Merajut Cita di Negeri Ginseng

Page 1

Merajut Cita di Negeri Ginseng Cerita Inspiratif Perjuangan Mahasiswa Indonesia di Korea 인도네시아 젊은이들의 한국 이해하기

Penulis <필진>

Marcella Astrid Andri Wardana Citasari Hendrasetiafitri Vivin Septiani Jatmiko Dede Rakhmawati Adji Baskoro Dwi Nugroho Nur’aeni Alqhisty Rega Permana Ivana Monica Nadhila Sylvianti Phisca Aditya Rosyadi Amir Tjolleng Y.H. Yogaswara Muhammad Ridwan Dzikrurrokhim Bivan Alzacky Harmanto Fauzi Achmad Zaky Felicia Januarlia Novita Zihnil Adha Islamy Mazrad Nurina Umy Habibah

Diterbitkan atas kerjasama: International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) Pusat Pengkajian Korea (Puskor) FIB UGM Persatuan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA)


Buku PERPIKA untuk Indonesia II

Cerita Inspiratif Perjuangan Mahasiswa Indonesia di Korea

인도네시아 젊은이들의 한국 이해하기

Tim Editor <편집진> Albert Wicaksono Darlin Taroreh Muhamad Ridwan Dzikrurrokhim Suray Agung Nugroho

Penerbit <발행처> INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia) Pusat Pengkajian Korea Universitas Gadjah Mada PERPIKA (Persatuan Pelajar Indonesia di Korea)

Alamat <발행처 주소> c/o Pusat Pengkajian Korea - Universitas Gadjah Mada Jalan Nusantara No. 1 Bulaksumur Yogyakarta 55281 Indonesia Situs: www.inakos.org Tel: 62-274-51309 Cetakan Pertama: Februari 2017 ISBN 978-979-25-8826-2

Ketentuan Pidana Pasal 72 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. 2.

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.0000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau didenda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Daftar Isi <목차>

KATA SAMBUTAN DUTA BESAR REPUBLIK INDONESIA UNTUK REPUBLIK KOREA ..................................................................................6 KATA SAMBUTAN PENASEHAT INAKOS............................................8 KATA PENGANTAR PRESIDEN PERPIKA...........................................11 BERMODAL NEKAT MENCAPAI KOREA 한국을 향한 나의 긴 여정..........................................................................13 Marcella Astrid DARI SERAMBI MEKKAH KE NEGERI GINSENG 아체에서 한국까지.....................................................................................23 Andri Wardana FLY AS YOU CAN AND CATCH YOUR DREAM 높이 날아 꿈을 잡다...................................................................................29 Citasari Hendrasetiafitri SEBUAH MIMPI YANG HAMPIR MUSTAHIL UNTUK TERCAPAI 하늘의 별따기 같은 꿈을 이루다................................................................37 Vivin Septiani Jatmiko YANG KETIGA 세번째시도..................................................................................................43 Dede Rakhmawati

3


IT’S NEVER TOO LATE TO CREATE YOUR DREAMS 꿈꾸는 동안은 늦지 않다............................................................................49 Adji Baskoro Dwi Nugroho KULIAH DI KOREA: TAKDIR YANG TAK BERAWAL DARI MIMPI 한국유학: 나의 꿈 나의 운명..........................................................................65 Nur’aeni Alqhisty JALAN BERLIKU MENUJU POHANG 포항으로 향한 험난 한 길..........................................................................73 Rega Permana ORANG BILANG, HIDUP ITU SELALU PENUH KEJUTAN 사람의 일이란 놀라움도 많지.....................................................................77 Ivana Monica BEASISWA DI KOREA: HASIL USAHA DAN KEGIGIHAN 노력과 인내로 따낸 한국유학.....................................................................83 Nadhila Sylvianti KOREA, “DOA” YANG TAK DISENGAJA 한국: 나의 우연한 만남...................................................................................91 Phisca Aditya Rosyady MOZAIK HIJRAH KE NEGERI GINSENG 한국으로의 순례여행.................................................................................107 Amir Tjolleng ANTARA KELUARGA, KARIER DAN CITA-CITA: BISA SIMULTAN, KOK! 나의 가족과 일 그리고 나의 미래.............................................................113 Y.H. Yogaswara

4


KARENA USAHA TAK AKAN BERKHIANAT 노력끝에 보람............................................................................................121 Muhammad Ridwan Dzikrurrokhim JANGAN TAKUT BERMIMPI 꿈꾸기를 두려워 말라................................................................................127 Bivan Alzacky Harmanto KOREA, ONE OF MY BEST MOMENT 한국, 내생애 최고의 선택..............................................................................133 Fauzi Achmad Zaky MENJADI KANDIDAT PHD DI YEUNGNAM UNIVERSITY 영남대학교에서 박사학위과정을 밟다......................................................141 Felicia Januarlia Novita PEREMPUAN PALING SPESIAL DI KOREA SELATAN 한국에 가장 특별한 여자...........................................................................145 Zihnil Adha Islamy Mazrad TENTANG MIMPI YANG DIKABULKAN SEMESTA 신이 들어주신 소원...................................................................................149 Nurina Umy Habibah

5


Kata Sambutan Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Korea

Dunia saat ini diwarnai dengan kompetisi yang semakin ketat termasuk persaingan satu negara dengan negara lain. Di era kompetisi yang ketat, pe­ nguasaan informasi dan kemampuan membangung jejaring menjadi faktor kunci utama untuk memenangkan kompetisi. Siapa yang menguasai informasi dan mempunyai jejeraing luas akan punya kesempatan lebih baik untuk me­menangkan persaingan. Penerbitan buku seri ke-2 oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA) yang berjudul “Merajut Cita ke Negeri Ginseng” dapat dinilai sebagai upaya mulia untuk berbagi informasi dan memperkokoh jejaring bagi pelajar Indonesia yang bersaing dengan siswa dari negara lain di dalam men­ capai cita-cita sebagai pelajar Indonesia di Korea. Sebagai catatan, Korea memang sudah lama sering dirujuk dengan sebutan Negeri Ginseng. Namun, belakangan ini rujukan kontemporer Korea Selatan adalah Negeri K-Pop untuk merefleksikan kemajuan Korea yang bukan saja sebagai negara industri tetapi juga sebagai negara dengan soft power dalam bentuk budaya dan inovasi Korea Selatan yang menjadi fenomena global. Pada buku pertama, saya mencatat 23 kisah dan pengalaman yang telah berhasil ditulis dan disebarluaskan kepada warga Indonesia, baik yang berada di Korea maupun di Indonesia secara online maupun dalam bentuk cetakan. Pada buku kedua ini, pengalaman 19 putera-puteri Indonesia yang sedang belajar di Korea kembali dituangkan secara apik, kreatif, dan menarik. Saya berharap buku ini dapat memberikan inspirasi kepada pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan sekolah di luar negeri, khususnya di Korea Selatan. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk selalu mendukung kiprah warganya baik di dalam maupun luar negeri untuk terus berkembang dan melakukan hal-hal yang berguna bagi orang banyak. Karenanya saya atas nama pribadi dan juga Pemerintah Indonesia dengan sepenuh hati

6


mengucapkan selamat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja sama dalam penerbitan buku seri ke-2 ini. Akhir kata, saya ingin menyampaikan penghargaan khusus kepada PERPIKA dan INAKOS serta para penulis untuk kontribusinya dalam me­ wujudkan buku ini. Seoul,   Desember 2016 John A. Prasetio

7


Kata Sambutan Penasehat INAKOS

Selamat atas penerbitan buku pengantar Korea ke-11 yang diberi judul “Merajut Cita di Negeri Ginseng” yang kami terjemahkan menjadi 인도네시아 젊은이들의 한국 이해하기 dalam bahasa Korea. Dengan buku ke-11 ini berarti INAKOS telah berhasil menerbitkan 10 karya sebelumnya. Bagi orang Korea, pencapaian angka sepuluh (10) sangat mengandung arti. Di masa zaman dahulu bangsa Korea menganggap angka sepuluh berarti angka yang terbesar dalam urusan sehari-hari manusia umum. Hari ulang tahun ke-10, pembuatan kapal bernomor ke-10, pelajaran buku ke10 di Seodang (pondok pesantren gaya Korea) dan lain sebagainya. Jadi, pencapaian ke-sepuluh mengandung pula sejarah panjang. Hal itu berarti tahap dan tingkatnya bisa lebih ditingkatkan dan dilanjutkan atau memasuki pintu generasi baru berikutnya. Untuk itulah, dengan adanya penerbitan buku pengantar Korea ke-11 berarti usaha untuk meningkatkan pemahaman tentang dan sekitar Korea sudah memasuki tingkat ke-2 atau tingkat lanjutan. Mudah-mudahan usaha meningkatkan dan memperkaya informasi, pengetahuan dan ilmu Korea terus-menerus berkembang dan bisa dilanjutkan tanpa kenal henti. Buku pengantar Korea perdana dengan judul “Sejarah Korea Menuju Masyarakat Modern” diterbitkan pada bulan Oktober 2010. Pada saat itu para pecinta Korea Indonesia dan beberapa kawan saya bersepakat perlunya buku informasi tentang Korea yang tercetak dalam bahasa Indonesia supa­ ya banyak peminat Indonesia agak sedikit lebih mudah paham tentang dan sekitar Korea. Sebenarnya, buku ini lahir setelah para pecinta Korea di Indonesia dan para pecinta Indonesia di Korea pada bulan Mei 2009 mem­ bentuk organisasi INAKOS, yaitu International Association of Korean Studies in Indonesia. Banyak sarjana, dosen, mahasiswa, dan semua orang yang per­nah me­ng­alami atau me­lanjutkan studinya di Korea merasa terpanggil un­tuk ikut serta dalam organisasi INAKOS. Saat itu ada seorang pebisnis Korea dengan senang hati maju ke depan untuk memberikan bantuan finan­

8


sial untuk mewujudkan mimpi dan semangat penerbitan berbagai seri buku pengantar Korea. Nama perusahaannya adalah PT. Vitamin House Inc. (Korea). Dalam kesempatan ini perlu saya sampaikan bahwa seri buku peng­ antar Korea dari nomor satu sampai sepuluh adalah sebagai berikut: 1. Sejarah Korea Menuju Masyarakat Modern: Beberapa Peristiwa Penting (Oktober, 2010) 2. Politik dan Pemerintahan Korea (Februari, 2011) 3. Huruf Hangeul dan Bahasa Korea (Mei, 2011) 4. Pusparagam Budaya Korea (Juli, 2011) 5. Mengintip Budaya Korea: Pandangan Generasi Muda Indonesia (April, 2012) 6. Budaya Hallyu Korea (Januari, 2013) 7. 40 Tahun Hubungan Indonesia-Korea Selatan (Oktober, 2013) 8. Menggapai Asa ke Korea (April, 2015) 9. Sensasi Seru Jalan-Jalan di Korea (November, 2015) 10. Budaya Korea: Hal-Hal Yang Perlu Diketahui (April, 2016) Isi buku-buku pengantar Korea tersebut bisa dilihat dalam situs inakos (inakos.org). Sementara itu, buku pengantar Korea ke-11 ini berisi kumpulan kisah hidup para mahasiswa Indonesia yang dengan giat ikut memajukan studinya di Korea di bawah PERPIKA, yaitu Persatuan Pelajar Indonesia di Korea. Dalam perjalanan yang memakan waktu cukup lama ini, usaha dan hasil penerbitan tersebut akan semakin disebarluaskan melalui wadah jaringan seperti PT. Samtan Indonesia dan PT. Changshin Indonesia. Dalam hal ini, mereka berminat untuk membeli beberapa judul buku penerbitan INAKOS yang akan dibagikan secara khusus buat para pemimpin dan karyawannya. Untuk itu, selain buku-buku INAKOS dibagikan secara gratis kepada para mahasiswa dalam berbagai seminar dan lokakarya, melalui kerjasama dengan dua perusahaan itu, maka ini bisa diartikan bahwa jumlah pembacanya semakin bertambah meluas. Terkait para donor terhadap kegiatan INAKOS, perlu kami sampaikan bahwa selain dari Vitamin House Inc. (Korea), ada pula Senior Public Diplomacy Group, Deplu Republik Korea yang juga telah bekerja sama deangan INAKOS untuk secara simbolis memberikan buku-buku terbitan INAKOS kepada para mahasiswa UT Indonesia di Korea. Selain buku, kami juga menerbitkan Jurnal Korean Studies yang bisa dikatakan juga merupakan bagian dari usaha penerbitan INAKOS. Hingga awal tahun 2017, telah terbit jurnal hingga edisi VI. Dari segi penulis, maka

9


bisa disebutkan bahwa mereka adalah para dosen, peneliti atau mahasiswa pasca berbagai bidang ilmu yang memang berminat terhadap kajian Korea atau hubungan Korea-Indonesia. Perlu kami sampaikan bahwa paper yang dimuat dalam jurnal ini bisa ditulis dalam 3 bahasa (bahasa Korea, Indonesia, dan Inggris) atau paling tidak abstraknya ada dalam ketiga bahasa tersebut. Secara lengkap infonya bisa dilihat dalam website INAKOS. Terkait Buku pengantar Korea ke-11 dan Jurnal Korean Studies Jilid VI yang diterbitkan dalam bulan Februari tahun 2017 ini, saya selaku penasehat INAKOS selalu menyambut baik kiprah INAKOS. Penerbitan buku ilmiah dan nonilmiah yang diupayakan oleh INAKOS telah dan akan selalu diinformasikan kepada sebanyak mungkin dosen, pene­liti, mahasiswa dan cendekia Indonesia agar mereka bersedia untuk terus ikut memperkaya ilmu pengetahuan lewat tulisan-tulisan mereka. Kami pun berharap agar buku-buku terbitan kami bisa dipakai sebagai bahan mate­ri perkuliahan atau diskusi di berbagai perguruan tinggi dan sekolah di Indonesia. Banyak pihak dengan tulus ikhlas mengupayakan untuk melahirkan hasil-hasil kecil dalam pengembangan ilmu Korea. Walaupun tidak begitu besar dan penting, namun mereka yang tergerak hatinya untuk terjun dalam penerbitan kami jelas menyadari sebuah peribahasa yang berbunyi; “sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit” atau “sebutir debu, lama-lama menjadi gunung”. Bisa saya katakan bahwa makna peribahasa itu bisa dipahami oleh masyarakat Indonesia dan Korea. Terakhir, saya ingin menyebut nama tiga orang dalam kesempatan kali ini. Pertama, ada seseorang yang selalu berjuang menjadi pendukung ke­ uangan INAKOS, yaitu Mr. Kim SangKuk; kemudian ada presiden INAKOS, yaitu Dr. Mukhtasar Syamsuddin, dan sebagai kepala tim editor berbagai kegiatan penerbitan buku, yaitu Pak Suray Agung Nugroho. Dengan tepuk tangan dan sambutan meriah dan ucapan syukur, saya sekali lagi saya ingin mengucapkan selamat atas penerbitan buku pengantar Korea ke-11. Terima kasih. Gamsahamnida. Profesor Emeritus Yang Seung Yoon Penasehat INAKOS Seoul, Korea Desember 2016

10


Kata Pengantar Presiden Perpika

Assalamu’alaikum Wr.Wb. dan Salam damai dan sejahtera untuk kita semua, Teman-teman yang saya cintai dan banggakan, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa atas rahmat dan anugerahNya, PERPIKA telah sukses menerbitkan “Buku PERPIKA untuk Indonesia II: Cerita Inspiratif Perjuangan Mahasiswa Indonesia di Koreaâ€? Saya menulis ini dengan rasa haru dan bahagia sekaligus bangga atas terbitnya buku yang disusun dengan begitu banyak pengorbanan, waktu, tenaga, dan pikiran dari teman-teman penulis sebagai bukti cinta untuk Indonesia. Kita sadar betul bahwa jalan perubahan menuju bangsa Indonesia yang lebih baik masihlah teramat panjang dan penuh dengan tantangan. Tetapi, ada satu hal yang perlu kita ingat, yaitu potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam membangkitkan potensi tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa informasi juga menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam menentukan arah ke depan. Untuk itulah, buku ini merupakan sebuah bentuk sumbangsih nyata dari PERPIKA untuk Indonesia dalam memberikan informasi, motivasi, dan inspirasi. Buku ini juga bisa menyadarkan kita kembali akan begitu besarnya potensi yang dimiliki putera-puteri bangsa Indonesia. Buku ini menyajikan kisah nyata perjuangan 19 pelajar Indonesia di Korea dalam mengejar cita untuk membawa perubahan bagi Indonesia. 19 kisah pelajar Indonesia di Korea dalam mengejar cita untuk membawa perubahan bagi Indonesia. 19 kisah pelajar Indonesia dengan latar belakang berbeda dalam menempuh studi di Korea ini mencakup mereka yang tengah menempuh program pertukaran pelajar, program S2 hingga progam S3. Buku ini penuh dengan seluk beluk dan dinamika kehidupan mereka di Korea, dari yang tinggal seorang diri hingga yang membawa keluarga untuk menenami studi. Kisah-kisah yang ditulis oleh 19 pelajar Indonessia di Korea ini, selain dapat membuka perspektif baru, semoga juga bisa menginspirasi dan me­ micu anak-anak muda Indonesia untuk membangkitkan potensi, untuk lebih

11


per­caya diri dan optimis bahwa Indonesia mampu menjadi negara yang lebih baik di masa mendatang. Semoga kita semakin optimis bahwa kita merupakan sekumpulan angkatan muda yang membawa angin segar bagi Indonesia. Kita semua merupakan sosok yang mampu menjadi pemicu pergerakan, menjadi pembawa perubahan, dan menjadi pemersatu perbedaan. Kita adalah angkatan muda yang memiliki semangat perjuangan demi sebuah visi ke depan. Kita adalah angkatan muda yang bersemangat membawa Indonesia semakin maju dalam kurun waktu satu tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan. Atas nama PERPIKA, kami sampaikan terima kasih kepada Kemen­ terian Akademik dan Riset di bawah kepemimpinan Amir Tjolleng beserta tim redaksi, yaitu Albert Wicaksono, Darlin Taroreh, Muhamad Ridwan Dzikrurrokhim serta Suray Agung Nugroho dari pihak INAKOS yang telah berjuang melakukan pengumpulan naskah, proses editing, hingga penerbitan. Selain itu, kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. Mukhtasar Syamsuddin (Presiden INAKOS), Kepala Pusat Pengkajian Korea Fakultas Ilmu Budaya UGM, Bapak Fuad Adriyansah (Kepala Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Seoul), serta Bapak John A. Prasetio (Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea) atas dukungan yang diberikan dalam penerbitan buku ini. Tidak lupa juga kami sampaikan penghargaan kepada Prof. Yang Seung-yoon selaku penasihat INAKOS yang telah memberikan kesempatan untuk bekerjasama dengan PERPIKA. Sebagai penutup, kritik dan saran sangat kami harapkan agar di masa masa mendatang terus lahir buku-buku yang semakin baik, semakin meng­ inspirasi, dari PERPIKA untuk Indonesia. Semoga sukses senantiasa me­ nyertai kita dalam kehidupan kita saat ini dan yang akan datang. Sa­lam Perjuangan, Wassalamu’alaikum Wr.Wb., Presiden PERPIKA 2015-2016 Muhammad Hilmy Alfaruqi

12


Bermodal Nekat Mencapai Korea 한국을 향한 나의 긴 여정 Marcella Astrid University of Science & Technology (과학기술연합대학원대학교)

Hai, nama saya Astrid. Saya saat ini mahasiswa pro­gram master di University of Science and Techno­logy (UST) dalam naungan institut riset bernama Electronics and Telecommu­ nications Research Institute (ETRI). Jurusan saya adalah Computer Soft­ware. Pas S1, saya anak Sistem Kom­­ puter di Universitas Multi­media Nusan­tara (UMN) di Serpong. Kalau tidak tahu UMN, UMN itu punyanya Kompas, hahaha! Nasib lulusan kampus swasta baru yang belum sangat terkenal. Sekilas saja, di sini saya setengah berperan sebagai mahasiswa dan setengah berperan sebagai peneliti di ETRI. Beasiswa yang saya dapatkan berasal dari “gaji” saya di ETRI. Beasiswa yang didapatkan mahasiswa UST memang terkenal besar di Korea. Saya sendiri menerima sekitar 1,2 juta Won atau setara dengan 13 juta Rupiah. Aslinya sih 1,7 juta Won, tapi setelah dikurangi biaya semester yang harus dibayarkan ke UST sebesar 2,5 juta Won dengan cara dicicil, jadinya sekitar 1,2 juta Won per bulan deh. Tapi, ini saja sudah besar sekali dan cukup. Bahkan, saya bisa beli tiket pesawat buat balik wisuda S1 di bulan ketiga saya. Hah?! Wisuda? Yap, saya mulai kuliah di Korea dalam kondisi belum wisuda dan fresh baru lulus sidang lalu lulus yudisium. Begini cerita saya:

13


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Saya memiliki masalah keuangan, mungkin sejak SMP. Saya bisa se­ ko­lah sampai S1 itu karena bantuan banyak orang. Saya pernah memiliki orang tua asuh. Adik laki-laki saya juga pernah punya orang tua asuh. Saat saya S1, saya juga bekerja part-time sebagai guru bimbel dan asisten labo­ ratorium untuk membantu biaya uang semester saya. Untungnya, sam­pai semester 5, saya mendapat beasiswa dari kampus untuk biaya uang SKSnya. Untungnya, nilai saya memadai untuk mendapat beasiswa. Itulah masa­ lah saya yang pertama dilihat dari kondisi latar belakang saya. Dari kondisi psikologis, saya itu sebenarnya takut hidup sendiri, terutama sebelum saya masuk S1. Saya memilih UMN karena UMN itu dekat dari ru­ mah. Titik. Jurusan juga sebenarnya agak nyasar juga. Saya sendiri dulunya suka hal-hal berbau geografi. Dulu sempat mendaftar SNMPTN Undangan ke ITB di JurusanAstronomi atau Vulkanologi atau Oseanografi. Namun, saya tidak lulus dan saya tidak mencoba untuk yang ujian tertulis karena masih setengah hati untuk jauh dari rumah. Cuma, setelah ditempa di UMN dengan mengikuti berbagai organisasi, komunitas, dan setelah melihat teman-teman lainnya, akhirnya saya mampu survive hidup sendiri. Saya mulai mem­­berani­ kan diri hidup jauh dari orang tua. Dimulai dari saya magang di LIPI, Bandung ternyata hidup sendiri tidak sesusah yang dibayangkan dan mulai­lah saya berpikir untuk pergi to the next level, yaitu ke luar negeri.

Saat memakai baju Hanbok (baju tradisional Korea)

14


Bermodal Nekat Mencapai Korea

Hal yang memungkinkan bagi saya untuk ke luar negeri adalah melan­ jutkan S2. Saat itu, saya juga sudah ditawarkan ke Jerman oleh UMN. Tetapi, saya berpikir mengenai kondisi keuangan. Saya ingin mendapatkan beasiswa yang cukup besar supaya saya bisa menabung dan membantu membangkitkan kondisi keuangan sekaligus bisa mencapai keinginan saya untuk bisa merasakan hidup di luar negeri. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Berhubung jurusan saya berhubungan dengan komputer, saya berpikir Korea Selatan dan Jepang. Saya juga mengetahui Korea Selatan dari Running Man dan Jepang dari Naruto. Haha. Saya memang cenderung ke Korea karena biaya hidupnya, menurut yang saya tahu, tidak semahal di Jepang sehingga kalau beasiswa belum turun, saya masih memiliki pro­ babilitas yang tinggi untuk bertahan hidup. Ditambah, Bahasa Korea tampak­ nya lebih mudah dipelajari daripada Bahasa Jepang. Bahasa Jepang susah di huruf Kanji. Haha. Saya menemukan beasiswa GKS (Global Korea Scholarship) dari pe­ me­rintah Korea dan UST ini. Tetapi, tujuan utama saya adalah UST, baik itu beasiswa dari pemerintah atau dari UST-nya sendiri. Saya mendapat bea­ siswa tambahan dari UST (eh, institut risetnya. UST-nya malah minta bayar­ an haha) meskipun saya sudah mendapat beasiswa pemerintah. Oleh ka­ rena itu, pada akhirnya, jumlah yang didapatkan per bulan adalah 1,2 juta Won juga. FYI, beasiswa pemerintah adalah sebesar 900 ribu Won. Lumayan juga. Setelah memutuskan hal ini, saya mulai belajar bahasa Korea sendiri. Paling tidak, bisa baca tulis dan tahu beberapa kata untuk survival. Saya memutuskan siap-siap ke Korea saat saya bahkan belum memulai mengambil SKS skripsi di penghujung semester 7. Saya mulai nekat mem­ buat paspor di Januari 2015 dengan harapan pada akhirnya saya berhasil ke luar negeri. Saya tidak pernah ke luar negeri sebelumnya. Melihat kondisi keuangan saya, membuat paspor itu mahal. Makanya, saya bisa dibilang nekat. Haha. Lalu, saya mulai melihat syarat-syarat dokumen untuk mendaftar di GKS dan juga di UST. Saat itu, syarat untuk Fall Semester di UST belum keluar, saya melihat syarat untuk Spring Semester karena pasti tidak akan berbeda jauh. Tabungan saya habis untuk menerjemahkan, legalisir, dan me­ ngirimkan dokumen. Intinya, saya nekat dan all-out. Tidak cuma masalah uang, skripsi saja belum beres. Saya juga langsung mengambil tes TOEIC. Untungnya, tes TOEIC diadakan di kampus saya. Itu juga nekat karena saya tidak tahu kapan hasil TOEIC keluar. Kalau hasilnya keluar lebih dari seminggu kemudian, bisa-bisa kelewatan deadline beasiswa GKS. Untungnya keluarnya cepat dan hasil­nya mencukupi untuk mendaftar. Saya juga membaca banyak tip dari internet. Katanya, hubungi calon profesor terlebih dahulu. Saya mengirim

15


Merajut Cita di Negeri Ginseng

surat ke 3 profesor di waktu yang berbeda dengan isi email yang berbeda, tetapi tidak ada yang membalas. Hiks. Saya lewat jalur depan saja kalau begitu.

Saat musim gugur

Pertama, saya mencoba beasiswa GKS. Saya memilih jalur universitas. Saya langsung memilih UST. Kebetulan, kakak kelas saya sedang ingin ke Korea untuk melanjutkan studi juga. Saya menitip dokumen saya ke kakak kelas untuk dikirimkan di pos lokal di Korea. Akan tetapi, saya lupa mem­ beritahukan deadline-nya sehingga dokumennya telat dikirimkan. Pada­hal sudah bayar banyak buat dokumen. Untungnya, pihak UST mau mengirim­ kan kembali dokumen yang sudah saya kirimkan sehingga saya bisa meng­ guna­kan dokumen yang sama untuk mendaftar langsung ke UST-nya. Nah, mendaftar lewat jalur UST juga bisa terbilang nekat karena beasiswa UST baru didapat setelah 1 bulan “bekerja” di institut riset masing-masing yang terhitung dari awal semester, yaitu September. Sedangkan, saya perlu da­ tang untuk orientasi pada pertengahan Agustus. Jadi, saya perlu uang untuk ber­tahan hidup di Korea selama 1,5 bulan. Ada biaya pendaftaran se­telah diterima, biaya pesawat, dan biaya visa juga. Sedangkan, saat itu, saya tahu bahwa saya tidak memiliki uang untuk itu semua. Saya hampir tidak lolos seleksi tahap dokumen karena hasil TOEIC yang diberikan universitas ternyata tidak dapat diterima sebagai dokumen TOEIC yang resmi. Awalnya saya diminta untuk mengumpulkan sertifikat itu dalam waktu sekitar 2 hari. Akan tetapi, karena saya memang belum mendapatkan informasi apa-apa tentang sertifikat ini, akhirnya saya menego ke UST un­ tuk memberikan waktu lebih. Akhirnya saya diberi tambahan 2 hari. Saya “me­neror” dosen bahasa Inggris saya di semester 1 yang juga penanggung

16


Bermodal Nekat Mencapai Korea

jawab tes TOEIC di UMN (maksudnya mengirimkan SMS berulang kali, ka­ pan selesai, dll. Bukan mengancam “Kalau sertifikat tidak jadi, Bapak akan saya culik!” hahaha). Saya diberikan kontak juga ke pihak penyelenggara tes. Saya juga membuat foto background putih saat itu juga. Akhirnya sertifikat saya diantar pribadi oleh salah satu karyawan pihak penyelenggara tes. Setelah itu, saya dinyatakan lolos tahap dokumen. Berikutnya, wawan­ cara. Untung waktu wawancara saya tidak berbentrokan dengan jadwal asis­ ten lab. Sedikit background, saya sempat mengikuti kontes kecantikan di UMN walau­pun saya tomboy dan tidak bisa pakai make-up, high-heels, dan teman-temannya. Itu jadi poin utama saya juga saat menyiapkan presentasi untuk wa­wancara. Fokus saya, saya berani keluar dari zona nyaman saya. Saya juga memasukkan foto ala model besar-besar ke presentasi saya di slide per­­tama (lihat foto saya ala model). Saat wawancara di Skype, saat saya pertama kali menunjukkan slide saya, saya mengetahui bahwa di ruangan itu tidak hanya ada satu orang karena saya mendengar “woah” dari banyak suara. Untungnya, saya tidak melihat muka-muka mereka sehingga tidak gugup luar biasa. Saya juga berterima kasih dalam bahasa Korea.

Foto ala model

17


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Saat sesi tanya jawab. Satu pertanyaan yang paling memorable karena itu pertanyaan pertama yang paling tidak diduga dan membuat hati saya perih haha. Pertanyaannya kurang lebih “dapatkah Anda mengenalkan UMN dan membandingkannya dengan universitas lain di Indonesia? Saya tidak dapat menemukan informasi mengenai UMN”. Nasib lulusan kampus baru. Hiks. Selesai wawancara, pewawancara utama (yang tampaknya calon professor saya) mengatakan bahwa presentasi saya cukup baik, tetapi hanya 1 yang terpilih untuk di lab beliau. Saya pun cukup puas dengan presentasi saya karena saya sudah melakukan yang terbaik dan saatnya berpasrah. Hari pengumuman penerimaan bertepatan dengan hari di mana saya me­ngumpulkan skripsi soft cover sebelum sidang. Jadi, siangnya saya me­ ngumpulkan, pas balik, buka pengumuman dan jeng jeng!

Pengumuman akhir

Namanya anak alay, saya langsung menyebarluaskan di media sosial. Saya juga memberitahukan ke bapak Dekan di Fakultas saya dan tentu saja mama saya. Rasanya bahagia sekali hari itu. Tidak pernah sebahagia itu. Akan tetapi, kebahagiaan saya dengan cepat berganti dengan air mata. Ada 2 masalah utama: ijazah dan uang. Saya memang akan lulus yudisium sebelum September (sok yakin, padahal sidang saja belum). Akan tetapi, ija­zah baru akan dibagikan pada November sebelum wisuda. Padahal UST minta ijazah sebelum September. Alhasil, saya pun mengontak UST ber­ usaha untuk menego. Saat itulah, profesor saya mulai mengontak saya ka­ re­na mendengar masalah ini dari UST. Dengan bantuan profesor, akhirnya berhasil menego supaya UST menerima surat keterangan lulus yang sudah dimodi­fikasi oleh UMN sesuai permintaan UST sebelum ijazah asli pada awal Desember. Sekali lagi, semua ini terjadi sebelum saya sidang. Saya juga “jatuh cinta” dengan profesor saya mulai saat itu karena saya merasakan sifat “kebapakan” di emailnya.

18


Bermodal Nekat Mencapai Korea

Saat santai bersama teman-teman

Masalah kedua adalah bagaimana mengumpulkan uang untuk pesawat, biaya hidup, visa, dan biaya pendaftaran. Semua tabungan dan deposito dikerahkan tetapi masih kurang. Sempat berpikir untuk meminta bantuan UMN dengan ganti kontrak kerja. Akan tetapi saya ragu untuk mengambil kontrak kerja karena tidak bisa bebas mengambil Ph.D. atau kesempatan yang lain setelah lulus. Di tengah kebingungan saya, tiba-tiba ada “malaikat” datang. Beliau adalah kakak kelas yang baru saya kenal sekitar 1 tahun. Beliauyang-namanya-tidak-mau-disebutkan menghampiri saya dan mau mem­beri­ kan saya pinjaman tanpa bunga tanpa batas asalkan saya merahasia­kan identitasnya. Saya dapat pinjaman Rp 8 juta. Saya langsung nangis di tempat saking terharunya. Dengan pinjaman itu, saya berani mengambil keputusan untuk tidak mengambil kontrak kerja. Sempat mencoba meminta ke gereja Rp 20 juta. Tetapi, hanya dapat pin­ jaman Rp 10 juta yang dicicil Rp 1 juta per bulan dimulai pada bulan Agus­tus. Padahal, gaji pertama akan saya dapat baru pada September akhir. Dengan kata lain, gereja hanya dapat meminjamkan Rp 8 juta. Mama juga me­minta pinjaman dari teman-temannya. Ada yang memberikan, ada yang memin­ jamkan. Akhirnya, saya memiliki uang yang lebih dari cukup untuk bertahan hidup walaupun itu uang orang haha. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Sidang saya mulus, revisi mulus, semua beres. Surat Keterangan Lulus modifikasi juga sudah diterima. Masa­ lah saya berikutnya adalah Visa. Melihat pengalaman-pengalaman orang

19


Merajut Cita di Negeri Ginseng

mengurus visa, saya tidak perlu memberikan bukti tabungan Rp 100 juta asal­kan ada certificate of scholarship. Saya pun apply tanpa membawa bukti tabungan. Akan tetapi, mbak di kedutaan minta bukti tabungan Rp 100 juta. Cari 100 juta dari mana? Tetapi setelah berbicara ke mbaknya, saya pun coba mengumpulkan bukti tabungan di hari berikutnya walaupun jauh di bawah Rp 100 juta dan kebanyakan uang yang didapat adalah di saat-saat akhir (akibat pinjaman). Butuh waktu 5 jam juga bolak balik rumah ke kedutaan.

Foto jalan-jalan bersama teman

Seminggu kemudian, saya mendapatkan kabar tidak mengenakkan dari kedutaan. Kedutaan tetap meminta bukti rekening Rp 100 juta. Saya pun langsung kontak profesor saya yang akhirnya dengan senang hati membantu saya menghubungi pihak UST yang bisa membantu urusan visa saya. Saya pun juga menghubungi pihak kedutaan untuk dicarikan jalan kedua. Akhir­ nya, jalan tengah adalah menggunakan rekening profesor dan surat pernyataan dari profesor. Setelah saya memberikan kabar itu ke profesor saya, keesokannya beliau langsung mengirimkan scan rekening 3 bulan, slip gaji, dan surat pernyataan. Slip gaji memang tidak diminta, tetapi diberikan oleh profesor saya untuk lebih menjamin diterimanya visa saya. Saya jadi tahu gaji profesor saya deh hehe. Hari itu juga, saya langsung print dan langsung pergi ke kedutaan. Syukurlah, keesokan harinya visa saya jadi. Profesor saya juga membantu saya dengan memberikan petunjuk arah dari bandara ke Daejeon dan bagaimana menghubungi beliau dengan Wi-Fi atau dengan telepon umum. Beliau juga mengatakan akan menjemput saya di Daejeon. Semua itu membuat saya tenang.

20


Bermodal Nekat Mencapai Korea

Setelah semua masalah itu, akhirnya, saya pun berhasil memulai babak baru di hidup saya yang akan lebih penuh tantangan dan harapan menjadi manusia yang lebih baik dan pada akhirnya akan menjadi orang yang ber­ guna bagi bangsa dan negara. Note: saya juga baru kali ini naik pesawat jauh-jauh. Dulu masih kecil, naik pesawat cuma 1 jam. Jadi, lumayan mabok udara *ndeso*.

Penulis: Marcella Astrid adalah mahasiswi program Master di bidang Computer Software, University of Science & Technology (과학기술연합대학원대학교). Penulis adalah penerima beasiswa dari UST.

21


22


Dari Serambi Mekkah ke Negeri Ginseng 아체에서 한국까지 Andri Wardana Dongguk University, Seoul, Korea Selatan

Siapa yang tidak tahu Korea Se­ latan? Kira-kira begitulah yang di­ ungkap­kan oleh kebanyakan orang un­tuk meng­gambarkan se­buah ne­­gara yang sangat terkenal de­ngan K-wave saat ini. Iklim subtropis de­ngan empat musim yang berbeda se­ panjang tahun di negara ini mem­ berikan kesan khusus bagi setiap wisatawan asing terutama bagi mereka yang berasal dari negara tropis karena keberadaan salju adalah salah satu daya tarik khas Korea Selatan yang menjadikannya salah satu negeri impian yang harus dikun­jungi. Negara yang sering dijuluki dengan Negeri Ginseng ini ter­nyata tidak hanya terkenal akan industri teknologinya, tetapi juga terkenal akan industri hiburan dan pariwisatanya. Selain itu, me­nurut Global Report dari Pearson 2014, Korea Selatan me­nem­pati peringkat pertama de­ ngan sis­ tem pendidikan terbaik di dunia. Mungkin itulah sebab­ nya me­ ngapa jutaan wisata­ wan dari se­ luruh penjuru dunia berbondong-bondong menjejak­ kan kakinya di Korea Selatan. Kemudian, tak sedikit pula maha­ siswa internasional (terma­suk pe­ nulis sendiri) yang datang un­tuk

23


Merajut Cita di Negeri Ginseng

menimba ilmu sambil meng­eksplorasi keindahan alam di negara yang juga dijuluki dengan The Land of the Morning Calm ini. Sampai di sini saya coba menerka, setidaknya pasti ada beberapa per­ tanyaan yang muncul dari pikiran teman-teman pembaca semua. Di antara­ nya, bagaimana saya mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa lewat program Global Korea Scholarship (GKS) di Korea? Kemudian apa saja per­ syaratan yang diperlukan untuk melamar program tersebut? Dan mengapa saya memutuskan untuk berpartisipasi dalam program tersebut? Baiklah, karena sudah pada penasaran, berikut ini akan saya paparkan jawaban detail untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.

Bagaimana saya mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa (GKS) di Korea? Mungkin kebanyakan teman-teman yang lain mendapatkan informasi beasiswa dari Kantor Urusan International di kampus mereka masing-masing, sama halnya dengan saya. Tetapi, tidak dengan beasiswa GKS ini, karena infor­­ masi beasiswa pertukaran mahasiswa (GKS) di Dongguk University ini saya temu­ kan ketika sedang asyik browsing. Jujur saya sangat suka mencari informasi tentang beasiswa lewat media sosial seperti di Facebook, Twitter, dll. Saat itu saya membaca sebuah postingan dari akun ‘ASEAN University Network’ di Facebook tentang beasiswa GKS di Dongguk University (Fall 2015). Lalu saya pahami isi dan persyaratannya. Saya pun merasa sanggup untuk melengkapi berkas dengan deadline selama satu minggu sejak hari itu.

Apa saja persyaratan yang diperlukan untuk melamar program GKS? Adapun persyaratan yang harus saya lengkapi ketika melamar program itu yaitu: Mengisi GKS nominee information (formulir pendaftaran yang di­ sedia­kan oleh panitia), academic transcript (IPK di atas 80% dari total 4,0), language certification (di sini kita boleh melampirkan hasil TOPIK atau TOEFL, pada waktu itu saya melampirkan sertifikat TOEFL dengan skor 507), self intro­duction (sejenis resume), recommendation letter (dari dosen ter­dekat, de­kan, atau rektor), dan verification of winning awards (sertifikat pres­tasi atau penghargaan). Setiap berkas di atas memiliki porsi nilai masing-masing dan semuanya harus dikirimkan dalam bentuk softcopy melalui kantor urusan internasional di kampus saya.

24


Dari Serambi Mekkah ke Negeri Ginseng

Mengapa saya memutuskan untuk berpartisipasi dalam program GKS? Sejak hari pertama kuliah, saya sudah berniat bahwa saya ingin sekali untuk belajar di luar negeri. Keinginan ini sudah lama saya pendam, dan menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih kuliah di jurusan Pen­ didikan Bahasa Inggris. Di jurusan inilah saya mendapatkan ilmu yang luar biasa dari dosen-dosen dan teman-teman saya.

Kegiatan Global Friendship Tour bersama mahasiswa asing yang ada di Korea

Waktu berlalu begitu cepat, semester demi semester silih berganti tanpa terasa. Sampai pada semester keenam (Agustus 2014, yakni setahun sebelum saya mendapatkan beasiswa GKS), saya juga pernah lulus dalam seleksi pertukaran mahasiswa ke Dicle University, Turki, melalui Mevlana Exchange Program. Namun, sayangnya saya harus membatalkan keikutsertaan saya pa­da program yang dijadwalkan mulai dari Februari sampai dengan Juni 2015 itu. Alasan terbesarnya adalah biaya, karena Mevlana Exchange Pro­ gram tidak menanggung biaya pesawat peserta untuk pergi dan pulang Indonesia-Turki. Meskipun agak frustasi pada waktu itu, namun saya tetap berusaha untuk berpikir positif dan selalu optimis. Lagipula saya sudah berjuang untuk bisa berpartisipasi pada program ini dengan mengajukan proposal permo­ honan bantuan dana langsung ke DIKTI, namun kurang beruntung lantaran proposal saya ditolak. Namun, tidak terhenti sampai di situ, saya tidak merasa jera untuk te­ rus berburu beasiswa program pertukaran mahasiswa. Hingga tiba waktu­ nya (Mei 2015), saya bertemu dengan beasiswa GKS di Dongguk Uni­versity. Kebetulan pada waktu itu, saya sedang sibuk melaksanakan dan menulis

25


Merajut Cita di Negeri Ginseng

laporan akhir PPL (Program Pengalaman Lapangan) di MAN Model Banda Aceh. Di sela-sela jam mengajar dan piket di sekolah ini, saya meminta izin dari guru pembimbing untuk mengurusi semua berkas-berkas yang menuntut saya untuk bolak-balik dari sekolah ke kampus yang berjarak 40 menit de­ ngan mengendarai sepeda motor selama hampir seminggu. Alhamdulillah, akhirnya pada tanggal 29 Juni 2015 saya mendapat ka­ bar bahwa saya lulus seleksi administrasi dan terpilih menjadi salah satu dari tiga delegasi Indonesia. Karena mendapat dukungan dari orang tua dan dosen pembimbing skripsi, saya pun memutuskan untuk berangkat meski ha­rus menunda penyelesaian skripsi saya. Saya berani mengambil resiko ini karena motto hidup saya adalah “Semakin besar impian atau cita-cita, se­ makin besar pula pengorbanan yang harus dilakukan”. Selama program ini, selain mengikuti kuliah di Dongguk Univerisity, saya dan para GKS awardee lainnya juga diberikan pelatihan bahasa Korea, special lectures yang disampaikan oleh pembicara profesional, dan penge­ nalan terhadap budaya Korea baik yang tradisional maupun modern dengan berkunjung ke beberapa situs wisata menarik di Korea. Oleh karena itu, tinggal dan belajar di Korea selama satu semester (Agustus-Desember 2015) telah memberikan saya banyak pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga. Mulai dari ilmu, wawasan, serta teman-teman yang baik dan hebat dari berbagai negara yang akan selalu saya rindukan.

Saat musim dingin di depan kampus Dongguk University, Seoul, Korea Selatan

Selain itu, karena saya suka berorganisasi, selama tinggal di Korea saya juga bergabung menjadi anggota aktif di Persatuan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA). Di sana saya bertemu dengan banyak senior dari

26


Dari Serambi Mekkah ke Negeri Ginseng

Indonesia yang kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa program magis­ ter dan doktoral di berbagai universitas terkemuka di Korea. Prestasi mereka yang luar biasa hingga bisa kuliah ke luar negeri dengan beasiswa membuat saya terkagum-kagum.

Kegiatan jalan-jalan bersama PERPIKA

Dalam beberapa kesempatan ketika ada tamu dari kementerian di Indone­sia yang berkunjung ke KBRI Seoul, saya dan beberapa senior di PERPIKA lainnya turut diundang untuk hadir. Di sinilah terjadi momentum di mana kami dapat melepaskan rasa rindu akan suasana nusantara walau hanya beberapa jam saja. Kemudian, ada banyak kegiatan PERPIKA lainnya yang sempat saya ikuti selama saya berada di Korea seperti gathering, rekreasi, olahraga, dan latihan musik di KBRI Seoul. Ikatan kekeluargaan yang kuat di PERPIKA, serta pengalaman yang sangat luar biasa yang saya dapati dari program GKS ini membuat saya merasa begitu nyaman tinggal di Korea. Tentu saja, semua hal tersebut semakin mengokohkan niat saya untuk terus belajar dengan sungguh-sungguh demi menggapai segala citacita saya. Akhir kata, semoga sukses untuk kita semua, dan semoga kita bisa men­jadi generasi emas bangsa Indonesia di masa depan. Kamsahamnida Korea.

Penulis: Andri Wardana adalah mahasiswa yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa ‘GKS (Global Korea Scholarship) Program for Foreign

27


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Exchange Student’ selama satu semester (Fall 2015) di jurusan English Language and Literature, Dongguk University, Seoul, Korea Selatan. E-mail: awardanasku@gmail.com.

28


Fly as you can and catch your dream

높이 날아 꿈을 잡다 Citasari Hendrasetiafitri Chungnam National University, Daejeon

Clap along if you feel like happiness is the truth…. Because I am happy…… Clap along if you know what happiness is to you…. Because I am happy…... Tiba-tiba saja aku terbangun oleh suara dering hapeku. Mataku setengah terbuka ketika kulirik jam dan mengangkat telepon itu. “Hallo…. “, jawabku dengan suara parau. “Hallo, anak ibu cantik. Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu se­lalu sehat, cepet pulang dan lancar seko­ lah­nya, ya”. Ah, ternyata telepon itu dari Ibuku. “Iya Ibu sayang, terima kasih ya, kok pagi-pagi sekali, Bu?” kataku. “Di sini sudah jam 6 pagi… anakanak masih tidur?” Kulirik dua wajah cantik dan se­ orang lelaki tampan di sampingku yang masih tertidur pulas.

29


Merajut Cita di Negeri Ginseng

“Iya Ibu, Karin agak panas badannya” kataku. “Jaga kesehatan kalian. ya, jangan lupa minum vitamin, Ibu selalu berdoa buat kalian”. “Iya, Ibu. Terima kasih. Ibu dan Bapak jaga kesehatan juga, ya…. Miss you” Klik, kudengar suara telepon ditutup. Setiap hari ibu memang selalu me­ nelepon, hanya sekedar untuk menanyakan kabar kami. Nama saya Cita, hari itu hampir genap dua tahun kami sekeluarga me­ netap di Daejeon, sebuah kota yang terletak di Korea Selatan dengan julukan Sillicon Valley. Kota ini merupakan pusat kantor-kantor pemerintah. Meneruskan sekolah ke negeri ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidup saya karena keterbatasan saya sebagai wanita karir (bukan bekerja di lembaga penelitian) sekaligus istri dan ibu dari dua orang anak. Otak ini juga rasanya sudah terlalu tua untuk menghafalkan rumus-rumus kimia dan bersaing dengan para anak muda. Maklumlah sudah 12 tahun yang lalu saya meninggalkan bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor jurusan Teknologi Hasil Hutan. Karir saya dan suami pun sudah terbilang mapan. Suami saya ada­lah seorang arsitek dan saya bekerja di sebuah BUMN Kehutanan. Anakanak pun sudah tenang bersekolah di sebuah TK swasta dekat dengan rumah kami. Karina, anak saya yang paling besar, berumur 5 tahun ketika pertama kali datang ke Korea dan Belva, adiknya, berumur 3 tahun. Masih teringat dengan jelas, ketika pengumuman beasiswa datang dan ternyata saya dinyatakan lolos, semua perasaan campur aduk datang meng­ hampiri. Senang, sedih, excited, takut, bimbang semuanya jadi satu. Ter­ banyang bagaimana nanti kehidupan kami di sana. Dengan pertimbangan yang panjang, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil kesempatan emas itu dan meninggalkan comfort zone yang telah kami bangun. Suami saya selalu mengingatkan bahwa bersekolah di luar negeri adalah cita-cita saya sebelum menikah dan dia sudah berjanji akan selalu menemani saya. ‘We will not know until we try it’ katanya. Waktu itu yang membuat kami berat adalah masalah financial karena masih banyak kewajiban cicilan yang harus kami bayar (rumah dll). Masih belum terbayang bagaimana cara membayar semua cicilan dengan uang beasiswa dan sisa gaji saya yang jumlahnya hanya setengahnya saja (tanpa tunjangan) dan mas Yudit yang harus berhenti bekerja. Terlebih lagi, visa Korea untuk F-3 (family visa) bisa diterbitkan setelah ARC (Alien Registration Card) pemilik visa D-2 (saya) diterbitkan, yang artinya saya harus berangkat terlebih dahulu dan keluarga akan menyusul sekitar 1-2 bulan kemudian.

30


Fly as you can and catch your dream

O ya, beasiswa yang saya dapatkan adalah beasiswa dari KGPA (Korea Green Promotion Agency) sebuah badan milik Pemerintah yang berada di bawah KFS (Korea Forestry Service). Jadi, beasiswa ini khusus untuk bidang ke­hutanan saja. Tidak seperti KGSP (Korea Government Scholarship Program), beasiswa KGPA tidak mengharuskan penerima beasiswanya un­ tuk mengikuti kelas bahasa selama satu tahun. Jadi, jangka waktu bea­siswa untuk Master Program hanya 2 tahun saja. Namun, penerima beasiswa mendapatkan jatah 6 bulan kursus Bahasa Korea gratis. Benefit yang diberi­ kan oleh KGPA juga cukup besar, yaitu sekitar 1 juta Won/bulan (sekitar Rp 11 juta) dengan uang buku sebesar 200 ribu/semester. Ada juga first allowance sekitar 400 ribu Won yang dibayarkan di awal kedatangan. Ada pula thesis allowance sebesar 1,5 juta Won yang dibayarkan menjelang kepulangan. Bagi teman-teman yang tetarik meneruskan kuliah di bidang kehutanan, bisa mencoba beasiswa ini. Keterangan mengenai beasiswa ini bisa dilihat di http://ago.kgpa.or.kr/engboards/view/eng_announ/224289. Melalui beasiswa KGPA, Alhamdullilah saya diterima di Chungnam Natio­ nal University (CNU), Collenge of Agriculture and Life Science, Depart­ment of Bio-based Material Engineering untuk program Master. Saya memutuskan untuk tinggal di Family Dormitory, dengan pertimbangan tinggal di lingkungan asrama lebih aman dan tidak membutuhkan uang deposit (uang kunci). Biaya untuk tinggal di asrama adalah sekitar 2,4 juta Won/6 bulan. Saat pertama kali saya menginjakkan kaki di bandara Incheon, ada rasa sedikit tidak percaya mengapa saya bisa mengambil keputusan ini. Kalau seandainya saat itu saya berada di Terminal Lebak Bulus, mungkin saya sudah naik bis lagi untuk kembali ke rumah he … he…. ‘Come on Cita you can do it, reach your dream and fly as you can’. Jarak Incheon-Daejeon adalah sekitar 2,5 jam menggunakan airport limosine bus dengan biaya sebesar 26.000 Won (Rp 300 ribu). Sekitar 3 jam perjalanan sampailah saya di CNU Dormitory. Kamar saya berukuran kurang lebih 33 m2 yang terbagi menjadi bagian dapur dan kamar tidur. Tidak begitu besar, tetapi cukup untuk kami berempat. Sistem pendidikan program Master di Korea kebanyakan adalah sistem laboratorium. Sistem ini seperti layaknya orang bekerja di kantor. Masingma­sing orang diberikan meja sendiri yang dilengkapi dengan komputer. Ke­ giatan nge- Lab dimulai pukul 9 sampai dengan pukul 6. Teman lab saya ber­ jumlah 6 orang laki laki dan saya adalah satu-satunya foreigner. Jarak Lab ke dormitory sekitar 15 menit berjalan kaki tetapi tidak perlu khawatir karena setiap 15 menit terdapat bis kampus yang bersliweran. Bulan pertama di Lab, profesor hanya menyuruh saya untuk banyak membaca dan me-review jurnal selain mengikuti kelas. Dulu setiap hari saya selalu mengeluh, semua

31


Merajut Cita di Negeri Ginseng

kelas dalam bahasa Korea. Ilmu yang diajarkan juga tergolong baru bagi saya dan yang lebih membuat saya stres adalah peralatan-peralatan yang harus dioperasikan di Lab. OMG. Tapi, untunglah semua teman lab bersedia untuk membantu menjelaskan tentang bagaimana menggunakan peralatan dan sekaligus menjadi penerjemah gratis. Mungkin karena umur saya jauh lebih tua dari mereka atau karena ‘the power of Indonesian food’ (hampir setiap minggu saya memasak makanan Indonesia untuk mereka).

Bersama profesor(dosen) dan teman-teman makan bersama

Sekarang saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan saya ketika sua­mi dan anak-anak tiba di Korea. Mereka semua adalah tim supporter saya yang paling hebat. Sakit kepala akibat deadline paper dan otak yang me­manas karena roaming Bahasa Korea seketika hilang dengan pelukan dan senyuman mereka. Karina, anak saya yang paling besar berumur 6 tahun ketika masuk yuchiwon (sebutan TK negeri di Korea), di Indonesia pasti para orang tua sudah berlomba-lomba untuk bisa memasukkan anaknya ke sekolah dasar di umur 6 tahun, tetapi di sini tidak bisa. Di korea, pemerintah sangatlah konsisten (ketat). Umur masuk sekolah dasar adalah 7 tahun (SD swasta dan SD negeri). Saya sempat sedih juga ketika Karina harus masuk TK kembali di sini, karena saya khawatir dia akan minder melihat teman sebayanya sudah kelas dua ketika kami pulang ke Indonesia nanti. Setiap harinya yuchiwon dimulai dari pukul 9 sampai jam 2 siang. Untuk menu disekolah, karena kami Muslim, biasanya saya akan membawakan bekal ketika menu hari itu tidak halal. Sekolah ini hanya gratis untuk warga Korea, bagi warga asing seperti

32


Fly as you can and catch your dream

saya, tetap harus membayar uang susu dan uang makan, yaitu sekitar 45.000 Won (Rp 600.000).

Kegiatan di sekolah dengan memakai pakaian tradisional Korea

Yuchiwon ini juga punya koleksi buku yang lengkap, setiap hari Selasa setiap anak boleh membawa satu buku yang akan dikembalikan di hari Jumat dan mereka akan bercerita di depan kelas tentang isi buku yang mereka pin­ jam. Di yuchiwon kebetulan ada seorang anak Indonesia. Sisanya, 23 orang adalah orang Korea dan satu di antaranya adalah disabled (anak cacat). O, iya, ada satu lagi yang membuat saya takjub. Setiap minggunya ada sele­ baran tentang parenting education yang isinya seputaran tip-tip tentang cara mendidik anak (amazing, kan?), Well, negara ini memang katanya tidak ber­ tuhan dan memang agama tidak diajarkan di sekolah. Akan tetapi, setidak­ nya sekolah ini sangat menghargai nilai nilai kebaikan (kehidupan) seperti: kejujuran, tolong menolong, disiplin, saling menghormati, empati, percaya diri, etc. Semua kegiatan mengurus anak dan rumah kami kerjakan bersamasama. Teringat jelas bagaimana kehidupan kami dulu di Indonesia. Setiap pagi sudah tersedia secangkir teh hangat dan sarapan di meja. Rumah pun sudah besih dan rapih ketika kami baru bangun tidur. Ternyata kehidupan kami di sini telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman tentang hidup. Barang-barang kebutuhan yang mahal membuat saya harus selalu berhemat dan tidak pernah membusukkan isi kulkas. Dulu ketika di Indonesia setiap saya melakukan stock opname (sebulan sekali), ada saja sayuran yang busuk dan harus dibuang. Di sini pun saya menjadi senang mencoba masakan-masakan baru, suatu hal impossible yang bisa saya lakukan dahulu. Nasi kering sisa pun bisa disulap menjadi pempek nasi (dos) yang

33


Merajut Cita di Negeri Ginseng

enak. Setiap harinya mas Yudit yang bertugas mengantar-jemput Karina ke sekolah. Belva belum bisa bersekolah di TK negeri karena kendala umur. Kami memutuskan untuk tidak menyekolahkan Belva ke sekolah swasta karena mahal (Rp 5 juta/bulan). Jadilah Belva homeschooling dengan mas Yudit. Biasanya ketika istirahat siang saya selalu menyempatkan diri untuk pulang ke dormitory untuk sekedar makan siang bersama. Hampir setiap akhir pekan kami sekeluarga pasti menyempatkan diri untuk pergi piknik ke Yuhrim Park, sebuah taman kota di Daejeon di mana kami bisa menikmati udara segar, alat fitness gratis, taman bermain atau sebatas duduk santai di bangku taman. Itulah hiburan gratis yang cocok untuk mahasiswa seperti saya. Yuhrim park terletak di seberang sungai yang membelah kota Daejeon.

Keindahan dan kebersihan sungai di Korea

Sungai ini dibuat indah dan bersih. Kami masih sering melihat bermacammacam ikan di sungai ini. Ada sekelompok bebek bahkan burung bangau pun masih sering juga kami lihat. Sisi kiri dan kanan sungai ini dibuat sebagai jalur sepeda dan pejalan kaki dengan banyak bangku untuk bersantai. Di waktu summer, biasanya banyak keluarga dan muda-mudi yang memasang tenda di sepanjang sungai ini sekedar untuk bercengkerama hingga larut malam atau ber-barbeque ria. Pemerintah Korea memang sangat peduli terhadap pembangunan ta­ man kota. Bagi warga korea, keberadaan taman kota sudah merupakan bagi­ an dari kehidupan mereka. Taman adalah tempat healing bagi mereka. Coba bandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia dengan ruang terbuka hijau yang sangat sulit sekali ditemukan.

34


Fly as you can and catch your dream

Ayo tebak! Apa yang membuat kami merasa feels like home di kota ini? Yes, jawabnya adalah bahwa karena di Daejeon ternyata kami tidak sen­ diri. Pelajar Indonesia di Chungnam National University ternyata tergolong banyak. Hubungan kami di sini sangatlah dekat. Rasa senasib sepenang­ gungan membuat kami seperti layaknya saudara. Sudah dua kali lebaran kami lewati di Negeri Ginseng ini dan Alhamdulilah tradisi sholat Ied di lapang­an dan makan opor lengkap menjadi ritual wajib kami sesama warga Muslim di Daejeon.

Mempersiapkan menu makan bersama

Tidak terasa sudah hampir 8 musim sudah berganti dan perjuangan pun sudah hampir sampai di garis finish. Pada bulan Februari 2016 kami sekeluarga kembali ke Indonesia. Doakan semoga ke depannya semuanya lancar ya teman-teman.

35


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Booth mahasiswa Indonesia di acara festival kampus

Cerita ini saya buat untuk menginspirasi teman-teman pencari beasiswa (laki-laki atau perempuan) yang kebetulan sudah berkeluarga untuk tidak perlu takut membawa serta keluarga. Mereka adalah tim supporter terhebat untuk meraih kemenangan dan saya sudah buktikan sendiri. Jangan takut untuk melangkah. Menurut saya, hidup itu hanya sekedar ‘PERNAH’ dan yang paling penting adalah ketika rasa ‘PERNAH’ itu menjadikan kita lebih bersyukur. Fly as you can and reach your dream.

Penulis: Citasari Hendrsaetiafitri adalah mahasiswi College of Agriculture and Life Science, Department of Biobased Material Engineering, Chungnam National University. Penulis adalah penerima beasiswa KGPA (Korea Green Promotion Agency). E-mail: cita_fitri@yahoo.co.id.

36


Sebuah Mimpi yang Hampir Mustahil untuk Tercapai 하늘의 별따기 같은 꿈을 이루다 Vivin Septiani Jatmiko Daejeon University

Perjalanan ini awalnya dimulai dari sebuah mimpi sejak saya duduk di bangku SMA kelas 2. Saat itu, layaknya banyak anak muda lainnya yang tergila-gila dengan K-Pop dan Hallyu Wave, saya pun tak luput dari sindrom tersebut. Saya menjadi seorang perempuan puber yang tergila-gila dengan oppa oppa Super Junior. Semenjak menyukai boygroup itu, saya pun mulai mencari dan menikmati Korea Selatan secara keseluruhan. Kuton­ton dramanya, kudengar lagu-lagunya, ku­ cari update terbaru tentang Super Junior dan dunia entertainment Korea lainnya, ku­ nikmati reality show bahkan budaya-budaya dan kehidupan sosial di Korea Selatan. Lambat laun, saya pun tidak hanya men­ cintai Korea karena Hallyu-nya saja, namun juga tertarik dengan kehidupan so­ sialnya. Saya menyukai bagaimana negara ini bisa mengemas budayanya dengan be­­ gitu menarik meskipun sebenarnya Korea banyak memiliki keterbatasan. Dibanding­ kan dengan Indonesia, secara pri­badi saya yakin bahwa objek pariwisata di Indonesia jauh lebih menarik. Akan tetapi, bagaimana Korea bisa membuat budaya tradisionalnya menjadi sesuatu yang menjual di pasar dunia dan mengemas hal-hal kecil menjadi

37


Merajut Cita di Negeri Ginseng

sesuatu yang menarik adalah sesuatu yang membuat saya penasaran dan ingin mempelajari negara ini dengan harapan agar saya juga dapat me­nemu­ kan cara untuk mengemas budaya dan objek pariwisata Indonesia menjadi sesuatu yang menjual di pasar dunia. Dan saya merasa bahwa langkah awal yang harus ditempuh untuk memuaskan rasa penasaran ini adalah dengan mengunjungi Korea secara langsung. Saya sendiri tak ingat kapan tepatnya saya mulai bermimpi untuk menjadikan Korea Selatan menjadi negara per­ tama yang ingin saya singgahi. Namun yang masih terbekas di dalam memori adalah bahwa mimpi itu perlahan-lahan menjadi sebuah tekad dan cita-cita besar yang tertanam di otak setiap harinya. Layaknya mimpi-mimpi besar manusia lainnya, pergi ke Korea adalah se­buah hal yang rasanya hampir mustahil untuk diwujudkan. Saya bukan ber­asal dari keluarga mampu yang punya cukup uang. Bahkan untuk seka­ dar berlibur di tempat-tempat pariwisata Indonesia pun bukanlah hal yang mudah. Jadi pergi ke Negeri Ginseng dengan biaya sendiri atau bantuan keluar­ga tidak masuk dalam daftar pilihan saya. Kalau pun mampu, mung­ kin akan terjadi ketika saya sudah bekerja dan mapan sehingga tidak perlu meminta uang lagi kepada orang tua. Satu-satunya jalan yang mampu ter­ lintas di pikiran saya adalah dengan mencari dan mendapatkan full scholar­ ship atau beasiswa yang memang menanggung penuh segala biaya yang diperlukan selama program berlangsung, entah untuk sekedar exchange atau mendapatkan gelar sarjana di sana. Saat saya masuk ke universitas dan mulai mencari beasiswa yang ter­ sedia, saya mulai menyadari bahwa hampir semua bentuk full scholarship untuk ke Korea tersedia apabila universitas tempat belajar di Indonesia men­ jalin hubungan atau kerja sama dengan universitas di Korea. Saat itu univer­ sitas tempat saya belajar hanya memiliki jalinan kerjasama dengan salah satu universitas di Busan. Tidak terlalu banyak informasi yang bisa saya dapatkan kecuali informasi bahwa pertukaran pelajar menjadi salah satu bentuk kerja sama antara dua universitas tersebut. Saya merasa mulai mendapatkan ha­ rapan dan mencari informasi lebih lanjut mengenai bagaimana pertukaran pela­jar antara dua universitas ini berlangsung. Namun, setelah beberapa lama men­cari ke berbagai pihak, tetap tidak ada informasi jelas yang bisa saya dapat­ kan selain permintaan untuk menunggu dan terus memantau website atau aktif bertanya ke pihak fakultas. Setelah sekitar satu hingga dua semester menunggu dan tidak pula mendapatkan kabar baik atau informasi mengenai pertukaran pelajar ini, saya pun mencoba bertanya kembali beberapa kali ke international office. Namun jawaban mereka tetap sama bahwa tidak ada pertukaran pelajar apapun ke Korea yang tersedia saat itu. Merasa tidak puas dengan jawaban

38


Sebuah Mimpi yang Hampir Mustahil untuk Tercapai

yang diberikan, saya mencoba untuk kesekian kalinya mencari informasi di berbagai website hingga menemukan sebuah program yang saat itu bernama “ASEAN Leaders Fostering Program 2013-2014â€?. Semua persyaratannya cocok dengan saya kecuali satu statement yang menyebutkan bahwa penyelenggara beasiswa ini, ASEAN University Network (AUN), memiliki daftar universitas-universitas di ASEAN yang menjadi anggota mereka dan lagi-lagi universitas saya tidak berada di dalam daftarnya. Saat itu saya sudah hampir menyerah karena mengira bahwa hanya mahasiswa universitas yang menjadi anggota AUN saja yang bisa mendaftar program tersebut sehingga saya mengabaikan program ini hingga satu hari setelah waktu tenggat aplikasi telah lewat. Saya membaca kembali detil program tersebut dan baru menyadari bahwa universitas lain selain member AUN pun boleh mendaftar! Penyataan tersebut layaknya sebuah lilin yang menerangi kehidupan saya, meskipun nyalanya tak terlalu terang tetapi tetap cukup untuk menun­ jukkan adanya jalan yang bisa kutempuh. Saya pun bertekad untuk bersiap diri dan mendaftar di tahun depan. Namun, ternyata saya harus mengurungkan niat tersebut setahun setelah tekad itu muncul karena ketidakmampuan keluarga membiayai tes kesehatan untuk melengkapi dokumen aplikasi yang diwajibkan. Ibu meminta saya untuk bersabar dan mencoba tahun depan, tepatnya di tahun ketiga kuliah. Tahun ketiga artinya tahun tersebut adalah kesempatan terakhir yang saya miliki untuk mencari atau mencoba mendapatkan beasiswa. Apabila gagal untuk mendapatkan beasiswa apapun hingga semester 7, saya harus mengubur mimpi dan fokus mengerjakan laporan magang serta skripsi agar bisa lulus dengan cepat atau setidaknya lulus tepat waktu. Merasa mulai terdesak, saya pun mulai gencar mencari konferensi atau pun hadiah liburan

39


Merajut Cita di Negeri Ginseng

ke Korea yang menyediakan akomodasi dan tiket pesawat pulang-pergi gratis. “Kalo emang gak bisa ke Korea dalam jangka waktu yang lama, paling nggak menginjakkan kaki dan melihat dengan mata kepala sendiri negara itu saja. Gapapa deh meskipun cuma beberapa hari,” itulah yang ada di benak saya saat melihat peluang yang hampir mendekati nol untuk bisa meraih mimpi besar untuk bisa pergi ke Korea Selatan. Beberapa kali mengikuti seleksi lomba dan konferensi, tampaknya saya tidak pernah cukup beruntung atau memenuhi kriteria yang mereka inginkan untuk bisa menjadi delegasi atau mendapatkan hadiah utama ke Korea hingga akhirnya program yang diorganisir oleh AUN dan Daejeon University kembali dibuka meskipun kali itu mereka mengubah nama programnya menjadi “Fostering ASEAN Future Leaders Programme 2015-2016”. Saya pun mengisi aplikasi pendaftaran dengan anggapan bahwa inilah kesempatan terakhir yang tersedia. Entah apakah keberadaan saya di Korea Selatan saat ini bisa disebut “keberuntungan” atau pun “hasil” dari sebuah keyakinan yang tak pernah padam, saya tak tahu. Namun, saya percaya bahwa pencapaian saya saat ini merupakan tanda bahwa saya adalah pribadi beruntung yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar lebih banyak dan membuka diri semakin luas dengan pengalaman, perjalanan, dan kejutan-kejutan hidup tak terduga selama mengikuti program yang berlangsung selama 10 bulan ini. ***

40


Sebuah Mimpi yang Hampir Mustahil untuk Tercapai

Dahulu saya memiliki mindset ingin meraih sebuah pencapaian besar atau mimpi besar atas/dengan usaha saya sendiri. Saya ingin membuktikan kepada banyak atau bahkan semua orang bahwa saya mampu meraih mimpi dengan usaha dan kerja keras sendiri. Tapi, itu dahulu. Sekarang saya mengerti dan justru merasa yakin bahwa saya tidak akan bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri, apalagi bila itu berkaitan dengan sebuah pencapaian yang besar. Sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang sedari SD dahulu sudah saya pelajari dan langsung saya amini dengan khidmat, nyatanya baru benar-benar saya sadari pada saat memulai perjalanan ini. Dan memang benar. Perjalanan ini tidak akan pernah mungkin terjadi tanpa bantuan dari banyak orang dan pihak yang dengan sukarela bersedia untuk membantu da­lam berbagai macam bentuk, mulai dari support hingga membantu saya secara langsung untuk membuat permulaan dari perjalanan yang akan saya lakukan ini menjadi mungkin. Saat pertama kali saya membulatkan tekad untuk mengisi aplikasi program ini, saya menyadari bahwa saya akan mem­ butuhkan bantuan beberapa orang. Tetapi, saya sungguh tidak menyangka bahwa akan ada begitu banyak orang yang dengan senang hati membantu untuk meraih sebuah mimpi besar saya. *** Berani bermimpi besar dan tak pernah menyerah serta selalu bersyukur dengan orang-orang positif di sekeliling kita adalah pelajaran dan resep saya.

Penulis: Vivin Septiani Jatmiko adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di Daejeon University. Menonton drama, reality show, membaca novel-novel romansa, dan bertukar pikiran dengan banyak orang adalah hobi dan kenikmatan tersendiri bagi sang penulis. Ia pun sedang mencari mimpi besar lainnya dengan rasa yakin pada dirinya bahwa masih ada banyak hal yang harus ia pelajari di dunia ini.

41


42


Yang Ketiga 세번째시도 Dede Rakhmawati Korea University, Seoul

Bulan malam ini cantik, seolah tersenyum merayakan malam yang da­ tang lebih hangat. Sementara bintang masih di sana, setia mengindahkan gelap. Kerlipannya yang kemudian perlahan mengajakku untuk kembali meng­urai cerita lalu. Iya, cerita dua setengah tahun yang lalu, tentang mimpi dan ten­tang betapa hebatnya Sang Pemilik Hidup. *** Siang itu matahari di kota pelajar terik sekali. Sempat kusurutkan langkah untuk mencari sinyal internet demi sebuah kabar yang sudah lama aku nanti. Sambil diskusi dengan teman-teman kampus, jemari ini sibuk menekan tutstuts di notebook dan membuka beberapa website dan dokumen. Dan, diskusi terhenti ketika mulut ini berteriak tanpa perintah dan sangat tak terkendali. Ada butiran air yang turun perlahan dari mata waktu itu. Alhamdulillah~ akhir­nya, Allah membuka jalan untuk mim­piku. Korea, menjadi negara per­ tama yang menerimaku dengan sta­ tus pelajar yang mendapatkan full scholar­ship. Mungkin ceritaku tidak sehebat yang lain, tapi cukup menjadi sebuah pembelajaran besar untukku. Iya, aku sama seperti pelajar pada umumnya, ingin berada di puncak keberhasilan.

43


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di luar negeri dengan beasiswa, memiliki banyak gelar pendidikan di depan dan belakang nama, memiliki teman-teman yang berasal dari berbagai negara, dan sibuk dengan penelitian dan conference dengan profesor adalah mimpi terbesarku. Keren rasanya kalau semua itu bisa menjadi nyata. Sebuah kesempurnaan.

Suasana kampus Korea University

Namun sayangnya, mewujudkan semuanya tidak semudah merajut mim­pi yang bisa dilakukan sambil duduk manis di depan tv sembari menik­ mati segelas teh manis dan sepotong cheese cake. Ada banyak proses yang harus dilewati. Sebuah proses yang menyita waktu, tenaga, perhatian, dan tentunya membutuhkan biaya. Belum lagi dihinggapi rasa hampir menyerah, cape, cibiran orang-orang sekitar, dan lain sebagainya. Dan, proses yang luar biasa itu membuatku hampir memasukkan rajutan mimpi ke dalam plas­tik hitam dan membakarnya di tumpukan sampah. Bagaimana tidak, lamaran beasiswaku di tahun 2011 gagal di tahap wawancara. Begitu pun di tahun 2012, kembali kugagal di tahap wawancara. Masih ingat rasa sulit­nya mengurus semua dokumen-dokumen yang diperlukan. Belum lagi nomi­nal uang yang harus dikeluarkan untuk mengurus ini itu tidaklah sedikit buat­ ku. Alhasil, tidak ada semangat untuk mencoba lagi di tahun berikutnya. Sudahlah. Belum selesai sampai di situ. Pikiran-pikiran payah nan menyebalkan mulai menyerang tanpa ampun. Well, sepertinya memang benar bahwa yang memiliki hak untuk bersekolah di luar negeri dan mendapatkan bea­siswa ada­lah pelajar yang sempurna. Dan aku, masih jauh dari kata itu. Aku bukan

44


Yang Ketiga

pelajar dengan IPK sempurna, bukan pelajar yang pernah ikut olim足piade ini itu, dan juga bukan pelajar dengan segudang prestasi, apa足lagi punya koneksi sana-sini. Kemudian yang aku lakukan adalah mencoba berdamai dengan diri yang sudah gagal. Itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang harus dilakukan untuk sekepal semangat baru. Kegagalan yang berkali-kali menuntunku pada diskusi-diskusi kecil dengan teman-teman hebat. Diskusi tentang bagai足 mana menulis self introduction dan research plan; tentang berbagai tip men足 dapatkan beasiswa; tentang hidup di luar negeri; dan tentang niat yang harus diperbaiki, bahwa belajar di luar negeri bukan untuk mengoleksi banyak gelar biar dipandang hebat, apalagi untuk sekedar keren-kerenan; dan terakhir, tentang diri yang ternyata lupa dengan Sang Maha Pemberi Rezeki. ***

Saat musim gugur di Korea University

Bismillah. Yang ketiga, dokumen-dokumen lamaran pun di kirim dan Alhamdulillah, hari ini sudah genap dua setengah tahun aku tinggal di Negeri Ginseng. Satu tahun aku habiskan untuk belajar Bahasa Korea di Jeonju University. Satu setengah tahun berikutnya, aku tenggelamkan diri di Department of Education, Korea University. Hasilnya, banyak cerita menyenangkan dan tak mungkin bisa dilupakan. Pertama, tinggal di negara yang memiliki empat musim itu menyenangkan, meski memang tidak mudah. Menyenangkan karena bisa melihat cantiknya

45


Merajut Cita di Negeri Ginseng

warna-warni bunga di musim semi, merasakan romantisnya Korea di musim gugur, dan bermain ski dan perang bola salju saat winter tiba. Tapi, terkadang menjadi tidak mudah ketika harus melawan dinginnya angin di musim dingin yang menusuk, hingga memaksa diri untuk keluar dengan berlapis-lapis baju dan celana. Kedua, hari-hari semakin menyenangkan ketika bisa belajar banyak hal baru dan berdiskusi dengan orang-orang hebat di kampus. Begitulah kehidupan kampus, persaingan ketat terkadang membuat sedikit panik dan stres. Ketiga, di sini aku belajar banyak budaya, belajar banyak mengenal karakter. Itu menjadi hal yang sangat menakjubkan. Keempat, Korea memberi hadiah yang luar biasa tak ternilai, yaitu sahabat dan keluarga baru. Setidaknya hal ini membuatku sedikit lebih tenang, karena berarti aku tidak sendiri. *** Rasanya wajar ketika ada rasa hampir menyerah muncul saat diri mengalami kegagalan. Yang tidak wajar adalah ketika kita tidak mampu mengontrol rasa itu dan mengubahnya menjadi proses perbaikan diri. Satu hal yang aku percaya, bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan mimpi. Mimpi study ke luar negeri bukan hanya milik orang kaya; bukan hanya milik pelajar dengan IPK sempurna; dan bukan hanya milik orang yang punya banyak koneksi atau prestasi banyak, tapi milik mereka yang mau berusaha dan bersungguh-sungguh. Sebuah pembelajaran dari perjalanan mewujudkan mimpi besarku adalah: perbaiki niat, maksimalkan usaha, dan rayu Sang Pencipta Diri, Allah SWT, dengan sedekah. Jangan manja, apalagi cepat mengeluh. Allah tidak tidur walau sedetik.

Saat Program Bahasa Korea di Jeonju University

46


Yang Ketiga

Bukankah selalu ada rangkaian waktu yang harus dilewati untuk menikmati cantiknya lukisan malam Allah - Sang Pemilik Alam? Ada dinginnya pagi yang harus kita perangi dan teriknya siang yang harus kita taklukkan. Sama seperti mimpi. Tiada yang lebih indah ketika kita diberikan kemampuan untuk mensyukuri semua. Adalah Allah SWT yang membuat cerita lebih baik dari yang kita rangkai. Yang kesatu, yang kedua, atau yang ketiga sekali pun, kita tak akan pernah tahu. Mari menjelajahi bumi indah-Nya. Penulis: Dede Rakhmawati adalah mahasiswi S2 English Education di Korea University serta salah satu mahasiswi yang mendapatkan beasiswa full scholarship. E-mail: debintang@gmail.com

47


48


It's Never Too Late To Create Your Dreams 꿈꾸는 동안은 늦지 않다 Adji Baskoro Dwi Nugroho Chung-Ang University, Anseong Campus

“Siapapun berhak untuk berubah dan menjadi lebih baik” “Siapapun berhak untuk memiliki mimpi yang tinggi” “Janganlah pernah berhenti bermimpi, berusaha dan berdoa” “Anseong - South Korea... 2016”

Malam ini cuaca sedang dingin sekali, tampaknya suhu di langit Korea sedang tak bersahabat. Bulan Februari merupakan bulan di mana periode musim dingin akan setia menemani daerah-daerah yang beriklim sub tropis. Jika beruntung mungkin suhunya hanya berada di rentang -8/-10oC, jika sedang sial mungkin suhu lebih dari -15oC bahkan -20oC yang akan menyambangi. Musim dingin bagi banyak orang di Korea seolah-olah seperti tamu yang tak diharapkan kedatangannya, semacam tukang tagih kartu kredit yang berperawakan seperti “yeti” (manusia salju dalam mitos orangorang pegunungan Himalaya) be­­gitulah kurang lebihnya. Akan te­tapi tidak semua orang berpen­ da­ pat de­ mikian, musim dingin sangat di­identikkan dengan salju, ketika salju datang banyak orang ber­suka cita, terutama anak-anak kecil dan para remaja, ada yang ber­ main lempar salju, ada pula

49


Merajut Cita di Negeri Ginseng

yang membuat 눈사람 (baca: nunsaram), atau sebagian lainnya berfoto ria. Bagi orang tua sudah tak ada lagi kata dalam kamus besar mereka untuk ber­main salju, point of view tentang salju bagi mereka hanyalah cukup dinik­ mati dari dalam rumah saja sambil menghangatkan diri dan minum segelas kopi atau teh hangat. Bagi orang-orang kaya di Korea, tak ada yang lebih baik selain pergi melancong ke negara yang beriklim tropis saat musim dingin datang. Filiphina, Thailand, Malaysia, atau bah­kan Balinya Indonesia kita tercinta akan jadi destinasi menarik untuk me­reka. Sedangkan bagi ma­ syarakat menengah ke bawah tak ada pilihan lain selain bertahan dan ber­ harap musim dingin kali ini akan berbaik hati de­ngan mereka. Namun, tampaknya musim dingin kali ini sangat berbeda dari se­belum­ nya, salju yang biasanya mampir saat ini hampir sama sekali tidak ter­lihat. Mereka hanya datang sesekali di awal periode saja dan hampir tak ter­lihat lagi sampai hampir habis periodenya. Meskipun salju tak datang, bagi­ku sama saja, datar dan tak ada reaksi. Cukup bertolak belakang ke­tika pertama kali aku melihatnya, ketika itu salju terlihat seperti kapas lem­but, turun beraturan layaknya manisan gula kapas yang sedang turun se­rentak dari tangga langit, benar-benar anugerah dari Tuhan. Elok nian rasa­nya dan bahagia yang tak ter­elakkan merupakan kata-kata yang dapat meng­gambarkan suasana hati­ ku ketika itu. Tak terasa sudah dua setengah tahun kuhabiskan waktuku di negeri ini, berjibaku dengan banyak hal Suka dan duka telah dijalani. Sungguh benarbenar bukan hal yang mudah untuk melewati semuanya. Begitu pun juga, melangkahkan kaki pulang ke rumah pun menjadi salah satu hal yang tak mudah karna harus kubawa badan besar ini pulang ke ru­mah sambil melawan suhu dingin yang membekukan jari-jari kaki dan ta­nganku. Kulihat suhu saat itu berada di kisaran -12oC, balutan dua buah ja­ket tebal yang membuatku terlihat seperti 김밥 (baca: kimbab) rupanya tak sanggup memberikan cukup rasa hangat. Kulangkahkan kakiku pulang me­nuju rumah, sambil sesekali meneguk kopi hangat yang kubeli dekat kampus. 20 menit, kurang lebih itu waktu yang harus kuhabiskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan tempatku tinggal agak jauh dari laboratorium di mana kuhabiskan kurang lebih 14 jam dalam hidupku dari total 24 jam. Aku tinggal disebuah apartemen kecil dekat dengan pintu gerbang kam­­ pus. Ku­pilih tempat itu karena suasananya yang tenang dan kebetulan har­ga­ nya cukup murah dibandingkan apartemen lainnya yang lebih dekat dengan labo­ratorium. Langkahku sempat terhenti ketika sampai di pintu ger­bang kam­pus, kulihat kembali desainnya yang megah, tinggi menjulang, selayak­­ nya matahari yang terbit dari ufuk timur. Mungkin itu makna yang ter­sirat dari gerbang kampus ini. Tidaklah berlebihan jika para pendiri dan petinggi kampus

50


It's Never Too Late To Create Your Dreams

ini berharap akan menghasilkan generasi-generasi selayaknya matahari terbit yang akan menyinari langit Korea atau bahkan dunia. Kutengadahkan kepala ke atas, kulihat ujung gerbangnya yang paling tinggi, sekilas teringat kembali ketika pertama kali aku datang dan memasuki gerbang itu. Di hari pertama itu tak hentinya aku melihat ke sana ke mari, menoleh ke kanan dan ke kiri mirip murid TK yang sedang pergi tamasya, bertanya apa ini dan itu, serasa tak percaya bisa berada disini. “Apakah ini mimpi??” gumamku dalam hati pada waktu itu.

Gerbang Universitas Chung-Ang, kampus Anseong

Kulangkahkan kembali kakiku untuk berjalan pulang menuju rumah. Aku tak ingin lebih lama menghabiskan waktuku berada di luar rumah. Di tengah perjalanan pulang, lamunanku tak bisa berhenti mengingat momen pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri ini. Sekejap terasa seperti memasuki lo­rong waktu teringat akan bayangan masa lalu. Sedikit pun tak pernah ter­ bayangkan hingga saat ini bisa menginjakkan kaki ini di Negeri Ginseng, me­rasakan salju di musim dingin, dan melihat bunga-bunga sakura yang ber­ mekaran di kala musim semi. Semua masih terasa seperti mimpi. Sesampainya di rumah kunyalakan lampu dan penghangat ruangan. Aku duduk termenung, kulihat isi kamar yang tidak berlebihan tapi cukup nyaman untuk ditinggali. Tiba-tiba aku terdiam dan larut dalam lamunanku yang jauh melayang. Jauh, jauh sekali, semacam bernostalgia dengan wak­tu. Teringat bagaimana perjuangan yang telah kulewati hingga saat ini, bagai­ mana menghadapi kerasnya hidup di negeri orang, menjalani berbagai likaliku dunia penelitian, terbang lebih jauh bagaimana perjuangan yang harus kuhadapi ketika pertama kali mencari beasiswa, terbang lebih jauh lagi bagai­­mana potret suram yang sudah kujalani ketika masa sekolah dulu, se­ akan apa yang sudah kujalani hingga saat ini tidak lebih seperti orang yang

51


Merajut Cita di Negeri Ginseng

salah jalan. Kenapa begitu? Karena apa yang telah kujalani pada jaman dahulu seharusnya tidak berdestinasi di sini. Nanti akan kuceritakan sedikit bagaimana bisa aku mengatakan berdestinasi di sini adalah salah menurutku.

Suasana di Kampus Chung-Ang Ketika Musim Semi

Apakah Tuhan sedang berbaik hati padaku??? Mungkin itu pertanyaan yang selalu timbul di pikiranku. Doa dari orang tua sepanjang siang dan ma足lam足lah yang mampu meluluhkan hati Tuhan sehingga bisa berbaik hati dan membelokkan arah destinasi hidupku menjadi lebih baik. Sebenarnya tidak hanya lebih baik bahkan sangatlah lebih baik. Jika Tuhan tidak berbaik hati padaku mungkin aku hanya akan menghabiskan hari-hariku sebagai orang yang tidak berguna, duduk di warung kopi sambil mendiskusikan halhal tak penting, berkhayal ke negeri antah berantah, atau sekedar meng足 umpat kebijakan pemerintah yang seringkali tak berpihak pada rakyat kecil, semacam anggota parlemen abal-abal level warung kopi yang sok peduli pada nasib rakyat kecil. Ayah dan ibuku sering berpesan padaku jadilah orang yang bermanfaat dalam hal kebaikan untuk agamamu, negaramu, dan orang-orang di sekitarmu. Seringkali juga aku melihat ibu memohonkan doa pada Tuhan untuk kebaikanku di tengah sujud malamnya, bahkan di setiap sujud足nya ketika sholat lima waktu. Mungkin jika bukan karena kesabaran dan ketawakalan orang tuaku hingga dapat meluluhkan hati Tuhan, tak akan pernah aku berada di sini, menimba ilmu di kampus matahari terbit.

52


It's Never Too Late To Create Your Dreams

Jika aku mengingat bagaimana aku menjalani kehidupanku dulu, maka tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa saat ini aku telah berada pada destinasi yang salah. “Bagaimana bisa aku mengatakan salah?” Hal itu tak lebih karena aku telah menorehkan tinta hitam dalam buku se­jarah hidupku. Semenjak jaman sekolah aku telah banyak menjalani po­ tret kehidupan suram yang kemudian mendatangkan bayangan masa de­pan kelam. Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kehidupan masa kecilku ber­jalan normal saja, bersekolah sejak taman kanak-kanak hingga SD telah ku­lalui semua dengan baik. Tak ada batu sandungan, tak ada aral yang me­lintang. Semua berjalan baik-baik saja seperti anak-anak lainnya. Namun semua itu berubah drastis ketika aku memasuki bangku SMP, aku mulai tak menyukai sekolahku, aku tak menyukai lingkunganku, di situ­ lah awal mula aku berubah menjadi anak yang suka berulah. Sementara itu, orangtuaku pun tak mampu untuk membantuku keluar dari jeratan batin ma­sa­lahku. Ayah ibuku terlalu sibuk bekerja untuk menafkahi kami, aku dan kakakku. Dahulu orangtuaku bekerja di salah satu badan usaha milik negara, yang mengharuskan beliau berdua untuk mau ditugaskan di mana saja sesuai keinginan perusahaan. Tak ada pilihan lain selain mematuhi perintah perusahaan. Kami seluarga sebenarnya berdomisili di kota Malang. Namun, karena amanat dari perusahaan, maka orangtuaku ditugaskan di kota lain dan kami terpaksa tinggal berjauhan. Keadaan itu membuatku tumbuh begitu saja tanpa adanya bimbingan dari orangtua secara menyeluruh. Pengaruh lingkungan ternyata berperan lebih besar dalam membangun dan mencetakku dibandingkan dengan nasihat dan pesan dari orang tua sedari kecil. Akhirnya, aku tumbuh menjadi tidak terkontrol dan men­jalani hidup semauku. Berbagai macam kenakalan telah aku lakukan ketika itu se­ hing­ga bagi hampir semua guru di sekolah aku tak ubahnya ba­gaikan se­ekor hama pengganggu yang mengganggu sistem kegiatan belajar dan meng­ ajar. Bahkan sebagian beranggapan bahwa aku adalah aib bagi sekolah. Seringkali aku diancam untuk ditendang keluar dari sekolah. Akan tetapi, hal itu tak pernah terjadi, aku sering merasa beruntung dalam hal ini. Anggapan miring tentangku tidak hanya aku dapatkan dari sekolah, di lingkungan tempatku tinggal image anak nakal juga sangat melekat pada­ku. Banyak orangtua di lingkungan rumahku yang merasa bahwa anak-anaknya menjadi nakal karena hasil dari pertemanan denganku. Be­ gitulah image tersebut melekat erat padaku bagaikan perangko yang di­tempelkan pada amplop dengan lem alteco 110, menempel dengan kuat. Itulah ironi yang aku dapatkan dari buah kehidupan yang kujalani. Namun, sejujurnya saat itu aku tak pernah bersungguh-sungguh untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

53


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Memasuki bangku SMA kenakalanku tidak semakin berkurang bahkan sebaliknya. Kenakalanku mengalami peningkatan level yang cukup signifikan. Menurutku, jika diteliti, sebenarnya kenakalanku adalah wajar saja namun hanya menjadi tidak wajar karena dilakukan berulang-ulang. Aku makin tak terkontrol dan di sisi lain orangtuaku telah kehabisan akal untuk membujukku agar aku berubah menjadi lebih baik. Aku tak tahu mengapa aku menjadi anak yang bebal dan makin susah untuk diberitahu ketika itu. Hingga akhirnya aku harus menerima pil pahit pertama dalam hidupku, aku tidak naik kelas. Itulah kenyataan pahit yang menjadi sejarah kelam pertama dalam keluargaku, bahkan keluarga besarku. Kejadian tersebut tak membuatku mawas diri, aku tetap tak karuan, masa depanku bagaikan desa terpencil yang tidak men­ dapatkan listrik PLN, redup karena hanya mengandalkan lampu minyak tradi­sional saja. Kenakalan demi kenakalan terus aku lakukan, nilaiku makin amburadul. Tak karuan, semacam pasar tradisional di kota Malang yang bau, ko­car-kacir, dan becek di sana-sini. Salah satu kelemahanku ketika itu adalah aku tak pernah belajar dari pengalaman. Buatku hidup hanyalah untuk se­kedar dinik­ mati saja, bersenang-senanglah selagi bisa, anggapan tersebut tak ubah­­nya menjadi bumerang buatku. Aku telah membuat deretan pa­wang singa di kantor sekolah menjadi lebih ganas, karena aku sebagai singa­nya makin menjadi liar, sekolah makin benci terhadapku. Keadaan men­jadi mem­buruk ketika tak lama kemudian pil pahit kedua harus aku te­lan kembali, aku di­tendang keluar dari sekolah. Disampaikannya surat per­mohonan maaf yang sebesar-besarnya bahwa pihak sekolah terpaksa mengeluarkan aku dari sekolah. Sekolah tak sanggup lagi mendidikku, guru-guru pun telah ang­kat tangan, tak ada lagi yang mampu mengatasiku. Begitulah yang terjadi pada­ku hingga akhirnya aku terpaksa harus menye­lesaikan bangku SMA ku di sekolah lain. Memasuki jenjang perkuliahan, ketika itu aku berkuliah di salah satu PTN di Kota Malang, dan parahnya aku masih tak berubah. Aku tetap saja asal-asalan, tak karuan, dan tetap tak memiliki keinginan untuk berkompetisi dalam bidang akademis. Parahnya, aku masih tak menemukan sense of science. Keadaan ini berkorelasi dan menyebabkan aku juga tak menikmati bang­ku kuliahku. Parahnya lagi, aku tak memiliki teman di sana. Sungguh menye­dihkan rasanya ketika itu. Aku yang selalu memiliki banyak teman di sekolah, tapi tak memiliki teman di bangku kuliah. Aku merasa bahwa aku tak pernah diajari sedari kecil bagaimana caranya menghadapi dan menye­ le­saikan permasalahan pada batinku sendiri, sehingga mudah sekali bagi­ ku untuk kehilangan semangat dan lari dari belenggu kehidupan yang tak me­ nyenangkan. Hal itu membuatku makin malas-malasan dan semakin menjauh dari dunia perkuliahan. Benar saja karena tak lama kemudian aku

54


It's Never Too Late To Create Your Dreams

terpaksa harus menelan pil pahit ketiga dalam hidupku, aku di-drop out oleh universitas tempatku berkuliah. Masa depanku ketika itu bagaikan desa terpencil yang tak mendapatkan listrik dari PLN dan juga warganya ternyata terbelakang, gelap gulita, tak tahu arah mau ke mana. Namun, pada akhirnya aku menjalani apa yang dinamakan titik balik dalam kehidupan. Aku tak tahu kenapa aku bisa berubah sedemikian drastis. Ketika itu orangtuaku sudah tak lagi bekerja. Beliau berdua me­mu­tuskan untuk pensiun lebih awal demi menemani kami. Ayah dan ibu sa­dar bahwa masa depan dan ahklak kamilah yang terpenting di atas se­gala hal duniawi. Di samping itu, efek buruk dari keputusan tersebut adalah per­ekonomian keluarga yang ditunjang oleh orangtuaku mendadak menjadi lumpuh bagai­ kan kapal bocor yang terombang-ambing diterjang badai lautan. Keadaan itu membuatku tersadar bahwa apa yang aku lakukan selama ini tak lebih dari sekedar membuang-buang waktu dan menyia-nyia­ kan kesempatan yang ada. Aku mulai marah serta mengutuk diriku ketika banyak orang me­ man­dang remeh keluargaku sedangkan aku tak mam­pu berbuat apa-apa. Sangatlah miris ketika aku baru menyadari bahwa strata seseorang hanya dilihat dari segi duniawi saja. Hatiku sakit dan kelu ketika itu. Aku tak terima, tapi sebenarnya orangtuakulah yang jauh lebih sedih ketika itu. Aku tahu jauh dalam hati mereka yang terdalam, orangtuaku lebih sedih karena ba­ nyak orang beranggapan miring dan me­remehkan aku: anaknya yang telah di­lahirkan dan dibesarkan dengan susah payah. Aku tahu orangtuaku tak terima, tapi apa daya aku memang be­gitu adanya ketika itu. Seringkali aku memohon maaf dari dalam diriku yang terdalam untuk orangtuaku. Aku sering membuat kedua orangtuaku bersedih bahkan menitikkan air mata. Aku berpikir jauh dan sibuk mengevaluasi diriku sendiri ketika itu. Sekilas bak muncul video 3D di kepalaku. Trah keluarga yang telah di­bangun dengan susah payah oleh orangtuaku harus hancur begitu saja di tanganku. Aku tak bisa terus begitu. Aku tak mau jadi pengangguran. Aku tak mau jalan hidupku makin rusak. Aku tak mau desa terpencil itu te­rus menerus dalam keadaan gelap gulita tanpa listrik PLN. Terlebih dari itu, aku tak ingin orangtuaku hidup susah dan terlantar di masa tuanya. Saat itu benar-benar menjadi suatu masa di mana aku berikrar pada diriku sen­diri untuk berubah. Aku merasa ketika itu bahwa tongkat estafet untuk menakhodai kapal keluarga telah beralih ke tanganku. Aku tak bisa ber­leha-leha lagi. Kapal tak boleh limbung apalagi karam. Kami sekeluarga tak boleh tenggelam. Kami harus selamat melewati badai lautan. Kupanjatkan doa siang dan malam agar Tuhan mau memberikanku ke­ sempatan terakhir. Aku berjanji kali ini tak akan kusia-siakan jika kudapat­ kan kesempatan itu. Ajaib sekali, karena Tuhan menjawab doaku. Akhirnya

55


Merajut Cita di Negeri Ginseng

kesempatan terakhir pun datang padaku. Orangtuaku sempat mengatakan padaku ketika itu bahwa mereka tak memiliki apa-apa lagi. Mereka meng­ gunakan harta terakhirnya demi memberikanku kesempatan terakhir untuk bisa berkuliah. Kalimat tersebut bagaikan cambuk api yang membakar se­ mangat juangku. Tak akan kusia-siakan lagi kesempatan itu, begitu ujarku dalam hati. Di samping itu, pada waktu itu aku telah diterima berkuliah di salah satu universitas negeri di kota kecil di Jawa Timur. Aku tak memiliki pilih­an lain selain menorehkan tinta namaku sebagai salah satu lulusan dari universitas ini. Dengan semangat juang tinggi aku berangkat ke sana. Aku tak tahu apakah aku bisa berhasil di sana. Tetapi, bayangan wajah orang­ tuakulah yang menguatkanku. Untuk mereka aku ingin memberikan sesuatu yang terbaik. Sesuatu yang tak pernah kuberikan sebelumnya. Setelah sesampainya di sana aku tertegun melihat kota dan kampusnya. Sangatlah jauh berbeda dengan kota dan kampusku dulu ketika di Malang. Akan tetapi, sesuatu yang beda dan tak kulihat sebelumnya adalah semangat anak-anak di sana untuk belajar. Mereka adalah anak-anak dari kota kecil atau pedesaan sekitar yang sedang berjuang mengadu nasib untuk mendapatkan tambahan ilmu. Bahkan, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga de­ ngan kondisi perekonomian yang lebih buruk dariku. Jika diibaratkan, pera­hu mereka jauh lebih limbung daripada perahuku, terbang tenggelam bah­kan setengah karam, namun sedikit pun keadaan itu tak menyurutkan semangat juang mereka. Aku banyak belajar dari mereka semua, sebuah per­temanan dan persahabatan tentunya. Perlahan aku menemukan keluarga baru di kampus itu. Aku tata kembali puzzle kehidupanku yang telah acak-acakan, bahkan aku tak malu dan pa­ tah se­ mangat untuk mempelajari kembali dasar-dasar ilmu dalam bidang aka­ demis pada kawan-kawanku. Sedikit demi sedikit aku mulai mencintai bidang yang aku tekuni. Aku pun mulai menemukan sense of science. Aku menik­mati hari-hariku di sana, aku menikmati belajar banyak hal baru, bukan hanya di bidang akademis namun juga di bidang kehidupan bermasyarakat. Aku bersyukur berada di sana, di kota kecil yang bernama Jember dengan Universitas Negeri Jembernya yang sederhana, yang kadang kala sekilas seperti peternakan kambing karena seringkali banyak kambing berkeliaran di daerah kampus. Bahkan, terkadang beberapa dari mereka juga mengikuti kegiatan perkuliahan di kelas. Di samping itu semua, aku mencintai kampus dan kotanya. Buah manis pertama judulnya. Itulah buah manis pertama yang aku petik dari buah perjuanganku waktu itu. Suatu ketika dibuka pendaftaran untuk menjadi asisten dosen di salah satu laboratorium ternama di fakultasku. Menjadi asisten dosen merupakan kegiatan berpenghasilan dan juga suatu

56


It's Never Too Late To Create Your Dreams

hal yang prestige di kalangan mahasiswa ketika itu. Di samping itu yang ter­ penting adalah aku tertarik untuk mencoba dan menguji sekuat apa daya saing­ku ketika itu. Lamaran aku masukkan dan proses seleksi aku ikuti. Ba­ nyak dari beberapa kandidat lain yang menurutku jauh lebih pintar dan layak. Aku sempat pesimis akan tetapi aku mencoba untuk men-setting mentalku agar selalu berpandangan nothing to lose. Aku tak berharap banyak karena di sisi lain keinginanku tak lebih hanyalah sekedar menguji kemampuanku saja. Rupanya Tuhan mengabulkan harapanku. Aku lolos tes akhir dan aku diterima. Aku merasa tak percaya. Kubaca terus surat pengumuman pene­ rimaan itu. Tak tahu entah mengapa hatiku sakit ketika itu. Aku sempat sedi­ kit menitikkan air mata. Aku mensyukuri anugerah sekaligus amanah itu. Segera kuhubungi orangtuaku. Aku mengabari bahwa aku telah diterima seba­gai asisten dosen di salah satu laboratorium. Aku mengemban amanah dan kepercayaan saat itu. Terlebih dari semua itu, aku akhirnya sedikit ber­ penghasilan saat itu. Kukatakan pada beliau bahwa tak perlu terlalu khawatir jika terlambat mengirim uang bulananku, aku akan baik-baik saja. Kudengar suara terharu ibuku ketika itu. Aku tahu beliau bangga padaku. Beliau tidak pernah salah telah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkanku. Aku senang dan bersyukur dengan apa yang telah kuperoleh ketika itu. Selanjutnya, kehidupanku berjalan dengan baik dan mulus saja hingga aku mencapai apa yang dinamakan menyusun tugas akhir. Aku sengaja memilih bidang biologi molekular ketika itu. Bidang ini bukanlah bidang yang mudah di lingkup fakultasku ketika itu. Akan tetapi, aku merasa memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk mempelajarinya, bahkan basic IPS sebagai disiplin ilmuku ketika SMA pun tidak mampu menyurutkan semangatku dan ke­ingintahuanku untuk mempelajari serta menjinakkan ilmu ini karena aku terus ingin menguji kemampuan diriku. Di tengah-tengah ketidaktahuanku akan ilmu ini, aku terus memaksa berjalan masuk ke dalam laboratorium bio­logi molekular dan per­ lahan mempelajarinya. Saat itu aku menilai tiap orang yang ada di sana adalah orang-orang dengan level yang superior. Benar-benar jauh tak terjangkau oleh kemampuanku. Banyak dari seniorku yang telah melanglang buana menimba ilmu di luar negeri seperti Korea dan Jepang. Tak ayal aku merasa berada di dunia antah berantah. Akan tetapi, semangat juangku kali itu berbeda dari yang dulu. Aku berani menguji diriku sendiri dan bahkan berani bermimpi tinggi. Aku memiliki keinginan untuk bisa seperti mereka, bisa melanjutkan sekolah di Korea atau di Jepang, bukan main istimewanya buatku. Aku tak patah arang, aku masih bisa terus berjuang. Selain itu, aku merasa tak ada ilmu di dunia ini yang tak bisa dipelajari jika kita mau belajar dan berusaha. Kuhabiskan masa satu setengah tahunku di sana untuk menimba dan menyelesaikan tugas

57


Merajut Cita di Negeri Ginseng

akhirku di bidang biologi molekular hingga suatu ketika aku mendapatkan kabar baik dari profesor pembimbingku. Beliau memberikan kabar tentang peluang untuk melanjutkan sekolah di Korea kepada seluruh mahasiswa di laboratorium beliau. Dari beberapa mahasiswa beliau yang sedang melak­ sanakan tugas akhir, akhirnya dipilihlah tiga kandidat dan aku termasuk di dalamnya. Kesempatan tersebut datang dari salah satu Universitas di Kota Jinju, Korea Selatan. Saat itu aku mulai memperisiapkan diri, kubuat CV (curiculum vitae) sebaik mungkin, kuatur setiap susunan kerangkanya dan sesopan mung­kin kata-katanya agar terlihat menarik. Pada batas waktu yang telah ditentukan akhirnya kukirimlah CV tersebut kepada professor penerima di Korea. Aku mulai merasakan getaran yang berbeda dalam hatiku ketika itu. Aku mulai berekspektasi tinggi terhadap jalan hidupku ke depan. Aku tak ingin gagal lagi. Seminggu setelah pengiriman CV tersebut aku pulang ke rumah. Aku rindu pada keluargaku karena lama aku tak memeluk dan bercengkerama dengan orangtuaku. Aku ingat ketika itu telepon selulerku berdering saat aku tertidur lelap di travel yang membawaku pulang ke rumah. Aku terbangun dan melihat sebuah pesan singkat dari profesor pembimbingku. Aku terkejut ketika membaca isinya. Beliau mengatakan bahwa profesor dari Korea memilihku dari tiga kandidat lainnya untuk bergabung dengan tim penelitinya di sana. Seketika tubuhku melayang. Aku girang bukan main. Kubaca berulang-ulang pesan singkat itu. Mungkinkah pesan ini salah alamat atau profesorku salah memasukkan nomor telepon? Tetapi tidak. Pesan itu benar ditujukan padaku karena tertulis namaku di sana. Aku girang. Sesampainya di rumah kukabari berita baik ini untuk orangtuaku. Beliau terharu mendengarnya. Ayahku yang bertipikal tegar dan biasanya sedikit dingin kini mulai tergelitik untuk mem­ berikan sedikit apresiasinya padaku. Aku makin bersemangat. Hatiku makin menggebu-gebu untuk segera menyelesaikan aplikasi pen­­­daftaran ke sekolah yang akan kutuju. Mulai kulihat-lihat foto-foto kam­ pus dan tipe perkuliahan di Korea. Selain itu mulai kupelajari sedikit demi sedikit Bahasa Korea secara otodidak. Meskipun cukup sulit, tapi aku ber­ usaha men­cintainya. Sekali lagi aku yakin bahwa aku bisa. Tiba pada waktu­ nya untuk mengisi formulir pendaftaran dan mengirimkannya. Selain itu, perlahan aku mulai menjalin komunikasi dengan profesor yang akan ku­tuju. Beliau banyak memberikan informasi seputar perkuliahan di Korea. Secara ke­seluruhan komunikasi kami telah berjalan dengan baik. Aku mulai mantap menyongsong hari-hariku nanti jika aku berada di Korea. Aku mulai tak sabar untuk segera ke sana. Hari-hari menuju pengumuman penerimaan akan ku­jelang beberapa minggu ke depan. Namun tak disangka badai pertama

58


It's Never Too Late To Create Your Dreams

datang menerpaku ketika itu. Aku tak memiliki persiapan apa-apa untuk melalui­nya. Ada sesuatu terkait penerimaankua. Aku jatuh limbung, “Aku tak tahu apakah ada kesalahan ketika aku melakukan komunikasi?”, atau “Ada­ kah kesalahan pada dokumenku?” atau “Mungkinkah mereka tahu jika aku dulu pernah tidak naik kelas dan bahkan dikeluarkan dari sekolah hingga DO waktu di bangku kuliah?” Pikiranku tak karuan, berputar-putar ke sana ke mari mencoba menelaah kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga hasil­ nya jadi seperti itu. Aku mengabarkan berita buruk ini pada orangtuaku. Aku sedih begitu juga dengan orangtuaku. Aku kehilangan semangatku yang dulu. Aku berusaha menenangkan diriku. Ibuku memintaku untuk banyak merenungi kejadian ini. Mungkin ada niat yang salah dariku sehingga semua berakhir seperti itu. Aku mengakui pada ibuku dan diriku sendiri bahwa sempat terbesit di dalam hatiku adanya rasa ingin membuktikan dan menunjukkan diriku pada semua orang yang dulu telah mencemooh dan meremehkanku. Aku ingin guruguru­ku yang dulu menjelekkan aku tahu bahwa aku bisa membuktikan pada mereka bahwa mereka salah. Ibuku menasehatiku agar aku tak memiliki sifat dan perasaan seperti itu. Beliau berpesan padaku bahwa jika aku ingin maju maka majulah karena diriku sendiri bukan karena orang lain. Aku harus tata kembali niatku. Masih ada kesempatan selanjutnya dan agar aku tak menyerah. Tak lama kemudian, profesor dari Korea tersebut menghubungiku. Beliau memohon maaf terpaksa membatalkan penerimaanku karena ada masalah dengan dana proyek penelitiannya. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak anak Indonesia yang bisa berkuliah di Korea karena beasiswanya berasal dari dana proyek penelitian. Aku memaklumi itu dan aku katakan pada beliau bah­wa aku baik-baik saja dan tak lupa kudoakan agar administrasi proyek pene­litiannya bisa kembali berjalan dengan lancar. Di musim kedua atau lebih tepatnya di tahun keduaku di Laboratorium Biologi Molekular Universitas Jember, aku mulai menata kembali semangatku yang hancur. Profesor pembimbingku tetap memberikanku semangat untuk mencoba kembali di semester berikutnya. Aku persiapkan diriku matangmatang, perlahan tapi pasti aku mulai menemukan kembali semangatku yang hilang. Akan tetapi, itu semua tetap tidak berjalan dengan mudah. Mendadak aku memiliki image baru di lingkungan kampus. Image itu bernama mahasiswa pengangguran yang masih mondar mandir di sekitar kampus tanpa alasan yang jelas. Sempat aku dianggap lulusan yang tidak berkompeten karena kawan-kawanku yang telah lulus telah mendapatkan pekerjaan sedangkan aku pengangguran. Aku tak masalah dengan anggapan itu karena imageku yang dulu jauh lebih pahit dari ini. Hingga suatu ketika muncul kesempatan

59


Merajut Cita di Negeri Ginseng

kedua. Kesempatan kali ini datang dari salah satu universitas di kota Daegu, Korea Selatan. Kuatur baik-baik niatku. Aku tak ingin niat yang salah hanya menjebakku ke dalam tujuan yang salah. Aku ingin menimba ilmu di Korea karena aku merasa Korea adalah barometer bidang biologi molekular selain Jepang. Itu saja niatku ketika itu. Aku jalani kembali prosesinya, dimulai dari proses mengirim CV dan berkomunikasi dengan professornya. Semua berjalan dengan baik dan lancar. Namun sedikit berbeda dengan yang sebelumnya kare­na kali ini aku mendaftar di kampus yang berbeda dengan professor yang juga berbeda. Selain itu, profesor yang baru itu juga memintaku untuk mendaftar beasiswa universitas. Kumulai mendaftar dan menyelesaikan apli­kasinya. Semua berjalan sesuai harapan, lancar saja. Meskipun begitu, memori pahit di kesempatan yang sebelumnya sempat muncul dan mem­ bayangi diriku. Jika aku kembali tak diterima bagaimana nasibku, padahal dalam sejarah seniorku terdahulu tak ada yang sepertiku. Mereka mulus saja dari awal mendaftar hingga diterima dan terbang ke Korea bahkan lulus. Bagiku, jangankan lulus diterima saja susah buatku berkhayal seperti itu. Kudapati pengumuman demi pengumuman dari universitas tujuanku. Aku berhasil lolos hingga tes tahap akhir. Pada tahap ini aku telah diterima oleh pihak kampus dan tes akhir menjadi penentuan bahwa aku layak men­ dapatkan beasiswa atau hanya sekedar diterima saja tanpa beasiswa. Aku menunggu pengumuman dengan perasaan cemas. Aku tak bisa menikmati makanan dan tidurku, gundah gulana, semacam menunggu jawaban lamaran dari kekasih, diterima atau tidak. Tepat satu minggu sejak pengumuman aku diterima, hari itu adalah hari pengumuman aku mendapatkan beasiswa atau tidak. Aku mulai memper­ siapkan diri di pagi hari. Aku mandi dan bersiap-siap lalu kujalankan motorku untuk menuju rental internet terdekat. Kunyalakan komputernya dan kubuka emailku. Seketika aku lemas. Badai kehidupan kembali menerpaku. Seketika aku kehilangan semangatku untuk kedua kalinya. Aku tak mendapatkan beasiswa itu. Aku hanya sekedar diterima saja dengan tanpa beasiswa. Aku mencoba untuk menghubungi professor di Korea, aku memohon maaf bahwa aku tak bisa mendapatkan beasiswa dari universitas beliau. Beliau pun tak bisa apa-apa selain memintaku untuk menerima hasil tersebut dan mencoba di kesempatan selanjutnya. Namun, hatiku terlanjur hancur, semangatku kembali hilang bahkan tak bersisa. Aku menyesal harus mengabari untuk kedua kalinya pada orangtuaku dan professor pembimbingku di Universitas Jember bahwa aku gagal untuk bisa bersekolah di Korea untuk kedua kalinya. Habis sudah harapanku ketika itu. Aku benar-benar putus asa dan tak percaya bahwa aku memang bisa melanjutkan sekolah ke Korea.

60


It's Never Too Late To Create Your Dreams

Aku dipanggil oleh professor yang menjadi supervisorku di Laboratorium Biologi Molekular Universitas Jember. Diberinya aku petuah dan pesan-pesan agar aku tak pernah berhenti berjuang. Namun dari semua nasihat beliau, aku mengingat satu pesan yang sangat menarik buatku bahwa takdir memiliki peran besar terhadap arah hidup kita. Bisa atau tidaknya aku melanjutkan sekolah di Korea nantinya tidak lebih karena takdirku ke sana. Saat itu aku mulai mempertanyakan takdirku, “apakah aku memang ditakdirkan untuk tidak bersekolah di Korea?” ataukah “apakah takdirku melanjutkan sekolah di negara lain?” atau “apakah “takdirku sebenarnya adalah melamar pekerjaan dan meniti karir di Indonesia?” Semua masih buram dan menjadi misteri. Akhirnya kuputuskan untuk sedikit memutar arah haluan dari tujuan hidupku. Aku mulai mencoba untuk mencari peruntungan lain dengan melamar pekerjaan. Di samping itu, aku tetap tak sanggup membunuh mimpiku untuk bisa melanjutkan sekolah di Korea. Aku tetap menyimpan sedikit asa untuk bisa mencoba di kesempatan yang lain. Aku mulai melamar pekerjaan pada waktu itu. Akan tetapi, melamar pekerjaan juga bukan hal mudah ternyata. Kucoba melamar di beberapa perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pertanian dan kulewati berbagai tesnya. Hasilnya kurang lebih sama dengan pengalamanku mendaftar seko­ lah, selalu gagal. Hingga suatu ketika aku kembali melamar pekerjaan. Di per­ cobaan ketigaku itu, aku melamar pada sebuah perusahaan gula milik BUMN. Aku lewati serangkaian tesnya dengan baik dan lancar. Namun, di tengah-tengah aku menjalani tes perusahaan tersebut kemu­ dian datanglah kembali kesempatan untuk bisa melanjutkan sekolah di Korea. Kampus itu bernama Chung-Ang University. Kabar itu datang dari salah seorang senior dari Laboratorium Biologi Molekular, Universitas Jem­ ber yang telah sukses berkarir sebagai Research Professor di Univer­sitas tersebut. Mimpi yang masih terjaga dan terpendam dengan baik untuk bisa melanjutkan sekolah di Korea, mendadak kembali meluap. Mimpi yang terjerat dalam jeruji besi yang bernama takdir mulai kukeluarkan. Untuk ke­ sempatan kali itu, aku benar-benar sangat berhati-hati melaluinya. Aku tak ingin kecolongan lagi bahkan untuk mengisi formulir pendaftaran pun aku tak ingin menganggapnya sebagai hal remeh temeh. Di samping itu, semua kuberikan juga sedikit kata-kata yang kukutip dari hasil membaca novel Edensor karya Andrea Hirata. Kata-kata yang menjadi jurus jitu Andrea Hirata dalam mendapatkan beasiswa di Perancis. Kurang lebih kutuliskan: “Saya akan mendedikasikan semua ilmu dan pengalaman penelitian saya untuk kemajuan dan pengembangan tanaman di negara saya”.

61


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Aku tak tahu kenapa, tetapi rasanya aku merasa lebih percaya diri ketika mengirimkan formulir pendaftaran setelah menuliskan kata-kata itu. Setelah itu tak lupa kuhubungi profesor yang akan kutuju dan mulai berkomunikasi dengan beliau. Kali itu, aku benar-benar berhati-hati dalam menjaga katakataku, benar-benar kuatur tata bahasanya,dan kubaca berulang-ulang se­ belum kukirimkan. Jika dilihat dengan seksama, proses komunikasi kali ini telah berjalan dengan lancar, bahkan lebih lancar menurutku dibandingkan sebelumnya. Begitu juga dengan serangkaian proses tesnya. Semua telah kulewati semua dengan lancar, hingga pada akhirnya telah sampai pada tes akhir, yaitu tes wawancara. Pihak kampus akan mengutus salah satu profesor yang telah ditunjuk oleh komite untuk mewawancaraiku lewat tele­pon. Pada tanggal yang telah ditentukan, aku menjadi amat gugup dan sakit perut karena aku tak memiliki pengalaman tes wawancara sebelumnya. Saat itu sebuah panggilan telepon tiba-tiba masuk dengan nomer yang tak ku­kenal sebelumnya. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupersiapkan diriku baik-baik karena kuyakin ini adalah nomer salah satu profesor yang akan menginterviewku. Kuangkat dan seseorang di sana memperkenalkan diri­nya sebagai salah satu profesor di Chung-Ang University. Kemudian, aku pun mem­perkenalkan diri dan setelah itu kami pun langsung memulai sesi interview. Menurutku secara keseluruhan aku tak melalui sesi itu dengan lancar, tapi tak tahu kenapa perasaan nothing to lose tiba-tiba kembali pada waktu itu. Sedangkan di momen yang lain, aku sedang berbahagia karena aku lolos tet akhir pekerjaan di perusahaan gula milik BUMN. Aku diterima dan diminta untuk mengikuti training di salah satu lembaga perkebunan di Yogyakarta. Saat itu aku sempat berpikiran bahwa mungkin memang ini takdirku. Aku harus bekerja bukan melanjutkan sekolah. Di sisi lain aku tak yakin dengan hasil tes wawancaraku waktu itu. Tak mungkin aku diterima pikirku dalam hati. Sampai pada waktunya aku berangkat ke Yogyakarta untuk menjalani training di sana, kuhabiskan minggu pertama dan keduaku di sana hingga di suatu siang aku dikejutkan oleh sebuah email masuk yang menyatakan bahwa aku diterima sebagai mahasiswa di Chung-Ang Univesity dengan bea­ siswa universitasnya. Aku senang bukan main ketika itu sekaligus bingung, “Bagaimana tidak?” Aku telah diterima bekerja di perusahaan dan telah kutandatangani akta penerimaan dan kesepakatan kerja. Namun, di sisi lain mimpiku untuk bisa sekolah di Korea terkabulkan. Kuhubungi orangtuaku dan profesorku dari Universitas Jember untuk mendiskusikan perihal aku diterima sekolah di Korea. Akan tetapi, hal itu malah menjadikan prahara dan kemelut dalam diri karena ayahku ingin aku melanjutkan pekerjaanku, sedangkan ibu dan professor pembimbingku ingin aku melanjutkan sekolah. Aku bingung, tak tahu mana yang harus kupilih.

62


It's Never Too Late To Create Your Dreams

Dua-tiga hari aku tak memberikan kabar apa-apa. Aku masih bingung tak tahu mana yang harus kupilih. Di tengah diamku aku memperbanyak berdoa dan beribadah demi untuk memohon petunjuk dari Tuhan. Kupanjatkan doa di tiap sujudku. Kukatakan pada Tuhan bahwa sekolah ke Korea adalah mimpiku sejak lama. Akan tetapi, diterima bekerja juga merupakan anugerah yang luar biasa. Selebihnya, kupasrahkan pada Tuhan, takdir dan jalan mana yang akan dipilihkan untukku. Beberapa hari setelah itu, aku tak tahu muncul dari mana ide dan kebe­ raniannya, aku memtuskan untuk mendiskusikan hal ini dengan pimpinan perusahaan. Secara garis besar, statusku sebagai pegawai baru tak mungkin diijinkan untuk melanjutkan sekolah. Namun, Tuhan berkehendak lain. Aku mendapatkan kejutan yang luar biasa hari itu. Serasa mendapatkan keajaiban karena pimpinan perusahaan merestui keinginanku untuk melanjutkan seko­ lah. BAHAGIA. Begitulah perasaanku ketika itu. Salah satu anugerah yang luar biasa dalam hidupku karena aku telah mendapatkan mimpiku yang dulu tak pernah bisa kugapai Di sisi lain aku bisa berangkat sekolah dengan tenang ke Korea karena aku mendapatkan ijin dari perusahaan, semacam tugas be­lajar di bawah tanggungan perusahaan. Kusampaikan berita bahagia ini pada orangtuaku dan profesor pembimbingku di Universitas Jember. Tak lupa kusampaikan banyak terima kasih atas segala doa dan semangat yang telah beliau kirimkan padaku.

Conference di Pyeongchang bersama Dr. Suudi (Research professor) dan Aditya Pervitasari (Master Student)

63


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Sampai pada akhirnya aku berangkat menuju Korea. Aku ingat sekali ketika itu jadi momen terindah dalam hidupku. Akhirnya aku berhasil meng足 gapai mimpiku untuk bisa sekolah di sini. Kuinjakkan kakiku di Bandara Incheon untuk yang pertama kali. Kulihat berbagai macam orang kulit putih dan bermata sipit berlalu lalang di sana. Inilah Korea, negara di mana aku mencoba untuk menggantungkan asaku yang baru. Di tengah riuh lalu la足 lang orang di bandara, sejenak aku teringat akan nasib sebuah desa yang dahulu sangat gelap gulita karena tak memiliki listrik untuk menerangi desa足 nya di malam hari. Namun, kini kini desa terpencil itu telah berubah men足 jelma menjadi desa maju yang warganya tak mau lagi menjadi orang yang terbelakang. Saat ini mereka berhasil membangun sendiri pembangkit tenaga listrik untuk menerangi desanya. Tak perlu lagi tergantung pada PLN. Betapa indahnya pemandangan desa itu saat ini di malam hari, terlihat lampu-lampu bohlamnya menerangi jalan dan tiap sudut desa, sungguh benar-benar indah. ~ Keterangan: Nun saram Kimbab

: Orang-orangan yang terbuat dari salju : Makanan asli korea berupa nasi gulung dengan balutan rumput laut kering

Penulis: Adji Baskoro Dwi Nugroho adalah mahasiswa program Master-Ph.D di bidang Applied Plant Science, Chung-Ang University. Penulis adalah penerima beasiswa Chung-Ang Young Scientist Scholarship (CAYSS)E-mail: ajie_baskoro87@yahoo.com

64


Kuliah di Korea: Takdir yang Tak Berawal dari Mimpi 한국유학: 나의 꿈 나의 운명 Nur’aeni Alqhisty Korea National University of Transportation

Saya yakin, setiap manusia di dunia ini memiliki mimpi, yang dengan mimpi orang jadi tahu tujuan dan jalan hidupnya. Entah itu berkaitan dengan keprofesian, kebermanfaatan, atau hanya sekedar hasrat keinginan. Kalau katanya Giring Nidji di lagu Laskar Pelangi, mimpi itu kunci untuk menaklukkan dunia. Begitu pula dengan saya, dengan kehidupan yang semakin dinamis dan beragam ini, memilih satu kegiatan yang akan dilakukan terus menerus atau yang berkaitan dengan profesi menjadi suatu keharusan yang harus dipilih. “aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali”

Eh jangan diterusin nyanyinya. Sedari kecil ketika orang-orang bertanya “Aeni, kalau sudah besar mau jadi apa?” “Guru, Om, Tante” jawaban default

65


Merajut Cita di Negeri Ginseng

semua anak kecil ketika ditanya cita-cita pasti akan menjawab guru atau dok­ter, yang kemudian akan berubah ketika beranjak dewasa. Tapi, tidak dengan jawaban saya. Sampai kelas 3 SMA pun keinginan untuk menjadi guru masih ada bahkan semakin besar dengan bertambahnya pemahaman dan kesukaan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Saya merasa bahagia ketika bisa menjawab pertanyaan orang lain, menjelaskan kepada teman tentang pelajaran sulit dengan bahasa yang sederhana. Itu semua memenuhi hasrat penasaran diri dengan memberi lebih. “Hanya ilmu pengetahuan, yang semakin diberikan, semakin bertambah milik kita”

Yang namanya kehidupan akan selalu ada banyak kejutan. Rezeki yang datang tidak terduga, jalan hidup yang diberikan Allah terlalu indah. Sedari dulu saya ingin kuliah di Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) karena sadar kesukaan dan bakat diri sendiri, tetapi saya malah jadi mahasiswa Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Takdirnya di ITB, walau mimpinya di UPI. Awalnya bermula dari ajakan Pak Rusnadi, wali kelas 3 ketika ada seleksi beasiswa pemerintah provinsi Jawa Barat, “Udah Nur ikut aja, lumayan kan jadi tau tipe-tipe soal masuk perguruan tinggi. Belum ada learning camp, kamu bisa belajar banyak dari sana”. Setelah 7x proses seleksi dari tingkat sekolah hingga tingkat provinsi, saya mendapatkan beasiswa penuh plus uang saku untuk berkuliah di ITB. “Udah kagok kecemplung, sekalian aja berenang”

Empat tahun berjuang menempuh pendidikan di Kampus Gajah, suka dan duka telah banyak saya lalui. One of my best moments in my life, selalu menyenangkan membahas catatan kehidupan perkuliahan di sana. Cita, cinta, persahabatan, konflik, dan tanggung jawab saya dapatkan di sana. Ber­ bagai kejadian telah mengubah cara pandang saya hingga kuberani untuk lebih jauh bermimpi. Yang semula ingin menjadi guru, kini mimpi itu saya gan­tungkan lebih tinggi, melanjutkan sekolah di luar negeri dan menjadi dosen. “Lokasi lahir boleh di mana saja, tapi lokasi mimpi harus di langit” Anies Baswedan.

66


Kuliah di Korea: Takdir yang Tak Berawal dari Mimpi

Bersama teman-teman FNML lab di Jeju Island

Ketika tingkat 3 akhir, alhamdulillah saya mendapat kesempatan untuk mengikuti conference di Sapporo, Jepang. Penelitian yang saya laku­kan di sal­ah satu proyek di Teknik Perminyakan berhasil membuat saya meng­ injak­kan kaki di Jepang. Melihat bagaimana majunya negera tersebut, ter­ utama dalam bidang pendidikan dan sains membuat saya tertarik untuk melan­jut­kan studi di sana. Di samping itu, hiburan yang saya pilih ketika jenuh adalah menonton anime dan membaca komik, saya suka kedua hal ter­sebut. Namun, ternyata kesibukan kuliah dan tugas akhir membuat saya tidak bisa berfokus pada pencapaian mimpi itu. Hingga menjelang wisuda, tidak ada kabar baik yang dapat membawa saya ke negeri impian. Sekian kampus yang saya daftar waktu itu memberikan hasil yang sama, ditolak. Sedih memang, ditambah dengan status baru sebagai pengangguran me­ nambah kondisi kebingungan saya. Tapi, ternyata saya egois, kala itu saya tidak memikirkan kondisi keluarga dan Ibu yang sedang sakit parah. Yang saya pikirkan hanya bagaimana caranya cita-cita dan impian bisa tercapai, tan­pa berpikir lebih jauh sesungguhnya keluarga menginginkan saya men­ jadi apa dan berada di mana. “Diam-diam Ibu menginginkan saya berada di dekatnya”

Setinggi apa pun idealisme kita, akan kalah ketika berbenturan dengan realita. Saya masih teringat kejadian malam itu, pembicaraan keluarga.

67


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Kakak dengan tegas menolak ide untuk kuliah di luar negeri, dan saya me­ nye­tujuinya. Waktu itu saya kira kondisi ibu tidak terlalu buruk, tapi lambat laun kon­disinya semakin melemah. Operasi, kemoterapi, dan peng­obatan herbal tidak ada yang mampu memperlambat kanker yang se­makin lama semakin menggerogoti badan Ibu. Sebulan setelah wisuda, saya diterima kerja di salah satu konsultan pendidikan di Bandung. Sem­bari mengantar Ibu yang harus kemoterapi setiap tiga minggu sekali, saya me­lu­pakan mimpi itu. Urusan saya menjadi tidak penting, yang ter­pen­ting ada­lah bagaimana mem­ buat Ibu kembali sehat. Namun tak­dir Allah ber­kata lain, 3 bulan setelahnya Ibu menghembuskan napas terakhir. Ke­luarga kami berduka, cukup lama bagiku untuk bangkit dan meneruskan perjalanan kehidupan. Kehilangan tempat bersandar untuk selama-lama­nya sangat menyayat hati.

Sekian lama waktu berlalu, banyak yang berubah dalam kondisi keluar­ ga. Kakak tidak lagi melarang saya untuk kuliah di luar negeri, dan semakin lama berada di rumah semakin mengingatkan saya akan sosok Ibu. Maka, saya lanjutkan kembali perjuangan untuk meraih mimpi. Sembari bekerja di konsultan pendidikan itu, saya juga mengambil kursus bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Tidak hanya itu, saya juga rajin sekali datang ke edufair, menyiap­ kan persyaratan LPDP. Kabar bahagia datang satu per satu dari teman yang memiliki cita yang sama, salah seorang te­man mendapat Letter of Admission (LoA) di kampus impiannya, lolos da­lam seleksi LPDP, dan sema­ camnya. Sedangkan saya mendapat kabar penolakan dari kampus kesekian yang saya apply. “Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”

68


Kuliah di Korea: Takdir yang Tak Berawal dari Mimpi

Saya suka menulis, kala itu saya curahkan keluh dan kesah dalam se­buah tulisan. Tidak ada tujuan lain selain menyalurkan emosi. Tanpa di­ sangka tiba-tiba saya mendapat whatsapp dari adik kelas sewaktu men­jalin kepanitiaan bersama. “Teh Aeni, ini Angga. Teh mau ke Korea, ga?” Jadi, dulu pernah ada kuliah umum, Teh, di Material. Karena tertarik sama penelitiannya, aku minta nomor kontak profesornya. Namanya Prof. In. Sempat beberapa kali berbalas email. Tapi, entah mulai kapan aku lost contact sama profesornya. Ya udah kan aku daftar ke tempat lain. Eh, aku ketrima dong di sana. Dan beberapa hari yang lalu Prof. In nanya lagi, aku rekomendasiin Teteh aja ya gimana?”

Rezeki memang datang dari tempat yang tidak disangka-sangka. Ha­ nya karena Angga membaca tulisan saya mengenai kegagalan itu, Angga memberikan kesempatan untuk saya. Dear Nur’aeni This is Prof. Insik In from Korea National University of Transportation. While managing Functional Nanomaterials Laboratory in our university, I have been recruiting several fereign students to our graduate school program. If you are interested in doing Master Degree coursework and research in our laboratory, please contact me with your brief CV and academic accomplish­ments. Angga Hermawan strongly introduced you to our group and I wish we can do several wonderful researches on the synthesis of new functional nano­materials applicable to future industries. Feel free to contact with me. Best Regards, Insik In

Bermula dari email tersebut, komunikasi saya dengan Prof. In berlanjut dan mendapatkan respon yang sangat positif dari beliau. Singkat cerita, setelah bertanya beberapa hal dan memastikan perihal beasiswa dan pene­ litian di sana, saya putuskan untuk mengambil tawaran tersebut. Pada saat itu saya juga mendaftar di sebuah kampus lain dan sedang proses. Prof. In membantu proses admission hingga pembuatan visa hingga sampai pada tahap saya mendapatkan LoA ke Korea National University of Transportation.

69


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Foto bareng Prof. In

Dan perjuangan pun belum berakhir. Itulah suatu titik awal dalam fase kehidupan yang baru. Detik-detik sebelum keberangkatan, rasa khawatir memuncak dalam diri. Bagaimana jika tidak bisa beradaptasi, bagaimana jika tidak bisa berkomunikasi dengan baik, bagaimana jika dan bagaimana jika. Hingga pada tanggal 28 Agustus 2015, berangkatlah saya ke Korea bersama teman saya, Zihnil. Setelah sampai di Bandara Incheon, kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus ke kota Chungju, tempat kampus kami berada. Sesampai di terminal bus Chungju, kami bertemu dengan profesor kami masing-masing untuk pertama kalinya, setelah sebelumnya hanya berkabar via email atau KakaoTalk. Tidak semenakutkan yang dikira, Prof. In datang menjemput kami dengan membawa anaknya yang kedua, berumur 2 tahun. Lucu sekali, ramah dan menyenangkan. Se­telah mengantar ke asrama, beliau mengantar kami untuk makan siang dan berbelanja beberapa kebutuhan. “I had hurt experiences when I was in USA. So, I will treat you wellâ€?

Hari-hari berlalu begitu cepat. Satu tahun telah berlalu. Banyak ke­jadian dan pembelajaran yang saya dapatkan semenjak berada di Korea. Profesor memperlakukan saya dengan sangat baik. Tidak semua berjalan lancar, kesulitan berbaur dengan teman-teman Korea adalah salah satunya. Juga dengan peraturan jam di lab yang mewajibkan saya datang dari jam 9 pagi

70


Kuliah di Korea: Takdir yang Tak Berawal dari Mimpi

hingga jam 9 malam terkadang membuat saya lelah. Tapi, terlepas dari itu semua, pengalaman berada di sini adalah pengalaman terbaik. Kehidupan saya di sini tidak hanya disibukkan oleh penelitian dan ke­ adaan di lab. Saya juga mencoba aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA) dan menjadi tutor di Universitas Terbuka (UT) Korea. Dengan mengikuti berbagai kegiatan di sana, saya dapat meningkatkan kapa­ sitas diri saya dan tentunya merupakan wadah untuk bertemu teman se­sama orang Indonesia.

Makan-makan bersama tutor UT Korea (kiri) dan foto ketika conference di Yeosu (kanan)

Walau pada awalnya Korea bukanlah tempat impian saya, tapi saya menikmati hari-hari saya di sini. Dan saya percaya Allah menaruh saya di sini bukan tanpa alasan, karena inilah tempat yang cocok untuk saya. Tempat saya melatih dan terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi. Te­rima kasih sudah membaca kisah saya, semangat terus, ya :) Penulis: Nur’aeni Alqhisty saat ini sedang menempuh pendidikan Master di Korea National University of Korea jurusan Polymer Science and Engineering. Penulis yang merupakan salah satu pengurus Persatuan Pelajar Indonesia di Korea Selatan (PERPIKA) ini juga merupakan penerima beasiswa Brain Korea 21 (BK21) dari pemerintah Republik Korea.

71


72


Jalan Berliku Menuju Pohang 포항으로 향한 험난 한 길 Rega Permana Pohang University of Science and Technology

Merasakan hidup di luar Indo­nesia adalah salah satu cita-cita saya se­ jak kecil. Tayangan di layar ka­ca yang sering kali menampilkan pu­tih­nya salju, indahnya musim se­mi dan segala kenyamanan hidup di lu­ar ne­geri, se­perti sebuah ajakan ter­sendiri bagi saya untuk pergi me­ning­galkan Indo­ nesia. Di luar sana se­galanya terlihat lebih baik dan me­narik. Itulah yang ada di pikir­an saya yang masih berumur 17 tahun. Saat itu, saya tidak membenci Indo­nesia, namun saya juga tidak terlalu cinta Indonesia. Usaha pertama saya untuk ‘ke­ luar’ dari Indonesia dimulai pada saat saya berkuliah di salah satu uni­­ versitas di Bandung, Universitas Padjadjaran. Saat itu saya mengikuti salah satu organisasi mahasiswa yang memang sering sekali mengirimkan anggotanya untuk mengikuti kegiatan conference, exchange dan lain seba­ gainya. Saya berhasil lolos hing­ ga menjadi anggota dan bisa ber­ke­sem­ patan mengikuti program exchange ke salah satu negara di Asia. Rasa­ nya tinggal selangkah lagi cita-cita saya bisa terwujud. Namun, langkah terakhir itu terasa sangat berat saat saya mengetahui bahwa biaya se­

73


Merajut Cita di Negeri Ginseng

lama exchange ditanggung penuh oleh pribadi. Ya, melangkah mundur ter­ dengar lebih realistis. Saya belum menyerah. Semester berikutnya saya mencoba mengikuti seleksi program student exchange Universitas Padjadjaran dengan Ajou Univeristy di Korea. Mendengar kabar bahwa banyak senior yang berhasil berangkat, saya sangat semangat untuk mencoba. Saya pun aktif bertanya tentang tip dan trik agar lolos seleksi program exchange ini. Tapi, sayang saya hanya berhasil sampai ke tahap focus group discussion (FGD) saja. Tidak, saat itu saya juga belum menyerah. Tak lama setelah kegagalan be­ rangkat ke Korea, saya dengar ada kesempatan untuk kembali exchange ke Rikkyo University di Jepang. Saya kembali mencoba peruntungan kali ini. Tapi, saya tidak pergi ke mana-mana. Bahkan, seleksi administrasi pun saya gagal. Kali ini saya hampir menyerah. Rasanya memang tidak ada jalan bagi saya untuk mencicipi sekolah di luar negeri. Kemudian datang kembali satu kesempatan exchange ke Amerika melalui program Fullbright. Kali ini saya berpikir untuk mencoba semaksimal mungkin untuk yang terakhir kalinya karena saat itu saya mulai memasuki semester-semester akhir dan juga akan mengambil skripsi. Jauh-jauh hari saya persiapkan semuanya: TOEFL, surat rekomendasi, essay dan juga persyaratan administrasi lain­nya. Surat rekomendasi pun saya minta dari kepala balai tempat saya ma­gang saat libur alih tahun, ketua program studi tempat saya kuliah dan juga dosen tentunya. Saya sangat yakin kali ini. Doa dan usaha tidak pernah mengecewakan. Sampai suatu hari saya mendapat email notifikasi bahwa aplikasi saya kembali ditolak. Ya, itulah kali terakhir saya mencoba peruntungan untuk mengikuti program exchange. Ketika sedang menempuh skripsi, saya sempat iseng mengirimkan abstrak ke conference di beberapa negara. Abstrak saya memang lolos, na­ mun lagi-lagi biaya menjadi kendala utama. Pada akhirnya saya hanya men­ jadi mahasiswa pada umumnya. Kuliah, lulus lalu mencari kerja. Yang ada di pikir­an saya saat itu adalah bagaimana caranya untuk segera ber­peng­hasilan sendiri. Berhenti menjadi beban orang tua. Namun, kenya­taan­nya mencari kerja tidak semudah yang dibayangkan. Pada akhirnya saya kembali lagi ke kampus, menjadi asisten dosen sembari melakukan beberapa proyek. Selama kurang lebih 6 bulan saya bekerja dan belajar di lingkungan kam­pus. Di situ saya melihat bagaimana seorang akademisi sesungguhnya bekerja. Bukan dari perspektif seorang mahasiswa, tapi dari perspektif se­ orang lulusan S1 yang menganggur. Di saat itu pulalah niat saya untuk melan­jut­kan sekolah di luar kembali muncul. Beruntungnya saat itu keluarga dan juga dosen pembimbing saya sangat mendukung rencana saya untuk

74


Jalan Berliku Menuju Pohang

melanjutkan sekolah. Saya disupport penuh untuk mencoba ber­bagai bea­ siswa. Akhirnya saya mencoba salah satu beasiswa yang sedang booming, yaitu beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Berbekal nilai TOEFL yang pas-pasan, saya mendaftarkan diri di seleksi beasiswa LPDP Periode 4 Tahun 2014. Rabu, 25 November 2014 hasil seleksi administrasi LPDP periode ter­ akhir tahun 2014 diumumkan. Ya, nama saya pun tidak tercantum di da­ lam­nya. Karena mungkin saya sudah biasa dengan kegagalan, saya tidak terlalu sedih. Yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya saya mem­beri tahu kabar buruk ini ke dosen saya yang sudah memberikan support penuh. Rasanya tidak enak mengecewakan orang yang sudah per­ caya bahwa kita bisa. Tapi, mau bagaimana lagi, akhirnya saya beritahu de­ngan muka me­nunduk. Tapi, sambil tersenyum, beliau hanya berkata “Coba lagi yang selanjutnya”. Mencoba lagi rasanya bukan suatu pilihan. Saat itu pula saya mendapat tawaran untuk bekerja di salah satu organisasi non-profit di Bandung. Saya sudah siap dengan kehidupan dan cerita baru saya selanjutnya se­bagai seorang pekerja tetap. Saya sudah siap pulang. Namun, ternyata ada yang terlewat dari yang saya bilang sebelumnya, yaitu waktu. Usaha yang diiringi doa memang tidak pernah mengecewakan dan selalu membuahkan hasil di waktu yang tepat. Rabu, 10 Maret 2015 nama saya tercantum di pengumuman final pene­ rima beasiswa BPI LPDP Magister Luar Negeri. Saya tidak bisa berhenti tersenyum. Seketika semua perjuangan selama bertahun-tahun mencoba muncul di kepala. Singkat cerita, ternyata aplikasi untuk beasiswa LPDP periode akhir 2014 tidak sepenuhnya ditolak, namun dialihkan ke periode selanjutnya. Entahlah, mungkin karena ada kesalahan atau terlalu banyak aplikasi yang masuk saat itu. Atau mungkin ini karena skenario-Nya. Life is what happened while you’re busy making other plans!

Saya tidak pernah membayangkan akan berada di mana saya saat ini jika dahulu setelah lulus saya langsung mendapat pekerjaan atau jika saya tidak bekerja bersama dosen saya selama 6 bulan dan jika saya berhenti untuk mencoba. Rencana Tuhan memang tidak pernah bisa diduga. Tan­ pa disadari kegagalan itu menjadi sebuah media pembelajaran untuk men­ jadi lebih dewasa. Kita harus merasakan pahitnya kegagalan untuk tahu manisnya keberhasilan. Seorang kerabat pernah berkata:

75


Merajut Cita di Negeri Ginseng

When a child learns to walk and falls down many times, he never thinks to himself “maybe this isn’t for me”

Sekarang saya tengah menempuh perkuliahan di Pohang University of Science and Technology (POSTECH) di Korea Selatan. Banyak jawaban saya jika ditanya mengapa memilih Korea Selatan. Bukan, bukan karena ingin bertemu artis K-Pop. Tapi, banyak pertimbangan lain yang akan sangat panjang jika dijabarkan. Yang pasti, sekolah di Korea Selatan sangat cocok untuk kalian yang ingin menjadi researcher andal dan berpengalaman, ter­ utama bagi orang-orang seperti saya yang sangat ingin menggeluti dunia penelitian, baik sebagai akademisi maupun bukan. Dan percayalah, dari luar sini, Indonesia terlihat sangat indah. Indonesia terlihat sangat besar. Tidak ada yang senyaman dan seindah Indo­nesia. Saat saya menulis tulisan ini, Saya tidak membenci Indonesia. Saya mulai mencintainya. Penulis: Rega Permana merupakan mahasiswa program master di Pohang University of Science and Technology. Penulis yang juga merupakan alumni Universitas Padjajaran ini mengambil jurusan Environmental Engineering dan juga menjadi peneliti di Laboratory for Biomimetic and Environmental Materials.

76


Orang Bilang, Hidup Itu Selalu Penuh Kejutan

Orang Bilang, Hidup Itu Selalu Penuh Kejutan 사람의 일이란 놀라움도 많지 Ivana Monica SolBridge International School of Business, Daejeon

Ya, hidup itu selalu penuh kejutan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan satu hari di depan. Kita tidak bisa memprediksi jalan seperti apa yang akan kita lalui besok. Hidup itu misteri, dan satu-satunya yang mengetahui rencana hidup kita secara rinci hanyalah Tuhan. Saya adalah seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi di Universitas Binus, Jakarta. Se­jak kecil, saya mempunyai mimpi untuk bisa sekolah di luar nege­ ri. Tapi, apa daya, mim­pi itu seolah kandas ketika ayah saya me­rasa belum “siap” untuk melepas pu­ tri pertamanya ke luar, apalagi dengan bi­aya yang dibutuhkan begitu besar. Akhirnya, saya memaklumi dan memu­tus­kan untuk bersekolah di Indonesia saja. Tetapi, mimpi tersebut masih terus meng­hantui pikiran saya. Saya ma­sih belum mau menyerah untuk mewujudkan mimpi tersebut. Semester pertama dan kedua saya lewati di Binus, masih dengan membawa ke­ inginan untuk bersekolah di luar meskipun tidak tahu kapan, di mana dan ba­gaimana caranya. Saya berusaha mencari info me­ ngenai beasiswa-beasiswa untuk se­kolah di luar, baik untuk program exchange ataupun pro­ gram master nanti­ nya. Akhirnya, saya

77


Merajut Cita di Negeri Ginseng

me­nemukan beasiswa Global Korean Scholarship (GKS) yang diberikan oleh pemerintah Korea untuk mahasiswa pertukaran pelajar ke Korea Sela­ tan. Dan ternyata, mahasiswa Universitas Binus juga diperbolehkan untuk mendaftar! Dengan semangat, saya mengumpulkan semua berkas-berkas yang di­ butuhkan untuk mendaftar beasiswa GKS ini seperti transkrip nilai aka­demik, surat rekomendasi dari universitas, transkrip nilai TOEFL, stu­dy plan, formulir aplikasi serta resume. Saya sempat bimbang ketika di­minta menulis prioritas universitas yang dituju. Jujur, belum pernah ter­lintas dalam benak saya untuk pergi ke Korea. Saya tidak punya basic apa pun dalam hal-hal per-Korea-an; saya tidak bisa membaca, menulis, mau­pun mengerti apa pun dalam bahasa Korea. Padahal, banyak orang me­ ngatakan bahwa orang-orang Korea sangat sulit dalam berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Didasari ketakutan itu, saya akhirnya “cari aman” dan memilih SolBridge International School of Business yang terletak di kota Daejeon. Perkuliahan terus berjalan dan semakin mendekati akhir dari Semester 3. Sebulan kemudian seharusnya perkuliahan semester baru baik di Binus maupun di Korea akan mulai, tetapi saya belum mendapat kabar mengenai beasiswa GKS ini. Saya bahkan belum bilang kepada teman-teman maupun lingkungan sekitar, sebelum pasti diterima untuk pergi kesana. Tetapi kata orang, hidup ini penuh kejutan. Setelah kekecewaan mu­ lai melanda, akhirnya saya mendapat email yang menyatakan saya ber­hasil mendapatkan beasiswa GKS ini! Beasiswa GKS ini sifatnya full scholar­ ship, yang artinya seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah Korea. Saya mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi gratis, asuransi kesehatan, serta biaya hidup per bulan 800.000 won. Yang artinya, saya tidak perlu membenani orangtua saya dalam hal finansial!

Indonesian students in SolBridge

78


Orang Bilang, Hidup Itu Selalu Penuh Kejutan

Dalam waktu sebulan, hidup saya berubah drastis. Tiba-tiba saya sudah berada di pesawat menuju Incheon Airport, tanpa tahu akan seperti apa hidup saya di Korea. Universitas yang saya pilih, SolBridge International School of Business, adalah sekolah internasional yang terletak di Kota Daejeon. Seperti status internasional yang disandangnya, sekolah ini 70% nya merupakan orang asing (foreigner), baik para profesor, staf, maupun murid-muridnya. Seluruh pelajarannya diajarkan dalam bahasa Inggris sehingga saya tidak perlu mengalami kesulitan bahasa. SolBridge juga merupakan institusi pendidikan privat pertama di Korea yang mendapatkan akreditasi AACSB (The Associa­ tion to Advance Collegiate Schools of Business), yang merupakan sebuah organisasi keanggotaan non-for-profit yang memajukan dan mempromosikan manajemen mutu pendidikan secara luas.

Culture Day yang diadakan oleh SolBridge

Mengikuti acara Flash Mob di Gyeongbokgung Palace, Seoul

79


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Lima bulan tinggal di Korea memberikan saya banyak pengalaman berharga. Di sanalah tempat saya pertama kali hidup jauh dari orangtua, pertama kalinya hidup di asrama, pertama kalinya berbagi kamar dengan orang asing, serta pertama kalinya belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Beban pelajaran yang be­ gitu berat, kompetisi untuk nilai yang begitu tinggi, disertai dengan ke­ inginan untuk bermain dan travelling mengharuskan saya untuk pintar-pin­tar membagi waktu untuk bermain dan belajar. Travelling menjadi salah satu kegiatan yang gemar saya lakukan di waktuwaktu senggang saya. Saya sering mengunjungi universitas-universitas

terkenal di Seoul seperti Yonsei, Seoul National University, Ehwa, dll. Tapi, entah mengapa, saya begitu terpesona dengan KyungHee University, yang katanya merupakan kampus terindah di Korea. Muncul keinginan dalam hati saya untuk kembali dan bersekolah di sini suatu saat nanti. Sekembalinya saya ke Indonesia, saya memulai perkuliahan semester 5 seperti biasa di Jakarta. Bergabung dengan organisasi “International Buddy” yang bertugas menemani anak-anak exchange dari luar negeri yang datang ke Binus, saya jadi banyak bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara lagi, termasuk anak-anak exchange dari Korea. Berteman dengan mereka membuat saya teringat lagi keinginan saya untuk bersekolah di salah satu universitas negeri di Korea. Pada waktu itu, tiba-tiba Binus mengumumkan bahwa mereka akan memberikan beasiswa partial bagi 5 mahasiswa berprestasi untuk mengikuti program exchange di semester mendatang. Mendengar kata beasiswa ke

80


Orang Bilang, Hidup Itu Selalu Penuh Kejutan

luar, tentu saya menjadi bersemangat untuk ikut. Akhirnya, saya mengikuti proses aplikasi dari awal; menyiapkan transkrip nilai, TOEFL, surat rekomendasi, dan interview. Untuk universitas yang dituju, saya memilih Kyung Hee University, meskipun saya sadar bahwa kampus ini begitu populer. Kampus yang populer berarti peminatnya akan semakin banyak, sehingga kemungkinan terpilihnya akan semakin kecil. Saya tidak berani berharap banyak. Tetapi, hidup ini benar-benar penuh kejutan. Puji Tuhan, saya terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa partial tersebut, dan universitas yang akan saya tuju ialah Kyung Hee University! Akhirnya pada Spring Semester 2015, saya pun kembali berangkat ke Korea Selatan.

Kyung Hee University

Ketika menapakkan kaki di depan kampus indah tersebut, rasanya masih seperti mimpi. Setahun yang lalu, saya berdiri di titik yang sama, me­ natap keindahan kampus Kyung Hee sambil membayangkan apa rasanya bersekolah di sana. Siapa yang menyangka bahwa setahun kemudian, saya kembali berdiri di titik yang sama, tetapi kali ini benar-benar menjadi murid di sana, meskipun hanya untuk 5 bulan.

81


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Indonesian food di World Food Festival

Penulis besar Andrea Hirata pernah berkata: Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Ya, jangan pernah takut bermimpi. Karena hidup selalu penuh kejutan. Penulis: Ivana Monica adalah mahasiswa Binus University, Jakarta jurusan Business Management. Ia adalah salah satu penerima Global Korean Scholarship pada periode Spring 2014 di SolBridge International School of Business, Daejeon. Email: ivn.monic@gmail.com

82


Beasiswa di Korea: Hasil Usaha dan Kegigihan 노력과 인내로 따낸 한국유학 Nadhila Sylvianti Pukyong National University

Sudah hampir satu tahun saya hidup di negeri ini. Negeri Ginseng tempat sejuta mimpi dan harapan dilambungkan di udara. Jauh dari negeri surga, Indonesia, jauh dari keluarga, jauh dari riuhan adzan di pekarangan rumah. Korea Selatan, tempat kami para maha­siswa menuntut ilmu de­ngan segala kesederhanaan, dengan segala keter­batasan, dengan segala cara untuk bertahan. Sebelum saya melanjutkan bercerita, ada baiknya saya per­ kenal­kan diri dulu. Halo, nama saya Nadhila Sylvianti, kalian semua bisa me­manggil saya Dhila. Mimpilah yang akhirnya bisa mem­ bawa saya ke sini. Saya punya mimpi untuk bisa melanjutkan pendidikan setinggi–tingginya di luar negeri. Kena­ pa di luar negeri? Ya, bukannya saya tidak cinta negeri sendiri sampai harus sekolah di luar negeri, tapi karena me­ nurut saya bersekolah di luar negeri ada­ lah salah satu cara untuk lebih mencintai negeri kita, Indonesia. Kenapa? Mari saya jelaskan. Setelah hampir lulus sarjana, seki­ tar bulan November 2013, saya men­ coba menentukan kira–kira mau ke ma­ na saya setelah lulus nanti. Saya

83


Merajut Cita di Negeri Ginseng

beren­cana lulus Februari 2014 dari Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Tercetuslah ide, saya belum ingin bekerja, tapi saya tidak boleh menjadi pengangguran, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pen­ didik­ an. Namun, jumlah biaya yang saya yakin tidak sedikit cukup membuat saya bimbang dengan ide saya. Belum lagi saya adalah anak sulung dari 3 bersaudara, pastinya saya harus memikirkan pula adik-adik saya yang masih harus melanjutkan pendidikan wajibnya. Beasiswa adalah jawaban dari permasalahan saya. Dengan beasiswa saya bisa melanjutkan pendidikan tanpa membebani kedua orangtua saya, walau­pun memang saya juga masih belum bisa membantu keuangan ke­ luarga. Saya pun mulai mencari informasi beasiswa dari berbagai sumber. Ada banyak macam beasiswa, beasiswa dari pemerintah, beasiswa dari lembaga pendidikan, beasiswa dari universitas itu sendiri sampai beasiswa dari profesor yang sedang menjalankan research. Dan, tentunya negara mana yang akan dituju juga menjadi pertimbangan saya dalam mencari beasiswa. Lalu kenapa Korea? Ya, dari semua negara kandidat saya, saya cu­kup tertarik untuk melanjutkan pendidikan di Korea. Alasannya, yang pertama, cukup banyak alumnus dari kampus saya yang menimba ilmu di negeri ini. Kedua, saya ingin menjelajahi daerah Asia terlebih dahulu. Ke­tiga, karena sebenarnya saya salah satu fans KPOP hehehe. Dan, yang ter­akhir tentu saja karena pendidikan di negeri Korea maju dan bagus. Setelah mencari dari beberapa sumber, saya mendapatkan info dari salah satu alumnus kampus saya bahwa ada salah satu profesor dari kampus Pukyong National University yang mencari mahasiswa S2 untuk menjadi researcher dan murid di labnya dan dia akan memberikan maha­ siswa tersebut tuition fee dan living expenses. Tidak banyak beasiswa yang menawarkan living expenses, beasiswa yang menawarkan living expenses pasti agak lebih sulit didapat. Jadi dengan adanya tawaran seperti ini tidak ada salahnya toh mencoba, padahal waktu itu saya memang belum lulus dari undergraduate school. Namun, saya memberanikan diri memberikan lamaran saya kepada profesor tersebut. Luar biasa fast respondnya. Hanya berselang 2 hari, email saya dibalas oleh profesor tersebut. Beliau menanyakan berbagai macam pertanyaan, dari tertarikkah saya di bidang penelitiannya. Lalu adakah keinginan untuk melanjutkan S3 yang tentu saya jawab jika memang beasiswa mengcover saya sampai S3, saya tentu saja ingin melanjutkan pendidikan setinggi– tingginya. Namun, memang tidak pernah ada jalan yang mudah untuk meng­ gapai mimpi, bukan? Selang seminggu, saya menerima kabar bahwa mereka menolak application saya untuk menjadi mahasiswa di kampus tersebut.

84


Beasiswa di Korea: Hasil Usaha dan Kegigihan

Entah karena apa, ya kemungkinan besar karena status saya yang pada saat itu belum lulus dari undergraduate school dan mungkin IPK yang masih dibawah 3,5 atau tidak cumlaude. Patah hati? Jelas. Tapi, itu tidak membuat saya berhenti berusaha. Yang jelas di sisa sisa akhir waktu kuliah sebelum saya lulus, saya ber­ usaha memperbaiki IPK, paling tidak mencapai 3,5 dan alhamdulillah ter­ capai. Walaupun mepet, saya masih mendapat gelar cumlaude. Lalu yang tidak lupa adalah menaikkan skill bahasa Inggris karena kita pasti akan ber­ komunikasi menggunakan bahasa Inggris di sana. Saya pun selalu ber­usaha mencari info dari alumnus tentang adakah lowongan beasiswa dari profesor di kampus sana. Sambil bekerja, karena saya tidak mau menganggur setelah lulus, saya tetap mencari info tentang beasiswa di negeri Ginseng tersebut. Sampai pa­da sekitar bulan November 2014, saya mendapatkan info beasiswa dari salah satu professor. Lagi-lagi, di Pukyong National University tapi ber­beda departemen dengan yang saya daftar dulu. Tanpa tendeng aling-aling, saya langsung saja daftar dengan mengirim email ke profesor ter­sebut. Bahkan, saya tidak memberitahu orang tua saya. Lagi – lagi fast res­pond, besoknya email saya langsung dibalas. Bahkan sang profesor tidak tanggung-tanggung segera menelpon saya dan menanyakan lebih se­cara mendetail. Setelah itu profesor menyuruh saya untuk segera mengurus dokumen seperti ijazah, transkrip, nilai TOEFL dan sebagainya untuk segera dikirim ke Busan, Korea tempat PKNU berada. Waktu sangat mepet untuk me­ ngejar deadline, belum lagi saya masih harus bekerja di kota lain. Jadi, saya tidak bisa 100% mengurus dokumen tersebut. Untunglah ada ibu saya yang siap membantu saya. Beliaulah yang berkeliling mengurus dokumen dan berkali-kali ke kedubes Korea untuk melegalisir berbagai macam dokumen. Akhirnya, dokumen saya lengkap dan segera saya kirim. Tepat pada hari ulang tahun saya, saya ingat sekali hari itu hari Senin dan saya sedang meeting produksi di kantor saya, saya menerima email dari PKNU bahwa saya diterima di kampus itu. Di situlah saya benar – benar merasakan, Tuhan tidak pernah menjawab tidak pada doa hamba-Nya, Dia hanya menunda dan memberi waktu yang tepat dan menjalankan rencana terbaik-Nya untuk hamba-Nya. Satu tahun lalu saya ditolak kampus tersebut dan hanya berselang satu tahun saya akhirnya diterima di kampus tersebut. 1 tahun di mana saya bisa berkumpul lebih lama dengan keluarga dan temanteman saya. 1 tahun di mana saya bisa merasakan pengalaman bekerja di suatu perusahaan bonafit. Percayalah, kawan, rencana-Nya selalu jauh lebih baik daripada keinginan kita.

85


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Hanya berselang 1 minggu dari resign saya di kantor, dan segala keriwehan mengurus visa dan paspor, akhirnya saya berangkat akhir Februari 2014 ke Busan, Korea. Pertama kalinya berpergian jauh meng­ gunakan pesawat, memang norak, tapi itu sungguh membuat saya excited. Pukyong National University, national campus yang sangat terkenal dengan fisheries-nya. Walaupun saya kuliah di departemen polymer engi­ neering, saya cukup bangga bisa bersekolah di salah satu kampus ternama di Busan, Korea. Hari-hari awal saya langsung beradaptasi dengan lingkungan lab. Di sini saya membantu penelitiannya profesor di bidang organic opto electronic materials. Karena saya berasal dari teknik kimia, saya benar-benar belajar dari awal tentang polymer dan organic opto electronic devices. Bukan sesuatu yang mudah untuk mempelajari hal baru, apalagi kalau kita dituntut untuk mempelajarinya secara mandiri.

Pukyong National University kampus Yongdang

Di PKNU saya tinggal di dormitory, hanya berjarak 5 menit dari gedung kampus saya. PKNU terbagi menjadi dua wilayah, yang satu dan utama ada di daerah Daeyeon dan yang satu lagi untuk jurusan teknik yang berada di daerah Yongdang. Karena saya di polymer engineering, otomatis kampus saya berada di daerah Yongdang. Yongdang merupakan tempat yang bagus untuk belajar, karena sepi dan jauh dari keramaian. Hal ini berbeda dengan Daeyeon yang berada di pusat kota, dekat dengan berbagai macam restoran dan tempat hiburan lainnya. Selain itu, keuntungan ting­ gal di Yongdang adalah saya merasa lebih fokus belajar. Yongdang juga merupakan tempat yang sangat indah terutama saat spring.

86


Beasiswa di Korea: Hasil Usaha dan Kegigihan

Suasana musim semi di Yongdang Campus PKNU

Mahasiswa Indonesia yang cukup banyak di PKNU merupakan salah satu faktor yang menambah kenyamanan saya menuntut ilmu di sini. Kami yang sama-sama berasal jauh dari Indonesia selalu memberi semangat satu sama lain, karena kami sudah merasa seperti satu keluarga. Seperti pada saat bulan Ramadhan, saya merasakan kebersamaan yang terasa hangat di antara kami. Mulai dari sahur bersama, buka puasa bersama dan shalat tarawih berjamaah. Semua itu membuat kami merasa tak sendirian di negeri minoritas Islam ini. Karena itu, kebersamaanlah yang selalu kami jaga, karena siapa lagi keluarga kami di sini kalau bukan para mahasiswa Indonesia sendiri.

Kebersamaan Mahasiswa Indonesia PKNU Spring Edition

87


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Kami mahasiswa Indonesia di PKNU pun tak lupa berusaha menampil­ kan salah satu kebanggaan kami pada Indonesia, yaitu budayanya yang be­ragam. Kami menampilkan tarian Saman dari Aceh di ajang International Day di PKNU, sebuah ajang yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa asing di Pukyong National University. Sungguh indah bukan keberagaman dari berbagai dunia, termasuk Indonesia, berada dalam satu ruang bersatu membentuk suatu kebhinekaan yang indah.

Penampilan tarian saman oleh mahasiswa Indonesia di PKNU

Satu hal yang juga saya pegang, selama kita di luar negeri baik itu menuntut ilmu atau bekerja, janganlah lupa pada negeri kita. Negeri yang sudah kita pakai tanahnya, airnya dan udaranya. Negeri yang sudah me­rawat dan mendidik kita dari kita lahir sampai dewasa dan akhirnya kita tinggalkan, Ibu Pertiwi kita. Negeri yang tidak pernah meminta apa pun, hanya cukup harumkan saja namanya di jagat raya. Karena itu, saat tinggal di luar negeri, apalagi yang bisa kita banggakan selain negeri kita sendiri, Indonesia. Korea dan segala ceritanya sudah menemani saya selama satu tahun ini. Dan banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan, yaitu bagaimana se­ buah doa pasti akan membuahkan hasil; sebuah mimpi yang sungguhsung­­guh ingin kita raih pasti akan tercapai; dan sebuah perjuangan itu ti­dak

88


Beasiswa di Korea: Hasil Usaha dan Kegigihan

pernah sia-sia. Ke mana pun kita akan melangkah, yakini, hilangkan semua keraguan, ambil kesempatan dan resiko, serta berusaha lalu berdoa.

Penulis: Nadhila Sylvianti adalah mahasiswa program master di Pukyong National University Yongdang Campus dengan jurusan Polymer Engineer­ ing. Penulis yang berasal dari Bogor ini merupakan alumni Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang.

89


90


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja 한국: 나의 우연한 만남 Phisca Aditya Rosyady Seoul National University of Science and Technology

Terkadang kita latah melakukan suatu hal tanpa kita sengaja ataupun kita rencanakan, termasuk dalam ber­doa. Ini kita lakukan mungkin hanya se­ kedar untuk memenuhi kewajaran saja, tanpa melalui proses berpikir yang pan­jang. Boleh jadi suatu ke­tika ada ka­wan yang mendoakan kita, dan kita me­yakini itu doa yang baik, se­ke­tika itu pula kita meng­amin­kan tanpa se­benarnya ada pi­kir­­an bahwa doa itu akan menjadi ke­nya­taan atau­pun tidak. Dari situ­ lah kemudian saya menyebutnya se­ bagai “Doa Yang Tak Disengaja”, mung­ kin agak mirip diksi judulnya dengan salah satu film yang diangkat dari buku karya Asma Nadia. Ya, film “Syurga Yang Tak Dirindukan” yang meng­angkat soal isu sensitif saat ini yakni poligami. Kembali membahas tentang judul tulisan ini, berangkat dari “Doa Yang Tak Disengaja” inilah dengan Qodarullah (taqdir-Nya) kemu­ dian mempertemukan saya dengan skenario yang tak terduga sebelumnya, yakni menuntut ilmu sampai ke Negeri Ginseng atau Korea Selatan. Syukur yang tak terkira meskipun tak pernah membayangkan sama se­ kali untuk berkuliah di Korea, namun Tuhan memilihkan jalan ini. Pada saat

91


Merajut Cita di Negeri Ginseng

itu saya baru merenungi kalau setahun sebelumnya saya per­nah didoakan beberapa teman untuk bisa menginjakkan kaki di Korea, meski­pun hanya doa iseng menurut saya. Saat saya menuliskan catatan peng­alaman ini, rasarasanya masih belum percaya semua bisa berjalan se­demikian hingga atas skenario indah dari-Nya. Sampai saat ini, terhitung sejak spring semester 2015 silam, sudah setahun saya menjalani perkuliahan di salah satu kampus negeri di Kota Seoul. Perkenalkan, saya Phisca Aditya Rosyady atau akrab disapa Phisca, mahasiswa yang masih berjuang me­nyelesaikan studi master di Ilmu Komputer Seoul National University of Science and Technology. Berikut kisah saya, selamat menjejaki.

Berawal dari Foto Narsis Masih ingat betul, kala itu saya menjadi finalis sebuah kompetisi business plan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di tengah riuh gemuruh babak final, saat jam istirahat saya jalan-jalan mengitari Kampus UI Depok dengan menggunakan kendaraan khasnya, yakni Bis Kuning atau Bikun. Sampai akhirnya sampai di salah satu bangunan cukup unik di kampus itu, yakni perpustakaan. Di pojok perpustakaan terdapat cafe yang bertuliskan “Korea” yang sepertinya kurang afdhol jika tidak berfoto di depannya. Saya pun berfoto dan beberapa hari kemudian saya iseng memposting foto itu di media sosial facebook. Tak ayal, banyak orang yang melihat background fotonya, mengira kalau saya sedang berada di Korea. Saya pun membalas komentar-komentar yang bermunculan seraya mengklarifikasi bahwa foto tersebut tidak diambil di Korea, melainkan di kawasan Perpustakaan UI. Dari situlah ada beberapa teman yang justru mendoakan saya agar bisa benarbenar menginjakkan kaki di Korea. Saya pun latah meng-amin-kan doa-doa tersebut, walaupun sebenarnya tidak ada bayangan sama sekali apakah suatu saat doa itu bisa terkabul atau tidak. Alhamdulillah doa itu terkabul setahun setelahnya sehingga saya bisa berkuliah di Korea sampai saat ini.

Takdir, Selalu Memilihkan Jalan Terbaik Kadangkala kita terhanyut di lautan penyesalan ketika apa yang kita perjuangkan tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Merasa tidak disayangi Tuhan atau apalah, mengurung diri hingga akhirnya kita hanya stagnan pada kondisi keputusasaan itu. Saya dulu pernah ham­pir mengalami itu semua saat lulus SMA. Ketika itu saya mempunyai ke­inginan masuk di jurusan pndidikan dokter namun tetap saja gagal, gagal, dan gagal dalam beberapa proses seleksi masuk yang saya ikuti. Berat me­mang saat itu untuk menerima kenyataan tidak lolos masuk seleksi di pen­didikan dokter,

92


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

mengingat semenjak kecil saya memiliki impian untuk menjadi dokter, berjas putih dan selalu mengalungkan stetoskop di lehernya. Sampai pada akhirnya saya terlempar di program studi pilihan kedua saya, yakni Elektronika dan Instrumentasi di Universitas Gadjah Mada. Pada awalnya memang masih menyisakan kekecewaan tidak bisa mengenyam pendidikan sebagai dokter. Bertambah nyesek memang kondisi saat itu melihat gedung perkuliahan saya di fakultas MIPA berdekatan dengan fakultas kedokteran. Persis bersebelahan, hanya disekati oleh jalan kesehatan yang selalu nampak ramai dengan jajaran mobil-mobil yang sedang parkir di tepiannya.

Bersama mahasiswa internasional di SeoulTech

Saya mencoba membalikkan cara pandang saya saat itu. Semakin saya melihat gedung FK, saya harus semakin terpacu untuk bisa berkontribusi dan berbuat lebih besar meskipun itu di jalan lain. Itulah “dogma” yang se­nantiasa saya internalisasikan dalam diri ini agar tidak lagi terhanyut dalam cita-cita masa lalu yang terpaksa gagal untuk dilanjutkan. Semangat inilah yang kemudian bisa mengantarkan saya menjadi lulusan pertama dari angkatan saya pada program studi Elektronika dan Instrumentasi. Alhamdulillah 3,5 tahun berkuliah juga ada beberapa pencapaian yang bisa saya perbuat untuk membuat bangga kedua orang tua saya, seperti menjadi mahasiswa berprestasi FMIPA selama dua periode dan mendapatkan Anugerah Insan Berprestasi UGM. Prestasi ini saya rasa belum tentu bisa saya dapatkan jika saat itu saya berkuliah di Fakultas Kedokteran. Saya yakin ini mungkin salah satu jawaban Tuhan, kenapa Ia memilihkan jalan takdir bukan sebagai seorang mahasiswa kedokteran.

93


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Tak berhenti di situ, setiap orang pasti selalu memiliki mimpi. “Wajar dan sah-sah saja, bukan?” Banyak orang berkata bahwa dengan mimpilah kita bisa menghidupkan hidup. Saya pun tidak bosan untuk bermimpi, meski dalam kisah sebelumnya mimpi saya terpaksa berhenti dan Tuhan menggantinya dengan harapan di jalan yang lain. Selepas lulus sarjana saya bermimpi untuk bisa bekerja di perusahaan BUMN, sebut saja PLN. Ikhtiar ke sana pun dimulai ketika lembaga karir di kampus menggelar acara job fair besar-besaran di kampus pada pertengahan bulan Mei 2014 silam. Saat itu tepat sebulan setelah pendadaran skripsi sarjana saya. Saya memang menargetkan bisa lolos dan diterima di PLN, meskipun saya pun juga selalu realistis dan selalu mempersiapkan plan B dalam melangkah. Dari beberapa company yang memenuhi stand di job fair itu, Saya memasukkan sekitar lima belas lamaran ke beberapa perusahaan yang berbeda. Hingga sekitar sebulan berjalan proses seleksi kerja itu, di PLN saya alhamdulillah bisa lolos tahap demi tahap, hingga dari 7 tahap yang ada saya sudah melalui 4 tahap dengan cemerlang. Di saat yang sama saya juga masih menjalani proses seleksi di beberapa perusahaan, yang juga lolos sampai tahap lanjut. Sampai suatu ketika, pada saat seleksi tahap ke-4 PLN, saya masih ingat betul di tengah-tengah mengerjakan soal tes saya ditelpon oleh HRD dari salah satu anak perusahaan Astra di bidang IT, yakni Astra Graphia Information Technology (AGIT). Saat itu saya mendapat kabar bahwa esok harinya saya harus offering dengan Manager AGIT dan diharapkan dalam 1 bulan ke depan saya sudah teken kontrak. Namun saya berusaha untuk tetap fokus dan menuntaskan perjuangan untuk masuk di PLN. Saat itu masih menyisakan 2 tahap seleksi PLN yakni medical check dan interview terakhir, hingga akhirnya pengumuman untuk medical check up pun diinformasikan untuk para peserta yang lolos tahap itu. Saya pun mengikuti tes kesehatan dengan penuh percaya diri, sampai akhirnya H-3 pe­nandatanganan kontrak dengan AGIT saya dinyatakan gagal untuk lanjut di tahap interview akhir. Kembali lagi kegagalan terulang setelah 3 tahun silam juga gagal. Namun, di sini saya lebih tabah dan lebih siap me­nerimanya sampai akhirnya saya memulai debut kerja di AGIT, Jakarta. Kala itu saya meyakini bahwa kegagalan ketika saya ditolak PLN itu pasti berhikmah di kemudian hari. Setelah mulai nyaman kerja sebagai programmer di perusahaan IT ter­ sebut, ada kesempatan penerimaan CPNS tahun angkatan 2014. Cukup menarik untuk kembali memperjuangkan cita-cita sebagai pegawai tetap meskipun bukan di BUMN. Saya kala itu membidik Kementerian ESDM dan Kominfo. Singkat cerita tahap pertama pun saya gagal alias tidak men­­dapatkan panggilan tes tahap lanjut. Saat itu planning saya memang dalam waktu 2-3 tahun setelah lulus sarjana adalah bekerja di BUMN dan

94


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

selepas itu berikhtiar untuk melanjutkan studi master, entah di dalam negeri ataupun syukur bisa di luar negeri. Namun, ibarat cinta masih bertepuk sebelah tangan, ikhtiar untuk masuk di PLN dan mengikuti CPNS pun ter­ paksa terhenti. Akan tetapi, selalu saja ada rencana lain dari-Nya yakni de­ ngan hadiah “penghibur” diterima di perusahaan IT Swasta tersebut. Saat itu pun saya berupaya untuk terus bersyukur dengan kondisi yang ada. Apalagi mengingat ada teman-teman seangkatan di luar sana yang belum diterima kerja di mana pun. Dalam benak ini, kondisi saya sudah lebih baik dari mereka, dan ini harus disyukuri apapun kondisinya. Lima bulan berlalu menjalani hari sebagai seorang karyawan di per­ usahaan swasta di kota besar Jakarta, cukup menghadirkan berbagai ki­ sah tersendiri. Mulai dari harus belajar cepat beradaptasi dalam sebuah tim, harus bisa negosiasi dengan user, hingga berbagai cerita yang me­leng­ kapinya seperti macetnya ibu kota dan masih banyak lagi. Selama di Jakarta, saya sering menghabiskan weekend dengan berjalan-jalan di ber­ bagai tempat, sekedar mengunjungi obyek wisata, mencoba koridor subway dan transjakarta, hingga bersilaturahmi ke kerabat dan kawan lama. Suatu ketika, saat saya sedang mampir di kos kakak saya di Bintaro, ada sebuah SMS masuk dari kawan lama saat kuliah sarjana dulu: “Kang, sesuk Senin tekan Selasa aku bisa numpang neng kos e sampeyan ora? “ (Kang, Besok Senin hingga selasa saya bisa numpang di kos kamu, tidak?) Langsung saja saya meng­iyakan dan mempersilakan teman saya tersebut untuk menumpang di kos untuk esok harinya. Senin bada subuh HP pun berdering, pertanda teman saya yang akan singgah sejenak di kos saya telah tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Seusai shalat subuh pun saya langsung menuju stasiun untuk menjemput teman saya tersebut, karena kos dan stasiun hanya berjarak sekitar 1 km sehingga saya hanya jalan kaki seperti biasanya. Akhirnya, teman saya sampai kos dan saya persilakan untuk istirahat sejenak sebelum memulai misinya di siang harinya. Sebelum saya berangkat ke kantor, iseng saya bertanya tentang alasan kenapa teman saya ke Jakarta saat itu. Dia men­ jelaskan kalau ia sudah diterima beasiswa kuliah program master di Kam­ pus SeoulTech dan kala itu dia akan mengurus segala kelengkapan pem­ berkasan di Kedutaan Besar Korea Selatan di Indonesia. “Serius?” Saya masih setengah tidak percaya teman saya satu angkatan diterima beasiswa di Korea. Saya pun antusias dengan beasiswa yang didapatkan teman saya ini, kemudian saya bertanya banyak hal tentang kenapa teman saya bisa men­ dapatkan beasiswa tersebut. Di akhir obrolan teman saya tersebut menyu­ruh saya untuk mencoba kesempatan yang sama, karena saat itu waktu pen­

95


Merajut Cita di Negeri Ginseng

daftaran masih menyisakan sekitar seminggu. Asyiknya mengobrol mem­buat saya terlambat pergi ke kantor saat itu, hampir pukul 8.30 saya baru ti­ba di Kantor. Sesampainya di kantor pun, pikiran saya pun terbagi ke soal beasiswa yang ditawarkan teman saya tersebut. Di sela-sela ngoding di kantor, saya pun membuka link informasi beasiswa yang ternyata pernah dishare di group Facebook jurusan. Akhirnya saya memutuskan untuk meng-email profesor yang memang membuka beasiswa tersebut. Saya sampaikan da­lam email pertama itu bahwa saya sangat antusias untuk join di labo­ratorium beliau, karena memang bidang riset yang ditawarkan cukup linear dengan bidang ilmu saat sarjana dulu. Masih ingat betul kala itu saya mengirim email ke profesor saat jam makan siang kantor, sekitar pukul 12.15 WIB. Selepas itu pun saya kembali fokus dengan pekerjaan. Hari itu pun rasanya berlalu dengan cukup cepat. Seperti biasa saya pun pulang kantor pada pukul 17.30 WIB. Sesampainya di kos, saya langsung mengecek inbox di email yang ter­ nyata sudah ada reply email dari calon profesor saya tersebut. Dalam email balasannya, professor menyampaikan bahwa saya harus mengirimkan CV dan trakskrip nilai secepatnya. Esok harinya saya mengirimkan balasan di­ sertai dengan lampiran seperti apa yang diminta oleh beliau. Siangnya saya menerima email balasan disertai dengan pertanyaan seperti ini : “Can we have an interview today or tomorrow? Let me know your available time.”

Cukup kaget saya dan masih setengah bingung karena profesor ingin untuk melakukan interview dalam waktu dekat. Bahkan dalam e-mail siang itu beliau menyampaikan kalau tidak hari ini ya besok hari interviewnya. Saat itu saya belum bisa membayangkan apa saja yang akan ditanyakan oleh profesor nanti. Sejujurnya waktu itu saya sedang sibuk-sibuknya mengejar target proyek di kantor, yakni membuat report menggunakan telerik reporting. Namun, sudah kepalang basah pikir saya dalam hati, “Bismillah, insya Allah besok siang saya siap interview dengan professor“. Se­ ketika saya pun menyampaikan email balasan kepada profesor tentang jadwal “kosong” Saya. Sebenarnya bukan jadwal kosong, namun jadwal yang kira-kira di jamjam itu di ruangan saya tidak ada bos yang sedang memeriksa pekerjaan para programmernya. Dengan mempertimbangkan selisih waktu Korea dan Indonesia bagian barat, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jadwal interview esok harinya tanggal 30 Oktober 2015 jam 10 Waktu Standar Korea atau jam 08.00 WIB. Sengaja saya memilih waktu itu agar interview tersebut dilaksanakan

96


Korea, “Doa� Yang Tak Disengaja

dalam kondisi ruang kerja yang masih cukup luang dengan pending-an tugas. Hari yang ditunggu pun telah tiba, berbekal pengalaman yang pernah dishare teman saya tentang interview ini, saya cukup percaya diri dalam menghadapinya. Saya pun bermaksud sampai kantor pukul 07.00 agar bisa mulai mengerjakan pending-an tugas yang harus saya selesaikan hari itu. Hal ini saya maksudkan agar pada jam 08.00 WIB hingga dua jam ke depan bisa berfokus pada interview itu.

SeoulTech di musim gugur

Posisi sudah nyaman dengan meja kerja dan laptop warna hitam itu, akhirnya waktu interview pun di mulai. Sebelumnya saya menyampaikan pesan ke rekan kantor yang duduk di sebelah saya untuk bisa menghandle hal-hal berkaitan dengan tugas kantor selama proses interview berlangsung. Jam tangan sudah mengarah ke 08.05 WIB atau 10.05 KST, cukup membuat gusar dan agak deg-degan karena belum disapa oleh professor. Sampai akhirnya jam 08.08 WIB pun ada chat masuk dari professor saya: “Hello, Can we start the interview from 10:10 KST�

97


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Saya pun membalasnya dengan sigap dan langsung bersiap menatap layar laptop kantor berwarna hitam di meja kerja saya, meskipun saat itu sebenarnya kondisi kurang kondusif. Maklum, kanan kiri depan adalah rekan kantor yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Itu yang membuat agak kurang fokus saat itu. Profesor mulai bertanya tentang siapakah saya sebenarnya, terkait latar belakang pendidikan, riset hingga apa yang sedang dijalani saat itu. Cukup mudah untuk bagian awal-awal ini hingga yang mulai agak serius adalah obrolan soal ketertarikan riset yang akan digeluti di laboratorium jika saya diterima. Boleh dikatakan, saat itu pemahaman saya tentang riset beliau memang masih dangkal, mengingat saya bukan orang yang sering bekerja di lab ataupun orang yang sering lomba robot saat jaman sarjana dulu. Saya mencoba menjawab apa adanya. Tak terasa hampir 120 menit kami berdiskusi melalui gtalk sampai profesor mengatakan bahwa interview sudah cukup untuk hari itu. Setelah itu saya disuruh untuk menunggu pengumuman selanjutnya apakah berhak ke tahap selanjutnya atau terhenti di proses itu saja. Selepas interview itu, saya kembali fokus bekerja seperti sedia kala. Namun tetap saja saya penasaran dengan hasilnya nanti sehingga beberapa menit sekali saya sempatkan mengupdate email inbox saya. Hingga men­ jelang Asar, tibat-tiba ada notifikasi inbox di email saya. Benar email itu dari profesor yang menginterview saya pagi tadi. Perlahan saya baca email dari professor tersebut: Dear Phisca Aditya Rosyady, After carefully reviewing your CV and transcript, we have decided to admit your entrance to the M.S. program of SeoulTech. I have enclosed the letters of invitation and the confirmation of financial support. These will be used later for your visa process. You have to reply this email within THREE days to let me know if you accept this offer or not.

Tanpa banyak kata, saya pun langsung bergegas ke musholla kantor untuk sujud syukur dengan apa yang telah dianugerahkan saat itu. Kali­mat tahmid pun tak henti-hentinya keluar dari mulut saya kala itu. “Alhamdulillah…. Alhamdulillah…Alhamdulillah”. Musholla kantor saat itu cukup sepi sehingga bisa leluasa meluapkan kesyukuran. Selepas itu pun saya kembali ke ruang­ an untuk melanjutkan pekerjaan.

98


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

Gayung pun Bersambut, Ikhtiar pun Menunjukkan Hasilnya Entah apa jalan takdir yang disiapkan Tuhan kepada saya saat itu. Sampai saat saya menulis kisah ini pun saya masih bertanya-tanya dan men­coba memahaminya. Hal yang saya sepakati dan selalu saya pegang ada­lah hasil yang kita perjuangkan insya Allah tidak akan pernah berkhianat. Hasil akan selalu selaras dengan tingkat kepayahan kita dalam memperjuangkannya dan tingkat kepasrahan kita dalam memasrahkan usaha kita. Dari sanalah saya selalu berusaha untuk berprasangka baik pada setiap jalan hidup yang sudah digariskan. Inilah yang saya rasakan kala itu, setelah gagal masuk di BUMN dan gagal pula di tes CPNS, namun dengan tangan-Nya, Tuhan memudahkan saya dalam menjalani proses pendaftaran beasiswa master ke Korea ini. Tantangan pertama saat itu adalah memahamkan kedua orang tua dan keluarga saya soal apa yang sebenarnya menjadi motivasi saya mengambil beasiswa itu. Mereka masih belum total dalam mendukung langkah saya ini mengingat saya berada jauh dari keluarga. Namun, Alhamdulillah saya hanya berusaha memperbanyak doa dan mencoba berdiskusi beberapa kali, setelah itu keluarga bisa menerima dan “melepaskan” saya untuk berkuliah ke luar negeri, yakni ke Negeri Ginseng. Kala itu professor menyampaikan bahwa saya resmi diterima sebagai penerima beasiswa di lab beliau, namun secara administrasi saya harus melengkapi beberapa pemberkasan. Email resmi yang mengatakan saya di­ terima adalah tertanggal 30 Oktober 2014, sedangkan saya harus me­leng­ kapi pemberkasan itu dan mengirimkannya ke Korea sebelum 14 November 2014. Agaknya cukup mustahil semua akan berjalan sebagaimana yang saya harapkan, mengingat saya belum bisa meminta izin cuti untuk pulang atau­pun untuk mengambil libur sekali pun. Saya pun mencoba mengontak ketua prodi saat itu dengan niatan saya bisa menemui beliau saat weekend untuk meminta surat rekomendasi dosen. Begitu pula dengan pak Dekan yang ke­ betulan beliau juga mengenal baik saya saat kuliah dulu. Akan tetapi, keduanya berhalangan karena ada agenda lain sehingga belum bisa ditemui. Tak menyerah dengan usaha itu, saya mencoba mengontak dosen pem­bimbing skripsi saya dulu. Alhamdulillah seolah gayung pun bersambut, setelah membaca balasan dari dosen saya yang mengatakan bahwa awal November beliau dan rombongan akan berkunjung ke Jakarta untuk meng­ gelar pameran alat pertahanan di arena PRJ Kemayoran. Sambil menunggu kedatangan dosen dan rombongan ke Jakarta, Saya mulai merapikan berkas-berkas yang bisa dicicil, termasuk mencari lembaga translator berijazah untuk mengalihbahasakan berkas-berkas

99


Merajut Cita di Negeri Ginseng

yang ada. Setelah translator menyampaikan bahwa berkas yang sudah di­translate sudah bisa diambil, saya memutuskan untuk mengambil izin setengah hari agar bisa mengambil berkasnya di kawasan Setiabudi de­ ngan ha­rapan sekalian ke Kedutan Besar Korea di Jakarta. Saat izin mbolos setengah hari ke project manager saya di kantor, cukup bingung juga saya dalam me­nyampaikan alasan pamit saya saat itu. Mengingat saya belum memberi kabar bahwa saya mendaftar beasiswa dan mungkin akan segera meninggalkan kantor yang baru saja saya singgahi 6 bulan tersebut. Sejak awal saya berusaha untuk menyimpan informasi ini terlebih dahulu agar tidak tersebar ke Dept Head ataupun HRD mengingat saya takut kalau harus membayar penalty saat resign. Namun akhirnya saya beranikan jujur kalau mau ke Kedutaan Besar Korea karena ada sedikit urusan. Awalnya ada yang nylethuk saya dikira akan pindah kerja ke Korea, namun saya mencoba menjelaskan kepada project manager saya kalau saya akan melanjutkan studi di Negeri Ginseng. Tak lupa saya mencoba kong-kali-kong dengan PM (Project Manager) agar tidak menyebarkan informasi ini terlebih dahulu, insya Allah ada masanya saya mengajukan resign. Dalam hati saya berpikir yang penting bisa kabur se­bentar dengan aman, urusan resign nanti diatur lagi. Masalah resign me­ mang menjadi hal yang sangat saya pikirkan karena saya tahu betul me­ ngenai konsekuensi semisal resign sebelum waktunya. Penalti dengan harus membayar sejumlah uang yang saya pikir cukup besar. Akhirnya hari itu saya langsung melaju ke kawasan Setiabudi meng­ gunakan TransJakarta. Berangkat dari halte depan kantor, yaitu Halte Pal Putih Kramat Raya ke arah Setia Budi, sesampainya di Halte Halimun saya mencari kantor translator itu berdasarkan arahan dari yang saya dapatkan sebelumnya. Benak saya berpikir “Ini kantor translator tersumpah resmi atau tidak ya kok nyari kantornya saja agak nyempil-nyempil di ganggang kecil?” Sambil menggunakan GPS di smartphone saya, saya telusuri jalanan di kawasan Halimun saat itu, sampai akhirnya menemukan rumah semacam kos-kosan yang ada tulisan jasa translator dan di depan pintu saya telepon karyawannya tadi. Akhirnya keluar juga seorang mas-mas yang terlihat seperti baru bangun tidur. Dokumen sudah tertranslate dengan cap yang menyatakan bahwa hasil terjemahan translator tersumpah sudah ada ditangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.40 WIB, padahal saya masih harus men­cari kantor notaris dan Kedutaan Besar Korea Selatan. Saya pun lang­ sung naik TransJakarta arah Ragunan dengan berharap bisa turun di kawasan Gatot Subroto. Namun, mungkin karena navigasi saya waktu itu masih buruk, saya pun keblasuk atau nyasar sampai kawasan Senayan. Akhirnya saya balik

100


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

arah menuju perempatan mampang dan memutuskan jalan kaki menelusuri arah navigasi GPS di smart phone. Sampai beberapa kali bertanya ke orang yang saya temui di jalan, ada yang tahu, ada yang tidak tahu, dan mengaku tahu meskipun tidak tahu. Inilah yang menyebabkan nyasar cukup jauh hingga saat itu saya melihat jarum pendek jam sudah menunjuk ke arah jam 4. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan seorang satpam dan saya pun bertanya di mana Kedutaan Besar Korea Selatan. Sembari menunggu jawaban dari sang satpam tersebut saya sesekali menatap ke samping kiri dan saya melihat sepintas ada bendera Korea Selatan di seberang jalan di depan sebuah bangunan yang cukup besar. “Ya, itu mas kedutaan besarnya” jawab Sang Satpam tadi. Saya pun tak menghabiskan waktu banyak, setelah mengucapkan te­ rima kasih saya langsung menuju jembatan penyeberangan di atas jalanan Gatot Subroto yang penuh keramaian kala itu. Sampailah saya di Kedutaan Besar Korea pada jam 16.30 WIB. Langsung mengambil antrian dan saya pun menunggu sembari menghela nafas panjang karena hampir 2 jam berjalan mencari yang namanya gedung Kedutaan Besar Korea Selatan. Nomor urut saya pun dipanggil, sesampainya di loket saya ternyata di­suruh kembali lagi besok harinya karena saat itu sudah waktunya tutup. Pegawai di Kedubes pun menyarankan untuk melegalkan dokumennya ke notaris terlebih dahulu di gedung sebelahnya. Namun karena waktu sudah jam 5 WIB saya pun hanya survey sebentar mencari gedungnya ke­mudian saya memutuskan untuk kembali ke kos. Malam harinya saya terpaksa sms ke PM saya untuk izin setengah hari, namun beliau tidak membalas. Jujur, saat itu saya sebenarnya agak takut dengan PM saya, namun karena deadline pengumpulan berkas su­dah di depan mata saya pun nekat untuk izin setengah hari sebelum jumatan untuk ke Gatot Subroto lagi. Jam 6 saya sudah bertolak dari Halte Transjakarta Kramat Sentiong NU dekat kos menuju Gatot Subroto. Karena sudah tahu jalannya, saya sampai lokasi tanpa nyasar lagi. Tepat jam 7.50 WIB saya menuju ke kantor notaris milik Korea dan di sana saya langsung menunjukkan dokumen yang ingin saya notariskan. Sekitar 30 menit menunggu akhirnya dokumen sudah dicap oleh notaris tersebut. “Simple sih prosesnya, namun cukup menguras dompet alias mahal“ gumam saya. Setelah itu saya menuju kantor Kedutaan Besar Korea Selatan untuk finishing pemberkasan yang sudah saya siapkan itu. Kala itu masih sepi karena masih sekitar jam setengah sembilan. Empat puluh lima menit proses menunggu hingga akhirnya selesai urusan sekitar jam 9.15 WIB. “Masih bisa sholat jumat di masjid dekat kantor nih “ pikir Saya. Saya pun langsung menuju kantor lagi, sesampainya di sana agak takut karena sebenarnya

101


Merajut Cita di Negeri Ginseng

saya belum mendapatkan izin dari PM Saya untuk telat kala itu. Namun, Alhamdulillah PM saya pun tidak mempermasalahkan dan sengaja memang tidak membalas pesan saya malam harinya karena sedang sibuk beliau malam itu mengurusi bayinya yang masih berusia beberapa hari. Sholat Jumat kala itu terasa nikmat sekali, hasil jerih payah dua hari terakhir minimal sudah membuahkan progress meskipun masih menyisakan beberapa PR. Saya meyakini betul kalau memang ini adalah jalan dan skenario-Nya, insya Allah akan dimudahkan. Itu yang saya tanamkan dalam otak saya saat itu.

Ramadhan bersama IMUSKA 2015

Belum selesai, ya masih ada rekomendasi profesor atau dosen di kam­ pus asal yang harus diperjuangkan. Mengingat hari itu Selasa, Saya coba kembali mengontak dosen pembimbing yang akan ke Jakarta besok harinya. Beliau langsung membalas dengan memberi estimasi waktu kapan dan di mana kami bisa bertemu. Rabu malam selepas maghrib di stand UGM di arena pameran alat pertahanan PRJ Kemayoran. Ya, Rabu sore saya sengaja pulang tepat waktu, yakni jam 17.00 WIB. Langsung menggunakan bus Kopaja ke arah PRJ tanpa peduli lagi kusutnya muka dan letihnya badan karena seharian debugging kodingan yang belum kelar. Karena akses ke PRJ tidak bisa terjangkau dengan bus, maka hal itu memaksa saya harus berjalan kaki hampir 2 km menuju lokasi pameran. Di tengah gelapnya malam, masih ingat betul saya menelusuri kompleks perumahan untuk bisa menuju lokasi PRJ agar bisa menempuh jarak terdekat versi GPS di smartphone. Sampai di lokasi saya bingung mau ke mana terlebih dahulu mengingat

102


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

lokasi yang begitu luas. Seingat saya di PRJ ada dua hall besar, Saya pun mencoba masuk salah satunya terlebih dahulu. Agak sulit menemukan stand UGM saat itu mengingat saat itu masih waktu loading barang. Saya mencoba menelpon dosen saya, namun belum juga diangkatnya. SMS dan pesan Whatsapp juga tidak dibalas sampai waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Saya pun memutuskan untuk mengecek sekali lagi setiap sisi hall sembari menunggu balasan dari Pak Dosen. Sampailah saya di stand yang ada logo UGM-nya meskipun kebahagiaan itu hanya sejenak karena saat saya dekati tidak ada seorang pun di sana. Waktu sudah larut malam, saya memutuskan untuk menelepon dosenku kembali. “Waalaikumusalam, Phisca, maaf baru ngrespon. Tadi saya dan teman-teman sibuk loading, sekarang ketemu saya saja di Warung Soto depan main gate sisi kiri PRJ. Saya tunggu, ya “.

Tanpa pikir panjang saya langsung berjalan menuju main gate sembari mengiyakan perintah Pak Dosenku tersebut. “Udah sini makan barengbareng dulu, nanti soal dokumen gampang Phis“ ujar dosen saya. Saya masih terengah-engah karena harus berjalan agak cepat berusaha menjawab ajakan pak dosen itu. “Kula sampun makan Pak tadi selepas dari kantor, Saya tunggu saja gag papa”. Jawaban saya waktu itu. Saya ketemu beliau sudah Alhamdulillah banget. Perkara makan nanti gampang kalau urusan sudah kelar. Kami pun ngobrol ngalor ngidul soal bagaimana kondisi masing– masing, termasuk pak dosen menanyakan kabar selama saya bekerja ham­ pir 7 bulan di Jakarta. Obrolan malam itu cukup lama sampai tak terasa wak­tu me­nunjukkan pukul 23.00 malam. Sejujurnya saya sudah beberapa kali me­ngecek jam kala itu mengingat mungkin akan kesulitan mendapatkan kereta atau pun bus selepas pukul 12 malam. Namun, kekhawatiran saat itu terpecah­kan dengan ajakan dosen untuk sekalian diantar ke kos. “Mendingan Phisca pulang bareng rombongan saja, nanti kami antar ke kos nya. Terus kaitan rekomendasi besok janjian saja jam berapa nanti Phisca ngambil di hotel tempat bapak menginap” pungkas Pak Dosen. Melegakan rasanya mendengar jawaban dosen yang juga menutup percakapan kami kala itu. Saya pun akhirnya diantar sampai kos-kosan di kawasan Salemba, meskipun sejujurnya tidak enak karena hotel tempat dosen saya singgah sebenarnya hanya berjarak 1 km dari PRJ. Sehari setelahnya saya pun kem­ bali menemui dosen saya di hotelnya untuk mengambil berkas rekomen­ dasinya. “Ini Phis, rekomendasinya, itu sudah ada 2 lembar, dari saya dan dari Pak Tri”. Singkat cerita, saya pun mendapatkan 2 lembar rekomendasi dalam malam itu. Sangat bahagia kala itu, mengingat sebenarnya mungkin

103


Merajut Cita di Negeri Ginseng

cukup mustahil kala itu untuk sekedar pulang ke Jogja menemui dosen untuk meminta rekomendasi. Saya yakin ini adalah salah satu jalan Allah mem­ buatkan taqdir terbaik untuk hamba-Nya.

Tawakkal, Cara Terindah Menyempurnakan Perjuangan Syukur yang tak terkira bisa sampai pada tahap itu. Ya, semua ber­ kas yang dibutuhkan untuk admisi kampus kala itu bisa terpenuhi di waktu yang tepat. Kalau bukan skenario dariNya, semua ini tidak akan ter­laksana mengingat saya waktu itu juga sedang sibuk dengan urusan kan­tor sehingga agak berat kalau harus multitasking mengurusi ini dan itu. Termasuk kalau harus pergi ke Jogja untuk menemui dosen pemberi re­komendasi. Semua ibaratnya berjalan dengan seiring seirama di dalam skenario indah dari-Nya. Alhamdulillah masih ingat malam Senin saat itu men­jadi malam di mana saya diantar teman kos ke kawasan Pancoran untuk mengirimkan berkas ke Korea melalui jasa pengiriman cepat. Kala itu hujan gerimis mengawal perjalanan kami menyusuri ruas jalan Matraman, Tebet, hingga berakhir di Pancoran. Persyaratan beasiswa dan admisi kampus sudah beres bukan berarti perjuangan saya selesai. Saya masih terikat kontrak yang mengakibatkan saya perlu kembali berpikir keras untuk dimuluskan proses resignnya. Berani mengawali berarti berarti mengakhiri, selalu menjadi cambuk untuk diri saya kala itu. Saya memutuskan untuk apply beasiswa ke Korea maka sebagai konsekuensinya saya juga harus siap dengan segala risiko­nya, termasuk jika saya harus resign dari kantor saya saat itu. Secara kon­trak, saya masih harus mengabdi di kantor itu sekitar 5 bulan lagi. Arti­ nya, kalau hitunghitungan pembayaran penalty pun akan masih besar hi­tungannya. Beberapa kawan satu project menyarankan untuk kabur saja. Toh, tak ada ijazah yang ditahan juga, jadi tak akan menjadi masalah ke depannya. Sempat sih saya berpikir demikian karena cukup eman-eman harus mengembalikan sebagian tabungan hasil kerja selama 7 bulan untuk membayar penalty. Namun Saya mencoba berpikir sok bijak saat itu, “Wah kalau saya kabur begitu saja, sama halnya saya memberikan citra buruk kepada almamater saya ”. Beberapa kali saya konsultasi dengan senior atau pun keluarga untuk bisa memberikan pandangan dan masukan. Akhirnya jawaban saya menge­ rucut untuk bersikap bahwa saya harus mengakhiri kontrak kerja ini dengan khusnul khatimah alias dengan akhir yang baik. Aturan kantor mengharuskan karyawannya untuk membuat one month notice sebagai awal “proses panjang” kalau pegawainya akan re­sign. Saya sengaja mengakhirkan proses resign di 1 bulan menjelang keberangkatan ke Korea dengan harapan kalau memang terkena penalty, saya hanya membayar uang penalty dalam hitungan 4 bulan tersisa. Niatan saya resign pada akhir

104


Korea, “Doa” Yang Tak Disengaja

Januari agar bisa tetap bisa singgah di Jogja barangkali 1 bulanan untuk bisa bersama keluarga. Artinya, saya harus mengajukan resign melalui one month notice pada akhir bulan Desember. Surat pengunduran diri pun saya kirimkan ke Dept Head saya yang kata teman-teman senior, beliau dikenal cukup tidak bersahabat. “Bismillah semoga semua berjalan sesuai harapan” kata saya sembari menekan tombol send di email itu. Sore harinya saya mendapatkan email balasan yang intinya pengajuan akan segera diproses. Dalam email tersebut saya juga dikirimi draft yang harus ditandatangani oleh sekitar lima belas kepala bagian sebagai bentuk “pamitan” kepada segenap divisi di kantor saya. Sebuah surat bertuliskan exit clearance hampir menjadi pegangan saya selama hampir dua minggu terakhir di bulan Januari kala itu. Sudah saya duga ini menjadi tugas yang cukup membuat berkeringat sebelum saya benar-benar bisa resign. Bagaimana tidak berkeringat, di setiap saya akan menghadap para pejabat di kantor, selalu saja ada wajahwajah bermuka masam yang seolah siap menghakimi. Entah mereka bilang “Mau pindah kerja ke mana mas?” hingga pertanyaan agak sinis seperti “Gaji di sini kurang ya mas, kok harus pindah segala?”. Meskipun setelah berdiskusi panjang hampir semua mau menandatangani dengan “ikhlas”. Akhirnya tanggal 23 Januari saya masih ingat hampir seluruh kolom tanda tangan yang harus diisi sudah terisi semua. Tinggalah satu kolom yang memang mau saya akhirkan untuk dimintakan tandatangan. Tanda tangan kepala HRD menjadi kunci terakhir sebelum saya bisa meninggalkan kantor itu. Saya mengakhirkan bagian itu karena saya mendapatkan informasi kalau penentuan kita akan diwajibkan membayar penalty atau bebas berdasarkan keputusan HRD. Waktu pun berjalan sedemikian cepat, sampai akhirnya minggu terakhir itu pun akan berakhir. Tinggal menyisakan 3 hari lagi menjelang angkat kaki dari kantor itu saya beranikan diri untuk menghadap kepala HRD. Dengan berusaha untuk tetap tenang semua saya pasrahkan ke maha berkehendak. Saya pasrahkan dan tawakal akan seluruh ikhtiar saat itu hanya kepada Allah. Bismillah akhirnya saya pun masuk ke ruangan HRD. “Dengan Phisca ya? Silakan duduk mas, btw, selamat ya sudah keterima beasiswa Master ke Korea, Semoga berkah, Mas“

Itulah kata kepala HRD saat itu yang membuat ketegangan saya seketika berubah menjadi senang-senang bahagia. Saya pun menimpali pertanyaan bapak agak gemuk di hadapan saya itu dengan penuh antusias. Hampir 5 menit kami ngobrol dan berbincang di ruangan yang pada awalnya

105


Merajut Cita di Negeri Ginseng

saya anggap angker tersebut. Ucapan doa dan terima kasih dari Kepala HRD mengiringi langkah saya sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Sekali lagi, ini adalah bukti kalau Tuhan telah memberikan jalan-Nya kepada saya. Dan, tentunya berkat doa dari keluarga dan orang-orang tercinta di sekitar saya. Sampai akhirnya saya meninggalkan Jakarta pada tanggal 29 Januari 2015 atau satu bulan menjelang terbang ke Korea. Menggunakan kereta kelas ekonomi jurusan Pasar Senen - Lempuyangan, saya menenteng hampir 3 tas besar dan 1 koper. Alhamdulillah semua bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Di sepanjang perjalanan kepulangan itu saya masih berpikir seolah belum bisa mempercayai apa yang sedang berjalan 3 bulan terakhir itu. Akhir Oktober apply beasiswa, November pemberkasan yang super rempong hingga proses panjang pengajuan resign di bulan Desember dan Januari yang membuahkan senyum bahagia setelah berlelah-lelah. Sebuah perjalanan yang akan terus menjadi cerita di kemudian hari. Berawal hanya dari sebuah doa yang mungkin tak disengaja hingga akhirnya menjadi sebuah realita. Kalau masih diizinkan menulis di buku edisi selanjutnya, insya Allah akan berlanjut kisahnya. Teman-teman pembaca yang budiman juga bisa meng­ akses cerita dan kisah ini di portal pribadi saya melalui www.phiscaditya. wordpress.com. Sekian dulu dan To Be Continued 투비컨티뉴드 ~~

Penulis: Phisca Aditya Rosyady adalah mahasiswa program Master di bi­ dang Computer Science and Engineering di Seoul National University of Science and Technology. Penulis adalah penerima beasiswa universitas (SeoulTech Graduate School Scholarship) dan research assistant (National Research Foundation of Korea). Penulis selama di Korea aktif di PERPIKA, IMUSKA, IKMI, Tutor UT Korea, dan juga sedang menginisiasi Keluarga Muhammadiyah Korea Selatan bersama beberapa teman lainnya. Ia juga sedang menginisiasi sebuah portal beasiswa ke Korea bernama: Kuliah Ke Korea (Fanpage FB) dan @KuliahKeKorea (Twitter). Site : www.phiscaditya. wordpress.com dan email : adityaphisca@gmail.com

106


Mozaik Hijrah ke Negeri Ginseng 한국으로의 순례여행 Amir Tjolleng University of Ulsan (울산대학교울)

Prunus serrulata merekah indah menyibak pesona. Sungguh mena­ wan dicumbu mata. Sakura ia keba­nyak­an dikenal dan perlambang mu­sim semi telah bertandang. Ini musim semi keduaku di Korea. “Nikmat mana lagi yang ku­dustakan,” batinku da­­lam diam sem­bari melayangkan pan­dang­ an ke deretan pohon sakura yang ber­deret apik. Sesaat, sengkarut mo­zaik perjuangan eksodus ke Ne­geri Gin­seng menyeruak dalam ingat­an. Ulsan, salah satu kota metro­ politan (Gwangyeoksi) di Korea, kini men­jadi tem­ pat tinggalku. Mugeo Dong, lebih tepatnya. Untuk ke sini, bisa ditempuh selama 5 jam perjalanan bus atau 2 jam dengan kereta cepat dari Seoul, kota spesial (Teukbyeolsi) Korea. Di sini, aku masih ber­ juang menyelesaikan studi master di Ilmu Teknik Industri (산업경영공학부) University of Ulsan dengan beasiswa research assistantship. Tak hanya itu, aku juga menjadi Tutor Jurusan Manajemen di Uni­versitas Terbuka (UT) Korea. Sebelum memberanikan diri hijrah ke sini, aku dulunya seorang tutor bimbingan belajar matematika bagi pelajar SD hingga SMA di Manado. Les privat di rumah juga kulakoni kala itu. Mengajar seolah

107


Merajut Cita di Negeri Ginseng

telah menjadi fragmen yang lekap dalam hidupku. Sedari kuliah di Jurusan Matematika Universitas Sam Ratulangi, aku sudah mulai terbiasa mengajar.

Sewaktu mengajar di Universitas Terbuka Korea

Tak pernah terbersit aku akan meneruskan studi di Korea. Masih belum hilang dalam ingatan, sesekali ia mengiang membuatku haru dan takjub. Kala itu, di hari Jumat, temanku membuka cerita bahwa ayah dari siswa kami baru pulang usai merampungkan studi doktor di Korea. Aku bangga dan salut mendengarnya. Selepas itu, kutahu namanya Pak Agung Sutrisno, Ph.D. “Semoga suatu hari nanti aku juga bisa studi keluar negeri. Tunjukkan jalanMu, Ya Rabb. Apakah doaku ini akan terkabul. Entahlah,� gumamku.

Keluarga besar di University of Ulsan

108


Mozaik Hijrah ke Negeri Ginseng

Selepas mengakhiri S1-ku, terlintas impian untuk menyambung ke jenjang yang lebih tinggi. Niatku tak muluk-muluk. Aku ingin sekolah lagi di Institut Teknologi Bandung. Namun kesangsian menyelimutiku. Di tengah himpitan ekonomi, tentu tak enteng bagiku untuk sekolah lagi de­ngan biaya sorangan. Getol berburu beasiswa, tak perlu ditawar-tawar lagi dan menjadi hal yang mesti kulakukan. Tak berselang lama, usai perbicangan dengan temanku itu, aku bersua dengan Pak Agung. Aku masih ingat betul, saat pertama kali bertemu dengan beliau. Waktu itu, aku sedang duduk di ruang tunggu tempatku meng­ajar. Seperti biasa, usai mengajar aku pergi ke ruang tunggu. Sekedar melepas lelah sembari berdiskusi dengan para orang tua yang tengah menunggu anakanak mereka selesai les. Hari itu, seorang lelaki paruh baya menghampiri dan duduk di sampingku. Ya, Pak Agung. Pendek ce­rita, kami pun berkenalan dan bertukar cerita. Sejak itu, kutahu Pak Agung adalah seorang dosen yang menerima beasiswa Dikti sewaktu ke Korea. Pertemuan dengan Pak Agung terus berlanjut semenjak perkenalan itu. Aku rajin bertanya dan meminta nasehat serta tips-tipsnya hingga bisa studi ke Korea. Dari diskusi-diskusi bersama beliau, beragam nasihat dan ilmu kuterima. Tak hanya tentang kiat hunting beasiswa saja. Pasalnya, sesekali kami bercerita tentang masa lalu, perkembangan negara, topik ringan tentang hidup hingga materi seputar dunia teknik. Pernah kubertanya, mengapa harus studi jauh-jauh ke Korea? Awalnya, jujur saja aku tak begitu mafhum tentang Korea. Bahkan membayangkan studi Korea pun tak pernah ada. Namun semua kini beralih. Memang Allah Maha membolak-balikkan hati hambaNya. Sesuatu yang tidak kita sukai bisa saja baik bagi kita, begitu firmanNya. “Studi ke Korea tidaklah mudah, Mir” ucap Pak Agung saat aku bersam­ bang ke rumahnya.“Niat yang kuat disertai kerja keras dan pan­tang menyerah menjadi syarat mutlak untukmendapat beasiswa,” tandas­nya. Benar saja, untuk menggapai angan belajar ke korea, aku harus menyiapkan paspor, ter­­jemahan ijazah dan data kewarganegaraan lainnya, hingga sertifikat kemampuan berbahasa inggris yang lumayan menguras biaya. Untuk syarat yang terakhir itu, terasa berat bagiku. Betapa tidak, sudah lama sekali aku tidak berkutat dengan bahasa inggris. Tahun 2014 silam, aku sempat mengajukan permohonan beasiswa ke pemerintah Indonesia. Namun patah pucuk di tengah jalan. Alasannya sudah bisa ditebak. Ya, skor TOEFL. Kemampuan berbahasa Inggrisku yang belum mencukupi standar menjadi dalih aplikasiku tak dipertimbangkan. Walaupun aku sudah mengantongi persetujuan kerjasama riset dengan profesor dari salah satu universitas di Korea.

109


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Konferensi ilmiah di Yonsei University Seoul

Aku tak mau pergelutanku hanya sampai di situ. Agar lolos beasiswa, aku belajar bahasa Inggris secara mandiri. Tes kemampuan bahasa inggris beberapa kali kuikuti untuk meraih target skor yang disyarakatkan. Tak hanya itu, beberapa profesor di Malaysia, Taiwan dan Korea kuhubungi via email sembari berdiskusi bersama Pak Agung. Beberapa tidak mem足balas dan ada pula yang mengajukan additional requirements atau sya足rat-syarat tambahan. Hingga walhasil, aku meraih beasiswa research assitant足ship. Beasiswa tersebut diberikan kepada para mahasiswa dengan syarat mereka bersedia menjadi asisten riset profesor. Sebagai imbalannya mereka di足bebaskan dari biaya semester dan mendapat tunjangan biaya hidup selama studi. Sebuah email yang masuk dari seorang profesor membuatku larut dalam haru dan bahagia: Dear Amir Tjolleng, I have well read your documents and got very good impression on your acheivements and potential as a professional. I am advicing my graduate students considering their merits and future career plan. So, let me know your plan after graduation from University of Ulsan. For your information, if you join my research lab, you can receive full tuition scholarship as well as monthly stipend. In addition, I can give you incentives if you show good performance in research and paper writing. Thank you, Kihyo

110


Mozaik Hijrah ke Negeri Ginseng

Ya, aku diterima oleh Prof. Kihyo Jung. Selain kuliah, aku juga bertugas sebagai asisten risetnya di Human-centered Design Laboratory. Konsultasi via email pun terus berlanjut dengan beliau. Walaupun sudah diterima profesor, aku harus mendaftar juga ke kampus tujuan, University of Ulsan.

Dinner bersama Prof. Kihyo Jung, Ph.D

Singkat cerita, pengumuman kelulusan dari pihak kampus pun tersiar. Dan ternyata application-ku ditolak. Kali ini alasannya karena sertifikat bahasa Inggrisku tidak memenuhi standar internasional. Sedih bercampur putus asa bergelayut dalam dada. Ingin rasanya mengakhiri asa belajar ke luar negeri dan berfokus untuk menjejaki beasiswa dalam negeri saja. “Mungkin aku memang tak laik studi jauh,” aku membatin. Gundah. Penolakan demi penolakan tak menyurutkan semangatku untuk men­ dapatkan beasiswa ke luar negeri. Usai berdiskusi dengan Prof. Jung dan Pak Agung, kuputuskan untuk mendaftar lagi di semester berikutnya yakni Spring 2015. Itu artinya aku mesti berjuang memiliki sertifikat ba­hasa yang diakui secara internasional lalu menanti selama 6 bulan dan apply lagi. Sembari menunggu, kuasah kembali bahasa Inggrisku untuk persiapan tes di sela-sela padatnya pekerjaanku. Belajar mandiri menjadi pilihan. Ingin sekali kursus tapi biayanya lumayan merogoh kocek. Tak hanya itu, Prof. Jung juga memberikanku kesempatan untuk mem­ bantu risetnya jarak jauh. Ia menugaskanku untuk menganalisis data ri­setnya dari Indonesia dan bekerja sama lewat email. Pernah sekali, ia me­ngirimkan uang sebagai ucapan terima kasih telah membantu risetnya. Butuh disiplin dan kerja keras dalam memaruh waktu. Namun tekadku tak pernah aus.

111


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Aku terus belajar, bekerja dan berdoa. Hingga akhirnya aku bisa diterima dan menjejakkan kaki di Korea. Alhamdulillah itu semua menjadi kenyataan. Selalu ada tapak bagi siapa saja yang mau berikhtiar. Man jadda wa jadda, siapa yang bersungguhsungguh pasti akan berhasil. Allah tidak akan mengubah garis hidup sese­ orang jika bukan dirinya sendiri yang mengubahnya. “Terima kasih, ya Allah,” lafalku seraya melirik bunga sakura yang tersenyum padaku dan kulihat ia semakin merekah. Penulis: Amir Tjolleng adalah mahasiswa program master di University of Ulsan Jurusan Industrial Engineering. Penulis yang berasal dari Manado ini merupakan alumni Jurusan Matematika Universitas Sam Ratulangi. Ia pernah menjadi tutor Matematika di Stanford Training and Education Center (STEC), Jakarta Intensive Learning Center (JILC) dan Smart Learning Center (SLC) di Manado. Buku yang pernah ditulisnya antara lain “Jagoan Matematika SD (Cabe Rawit, 2015), Jagoan Matematika SMP (Cabe Rawit, 2015), Jagoan Matematika SMA (Cabe Rawit, 2015), dan Antologi cerpen ‘Mencintai Angin’ (FLP Sulut, 2012)”. Bagi yang tertarik ingin menjalin per­sahabatan dengannya, silakan menghubunginya melalui e-mail ke: amirtjolleng@gmail. com, Facebook: Amir Tjolleng atau Twitter: @AmirTjolleng. Blog: www. amirtjolleng.blogspot.com

112


Antara Keluarga, Karier dan Cita-cita: Bisa Simultan, kok! 나의 가족과 일 그리고 나의 미래 Y.H. Yogaswara Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)

Nama lengkap saya Yoni Herdian Yogaswara, na­mun biasa di­panggil Yoga. Sering­nya dipanggil Kang Yoga, mungkin karena saya orang Sunda sambil sekalian maksa di­jadikan nama Korea dengan mar­ga Kang men­ jadi 강요가. Na­mun, yang pasti, panggilan Kang ini karena saya lebih tua daripada teman lainnya di Korea. Bagaimana tidak, di saat teman yang lain masih galau mencari pasangan hidup atau keluarga muda, saya datang ke Korea dengan istri dan tiga orang anak laki-laki yang sudah lewat masa balita. Istri saya pun akhirnya ikut “dituakan” dengan panggilan Teh Pipit. Untuk ukuran mahasiswa di Korea, kami memang tua dalam arti sesungguhnya. Sejak Maret 2014 saya meng­ ikuti pendidikan program doktor di Depart­ment of Aerospace Enginee­ ring, Korea Advanced Institute of Science and Tech­ nology (KAIST) dengan beasiswa Lem­baga Penge­ lola Dana Pendidikan (LPDP). Empat bulan kemudian istri dan anak-anak: Rasyid (10 tahun), Irsyad (8 tahun) dan Khalifa (6 tahun) me­ nyusul ke

113


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Korea. Awalnya saya ber­harap istri bisa mendapatkan cuti di luar tanggungan dari tugasnya se­bagai dosen di UPI, Bandung. Namun, ter­nyata peraturannya hanya me­­mung­kinkan bagi istri saya untuk te­tap di Korea jika memiliki status izin be­lajar atau dalam kata lain sama-sama kuliah. Se­telah mempertimbangkan banyak hal karena tidak ada beasiswa dan ke­sinambungan pilihan jurusan dengan peran sebagai dosen, akhirnya sejak Maret 2015 istri saya mulai kuliah pada program doktor di Department of Sport Science, Chungnam National University (CNU) setelah mengikuti program bahasa Korea satu se­mester sebelumnya. Untunglah LPDP memiliki komponen tunjangan ke­ luarga, sehingga ditambah dengan penghasilan bulanan dan tabungan di Indonesia, istri saya bisa kuliah dengan “beasiswa suami” alias biaya sen­ diri. Mulai semester selanjutnya istri saya mendapat beasiswa untuk tuition fee dari proyek riset laboratorium yang diikutinya sehingga kondisi keuangan keluarga menjadi sedikit aman.

Irsyad dan Khalifa mencoba bermain ski

Dari kami berlima, kemampuan bahasa Korea saya adalah yang pa­ ling pas-pasan. Bermodalkan 3 kredit kelas bahasa Korea ditambah ba­hasa tubuh hanya cukup untuk komunikasi ala kadarnya. Jika kondisi darurat, maka anak-anak akan menjelma menjadi penerjemah pribadi saya. Bagaimana tidak, ketiga anak saya bersekolah di sekolah lokal Korea yang guru-gurunya sekali pun kesulitan bicara bahasa Inggris. Ditambah kecepatan menyerap bahasa baru yang super cepat, anak-anak saya sudah mampu berbicara dengan logat Korea yang kental. Gempuran bahasa Korea di sekolah dan lingkungan permainan membuat anak kedua dan ketiga saya belum lancar

114


Antara Keluarga, Karier dan Cita-cita: Bisa Simultan, kok!

baca tulis huruf Latin karena sudah tinggal di Korea sejak TK. Tinggal saya dan ibunya yang tidak mengerti saat mereka bertiga ngobrol dengan bahasa Korea di rumah.

Rekreasi musim gugur sekeluarga di Jeonju Hanok Village

Namun lebih dari itu, saya sangat bersyukur anak-anak dikenalkan dengan pendidikan dasar yang menurut saya sangat manusiawi; setidak­ nya untuk pendidikan setingkat SD. Beban pelajaran SD di Korea jauh lebih ringan dibandingkan SD di Indonesia. Mata pelajarannya hanya sedikit sedangkan beban pekerjaan rumahnya hanya mengarang dan ber­cerita. Anak-anak lebih banyak dimotivasi dan dibebaskan untuk meng­eksplorasi sesuai minat dan bakatnya. Kebebasan dalam minat dan bakat ini membawa Rasyid terpilih sebagai satu-satunya warga asing yang ter­gabung dalam tim yang mewakili sekolah untuk pertandingan Nongak, se­buah tari tradisional Korea yang menggabungkan tarian, perkusi dan atraksi. Hal yang tidak kalah pentingnya lagi, SD di Korea benar-benar gratis. Sebaliknya, biaya TK dan penitipan anak sangat mahal, apalagi untuk warga asing yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah Korea. Hal ini saya alami selama setahun sejak awal kedatangan keluarga, di mana dua anak saya tidak bisa masuk SD karena usianya masih kurang. Akhirnya keduanya saya masukan ke TK dengan biaya bulanan untuk dua orang anak ini menghabiskan lebih dari 85% tunjangan bulanan LPDP!

115


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Rasyid bersama Tim Nongak

Karier dan Cita-cita Karena saya memang tidak menginformasikan pekerjaan dan ditambah rambut saya tidak dipotong sependek biasanya, sedikit di antara rekan-rekan saya di Korea yang tahu kalau saya adalah perwira TNI Angkatan Udara. Ya, menjelang saya wisuda dari jurusan Fisika Universitas Padja足djaran, saya mendaftar untuk mengikuti seleksi penerimaan perwira TNI. Awalnya hanya iseng mendaftar karena saat itu saya sudah menjadi asisten untuk mengajar di Fisika Unpad, namun ternyata saya selalu lulus pada setiap tahapan seleksi selama hampir 5 bulan hingga dinyatakan lulus tahap akhir. Beberapa bulan setelah wisuda, dengan disertai drama karena calon istri saya keukeuh tidak setuju saya jadi tentara, akhirnya saya memilih untuk mengikuti pendidikan Perwira Karier di Akademi Militer, Magelang. Pendidikan militer selama 8 bulan saya lewati dengan baik hingga berhasil dilantik menjadi perwira pada pertengahan tahun 2004. Satu tahun kemudian saya menikah dengan perempuan yang dulu sempat menolak tentara untuk menjadi suaminya! Kabar saya yang menjadi tentara cukup membuat teman-teman kuliah mengernyitkan kening. Dalam setiap kesempatan, mereka me足nya足nyangsikan pilihan karir dan pekerjaan saya, padahal dulu saya ter足masuk aktivis kampus yang sudah mendapat ancaman drop out gara-gara memaksakan kegiatan ospek. Sejak tahun 1998 hingga lulus tahun 2003, lebih dari tiga tahun masa kuliah S1 saya habiskan dalam kegiatan kampus, mulai dari menjadi Ketua

116


Antara Keluarga, Karier dan Cita-cita: Bisa Simultan, kok!

Dewan Himpunan Mahasiswa Fisika, Ketua Presidium Kongres Mahasiswa FMIPA Unpad, Tim Pengembangan Organisasi Ikatan Himpunan Mahasiswa Fisika Indonesia (IHAMAFI), hingga bersama teman-teman mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa Pe­cinta Alam “Caldera”. Namun bagi saya, tidak ada kontradiksi antara akti­vitas mahasiswa dengan menjadi tentara. Organisasi mahasiswa dan kampus adalah tempat saya mengembangkan diri dan mencari penga­ laman sebanyak-banyaknya untuk kemudian mengaplikasikannya dalam dunia militer dengan sedikit penyesuaian saja. Sekembalinya dari pendidikan dasar di Akmil Magelang, saya masih harus melewati beberapa pendidikan militer lanjutan di Lanud Halim Per­ dana­kusuma, Jakarta dan Lanud Atang Senjaya, Bogor. Selanjutnya saya berdinas di Dislitbang TNI AU, Lanud Husein Sastranegara, Bandung se­ bagai peneliti, hal yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Se­telah sempat ditugaskan di Lanud Iswahjudi, Madiun, saya kembali ke Bandung di kantor yang sama sebagai peneliti di Laboratorium Senjata dan Amunisi. Saya kembali terlibat dalam riset yang berhubungan dengan bom, roket, misil dan sistem senjata udara. Belum genap sembilan tahun saya berdinas, saya mendapat beasiswa TNI AU untuk kuliah program magister di Aeronotika dan Astronotika ITB. Umumnya prioritas pendidikan bagi tentara adalah sekolah kedinasan sebagai syarat kenaikan pangkat dan jenjang karier. Sedangkan kuliah pascasarjana, apalagi di luar negeri, adalah hal yang masih tergolong baru dalam pendidikan personel militer TNI. Selain memang tidak ada skema pembiayaannya, saya melihat bahwa hasil pendidikan pascasarjana ini tidak berimplikasi secara langsung terhadap dinas. Namun, pandangan saya tersebut berubah saat kuliah dan bergabung dalam proyek riset di ITB. Saat itu saya sangat tertarik untuk mendalami sistem pemandu dan ken­dali (Guidance and Control System, GCS) baik pada senjata maupun pe­sawat tanpa awak. Selain karena saya terlibat dalam riset senjata dan amunisi sejak awal berdinas di TNI AU, saya melihat bahwa penguasaan teknologi GCS masih sangat kurang di Indonesia. Padahal teknologi GCS ini merupakan salah satu komponen utama dalam kemajuan teknologi pertahanan suatu negara, terutama teknologi dirgantara. Pembimbing dan pe­ng­uji tesis saat itu bahkan menyarankan untuk fokus dan konsisten da­lam riset yang saya kerjakan, yang pada akhirnya mengantarkan saya pada bidang yang saya kerjakan saat ini. Pada tahun terakhir pendidikan di ITB, saya juga terlibat dalam kerja­ sama riset antara Indonesia dan Korea Selatan dalam proyek pesawat tem­pur KF-X/IF-X. Proyek riset kerja sama ini mengundang beberapa profesor dari Tim Korea untuk memberikan kuliah di ITB yang pada akhirnya men­jadi jalan

117


Merajut Cita di Negeri Ginseng

bagi saya untuk melanjutkan kuliah di Korea Selatan. Dalam kesempatan itu saya bertemu dengan profesor yang akan menjadi pem­bimbing saya. Setelah berdiskusi panjang lebar, beliau mau menerima ke­tika saya memberanikan diri meminta untuk dapat belajar lebih banyak ten­tang GCS di kampusnya, dengan beberapa catatan penting tentang ke­amanan informasi yang baru saya rasakan pengaruhnya saat saya mulai riset.

Menghadiri jamuan makan malam dalam rangka hut TNI ke 70 di Korea

Setelah mendapatkan surat penerimaan dari KAIST dan melaporkan­ nya ke kesatuan, harapan saya untuk dapat melanjutkan kuliah sirna karena memang saat itu tidak ada skema pembiayaan dari dinas untuk pendidikan doktoral, apalagi ke luar negeri. Setelah wisuda ITB pada April 2013, saya kembali dinas seperti biasa dan titip doa kepada orangtua untuk cita-cita tersebut. Ternyata doa orangtua memang manjur, sekitar dua bulan kemudi­ an, saya dihubungi pejabat di Dinas Pendidikan TNI AU bahwa saya meme­ nuhi persyaratan untuk mengikuti seleksi LPDP. Pada waktu tersebut, LPDP baru diluncurkan dan mengundang seluruh komponen bangsa Indonesia untuk memanfaatkan beasiswa ini seluas-luasnya. Setelah mengikuti pro­ ses seleksi di TNI dan LPDP, saya akhirnya dinyatakan lulus dan ber­hak atas beasiswa LPDP dan dilengkapi dengan mengikuti kegiatan Persiapan Keberangkatan angkatan 6 (saat itu masih bernama Program Kepemim­ pinan). Bagi tentara seperti saya, LPDP adalah satu-satunya jalur beasiswa pendidikan pascasarjana ke luar negeri yang dapat mewujudkan mimpi. Saya termasuk gelombang pertama perwira TNI yang mengikut seleksi LPDP dan Awardee LPDP pertama yang kuliah di Korea Selatan. Salah satu konsekuensi kedinasan atas pilihan saya untuk melanjutkan kuliah ini adalah saya harus merelakan pangkat militer dan pendidikan kedinasan yang harus

118


Antara Keluarga, Karier dan Cita-cita: Bisa Simultan, kok!

tertunda dibanding rekan seangkatan dan disalip junior saya. Selanjutnya, konsekuensi atas pilihan bidang riset juga memunculkan tan­tangan tersendiri di mana saya tidak diizinkan bergabung dalam pro­yek riset laboratorium sehingga data risetnya sangat terbatas. Riset di labo­ratorium saya tersebut bernilai strategis dan sensitif serta menyangkut ke­amanan informasi negara. Bahkan saya dilarang memasuki laboratorium di seberang ruangan saya dengan ancaman deportasi. Sebagai orang de­ngan latar belakang militer, saya sangat maklum dan mengerti tentang hal ini. Keterbatasan akses ini mengantarkan saya untuk melaksanakan kun­ jungan riset (visiting research) di Cranfield University, Inggris selama satu semester dari Januari hingga Juni 2016 lalu. Pada kesempatan ini pula, atas bantuan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal TNI Agus Supriatna, saya diizinkan untuk mengikuti Guided Weapon Course di Defense Academy of the United Kingdom, Shrivenham, Inggris. Banyak hal baru yang saya pelajari dan dapatkan selama di Shrivenham dan Cranfield, terutama ilmu dan teknologi sistem senjata modern yang masih sangat langka untuk dikembangkan di Indonesia. Namun pada saat yang bersamaan, riset di Inggris ini adalah salah satu waktu yang terberat di mana saya harus meninggalkan keluarga di Korea dengan segala kendala komunikasi dan interaksi yang terbatas. Alhamdulillah, kami dikelilingi oleh keluarga dan teman yang sangat baik dan banyak membantu saya selama di Inggris maupun meringankan kesulitan istri dan anak-anak di Korea. Selain kegiatan kuliah dan riset di kampus, saya berusaha untuk turut aktif dalam aktivitas sosial. Di luar kampus saya juga terlibat sebagai pengu­ rus dan tutor di UPBJJ Universitas Terbuka di Korea Selatan yang seluruh maha­siswanya adalah TKI. Namun, keterlibatan saya di UT Korea harus terputus karena saya harus berangkat untuk melaksanakan riset di Inggris. Selain itu, saya dan keluarga selalu berusaha untuk selalu hadir dan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Ikatan Muslim Indonesia di Daejeon (IMNIDA) maupun kegiatan di masjid Islamic Center of Daejeon (ICD). Beberapa waktu yang lalu saya juga masuk sebagai Financial Auditor Board di masjid ICD. Pada akhirnya, pembagian waktu untuk kuliah, riset, keluarga, sosial kemasyarakatan serta pengaturan keuangan menjadi sangat menantang untuk ditanggulangi tanpa kendala yang berarti. Kesibukan saya dan istri yang sama-sama kuliah serta ditambah dengan tiga orang anak laki-laki yang super aktif menjadikan rumah kami selalu ramai, heboh dan be­rantakan. Apapun yang terjadi, kami berdua berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa berbagi peran, menikmati dan menjalankan semua pro­ses­nya dengan menyenangkan. Marah dan dongkol sebentar mah, masih manusiawi lah.

119


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Sejak awal saya tahu bahwa proses ini tidak mudah! Tapi, pelaut ulung ada­ lah dia yang mampu melewati badai, bukan? Saya sangat berharap dapat menyelesaikan pendidikan dan melewati seluruh tantangannya dengan lancar dan sukses serta membawa pulang ilmu yang masih jarang didalami di Indonesia ini. Selain ingin memiliki keluar­ ga yang tangguh nan berkah. Saya bercita-cita untuk mampu ber­ peran memberikan kontribusi dalam riset, pengembangan dan industri tekno­logi pertahanan untuk meningkatkan harkat, martabat, wibawa atau ke­hormatan Indonesia di mata dunia; sekecil apapun peran saya itu! Penulis: Y. H. Yogaswara, S.Si., M.T. adalah Perwira TNI Angkatan Udara yang saat ini sedang menempuh program Ph.D. bidang guidance and control Aerospace Engineering, KAIST atas beasiswa LPDP RI. Pernah menerima beasiswa TNI AU untuk program Master Aeronotika dan Astronotika ITB. Tinggal di Daejeon ditemani istri tercinta merangkap dokter pribadi, Pipit Pitriani, dr., M.Kes., yang sama-sama sedang menempuh program Ph.D. di Sport Science, CNU. Perjuangan kuliah, riset dan bulan madu mereka dimeriahkan oleh tiga anak laki-laki super aktif “The Niswara Ranger”: Rasyid Dzikrulhaq Niswara (lahir 2006), Irsyad Dzulfadli Niswara (lahir 2008), dan Muhammad Khalifa Niswara (lahir 2010) yang ketiganya bersekolah di Bongam Elementary School. Berbagi pengalaman, peluang dan cita-cita dapat dilakukan melalui korespondensi email: yhyogaswara@kaist.ac.kr atau yhyogaswara@gmail.com

120


Karena Usaha Tak Akan Berkhianat 노력끝에 보람 Muhammad Ridwan Dzikrurrokhim Seoul National University (SNU)

“Jika sudah rejeki. tidak akan ke mana” mungkin ungkapan itu dapat meng­gambarkan perjalanan saya hing­ga men­dapat beasiswa di Negeri Gin­ seng. Menempuh jalur yang tidak biasa untuk melanjutkan studi S1 serta me­nguras perasaan sepanjang prosesnya meng­hantarkan saya ke negara di Asia Timur ini. Sudah sejak SMP saya memiliki ke­inginan untuk berkuliah di luar negeri. Memang pada waktu itu masih sebatas angan-angan karena saya sendiri pun tidak yakin bagaimana caranya. Terutama karena sejak awal mindset saya tertuju pada beasiswa sedangkan dari yang saya dengar beasiswa untuk tingkat S1 di luar negeri juga tidak banyak. Kemudian ketika SMA saya mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) di bidang kebumian. Seleksi yang dimulai dari tingkat kota/kabupaten, provinsi, hingga nasional ini salah satu tujuannya adalah untuk men­ jaring perwakilan Indonesia pada olimpiade sains internasional. Biasanya para medalis tingkat nasional akan dikarantina pada pela­tihan nasional atau sering disebut juga pelatnas yang kemudian akan dipilih bebe­ rapa orang sebagai wakil Indonesia. Saya pertama kali ikut OSN saat kelas 10 pada tahun 2011. Karena saya mendapat medali, saya pun diundang untuk mengikuti

121


Merajut Cita di Negeri Ginseng

pelatnas. Saat itu saya hanya berhasil mencapai pelatnas tahap I dari tiga tahapan yang ada. Walaupun begitu, yang saya ingat betul adalah saya mendengar janji dari salah satu pejabat Kementrian Pendidikan dalam acara pembukaan dan penutupan pelanas bahwa pemerintah akan memberikan beasiswa penuh kepada siswa yang mendapatkan medali internasional untuk melanjutkan pendidikan tinggi di mana saja, baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk medali perunggu hingga S1, medali perak hingga S2, dan medali emas hingga S3. Saya kemudian menjadi bersemangat mengetahui adanya sebuah celah untuk mewujudkan mimpi saya berkuliah di luar negeri. Pada tahun 2012 saya kembali mengikuti kompetisi yang sama dan kem­bali masuk pelatnas. Di situlah saya benar-benar berusaha maksimum dengan harapan dapat lolos tahapan seleksi dan dikirim ke kompetisi inter­ nasional. Ketika itu awal kelas 2 SMA. Sepulang dari OSN, kebetulan saya bercakap-cakap dengan salah satu kakak kelas yang mendaftar ke New York University (NYU) Abu Dhabi, sebuah universitas Amerika yang dibiayai oleh pemerintah Abu Dhabi. Saya yang penasaran kemudian men­coba browsing di internet dan perlahan-lahan mulai mengumpulkan ber­bagai informasi me­ ngenai proses aplikasi dan beasiswa yang ditawarkan uni­versitas di beberapa negara, terutama Amerika Serikat. Saya pun menjadi semakin bersemangat. Sambil terus berusaha di pelat­nas, saya juga rajin mengumpulkan informasi pendaftaran universitas. Dan alhamdulillah, saya terpilih mewakili Indonesia dalam International Earth Science Olympiad (IESO) di India pada tahun 2013 dan kemudian men­ dapat medali perak. Tentu saya sangat senang dan berulang kali meng­ ingat janji pemerintah pada saat pelatnas. Sepulang dari perlombaan, saya pun langsung menyibukkan diri dengan proses aplikasi. Mulai dari mengisi Common App dan aplikasi beberapa universitas, meminta surat rekomendasi dari guru, hingga mempersiapkan tes TOEFL iBT dan SAT. Waktu yang sing­ kat, ditambah saya juga harus mengejar ketertinggalan materi sekolah selama mengikuti olimpiade sains membuat saya harus bekerja ekstra keras. Saya pun menggunakan uang hadiah yang saya te­rima selama olimpiade untuk membiayai proses aplikasi yang memakan tidak sedikit biaya. Namun, di pertengahan proses, saya mendapat kabar dari teman yang masih mengikuti pelatnas bahwa ada perubahan kebijakan dari Ke­mentrian Pendidikan bahwa untuk S1 hanya mendapat beasiswa untuk kuliah di dalam negeri. Saya pun kaget dan menjadi khawatir, terlebih karena kebanyakan universitas tujuan saya tidak memberikan beasiswa. Tetapi, karena aturan tertulis yang baru masih belum keluar dan sudah kepalang basah, saya mencoba untuk tetap optimis dan menlajutkan proses aplikasi.

122


Karena Usaha Tak Akan Berkhianat

Akhirnya sekitar Maret sampai Juni, saat-saat yang juga sibuk bagi siswa kelas 12 SMA, pengumuman aplikasi saya keluar. Saya memang tidak diterima di Ivy League, tapi aplikasi saya berhasil diterima di Uni­versity of Arizona dan University of British Columbia. Saya juga mendapat letter of acceptance di Melbourne University. Akhirnya, saya kemudian mengontak salah satu pejabat Kementrian Pendidikan yang kebetulan juga mendampingi tim Indonesia saat olimpiade di India. Beliau pun banyak membantu saya hingga akhirnya mendapat surat rekomendasi dari Direk­torat Pendidikan Menengah, yang mengurusi olimpiade sains, ke Direk­ torat Pendidikan Tinggi, yang memberikan beasiswa. Saya mengira se­mua akan berjalan lancar. Namun, entah mungkin karena pengaturan bea­siswa olimpiade sains internasional yang kurang jelas atau karena baru pasca pemilu, saya tidak mendapat kepastian bahkan hingga batas akhir regis­trasi universitas. Saya pun merasa kecewa dan akhirnya memutuskan untuk berkuliah di UGM jurusan Teknik Geologi yang saya dapatkan me­lalui jalur undangan.

Foto bersama teman jurusan

Meskipun begitu, kekecewaan saya tidak dapat saya sembunyikan dari diri sendiri. Saya memang dapat mengikuti perkuliahan dengan baik, tapi rasanya seperti tanpa semangat. Akhirnya saya mencoba usaha ter­akhir saya dengan mendaftar beasiswa Korean Government Scholarship Pro­gram (KGSP) Undergraduate. Beasiswa KGSP untuk S1 memang baru di­buka sekitar bulan Oktober. Awalnya saya ragu untuk mendaftar karena ada­nya

123


Merajut Cita di Negeri Ginseng

kewajiban mengikuti kursus bahasa Korea selama satu tahun, yang berarti saya akan lulus terlambat dibanding teman-teman saya yang lain. Akan tetapi, karena tidak perlu tes tulis dalam proses seleksi dan juga mengingat skor TOEFL iBT saya akan segera kadaluarsa, akhirnya saya sekedar mencoba mendaftar. Berkas-berkas pun saya persiapkan dan esai-esai yang diperlukan pun saya tulis dengan teliti. Mengingat saya tidak banyak tahu tentang perguruan tinggi di Korea Selatan, saya hanya men­cari universitas dengan ranking dunia yang baik dan memiliki jurusan yang saya minati. Ketika itu pilihan saya jatuh pada Seoul National Uni­versity (SNU), Korea University, dan Kyungpook National University. Saya kemudian mengirimkan berkas ke Kedutaan Besar Korea di Jakarta tanpa banyak berharap. Kemudian saya ingat betul ketika saya sedang sibuk mempersiapkan ujian tengah semester, sekitar akhir Oktober, saya tiba-tiba ditelepon oleh Kedutaan Korea untuk tes wawancara di Jakarta. Saya pun kaget bukan main. Terlebih karena pada hari H saya juga ada ujian, saya langsung me­ nemui dosen pengampu untuk diizinkan ujian susulan. Alhamdulilah dosen saya juga tidak keberatan. Karena wawancara menggunakan bahasa Inggris, saya kemudian meminta bantuan teman untuk berlatih. Pada hari wawancara sendiri ada enam orang termasuk saya. Walaupun sempat gugup di awal, tapi saya dapat menjawab pertanyaan dengan lancar.

Foto bersama mahasiswa Indonesia di SNU

Beasiswa KGSP-U sendiri memiliki kuota untuk setiap negara. Untuk Indonesia pada saat itu hanya kebagian 2 orang. Karenanya beberapa hari kemudian ketika saya dinyatakan pihak kedutaan lolos sebagai cadangan saya agak terkejut. Ternyata kuota beasiswa bisa bertambah dalam kondisi tertentu. Saya kemudian tetap diminta mengikuti alur selanjutnya, yaitu

124


Karena Usaha Tak Akan Berkhianat

seleksi oleh pihak universitas. Saya pun senang tapi tetap tidak terlalu ber­ harap banyak, takut kecewa seperti sebelum-sebelumnya. Pada awalnya saya pikir cadangan akan diterima jika calon penerima beasiswa mundur atau tidak diterima. Namun sekitar bulan Desember saya mendapat email dari Kyungpook dan SNU. Pihak Kyungpook menyata­kan bahwa berkas saya akan memasuki tahap akhir seleksi sementara SNU me­ minta saya melengkapi beberapa berkas sebelum memasuki tahap akhir. Lalu pada bulan Januari saya mendapat email dari ketiga universitas bahwa saya diterima di tiga universitas tersebut. Saya pun harus memilih salah satu dan pilihan saya jatuh pada SNU. Sementara pengumuman resmi dari NIIED, institusi pemberi beasiswa, keluar pada hari terakhir saya ujian semester di UGM. Saya pun tidak menyangka pada akhirnya akan men­dapat beasiswa ke Korea Selatan. Sekarang saya berkuliah di jurusan Earth and Environmental Science, College of Natural Sciences di SNU. Memang sangat melenceng dengan negara tujuan awal saya. Saya pun tidak menyangka akan merasakan kehidupan di salah satu kota metropolitan terbesar di Asia. Tapi, setelah saya renungkan kembali, banyak hikmah yang bisa saya dapatkan dari studi saya di negeri Sungai Han ini. Penulis: Muhammad Ridwan Dzikrurrokhim saat ini sedang menempuh pro­ gram sarjana di Seoul National University jurusan Earth and Environmental Sciences. Berasal dari Kota Yogyakarta, lelaki kelahiran 1995 ini sejak kecil memiliki keinginan untuk menjelajah dunia. Penulis dapat dihubungi melalui mrdzikrurrokhim@yahoo.co.id

125


126


Jangan Takut Bermimpi 꿈꾸기를 두려워 말라 Bivan Alzacky Harmanto Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)

Berkuliah di Korea? Terasa se­perti mim­pi bagi saya pribadi untuk bisa me­lanjutkan kuliah di tem­pat yang relatif jauh dari tanah air (sekitar 7 jam dari Indonesia dengan pesawat). Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, jujur saja bersekolah di Korea ini adalah pengalaman yang pertama bagi saya untuk jauh dari keluarga da­lam rentang waktu yang cukup lama, apalagi kedua kakak saya ber­kuliah di tempat yang tidak terlalu jauh dari Indonesia (yang satu di ITB dan yang satunya lagi di Singapura). Tapi pada akhirnya, puji syukur saya bisa survive di Korea.

Awal Mula Mengenal KAIST Pertama kalinya saya mengetahui KAIST adalah dari guru Matematika saya yang kebetulan memang memiliki banyak informasi mengenai pro­gram beasiswa di luar negeri, Korea salah satunya. Pada saat itu saya me­lihat ada banyak sekali universitas-universitas di luar negeri, contohnya Singapura dan Jepang. Akan tetapi setelah melalui ber­ bagai pertimbangan, akhirnya saya memilih KAIST sebagai tujuan program studi lanjutan saya. Pada saat itu, saya berpikir bahwa Korea dalam beberapa tahun terakhir sangat inovatif dan tek­ nologinya pun maju (semisal Hyundai

127


Merajut Cita di Negeri Ginseng

dan Samsung, yang sudah mendunia sekarang ini), dan juga orang-orang Korea dikenal pantang menyerah dalam melalui segala hal, memotivasi saya untuk mempelajari lebih lanjut mengenai budaya Korea dan juga mendalami ilmu teknologi dari negara yang memang mumpuni di bidangnya. Lebih spesifik lagi, KAIST merupakan universitas nomor 1 di Korea untuk bidang teknik dan juga merupakan universitas top 50 di dunia untuk bidang teknik.

KAIST

Kemudian saya mencari tahu lebih banyak tentang cara mendaftar ke KAIST, pada waktu itu saya mengunjungi website http://admission.kaist. ac.kr dan menemukan bahwa terdapat cukup banyak dokumen yang harus saya persiapkan untuk proses aplikasi di KAIST ini. Pada saat itu saya ingat sekali bahwa saya harus mempersiapkan TOEFL IBT (yang memang lumrah untuk diambil jika memang siswa ingin berkuliah di luar negeri, karena di sini memang hampir semua pelajarannya disampaikan dalam bahasa Inggris), SAT, surat rekomendasi guru dan segala macamnya. Se足telah semuanya siap, saya langsung mengirimkan semua dokumen saya ke KAIST dan sisanya hanya menunggu pengumuman dari KAIST tentang pe足nerimaan saya. Puji syukur pada saat itu saya dinyatakan diterima di KAIST, dan juga langsung dinyatakan menerima beasiswa KAIST Scholar足ship (tidak perlu membayar SPP dan juga mendapatkan tunjangan seperti yang disebutkan di atas). Setelah dinyatakan diterima, ada beberapa proses yang harus saya jalani lagi, yakni pengurusan visa pelajar ke Korea, dokumen apostile dan se足bagainya yang semuanya harus dijalani di kedubes Korea. Dan akhirnya,

128


Jangan Takut Bermimpi

membeli tiket ke Korea dan di sinilah perjalanan hidup akademik saya di Korea, khususnya KAIST, dimulai.

Suasana Kehidupan di KAIST Untungnya tepat sebelum saya berangkat ke KAIST, saya sudah di­ berikan semacam panduan menuju KAIST dari senior yang sudah ber­kuliah di sini, jadi saya tidak perlu kesulitan untuk mencapai KAIST per­tama kalinya. Kesan pertama saya saat mencapai KAIST: tempat kuliahnya besar sekali :D iya memang tidak sebesar UI ataupun ITB, tapi menurut saya desainnya sangat megah. Untuk soal kehidupan di sini, saya dapat katakan di sini cukup menantang, setidaknya untuk saya. Pertama, saya berada di tempat kuliah yang mana untuk orang Korea sendiri, hanya top 1% siswa di Korea yang diterima di sini, jadinya semua siswa di sini memang adalah siswa pilihan. Untuk budaya belajarnya pun saya sungguh salut dengan mereka semua. Bayangkan saja, mendekati ujian tengah semester ataupun ujian akhir semester, perpustakaan selalu penuh 24 jam dengan orang-orang yang belajar. Dan juga untuk kesehariannya, ada saja mahasiswa di sini yang mendekam di dalam perpustakaan untuk persiapan perkuliahan hari esoknya (meskipun di sini sangat sedikit yang demikian, tapi pasti ada saja yang seperti itu).

Bagian depan KAIST

129


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Kedua, dalam hal makanan, di sini memang untuk umat Muslim luma­ yan sulit dalam mencari tempat makan yang halal, karena pada umum­ nya restoran di sekitar KAIST menjual babi dan hanya beberapa restoran saja yang menjual makanan halal. Untuk saya pribadi, saya biasanya me­ milih makanan seafood atau hanya suka pergi ke restoran halal tersebut. Meskipun harga di restoran tersebut dapat dikatakan cukup mahal diban­ dingkan restoran yang lain-lain, tapi tunjangan yang diberikan oleh pihak KAIST masih cukup untuk membeli makanan tersebut. Dari kedua hal tersebut, jujur saja awal-awal masa saya disini adalah masa tersulit dalam hidup saya saat itu. Bayangkan saja, jauh dari keluarga saya di Indonesia dalam jangka waktu yang cukup lama cukup membuat saya semacam homesick (perasaan kangen rumah), ditambah lagi dengan semuanya harus dihadapi sendiri. Akan tetapi, puji syukur pada akhirnya saya bisa bertahan hidup di sini berkat bantuan serta dukungan dari te­manteman saya serta para senior saya di KAIST ini. Mahasiswa di sini (khu­susnya mahasiswa internasional) menganggap serius soal belajar. Jadi, mendekati waktu ujian biasanya para mahasiswa di sini membentuk ke­lompok belajar untuk membahas ulang semua materi yang akan diujikan pada ujian yang akan datang. Selain itu, KAIST menyediakan semacam dapur untuk semua mahasiswa agar bisa memasak sendiri makanannya jika mereka masih belum terbiasa dengan makanan lokal, ataupun sema­ cam aturan terkait keagamaan (misalnya makanan halal dsb.) Mendekati semester akhir perkuliahan di sini, para mahasiswa di sini diwajibkan untuk mengambil mata kuliah Graduation Research, yang mana mahasiswa diwajibkan memasuki salah satu laboratorium dosen di sini, dan melakukan riset di bawah supervisi profesor yang bersangkutan (di Indonesia dikenal dengan istilah skripsi). Meskipun demikian, hal ini tidak diwajibkan bagi mahasiswa yang mengambil program studi double major, dan juga riset ini dapat disubstitusi dengan program Internship (magang) ataupun semacamnya.

Saran untuk Masuk KAIST Di bagian ini, saya ingin menyampaikan beberapa saran bagi kalian yang serius ingin melanjutkan studi di luar negeri, khususnya KAIST. Pertama, selagi masih ada waktu sebaiknya kalian mempersiapkan bahasa Inggris dengan baik, karena hampir semua tempat kuliah di luar negeri mewajibkan mahasiswanya untuk minimal bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris (termasuk di KAIST, yang meskipun kuliahnya di Korea tapi hampir semua pelajarannya disampaikan dalam bahasa Inggris). Kedua, perhatikan baikbaik proses aplikasi untuk masuk ke tempat kuliah tujuan kalian, baik dari

130


Jangan Takut Bermimpi

website ataupun dari sumber manapun. Lihat baik-baik apa saja dokumen yang dibutuhkan atau yang perlu dilengkapi untuk kebutuhan aplikasi ini. Dan terakhir, jangan sungkan untuk bertanya-tanya kepada para senior ataupun mahasiswa Indonesia yang ada di tempat kuliah tujuan tentang kehidupan di sana ataupun proses aplikasi yang harus dijalani dengan lebih detil. Mereka biasanya cukup berkeinginan untuk membantu teman-teman sekalian untuk hal tersebut. Bagi yang belum berminat untuk melanjutkan studi ke luar negeri, memang mungkin terasa sulit meninggalkan tanah air tercinta, ataupun mungkin kalian merasa kuliah di dalam negeri tidak kalah bagusnya de­ngan berkuliah di luar negeri. Akan tetapi, banyak sekali keuntungan yang didapat dengan berkuliah di luar negeri di segala aspek. Misalnya, dengan berkuliah di luar negeri kalian bisa membuka wawasan lebih luas dengan bergaul dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia, yang tentunya akan menjadi pengalaman tidak terlupakan suatu saat nanti. Selain itu juga kesempatan ini merupakan kesempatan emas untuk dapat belajar hidup mandiri dengan seutuhnya. Dan masih banyak lagi keuntungan lainnya yang tentunya akan mendatangkan banyak manfaat untuk kedepannya. Terakhir, semangat untuk teman-teman semua, di manapun temanteman semua berada. Jangan pernah takut untuk bermimpi, karena semua­ nya dimulai dari mimpi. Ingin berkuliah ke luar negeri? Optimislah dari seka­ rang bahwa kalian juga bisa, sambil juga mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Jangan lupa juga berdoa kepada Tuhan YME untuk segala sesuatunya. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Penulis: Bivan Alzacky Harmanto adalah mahasiswa program Undergraduate (Sarjana) di Korea Advanced Institute of Technology (KAIST) jurusan Computer Science (Ilmu Komputer). Saat menulis ini, dia memasuki semester ke-7. Penulis juga merupakan penerima beasiswa KAIST Scholarship yang mencakup pembebasan uang kuliah (SPP) dan juga tunjangan biaya kisaran 350,000 KRW (sekitar Rp 4,2 juta).

131


132


Korea, One of My Best Moment 한국, 내생애 최고의 선택 Fauzi Achmad Zaky Yeungnam University, Gyeongsan

Tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Sedikit pun. Saya, dengan “fixed path” yang saya miliki saat itu tidak pernah sekalipun mencoba untuk membuka pikiran, mencari peluang, atau bahkan membuat alternatif opsi masa depan yang lain. Bagaimana tidak, alhamdulillah kala itu saya sudah punya ‘jaminan’ tempat berkreasi pasca lulus. Pikir pendek saya waktu itu, “Ga bakal nganggur ini abis lulus insyaa Allah, jadi selow ajalah…”

Saya sebelumnya salah satu mahasiswa undergraduate di Teknik Kelautan Institut Tek­ nologi Bandung (ITB). Selama kurang lebih 4 tahun berjuang memahami ilmu teknik kelautan di sana, alhamdulillah Allah memberi saya ke­ sempatan menjadi scholarhip grantee dari be­ berapa pemberi beasiswa sehingga saya tidak perlu banyak meminta orang tua untuk membiayai kehidupan selama berkuliah di Bandung. Salah satu pemberi beasiswa waktu itu mewajibkan kontrak kerja pasca lulus dengan timbal balik memberikan ‘jalur khusus’ untuk bisa langsung bekerja–walau memang tetap harus melewati tes ini itu terlebih dahulu.

133


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Itulah yang menjadi alasan mengapa saya membiarkan diri saya merasa nyaman dengan “fixed path” yang sudah ada, walau sebenarnya hati kecil saya masih menyimpan pertentangan. Hal ini dikarenakan tempat saya bekerja nanti sangat tidak sejalan dengan apa yang saya pelajari selama di bangku kuliah. Jatuh bangun, peras keringat, berkorban ini itu buat bisa paham materi kuliah, tapi pas lulus semua harus ga kepake, sayang banget ga sih?

Yap. Semua hal dalam otak saya masih tetap ter-setting seperti itu hingga di akhir masa studi menuju seorang sarjana, saya dihadapkan pada suatu jalan yang saya tak pernah duga sebelumnya: Menikah! Cukup me­ narik memang bagaimana titik ini menjadi main heading dari chapter hidup saya saat ini. Setelah mempertimbangkan ini-itu, istikharah, meminta nasihat sanasini, dan merenung dalam senyap, akhirnya saya memutuskan untuk me­­ nikah sebelum saya meraih gelar sarjana saya. I have to admit that per­ nikahan ini membawa banyak perubahan besar dalam hidup saya. Salah satu­nya ba­gaimana saya memandang pilihan hidup. Bahwa apa yang telah kita rencanakan bisa saja berubah, dan sebaliknya, apa yang kita tak pernah pikir­kan sebelumnya malah bisa menjadi jalan terbaik bagi hidup kita. Hal yang perlu kita lakukan adalah berpikir terbuka, melakukan perencanaan terbaik, dan do our very best. Kalo boleh dibilang, pernikahan inilah yang mengubah pikiran saya akan fixed path terdahulu dan yang pada akhirnya membawa saya ke Negeri Gingseng, Korea Selatan ini.

Bersama istri yang tengah hamil di spring pertama di Korea

134


Korea, One of My Best Moment

Sebelum saya mendatangi rumah istri saya untuk melamarnya waktu itu, dia sudah dalam proses admission integrated program di Yeungnam University. Setelah kami mengutarakan kondisi kami masing-masing, sebenarnya istri sudah mengikhlaskan diri jika ia harus membatalkan pro­ ses admission-nya. Namun, saya melihat dua hal dari kondisi kami waktu itu. Pertama, saya tidak ingin mengubur mimpinya untuk menjadi seorang doktor. Kedua, ini kesempatan saya untuk memperdalam hal yang saat itu sudah mulai saya sukai: geoteknik. Dengan mengucap basmalah saya pun me­mutuskan untuk meminta dia melanjutkan proses admission-nya, dan as a consequence, saya pun harus mencari tempat belajar di Korea. Di awal masa-masa pencarian kampus, saya dihadapkan pada sebuah dilema. Satu sisi, kampus terbaik di Korea yang concern di bidang geoteknik letaknya cukup jauh dari tempat istri saya belajar. Sisi lain, saya tidak ingin berhadapan dengan long distance marriage dengan istri setelah menikah nanti. Menghadapi dilema ini, all I can do hanya berdoa dan berharap Allah kasih jalan terbaik. Hingga pernah saya sampai di suatu titik pasrah di mana saya siap jika memang yang terbaik untuk kami adalah kami harus terpaut jarak. Saya hanya percaya rencanaNya pasti yang terbaik.

Dan memang rencanaNy- lah yang terbaik. Keluarga Besar Gyeongsan, keluarga ketiga saya di Korea

Sepekan setelah menikah—dan di tengah pengerjaan skripsi saya— kami merencanakan honey moon di Korea. Istri saya yang saat itu sudah

135


Merajut Cita di Negeri Ginseng

sekitar 6 bulan berada di Korea memperkenalkan saya pada profesornya. Saya dan profesornya sempat berbincang hingga akhirnya pembicaraan kami masuk pada topik rencana saya setelah wisuda sarjana. Saya pun mengutarakan rencana saya untuk melanjutkan studi di Korea untuk ambil master di bidang geoteknik. “I have three friends, professor, in Department of Civil Engineering. Try to look for information of them in our university website. If there is a professor whom suit to your interest, contact me through Pipit?

Satu hal yang membuat saya terperanjat adalah ternyata salah satu dari kenalan profesor istri saya adalah seorang profesor di bidang geoteknik! Tanpa pikir panjang, saya minta istri saya menyampaikan pada profesornya kalau saya punya ketertarikan pada salah satu profesor kenalan beliau. Di penghujung hari itu saya mendapat kabar dari istri profesornya dengan senang hati mau mengantarkan saya bertemu dengan kenalan beliau. Karena kesibukan beliau, pertemuan dengan profesor dari Department of Civil Engineering tersebut baru bisa dilaksanakan sekitar 5 hari dari saat itu. Di hari yang telah ditentukan, profesor istri saya mengantarkan saya bertemu dengan profesor yang nantinya jadi profesor saya sekarang.

Buka bersama IMUSKA, mushalla Yeungnam University

Di ruangan profesor saya, saya menyodorkan CV dan rencana studi yang sudah saya siapkan sebelumnya. Untungnya sudah pernah membuat ini sebelumnya sewaktu persiapan LPDP dulu. Saya ditanyai beberapa hal,

136


Korea, One of My Best Moment

selayaknya wawancara pencarian beasiswa. Di akhir perbincangan saya ditanya oleh profesor saya tentang seberapa yakin saya mau jadi maha­ siswanya mengingat geoteknik yang akan saya pelajari sedikit berbeda dengan geoteknik kelautan yang telah saya pelajari sebelumnya. “I’m really sure I want to study here, Professor!” “Okay, here I give you two books. Please read it. You don’t have to summarize it. Just read. See you next year.”

Alhamdulillah! Setelah saya sampai rumah, saya tak berhenti mengucap syukur, ter­­ nyata saya ditunjukkan jalan yang lebih baik dari yang pernah saya pikir­ kan sebelumnya. Di tengah kegamangan saya akan dilema yang saya rasa­ kan sebelum ini, Allah kasih saya jalan yang tak berhenti membuat saya tersenyum. Saya seringkali menyebut ini sebagai berkah nikah. Singkat cerita, sekembalinya saya ke tanah air, saya bergegas menye­ lesaikan skripsi, kemudian lanjut wisuda, sembari mempersiapkan doku­mendokumen admission. Di waktu yang sama juga saya menyatakan si­kap saya untuk mundur dari kontrak kerja yang telah saya tandatangani sebelumnya. Ada hal besar yang harus dikorbankan dengan diambilnya keputusan ini, memang. Saya hanya percaya akan ada jalan keluar untuk ini suatu saat nanti.

Lunch pasca seminar kewirausahaan PERPIKA

Tipikal beberapa kampus di Korea, jika sudah ada ‘lampu hijau’ dari profesor, dan tentunya persyaratan dari kampus sudah terpenuhi, pada

137


Merajut Cita di Negeri Ginseng

umumnya proses admission hanya bak ‘formalitas’ belaka. Memang tidak semua sih, dan juga tidak bisa digeneralisasi. Tapi, terkhusus di Yeungnam University, seperti itu adanya. Sekitar akhir November, tepat di hari pertama saya mengikuti seleksi substantif LPDP, saya mendapat kabar via email kalau saya diterima men­jadi salah satu mahasiswa master di Yeungnam University dengan full scholarship selama 2 tahun penuh. Beasiswa yang saya dapat berasal dari Yeungnam University Scholarship for International Students. Sedangkan monthly allowance saya dapat dari research cost dari proyek-proyek yang ada di lab profesor saya. Mendapat kabar itu, saya jadinya men-skip wa­wan­cara LPDP saya di hari kedua seleksi. Saya pikir, akan lebih baik jika kesempatan ini saya beri ke orang lain. Alhamdulillah beasiswa yang di­berikan sangat cukup untuk bertahan hidup di sini, bersama keluaga. Cerita berlanjut ke 31 Januari 2015. Di tanggal itu saya berangkat ke Korea untuk melanjutkan studi master, untuk bertemu istri kembali, untuk menyerap banyak hikmah hidup, inspirasi, dan pengalaman yang bisa saya kumpulkan selama di berada Korea. Ini kali pertama saya ber­sentuhan dengan dunia luar. Hanya berbekal keberanian dengan ke­mampuan berbahasa paspasan. Lahaula aja lah!

Saya sampai di Korea satu bulan sebelum perkuliahan dimulai. Walau profesor tidak mewajibkan saya datang ke lab hingga awal semester di bulan Maret, saya mencoba mengisi kekosongan dengan datang ke lab. Diawali dengan mengunjungi ruangan profesor untuk memberitahu beliau bahwa saya telah sampai di Korea, kemudian setelah itu saya diajak masuk ke lab dan diperkenalkan dengan penghuni lab saat itu. Ada dua orang Korea yang ‘tersisa’ di lab waktu itu. Lab saya tidak seperti lab pada umumnya yang diisi banyak mahasiswa. Maksimum lab saya hanya bisa ditempati 5 orang. Saya pun datang untuk menggantikan senior saya yang lulus di bulan Februari saat itu. Saya adalah foreigner per­tama di lab dan foreigner ketiga di departemen. Sejauh yang saya tahu, me­mang departemen saya baru menginisasi perekrutan mahasiswa asing sehingga perkuliahan masih dalam bahasa Korea walau profesor-profesor di sini cukup fasih berbahasa Inggris. Hanya profesor saya saja yang bersedia mengajar bilingual. So, tantangan saya di sini ya cari ilmu sendiri, baca buku dan paper sendiri, tanya ke profesor tentang apa yang tak dimengerti sendiri. Mungkin satu hal yang saya sayangkan di sini adalah pemahaman mendalam tentang

138


Korea, One of My Best Moment

keilmuan yang sedang saya ambil kurang bisa mengimbangi kawan-kawan saya di tempat lain. But it’s okay. Se­tidaknya saya di sini punya pengalaman bagaimana melakukan ri­ set, menulis paper, dan bersentuhan langsung dengan lapangan melalui pro­yek-proyek yang saya turut mengerjakannya. Selain melakukan riset, selama di sini juga saya mencoba aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia di Korea Selatan (PERPIKA) dan Indonesian Muslim Society in South Korea (IMUSKA). Diamanahi sebagai wakil presiden di PERPIKA dan koordinator wilayah di IMUSKA membuat saya banyak belajar tentang organisasi dan kehidupan bersosial. Alhamdulillah, banyak pembelajaran yang saya dapat selama aktif di sini. Banyak juga kenalan inspiratif dan pengalaman edukatif yang saya temui.

Spring kedua bersama Daehan

Di sini, selain sebagai researcher, saya juga membangun chapter ini se­bagai seorang Ayah. Berkeseharian ganda memang tidak mudah. Namun, bagi saya ini tetap menyenangkan. Meningkatkan kapasitas se­bagai seorang researcher dan seorang ayah di waktu yang sama sungguh melelahkan. Namun, bagi saya ini tantangan yang worth it untuk diceritakan untuk anak saya, Daehan Zaydan Amirullah, suatu saat nanti. Berharap apa yang saya lakukan dapat menjadi inspirasi baginya di masa yang akan datang dan menjadikannya jauh lebih baik dari saya kini. Saya meyakini dan merasakan bahwa perjalanan di Korea ini merupa­ kan salah satu batu loncatan dan checkpoint saya dalam perjalanan besar saya di depan. Saya sedang mengusahakan semua yang saya lalui di sini

139


Merajut Cita di Negeri Ginseng

diisi dengan berbagai macam kegiatan yang dapat menaikkan kapasitas diri saya, baik sebagai personal maupun bagian dari komunal. Korea, I’ll make you one of my best moment in my life!

Penulis: Fauzi Achmad Zaky adalah mahasiswa program Master di bidang Geotechnical Engineering, Yeungnam University. Penulis adalah penerima beasiswa YU Scholarship for International Students. Travelling, mendengarkan musik, berdiskusi, adalah hal-hal yang sangat disukainya. Saat ini penulis aktif di PERPIKA dan IMUSKA. Portal informasi dan komunikasi dengan penulis, Email: fauziachmadzaky@gmail.com, Blog: zakyamirullah.com, IG/ Twitter: @jekfeir

140


Menjadi Kandidat PhD di Yeungnam University 영남대학교에서 박사학위과정을 밟다 Felicia Januarlia Novita Yeungnam University, Gyeongsan

Perkenalkan nama saya Felicia. Saat ini, saya sedang menempuh stu­ di PhD di Yeungnam University, Korea Se­latan. Sepertinya sampai saat ini, hal apapun yang berhubungan de­ngan Korea Selatan sedang booming di Indonesia. Apakah hal mengenai pen­didikan di Korea Selatan juga menarik untuk dibahas? Yuk, kita bahas sis­tem pendidikan di Korea Selatan khu­ susnya untuk jenjang graduate student seperti PhD student. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, saat ini saya sedang menempuh PhD di Yeungnam University. Yeung­nam University merupakan private research university yang ber­ lokasi di Gyeongsan, Gyeongsan Utara, Korea Selatan. Perlu diketahui, Yeungnam Univer­sity merupakan kam­pus kedua ter­luas di Korea Selatan. Mungkin ada dari pembaca yang ingin menge­tahui bagaimana saya bisa sam­pai men­dapat­ kan beasiswa PhD di kampus saya. Saya akan berbagi sedikit pengalaman saya ter­sebut di sini. Setelah saya menyelesaikan studi master saya dari NTUST Taiwan, saya tidak punya keinginan untuk melanjutkan studi PhD. Tetapi, pada suatu ketika, saya iseng mencari di internet mengenai bidang riset saya yaitu Process Design and Control, dan akhirnya saya menemukan homepage lab saya saat ini. Saya melihat

141


Merajut Cita di Negeri Ginseng

di bagian bidang penelitian untuk lab saya, dan bidang penelitiannya sama seperti bidang penelitian saya. Saya pun iseng mengontak salah satu anggota lab untuk menanyakan adanya lowongan pekerjaan seperti researcher di lab tersebut atau tidak. Responnya memberitahu jika lab tersebut membuka lowongan untuk PhD student dan jika berminat bisa segera menghubungi pembimbing via e-mail. Saya pun mencoba menghubungi pembimbing dengan tidak berpikiran akan di­terima, saya hanya mengutarakan keinginan saya yang ingin me­neruskan penelitian yang sudah saya kerjakan selama di Taiwan, dan respon dari pem­bimbing saya bisa dibilang cukup cepat, lancar dan bagus. Tidak perlu waktu lama untuk saya mendapat acceptance dari pembimbing saya. Saya bersyukur untuk kesempatan ini. Saya pun akhirnya dirujuk ke website universitas untuk mencari tahu dokumen-dokumen apa saja yang diperlukan untuk mendaftar di Yeungnam University. Setelah semua dokumen lengkap, kemudian saya me­ngi­rimkan semua dokumen saya tersebut ke Korea Selatan. Saya hanya menunggu sampai pihak universitas mengumumkan hasil penerimaan dan mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk registrasi ulang dan pembuatan visa. Jadi, kunci untuk diterima di Yeungnam University adalah pembimbing. Jika kita sudah diterima oleh pembimbing, 99% kita diterima di Yeungnam University dan umumnya melalui jalur beasiswa, di mana kita mendapatkan beasiswa untuk tuition fee dari Universitas dan living cost dari pembimbing kita. Besarnya living cost tiap mahasiswa tentu saja berbeda karena bergantung dari masing-masing pembimbing. Untuk saya sendiri, bisa dibilang saya mendapatkan pembimbing yang sangat pe­ ngertian sehingga kehidupan saya di Korea cukup menyenangkan meski­ pun ada hal-hal yang tidak menyenangkan juga saya alami tetapi saya lebih memilih untuk bersyukur atas apa yang sudah saya terima dan saya dapatkan sampai saat ini.

Process and Design Control Lab Member

142


Menjadi Kandidat PhD di Yeungnam University

Untuk saat ini, status saya adalah sebagai PhD candidate mengingat saya sudah menyelesaikan semua mata kuliah saya selama 4 semester. Ya, kita perlu 4 semester untuk menyelesaikan semua mata kuliah dan umumnya 3-4 tahun untuk menyelesaikan PhD degree. Tetapi, ada juga persyaratan tam­bahan yang diperlukan untuk lulus PhD di Yeungnam University. Per­ syaratan tambahannya adalah publikasi di international journal. Per­syarat­ an dari universitas, kita harus punya 1 publikasi di international journal dan journal-nya harus masuk dalam kelompok SCI atau SCI-E. Te­tapi, umumnya untuk lulus kita mengikuti syarat yang diajukan oleh pem­bimbing kita. Untuk pembimbing saya sendiri, syarat lulus adalah 4 publikasi di international journals. Tetapi, kembali ke masing-masing pem­bimbing ya. Syarat yang pembimbing saya berikan mungkin terbilang sulit tetapi ini baik untuk karier kita ke depan, dan juga tidak mutlak 4 journals, karena jika pembimbing saya merasa kita sudah memenuhi level akademik yang Beliau punya, maka kita pun akan diluluskan oleh Beliau. Tetapi, ya tahu sendiri, pembimbing selalu bereskspektasi tinggi ke tiap-tiap muridnya, kan? Untuk kehidupan lab sendiri, bisa dibilang saya amat beruntung jika dibanding dengan teman-teman Indonesia lainnya yang ada di kampus saya. Oh ya, ada sekitar 35 orang mahasiswa Indonesia di kampus saya. Untuk jurusan saya yaitu chemical engineering ada 5 orang mahasiswa, kami semua sedang menempuh jenjang PhD. Mohon doanya supaya lancar studi PhD kami. Kembali ke kehidupan lab, berhubung penelitian saya bukan eksperimen melainkan simulasi, ya saya tidak berkutat dengan bahan kimia tetapi dengan komputer yang menggunakan chemical engineering software seperti Aspen Plus, HYSYS, Unisim, Pro/II; sehingga jam kerja di lab saya pun bisa dibilang fleksibel. Pembimbing juga tidak menerapkan jam kerja yang terlalu ketat, tidak seperti lab lain Penulis: Felicia Januarlia Novita adalah seorang PhD Candidate di Yeungnam University, Korea Selatan. Wanita berusia 25 tahun ini menyelesaikan Master’s degree-nya di NTUST Taiwan melalui program fast track dan double degree antara ITS Surabaya dan NTUST Taiwan. Felicia mengambil jurusan teknik kimia dengan spesialisasi di bidang Process Design and Control. Felicia suka mengikuti fashion yang sedang tren, dia juga suka travelling. Membaca buku, menonton berita khususnya CNN dan fitness merupakan rutinitas sehari-hari Felicia. Felicia juga mencoba aktif menulis blog: www.ruzovafashionsoul. blogspot.kr. Untuk siapa saja yang ingin berbagi pengalaman atau ingin tahu lebih lanjut soal studi di Korea ataupun Taiwan, Felicia dapat dihubungi melalui email: feli23@ynu.ac.kr

143


144


Perempuan Paling Spesial di Korea Selatan 한국에 가장 특별한 여자 Zihnil Adha Islamy Mazrad Korea National University of Transportation

Bismillah…… Perempuan, makhluk Allah yang tertulis jelas dalam Alquran bah­kan dipaparkan dalam satu surat yang panjang ini, adalah makh­luk yang selalu menarik untuk di­ba­has dan dikulik mulai zaman wa­nita yang terkungkung tembok hing­­ga Kartini modern yang be­bas meng­ekspresikan dirinya. Kar­tinikartini itu juga perantau he­bat de­ngan segala tujuannya, ada yang be­kerja untuk memenuhi finan­cial keluarganya mau­pun un­tuk me­nim­ba ilmu agar ia men­jadi Kartini in­telek. Me­reka tidak hanya hijrah kota tetapi meninggalkan negara dan semua bentuk kenyamanan di tempat kelahirannya. Saya, salah seorang perempuan yang berani mengambil keputusan hebat ini, akan bercerita indahnya menjadi perantau ilmu di negara yang terkenal dengan ginsengnya ini. Korea, negara impian bagi pen­ cinta K-pop dan drama ini, menjadi tujuan untuk melanjutkan studi master saya. Sebelumnya tidak terpikirkan untuk sekolah di sini. Impian mengenai Korea adalah merasakan romantisme yang disuguhkan dramanya kelak dengan teman hidup (heheh baper). Singkatnya, pencarian beasiswa mu­ lai dari Malaysia berujung pada jodoh profesor di salah satu kampus ne­

145


Merajut Cita di Negeri Ginseng

geri di daerah Chungju, Korea Selatan, “Korean National University of Transportasion” (KNUT). Saya dan seorang teman menjadi orang Indonesia pertama yang sekolah di sana terutama di KNUT. Tak terbayangkan se­ belumnya, karena hasil peselancaran di dunia maya ketika di Indonesia mem­beritahukan bahwa pasti ada orang Indonesia yang bisa ditemukan. Di KNUT sendiri kita juga sebagai muslimah pertama sehingga hari-hari awal kita di­anggap seperti alien yang membungkus seluruh tubuhnya, terlebih lagi saat datang musim panas. “Are you not feeling hot if you cover your whole body?” tanya salah seorang teman Korea saya.

Itulah salah satu respon mereka ketika melihat saya pertama kali sampai di sini. Tidak hanya itu saja, tidak jarang ketika di jalanan, orang-orang sengaja berhenti hanya ingin memastikan makhluk aneh apa ini (Hehe). Lebih jauh lagi, ada yang hingga berkata “ini apa?” (dalam bahasa Korea) sambil memegangi saya. Terlepas dari itu semua, orang Korea sa­ngat menghormati saya sebagai muslimah dalam berbagai hal terutama ibadah. Terima kasih kepada profesor saya, Park Sung Young, yang dapat menjelaskan kepada oppa-oppa lab kalo wanita islam itu tidak bisa disentuh oleh lelaki sebelum menikahinya. Luar biasa beliau memahami tanpa saya jelaskan. Awal indah lainnya juga datang pada saat saya melakukan pemeriksaan kesehatan di city hall Chungju untuk mendapat kartu menjadi alien yang se­ ring disebut alien card. Saat itu pemeriksaan Thorax yang mengharuskan kami, saya dan foreign students lainnya, membuka baju bagian atas. Saya dan teman Indonesia saya mulai was-was karena harus berganti pakaian di ruang ganti yang bersamaan dengan foreigner lainnya. Pertolongan Allah selalu datang dari tempat yang tidak diduga-duga. Benar saja pada saat giliran kami tiba, ada kesalahan pengetikan hingga kami diletakkan di urutan terakhir sehingga tidak perlu bertukar pakaian dengan foreigner lain. I am feeling Allah always stands by me. Jadi, tak perlu khawatir di manapun kita berada, maka Allah ada. Kita yakin saja maka pertolongan itu akan ada. InshaALLAH Makanan, kebutuhan pokok manusia ini juga menjadi pertimbangan bagi sebagian muslimah untuk merantau ke negara lain apalagi seperti Korea yang sangat minoritas Islamnya. Ditambah lagi, pemerintah Korea belum terlalu concern tentang makanan halal, semoga ke depannya lebih baik. Oh berat, iya banget untuk beberapa bulan awal karena sejujurnya hingga sekarang bagi saya di Chungju belum ada makanan halal di sini. Di­tambah lagi, saya tinggal di asrama yang tak berdapur. Lagi-lagi per­tolongan Allah

146


Perempuan Paling Spesial di Korea Selatan

itu sangat dekat, di kantin asrama kita disediakan makanan lain jika menu mereka adalah daging-dagingan. Luar biasa kampus ini. Mereka bersedia menyediakan makanan hanya untuk kami berdua dan itu membuat saya feeling special. I am muslimah and I am special. Betapa tidak, ditengah 300an lebih orang, mereka mempedulikan kami berdua yang se­benarnya bisa mereka abaikan karena hanya berjumlah sangat minoritas. Hanya berdua di kota ini kadang menyiksa batin dan jiwa hayati juga (lebay). Oleh karena itu, saya suka berkunjung ke daerah lain hanya demi merasakan hangatnya Indonesia dengan bersilaturahmi dengan teman seperjuangan lainnya. Selain silaturahminya, ke kota lain adalah untuk me­ manjakan perut dengan Indonesian taste terutama jika bersilaturahmi ke rumah keluarga Indonesia. Terima kasih yang mba-mba yang selalu me­ nyuguhi saya makanan Indonesia. Mari lupakan soal makanan dulu, hehe. Saya muslimah dan saya me­ rasa special lagi di negeri 4 musim ini karena saya merasa identitas se­bagai muslimah mudah dikenali, seperti halnya naik taksi dan belanja di restaurant ahjumma. Tanpa saya beritahu mereka langsung menebak de­ngan berucap “Indonesia, Islam, hijab” dan itu terjadi teramat sering bah­kan ahjussi penjaga palang pintu kereta api sengaja keluar dari ruang kerja­nya untuk menyapa saya ketika berjalan di sekitar sana. Tak jarang pula mereka menghadiahi saya buah-buahan dan coklat, mereka bahkan hanya saya temui satu atau dua kali saja. Hal penting ketika bepergian sendirian terutama bagi seorang musli­ mah adalah keamanan, terlebih lagi ketika di luar rumah dan malam hari. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-falaq tentang bahaya malam ketika gelap gulita dan bahaya manusia itu sendiri. Korea adalah negara yang memiliki sistem keamanan yang baik. Hampir di setiap sudut jalan dan

147


Merajut Cita di Negeri Ginseng

tempat terpasang CCTV, tidak sedikit orang mematuhi peraturan yang ada sehingga semua berjalan teratur dan indah. Semoga kelak Indo­nesia bisa seperti Korea (Aaaminnn). Walau tidak sedikit orang Korea yang terkesan cuek saat dimintai tolong, tetapi sangat banyak mereka yang dengan ramah menolong saya. Sering sekali saya kehilangan arah alias “nyasar” hehe dan sesering itu pula mereka menolong saya sampai tujuan. Inilah cerita saya hidup sementara di surga drama-drama indah yang membuat para wanita meleleh ini. Dua belas bulan yang luar biasa ini akan menjadi awal untuk 1 tahun ke depan yang tersisa di sini. Aamin. Penulis: Zihnil Adha Islamy Mazrad adalah mahasiswa Indonesia yang me­ nem­puh master di Korea National University of Transportation, Department of Chemichal and Biological Engineering, Chungju-si, Korea Selatan. Penulis adalah penerima beasiswa BK 21 Plus Korea. E-mail: Zihnil.adha@gmail. com

148


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta 신이 들어주신 소원 Nurina Umy Habibah Hallym University

Selamat datang. Kamu, iya kamu yang sedang membaca bagian ini. Selamat berkunjung ke tempat yang nampaknya sama saja dengan tempat lainnya. Adalah tentang cerita, pengalaman, dan semoga bisa terbagi hikmah yang bermanfaat. Di halaman ini, kamu bisa melihat banyak apa yang mungkin ada di dalam. Di pintu, tempat berbagi salam dan selamat datang bisa pula mengintip sedikit melalui jendela. Di ruang tamu, bisa berbagi lebih banyak dan bercerita lebih leluasa. Hanya jangan singgah terlalu lama, mari segera kejar cita dan buat cerita. Banyak yang menunggu pahit dan indahnya kisah perjalanan takdirmu, termasuk saya.

Halaman: Jangan (Hanya) Bermimpi

Lambang Hallym University terukir di ranting yang mengering dan tertutup salju musim dingin, di salah satu pojok kampus.

149


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Jangan bermimpi. Itu adalah jawaban yang sangat ingin saya sampai­ kan jika ada yang bertanya kepada saya tentang studi di luar negeri, khu­ susnya di Korea Selatan. Karena mimpi adalah hak setiap orang, tapi ber­ usaha adalah kewajiban masing-masing. Eits, tidak usah terlalu serius, toh berusaha juga bisa disambi bahagia. Dan, yang paling penting, selalu mem­ persiapkan diri. Ya, tidak semua orang suka (atau bisa) dengan sesuatu yang terlalu teratur dan penuh persiapan, tapi yang pasti adalah kita harus se­lalu mempersiapkan mekanisme “move on” untuk segala kemungkinan. Saya adalah jenis manusia yang punya banyak sekali mimpi. Ingin ini, ingin itu. Apakah saya ambisius? Ah, tidak juga. Saya punya keinginan untuk sekolah di negeri seberang, meski saat itu saya belum tahu di se­ berang mana. Tapi, saat menempuh pendidikan S1 dulu, saya berusaha untuk men­dapatkan indeks prestasi cumlaude saja saya tidak berhasil. Saya bermimpi untuk melanjutkan studi di negara lain, tapi hingga tiba saya wisuda sarjana nilai profisiensi bahasa Inggris saya tidak pernah spektakuler. Saya dulu juga ingin nampak seperti pemimpi yang bekerja keras, yang penuh ambisi dalam berusaha, dan menurut saya hasilnya pasti prestasi luar biasa. Tapi, ternyata saya tidak. Riwayat akademis dan non-akademis saya tidak cemerlang di antara tumpukan prestasi kawan-kawan saya. Kemudian saya diberi pelajaran luar biasa dari proses sok-sokan itu, bahwa berusaha itu tidak harus berhasil, yang penting bisa “move on”. Masih dengan keinginan yang sama, lalu saya menjadikan coba-coba sebagai usaha. Mendapat informasi beasiswa dari pemerintah Korea Selatan, yang kebetulan saat itu ada di timeline jejaring sosial saat saya mem­bunuh waktu. Ternyata, persyaratan beasiswa itu “mengizinkan” saya, yang masih terseok-seok menyusun tugas akhir, untuk mencoba men­jadi kandidatnya. Semangat sekali saya mempersiapkan diri dan ke­perluan memenuhi syarat pendaftarannya. Jujur, banyak sekali yang saya repoti, korbankan, dan per­juangkan. Di akhir usaha, meski dengan ke­yakinan meluap-luap, saya dinyata­kan tidak lolos. Kenapa? Ya, itu yang ber­ulang kali kemudian saya tanyakan kepada diri sendiri. Tentang niatan studi saya, tentang negara tujuan studi saya, dan tentang persiapan diri pribadi saya. Lalu, apakah saya gagal? Tidak juga. Karena di akhir kegagalan itu, saya memaksa diri untuk bangkit dan berdoa. Ketika pada akhirnya doa saya bukan hanya berisi mimpi dan keinginan, bukan pula nelangsa atas kegagalan, tetapi kepasrahan dan legawa atas jalan Tuhan lainnya. Kemudian, jalan takdir membawa saya untuk bisa melanjutkan studi di negeri seberang yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, serta yang dunia hiburannya menjadi sanjungan banyak manusia di dunia. Saya tidak lagi memberi target melanjutkan studi harus di sini, memaksa usaha dan

150


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta

doa, atau meminta belas kasihan Tuhan untuk bisa disampaikan ke Korea Selatan. Tapi, memang inilah takdir yang mendekat bersama doa-doa dari semesta, dan kesadaran serta niat yang saya bangun sendiri.

Pintu: Membuka Jalan Untuk Belajar Saat ini saya berkesempatan menyelesaikan studi Master di Hallym Uni­ versity, Korea Selatan. Akhirnya, setelah berbagai kisah sendu, lucu, dan indah untuk dikenang apalagi diceritakan. Akhirnya, saya menemukan pintunya, mengetuknya, terjawab “salam” saya, dan dibukakan pintu itu untuk saya.

Lampion bendera Korea Selatan. Saat peringatan Hari Budha di salah satu kuil di kawasan kampus Hallym University, Chuncheon.

Dapat memijaki bumi Tuhan di belahan dunia selain kampung halam­an mungkin bukan impian semua orang, tapi menjadi sebuah ujian dan syukur tersendiri bagi yang mendapat kesempatan menjalani. Saya sen­diri tidak pernah menyangka kenapa berangan hijrah dan belajar di tem­pat asing yang jauh dari kenyamanan. Sejak lahir saya tidak pernah tahu rasanya tinggal dan berjuang tanpa dukungan langsung keluarga dan teman-teman. Sejak kecil saya tinggal, tumbuh, dan belajar di kota ke­lahir­an: Yogyakarta. Sebutlah saya manja, tapi sejujurnya dekat dengan lingkungan nyaman itu rasanya enak sekali, kan?

151


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Prosesnya tidak instan bagi saya menemukan alasan untuk berjuang dan berdoa panjang saat itu. Pondasinya adalah saya mencintai proses belajar. Sejak diberi nikmat untuk bisa melanjutkan sekolah “gratis” sampai jenjang sarjana, bertemu dan berinteraksi dengan kawan-kawan berbagai latar belakang, belajar dari guru-guru yang luar biasa, dan menikmati se­ kelumit kehidupan kampus di jurusan Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Belajar itu banyak susahnya, juga menguras tena­ga untuk berpikir dan bergerak. Tapi, saat menemukan bahwa kita men­ dapatkan sesuatu dari belajar yang tidak seberapa, disambi main dan tugas yang keteteran, kemudian sadar bahwa ilmu itu bisa bermanfaat di lain kesempatan maka rasanya belajar itu seperti bernafas. Memang belajar itu bisa di mana saja dan kapan saja, tapi saya me­ mutus­kan untuk bermimpi melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, demi bekal masa depan saya dan keluarga. Saya harus belajar ba­nyak sekali, dan mimpi saya belajar ke luar negeri adalah untuk bisa mem­pelajari banyak hal, tidak melulu urusan akademis saja. Sejak masih jauh dari gelar sarjana, saya sudah mempersiapkan mimpi itu. Tentang bagaimana dan urusan teknis lainnya, saya selalu berprinsip akan ber­jalan dengan natural jadi santai nikmati saja. Urusan finansial, bagai­mana bisa survive di tempat yang asing dan jauh, berapa dosis tang­ guh yang harus disiapkan, semua itu ada di luar kepala dan kuasa pikir saya. Bahkan saya mendapat informasi-informasi beasiswa sifatnya ke­be­tul­ an. Toh, saat itu masih banyak prioritas yang harus saya selesaikan, ten­ tang tugas kampus, organisasi, teman-teman dan keluarga. Praktisnya, saya berlangganan milis yang memberikan informasi beasiswa studi di luar negeri secara kontinyu. Itu hasil menjiplak usaha teman saya. Sampai pada tahun keempat studi, saya mulai lebih serius “mencari pintu” dan mempersiapkan diri. Keluarga, teman-teman, serta dosen-dosen juga tahu. Karena saya butuh dukungan, informasi, dan jalan menuju pintu yang ditakdirkan untuk saya. Saat teman-teman seangkatan mulai mempersiapkan diri mengenakan toga, saya masih berkubang di urusan skripsi yang rasanya lebih panjang dari teman kanan-kiri. Target 3,5 tahun lulus sarjana bagi saya sudah tidak mungkin lagi, jadi saya putuskan untuk bisa mempersiapkan diri bagi impian-impian saya selanjutnya. Tahun 2014, semester keenam studi sarjana, adalah pertama kalinya saya memberanikan diri mendaftar menjadi kandidat penerima beasiswa pemerintah Korea Selatan. Gagal di tahap akhir. Padahal saya habis-habisan untuk perjuangan itu. Mempelajari bidang studi yang tepat untuk saya, merangking kampus dan riwayat alumni, meminta rekomendasi, hingga meng­ hubungi langsung para profesor di kampus-kampus sana (yang pastinya

152


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta

saya belum pernah mengenal sebelumnya). Juga mempersiapkan dokumendokumen yang tidak murah, melengkapi seluruh persyaratan mengejar deadline pendaftaran. Berdoa? Sampai tidak tahu malu saya me­mohon. Beasiswa untuk studi masih banyak, berlimpah, tidak akan kehabisan kesempatan kecuali saya tidak mau berusaha mencari dan mempelajari. Tidak akan datang sendiri kesempatan itu kecuali saya sudah mampu “move on”. Mulailah saya mencari dan mengetuk pintu-pintu lain. Mulai mencari dan mempelajari lagi dari awal tentang studi dan beasiswa di Australia, Eropa, Amerika Serikat, dan sebagainya. Sambil saya menurunkan prioritas “mencari pintu” menjadi kesekian, kemudian menuntaskan urusan tugas akhir. Karena keadaan saya yang belum memegang ijazah sarjana saat itu menjadi ganjalan. Beasiswa studi di luar negeri kebanyakan mensyaratkan lulus sarjana di antara deretan banyak syarat lainnya. Tetapi, bagaimanapun keinginan saya untuk menemukan pintu tersebut tetap selalu ada. Hingga ada kesempatan untuk saya kembali menghubungi beberapa profesor di Korea Selatan yang pernah saya hubungi sebelumnya, sebagai salah satu usaha. Singkatnya, saya berprinsip untuk bisa mendapatkan sekolah terlebih dahulu. Karena urusan beasiswa,untuk saya itu kuasa Tuhan yang memiliki berbagai bentuk jalan bagi saya. Salah satu profesor di Hallym University menawarkan “pintu” bagi saya untuk bergabung di laboratorium beliau. Setelah mencari tahu ten­ tang profil dan background studi saya, profesor tersebut meneruskan infor­ masi saya kepada pihak graduate school. Salah satu petugas graduate office yang sangat baik dan professional, Mr. Jay Jang, menghubungi saya via email dan telepon. Saat itulah pertama kali saya sadar untuk terbiasa meng­gunakan bahasa asing dalam percakapan nyata. Beberapa kali saya di­hubungi via telepon saat masih berada di tempat kerja part-time atau di per­jalanan, sehingga kurang bisa berkomunikasi dengan maksimal. Tetapi, kami selalu berusaha mengkonfirmasi hasil diskusi dan percakapan dengan ber­kirim email. Sungguh saya berterima kasih kepada teman-teman yang me­maklumi setiap kali tiba-tiba saya bercakap di telepon dengan bahasa Inggris, harus melipir mencari tempat yang kondusif, dan diakhiri dengan wajah saya berbinar oleh harapan baik. Berbagai dokumen dipersiapkan untuk keperluan registrasi. Berun­tung­ nya saya saat mendaftar beasiswa yang lalu sudah menyiapkan beberapa dokumen (khususnya dokumen-dokumen yang harus diterjemahkan ke bahasa Inggris), sehingga kali ini yang harus dipersiapkan lebih ringkas. Se­ lain itu, dari pihak graduate school menghendaki soft-file dokumen-doku­men tersebut sehingga saya tidak perlu repot mengirimkannya. Dengan proses “move on” dan tunduk pada jalan Tuhan, saya kemudian sadar bahwa takdir-

153


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Nya pastilah baik; hanya sudut pandang dan waktu yang mem­bedakan per­ spektif kita. Saya juga belajar untuk tidak mengumpat takdir, demi tidak malu pada masa lalu. Hari itu, saya menerima telepon dari nomer yang tidak asing lagi de­ ngan kode negara muncul di layar handphone saya +82. Seperti biasa, saya disapa dengan suara hangat dari ujung sana, dan dengan bahagia bercampur gugup dan penantian saya mencoba menjawab tenang. Kabar hari itu memberikan saya kunci, dengan proses yang saya rasakan tidak se­ berat yang lalu dan konsekuensi tidak sederhana. “Congratulations, Rina!”, kalimat itu tidak akan pernah saya lupa rasa syukurnya. Petugas gra­duate school mengabarkan hasil seleksi berkas dan wawancara yang telah dilakukan sebelumnya. Rasanya saya ingin sujud di tempat, tapi sayang saya baru mampu menundukkan kepala di atas sajadah saat sholat. Awalnya bersama senang terselip beberapa kekhawatiran, terutama perihal beasiswa studi. Saya meminta agar diberi kelonggaran waktu hingga bisa mendapatkan financial support untuk studi saya tersebut. Ada beasiswa pe­ merintah Indonesia, dan mungkin ada beasiswa lain juga. Mungkin. Ka­rena saya sungguh tidak tahu akankah ada jaminan saya mendapatkan bea­siswa apa untuk studi di sana. Tapi, kemudian saya diberi jalan yang terang untuk memasuki “pintu” tersebut. Profesor yang merekomendasikan saya bersedia menerima saya se­ bagai maha­ siswa program master serta researcher assistant. Konse­ kuensi­nya fokus penuh saya di laboratorium beliau, difasilitasi salary se­ ba­gai asisten peneliti di lab tersebut dan beasiswa penuh untuk studi dari kampus. Dengan harga yang tidak murah dan ridho yang tidak setengahsetengah dari keluarga, saya berangkat ke Korea Selatan. Juga saya harus meninggalkan kesibukan menjadi asisten dosen di kampus selepas lulus, meski belum genap 3 bulan saya sanggupi.

Ruang Tamu: Belajar, Bersabar, dan Bersyukur Musim dingin menyambut kedatangan saya di Korea Selatan. Bulan Januari 2015, musim dingin pertama saya, dan perjalanan terjauh pertama saya. Sebelum keberangkatan saya sudah diwanti-wanti oleh senior di lab mengenai suhu yang jauh berbeda dengan di Indonesia dan salju yang menghiasi Korea Selatan. Persiapan saya? Baju hangat dan kegembiraan akan melihat salju, serta ruang rindu sebanyak-banyaknya untuk target dua tahun masa studi. Secara umum, persiapan keberangkatan saya persiapkan sendiri. Di­ karenakan beasiswa yang diberikan tidak memberi tunjangan transportasi, sehingga saya bisa memilih sendiri rute dan penerbangan yang sesuai

154


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta

dengan keinginan saya. Dalam doa-doa saya selalu mohon perlindungan dan kelancaran. Cemas yang serupa juga ditunjukkan oleh keluarga dan teman-teman. Karena saya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, terlebih sendirian. Tapi, bukan hanya cemas yang ada di diri saya, se­mua bercampur menjadi satu dan menjelaskan bahwa saya akan siap atas segala kemungkinan yang mungkin terjadi nanti. Sebenarnya, sebelum berangkat saya dan senior di lab sudah ber­ko­ muni­kasi mengenai banyak hal. Mulai dari penjemputan, persiapan tempat tinggal, dan banyak lagi. Namun, menjelang hari keberangkatan, se­nior ter­ sebut mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di rumah sakit. Karena lokasi kampus yang cukup jauh dari bandara, sehingga di­putuskan saya menggunakan fasilitas bus antar-kota di bandara dan di­jemput di terminal kota Chuncheon. Pelajaran pertama saya bertamu di negeri seberang: harus mandiri, dan fasilitas transportasi di sini bagus.

Tumpukan salju menyambut hari saya di Hallym University, Chuncheon. Saya takjub sekali, tapi lebih takjub dengan suhu yang drastis berbeda. Keinginan saya untuk bermain salju membeku, bahkan tidak tahan menyentuh benda putih tersebut lebih dari satu menit.

Tanpa jeda, hari baru saya kemudian dimulai. Saya berkenalan dengan hal baru, sungguh semuanya adalah hal baru. Tempat tinggal, makanan, tem­ pat belajar, proses belajar, teman belajar, rutinitas, dan semuanya. Subuh dan waktu-waktu sholat saya tidak lagi ditemani adzan, setiap ritual ibadah dan keyakinan saya mengundang tanya yang harus bisa dijawab, komunikasi saya tidak lagi menggunakan bahasa ibu (sampai bulan kedua saya adalah satu-satunya mahasiswa asing dari Indonesia di kampus), dan yang paling penting hidup saya sekarang ada di laboratorium.

155


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Sejak masa studi sarjana dulu saya tidak pernah akrab dengan labo­ ratorium dan berbagai jenis eksperimen. Saya lebih konsen ke ilmu klinis dan terapan, sedangkan di lab sama sekali tidak bersinggungan. Jadilah saya benar-benar harus memulai segalanya dari awal di lab. Mulai dari belajar menggunakan berbagai peralatan yang tidak murah, belajar teknik eksperimen yang sungguh membutuhkan skill yang sama sekali saya tidak punya, dan belajar teori-teori dasar mengenai berbagai hal. Saya tersesat dalam pilihan saya sendiri. Namun demikian, mungkin Tuhan ingin saya membuka diri sehingga tidak stuck mempelajari bidang ilmu yang sama untuk studi kali ini. Pelajaran kedua dan amat penting untuk kehidupan studi saya: mari belajar, dengan sabar dan jangan lupa mencari celah syu­kur. Selain itu, saya harus membiasakan diri dengan adat dan budaya ne­ gara ini. Sungguh, nano-nano sekali rasanya, percayalah. Meski saya di­ besarkan dekat dan kenal dengan budaya “unggah-ungguh” dalam ber­ba­ hasa, perilaku, tutur, dan kehidupan di Yogyakarta, namun kali ini sung­guh ser­ba baru. Terlebih posisi saya sebagai maknae, atau member pa­ling muda, dengan gap usia yang tidak sedikit dengan member-member lain di lab. Bagi saya pribadi, hal ini tidak masalah. Tapi bagi masyarakat Korea Selatan, terutama tempat saya tinggal, ini adalah situasi yang harus di-bold dan distabilo. Penting sekali. Saya pikir semua laboratorium di Korea ini memiliki situasi dan kon­ disi yang serupa dengan yang saya rasakan. Baru kemudian saya paham bahwa hal tersebut tergantung formasi member di lab. Di lab ini, foreigner adalah kaum minoritas. Kalau kata para senior, “Ketika kamu ada di Roma, berperilakulah seperti orang Roma.” Dalam bahasa Indonesia mung­kin bisa disamakan peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit di­junjung.”

Sambutan dari graduate school untuk mahasiswa asing di Hallym University: Welcoming Dinner. Meski hanya sebagian kecil yang bisa bergabung, namun kehangatannya sangat berkesan.

156


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta

Sungguh tidak mudah. Saya harus belajar “hidup”, dengan standar budaya setempat. Tapi kabar baiknya, saya banyak tahu dan (mencoba) me­ mahami tentang adat dan budaya hidup di Korea Selatan. Tidak ke­tinggalan juga, saya bisa autodidak belajar bahasa lokal. Terlebih teman-teman di kampus, baik sesama foreigner maupun penduduk lokal, yang hatinya tulus dan baik saling membantu serta menyemangati. Profesor yang baik dan ngemong versi sesungguhnya bagi saya, mungkin karena beliau sudah merasakan tinggal lama di luar negeri. Ditambah urusan keyakinan. Bisa tidak cukup satu buku kalau harus saya ceritakan semuanya. Intinya, saya diberi kesempatan untuk ber­ syu­kur sekaligus diberi ujian dalam hal ini. Bagaimana tidak, seluruh riual peribadahan dan keimanan saya selalu dipertanyakan. Semuanya, sung­guh. Bukan hanya urusan ibadah wajib (contohnya sholat dan puasa), juga tentang keyakinan yang membuat saya teguh dengan restriksi bahan ma­kanan dan minuman yang saya konsumsi, dan mengenai outfit saya sehari-hari. Di Korea Selatan, mayoritas agama hanya status saja meski tidak ada di KTP. Ritual peribadahan bukan hal yang dekat dengan pengetahuan dan jangkauan pikiran mereka, mungkin. Juga tentang urusan makanan dan minuman, karena hal-hal yang masuk daftar “haram” bagi saya ham­ pir seluruhnya adalah makanan sehari-hari yang mendarah daging bagi me­ reka. Perihal pakaian, karena negara empat musim tesebut me­mi­liki fashion yang berkembang sesuai dengan musim serta kebutuhan. Kom­plitlah saya menjadi “bahan baru”. Wajar, mereka bukan umat yang berkeyakinan sama dengan saya. Wajar, mereka tidak akrab dengan keyakinan saya. Mereka bertanya bu­ kan untuk mendapat jawaban: karena itu prinsip hidup saya. Untuk itu, se­ sungguhnya saya harus berterima kasih atas kesempatan banyak belajar lagi, berefleksi dan meneguhkan tiang-tiang keimanan saya. Demi bisa men­ jawab pertanyaan dan keiingintahuan mereka dengan baik. Pelajaran ke­ tiga dan sungguh harus saya pegang teguh sampai nanti: hidup di negeri seberang bukan hanya tentang perbedaan bahasa. Pada bulan kedua, saya mendapat teman juga dari Indonesia dan ber­ untungnya kami berada di lab yang sama. Bahagianya bisa berbahasa Indo­ nesia secara live sangat terasa. Kami menjadi partner yang dekat karena ke­adaaan dan kecocokan, juga ketidakcocokan. Beliau senior saya, secara umur dan pengalaman. Tapi, memang tidak seperti umumnya budaya ber­ interaksi di Korea Selatan, kami tumbuh dekat bersama meski baru ber­temu di sini. Sudah seperti kakak-adik sekandung, begitu komentar pro­fesor dan member lab lainnya. Sungguh syukur saya tidak bisa lepas dari takdir yang satu ini.

157


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Gathering teman-teman Chuncheon Family. Booster ampuh untuk recharge semangat dan melepas rindu pada rumah di jauh sana. Merekalah keluarga yang menguatkan dan memberi saya banyak pelajaran.

Satu lagi, meski akses pertemanan dan interaksi saya dengan dunia luar sangat terbatas, terutama dengan kehidupan di ibukota sana, saya diper足temukan dengan keluarga yang sangat baik di Chuncheon. Chuncheon Family (CF) adalah komunitas mahasiswa Indonesia dari dua universitas di kota Chuncheon, Kangwon Natonal University dan Hallym University. Padahal, saya baru tahu juga tentang koneksi dan lingkaran kekeluargaan mahasiswa serta pekerja di Korea Selatan ini sangatlah luas. Tetapi, CF sangat berarti bagi saya pribadi, sungguh-sungguh CF adalah kelarga dan motivasi bagi saya. Oh iya, mohon maaf saya tidak bisa banyak memberikan cerita tentang traveling dan tempat-tempat yang menarik di sini. Selama satu tahun saya menetap di Chuncheon yang terkenal indah alamnya, memang saya tidak mendapat banyak waktu dan kesempatan untuk menjelajah. Sejujurnya, karena tidak banyak waktu yang bisa saya sisihkan untuk mengunjungi objek-objek menarik. Tapi, bukan berarti saya tidak pernah piknik. Nanti di kesempatan yang lain semoga saya bisa berbagi tentang keindahan alam dan spot-spot atraktif di Korea Selatan. Empat musim saya lalui di Chuncheon, Gangwon-do. Dengan cuaca足 nya yang terbilang ekstrim (sangat panas saat summer dan terlampau di足 ngin ketika winter), saya disanggupkan bertahan untuk beradaptasi pada lingkungan belajar serta lingkungan hidup. Di masa genap satu tahun saya berjuang, saya mengambil keputusan besar. Yang bukan hanya ber足dampak pada masa depan saya seorang, tapi kepentingan orang banyak. Saya memutuskan untuk resign dari lab dan belajar di bawah supervisor yang lain.

158


Tentang Mimpi yang Dikabulkan Semesta

Dalam 23 tahun hidup saya saat itu, keputusan ini termasuk keputusan akbar yang tidak saya ambil dengan ringan. Saya bilang saya cinta belajar? Saya bilang saya pejuang yang tangguh? Saya bilang saya banyak sekali belajar dan menikmati jatuh bangun pro­ sesnya? Iya. Tapi, keputusan ini bukan tentang saya menyerah, tapi tentang menghikmahi proses belajar itu sendiri. Saya beruntung mendapat banyak sekali doa, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Saya beruntung se­kali masih diizinkan untuk terus belajar dan berjuang oleh semesta se­ isi­nya. Saya masih mendapatkan kesempatan beasiswa yang sama, dari universitas yang sama, tetapi di departemen dan di bawah supervisi pro­fesor yang berbeda. Saat ini, saya menjadi bagian dari Lab of Cellular Aging and Neurode­ generative Disease, Department of Biomedical Gerontology, Hallym University. Perjuangan saya untuk belajar kembali lagi dimulai di sini. Perjalanan baru bersama profesor dan para member lab yang sangat istimewa. Saya memutuskan pindah bukan untuk mencari kemudahan. Karena faktanya memang tidak mudah pula memulai hidup baru saya di tempat yang baru ini. Tapi, saya berkeyakinan saat mengambil keputusan itu, bahwa segalanya akan menjadi lebih baik untuk saya dan semesta. Meski di universitas yang sama, saya harus pindah tempat tinggal karena lokasi kampus yang berbeda. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, kini Pyeongchong, Gyeonggi-do menjadi bumi saya ber­pijak dan belajar. Chuncheon, Gangwon-do tetap dan selalu menjadi “kam­pung halaman” tempat saya mudik karena di sana ada keluarga saya. Bonusnya, karena urusan perpindahan dan segala yang harus dimulai dari awal ini, saya mendapat kesempatan untuk pulang sebentar ke Indo­ nesia. Melepas rindu dan menyiapkan pundi-pundi rindu yang lebih ba­nyak. Saya kini tahu rasanya menjadi perantau, saya memegang teguh ke­yakinan untuk menjadi tangguh, dan saya tidak menyesal atas jalan tak­dir yang dijatahkan untuk hidup saya. Hidup dan perjuangan kita ti­dak melulu berbuah indah, tapi adalah tentang menemukan hikmah dan men­dapat pelajaran. Doakan saya, agar selalu dilimpahi kekuatan untuk bahu dan kaki saya bisa tegar dalam segala ujian dan nikmat. Selamat bermimpi, dan se­moga semesta memeluk mimpi-mimpi kita. Tapi tunggu, jangan ha­nya bermimpi. Berusaha dengan keyakinan dan yakin bisa berusaha! Bonus­nya, jangan lupa “move on”. Penulis: Nurina Umy Habibah adalah mahasiswa Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Saat ini menempuh pendidikan master di Hallym University,

159


Merajut Cita di Negeri Ginseng

Department of Biomedical Gerontology. Penulis merupakan alumni S1 jurusan Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Email: nurinahabibah@gmail.com

160


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.