WARTA BURUH MIGRAN | EDISI MEI 2014

Page 1

EDISI MEI 2014

BERITA UTAMA Pemerintah Mengawasi atau Melindungi PPTKIS? Maraknya biaya penempatan berlebih (overcharging ), ketertutupan informasi mengenai hak dan kewajiban BMI, hingga pemalsuan dokumen adalah sebagian kecil perkara yang bersumber dari PPTKIS. Sayangnya persoalan tersebut terus berulang dan terjadi hingga saat ini. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, benarkah pemerintah mengawasi PPTKIS? Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) seolah dalil semata. Implementasi dari kata perlindungan, masih jauh dari harapan. Idealerbincang tentang Pelaksana Penemnya kata perlindungan tak sekedar pepatan Tenaga Kerja Indonesia Swastas manis yang dituangkan dalam Bab V UU (PPTKIS) atau yang juga dikenal dentersebut. Praktek penyelenggaraan penegan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonempatan TKI harus benar-benar membuksia (PJTKI), pasti terbesit pertanyaan soal tikan keberpihakan kepada BMI. Pemerinbagaimana pengawasan sektor swasta ini. tah harus serius menjalankan amanat UU Pertanyaan ini berumber banyaknya mas39 2004 untuk melakukan pengawasan alah dan kasus yang berkaitan dengan Bukinerja dan pelayanan PPTKIS. ruh Migran Indonesia (BMI). Perlindungan BMI dari terkait dengan pelayanan PPTKIS Merujuk Bab IX UU PPTKILN, terdapat selama ini masih belum ideal. Alih-alih memdua yang membahas pengawasan PPTberi rasa aman dan kepastian hukum, justru KIS. Implementasi kedua pasal tersebanyak PPTKIS “bermain belakang� bersabut masih jauh dari harapan dan masih ma calo meraup keuntungan di balik peluh menunjukkan enggannya pemerintah BMI. terlibat dalam pengawasan PPTKIS. Kedua pasal tersebut memiliki unsur Banyak persoalan BMI yang dapat disebutketidaktegasan peran pemerintah untuk kan sebagai akibat minimnya pengawasan mengawasi PPTKIS. Pemerintah (melalui pada kinerja PPTKIS oleh pemerintah. Kemenakertrans) dinyatakan berkewa-

B

Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Edisi April 2014



LAPORAN UTAMA jiban untuk mengawasi PPTKIS. Instumen pengawasan diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri. Hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur sanksi keras bagi PPTKIS pelanggar hukum. Jerat hukum yang mengenai PPTKIS umumnya sebatas administratif. Pengawasan PPTKIS oleh pemerintah pun masih setengah hati. Bukti minimnya pengawasan tersebut ada pada surat dari Badan Nasional Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja INdonesia (BNP2TKI) tertanggal 2 April 2013 nomor surat B.07/PPID/IV/2013. Surat yang ditujukan kepada Abdul Rahim Sitorus -Koordinator Advokasi PSDBM- mengakui bawah peran pemantauan PPTKIS adalah kewajiban aparat negara. PPTKIS seharusnya memberikan pelaporan berkala kepada BNP2TKI. Surat tersebut mengakui bahwa peran pengawasan PPTKIS yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah masih sulit dilakukan. Surat yang ditandatangani Rizal Bastari, Wakil Ketua II PPID BNP2TKI, tersebut seolah meganggap wajar kesulitan pemantauan terhadap PPTKIS.. Jawaban ini menjadi indikasi bahwa BNP2TKI tidak melakukan fungsi pengawasan terhadap PPTKIS yang semestinya memberikan laporan per semester itu. Kondisi pengawasan PPTKIS pada tahun 2014 belum berubah. Tim Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) yang berkunjung ke BP3TKI Yogyakarta memperoleh keterangan yang mengindikasikan situasi tersebut. . Melalui kunjungan tersebut diketahui bahwa pengawasan yang dilakukan pihak BP3TKI hanya sebatas memeriksa kelengkapan administrasi dari PPTKIS. Hal tersebut dikatakan oleh Diah Andarini, Kepala Seksi Penempatan, BP3TKI Yogyakarta. Ketika ditanya soal pengawasan lain yang lebih tegas, Diah menyebutkan adanya sanksi tunda layan. Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Pemerintah Mengawasi atau Melindungi PPTKIS? Sanksi ini berarti, PPTKIS tidak bisa membuatkan KTKLN, tidak boleh ikut serta dalam PAP, dan tidak bisa mengurus persyaratan yang bersumber dari peraturan BNP2TKI, sebelum mereka menyelesaikan permasalahan dengan BMI yang menjadi kliennya. Upaya pengawasan, seperti dituturkan Diah di atas, belum bisa dikategorikan sebagai bentuk pengawasan yang tegas. Tunda layan yang mengancam PPTKIS pelanggar aturan masih rentan dilanggar. Hal tersebut diungkapkan oleh Rahim Sitorus. yang menyebutkan bahwa banyak PPTKIS memiliki hubungan kongkalikong dengan oknum di lembaga pemerintahan. Jika demikian, tentu sanksi tunda layan sama sekali tak memberi efek jera apapun pada sektor swasta ini. Tak jauh beda dengan BP3TKI, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Yogyakarta juga tidak melakukan pengawasan PPTKIS dengan semestinya. Imam, salah seorang pegawai di Kasi Penempatan dinas tersebut menyebutkan bahwa kondisi PPTKIS khususnya di Yogyakarta baik-baik saja. “Semua baik-baik saja, cuma kemarin sempat ada satu PPTKIS yang kami tuntut ke pengadilan karena terlibat kasus dan sekarang sudah selesai. Untuk jumlah PPTKIS di Yogyakarta, ada 23 PPTKIS cabang dan satu PPTKIS pusat,� papar Imam yang ditemui di kantornya Senin lalu (2/6/2014). Sayangnya ketika ditanya lebih lanjut tentang kasus PPTKIS yang digelandang ke pengadilan tersebut, Imam tak berani


LAPORAN UTAMA

Pemerintah Mengawasi atau Melindungi PPTKIS?

Portal pantaupjtki.com, yang dikembangkan infest bersama jejaring komunitas buruh migran untuk mengawasi kinerja dan pelayanan PPTKIS

berkomentar banyak karena takut salah ucap. Imam mengatakan kalau penjelasan lengkap bisa didapat langsung dari Kepala Kasi Penempatan. Namun saat kunjungan tersebut dilakukan atasan yang disebutkan sedang berada di luar kota.Soal pengawasan PPTKIS pun, Imam tak berujar banyak. Dirinya justru mengatakan, istilah pengawasan bagi PPTKIS tidak dipakai di institusinya. Menurutnya, istilah tersebut terlalu berlebihan. “Istilah ‘pengawasan’ PPTKIS di dinas kami disebut dengan pembinaan PPTKIS. Istilah ini dipakai karena kami melakukan pembinaan terlebih dulu tidak langsung menjatuhkan sanksi, bila ada PPTKIS yang melanggar aturan,” terang Imam.

beradaan PPTKIS justru disemai dan dirawat dengan baik oleh pemerintah? Bila memang demikian, ini adalah ironi. Tak mengherankan bila selama ini Kemenakertrans selalu mengelak dan susah dimintai informasi terkait pengawasan PPTKIS. Poempida Hidayatullah anggota DPR RI, Wakil Ketua Timwas TKI juga mengatakan hal serupa, bahwa daftar PJTKI yang terkena skorsing tak pernah dibuat transparan secara publik oleh Binapenta/Kemenakertrans. Bila pemerintah saja masih sulit menentukan sikapnya terhadap keberadaan PPTKIS, maka sudah saatnya pegiat buruh migran bersatu dan mandiri untuk mencari solusi. Peran organisasi masyarakat sipil perlu diperkuat untuk mendesak perbaikan pengawasan kinerja PPTKIS.

Kenyataan di atas tentu membuat kita bertanya-tanya, apakah mungkin keHalaman 4 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014


INSPIRASI Jalin Relasi Sebagai Cara Memilih PJTKI/PPTKIS

Anggota SBMI Banyuwangi dalam acara diskusi dan halal bi halal

A

pakah anda ingin bekerja di luar negeri? Jika iya, maka anda harus pintar-pintar menjajaki Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swastas (PPTKIS) atau yang juga dikenal dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di sekitar lingkup anda. Pada dasarnya, bekerja secara mandiri di luar negeri juga bisa dilakukan tanpa melalui PPTKIS. Namun, bekerja secara mandiri sulit dilakukan. Pemerintah Indonesia masih separuh hati mengawasi dan memfasilitasi pekerja migran yang hendak berangkat secara mandiri. Pemerintah Indonesia lebih memilih melempar tanggung jawab pada PPTKIS. Inilah yang membuat masyarakat tak punya banyak pilihan selain menggunakan perantara PPTKIS. Maka tak mengherankan, bila keberadaan PPTKIS justru menimbulkan banyak masalah karena bentuknya yang lebih berorientasi meraup keuntungan. Sebagai contoh, banyak PJTKI yang membebani Buruh Migran Indonesia (BMI) dengan biaya penempatan berlebih dan pemotongan gaji yang tidak sesuai aturan.

Bagaimana sikap calon pekerja luar negeri/ BMI terhadap PPTKIS? Menanggapi pernyataan di atas, Wawan Kuswanto, koordinator SBMI Banyuwangi menyatakan bahwa PPTKIS dan BMI adalah suatu realitas yang tak bisa dipisahkan. Maka dari itu, BMI harus berani mengambil posisi tawar ketika berhadapan dengan PPTKIS. “Selama ini, masih banyak BMI kita yang beranggapan kalau PJTKI itu pahlawan karena telah memberangkatkan mereka ku luar negeri. Anggapan macam itulah yang harus kita hilangkan, karena PJTKI dan BMI sama-sama memiliki relasi yang seimbang,� jelas Wawan saat dihubungi via telepon (28/4/2014). Menurut Wawan, BMI harus memanfaatkan posisi tawarnya sebagai seorang konsumen yang sedang memilih jasa. Bagaimanapun juga, PPTKIS tetap membutuhkan calon BMI agar usahanya jalan. Untuk itu, jangan sampai calon BMI yang terus dituntut menuruti kemauan PPTKIS.

Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014


“Karena sulit untuk bekerja di luar negeri tanpa PJTKI, maka giliran calon BMI untuk tanggap mencari informasi dan menjalin relasi dengan mereka,” kata Wawan menambahkan. Jalinan relasi yang dimaksud tak lain adalah membangun komunikasi dengan berbagai PJTKI. Selain PJTKI, BMI rupanya perlu berkoordinasi dengan pemerintah setempat terkait dokumen daftar PJTKI yang ada di wilayahnya. Berikut adalah mekanisme yang dapat dilakukan dalam melakukan relasi untuk memilih PJTKI: • Membaca aturan perundang-undangan tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Nomor 39 Tahun 2004, dan peraturan turunan lainnya seperti Peraturan Menakertrans dan BNP2TKI. Kadir mengatakan, sebelum menentukan pilihan PPTKIS, BMI perlu tahu landasan hukum yang mengatur tentang penempatan BMI ke luar negeri. Hal ini penting, agar BMI tahu bagaimana kekuatan hukum BMI. • Memiliki daftar PPTKIS nasional resmi yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) pusat. • Membawa daftar PPTKIS tersebut pada Dinas Tenaga Kerja kabupaten. Tanyakan pada petugas, mana saja PPTKIS yang memiliki Surat Izin Pengerahan (SIP) di kabupaten setempat. • Melihat daftar PPTKIS yang memiliki job order di negara tujuan yang akan dipilih. Misal, anda ingin bekerja di Hong Kong pilih mana PPTKIS yang menempatkan BMI di negara itu. Ketika ditemukan 5 PPTKIS,maka segera anda hubungi satu-persatu untuk membandingkan. Proses menghubungi dan berkomunikasi dengan PPTKIS menjadi kesmepatan calon BMI membangun relasi yang setara/seimbang. Tanyakan informasi-informasi penting terkait hak-hak calon BMI pra penempatan. Misal, berapa biaya untuk bisa bekerja di negara tujuan, bagaimana fasilitas pendidikan yang akan didapat, dan berapa lama waktu pelatihannya. Bila pertanyaan-pertanyaan itu sudah terjawab, tanyakan kembali pada pihak PPTKIS, apakah jawaban/komitmen tersebut bisa dituangkan dalam surat perjanjian penempatan? Kesepakatan perjanjian penempatan inilah yang bisa memperkuat posisi tawar buruh migran, dan hal ini dengan jelas telah tercantum dalam undang-undang.

Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Seusai menghubungi semua PPTKIS yang akan dipilih, BMI dapat menilai dan memertimbangkan PPTKIS yang akan dipilih. Pemilihan tentu dilakukan dengan cara membandingkan apakah jumlah biaya yang harus dibayar sudah sesuai dengan aturan pemerintah atau belum. Bila sudah sesuai, pilihlah PPTKIS yang membebankan biaya dengan jumlah paling sedikit. Mintalah pada pihak PPTKIS agar surat perjanjian penempatan dibuat secara transparan dengan diketahui oleh disnaker setempat. Panduan di atas, mungkin terlihat cukup sederhana. Namun demikian, dalam prakteknya, calon BMI harus memiliki pengetahuan dasar tentang penempatan kerja di luar negeri, serta memiliki mental yang tahan gertak. Pasalnya, banyak PPTKIS yang selalu berkelit dan betutur kasar jika disinggung soal perjanjian penempatan. Rini Palupi, mantan BMI asal Taiwan berujar bahwa setiap PJTKI memiliki ketentuan dan syarat berbeda terkait penempatan BMI ke luar negeri. Menurutnya, sebagian besar PJTKI masih tidak mau bertindak transparan soal perjanjian penempatan kerja.

Meski tidak mudah dilakukan, namun panduan memilih PJTKI ini patut untuk diperhatikan. Seperti yang dikatakan Wawan, bahwa panduan tersebut diadakan untuk melawan maraknya sosialisasi penempatan BMI yang dilakukan oleh PJTKI itu sendiri dan calo. “Sosialisasi PJTKI tentang kerja di luar negeri, pasti kebanyakan yang manis-manis saja. Hal inilah yang mengakibatkan calon BMI selalu pasrah ketika menghadapi PJTKI,” pangkas Kadir menutup percakapan.


KAJIAN MEMAHAMI BIAYA PENEMPATAN BERLEBIH (Overcharging)

G

abungan 25 Organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan yang disebut Gabungan Organisasi Buruh Migran Indonesia Taiwan (GORBUMITA) pada 25 Mei 2014 telah menyelenggarakan dialog untuk membahas masalah biaya penempatan berlebih (overcharging ) yang menimpa BMI alias TKI sektor formal di Taiwan. Avendy Sahid Seba, mantan Ketua Ikatan Pekerja Indonesia di Taiwan (IPIT) mengatakan menurut hasil survey yang dilakukan IPIT Taiwan tahun 2013 lalu ada sekitar 30% BMI sektor formal dari total 200 ribu BMI yang bekerja di Taiwan mengalami biaya penempatan berlebih. Merujuk pada data tersebut, diperkirakan sekitar 60 ribu BMI sektor formal di Taiwan rata-rata menjadi korban overcharging karena harus membayar biaya penempatan sekitar Rp 50 jutaan lebih. Rinciannya, bayar di muka Rp 25 juta, lalu selama 10 bulan gaji dipotong sebesar 8500 NT atau sekitar Rp 3.145.000,- per bulan sehingga total Rp 30 juta lebih untuk potongan 10 bulan. Jadi kalau di jumlah totalnya sekitar Rp 55 juta. Merujuk Keputusan Menakertrans No. 158 Tahun 2005 tentang Komponen dan Besarnya Biaya penempatan TKI ke Taiwan sektor formal jumlah total Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

hanya sebesar Rp 13 juta saja. Dengan begitu setiap BMI telah mengalami overcharging atau pembebanan biaya penempatan rata-rata sebesar Rp 42 juta atau sekurang-kurangnya Rp 25 juta perorang. Jika BMI sektor formal ada sekitar 60 ribu orang, maka berarti kerugian BMI mencapai Rp 25 juta x 60 ribu = Rp 1.500.000.000.000,-atau sekitar 1,5 trilyun pertahun. Penulis bersama Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) telah diundang untuk berdialog dengan GORBUMITA melalui skype dan secara khusus mencoba mengenalkan dan memberikan pemahaman masalah overcharging menurut aturan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya berdasarkan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN). Penulis juga menjelaskan soal, apa dan bagaimana sebenarnya yang dimaksud overcharging menurut UU PPTKILN? Bagaimana akibat hukum dan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya overcharging? Atau siapakah yang harus bertanggungjawab atas terjadinya overcharging dan bagaimana sanksi


KAJIAN atau hukumannya? Apa yang menjadi hak-hak calon BMI / BMI yang menjadi korban overcharging? Pengertian overcharging atau Biaya Penempatan Berlebih Menurut UU PPTKILN overcharging baru dikenal pada abad ke 14 sebagai praktik bisnis yang memungut harga terlalu mahal atau menjual terlalu mahal. Istilah overcharging juga berarti membuat biaya berlebihan (excessive charge), membesar-besarkan harga (exaggerate) atau biaya tambahan (surcharge). Masalah biaya penempatan yang berlebihan atau yang dikenal dengan istilah overcharging sesungguhnya telah diatur oleh UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) beserta peraturan pelaksananya. Praktik overcharging sejatinya telah melanggar prinsip murah yang diamanahkan Penjelasan Umum UU PPTKILN. Pada gilirannya pelanggaran atas prinsip pelayanan penempatan berbiaya murah justru memicu penempatan BMI ilegal yang berdampak minimnya perlindungan bagi BMI yang bersangkutan. Oleh karena itu UU PPTKILN secara khusus sudah mengatur tentang biaya penempatan TKI pada Pasal 76 yang terdiri dari 3 ayat. Ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU PPTKILN tegas menandaskan bahwa PPTKIS alias PJTKI “hanya dapat” membebankan biaya kepada calon TKI/TKI untuk 3 (tiga) macam komponen biaya penempatan saja. Yakni : 1) biaya pengurusan dokumen jati diri (sepeti paspor); 2)pemeriksaan kesehatan dan psikologi; 3) pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja. Maknanya, biaya penempatan cukup murah ! Sayangnya, berlandaskan Pasal 76 ayat (2) UU PPTKILN malah membenarkan atau memberi izin kepada Menteri Tenaga Kerja untuk menentukan komponen biaya penempatan yang lain terhadap calon TKI/TKI selain yang telah ditentukan oleh Pasal 76 ayat (1) di atas. Konsekuensinya, komponen biaya penempatan dimungkinkan bertambah banyak sesuai kebutuhan dan tuntutan negara penempatan atau pihak pengguna (user). Namun Penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU PPTKILN, Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

meski susunan redaksinya agak rancu, namun terang menekankan bahwa “AGAR CALON TKI TIDAK DIBEBANI BIAYA YANG BERLEBIHAN”, maka komponen biaya penempatan dan besarnya biaya penempatan untuk negara tujuan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pendek kata, Penjelasan Pasal 76 ayat (2) menegaskan perlunya komponen dan besarnya biaya penempatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja agar Calon TKI/TKI TIDAK DIBEBANI BIAYA BERLEBIHAN. Karena itu, bisa dipahami bahwa pengaturan masalah biaya penempatan BMI/TKI oleh UU PPTKILN adalah dimaksudkan mencegah dan menanggulangi biaya penempatan berlebihan (overcharging) demi melindungi calon TKI/TKI. Di samping itu, komponen biaya dan besaran biaya penempatan harus dibuat secara transparan dan memenuhi asas akutanbilitas seperti dimaksudkan oleh Pasal 76 ayat (3) UU PPTKILN.

Lima Macam Bentuk Overcharging

1. Membebankan komponen biaya penempatan di luar ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU PPTKILN. Ini terjadi apabila kenyataannya Menakertrans tidak ada menetapkan komponen dan besaran jumlah biaya penempatan untuk negara penempatan tertentu. 2. Membebankan komponen biaya di luar ketentuan Peraturan / Keputusan Menakertrans. Ini berarti melanggar Pasal 46 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (1) Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 atau Pasal 54 Permenakertrans No. 22 Tahun 2008 atau Pasal 44 ayat (2) jo Pasal 43 ayat (1) Permenakertrans No. 18 Tahun 2007 atau Pasal 36 jo Pasal 34 ayat (1) Permenakertrans No. 19 Tahun 2006. 3. Apa yang dikategorikan sebagai overcharging adalah pembebanan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung oleh majikan / pengguna seperti diatur Pasal 45 ayat (2) Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 atau sebelumnya Pasal 53 ayat (2) Permenakertrans No. 22 Tahun 2008 atau Pasal 43 ayat (2) Permenakertrans No. 18 Tahun 2007 atau Pasal 34 ayat (2) Permenakertrans No. 19 Tahun 2006. 4. Membebankan atau memungut biaya penempatan melebihi batas maksimal besaran jumlah biaya penempatan yang telah ditetapkan oleh menakertrans berdasarkan Peraturan / Keputu-


KAJIAN san Menakertrans. Ini sebagaimana diatur Pasal 47 Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 : “PPTKIS wajib mencantumkan besarnya biaya penempatan yang akan dibebankan kepada calon TKI dalam Perjanjian Penempatan dan tidak boleh melebihi biaya yang ditetapkan oleh Menteri.” 5. Overcharging juga bisa terjadi jika BMI dibebani komponen biaya yang tidak dapat dapat dipertanggungjawabkan karena melanggar asas akuntabilitas sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU PPTKILN. Contoh, BMI sektor formal kerja pabrik dipungut komponen biaya pelatihan, tapi pada kenyataannya tidak pernah mengikuti / menjalani pelatihan apapun sebagaimana mestinya. Di sini pungutan untuk komponen biaya pelatihan tersebut dapat digolongkan sebagai pembebanan biaya berlebih lantaran tidak memenuhi asas akuntabilitas sesuai ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU PPTKILN.

Sanksi / Hukuman bagi PJTKI Pelaku Overcharging Tindakan PJTKI/Agensi Asing yang membebankan biaya penempatan berlebihan kepada BMI sebagaimana dimaksud Pasal 76 ayat (1) adalah merupakan pelanggaran terhadap Pasal 100 UU PPTKILN yang diancam sanksi administratif.

Menindaklanjuti ketentuan Pasal 100 UU PPTKILN, maka secara tegas Pasal 12 ayat (1) huruf d Permenakertrans No. 17 Tahun 2012 tentang SANKSI ADMINISTRATIF dalam Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (atau sebelumnya Pasal 12 ayat (1) huruf e Peraturan Menakertrans No. 5 tahun 2005) menggolongkan perbuatan membebankan biaya penempatan kepada TKI melebihi komponen biaya sesuai ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU PPTKILN yang dilakukan oleh PJTKI sebagai perbuatan melanggar hukum dengan sanksi administrasi berupa pencabutan SIPPTKI alias membubarkan dan menutup PJTKI.

PJTKI yang terbukti melakukan overcharging dan sudah dijatuhi hukuman penutupan juga berkewajiban memberangkatkan calon TKI yang telah memenuhi syarat dan memiliki dokumen lengkap dan visa kerja seperti dimaksud Pasal 13 huruf b Permenakertrans No. 17 Tahun 2012 yang sama bunyinya dengan Pasal 13 huruf b Permenakertrans No. 5 Tahun 2005. Bunyi Pasal 13 huruf a Permenakertrans No. 17 Tahun 2012 atau Pasal 13 huruf a Permenakertrans No. 5 Tahun 2005 : “Dalam hal SIPPTKI telah dicabut, PPTKIS yang bersangkutan tetap berkewajiban untuk : a. mengembalikan seluruh biaya yang telah diterima dari calon TKI yang belum ditempatkan sesuai dengan perjanjian penempatan; b. memberangkatkan calon TKI yang telah memenuhi syarat dan memiliki dokumen lengkap dan visa kerja.” Dengan demikian jelas bahwa tindakan memungut biaya penempatan berlebih alias overcharging adalah merupakan perbuatan melanggar hukum yang bersifat tercela lantaran menimbulkan kerugian bagi calon BMI / BMI. Pengaturan overcharging dalam UU PPTKILN beserta peraturan pelaksananya cukup memadai untuk menanggulangi praktik overcharging dan melindungi hak-hak calon BMI /BMI korban overcharging. Sebenarnya masalah overcharging alias biaya penempatan berlebih sudah diatur dan diakui sebagai perbuatan tercela yang bersifat melanggar hukum lantaran melanggar prinsip murah yang diamanahkan dalam Penjelasan Umum UU PPTKILN demi melindungi calon BMI / BMI.

Hak Calon BMI / BMI Korban Overcharging Setelah PJTKI ditutup, pengembalian biaya penempatan yang berlebih diberikan kepada Calon TKI yang belum ditempatkan sesuai perjanjian penempatan seperti diatur Pasal 13 huruf a Permenakertrans No. 17 Tahun 2012 yang sama bunyinya dengan Pasal 13 huruf a Permenakertrans No. 5 Tahun 2005.

Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Abdul Rahim Sitorus Advokat & Konsultan Bantuan Hukum TKI Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran Yogyakarta


PANDUAN

Survei BMI: Sebuah Metode Audit Sosial Penyelenggaraan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Indonesia Oleh: Muhammad Irsyadul Ibad

P

enempatan Buruh Migran Indonesia (BMI) yang juga dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak saja melibatkan aktor pemerintah secara tunggal. Lembaga-lembaga publik negara, beberapa di antaranya, diberi mandat secara spesfik untuk menyelenggarakan pelayanan, mengatur dan mengawasi implementasi sektor penempatan tenaga kerja di luar negeri. Melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004, pihak swasta turut diberi hak dan wewenang untuk turut ambil bagian sebagai pengerah tenaga kerja ke luar negeri. Persyaraatan dan kewajiban diberlakukan kepada pihak swasta yang kemudian dikenal dengan nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kedua elemen tersebut, baik pemerintah maupun swasta, diatur secara rinci oleh Undang-undang dan peraturan lain yang bersangkutan dengan penempatan dan perlindungan BMI secara spesifik, atau aturan lain yang bersinggungan dengan tata pelayaan publik dan perlindungan konsumen. Keduanya memiliki kewajiban konstitusional terhadap negara. Keduanya pula memiliki beberapa kewajiban spesifik yang harus dipenuhi dalam tata layanan kepada BMI. Metode survei yang ditawarkan kepada publik ini mencoba mengajak masyarakat secara luas untuk turut terlibat dalam pemantauan sektor swasta dan lembaga pemerintah yang terkait dengan tata kelola migrasi ketenagakerjaan. Survei ini secara spesifik ditujukan untuk diisi oleh individu yang telah berpengalaman bersentuhan dan menjadi pengguna jasa atau klien dari PPTKIS. Survei ini, dilain sisi disediakan bagi publik BMI untuk memberikan penilaian secara spesifik kepada lembaga-lembaga pemeriintah penyedia pelayanan publik terkait sektor migrasi ketenagakerjaan. Rincian objek dalam survei ini adalah: 1. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS); 2. Negara tujuan penempatan TKI;

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

3. Penyedia layanan asuransi TKI; 4. Lembaga publik pemerintah yang menangani sektor migrasi ketenagakerjaan; dan 5. Lembaga Publik Perwakilan Indonesia di Luar Negeri; Tujuan survei ini adalah untuk memberikan gambaran persepsi TKI atas beragam pelayanan yang berkaitan dengan sektor pengerahan tenaga kerja ke luar negeri, baik yang diselenggarakan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Data yang terkumpul dalam sistem ini diharapkan menjadi acuan bagi kedua pihak tersebut untuk memperbaiki pelayanan kepada TKI. Di lain sisi, metode penggalian pendapat publik ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada TKI, keluarga dan calon TKI untuk mengambil keputusan secara tepat dalam pemilihan lembaga penyedia layanan. Terdapat dua alat ukur yang diimplementasikan dalam survei terbuka ini. Alat ukur pertama, menggunakan rantai nilai dengan rentang penilaian 1 (satu) sampai 5 (lima). Semakin besar skor yang diperoleh pada setiap aspek menunjukkan semakin positifnya nilai yang dimiliki oleh objek yang diulas pada aspek tertentu. Sebaliknya, semakin kecilnya angka nilai yang diperoleh menunjukkan situasi yang semakin buruk pada aspek tertentu yang melekat pada objek ulasan. Alat ukur kedua berbentuk alat pilihan yang bertujuan untuk memastikan atau memverifikasi keberadaan aspek atau elemen tertentu. Alat ukur ini akan menyajikan data dalam bentuk persentase. Semakin besar persentase yang dimiliki objek pada satu aspek, berarti semakin besar pula kemungkinan ketersediaan aspek tersebut. Sebaliknya, semakin kecil persentase pada aspek tertentu menunjukkan semakin kecilnya kemungkinan ketersediaan aspek tertentu. Metode survei di atas selanjutnya tertuang dalam sistem layanan Pantau PJTKI yang dapat diakses di www.pantaupjtki.com.


Berikut panduan sederhana 6 langkah menilai PJTKI/PPTKIS:

Panduan dalam bentuk video juga dapat diakses di: http://www.blankon.in/b3

Muhammad Irsyadul Ibad Direktur Infest

Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014


POJOK KIP Daftar PPTKIS/PJTKI Bermasalah Wajib Diinformasikan ke Publik

B

uruh migran Indonesia di sektor informal atau domestik sebagian besar ditempatkan oleh perusahaan swasta atau PJTKI. Penempatan buruh migran oleh PJTKI terjadi karena ketidakberdayaan pemerintah dalam mengurus penempatan buruh migrannya sendiri. Peran pemerintah itulah yang kemudian digantikan oleh perusahaan swasta. PJTKI memiliki beban ganda untuk merekrut dan melindungi buruh migran. Padahal posisi mereka sebagai perusahaan swasta pada dasarnya mencari profit untuk bertahan hidup. Akhirnya banyak dari mereka yang kemudian menerima segala pekerjaan dari luar tanpa mempertimbangkan keamanan dan keselamatan para calon pekerjanya. Contohnya saja dalam rangka mengeruk profit PJTKI memberikan iming-iming pada calon TKI bahwa bekerja di luar negeri itu enak, aman, gajinya tinggi. Tetapi luput membekali calon TKI dengan hal-hal buruk di negara penempatan.

buruh migran ditempatkan oleh PJTKI yang tak semuanya memberi perlakuan adil bagi buruh migran. Banyak kasus dimana buruh migran dirugikan, seperti misalnya biaya penempatan yang melebihi standar, pemalsuan dokumen, atau bahkan perlakuan buruk berujung kekerasan yang terjadi pada BMI/TKI.

Perkara penempatan dan perlindungan pun bermasalah. Meski di negara penempatan PJTKI berhubungan dengan agensi, tetapi fungsi dan peran agensi untuk perlindungan dipertanyakan. Di lapangan agensi tak melakukan pengawasan dan perlindungan yang semestinya. Pun demikian dengan kinerja pemerintah yang tidak melakukan perlindungan sebagaimana mestinya.

Namun dalam data tesebut, Binapenta juga telah mencabut skorsing 160 PJTKI, karena telah bersedia memenuhi kewajiban dan ketentuan untuk perbaiki mekanisme penempatan sesuai UU 39 tahun 2004 dan Permen No 17 tahun 2012 tentang sanksi administratif. PJTKI yang tak dapat memenuhi kewajibannya dan tidak melaporkan hasil perbaikan diusulkan untuk dicabut. Selain Binapenta Kemenakertrans, BNP2TKI juga menerapkan mekanisme tunda layan untuk PJTKI yang memiliki masalah. Proses tunda layan yang dimaksud adalah penundaan pelayanan bagi calon TKI sampai PJTKI merampungkan masalah-masalah yang ada. Sebelum diberlakukan tunda layan, BP3TKI akan memberikan surat peringatan terlebih dahulu hingga tiga kali. Jika PJTKI tak menanggapi surat akan dilakukan pemanggila. Daftar nama TKI besera PJTKI yang tekena tunda layan mulai Januari-Mei 2014 sebanyak 107. Daftar PJTKI bermasalah dijadikan sebagai acuan menentukan pilihan PJTKI yang layak dan tidak layak dipakai. Sekaligus juga untuk menyelamatkan BMI/TKI dari perusahaan swasta yang mengeruk untuk saja.

Bulan Maret lalu Dirjen Binapenta Kemenakertrans mengeluarkan daftar PJTKI yang menerima sanksi skorsing. Data PJTKI nakal tersebut dikeluarkan Binapenta pada saat rapat dengar pendapat dengan Tim Pengawas (Timwas TKI) DPR RI. Menurut Poempida Hidayatullah, Wakil Ketua Timwas TKI, daftar PJTKI yang terkena skorsing tak pernah dibuat transparan secara publik oleh Binapenta/ Kemenakertrans. Padahal data yang sangat krusial tersebut seharusnya dipublikasikan setiap saat jika ada perubahan merujuk pada UU KIP nomor 14 tahun 2008. PJTKI atau PPTKIS nakal yang mendapatkan sanksi skorsing harus dibuka ke publik agar masyarakat atau calon buruh migran tak salah pilih menentukan PJTKI mana yang hendak dipakai. Selama ini Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Dalam data yang disebarkan via website http:// www.dpr.go.id/ tersebut ada 231 PJTKI yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 32, pasal 55, pasal 82 undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. Pasal 32 mengenai surat izin pengerahan (SIP), pasal 55 mengenai perjanjian kerja antara PJTKI dan TKI, dan pasal 82 mengenai PJTKI yang bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan pada CTKI sesuai dengan perjanjian penempatan.


JEJAK KASUS

70 Orang Buruh Migran Indonesia di Qatar Terkena PHK

S

ebanyak 70 orang buruh migran asal Pati, Lamongan, Gresik, dan Jogja diputus kerja secara sepihak oleh perusahaan yang mempekerjakan mereka di Qatar. Perusahaan tempat mereka bekerja bernama KNZ International Contracting Co. yang mengaku sebagai perusahaan jasa konstruksi asal Korea Selatan. Ketika sampai di Qatar, BMI asal berbagai

daerah tersebut baru mengetahui bahwa KNZ ternyata bukan perusahaan konstruksi yang bertanggung jawab atas pembangunan seluruh proyek. Penanggung jawab pembangunan proyek asrama atlet yang rencananya akan dipakai pada Piala Dunia 2022 adalah Al Ali Engineering Contracting & Trading Est.

Halaman 13 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014


JEJAK KASUS

C

erita mengenai puluhan BMI yang diputus kerja tersebut diawali oleh proses rekrut yang buruk. Bulan Oktober 2013 beredar pengumuman dari calo perekrut bahwa KNZ membutuhkan pekerja konstruksi yang akan ditempatkan di Qatar. Calo bernama Darmin tersebut mengatasnamakan PT Farhan Al Syifa yang berkantor di Jakarta. Di Pati, Jawa Tengah, mereka yang tertarik untuk menjadi BMI/TKI dikumpulkan di rumah Darmin untuk pendataan dan interview sebagai seleksi awal. Di rumah Darmin itulah datang Abdi dan Een Endrawati. Abdi bukan orang PJTKI, ia berprofesi perantara job, yang menghubungakn KNZ dengan PJTKI. Sedangkan Een Endrawati adalah direktur PJTKI PT Farhan Al Syifa. Di dalam pendataan dan interview tersebut Abdi dan perwakilan dari KNZ (Jekie dan Mr. Han) memberikan janji dan iming-iming pada calon TKI. Mereka dijanjikan akan diumrahkan, mendapat gaji 1700 riyal, overtime (lembur ) 2 jam, dan akomodasi gratis. Setelah menyelesaikan kontrak selama 2 tahun mereka juga dijanjikan akan mendapat pesangon 5000 riyal. Gaji yang KNZ janjikan dibagi menjadi beberapa tipe yakni gaji A, B, dan C. Gaji A 1700 riyal, B 1500 riyal, dan C 1200 riyal. Di dalam proses pendataan dan interview tersebut ada yang lolos dan ada juga yang tidak lolos. Mereka yang lolos seleksi tersebut kemudian melakukan praktik kerja sederhana dan dijadwalkan berangkat secara bertahap. Menurut Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Pusat Sumber Daya Buruh Migran, PT Farhan Al Syifa menyalahi cara rekrut kerja BMI/TKI di Qatar. PT Farhan Al Syifa yang berkantor di Jakarta seharusnya memiliki cabang jika melakukan perekrutan di daerah Pati, Gresik, Lamongan, atau Jogja. “Selain itu PT di cabang juga harus memiliki surat izin rekrut dari Disnakertrans setempat. Tapi faktanya PT Farhan Al Syifa tak memiliki cabang di daerah dan hanya memakai jasa calo untuk merekrut calon BMI/TKI,�ujar Rahim Sitorus. Selanjutnya calon BMI/TKI yang lolos seleksi melakukan tes kesehatan di Ultra Medika Surabaya dengan biaya 1 juta rupiah. Mereka yang lolos tes kesehatan tinggal menunggu waktu keberangkatan, sedangkan mereka yang belum memiliki paspor masih harus menunggu proses pembuatan paspor.

Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Total biaya penempatan yang harus ditanggung oleh masing-masing calon BMI/TKI berbeda-beda tergantung dari kelengkapan dokumen yang dimiliki oleh mereka. Calon BMI yang memiliki paspor ditarik 6 juta rupiah, sedangkan mereka yang belum memiliki paspor ditarik 7 juta rupiah. Paspor yang dibuatkan untuk tiap calon BMI/ TKI pun berbeda, ada yang dibuat 24 lembar dan ada yang dibuat 48 lembar. Calon BMI/TKI sudah harus membayar lunas biaya penempatan pada calo sebelum proses pemberangkatan tiba. Nahasnya ketika bertransaksi mereka tak diberi kwitansi atau alat bukti pembayaran apapun. Ketika tanggal pemberangkatan sudah dekat, calon BMI/TKI menunggu keberangkatan di Jakarta. Selama 5 hari di Jakarta mereka mengikuti kegiatan PAP, pembuatan KTKLN, dan pra asuransi. Menuju Jakarta calon BMI/TKI berangkat dari daerah masing-masing dengan biayanya sendiri. Pun ketika di Jakarta, meski di tampung di tempat penampungan PJTKI, mereka menanggung makanan sehari-harinya sendiri. Ketika proses PAP di BP3TKI Ciracas, petugas sempat tak memperbolehkan mereka mengikuti PAP lantaran calon BMI/TKI dari PT Farhan Al Syifa belum memiliki kontrak kerja dan surat perjanjian penempatan. Begitu pun ketika proses pembuatan KTKLN, petugas sempat tak memperbolehkan karena di dalam berkas tak ada kedua jenis surat tersebut. Salah seorang dari calon BMI/TKI PT Farhan Al Syifa ini kemudian menghubungi Abdi (perantara job dan yang mengurus segala sesuatu mengenai penempatan). Entah apa yang diobrolkan antara Abdi dan pegawai BP3TKI Ciracas via telepon, yang jelas mereka bisa mengikuti PAP dan mendapat KTKLN meski tanpa ada perjanjian kerja dan perjanjian penempatan.

Kejanggalan Penempatan BMI/TKI Qatar Calon BMI/TKI Qatar pada akhirnya menandatangani surat perjanjian penempatan dan perjanjian kerja dari PJTKI sesaat sebelum mereka naik pesawat menuju Qatar. Di sinilah letak kejanggalan penempatan itu. Seharusnya calon BMI/TKI sudah menandatangani surat perjanjian kerja dan perjanjian penempatan jauh-jauh hari


JEJAK KASUS sebelum diberangkatkan agar mereka sempat meneliti detail kedua surat tersebut. BMI/TKI tersebut tiba di Qatar pada 11 Oktober 2013 dan mulai bekerja pada 13 Oktober 2013. Selama satu setengah bulan mereka dipekerjakan sesuai dengan keterampilannya. Setelah satu setengah bulan berlalu, mereka tak lagi dipekerjakan sesuai keterampilan yang dimilikinya. Ada yang dipekerjakan untuk menyapu, mengumpulkan kardus, dan bersih-bersih lokasi proyek. Ketika mereka protes tak dipekerjakan sesuai keterampilan lagi, KNZ beralasan bahwa kondisi perusahaan sedang tidak baik dan pekerja migran Indonesia disuruh untuk menyelamatkan perusahaan. Janji-janji yang diutarakan oleh calo dan perwakilan KNZ ketika di Indonesia faktanya tak sesuai dengan kenyataan. Mereka yang tadinya diiming-imingi gaji 1700 riyal akhirnya hanya mendapat gaji 1400-1200 riyal saja. Mereka yang dijanjikan mendapat makanan sehari-hari khas Indonesia, akhirnya hanya mendapat makanan khas Nepal. Mereka yang dijanjikan mendapat jaminan kesehatan, akhirnya tetap menanggung separuh uang kesehatan ketika sakit di Qatar.

ansikan oleh PJTKI pada konsorsium Mitra TKI, kartu peserta asuransi (KPA) bersama dengan polisnya tak diberikan pihak PJTKI. Sebulan bekerja untuk KNZ, mereka belum juga dibayar upahnya. Masing-masing dari mereka hanya mendapat pinjaman 300 riyal untuk membeli pulsa. Pada bulan kedua bekerja, mereka baru dibayar dan gaji yang mereka terima pun hanya gaji satu bulan saja. Perlakuan tak adil semakin menjadi-jadi, BMI/ TKi yang tak masuk kerja dengan alasan apapun gaji akan dipotong 100 riyal/harinya. Pada bulan ke-3,4,5 mereka masih juga dipekerjakan tak sesuai dengan keterampilannya. Di bulan kelima mereka akhirnya di PHK dan dipulangkan dengan alasan KNZ sedang memiliki masalah. Pada 2 hari terakhir sebelum pemulangan pun mereka sempat tak diberi makan oleh pihak perusahaan. Mereka akhirnya melapor ke KBRI dan diberi bantuan mie instan gula, kopi, teh.

Selain ketidaksesuaian janji, BMI/TKI juga tak diizinkan untuk sembahyang pada jam-jam kerja. Kartoyo, koordinator BMI yang di PHK ini mengungkapkan bahwa jika merujuk pada aturan ketenagakerjaan di Qatar, sembahyang di saat jam-jam sembahyang boleh dilakukan. “Karena aturan dari perusahaan itu, seorang BMI asal Yogyakarta yang melaksanakan sembahyang disaat jam kerja malah dimarahi dan dipotong (cuting) gajinya 200 riyal oleh perusahaan,�ungkap Kartoyo. Sebagian dari BMI/TKI tersebut kemudian melapor pada KBRI Qatar. Entah apa yang dilakukan oleh KBRI Qatar, pada akhirnya mereka diperbolehkan untuk sembahyang saat jam-jam kerja. Kasus lainnya, BMI/TKI asal empat kabupaten di Indonesia itu tak diasuransikan di Qatar. Padahal mereka merupakan pekerja proyek bangunan yang rawan mendapat kecelakaan di tempat kerja. Meski di Indonesia mereka diasur-

Nisrina pegiat Pusat Sumber Daya Buruh Migran saat memeriksa dokumen BMI PHK Qatar yang akan mengurus klaim asuransi

Halaman 15 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014


LINTAS PERISTIWA Cilacap

Lima Tahun, Ratem Ditahan Majikan di Malaysia

N

asib buruk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih saja terjadi, kali ini menimpa Ratem (akrab dipanggil Ratna) seorang TKI asal Desa Widarapayung, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia. Selama lima tahun, tanpa alasan yang jelas, Ratem dilarang pulang oleh majikannya. Selain itu, Ia juga diperlakukan kasar dan sering dipukul oleh majikan. Mumtahanah (28) salah seorang keluarga Ratem menuturkan selama bekerja di Malaysia, Ratem sering mendapat kekerasan bahkan sampai mendapatkan pukulan ketika bekerja. Selama lima tahun bekerja, Ratem putus kontak dengan keluarga selama 3 tahun dan pada mei 2012 keluarga mendapat surat dari Ratem yang mengabarkan keinginan dirinya untuk pulang tetapi dilarang oleh majikan. Pihak keluarga merasa bingung untuk meminta bantuan siapa, kemudian keluarga menanyakan keberadaan Ratem pada PT yang memberangkatkan. Pihak PT tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah pengaduan pihak keluarga terkesan diabaikan. Ratem bekerja di Kuala Lumpur sejak 2009, majikannya bernama Mis Khaw dengan alamat Menara Duta 2 Blok B 16.17 no 20, jalan 1/38 segambut, Kuala Lumpur, Malaysia 51200. Wanita malang ini berangkat melalui PT GUNA DARMA AMANAH MANDIRI yang beralamat di Sunter Jakarta dengan direkrut Siti seorang calo TKI asal Desa Sidaurip Kecamatan Binangun Cilacap. Kini kasus tersebut telah dilaporkan ke Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenanga Kerja Indonesia (P4TKI) dan juga Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Kabupaten Cilacap senin (12/5/2014). Sampai saat ini kasus tersebut sudah masuk ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Malaysia, hal ini diketahui dari surat yang dikirim Dinsosnakertrans Cilacap kepada keluarga Ratem. Surat yang ditandatangi langsung oleh kepala Disosnakertrans Cilacap Kosasih ditujukan ke Halaman 16 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

Mumthahanah saat melaporkan kasus Ratem di Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenanga Kerja Indonesia (P4TKI) Cilacap

Atase Tenaga Kerja KBRI Malaysia dengan nomor surat 562/784/16, tertanggal 16/05/2014. Dalam surat tersebut juga telah dicantumkan tuntutan sesuai yang ditulis oleh Mumtahanah. Tuntutan tersebut yakni; 1. Agar Ratem Segera dipulangkan ke Cilacap agar bisa berkumpul dan merawat anak-anaknya 2. Dipenuhinya hak-hak sebagai seorang TKI (dibayarkan kekurang gajinya dengan penuh) 3. Majikan juga diproses secara hukum yang berlaku karena telah melarang pulang dan mengurung dirumah, serta sering melakukan tindakan kekerasan kepada Ratem. Keluarga Ratem melalui Forum Warga Buruh Migran Cilacap berharap KBRI Kuala Lumpur bisa membantu kasus tersebut. Selain mendesak agar Ratem segera bisa diselamatkan, keluarga juga mendesak agar hak-hak Ratem selama 5 tahun berkerja di Malaysia bisa dipenuhi majikan. “Kasus ini menunjukkan betul, bagaimana prilaku buruk PJTKI alias PPTKIS, maunya hanya menempatkan dan mengambil keuntungan dari TKI, namun tidak bertanggungjawab saat TKI ada masalah. Kini Kita tunggu saja apakah pemerintah bergerak untuk membantu?, jika tidak, maka akan kami pertanyakan apa bedanya mereka dengan PJTKI.� pungkas Khotibul Umam, Pegiat Forum Warga Buruh Migran Cilacap saat selepas mewawancarai keluarga Ratem.


LINTAS PERISTIWA Indramayu

Asuransi TKI Tati Belum Turun

T

ati binti Durakhman TKI Indramayu yang bekerja di Arab Saudi pulang dengan kondisi lumpuh akibat disiksa majikannya. Mengenai kondisi Tati ketika sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit Arab Saudi bisa dibaca di sini. DPN SBMI dan SBMI Indramayu dengan bantuan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) berhasil memulangkan Tati ke Indramayu. Pemerintah mengutus pengacara untuk melakukan negosisasi dengan majikan Tati di Arab Saudi. Tati mendapatkan hak atas gajinya. Ia mendapatkan hak gajinya dari majikan sebesar 50 ribu real. Negosisasi dengan majikan Tati menghasilkan kesepakatan bahwa majikan hanya akan membayar gaji Tati 50 ribu real dari 90 ribu real yang dituntut oleh pihak Tati. Ketika dipulangkan ke Indonesia, Tati sempat dirawat di RS Polri meski hanya satu hari dan kemudian di pulangkan ke Indramayu. Juwarih menyayangkan kenapa Tati dipulangkan dari RS Polri saat lumpuh dan luka-lukanya belum sembuh. Ini dibuktikan ketika Juwarih dari SBMI Indramayu mendatangi rumah Tati pada akhir April lalu, ia kaget dengan kondisi Tati yang memprihatinkan. “Kondisi kaki Tati masih lumpuh dan memiliki luka-luka di bagian punggung,�ujar Juwarih ketika dikonfirmasi melalui saluran telepon. Melihat kondisi itu, Tati kemudian dirujuk di RSUD Indramayu untuk diobati lagi. Juwarih berusaha mengetuk Dinsosnakertrans Indramayu agar mau membantu biaya pengobatan Tati. Tetapi Dinsosnakertrans Indramayu hanya mem-

Arab Saudi

Nasib BMI/TKI di Penjara Breman Saudi

A

da banyak BMI/TKI yang ditahan di penjara Breman, Jeddah, Arab Saudi. Salah satunya adalah Nurhayati, TKI yang pernah bekerja di Saudi menceritakan pengalamannya ketika ditahan di penjara Breman selama 8 bulan. Nurhayati yang tak melakukan kesalahan apapun difitnah dan dipenjara selama 8 bulan. Halaman 17 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

berikan rekomendasi ke BNP2TKI, membantu membuatkan KTP (Tati tak memiliki KTP), dan tanpa memberikan pertolongan langsung pada TKI Tati. Selang satu minggu dirawat di RSUD Indramayu yang menghabiskan dana kurang lebih 10 juta rupiah, Tati kemudian baru dirujuk ke RS Polri Jakarta. Sampai berita ini diunggah, klaim asuransi yang diajukan Tati belum ditanggapi. Menurut Juwarih, Ia dulu sempat mencari nama Tati di daftar asuransi online tetapi tak ditemukan namanya. Misalpun Tati tak diikutsertakan dalam asuransi itu bukan salahnya, tetapi salah PT. Rizka Berkah Guna yang menempatkan Tati ke Saudi Arabia. Juwarih berharap pada Pemerintah Kabupaten Indramayu agar memiliki program perlindungan bagi buruh migran sehingga ketika ada kasus seperti Tati, langkah dan kebijakan yang diambil sudah tertata. Pasalnya Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang terkenal sebagai kantong-kantong TKI di Jawa Barat.

Tati Binti Durakman (tengah), TKW asal Indramayu yang lumpuh karena penganiayaan majikan di Arab Saudi saat dirawat di RSUD Indramayu

Nurhayati semula akan dikenai hukuman cambuk karena fitnah yang dituduhkan padanya. Beruntung suaminya orang Yaman berhasil membuktikan bahwa mereka telah menikah. Hal itu dibuktikan dengan surat nikah keduanya, akhirnya Mahkamah pun tak menjatuhkan hukuman cambuk. Menurut Nurhayati ada banyak BMI/TKI masuk penjara Breman karena tuduhan mencuri, jual diri, tanazul, dan pembunuhan. Padahal tak semua BMI/TKI melakukan kejahatan-kejahatan tersebut karena banyak juga dari mereka yang korban fitnah.


LINTAS PERISTIWA “Sekarang ada banyak kasus BMI/TKI yang masuk penjara Breman karena tanazul,”ujar Nurhayati. Tanazul ialah pindah majikan, BMI/TKI yang tidak cocok dengan majikan pertama bisa pindah majikan dengan cara tanazul. Majikan yang tak terima dengan cara tanazul sering memperkarakan ke pengadilan dengan tuduhan-tuduhan palsu. Nurhayati juga menceritakan mengenai keluh kesah yang dialami kawan-kawannya dulu di penjara Breman. “Kita yang berada di dalam penjara juga manusia jangan disia-siakan seenaknya. Jangan dicaci maki seperti orang tolol yang tidak tahu apa-apa. Pemerintah kita harus belajar mengurus kasus pekerja migran yang berada di penjara dari negara Filipina,”ujar Nurhayati. Nurhayati berharap agar pemerintah Indonesia memantau dengan baik BMI/TKI yang masuk penjara Breman. Menurutnya tak semua BMI/TKI yang masuk masuk penjara di Jeddah tersebut bersalah

seluruhnya. Ada kasus BMI/TKI yang dituduh melakukan sihir oleh majikannya, padahal nyatanya tak melakukan apa-apa dan tetap ditahan di penjara Breman. Kondisi tahanan yang ada di penjara Breman juga luput dari pengawasan pemerintah Indonesia. Nurhayati bercerita mengenai tetangganya yang berada di penjara Breman sakit-sakitan sampai kakinya bengkak. Seorang kenalannya di penjara bernama Rosita binti Idi juga sakit-sakitan karena dijebloskan oleh majikan baru terkait kasus tanazul. Nurhayati berharap agar pemerintah lebih serius dalam mengawal dan membantu mereka yang berkasus di penjara Breman karena tak semuanya bersalah. “Tolong semaksimal mungkin pemerintah mengawal kasus BMI/TKI yang ada di penjara Breman, karena mereka juga ingin bertemu sanak saudaranya kembali di Indonesia,”kata Nurhayati.

Hong Kong

Kartika BMI Hong Kong yang Pernah Disiksa Majikannya

D

ihubungi secara terpisah melalui Whatsapp, Konjen RI di Hong Kong, Chalif Akbar mengatakan, “Kami selalu memberikan pendampMinggu (25/4), Kartika Puspitasari, BMI Hong Kong yang mengalami penyiksaan dan dikurung selama satu minggu di dalam kamar mandi tanpa air dan makan datang ke Victoria Park di markas organisasi Wanodya Indonesia Club. Ia menceritakan kejadian yang menimpanya saat bekerja di rumah majikan yang tidak menggajinya selama dua tahun lebih. Kartika juga memperlihatkan bekas luka-luka di tubuhnya. Salah satunya adalah bekas luka di bagian lengan yang diiris dengan silet. Bekas luka tersebut terlihat seperti daging tumbuh dari dalam. Saat ditanya apa yang dirasakannya saat itu, ia menjawab bahwa perlakuan kasar dan penyiksaan itu kerap diterimanya hampir setiap hari. Saking seringnya disiksa, hingga kini ia sering tak merasakan apa-apa (kebal atau mati rasa) pada bekas lukanya. Sementara itu kawan-kawan BMI yang ikut mendengarkan cerita Kartika terlihat tegang dan geram. Bahkan beberapa dari mereka ada yang terlihat berkaca kaca seperti ikut merasakan sakit Halaman 18 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

yang dialami Kartika waktu itu. Lantas apa yang membuatnya punya keberanian untuk lari? Kartika menjawab hati-hati sekali, seperti kembali pada kejadian waktu itu, “Saya diancam gigi saya akan dirontokkan,” jelasnya. Menanggapi kekalahan kasusnya di pengadilan Hong Kong, ia tetap optimis akan menuntut banding. Sidang lanjutannya akan digelar tanggal 9 juni di Jordan, pukul 9.30. “Itu adalah sidang penentuan buat saya, berharap sekali lagi bisa mendapatkan gaji saya yang tak dibayar selama dua tahun lebih,” begitu harapnya. Sementara Ryan Aryanti, ketua dari organisasi Wanodya Indonesia Club mengajak kawan-kawan


LINTAS PERISTIWA untuk memberikan dukungan terhadap Kartika. Ia berharap kawan-kawan BMI bisa keluar pada hari persidangan Kartika untuk mensuport Kartika agar ia tak merasa sendirian. Mega Vriestian, salah satu koordinator Solidaritas Untuk Kartika (SOLIKA) membuat penggalangan dana terbuka untuk Kartika. Selama menunggu persidangan, sesuai peraturan, Kartika tidak diperbolehkan untuk bekerja. Penggalangan dana itu dilakukan untuk membantu keluarga Kartika di tanah air. ingan bagi mbak Kartika dan juga menghormati proses hukum pemerintah Hong Kong,” terangnya. Setelah mendapat balasan dari Konjen tentang kasus Kartika, kawan-kawan buruh migran yang

tergabung dalam Aliansi Migran Progresi (AMP) dan massa luas mengirimkan sms tuntutan kepada KJRI agar mengupayakan pembelaan maksimal serta upaya naik banding. Selain itu juga KJRI harus menjamin Kartika mendapatkan hak gaji dan hak-hak lainnya. Namun sejauh mana pendampingan itu dilakukan oleh KJRI? Pendampingan yang dilakukan kasus perkasus hanya akan menjadi tambal sulam bagi permasalahan yang menimpa BMI. Pemerintah Indonesia sepertinya tidak mau belajar dari apa yang terjadi, bahwa kasus-kasus yang ada adalah akibat dari kebijakan-kebijakan yang bukan menjadi kebutuhan dasar buruh migran yang masih tetap diberlakukan.

Jakarta

Mantan ABK Tuntut Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188

S

ebanyak 74 mantan ABK yang sempat ditahan di penjara Afrika Selatan dan tidak dibayar gajinya menuntut pengesahan Konvensi ILO nomor 188 tentang Work in Fishing. Mengenai penuntutan ratifikasi tersebut terjadi karena pemerintah Republik Indonesia belum mempunyai aturan khusus penempatan dan perlindungan pelaut perikanan atau ABK nelayan. Adanya kekosongan hukum menyebabkan kerugian bagi ABK nelayan karena tak sedikit diantaranya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan modern. Menurut Bobi AM, Sekjen SBMI, UU No 39 tahun 2004 hanya mengatur tentang penempatan dan perlindungan buruh migran di darat. Sedangkan buruh migran di laut tidak diatur dalam undang-undang ini juga. “Begitu pun yang terjadi pada UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang tidak mengatur buruh migran ABK nelayan,”ujar Bobi AM ketika berdiskusi dengan para ABK di sekretariat DPN SBMI. Satu-satunya aturan yang khusus mengatur ABK nelayan adalah Peraturan Kepala BNP2TKI PER.03/ KA/I/2013 tentang Penempatan dan Perlindungan Pelaut Perikanan yang terbit pada Januari 2013. Namun aturan kepala BNP2TKI tersebut dinilai Bobi tidaklah cukup karena aturan tersebut dibuat hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Selain itu adanya aturan itu juga bentrok dengan pembagian kewenangan, Kemenakertrans sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai pelaksana seperti

Halaman 19 | Warta Buruh Migran | Edisi Mei 2014

yang diamanatkan dalam Permenakertrans No 14 tahun 2010. Erna Murniaty, Ketua Umum DPN SBMI membandingkan peraturan tentang penempatan buruh migran di Filipina lebih komprehensif jika dibandingkan dengan peraturan di Indonesia. Peraturan di Filipina mengenai penempatan buruh migran sudah dibagi menjadi dua, yakni berbasis darat dan laut. “Di Indonesia aturan penempatan buruh migran lebih banyak mengatur di darat dan ini sangat njomplang dengan sebutannya sebagai negara maritim,”ujar Erna. Menurut data BNP2TKI yang tertuang dalam PER.03/KA/I/2013, masalah gaji, perjanjian kerja, kompetensi kerja yang rendah, menjadi beberapa masalah pokok yang sering dialami oleh ABK nelayan. Rizky Oktaviana, Koordinator ABK Afsel, berharap pemerintah yang berkuasa nanti peduli dengan nasib ABK Nelayan baik sekarang atau ke depan.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.