4 minute read

Sanggupkah Bumi Memberi Makan Kita?

Next Article
Garasi

Garasi

Miliaran manusia butuh makan. Sanggupkah Ibu Bumi memenuhi kebutuhan pangan anak-anaknya? Dan, sampai kapan?

Populasi manusia di Bumi sudah mencapai angka 8 miliar hingga 2020 dan diperkirakan akan terus meningkat. Pada tahun 2050, kemungkinan populasi dunia mencapai angka 9,7 miliar. Semua orang ini, termasuk kita semua, tentu butuh makan. Kenyataannya, lebih dari seperempat populasi dunia memiliki kekurangan gizi, satu miliar kelaparan kronis. Masih ada permasalahan pangan yang dialami di berbagai penjuru dunia. Apakah dunia sanggup memberi makan miliaran orang di masa mendatang?

Advertisement

Sebuah Ironi

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Bioscience menunjukkan, produksi pangan secara keseluruhan perlu ditingkatkan 25-70% dalam jangka waktu kini hingga 2050. Bertolakbelakang dengan studi tersebut, sebetulnya sudah ada cukup makanan yang ditanam di berbagai lahan pertanian untuk memberi makan 10 miliar orang. Ternyata, masalah yang kini cukup mendesak bukan persoalan kuantitas, melainkan distribusi pasokan makanan.

Sementara masih ada miliaran orang kelaparan, di belahan dunia lain terjadi kelebihan pasokan makanan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), diperkirakan sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk manusia, senilai $1 triliun, hilang terbuang setiap tahunnya. Air yang terbuang dalam makanan, sama dengan kebutuhan air di Afrika. Apa yang dihadapi industri makanan saat ini adalah sebuah ironi.

Busuk Sebelum Dimakan

Saat ini, lebih dari seperempat makanan yang diproduksi membusuk di ladang. Sebagian besar dibuang begitu saja karena cacat. Di samping itu, makanan juga seringkali membusuk di kulkas karena sudah terlalu matang. Secara keseluruhan, jumlah makanan yang terbuang dan tidak terpakai menyumbang hampir sepersepuluh dari emisi global.

Di negara-negara tropis, para petani lebih sering mengalami permasalahan semacam ini. Kebanyakan di antara mereka tidak memiliki gudang berpendingin yang memadai. Proses distribusi pun merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Makanan yang terlanjur matang dan membusuk di perjalanan membuat mereka mesti merelakan hasil pertanian sia-sia, bahkan sebelum sampai ke tangan konsumen.

Buruknya Distribusi

Di negara-negara maju, makanan segar didistribusikan dalam keadaan dingin. Distribusi dengan suhu terkendali diterapkan di seluruh rantai pasokan, dari gudang berpendingin ke truk berpendingin dan seterusnya. Hal ini membantu memastikan makanan dari pertanian ke pasar bisa didistribusikan dengan aman dan berkelanjutan.

Jika saja proses distribusi di berbagai penjuru dunia seperti ini, tidak banyak makanan yang akan terbuang siasia. Namun, dunia masih jauh dari distribusi makanan berkelanjutan. Masih banyak negara-negara berkembang tidak memiliki infrastruktur memadai. Sebagian besar makanan busuk di jalan dan tidak dapat dijual saat tiba di pasar.

Penerapan sistem distribusi dingin ini merupakan salah satu solusi untuk distribusi makanan berkelanjutan. Kepada situs The Guardian, pimpinan Carrier Transicold & Refrigeration Systems UTC David Appel mengatakan, ada peluang untuk memotong limbah dan meningkatkan distribusi makanan dengan menerapkan teknologi ini. Menurut Appel, dari semua makanan yang mudah rusak yang diproduksi dunia saat ini, hanya 10% yang didinginkan.

Merusak Lingkungan

Di samping persoalan distribusi, sistem yang berlaku di industri makanan pun memengaruhi ketersediaan makanan di dunia. Dalam penelitiannya, Katherine Richardson, Direktur Pusat Sains Berkelanjutan di Universitas Kopenhagen, Denmark, mengemukakan, sistem di industri makanan saat ini perlu diperbaiki, jika kita ingin memiliki harapan untuk memberi makan 9 hingga 10 miliar orang.

“Memberi makan umat manusia adalah hal yang memungkinkan, namun apakah kita bisa melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan?” cetus Richardson. Menurut penelitian Richardson, saat ini, setengah dari permukaan tanah bebas es di Bumi dikhususkan untuk ternak atau pertumbuhan pangan untuk hewan. Hutan hujan pun terus ditebang untuk lahan pertaninan. Seiring terbatasnya lahan untuk pertanian dan peternakan, permintaan makanan pun meningkat lebih cepat daripada populasi.

Stok Beremisi Tinggi

Meningkatnya pendapatan perkapita di China dan banyak negara lain yang sebelumnya miskin, turut menambah permintaan yang lebih tinggi akan daging dan protein hewani lainnya. Sekitar 70 persen air tawar dunia pun sudah digunakan dalam pertanian, dan akan terus meningkat.

Dibandingkan dengan bahan makanan nabati, daging dan susu menghasilkan jejak emisi lebih besar, yakni 14,5% dari semua emisi gas rumah kaca. Daging sapi dan domba memiliki dampak terbesar. Tidak seperti protein nabati, protein hewani pada umumnya membutuhkan lebih banyak tanah, energi, dan air untuk menghasilkan protein. Namun, bukan berarti dunia harus memberlakukan moratorium produksi daging dan susu.

Hewan ternak dapat dibesarkan di tanah yang terlalu kering untuk menanam tanaman. Mereka juga dapat diberi makanan yang menghasilkan emisi metana lebih rendah. Dengan demikian, hewanhewan ini dapat menghasilkan pupuk yang dapat menyuburkan tanah. Meski terdengar sederhana, ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat untuk diterapkan di industri makanan.

Aman Tapi Waspada

Hingga berpuluh tahun dari sekarang, manusia nampaknya tidak perlu khawatir kekurangan bahan pangan. Apa yang perlu kita takutkan adalah Bumi tidak mampu bertahan karena industri makanan yang perlahan merusak iklim. Jika saja industri makanan mengubah sistem produksi, manusia mengubah pola makan secara drastis, tidak ada yang tak mungkin untuk menyelamatkan Bumi, sekaligus memiliki persediaan bahan pangan yang memadai. [IM]

NEGARA PALING TERDAMPAK OLEH COVID-19 (AS PER 20 APRIL 2020)

01

02

This article is from: