contoh tabloid yang mengkhususkan dirinya membidik pasar para Korea mania di Indonesia. Bersamaan dengan dua tabloid tersebut, beberapa majalah remaja seperti Kawanku dan Olga juga bisa dikategorikan sebagai medium penyebaran Hallyu dan kisah-kisah di balik itu. Singkatnya, para selebritas dan dunia hiburan Korea adalah bak kacang goreng yang laris manis dijual untuk para remaja yang kebanyakan cewek. Sekali lagi, eksistensi tabloid-tabloid semacam itu memang menjadi bukti nyata adanya permintaan pasar. Bahkan melihat perkembangan selama dua tahun tersebut bisa cukup untuk mengatakan bahwa para artis Korea telah berada level yang sejajar dengan para bintang Hollywood dalam hal kepopuleran mereka di mata para konsumen Indonesia. Ada dua contoh yang pantas diulas di sini. Yang pertama yang bisa dijadikan gambaran betapa besarnya pemberitaan dunia artis Korea dapat dilihat pada satu edisi bulan Juli 2010 majalah Olga yang secara terus terang menempatkan Choi Si Won sebagai sampul depan; membicarakan era K-Pop seperti: 2AM, 2PM, Shinee, MBLAQ, BEAST dalam fitur-fitur dan artikel beritanya; menganalisis sensasi KARA yang menjadi terkenal karena menyanyikan lagu berkaitan dengan FIFA Piala Dunia 2010; meresensi karir Moon Geung Young sebagai artis yang bersinar; dan mengulas sejarah drama-drama percintaan Asia termasuk produksi Korea. Yang kedua yang patut dicantumkan di sini adalah tabloid Bintang Indonesia edisi Juli 2010 yang mengulas tren drama serial Asia dalam sejarah pertelevisian Indonesia. Tabloid ini secara khusus mengulas tiga drama: dorama Jepang (tahun 1990-an); serial Mandarin (paruh pertama tahun 2000-an); dan drama Korea (tahun 2000 hingga 2009). Bahkan tabloid yang sama juga mengulas ketenaran Boys Before Flower dalam edisi khususnya pada tahun 2009. Satu hal terakhir yang perlu diungkap untuk menutup gambaran dan jejak Hallyu di Indonesia selama dekade ini adalah gaya fesyen Korea. Walaupun gaungnya belum sebesar film, drama, dan K-Pop, namun sejumlah situs penjualan online gaya fesyen Korea serta toko-toko yang secara terus terang menawarkan gaya Korea telah terlihat dan mulai banyak. Dalam majalah, istilah gaya Korea yang bercirikan garis-garis nan simple, atasan bergaris, double top

64


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

buat para cewek telah menjadi hip dan barang laris. Terlebih lagi, dengan ketenaran para aktor BFF dengan gaya berpakaian mereka juga membuat gaya para cowok mengikutinya. Seperti yang dikutip oleh majalah Olga edisi Juli 2010, gaya pakaian Lee Min Ho, Kim Bum, dan para aktor BBF yang lain juga menjadi barang yang dicari. Pada intinya, apa yang tertuang dalam bagian ini adalah gambaran nyata tentang bagaimana Hallyu telah bergulir di Indonesia dengan segala pesonanya.

Penutup

Sambutan hangat masyarakat Indonesia terhadap Hallyu seperti yang terekam dalam gambaran-gambaran tersebut memang menunjukkan fakta bahwa demam Korea tetap eksis dan terus berlangsung di negeri ini. Pada tataran tertentu, keberhasilan Korea dengan Hallyunya bisa dilihat sebagai suatu yang mengagumkan karena fenomena ini berhasil mengambil hati masyarakat Indonesia yang tengah terdominasi pengaruh kehadiran Hollywood dalam ranah hiburannya. Selama satu dekade tersebut dapat dikatakan pula bahwa Korea telah menjadi salah satu ‗pemengaruh‘ kebudayaan dan dunia hiburan Indonesia. Beberapa kalangan berpendapat bahwa demam Korea adalah kegilaan sesaat atau euforia akan sesuatu yang berbau Korea. Namun, bila ini adalah suatu euforia maka ini adalah suatu euforia panjang yang berhasil. Selama satu dekade banyak hal telah terjadi. Forum diskusi aktor Korea, penjualan produk budaya kontemporer Korea, keberadaan berita dan artikel-artikel mengenai artis dan dunia hiburan Korea, penayangan drama dan film Korea di televisi nasional, dan maraknya kehadiran K-Pop dan drama Korea lengkap dengan efek yang ditimbulkannya adalah hal-hal yang menjadi bukti gambaran nyata hadirnya Hallyu di Indonesia. Ditilik dari diri pemerintah Indonesia, semua hal itu tak mungkin terjadi apabila pemerintah tidak memberikan kebebasan pers dan masyarakatnya untuk mencari hiburan. Pada sisi tertentu, maraknya kehadiran Hallyu di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia memang pasar yang menjanjikan bagi budaya asing mana pun dalam era arus informasi. Untuk itu, kehadiran Hallyu harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipetik hikmah dan

65


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pelajaran berharga. Masyarakat Indonesia harus tahu apa masyarakat Korea itu dan bagaimana Korea sebagai suatu bangsa itu berpikir, bertindak, dan berkarya dalam menyikapi mengglobalnya Hallyu mereka. Jika tidak, maka tak ada yang tersisa untuk dipelajari selain Indonesia bersikap pasif menerima Hallyu menerpa Indonesia. Untuk itu, banyak yang bisa dipelajari masyarakat Indonesia, akademisi, pemerintah, usahawan, dan pekerja seni dan hiburan Indonesia dari pencapaian industri kreatif Korea yang fenomenal ini. Korea berhasil menginvasi negara lain dengan budayanya karena Korea sukses menggunakan tonggak Hallyu sebagai alat diplomasi budaya untuk mengubah citranya di dunia. Satu hal yang pasti adalah bahwa Hallyu telah pada derajat tertentu telah meningkatkan pemahaman orang Indonesia tentang Korea. Paling tidak Hallyu telah membuat banyak orang Indonesia menjadi tahu satu acuan tentang Korea itu negara seperti apa. Sebagai tambahan, Hallyu bukanlah suatu ancaman budaya karena kebanyakan masyarakat Indonesia cenderung beradaptasi secara positif dan mudah terlibat dalam berkomunikasi dengan budaya asing. Pada intinya, Hallyu telah berada di Indonesia dan tak terelakkan telah menjadi bagian kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Yang perlu ditindaklanjuti adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa belajar dan merangkul Korea sembari menghargai dan melestarikan budayanya sendiri. Melihat semua kondisi yang terjadi pada dekade pertama abad ke-21 ini, Hallyu memiliki lahan subur untuk terus berkembang di Indonesia mengingat masyarakat Indonesia yang juga adaptif aktif terhadap perkembangan dunia luar.

Penulis: Suray Agung Nugroho M.A. (Hankuk University of Foreign Studies, Korea), ketua Jurusan Korea - UGM E-mail: suray83@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

66


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Nugroho, Suray Agung. ―Korean Movies as Reflected in Korean Movies Magazines (2000-2001)”. Tesis Master. Graduate School of International Area Studies. Hankuk University of Foreign Studies. 2002. Nugroho, Suray Agung. “Trend Merebaknya Budaya Pop Korea: Studi Kasus tentang Sinetron dan Film Korea di Indonesia.” Paper penelitian. 2004. Nugroho, Suray Agung. “Film Korea: Riwayatmu Kini.” Paper dipresentasikan dalam seminar Perfilman Korea dan Cina. Fakultas Ilmu Budaya UGM. 2005. Nugroho, Suray Agung. “Hallyu: Merebaknya Budaya Pop Korea di Asia.‖ Paper dipresentasikan dalam Lokakarya untuk Pengajar SMU Se-Indonesia. Pusat Studi Korea UGM. 2009. Nugroho, Suray Agung. “Hallyu „Gelombang Korea‟: Refleksi untuk Memajukan Studi Korea di Indonesia.” Paper dipresentasikan pada Seminar ke-1 INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia). Universitas Gadjah Mada. 2009.

PILAR-PILAR KEKUATAN ORANG KOREA

67


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Mukhtasar Syamsuddin (Universiutas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Catatan sejarah awal kehidupan bangsa Korea, secara jelas mengukir nasib orang Korea sebagai sekelompok manusia yang telah mengalami getirnya kehidupan karena tertekan oleh sebuah sistem pemerintahan otoriter. Dengan dalih mencegah cara berpikir dan bersikap individualistis, rejim otoriter Korea tidak pernah memberi kesempatan kepada rakyat untuk secara bebas menentukan pilihannya bagaimana dan di mana harus membangun kehidupannya sendiri. Gambaran kehidupan yang sangat tertekan itu nampak lebih jelas lagi tatkala Konfusianisme mulai diperkenalkan sekitar 2000 tahun yang lalu di Korea, yaitu terutama pada era pemerintahan Dinasti Choson di tahun 1392. Sejak pemerintahan Dinasti Choson, ajaran Neo-Konfusianisme diadopsi sebagai sistem nilai pembangunan pranata kehidupan yang pada prinsipnya mengharuskan setiap orang Korea untuk mengontrol emosi, semangat, intelektualitas, dan ambisi pribadinya. Pengadopsian ajaran Neo-Konfusianisme oleh Dinasti Choson pada tahun 1392 itu berlangsung dalam era pemerintahan yang sangat menekankan pada apa yang dikenal sebagai ―father culture‖ (budaya bapak), suatu bentuk budaya yang memberikan otoritas mutlak kepada kaum bapak untuk mengatur keluarga, yang menjadikan tradisi penghormatan kepada leluhur sebagai salah satu bentuk agama, dan yang mengharuskan sikap taat pada bapak dan pegawai pemerintahan dengan kombinasi keharusan menghormati para senior atau orang yang lebih tua tanpa perlu dipertanyakan lagi. Sistem yang berjalan hingga 1945 tersebut, tertanam kuat dalam jiwa setiap orang Korea. Beberapa ahli sosiologi Korea menyebut penanaman sistem itu sebagai sebuah bentuk kekuatan dari han atau dendam yang tak berbalas, daya yang dapat disamakan dengan penutup panci yang

68


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menekan rapat agar setetespun air yang telah mencapai titik didih tidak keluar dari panci. Diyakini pula oleh para ahli sosiologi bahwa sejak era feodalisme memang terdapat berbagai macam han,misalnya han atas pengkhianatan politik, han atas kekerasan seksual, han atas kemiskinan, han atas penderitaan, han atas kemunduran, yang semua itu telah menimpa orang Korea secara terlembaga sehingga memaksa orang Korea untuk menghadapinya secara gigih di sepanjang jaman. Dengan gambaran lain, han merupakan wujud kerinduan setiap orang Korea untuk bangkit dari situasi buruk yang telah diciptakan oleh agama dan sistem politik yang menindas. Atas dasar hukum dan tradisi, sistem sosial politik Korea pada era sebelum modern sangatlah terasa menjerat sehingga rakyat terhalang untuk memajukan sedikitpun potensi diri yang mereka miliki. Rakyat bagaikan baja pegas yang tertekan rata sehingga hanya ada sedikit jalan untuk melepaskan energi, mewujudkan keingintahuan, dan menyalurkan kreativitasnya. Korea memiliki kekayaan sastra atau khususnya puisi oleh karena dunia sastra merupakan satu-satunya jalan yang dapat mengekspresikan situasi orang Korea yang tertekan tanpa melanggar hukum dan tradisi yang berlaku. Ekspresi itu adalah han yang mengungkapkan perasaan sedih, frustrasi dan dendam atau kebencian. Sejak dinasti feodal berkuasa, pemerintah Korea mengontrol seluruh pikiran dan tindakan rakyat melalui sistem yang sangat buruk dan mengakibatkan rakyat bersikap pasif. Namun saat kekuasaan pemerintah melemah, rakyat senantiasa melakukan perlawanan. Pendudukan dan penjajahan Jepang atas bangsa Korea pada tahun 1910 merupakan peristiwa yang paling membakar amarah dan menampar kehormatan bangsa Korea. Dibandingkan dengan peristiwaperistiwa lain, pendudukan dan penjajahan Jepang tersebut dipandang sebagai peristiwa yang paling membebani han bangsa Korea. Oleh sebab itu, maka ketika kemerdekaan berhasil diperoleh pada 1945, bangsa Korea dengan gigih mengubah segala jeratan ambisi, kreativitas, dan energi mereka menjadi potensi adidaya pembangunan ekonomi dan sosial, minimal hal itu terjadi dalam satu generasi bangsa. Potensi internal bangsa Korea inilah yang mestinya dipahami oleh orang asing yang hendak menjalin hubungan dengan orang Korea. Dengan kata lain, dalam bentuk hubungan apapun yang hendak dijalin, hendaknya disadari bahwa terdapat han yang setiap saat siap

69


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

muncul sebagai motor penggerak kehidupan orang Korea. Han sebagai energi luar biasa yang selalu menyertai orang Korea dalam menempuh pendidikan, dalam bekerja dan dalam setiap upaya merebut kesuksesan hidup. Han masih mengisi jiwa setiap orang Korea dan akan meletup jika fisik dan mental mereka terasa dibelenggu.

Pilar-Pilar Kekuatan Orang Korea

1. Pilar Han-geul (abjad Korea) dan Bahasa Menelusuri sejarah panjang Korea dapat ditemukan catatan bahwa rakyat diperbolehkan untuk sedikit bebas berinisiatif hanya terjadi dan didukung oleh segelintir penguasa kerajaan Choson, terutama pada era kekuasaan Raja Sejong. Di bawah kekuasaan Raja Sejong ini, kelompok orang-orang terpelajar dan ilmuwan didorong untuk giat melakukan penelitian. Raja Sejong sendiri merintis penciptaan dan penulisan huruf-huruf Korea untuk menggantikan huruf China yang secara luas telah digunakan oleh rakyat Korea. Rintisan Raja Sejong tersebut hingga saat ini diakui sebagai sistem penulisan yang paling sederhana, jelas, dan ilmiah. Dari rintisan ini pula, diketahui bahwa abjad Korea terdiri dari 10 vokal dan 14 konsonan. Untuk membentuk suku-kata, vokal dan konsonan tersebut digabungkan secara terkombinasi. Hasil penggabungan ini akan membentuk kata tertentu. Berbeda dengan huruf-huruf China yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menguasainya, abjad Korea atau yang disebut Hangeul dapat dipelajari dalam sehari. Secara etnik, orang Korea merupakan keturunan ras Monggolian, tetapi secara fundamental berbeda dengan budaya dan bahasa China, Jepang, dan Mongol. Semua orang Korea menggunakan bahasa yang sama dengan sedikit variasi bahasa lokal. Seperti dalam kehidupan masyarakat di jaman kuno, bahasa tidak saja merupakan gudang utama budaya tradisional orang Korea namun juga merupakan tumpuan yang dapat menopang dan membawa budaya tradisional itu dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Bahasa berkedudukan sebagai jendela hati, jiwa dan cara pandang rakyat Korea. Nampaknya akan sulit untuk memahami orang Korea atau untuk mengapresiasi budaya

70


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Korea sepenuhnya jika bahasa mereka belum dipahami secara baik pula. Karakter kebangsaan dan pola berpikir orang Korea terkait erat dengan bahasa, tidak saja dalam penggunaannya sebagai suatu media komunikasi rutin namun juga dalam semua nuansa budayanya. Karena menguasai bahasa Korea dan semua komponen budayanya adalah suatu tantangan abgi bagi orang asing, maka persiapan yang perlu dilakukan adalah dengan membiasakan diri untuk akrab dengan kata-kata kunci yang dapat memberi wawasan pengetahuan mengenai hati dan jiwa orang Korea. Seseorang tidak akan dapat menempatkan diri secara tepat dalam masyarakat Korea sekarang ini tanpa memahami bagaimana menggunakan kata sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Demikian pula, pilihan kata pembicara harus sesuai dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat Korea yang terkait baik dengan gender, usia, maupun posisi atau kedudukan orang Korea dalam masyarakatnya. Untuk menafsirkan fungsi bahasa Korea, perlu pula dipahami bahwa bahasa Korea dirancang tidak lain adalah untuk menunjukkan dan memelihara status sosial pembicara. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan berkomunikasi, akan sangat jelas kedudukan orang yang berstatus bawahan dan atasan. Dengan kata lain, setiap orang perlu menggunakan bahasa melalui ekspresi yang santun dan rendah hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sumber otoritas bahasa Korea tersebut juga menegaskan bahwa sangat sulit, bahkan tidak mungkin seseorang dapat berbahasa Korea secara logis sebab rancangan bahasa Korea memang tidak jelas dan mengandung banyak istilah abstrak. Untuk mengatasi hal ini, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah bahwa ketika berkomunikasi dengan orang Korea, seseorang harus menggunakan intuisi atau perasaannya, pandai ―membaca‖ pikiran dan isyarat-isyarat verbal orang lain.

2. Pilar Pemujaan terhadap Konfusianisme Walaupun cara berpikir dan bertindak telah mengalami perubahan fundamental sejak pertengahan abad ke-20, namun ajaran Konfusius tetaplah menjadi landasan kokoh kebudayaan Korea. Kebijaksanaan klasik China yang sangat berpengaruh dari Konfusianisme patut diperhitungkan sebab telah melekat kuat dalam keseluruhan aspek kehidupan orang Korea, termasuk pada diri mereka yang sebagian hidupnya telah mengalami proses westernisasi.

71


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Generasi muda Korea boleh saja mengenakan gaun dan bertingkah seperti orang-orang Amerika misalnya, namun sistem sosial yang berlaku saat ini masih mengharuskan mereka untuk memperhatikan tradisi Konfusianisme dari berbagai seginya, seperti sistem kekeluargaan yang harus terajut erat, upaya untuk sedapat mungkin menempuh pendidikan setinggi-tingginya, bertanggungjawab secara bersama-sama dalam mewujudkan kesejahteraan hidup sanak keluarga, dan penghormatan terhadap senior. Bagaimanapun, Konfusianisme harus diakui sebagai tradisi tua yang memainkan peranan penting dalam membangkitkan Korea sebagai negara yang mampu memimpin kekuatan ekonomi dunia, apalagi karena berbagai macam ajaran Konfusiusme itu menyatu ke dalam etika yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Korea. Fakta terkini menunjukkan bahwa Konfusianisme yang mengajarkan kedisiplinan, kesadaran dan tanggungjawab telah dijadikan sebagai ajaran yang patut dipuja oleh orang Korea. Sekali mereka mendapat kesempatan untuk melakukan perbaikan diri, terutama melalui pendidikan, maka seterusnya mereka akan berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan utamanya dengan dilandasi oleh semangat pemujaan terhadap Konfusianisme.

3. Pilar Him (Kekuatan Daya Hidup) Dari ajaran Konfusianisme, pemberlakuan norma-norma etika dalam kehidupan masyarakat Korea modern sekarang dilandasi oleh him yang secara bebas dapat diartikan sebagai daya atau kekuatan hidup. Him melekat dalam diri setiap orang Korea. Bahkan, karakter orang Korea tidak dapat dilepaskan dari him. Him mendasari watak asli orang Korea. Dari dan melalui him inilah, orang Korea memiliki keinginan kuat untuk menggapai sukses dalam kehidupannya. Sindrom ini sebetulnya telah muncul beberapa abad yang lalu, ayitu ketika seluruh kekuatan dalam mengatur jalannya sistem kehidupan bernegara di Korea dikuasai oleh kelompok elit masyarakat. Penghapusan sistem pemerintahan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial dan yang mengalihkan semua kekuasaan kepada masyarakat kelas atas, termasuk kepada kaum bapak di semua lapisan masyarakat di Korea adalah sebuah fakta sejarah yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penting dalam kehidupan masyarakat Korea. Peristiwa ini

72


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sekaligus menjadi momentum awal bagi setiap orang Korea untuk secara bebas berupaya mencapai tingkat kesuksesan yang dikehendakinya. Orang Korea dahulu tidak pernah memiliki daya dan kuasa untuk mengatur kehidupannya sendiri sehingga energi yang dicurahkan dalam rangka pencapaian kebebasan ini merupakan dinamika dan daya kreatif yang tak pernah mereka peroleh sebelumnya. Pada prinsipnya, gairah him yang dikombinasikan dengan rasa bangga yang menjulang tinggi mendorong orang Korea untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan terbaik, serta berupaya menghasilkan karya-karya terbaik. Kekuatan yang berintikan him ini tidak saja berpotensi dalam membangun karakter diri orang Korea namun juga memberi landasan kokoh bagi bangkitnya perekonomian bangsa Korea.

4. Pilar Ketenangan Diri dan Semangat Berjuang Buku-buku sejarah merupakan sumber inspirasi bagi orang Korea untuk melakukan banyak hal agar pesan klasik China yang berbunyi; ―negeri yang tenang di pagi hari‖ menjadi kenyataan. Pesan ini ditulis oleh seorang pengamat dari China karena terkesan oleh ketenangan yang menyelimuti seluruh penjuru negeri Korea di pagi hari, ditambah dengan riuh rendah gema suara katak di tepian gugusan bukit. Belakangan ini, orang Barat yang sempat mengunjungi Korea, umumnya juga terkesan dengan ketenangan yang terpancar dari diri orang Korea. Situasi negeri yang senantiasa nampak terkendali dan jarangnya terlihat tindakan kekerasan menambah kesan ketenangan negeri Korea semakin dalam. Dari kesan ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa jika terdapat perilakuperilaku lain, masyarakat dan pemerintah tidak memberikan sanksi atau menggunakan ukuranukuran ketat yang berpotensi merusak ketenangan. Semua ini merupakan hasil pembentukan sikap yang menggunakan karakter budaya orang Korea sendiri. Fakta lain dan terkini menunjukkan bahwa secara individual, orang Korea baik laki-laki maupun perempuan dapat saja melakukan tindakan kekerasan, terutama jika mereka tidak lagi mampu menahan emosi mereka yang tertekan. Bagi laki-laki, tindakan kekerasan ini seringkali dilampiaskan dengan meminum minuman beralkohol terlebih dahulu, dan setelah itu siap bertindak.

73


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Pada era awal Dinasti Choson (1392-1910), pertarungan, atau yang disebut chontu lazim terjadi. Pertarungan ini umumnya dipahami sebagai sebuah tantangan dari pemerintah yang mewujud dalam pertarungan antar para laki-laki. Petarung harus mengenakan topi keramik yang sangat berat, dan bagi petarung yang topi keramiknya jatuh pada saat pertarungan berlangsung, maka akan dikenai sanksi. Intensitas kekerasan di Korea secara dramatis berkurang dalam beberapa dekade belakangan ini. Namun topi keramik yang berat itu masih juga membebani rakyat dalam wujud pajak yang diwajibkan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Ketika tentara Jepang menduduki Korea di tahun 1910, seorang tentara Jepang menulis bahwa laki-laki Korea lebih tertarik bernyanyi dan membaca puisi daripada bertarung. Korea telah memiliki prajurit-prajurit profesional jauh sebelum Jepang memiliki samurai, namun prajurit-prajurit Korea lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia seni daripada di arena pertarungan. Fakta sejarah lain menunjukkan bahwa sebagian besar orang Korea menolak pendudukan Jepang dengan bersembunyi di pegunungan untuk berjuang sebagai gerilyawan. Adapun sebagian kecil masyarakatnya, yang terpaksa bekerja untuk bangsa Jepang, tetap berupaya melakukan sabotase terutama jika Jepang melakukan tindakan yang berdampak pada lunturnya nilai budaya Korea. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan Konfusius dan Jepang selama berabad-abad dalam sejarah perkembangan masyarakat dan bangsa Korea tidak mengurangi sediktipun semangat juang orang Korea. Ketika orang Korea berhasil merebut kemerdekaan, bahkan berlangsung hingga saat ini, semangat juang itu semakin menjulang tinggi, mengiringi orang Korea dalam membangun negerinya.

5. Pilar Hwa (Harmoni/Keselarasan) Rujukan utama untuk mengetahui situasi orang Korea jaman dahulu tertuang secara jelas dalam dokumen China yang telah ditulis sekitar 4000 tahun yang lalu. Dokumen itu menggambarkan situasi sekelompok manusia yang hidup dengan penuh ketentraman dan kedamaian di semenanjung Korea. Dalam dokumen itu, juga dengan jelas diterangkan bahwa ketentraman dan ketenangan hidup kelompok manusia itu merupakan bukti nyata betapa pentingnya diberlakukan sistem perilaku atau etiket yang dilandasi oleh nilai hwa atau harmoni

74


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dalam kehidupan masyarakat Korea. Budaya orang Korea pada jaman itu berkaitan erat dengan kepercayaan kuno Shamanisme. Melalui Shamanisme ini, orang Korea meyakini bahwa perilaku mereka, baik dalam hubungan interpersonal antara laki-laki dengan perempuan, maupun menyangkut pemenuhan kewajiban seseorang terhadap atasannya, serta dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bidang pertanian. Dua ribu tahun kemudian wujud kepercayaan kuno tersebut mengalami perubahan dramatis. Tepatnya pada tahun 108 SM, China dengan ketinggian nilai peradabannya, menyerbu dan secara terang-terangan menjajah semenanjung Korea. Dengan cepat, bangsa China memperkenalkan karya seni dan pertukangan yang bernuansa Buddhis dan Konfusianis yang pada gilirannya berpengaruh secara luas dalam kehidupan orang Korea. Dalam beberapa periode generasi, Buddhisme menggantikan peran tradisi dan upacara Shamanisme, bahkan Buddisme menjadi agama yang dianut secara luas di negeri semenanjung itu. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Buddhisme yang tadinya terorganisasi secara mapan dirusak oleh perbuatan-perbuatan korupsi. Sistem pemerintahan yang dikendalikan kerajaan secara langsung terancam oleh berbagai bentuk pemberontakan berdarah yang ditujukan kepada sejumlah besar pengikut setia para biksu dan biarawan. Dengan pudarnya kekuasaan Buddhisme, pemberontak membangun pemerintahan baru yang didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Konfusius. Pada tahun 1392, pendiri Dinasti Choson (pemerintahan yang berlangsung sampai 1910), memperkokoh sistem pemerintahan Konfusius melalui pemberlakuan peraturan-peraturan baru dalam penataan perilaku dan sistem nilai moral kehidupan bangsa Korea. Selanjutnya sistem pranata sosial yang diberlakukan secara ketat oleh istana atau pengadilan pada jaman Dinasti Choson tersebut dirancang untuk melindungi hwa atau harmoni dalam masyarakat, sebuah norma prinsipil kehidupan yang telah dikenal baik oleh orang Korea, meskipun peraturan-peraturan dalam sistem yang berbasis hwa itu terkesan menindas bagi sekelompok orang. Sistem sosial tersebut berlaku di Korea sampai akhir abad ke-19. Di sepanjang akhir abad ini, keluarga-keluarga penguasa dan para menterinya yang melakukan tindakan korupsi

75


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sebagaimana telah dilakukan oleh para biksu Buddhisme, mulai kehilangan kekuasaan dalam mengontrol negara, bahkan penguasa dan para menterinya lebih banyak menerima pengaruh dari bangsa jepang, Rusia dan bangsa-bangsa Eropa lainnya. Pada tahun 1910, Jepang mulai menduduki dan mencaplok Korea dengan menjadikan Korea sebagai salah satu provinsi yang dikontrol oleh militer Jepang. Korea terlepas dari pendudukan Jepang pada tahun 1945, namun pola hidup sebagian besar orang Korea yang berbasis pada ajaran Konfusius tidak langung mengalami perubahan. Setidak-tidaknya situasi ini berlangsung sampai pada tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan, norma-norma tingkah laku dan ajaran moral Konfusius yang telah dicanangkan sedjak 550 tahun lalu, hingga saat ini, masih diikuti dan tidak boleh diabaikan oleh masyarakat Korea. Hwa merupakan dambaan bagi masyarakat Korea meskipun hwa dalam hal ini tidak bermakna universal sebagai harmoni fisik, intelektual, dan emosional, seperti yang dipahamai dalam pengertian bahasa Inggris. Hwa adalah harmoni menurut arti khusus Korea, suatu bentuk kepatuhan untuk menjalankan semua norma tingkah laku dan ajaran yang berlaku bagi masyarakat Korea dengan bersumber dari Konfusianisme. Walaupun, generasi muda Korea telah menanggalkan rantai budaya yang dahulu menjerat para nenek moyang dan orang tua mereka, beberapa sikap dan tingkah laku tradisional yang didasarkan pada ajaran Konfusius tersebut masih tetap mewarnai budaya Korea. Kini justru ajaran tradisional itu menjadi simbol pembeda utama dengan nilai-nilai dan perilaku budaya Barat. Karakter budaya Korea dan Barat yang secara natural tidak dapat dipertemukan merupakan realitas yang dapat mendorong munculnya kesadaran agar kedua bentuk tradisi dapat saling berkompromi dalam rangka menjalin komunikasi secara efektif dan bekerja sama antara keduanya.

6. Pilar Sistem Marga dan Nama Anggapan bahwa sistem marga tradisional Korea merupakan peninggalan sejarah kuno dan tidak dibutuhkan lagi oleh orang Korea adalah pandangan yang tidak benar. Seperti halnya bangsa-bangsa yang sudah tua, Korea bertumbuh dari sekumpulan marga yang secara bertahap berkelompok ke dalam suku-suku bangsa dan akhirnya menyatu dalam satu kerajaan. Bagi

76


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bangsa Korea, marga atau yang biasa disebut chok tidak pernah tenggelam. Chok berkembang terus sampai jaman modern melalui Shamanisme, Konfusianisme, dan Buddhisme yang sangat berpengaruh dalam mengawal proses perubahan sosial di Korea. Sistem marga itu juga berkontribusi dalam upaya

memperkuat kekuasaan sebuah marga yang bertujuan untuk

mempertahankan keberadaan keluarga semarga dalam suatu sistem kerajaan. Sumber tertentu menyebutkan bahwa terdapat 39 akar pertumbuhan marga di Korea. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, sebagian besar semenanjung Korea dikuasai oleh margamarga tertentu. Dua marga terbesar adalah Kim dan Yi (yang dikenal juga dengan sebutan Lee dan Rhee). Sampai saat ini, keluarga bermarga Kim memiliki 32 cabang dan diperkirakan mencapai jumlah seperempat dari jumlah total penduduk Korea. Sedangkan, keluarga yang bermarga Lee memiliki 5 cabang. Pada umumnya, Kim dan Lee merupakan dua keluarga marga terkemuka yang bertahan dari jaman dahulu sampai hari ini. Jumlah mereka mendominasi kehidupan ekonomi, politik, dan pendidikan bangsa Korea. Saat undang-undang anti-diskriminasi diberlakukan dan perlakuan diskrimatif secara serius mulai dilawan, maka asal usul tempat lahir dan kelompok sosial seorang anggota marga menjadi faktor yang sangat penting bagi dunia pendidikan dan lapangan kerja di Korea, mirip dengan pentingnya faktor daerah dan ras yang masih memainkan peranan penting dalam kehidupan bangsa Amerika. Orang asing di Korea haruslah menyadari

betapa peliknya

menghadapi pembauran marga pekerja, dan karena itu perlu ditempuh langkah-langkah yang dapat menghindari perpecahan antar kelompok pekerja. Sehubungan dengan sistem marga, nama merupakan masalah tersendiri bagi masyarakat Korea. Sejak beberapa abad yang lalu, bahkan sampai sekarang, masalah nama ini memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan orang Korea. Terdapat 274 song (nama keluarga) di Korea sampai akhir tahun 2005. Lima marga keluarga terbesar dan sangat berpengaruh adalah Kim, Lee, Park, Choi, dan Chung. Marga-marga keluarga terbesar lainnya adalah Kang, Cho, Yoon, Chang, dan Lim. Saat ini, hampir separuh dari jumlah keseluruhan orang Korea bernama marga Kim, Lee, Park, Choi dan Chung. Sekitar tiga ratus nama keluarga Korea merupakan pencabangan dari keluarga-keluarga pendirinya. Di samping itu, penduduk yang merupakan pindahan dari China dan Mongolia

77


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menambahkan nama-nama lain terhadap nama-nama hasil pencabangan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, nama-nama keluarga yang melahirkan orang Korea diyakini mengandung nilai sakral yang harus dipelihara dari generasi ke generasi. Bagi penganut Konfusianisme, penghormatan leluhur dapat dilakukan melalui upaya menjaga nama keluarga dan menepis semua kecenderungan untuk menggunakan nama yang tidak memiliki akar sejarah dan tidak terhormat. Juga sudah sejak dahulu, orang Korea terbiasa dengan dua nama pemberian (given name); yang pertama adalah nama pribadi, sedangkan yang kedua merupakan nama keturunan yang dipilihkan dari orang tua atau kakek-nenek oleh pemberi nama (name-giver). Nama generasi laki-laki diberikan kepada anak laki-laki yang lahir sebagai anak pertama, sedangkan nama generasi perempuan diberikan kepada anak perempuan yang lahir sebagai anak pertama dalam sebuah keluarga. Adapun, anak laki-laki atau perempuan yang lahir berikutnya akan diberikan nama generasi laki-laki atau perempuan yang sama dengan pendahulunya masing-masing. Penambahan nama generasi baru dapat dilakukan pada saat sebuah keluarga telah memiliki tiga garis generasi laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa seseorang yang lahir setelah generasi ketiga akan memiliki nama generasi dari leluhur yang jauh. Karena bersifat mistis bagi masyarakat tradisional, orang Korea sangat sensitif dengan masalah nama. Beberapa di antara nama yang ada juga dianggap tabu digunakan oleh sebagian masyarakat Korea. Pada waktu-waktu belakangan ini, bagi orang Korea yang sensitif dengan nama, seringkali kurang berkenan jika nama mereka dipanggil dengan nada suara tinggi. Oleh sebab itu, sampai saat ini, memilih nama, baik yang personal maupun yang menyangkut nama generasi, bukan hal yang sembarangan dilakukan tapi harus dipikirkan secara sungguh-sungguh. Tidak jarang orang tua meminta bantuan kepada pemberi nama (name givers) yang professional. Hal itu terjadi, karena orang tua harus memilihkan nama sesuai dengan waktu kelahiran anaknya dan dapat memenuhi harapan orang tua yang melahirkannya. Di kalangan orang Korea, hanya anggota keluarga dan teman dekat yang dapat saling memanggil dengan nama pertama. Orang asing tidak pantas memanggil dengan nama pertama pada orang Korea yang baru saja dikenalnya. Meskipun hubungan antara orang asing dengan orang Korea yang dikenalnya sudah semakin dekat, pemanggilan dengan nama pertama perlu

78


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

juga memperhatikan faktor usia, status pekerjaan dan pendidikan. Perempuan Korea tidak akan mengganti namanya setelah menikah. Mereka tetap dipanggil dengan menggunakan nama yang sama dengan nama sebelum menikah, juga dapat berupa panggilan buin (isteri) atau ajumoni (perempuan yang telah bersuami). Untuk lebih memahami persoalan penyebutan nama, nama dapat dikaitkan dengan jenis profesi pemilik nama. Hal ini dilakukan karena nama pertama orang Korea yang merupakan nama generasi, dalam kenyataannya digunakan oleh banyak orang Korea. Dalam kasus nama Kim misalnya, dapat dibedakan antar Kim yang satu dengan yang lainnya dengan menyebut bidang pekerjaan yang digelutinya. Sebagai contoh, jika dalam satu perusahaan terdapat dua atau tiga orang bernama pertama Kim, maka identifikasi Kim dapat disebutkan misalnya; Kim Bagian Produksi, Kim Bagian Pemasaran, dan Kim Bagian Organisasi. Bagi orang Korea yang pernah bergaul dengan orang Barat di luar negeri atau di dalam negeri sendiri, mereka sudah terbiasa dengan panggilan Mister (tuan), Mistress (Nyonya), atau Miss (Nona), dan sebaliknya mereka juga sudah biasa menggunakan sebutan-sebutan demikian dalam memanggil orang-orang asing yang mereka hadapi. Sementara itu, untuk mengulagi pertemuan dengan orang Korea, pada kesempatan pertama penting sekali bagi orang asing untuk memperhatikan persoalan nama ini, terutama dalam menuliskan nama lengkap orang Korea, gelar (jika ada) dan bagian atau bidang pekerjaan di kantor. Secara pribadi, cukup bijaksana apabila alamat orang Korea juga dituliskan secara lengkap dan mengetahui secara tepat posisi orang Korea tersebut dalam keluarganya (apakah merupakan anak laki-laki ataukah anak perempuan pertama, dan lain-lain). Persoalan nama merupakan alasan utama mengapa kartu nama menjadi salah satu faktor penting dalam menjalankan urusan bisnis di Korea. Orang asing yang berkunjung ke Korea atau menjamu tamu orang Korea, perlu juga mengetahui bahwa memperoleh kartu nama orang yang ditemui itu penting, bukan sekedar basa basi. Bahkan jika dirasakan masih terdapat informasi penting yang dapat digunakan untuk membedakan nama orang Korea yang satu dengan lainnya, namun tidak tertulis pada kartu nama, maka perlu untuk dicatat di belakang kartu. Demikian pentingnya membedakan orang Korea yang menggunakan nama depan yang sama, maka juga sudah menjadi hal umum di Korea untuk mengetahui nama panggilan (Nick Name). Masih menjadi aturan bagi orang Korea

79


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

untuk menggunakan tojang (stempel nama) sebagai pengganti tandatangan nama mereka pada surat atau dokumen. Stempel yang digunakan untuk dokumen-dokumen resmi dikenal dengan sebutan ingan dan harus didaftarkan pada pihak yang berwenang.

7. Pilar Pendidikan Moral Sekitar 5000 tahun dalam sejarah tua Korea, pemerintah Korea memang telah mencanangkan pendidikan yang berkarakter moral bagi rakyatnya. Dari tradisi luhur yang dimiliki, orang Korea telah menyadari bahwa mereka adalah bagian dari bangsa berperadaban timur, sehingga nilai-nilai ketimuran itu dijadikan sebagai fondasi yang dapat mencerahkan kehidupan bangsa Korea. Di bawah pengaruh tradisi luhurnya, bagi orang Korea, langit adalah dasar bagi tatanan moral dan landasan hidup yang merasuk ke dalam relung-relung kesadaran mereka. Kuatnya kepercayaan orang Korea atas nilai-nilai ketimuran dan terhadap makna penting langit itu menghasilkan kesadaran etis dengan meyakini bahwa ―langit sesungguhnya memahami dan meguasai hidup manusia seutuhnya‖ atau ―langit adalah penguasa kebaikan yang ada dalam diri manusia‖. Lebih jauh, hal ini melahirkan rasa malu moral di hadapan langit dan kewajiban moral terhadap langit. Bahkan, dalam masyarakat yang ilmiah modern, sebagian besar orang Korea merasa takut akan ancaman langit tatkala mereka melakukan sesuatu secara tidal adil. Berdasarkan keyakinan itu, tipe orang Korea sesungguhnya merupakan gambaran tipikal masyarakat yang menjunjung tinggi bahkan merepresentasi peradaban Timur. Tipologi inilah yang kemudian memberikan suatu alasan mengapa pendidikan moral dipandang sebagai unsur yang paling penting dalam proses pendidikan di Korea. Selain itu, orang Korea sangat percaya bahwa penghormatan atas kebajikan moral dan pengembangan disiplin diri adalah sesuatu yang mungkin dilakukan melalui pendidikan moral secara berkelanjutan. Sebagai contoh misalnya, Hwarang-do dalam era dinasti Shilla (57 BC-935 AD) memberikan prioritas tertinggi bagi pendidikan moral. Hwarang-do didirikan dengan tujuan melatih tubuh dan pikiran para pemuda dan untuk membangun karakter mereka melalui pelatihan militer dan akademik dalam rangka membentuk jiwa-jiwa patriotis dan warganegara pemberani. Pada era akhir Dinasti Choson (1392 AD-1910 AD), pendidikan moral merupakan

80


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pendidikan terpenting, sebagaimana bentuk pendidikan moral yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan seperti Sungkyunkwan, Hyanggyo, Seodang, and Seowon. Setelah terbebas dari imperialisme Jepang pada era Perang Dunia II, Korea memperoleh pengaruh yang cukup kuat dari sistem pendidikan Barat. Pada saat itu, pendidikan moral tidak dapat dipisahkan dari pelajaran sekolah, bahkan menjadi bagian dari seluruh kurikulum sekolah. Mengikuti gagasan pendidikan Barat, para pendidik Korea sangat berharap agar pendidikan moral dapat mewarnai seluruh kurikulum sekolah. Sayangnya, harapan itu tak kunjung terwujud. Dengan adanya pengaruh Barat dan pendekatan general terhadap pendidikan moral ini, yang terjadi justru yang sebaliknya; tidak seorangpun lagi memperhatikan secara serius pentingnya pendidikan moral yang mengandung nilai-nilai luhur sebagaimana dikembangkan dalam era dinasti Silla dan Choson. Pada umumnya, guru memperhatikan hanya mata pelajaran yang diajarkannya. Dengan kata lain, sebagian besar guru secara drastis mengambil jarak terhadap pentingnya pendidikan moral.

Penutup

Sejak Perang Korea (1950-1953), sistem nilai tradisional, seperti rasa hormat kepada yang tua, rasa kebersamaan, kerjasama, integritas, dan menghargai kehidupan mengalami penurunan, dan secara terus menerus kekacauan sosial terjadi lebih luas di dalam negeri. Perang antara Korea Utara dan Selatan melahirkan ketidakpercayaan yang sangat dalam, dan menyebabkan lahirnya ―survival-first policy" yang kurang berkenan dengan tujuan dan cara hidup bangsa Korea dalam arti yang sebenarnya. Barulah setelah perang Korea usai, ancaman invasi Korea Utara menyebabkan orang Korea Selatan memperkuat semangat anti komunisme. Selain itu, perubahan sosial yang disertai dengan pembangunan ekonomi melahirkan suatu krisis nilai yang tidak dapat diprediksi. Suatu filosofi ―me-first‖ bangkit dan sikap materialistis meningkat. Egoisme, nepotisme, dan rasa kedaerahan menjadi landasan pembenar bagi runtuhnya aturan-aturan moral. Uang semakin menjadi nilai dan tujuan utama orang Korea. Pada waktu yang sama, kejahatan, obat-obatan terlarang, dan kekerasan meningkat secara tajam.

81


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Dari kenyataan ini, orang Koreapun mulai menyadari bahwa mereka telah dengan nyata semakin tidak memperhatikan pentingnya aspek moral dan spiritual dalam kehidupan. Akibat perang Korea dan pesatnya kemajuan industrialisasi, kebutuhan akan nilai-nilai demokrasi mulai bangkit. Orang Korea mulai mendambakan cara hidup yang demokratis dan harus diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Hanya patut disadari bahwa sampai jaman modern, saat berbagai aspek dalam kehidupan orang Korea mengalami kemajuan pesat, beberapa nilai demokratis masih bercampur dengan nilai-nilai tradisional Korea. Sebagai contoh, pandangan hidup orang Korea yang didasarkan pada kesetiaan dan cinta kasih yang mendalam seringkali harus diikuti oleh solusi secara rasional dan menuruti proses demokratis dalam kehidupan publik. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Korea yang bangkit saat ini merupakan hasil refleksi atas situasi dan faktor historis yang ditopang oleh pilar-pilar kekuatan tradisi; mulai dari bahasa sampai dengan pendidikan moralnya. Oleh sebab itu, dalam membicarakan nilai demokrasi, kebutuhan-kebutuhan untuk membangun identitas nasional bangsa Korea memerlukan perpaduan dengan nilai-nilai tradisional.

Penulis: Mukhtasar Syamsuddin Ph. D. (Hankuk University of Foreign Studies, Korea), Dekan Fakultas Filsafat UGM E-mail: etsar_syam@hotmail.com

DAFTAR PUSTAKA

82


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Clark, C. A., 1981, Religions of Old Korea, New York: Garland Publishing Inc. De Bary, W. T., 1996, Confucian Education in Premodern East Asia, in Tu Wei-ming,ed., Confucian Traditions in East Asian Modernity, Cambridge, Mass.: Harvard University Press. De Mente, Boye Lafayette, 2004, Korean Business Etiqutte; The Cultural Values and Attitude that Make up the Korean Business Personality, Boston, Rutland, Vermont, Tokyo: Tuttle Publishing. Grayson, J. H., 1989, Korea: A Religious History, Oxford: Clarendon Press. Hall, D. L. and Ames, R. T., 1987, Thinking through Confucius, Albany, New York: State University of New York Press. Iryon, 1285, Samguk-yusa (Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Korea), T. H. Ha & G. K. Mintz, trans., Seoul, Korea: Yonsei University Press. Kim, B. S., 1145, Samguk-sagi (Historical Record of the Three Kingdoms), B. D. Lee, trans.: Korean. Seoul, Korea: Eulyu-moonhwasa. Lee, K. B., 1984, A New History of Korea. E. W. Wagner and E. J. Shultz, trans., Cambridge: Harvard-Yenching Institute. Tu, Wei-ming, ed., 1996, Confucius Traditions in East Asian Modernity, Cambridge Massachusetts: Harvard University Press. Yun, S. S., 1996, Confucian Thought and Korean Culture, in J. W. Kim, ed., Koreana: Korean Cultural Heritage, Vol. II. Thought and Religion , Seoul, Korea: Samsung Moonhwa Printing Co.

Perkembangan Ekonomi Korea Selatan dan Implikasi

83


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

untuk Ekonomi Indonesia

Park Jae Bong (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pengantar

Sebelum 1960-an, ekonomi Korea Selatan mengalami stagnasi dan kehidupan rakyatnya sangat miskin karena adanya penjajahan Jepang and perang saudara antar Korea. Setelah membentuk Pemerintahan Park Jung-hee pada tahun 1961, ekonomi Korea Selatan mulai bangkit melalui strategi industrialisasi. Dalam beberapa dekade kemudian, ekonomi Korean Selatan mengalami transformasi secara drastis dan Korea Selatan menjadi negara industry modern yang disegani dunia international. Dalam waktu itu, produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan meningkat 420 kali lipat dari 2,3 milar dollar AS pada tahun 1962 menjadi 989 miliar dolar AS pada tahun 2008 (World Bank 2010). Sebagai akibat, Korea Selatan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-15 terbesar di dunia dan ke-4 di kawasan Asia setelah Cina, Jepang dan India. Tambahan lagi, Korea Selatan menajdi salah satu negara eksportir produk manufaktur yang bermutu tinggi seperti mobil, kapal, barang elektronik, dan mesin-mesin lain. Proses perkembangan ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan diangkap sebagai ―model yang ingin ditiru‖ oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Pada masa kini, orang Indonesia sering bertanya bahwa kenapa ekonomi Indonesia amat terbelakangan dari ekonomi Korea Selatan meskipun Indonesia kaya dengan sumber daya alam. Kemiskinan sumber daya alam di Korea Selatan tidak menghamabat perkembangan ekonomi dan industrialisasinya, malah membantu perkembangannya karena pemerintah Korean Selatan memfokuskan strategi pembangunan pada infrastruktur ekonomi dan sumber daya manusia. Strategi ini cocok dengan masyarakat Korea Selatan yang dinamis dan agresif dalam

84


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

penididikan anaknya. Dalam hal ini, saya akan menitikberatkan peranan ―institution‖ dalam perkembangan ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan karena institusi adalah faktor kunci untuk kesuksesan Korea Selatan.

Stagnasi Ekonomi Korea Selatan pada Masa Awal

Sesudah Perang Dunia II, ekonomi Korea Selatan mengalami stagnasi. Pada masa itu, ekonomi Korea Selatan masih tergantung pada sistem perekonomian Jepang secara keseluruhan meskipun sudah memperoleh kemerdekaan. Artinya, Semenanjung Korea semata-mata berfungsi sebagai basis untuk memasok bahan makanan untuk penduduk di Kepulauan Jepang atau menjadi pemasok bahan-bahan mentah bagi industri dan pasar Jepang (Park 1997: 182). Situasi ekonomi demikian tidak banyak berbeda dengan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Pemerintah Militer Amerika Serikat (1945-1948) menyepulai berbagai barang-barang baku, tetapi kehidupan rakyat Korea Selatan tidak segera membaik karena adanya beberapa faktor yang menghambat perkembangan ekonominya. Pertama, Semenanjung Korea dibagi dua pemerintah yang terpisah, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Hal ini tidak menguntungkan bagi ekonomi Korea Selatan karena kebanyakan industri dan pabrik pokok berlokasi di bagian Korea Utara. Kedua, pengunduran Jepang dari Korea sekaligus menyebabkan lenyapnya sebagian besar modal dan tenaga ahli dari perekonomian Korea. Pada masa pemerintahan kolonial Jepang 94% modal dan 80% tenaga kerja dikuasai oleh Jepang (Yang & Mas‘oed 2007: 134). Ketiga, kebijakan ―jalan pintas‖ yang ditempuh oleh pemerintah kolonial Jepang di Korea menjelang berakhirnya Perang Dunia II menyebabkan hyper-inflasi. Dalam keterpurukan ekonomi yang serius karena inflasi dan defisit yang luar biasa, kehidupan rakyat umum tentu sangat memalukan. Di masa awal pemerintahan Korea yang baru perekonomian nasional hampir sepenuhnya dipenuhi oleh bantuan Amerika Serikat. Menurut data yang disusun Bank Ekspor-Impor Korea, Pemerintah Korea mendapat bantuan sebanyak 3,02 milyar dollar Amerika selama 15 tahun antara 1945 s/d 1960 (Cha 2008). Selain dari

85


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bantuan gratis itu, Amerika Serikat memberikan bantuan militer tersendiri yang berjumlah 1,3 milyar dollar Amerika sampai tahun 1959 lalu. Jumlah bantuan gratis dari Amerika ke Korea sampai tahun 1960 mencapai 4,32 milyar dollar Amerika. Kebanyakan bantuan gratis non militer itu segera ditukar dengan mata uang Korea dan digunakan untuk mengimpor bahanbahan makanan dan bahan-bahan lain yang bersifat konsumtif. Dewan Perwakilan Rakyat Korea Selatan yang dibentuk melalui hasil Pemilihan Umum pertama tertanggal 10 Mei 1948 mengumumkan UUD yang mencantumkan perlunya keseimbangan ekonomi rakyat dan kebebasan ekonomis kepada semua rakyat. Pemerintah Korea Selatan yang mulai berlayar dari tanggal 15 Agustus 1948 segera mengumumkan beberapa peraturan untuk pengembangan perekonomian nasional. Salah sebuah diantaranya adalah percobaan pemerintah untuk melancarkan reformasi tanah agrarian dengan jalan membeli dari para pemilik swasta dan membagi-bagikannya kepada para petani yang belum memiliki tanah sendiri. Kebijakan ini tidak berhasil karena di tengah jalan tiba-tiba pecahnya Perang Korea (1950 – 1953). Perang Saudara antar Korea tersebut mengakibatkan perusakan infrastruktur ekonomi Korea Selatan yang sudah ada. Oleh karena itu, ekonomi Korea Selatan mengalami beberapa hambatan yaitu, kemampuan produktivitasnya menurun, defisit pembelanjaan anggaran meningkat, dan laju inflasinya luar biasa (Ahn 1996: 62). Setelah ditandatangani Persetujuan Gencatan Senjata pada tahun 1953, pemerintah Korea Selatan mulai membuat rencana pemulihan ekonomi Korea dengan maksud utama untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan dan mendirikan lagi industri dasar. Meskipun demikian, karena selama perang berlangsung banyak warga Korea Utara yang membanjiri Korea Selatan, baru pada tahun 1957 pendapatan perorangan dapat dipulihkan setara dengan pendapatan mereka pada awal tahun 1950 di atas. Ekonomi dan industri Korea Selatan mulai melangkah menuju ke depan bersama dengan persetujuan antara Korea Selatan-Amerika Serikat pada bulan Desember 1953. Selama 7 tahun antara 1954–1960 sekitar 15 persen Gross National Product (GNP) Korea Selatan terdiri dari bantuan keuangan luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat (World Bank 2010). Bantuan nyata dari Amerika Serikat itu terus meningkat sampai tahun 1958, tetapi selanjutnya volumenya semakin berkurang. Selain itu, bantuan tersebut sesungguhnya tidak cukup tidak

86


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

hanya untuk memenuhi kebutuhan rakyat Korea Selatan secara umum, melainkan terutama untuk memulihkan atau membangun struktur perekonomian yang baru, kenyataan demikian terutama disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusinya. Sebagian besar dari bantuan itu digunakan untuk membiayai sektor pertahanan atau militer dan untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif. Hanya sebagian kecil dari bantuan itu yang karenanya dapat digunakan untuk tujuantujuan yang bersifat produktif.

Perkembangan Ekonomi melalui Rencana Pembangunan Nasional

Pada tahun 1961, Korea Selatan mengalami military coup dan peristiwa itu mengubah nasif ekonomi dan politik Korea Selatan. Sebagai akibat dari military coup, Genderal Park Junghee menguasai pemerintah. Pemerintahan Park mulai melaksanakan skema pembangunan ekonomi nasional secara sistematis. Rencana pembangunan nasional lima tahun (Repelita) yang pertama (1962–1966) mulai dilaksanakan pada tahun 1962 dengan tujuan untuk mencapai ‗ekonomi mandiri‘. Untuk itu Pemerintah Korea Selatan dengan tekun mengembangkan industri untuk memproduksi bahan-bahan setengah jadi dan industri yang berkaitan dengan barangbarang ekspor. Pemerintahan Park Jung-hee memusatkan segenap perhatian dan tenaga nasionalnya pada rencana pembangunan nasional yang pertama. Keberhasilannya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi nasional Korea Selatan selama Repelita I mencapai rata-rata 8,5%. Angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 3,7% lebih tinggi daripada pertumbuhan tahunan rata-rata dalam tahun 50-an yang hanya mencapai 4,8% di Korea Selatan (Ahn 1996: 63). Dalam Repelita I, struktur industri di Korea Selatan mulai bertransformasi dalam berbagai bidang. Pada tahun 1960 struktur industri Korea Selatan terdiri dari 35,2% industri tahap pertama (pertanian, perikanan, dan perhutanan), 19,2% tahap kedua (industri pembuatan) dan 45,6% tahap ketiga (industri pelayanan). Struktur ekonomi Korea Selatan serupa itu berkembang dan berubah menjadi 31,7% industri tahap pertama, 25,7% tahap kedua, dan 42,6% tahap ketiga. Perubahan struktur industri itu mengandung arti bahwa lebih banyak orang Korea

87


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Selatan telah memperoleh kesempatan kerja. Prosentasi industrialisasi pun mengalami kemajuan. Apabila di tahun 1960 perbandingan antara industri berat dengan ringan adalah 20,5% berbanding 79,5% pada tahun 1966 perbandingan itu berubah menjadi 30,6% : 69,4% (Park 1997: 183-6). Pembangunan lima tahun pertama mencatat keberhasilan yang cukup besar. Kemajuan industri yang berkaitan dengan urusan ekspor sangat menonjol sebagaimana yang terlihat pada perkembangan industri pembuatan di Korea Selatan. Sementara itu, volume perdagangan beserta penanaman modal dalam dan luar negeri ikut bertambah dalam waktu lima tahun yang pertama di atas. Dan keberhasilan itu, dengan disertai oleh semakin kuatnya semangat semua rakyat Korea Selatan untuk memajukan diri, membawa kemajuan besar bagi pembangunan pada waktu lima tahun berikutnya. Dalam pembangunan ekonomi nasional yang kedua, yaitu dari tahun 1967 s/d 1971, ekonomi Korea Selatan bertambah rata-rata 11,4% per tahun.

<Beberapa Indikator Ekonomi Korea Selatan, 1950-1989> --------------------------------------------------------------------------------------------------------Tahun

Pertumbuan Ekonomi (%)

Ekspor (%)

Impor (%)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------1950-1959

3,7

2,7

14,4

1960-1969

8.4

38,9

19,4

1970-1979

7,4

34,6

28,2

1980-1989

9,3

13,9

11,7

--------------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber: Park 1997: 185 (merevisi dari Tabel 1)

Pada

tahun

1971,

data-

data ekonomi Korea Selatan sudah mulai menunjukkan trasformasi struktur industri yang drasti. Industri tahap pertama seperti pertanian, perhutanan dan perikanan terus mengalami pengurang

88


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

an

relatif,

yaitu

mencapai

24,2%,

sedangkan

tahap

kedua

dan

ketiga

masing-

masing memperlihatkan peningkatan sampai pada angka 29,9% dan 45,9%. Pada tahun yang sa ma

prosentasi

industri

ringan

dan

berat

di

Korea

Selatan

masing-

masing mencatat 33,5% dan 66,5%(Yang & Mas‘oed 2007: 137). Berdasarkan angkaangka tersebut diketahui bahwa ekonomi Korea Selatan sudah memasuki masa ‗berdiri sendiri‘ dengan volume yang mulai membesar dan struktur ekonomi yang membaik. Tentu saja, perbaik an

itu

disertai

pula

oleh

kemunculan

unsur-

unsur negatif yang menjadi dampak sampingnya, yaitu memperluas kesenjanagan masyarakat ( Ahn 1996: 64). Dalam masa dekad pertama, Pemerintah Korea Selatan memfokuskan restruktur industri yang baru yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri dan proyek-proyek khusus memperoleh prioritas yang sangat tinggi dan menyerap dana yang sangat besar, sedangkan sektor-sektor bukan industri ekspor mengalami penekanan. Pada bulan Agustus 1972 misalnya, Pemerintah Korea Selatan mengumumkan tindakan darurat untuk memperbaiki struktur perindustrian agar tetap berorientasi ke arah ekspor. Sepanjang tahun 1970-an Pemerintah Korea Selatan mendesak supaya mengembangkan industri berat semaksimal mungkin. Pada awal 1980-an Pemerintah Korea Selatan melaksanakan kebijakan untuk keseimbangan perdagangan internasional sambil menminimalkan kesenjanagan antara kota-desa

dan

antar-industri

dengan

maksud

untuk menciptakan

masyarakat

yang

berkesejahteraan secara seimbang (Park 1997:185). Berdasarkan peta biru, Pemerintah Korea Selatan memusatkan semua sumber daya dan kekuatan yang dimilikinya pada perkembangan ekonomi melalui industrialisasi ekspor. Kebijakan itu mengakibatkan bahwa GNP yang berjumlah 9,8 milyat dollar AS pada tahun 1972 naik menjadi 36,1 milyar dollar AS pada tahun 1981. Pertumbuhan ekonomi nasional pun ikut meningkat dari rata-rata 9,0% per tahun antara tahun 1972 s/d 1976 ke rata-rata 11,0% per tahun antara tahun 1977 s/d 1981. Pada mulanya, Pemerintah Korea Selatan merencanakan bahwa pada tahun 1981 pendapatan perorangan akan mencapai 1.000 dollar AS dan dapat mencapai sasaran ekspor tahunan 10 milyar dollar AS. Setelah 25 tahun berlalu, yaitu pada akhir tahun 2006, jumlah angka ekspor Korea Selatan melewati 300 milyar dollar AS (Yang & Mas‘oed

89


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

2007: 140). Dari segi volum ekspor, menurut catatan yang ditemukan, volume ekspor Korea Selatan pada tahun 1948 hanya mencapai 19 juta dollar AS. Pada masa itu, posisi yang demikian menempatkan kemampuan ekspor Korea Selatan dalam posisi sekitar nomor 100 di seluruh dunia, setara dengan negara-negara Afrika. Selain itu, pada masa tersebut ekspor Korea Selatan masih terbatas pada barang-barang yang sederhana, berupa bahan-bahan mentah seperti beberapa jenis ikan, cumi-cumi yang dikeringkan, serta batu bara dan tungsten. Pada tahun 1964, tepatnya tanggal 30 Mei, Pemerintah Korea Selatan menetapkan dan merayakan Hari Ekspor Nasional. Perayaan itu dilakukan karena pada tahun tersebut Korea Selatan berhasil mencapai volume ekspornya 100 juta dollar AS. Dibandingkan dengan tahun 1948, perkembangan ekspor Korea Selatan itu tidak hanya berupa

peningkatan

jenis

volume

barang

ekspornya,

melainkan

yang

juga

transformasi

diekspornya.

jenisBahan-

bahan setengah jadi menjadi komoditas ekspor yang mulai menonjol pada saat itu, misalnya ram but palsu dan kayu lapis yang bahan mentahnya sepenuhnya diimpor dari Kalimantan, Indonesia . Pada tahun 1971 dan 1977, Korea Selatan berhasil mencapai tujuan ekspor masingmasing 1 milyar dollar dan 10 milyar dollar AS. Dalam dua dasawarsa, tahun 1970an

dan

1980-an,

perusahaan-

perusahaan perdagangan Korea Selatan berhasil menjual habis berbagai jenis pakaian jadi dan s epatu

bermerek

Korea

Selatan.

Setelah

barang

ekspor

dengan

pesat

mengalami

memasuki

tahun

diversifikasi,

90-an, seperti

jenis

barang-

mobil,

barang-

barang elektronik dan telepon genggam (handphone). Volume ekspor untuk tahun 1996 mencap ai 100 milyar dollar AS dan angka itu terus meningkat hingga melebihi 200 milyar dollar dan 30 0 milyar dollar AS, masing-masing pada tahun 2004 dan 2006 (Wikipedia 2010).

Transformasi Ekonomi dan Menuju ke Industri Canggih

Pada akhir tahun 1990-an, ekonomi Korea Selatan mengalami kemerosotan drastis

90


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

ketika terjadinya Krisis Ekonomi di Asia. Tetapi, pemerintah dan rakyak Korea Selatan menyatukan dan memecah masalah-masalah financial seperti ―credit crunch dan liquidity crisis.‖ Masyarakat Korea Selatan melucur kampanya ―Pengumpulan Emas‖ untuk melunasi hutang luar negeri. Kampanye tersebut melambangkan betapa konkrit keterpaduan masyarakat Korea Selatan ketika melawan anacam atau serangan eksternal. Akibatnya Korea Selatan melunasi hutang luar negeri lebih cepat dari pada jadwalnya dan segera memulihkan ekonominya. Kebijakan Pemerintah Kim Dae-jung juga mempercepat pemulihan ekonomi dengan kebijakan perkembangan industri IT (Information and Technology). Sejak itu industri IT menjadi salah satu industri strategis di dalam ekonomi Korea Selatan dan pemerintah Lee Myung-bak juga mendorong perkembangan industri IT sebagai industri pokok pada masa depan. Kerja sama dan keterpaduan anatar masyarakat dan pemerintah Korea Selatan menghasi lkan sinergi untuk menjaga kesehatan ekonomi dan sosial. Setelah menanggulangi tatangan Kris is Ekonomi di Asia, ekonomi Korea Selatan terus berkembang dan transformasi industri untuk ta hap teknologi canggih dilaksanakan secara lancar. Pada tahun 2008, ekonomi Korea Selatan dal am

jumlah

volume

ekspor

dinilai

urutan

ke-

11 di dunia setelah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Perancis, China, Inggris, Negeri Belanda, I talia, Kanada, dan Belgia. Prestasi yang demikian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masa a wal kemerdekaannya (World Bank 2010). Masa kini ekonomi dan industri Korea Selatan memegang keunggulan komparatif (comparative advantage) di dunia internasional dalam beberapa bidang. Bidang konstruksi merupakan salah sebuah unsur terpenting untuk mengembangkan perekonomian nasional Korea Selatan. Pada akhir bulan Agustus 2007 volume kontrak proyek-proyek pembangunan di luar negeri oleh perusahaan konstruksi Korea sudah melebihi 21 milya dollar AS, mencapai kira-kira angka 24 milya dollar AS, sebuah pencapaian yang terhitung dua kali lipat dari apa yang dicapainya pada tahun 2005, yaitu 10,8 milyar dollar AS. Perusahaan konstruksi Korea Selatan terus berhasil memperoleh kontrak bermacam-macam proyek konstruksi dari kawasan Timur Tengah. Volume kontrak 14,5 milyar dollar atau 70% jumlah kontrak sampai tahun Agustus 2007 tersebut adalah keberhasilan dari kawasan Timur Tengah. Peningkatan pesat di lapisan konstruksi di luar negeri tersebut tetap berkaitan dengan naiknya harga minyak mentah dalam

91


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

tahun-tahun awal dasawarsa 2000-an. Hampir semua negara di kawasan Timur Tengah sudah sejak lama memproduksi minyak mentah yang berlimpah-limpah. Akan tetapi kebanyakan negara itu, sampai saat sekarang, terpaksa mengimpor berbagai jenis barang-barang petro-kimia, misalnya Perusahaan Aramco dari Arab Saudi. Perusahaan raksasa itu sudah diketahui akan mengeluarkan biaya pembangunan proyek petro-kimia sebanyak 55 milyar dollar Amerika sampai tahun 2010 (Wikipedia 2010). Sejumlah 71% dari nilai total kontrak tersebut pun terdiri dari lapisan industri petro-kimia. Selain itu, dalam tahun-tahun terakhir setelah masuknya abad ke-21, beberapa negara kaya raya di kawasan Timur Tengah seperti Dubai dan Emirat Arab berani membelanjakan angaran belanja nasional untuk mendirikan kompleks perumahan berukuran besar atau kota hiburan berskala raksasa. Keterlibatan beberapa negara dari benua Afrika dan Asia Tengah dalam penanaman modal di sektor industri petro-kimia memperbesar peluang bagi Korea Selatan. Perusahaan-perusahaan konstruksi Korea Selatan yang beroperasi di kawasan Timur Tengah memusatkan perhatiannya pada proyek-proyek ‗plant‘, seperti stasiun pembangkit tenaga listrik, pabrik kilang minyak, pabrik produksi barang-barang petro-kimia, pabrik pembuat air tawar dari air laut dan lain sebagainya. Proyek-proyek sedemikian itu pada umumnya dimulai dari pencarian lokasi pabrik, pendataran tanah, pendirian perumahan pegawai dalam pabrik sebelum pendirian bangunan pokok. Keberhasilan itu berasal dari sejarah konstruksi jalan raya yang dimulai sejak tahun 1967. Pada tahun itu pendapatan perorangan Korea Selatan adalah hanya 142 dollar AS. Pembangunan jalan raya yang pertama antara ibukota Seoul dan kota pelabuhan Busan sepanjang 480 kilometer memakan waktu 4 tahun. Untuk merayakan jalan raya Seoul-Busan itu, Pemerintah Korea Selatan menetapkan hari Jalan Raya pada tanggal 7 Juli tahun 1970, sebuah momentum yang di tahun 2007, setelah 37 tahun berlalu, menghasilkan jalan raya Korea Selatan yang secara keseluruhan mencapai 3.000 kilometer (Cha 2008: 3). Ekonomi Korea Selatan juga menguasai industri perkapalan di pasar dunia. Sejak awal tahun 1980-an Korea Selatan muncul sebagai negara pembuat kapal yang dapat bersaing dengan negara-negara Barat. Pada awal tahun 50-an Negara-negara Eropa Utara, seperti Norwegia dan Swedia telah menduduki pasar perkapalan sedunia. Jepang mengikutinya dari pertengahan tahun

92


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

60-an. Setelah masuknya tahun 90-an, Cina juga memberanikan diri maju ke lapisan industri perkapalan. Kini negara-negara Eropa Utara dan tiga negara Asia Timur jauh bersaing keras dalam industri tersebut. Korea Selatan tetap menduduki urutan nomor satu diantaranya. Menurut data yang disusun oleh Asosiasi Perkapalan Inggris, Korea Selatan menguasai 42 persen proyek di sektor industri perkapalan dunia, sedangkan Jepang dan Cina masing-masing menduduki 29 persen dan 19 persen. Sementara itu, pada bulan September 2006 diantara 10 pabrik perkapalan terbesar di dunia dalam hal volume kontrak, 7 pabrik terdapat di Korea Selatan (Yang & Mas‘oed 2007). Penguasaan teknologi Korea Selatan untuk membuat kapal ini pun luar biasa. Dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain, termasuk industri pembuatan handphone dan barang-barang elektronik, penguasaan Korea Selatan terhadap teknologi perkapalan ini telah mencapai 91,2% sampai akhir tahun 2006. Hal itu berarti bahwa dari total penghasilan yang diperolehnya dari industri perkapalan ini, kurang dari 10% yang lari keluar negeri untuk membayar royalty. Dengan kata lain, Korea Selatan masih menyisakan 90% dari total penghasilan itu. Jika, umpamanya pembuatan sebuah kapal seperti kapal pengangkutan LNG atau kapal pencarian minyak mentah dari bawah dasar laut memerlukan biaya lebih dari 700 juta dollar AS, Korea Selatan dapat menguasai 90% dari nilai tersebut dan memanfaatkannya untuk pengembangan industri dalam negeri.

Kesimpulan dan Implikasi untuk Ekonomi Indonesia

Perkembangan ekonomi dan transformasi struktur industri Korea Selatan mulai pada awal 1960-an dan pemerintah berperan yang penting dalam mengarahkan kalangan bisnis and tenaga kerja. Pemerintah Korea Selatan di bawah Presiden Park Chung-hee memusatkan perhatian dan kekuatan nasionalnya pada rencana pembangunan nasional 5 tahun. Pemerintahpemerintah berikutnya juga menekankan perkembangan ekonomi untuk mendorodng perekonomian Korea Selatan ke tahap yang tinggi meskipun bentuknya sedikit berbeda dengan sebelumnya. Peranan negara dalam perkembangan ekonomi Korea Selatan amat besar dan itulah

93


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

kunci keberhasilan ―developmental state‖ di Korea Selatan. Pemerintah-pemerintah Korea Selatan mengarahkan Pembagian dana, manajemen perusahaan-perusahaan dan perserikatan tenaga kerja sesuai dengan tahap perkembangan ekonominya. Mereka saling bantu-membantu untuk mencapai tujuan bersama, yaitu negara maju. Keberhasilan ekonomi Korea Selatan benarbenar di luar dugaan. Kini ekonomi Korea Selatan dianggap sudah termasuk dalam negara ekonomi dan industri maju. Apakah model Korea Selatan tersebut dapat dilaksanakan pada ekonomi Indonesia? Pendapat saya adalah ―tidak‖ karena aplikasi model atau strategi pembangunan yang berhasil di satu negara jarang menjamin keberhasilan di negara lain (Molina 1997). Ini berarti model atau strategi pembangunan ekonomi sering dirancang dan dikembangkan berdasarkan latarbelakang sosial dan poitik. Dengan alasan ini, model untuk ekonomi Indonesia berbeda dengan model Korea Selatan. Akan tetapi, kita dapat menarik pelajaran dari kasus Korea Selatan. Sebenarnya pemerintah Indonesia selama kepresidenan Suharto sudah mencoba model atau strategi Korean Selatan untuk perkembangan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia berhasil mendatangkan perkembangan pesat selama 27 tahun (1970-1997) dan kehidupan rakyat Indonesia semakin membaik. Transformasi industri Indonesia juga mulai mendukung perkembangan ekonminya. Tetapi bersama dengan Korea Selatan, Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi sejak terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1998. Alasannya kekacauan sosial-politik dalam negeri. Orang Indonesia saling membunuh dan merusak harta mereka. Dampak negatif dari kerusuhan anti-Cina amat besar di dunia internasional. Peristiwa itu menghambat kepulihan ekonomi Indonesia yang sedang mengalami kesakitan. Sehingga masalah ekonomi Indonesia adalah bukan masalah pemerintahan atau ‗institutional problem‘, tetapi masalah sosial-politik. Hal itu sangat berbeda dengan kasus Korea Selatan yang mengumpulkan emas untuk melunasi hutang luar negeri. Dalam perbandingan ini, keterpaduan masyarakat di Indonesia masih kurang konkrit untuk melaksanakan model Korea Selatan di Indonesia. Selama 60 tahun (1960-2010), masyarakat Korea Selatan belum mengalami kerusuhan sosial ketika adanya ancaman dari luar negeri. Malah rakyak Korea Selatan menyatukan dirinya untuk melawan ancamannya. Unsur inilah yang penting untuk perkembangan ekonomi Korea Selatan selain

94


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

peranan pemerintah. Model ―strong state‖ dapat ditiru oleh Indonesia, tetapi masalah pokoknya keserasian dan keterpaduan masyarakat. Sehingga model pembangunan ekonomi Korea Selatan susah diterapkan di Indonesia. Saya menduga bahwa kalau rakyat and permerintah Indonesia berhasil keterpaduan masyarakat, ekonomi dan industri Indonesia dapat berkembang cepat seperti Korea Selatan. Seperti ekonom Australi menjuluki ekonomi Indonesia sebagai ―Emerging Giant‖ (Hill 1999), ekonomi Indonesia berpotensi sangat besar dan realisasi potensi itu bergantung pada keterpaduan masyarakat Indonesia.

Penulis: Park Jae Bong Ph. D. (University of New South Wales, Australia), staf pengajar Jurusan Bahasa MelayuIndonesia, Hankuk University of Foreign Studies E-mail: jaebongp@yahoo.co.kr

95


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, Chung-si. 1996. ―Democratic Political Development in South Korea: Problems and Prospects.‖ In Chung-si Ahn, Seung-yoon Yang, Seok-choon Lew, and Sung-yeal Koo (eds) Southeast Asia and Korea: Economic Development and Policy Reform, Seoul: KASEAS: 59-76. Amsden, Alice. 1989. Asia‟s Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford: Oxford University Press. Cha, Myung Soo. 2008. ―The Economic History of Korea.‖ EH.Net Encyclopedia, edited by Robert Whaples, http://eh.net/encyclopedia/article/cha.korea. Haggard, Stephan, Byung-kuk Kim and Chung-in Moon. 1991. ―The Transition to Export-led Growth in South Korea: 1954-1966.‖ Journal of Asian Studies 50(4): 850-73. Hill, Hal. 1999. The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia‟s Emerging Giant Cambridge University Press, 1996; 2nd edition, 1999. Kang, Kenneth H. and Vijaya Ramachandran. 1999. ― Economic Transformation in Korea: Rapid Growth without an Agricultural Revolution?‖

Economic Development and

Cultural Change 47(4): 783-801. Kim, Kwan S. 1997. ―From Neo-Merchantilism to Globalism: The Changing Role of the State and South Korea‘s Economic Prowess‖ in The Rise of East Asia: Critical Visions of the Pacific Century, edited by Mark Berger & Douglas Borer. London: Routlege. MacIntyre, Andrew. 1994. ―Business, Government and Development: Northeast and Southeast Asian Comparisons‖ in Business and Government in Industrialising Asia, edited by Andrew MacIntyre. St Leonards: Allen & Unwin. Molina, Luis M. 1997. ―The Korean Economic Development Story and Its Lessons for the Philippines: Some Preliminary Notes‖ in Seung-yoon Yang, Tae-myung Kim, and Mansoo Shin (eds) Korea and Southeast Asia: Prospects of Bilateral Cooperation in the Era of ASEAN 10, Seoul: KASEAS: 15-24. Park, Kie-Duck. 1997. ―Development of Korean Democracy: Is there a Korean Model?‖ in Seung-yoon Yang, Tae-myung Kim, and Mansoo Shin (eds) Korea and Southeast Asia:

96


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Prospects of Bilateral Cooperation in the Era of ASEAN 10, Seoul: KASEAS: 179-207. Wikipedia. 2010. ―Economy of South Korea‖ World Bank. 2010. ―Country Brief: the World Bank and Republic of Korea‖ Yang, Seung-Yoon & Mohtar Mas‘oed. 2007. Politik Ekonomi Masyarakat Korea: Pokok-pokok Kepentingan dan Permasalahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

97


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

PEMBANGUNAN EKONOMI DI KOREA SELATAN: MASA PRESIDEN PARK CHUNG HEE

Ratih Pratiwi Anwar (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Korea Selatan saat ini berada di urutan ke-14 perekonomian terbesar di dunia dan di urutan ke-3 terbesar di Asia. Potensi Korea Selatan sebagai kekuatan ekonomi bersumber dari tingginya perdagangan internasional, kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Munculnya Korea Selatan sebagai negara industri baru di Asia melalui suatu proses pembangunan ekonomi yang panjang dan melibatkan kerja keras pemerintah, kelompok pengusaha dan seluruh rakyat Korea. Awalnya dari negara agraris, kini Korea Selatan telah menjadi negara industri maju yang berbasis teknologi tinggi. Keberhasilan transformasi ekonomi Korea Selatan ini dapat menjadi model pembangunan ekonomi bagi negara-negara di dunia yang sampai saat ini masih miskin dan berkembang. Tulisan ini menjelaskan pembangunan ekonomi di masa Park Chung Hee, seorang presiden yang dianggap sebagai peletak dasar bagi pembangunan ekonomi Korea Selatan di masa-masa berikutnya.

Pembangunan Ekonomi di Korea Selatan pada Masa Presiden Park Chung Hee

1. Kondisi Korea Setelah Penjajahan Jepang Sampai Perang Korea Ketika Korea lepas dari penjajahan Jepang yang berlangsung 35 tahun lamanya (19101945), hampir tiga perempat dari penduduk semenanjung Korea menggantungkan hidupnya sebagian besar dari pertanian dan sebagian kecil dari aktivitas industri. Antara wilayah Korea

98


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

bagian utara (kini Korea Utara) dan wilayah Korea bagian selatan (kini Korea Selatan) saling tergantung dan melengkapi. Dalam hal pertanian, beras dan biji-bijian tumbuh di bagian utara, sedangkan kacang-kacangan dan sereal tumbuh di bagian selatan. Dalam hal industri, industri tekstil dan mesin lebih banyak di Korea bagian selatan sedangkan industri metal dan kimia (terutama pupuk) lebih banyak terkonsentrasi di Korea bagian utara. Pembagian semenanjung Korea menjadi dua bagian pada tahun 1945 yang masing-masing diduduki oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat, menyebabkan perekonomian masing-masing bagian mengalami kekurangan. Korea Utara kekurangan mesin-mesin untuk memproduksi barang industri. Sebaliknya Korea Selatan mengalami kelangkaan beras yang menyebabkan banyak kerusuhan karena kelaparan merajalela. Pemerintah Amerika Serikat yang mengurus Korea Selatan waktu itu menghadapi masalah ekonomi dan politik yang berat serta dihadapkan pada situasi harus menyediakan makanan untuk rakyat Korea Selatan yang jumlahnya sangat banyak. Selama perang, mesinmesin pabrik dan peralatannya makin lama makin menghilang karena diubah menjadi peralatan perang. Akibatnya kapasitas produksi terbatas dan menimbulkan banyak pengangguran serta meningkatnya inflasi. Pemerintah Amerika Serikat mengumpulkan beras, menyediakan pupuk, dan mengimpor bantuan berupa bahan mentah dan makanan untuk membantu rakyat Korea Selatan. Di bawah pengawasan PBB, Korea Selatan mengadakan pemilu yang menghasilkan pemerintahan di bawah Presiden Syngman Rhee pada bulan Agustus 1948. Presiden Syngman Rhee mengarahkan Korea Selatan menjadi negara yang secara ekonomi independen dari Jepang dengan bantuan Amerika Serikat. Namun untuk memulai membangun ekonomi yang independen Korea Selatan menghadapi banyak kendala. Pada tahun 1948 di Korea Selatan hanya ada seperlima tanah yang baik ditanami dan jumlah penduduknya termasuk yang terbanyak di dunia. Struktur ekonomi dalam keadaan tidak seimbang, ada industri yang ekspornya berlebihan tetapi disisi lain ada kekurangan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari sisi sumber daya manusianya, tiga perempat penduduk Korea Selatan masih buta huruf, tidak punya sistem pemerintahan modern, manajerial dan ketrampilan. Kendala ini masih belum terpecahkan sampai pecahnya perang Korea pada tanggal 25 Juni tahun 1950. Perang

99


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Korea justru menimbulkan kerusakan infrastruktur dan sumber daya manusia yang parah pada negara semenanjung ini. Perang terjadi selama tiga tahun dan ditutup dengan gencatan senjata pada bulan Juli 1953.

2. Meletakkan Batu Fondasi: Pembangunan Ekonomi di Masa Presiden Park Chung Hee Perdamaian antara pihak Korea Selatan dan Korea Utara memberi kesempatan bagi Korea Selatan untuk memperbaiki ekonominya. Pemerintah melaksanakan reformasi pertanahan yang selesai pada tahun 1958. Produksi bahan makanan meningkat hampir 50% pada periode 1949-1959. Buta huruf berkurang drastis dan pendidikan dasar makin meluas. Produk industri meningkat dua kali lipat pada periode 1955-1960 melalui strategi ekonomi menggantikan barang impor dengan produksi dalam negeri (import substitution strategy). Namun pertumbuhan output nasional rata-rata hanya setinggi 5% per tahun. Hal ini sangat mengecewakan karena pada periode 1939-1941 pembangunan industri sudah dimulai di Korea dan pada tahun 19481950 Korea Selatan menerima bantuan yang sangat besar dari Amerika Serikat yang bermaksud menjadikan Korea sebagai ―jendela demokrasi‖. Rakyat menganggap kegagalan pembangunan ekonomi di Korea Selatan sebelum tahun 1960 bersumber dari ketidakmampuan Presiden Syngman Rhee dalam membuat program pembangunan yang terkoordinasi dan karena adanya korupsi pada pemerintahan. Akibatnya beliau dilengserkan pada bulan Mei 1960. Presiden Yon Bo Seon yang menggantikannya memerintah dalam kondisi politik yang tidak stabil sehingga tidak sempat menjalankan program pembangunan ekonomi. Satu tahun kemudian pada bulan Mei 1961 terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Park Chung Hee. Setelah Park Chung Hee menjadi Presiden Korea Selatan, pembangunan ekonomi berjalan relatif stabil dan mempunyai tujuan serta kebijakan ekonomi yang lebih jelas. Presiden Park Chung Hee meluncurkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang pertama pada tahun 1962. Periode 1962-1966 (Repelita I) dapat dianggap sebagai periode yang paling penting dalam sejarah pembangunan ekonomi di Korea Selatan karena pada periode ini pemerintah Korea Selatan membuat kebijakan dasar pembangunan ekonomi yang akan sangat

100


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

berpengaruh pada pembangunan ekonomi periode-periode berikutnya. Saat itu, Korea Selatan menghadapi situasi makin berkurangnya bantuan pembangunan dari Amerika Serikat sehingga pemerintah merasa perlu untuk menciptakan ekonomi yang mandiri. Tujuan awal dari Repelita Pertama ini adalah untuk merevitalisasi ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah kebijakan ekonomi yang diambil Presiden Park Chung Hee pada awalnya bersifat coba-coba dan banyak mengalami kegagalan. Upaya pemerintah untuk memobilisasi modal domestik dan meningkatkan investasi dengan membangun proyek-proyek investasi yang terkesan ambisius tidak berhasil seperti yang diharapkan, bahkan menipiskan cadangan devisa negara. Menyadari hal tersebut, pemerintah merevisi Repelita I pada tahun 1964 dan lebih menekankan pada kebijakan stabilisasi keuangan. Strategi industrialisasi diubah menjadi strategi pembangunan yang berorientasi ke luar (outward looking development strategy) yang berbasis ekspor barang manufaktur padat karya. Hasil pembangunan ekonomi pada periode 1962-1966 adalah ekspor Korea Selatan meningkat yang menyumbang pada pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,9% per tahun dari yang ditargetkan hanya 7,1% per tahun. Keberhasilan strategi industrialisasi berbasis peningkatan ekspor tersebut didukung oleh kebijakan-kebijakan baru yang diadopsi pemerintahan Presiden Park Chung Hee. Kebijakankebijakan tersebut tergolong baru bagi Korea Selatan tetapi masih tetap berdasar pada teori ekonomi. Untuk mendorong ekspor, pemerintah mengeluarkan kebijakan reformasi sistem nilai tukar mata uang asing pada tahun 1964. Kebijakan ini dilengkapi dengan kebijakan kuota impor, yaitu pembatasan impor dengan cara memberikan pajak impor yang lebih tinggi pada impor barang-barang konsumsi dan pajak impor yang lebih rendah untuk barang-barang modal dan bahan baku. Selanjutnya, untuk membuat dana-dana yang tersebar dan tidak terorganisasi di masyarakat menjadi terkumpul dalam lembaga keuangan, pemerintah meningkatkan suku bunga tabungan diikuti dengan kenaikan suku bunga pinjaman agar penggunaan kredit perbankan menjadi lebih efisien. Tingginya suku bunga perbankan dalam negeri menyebabkan banyak perusahaan domestik yang meminjam uang dari luar negeri yang bunganya lebih rendah sehingga aliran dana dari luar negeri mulai masuk ke Korea Selatan. Kecukupan dana dari dalam maupun luar negeri tersebut memungkinkan dilakukan berbagai kegiatan investasi ekonomi. Pemerintah Korea Selatan juga memerintahkan agar bank-bank pemerintah menjadi

101


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

penjamin bagi perusahaan-perusahaan nasional yang meminjam dana ke luar negeri. Kebijakan pemerintahan Presiden Park Chung Hee tersebut berhasil membuat perusahaan-perusahaan Korea Selatan milik para wirausaha baru dapat menjalankan kegiatan usaha, menciptakan lapangan kerja, memproduksi dan menjual produk-produk yang padat karya. Tingkat teknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan baru tersebut relatif sederhana dan banyak menyerap tenaga kerja. Barang-barang yang permintaannya selalu ada dengan kualitas sudah standar seperti rambut palsu, bulu mata palsu, tekstil, sepatu dan kayu lapis dijadikan pemerintah sebagai industri prioritas karena sumber daya manusianya melimpah dan ketrampilan yang diperlukan relatif rendah. Rencana pembangunan lima tahun tahap pertama di Korea Selatan direncanakan dengan baik dan dilaksanakan secara serius, misalnya dengan menetapkan target pertumbuhan ekonomi dan target output sektoral, menetapkan jumlah investasi domestik dan asing yang diperlukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, serta menetapkan fokus industrialisasi yaitu pada ekspansi industri manufaktur. Faktor manusia juga berperan sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada Repelita I. Melimpahnya tenaga kerja pada masa itu menyebabkan ongkos produksi menjadi murah sehingga barang-barang produksi Korea Selatan dapat bersaing di pasar internasional. Tenaga kerja yang berpendidikan relatif baik juga tersedia sebagai hasil dari program pendidikan tahun 1950-an. Walaupun pendidikan pada masa itu ditekankan pada jumlah yang dididik dan bukan kualitas, namun sudah cukup menghasilkan tenaga kerja Korea Selatan yang siap menggunakan teknologi impor dan mengembangkan ketrampilan yang diperlukan dalam industrialisasi. Faktor manusia yang ketiga adalah kemauan tenaga kerja untuk bekerja keras dengan jam kerja yang panjang, walaupun dengan tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan tingkat upah internasional. Pada saat itu, pemerintah menghimbau agar para buruh lebih mementingkan kepentingan ekonomi nasional daripada menuntut upah yang tinggi. Repelita I diteruskan dengan Repelita II (1967-1971) yang mengikuti strategi dasar pembangunan yang telah ditetapkan periode sebelumnya. Presiden Park Chung Hee terpilih kembali sebagai presiden Korea Selatan pada pemilu tahun 1967 dan hal tersebut memberikan situasi politik yang stabil bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Pada Repelita II terjadi

102


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pertumbuhan ekonomi yang cepat yaitu mencapai tingkat 9,5% per tahun dan tingkat investasi serta ekspor melebih target yang telah ditetapkan. Struktur perekonomian nasional mulai condong ke sektor industri dilihat dari bertambahnya kontribusi sektor industri dalam Produk Kotor Nasional (GNP) yang meningkat dan jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur meningkat 60% pada periode 1967-1971. Pada Repelita II mulai ada perhatian pada pembangunan industri yang berbasis padat teknologi. Hal ini dilihat dari adanya pergeseran dari industri manufaktur ringan ke industri berat seperti petrokimia, mineral dan baja. Pada waktu Repelita I pemerintah tidak banyak terlibat langsung dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun pada Repelita II cakupan peran pemerintah menjadi meluas saat industri-industri berat dan kimia (heavy and chemical industry) mulai intensif dikembangkan sejak awal dekade 1970-an. Pemerintah meluncurkan regulasi khusus untuk mendorong pembangunan industri-industri tertentu seperti Undang-undang (UU) Pembangunan Industri Permesinan, UU Pembangunan Industri Elektronik, UU Pembangunan Industri Baja dan UU Pembangunan Industri Kimia, dan mendirikan kawasan-kawasan khusus industri. Kebijakan mendorong pertumbuhan ekspor tetap menjadi prioritas utama pemerintah sehingga banyak sekali kebijakan khusus seperti menyediakan fasilitas lokasi untuk ekspor misalnya pembentukan Zona Perdagangan Bebas, memberikan kredit ekspor, subsidi pajak untuk eksportir, dan pengecualian tarif untuk impor bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi barang yang diekspor. Pemerintah Korea Selatan yang dipimpin Presiden Park Chung Hee juga memerintahkan bank-bank swasta untuk mendahulukan pinjaman bagi investor Korea Selatan di bidang industri berat dan kimia. Kebijakan-kebijakan dan regulasi di atas menunjukkan pemerintah Korea Selatan menjalankan strategi target industri atau bisa disebut sebagai memprioritaskan industri-industri unggulan. Strategi pemerintah Korea Selatan tersebut meniru cara Jepang yaitu memfokuskan pembangunan industri unggulan yang mempunyai potensi perkembangan teknologi tinggi dan mempunyai elastisitas pendapatan yang besar. Kebijakan-kebijakan khusus yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Park Chung Hee ada yang mengkritik karena dampak negatif telah terlihat pada periode ini dalam bentuk munculnya perusahaan-perusahaan yang bermasalah di antara perusahaan yang mempunyai banyak hutang dari luar negeri. Perusahaan yang bermasalah tersebut adalah perusahaan yang

103


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

terus beroperasi tetapi merugi dan hanya bertahan dengan bantuan dana bantuan dari pemerintah untuk menghindarkan perusahaan ini bangkrut dan menyebabkan banyak pengangguran. Di negara lain,

kebijakan industri unggulan melibatkan peran pemerintah karena pemerintah

dianggap mempunyai peran sebagai sponsor. Di Korea Selatan pemerintah menjadi pihak yang harus bertanggungjawab karena pemerintah terlibat langsung dalam pembangunan industriindustri unggulan tersebut. Pada perusahaan-perusahaan yang bermasalah tersebut pemerintah menjadi perantara dengan pihak yang akan mengambil alih perusahaan bermasalah tersebut dan menyediakan pinjaman untuk pihak yang akan membeli perusahaan tersebut. Dampak negatif lainnya dari

pembangunan ekonomi periode 1967-1971 adalah terkonsentrasinya struktur

industri pada industri-industri yang berorientasi ekspor, munculnya kelompok-kelompok perusahaan besar (chaebol) dan distribusi kemakmuran yang tidak merata. Pada Repelita II pemerintahan Presiden Park Chung Hee juga memperhatikan pembangunan sektor pertanian. Misalnya, pada tahun 1969 pemerintah menetapkan harga beras di atas harga pasar sehingga petani-petani terdorong untuk menanam beras. Hal ini dilakukan agar sektor pertanian tidak menurun secara drastis dan untuk menjaga agar permintaan atas barang-barang industri manufaktur tetap berlangsung. Pada tahun 1970 Presiden Park Chung Hee melancarkan gerakan modernisasi desa yang disebut ‖Saemaul Undong‖ atau Gerakan Masyarakat Baru. Program ini dijalankan dengan slogan ―Industri, Kemandirian, Kerjasama‖ dan

ditujukan

untuk

membangkitkan

semangat

kemandirian

petani

dengan

cara

mengembangkan sumber pendapatan baru dari pertanian. Gerakan ini mengumpulkan dana masyarakat untuk perbaikan jalan-jalan pedesaan, modernisasi perumahan di pedesaan (dengan menggunakan kelebihan semen di perkotaan), menunjuk petani yang sukses sebagai pemimpin, dan menciptakan mata pencaharian alternatif di pedesaan.

3. Munculnya “Chaebol” Pada Repelita III (1972-1977) yang masih di bawah Presiden Park Chung Hee, pertumbuhan ekspor dan pembangunan industri berat dan kimia masih menjadi kebijakan primadona, walau terkesan pemerintah terlalu memaksakan diri. Slogan ―Pertumbuhan No.1‖ dan ―Ekspor No.1‖ menjadi dasar semua aksi pemerintah. Padahal pada periode 1972-1977

104


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

lingkungan ekonomi domestik dan internasional yang dihadapi Korea Selatan berubah sedemikian cepat tidak seperti periode sebelumnya. Di dalam negeri, Korea Selatan mengalami penurunan efisiensi investasi dan ketimpangan ekonomi makin tinggi. Di luar negeri, perekonomian dunia mengalami stagflasi dan krisis minyak. Untuk melanjutkan pembangunan industri berat dan kimia, Korea Selatan tersandung kendala-kendala seperti terbatasnya tenaga kerja terampil, pengetahuan dan teknologi, kemampuan manajerial, kekurangan dana dan permintaan output industri tersebut. Meskipun demikian, percepatan pembangunan industri berat dan kimia tetap diteruskan demi meningkatkan ekspor dan mencapai struktur industri seperti yang ada di negara maju seperti Jerman dan Jepang. Pemerintah mengupayakan segala macam cara, misalnya mendirikan Dewan Perencanaan Industri Berat dan Kimia pada tahun 1972. Namun Dewan ini dianggap lebih menfokuskan pada aspek-aspek teknis seperti kesulitan dalam pengembangan teknologi dan lokasi daripada aspek-aspek ekonomi seperti ongkos mendirikan, permintaan produk dan dampaknya pada ekonomi nasional. Pada tahun 1973 pemerintah mengeluarkan Rencana Pembangunan Industri Berat dan Kimia, yang menandakan bahwa industri tersebut telah dijadikan sektor strategis. Untuk mewujudkan industrialisasi bertumpu pada industri berat dan kimia ini diperlukan investasi dengan skala yang sangat besar untuk membangun pabrik-pabrik, fasilitas dan peralatan. Untuk mendanai investasi di industri berat dan kimia, pemerintah mengambil alih kontrol dana yang ada di semua perbankan dan memobilisasi semua dana tabungan masyarakat ke lembaga pemerintah. Tindakan pemerintah tersebut dianggap sebagai sebuah tindakan yang melampaui wewenang pemerintah dalam rangka melindungi industri berat dan kimia. Intervensi pemerintah dalam ekonomi nasional melangkah lebih jauh dengan mengontrol semua harga barang (termasuk harga makanan siap saji) dan upah buruh. Perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang bergerak di industri berat dan kimia juga tidak punya kekuasaan untuk menentukan jumlah pinjaman, kondisi pinjaman komersil, jenis investasi dan harga produk, bahkan resiko investasi, karena distribusi dana semua ditentukan oleh pemerintah. Pemerintahlah yang mengevaluasi semua keputusan bisnis swasta dan dampaknya terhadap ekspor dan tingkat harga. Pemerintah juga menyediakan dana bantuan untuk perusahaan-perusahaan yang terlibat hutang atau membekukan hutang-hutang perusahaan menjadi hutang jangka panjang.

105


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Di masa Repelita III ini ekspor Korea Selatan makin meningkat dan mulai muncul kelompok-kelompok bisnis yang disebut ―chaebol�. Ini terjadi setelah Presiden Park Chung Hee membentuk perusahaan perdagangan seperti yang terdapat di Jepang. Pemerintah menunjuk sejumlah kecil perusahaan-perusahaan besar yang memenuhi kriteria pemerintah untuk menangani ekspor perusahaan lain maupun perusahaan mereka sendiri dengan imbalan khusus dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan perdagangan tersebut mendapatkan pengetahuan tentang ekspor dan menghasilkan keuntungan karena mengekspor dalam jumlah besar dan memudahkan pemerintah mencapai target ekspor. Imbalan khusus yang diberikan kepada perusahaan perdagangan ini misalnya pinjaman berbunga rendah jika perusahaan ini mencapai target ekspor, posisi strategis bagi kelompok perusahaan yang memiliki perusahaan perdagangan tersebut, dan peluang-peluang investasi. Hubungan antara pemerintah dan pengusaha yang bersifat kolusif makin menonjol pada saat itu. Pada perkembangannya, sejumlah kecil perusahaan-perusahaan perdagangan yang dibentuk oleh pemerintah itu menjadi lebih memfokuskan pada ekspor terutama ekspor kelompok bisnisnya sendiri. Selanjutnya perusahaan-perusahaan perdagangan ini berkembang menjadi kelompok perusahaan. Setiap kelompok perusahaan mendirikan sejumlah perusahaan baru dalam kelompok perusahaan mereka untuk mencapai target ekspor dan memperbesar total volume ekspor kelompok perusahaan mereka. Karena ekspor dan industri berat ada dalam genggaman perusahaan perdagangan dan kelompok perusahaan mereka, maka keseimbangan industri dan distribusi pendapatan terkonsentrasi hanya pada sejumlah kecil kelompokkelompok perusahaan tersebut. Data statistik menunjukkan distribusi pendapatan dan kemakmuran bertambah tidak merata pada Repelita III dibandingkan dengan Repelita-Repelita sebelumnya. Pada Repelita IV (1977-1981), pemerintahan Presiden Park Chung Hee tetap menekankan ekspansi ekspor dan pembangunan industri berat dan kimia dengan mengorbankan pembangunan industri ringan sehingga perekonomian nasional bertumpu pada industri berat dan kimia. Meskipun indikator-indikator ekonomi makro terlihat cukup baik, beberapa masalah serius terpendam di bawah permukaan. Pertumbuhan industri berat dan kimia berlanjut sampai pada tahap diperlukan modal dari luar negeri yang luar biasa besar untuk terus melanjutkannya,

106


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sedangkan kendala-kendala mulai terlihat seperti kurangnya sumberdaya manusia, teknologi dan dana. Terkucurnya sejumlah besar dana ke industri berat dan kimia menyebabkan meningkatnya harga-harga dan inflasi. Tingkat upah juga meningkat drastis pada periode ini yang dipicu oleh kekurangan tenaga kerja terampil

pada industri berat dan kimia sehingga mendorong

meningkatnya upah pada industri-industri lainnya. Pada bulan Oktober 1979, Presiden Park Chung Hee dibunuh oleh Kepala Intelijen yang menyebabkan berakhirnya masa cukup panjang pemerintahan presiden yang lahir di kota Gumi ini.

Penutup

Korea Selatan sebagai negara yang awalnya miskin sumberdaya alam dan rusak berat akibat perang kini telah menjadi perekonomian ke-14 terbesar di dunia. Negara yang menyebut dirinya ―the land of morning calm‖ (negeri pagi hari yang tenang) ini mempunyai sejarah pembangunan ekonomi yang unik. Walaupun tidak semuanya merupakan kisah sukses dan patut ditiru, Korea Selatan dapat menjadi referensi yang penting bagi negara-negara Asia lainnya - termasuk Indonesia - dalam melakukan pembangunan ekonomi. Beberapa hal penting yang dapat disarikan dari pengalaman Korea Selatan antara lain, pada awalnya Korea Selatan melakukan pembangunan ekonomi dengan cara strategi industrialisasi substitusi impor, tetapi karena hasilnya tidak memuaskan Korea Selatan mengubah strategi industri berorientasi ekspor yang mengandalkan produk manufaktur padat karya. Keberhasilan strategi pembangunan ekonomi ini dilanjutkan dengan pengembangan industri yang padat teknologi seperti industri berat dan kimia dan menjadikannya sebagai industri unggulan. Pemerintah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan dengan ikut merencanakan dan melaksanakan pembangunan industri dan pertanian. Pemerintah juga membuat kebijakan yang kondusif untuk mengembangkan bisnis nasional, seperti kebijakan suku bunga bank, alokasi kredit perbankan, dan undang-undang sebagai landasan pengembangan industri berbasis teknologi. Untuk mengimbangi ketimpangan pembangunan

107


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

industri dan pertanian, pemerintah mencanangkan gerakan Saemaul Undong untuk memodernisasi desa dan meningkatkan pendapatan petani. Hasilnya saat ini kondisi perdesaan di Korea Selatan tidak ketinggalan terlalu jauh dengan daerah perkotaan. Walaupun tidak semua pembangunan ekonomi yang dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee memberikan hasil yang baik, pada masa pemerintahan beliau Korea Selatan telah berhasil mengalami transformasi yang signifikan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri dalam waktu yang relatif singkat.

Penulis: Ratih Pratiwi Anwar M.A. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Kepala Divisi Riset dan Pengembangan di Pusat Studi Korea dan staf pengajar Jurusan Korea, Universitas Gadjah Mada E-mail: ratihanwar@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Chung, Kae H, Lee Hak Chong & Jung Ky Hyun.1997. Korean Management, Global Strategy and Cultural Transformation. de Gruyter. Berlin. Cho Soon. 1994. The Dynamics of Korean Economic Development. Institute for International Economics. Washington DC. Lee Jae-Woo. 2001. ―Corporate Restructuring in Korea: Experience and Lessons‖ dalam The Korean Economy: Reflection the New Millennium. HOLLYM. Seoul. Kuznets, Paul W. 2001. “The Korean Take-off” dalam The Korean Economy: Reflection the New Millennium. HOLLYM. Seoul. Whang In-Joung. 2001. ―Administration of Land Reform in Korea, 1949-1952‖ dalam The Korean Economy: Reflection the New Millennium. HOLLYM. Seoul.

108


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

STRATEGI KOREA SELATAN BANGKIT DARI KRISIS EKONOMI TAHUN 1997

Ratih Pratiwi Anwar (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Pada awal dekade 1990an banyak negara dan ahli ekonomi menganggap Korea Selatan sebagai sebuah cerita sukses mengenai model pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh pemerintah. Dalam model pembangunan ekonomi ini, pemerintah memainkan peranan sangat penting dalam memutuskan pendistribusian sumber daya ekonomi misalnya dana di sektor perbankan Pasar tidak memainkan peran penting dalam menentukan harga-harga sumber daya ekonomi. Pemerintah menentukan industri apa yang akan dikembangkan dan yang boleh dimasuki oleh pengusaha swasta. Perkembangan ekonomi yang dilangsungkan selama tiga setengah dekade di Korea Selatan menampakkan hasil pada pertengahan dekade 1990an. Pada tahun 1995 pendapatan per kapita penduduk Korea Selatan telah mencapai 10.000 dolar AS. Korea Selatan telah menjadi ekonomi terbesar ke-11 di dunia dan pada tahun 1996 resmi menjadi anggota kelompok negaranegara industri maju (OECD). Presiden Korea Selatan waktu itu, Kim Young-sam (dilantik tahun 1993), adalah presiden yang berkeinginan membawa Korea Selatan menjadi anggota OECD. Untuk menjadi anggota OECD, Korea Selatan harus meliberalisasi pasar keuangan dan pasar modalnya. Padahal kondisi perbankan dan pasar modal di Korea Selatan pada masa itu masih belum berkembang dengan baik. Akibat pembukaan pasar keuangan dan pasar modal Korea Selatan, banyak perusahaan

109


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

swasta Korea Selatan meminjam uang dan modal ke luar negeri. Besarnya pinjaman luar negeri yang dimiliki perusahaan swasta Korea Selatan meningkatkan kerentanan struktur keuangan perusahaan

karena kondisi keuangan perusahaan dapat menjadi sensitif terhadap fluktuasi

tingkat kepercayaan investor asing

pada kondisi perekonomian Korea Selatan. Meskipun

demikian, jumlah dana asing yang masuk ke Korea Selatan semakin mengalir deras karena banyak bank-bank asing yang selalu membuat penilaian positif tentang prestasi pembangunan ekonomi di Korea Selatan. Pada pertengahan tahun 1997 terjadi peristiwa yang mengguncangkan ekonomi beberapa negara di Asia yang sedang tumbuh dengan pesat. Peristiwa itu adalah krisis keuangan yang terjadi Thailand yang segera cepat menyebar ke negara Asia lainnya yaitu Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Ada yang berpendapat krisis keuangan yang melanda Korea Selatan ini menunjukan bahwa pasar keuangan dan pasar modal Korea Selatan belum siap diliberalisasi. Sebelum terkena krisis, beberapa indikator ekonomi menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Korea Selatan dalam kondisi yang kurang sehat. Indikator-indikator ekonomi tersebut memberi tanda fundamental ekonomi makro Korea Selatan mengalami penurunan. Defisit perdagangan luar negeri Korea Selatan terus meningkat sehingga mencapai 23,7 milyar dolar AS pada tahun 1996. Menurunnya perekonomian Jepang, krisis keuangan di Asia Tenggara, dan penurunan permintaan di seluruh dunia pada produk chip memori komputer, kapal, otomotif dan tekstil mempengaruhi nilai penjualan dan laba perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Krisis ekonomi yang terjadi di Korea Selatan sangat terasa dampaknya pada bulan November 1997. Cadangan devisa menurun hingga tinggal 12 milyar dolar AS atau hanya bisa digunakan untuk membayar impor satu bulan saja. Padahal, suatu negara dapat dikatakan aman jika mempunyai cadangan devisa yang dapat dapat dipergunakan untuk membiayai impor selama tiga bulan. Bagaimana krisis bisa terjadi menimpa Korea Selatan yang disebut-sebut salah satu ―Asian Tigers‖ ini?

Penyebab Krisis dan Strateginya

110


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

1. Penyebab krisis keuangan di Korea Selatan tahun 1997 Krisis keuangan yang menimpa Korea Selatan pada tahun 1997 tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan akumulasi dari berbagai masalah di dalam negeri yang tidak ditangani dengan baik. Beberapa masalah pokok yang menyebabkan krisis tersebut adalah kebijakan pemerintah yang tidak tepat, manajemen perusahaan yang kurang profesional, dan lemahnya sektor keuangan domestik. Ketika investor asing bereaksi panik dengan terjadinya krisis mata uang di Asia Tenggara dan ketika beberapa perusahaan besar di Korea Selatan mengalami kebangkrutan, tiga masalah yang telah ada sebelumnya dalam perekonomian Korea Selatan muncul bersamasama dan menimbulkan krisis ekonomi yang besar.

2. Kebijakan pemerintah yang tidak tepat Kebijakan pemerintah Presiden Kim Young Sam dinilai berkontribusi mendatangkan krisis keuangan nasional. Presiden Kim Young Sam mengeluarkan tiga kebijakan pokok yaitu meningkatkan suku bunga pinjaman, menaikkan upah buruh, dan menurunkan nilai tukar mata uang. Kebijakan suku bunga tinggi dan menaikkan upah buruh membuat laba perusahaan berkurang sehingga menurunkan harga saham perusahaan di pasar saham. Kebijakan suku bunga tinggi juga membuat perusahaan Korea Selatan yang sebagian besar hutangnya tersebut adalah hutang jangka pendek mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman mereka. Sebelum masa Presiden Kim Young Sam, pemerintah sangat membatasi penggunaan devisa yang dimiliki Korea Selatan. Devisa yang berwujud mata uang negara lain tersebut dihemat dan penggunaannya difokuskan untuk pembangunan ekonomi. Bahkan ada larangan untuk bepergian ke luar negeri jika tidak ada kepentingan yang sangat penting. Tetapi pada masa Presiden Kim Young Sam diperlakukan kebijakan nilai tukar yang rendah. Akibatnya konsumen menganggap harga barang-barang impor murah dan banyak warga Korea Selatan yang bepergian ke luar negeri. Kebijakan nilai tukar yang rendah juga berdampak pada rendahnya daya saing produk-produk Korea Selatan yang mayoritas diekspor dan menipisnya cadangan devisa.

111


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

3. Manajemen perusahaan yang kurang profesional dan mengandalkan nepotisme Salah satu yang menyebabkan masalah keuangan dan kebangkrutan yang menimpa perusahaan-perusahaan Korea Selatan pada tahun 1997 adalah manajemen perusahaan yang kurang profesional. Pada tahun-tahun sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang pesat adalah berkat peran ekonomi para pengusaha nasional yang lahir dari kalangan wirausahawan. Namun pengusaha nasional ini dalam bisnisnya lebih berorientasi pada pertumbuhan volume produksi dan gemar melakukan diversifikasi usaha tanpa memperhatikan standar kualitas global, misalnya transparansi manajemen dan akuntansi. Kalangan manajer Korea Selatan pada waktu itu banyak yang kurang berpengalaman dan mereka mengandalkan hubungan keluarga untuk memperoleh posisi manajer di perusahaan atau menggunakan relasi pertemanan untuk mendapatkan akses bisnis dan keuangan. Sebagai contoh adalah perusahaan Hanbo Steel yang bangkrut begitu krisis melanda Korea Selatan. Penyebabnya adalah salah satu pegawai Hanbo Steel menggunakan hubungannya dimasa lalu sebagai bekas pegawai kantor pajak pemerintah untuk mendapat pinjaman dalam jumlah yang besar karena ia mempunyai hubungan baik dengan politisi yang dekat dengan Presiden Kim Young Sam. Maraknya praktek korupsi di kalangan pengusaha nasional, pemerintah, dan politisi juga merupakan penyebab penting terjadinya krisis keuangan di Korea selatan.

4. Lemahnya industri keuangan nasional Telah disinggung dimuka bahwa pasar keuangan Korea Selatan tidak siap ketika pemerintah melakukan liberalisasi. Selama tiga setengah dekade pembangunan ekonomi, sektor keuangan di Korea Selatan berada dalam pengendalian dan pengawasan pemerintah dan menjadi alat kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur. Akibatnya kemampuan perusahaan perbankan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan dan kelayakan permohonan pinjaman dari kalangan pengusaha menjadi sangat kurang. Kebijakan pemerintahpemerintah terdahulu yang lebih menekankan pembangunan industri manufaktur mengakibatkan pembangunan sektor keuangan menjadi tertinggal dan ini mendorong perusahaan Korea Selatan untuk meminjam dari luar negeri. Banyaknya hutang luar negeri di kalangan perusahaan

112


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

tersebut membuat Korea Selatan menjadi sangat rentan terhadap krisis.

Strategi Mengatasi Krisis Ekonomi di Korea Selatan

Memburuknya kondisi perekonomian Korea Selatan membuat Presiden Kim Young Sam tidak punya pilihan kecuali meminta bantuan dari luar negeri untuk menyelamatkan kondisi ekonomi dalam negeri. Krisis keuangan telah menjadi krisis ekonomi dan sosial karena sekitar 15.000 perusahaan Korea Selatan bangkrut dan sekitar 500.000 buruh kehilangan pekerjaan. Pada bulan November 1997 pemerintah Korea Selatan meminta bantuan keuangan dari International Monetary Fund (IMF) setelah nilai tukar mata uang Korea mengalami penurunan besar-besaran terhadap dolar AS. Dana Moneter Internasional mengucurkan dana bantuan darurat kepada Korea Selatan sebesar 10 milyar dolar AS pada bulan Desember 1997. Pada bulan yang sama rakyat Korea Selatan tetap melangsungkan pemilihan presiden pada bulan Desember 1997 dan menghasilkan presiden terpilih yang baru yaitu Kim Dae Jung dari kalangan partai oposisi. Pada awal masa pemerintahan Presiden Kim Dae Jung yang dimulai secara resmi bulan Februari 1998, kondisi perekonomian Korea Selatan sangat tidak stabil. Dampak dari krisis ekonomi terlihat dari meningkatnya angka pengangguran dari 560 ribu jiwa di akhir tahun 1997 menjadi 1,46 juta jiwa di awal tahun 1998. Tingkat standar hidup masyarakat menurun khususnya masyarakat menengah ke bawah akibatnya anjloknya pendapatan per kapita dari 10.037 dolar AS di 1997 menjadi 6.742 dolar AS di 1998. Dalam menghadapi krisis tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai reaksi dan strategi yang mempercepat pulihnya kondisi ekonomi Korea Selatan sehingga Korea Selatan dapat mengembalikan semua hutangnya kepada IMF pada tahun 2001.

1. Langkah-langkah pemerintah Korea Selatan dalam mengatasi krisis Dana Moneter Internasional (IMF) menyiapkan program penyesuaian struktural bagi negara-negara Asia yang terkena oleh krisis mata uang tahun 1997. Untuk melaksanakan

113


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

program pemulihan ekonomi, Pemerintah Korea Selatan dan IMF menandatangani sembilan buah kesepakatan Letter of Intent (LoI) sejak tanggal 3 Desember 1997. Program IMF di Korea Selatan menekankan pada dua hal yaitu kebijakan jangka pendek permintaan agregat yang ketat untuk menstabilkan pasar mata uang asing dan reformasi struktural yang bersifat jangka panjang di sektor keuangan dan perusahaan. Sektor keuangan dan perusahaan dianggap yang menyebabkan krisis mata uang dan selanjutnya menjadi pemicu krisis ekonomi di Korea Selatan. Reformasi struktural merupakan kunci bagi pemulihan ekonomi Korea dan reformasi struktural yang sukses membutuhan kestabilan di pasar mata uang asing. Tujuan kebijakan ekonomi makro pada awal program IMF ditargetkan

untuk

menstabilisasi pasar mata uang asing dan akumulasi cadangan devisa melalui kebijakan moneter yang ketat dan penetapan tingkat bunga tinggi. Salah satu hasilnya yang tampak nyata adalah bertambahnya cadangan devisa yang kurang dari 9,3 milyar dollar AS pada bulan Desember 1997 menjadi 64 milyar dollar AS pada bulan Juli 1999. Jumlah cadangan devisa sebesar itu dianggap cukup untuk menahan goncangan eksternal yang berpotensi menyerang perekonomian Korea Selatan seperti ketidakstabilan kurs mata uang di wilayah Asia. Setelah cadangan devisa meningkat secara signifikan, program IMF selanjutnya diarahkan pada implementasi reformasi struktural. Letter of Intent yang keenam yang ditandatangani pada 2 Mei 1998 menjadi titik tolak perubahan kebijakan pemerintah dari upaya mengatasi ketidakstabilan ekonomi makro menjadi pelaksanaan reformasi struktural di sektor keuangan dan perusahaan dalam rangka mencegah terjadinya krisis di masa yang akan datang. Pada Letter of Intent yang keenam ini mulai ada langkah-langkah yang jelas untuk melakukan reformasi sektoral dan langkah-langkah restrukturisasi pada empat sektor utama, yaitu: sektor keuangan, sektor perusahaan, sektor pemerintah, dan sektor tenaga kerja.

2. Reformasi sektor keuangan Krisis keuangan tahun 1997 menunjukkan bahwa pembangunan sektor keuangan di Korea Selatan tidak dapat mengejar laju pembangunan ekonomi dan integrasi Korea Selatan di pasar keuangan global. Pemberian hutang dalam jumlah besar kepada proyek-proyek tanpa

114


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

batasan pengembalian dan keuntungan yang pasti menyebabkan sektor keuangan menjadi lemah dan menjadi kontributor pada terjadinya krisis keuangan di Korea Selatan. Program reformasi pada sektor keuangan difokuskan pada memperbesar mekanisme pasar dalam ekonomi nasional dan menyehatkan sektor keuangan. Dalam rangka mencapai tujuan ini Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan undang-undang reformasi sektor keuangan yang pertama yaitu undang-undang untuk pembentukan Financial Supervisory Commission (FSC) atau Komisi Pengawas Keuangan yang independen. IMF juga menyarankan Korea Selatan untuk melaksanakan rencana merestrukturisasi lembaga keuangan yang kurang sehat dan menutup lembaga keuangan yang tidak sehat yang tidak memungkinkan lagi untuk diperbaiki. Dari 27 bank komersial di Korea Selatan, FSC merekomendasikan untuk menutup lima bank dan merestrukturisasi 7 bank. Sisanya sebanyak 13 bank diminta untuk melakukan merger (penggabungan) secara sukarela. Dalam rangka untuk membersihkan hutang bermasalah dari lembaga perbankan dan merekapitalisasi perbankan, pemerintah menyediakan dana sebesar 64 trilyun won yang senilai dengan 15% dari GDP Korea Selatan. Dalam program reformasi perbankan ini ada dua lembaga yang memainkan peran penting yaitu Korea Asset Management Corporation dan Korea Deposit Insurance Corporation. Sebagai hasil dari program restrukturisasi keuangan, hampir semua bank yang ada mencatat rasio kecukupan modal sebesar 10-12% yang berarti telah melebihi persyaratan kecukupan modal yang ditetapkan oleh BIS sebesar 8%.

3. Reformasi sektor perusahaan Reformasi sektor keuangan mendapat prioritas pertama dalam program reformasi struktural IMF di Korea Selatan, namun karena kedekatan hubungan antara sektor keuangan dan sektor perusahaan maka reformasi di kedua sektor ini berjalan secara simultan. Dalam reformasi sektor perusahaan, Pemerintah Korea Selatan menetapkan prinsip yang berorientasi pada mekanisme pasar. Untuk memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar pada sektor perusahaan, pemerintah meningkatkan transparansi, standar akuntansi dan peraturan penutupan perusahaan sehingga memenuhi standar internasional. Pada tahun 1998 FSC mengorganisir sebuah Komisi Khusus untuk mengkaji ulang sistem akuntansi dan audit di perusahaan Korea Selatan. Hasil

115


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dari kaji ulang tersebut FSC merekomendasikan beberapa reformasi sektor perusahaan, antara lain: Mengharuskan adanya laporan keuangan terkonsolidasi dari kelompok perusahaan (business group seperti Daewoo Group, Hyundai Group, Samsung Group, dan lain-lain); Melarang praktek payment and loan cross guarantee yaitu menggunakan perusahaan yang masih dalam satu kelompok perusahaan untuk menjamin hutang atau menjadi pembayar hutang perusahaan yang mengajukan pinjaman baru; Melarang transaksi bisnis antar perusahaan yang masih dalam satu kelompok perusahaan; dan Memperbaiki struktur permodalan perusahaan. Salah satu restrukturisasi perusahaan yang paling penting yang dilakukan Korea Selatan pada waktu krisis adalah mereformasi lima kelompok perusahaan (chaebol) papan atas, antara lain Hyundai Group dan Daewoo Group. Lima kelompok perusahaan tersebut perlu direformasi karena besarnya pangsa pasar kelima chaebol tersebut sangat mempengaruhi ekonomi Korea Selatan. Reformasi pada lima chaebol papan atas itu meliputi perbaikan struktur permodalan dan restrukturisasi bisnis. Pemerintah mentargetkan perbaikan struktur permodalan secara cepat yaitu mengurangi rata-rata rasio hutang terhadap saham perusahaan menjadi kurang dari 200% pada akhir tahun 1999. Untuk memperbaiki struktur permodalan, pemerintah mengharuskan lima chaebol papan atas Korea Selatan untuk melakukan penjualan aset-aset, mengurangi investasi, dan membayar hutang-hutang perusahaan. Untuk menambah modal, perusahaan dapat menjual saham atau menerima suntikan modal asing. Pada waktu program restukturisasi perusahaan, perusahaan yang tidak sehat dipaksa untuk menutup bisnisnya, sedangkan perusahaan yang cukup sehat tetapi secara keuangan lemah mendapat dukungan dengan program khusus (corporate workout program) yaitu secara sukarela melakukan negosiasi dengan kreditornya. Bagi perusahaan yang dianggap tidak layak mendapat program ini akan diperbaiki dengan cara merger, likuidasi, atau dijual. Untuk memperbaiki struktur permodalan perusahaan,

pemerintah mengeluarkan

Capital Structure Improvement Plan. Rencana ini dilaksanakan dengan cara mengharuskan masing-masing kelompok perusahaan untuk menentukan mana yang menjadi area bisnis utamanya. Pada awalnya reformasi perusahaan ini hanya dijalankan oleh para chaebol secara setengah-setengah karena ditentang oleh pemegang saham utama mereka. Tetapi dengan arahan dari pemerintah akhirnya 5 chaebol terbesar Korea Selatan bersedia menjalani restrukturisasi

116


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

secara kolektif yang disebut „Big Dealsâ€&#x;. Dengan „Big Dealsâ€&#x; para chaebol yang mempunyai banyak jenis usaha oleh pemerintah diminta dengan inisiatif mereka sendiri untuk merampingkan bisnisnya dan berkonsentrasi pada bisnis utama mereka sehingga dapat mengurangi kapasitas yang berlebihan.

Akhirnya lima chaebol terbesar di Korea Selatan

bersedia untuk merestrukturisasi tujuh macam bisnis mereka dengan cara mendirikan perusahaan baru, transfer aset, merger, atau pengalihan bisnis antar 5 chaebol tersebut atau dengan kelompok perusahaan besar lainnya. Untuk

meningkatkan

transparansi

dalam manajemen

perusahaan,

pemerintah

mendorong reformasi berupa memperkuat sistem audit eksternal dan direktur eksternal (shadow directors), mengharuskan pemegang saham utama harus terdaftar sebagai direktur dan ikut memikul resiko perusahaan, investor lembaga dapat memberikan suara, dan hak-hak pemegang saham minoritas dikuatkan dengan revisi undang-undang.

4. Reformasi di sektor pemerintah Reformasi sektor pemerintah perlu dilakukan karena rendahnya produktivitas dan efisiensi di sektor pemerintah. Reformasi sektor pemerintah dilakukan melalui privatisasi dan restrukturisasi perusahaan milik negara dan mengurangi skala ukuran perusahaan pemerintah. Pemerintah memprivatisasi 11 perusahaan negara, di antaranya yang diprivatisasi secara penuh adalah Korea Gas, Daehan Oil Pipeline, Korea Ginseng and Tobacco, dan Korea District Heating. Pada perusahaan yang mana pemerintah masih memilikinya secara penuh, pemerintah melalukan restrukturisasi secara drastis di bidang manajemen untuk mengurangi inefisiensi. Manajer karir yang profesional dinaikkan posisinya sebagai eksekutif puncak (CEO) dan diberi wewenang penuh untuk memanajemen perusahaan. Dalam upaya pengurangan skala perusahaan (downsizing), pemerintah mengurangi karyawan di perusahaan negara sebesar 11% dari total karyawan yang ada.

5. Reformasi pasar tenaga kerja Dalam

reformasi

pasar

tenaga

kerja

pemerintah

mendorong

untuk

terus

diberlakukannya pasar tenaga kerja yang fleksibel melalui penegakan undang-undang

117


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

ketenagakerjaan yang melarang mogok kerja ilegal dan aksi-aksi perburuhan tidak resmi lainnya. Pada waktu yang sama pemerintah memperluas jaring pengaman sosial dalam rangka menjamin kohesi sosial dan stabilitas dalam keseluruhan proses reformasi. Pada tanggal 1 Oktober 1998 asuransi pengangguran diperluas dari yang awalnya hanya pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan-perusahaan besar, menjadi semua pekerja yang kehilangan pekerjaan. Pemerintah juga menyiapkan dana sebesar 10 trilyun won untuk memberikan berbagai program sosial.

6. Reaksi masyarakat: Gold Collecting Campaign Di saat negaranya sedang terkena krisis, rakyat Korea Selatan tidak berpangku tangan dan hanya menyerahkan semua masalah pada pemerintah. Pada tanggal 5 Januari 1998 muncul sebuah kampanye yang bersifat sangat nasionalistik di kalangan bangsa Korea Selatan, yaitu Kampanye Pengumpulan Emas yang diprakarsai oleh kalangan media, organisasi non pemerintah (NGO), dan kelompok perusahaan besar seperti Daewoo, Samsung dan Hyundai. Tujuan dari pengumpulan emas ini adalah agar Korea Selatan dapat segera menutup kekurangan devisanya. Ide dari kampanye pengumpulan emas ini berasal dari periode sebelum kolonial di Korea Selatan, yaitu bangsa Korea menyerahkan emas kepada kerajaan untuk membayar hutang luar negeri agar kedaulatan bangsa tidak diintervensi oleh bangsa lain. Sepanjang dua minggu pertama bulan Januari 1998, tampak pemandangan yang menakjubkan yaitu orang mengantri untuk mendonasikan barang berharga yang mengandung emas yang mereka sayangi selama ini. Para wanita mendonasikan emas mereka yang berupa cincin pernikahan atau cincin upacara waktu anak mereka berusia satu tahun. Para pengusaha menyumbangkan kunci keberuntungan dari emas yang merupakan hadiah saat mereka membuka usaha. Para atlet tidak ketinggalan menyerahkan medali emas atau piala emas dari hasil pertandingan yang mereka menangkan. Tidak mau ketinggalan, para lansia mendonasikan hadiah emas yang mereka dapatkan saat ulang tahun ke-60. Kampanye pengumpulan emas tersebut berakhir bulan Mei 1998 dan diikuti oleh 3,5 juta orang. Total emas yang berhasil dikumpulkan 270 ton emas senilai 2,2 milyar dollar AS atau seperlima dari total pinjaman

118


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Korea Selatan dari IMF. Keseluruhan barang-barang emas tersebut akan dilebur menjadi emas batangan dan digunakan untuk menyelamatkan ekonomi negara mereka. Kampanye pengumpulan emas ini menarik perhatian berbagai kalangan internasional dan Direktur IMF menyatakan tindakan rakyat Korea Selatan untuk menyelamatkan ekonomi negara mereka sangatlah mengagumkan. Tindakan rakyat Korea yang mempunyai semangat rela berkorban demi negara ini menunjukkan mental bangsa Korea yang sangat mencintai negara mereka dan sikap untuk tidak berpangku tangan saat negara membutuhkan bantuan mereka.

Penutup

Korea Selatan pada awal dekade 1990an menarik perhatian dunia internasional karena dua hal, menjadi salah satu ―Asian Miracle‖ (Bank Dunia, 1993) yaitu negara Asia yang ekonominya paling tumbuh pesat tetapi sekaligus menjadi salah satu korban dalam ―Asian Crisis‖. Di balik kesuksesan pembangunan ekonomi, Korea Selatan menyimpan kelemahan dalam aspek fundamental dan struktural yaitu lemahnya sektor pemerintah, perusahaan, ketenagakerjaan, dan keuangan. Keterbukaan ekonomi Korea Selatan yang tidak disiapkan dengan matang membuat negara ini menjadi sangat rentan pada fluktuasi kondisi eksternal. Kedua faktor tersebut menyebabkan Korea Selatan mudah terkena imbas dalam krisis mata uang di Thailand yang semakin parah sehingga menjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Segenap lapisan masyarakat Korea Selatan telah bersatu padu untuk mengatasi krisis dengan cepat. Kalangan pengusaha, pemerintah, buruh, dan masyarakat biasa rela berkorban demi menyelamatkan ekonomi negara. Dengan semangat rela berkorban dan mau tidak mengulang kesalahan yang sama di masa lalu, Korea Selatan akhirnya bisa bangkit dari krisis lebih cepat dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Pada tahun 2001 semua hutang pada IMF telah terbayar lunas. Negara inipun melanjutkan kembali pembangunan ekonomi dan bahkan menjadi tuan rumah World Cup 2002 bersama dengan Jepang.

119


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Penulis: Ratih Pratiwi Anwar M.A. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Kepala Divisi Riset dan Pengembangan di Pusat Studi Korea dan staf pengajar Jurusan Korea, Universitas Gadjah Mada E-mail: ratihanwar@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. ―Koreans give up their gold to help their country‖. 14 January. http://news.bbc.co.uk/2/hi/world/analysis/47496.stm Jwa, Sung-Hee and Huh Chan Guk. 2001. ―Korea‘s 1997 Currency Crisis: Causes and Implications‖ in Korean National Commission for UNESCO (Ed.). The Korean Economy: Reflection The New Millenium, Hollym. Seoul. Singh, Kavaljit. 2009. ―Economic Crisis and People‘s Responses : S. Korean case‖. March 14. http://www.boostworks.com/?p=200 Song, Byung-Nak. 2003. The Rise of Korean Economy. Oxford University Press (China) Ltd. Hong Kong. Wang, Yunjong. 2001. ―Restructuring and the Role of International Financial Institutions: A Korean View‖ in Korean National Commission for UNESCO (Ed.). The Korean Economy: Reflection The New Millenium, Hollym. Seoul.

120


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

DOKDO ATAU TAKESHIMA? : PERSELISIHAN KEDAULATAN WILAYAH KOREA-JEPANG Lim Kim-Hui (Dosen Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010)

Pendahuluan

―Apa arti sebuah nama?‖ 1 Pertanyaan ini sudah tentu mempunyai perselisihan arti tersendiri untuk Korea dan Jepang, yang selama ini mempunyai banyak perselisihan kedaulatan peradaban dan perselisihan budaya2. Kedua negara ini memiliki latar geografis dan budaya yang agak sama, tetapi di dalamnya terhimpun bayang-bayang sejarah dan mimpi ngeri yang berbeda dan kompleks yang menyelubungi hubungan masa silam, masa kini, dan masa depan di antara keduanya. Pada zaman kuno, pertukaran ide budaya dan hubungan antara Korea dan Jepang adalah sesuatu yang biasa, baik lewat perdagangan maupun diplomasi. Namun, Invasi Jepang atas Korea (1592-1598) dan Penjajahan Jepang (1910-1945) atas Korea, telah menodai hubungan kedua negara sejak itu. Hari ini pertukaran budaya yang terganggu antara kedua negara mulai membaik kembali. Makgeolli, anggur beras Korea juga dikenal sebagai "drunken 1

Juliet: "What's in a name? That which we call a rose/ By any other name would smell as sweet." (William

Shakespeare, Romeo and Juliet, II, ii, 1-2). 2

Sementara sejarawan dan antropolog utama mengakui bahwa masyarakat Jepang dan Korea mempunyai hubungan

sejarah etnis dan budaya yang sama, pertikaian antara sarjana nasionalis di Jepang dan Korea bagaimanapun terus memperdebatkan asal-usul mereka. Sentimen nasionalis di Korea, misalnya, mengatakan bahwa agama Buddha, tatabahasa, pengolahan besi, penanaman padi, ritual, adat istiadat, dan tembikar dapat ditelusuri ke Korea. Hal ini bagaimanapun disangkal oleh sarjana Jepang. Pada zaman modern, setelah akhir Pendudukan Jepang, produk-produk budaya Jepang, seperti musik, film, dan buku-buku dilarang di Korea Utara dan Selatan. Pemboikotan seperti itu secara bertahap dihapuskan di Korea Selatan dimulai pada 1998. Isu-isu lain, misalnya, perusahaan Korea dikatakan memplagiat barang Jepang (cth. makanan ringan yang populer disebut Pocky, diproduksi oleh Glico Jepang pada tahun 1966, dikatakan ditiru oleh Lotte Korea Selatan sebagai Pepero pada 1988), masalah kewarganegaraan Korea Zainichi (orang Korea yang tinggal di Jepang) dan pengeksporan Kimchi oleh Jepang atas nama kimuchi (キムチ).

121


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

rice" dalam bahasa Inggris, telah menjadi sangat populer di Jepang dengan konsumsi yang melonjak tiga kali tahun ini, dibandingkan dengan tahun yang lalu (Kang 2010). Minuman keras domestik Korea ini kini menjadi populer di kalangan orang Jepang, seabad setelah Jepang menduduki Korea dengan kekerasan. Kini, sementara orang Jepang berminat pada drama Korea dan K-pop, orang Korea jatuh cinta pada novel Jepang (Song 2010; Park 2010). Hari ini, Jepang dan Korea Selatan adalah mitra dagang utama. Banyak mahasiswa, wisatawan, artis, dan pebisnis mondar-mandir antar kedua negara. Namun begitu, masih ada isu-isu hutang sejarah yang belum terlerai. Di antara isu utamanya ialah klaim kedua negara atas Liancourt Rocks3 (yang disebut Dokdo4 oleh orang Korea dan Takeshima oleh orang Jepang).

Tulisan ini berusaha memberikan gambaran tentang latar belakang geografis, sebab, dan peristiwa perebutan Pulau Liancourt Rocks dan masalah penamaan laut tempat Liancourt Rocks ini, serta argumen sejarah dan hukum menurut persepsi Korea dan Jepang yang bersangkutan dengan pulau ini. Dengan berdasarkan bukti sejarah dan keputusan pengadilan menurut hukum internasional kasus pulau Palmas (atau Miangas) terutama, dan juga perselisihan pulau-pulau lain, dalam tulisan ini dijelaskan sebab-sebab kenapa pada umumnya Korea Selatan mempunyai klaim yang lebih kuat atas Liancourt Rocks dibanding dengan Jepang.

Latar Belakang Geografis Liancourt Rocks

Liancourt Rocks, adalah sekelompok pulau kecil di Laut Jepang (Laut Timur mengikut sebutan Korea), terdiri dari dua pulau utama dan 35 batuan kecil. Gugusan pulau kecil ini juga dikenal sebagai Dokdo (독도/独岛, harfiah "pulau terpencil") dalam bahasa Korea. Dalam bahasa Jepang, pulau ini dikenal sebagai Takeshima (たけしま/竹岛, harfiah "pulau bambu").

3

Atas tujuan objektivitas, penulis memilih menggunakan nama ―Liancourt Rocks‖ sepanjang penulisan artikel ini.

4

Dokdo juga sering dieja sebagai Tokdo dalam tulisan-tulisan berbahasa Inggris.

122


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Liancourt Rocks, terletak di sekitar garis bujur 131°52' Timur dan garis lintang 37°14' Utara, me mpunyai dua pulau utama, Pulau Barat (Korea: 서도 / 西岛 Seodo, Jepang: 男岛 Otokojima atau "pulau laki-laki") dan Pulau Timur (Korea: 동도 / 东岛 Dongdo, Jepang: 女岛 Onnajima atau "pulau perempuan‖), terpisah 151 meter jauhnya antara satu sama lain. Dongdo terletak di 37º14'26,8"U/ 131º52'10,4" T, dan Seodo berada di 37º14'30,6"U/ 131º51'54,6"T. Lokasi Dokdo adalah 216,8 kilometer timur Jukbyeon, Uljin-gun, Gyeongsangbuk-do, dan 87,4 kilometer sebelah tenggara pulau Ulleungdo (Norteast Asian History Foundation 2008). Luas permukaan total pulau adalah 0,18745 kilometer persegi (46,32 acre), dengan elevasi tertinggi 169 meter (554 kaki) yang ditemukan di lokasi yang tidak disebutkan namanya di bagian barat pulau itu. Dari kedua pulau, Pulau Barat adalah lebih besar, dengan basis yang lebih luas dan puncak yang lebih tinggi, sedangkan Pulau Timur menawarkan keluasan permukaan yang lebih bermanfaat. Secara keseluruhan, ada sekitar 90 pulau dan terumbu, batuan volkanik terbentuk dalam era Cenozoic, atau lebih khusus 4,6-2,0 juta tahun yang lalu. Sebanyak 37 pulau ini diakui sebagai tanah permanen. Pulau Barat luasnya sekitar 88.640 meter persegi (22 acre); pulau Timur sekitar 73.300 meter persegi (18 acre).

Walaupun hanya pulau-pulau kecil, kedaulatan atas pulau ini kini menjadi isu persengketaan antara Jepang dan Korea Selatan. Nama Inggris-Perancis dari pulau ini berasal dari nama Le Liancourt, nama Perancis sebuah kapal penangkap ikan paus yang mampir ke pulau tersebut dan terdampar atau menjadi rusak di situ pada 1849. Nama bagi kepulauan tersebut baik dalam bahasa Korea maupun Jepang sering berubah-ubah. Hal ini merupakan bukti kebingungan historis atas subjek yang menyebabkan perselisihan panas wilayah kedua negara hingga hari ini. Bagaimanapun, pulau-pulau tersebut saat ini dikelola oleh Korea Selatan, yang dijaga kepolisian di sana. Pulau ini mulanya dihuni dua warga Korea, seorang nelayan gurita dan istrinya adalah penduduk tetap di pulau itu. Mereka adalah Kim Sung Do, kapten Kapal Dokdo, dan istrinya Kim Sin Yeol yang berpindah ke Seodo pada 17 November 1991. Mereka mencari nafkah dengan menangkap ikan. Sementara penyair Pyeon Bu-Kyeong pula berpindah ke sana kemudiannya pada 19 November 2003 (Gyeongsang buk-do 2001b). Korea Selatan mengelola

123


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pulau tersebut sebagai Dokdo-ri, Ulleung-eup, Ulleung County, Propinsi Gyeongsang Utara. Jepang mengklasifikasikan pulau-pulau ini sebagai bagian dari Okinoshima, Daerah Oki, Daerah Administrasi Shimane.

Perselisihan Liancourt Rocks dan Penamaan Antara Laut Jepang dan Laut Timur

Meskipun diklaim oleh kedua Korea dan Jepang, Liancourt Rocks saat ini dikelola oleh Republik Korea. Klaim kedua negara bisa dijejaki kembali setidaknya beberapa ratus tahun ke belakang. Argumen yang signifikan didukung oleh berbagai bukti sejarah dan hukum telah disampaikan oleh kedua belah pihak, dan telah ditentang oleh counter-argumen dengan berbagai tingkat keberhasilan (Ministry of Foreign Affairs of Japan 2008 dan Dokdo Research Institute 2009). Korea Utara mendukung klaim Korea Selatan. Pulau-pulau ini terletak pada daerah penangkapan ikan yang kaya dan juga bisa berisi simpanan gas-alam yang besar (Gyongsangbuk-do 2001a). Oleh karena itu, kepentingan ekonomi juga mendominasi diskusi tentang Liancourt Rocks. Dengan diperkenalkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), kedaulatan atas wilayah pesisir pantai telah menjadi semakin penting dan rumit. Pihak UNCLOS berhak atas eksklusivitas maritim dan yurisdiksi sebanyak 200 mil nautika. Negara yang telah ditetapkan kedaulatan atas wilayah pesisir pantai diberikan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar daerah tersebut, mendapat hak eksklusif penangkapan ikan dan hak pertambangan di dasar laut. Pasal 55 Konvensi PBB tentang Hukum Laut mendefinisikan zona ekonomi eksklusif sebagai "an area beyond and adjacent to the territorial sea (suatu area berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial)," yang menyediakan negaranegara pesisir dengan berbagai hak atas sumber hayati dan nonhayati. Oleh karena itu, kedua belah pihak, Korea dan Jepang berusaha mendapatkan sumber ekonomi dari pemilikan formal pulau tersebut.

Walaupun ekonomi dan kedaulatan wilayah merupakan antara faktor penting perselisihan Liancourt Rocks, tuntutan atas pulau tersebut bagaimanapun lebih mencerminkan persaingan

124


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

antara masa depan dengan masa silam. Sementara Jepang kelihatan seperti mau melupakan dosa-dosa masa silamnya yang jelek, Korea melihatnya sebagai suatu hutang sejarah yang belum usai dengan rasa kebencian mendalam terhadap penjajahan Jepang. Perselisihan dan persaingan sentimen atas isu ini tercermin lewat berbagai peristiwa. Ketika Daerah Administrasi Shimane Jepang mengumumkan "Hari Takeshima" pada 2005, Korea bereaksi dengan berdemonstrasi dan protes di seluruh negara, dengan contoh ekstrem termasuk seorang ibu dan anak mengiris jari mereka sendiri, dan seorang pria membakar dirinya sendiri (Burress 2006). Pada tahun 2006, lima orang "Penunggang Dokdo" Korea memulai perjalanan keliling dunia untuk meningkatkan kesadaran internasional berkenaan sengketa tersebut (Burress 2006). Bentuk lain protes yang terkenal dari pihak Korea Selatan termasuk memenggal kepala burung/ayam pegar (pheasant) di depan Kedutaan Besar Jepang (Choe 2008a)5.

Persengketaan terbaru berlaku ketika Korea Selatan mulai mencetak perangko menampilkan gambar-gambar bunga dan camar pulau ini. Pada 16 Januari 2004, orang Korea Selatan secara besar-besaran datang di kantor pos di seluruh negeri untuk membeli perangko. Serial ini, berjudul "Nature of Tokdo (Alam Dokdo)," termasuk sebuah lukisan kelabu sebuah pulau terpencil, diatapi dengan vegetasi seperti rambut palsu hijau (Brooke 2004). Setelah tiga jam, 2,2 juta perangko terjual, peristiwa ini membangkitkan perang diplomatik lain antara para pemimpin Jepang dan Korea dengan menunjukkan permusuhan baru antara satu sama lain. Pejabat Jepang mengatakan masalah ini melanggar semangat koperasi Universal Postal Union dan mengusulkan Jepang mengeluarkan ―perangko Takeshima‖ sebagai serangan balasan (Brooke 2004). Oleh karena Liancourt Rocks letaknya di Laut Jepang (Laut Timur menurut orang Korea), maka sengketa penamaan laut turut mewarnai perselisihan kedua negara ini.

Nama "Laut Jepang" (日本海) diklaim telah didirikan secara geografis dan historis di Eropa dari akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 dan saat ini digunakan di seluruh dunia. Namun, baik pemerintah Korea Utara maupun Korea Selatan, keduanya protes terhadap Jepang karena 5

Untuk mengetahui perkembangan isu tentang perselisihan Liancourt Rocks dengan cara yang lebih rinci,

baca juga Choe (2008b) dan McCurry (2010).

125


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

mempromosikan penggunaan nama "Laut Jepang" sewaktu Korea kehilangan kontrol efektif atas kebijakan luar negerinya di bawah ekspansi Kekaisaran Jepang. Korea Selatan berpendapat bahwa nama "Laut Timur" (东海), merupakan salah satu dari nama-nama yang paling umum yang ditemukan di peta Eropa kuno untuk merujuk pada laut ini. Oleh karena itu, harus merupakan nama resmi dan bukannya ―Laut Jepang‖ atau setidak-tidaknya digunakan bersamaan dengan "Laut Jepang." Korea Selatan juga berpendapat bahwa nama netral - Laut Timur - akan menjadi nama yang sah karena laut itu tidak diberi nama berdasarkan nama salah satu negara. Nama ini tidak baru.

Catatan sejarah Korea menunjukkan "Donghae" (Laut Timur) telah digunakan dalam dokumen tertulis sebelum kelahiran Kristus. Hal ini juga digunakan pada peta Cina kuno setelah abad ke12 (Yoo 2010). Bagaimanapun Jepang mengklaim bahwa negara-negara Barat sudah menamainya sebagai "Laut Jepang" sebelum 1860, yaitu sebelum tumbuhnya pengaruh Jepang atas kebijakan luar negeri Korea dan sebelum pecahnya Perang Cina-Jepang Pertama pada tahun 1894. Bagaimanapun, hanya pada 1928, penerbitan Batas Samudra dan Laut, Organisasi Hidrografi

Internasional

(Limits

of

Oceans

and

Seas, International

Hydrographic

Organization)6 secara resmi mengambil nama Laut Jepang, yang pada akhirnya mempengaruhi dokumen resmi internasional lainnya, seperti PBB. Korea Selatan menyatakan bahwa Korea pada waktu itu diduduki oleh Jepang dan tidak memiliki suara internasional secara efektif untuk memprotes pada 1928.

Masyarakat internasional baru-baru ini juga semakin menunjukkan dukungan resmi untuk penggunaan secara serentak kedua nama "Laut Timur" dan "Laut Jepang." Perancis dan 6

Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) adalah sebuah badan internasional yang mewakili komunitas

hidrografi. IHO telah menerbitkan ―Limits of Oceans and Seas‖ ini, yang menunjukkan batas-batas antar samudra. Edisi ke-3, aslinya diterbitkan pada 1953, bagaimanapun dikatakan sudah kadaluwarsa untuk berbagai daerah. Draft edisi diperbaharui, diproduksi tahun 2000, namun belum diratifikasi atau diterbitkan. Edisi ketiga ―Limits of Oceans and Seas‖ yang diterbitkan pada 1953 itu dapat diperoleh lewat: http://www.iho-ohi.net/iho_pubs/standard/S-23/S23_1953.pdf.

126


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Australia mengusulkan sebuah rencana supaya nama ―Laut Timur‖ dan ―Laut Jepang‖ dipakai secara serentak dalam kelompok kerja Organisasi Hidrografi Internasional yang pertemuannya diadakan bulan lalu (baca: Juli 2010), demikian menurut Noh-hyung Park, seorang profesor hukum Universitas Korea dan ketua Kesatuan Penelitian Laut Timur. Beliau mengatakan hal ini kepada kantor berita Yonhap dalam sebuah wawancara sewaktu Konferensi Internasional Namanama Samudra yang ke-16 di Den Haag, Belanda (Yoo 2010). Pemerintah Korea Selatan juga telah mengusulkan sebagai langkah sementara - sampai masalah teratasi - untuk menggunakan kedua nama "Laut Timur" dan "Laut Jepang" secara bersamaan dalam dokumen resmi, peta, dan atlas, mengikuti aturan umum dari kartografi internasional (Yoo 2010).

Liancourt Rocks Menurut Sejarah dan Hukum: Persepsi di Korea dan Jepang

Ada penafsiran yang bertentangan tentang kedaulatan negara bagi pulau Liancourt Rocks di masa pramodern. Klaim Korea sebagiannya didasarkan pada referensi ke sebuah pulau Korea disebut Usan-do (우산, 于 山 岛 / 亐 山 岛) dalam berbagai catatan sejarah, geografi, peta, dan ensiklopedia seperti Samguk Sagi, Annals of Joseon Dynasty, Dongguk Yeoji Seungnam, dan Dongguk munhon bigo. Menurut pandangan Korea, kesemua ini merujuk kepada Liancourt Rocks hari ini, sedangkan berbagai pandangan Jepang juga menyatakan bahwa pendapat Korea sebenarnya mengacu kepada baik Juksoe (죽서 竹 屿; Korea Jukdo atau Dae'soem), Kwanumdo (관음 도, 观音 岛, 岛 项; Korea Seommok, G'aksae), Ulleungdo, atau sebuah pulau yang tidak wujud (Ministry of Foreign Affairs of Japan 2008; untuk argumen balas, lihat Dokdo Research Institute 2009).

Klaim Tokyo didasarkan sebagiannya pada dokumen Jepang tua dan peta yang menunjukkan bahwa "Matsushima," yang, menurut Jepang, adalah nama kuno untuk Takeshima, dan telah dikendalikan oleh bakufu Tokugawa (pemerintah militer) dan sebagiannya lewat inkorporasi

127


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

formal pulau itu ke dalam Daerah Administrasi Shimane pada Februari 1905 berdasarkan keputusan kabinet. Tokyo menyatakan bahwa keputusan kabinet itu "menegaskan kembali niat pemerintah Jepang sebagai negara modern memiliki Takeshima" dan bahwa kegagalan pemerintah Korea untuk memprotes tindakan Jepang sama saja dengan persetujuan. Namun, hal ini ditentang oleh Seoul (Koh 2007: 345-346). Seoul, mengutip dokumen sejarah, berpendapat bahwa Korea telah melaksanakan yurisdiksi atas pulau ini sejak abad keenam dan bahwa pada 1905 Korea tidak dalam posisi untuk mengajukan protes kepada Jepang karena perang. Seoul juga mengutip Directive Nomor 677 dari Panglima Tertinggi Kuasa-kuasa Bersekutu yang dikeluarkan kepada pemerintah Jepang pada tahun 1946, yang secara eksplisit mengecualikan "Liancourt Rocks (Take Island)" dari yurisdiksi Jepang (Koh 2007: 346).

Argumen Jepang umumnya berdasarkan sejarah dan hukum seperti yang dipaparkan lewat situs web Daerah Administrasi Shimane. Meskipun tidak ada catatan tanggal yang tepat tentang penemuan Takeshima itu, pulau-pulau itu dikatakan telah dikenal orang Jepang paling lambat sejak awal Periode Edo (1603-1868). Pada 1618, Jinkichi Oya dan Ichibei Murakawa dari Yonago City mendapat izin dari Pemerintah Keshogunan untuk berlayar ke Pulau Ulleung untuk menangkap tiram, singa laut, dan menebang pohon kayu dan bambu. Dalam perjalanan ke Pulau Ulleung, mereka menggunakan Takeshima sebagai pelabuhan di tengah jalan, dan juga berburu dan memancing di sana. Pada 1661, Keluarga Oya dan Murakawa diberikan izin resmi untuk perjalanan ke Takeshima oleh Pemerintah Keshogunan. Pemerintah Keshogunan melarang kunjungan ke Pulau Ulleung pada 1696 karena konflik antara Jepang dan Korea, tetapi kunjungan ke Takeshima tidak dilarang. Pada 1836, seorang pria bernama Imazuya Hachiemon telah dihukum karena berlayar ke Pulau Ulleung "dengan dalih mengunjungi Takeshima". Pengetahuan tentang Takeshima dipertahankan seluruh Periode Edo dengan merekam pulau dalam buku-buku dan peta. Setelah Restorasi Meiji, sejumlah besar nelayan mulai mengunjungi Pulau Ulleung lagi, dan Takeshima digunakan sebagai pelabuhan di tengah jalan. Sejak akhir dekade kedua Periode Meiji (1868-1912), orang-orang dari Kepulauan Oki telah berburu dan menangkap tiram, singa laut, dan kehidupan laut lainnya di Takeshima (Shimane Prefecture t.th. (a)).

128


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Pada 1904, penduduk Kepulauan Oki, Yozaburo Nakai, meminta pemerintah untuk memasukkan Takeshima sebagai wilayahnya dan disewakan untuk tujuan berburu singa laut. Menanggapi hal ini, pemerintah secara resmi menamakan pulau itu Takeshima, dengan Keputusan Kabinet pada 28 Januari 1905, dan menandakan pulau tersebut sebagai milik Jepang di bawah yurisdiksi Cabang Kepulauan Oki, Pemerintah Daerah Administrasi Shimane. Berdasarkan keputusan Kabinet itu, Gubernur Daerah Administrasi Shimane mengumumkan rincian di bawah Notis Daerah Administrasi Shimane No.40 pada 22 Februari tahun yang sama. Pada tahun yang sama juga, pulau-pulau tersebut dimasukkan ke dalam Daftar Tanah Negara, berburu singa laut telah disetujui sesuai dengan aturan pengawasan perikanan, Gubernur memeriksa pulau, dan pada tahun berikutnya, survei ke pulau itu oleh pejabat dari Daerah Administrasi Shimane dilakukan. Persyaratan di bawah hukum internasional untuk akuisisi suatu wilayah adalah pemilikan efektif suatu tanah. Selain hak historis atas Takeshima, tindakan tersebut menegaskan kembali hak Jepang di bawah hukum internasional modern (Shimane Prefecture t.th.(b)).

Setelah Perang Rusia-Jepang, Jepang menduduki Korea dalam serangkaian perjanjian yang dibuat secara paksa antara 1905 dan 1910. Selama periode ini, Jepang meletakkan klaim atas pulau-pulau ini dan secara resmi memasukkannya ke dalam Daerah Administrasi Shimane. Berakhirnya Perang Dunia Kedua dan pendudukan Jepang atas Korea tidak sedikit mengatasi masalah tersebut. Status Liancourt Courts tidak dibahas dalam Pasal 2 (a) dari Perjanjian Damai San Francisco 1951, yang memaksa Jepang untuk mengakui kemerdekaan Korea. Sebaliknya, perjanjian tersebut dalam ketentuannya menyatakan bahwa "Jepang, mengakui kemerdekaan Korea, menggugurkan semua hak, kuasa, dan klaim atas Korea, termasuk pulau Qualpart, Port Hamilton, dan Dagelet." Panglima Tertinggi Kuasa Bersekutu kemudian melepaskan Liancourt Rocks dari yurisdiksi Jepang dan meletakkannya di bawah kontrol angkatan bersenjata Amerika Serikat untuk digunakan sebagai pangkalan pengeboman karena kedudukannya yang strategis.

Pada Januari 1952, deklarasi garis keamanan Syngman Rhee Korea Selatan memasukkan

129


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Liancourt Rocks sebagai wilayah Korea dan hal ini dibantah Jepang. Korea Selatan, bagaimanapun, mengirim ―penjaga sukarela" (uiyong subidae) ke pulau itu pada April 1953, menggantikan mereka dengan ―penjaga kepolisian‖ (Tokdo kyongbidae) pada Februari 1956. Pada Agustus 1954 Korea Selatan memasang mercusuar di pulau itu, memperkuatnya pada Agustus 1955. Korea Selatan juga membangunkan fasilitas pendaratan helikopter di atasnya pada Desember 1981 dan sebuah stasiun radar pada Desember 1993 (Koh 2007: 346-347).

Meskipun catatan dan dokumen sejarah mempunyai nilai yang penting, sejarah pramodern pada umumnya sering menimbulkan perdebatan akan keakuratannya karena adanya campuran antara fakta dan fiksi. Dalam kasus Liancourt Rocks, para peneliti pada umumnya tidak setuju tentang siapa yang pertama memiliki kontrol administratif atas pulau tersebut karena ambiguitas dalam catatan sejarah awal dan peta, sebagian lagi karena perubahan nama pulau-pulau di wilayah tersebut selama bertahun-tahun. Meskipun pulau Korea yang terdekat, Ulleung-do, adalah 87 km, yaitu lebih dekat dengan Liancourt Rocks dibandingkan dengan pulau Jepang yang terdekat, yakni Pulau Oki, yang jauhnya 157 km, keputusan pengadilan mahkamah internasional biasanya tidak memberikan hak pemilikan berdasarkan kedekatan jarak. Hukum internasional juga menganggap sejarah penemuan sebagai hak yang belum lengkap. Sebagai contoh, berdasarkan keputusan Palmas [lihat Permanent of Arbitration: The Island of Palmas Case (or Miangas)7], tiga peraturan penting untuk menyelesaikan sengketa teritorial pulau itu memutuskan: * Pertama, hak berdasarkan kedekatan tidak berdiri dalam hukum internasional. * Kedua, hak berdasarkan penemuan hanya hak yang belum lengkap. * Akhirnya, jika pemerintahan berkuasa lain mulai memperlihatkan kedaulatan berkelanjutan dan aktual, dan klaim tersebut dilakukan secara terbuka dan umum, dan penemu tidak menentang klaim ini, klaim dari pemerintah yang melaksanakan otoritas mempunyai hak yang lebih besar daripada hak berdasarkan penemuan semata-mata.

Kalau diteliti kepada preseden penyelesaian beberapa kasus perselisihan pulau sebelum ini, 7

Teks

keputusan

pengadilan,

lihat

cpa.org/upload/files/Island%20of%20Palmas %20award%20only%20+%20TOC.pdf.

130

http://www.pca-


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pihak yang mengemukakan klaim umumnya turut memikirkan atau menggunakan ketiga argumen tersebut, yaitu kedekatan pulau dari negara yang membuat klaim, penemuan pulau dari sisi sejarah dan memperlihatkan kedaulatan yang berkesinambungan atas pulau untuk mendukung klaim mereka. Bagaimanapun mahkamah internasional pada umumnya lebih memberi penekanan kepada kepentingan kedaulatan secara berkelanjutan dan aman. Hakim Max Huber yang mengendalikan kasus pulau Palmas (atau Miangas) sewaktu menolak tuntutan Amerika Serikat dan memberi hak pulau tersebut kepada Belanda menyimpulkan bahwa penemuan (discovery) tidak cukup untuk membuktikan kedaulatan atas sesebuah pulau. Sekiranya diteliti lagi, pada umumnya kasus-kasus yang memenangkan perselisihan pulau, seperti Clipperton (Perancis vs Mexico)8, Pedra Branca/Batu Puteh (Singapura vs Malaysia)9 dan Sipadan & Ligitan (Malaysia vs Indonesia)

10

semuanya memberi perhatian dan

memperlihatkan kepentingan kedaulatan efektif yang berkelanjutan, yaitu mempertimbangkan 8

Pada 28 Januari 1931, Raja Victor Emanuel menyatakan Clipperton akhirnya menjadi milik Perancis

(lihat

Judicial

Decisions

Involving

Questions

of

International

Law

France_Mexico,

http://www.ilsa.org/jessup/jessup10/basicmats/clipperton.pdf). Perancis membangunkan mercusuar di pulau itu dan mendirikan sebuah pos militer di sana selama tujuh tahun sebelum ditinggalkan. Lihat Heflin (2000), khususnya perbincangan tentang kasus Palmas dan Clipperton. 9

Ciri utama dari hal ini adalah arus konstan tindakan administrasi Singapura sehubungan dengan Pedra

Branca, kontras dengan ketiadaan kegiatan lengkap pihak Malaysia di Pedra Branca atau di dalam perairan teritorial, dan Malaysia secara diam menghadapi semua kegiatan negara Singapura ... sikap berdiam diri tersebut pada bagian Malaysia adalah signifikan dan harus diartikan bahwa Malaysia tidak pernah menganggap Pedra Branca sebagai wilayahnya (Lydia Lim, Malaysia‘s 130-year silence ‗speaks volumes‘, The Straits Times, 7 November 2007). Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Singapura memiliki kedaulatan atas pulau Pedra Branca/ Batu Puteh (lihat Press Release 2008/10, International Court of Justice, 23 Mei 2008). 10

Sengketa itu dibawa ke Mahkamah Internasional dan pada 17 Desember 2002, diputuskan bahwa

kedaulatan Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia berdasarkan effectivitès yang membawa maksud yang sama. Namun keputusan itu tidak menyelesaikan pertanyaan perairan teritorial dan batas maritim. Hal ini memungkinkan sengketa perairan teritorial tetap tidak terselesaikan. Perselisihan blok Ambalat kini dapat dilihat terus menjadi bagian dari sengketa perairan teritorial tersebut.

131


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

siapakah yang memberi kepedulian yang berkelanjutan kepada pulau yang diklaim. Secara mudah, kesemua kasus tersebut menjawab pertanyaan siapa yang sebenarnya menjaga pulau yang dimaksudkan. Dalam kasus Liancourt Rocks, pertanyaan tersebut sudah tentu lebih menguntungkan klaim Korea karena Korea sesudah Perang Dunia Kedua terus mengelola pulau tersebut.

Berdasarkan standar keputusan bagi kasus pulau Palmas (atau Miangas) dan Clipperton, Sean (2005: 87) memperdebatkan bahwa manifestasi kedaulatan Korea, termasuk terwujudnya penduduk Korea permanen dan pembangunan infrastruktur, seharusnya membuktikan secukupnya untuk menunjukkan pendudukan Korea yang efektif. Kata Sean seterusnya, pendudukan Jepang, sebaliknya, tidak terus-menerus dan hanya terjadi pada saat kerusuhan. Tidak ada indikasi kehadiran Jepang di pulau tersebut sejak Perang Dunia Kedua berakhir. Korea Selatan memiliki kelebihan yang lebih besar dibandingkan dengan Jepang karena Korea Selatan mempunyai pemilikan de facto atas pulau-pulau itu dan telah menjalankan berbagai proyek infrastruktur dan prasarana. Seperti yang ditunjukkan lewat keputusan Palmas, badan pengadilan internasional mengutamakan pada kepentingan membangun kedaulatan melalui tindakan positif, terutama ketika menempati wilayah. Pemilikan efektif dari Korea selama ini atas

Liancourt

Rocks

pada

umumnya

memperkukuhkan

klaim

Korea

Selatan.

Mempertimbangkan bukti yang disajikan oleh kedua belah pihak, berdasarkan dokumen sejarah dan hukum, Korea Selatan mempunyai klaim yang lebih kuat atas Liancourt Rocks karena telah terwujud tindakan afirmatif kedaulatan yang lebih besar – seperti yang diharuskan oleh prinsip hukum internasional - di pulau itu dan di sekitar wilayah sengketa.

Kesimpulan

Perselisihan antara Korea dan Jepang atas Liancourt Rocks akan terus-menerus terjadi untuk sementara waktu. Di tengah-tengah pertukaran tenaga manusia dan budaya, perseteruan antar negara tetangga ini telah diperdalam selama sejarah, terutamanya sejak 2000. Jepang

132


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

meningkatkan klaim teritorial atas Liancourt Rocks dalam buku pelajaran sekolah dan dokumen pertahanannya. Sebagai tanggapan, pemerintah Korea telah meningkatkan upaya untuk menyebarkan fakta bahwa Dokdo adalah bagian dari Korea (Kang 2010). Chung Jae-jeong, Presiden Yayasan Sejarah Asia Timur Laut, menganggap pengintensifan klaim wilayah antara kedua belah pihak sejak 2000 sebagai "a war over history (perang atas sejarah)" (Kang 2010). Sejarawan mengatakan berakhirnya Perang Dingin mungkin mendorong kedua negara untuk meningkatkan klaim wilayah, yang selama ini bagai dipendam atas nama keamanan. "Dalam era pasca Perang Dingin, semakin banyak negara, termasuk Cina, memilih nasionalisme. Peningkatan upaya klaim wilayah di Korea dan Jepang harus dipahami dalam konteks nasionalisme ini‖ (Kang 2010). Pada saat ini, kedua negara hanya mencoba untuk melewati masalah pulau ini dalam semangat kompromi dan persetujuan dalam rangka menuntaskan hubungan diplomasi yang lebih baik. Untuk mengurangi isu ini supaya tidak menjadi lebih panas, sewaktu perselisihan masih berlanjutan, kedua negara seharusnya bersepakat untuk menggunakan kedua nama Laut Jepang dan Laut Timur -- tempat Liancourt Rocks berada -secara serentak pada pertemuan internasional demi objektivitas. Sementara semua argumen dan dokumen perjanjian yang melibatkan pulau ini yang dibentuk sewaktu Jepang berperang di Asia Timur (misalnya Perang Cina-Jepang pertama 1894-1895, Perang Rusia-Jepang 1904-1905 dan penjajahan Jepang atas Korea 1910-1945) tidak seharusnya digunakan sebagai kerangka acuan karena selama periode tersebut, Jepang berkuasa sehingga mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Semenanjung Korea secara langsung maupun tidak langsung; isu dan argumen yang dibangkitkan dalam tempo Perang Korea (1950-1953) juga tidak sesuai digunakan sebagai bukti karena semua itu tidak adil terhadap Korea yang pada waktu itu ibarat si bisu. Walaupun Korea Selatan menyatakan sudah jelas pulau tersebut menjadi milik mereka dan tidak harus dibawa ke mahkamah internasional seperti yang pernah disarankan oleh Jepang, persoalannya masih adakah gelanggang lain kecuali dibiarkan isu ini berlanjutan?

Penulis: Lim Kim-Hui

133


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Ph. D. (Universitas Hamburg, Jerman), pernah bertugas sebagai dosen di Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010) dan kini Profesor tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. E-mail: limkimhui@yahoo.com

Daftar Pustaka

Brooke, James. 2004 A postage stamp island sets off a continental debate. The New York Times, January

28.

Diperoleh:

http://www.nytimes.com/learning/teachers/featured_articles/

20040128wednesday.html. Akses: 28.08.2010.

Burress, Charles. 2006. 'Dokdo Riders' on world tour for rocks. Korean students promote rights to 2 disputed islands. San Francisco Chronicle, April 1. Diperoleh: http://www.sfgate.com/cgibin/article.cgi?f=/c/a/2006/04/01/BAGANI1TT31.DTL&hw=Dokdo+Riders&sn=001&sc=1000. Akses: 27.08.2010.

Choe, Sang-Hun. 2008a. A fierce Korean pride in a lonely group of islets. The New York Times, August

28.

Diperoleh:

http://www.nytimes.com/2008/08/28/world/asia/28iht-

island.2.15713708.html. Akses: 27.08.2010.

Choe, Sang-Hun. 2008b. Desolate Dots in the Sea Stir Deep Emotions as South Korea Resists a Japanese

Claim.

The

New

York

Times,

August

30.

Diperoleh:

http://www.nytimes.com/2008/08/31/world/asia/31islands.html?pagewanted=all.

Akses:

27.08.2010.

Dokdo Research Institute. 2009. The Truth: Dokdo is Korean Territory. A Rebuttal to the

134


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Japanese

Foreign

Ministry‘s

2008

Brochure

on

Dokdo.

Diperoleh:

http://english.dokdohistory.com/upload/board/fckeditor/file/UPLOAD/The%20Truth.pdf. Akses: 29.08.2010.

Fern, Sean. 2005. Tokdo or Takeshima? The International Law of Territorial Acquisition in the Japan-Korea Island Dispute. Stanford Journal of East Asian Affairs, 5(1): 78-89.

Gyongsangbuk-do.

2001a.

Exploring

Dokdo:

Value

as

Fish

Tank.

Diperoleh:

http://www.dokdo.go.kr/eng/html/introduction/fish.jsp. Akses: 26.08.2010.

Gyongsangbuk-do.

2001b.

People

of

Dokdo.

Diperoleh:

http://en.dokdo.go.kr/

korean_dokdo_people_of_dokdo.do. Akses: 27.08.2010.

Heflin, William B. 2000. Diayou/Senkaku Islands Dispute: Japan and China, Oceans Apart. Asia n Pacific Law and Policy Journal, 18: 1-22.

Island of Palmas. (archived from the original on 2008-05-28), Scott, Hague Court Reports 2d 83 (1932) (Perm. Ct. 4rb. 1928), Abridgement and notes by Kurt Taylor Gaubatz. Diperoleh: http://web.archive.org/web/20080528174538/http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. Akses: 28.08.2010.

Kang, Hyun-kyung. 2010. Korean culture 'invades' Japan, a century after annexation. The Korea Times,

August

27.

Diperoleh:

http://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2010/08/

117_72123.html. Akses: 27.08.2010.

Koh, Byung Chul. 2007. Between Discord and Cooperation. Japan and the Two Koreas. Seoul: Yonsei University Press.

Ministry of Foreign Affairs of Japan. 2008. 10 Issues of Takeshima. February. Diperoleh:

135


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/takeshima/pamphlet_e.pdf. Akses: 29.08.2010.

McCurry, Justin. 2010. Rocky relations between Japan and South Korea over disputed islands. 18

August.

Diperoleh:

http://www.guardian.co.uk/world/2010/aug/18/japan-south-korea-

disputed-islandshttp://www.guardian.co.uk/world/2010/aug/18/japan-south-korea-disputedislands. Akses: 23.08.2010.

Northeast Asian History Foundation. 2008. Dokdo Research Institute. Diperoleh: http://english.dokdohistory.com/. Akses: 23.08.2010.

Park, Min-Young. 2010. Korean readers get picky about Japanese novels. The Korea Herald, 24 August.

Shimane Prefecture. t.th. (a). Historically, Takeshima belongs to Japan. Diperoleh: http://www.pref.shimane.lg.jp/soumu/takesima_eng/take4.html. Akses: 26.08.2010.

Shimane Prefecture. t.th (b). According to International Law, Takeshima belongs to Japan. Diperoleh: http://www.pref.shimane.lg.jp/soumu/takesima_eng/take5.html. Akses: 26.08.2010.

Song, Woong-ki. 2010. Variety in content is key to success in Japan. The Korea Herald, 24 August.

Yoo, Soh-jung. 2010. More accept use of ‗East Sea‘, ‗Sea of Japan‘. The Korea Herald, 23 August.

136


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

MASALAH WANITA PENGHIBUR JUGUN IANFU: ANTARA KRIMINALITAS, MARTABAT BANGSA, DAN PERMAINAN SEMANTIK

Lim Kim-Hui (Dosen Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010) Profesor tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan

Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (dalam bahasa Inggris dikenali sebagai comfort women 11 ) yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia Kedua di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (termasuk Singapura pada waktu itu), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, dan penduduk kepulauan Pasifik. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dalang sebenar di 11

Untuk

senarai

daftar

pustaka

tentang

―comfort

http://www.gwu.edu/~memory/research/bibliography/comfortwomen.html.

137

women‖,

silakan

rujuk:


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

balik operasi rumah pelacuran ini sering menjadi isu perdebatan antara Jepang dengan negara tetangganya. Jumlah dan sifat wanita penghibur yang melayani militer Jepang selama Perang Dunia Kedua juga masih aktif diperdebatkan, dan masalahnya masih sangat politis di Jepang dan Asia Timur Jauh. Banyak bordil militer dijalankan oleh agen-agen swasta dan diawasi oleh tentara Jepang. Beberapa sejarawan Jepang, dengan menggunakan kesaksian mantan wanita penghibur, berpendapat bahwa Tentara Kekaisaran Jepang dan Angkatan Lautnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam memaksa, menipu, menjebak, dan menculik wanita muda di seluruh koloni Asia dan wilayah-wilayah pendudukan Jepang (Onishi 2007). Namun sejarawan Jepang Hata Ikuhiko, cenderung mengambil pendirian revisionis dengan menyatakan bahwa tidak ada perekrutan paksa wanita penghibur yang diatur oleh pemerintah atau militer Jepang (Ikuhiko 2007). Menurut Soh (2001), perkiraan jumlah wanita penghibur berkisar antara 50.000 dan 200.000 orang. Hal ini diyakini bahwa sebagian besar adalah orang Korea. Bagaimanapun, sejarawan dan peneliti telah menyatakan bahwa mayoritas mereka berasal dari Korea, Cina, Jepang dan Filipina, tetapi ada juga perempuan dari Thailand, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Indonesia, dan wilayah pendudukan Jepang lainnya yang ditempatkan dalam "stasiun hiburan" ini. Didirikan antara 1932 dan 1945, sistem perbudakan seksual militer ini diberi nama yang terdengar tidak berbahaya - "sistem wanita penghibur." Menurut dokumen peninggalan sejarah yang masih ada dan kesaksian para wanita penghibur dan mantan tentara, ribuan "wanita penghibur" ini secara sistematis ditangkap dan ditahan di sini, tempat mereka dikatakan berulang-ulang diperkosa, dihina, dan didera oleh anggota militer Jepang.

Penggunaan Istilah “Ianfu” (Wanita Penghibur)

Istilah ―ianfu‖ itu sendiri adalah singkatan yang diterjemahkan dari bahasa Jepang beraksara Cina (atau disebut kanji). Sebagai karakter Cina 慰安 [i: an] (comfort or solace) dan 婦 [fu] (woman or wife) secara harfiah menyarankan bahwa tujuan wanita itu untuk menawarkan hiburan kepada Pasukan Imperial Jepang, sementara sistem ianfu digunakan untuk mendapatkan wanita untuk kepuasan seksual kepada prajurit Jepang (Orreill t.th.: 129). Eufemisme ―wanita

138


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

penghibur‖ (ianfu) ini diciptakan oleh Kekaisaran Jepang untuk merujuk kepada perempuan muda dari berbagai latar belakang etnis dan nasional dan keadaan sosial yang dipaksa untuk menawarkan layanan seksual kepada pasukan Jepang sebelum dan selama Perang Dunia Kedua. Sejumlah anak di bawah umur dikatakan dijual untuk tujuan pelacuran; lainnya direkrut oleh perantara dengan cara menipu; masih lainnya diculik secara paksa. Koran berbahasa Inggris di Taiwan, yaitu Taipei Times mengatakan bahwa ekspos pertama penggunaan wanita penghibur Korea dapat ditemukan di Jepang dalam novel tulisan Tamura Taijiro pada tahun 1947 berjudul A Prostitute‟s Story. Dan pada 1973, Senda Kako, seorang wartawan Jepang, menerbitkan sebuah cerita berkenaan wanita penghibur militer, menyelidiki kondisi sebenarnya wanita penghibur ini dan bagaimana mereka bertahan di bawah sistem perbudakan seksual. Namun begitu, kedua laporan ini tidak mendapat banyak perhatian dan isu ini tidak dikenal luas sehingga pada 1991 ketika tiga mantan wanita penghibur Korea mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik Tokyo menuntut permintaan maaf dan kompensasi dari pemerintah Jepang (Lin 2000). Meskipun begitu, para demonstran sayap kanan Jepang berteriak waktu itu bahwa para wanita ini melakukannya secara sukarela karena mereka ini hanyalah pelacur. Sejak itu, gerakan ini telah berkembang sehingga termasuk wanita penghibur dari bekas koloni Jepang lain, termasuk Cina, Taiwan, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Timor Timur. Sampai hari ini, gerakan internasional itu telah terus-menerus menekan pemerintah Jepang untuk mengambil tidak sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga hukuman terhadap prostitusi paksa (Lin 2000). Koran Jepang Yomiuri Shimbun bagaimanapun juga menyatakan bahwa wanita penghibur ini tidak diperlakukan sebagai "personil paramiliter", seperti jugun kangofu (perawat militer) dan jugun kisha (wartawan militer). Artikel itu mengatakan, selama perang, perempuan penghibur ini tidak disebut wanita penghibur militer (従军慰安妇, jugun ianfu) dan penggunaan istilah ini hanya tersebar dalam periode pascaperang (Yomiuri Shimbun 2007).

Penelitian sejarah ke dalam pemerintahan Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah kepada budak seks, moral dan efektivitas militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua,

139


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengontrol penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat bagi tentara (Wikipedia 2010). Persoalan ―wanita penghibur‖ ini kini menjadi perdebatan internasional antara Jepang dengan negara-negara tetangganya dan negara-negara pendukung hak asasi manusia di Barat. Persoalannya apakah pemerintah Jepang atau militer Jepang merekrut ―wanita penghibur‖ secara paksa dan secara langsung maupun tidak langsung membantu mendirikan ―stasiun penghibur‖ ini. Dalam menghadapi tekanan internasional berkaitan dengan isu tersebut, penulis melihat penguasa Jepang sering berusaha mengalihkan isu ―wanita penghibur‖ ini sehingga menjadi isu perdebatan semantik tentang maksud perkataan ―paksa‖ itu sendiri.

Artikel ini berusaha mengupas isu ―wanita penghibur‖ yang substansinya sebenarnya suatu isu kriminalitas militer perang telah berkembang menjadi isu ―martabat (harga diri)‖ dan ―permainan semantik‖ yang mengganggu hubungan Jepang dengan tetangganya khususnya Korea dan Cina. Dengan mengambil Jerman sebagai rujukan, penulis melihat Jepang sebaiknya memikul tanggung jawab moral secara kolektif atas isu ―wanita penghibur‖ ini sebagai usaha penebusan dosa Perang Dunia Kedua demi berhadapan dengan dunia internasional secara lebih bermartabat. Penulis bagaimanapun mendapati politisi Jepang sering bermain dengan bahasa dalam soal apologi ini sehingga mudah dilihat sebagai tidak ikhlas dalam menangani isu tersebut.

Wanita Penghibur yang Tidak “Menghibur” Hubungan Korea-Jepang: Dari Kriminalitas ke Martabat Bangsa

Hal ―wanita penghibur‖ ini sebagian besarnya menjadi perhatian internasional berikutan gerakan wanita Korea yang berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan kompensasi bagi para korban wanita penghibur. Terdapat tiga insiden yang mencetuskan momentum terhadap isu ini,

140


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

demikian menurut Soh (2001). Pada 1991, ada dua peristiwa penting menggembleng gerakan wanita Korea. Pada Agustus, Kim Hak-sun bersaksi di depan umum tentang penderitaannya sebagai mantan wanita penghibur, dan pada Desember gugatan diajukan terhadap Jepang oleh tiga puluh lima warga Korea, termasuk tiga mantan wanita penghibur. Penampilan pribadi Kim di Tokyo sebagai seorang mantan wanita penghibur dan penggugat menarik perhatian, baik Jepang maupun masyarakat dunia. Satu lagi acara terjadi pada 11 Januari 1992, ketika Asahi Shimbun melaporkan bahwa Yoshiaki Yoshimi, sejarawan Jepang, telah menemukan beberapa dokumen resmi perang di Perpustakaan Nasional Institut Studi Pertahanan di Tokyo. Berbeda dengan posisi resmi Jepang sampai saat itu, dokumen-dokumen ini mengungkapkan bahwa tentara Kekaisaran Jepang terlibat dalam mendirikan dan mengoperasikan stasiun penghibur. Hal ini menimbulkan sensasi dan memaksa pemerintah, yang diwakili oleh Ketua Sekretaris Kabinet, Koichi Kato, mengakui beberapa fakta tersebut pada hari yang sama. Pada 17 Januari 1992, Perdana Menteri Kiichi Miyazawa membuat permintaan maaf resmi atas penderitaan para korban sewaktu kunjungannya ke Korea Selatan.

Sebelum itu, pada November 1990, Dewan Korea yang Dibentuk untuk Wanita Perbudakan Seksual Militer Jepang (Han'guk Chongsindaemunje Taech'aek Hyopuihoe, 한국 정신대 문제 대책 협의회; 韩国队挺身问题对策协议会) didirikan di Korea Selatan. Pada Maret 1992, organisasi nonpemerintah Korea Selatan ini mengajukan banding ke Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia supaya diselidiki masalah wanita penghibur (Soh 2001). Pada Desember 1992, Dewan Korea ini melakukan kutipan dana nasional untuk membantu para korban. Pada Maret, 1993, Presiden Korea, Kim Young Sam, mengumumkan bahwa Seoul tidak akan meminta kompensasi materi dari Jepang untuk mantan wanita penghibur, tetapi beliau mendesak Tokyo untuk menyelidiki masalah ini dengan cermat dan mengumumkan kebenarannya secara terbuka. Kebijakan Kim dilihat sebagai suatu usaha untuk mengintai posisi "superioritas moral" untuk Korea dalam membentuk hubungan baru dengan Jepang di masa depan. Pemerintah Korea sesudah itu meluluskan sebuah rancangan khusus undang-undang memberikan pembayaran satu kali lima juta won (sekitar US $ 6.250) ditambah dengan jumlah tambahan bulanan kepada

141


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

setiap mantan wanita penghibur. Dalam menghadapi masalah tekanan dari dalam dan luar negara, pemerintah Jepang akhirnya terpaksa mengubah pendirian dari penolakan total yang kaku pada mengakuinya mengoperasikan sistem wanita penghibur. Setelah beberapa penelitian pemerintah dalam hal tersebut, Yohei Kono, Ketua Sekretaris Kabinet pemerintah Jepang, mengeluarkan pernyataan pada 4 Agustus 1993. Dalam pernyataan ini, pemerintah Jepang mengakui bahwa:

As a result of the study which indicates that comfort stations were operated in extensive areas for long periods, it is apparent that there existed a great number of comfort women. Comfort stations were operated in response to the request of the military authorities of the day. The then Japanese military was, directly or indirectly, involved in the establishment and management of the comfort stations and the transfer of comfort women. The recruitment of the comfort women was conducted mainly by private recruiters who acted in response to the request of the military. The Government study has revealed that in many cases they were recruited against their own will, through coaxing coercion, etc., and that, at times, administrative/military personnel directly took part in the recruitments. They lived in misery at comfort stations under a coercive atmosphere (Sebagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa stasiun penghibur dioperasikan di daerah yang luas untuk jangka waktu yang lama, jelas bahwa ada sejumlah besar wanita penghibur. Stasiun penghibur ini dioperasikan sebagai tanggapan terhadap permintaan penguasa militer waktu itu. Militer Jepang kemudiannya, secara langsung atau tidak langsung, terlibat dalam pendirian dan pengelolaan stasiun penghibur dan pemindahan wanita penghibur. Rekrutmen dari wanita penghibur ini dilakukan terutama oleh perekrut swasta yang bertindak sebagai tanggapan atas permintaan militer. Penelitian Pemerintah telah mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, mereka direkrut tanpa kerelaan mereka, melalui paksaan membujuk dll, dan bahwa, administrasi / personil militer kadang-kadang secara langsung mengambil bagian dalam perekrutan tersebut. Mereka hidup dalam penderitaan di stasiun penghibur

142


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dalam suasana koersif) (Kono 1993).

Meskipun pernyataan ini ditawarkan sebagai permintaan maaf, Jepang dilihat amat berhati-hati dalam pemilihan kata, mengakui peran bordil militer secara yang tidak ditentukan, tetapi menolak tanggung jawab hukum. Jepang turut menolak pelacuran sebagai suatu sistem dan bukan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai tindakan balas terhadap kritikan luar, pada tahun 1995 pemerintah Jepang membentuk Asian Women's Fund (AWF) yang terdiri dari sarjana, untuk meningkatkan sumbangan pribadi dari warganegara Jepang sebagai kompensasi untuk korban dari sistem wanita penghibur. Lewat langkah ini, Tokyo bagaimanapun dilihat seperti menolak untuk bertanggungjawab atau tidak meladeni klaim oleh individu untuk kompensasi korban karena menurut mereka kejahatan atau kriminalitas itu dilakukan lebih dari 50 tahun yang lalu dan tidak boleh dijatuhkan hukuman lagi di bawah undang-undang Jepang karena keterbatasan tersebut. Tokyo juga berpendapat masalah kompensasi tentang semua yang terkait dengan perang telah diselesaikan dalam perjanjian bilateral setelah perang.

Bagaimanapun hal ini dilihat Korea sebagai soal ―harga diri‖ sebuah bangsa dan bukan tuntutan kompensasi materi dari Jepang. Antara 1996 dan 1997 ada dua lagi kampanye kutipan dana Korea diluncurkan untuk melawan godaan korban untuk menerima uang dari Asian Women's Fund Jepang. Selama periode ini, tujuh korban Korea menerima uang AWF. Hal ini menyebabkan kemarahan dan kritik tajam dari kalangan aktivis Korea. Pada April 1998, atas permintaan Dewan Korea, pemerintah Kim Dae Jung menyetujui pembayaran sebanyak 31.500.000 won uang dukungan selanjutnya untuk sekitar 140 korban, yang diminta berjanji untuk tidak menerima uang AWF (Soh 2001). 12

Dari perspektif kelompok yang menuntut kompensasi negara di Jepang dan di tempat lain, AWF adalah sebuah rancangan Jepang untuk menghindari tanggung jawab hukum. Jadi, AWF menjadi kontroversial bahkan sebelum kelahirannya lagi, dan pembentukan pada Juli 1995 telah 12

Untuk perbincangan lebih lanjut Soh tentang tema wanita penghibur, silakan rujuk Soh (2008).

143


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

memberikan kontribusi terhadap perpecahan di antara aktivis pro-wanita penghibur di Jepang dan Filipina. Para pendukung kompensasi negara telah mengadakan aksi unjuk rasa dan konferensi di Jepang dan di tempat lain bagi menyeru supaya AWF dihapuskan. Namun sebagian masalah tanggung jawab hukum dan moral Jepang juga melibatkan sikap negaranegara Barat yang mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia Kedua. Mengapa isu wanita penghibur sebagai kejahatan perang mengambil waktu hampir setengah abad sebelum tiba-tiba muncul dalam masyarakat internasional pada 1990-an? Apakah pihak Bersekutu benar-benar tidak tahu tentang hal itu pada akhir perang? Demikian dipertanyakan Soh (2001) dalam tulisannya. Tambahan lagi, di antara sekitar lima puluh pengadilan militer yang diselenggarakan di berbagai tempat di Asia antara tahun 1945 dan 1951, hanya satu pengadilan, yang dilakukan oleh Belanda di Batavia (sekarang Jakarta), menjatuhkan hukuman keras (termasuk satu eksekusi) untuk perwira Jepang yang memaksa wanita Belanda ke perbudakan seksual. Sidang Batavia demikian mengakui ―prostitusi paksa" (untuk menggunakan istilah pemerintah Belanda) tiga puluh lima wanita Belanda sebagai kejahatan perang. Namun, penderitaan serupa diabaikan terhadap sejumlah lebih besar perempuan pribumi di Indonesia, belum lagi korban wanita di negara-negara Asia lainnya (Soh 2001).

Politik Penyangkalan dan Apologi Jepang: Antara Retorika dengan Keikhlasan

Meskipun pemerintah Jepang tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf atau penyesalan atas pemerintahan kolonialnya di Korea sampai tahun 1992, ada sejumlah kecil intelektual progresif di Jepang telah berulang-ulang menyerukan kepada pemerintah mereka untuk menghadapi masalah dominasi kolonial Jepang sejak kontroversi buku teks 198213 dengan jujur. 13

Pada 26 Juni 1982, sistem otorisasi buku teks Jepang menjadi suatu isu diplomatik utama untuk pertam

a kalinya sewaktu Asahi Shimbun, salah sebuah surat kabar besar nasional terkemuka di Jepang, melapork an bahwa Kementerian Pendidikan Jepang menuntut sebuah buku teks sejarah yang menyatakan bahwa te ntara Jepang menyerang (äžľç•Ľ) Cina Utara, ditulis ulang dengan menggunakan frase "maju ke dalamčż›čĄŒ

144


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Sebuah pernyataan publik yang dibuat oleh delapan intelektual Jepang pada 14 Agustus 1982, meminta kedua pemerintah dan rakyat untuk mengakui dan meminta maaf kepada Korea atas agresi Jepang dan ketidakadilan kolonial, termasuk mantan wanita penghibur yang direkrut dengan dalih ―korps tenaga kerja sukarela/volunteer labor corps‖ (Teishintai atau Chongsindae masing-masing dalam bahasa Jepang dan Korea) dan yang tewas di Laut Selatan. Empat dari delapan penandatangan tersebut adalah profesor, termasuk sejarawan Wada Haruki dari Universitas Tokyo, yaitu seorang kritikus terkemuka yang mengkritik kekurangan tanggapan Jepang terhadap kelakuan buruk kolonial dan tanggung jawab perang. Bagaimanapun Wada adalah salah seorang pendukung AWF. Meskipun bukan salah seorang penandatangan laporan tahun 1982, sejarawan feminis Yuko Suzuki pula secara terus terang mengkritik sistem penghibur Jepang yang didefinisikannya sebagai "kejahatan negara" (kokka hanzai) dalam satu esainya pada 1 Februari 1990, di Mainichi Shimbun (Soh 2001). Di dalamnya, beliau menyerukan agar negara Jepang memohon penebusan dosa walaupun terlambat tapi perlu kepada para mantan wanita penghibur agar Jepang dapat hidup sebagai ―bangsa bermoral". Namun, Suzuki telah memainkan peranan utama dalam kelompok anti-AWF.

Gerakan transnasional ganti rugi bagi korban ianfu berasal dari Korea Selatan sebagai gerakan wanita melawan wisata seks pengunjung laki-laki Jepang. Hal ini berkembang menjadi sengketa pascakolonial antara Jepang dan Korea. Kedua negara memiliki pandangan yang bertentangan mengenai legitimasi penjajahan Jepang atas Korea. Kontroversi buku teks sejarah tahun 1982 di Jepang, yang dimulai sebagai perselisihan domestik dan diperluas menjadi insiden internasional yang melibatkan terutama Cina dan Korea. Peristiwa tersebut merefleksikan pandangan nasionalis Jepang terhadap penjajahan Korea dan cara Jepang melihat perang imperialis sebagai bergerak ―maju ke dalam (advance)‖ bukannya "agresi" terhadap negara-negara tetangganya. Pandangan nasionalis seperti itu terus-menerus menjadi sumber fundamental bagi ketegangan dan perselisihan Jepang sesudah perang atas kolonisasi Korea pada umumnya dan bagi para " dan bukannya menyerang. Setelah mendengar berita ini, pemerintah Cina membuat protes keras atas Jep ang.

145


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

korban wanita penghibur khususnya (Soh 2001). Orang bukan Jepang, terutamanya Cina, merasakan Jepang kekurangan rasa menyesal kolektif tentang dosa masa lalu karena terusmenerus menyangkal sejarah dan sengaja menimbulkan kemarahan tetangga mereka dengan melakukan kunjungan kehormatan kepada tentara Jepang yang meninggal dalam Perang Dunia Kedua, misalnya beberapa kunjungan resmi oleh Junichi Koizumi di kuil Yasukuni. Meskipun kalah dalam Perang Dunia Kedua, masih banyak nasionalis Jepang modern yang hidup dalam keadaan penyangkalan sejarah. Yang terakhir misalnya esai yang diterbitkan oleh Tamagami Toshio, kepala Bela Diri Angkatan Udara Jepang14, pada 31 Oktober 2008, yang menyatakan bahwa Jepang bukan agresor dalam Perang Dunia Kedua, tetapi mereka hanya membela diri. Karena itu perang hanya membela diri, untuk melindungi wilayah hukum, yaitu Manchukuo (Timur Laut China) dan Korea dari serangan komunis. Makalah tersebut, yang pada mulanya memenangkan ÂĽ 3.000.000 dalam pertandingan esai, juga berpendapat bahwa perang tersebut membawa kemakmuran kepada Cina, Taiwan, dan Korea. Tindakan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang bukanlah suatu kekerasan, dan Greater East Asia War dipandang oleh banyak orang negara Asia dengan cara yang positif. Dia juga mengkritik pengadilan kejahatan perang yang dijalankan sesudah perang. Dalam laporan tentang masalah ini, The Economist (November 8, 2008) menyimpulkan bahwa Jepang selalu hidup dalam fantasi historis:

Even Yasukuni has toned down the exhibits in its notorious museum, where until recently militarism was celebrated and all atrocities denied. The most notable denial was of the Nanjing massacre of tens (or possibly hundreds) of thousands of Chinese in December 1937. Now the museum admits that killings took place, but suggests they were of enemy soldiers disguised as civilians. This is the problem with the historical fantasists. Even as they moderate their public message, they leave you waiting for the “but�. (Bahkan Yasukuni telah menurunkan kejelekan pameran di museum yang terkenal buruknya, di mana militerisme sampai saat ini dirayakan dan semua kekejaman ditolak. Penolakan paling menonjol adalah 14

Untuk menjauhkan isu ini dalam kaitannya dengan Pemerintah, Tamogami kemudian diberhentikan

dari jabatannya dengan tunjangan kompensasi sebanyak 60 juta yen.

146


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menyangkal pembunuhan besar-besaran puluhan (atau mungkin ratusan) ribu orang Cina di Nanjing pada Desember 1937. Sekarang museum tersebut mengakui bahwa pembunuhan terjadi, tetapi menunjukkan bahwa mereka adalah tentara musuh yang menyamar sebagai warga sipil. Ini adalah masalah dengan orang yang mempunyai fantasi sejarah. Bahkan ketika mereka sedang menyampaikan pesan publik mereka, mereka membiarkan Anda untuk menunggu perkataan "tetapi").

Orang Jepang sering menyatakan mereka unik dan orang bukan Jepang sulit untuk mengerti tentang diri mereka, apa lagi Nihongo, bahasa Jepang. Permainan bahasa seperti ini antara ―advance‖ dengan ―agression‖ (maju ke depan dengan menceroboh) menjadi cara Jepang mengalihkan perhatian daripada berhadapan dengan dosa masa silamnya. Pada Juli 1992, pemerintah Jepang menerbitkan laporan pertamanya tentang "wanita penghibur" dan di dalamnya ia mengakui bahwa ada keterlibatan pemerintah dalam menjalankan "stasiun penghibur" selama Perang Dunia Kedua. Laporan itu bagaimanapun mengatakan bahwa pemerintah telah gagal untuk menemukan bukti bahwa wanita penghibur dipaksa untuk memberikan seks kepada tentara Jepang. Berhadapan dengan kritik dari negara-negara Asia, khususnya Korea Selatan, pemerintah Jepang memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan, merilis laporan kedua mengenai masalah ini pada Agustus 1993 (Asahi Shinbun 5 Agustus 1993; Japan Times, 5 Agustus, 1993. Dalam Koh: 357). Dalam laporan kedua ini, yang diresmikan pada hari sebelum pemerintahan Miyazawa berakhir, pemerintah Jepang mengubah posisi sebelumnya dan mengakui untuk pertama kalinya bahwa kuasa telah digunakan dalam merekrut "wanita penghibur." Dengan berdasarkan kesimpulan pada wawancara dengan 16 mantan "wanita penghibur" dari Korea Selatan, laporan itu dengan berhati-hati menghindari menggunakan kata subete (dalam segala) berhubung dengan penggunaan paksaan (kyosei), memilih sebaliknya ekspresi yang lebih terbatas, yaitu sojite (pada keseluruhan atau umumnya). Bagaimanapun laporan itu ada yang mengatakan bahwa penguasa militer Jepang secara konstan menguasai "wanita penghibur," dan "ini adalah jelas bahwa wanita penghibur di bawah kontrol militer harus terpaksa hidup dalam kondisi sengsara tanpa kebebasan" (Ibid. Dalam Koh 2007: 357).

147


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Permainan bahasa yang terbaru seperti ini turut berlaku pada minggu pertama Maret 2007 sebagai tanggapan terhadap suatu resolusi Kongres Amerika. Beberapa minggu sebelumnya, DPR Amerika Serikat mulai memperdebatkan tentang House Resolution 121, yang menyerukan kepada pemerintah Jepang supaya meminta maaf dan memberikan pendidikan publik yang akurat tentang penyalahgunaan "wanita penghibur" pada waktu perang. Itu tidak berarti bahwa Kongres buat pertama kalinya memperdebatkan isu seperti resolusi ini, tetapi pada kesempatan ini perdebatan tersebut menerima perhatian internasional yang sangat besar. Pada 1 Maret, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang menanggapi resolusi Kongres dengan berkomentar bahwa "tidak ada bukti" bahwa rekrutmen "wanita penghibur" telah dilakukan "secara paksa dalam arti kata yang sempit." Berbicara dalam debat komite Diet beberapa hari kemudian, beliau menegaskan pernyataan ini sekali lagi, melakukan klarifikasi fakta bahwa, untuk menjadi "secara paksa dalam arti kata yang sempit," sistem tersebut harus melibatkan "pejabat masuk ke dalam rumah secara paksa seperti penculik dan menculik orang itu dari rumah" (Mainichi Shimbun, evening edition, 5 Maret 2005). Namun begitu, Abe jelas tidak mempunyai masalah dengan proposisi bahwa rekrutmen "wanita penghibur" itu dilakukan secara paksa "dalam arti kata yang luas,‖ dan oleh karena itu merasa tidak mempunyai tanggung jawab historis untuk ini karena ia telah membuat penjelasan bahwa beliau dan pemerintah tidak akan meminta maaf atas apa pun hasil resolusi Kongres AS (Lihat Nikkei Sokuho Nyusu, 5 Maret 2007. Dlm. MorrisSuzuki 2007). Menteri Luar Negerinya pada waktu itu, Taro Aso, juga menyerang resolusi AS, dengan mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang "tidak berdasarkan fakta" (BBC News)15.

Berbanding dengan Jepang, Jerman umumnya lebih berhasil dalam mengakui dosa masa silamnya. Setelah sentimen Nazi dikalahkan, sentimen Neo-Nazi timbul sebagai duri dalam daging, suatu sentimen yang dapat dilihat sebagai tidak pernah merasa bersalah atas dosa-dosa lampau dari satu segi, tetapi rata-rata atau umumnya rakyat Jerman merasa perlu memikul rasa bersalah secara kolektif. Karena itu, muncul istilah Vergangenheitsbewaeltigung. Secara harfiah 15

Lihat BBC News, Japan anger at US sex slave bill. Diperoleh: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-

pacific/6374961.stm. Akses: 31.08.2010.

148


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

kata ini berarti "solusi masa lampau" atau lebih tepat diterjemahkan sebagai "menangani masa lalu." Vergangenheitsbewaeltigung secara lebih khusus pula berarti menghadapi masa lampau yang ditinggalkan oleh Nazi dengan sejumlah derajat rasa bersalah yang kolektif. Banyak intelektual Jerman menganggap Vergangenheitsbewaeltigung sebagai dasar dari demokrasi Jerman. Jika orang Jerman tidak dapat melawan masa lalu mereka, demokrasi Jerman mungkin akan sekali lagi diambil alih oleh para nasionalis sempit. Desakan untuk melihat dengan jelas masa lalu berasal dari politisi partai Uni Demokratik Kristen Jerman (Christlich Demokratische Union Deutschlands, singkatannya CDU) seperti mantan Presiden Richard von Weizsaecker, penulis kiri dan pendukung Partai Sosial Demokratik Jerman (Sozialdemokratische Partei Deutschlands, singkatannya SPD) Guenter Grass, dan penulis Heinrich Boell yang menciptakan istilah ini (Roskin 1998; Lihat juga Lim 2008).

Pada Agustus 2000, Undang-Undang Yayasan Jerman mendirikan dana kompensasi puluhan ribu tenaga kerja budak Nazi yang selamat. Sebanyak 5,1 bilion Euro dana dibiayai bersama oleh pemerintah Jerman dan perusahaan yang telah terlibat dalam penggunaan tenaga kerja budak masa perang, dan pada 2005, lebih dari 70.000 klaim untuk kompensasi telah diakui. Beberapa ahli sejarah Jepang menolak dilakukannya perbandingan antara sikap Jepang dan Jerman tentang tanggung jawab perang. Morris-Suzuki (2007) mengakui bahwa memang menyesatkan untuk membuat dikotomi sederhana antara Jerman yang "baik", dalam menangani masa silam, dan Jepang yang "jelek" karena gagal untuk melakukannya. Sikap Jerman terhadap tanggung jawab historis sangat kompleks dan ambigu, dan apalagi di Jerman isu kunci adalah tanggung jawab atas Holocaust, yang tidak memiliki paralel yang jelas dalam sejarah Jepang. Bagaimanapun Morris-Suzuki (2007) menjelaskan bahwa di sebalik perbedaan yang ada, masih ada ruang untuk melihat sikap antara kedua negara itu yang dipengaruhi oleh sikap pemimpin utama politiknya dengan merujuk kepada tanggapan Abe Shinzo dan Aso Taro16. Katanya, di Jepang, sementara masih ada cendekiawan, wartawan, pengacara, dan warga negara biasa yang berani telah berjuang selama puluhan tahun untuk membujuk pemerintah mereka sendiri untuk 16

Reaksi mereka terhadap isu wanita penghibur pada 1 Maret 2007, silakan baca ulasan Dudden &

Mizoguchi (2007).

149


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

mengambil tanggung jawab moral untuk kesalahan masa perang. Bagaimanapun hal ini menjadi percuma oleh sikap politisinya. Sebagai contoh, katanya, dengan mengambil cara Jerman menangani masalah buruh paksa sebagai perbandingan. Menurutnya, dalam masalah kerja paksa, kontras sikap antara Jepang dan Jerman adalah jelas, pada hal Jepang juga merekrut jumlah buruh paksa yang sangat besar untuk bekerja di pertambangan dan pabrik-pabrik masa perang. Dalam kasus Jepang, hal ini termasuk aspek perekrutan paksa terhadap wanita yang ditahan dalam apa yang disebut "stasiun penghibur" yang menjadi sasaran perkosaan dan bentuk-bentuk penyalahgunaan seksual lain di tangan militer Jepang.

Sama seperti tidak ada perselisihan pendapat bahwa Jerman melakukan rekrut kerja paksa, demikian juga tidak dapat diragukan lagi tentang wujudnya "stasiun penghibur." Namun, sementara pemerintah Jerman telah mengakui, meminta maaf dan membayar kompensasi terhadap masalah kerja paksa, politisi Jepang terkemuka telah berulang-ulang menunjukkan keengganan untuk mengakui sifat pemaksaan terhadap perekrutan masa perang Jepang, baik buruh maupun "wanita penghibur". Hal ini sebenarnya yang membedakan Jerman dengan Jepang di mata dunia dalam konteks penebusan dosa sejarah yang mengeruhkan hubungan diplomatik Jepang dengan negara-negara tetangganya, khususnya Cina dan Korea yang akhirnya merugikan rakyat Jepang seluruhnya.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, bukan semua "wanita penghibur" ditangkap secara paksa di bawah todongan senjata, tetapi ada yang dibawa secara paksa seperti itu ke rumah pelacuran. Ada yang dibayar untuk "layanan" mereka, baik sukarela maupun karena paksaan keluarga atau kemiskinan, tetapi banyak yang tidak bertujuan menjual tubuh mereka secara sukarela. Bukan semua "stasiun penghibur" yang secara langsung dikelola oleh militer, tetapi ada contoh-contoh yang secara sistematis melibatkan militer Jepang. Akan tetapi kasus-kasus yang secara sukarela menjadi wanita penghibur sedikit pun tidak bisa meniadakan kenyataan bahwa sebagian besar

150


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dari wanita penghibur ini dipaksa atau ditipu untuk pergi ke ―stasiun penghibur‖ sampai menderita kekerasan seksual dengan konsekuensinya yang mengerikan dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka. Kisah meminta maaf dan kemudian menarik balik apologi atau apologi bersyarat demi kepentingan politik individu kelihatan amat biasa dan dilihat oleh negara-negara tetangga sebagai tidak ikhlas. Kebenaran sejarah telah dikorbankan untuk kebijaksanaan politik jangka pendek. Para korban saat ini, tentunya "wanita penghibur" itu sendiri yang masih hidup, yang sekali lagi menjadi tersinggung oleh retorika moral politisi bangkrut. Namun kelompok lain dari korban adalah orang-orang Jepang sendiri, yang hubungannya dengan negara-negara tetangga menjadi rusak oleh perilaku picik dan tidak kompeten pemimpin politik mereka. Walaupun pahit, Jepang sebaiknya mengambil contoh dari Jerman, mengakui dosa sejarah masa silam dan bangkit sebagai sebuah bangsa yang dihormati pada masa depan.

Penulis: Lim Kim-Hui Ph. D. (Universitas Hamburg, Jerman), pernah bertugas sebagai dosen di Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia (1994-2010) dan kini Profesor tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. E-mail: limkimhui@yahoo.com

151


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Daftar Pustaka

Dudden, Alexis & Mizoguchi, Kozo. 2007. Abe‘s Violent Denial: Japan‘s Prime Minister and the ‗Comfort Women.' The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. March 2. Diperoleh: http://japanfocus.org/-K-MIZOGUCHI/2368. Akses: 31.08.2010.

Ikuhiko, Hata. 2007. No Organized or Forced Recruitment: Misconceptions About Comfort Women and the Japanese Military. Diperoleh: http://hassin.sejp.net/Hata-Ianfu_text.pdf. Akses: 31.08.2010. (First published in Shokun May, 2007 issue in Japanese. Translated by Society for the Dissemination of Historical Fact.)

Koh, Byung Chul. 2007. Between Discord and Cooperation. Japan and the Two Koreas. Seoul: Yonsei University Press.

Kono,

Yohei.

1993.

Statement

by

the

Chief

Cabinet

Secretary

Yohei

Kono

on the result of the study on the issue of "comfort women". August 4. Diperoleh: http://www.mofa.go.jp/policy/women/fund/state9308.html. Akses: 03.09.2010.

Lim, Kim Hui. 2008. Hubungan Konsep dan Politik: Sejarah Mewarnai Perkataan dan Perkataan Mencerminkan Sejarah? Tumpuan kepada Kes Jerman. Jurnal Bahasa. (Brunei), Bil. 13, Januari-April: 59-71.

Lin, Irene. 2000. WWII sex slaves want Japan to wake up. Taipei Times, December 18. Diperoleh:

http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2000/12/18/66017.

Akses:

25.08.2010.

Morris-Suzuki, Tessa. 2007. Japan‘s ‗Comfort Women‘: It's time for the truth (in the ordinary, everyday sense of the word). The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. March 8. Diperoleh: http://japanfocus.org/-Tessa-Morris-Suzuki/2373. Akses: 31.08.2010.

152


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Onishi, Norimitsu. 2007. Denial Reopens Wounds of Japan's Ex-Sex Slaves. The New York Times,

March

8.

Diperoleh:

http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=

9F06E1DE1231F93BA35750C0A9619C8B63. Akses: 31.08.2010.

Orreill, Kirsten. T.th. Who are the Ianfu (Comfort Women)? New Voices, Volume 2: 128-152.

Roskin, Michael G. 1998. Countries and concepts: An introduction to comparative politics. 6th ed. New Jersey: Prentice-Hall.

Soh, C. Sarah. 2001. Japan's Responsibility Toward Comfort Women Survivors. JPRI Working Paper

No.

77,

May.

Diperoleh

daripada:

http://www.jpri.org/publications/

workingpapers/wp77.html. Akses: 24.08.2010.

Soh, C. Sarah. 2008. The Comfort Women: Sexual Violence and Postcolonial Memory in Korea and Japan. Chicago: University of Chicago Press.

Wikipedia. 2010. Jugun Ianfu. Diperoleh: http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_ianfu. Akses: 31.08.2010.

Yomiuri Shimbun. 2007. Background of ―Comfort Women‖ Issue. Comfort station originated in government

regulated

'civilian

prostitution'.

March

31.

Diperoleh:

http://studyofenglish.files.wordpress.com/2007/08/background-of-comfort-women-issue-_13.pdf. Akses: 31.08.2010.

153


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

PARK CHUNG HEE DAN KIM IL SUNG: BAGAIMANA PARK DAPAT MENGALAHKAN KIM?

Yang Seung-Yoon (Hankuk University of Foreign Studies, Korea)

Pendahuluan

Setelah masa feodalisme berakhir, masa persaingan ideologi segera melanda seluruh masyara kat internasional sejak pertengahan abad ke19. Beberapa saat setelah masa kekacauan berlalu ak ibat Perang Dunia II, dunia ini segera terpecah menjadi dua, yaitu wilayah sosialismekomunisme kapitalisme.

internasional Kedua

konsep

ideologi

dan ini

wilayah tentu

memiliki

demokrasikeunggulan

masing-

masing. Satu ideologi menekankan bahwa kekayaan nasional dan kekuatan politik harus dimilik i oleh rakyat umum, sedangkan ideologi yang lain menekankan bahwa posisi pemimpin negara t idak boleh diwariskan kepada orang terdekatnya, melainkan harus dipilih langsung oleh masyar akat umum. Satu pihak lebih mementingkan keadilan sosial, sedangkan satu pihak tersisa lainny a lebih mementingkan kepemimpinan negara. Persaingan untuk memperebutkan pengaruh ideologi secara besar-besaran dimulai oleh Uni Soviet (US) dan Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia II berakhir. Sejak tahun 1945, kedua negara pemimpin ideologi itu meluaskan pengaruhnya dengan seribu daya dalam berbagai lapisan dan mulai campur tangan dalam setiap urusan dan masalah internasional. Korea Utara didirikan oleh Kim Il Sung (1912-1994) atas bantuan dan dukungan Uni Soviet (US) dan Republik Rakyat China (RRC) secara keseluruhan, baik dari segi ideologis, maupun segi ekonomi dan militer. Sedangkan Korea Selatan didirikan oleh Rhee Syngman (1875-1965) atas bantuan dan dukungan Amerika Serikat (AS) dan Dunia Barat. Kemudian pemerintahan Rhee Syngman digulingkan oleh Revolusi Mahasiswa pada bulan April 1960. Masa kepemimpinan Presiden

154


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Park Chung Hee (1917-1979) dimulai sejak tahun 1961 setelah Park berhasil melakukan kudeta pada bulan Mei 1961 setelah Korea berada di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Chang Myeon (1899-1966) selama satu tahun (1960-1961). Karena masing-masing Korea Utara dan Korea Selatan sejak awal telah mengikuti ideologi Dunia Timur dan Dunia Barat, maka Semenanjung Korea yang terbagi dua secara langsung dan otomatis jatuh ke dalam sistem persaingan ideologi internasional. Persaingan yang berlangsung selama setengah abad itu akhirnya berakhir setelah runtuhnya Tembok Berlin. Hal itu sangat mengandung arti bahwa Jerman Timur yang telah mendapat bantuan dan dukungan penuh di bidang ekonomi dan politik oleh Dunia Timur kalah dalam persaingan dengan Jerman Barat yang dibantu dan didukung oleh Dunia Barat. Setelah Tembok Berlin runtuh, kelompok negara di Eropa Timur segera melepaskan diri dari Sekutu Uni Soviet (US). Negara-negara satelit kecil di pinggir US pun akhirnya ikut dilepaskan dari belenggu US dan mendeklarasikan kemerdekaannya. Akhirnya wilayah US pun berkurang dan US berubah menjadi Federasi Rusia (FR). Walaupun waktu sudah berlalu selama 20 tahun setelah berakhirnya masa persaingan ideologi dunia, tetapi masih ada daerah yang masih berada dalam sistem persaingan kekuasaan. Daerah itu berlokasi di Semenanjung Korea yang diduduki oleh Korea Utara dan Korea Selatan. Masyarakat internasional jelas menyadari bahwa masa persaingan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang diwakili oleh Kim Il Sung dan Park Chung Hee sudah berakhir. Namun Korea Utara akhir-akhir ini ingin memperlihatkan keunggulan kekuatan militer yang dimilikinya. Bagaimana Park Chung Hee dapat mengalahkan Kim Il Sung?

Tiga Penyebab Park dapat Mengalahkan Kim

Masa Park Chung Hee sudah berlalu 30 tahun yang lalu setelah beliau dibunuh oleh seorang bawahannya sendiri pada tanggal 26 Oktober 1979. Bagaimana menilai masa pemerintahan Park Chung Hee masih sampai sekarang seringkali menjadi isu panas, karena masih ada banyak pendukung walaupun tidak sedikit juga yang menentang. Yang penting adalah almarhum

155


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Presiden Park Chung Hee masih terus memperoleh dukungan paling banyak di antara 10 orang kepala negara Republik Korea.17 Menurut analisis Harian Chosun Ilbo terbitan 18 Oktober 2009, Park Chung Hee memperoleh 30 persen sedangkan Kim Dae Jung (almarhum) menduduki urutan nomor ke-2 setelah Park dengan 22 persen. Untuk memperingati 30 tahun wafatnya Presiden Park Chung Hee, Yonsei University, Korea dan Australian National University (ANU) menyelenggarakan seminar bersama di Seoul, Korea selama dua hari yaitu pada tanggal 19-20 Oktober 2009. Prof. Hahm Jaebong (Yonsei Univ.), Prof. Paul Hutchcroft (ANU), Dr. Tat Yan Cong (Univ. of London), sejumlah banyak sarjana, dosen, jurnalis internasional ikut serta dalam seminar tersebut. Dr. Park Myung-rim (Yonsei Univ.) terlebih dahulu menjelaskan bahwa pada tahun 1961 ketika Presiden Park mulai meminpin Korea Selatan, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya 82 dollar Amerika, yang berarti jauh lebih sedikit dari pada 195 dollar Amerika yang dimiliki oleh Korea Utara. Akan tetapi pendapatan rakyat umum itu sudah berbalik di masa Presiden Park. Di tahun 1979, yaitu tahun Presiden Park yang terakhir, pendapatan perkapita Korea Selatan sudah melebihi Korea Utara dengan 1.640 dollar Amerika. Pada tahun yang sama pendapatan per kapita Korea Utara hanya sebesar 1.114 dollar Amerika. Faktor pertama yang menunjang keberhasilan Park mengalahkan Kim, menurut Dr. Park Myung-rim, adalah pemerintahan Park Chung Hee memperbolehkan sistem partai oposisi dan sistem pemilihan bebas, walapun tetap digolongkan sebagai pemerintah otoriter. Park memperbolehkan adanya kekuatan politik yang dapat menentang beliau. Hal itu berarti Park dapat memanfaatkan sistem persaingan untuk memperkuat diri dalam negeri untuk bersaing dengan Korea Utara. Dr. Park lebih lanjut menjelaskan faktor kedua, yaitu konflik antar-Korea membiarkan kedua pemerintah Korea Utara-Korea Selatan memperkuat kekuatan dalam negeri masing-masing sambil meningkatkan daya persaingan. Dalam hal itu, Park lebih berhasil dalam mengumpulkan dan memobilisasi tenaga manusia dan enerji yang dimilikinya dari pada Kim. Di masa persaingan Park dan Kim, kebanyakan negara yang sedang berkembang termasuk Korea Utara tengah giatnya mengikuti kecenderungan masyarakat internasional untuk 17

Termasuk Presiden Lee Myung Bak sekarang, dan dua orang kepada negara sementara seperti Chang Myeon

(1960-1961) dan Choi Kyu Ha (1979-1980).

156


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menentang negara-negara kaya di Amerika dan Eropa berdasarkan teori ketergantungan (dependency theory) antara negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang. Akan tetapi Presiden Park lebih mengutamakan kebijakan ekonomi nasional, khususnya urusan ekspor, daripada mengikuti kecenderungan dunia seperti itu. Semboyan nasional di masa Presiden Park Chung Hee adalah Produksi Maksimum, Ekspor, dan Pembangunan Nasional. Faktor ke-3 yang dikemukakan oleh Dr. Park adalah kemenangan Park dalam persaingan prinsip nasional masing-masing negara. Kim Il Sung memusatkan perhatian untuk memperlihatkan keadilan moral melawan masa dan imperialis Jepang yang berlalu, sedangkan Park Chung Hee lebih mengutamakan pembangunan ekonomi nasional dan keberhasilankeberhasilan lainnya yang praktis, yang sedang dihadapinya dan masa depan negara. Di masa persaingan antara Park dan Kim itu, Korea Selatan memberanikan diri memasukkan negaranya ke arena masyarakat internasional dalam kebijakan keterbukaan negara, sedangkan Korea Utara justru menetapkan kebijakan keunikan ideologi nasional dan menutup diri terhadap dunia internasional. Ideologi Kim Il Sung adalah apa yang dinamakan Ideologi Ju-che, yang berarti ideologi berdiri sendiri tanpa bantuan dan gangguan dari luar negeri. Ideologi Ju-che itu masih sampai saat sekarang beredar dan berjalan terus di masa Kim Jong Il.

Contoh Kebijakan Park Chung Hee

Prof. Kim Hyong-A dari NUS yang mengikuti seminar tersebut mempresentasikan papernya yang diberi judul ―Perubahan Sifat Orang Korea: Masa Presiden Park Chung Hee dan Masa Sekarang.‖ Dalam papernya, Prof. Kim menjelaskan bahwa sifat orang Korea pada umumnya dapat diekspresikan menjadi tiga, yaitu sifat percaya diri, sifat praktis, dan kemampuan tarikan. Tiga sifat orang Korea yang positif itu berasal dari kampanye ‗Tekad Keberhasilan (Can-do spirit)‘ yang dipelopori oleh Presiden Park Chung Hee. Prof. Kim dengan tegas menitikberatkan bahwa menghapuskan dan melenyapkan kemiskinan total yang dianggap oleh rakyat Korea sebagai ‗tali nasib‘ atau takdir dalam satu generasi di masa Presiden Park adalah ‗revolusi‘.

157


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Melalui Gerakan Kampong Baru yang disebut ‗Saemaul Undong‘18, Presiden Park mendorong rakyat Korea untuk lepas dari sikap menyerah atau kalah. Harian Financial Times (FT) terbitan 25-Februari 2010 juga melaporkan bahwa orang Korea tetap mempunyai sifat percaya diri yang tidak mau kalah dalam persaingan dengan Jepang dalam bidang apa saja. Prof. Kim lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam sepanjang sejarah Korea, negara dan orang Korea terapit di antara gangguan China dan ancaman Jepang, mempunyai sifat penolakan dan pembuangan (renunciation), ketergantungan (dependence), dan malas berpikir dan bekerja. Sifat orang Korea negatif itu dapat diperbaiki di masa Presiden Park Chung Hee melalui keberhasilan ekonomi dan pendidikan. Demikian dijelaskan oleh Prof. Kim. Munculnya Korea Selatan di depan masyarakat internasional diakibatkan oleh kemauan keras untuk mendapatkan pendidikan yang dimiliki oleh orang Korea. Banyak muda-mudi Korea kini memberanikan diri ke luar negeri dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan diri. Menurut statistic yang disusun oleh Lembaga Pendidikan Internasional (IIE), sampai akhir tahun 2009 jumlah mahasiswa Korea yang sedang melanjutkan studinya di Amerika Serikat mencatat 75.065 orang. Angka itu menunjukkan urutan nomor ke-2 setelah India (103.260 orang), dan China (98.235 orang) pada tahun yang sama. Sementara itu, mahasiswa Korea yang memilih belajar ke China untuk mempelajari segala hal tentang China menduduki urutan nomor satu di antara mahasiswa asing di China. Menurut pengumuman Departemen Pendidikan China, sampai akhir tahun 2008 sejumlah 66.806 mahasiswa Korea sedang belajar di China. Urutan nomor dua dan tiga adalah Amerika Serikat (19.914 orang) dan Jepang (16.733 orang). Prof. Dr. Park Hyo-jong dari Seoul National University (SNU) dikenal sebagai seorang ahli filsafat yang tetap berpengaruh terhadap generasi muda di Korea. Dalam artikel khusus untuk memperingati 30 tahun wafatnya Park Chung Hee, Prof. Park menyebutkan bahwa kedua pemimpin rakyat Korea, seperti almarhum Presiden Park Chung Hee dan almarhum Presiden Kim Il Sung masing-masing mempunyai keadilan untuk mengembangkan negara dan bangsa, baik di Korea Selatan maupun di Korea Utara dengan cara mereka masing-masing. Dua orang 18

Presiden Joseph Cabila dari Republik Demokratik Congo yang pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Korea

28-31 Maret 2010 meminta bantuan untuk mempelajari kegiatan Saemaul Undong secara rinci. (Harian Joongang Ilbo, 31 Maret 2010)

158


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

besar itu tetap mempunyai posisi dan ideologinya yang berlainan, namun mereka tetap memiliki rasa ketulus-ikhlasan, pengorbanan, antuasiasme (anthusiasm), kesadaran tarikan dan sebagainya. Almarhum Presiden Park, khususnya membangunkan rakyat Korea yang saat itu seakan-akan merupakan singa yang sedang tidur dan membiarkan mereka menyadari sifat keorang-korea-an.

Park Chung Hee sebagai Diktator Bersih

Nasib diktator di mana saja di dunia, baik di masa modern maupun dalam sejarah kuno, pada masa terakhir pemerintahannya pada umumnya bersifat sedih dan malang. Almarhum Presiden Park juga bukan merupakan perkecualian. Namun Park Chung Hee sama sekali tidak terkena korupsi, dan tidak memperbolehkan dan memaafkan mereka yang melakukan korupsi. Masyarakat Korea sangat mengenal kebersihan Park Chung Hee sekeluarga. Alasan suasana hangat dan kepopuleran Nyonya Park Geun-Hye, anak perempuan almarhum Presiden Park tetap berdasarkan rasa hormat kepada ayahnya. Nyonya Park sudah lama dikenal sebagai kepala negara di masa depan. Tuan Yoon Ihn-joong adalah seorang penjahit yang sepanjang umurnya bekerja sebagai penjahit di pusat kota Seoul. Almarhum Presiden Park adalah salah seorang langganannya. Dalam wawancara dengan Harian Joongang Ilbo terbitan 26 Oktober 2009, Tuan Yoon menjelaskan sifat hemat Park Chung Hee. Selama 5 tahun Presiden Park memesan jasnya kepada penjahit Yoon. Presiden Park tetap memesan jas yang dibuat dari kain produksi dalam negeri dan warna kegemarannya adalah warna kuning atau abu-abu tua. Satu saat Tuan Yoon dipanggil oleh presiden yang meminta jasnya diperbaiki karena ukuran pinggangnya agak sedikit membesar. Menurut penjahit Yoon, di mana saja di kediaman presiden Tuan Yoon dapat disaksikan semboyan berukuran kecil yang tertulis ‗hemat listrik‘, ‗hemat air ledeng‘ dan sebagainya. Wartawan besar Jo Gap-je dikenal sebagai penulis biografi ―Almarhum Presiden Republik Korea, Park Chung Hee.‖ Dalam biografi itu, wartawan besar Jo Gap-je menulis bahwa

159


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Presiden Park dalam sepanjang masa jabatan kepresidenan menghemat air ledeng di kamar kecilnya sendiri. Menurut Jo, dia melihat bahwa di dalam tempat air di belakang toilet terdapat dua buah batu bata pada saat ia memeriksa kediaman Park Chung Hee. Hal itu berarti bahwa Presiden Park selalu menghemat air ledeng sebanyak dua batu bata. Penjahit Tuan Yoon Ihnjoong juga setuju pada sifat hemat Presiden Park. Pada saat Tuan Yoon diajak masuk ke kantor presiden, kantornya agak sedikit gelap karena lampu di dalamnya hanya dinyalakan satu saja, yaitu yang berada di atas mejanya. Jadi presiden mendekat pada jendela agar dapat memilih kain untuk dijahit menjadi pakaiannya sendiri. Presiden Park adalah seorang diktator. Beliau tidak memperbolehkan bocornya kekuatan politik. Untuk itu, beliau selalu menggunakan tangan besinya dan juga tidak memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Beliau dikenal sebagai ahli untuk mendudukkan orang (manning) dan mengurus tugas yang diembannya (managing). Presiden Park jarang tertawa, namun di dekat rakyat umum beliau selalu tersenyum dan suka bergaul dengan mereka. Presiden Park suka minum minuman termurah yang disebut ‗mak-geol-ri‘, sederajat arak beras yang murah, bersama dengan para petani.

Penutup

Pahlawan diciptakan oleh sejarah yang tengah mengalami masa darurat, sementara sejarah menciptakan pahlawan. Apakah almarhum Presiden Park Chung Hee menciptakan negara Korea yang makmur dan rakyatnya yang cukup sejahtera? Menurut Prof. Park Hyo-jong, di masa kerajaan Joseon (1392-1910) terdapat banyak pahlawan, namun tidak terdapat pahlawan unggul selama lebih dari 60 tahun setelah Korea merdeka. Menurut Prof. Park, almarhum Presiden Park Chung Hee merupakan seorang pahlawan dalam sejarah Korea modern. Walaupun Park Chung Hee dan Kim Il Sung kedua-duanya dikenal sebagai diktator, namun Park dapat mengalahkan Kim. Penyebab pertama adalah pemerintahan Park Chung Hee memperbolehkan adanya sistem partai oposisi dan sistem pemilihan bebas, walapun tetap dapat digolongkan sebagai pemerintah otoriter. Penyebab kedua, konflik antar-Korea menyebabkan

160


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

kedua pemerintah Korea Utara-Korea Selatan memperkuat kekuatan dalam negeri masingmasing sambil meningkatkan daya persaingan. Sementara itu, Park lebih unggul berhasil untuk mengumpulkan dan memobilisasi tenaga manusia dan enerji yang dimilikinya. Penyebab ke-3 adalah kemenangan Park dalam persaingan prinsip nasional masing-masing negara. Kim Il Sung memusatkan perhatian untuk memperlihatkan keadilan moral melawan masa dan imperialis Jepang. Akan tetapi Park Chung Hee mengutamakan pembangunan ekonomi nasional dan keberhasilan-keberhasilan lainnya yang praktis.

Penulis: Yang Seung Yoon Ph. D. (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), staf pengajar pada Jurusan Melyu-Indonesia Hankuk University of Foreign Studies. E-mail: syyang@hufs.ac.kr

Daftar Pustaka

Han,Yong-Sup, ―The Sunshine Policy and Security on the Korean Peninsula,‖ Asian Perspective Vol. 26 No. 3 (2002.9). Lee, Dong-Hyung, ―The Korean Sunshine Policy: Its Light and Shade,‖ Pacific Focus Vol.18 No. 1 (2003, Spring) Mohtar, Mas‘oed dkk, Memahami Politik Korea, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Park Jae-Kyu, Reunifikasi dan Hubungan antar Korea, Seoul: Kyungnam University Press, 1997. Wit, Joel, ―The US, North & South Korea,‖ Asia Peace and Security Network, (2001. 6. 26)

161


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

SAEMAUL UNDONG DALAM PROSES PERUBAHAN PEMBANGUNAN DESA DI KOREA SELATAN Nur Aini Setiawati (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Pendahuluan

Secara historis paska 1945 pembangunan pedesaan di Korea Selatan dapat dibagi dalam dua tahap, masa pertumbuhan yang lambat atau bahkan stagnasi dan era pembangunan. Pada awalnya pedesaan di Korea Selatan menghadapi kemiskinan dan kekacauan ekonomi. Korea Selatan merupakan negara yang mewarisi penjajahan Kolonial sehingga sektor pedesaan berorientasi ekspor. Mereka juga harus serius menanggulangi krisis politik dan militer pada paska penjajahan. Kemiskinan yang relatif dari daerah pedesaan ini ditandai dengan kondisi umum yaitu landlessness, hilangnya pendidikan, dan hilangnya kesempatan kerja. Dalam periode kedua Korea Selatan menghadapi tekanan demografi yang serius. Peningkatan kepadatan penduduk menghasilkan pengaruh negatif terhadap produktivitas pertanian, sejak tahun 1950 penduduk Korea Selatan adalah petani kecil yang menyebar di wilayah pedesaan. Di satu sisi petani hanya memiliki modal yang kecil sehingga tidak dapat membeli dan memelihara produk teknologi pertanian yang canggih seperti misalnya mekanisasi. Pedesaan Korea hanya memiliki tenaga kerja yang berlebihan baik untuk bekerja di bidang pertanian maupun di bidang industri. Pembangunan industri di Korea Selatan cukup dinamis pada 20 tahun pertama setelah kemerdekaan, sehingga pengangguran dapat berkurang karena pembangunan industri membutuhkan tenaga manusia. Meskipun pengangguran dapat sedikit tertolong, tetapi tidak berarti semua orang-orang yang meninggalkan desa dan berpindah menuju ke kota untuk mengadu nasib memperoleh

162


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pekerjaan di sektor industri. Para migran di Korea Selatan dari tahun 1970 hingga tahun 1980 tidak dapat tertampung untuk bekerja di sektor industri. Akibatnya para migran di perkotaan membentuk suatu group yang disebut dengan ―pool of surplus labor,‖, sehingga di daerah perkotaan banyak pengangguran migran yang berasal dari desa. Konsekwensi negatif

dari kepadatan penduduk selain mengakibatkan banyaknya

pengangguran juga munculnya ketegangan politik. Ketegangan politik mencapai puncaknya ketika terjadi konflik bersenjata di propinsi Cholla dan propinsi Kyungsang pada tahun 19461949. Konflik bersenjata ini mereda setelah dilakukan landreform oleh Presiden Rhee Syngman, presiden pertama setelah Korea merdeka pada tahun 1945. Persoalan tersebut diatas menyadarkan Presiden Park Chung Hee untuk memulai serangkaian rencana pembangunan nasional. Rencana pembangunan nasional itu meliputi upaya untuk mengembangkan ekonomi baik di sektor pertanian maupun di sektor industri dengan harapan ada keseimbangan di kedua sektor itu. Rencana pembangunan yang dicanangkan Presiden Park Chung Hee tidak hanya bermaksud untuk membangun pedesaan dari aspek ekonmi murni saja, tetapi juga memiliki motif politik. Politik Kontrol yang bersifat diktaktor atas daerah pedesaan dilakukan dengan ketat dengan tujuan untuk memenangkan Partai Rakyat Demokrat dalam pemilihan umum berikutnya. Masyarakat pedesaan hingga periode Presiden Park Chung Hee berakhir tidak ada yang protes pada kebijakan yang dilakukannya. Meskipun ketidakpedulian politik masyarakat pedesaan itu tidak berarti bahwa penduduk desa selalu puas dengan kebijakan pemerintah yang lebih mengakumulasikan modal untuk kepentingan industri dari pada pertanian.

Kerangka Pemikiran : Pembangunan Desa dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Desa

Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang adalah bagaimana merubah sistem pemerintah dalam usahanya untuk meningkatkan modernisasi dan pembangunan pedesaan. Konsep pembangunan desa terpadu

163


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

diterapkan karena kebutuhan untuk mengkoordinasikan kebijakan sektoral dan program yang didirikan oleh berbagai lembaga untuk memecahkan persoalan pembangunan desa. Target utama dari program pembangunan desa adalah meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan masyarkat desa. Untuk mencapai target itu secara khusus adalah diperlukan pembangunan infrastruktur, menciptakan pekerjaan di desa, dan meningkatkan produksi pertanian. Menurut Waterson, ada enam unsur dasar yang dimiliki program pembangunan desa terpadu yaitu 1) pembangunan pertanian dengan tenaga kerja yang intensif, 2) kesempatan kerja yang baru perlu diciptakan, 3) tenaga kerja berskala kecil diintensifkan oleh pembangunan industri kecil di wilayah pedesaan, 4) ditingkatkan kepercayaan pada diri sendiri dan partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan, 5) pembangunan wilayah kota dapat membantu pembangunan desa, 6) lembaga pembangunan dapat mengkoordinasikan proyek dari berbagai macam sektor. 19 Prinsip lain dari pembangunan masyarakat meliputi pertama, pertumbuhan pertanian sebagai kondisi awal yang cukup untuk pembangunan pedesaan seperti diversifikasi pertanian, industri desa, dan organisasi desa dilakukan oleh petani itu sendiri. Kedua, urbanisasi sebagai suatu faktor yang menfasilitasi pembangunan desa. Prinsip ini menekankan pada transformasi dari sektor pertanian subsisten menjadi sektor pertanian pasar. Pendekatan ini juga menganggap kemungkinan adanya penyatuan antara strategi topdown dan strategi bottom-up. Strategi top-down menekankan pada kebijakan pemerintah, sedangkan strategi bottop-up strategi yang menekankan pada sumber daya lokal dan keikutsertaan masyarakat pedesaan untuk melakukan program pembangunan desa. Dengan demikian, keberhasilan strategi pembangunan desa dapat terwujud jika mengkombinasikan kedua strategi itu. Kombinasi kedua strategi top-down dan strategi bottom-up adalah mencoba menyeimbangkan kekuatan negara dan kekuatan masyarakat pedesaan dalam menentukan arah 19

Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Development and

Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004. hlm. 45.

164

Society Deceive),


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian, dalam menggerakkan pembangunan di wilayah pedesaan harus ada equal-partnership antara rakyat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan.

Latar Belakang Berdirinya Saemaul Undong di Korea Selatan

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Kepadatan penduduk mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat yaitu meningkatnya tingkat pengangguran yang tinggi. Kondisi itu telah menyadarkan Presiden Park Chung Hee untuk memulai serangkaian rencana pembangunan nasional. Pembangunan di wilayah pedesaan Korea Selatan diawali dengan kondisi yang memprihatinkan yang mana infrastruktur terbatas dan kondisi kehidupan masyarakat sangat miskin akibat perang dan konflik internal. Oleh karena itu, cara yang ditempuh Presiden Park Chung Hee dalam rencananya untuk membangun wilayah desa adalah dengan cara ―modernisasi‖ Presiden Park Chung Hee menyadari bahwa modernisasi merupakan rencana utama pembangunan untuk membawa bangsa Korea ke arah yang lebih modern. Pada tanggal 22 April 1970, Presiden Park Chung Hee pada acara pertemuan gubernur di seluruh Korea Selatan meminta kepada para pegawai adminstrasi daerah agar menyediakan program pengembangan pedesaan baru yang mandiri. 20 Usaha modernisasi di pedesaan itu dikenal dengan nama ―Saemaul Undong‖ ―Saemaul Undong‖ berasal dari kata Sae yang berarti baru yang mengacu pada nilainilai modernisasi, sedangkan Maul berarti desa yang mengacu pada nilai-nilai tradisional masyarakat. Adapun kata Undong artinya adalah gerakan. Dengan demikian, kata Saemaul Undong memiliki arti gerakan pembangunan desa baru. 20

Park, Chang-Ho and Anggoro Sigit Sutanto (eds), Gerakan masyarakat Baru di Korea: Filosofi dan

Aplikasi Saemaul Undong (New Community

Movement in Korea: Philosophy and Application of Saemaul

Undong (Jakarta: Koica-Department of Indonesian Education, 2002), p. 7.

165


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Saemaul Undong dapat disimpulkan sebagai gerakan untuk melakukan modernisasi dan sekaligus melanjutkan nilai-nilai tradisional yang masih relevan untuk masyarakat. Dalam rencana pembangunan desa ini Saemaul Undong memiliki tiga keunikan yang menarik yang berbeda dengan rencana pembangunan di negara-negara lain pada waktu itu. Keunikan itu terletak dari bagaimana prinsip yang dimiliki dari Saemaul Undong yaitu rajin (diligence), mandiri (self-help), dan gotong royong (cooperation). 21 Dengan demikian, Saemaul Undong dapat dikatakan sebagai suatu gerakan ―revolusi mental‖ dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki lingkungan fisik dan sosial masyarakat desa itu sendiri. Gerakan revolusi mental ini mengajak masyarakat untuk membangun kemampuan diri sendiri serta kerja sama yang baik dengan masyarakat sekitar. Gerakan ini berhasil membangkitkan keinginan masyarakat untuk membangun desanya, sehingga gerakan ini juga mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Gerakan Saemaul Undong menekankan pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur, seperti listrik, jalan, sarana komunikasi dan lain-lain di pedesaan dan melakukan program penghijauan. Dalam pelaksanaan gerakan ini, pemerintah hanya memberikan bantuan dalam bentuk semen dan bahan bangunan lainnya. Dengan investasi pemerintah untuk semen sebesar US$ 10 juta, maka pendapatan per kapita penduduk dapat meningkat dengan tajam dari US$ 1.025 pada tahun 1971 menjadi US$2.961 pada tahun 1977. Gerakan ini selain membangun wilayah pedesaan secara bersama, juga menumbuhkan kepercayaan masyarakat Korea akan potensi yang dimiliki serta membangun mentalitas untuk bekerja keras guna mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Untuk mencapai tujuan Saemaul Undong, pemerintah Korea Selatan memobilisasi kekuatan militer dan berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang selanjutnya termotivasi untuk mencapai tujuan itu melalui kerja keras. Semangat ―kerja keras‖ yang telah diajarkan dalam masyarakat hingga sekarang menjadi moto mayarakat Korea. Pada kenyataannya dengan bekerja keras masyarakat dapat berhasil dalam membangun desa secara bersama-sama. Keberhasilan Saemaul Undong adalah mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang berbagai peluang yang ada disekitarnya, 21

The National Council of Saemaul Undong Movement In Korea, Saemaul Undong In Korea, Seoul, p. 6.

166


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat luas. Dengan demikian, tujuan program Saemaul Undong adalah memberikan solusi yang mendasar terhadap persoalan-persoalan ekonomi dari masyarakat pedesaan di Korea Selatan. Program Saemaul Undong menekankan pada kesejahteraan, pembangunan, dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Setelah terjadi perang Korea tahun 1950 - 1953, Korea belum menjadi negara yang kuat di kawasan regional, kesenjangan industri dan pertanian masih nampak tinggi seiring dengan lajunya pertumbuhan ekonomi. Saemaul Undong didirikan dalam usahanya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi baik di bidang pertanian, industri maupun di bidang ekonomi dengan proses distribusi pendapatan secara merata. Melalui gerakan Saemaul Undong, Korea Selatan dapat bangkit untuk membangun pedesaan dan diikuti oleh Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun (Five-Years Economic Development Plan ) 1962−1976 yang berhasil mengubah wilayah pedesaan menjadi dasar pembangunan Korea secara menyeluruh, sehingga Korea Selatan dapat menjadi salah satu negara maju di dunia peringkat ke 11 di bidang ekonomi.

Kebijakan Pembangunan Desa di Korea Selatan: Rencana Pembangunan Lima Tahun

Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dan kedua 1962-1971, kebijakan pemerintah adalah merangsang pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan pertanian. Pada Repelita pertama (1962-1966) kebijakan pemerintah selain menekankan pada industri tekstil juga menekankan pada upaya peningkatan produksi bahan pangan dan modernisasi sistem produksi pertanian serta perluasan areal pertanian. Di samping itu, pemerintah juga memperbaiki sistem penelitian dan penyuluhan pertanian dengan menetapkan satu

organisasi

Rural

Development

Administration

(RDA)

sebagai

wadah

yang

mengorganisasikannya. Dana untuk melancarkan repelita pertama ini mendapat bantuan dari Amerika Serikat karena Korea Selatan merupakan negara yang miskin akan sumber daya alam, sehingga pada awal berdirinya negara setelah perang Korea (1950-1953), Korea Selatan tidak

167


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

memiliki modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Repelita kedua (1967-1971) Korea selatan lebih beralih menjadi negara industri berat. Akan tetapi, rencana pembangunan ini memiliki dampak negatif yaitu telah terjadi kesenjangan pendapatan yang tajam antara penduduk di perkotaan dan di pedesaan. Kesenjangan yang tajam antara penduduk di pedesaan dan perkotaan antara lain karena kebijakan pemerintah tentang harga bahan pokok seperti harga gandum dan beras ditetapkan di bawah harga pasar dengan tujuan untuk menyediakan bahan makanan bagi penduduk perkotaan khususnya yang bekerja di lingkungan perindustrian. Oleh karena itu, pada tahap kedua pembangunan ini presiden Park Chung Hee lebih menfokuskan pada pengembangan berbagai varietas padi berdaya hasil tinggi seperti jenis baru yang diberi nama ‗tong-il‘. Pada tahap ketiga (1972-1976), Presiden Park Chung Hee melalui gerakan Saemaul Undong mencanangkan program pencukupan kebutuhan pangan penduduk dari produksi sendiri. Meskipun pada periode ini menekankan pembangunan industri petrokimia berskala besar serta mengembangkan mekanisasi, tetapi tujuan pembangunan industri petrokimia ini adalah untuk mendukung pembangunan desa dan pembangunan pertanian.

Penutup

Melalui serangkaian rencana pembangunan lima tahun tersebut, Korea Selatan berhasil mengubah negara yang miskin menjadi negara maju di dunia. Strategi Saemaul Undong merupakan cara terbaik untuk memecahkan permasalahan di daerah pedesaan. Saemaul Undong mengadopsi strategi top-down, tetapi juga menggunakan strategi bottom-up. Strategi Saemaul Undong yang demikian adalah unik karena pemerintah pusat memiliki peran yang penting untuk merencanakan, mengkontrol, mendukung, mengkoordinasi, dan mengawasi Saemaul Undong, sedangkan orang desa diberi kebebasan untuk memilih pemimpinnya secara demokratis.

168


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Penulis: Nur Aini Setiawati Ph. D. (Hanyang University, Korea), staf pengajar Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Sekjen INAKOS (the International Association of Korean Studies in Indonesia) E-mail: ainirief@yahoo.com

Daftar Pustaka

Boyer, William W., and Ahn, Byong Man. Rural Development in South Korea: A Sociopolitical Analysis. London: University of Delaware Press, 1991. Bok Han, Sang and Kwang-Ok Kim (eds.). Traditional Cultures of The Pacific Societies Continuity and Change. Seoul : Seoul National University Press, 1986. Brem Markus & Kyung Ryangkim, Agricultural Transition In Central and Eastern Europe Lessons for the Korean Peninsula. Chuncheon, Korea: Kangwon National University Press, 2002. Brown, Lester R. The green Revolution In Korea: Development and Dissemination of New Rice Varieties. Korea: Association for Potash Research, 1973. Burmeister, Larry L. Research, Realpolitik, and Development in Korea: The State and The Green Revolution, London: Westview Press, Inc, 1988. Campbell, M.J. New Technology And Rural Development: The Social Impact. New York: Routledge, 1990. Choi, Hochin. The conomic History of Korea: From the Earliest Times to 1945. Seoul: Sekyungsa, 1971. Digby, Anne & Charles Feinstein, New Directions in Economic and Social History Chicago: Lyceum, 1989.

169


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Dong-Se Cha (eds). The Korean Economy 1945-1995: Performance and Vision for the 21st Century. Seoul: Korea Development Institute, 1997. Hahm, Jack Pungsik. ―The Role of Government in Rural Community Development: with spesial emphasis on The Saemaul Woondong In Korea‖. Claremont: Disertatation,1976. Harbison, Human Resources as the Wealth of Nation. New York: Oxford University Press, 1973.

170


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

KORPORATISME DI KOREA SELATAN

Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia)

Pendahuluan Ketika orang mendengar kata Korea, maka gambaran umum yang kemudian muncul di benak orang itu adalah: ginseng atau yin-yang. Kalau disebut Korea Selatan, maka muncul ingatan tentang kemajuan industri, tentang tujuan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) terbesar kedua setelah Taiwan, tentang negeri yang berhasil keluar dari krisis ekonomi tahun 1998 dan bangkit kembali menjadi negara yang kuat. Sebagai negeri yang kuat tentu memerlukan dukungan segenap rakyatnya dalam bersatu-padu membangun industri yang maju. Dalam hal mengelola dukungan sumber daya manusia inilah negara industri yang maju harus memiliki dasar-dasar pengelolaan hubungan antar pihak yang terkait, yaitu a) para pengusaha sebagai pemilik modal dan alat-alat produksi b) penguasa atau pemerintah sebagai pemegang kewenangan arah kebijakan industri, dan c) kelompok buruh sebagai pihak pelaksana berjalannya proses poduksi. Sepintas tak ada masalah yang perlu dirisaukan ketika suatu proses Nampak berjalan baik dan maju. Namun demikian perlu dipahami lebih lanjut bahwa persoalan yang muncul dari hubungan industrial itu sebenanrnya amatlah rumit. Penguasa sebagai pemilik modal dan alatalat produksi tidak dengan mudah dapat seenaknya menjalankan (apalagi mengembangkan) usahanya tanpa memperhatikan kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Begitu juga kepada kelompok buruh, perkara upah, kesejahteraan hidup dan hak bicara bukanlah sekedar persoalan jumlah uang, melainkan juga dapat muncul sebagai persoalan harga diri, hak politik dan lain sebagainya. Begitu juga bagi penguasa, walaupun mereka mempunyai otoritas, tetapi tidak dengan mudah untuk begitu saja memerintah pengusaha ataupun kelompok buruh. Di lain pihak, walaupun hak bicara kelompok buruh dijamin dalam undang-undang, tetapi karena mereka tidak memiliki kekuatan lain dalam tawar-menawar perselisihan industrial, seringkali mereka harus

171


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

menempuh jalur di luar hukum, melancarkan demonstrasi, yang seringkali juga justru menjauhkan mereka dari simpati masyarakat luas. Untuk memahami lebih lanjut tentang hubungan antara penguasa, pengusaha dan buruh di Korea Selatan ini perlu kiranya dipelajari tentang bagaimana cara-cara mereka menyelesaikan persoalan ini sehingga mereka berhasil membangun perindustrian yang maju.

Korporatisme dan Pluralisme Konsep korporatisme berasal dari pemikiran restorasi sosial Katolik yang berkembang pada abad 19. Korporatism merupakan doktrin yang diilhami oleh harapan adanya masyarakat yang bisa ditertibkan secara ―organik‖, yaitu masyarakat yang diorganisasi dalam fungsi tertentu dan yang relatif otonom, tetapi secara keseluruhan merupakan organisasi yang saling tergantung(interdependent). Dalam konteks tertentu, masyarakat serupa itu disebut juga sebagai ―corpora‖, yaitu konsep yang didasarkan pada organisme metaphora biologis yang memungkinkan organ-organ tubuh manusia bisa berfungsi dan saling tergantung. Lembaga ―corpora‖ ini merupakan organisasi perantara, yang menjembatani kesenjangan antara negara dan individu, seperti halnya organ-organ tubuh merupakan organisasi penghubung biologis antara masing-masing sel dengan organisme tubuh secara keseluruhan. Sebanyak mungkin fungsi koordinasi dan regulasi harus didelegasikan kepada organisasi tingkat masyarakat ini. Hanya tugas-tugas yang sifatnya koordinasi menyeluruh saja yang merupakan tanggungjawab negara. Dengan demikian ―corpora‖ sesungguhnya berupaya meminimalisasi intervensi negara/ pemerintah melalui masyarakat yang terswa-organisasi dan terswa-regulasi. Selanjutnya, keselarasan hubungan antara masing-masing komponen masyarakat juga perlu selalu dijaga. Oleh karenanya, korporatisme juga merupakan lembaga sarana resolusi konflik dan kerjasama sosial, dengan mengorganisasikan berbagai jenis klas masyarakat dan negara/pemerintah, baik secara terpisah maupun secara bersama, dan dengan mendorong kerjasama di antara mereka. Model koporatisme serupa itu adalah seperti yang terjadi dalam hubungan perburuhan jaman pertengahan, yang pada abad 19 dianggap sebagai simbol dari masyarakat yang stabil, tertib dan terorganisasi dimana masing-masing anggota masyarakat tahu posisi tanggungjawabnya. Para pemikir Restorasi Konservatif menganggap ―corpora‖ seperti itu merupakan solusi bagi beberapa penyakit masyarakat, yang pada waktu itu muncul sebagai akibat dari revolusi Perancis yang menghapus semua lembaga intermediasi, sehingga

172


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

masyarakat berubah menjadi individu-individu yang liar yang tak lagi mempunyai standar moral yang memadai. Dalam pengertian semacam itu, pengorganisasian dan pengaturan diri sendiri dalam masyarakat ala ―corpora‖ tersebut diharapkan bisa menjadi alternatif ―jalan ketiga‖ di antara kapitalisme dan sosialisme. Dengan mengurangi dampak buruk dari kompetisi kapitalis dan konflik kelas diharapkan dapat juga mengurangi sekularisme sosial ke arah etos kerja Katolik. Setelah 60 tahun berlalunya maklumat sosial kepausan yang pertama, ―Rerum Novarum‖(1891), yang mengesahkan berlakunya Katholikisme sosial korporatis, struktur korporatis berkembang dalam berbagai jenis di berbagai negara. Walaupun demikian ada beberapa dimensi yang menandai kesamaan korporatisme tersebut: 1) Dimensi struktural, menurut definisi dari Schmitter 22 ; korporatisme adalah bentuk tertentu dari lembaga kepentingan atau sistem perwakilan kepentingan yang, jumlahnya terbatas(tunggal), wajib, non-kompetitif, disusun secara hierarkis dan dibedakan menurut fungsi organisasinya; diakui atau diijinkan (kalau bukan diciptakan sendiri) oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepen-tingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediannya mematuhi pengendalian pemerintah dalam hal pemilihan pemimpin dan dalam artikulasi tuntutan dan dukungan. 2) Dimensi fungsional; kesepakatan atau kerjasama antara organisasi kepentingan dengan negara, atau lebih tegas lagi, pelembagaan partisipasi kelompok kepen-tingan dalam perencanaan, pengolahan dan pelaksanaan kebijakan publik (atau, regulasi yang lebih luas, pengelompokan berdasarkan kategori tertentu dalam masyarakat, yang merupakan hak prerogatif negara, tetapi yang bisa didelegasikan kepada lembaga non-pemerintah sebagai self-regulation), seperti halnya lembaga non-pemerintah ikut ambil-bagian membantu dalam kedaulatan negara. Sebagai imbalan lembaga non-pemerintah tersebut memperoleh wewenang khusus dari pemerintah. 3) Elemen fungsional tambahan; kesepakatan antara buruh dan perusahaan dengan atau tanpa campurtangan pemerintah. Macam-macam dimensi tersebut saling terkait, dalam pengertian empiris maupun logis. Kesepakatan tersebut, baik antara kelompok kepentingan dari kelas masyarakat yang berbeda maupun antara kelompok kepentingan dengan negara, memerlukan struktur lembaga kepentingan tertentu. Masing-masing harus memiliki kapasitas untuk mampu berdisiplin diri 22

Schmitter, Philippe dan Lehmbruch, Gerhard (eds.), 1979, Trends Towards Corporatism

Intermediation, London, Sage, p.13.

173


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sendiri, dengan demikian mereka dituntut untuk mampu menjamin pengawasan perjanjian atau aturan main bagi anggota mereka, jika tidak maka menjadi tak lagi menarik untuk berperan sebagai partner. Masing-masing organisasi haruslah merupakan kesatuan lembaga yang solid. Soliditas tersebut ditandai dengan; monopoli perwakilan, besarnya jumlah anggota, sentralisasi pengambilan keputusan dan alokasi sumberdaya, sanksi organisasi yang tegas terhadap keanggotaan. Semua itu juga harus didukung dengan sumber keuangan yang memadai, mengurangi ketergantungan sumber daya hanya dari anggota atau perlunya profesionalisasi, formalisasi dan pembagian tugas internal atau birokratisasi dan diversifikasi pelayanan berdasarkan kebutuhan. Singkatnya, lembaga tersebut haruslah disusun berdasarkan struktur hierarkis yang bersifat wajib, memiliki keterwakilan yang monopolis, dan dikelola atau didaftar oleh negara sebagaimana definisi struktural di atas.

Kasus Korea Selatan Salah satu klasifikasi yang paling populer tehadap korporatisme adalah; korporatisme negara (state corporatism) dan korporatisme masyarakat (societal corporatism), yang seolah tumpang-tindih antara korporatisme yang dipahami sebagai paham ideologi abad 19 dengan jenis varian baru. Kedua jenis korporatisme tersebut berbeda dalam dasar kemunculannya serta sifat keterpaksaannya. Korporatisme masyarakat (kadang-kadang disebut juga sebagai korporatisme baru, atau korporatrisme demokratik atau korporatisme liberal) ditandai dengan partisipasi sukarela, sudah berkembang secara perlahan-lahan sebagai kelompok kepentingan yang sukarela atau lahir dari bawah, dan muncul dalam sistem masyarakat yang liberal. Sedangkan korporatisme negara merupakan jenis rejim yang otoriter; merupakan sistem organisasi sosio-ekonomi yang dipaksakan, dibedakan berdasarkan fungsi dan diintegrasikan secara hierarkis, dan dibentuk secara ―top down‖ oleh pemerintah. Jenis lain adalah yang disebut dengan korporatisme makro (macro corporatism) dan korporatisme meso (meso corporatism). Seperti yang pernah dikemukakan terdahulu bahwa konsep korporatisme merupakan gambaran struktur masyarakat secara keseluruhan dalam hubungannya dengan politik negara dan lembaga-lembaga ekonomi. Korporatisme dalam ideologi sosial Katholik merupakan model umum tentang bagaimana mengelola negara dan masyarakat, dan merupakan semacam alternatif terhadap liberalisme dan sosialisme. Di negaranegara fasis seperti Spanyol dan Portugal misalnya, korporatisme negara diimplementasikan

174


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pada tingkat makro, di antara lembaga-lembaga yang ada dalam bentuk korporatisme parlementer. Pengertian korporatisme baru sesungguhnya juga dikem-bangkan dari bentukbentuk korporatisme makro secara komprehensif. Ada yang mendefinisikan berdasarkan struktur umum, ada yang berdasarkan fungsi, ada juga yang berdasarkan ruang lingkup permasalahan dalam konteks kerjasama nasional, baik bipartit maupun tripartit, antara organisasi-organisasi besar dari perusahaan dan buruh. Sedangkan korporatisme meso dikembangkan dari perdebatan ten-tang bias makro pada korporatisme, yang menganggap bahwa spektrum korporatisme sebagai pengelolaan yang komprehensif dan rasional menjadi pudar dan tersamar oleh hubungan yang kompleks dan struktur yang kompartemental antara kekuatan publik(negara) dan swasta. Oleh karenanya, kadang-kadang korporatisme meso disebut juga sebagai pemerintahan swasta (private interest government)23, atau sektoralisme atau korpo-ratisme sektoral. Perbedaan antara korporatisme makro dengan meso amat jelas. Sebagai korpo-ratisme sektoral, korporatisme meso dibatasi hanya pada satu sektor saja, dan hanya satu atau dua organisasi saja yang dilibatkan dalam kebijakan publik. Hal ini akan mengakibatkan partikularisme (pengkhususan) dalam kebijakan publik. Sedangkan korporatisme makro atau intersektoral melibatkan berbagai kepentingan, bahkan bisa jadi yang saling bermusuhan, dan memerlukan prosedur untuk mengelola konflik, dan untuk agregasi, koordinasi dan artikulasi kepentingan-kepentingan tertentu ke arah kepentingan yang lebih luas. Pada bagian terhadulu telah dikemukakan bahwa sejak 1992, sistem perwakilan kepentingan di Korea Selatan telah berubah seiring dengan konsolidasi demokratik yang berlangsung di negeri itu. Pemerintahan otoriter yang berkuasa sebelumnya memper-gunakan korporatisme negara dalam rangka mengontrol konflik. Di bawah korporatisme negara tersebut pemerintah memperoleh legitimasi politik dan pertumbuhan ekonomi yang amat pesat dengan mengesampingkan kekuatan buruh dari perpolitikan melalui peraturan yang ketat. Sebaliknya, para pengusaha dikonsolidasikan atas nama indus-trialisasi melalui keterlibatan pemerintah secara langsung dalam proses akumulasi permodalan. Namun demikian, keberhasilan ekonomi tersebut justru mengantarkan keruntuhan rejim yang otoriter tersebut, dan membuka peluang dimulainya proses transisi menuju demokrasi. Keadaan serupa itu disebut oleh Haggard sebagai ―transisi karena krisis keberhasilan‖

23

Schmitter, Philippe dan Wolfgang Streeck, ―From National Corporatism to Transnational Pluralism:

Organized Interest in the Single European Market‖ dalam Politic & Society, 1991, Vol.19.

175


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

(transition by crisis of success). 24 Setelah transisi demokrasi tersebut dimulai, pemerintahan yang demokratik langsung berhadapan dengan dilema struktural. Pemerintah tidak saja dituntut untuk membersihkan diri dari sisa-sisa rejim lama yang otoriter, melainkan juga untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk meneruskan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Akibatnya, pemerintah demokratik Korea Selatan yang baru tersebut terpaksa menempuh jalan yang sangat riskan, yang dapat mengancam legitimasi rejim baru tersebut mengingat masih lemahnya daya kontrol pemerintah dalam kaitannya dengan semakin berkembangnya beranekaragam kelas masyarakat. Sistem perwakilan kepentingan di Korea Selatan telah bergeser dari korporatisme negara menjadi pluralisme dalam transisi demokrasi. Di bawah sistem perwakilan yang pluralistik tersebut, ada beberapa perkembangan munculnya berbagai kelompok kepentingan yang memperkuat masyarakat sipil, konsolidasi yang hegemonistik dari kelas kapitalis, dan perbaikan kelompok buruh, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemerintahan sipil yang baru tersebut harus mengedepankan pertumbuhan ekonomi lebih dulu dalam rangka membuktikan bahwa pemeritahan sipil haruslah lebih baik daripada rejim yang otoriter. Oleh karena itu pemerintahan Kim Young Sam mengembangkan sektor bisnis melalui ekonomi pasar yang liberal. Walaupun pemerintah mengusahakan integrasi sosial melalui penyelarasan buruh dan kelompok bisnis, tetapi perspektif pemerintah yang pluralistik tidak dapat berperan positif untuk menghasilkan sesuatu yang prospektif. Lebih daripada itu, kebijakan global yang dilakukan presiden Kim Young Sam hanya menguntungkan sektor bisnis saja dan memperlebar ketidakseimbangan distribusi pendapatan. Pada akhirnya hal tersebut memperlemah kontrol pemerintah25 dan memperkuat sektor bisnis akibat campur tangan IMF pada akhir krisis 1997. Belajar dari pemerintah yang terdahulu dan dari kesulitan yang diakibatkan oleh krisis finansial, pemerintah Presiden Kim Dae Jung berusaha keras untuk mereformasi struktur ekonomi ke arah sistem yang secara substansial berorientasi pada pasar. Presiden Kim Dae Jung berupaya mengimplementasikan penyesuaian struktur ekonomi pada sektor bisnis dan perbankan tidak melalui kebijakan yang didominasi oleh eksekutif, melainkan dengan 24

S.Haggard & R.Kaufman, 1995, Political Economy of Democratic Transition, Princeton, University of

Princeton Press. 25

Melemahnya peran pemerintah ini juga dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya krisis 1997.

Kelemahan kebijakan liberal terhadap kendali industri juga dibahas pada Linda Weiss, 1998, op.cit., pp.21-24.

176


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sepenuhnya bertumpu pada konsultasi antara pemerintah dan masyarakat. Dalam situasi internal dan eksternal yang sulit itu pemerintah dirasa perlu melakukan intermediasi kelompok kepentingan secara konsultatif dalam rangka melaksanakan reformasi ekonomi yang wajar, mengurangi konflik antara kelompok bisnis dan buruh. Tidak seperti eksperimentasi kesepakatan sosial pada pemerintahan sebelumnya, upaya ekperimen sejenis yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Kim Dae Jung berhasil dengan baik, bahkan di luar dugaan para pengamat. Walaupun masih sulit untuk mengatakan bahwa keberhasilan tersebut berkaitan dengan bentuk umum dari korporatisme masyarakat (societal corporatism), tetapi jelas bahwa upaya baru tersebut memberi keyakinan bahwa korporatisme sosial dapat diwujudkan di Korea Selatan. Seperti yang pernah disinggung pada beberapa bab terdahulu, sesungguhnya korporatisme masyarakat muncul di negara-negara kapitalis yang telah maju pada tahun 1970an. Hal tersebut diperkenalkan sebagai cara baru untuk mengendalikan ekses pluralisme. Sejak awal tahun 1970-an, konflik sosial dan resesi ekonomi telah melanda masyarakat kapitalis yang telah maju. Fenomena ini mendorong peninjauan kembali interpretasi pluralisme pada sistem politik. Berakhirnya pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat, meningkatnya inflasi dan angka pengangguran, memberi petunjuk bahwa pluralisme menciptakan sistem perwakilan kepentingan yang tidak stabil yang dapat mengguncang stabilitas pemerintahan dan perekonomian. Pluralisme kelihatan sebagai sumber meningkatnya ketakterkendalikannya masyarakat Barat yang maju. Sebagai alternatif, bentuk baru dari intermediasi kelompok kepentingan menyediakan basis yang lebih baik daripada pluralisme untuk mengamankan meningkatnya koordinasi sosial dan ekonomi sebagai kelengkapan kapasitas regulatif pada sistem tersebut. Menurut Katzenstein, sistem korporatisme masyarakat (sesekali disebut juga sebagai korporatisme demokratik) dalam pengelolaan kelompok kepentingan berperan positif dalam menciptakan stabilitas politik sekaligus fleksibilitas ekonomi. Hal ini terjadi karena konsep tersebut melindungi keseimbangan kelompok kepentingan dan kelas ekonomi dari segala konflik, dan selalu mencari penyelesaian konflik melalui perwakilan kelompok kepentingan dari semua sektor di masyarakat ke dalam struktur pengambilan keputusan pemerintah. 26 Tidak seperti pluralisme, korporatisme masyarakat menegaskan bahwa negara secara lebih pro-aktif membentuk dan mengembangkan sistem intermediasi kepentingan dan sangat peduli dengan 26

P. Schmitter, ―Still the Century of Corporatism?‖, dalam Pike, F. dan Strich, T., eds., 1974, The New

Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian World, IN, University of Notre Dame, IN.

177


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

hasil-hasilnya. Dalam hal tunjangan dan gaji pegawai misalnya, pihak pengusaha dan buruh sama-sama diberdayakan dalam proses pengambilan keputusan bersama. Menurut Schmitter, baik pluralis maupun korporatis sama-sama memberi sumbangan sejumlah asumsi dasar.

Keduanya menyadari, menerima dan berusaha menangani

berkembangnya diferensiasi struktural dan keanekaragaman kepentingan masyarakat politik modern.27 Namun demikian, keduanya menawarkan cara penyelesaian yang saling bertentangan. Pluralisme

menawarkan

pembentukan

yang

spontan,

peningkatan

jumlah,

pengembangan horisontal, dan interaksi kompetitif dari kelompok-kelompok kepentingan. Sebaliknya, di bawah korporatisme, peran negara justru diutamakan. Negara benar-benar berlaku intervensionis dan kuat. Negara dapat menyusun dan menyodorkan gagasan-gagasannya yang penting terhadap aturan yang ada dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih adil. Negara berperan sebagai pemain politik yang otonom, menyesuaikan diri dengan kepentingan umum. Sedangkan korporatisme masyarakat, berbeda dengan korporatisme negara, secara khusus ditandai oleh berlakunya sistem pengelolaan kepentingan yang lebih bersifat bottom-up di mana legitimasi negara secara substansial bergantung pada kegiatan-kegiatan kepentingan yang otonom. Sebagai tambahan, sekali lagi tidak seperti korporatisme negara yang berkaitan dengan sistem politik di mana sub-unit teritorial disub-ordinasikan pada kekuatan birokrasi yang terpusat, korporatisme masyarakat dibangun pada sistem politik yang relatif otonom, dengan berbagai macam unit teritorial, yang terbuka bagi proses pemilihan dan sistem partai politik yang kompetitif. Dengan demikian korporatisme masyarakat merupakan gabungan dari pluralisme dengan negara yang berperan secara otonom dalam politik. Secara singkat, ciri-ciri utama dari korporatisme masyarakat adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya serikat buruh, dalam jumlah maupun kualitas, (2) adanya partai politik ataupun organisasi politik yang mendukung kepentingan sektor perburuhan, (3) lingkungan sosial dan budaya yang kondusif untuk mengelola konflik, perselisihan, konsesi dan kompromi, (4) hubungan antara buruh-pengusaha 27

Korea Selatan sesungguhnya belum sepenuhnya berpengalaman dengan sistem perwakilan kepentingan

pluralistik dalam rangka membangun transformasi dari korporatisme negara ke arah korporatisme masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Schmitter bahwa korporatisme masyarakat dengan mudah muncul pada masyarakat yang mengalami kehidupan politik yang liberal dan pluralistik. Hal ini menegaskan bahwa Korea Selatan memerlukan pengalaman sistem perwakilan kelompok kepentingan, ibid., p.107.

178


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

sebagai organisasi yang kuat dengan hak suara kolektif, dan (5) pemerintah sebagai mediator.28 Mulai tahun 1987, masyarakat Korea Selatan melaksanakan demokra-tisasi dalam bidang-bidang politik, sosial dan ekonomi. Korporatisme negara sebagai cara mengen-dalikan konflik kepentingan yang dilakukan oleh rejim sebelumnya berubah menjadi pluralisme, dan kemudian korporatisme masyarakat. Korea Selatan mengalami dua kali kesepakatan sosial. Kesepakatan yang pertama adalah Komisi Kepresidenan untuk Reformasi Hubungan Industrial (President Commission on Industrial Relations Reform -PCIRR) yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Kim Young Sam. Sedangkan yang kedua adalah Komisi Tripartit (Tripartite Commission) di bawah lembaga kepresidenan era pemerintahan Presiden Kim Dae Jung.29 Sementara yang PCIRR tidak menghasilkan hal-hal yang signifikan karena pembatasanpembatasan pluralistik terhadap negara, sedangkan Komisi Tripartit telah berperan positif dalam proses penyesuaian struktur ekonomi. PCIRR pada mulanya dibentuk sebagai uji coba kesepakatan sosial bagi konsultasi sosial masyarakat Korea Selatan. Bahkan pemerintahan Presiden Kim Young Sam yang pro-kapitalistik telah mempersulit substansi konsultasi sosial di antara tiga pihak tersebut. Peran pemerintah begitu lemah dalam mendorong proses kesepakatan sosial tersebut. Sebaliknya, sikap pemerintahan Presiden Kim Dae Jung yang pro-buruh dapat mendorong partisipasi kelompok buruh dalam proses pengambilan keputusan pada kesepakatan sosial tersebut. Begitu pemerintahan Presiden Kim Dae Jung secara aktif melibatkan diri pada Komisi Segitiga, segeralah terbentuk suasana intermediasi kepentingan seperti yang harapkan dalam korporatisme masyarakat (societal corporatism). Komisi Tripartit yang pertama dibentuk pada tanggal 15 Januari 1998, terdiri dari dua orang wakil buruh, dua orang wakil pengusaha, Menteri Ekonomi dan Keuangan, Menteri Perburuhan dan empat orang wakil partai politik. Ketiga pihak berhasil menyepakati Great Compromise yang terdiri dari 10 agenda, yakni; 1)transparansi manajemen dan restrukturisasi perusahaan 2)stabilisasi harga 3)stabilisasi ketenagakerjaan dan kebijakan pengangguran 4)peningkatan dan konsolidasi sistem pengamanan sosial 5)stabilisasi harga dan pemberdayaan buruh serta kerjasama manajemen 6)perlindungan hak-hak dasar buruh 7)peningkatan flexibilitas pasar tenaga kerja 8)peningkatan ekspor dan perbaikan sistem pembayaran internasional 9)hal-hal yang berkait dengan upaya 28

Chung-Hee Lee dan Sang-Mook Lee, 2000, op.cit., p.6.

29

Korporatisme, khususnya dalam lembaga Tripartit, yang melibatkan kelompok bisnis, buruh dan

pemerintah, merupakan kunci bagi kapasitas dan citra keunggulan dalam demokrasi modern.

179


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pemulihan krisis dan 10)agenda untuk menciptakan kerukunan sosial. Komisi ini merupakan lembaga hubungan industrial yang pertama dikenal dalam konstitusi Korea Selatan dan yang pertama kali pula menghasilkan jumlah dan jenis kesepakatan yang begitu penting. Sebagai indikator proses percepatan konsolidasi demokrasi, kesepakatan-kesepakatan yang berhasil dicapai dalam Komisi Tripartit menjadi penting untuk digarisbawahi. Big Compromise hanya merupakan awal dari sejumlah kesepakatan teknis yang lain yang berhasil dicapai dan dilaksanakan kemudian, terutama dalam kaitannya dengan keberhasilan penyelesaian pembayaran utang kepada IMF. Walaupun Komisi Tripartit ini merupakan lembaga yang seolah-olah didominasi oleh pemerintah (karena memang merupakan bagian dari lembaga kepresidenan), tetapi dalam sistem perwakilan kepentingan yang societal corporatism menjadi sah-sah saja, karena lembaga legislatif melegalisasi komisi ini. Lagi pula tak satupun partai politik dalam parlemen yang secara frontal merasa dirugikan oleh peran Komisi Tripartit ini, karena mereka memang juga diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dalam komisi ini. Dilihat dari perbandingan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses demokratisasi pasca era otoritarianisme di Korea Selatan, antara pluralisme dibawah pemerintahan Presiden Kim Young Sam dan societal corporatism era pemerintahan Presiden Kim Dae Jung, peran krisis ekonomi 1997 menjadi penting sebagai pemicu(sekaligus pemacu) percepatan proses demokratisasi tersebut. Pluralisme liberal Presiden Kim Young Sam memang mendorong kebebasan pelembagaan politik maupun kepentingan di hampir semua sektor, tetapi di pihak lain kondisi tersebut ternyata merongrong peran pemerintah dalam pengendalian konflik antar berbagai sektor ekonomi pasar, yang kemudian diyakini banyak orang memicu terjadinya krisis itu sendiri. Selama pemerintahan Kim Young Sam, sistem perwakilan kepentingan menjadi terlalu bebas, dan kenyataannya berujung pada krisis yang tak lagi sempat diperbaikinya. Bagaikan sebuah kebetulan, permulaan pemerintahan Presiden Kim Dae Jung ditandai dengan krisis besar, sehingga hal tersebut dapat dipakai sebagai apologi untuk menciptakan kebijakan yang bersifat emergency atau ad hoc. Ketiga pihak dalam hubungan industrial seolah sedang tersudut dalam pilihan yang amat terbatas guna membangun upaya pemulihan krisis. Pilihan terhadap konsep societal corporatism untuk mengelola sistem perwakilan kepentingan industrial menjadi wahana yang efektif, 30 terbukti dari keberhasilan pelunasan utang kepada

30

Dalam hal power sharing, societal corporatism bersifat lebih distributif daripada transformatif.

180


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

IMF yang ternyata tiga tahun lebih cepat dari yang direncanakan.31 Percepatan pelunasan ini sekaligus menjadi indikator penting bagi proses demokratisasi di Korea Selatan, setidaknya dalam sektor hubungan industrial. Dalam konteks krisis itulah sejumlah kesepakatan menjadi ―lebih mudah‖ dibangun, karena pilihan yang dimiliki masing-masing pihak memang amat terbatas. Keterbatasan ini mengakibatkan masing-masing pihak lebih cepat menerima win-win solution, karena konsep win-win solution memang menjadi lebih sederhana pada waktu krisis dibandingkan dengan dalam kondisi non-krisis. Tabel-tabel berikut ini menunjukkan rasionalitas masing-masing pihak dalam mengambil keputusan untuk menyetujui sejumlah kesepakatan. Kebijakan pemerintahan era Presiden Kim Young Sam, dapat dilihat motivasi, kepentingan, strategi dan hasil-hasil yang dicapai oleh masing-masing pihak dalam hubungan industrial. Bagi penguasa, pemerintahan Presiden Kim Young Sam sebagai penguasa sipil Korea Selatan pertama setelah sekian lama didominasi oleh militer, menanggung beban untuk menunjukkan perbedaan model kepemimpinan yang jelas terhadap pemdahulunya. Kebijakan yang diambil menjadi sangat liberal. Strategi yang dipilih adalah liberalisasi ekonomi, dengan upaya menawarkan RUU Buruh dan Keuangan, serta membentuk Komisi Reformasi Hubungan Industrial di bawah lembaga kepresidenan. Namun demikian, hasilnya justru menurunkan legitimasi pemerintah, fluktuasi moneter menjadi tak terkendali. Hal tersebut terjadi memang bukan semata-mata (secara langsung) karena kebijakan pemerintah, melainkan karena kebijakan tersebut pada mulanya mendorong perubahan kepentingan pada kelompok pengusaha, yakni: dengan liberalisasi ekonomi mereka merasa memperoleh kemudahan untuk melakukan rasionalisasi usaha, termasuk diversifikasi, yang berakibat pada kesulitan kemampuan membayar utang jangka pendek. Sementara itu, dalam era liberal, kaum buruh juga merasa mempunyai kesempatan untuk meningkatkan bargaining position mereka terhadap manajemen. Tuntutan pemben-tukan multi serikat buruh menjadi model baru bagi sejarah organisasi buruh. Mereka juga menuntut reformasi UU Buruh, tentu saja menurut versi mereka. Pada era Presiden Kim Young Sam 31

Dengan membayar sisa utang sebesar 142,3 juta dollar AS pada tanggal 23 Agustus 2001, akhirnya

Korea Selatan dinyatakan berhasil melunasi seluruh utangnya kepada IMF tiga tahun lebih cepat dari yang direncanakan, yakni bulan Mei 2004. Lihat Jin-Young Kim, “The IMF-Induced Economic Reform and Limits to the Korean Democracy�, draft diskusi untuk The International Srudies Association 2002 Convention di New Orleans, Louisiana, AS, 24-27 Maret 2002, p.12.

181


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

itulah aksi unjukrasa serta membawa

pemogokan

muncul

di

mana-mana. Dan

pada

akhirnya

perekonomian Korea Selatan terjebak dalam krisis moneter yang kemudian

berkembang menjadi krisis ekonomi, politik dan lain sebagainya. Kebijakan pemerintahan Presiden Kim Young Sam yang liberal tersebut di atas tidaklah seluruhnya salah, walaupun kenyataannya telah membawanya pada krisis yang bersejarah itu. Sebagai pemerintahan sipil di era demokrasi baru, tentu harus tampil beda daripada pendahulunya yang militer-otoritarianistik. Liberalisme Presiden Kim Young Sam setidaknya telah menciptakan struktur organisasi kepentingan yang baru. Model korporatisme negara yang semula dijadikan model stabilisasi politik untuk menjamin pertumbuhan ekonomi, telah diubah secara frontal. Bahkan begitu bebasnya sehingga terjerembab dalam krisis.

Tabel 1 Agenda Pra-Krisis (era Pemerintahan Kim Young Sam) Aktor Penguasa

Motivasi Mengurangi campurtangan pemerintah

Kepentingan Strategi Membedakan diri -Liberalisasi dengan rejim militer ekonomi sebelumnya -RUU Buruh -RUUKeuangan -Komisi PCIRR

Hasil -Legitimasi pemerintah menurun -Moneter tak terkendali

Pengusaha

Rasionalisasi proses produksi

-Meningkatkan Diversifikasi keuntungan Usaha -Meningkatkan daya saing internasional

-Rasio kemampuan membayar utang merosot

Meningkatkan daya Muncul banyak tawar-menawar -Reformasi UU organisasi buruh illegal politik (political Buruh bargaining) Pembentukan -Melancarkan multi-serikat aksi mogok buruh pada tiap (demo) perusahaan Keterangan: Secara keseluruhan, kondisi tersebut di atas mengakibatkan terjadinya krisis

Buruh

Menuntut kenaikan gaji

ekonomi 1997.

182


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Tabel 2 Agenda Pemulihan Krisis (era Pemerintahan Kim Dae Jung) Aktor

Motivasi

Kepentingan

Penguasa

Mempertahankan & -Menciptakan meningkatkan ketertiban sosial pemerintahan sipil -Menekan tingkat pengangguran -Meningkatkan nilai tukar Won

Strategi

Hasil

-Mendukung & Lebih legitimate menindaklanjuti program IMF -Komisi PCIRR diubah menjadi Komisi Tripartit -Restrukturisasi Birokrasi

Pengusaha

Pembayaran Utang Menghindari Jangka Pendek likuidasi (pailit)

Buruh

Mengatasi PHK

-Mencari jaminan Mendapat dari pemerintah keringanan restrukturisasi dalam -Restrukturisasi 5 Big Deal Sektor Keuangan & Usaha

ancaman -Mempertahankan pekerjaan

Mengurangi aksi -Boleh melakukan mogok kegiatan politik Terpaksa mene-rima -Meningkatkan pemotongan gaji -Mendirikan Partai daya tawarBuruh Liberal menawar Demokrat

Di lain pihak, kondisi krisis yang dipicu oleh liberalisme tersebut ―memudahkan‖ pemerintahan Presiden Kim Dae Jung untuk mengambil langkah-langkah luar biasa. Pada Tabel 1 dapat dilihat, bahwa penguasa (tentu) mempertahankan, dan bahkan berupaya meningkatkan peran pemerintahan sipil. Krisis moneter, yang pada hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Kim Young Sam telah diupayakan kerjasama dengan IMF, secara tegas didukung dan diteruskan oleh pemerintahan Presiden Kim Dae Jung. Salah satu bentuk peningkatan legitimasi pemerintah adalah melalui restrukturisasi birokrasi, membentuk Komisi Tripartit bagi hubungan industrial yang baru.

183


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Bagian terpenting dari program IMF adalah juga menyangkut restrukturisasi sektor usaha dan keuangan. Bagi pengusaha, syarat dari program IMF merupakan harga yang layak untuk memperoleh pinjaman lunak guna melunasi utang-utang jangka pendek yang mereka hadapi pada saat krisis. Dalam logika serupa itu, pengusaha menjadi kembali berpaling kepada pemerintah, mengingat hanya pemerintahlah yang dapat membangun kepercayaan baru bagi upaya pemulihan krisis secara internasional. Kelompok pengusaha merasa perlu bersepakat dalam Komisi Tripartit, mengingat mereka juga memperoleh keringanan dalam 5 Big Deal dalam restrukturisasi usaha mereka. Bagi buruh, walaupun mereka (sebenarnya) merupakan pihak yang paling tak berdosa dalam kaitannya dengan timbulnya krisis, harus mempertimbangkan langkah-langkah perjuangan nasib mereka, mengingat restrukturisasi mengandung ancaman PHK yang sebelum itu mereka tak mengenalnya. Ancaman PHK juga bukan semata-mata karena program IMF, melainkan juga karena kenyataan di lapangan yang dilanda krisis itu memang sulit untuk dipertahankan. Bangkrutnya konglomerasi Hanbo merupakan contoh paling riil dari ―kenyataan‖ yang memaksa mereka untuk bersiap menerima PHK. Sasaran mereka yang paling mendesak adalah mempertahankan pekerjaan mereka, tanpa harus menimbulkan konflik baru dengan manajemen. Beruntung bagi mereka, bahwa ketika mereka diancam PHK ketika itu pula mereka memperoleh kemerdekaan untuk membuat serikat dan kegiatan politik, walaupun efektifitas politiknya masih harus ditingkatkan lagi. Secara sederhana, perubahan pola hubungan industrial bisa digambarkan sebagai berikut; Tabel 3: Perubahan Pola Hubungan Industrial (menurut Prof. Chung-Hee Lee) Pola Hubungan Industrial Plural Societal Corporatism

Era Presiden Kim Young Sam Era Presiden Kim Dae Jung

Dalam kondisi seperti itulah konsolidasi demokrasi berlangsung dalam tawar-menawar Komisi Tripartit. Pada saat itu, sistem perwakilan berubah, dari yang semula bersifat plural di era liberal, menjadi societal corporatism, di mana perwakilan kepentingan bersama wakil dari parlemen dan eksekutif bersama-sama membangun kesepakatan untuk secara bersama-sama pula berupaya keluar dari krisis. Seperti yang telah disinggung beberapa kali di depan, sejumlah kesepakatan telah mereka setujui dan laksanakan, dan mereka berhasil memenuhi semua

184


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

program IMF dengan melunasi seluruh utang mereka, bahkan tiga tahun lebih cepat dari yang direncanakan. Padahal utang yang mereka peroleh dari IMF merupakan jumlah yang paling besar yang pernah dikeluarkan oleh IMF. Untuk memahami keterkaitan antara pola hubungan industrial baru dan dinamika demokratisasi di Korea Selatan, selain membandingkan nuansa developmental state pada masing-masing era pemerintahan, juga dapat dilakukan dengan menghubungkan antara konsepkonsep pembangunan ekonomi dengan konsolidasi demokrasi. Seperti yang pernah disinggung pada awal bab ini, Prof. Moon menyebut Pemerintah Presiden Park Chung Hee sebagai developmental dictatorship, yang juga dianggap sebagai tonggak paling penting dalam proses industrialisasi di era Korea merdeka.32 Era berikutnya, pemerintahan Presiden Chun Doo Hwan justru dianggap menganut sistem neo-konservatif atau dapat juga disebut neo-liberal. Pembatasan masa jabatan presiden yang baru, dari seumur hidup menjadi sekali dalam tujuh tahun dianggap sebagai bagian penting dari konservativisme itu. Sedangkan Pemerintah Presiden Roh Tae Woo dianggap sebagai pemerintah demokratik, karena pada saat itulah pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali dilakukan di negeri ginseng itu. Dan pada saat itulah serikat buruh berkembang pesat, baik dalam jumlah maupun jenis, termasuk besarnya aksi pemogokannya. Jika disederhanakan, model yang ditawarkan Prof. Moon ini bergerak sebagai berikut: dari otoritarian ke developmental state, kemudian ke demokrasi. Dalam tulisan mereka, jika era demokrasi harus dibelah lagi dalam transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi, maka model hubungan industrial yang mungkin diberlakukan dalam kaitannya dengan penyelematan pembangunan ekonomi di Korea Selatan adalah memilih dari beberapa opsi berikut ini. Pertama adalah pola status quo, yaitu bertahan pada model developmental state yang otoritarian, yang reguler, yang konvensional. Yang kedua adalah yang kompetitif, atau sering juga di sebut plural, atau neo-liberal. Sedangkan pilihan ketiga adalah korporatis, yang di dalamnya diklasifikasi lagi dengan yang center-left dan yang center-right. Korporatisme centre-left adalah korporatisme sosial yang lebih berpihak kepada buruh, biasanya dalam komisi Tripartit. Sedangkan yang center-right adalah korporatisme negara, yang mengutamakan hubungan antara pemerintah dan kelompok bisnis saja, dan mengesampingkan buruh, seperti yang terjadi di Jepang. Dalam kasus yang terjadi di Korea Selatan, rejim paska Roh: yaitu era Kim Young Sam, 32

Walaupun beberapa literatur menyebutkan bahwa Park memang amat mengagumi modernisasi Jepang,

karena ia dididik pada era kolonial Jepang, tetapi kebijakan pembangunannya tetap bergaya Korea.

185


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

ternyata memilih yang kompetitif, yang neo-liberal, yang kemudian mengantarkan negeri itu pada krisis 1997.33 Kim Young Sam memang sempat membangun komisi tripartit yang pertama (PCIRR), tetapi gagal sebelum sempat menyepakati hal-hal yang penting. Satu-satunya kesepakatan yang mereka lewatkan adalah sepakat untuk tidak sepakat, kemudian membubarkan diri. Sedangkan rejim berikutnya, pemerintahan Kim Dae Jung, memilih korporatism yang center-left, yaitu dengan membangun Komisi Tripartit yang memberi kesempatan lebih banyak kepada kelompok buruh dalam proses pengambilan keputusan, walaupun dalam kenyataannya tak mudah bagi buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Apabila penelitian ini hanya membatasi pada era sebelum dan sesudah krisis 1997 dalam arti yang paling sempit, maka perubahan yang dimaksud hanya yang terjadi pada era Kim Young Sam dan Kim Dae Jung saja. Dalam konteks serupa itu, model Chung dapat disederhanakan menjadi: bermula dari konsolidasi demokrasi yang berlangsung pada pola hubungan kompetitif, yang kemudian mengakibatkan terjadinya krisis, dan akhirnya direspon oleh Presiden DJ dengan korporatisme center-left melalui Komisi Tripartit. Secara sederhana dapat digambarkan seperti dibawah ini. Tabel.4: Perubahan Pola Hubungan Industrial versi Prof. Chung-In Moon Pola Hubungan Industrial Era Presiden Kim Young Sam Kompetitif/Plural/Liberal Era Presiden Kim Dae Jung Korporatis Center-Left

Ada juga yang melihatnya dari sisi lain, yaitu dari perspektif jaringan policy industrial dan peran negara. Linda Weiss menawarkan beberapa bentuk komposisi antara kuatnya peran negara dengan jaringan yang bisa dibangun dalam kaitannya dengan kebijakan industri. Setidaknya ada empat bentuk pola hubungan yang mungkin muncul dalam melaksankan pembangunan tersebut, yaitu; 1) Statisme; peran negara sangat kuat, masyarakat masih terfragmentasi (lemah), situasi dalam negeri tidak stabil, pengambilan keputusan secara top-down, informasi pembangunan sering terhambat, bahkan sering terjadi blokade implementasi kebijakan.

33

Kim Young Sam memilih policy pasar bebas ala AS daripada liberalisasi keuangan model Jepang.

186


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

2) State Corporatism; peran negara kuat, masyarakat sudah terorganisasi (tapi lebih sebagai ―alat‖ daripada sebagai ―partner‖ dalam pengambilan keputusan), adanya embedded autonomy (seperti di Jepang, atau Korea Selatan tahun 1960an). 3) Concertation/Social Corporatism; negara berlaku moderat, masyarakat terorganisasi sebagai mitra perundingan, tetapi hanya jika situasi dalam negeri tertib, ada self-governance pada masing-masing pihak (seperti di Swedia). 4) Governed Interdependence; negara dan masyarakat sama-sama kuat, negara ter-insulasi dan industri terorganisasi dalam hubungan musyawarah yang setara, tetapi hanya jika jaringan dalam negeri untuk mentrans-formasi industri cukup tertib/jelas, dan negara menjamin kepe-mimpinan.34 Berdasarkan pengertian serupa itu, perubahan pola hubungan industrial di Korea Selatan pada masa sebelum dan sesudah krisis dapat digambarkan sebagai berikut; era Presiden Kim Young Sam tidak sepenuhnya dapat dideskripsikan oleh model-model diatas, kecuali model 4 (governed interdependence) dengan beberapa modifikasi. Presiden Kim Young Sam yang oleh beberapa pengamat dianggap menganut neo-liberalisme ekonomi, memang pada dasarnya ingin menjaga jarak antara negara dan pasar, tetapi jaringan pada pasar ―yang baru dibebaskan‖ ternyata belum mampu mentransformasikan kesinam-bungan industri. Itulah sebabnya kemudian terjadi krisis. Pada era pemulihan krisis, atau sesudah krisis, Presiden Kim Dae Jung jelas berupaya membangun model 3, yaitu concertation atau social corporatism, walaupun tak sama persis seperti yang terjadi di Swedia. Peran negara memang menjadi kuat kembali setelah pada masa Presiden Kim Young Sam terasa sangat lemah, tetapi di lain pihak, masyarakat juga sudah terorganisasi, serikat buruh meningkat dalam jumlah maupun jenis sektornya, Komisi Tripartit sudah banyak menghasilkan kesepakatan, dan yang paling monumental adalah bahwa negeri itu telah berhasil melunasi utang mereka kepada IMF, bahkan tiga tahun lebih cepat daripada yang direncanakan. Secara singkat, perubahan tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini. Tabel 5: Perubahan Pola Hubungan Industri versi Linda Weiss Pola Hubungan Industrial 34

Linda Weiss, 1998, The Myth of The Powerless State, Cornell University Press, Ithaca, NY, p.137.

187


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Era Presiden Kim Young Sam Era Presiden Kim Dae Jung

Governed Interdependence Concertation/Social Corporatism

Secara keseluruhan, pola perubahan hubungan industrial yang dikemukakan di atas dapat digabungkan dalam satu tabel, yang kurang lebih menjelaskan bahwa, terjadinya krisis lebih disebabkan oleh kebelumsiapan jaringan pasar dan institusi masyarakat ketika Presiden Kim Young Sam mencoba mengambil jarak negara dengan pasar melalui kebijakan neo-liberal. Sedangkan pemulihan krisis justru memposisikan negara pada tempat yang kembali memimpin proses industrialisasi. Tabel 6: Era Pemerintahan Kim Young Sam Kim Dae Jung

Perubahan Pola Hubungan Industrial Semua Versi Developmental State Chung-Hee Chung-In Moon Lee & Yong-Cheol Kim Embedded Democracy versi Plural Kompetitif/Plural/ Peter Evans Liberal ―Win-win‖ Democracy versi Societal Korporatism Gordon White Corporatism Center-Left

Linda Weiss Governed Interdependence Concertation/ Social Corporation

Apabila demokratisasi diartikan sebagai upaya mengurangi peranan negara menjadi sesedikit mungkin dalam urusan publik, perkembangan di Korea Selatan tersebut memang kedengaran sebagai kemunduran. Upaya liberalisasi yang dilakukan Presiden Kim Young Sam yang ingin menempatkan masyarakat pada posisi terdepan dalam proses industrialisasi seolah mubazir. Dan kenyataannya memang membawa negeri itu kepada krisis 1997. Namun demikian, jika demokratisasi dianggap sebagai upaya membangun kesepakatan untuk kepentingan bersama-sama, apalagi untuk menghadapi krisis, maka keputusan untuk mengambil langkah concertation atau societal corporatism atau korporatism center-left, daripada tetap bertahan dalam neo-liberal atau pluralisme atau kompetitif atau governed interdependence, menjadi positif. Konsolidasi demokrasi menjadi win-win solution bagi pengelolaan hubungan negara dengan masyarakat maupun dengan pasar.

Berakhirnya Transisionalisme? Jika pada bagian kesimpulan ini harus dipertegas dengan kontribusi teoritik yang mungkin dapat ditarik dari disertasi ini, maka perlu sekali lagi menengok apa yang pernah

188


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

dikemukakan pada Bab I, yaitu mengenai beberapa jenis kondisi transisi demokrasi yang mengawali terjadinya proses konsolidasi yang dikutip dari Huntington35. Pada bagian itu juga telah disampaikan dugaan mengenai apa yang terjadi pada proses demokratisasi di Korea Selatan. Dalam versi Huntington, yang terjadi di Korea Selatan adalah transisi transplacement dan intervensi. Transplacement merujuk pada kebijakan DJ dalam pemberian amnesti kepada kedua mantan presiden pendahulunya serta perbaikan pada pelayanan masyarakat miskin. Sedangkan intervensi ditandai oleh keterlibatan IMF dalam proses pemulihan krisis ekonomi 1997. Seperti yang telah diuraikan secara lebih rinci pada beberapa bab berikutnya, IMF tidak hanya membantu sejumlah uang, melainkan juga (bahkan yang amat penting) skenari rasionalisasi restrukturisasi di ketiga lembaga hubungan industrial tersebut. Jumlah uangnya pun merupakan yang terbesar dari yang pernah mereka kucurkan kepada satu lembaga. Jika pendapat ini mengandung kebenaran, jenis proses transisi serupa itu merupakan anomali dari yang pernah dikenali. Dari 100 negara yang digolongkan sedang mengalami transisi beberapa tahun belakangan ini, hanya kira-kira 20 saja yang dianggap berhasil mencapai dinamika demokratisasi yang berkelanjutan.

36

Dalam tulisan tersebut, Korea Selatan

digolongkan sebagai yang kurang berhasil bersama-sama dengan Slovakia, Romania, Bulgaria, Mexico, Brazil, Ghana dan Filipina. Pendapat tersebut juga tak sepenuhnya sependapat dengan konsep the end of transitional paradigm. Menurut Carother, paradigma transisionalis dianggap telah berakhir karena beberapa hal. Setidaknya, kondisi transisional tidak menjamin berlangsungnya konsolidasi secara otomatis. Peluang demokratis bisa saja terhenti oleh ketidaksiapan para elit untuk melanjutkan proses transisi tersebut menuju konsolidasi demokrasi. Jika elit tidak terjebak pada korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan mereka berkelahi sendiri. Perkembangan semacam ini dianggap sebagai Elite Captured Transition (Oligrachy). Kemungkinan hambatan lain berasal dari masyarakat, yaitu pada keadaan peluang demokrasi disalahpahami masyarakat sebagai eforia huru-hara atau kemerdekaan mengajukan protes semata-mata, sehingga demokrasi tak ubahnya seperti anarki. Perkembangan semacam ini disebut transisi Mass Captured (Mobocracy). Demokrasi seolah harus diproyeksikan seperti 35

Lihat Huntington, Samuel P. dalam The Third Wave, op.cit.

36

Pernah disinggung oleh Larry Diamond, ―Is the Third Wave Over?‖ dalam Journal of Democracy 7

(July 1996), pp.20-37. Juga menjadi bahan kajian pada Thomas Carother, ―The End of The Transition Paradigm‖ dalam Journal of Democracy 13:1 (2002), pp.5-21.

189


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

pada saat kemun-culannya di jaman Plato. Kasus Korea Selatan memang pernah terhenti pada Elite Captured. Presiden Kim Young Sam terlalu jauh membebaskan kendalinya terhadap pasar. Hanya dalam rangka membedakan dirinya dari pendahulunya, Presiden YS berlaku terlalu liberal, sehingga lembaga keuangan nasional (baik negara maupun swasta) berjalan begitu bebas, sehingga beberapa pengamat menganggap hal ini sebagai penyebab terjadinya krisis 1997. Pada waktu kepemimpinan presiden YS inilah gelombang demonstrasi buruh mengalami puncaknya, yang dalam konteks tertentu dapat juga dianggap sebagai Mass Captured. Namun demikian kedua model hambatan pada kenyataannya dapat dilalui dengan baik. Jika konsep-konsep demokratisasi dipahami sebagai proaes melalui beberapa fase, maka dapat dicatat bahwa tahap awal yang sering disebut prakondisi, mensyaratkan sejumlah pemenuhan struktur tertentu. Tahap ini diperkenalkan sejak tahun 1950-an hingga 1960-an oleh Huntington, Pye, Moore dan lainnya. Tahap pertama ini disebut juga sebagai Requisites of Democracy.37 Seperti yang disebut terdahulu, fase ini tak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai jalan menuju konsolidasi demokrasi. Fase berikutnya adalah yang bertumpu pada proses. Transisi demokrasi seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai struktur lembaga, melainkan juga sebagai event, sebagai rangkaian situasi dan kondisi yang mungkin saja di luar bentuk lembaga. O‘Donnel pernah mengusulkan peran aktor dalam mengolah kondisi transisi tersebut. Yang dimaksud dengan aktor adalah personal yang ada di pemerintahan maupun yang ada pada masyarakat. Jadi bukan sekedar lembaga kepemimpinan, melainkan lebih sempit lagi dalam konteks personal pemimpin. 38 Kombinasi personal kepemimpinan, apalagi yang terjadi di masyarakat negara berkembang dapat memunculkan pengertian maupun legitimasi yang berbeda-beda. Tabel 6.8. berikut diharapkan dapat menjelaskan kemungkinan tersebut. Tabel 7: Actor Oriented Transition

37

I Ketut Putra Erawan, 2005, Transition to Demoracy: Debating Theories, paper kuliah, Pascasarjana

UGM. 38

Guillermo O‘Donnel berpendapat bahwa konsep konsolidasi demokrasi bersifat teleologis, dalam

―Illusions About Consolidation‖ pada Journal of Democracy 7 (April 1996), pp.34-51

190


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

State‘s Actor Conservative

Moderate

Idealist

----------

Transform

Pragmatist

Transplant

Reform

Social Actor

Dalam kasus Korea Selatan peranan Kim Dae Jung sebagai presiden pada saat pemulihan krisis, sekaligus sebagai mantan tokoh oposisi merupakan komposisi yang menguntungkan bagi terbukanya jalan menuju konsolidasi demokrasi. Ditambah lagi kenyataan struktural yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat Korea Selatan memang sudah cukup tinggi. Jika dugaan mengenai aktor dan struktur masyarakat Korea Selatan tersebut mengandung kebenaran sebagai penentu proses berjalannya konsolidasi demokrasi, maka Krisis 1997 hanyalah merupakan pemicu saja. Seperti yang pernah dikemukan di bab I, Krisis 1997 menciptakan keadaan yang mempersempit pilihan politik bagi ketiga pihak dalam hubungan industrial. Sangat mungkin keadaan itu seperti dilihat sebagai kombinasi antara fase pertama dan kedua transisi yang disinggung di depan. Pemahaman serupa ini, menurut Ketut, dianggap sebagai Structured Contingency Perspective. 39 Suatu proses konsolidasi demokrasi yang didukung oleh sejumlah aktor yang legitimate dan struktur masyarakat. Secara kebetulan, dalam kasus Korea Selatan dipicu oleh Krisis 1997 yang kenyataannya memang mempersempit pilihan-pilihan politis ketiga pihak dalam hubungan industrial. Percepatan konsolidasi sebenarnya bukan semata-mata karena krisis, melainkan juga karena reputasi Kim Dae Jung dan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Namun demikian bukan berarti Krisis 1997 tidak penting, melainkan justru menjadi pemicu proses konsolidasi demokrasi tersebut. Tabel 8: Konsolidasi Demokrasi Korea Selatan Chaebol Aktor KDJ

Captured

39

YS I Ketut Putra Erawan, op.cit., p.6.

Krisis 1997 Masyarakat

Pemogoka n Buruh Mass Captured

Terdidik 191

GNP Tinggi


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Rejim

Konsolidasi

Otortarian

Demokrasi

Krisis adalah faktor contingency, yang pada kenyataannya menhadirkan IMF (faktor eksternal) yang begitu kuat ―memaksa‖ proses konsolidasi tersebut. Sedangkan presiden DJ merupakan aktor yang mengolah event kkrisis tersebut, dan kondisi masyarakat Korea Selatan adalah struktur yang disyaratkan pada fase pertama. Jika pendapat tersebut di atas mengandung kebenaran, maka transisi menuju konsolidasi demokrasi memang masih dimungkinkan oleh sejumlah kebetulan yang sulit diduga dan dikonstruk sebelumnya. Secara sederhana dapat dilihat pada Tabel 8. Pada awalnya, pemerintahan Kim Young Sam sebagai penguasa sipil pertama melalui pemilu presiden secara langsung membebaskan pasar sangat liberal, yang berakibat pada kemandegan transisi karena Chaebol menjadi lupa diri, begitu juga kelompok buruh menuntut lebih banyak. Pada gilirannya hal tersebut memicu terjadinya krisis, yang secara sedemikian rupa menciptakan pembatasan opsi politis di antara ketiga pihak. Beruntung bahwa Presiden YS digantikan oleh Presiden DJ yang mantan tokoh oposisi, sehingga proses pemulihan krisis dapat dipandu ke arah konsolidasi demokrasi. Secara ―kebetulan‖, kondisi masyarakat Korea Selatan memang tak jauh dari apa yang disyaratkan oleh para pengamat demokrasi, yaitu tingkat pendidikan yang rata-rata relatif tinggi dan GNP per kapita di atas AS$ 5000. 40 Oleh karena itu wajar saja kalau proses konsolidasi menjadi sedemikian lancar.

40

Pada awal terjadinya krisis, masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan emas dalam tiga bulan

berhasil mengumpulkan AS$ 2,5 milyar, lihat Mohtar Mas‘oed & Yang Seung-Yoon (eds.), 2005, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, p.vii.

192


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Penulis: Tulus Warsito Ph.

D.

(Universitas

Gadjah

Mada,

Indonesia),

Direktur

Pascasarjana

Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta, Indonesia, Wakil Presiden INAKOS (the International Association of Korean Studies in Indonesia) E-mail: tulusw_umy@yahoo.com

Daftar Pustaka

I Ketut Putra Erawan, 2005, Transition to Demoracy: Debating Theories, paper kuliah, Pascasarjana UGM. Guillermo O‘Donnel, ―Illusions About Consolidation‖ pada Journal of Democracy 7 (April 1996). Larry Diamond, ―Is the Third Wave Over?‖ dalam Journal of Democracy 7 (July 1996). Linda Weiss, 1998, The Myth of The Powerless State, Cornell University Press, Ithaca, NY. Mohtar Mas‘oed & Yang Seung-Yoon (eds.), 2005, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press. P. Schmitter, ―Still the Century of Corporatism?‖, dalam Pike, F. dan Strich, T., eds., 1974, The New Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian World, IN, University of Notre Dame, IN. Schmitter, Philippe dan Lehmbruch, Gerhard (eds.), 1979, Trends Towards Corporatism Intermediation, London, Sage. Schmitter, Philippe dan Wolfgang Streeck, ―From National Corporatism to Transnational

193


INAKOS (The International Association of Korean Studies in Indonesia)

Pluralism: Organized Interest in the Single European Market‖ dalam Politic & Society, 1991, Vol.19. S.Haggard & R.Kaufman, 1995, Political Economy of Democratic Transition, Princeton, University of Princeton Press. Thomas Carother, ―The End of The Transition Paradigm‖ dalam Journal of Democracy 13:1 (2002).

194


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.