Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan
EDISI 1| Agustus 2015
OPINI Merayakan UU Desa Bersama Desa Adat
PERSPEKTIF Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa
pembaharuan dari desa
KISAH Peta Apresiatif dan Indikator Kesejahteraan Lokal sebagai Titik Tolak Pembangunan Desa
WAWANCARA Farid Hadi Rahman
Saatnya Desa Menjadi Subyek Yando Zakaria Pentingnya Pendidikan Berdesa
CATATAN PENGETAHUAN Perluasan Penerapan Peta Kesejahteraan Lokal Desa di Kabupaten Wonosobo Perempuan Pembaharu Desa: Maju Memberdayakan Diri dan Lingkungan
Potensi Desa
Pemetaan
Aset
Penerapan Keterbukaan Informasi dan Transparansi Keuangan Desa di Kabupaten Malang
PANDUAN KEBIJAKAN Peluang dan Tantangan Desa
BERITA DESA Banjarnegara Musyawarah Desa Jatilawang Rancang BUMDesa Takalar Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa Wonosobo Forum Kesehatan Desa Keseneng: Mendorong Pelayanan Kesehatan Warga Malang Inovasi dan Potensi Desa Jambearjo Malang
LAPORAN UTAMA
Membangun Kesiapan, Wujudkan Kesejahteraan
pembaharuan dari desa REDAKSI Penanggungjawab: Muhammad Irsyadul Ibad Redaktur: Budhi Hermanto Farid Hadi Rahman Redaktur Pelaksana: Sofwan Hadi; A. Pambudi Anggota Tim Redaksi: Alimah; Frisca Nilawati; Ninik Handayani; Borni Alan;
Pengantar Redaksi
Ananto Sulistyo; Khayat Kontributor Daerah: Edi Purwanto; Syahribulan
Salam jumpa dan salam kenal para pembaca..
Editor Heru Prasetya Tata Letak dan Ilustrasi : Akbar Binbachrie (KAF media) ALAMAT REDAKSI Warungboto UH IV/734
Untuk pertama kalinya Merdesa hadir menyapa Anda. Layaknya perkenalan, nama menjadi hal penting untuk diulas. Apa dan mengapa Merdesa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Merdesa berarti layak; patut; sopan; beradab. Merdesa juga kerap dipakai sebagai salam para pejuang desa: Merdeka Desa.
Umbul Harjo Yogyakarta Telp: 0274 417004 Email: office@infest.or.id Portal: www.sekolahdesa.or.id twitter: @sekolahdesa
Diterbitkan oleh :
Didukung oleh : Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan
Majalah ini dikembangkan dan diterbitkan oleh INFEST dengan dukungan dari Program Maju Perempuan Indonesia Untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU). Program Mampu merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan. Informasi yang disampaikan dalam majalah ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab tim penyusun dan tidak serta merta mewakili pandangan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Australia.
Kami sendiri memaknai Merdesa dalam dua pengertian. Pertama, Merdesa menyiratkan semangat kolektivitas masyarakat dan kekuatan sosial di desa. Kebersamaan masyarakat desa telah lama tumbuh dan terus hidup hingga saat ini, seperti gotong royong dan kemandirian. Kedua, Merdesa juga menyiratkan semangat kolektivitas desa dalam konteks bernegara, seperti keterbukaan, bertanggungjawab, demokratisasi, dan inklusif. Tema-tema seputar perdesaan kami sajikan sebagai ikhtiar kami untuk turut serta dalam mewujudkan desa yang kuat dan mandiri. Untuk edisi perdana ini, kami memilih tema “Merayakan Undang-undang Desa.” Perjuangan panjang seluruh elemen, mulai dari pemerintah desa, aktivis, akademisi, para pegiat masyarakat sipil, hingga pemerhati desa telah mewujudkan “kemenangan” saat pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemenangan tersebut patut dirayakan. Namun demikian, perayaan tidak harus dipahami sebagai pesta atau luapan kegembiraan yang bersifat sementara. Merayakan kemenangan dalam konteks perjuangan sudah sepantasnya disambut dengan kesiapan. Karena itulah kami menyuguhkan tulisan pembuka berjudul “Membangun Kesiapan, Mewujudkan Kesejahteraan” untuk menggugah kesiapan kita dalam menerapkan UU Desa. Selamat membaca.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.
LINTAS DESA
1
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Wonosobo
Desa Lengkong Kembangkan Potensi Wisata Desa Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo sedang mengembangkan potensi pariwisata untuk olahraga paralayang. Wilayah Kabupaten Wonosobo memang terkenal dengan pariwisata alam dan budaya, begitu pula dengan Desa Lengkong. Menurut Kepala Desa Lengkong, Sahro Sigit Raharjo, Desa Lengkong dianugerahi pemandangan alam yang apik dan udara yang sejuk. Wilayah desa yang terletak di ketinggian 1.294 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini diapit oleh tiga gunung, yakni Gunung Arum, Gunung Sindoro, dan Gunung Kembang. [] Wonosobo
Wonosobo Siapkan Rencana Aksi Menuju Desa Mandiri
Wonosobo
Desa Gondang Menggali Indikator Kesejahteraan Lokal
Tim Pembaharu Desa Gondang, Kecamatan Watumalang menggali indikator kesejahteraan lokal bersama seluruh elemen masyarakat dalam temu warga, Kamis (30/7/2015). Temu warga kali ini dihadiri oleh 73 orang. Selain Tim Pembaharu Desa dan Pemerintah Desa Gondang, kegiatan temu warga ini juga diikuti oleh Ketua RT, RW, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), PKK, Fatayat, Muslimat, dan beberapa elemen lainnya. Dalam temu warga yang dipandu oleh Toni, salah satu kader Pembaharu Desa Gondang, mampu menggali sembilan indikator kesejahteraan lokal antara lain pendapatan/penghasilan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan, kepemilikan aset lain, kepemilikan kendaraan, kepemilikan hewan ternak, dan keluarga harmonis. [] Malang
Sebagai bagian dari implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo telah menyiapkan rencana aksi “Menuju Desa Mandiri” sejak 2014 . Hal tersebut disampaikan oleh Plt Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermasdes) Kabupaten Wonosobo Drs Amin Suradi dalam pembahasan rancangan nota kesepahaman program Penguatan Kapasitas Pemerintahan Desa dan Kelompok Perempuan untuk Pembangunan di Desa antara Pemkab Wonosobo dengan Infest Yogyakarta, Kamis (26/3/2015). []
Desa Jambearjo menjadi Tempat Belajar 40 Kepala Desa
Malang
Desa Tunjungtirto Melanjutkan Kinerja Tim Sebelas Kegiatan “in house training” di Desa Tunjungtirto, (4/7/2015), di Balai Desa Tunjungtirto Kabupaten Malang. Pertemuan yang diadakan bersamaan dengan buka puasa bersama ini diikuti oleh 20 orang yang terdiri dari pemerintah desa, kader desa, tokoh PKK, LPMD, BPD, dan Karang Taruna Desa Tunjungtirto. Kegiatan bertujuan pendalaman dan kajian terhadap aset dan potensi desa. Tim aset desa telah bertugas mengidentifikasi seluruh aset yang ada di Desa Tunjungtirto. Pemerintah Desa Tunjungtirto sendiri telah membentuk Tim Sebelas yang terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat dan unsur dari pemuda. []
Kamis (9/4/2015) Desa Jambearjo menjadi ruang belajar para kepala desa di Jawa Timur. Menurut Endang Sri W, selaku Kepala Bidang Diklat Fungsional Provinsi Jawa Timur, kunjungan ke Desa Jambearjo menjadi proses pembelajaran dalam rangka penguatan kepala desa. Endang menambahkan, Desa Jambearjo memiliki beragam potensi yang bisa menjadi bahan rujukan dan inspirasi bagi desa lainnya. “Harapannya ada nilai positif yang bisa diambil oleh para peserta (kepala desa) yang bisa diimplementasikan di wilayahnya,” terang Endang. []
2
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Takalar
Malang
Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa
Desa Kucur Bentuk Tim untuk Mengawal Perdes Aset Desa
Dok. Infest
Rabu (8/4/2015), bertempat di Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, digelar diskusi penyusunan regulasi kabupaten untuk implementasi Undang-undang (UU) Desa. Diskusi kali ini digelar untuk memetakan regulasi yang perlu dipersiapkan di tingkat Kabupaten untuk implementasi UU Desa. Dalam diskusi kali ini muncul beberapa kebutuhan regulasi di tingkat kabupaten yang dibutuhkan oleh desa. Regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum implementasi UU Desa, antara lain Perbup tentang Kewenangan Desa, Perbup tentang Perencanaan Desa Perbup tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Perbup tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang meliputi Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Retribusi, besaran alokasi dan mekanisme penyaluran Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), serta Penghasilan Tetap (Siltap) Perangkat Desa. []
LINTAS DESA
Desa Kucur, Kecamatan Dau membentuk tim untuk mengawal data dan aset desa menjadi dokumen desa hingga Peraturan Desa (Perdes). Pembentukan tim bersamaan dengan kegiatan “In house training” pemetaan aset Dok. Infest dan potensi desa (5/6/2015). Tim diketuai oleh Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kucur, Sangaji. Anggota tim berjumlah 20 orang. Tugas pertama mereka ialah merapikan data dan potensi aset desa. []
Yogyakarta
Temu Kader Pembaharu Desa
Takalar
Dok. Infest
Sosialisasi UU Desa di Kabupaten Takalar
Para kader Pembaharu Desa dari lima kabupaten yakni Banjarnegara, Malang, Wonosobo, Poso, dan Takalar saling bertukar pengalaman dan pembelajaran dalam Temu Kader Pembaharu Desa bertajuk “Desa Mandiri Menuju Kabupaten Impian”, (25-27/5/2015). Selama tiga hari, para kader Pembaharu Desa menajamkan mimpi dan strategi untuk mewujudkan desa mandiri. Selain itu, para kader Pembaharu Desa dibekali pengetahuan dan kemampuan untuk mengorganisir diri serta warga di desanya. []
Dok. Infest
Senin (2/3/2015), Infest Yogyakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menggelar sosialisasi Undang-undang Desa (UU Desa) bertajuk “Menempatkan Desa sebagai Ujung Tombak Pelayanan Publik”. Acara yang berlangsung di Gedung PKK Kabupaten Takalar ini dibuka langsung oleh Bupati Takalar, DR. H. Burhanuddin Baharuddin, SE, M.Si. Dalam sambutannya, Burhanuddin menekankan pentingnya keselarasan perencanaan antara desa dengan daerah. “Perencanaan kabupaten tidak boleh bertentangan dengan perencanaan desa,” tegasnya di hadapan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), para Kepala Desa, dan Kader Kabupaten Takalar. []
Yogyakarta
Lokakarya Tata Kelola Keuangan Desa Infest Yogyakarta menggelar lokakarya bertajuk “Tata Kelola Keuangan Desa” (910/3/2015). Menurut Muhammad Khayat selaku Koordinator Tim Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Infest Yogyakarta, lokakarya ini bertujuan untuk memetakan beberapa regulasi Dok. Infest tata kelola keuangan dan memahami alur pengelolaan keuangan berdasar kewenangan desa pasca UU Desa. Dengan demikian, diharapkan ada pengetahuan dasar tentang pengelolaan keuangan desa pasca UU Desa. Acara yang diselenggarakan selama dua hari ini dihadiri oleh perwakilan tiga desa yakni Lengkong (Wonosobo), Panggungharjo (Bantul), dan Wiladeg (Gunung Kidul). Hadir sebagai pembicara Yusuf Murtiono dan Mustika Aji dari Formasi, Kebumen. []
LINTAS DESA
3
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Poso
Yogyakarta
Pembukaan Sekolah Perempuan di Poso
Perempuan dan Pembangunan Desa
Sekolah Perempuan di Kabupaten Poso mulai digelar, bertempat di Institut Mosintuwu (13/4/2015). Pembukaan Sekolah Perempuan ini pun dihadiri oleh anggota DPRD Kabupaten Poso. Melalui Sekolah Perempuan ini, tema Kepemimpinan Perempuan dalam Reformasi Pemerintahan Desa menjadi fokus utama. Pada Dok. Infest pertemuan awal, para perempuan dari tiga desa (Trimulya, Didiri, dan Dulumai) belajar tentang perencanaan dan penganggaran desa yang berkeadilan jender. “Ketika ibu-ibu mendapatkan ilmu, mari kita bersama membangun desa,” ujar Yoksan, selaku Sekretaris Desa Dulumai. []
Yogyakarta
Mengawal Dana Hingga ke Desa Rabu (12/8/2015) bertempat di Bangsal Kepatihan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta warga desa dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dan berbagi dalam dialog "Mengawal Dana Hingga Ke Desa". Dialog ini diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK-RI) bekerjasama dengan Jaringan Radio Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Dok. Infest dan Forum Desa Nusantara (FDN), jaringan gerakan pembaharuan desa terdiri organisasi masyarakat sipil di Indonesia, akademisi, pegiat informasi dan media, serta warga desa di seluruh Indonesia. Hadir sebagai pembicara Arifin Nata, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri dan Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, dan Johan Budi, Komisioner KPK RI. "Dialog ini sengaja dilaksanakan di Jogja karena Jogja adalah wilayah yang telah lebih siap dalam implementasi UU desa," kata Johan Budi Sapto Pribowo, membuka dialog. Selain itu, Johan juga mengungkap beberapa potensi persoalan korupsi dari kajian KPK terhadap UU Desa. "Salah satunya adalah tentang pengawasan, tidak optimalnya sarana pengaduan masyarakat," kata Johan. []
Dok. Infest
Proses pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk terlibat. Sehingga kebijakan pembangunan desa mempunyai visi keadilan gender dan inklusif. Hal tersebut muncul saat diskusi pembahasan modul Sekolah Perempuan, Sabtu (2/5/2015). Arrum Widyatasari dari Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria (KARSA) mengungkapkan pentingnya pengetahuan tentang pasal-pasal dalam UU Desa yang membuka partisipasi. Lian Gogali dari Institut Mosintuwu Poso mengisahkan cara sekolah perempuan di Poso belajar dari pengalaman. Misalnya, dalam memahami UU Desa, para perempuan menuliskan sendiri bagaimana pengalaman mereka dalam musyawarah desa. [] Takalar
Lokakarya Keterbukaan Informasi Publik di Kalukubodo
Dok. Infest
Banjarnegara
Menemukenali Aset dan Potensi Desa Jatilawang Jumat (5/06/2015), para kader Sekolah Perempuan di Desa Jatilawang berkumpul untuk melakukan pemetaan apresiatif desa. Para kader Pembaharu Desa yang sebagian besar ibu-ibu, belajar memetakan aset dan potensi desa mereka. Dalam Dok. Infest pertemuan tersebut hadir pula perwakilan dari Pemerintah Desa (Pemdes) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Jatilawang. Mereka mengapresiasi adanya Sekolah Perempuan dan pemetaan aset desa karena bertujuan menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera. “Saya sangat berharap peran dan keikutsertaan seluruh perempuan Desa Jatilawang demi kemajuan dan tercapainya tujuan desa, yakni menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera,” ujar Gunawan, perwakilan BPD Jatilawang. []
Informasi menjadi salah satu kebutuhan manusia. Ketersediaan informasi penting dalam pengambilan keputusan oleh individu ataupun kelompok masyarakat. Informasi yang tepat akan menghasilkan keputusan yang tepat pula. Sebaliknya, keterbatasan informasi akan menghambat pengambilan keputusan dan pengembangan diri. Pada Rabu hingga Jumat (12-14/8/2015), diselenggarakan lokakarya Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh 20 kader Pembaharu Desa Kalukubodo. Hadir sebagai pembicara Mujtaba Hamdi (MediaLink) dan Yudi Setiyadi (Komunitas Pena Desa). Masing-masing menyampaikan pengetahuan tentang KIP dan Jurnalisme Warga. []
4
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
LAPORAN UTAMA
MEMBANGUN KESIAPAN WUJUDKAN KESEJAHTERAAN
Disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi tonggak sejarah baru bagi seluruh desa di Indonesia. Bukan karena nilai dana desa yang menggiurkan, tetapi melalui UU ini, desa menemukan muruahnya kembali. Setelah lebih dari tiga dekade menjadi obyek pembangunan, kini desa menjadi subyek pembangunan.
D
alam sebuah diskusi di Universitas Andalas, Januari 2014, Yando Zakaria pegiat Lingkar Pembaharu Desa dan Agraria (KARSA) sekaligus mantan anggota Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa, mengungkapkan bahwa UU Desa merupakan UU pertama pasca-pencabutan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sesuai amanat Reformasi. Semangat Reformasi, menurutnya, bisa terpenuhi apabila mampu mewujudkan tiga hal, yakni pengakuan hak asal-usul, istimewa di hadapan hakhak negara, dan keberagaman. Hal senada juga diungkapkan oleh Farid Hadi dari Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD). Menurutnya, UU Desa memberikan landasan hukum bagi desa untuk menggenggam kembali kewenanganya dalam mengelola aset, potensi, dan anggaran demi kesejarahteraan. Salah satu penyebab kenapa desa lambat berkembang, salah satunya karena desa tidak mempunyai kewenangan dalam
mengelola aset serta anggaran. “Kondisi tersebut menyebabkan 63 persen kemiskinan di desa,� ujarnya dalam sebuah lokakarya tentang UU Desa, Senin (2/3/2015). Selain itu, UU Desa juga menegaskan pengakuan negara terhadap keberagaman desa. Menurut Farid, dari latar sosio-historis desa sudah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Di sana juga terdapat kesatuan masyarakat adat yang telah ada dengan sebutan lain seperti gampong, nagari, lembang dan lain sebagainya. UU Desa juga mengembalikan kewenangan desa dalam konsolidasi dan reformasi tata kelola keuangan, perencanaan pembangunan dan demokratisasi desa. Pengakuan terhadap kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan NKRI mengandung asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas rekognisi berarti pengakuan terhadap hak asal usul. Sementara, asas subsidiaritas berarti pengakuan terhadap kewenangan
LAPORAN UTAMA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Pentingnya Kesiapan Daerah Berlakunya UU Desa seyogyanya juga direspons aktif oleh pemerintah daerah. Menurut Frisca Arita Nilawati, selaku Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, pemerintah kabupaten idealnya lekas menyiapkan regulasi sebagai payung bagi desa dalam menerapkan UU Desa. Peraturan tersebut berupa Peraturan Bupati. Peraturan di tingkat kabupaten inilah yang akan menjadi payung hukum bagi pemerintah desa dan menetapkan Peraturan Desa (Perdes). Setidaknya ada empat Peraturan Bupati yang wajib disediakan oleh pemerintah kabupaten untuk mengimplementasikan UU Desa, yakni Peraturan Bupati tentang Perencanaan Desa; Peraturan Bupati tentang Pengelolaan Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi; Peraturan Bupati tentang Penghasilan Tetap, Tunjangan Kepala Desa dan Perangkat; serta, Peraturan Bupati tentang Pengadaan Barang dan Jasa. “Kalau (peraturan bupati) tidak disediakan, untuk desa menjadi satu persoalan di kemudian hari apabila ada pengawasan dari luar desa. Sebab, dalam setiap peraturan, selalu dilihat dasar hukumnya,” terang Frisca. Hal senada juga diungkapkan oleh Mustika Aji dari Formassi Kebumen. Dalam sebuah lokakarya tentang tata kelola keuangan desa, pertengahan Maret lalu, Aji menggarisbawahi pentingnya peraturan bupati tentang kewenangan desa. Menurutnya, peraturan tentang kewenangan desa seharusnya menjadi yang paling utama. Sebab, dalam UU Desa, kewenangan menjadi titik tolak perencanaan program desa. Sehingga, program yang direncanakan oleh desa tidak melampaui batas kewenangan yang seharusnya. “Dalam menyusun kewenangan desa, harusnya daerah ataupun kabupaten harus melibatkan desa. Yang tahu desa ya orang desa, yang tahu asal-usulnya. Tidak ada jalan lain, percepat peraturan kewenangan desa,” tegas Aji.
5
ju ga p e rlu me n je la sk a n se rta me mfa si li ta si perencanaan desa karena dalam peraturan yang baru terdapat banyak hal yang berubah, terutama mengenai kewenangan desa. Bagi pemerintah desa yang akan menjabat tentu diperlukan perencanaan yang baru. Sementara, bagi kepala desa yang sudah berjalan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) perlu ditinjau kembali dan disesuaikan. Di sinilah posisi strategis kecamatan dalam memfasilitasi desa, khususnya dalam pembinaan dan pengawasan. Sementara itu, Frisca menambahkan, pemerintah desa juga harus bisa memperkuat diri dan melakukan advokasi kebijakan. Dalam memperkuat diri, desa dituntut mandiri dan aktif mencari informasi serta belajar segala hal yang berhubungan dengan UU Desa. Pengetahuan tidak hanya di level pemerintahan desa tetapi juga seluruh entitas yang ada di desa. Dalam mengadvokasi kebiijakan, desa bisa menggalang kekuatan dengan desa lain untuk mendorong pemerintah daerah atau kabupaten menyediakan regulasi yang dibutuhkan. Lantas, bagaimana jika pemerintah kabupaten belum menyiapkan peraturan tentang kewenangan desa? Bagaimana caranya? Desa bisa melakukan terobosan dengan mengidentifikasi kewenangannya. Syaratnya, pemerintah desa harus membuka seluas-luasnya ruang partisipasi warga dalam musyawarah desa. Hal tersebut menjadi kunci demokratisasi di tingkatan desa serta membantu pemerintah desa dalam mengidentifikasi kewenanganya. Musyawarah desa harus melibatkan semua elemen warga mulai dari perempuan, pemuda, dan berbagai lembaga kemasyarakatan di desa. “Ini semangat yang didorong, selain kewenangan dan alokasi anggaran, proses musyawarah dan partisipasinya menjadi syarat utama,” terang Frisca.
Di samping regulasi yang harus dipersiapkan, kabupaten
“Dalam menyusun kewenangan desa, harusnya daerah ataupun kabupaten harus melibatkan desa. Yang tahu desa ya orang desa, yang tahu asal-usulnya. Tidak ada jalan lain, percepat peraturan kewenangan desa,” tegas Aji. Menyusun Peta Apresiatif Desa ( Dok. Infest)
6
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
LAPORAN UTAMA
Peta potensi Desa Gentasari disusun berdasarkan hasil identifikasi (Dok. Infest) Kader Pembaharu Desa Gentasari menyusun peta aset dan potensi desa. (Dok. Infest)
Kesiapan Menyambut Implementasi UU Desa Setahun setelah ditetapkannya UU Desa, semua desa mulai bersiap. Dana desa sebesar Rp 20,7 triliun akan dicairkan dalam tiga tiga tahap untuk 74 ribu desa di Indonesia. Untuk yang satu ini, hampir semua desa telah menyiapkan dokumen-dokumen RPJMDesa, Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) sebagai syarat pencairan dana desa. Mekanisme pencairan dana desa juga didukung dengan Peraturan Bupati tentang besaran dan mekanisme pembagian dana desa sebagai payung hukum. Pada 2014, Pemerintah Kabupaten Wonosobo telah bersiap-siap dengan menyusun “Rencana Aksi Menuju Desa Mandiri.” Rencana aksi tersebut menjadi panduan kerja antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan pemerintah desa di kabupaten tersebut untuk mewujudkan desa yang mandiri. Komponen dalam rencana aksi tersebut meliputi penyiapan pengalokasian dan penyaluran dana desa, perencanaan, penganggaran, mekanisme tata kelola pemerintahan desa, pengelolaan aset masyarakat, hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Amin Suradi yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wonosobo menerangkan bahwa tahun 2015 menjadi masa transisi implementasi UU Desa di Wonosobo. Rencananya, pada 2016, desa-desa akan mantap untuk implementasi UU Desa. “Selain sosialisasi, pemerintah kabupaten juga berusaha memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan desa dalam menyambut implementasi UU Desa,” terang Amin yang saat ini menjabat sebagai Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan.
Sejak awal 2015, sebagai bagian dari rencana aksinya, pemerintah Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan Infest Yogyakarta menyelenggarakan Sekolah Pembaharuan Desa. Kegiatan ini menjadi media belajar rutin bagi perangkat desa dan masyarakat tentang isuisu yang berhubungan dengan desa. Sekolah Pembaharuan Desa juga dirancang untuk memunculkan aktor-aktor organik dari desa yang disebut Tim Pembaharu Desa. Tim yang terdiri dari pemerintah desa, kader desa, serta masyarakat ini akan menjadi mitra pemerintah desa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa berbasis potensi dan aset. Sebagai purwarupa, Sekolah Pembaharuan Desa dilakukan di tiga desa, yakni Desa Gondang, Tracap, dan Wulungsari. Selama satu tahun, aparat pemerintah, kader, dan masyarakat desa mengidentifikasi aset dan potensi desa. Mereka juga menyusun sendiri ukuran kesejahteraan lokal sebagai acuan dalam programprogram pembangunannya. Kemudian menyusun perencanaan pembangunan desa yang berbasis pada potensi dan aset desa. Desa juga mempunyai peta sosial yang berisi informasi detail tentang jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan, hingga potensi-potensi yang dimiliki. Hal serupa juga mulai dilakukan di beberapa kabupaten seperti Banjarnegara, Malang, Poso, dan Takalar. Tahun ini, Infest Yogyakarta bekerja bersama dengan lima belas desa di lima kabupaten, termasuk Wonosobo, mulai mempersiapkan diri untuk menjadi desa mandiri. Proses dimulai dengan memahami hak dan kewenangan desa dalam UU Desa serta peraturan-peraturan turunannya hingga mengindentifikasi aset dan potensi desa sebagai basis perencanaan pembangunan desa. [Sofwan]
OPINI
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
7
Merayakan UU Desa Bersama Desa Adat oleh: Borni Kurniawan*
Tahun ini adalah titik awal pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Ibarat merayakan sebuah kemenangan, implementasi UU Desa mendapat sambutan luar biasa dari banyak pihak. Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah melahirkan kementerian yang secara khusus mengelola kebijakan dan program yang berorientasi pencapaian desa mandiri, sejahtera dan demokratis. Tidak hanya itu, amanat UU Desa tentang transfer fiskal dari pusat ke desa yang disebut Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) juga siap diluncurkan.
T
erkait dengan rencana pemerintah tersebut, saat ini desa-desa sedang bergerak memenuhi berbagai prasyarat pencairan DD dan ADD. Sebagaimana digariskan dalam UU Desa, desa harus memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Demi memenuhi prasyarat tersebut, beberapa pemerintah kabupaten dan desa membangun kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan pembuatan RPJMDesa dan APBDesa. Desa-desa di Kebumen, Wonosobo, Banjarnegara, Sleman,
Gunungkidul, Magelang, dan beberapa desa di kabupaten lain sudah siap dengan dokumen perencanaan dan penganggaran. Membaca sekilas upaya-upaya penguatan kapasitas dalam rangka menyambut pencairan DD dan ADD di atas menyiratkan sebuah proses pereduksian UU Desa. Pemaknaan UU Desa menjadi sempit karena hanya berkutat pada perencanaan pembangunan dan keuangan untuk desa dinas atau administratif saja. Padahal ada sisi lain dari amanat UU Desa yang perlu mendapat perhatian serius yaitu asas rekognisi. Asas ini merupakan pengakuan negara terhadap keberagaman desa di Indonesia yang terdiri dari Desa dan Desa Adat.
6
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Tapi, mengapa seluruh persiapan implementasi UU Desa lebih asyik pada agenda-agenda kebijakan yang ditujukan untuk desa-desa dinas? Sementara, keberadaan Desa Adat kurang diperhatikan. Memang kalau ditelisik, jumlah desa dinas jauh lebih banyak dari pada Desa Adat. Namun, dalam konteks fasilitasi pembangunan, kapasitas teknokratis yang diterima Desa Adat lebih lamban dan mungkin sepi daripada Desa Dinas. Berangkat dari refleksi tersebut, tulisan ini mencoba mengajak para pembaca untuk mengalihkan perhatian sejenak pada sudut lain dari UU Desa yaitu soal kaitan pengaturan Desa Adat dengan perencanaan dan penganggaran desa tersebut. Bagi Desa Dinas, membut RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa mungkin bukan perkara baru. Tetapi, bagi Desa Adat mungkin berbeda. Pertanyaanya, dimana posisi Desa Adat dalam implementasi perencanaan dan penganggaran sebagaimana digariskan oleh UU Desa? Bagaimana metode dan pendekatan yang potensial untuk diterapkan agar Desa Adat bisa memiliki kemampuan sejajar -tapi bukan berarti harus seragam- dengan Desa Dinas?
Mengakomodasi Perjuangan Masyarakat Adat Model pembangunan yang diterapkan pada era Orde Baru sangat mengedepankan paradigma penghancuran kekuatan sosial masyarakat lokal. Orde Baru adalah rezim pemerintahan di Indonesia yang berkeyakinan bahwa negara akan mencapai kemajuan dalam penyelenggaraan pembangunan jika keberagaman entitas bangsa dihilangkan. Karenanya, pemerintah Orde Baru menggerus heterogenitas bangsa dengan cara melahirkan regulasi yang menyeragamkan tatanan budaya, struktur sosial, politik, dan tata pemerintahan lokal. Adat, sebagai bagian integral kehidupan masyarakat lokal menjadi salah satu entitas bangsa yang paling terkena dampak. Padahal dengan adat, masyarakat Indonesia mampu membentuk komunitas yang memiliki keaslian. Tidak hanya dalam aspek simbol budaya tetapi juga keaslian dari segi kemampuannya membentuk tata pemerintahan sebagai upaya menjawab kebutuhan hidup bersama dalam suatu wilayah (self governing community). Kemampuan masyarakat adat membangun self governing community tersebut hadir jauh sebelum kelembagaan negara dan pasar lahir sebagai paradigma pembangunan. Akan tetapi, kehadiran negara dan pasar yang datang belakangan tersebut justru meminggirkan masyarakat adat. Sehingga masyarakat adat yang sebagian besar berada di pedalaman mengalami
OPINI
keterasingan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan (Hudayana, 2005). Praktik marjinalisasi terhadap masyarakat adat pada era Orde Baru dapat ditelusuri dari dikeluarkannya Undangundang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan, Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru tersebut telah menghilangkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal yang memiliki kekuatan hukum yang sebelumnya berlaku di masyarakat Indonesia. Diubahnya nagari, dusun, marga, gampong, huta, sosor, lumban, kuta, jorong, kampung, temukung dan yo menjadi desa telah mengakibatkan kesatuan masyarakat hukum tersebut tidak berhak lagi mengurus dan mengatur dan hanya diberi sekadar hak untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri (Bahtiar, 2005). Salah satu kesempatan politik yang memberi peluang bagi perjuangan masyarakat adat adalah penetapan UU Desa pada 18 Desember 2013. Pada Bab II pasal 6 ayat 1 negara mengakui adanya keragaman desa dengan menyebutkan bahwa desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Pada ayat berikutnya dipertegas kembali bahwa penyebutan Desa Adat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku pada daerah setempat. Sesuai dengan asas rekognisi dan keberagaman, pasal 6 menegaskan jaminan negara atas keanekaragaman jenis dan penyebutan desa di Indonesia. Dari asas kesetaraan, UU Desa juga tidak lagi memandang secara dikotomis antara Desa Dinas dengan Desa Adat, meskipun keduanya memiliki perbedaan baik pada aspek struktur pemerintahan maupun kelembagaan sosialnya. Bentuk pengakuan kesetaraan yang lainnya antara Desa Dinas dengan Desa Adat dapat ditelusuri pada pasal 95. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah desa, dalam arti Desa Dinas, dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa yang nantinya memiliki peran menjalankan fungsi adat istiadat desa sekaligus menjadi bagian dari susunan asli desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa. Pasal ini membuka peluang bagi Desa Dinas yang selama ini sudah kehilangan ciri khas adat istiadatnya memugar kembali kelembagaan adatnya sebagai mitra pemerintah desa yang akan memiliki peran besar dalam upaya pemberdayaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat setempat sebagai bentuk pengakuat atas
OPINI
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
geneaologis desa yang awal mulanya tumbuh dari komunitas adat (pasal 95 ayat 3). Bentuk lain dari pengakuan UU Desa ini atas hak komunitas adat tercermin pada mandat yang dilekatkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota sebagaimana termaktub pada Bab XIII tentang Ketentuan Khusus Desa Adat pasal 96-111. Beberapa pengertian penting yang terkandung dalam sejumlah pasal tersebut antara lain; 1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat (pasal 96); 2) Pembentukan Desa Adat dapat dilakukan sepanjang memperhatikan faktor penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana prasarana pendukung; 3) UU Desa menjamin perubahan status Desa menjadi Desa Adat dan sebaliknya, Desa Adat menjadi Desa. Perubahan status tersebut harus dibarengi dengan perubahan seluruh status kepemilikan aset dari Desa ke Desa Adat. Demikian pula sebaliknya, Desa Adat yang berubah menjadi Desa juga seluruh status kepemilikan asetnya berubah menjadi milik desa (pasal 100 ayat 1 dan 2). Perencanaan pembangunan untuk Desa Adat Dari pemaparan di atas, sudah jelas bahwa UU Desa memberi porsi pengaturan dan hak yang kurang lebih sama antara Desa Adat dengan Desa Dinas. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang DD dan ADD yang akan dilaksanakan, sejauh pengetahuan penulis, pemerintah belum memiliki seperangkat aturan teknis yang menjadi referensi pengelolaan perencanaan, penganggaran dan keuangan Desa Adat. Tidak hanya itu, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga belum memiliki metode dan pendekatan penguatan kapasitas bagi desa-desa adat untuk merespon kebijakan DD dan ADD. Untuk menyiapkan kapasitas Desa Adat menyambut implementasi UU Desa diperlukan suatu metode dan pendekatan yang berbeda dengan penguatan kapasitas yang ditujukan untuk Desa Dinas. Ada beberapa tantangan di sini. Pertama, struktur pemerintah asli Desa Adat masih kental dengan karakter parochial atau ikatan kekerabatan. Karakter ini identik pada sistem feodal dan praktik nepotisme. Kedua, Desa Adat sejak lama tidak mendapat perhatian serius dari negara akan mengakibatkan Desa Adat dalam kondisi kesendirian. Terlebih, Desa Adat selalu dianggap hanya memiliki
9
kemampuan mengurus tentang tradisi dan kebiasaan hidup masyarakat terpencil seperti persoalan agama, perkawinan, dan pertahanan kuasa adat karena pertalian darah (parochial). Ketiga, pengelolaan pembangunan yang diselenggarakan oleh Desa Adat belum dipandu dengan berbagai perangkat perencanaan kebijakan pembangunan seperti forum Musyawarah Rencana Pembangunan Desa, RPJMDesa, APBDesa dan perangkat peraturan-peraturan desa lainnya sebagaimana lazim diterapkan pada Desa Dinas. Nihilnya kapasitas teknokratis tersebut oleh sebagian kalangan dipandang sebagai titik lemah Desa Adat dalam sistem perencanaan pembangunan modern. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis pada para pegiat desa yang saat ini getol membangun kapasitas pemerintahan yang berlokus di Desa Dinas, ada baiknya, lokus penguatan kapasitas dapat dilanjutkan ke Desa Adat. Ada beberapa langkah yang mungkin pas dilakukan agar Desa Adat juga dapat memiliki perencanaan pembangunan yang terencana dan terstruktur. Pertama, mengarusutamakan tata kelola pemerintahan yang demokratis ke dalam struktur pemerintahan adat. Sekalipun memiliki kecenderungan parochial. Kedua, mendorong kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah adat untuk mengoptimalkan aset Desa Adat yang pada umumnya berada di tangan ketua adat sebagai sumber daya membangun kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat. Ketiga, mengapresiasi dan mengadaptasi sistem perencanaan pembangunan Desa Adat sebagai fondasi membuat RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa yang responsif wong ndeso. Gampangnya, perlu kecerdasan meramu modal sosial Desa Adat sebagai model membangun arah dan kebijakan desa yang partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan dasar dan prioritas masyarakat, bukan elit desa. []
Borni Kurniawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dan Forum Desa Nusantara (FDN)
10
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
PERSPEKTIF
Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa Oleh: M. Irsyadul Ibad
Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.
Pengakuan Atas Desa Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipprinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang. Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural. UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).
Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari "pengaturan desa" dalam UU Desa mencakup: 1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas 2. Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI; 3. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI; 4. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 5. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; 6. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; 7. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa; 8. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa; 9. Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan; 10. Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan
PERSPEKTIF
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
“
11
Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa. Prinsip Subsidiaritas memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.
“
pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa. UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan "desa membangun" keduanya harus terintegerasi dengan baik. Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya. Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).
Sistem Informasi Desa Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa. Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini m e l e k a t p a d a K a b u p a t e n / Ko t a , b u k a n p a d a pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa. Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan
12
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa. Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai "pengumpul data" atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya, desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah "disetorkan" kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenisjenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa. Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standarisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa. Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.
PERSPEKTIF
Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.
Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara 1. Sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/ Kota; 2. Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data); Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, 3. melainkan sumber daya manusia. Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh 4. menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa; 5. Pe n e r a p a n S i s t e m I n f o r m a s i D e s a h a r u s mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa; 6. Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa; 7. Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.
Muhammad Irsyadul Ibad Direktur Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan (infest)
KISAH
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
13
Aktivitas kader Pembaharu Desa Gentansari saat menyusun peta aset dan potensi desa. Peta desa membantu warga untuk mengenali desa sendiri, apa, dimana, dan bagaimana kondisi aset serta pembangunan di desa.(Dok.Infest)
Perencanaan Apresiatif dalam Pembangunan Desa "Ini tidak main-main. Menentukan indikator kesejahteraan adalah kepentingan warga Desa Wulungsari."
P
ernyataan itu diungkapkan oleh salah satu peserta Sekolah Pembaharuan Desa di Wulungsari, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo saat berdiskusi tentang indikator kesejahteraan lokal. Diskusi sempat memanas ketika Eko Prayitno, Kepala Dusun (Kadus) Mranggen dengan Anggi perserta dari unsur pemuda berdebat tentang indikator kesejahteraan. Menurut sang Kadus, kepemilikan mobil dan sepeda motor merupakan indikator utama untuk menentukan kesejahteraan. Ia berpendapat bahwa masyarakat miskin pun sudah memiliki sepeda motor dengan takaran harganya berkisar Rp 10.000.000. Di lain sisi, Anggi berpendapat bahwa indikator utama kemiskinan adalah pemilikan lahan atau rumah. Namun pernyataan ini disanggah kembali oleh Kepala Dusun. Masingmasing saling mempertahankan, hingga nyaris tidak ada titik temu. Perdebatan berujung dengan mendiskusikan kembali "Siapa orang yang sejahtera di desa Wulungsari?" Pendapat yang muncul pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa sejahtera itu ketika terpenuhinya sandang, pangan, dan papan. Ada juga yang berpendapat bahwa sejahtera itu apabila pendidikan dan kesehatannya terjamin. Ada pula yang bertahan dengan pendapat bahwa keharmonisan hubungan antara suami-istri dalam rumah tangga juga bagian dari sejahtera. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Sekolah Pembaharuan Desa yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta bekerjasama dengan lima Pemerintah Daerah yakni Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Malang, Poso, dan Takalar. Di masing-masing kabupaten dipilih tiga desa sebagai model dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).
menuju desa “baru�. Poin penting dalam Sekolah Desa ialah menitikberatkan peningkatan pengetahuan dan kapasitas sumber daya manusia sebagai kunci menuju desa mandiri. “Kami (Pemkab Wonosobo), ingin menghindari isu dana dalam UU Desa. Yang terpenting adalah kemampuan mengenali aset dan kemampuan desa serta apa yang dibayangkan tentang desa ke depan,� terang Dhina. Menurut Frisca Arita Nilawati, selaku Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, Sekolah Pembaharuan Desa menggunakan pendekatan apresiatif sebagai model pembanguan desa. Perencanaan apresiatif desa sendiri merupakan pendekatan yang mengedepankan aset dan potensi desa dalam penyusunan perencanaan pembangunan desa. Perencanaan model ini berbeda dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Perencanaan apresiatif bertujuan untuk menggerakkan warga desa serta menyiapkan perencanaan yang berorientasi pada kesejahteraan warga dan mengedepankan pemerintahan yang demokratis. Proses yang dilakukan dalam Sekolah Pembaharuan Desa diantaranya sosialisasi UU Desa, pemetaaan dan pengorganisasian aset desa, temu warga untuk menetapkan kesejahteraan menurut ukuran lokal, membuat sketsa desa, sensus untuk menemukan sendiri kluster rumah tangga sesuai ukuran lokal, eksplorasi kisah-kisah sukses, dan membangun komitmen para pihak di desa. Awalnya, di masing-masing desa dibentuk Tim Pembaharu Desa. Tim ini berjumlah 25 orang yang terdiri dari perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kader desa, pemuda, dan perempuan. Prosesnya dimulai dengan memahami substansi UU Desa. Melalui pembelajaran mandiri, pemerintah desa dan masyarakat mempunyai pemahaman yang sama tentang isi UU Desa. Sehingga, pemahaman tentang UU Desa dapat menyeluruh serta menyentuh hal-hal yang substantif, salah satunya mengidentifikasi kewenangan-kewenangan desa.
Sekolah Pembaharuan Desa Aldhiana Kusumawati, Kepala Bagian Pertanahan Sekretaris Daerah Wonosobo menjelaskan Sekolah Pembaharuan Desa merupakan ruang belajar bagi desa dan warganya untuk
Sangaji, Ketua BPD Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang mengungkapkan bahwa model pembelajaran UU Desa mampu mempertemukan dan menggali keterlibatan
14
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
“Awalnya saya mengira (Wulungsari) biasa-biasa saja. Ternyata Desa Wulungsari mempunyai potensi besar,” ujar Lutfi. masyarakat desa dalam membangun desa. Sebab, menurutnya baik pemerintah desa, pemuda, kelompok perempuan, dan organisasi sosial di desa menjadi bagian penting dalam pelaksanaan UU Desa. “UU Desa ini memang memaksa kita untuk belajar lebih giat lagi terkait dengan desa kita sendiri,” ujar Sangaji. Pemetaan aset dan kesejahteraan lokal Tahap selanjutnya, Tim Pembaharu Desa melakukan pemetaan aset serta potensi lokal. Penggalian potensi dan aset bertujuan untuk menemukenali potensi desa sebagai kekuatan pendorong kemandirian desa. Terdapat tujuh kategori potensi desa antara lain sumber daya alam, sumber daya manusia, sosial, kebudayaan, kelembagaan, fisik, finansial, dan religius. Untuk memudahkan pembacaan, hasil penggalian data kemudian divisualkan dalam peta desa. “Pelatihan pemetaan salah satunya memetakan potensi dan aset yang ada di desa. Di mana dari hasil pemetaan aset kemudian memvisualkan lokasi aset. Juga untuk mengetahui jenis-jenis aset desa, selama ini digunakan untuk apa?, apa hasilnya?, bagaimana pengelolaannya?, dan di mana lokasinya,” terang Frisca. Partisipasi warga dalam melakukan penggalian dan analisis aset desa menjadikan warga mengenal dengan baik desanya. Sebab, tidak sedikit warga desa yang tidak mengenal potensi desanya sendiri. Lutfi, salah satu Kader Pembaharu Desa Wulungsari mengaku kaget saat mengetahui hasil pemetaan aset desanya. Setelah melakukan pemetaan aset dan potensi desa bersama kader pembaharu desa lainnya, ternyata Desa Wulungsari mempunyai potensi yang besar. Ia juga mampu melihat bentuk-bentuk pembangunan desa yang selama ini terbengkalai. "Awalnya saya mengira (Wulungsari) biasa-biasa saja. Ternyata Desa Wulungsari mempunyai potensi besar," ujarnya. Ungkapan Lutfi dapat dipahami, sebab model perencanan pembangunan desa selama ini bercorak sentralistik. Desa selama ini diposisikan sebagai obyek. Alihalih untuk melibatkan warga, hampir sebagian besar programprogram pembangunan di desa sudah dirancang dari balik meja. Sementara desa hanya menjadi pelaksananya. Hal tersebut lambat laun menumpulkan daya kreasi warga dan aparatur dalam proses pembangunan desa. Rasa kepemilikan warga terhadap pembangunan di desa pun semakin terkikis. Proses selanjutnya, dilanjutkan dengan pemetaan kesejahteraan warga berdasarkan ukuran lokal. Menurut Frisca, perencanaan pembangunan tidak semata-mata berorientasi pada aset, melainkan perlu juga berorientasi pada persoalan kesejahteraan. Pemetaan kesejahteraan lokal berdasarkan standar masing-masing desa. Selama ini, indikator kesejahteraan ditentukan oleh pusat tanpa melihat keberagaman kondisi desa di Indonesia. Sayangnya, indikator
KISAH
kesejahteraan yang ditentukan dari luar desa menjadi pegangan dalam perencanaan pembangunan desa. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan perencanaan pembangunan tidak menyentuh pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam pemetaan kesejahteraan, penentuan ukuran kesejahteraan dilakukan secara partisipatif dan dikonsultasikan kepada masyarakat desa. Dengan melihat definisi kesejahteraan masing-masing desa, ukurannya pun beragam. Secara umum, dari proses yang berjalan ada beberapa ukuran kesejahteraan seperti kepemilikan aset tanah, kepemilikan/ukuran bangunan rumah, kepemilikan hewan ternak, pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Masing-masing indikator mempunyai bobot yang berbedabeda. Setelah menemukan ukuran kesejahteraan di masingmasing desa, Tim Pembaharu Desa kemudian menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci. Instrumen inilah yang menjadi pegangan Tim Pembaharu Desa dalam melakukan sensus kesejahteraan warga. Menurut Muhammad Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta, salah satu fungsi pemetaan apresiatif desa adalah untuk menemukenali potensi desa. Kemudian, peta potensi desa juga memudahkan siapapun untuk membaca data. Peta potensi desa juga bisa dipadupadankan dengan tiga peta lainnya untuk melihat kondisi sosial di desa. Sehingga, pemerintah desa dan warga mempunyai basis data untuk menentukan program prioritas dan pelayanan dasar. "Yang paling penting setelah pemetaan sosial adalah kalau sudah punya data dan peta kita mau apa?" ujar Ibad. Dokumen-dokumen hasil pemetaan apresiatif kemudian menjadi panduan dalam penyusunan perencanaan pembangunaan desa. Rencana pembangunan desa berbasis potensi lokal dan dilakukan secara partisipatif ini akan menjadi acuan pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan. Dengan begitu, perencanaan desa dapat memenuhi akses pelayanan dasar dan menyejahterakan warga. [Sofwan, Frisca]
Seorang Kader Pembaharu Desa Wulungsari sedang melakukan survei kesejahteraan lokal di salah satu rumah warga. (Dok. Kader Pembaharu Desa)
Dok. Infest
WAWANCARA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Saatnya Desa Menjadi Subyek
15
wawancara dengan
Farid Hadi Rahman
D
isahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan wujud kemenangan bagi desa. Melalui UU ini, negara mengakui keberagaman dan kewenangan desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas. Berikut adalah petikan wawancara dengan Farid Hadi Rahman, pegiat Forum Desa Nusantara (FDN) dan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Forum-forum ini terdiri dari berbagai kalangan baik akademisi, lembaga pemerintahan desa maupun kabupaten, lembaga swadaya masyarakat, media komunitas, warga desa, dan lain-lain yang menaruh perhatian pada isu-isu desa sekaligus getol mendorong disahkannya UU Desa melalui berbagai saluran dan pengorganisasian. Apa dan bagaimana latarbelakang lahirnya Undangundang Desa? Desa merupakan modal sosial paling besar di negeri yang semakin terkikis habis dengan dalih pemberdayaan. Pengaturan desa selama ini menempatkan desa sebagai obyek dan lokasi proyek semata. Inilah situasi yang tidak dapat dibiarkan terjadi terus menerus. Sebab, kondisi tersebut akan menjadikan desa pasif dan hanya mengharapkan bantuan. Pola pemberdayaan dan pembangunan desa semacam itu sangat merugikan desa sendiri dan negara ini. Itulah sebabnya kemiskinan di desa tidak pernah menurun. Kedua, arus urbanisasi semakin besar karena desa dianggap tidak menjanjikan masa depan. Setiap tahun semakin banyak orang desa yang berpindah ke kota. Sumber dana pembangunan yang dikelola desa hanyalah sisa-sisa uang daerah, yang disebut ADD (Alokasi Dana Desa) itu. Bahkan, masih ada daerah yang belum memberikan ADD. Momentum apa yang bisa menjelaskan lahirnya UU Desa? Kenapa, UU Desa baru lahir di tahun 2014, bukan tahuntahun sebelumnya? Reformasi nasional memang disadari menyisakan PR (Pekerjaan Rumah) tentang pengaturan desa. Desa yang memiliki sejarah asal usul tidak serta merta langsung
menjadi bagian dari kabupaten. Dalam hal ini kita memang berkepentingan menjaga nilai Bhineka Tunggal Ika yang irisannya sangat besar dengan pengaturan desa. Keragaman adalah kekayaan yang luar biasa di negeri ini, sehingga selain membangun kesejahteraan desa di masa depan, ada kebanggaan ragam budaya yang mengitari nusantara ini. Soal tahun itu hanya soal waktu. Memang, memberikan pemahaman tentang desa kepada semua pihak bukan sesuatu yang mudah. Sampai hari ini pun PR ini belum selesai benar. Apa yang membedakan UU Desa 2014 dengan peraturanperaturan atau produk hukum sebelumnya yang mengatur tentang desa? Bisa dijelaskan? Undang-undang Desa memberikan ruang bagi desa untuk mewujudkan kemandirian. Undang-undang Desa menempatkan desa sebagai subyek melalui kejelasan kewenangan dan transfer keuangan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang lebih pasti. Kejelasan alokasi dana ini akan memudahkan desa dalam menyusun perencanaan desa. Kalau dulu perencanaan desa hanya berisi usulan ke kabupaten, mulai saat ini perencanaan desa harus ia laksanakan sendiri. Desa dapat mengusulkan ke kabupaten hanya untuk kepentingan antar desa. Sedangkan program berskala desa harus diselesaikan sendiri. Inilah makna pemberdayaan desa yang sebenanrnya, yakni memberikan kepercayaan kepada desa.
16
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
WAWANCARA
“Asas rekognisi yang menjadi dasar pengaturan desa, mengakui keragaman desa, termasuk cara dan nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap desa. Jadi tidak boleh ada lagi pola seragam dalam memberdayakan desa. Asas subsidiaritas juga memberikan ruang kepada desa untuk semakin kreatif mengurus urusan yang skala lokal." Dok. Pribadi
Asas rekognisi yang menjadi dasar pengaturan desa artinya itu tadi, mengakui keragaman desa, termasuk cara dan nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap desa. Jadi tidak boleh ada lagi pola seragam dalam memberdayakan desa. Asas subsidiaritas juga memberikan ruang kepada desa untuk semakin kreatif mengurus urusan yang skala lokal. Apa yang bisa diselesaikan melalui musyawarah, maka (kewenangan) desa menyelesaikannya. Dua asas ini tidak ada dalam pengaturan desa sebelumnya. Dua asas ini berimplikasi pada cara pemberdayaan yang lebih beragam dan berbasis pada aset dan kekuatan dari dalam desa. Membangun emansipasi dari dalam desa. Yang akan menjadi kendala adalah masih banyak yang tidak percaya kepada desa sehingga semua desa mau didampingi. Pendamping itu diperlukan hanya untuk desa yang belum berdaya, jadi tidak semua desa membutuhkannya. Jenis dampingannya pun berbeda-beda. Karena pemberdayaan itu salah satu kewenangan desa, maka sebaiknya desa mencari pendamping dari dalam. Pendamping organik yang mengenal desanya dengan baik. Apakah Anda setuju, bahwa UU Desa menjadi jawaban atau solusi strategis bagi persoalan-persoalan di desa? Mengapa? Pesoalan desa itu ada karena pengaturan desa tidak tepat selama ini. Ada pola ketergantungan yang sengaja dibangun oleh supra desa dengan dalih pemberdayaan. Kegiatan proyek sektoral yang tersegmentasi dan tidak tersistem di bawah itulah yang menjadikan masalah semakin komplek di desa. Undang-undang Desa berupaya mengkonsolidasikan berbagai pengalaman penataan desa selama ini menjadi satu sistem. Desa mengelola kewenangannya dan supra desa memfasilitasi pembangunan skala kawasan. Mengelola artinya mengatur dan mengurus. Kalau UU Desa dilaksanakan secara konsisten, saya yakin persoalan desa akan berangsur selesai. Pemerintah desa dan warga akan semakin berdaya dan scara bertahap akan meningkat kemampuan dan kepercayaannya untuk mengelola kewenangannya. Dalam beberapa pemberitaan hingga obrolan di warung kopi, pemahaman tentang UU Desa adalah dana desa yang besar. Apakah dana desa memang kunci dari UU Desa? Salah satu kunci iya, tetapi satu-satunya kunci tentu tidak. Undang-undang Desa mendorong asas rekognisi dan subsidiaritas sehingga desa wajib melaksanakan kewenangan
asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Mengurus pemerintahan, pelayanan, kemasyarakatan, pemberdayaan dan pembangunan. Termasuk menata aset dan ekonomi desa. Untuk melaksanakan tugas itulah, maka desa mempunyai hak atas uang yang dikelola pemerintah. Tidaklah mungkin tugas tersebut dapat dilaksanakan oleh desa tanpa kapasitas sumber dana. Masalah kelembagaan jauh lebih utama daripada soal uang, tetapi tanpa uang yang jelas dikelola desa, desa akan tetap hanya menjadi obyek seperti selama ini. Atau, Anda mempunyai pandangan lain tentang dana desa? Misalnya, bagaimana dana desa seharusnya dikelola dan digunakan untuk prioritas apa saja? Prioritasnya ya sesuai dengan perencanaan desa. Bagaimana mekanisme penggunaan dana desa menurut Anda? Ini pertanyaan teknis. Intinya, dana desa itu bagian dari pendapatan desa dalam APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Sedangkan APBDesa tersebut disusun berdasarkan perencanaan desa. Apa saja yang perlu dipersiapkan desa untuk implementasi UU Desa? Desa harus memahami isi UU Desa itu sendiri. Desa yang dimaksud adalah semua elemen meliputi pemerintah desa, organisasi warga, lembaga adat, dan warga sendiri. Sosialisasi di dalam desa adalah tugas kepala desa agar warganya memahami dan ikut melaksanakannya. Kedua, segera menetapkan kewenangan desa dan menyusun perencanaan, termasuk menetapkan APBDesa. Ketiga, pemerintah desa melaksanakannya secara partisipatif dan transparan. Keempat, kepala desa membuat pertanggungjawaban atas apa yang dimandatkan dalam peraturan desa. Dalam hal ini, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) memastikan semua itu berjalan baik, ikut menyusun regulasi, mengawasi, dan mengapresiasi atau mengoreksi atas pelaksanaan dan pertanggunjawaban penyelenggaraan desa. [*]
WAWANCARA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Dok. Infest
Pentingnya Pendidikan Berdesa
17
wawancara dengan
Yando Zakaria
Yando Zakaria, mantan anggota Tim Ahli Panitia Kerja RUU Desa mengakui bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan ruang yang luas bagi seluruh warga untuk terlibat dalam pembangunan desa. Hal terpenting adalah melakukan pendidikan ulang tentang makna Berdesa. Menurutnya, inti dari UU Desa berada pada kewenangan desa dan keterbilatan warganya. Berikut ulasan wawancaranya: Apa latar belakang dan urgensi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa? Adanya kebutuhan tentang undang-undang yang baru dan benar, itu sudah dimulai sejak lama. Sekitar pertengahan 90-an atau bahkan lebih awal. Karena Undang-undang Desa yang berlaku pada saat itu, Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Pada saat itu gerakan masyarakat sipil lebih banyak bicara soal masalah lingkungan yang kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam. Nah, pada saat itu ada dua masalah yang menonjol, pertama, banyak sumberdaya alam yang diserahkan oleh negara kepada dunia usaha, terutama kehutanan dan pertambangan. Kedua, pemerintahan desa sendiri dianggap tidak berpihak kepada masyarakat dalam kasus-kasus seperti itu. Pada 1993, orang-orang sudah bicara hak-hak masyarakat lokal atau saat itu juga disebut masyarakat terasing. Dalam laporan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1989 yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), saya menulis tentang hak-hak budaya. Kok ada masyarakat di wilayah Indonesia yang hakhaknya terhadap sumberdaya lingkungan, alam, dan struktur pemerintahan tidak diakui. Di konstitusi kita pasal 18 menyatakan di Indonesia mengakui masyarakat adat atau Volsgemeenschappen, atau yang disebut desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Marga di Palembang dan seterusnya. Berdasarkan itulah semakin jelas bahwa banyak peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya alam dan juga pemerintahan tidak sesuai. Karena konstitusi sendiri menyatakan bahwa Volsgemeenschappen yaitu desa atau dengan nama lain mempunyai hak asal-usul. Negara harus menghormati. Dilihat faktanya bahwa masyarakat tersingkir di dalam hak terhadap tanah dan dalam struktur pemerintahan
desa, tentu itu tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Oleh sebab itu, sejak itu advokasi tentang menegakkan hak-hak masyarakat adat, atau masyarakat hukum adat, atau desa itu semakin gencar. Pada kongres masyarakat adat yang pertama, salah satu tuntutan yang diajukan adalah dicabutnya UU Nomor 5 tahun 1979. Ketika Reformasi bergulir, undang-undang tersebut termasuk yang dicabut pemberlakuannya karena dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Tahun 2000 pasal 18 itu diamandemen. Hasilnya menegaskan kembali pengakuan hak masyarakat adat itu di dalam Pasal 18 B ayat 2. Nah, ketika UU Otonomi Daerah muncul, sebenarnya pengaturan hak-hak asalusul itu diakui. Tetapi bagaimana pengakuan itu dijabarkan, itu yang belum jelas. Baik di UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berikut penjabarannya masingmasing melalui Peraturan Pemerintah (PP) 76 Tahun 2001 dan PP 72 Tahun 2005. Itulah latarbelakangnya. Jadi kalau kita mencoba memahami bagaimana Undang-undang hari ini, kita harus berangkat dari sana. Apa yang membedakan UU Desa Nomor 6 tahun 2014 dengan UU sebelumnya? Dengan cara berpikir yang baru, hari ini kita menemui UU Desa yang sama sekali berbeda rohnya dengan undang-undang pengaturan desa yang lama. Dengan UU yang baru, ada dua asas utama yang selama ini belum pernah digunakan dalam hukum tatanegara kita yaitu rekognisi atau pengakuan dan subsidiatritas. Jadi dengan pengakuan itu maka otonomi desa tidak lagi dikembangkan sebagai hasil turunan dari politik desentralisasi yang diterima oleh daerah, tetapi itu adalah otonomi desa yang sendiri. Bukan bagian dari desentralisasi, tapi dia otonomi desa yang diturunkan langsung dari konstitusi berdasarkan prinsip rekognisi itu tadi.
18
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
WAWANCARA
Nah, dulu itu masuk dikelola oleh banyak program. Ada pengawasan, ada keuntungan, ada pengawasan dari banyak pimpro. Tapi pada saat yang sama ada kelemahan, kita tidak tahu efektifitas masing-masing cost itu. bagaimana hubungan antar pos, bagaimana sinergi antara PNPM dengan ADD, sinergi proyek fisik dari PU dengan ADD tidak ada yang tahu.
Dok. Infest
Ada yang menganggap dampak kemunculan UU Desa adalah munculnya, dalam tanda kutip, raja-raja kecil di desa. Apakah ketakutan tersebut bisa diamini? Saya kira harus dipisahkan antara menjabarkan amanat konstitusi dan dampak. Yang satu adalah prinsip dan tidak boleh dilanggar, kecuali itu dicabut dari undang-undang. Tetapi bahwa kemudian prinsip itu menimbulkan “rajaraja kecil” sebenarnya itu adalah distorsi dari pengakuan itu sendiri. Kedua, harus dipisahkan karena itu adalah dampak. Hal itu bicara tentang bagaimana mengimplementasikan amanat konstitusi. Munculnya “raja-raja kecil” itu menurut hemat saya akibat dari terabainya pada masa lalu. Kemudian saat sekarang diakui, menjadi euforia. Di sisi lain pemerintah tidak sanggup mengawasi pelaksanaannya. Kemudian, orang ketika bicara UU Desa itu selalu bicara tentang dana desa. Dalam penjelasan tadi, sepertinya dana desa itu bukan suatu yang utama sebetulnya? Bukan. Sebenarnya dana desa itu hanya muara dari prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Dan jangan lupa, angka yang dianggap besar sekarang itu tidak berbeda dari angka masa lalu. Hasil survei dari temen-temen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD), kesimpulanya adalah pada saat UU Desa disusun, uang di desa sudah mencapai 1,2 Miliar. Riset tersebut melibatkan 135 desa dari Sabang sampai Merauke, dengan kategori yang bisa mewakili. Jadi tidak ada yang baru. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) berapa uangnya. Iya kan? Yang baru, kalau sebelumnya dana-dana itu dikomisi oleh berbagai tangan, ada yang Depdagri untuk PNPM, ada yang PU, ada yang dari Dinas, Kabupaten, akhirnya dana yang banyak tadi sebenarnya penggunaannya menjadi fragmented. Orang desa tidak pernah tahu bahwa di desanya ada 1,2 M. Coba ikuti berita, orang desa itu hanya tahu ADD. ADD itu tidak lebih dari 15 persen dana di desa. (Selebihnya) 85 persen itu dana pusat, dana provinsi, dana kabupaten.
Sekarang uangnya sama dan itu hanya satu posnya, masuk di dalam APBDesa. Tantangannya adalah dengan satu pos, maka terbuka peluang untuk memikirkan sinergisitas antara berbagai sektor. Tantangannya adalah pengawasan. Tetapi, pengawasan juga bukannya tidak diurus UU Desa. Ada 6 pasal yang bicara soal hak partisipasi masyarakat dalam UU Desa. Sekarang, apakah masyarakat desa mampu memanfaatkan peluang-peluang untuk pengawasan yang ada di UU Desa?. Dana ini akan efektif tergantung dari dua hal: perencanaan yang baik dan pengawasan yang kuat. Menurut Anda, apa tantangannya sekarang? Menurut saya tantangan dari UU Desa itu berada di tingkat desa sendiri. Tingkat desa itu sudah terlanjur apatis akibat dari politik perencanaan dan anggaran masa lalu. Sekarang terjadi perubahan sementara masyarakatnya masih apatis. Nah, ini harusnya membutuhkan pendidikan ulang di masyarakat, yang mengatakan bahwa, kalau dulu kita berpartisipasi itu kita bodoh karena kita akan jadi objek penipuan saja. Objek untuk justifikasi kepentingan orang lain. Tapi hari ini anda harus terlibat secara partisipatif, karena Anda rugi kalau tidak partisipatif. Karena Anda tidak akan menentukan perencanaan uang yang ada. Kemudian, di UU Desa ada soal pembentukan desa adat yang baru atau menjadi desa. Apakah dimungkinkan dalam konteks kita saat ini? Cara berpikirnya harus diubah. Pengakuan adat itu bukan pengakuan adat pada masa lalu, melainkan bagaimana wujudnya pada hari ini. Yang namanya sosial pasti berubah lah. Jadi nggak bisa dilihat adat sebagai masa lalu, tapi adat itu dilihat sebagai tatanan yang memang dibangun seiring dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, berbeda dengan peraturan perundangan yang lain, UU Desa memperlakukan kriteria pengakuan desa adat itu relatif lebih longgar. Karena biasanya ada lima kriteria untuk pengakuan yang dilihat. Bahwa ada masyarakat yang masih guyub, pemerintahan adat, masyarakat adat, kekayaan adat, dan hukum adatnya. Ini sudah berubah. Misalnya soal pemerintahan adat, nggak pernah diakui, ya mati lah. Sudah digantikan oleh pemerintahan yang lain. Kalau lima ini diperlakukan secara akumulatif, pasti tidak akan banyak masyarakat adat yang bisa mendirikan desa adat.
WAWANCARA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Nah, UU Desa menerapkan pendekatan afďŹ rmative action. Lima ini tidak bersifat akumulatif, melainkan fakultatif. Yang penting syarat pertama, wilayahnya jelas. Karena kita akan mengatur pemerintahan dan pembangunan, maka wilayah menjadi penting. Kemudian salah satu dari yang empat yang lain, terserah yang mana saja. Dengan cara itu sebenarnya desa adat akan muncul sesuai perkembangan adat pada masyarakat adat pada hari ini. Bagaimana Anda melihat kesiapan desa adat dalam implementasi UU Desa? Begini, tatanan adat di berbagai pelosok negeri ini kan nggak sama derajatnya. Jadi nggak bisa kita pukul rata masyarakat adat itu. Di Indonesia kalau kita bicara masyarakat hukum adat itu juga berada dalam rentang yang berbeda. Mulai dari yang tidak mengenal sampai yang sudah mengenal sebuah sistem yang disebut dengan republik kecil seperti Minangkabau. Mungkin ada yang pernah mengenal tapi hancur lebur atau pernah mengenal tapi tidak punya basis. Jangan lupa, beberapa susunan asli, misalnya Kedamangan dan Ketemenggungan di Kalimantan Tengah perlu direnungkan apakah betul susunan asli atau tidak?. Di beberapa daerah di Kalimantan Tengah mungkin ada Kedemangan yang mengakar tetapi ada wilayahwilayah tertentu yang tidak. Jadi menurut saya, UU Desa juga tidak melakukan pemaksaan. Yang penting negara mengamalkan amanat konstitusinya dan hak masyarakat hukum adat diakui. Hak itu antara lain untuk memerintah dirinya sendiri. Bahwa itu tidak diambil oleh masyarakat hukum adat yang lain itu urusan mereka. Makanya undang-undang kan menyatakan boleh sejauh prakarsa masyarakat. Negara sudah memberikan hak itu melalui UU Desa, silahkan berunding. Jadi penerapan desa adat sangat tergantung pada masingmasing konteks masyarakat hukum adat di Indonesia.
19
UU Desa menyiapkan instrumen untuk mengatur kepentingan bersama dan strategis melalui Musdes. Musdes hanya akan bermanfaat kalau pemerintahan desa dan masyarakat mempunyai pandangan baru tentang berdesa atau kembali mengurus rumahtangga sendiri. Tidak mudah memang. Instrumen yang ada di desa, mulai perencanaan, pengawasan sebagai sebuah sistem rumahtangga untuk mengurus dirinya sendiri. Instrumen itu tidak ada artinya kalau cara pandang warga desa tidak demikian. Dia akan jadi instrumentalis saja. Dan ini tantangannya, tidak mudah memang. Apa saja yang perlu diketahui masyarakat tentang UU Desa? Pertama, masyarakat dan desa harus bisa mengidentiďŹ kasi apa kewenangan asal-usul mereka. Karena itu nanti akan ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup). Jangan sampai kewenangan ini ditentukan secara sepihak oleh kabupaten. Karena ini sifatnya rekognisi dan subsidiaritas, bukan desentralisasi. Desa punya hak asal usul. Apa hak asal-usulnya, hanya orang desa yang tahu. Karena itu rumuskan apa saja kewenangan yang ingin dilakukan, yang bisa dilakukan, yang ingin dilakukan, yang memang sudah dilakukan, dan sudah jadi tradisi untuk dilakukan. Jangan sampai kemudian ruang yang sudah terbuka itu ditutup oleh pihak lain. Kedua, masyarakat harus tahu lebih luas bahwa mereka berhak untuk menentukan perencanaan bahkan penggunaan anggaran. Ruangnya adalah Musdes. Untuk bisa terlibat Musdes, pastikan kelompok-kelompok yang ada di desa itu menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. Mereka tidak hanya berhak di dalam perencanaan, tapi bahkan berhak dalam pelaksanaan proyek.
Kalau dalam konteks konsolidasi aset dan sumber daya alam, bagaimana caranya agar desa mengkonsolidasikan aset-asetnya demi kesejahteraan bersama?
Karena dalam pelaksanaan pembangunan di desa itu diselenggarakan oleh kepala desa bersama masyarakat. Jadi masyarakat juga turut menjadi pelaku aktif. Karena dengan prinsip membangun desa sekarang, tidak ada lagi proyek-proyek yang dikerjakan melalui tender pihak ketiga. Seluruh kegiatan yang ada di desa bersifat swakelola.
Yang penting dalam UU Desa, kita harus melakukan pendidikan di tingkat desa. Perlu dibangkitkan kembali makna berdesa, memerintah diri sendiri, ada aset sendiri, kewenangan sendiri, dan seterusnya. Perlu dibangkitkan suatu cara pandang baru terhadap desa. Jangan terlena dengan cara pandang yang kadung salah sampai hari ini bahwa desa atau pemerintahan desa bukan bagian dari kehidupan masyarakat. Karena memang posisi pemerintahan desa diposisikan bukan sebagai instrumen kehidupan komunitas, tetapi instrumen pengawasan dari atas.
Ketiga, yang terpenting menurut saya, masyarakat berhak melakukan pengawasan. Kepala desa wajib memberikan informasi. Wajib itu kalau tidak dilaksanakan berdosa karena melanggar hukum. Artinya, kalau kepala desa tidak memberikan sesuai yang diatur oleh UU Desa itu, maka kepala desa bisa dinyatakan melanggar sumpah. Karena sumpahnya mengatakan melaksanakan undang-undang sebenarbenarnya. Jadi melanggar hukum. Kalau melanggar hukum, udah syarat untuk ditinjau ulang posisinya. Jadi itu clear sekali. [Sofwan]
20
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
CATATAN PENGETAHUAN
Darurat Pendidikan Kritis Bagi Perempuan di Desa Oleh: Alimah Fauzan
S
atu per satu, para perempuan itu berebut untuk bersuara. Apa yang mereka sampaikan cukup beragam berdasarkan pengalamannya masingmasing. Suara mereka tidak semata bentuk kegelisahan akan kondisi kaumnya, namun lebih jauh mempertimbangkan sisi kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka sebagai generasi penerus bangsa. Kendati demikian, tidak jarang suara mereka tertahan dalam forum musyawarah perencanaan dan pengembangan desa. Kehadiran mereka seakan hanya memenuhi kuota. Para perempuan ini sejatinya tidak ingin dituduh hanya duduk manis. Nyatanya, mereka mampu memunculkan gagasan serta merespon kebutuhan-kebutuhan strategis. Di salah satu desa, bahkan para perempuannya memiliki karakter yang dinamis, pandai dan aktif mengambil peluang dan cukup responsif.
rencana "Sekolah Perempuan". Di awal diskusi, mereka tidak mampu membendung rasa ingin tahunya tentang gambaran "Sekolah Perempuan". Tidak heran jika di antara mereka mulai bercerita pengalaman pelatihan dari program pemberdayaan yang pernah dilakukan di desanya. Dari tiga desa tersebut, jawaban mereka seragam, bahwa selama ini mereka hanya mendapatkan pelatihan ketrampilan seperti menjahit, membuat makanan tertentu, menggunakan mesin, dan lain-lain.
Perempuan Miskin Makin Terjerat Hutang Sejumlah pelatihan yang menyasar ke perempuan desa, ternyata masih belum mampu mengubah kondisi mereka lebih baik lagi. Bahkan, sejumlah perempuan mengaku masih bergantung pada pinjaman dari bank harian serta dari Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di
Para perempuan itu adalah perwakilan dari kelompok perempuan di desa baik dari sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi komunitas, pertanian, organisasi keagamaan, serta pengurus PKK. Mereka datang memenuhi undangan peneraan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta pada Rabu-Jumat (25-27/2/2015) di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, dan Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara. Peneraan ini bertujuan mengetahui kebutuhan perempuan serta sejauhmana peran dan partisipasi mereka dalam forum musyawarah desa. Selama tiga hari, Infest Yogyakarta juga melakukan pertemuan dengan kelompok perempuan terkait
Menyusun gagasan menuju desa impian ( Dok. Infest)
CATATAN PENGETAHUAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
21
desa. Para perempuan miskin di desa menghadapi serbuan iming-iming hutang terutama dari bank harian. Mereka terjerat hutang tanpa mampu segera melunasinya. Mereka sering mengambil kesempatan yang ditawarkan dengan berhutang untuk keperluan harian yang tidak produktif, mereka juga membuat kesepakatan-kesepakatan yang hanya semakin menjerat mereka. Debt collector pun semakin mengancam mereka. Banyaknya pinjaman yang macet dikembalikan, hanya menjerat perempuan miskin dan semakin ketergantungan. Bagi masyarakat miskin, bantuan tersebut menjadi "berkah" di tengah desakan kebutuhan hidup serta himpitan kemiskinan yang terus melilit. Namun, di saat bersamaan, berkah itu dapat berubah menjadi beban, khususnya bagi mereka yang berutang karena menggunakan dana bergulir sebagai modal usaha. Sementara itu, di beberapa kasus melalui usaha pengelolaan bidang pertanian seperti mengelola jenisjenis tanaman jangka pendek, hasil produksi tidak memberi perubahan signiďŹ kan terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Sebaliknya, demi melunasi utang yang harus dibayar setiap bulan --padahal masa panen belum tiba-- mereka terpaksa menjual tanah miliknya guna melunasi beban hutang. Ibarat bebas dari mulut harimau kemudian masuk ke dalam mulut buaya. Dalam kasus seperti ini obsesi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan seakan tidak mencapai tujuan sesungguhnya dari program tersebut.
Saatnya Perempuan Mengawal Reformasi Desa Selama ini, perempuan menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang menjadi penerima manfaat langsung dari implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selaku penerima manfaat, idealnya kelompok perempuan turut mengetahui adanya regulasi pembangunan dari UU Desa di tingkat pemerintahan desa. Hal ini dapat berimplikasi pada penerima manfaat program. Sementara itu, kondisi perempuan saat ini belum mengetahui secara umum tentang aspek-aspek yang akan diimplementasikan pada UU Desa. Apalagi terkait kemungkinan manfaat yang dapat diterima oleh kelompok perempuan di desa. Minimnya sosialisasi terkait implementasi UU Desa dan implikasinya bagi masyarakat, menjadi salah satu faktor penyebab ketidaksiapan masyarakat untuk mengawasi dan terlibat dalam pembangunan di Desa. Terutama sosialisasi kepada kelompok perempuan. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh beberapa kabupaten hanya menyasar kelompok elit, sehingga masyarakat tidak mengetahui nilai manfaat implementasi UU Desa bagi masyarakat luas. Perempuan juga belum memiliki kapasitas dan pengetahuan memadai untuk terlibat dalam perencanaan dan pengawasan implementasi
Dok. Infest
pembangunan di desa. Di sisi lain, pemerintah desa masih tertutup kepada masyarakat terkait informasi penting pembangunan. Sehingga tidak heran apabila banyak perempuan desa mengeluhkan tentang usulanusulan mereka banyak yang tidak terealisasi. Minimnya sumber informasi tepat tentang pembangunan di desa membuat perempuan desa tidak dapat terlibat mengembangkan diri dalam proses pembangunan. Padahal komitmen Pemerintah RI terhadap kesetaraan gender telah ditetapkan sejak tahun 2000 melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Pemerintah menginstruksikan kepada semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG, dan dilanjutkan dengan diintegrasikannya perspektif gender ke dalam perencanaan pembangunan. Dari beragam studi terungkap bahwa persentase perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa tidak pernah lebih dari 20 persen. Situasi problematik ini dihadapi oleh UU Desa yang mewajibkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa dan musyawarah (pasal 68). Partisipasi mengandung konten kesetaraan dimana suara dalam pertemuan dinilai sebagai input warga
22
CATATAN PENGETAHUAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Sekolah Perempuan di Institut Mointuwu, Poso. (Dok. Infest)
“Minimnya sumber informasi tepat tentang pembangun- an di desa membuat perempuan desa tidak dapat terlibat mengembangkan diri dalam proses pembangunan.� negara tanpa terkecuali. Di sisi lain, kapasitas perempuan dalam pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Sehingga perempuan mampu merespon kebutuhan-kebutuhan strategis.
Pendidikan Kritis Melalui Sekolah Perempuan Desa Dari sekian persoalan perempuan, penting sekali membangun kesadaran kritis masyarakat khususnya perempuan terutama untuk mengawal reformasi desa. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan Sekolah Perempuan di desa. Melalui sekolah perempuan, penguatan kapasitas bagi perempuan miskin dilakukan supaya terbangun kesadaran kritis dan terlibat aktif dalam proses pembangunan. Sekolah Perempuan bertajuk "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa" menyasar perempuan desa. Melalui Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, para perempuan desa akan diberikan strategi dan pengetahuan terkait dengan pentingnya perempuan terlibat aktif dalam pembangunan desa. Sekolah Perempuan diarahkan pada penguatan paradigma perempuan melalui materi pendidikan kritis
perempuan. Selain itu, ketrampilan berupa strategi pengelolaan dan pendataan potensi desa menjadi bahan ajarnya. Kemampuan berkomunikasi, teknik advokasi dan negosiasi juga menjadi bahasan yang penting. Politik anggaran menjadi bahasan harus dikuasai oleh perempuan desa guna melakukan pembacaan atas anggaran desa dan kemanfaatannya bagi masyarakat desa. Sementara itu, untuk "Kolaborasi Alumni Sekolah Perempuan dengan Rencana Pembangunan Desa", kegiatan ini mengarah pada hasil konkrit dari Sekolah Desa. Dimana kelompok perempuan akan mampu membuat peta sosial desa yang bisa dijadikan acuan dalam Rencana Kerja dan Pembangunan Desa (RKPDesa). Kelompok perempuan yang telah memiliki peta aset, kesejahteraan dan berbagai usulan pembangunan akan duduk bersama dengan perangkat desa. Mereka melakukan penyusunan RKPDesa dan membentuk kelompok kerja perempuan. Sehingga, mereka akan menjadi penyeimbang pemerintah desa dalam melakukan kajian-kajian perencanaan pembangunan. Kegiatan ini akan menghasilkan RKPDesa yang berpihak terhadap kebutuhan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan lain-lain.
Alimah Fauzan Gender Spesialist OfďŹ cer Infest
CATATAN PENGETAHUAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Perluasan Penerapan Peta Kesejahteraan Lokal Desa di Kabupaten Wonosobo Oleh M. Irsyadul Ibad
P
erencanaan apresiatif desa (appreciative rural planning) adalah pendekatan yang mengedepankan aset dan potensi desa dalam penyusunan rencana pembangunan desa. Perencanaan model ini berbeda dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Perencanaan apresiatif bertujuan untuk menggerakkan warga desa untuk mengembangkan diri berbasis pada potensi. Berbeda dengan pendekatan penyelesaian masalah (deficit based planning), pendekatan apresiatif mencoba menemukenali jenis-jenis kekuatan dan aspek-aspek kunci yang dapat menggerakkan masyarakat di tingkat desa dan pada akhirnya turut menyelesaikan masalah yang timbul di tingkat desa. Pendekatan ini mengedepankan beberapa prinsip, yaitu: 1. Apresiasi atas kewenangan desa. UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada desa yang tidak bersifat residu atau sisa dari kewenangan supra desa. Pendekatan ini memandang bahwa kewenangan desa merupakan aset dan potensi yang dapat menggerakkan perkembangan desa. Desa perlu menemukenali kewenangannya sebagai dasar dari pengembangan masyarakat.
23
Perencanaan berbasis data dan partisipatif. Data menjadi kata kunci dalam perencanaan apresiatif. Data yang diperoleh melalui proses pemetaan menjadi kunci dalam penyusunan perencanaan desa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa). Perencanaan pembangunan apresiatif mengacu pada data dan dilakukan secara partisipatif. Partisipasi menjadi elemen dasar yang sudah dilakukan sejak pada tahapan penyiapan data yang dirujuk dalam penyusunan kebijakan. Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu mitra strategis Infest Yogyakarta dalam upaya menciptakan model implementasi UU Desa. Perencanaan apresiatif menjadi salah satu piranti lunak yang dibangun bersama dengan pemerintahan Kabupaten Wonosobo. Mengacu pada pembelajaran yang didapatkan pada 3 desa percontohan di Kabupaten Wonosobo (Gondang, Wulungsari, dan Tracap), pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta mencoba memperluas cakupan pelaksana perencanaan apresiatif. Melalui rapat koordinasi terbatas Pada 30 Juli 2015, Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta menyepakati perluasan implementasi perencanaan apresiatif. Untuk Kepentingan tersebut, Pemerintah Wonosobo menyiapkan 147 anggota task force tim pendamping desa yang akan mendapatkan mandat pendampingan perencanaan apreasiatif di tingkat desa. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari refleksi atas adanya dampak positif beberapa bagian dari perencanaan apresiatif di desa percontohan. Perluasan ini akan dilakukan di 15 kecamatan dengan satu desa sebagai percontohan. Aktivitas ini akan dilakukan dengan pembiayaan mandiri dari Kabupaten Wonosobo.
Roadmap Peta Kesejahteraan Kabupaten Wonosobo
2. Apresiasi aktor desa. Salah satu kekuatan terbesar dari desa adalah sumber daya manusia. Apresiasi aktor mengedepankan upaya menemukenali aktor-aktor penting (baik yang sudah dikenal atau masih tersembunyi) untuk diajak bersama melakukan serangkaian upaya pengembangan desa. Dengan demikian, pembangunan desa tidak semata menjadi tugas pokok pemerintahan desa, melainkan tugas masyarakat. Pada bentuk ini, Infest Yogyakarta di beberapa desa dampingan mengembangkan Tim Pembaharu Desa yang berisi masyarakat dan pemerintahan desa. Prinsip partisipasi dan keterbukaan menjadi prinsip dasar operasionalisasi dari konsep apresiasi aktor desa. 3. Pemahaman atas aset desa. Pembangunan yang baik berorientasi pada perkembangan dan bukan pada penyelesaian masalah semata. Konsep ini dapat terjadi apabila desa mengenal aset-aset yang dimilikinya. Perencanaan apresiatif salah satunya dilakukan dengan menemukenali aset di tingkat desa. Pemetaan aset dilengkapi dengan menemukenali aspek yang dapat menggerakkan atau mengembangkan aset di tingkat desa. 4. Pemahaman atas kesejahteraan masyarakat. Setelah peta aset, status dan kesejahteraan menjadi penting untuk ditemukenali oleh desa. Peta kesejahteraan menjadi rujukan dalam proses pembangunan. Orientasinya adalah peningkatan kesejahteraan. Mempertimbangkan keberagaman, desa harus memiliki standar sendiri untuk mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Klasifikasi tersebut diperinci dengan sensus kesejahteraan dan verifikasi di tingkat desa.
Fokus pada perluasan ini adalah peningkatan kapasitas desa dalam partisipasi masyarakat dan identifikasi kesejahteraan sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan desa-desa di Wonosobo pada akhirnya dapat menerapkan dua aspek dalam pemerintahan, yaitu perencanaan apresiatif desa dan open data keuangan desa. Kedua elemen tersebut akan tercermin dalam kebijakan di tingkat Kabupaten yang saat ini sedang disusun.
24
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
CATATAN PENGETAHUAN
Perempuan Pembaharu Desa :
Maju Memberdayakan Diri dan Lingkungan “Sekarang bapak-bapak di sini (kantor Desa Jatilawang) sudah mau masak sendiri, termasuk masak air, bikin teh dan menyuguhkan air. Biasanya menyuruh ibu-ibu, sekarang mau melakukan sendiri.” Sambil tersenyum, Rini salah satu peserta Sekolah Perempuan di Desa Jatilawang buru-buru membalas sebuah candaan yang sebenarnya tak ditujukan padanya. Siang itu, salah satu lelaki paruh baya yang juga perangkat Desa Jatilawang sedang mencuci kangkung, dilanjutkan mengiris bawang merah, bawang putih dan menumis. Sementara saya dan beberapa peserta Sekolah Perempuan sedang mempersiapkan kelas sembari menunggu ibu-ibu yang belum datang. Karena ruang dapur dan r u a n g k e l a s S e k o l a h Pe r e m p u a n menyatu, maka aktifitas beberapa perangkat desa lain pun terlihat oleh kami. Termasuk bapak-bapak perangkat desa yang tengah sibuk di dapur. Menurut Rini, sejak ada Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, pola pikir bapak-bapak perangkat Desa Jatilawang mulai berubah. Seperti pemahaman tentang peran dan relasi antara laki-laki dan p e r e m p u a n . Pe s e r t a S e k o l a h Perempuan terdiri dari perwakilan kelompok perempuan yang ada di desa antara lain PKK, perempuan tani, kader Posyandu, bidan desa, guru PAUD, Fatayat, Aisyiyah, perwakilan Karangtaruna, warga biasa, serta perangkat desa perempuan.
Musyawarah Desa merancang pembentukan BUMDesa di Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara.
Dipercaya mengelola Program Jambanisasi hingga BUMDesa Lebih dari itu, kini, kelompok perempuan mulai terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di desa. Termasuk ketika Pemerintah Desa (Pemdes) dan Badan Permusyawatan Desa (BPD) Jatilawang, Kecamatan Wanayasa menggelar Musyawarah Desa (Musdes), Senin (12/5/2015). Pertemuan di Balai Desa Jatilawang ini dihadiri oleh 44 orang yang terdiri dari perangkat desa, BPD, Kepala Dusun, Ke t u a RT, RW, L P 3 M , k e l o m p o k perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan dan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara Drs. Imam Purwadi. Musdes tersebut merancang pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di Desa Jatilawang. Ada empat jenis usaha yang digagas dalam Musdes kali ini yaitu jasa pajak motor, jasa pembayaran tagihan listrik, simpan pinjam, dan jual-beli kentang hasil pertanian warga. Dalam Musdes tersebut, keterlibatan kelompok
perempuan terbilang lebih banyak dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Hal menarik dan penting adalah pernyataan Kepala Desa (Kades) Jatilawang, Supriyanto tentang rencana pengelolaan BUMDesa. Secara tegas dan lantang, Kades Jatilawang menyatakan di depan semua peserta Musdes bahwa rencana pengelolaan BUMDesa akan diserahkan pada kelompok perempuan yang juga peserta Sekolah Perempuan. “Kami serahkan pengelolaan BUMDesa ini kepada ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan. Kami menunggu kiprah dari ibu-ibu ini selama mendapatkan ilmu di Sekolah Perempuan,” tegasnya. Ide mendirikan BUMDesa, menurut Supriyanto sebenarnya sudah sejak lama diimpikan. BUMDesa diharapkan bisa menjadi cara untuk menyejahterakan warga dan menambah pendapatan asli desa. Adanya Sekolah Perempuan menjadi spirit tersendiri untuk mewujudkan mimpi tersebut. Kendati demikian, kepercayaan Kades Jatilawang masih belum sepenuhnya muncul. Termasuk pemikirannya tentang seorang
“Kami serahkan pengelolaan BUMDesa ini kepada ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan. Kami menunggu kiprah dari ibuibu ini selama mendapatkan ilmu di Sekolah Perempuan” Supriyanto, Kades Jatilawang
CATATAN PENGETAHUAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
25
Peserta Sekolah Pembaharuan Desa. (Dok. FDN)
manajer BUMDesa kemungkinan adalah laki-laki. Baginya, seorang manajer harus mau, mampu, dan jujur. Dan ketika ia mengungkapkan bahwa kriteria mampu dan jujur itu ditujukan pada laki-laki, seakan perempuan tidak mampu melakukannya. Pemikiran tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok perempuan untuk mendapatkan kepercayaan penuh. Kelompok perempuan harus mampu memimpin perubahan dalam pembangun -an di desanya. Terutama perubahan terhadap layanan publik, seperti mendorong pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, ketersediaan air bersih dan layanan dasar lainnya yang sesuai dengan kebutuhan desa. Di Jatilawang sendiri, kelompok perempuan tengah berjuang agar program Jambanisasi yang telah mereka perjuangkan selama ini dapat terwujud. Pr o g r a m J a m b a n i s a s i , m e n u r u t Lindawati, salah satu peserta Sekolah Perempuan Desa Jatilawang mendesak untuk dilaksanakan. Kendati demikian, program ini diharapkan tidak hanya sekadar program pembangunan fisik seperti membangun jamban, tetapi juga mampu mengubah pola pikir hidup sehat masyarakat Jatilawang. “Selain masalah kesehatan, warga Jatilawang juga masih butuh penyadaran agar mereka dan anak-anak mereka mau menjalankan pendidikan yang lebih tinggi,” ungkap Lindawati. Merangkul perempuan mewujudkan mimpi desa Selain pertemuan di kelas, perempuan pembaharu desa baik di Jatilawang, Gentansari, maupun Gumelem Kulon, juga memiliki agenda di luar kelas. Salah
satunya merangkul dan menggerakkan perempuan desa. Solidaritas kelompok perempuan penting untuk menggerakkan potensi desa, mendorong perbaikan layanan publik serta berkolaborasi dengan pemerintah desa (Pemdes) agar usulan atau masukan-masukan mereka masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa). “Kami ingin agar para warga mau menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Terutama kebiasaan warga saat membuat hajat, karena masih banyak warga yang belum memiliki jamban. Yang telah masuk dalam RPJMDesa adalah pengadaan mobil ambulan desa, terutama bagi ibu-ibu yang akan melahirkan. Kami merasa benar-benar membutuhkan ambulan desa apalagi jarak menuju rumah sakit sangat jauh dengan jalan naik turun gunung,” ungkap Yaya, salah satu peserta Sekolah Perempuan. Hal serupa juga diungkapkan Peni Dwi Indrawati, kader Perempuan Pembaharu Desa Gentansari. Peni merupakan satusatunya bidan desa di Gentansari. Dalam menjalankan tugasnya, seringkali dia harus berjalan kaki dari rumah ke rumah. Hal tersebut dilakukannya karena fasilitas transportasi masih jarang. Bersama perempuan pembaharu di desanya, mereka memiliki mimpi desanya menjadi lebih baik lagi tidak hanya di bidang pelayanan kesehatan, tapi juga di bidang pariwisata dan ekonomi. Di bidang ekonomi, mereka ingin menjadikan desa mereka sentra durian,
serta perkembangannya industri rumah tangga untuk penanggulangan kemiskinan. Sementara, di bidang pariwisata, bersama pemerintah desa, mereka sedang mempersiapkan danau Tampomas menjadi salah satu destinasi di Kabupaten Banjarnegara. Belum lagi mimpi menghidupkan pasar desa yang sampai sekarang karena persoalan tertentu masih belum beroperasi lagi alias mangkrak. Selama ini Desa Gentansari baru dikenal dengan produksi kripik singkong. “Kami ingin mengembangkan industri rumahan untuk membuat lapangan pekerjaan kepada ibu-ibu, salah satunya dengan memiliki alat-alat produksi, tempat produksi, menjaga kualitas serta kebersihannya. Selain itu, sampai sekarang kami masih memperjuangkan program jambanisasi. Sementara ini baru pengajuan dana dan sosialisasi kepada masyarakat tentang betapa pentingnya jamban sehat,” jelas Peni. Sementara itu, di Gumelem Kulon, perempuan pembaharu desa tengah berjuang bagaimana mewujudkan adanya koperasi “Nirasari”. Menurut Lilis Yuniarti, peserta Sekolah Perempuan di desa Gumelem Kulon, koperasi tersebut diharapkan dapat menampung semua produksi yang ada di Gumelem Kulon seperti batik tulis, batu, kerajinan kerang, pandai besi, gula semut, ciri mutu, makanan ringan. “Banyak sekali keinginan kami dalam mewujudkan kehidupan masyarakat menjadi sejahtera, tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga di bidang kesehatan, dan pemerintahan desa yang lebih baik lagi,” ungkap Lilis. [Alimah]
26
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
CATATAN PENGETAHUAN
Penerapan Keterbukaan Informasi dan Transparansi Keuangan Desa di Kabupaten Malang Transparansi dan partisipasi menjadi dua kata kunci penting dalam pengelolaan pembangunan di tingkat desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menempatkan keduanya sebagai aspek penting dalam perubahan di tingkat desa. Transparansi terkait erat dengan kata kunci informasi yang turut diatur pada pasal 82 ayat 1. Ketersediaan informasi selanjutnya, pada pasal 2, dinilai menjadi bagian dari akses masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa.
S
ecara spesiďŹ k, informasi publik diatur pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Desa menjadi salah satu badan publik yang turut menjadi subjek dalam UU KIP. Dengan status pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintahan desa menjadi subjek yang berkewajiban menyediakan dan penyelenggaraan keterbukaan informasi. Melalui pendekatan apresiasi atas desa, Infest Yogyakarta memandang bahwa keterbukaan informasi tidak semata kewajiban yang melekat melainkan juga bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Sebagai pelayanan, keterbukaan informasi akan melekat sebagai mekanisme harian pada pemerintahan desa dan tidak terpisah dari tugas pemerintahan desa. Pendekatan apresiasi atas desa juga menempatkan partisipasi sebagai kunci pelaksanaan pembangunan sejak perencanaan sampai pertanggung-jawaban. Melalui Tim Pembaharu Desa yang berisikan perwakilan masyarakat dan pemerintahan desa, pengelolaan pemerintahan desa menjadi tidak eksklusif dikelola oleh desa. Masyarakat menjadi bagian langsung dari proses pembangunan dan penatausahaan pada lingkup tertentu. Keterlibatan ini diharapkan memperkuat kemungkinan masuknya agenda-agenda penting masyarakat berbasis pada data yang dibangun secara kolektif.
Pengelolaan keuangan menjadi salah satu “jantung� sorotan pendekatan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta. Keuangan dinilai menjadi salah satu aspek paling sensitif ketika dihadapkan pada kebutuhan pemerintah untuk terbuka kepada masyarakat. Pada pengelolaan keuangan, penguatan kapasitas dilakukan untuk memastikan desa dapat mengelola keuangan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas. Bersandingan dengan akuntabilitas, transparansi ditempatkan sebagai bagian tidak terpisahkan sekaligus sebagai bentuk pelayanan. Infest Yogyakarta mencoba memperkuat kapasitas pengelolaan keuangan dari dua aspek yaitu standar akuntansi keuangan dan pemanfaatan aplikasi keuangan desa. Aspek kapasitas dan pemanfaatan aplikasi tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Aplikasi berjalan sebagai alat kerja setelah desa mampu memahami prinsip-prinsip tata kelola keuangan. Di lain sisi, pemanfaatan aplikasi berfungsi untuk mendorong penyediaan keterbukaan data secara cepat agar masyarakat dapat mengawasi pengelolaan keuangan desa. [M. Irsyadul Ibad]
Sejak Maret 2015, Infest Yogyakarta bersama tim pembaharu desa di tiga desa Kabupaten Malang (Tunjungtirto, Kucur, dan Jambearjo) mencoba melakukan beberapa perubahan dalam perencanaan dan pengelolaan pemerintahan desa. Upaya pertama adalah dengan merumuskan perencanaan apresiatif dengan berbasiskan aset di tingkat desa. Fokus kedua adalah keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan. Mengacu pada konsep keterbukaan data (open data) dan keterbukaan informasi publik, akses atas informasi pembangunan dan pelayanan publik didorong menjadi bagian dari pelayanan publik. Tidak ada pemisahan antara tugas pelayanan dan penyediaan informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat desa. Kedua, pelayanan informasi menjadi bagian yang dikelola secara partisipatif. Tim Pembaharu Desa menjadi penerjemah informasi (translasi) yang bertujuan memudahkan pemahaman masyarakat atas informasi, sekaligus memperluas keteraksesan informasi di tengah masyarakat. Selain tim pembaharu desa, tim pengelola informasi desa turut dibentuk dengan keterlibatan elemen masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan informasi dinilai menjadi nilai lebih pendekatan apresiatif dalam pelayanan di tingkat desa. Hal ini menjadikan informasi tidak ekslusif (hanya dikelola dan diakses oleh perangkat desa), melainkan turut melibatkan elemen masyarakat. Pengelolaan informasi akan memanfaatkan pendekatan berbasis pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan non-TIK.
5 Pengelolaan keuangan yang profesional (akuntabel) di tingkat pengelolaan pemerintah desa yangmengedepankan prinsip partisipasi dan transparansi sejak dari perencanaan sampai pada pertanggung jawaban
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan informasi ditingkat desa
27
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
Banjarnegara
Musyawarah Desa Jatilawang Rancang BUMDesa
BERITA DESA
LP3M, kelompok perempuan yang tergabung dalam Sekolah Perempuan, dan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara Drs. Imam Purwadi. Salah satu agenda yang dibahas pada Musdes kali ini adalah perumusan Badan Usaha Milik Desa (Musdes). Ada empat jenis usaha yang digagas dalam Musdes kali ini yaitu jasa pajak motor, jasa pembayaran tagihan listrik, simpan pinjam, dan jual-beli kentang hasil pertanian warga. Rencananya, masingmasing usaha akan dikelola oleh perempuan. Menurut Supriyanto selaku Kepala Desa Jatilawang, dalam Musdes ada tiga agenda yakni PNPM, purna tugas dua perangkat desa dan BUMDesa. Ide tentang BUMDesa, menurut Supriyanto sebenarnya sudah sejak lama diidam-idamkan. BUMDesa diharapkan bisa menjadi cara untuk menyejahterakan warga dan menambah pendapatan Desa Jatilawang. "Bukan untuk mengecilkan perempuan, seorang manajer nantinya adalah seorang laki-laki. Sehingga untuk menjalankan BUMDesa, seorang manajer harus mau, mampu, dan jujur," terang Supriyanto.
Dok. Infest
B
anjarnegara– Pemerintah Desa dan Badan Permusyawatan Masyarakat Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa menggelar Musyawarah Desa (Musdes), Senin (12/5). Musdes dilakukan di Balai Desa Jatilawang dihadiri oleh 44 orang yang terdiri dari perangkat desa, BPD, kapala dusun, ketua RT, RW,
Pembahasan dalam Musdes Jatilawang baru menyepakati adanya BUMDesa. Menurut Yayah selaku Bendahara Desa Jatilawang, dibutuhkan pertemuan-pertemuan berikutnya untuk membahas pola usaha dan tata kelola usaha BUMDesa. Sebab, selama ini, belum mempunyai pengalaman dalam tata kelola BUMDes. "Dalam setiap pertemuan, impian untuk mengelola usaha desa sudah sering dibahas tetapi belum berani memulai. Dan, sekarang kita akan memulai dari level yang sederhana," kata Yayah. [sofwan]
Malang
Inovasi dan Potensi Desa Jambearjo
M
alang,– Kamis (9/4/2015) pagi, suasana Kantor Desa Jambearjo, Kecamatan Tajinan tampak ramai. Rombongan marchingband, yang sebagian besar perempuan, berjalan rapi memasuki halaman kantor desa. Penampilan ibu-ibu PKK Desa Jambearjo ini menyambut kedatangan 40 kepala desa di Jawa Timur. Hari itu, Desa Jambearjo menjadi ruang belajar para kepala desa di Jawa Timur. Menurut Endang Sri W, selaku Kepala Bidang Diklat Fungsional Provinsi Jawa Timur, kunjungan ke Desa Jambearjo menjadi proses pembelajaran dalam rangka penguatan kepala desa. Endang menambahkan, Desa Jambearjo memiliki beragam potensi yang bisa menjadi bahan rujuan dan inspirasi bagi desa lainnya. “Harapannya ada nilai positif yang bisa diambil oleh para peserta (kepala desa) yang bisa diimplementasikan di wilayahnya,” terang Endang. Desa Jambearjo bisa menjadi contoh bagi desa lain yang mampu memaksimalkan potensinya bagi kesejahteraan warga. Desa ini pernah menjadi juara 2 tingkat Provinsi Jawa Timur dalam pengelolaan air bersih. Pengelolaan air bersih di Desa Jambearjo dikelola swadaya oleh masyarakat melalui Badan Pengelola Air Bersih dan Sanitasi (BPAS) Sumber Apak. Sumber air bersih di Desa Jambearjo mampu melayani 1187 pelanggan. “Sumberdaya manusia adalah modal sosial yang dimiliki oleh Jambearjo untuk menggerakkan roda pemerintahan desa dan pengelolaan air bersih,” terang Kepala Desa Jambearjo, Bambang Mawardi ST.
Untuk menjadi desa mandiri, Pemerintah Desa (Pemdes) Jambearjo telah menggagas dan melakukan beragam inovasi. Dari pengelolaan air bersih, Desa Jambearjo menggagas pengembangan sumber listrik mandiri. Gagasan ini muncul karena Desa Jambearjo mempunyai potensi sumber dan aliran air yang mampu menggerakan turbin sebagai sumber listrik. “Kami mempunyai rencana untuk memiliki sumber listrik mandiri yang akan digunakan untuk memompa sumber air ke masyarakat. Di sekitar sumber juga akan dibuat wahana pemancingan dan wisata lainnya,” tambah Bambang. Dalam bidang keterbukaan informasi, Pemdes Jambearjo melakukan inovasi dalam penyusunan buku kerawangan desa dan menerbitkan majalah Suara Mandiri. Buku kerawangan yang memuat dokumen kepemilikan tanah desa ini disusun supaya mudah dibaca dan dipahami oleh warga. Hal tersebut untuk meminimalisir potensi konflik akibat sengketa tanah. Sementara Suara Mandiri, menjadi media komunikasi dan informasi bagi warga. []
Dok. Infest
BERITA DESA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
28
Wonosobo
Forum Kesehatan Desa Keseneng:
Mendorong Pelayanan Kesehatan Warga
Desa Keseneng di lereng Gunung Sindoro (Dok. Infest)
P
erubahan memang selayaknya datang dari mereka yang giat. Kalimat itu sepertinya mampu menggambarkan inisiatif pengorganisasian masyarakat Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo. Pada 2014, desa di lereng Gunung Sindoro ini mendapatkan penghargaan sebagai Desa Siaga Aktif Kabupaten Wonosobo. Pada tahun yang sama, tepatnya 12 November 2014, Desa Keseneng juga menerima apreasiasi Bupati Wonosobo, H.A. Kholiq Arif, atas upaya mereka dalam menggalakkan sanitasi bersih dan sehat.Keberhasilan tersebut tentu tidak muncul secara tiba-tiba, apalagi tanpa dukungan siapa-siapa. Dinamika pada aras lokal seperti pengalaman pengorganisasian Desa Siaga Aktif Desa Keseneng ini penting sebagai bahan pembelajaran bagi siapapun. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Kota Wonosobo, maka sampailah di Desa Keseneng. Pemandangan pegunungan dan ladang sayur mayur terhampar selama perjalanan. Desa Keseneng berpenduduk 486 kepala keluarga, sebagian besar bekerja sebatai petani. Setibanya di kantor desa, tim Infest-Mampu disambut oleh Mugiharto, Kepala Desa Keseneng. Dengan ramah, ia memperkenalkan dua perempuan pegiat Forum Kesehatan Desa (FKD) di Desa Keseneng, Endah Pujiarti dan Titik Sundari. Nama terakhir, Titik Sundari adalah bidan desa yang bertugas di Desa Keseneng sejak 2008 lalu. Sementara, Endah merupakan pengajar Taman Kanan-kanak di Desa Keseneng.
29
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
BERITA DESA
Hari itu, Sabtu (28/3/2015), Bidan Ndari begitu ia kerap disapa, masih melayani warga yang berdatangan ke Pusat Kesehatan Desa (PKD) Keseneng yang berada tepat di samping kantor desa. Sundari dengan sabar dan telaten melayani warga yang datang. Pelayanan kesehatan di PKD tutup pada Selasa karena Sundari bertugas di Puskesmas Kecamatan. “Maaf ya, saya sambi, hari ini ada pelayanan imunisasi balita,” ujar Sundari disela-sela obrolan. Endah dan Sundari merupakan motor penggerak Forum Kesehatan Desa (FKD) Keseneng. Selain mereka ada sekitar 25 orang penggerak FKD yang terdiri dari para kader serta perwakilan Dusun (Keseneng dan Bugel) dan Rukun Tangga (RT) di Desa Keseneng. Tak lama berselang, Nisro, Ketua FKD yang juga menjabat sebagai Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Desa Keseneng datang. Forum Kesehatan Desa Keseneng sebagai lembaga perwakilan masyarakat yang aktif mendorong kebijakan di tingkat desa dalam rangka pelayanan dasar kesehatan. Kegiatan-kegiatan FKD beragam mulai dari sosialisasi pentingnya hidup bersih dan sehat, posyandu, pendataan kondisi kesehatan warga dan lingkungan di desa hingga mengawal perencanaan pembangunan desa bagi pelayanan kesehatan. Selain itu, FKD juga membuat aturan yang disahkan melalui pemerintah desa tentang kesehatan persalinan, rujukan untuk kesehatan. Sosialisasi Kesehatan dan Mengawal Anggaran Desa Dari cerita Sundari, Program Desa Siaga, salah satu di dalamnya mensyaratkan FKD yang aktif, sebenarnya telah diperkenalkan pemerintah sejak 2006. Selain itu, untuk menjadi desa siaga diikuti prasyarat lainnya yakni, upaya kesehatan, gotong toyong, pengawasan dan pembiayaan. Akan tetapi, FKD pada kepengurusan sebelumnya tidak berjalan serius karena kurang pahamnya para pengurus FKD waktu itu tentang apa dan bagaimana forum harusnya bekerja. Selain itu, sebagian besar pegiat forum merupakan aparat desa yang sudah berusia lanjut. “Nama dan SK (Surat Keputusan) kepengurusannya sudah ada sejak 2007, cuma tidak ada kegiatan,” ungkap Sundari. Hingga, celah untuk menggerakkan FKD mulai muncul pada 2013. Masa kepengurusan FKD sebelumnya berakhir pada tahun itu. Momen tersebut lantas dimanfaatkan untuk melakukan reorganisasi di tubuh FKD. Sundari dan Mugiharto selaku Kepala Desa mulai menjaring kader-kader desa potensial, tokoh warga, pengurus Badan Perwakilan Desa (BPD), dan lain sebagainya. Pertemuan-pertemuan rutin pun digelar. Untuk semakin menyebarluaskan jaringan aspirasi warga, FKD juga diisi oleh perwakilan Dusun dan RT. Bagi Sundari, pelibatan merupakan hal yang penting mengingat peran FKD adalah mendorong perilaku hidup bersih dan sehat di desa. Di sisi lain, pelibatan itu pada akhirnya juga mengefektifkan kerja FKD dalam mengidentifiaksi aspirasi, persoalan, hingga potensi kesehatan di desa. Seperti diungkapkan oleh Nisro, Ketua FKD, “Bila ada kader di setiap
Titik Sundari, Bidan di Desa Keseneng yang aktif mendampingi Forum Kesehatan Desa Keseneng (Dok Infest)
RT maka kita bisa tahu kondisi lingkungan misalnya pembuangan air limbah milik warga. Bila ada yang masih kumuh, pembenahan pun bisa diajukan ke anggaran dana desa”. Kini, FKD Keseneng rutin mengadakan pertemuan setiap selapan (35 hari) pada Selasa Kliwon. Dalam setiap pertemuan rutin itu, mimpi dan upaya untuk membangun perilaku hidup bersih dan sehat dimusyawarahkan. Salah satu mimpi para pengurus FKD 2013 adalah supaya warga tidak buang air besar sembarangan. Kampanye hidup sehat dan pentingnya jamban digalakkan. Hal tersebut disambut positif oleh pemerintah desa dengan mendeklarasikan Stop Buang Air Besar Sembarangan tepat pada Hari Kesehatan Nasional. Hasilnya, pada 2014, hampir 95 persen rumah penduduk sudah memiliki jamban dan pembuangan limbah pribadi. Tahun ini, tim FKD pun berkomitmen untuk mendorong hingga angka 100 persen. Tentunya dengan terus mendorong perilaku hidup sehat di masyarakat. Menurut Nisro, FKD mulai memefasilitasi pembuatan jamban dengan menggandeng Puskesmas dan Pemerintah desa Keseneng. Usulan bantuan bisa dimungkinkan karena FKD telah memiliki basis data kepemilikan jamban sehat. Para pegiat FKD menyadari betul pentingnya basis data untuk membuat perencanaan pembangunan desa yang baik. Satu kali dalam setahun mereka rutin melakukan survei mawas diri yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan serta kesehatan fisik warga. Selain itu, FKD juga terlibat aktif dalam musyawaran desa untuk mendorong pelayanan kesehatan melalui perencanaan pembangunan desa dan penganggaran. “Untuk anggaran masukkan kita seperti pemberian makanan tambahan untuk posyandu balita, lansia, ibu hamil dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelayanan PKD,” terang Endah.
Beruntung, warga Desa Keseneng menyambut baik setiap kegiatan yang dilakukan oleh FKD. Semangat gotong royong masyarakat Keseneng menjadi modal penting dalam pemenuhan pelayanan dasar kesehatan hingga menjadi desa siaga aktif. Selain tenaga, warga juga menumpulkan iuran swadaya untuk kegiatankegiatan FKD sebesar Rp 500,-/bulan. “Menjadi Desa Siaga itu kalau warga, kader, bidan, dan pemerintah desanya aktif dan kompak,” ujar Nisro. [Sofwan]
Nisro dan Endah Pujianti, pengurus aktif Forum Kesehatan Desa Keseneng (Dok. Infest)
BERITA DESA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
30
Banjarnegara
Lokakarya Perempuan dan Pembaharuan Desa di Banjarnegara
Pertemuan ini diikuti oleh 60 perempuan peserta "Sekolah Perempuan" dari Desa Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilawang. Selain itu, hadir juga perwakilan dari pemerintah desa, kecamatan, dan Kabupaten Banjarnegara yang diwakili oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Menurut Alimah Fauzan selaku penanggungjawab "Sekolah Perempuan", pertemuan ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan di desa yang responsif gender dan inklusi sosial. Sehingga, diharapkan adanya dukungan dari pemerintah daerah dan desa untuk memberikan ruang kepada kelompok perempuan untuk terlibat dalam proses-proses pembangunan desa. Dok. Infest
S
emangat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) adalah untuk mewujudkan desa yang mandiri dan demokratis. Mandiri untuk mewujudkan kesejahteraan warga dengan mendayagunakan segala aset dan potensi yang ada di desa. Demokratis dalam merumuskan perencanaan, pelaksanaan, hingga peran-peran pengawasan oleh warga, tak terkecuali oleh perempuan. Sebagai bagian dari proses "Sekolah Perempuan" dengan tema "Kepemimpinan Perempuan dan Reformasi Pemerintah Desa" di Banjarnegara, pada Jumat-Sabtu (8-9/5/2015) diselenggarakan lokakarya Perempuan dan Pembaharuan Desa. Lokakarya ini merupakan kerja sama antara Infest Yogyakarta dengan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.
Takalar
Takalar Petakan Regulasi untuk Implementasi UU Desa
R
abu, (8/4/2015), bertempat di Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar digelar diskusi penyusunan regulasi kabupaten untuk implementasi Undang-undang (UU) Desa. Diskusi kali ini digelar untuk memetakan regulasi yang perlu dipersiapkan di tingkat Kabupaten untuk implementasi UU Desa. Menurut Farid Hadi, selaku penasihat senior Infest Yogyakarta untuk program desa, diskusi kali ini untuk menjaring masukan dari desa tentang apa saja yang perlu diatur oleh kabupaten. Mengingat, mulai April ini, dana desa sudah mulai dicairkan, maka perlu dipersiapkan secara matang. Di Kabupaten Takalar, tim Infest-Mampu bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Takalar untuk impementasi UU Desa. Acara yang dimulai sejak pukul 9 pagi ini, turut dihadiri oleh pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), relawan dari empat desa lain yakni Desa Kadatong, Desa Parapunganta, Desa Bentang, dan Desa Soreang. Selain itu hadir pula perwakilan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat bidang Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Takalar. Menurut Hasbullah perwakilan dari BPMPD mengatakan, forum ini menjadi ruang untuk menjaring masukan dari desa tentang kebutuhan apa saja yang perlu dimasukkan dalam aturan di tingkat kabupaten. Menurutnya, masukan dari desa akan menjadi bahan dalam pembahasan dalam pertemuan beberapa instansi di Kabupaten Takalar. “Kami sepakat pertemuan ini sangat penting, mengingat 40 persen dana desa akan turun April ini. Sementara kabupaten sendiri
Beberapa materi yang didiskusikan dalam lokakarya ini antara lain, sinergitas kelembagaan dalam pembangunan dan kemandirian desa, jender dan inklusi sosial dalam pembangunan desa, Pelembagaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa), dan memahami filosofi dan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Dalam pemaparannya, Kepala Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa akan menyelenggarakan Musyawarah Desa untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Senin 11 Mei nanti. Di sinilah keterlibatan strategis kelompok perempuan, khususnya peserta "Sekolah Perempuan". Pemerintah desa akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) kader perempuan pembangunan desa sebagai bagian dari tim perumus RPJMDesa. [] belum tahu banyak aturan apa yang akan dibuat oleh desa,” terangnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Desa Kadatong, Abdul Muis. Selama ini, menurut Muis, pemerintah desanya belum mengetahui secara detil aturan-aturan turunan UU Desa dan regulasi-regulasi yang dibutuhkan. “Tolong bantu dan jangan lupakan kami,” ujar Muis. Dalam diskusi kali ini muncul beberapa kebutuhan regulasi di tingkat kabupaten yang dibutuhkan oleh desa. Regulasiregulasi tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum implementasi UU Desa, antara lain Perbup tentang Kewenangan Desa, Perbup tentang Perencanaan Desa Perbup tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Perbup tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang meliputi Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Retribusi, besaran alokasi dan mekanisme penyaluran Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), serta Penghasilan Tetap (Siltap) Perangkat Desa. “Desa seharusnya bisa membangun sesuai kewenangannya. Kalau tidak ada dasar hukum tentang kewenangan desa bagaimana. Di dalam UU Desa kewenangan desa didasarkan pada kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa,” terang Farid Hadi.
Dok. Infest
31
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
BERITA DESA
Wonosobo
Kabupaten Wonosobo Siap menjadi Pelopor Open Data Keuangan Desa
Tampilan Portal Pengawasan APBDesa Kabupaten Wonosobo
K
abupaten Wonosobo siap menjadi model dalam implementasi open data keuangan desa. Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Kholiq Arif, Bupati Wonosobo, pada rapat koordinasi antara Infest Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo di Kantor Sekretaris Daerah Wonosobo (30/07/2015). Kabupaten Wonosobo menargetkan akan melakukan penguatan kapasitas dan keterbukaan pengelolaan keuangan di tingkat desa. Upaya ini dimulai dari penyusunan peraturan-peraturan pendukung di tingkat Kabupaten yang menjadi rujukan dalam dalam pengelolaan keuangan desa. Komitmen keterbukaan dan penerapan prinsip data terbuka menjadi bagian dari kebijakan yang akan disiapkan oleh Kabupaten Wonosobo. Implementasi data terbuka pengelolaan dana desa akan dimulai dari penguatan kapasitas pengelolaan keuangan di tingkat desa. Penguatan kapasitas ini akan dilakukan bertahap di Kabupaten Wonsobo. Pada tahapan ujicoba ini, Desa Keseneng dan Lengkong akan menjadi dua desa percontohan. Percontohan ini akan
dijadikan rujukan perluasan dan penerapan kebijakan di tingkat Kabupaten Wonosobo. Kabupaten Wonosobo telah menyiapkan portal pengawasan keuangan desa yang beralamat di www.apbdes.wonosobokab.go.id. Desa di Kabupaten Wonosobo akan menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan Lumbung Keuangan Desa yang dikembangkan oleh Infest. Aplikasi ini dalam jangka panjang akan terhubung dengan portal pemantauan keuangan desa yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten. Melalui portal keuangan tersebut, pengelolaan keuangan di tingkat desa akan dapat dipantau secara cepat. Pengelolaan data terbuka ini terhubung dengan inisiatif non-teknologi yaitu Perencanaan Apresiatif di tingkat desa. Perencanaan berbasis aset ini mengandalkan partisipasi masyaratkat dan apresiasi atas kewenangan serta aset desa. Partisipasi ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi desa. Keterbukaan sudah tidak lagi semata terkait dengan teknologi tetapi partisipasi dalam penentuan kebijakan pembangunan di tingkat desa. [M. Irsyadul Ibad]
BERITA DESA
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
32
Takalar
Ungkap Potensi Desa Baru
S
ebanyak 20 Kader Pembaharu Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong mengikuti pelatihan pemetaan aset dan potensi desa. Pertemuan yang digelar selama dua hari ini (1-2/7/2015), para kader Pembaharu Desa membahas hasil pemetaan aset desa yang telah dilakukan sebelumnya. Para kader pembaharu desa saling berdiskusi untuk merinci sekaligus melengkapi data aset yang telah dikumpulkan. Tim dibagi menjadi tiga kelompok disesuaikan dengan dusun masing-masing yakni Dusun Kalukubodo, Kampong Pabilaya, dan Pa'batoang. Menurut Syahribulan Palemmai selaku penanggungjawab program desa Infest di Kabupaten Takalar, kegiatan pemetaan aset merupakan bagian dari pemetaan apresiatif. Sebelumnya, selama 2 minggu, para kader desa melakukan identifikasi aset dan potensi di desa. Untuk mendapatkan data yang tepat, para kader pembaharu desa bekerjasama dengan para kepala dusun dan melakukan wawancara. Diteruskan dengan visualisasi aset desa pada peta desa. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran terkait kondisi dan aset yang dimiliki oleh desa," terang Syahri. Daftar aset yang berhasil didata oleh kader Pembaharu Desa Kalukubodo meliputi aset sumber daya alam, fisik, finansial, sosial, kelembagaan, spiritual dan budaya. Hasil dari pemetaan sosial akan menjadi dokumen desa sebagai rujukan dalam perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan di desa. Di hari kedua, kelompok dari masing-masing dusun turut melibatkan warga untuk melihat dan mencocokkan hasil pendataan. Setelah mendapatkan masukan dari warga, kader pembaharu desa berkesempatan memperbaiki data yang sudah disusun. Menurut Kepala Desa Kalukubodo, Abd. Gaffar Rate pemetaan aset yang diikuti oleh kader pembaharu desa sangat bermanfaat bagi desa. Sebagai desa baru, pembelajaran yang diikuti oleh para kader Pembaharu Desa mampu menumbuhkan motivasi. "Walaupun desa baru namun tidak ketinggalan dalam mengidentifikasi aset yang dimiliki desa. Sehingga, mampu membuka wawasan kita ke depan untuk berkembang," ujar Abd. Gaffar.
Dok. Infest
“Walaupun desa baru namun tidak ketinggalan dalam mengidentifikasi aset yang dimiliki desa. Sehingga, mampu membuka wawasan kita ke depan untuk berkembang," ujar Abd. Gaffar
Potensi kawasan pesisir Laut dan pantai adalah salah satu sumber penghidupan warga di Kabupaten Takalar. Begitu pula bagi warga Desa Kalukubodo. Misalnya, di Dusun Pa'batoang yang menjadi denyut nadi perekonomian Desa Kalukubodo. Di tempat inilah, setiap harinya, terjadi transaksi antara nelayan dengan pedagang. Di Dusun Pa'batoang, nelayan terorganisir dalam kelompok nelayan. Hasil tangkapan nelayan dibawa ke Beba, tempat pelelangan ikan terbesar di kabupaten Takalar. Salah satu kader pembaharu desa, Dg Sila mengungkapkan bahwa desanya memiliki potensi yang belum dikelola. Desa Kalukubodo, menurutnya, bisa menjadi desa mendiri dengan mengembangkan potensi wisata pantai. Pengelolaan wisata pantai bisa dilakukan oleh warga bersama pemerintah desa. Ia pun menaruh harap kepada pemerintah desa untuk berkomitmen memanfaatkan data hasil pemetaan aset untuk perencanaan pembanguunan desa. "Pak desa (kepala desa) harus berkomitmen memprioritaskan aset yang sudah teridentifikasi selama dua hari ini. Sehingga proses perencanaan pembangunan kedepan lebih baik," ujarnya. [Sofwan]
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
33
BERITA DESA
Poso
Sekolah Perempuan Poso:
Menebarkan Virus Kedaulatan Desa
Suasana Sekolah Perempuan di Institut Mosintuwu, Poso. (Dok Infest)
S
iapa yang paling tahu tentang desa selain warga desa. Lalu, jika ditelusuri lebih lanjut, siapa yang sebenarnya tinggal di desa, perempuan adalah jawabannya. Sayangnya pengetahuan seringkali tidak menjadi milik orang desa, apalagi perempuan. Perencanaan pembangunan sangat sering bersifat perintah dari atas atau oleh mereka yang dianggap ahli tentang desa karena posisi, jabatan atau karena gelar kependidikannya. Nyatanya, warga desa yang paling mengetahui berapa lubang di jalan raya mereka, bagaimana sistem irigasi persawahan, berapa anak yang tidak sekolah, bagaimana kondisi ibu hamil, siapa yang mengalami gizi buruk dan sebagainya. Meskipun ada pendataan yang biasa dilakukan oleh dinas-dinas dalam pemerintahan namun tidak dapat mewakili dinamika sosial yang terjadi di dalam desa. Akses informasi, pengetahuan dan keterampilan menjadi tantangan warga desa untuk bisa menjadi kekuatan bagi desa untuk berdaulat. Di satu pihak, pengalaman warga desa menjadi pengetahuan baru yang bisa menjadi kekayaan dalam menjadikan desa berdaulat atas tanah, udara dan airnya. Kesadaran ini telah mendorong Institut Mosintuwu sejak bulan September 2014 melakukan serangkaian kegiatan bersama dengan warga desa, khususnya perempuan desa membicarakan tentang desa dengan menggunakan UU Desa. Keingintahuan bersamaan dengan kemauan kuat agar warga desa menentukan kehidupan mereka di dalam desa yang adil dan setara, Sekolah Desa menjadi pilihan selanjutnya. Infest Yogyakarta, sebuah organisasi yang bergerak pada isu desa bekerjasama dengan Institut Mosintuwu mengadopsi proses di sekolah perempuan mosintuwu sebagai mekanisme belajar bersama di dalam desa tentang desa. Sekolah
desa diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat dan pemerintahan desa dalam pembangunan. Layanan ini bertujuan untuk membangun kapasitas yang memadai di kalangan pemerintah dan warga desa dalam pengelolaan, perencanaan dan evaluasi pembangunan. Harapan besar agar desa bisa mandiri dan menunjukkan kemajuan yang lebih berarti disampaikan oleh perwakilan pemerintah dan anggota DPRD yang membuka kegiatan. Terdapat mimpi bersama agar Kabupaten Poso bisa menjadi contoh pengembangan desa yang adil dan setara. "Kita ini kaya, tapi kenapa kita bisa miskin? Itu karena kita tidak tahu bagaimana kelola desa," Kata ibu Rustomini dari Desa Trimulya. "Kita tidak miskin tapi kita miskin karena kita tidak tahu," Jelas ibu Jean dari Desa Tiu. Celutukan ini bukan cermin keputusasaan tapi kemauan kuat untuk berdaulat atas desa. Alimah Fauzan, Program Koordinator dari INFEST memulai pembukaan sekolah perempuan dengan menjelaskan tahapan bersama belajar tentang desa di Sekolah Desa. Hal ini didukung oleh penjelasan dari Farid Hadi, tentang pentingnya kerjasama antara warga desa dan pemerintah desa untuk mengembalikan kedaulatan desa atas perencanaan dan penganggaran pembangunan di desa. Desa Dulumai, Didiri dan Trimulya adalah tiga desa yang menjadi tempat belajar dengan harapan dapat menyebarkan virus kesadaran kedaulatan ke desa-desa lainnya. Gender menjadi isu penting yang mendasari sekolah desa dengan harapan desa melahirkan kebijakan yang adil gender dan inklusi sosial. Desa menulis menjadi topik penting untuk mendasarkan ďŹ lososi dasar sebuah desa dalam menulis. Dalam topik Desa Menulis, warga desa menelusuri sejarah desa untuk memahami sekaligus membangun kembali imajinasi mereka tentang desa yang diimpikan. Penulisan sejarah desa diikuti materi tentang peta sosial desa yang mengajak warga desa belajar memetakan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan di dalam desa. Pemetaan sosial ini menjadi langkah maju dan baru dalam merencanakan pembangunan termasuk merencanakan penganggaran pembangunan yang menjadi topik berikutnya. “Maju, bersuara dan bergerak untuk pembangunan desa" jadi nyanyian bersama para perempuan di desa yang sejak bulan April 2015 bergabung bersama dalam sekolah desa. Sekolah desa baru dimulai, tetapi semangat untuk membangun desa terasa sangat lekat. []
PANDUAN KEBIJAKAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
34
Peluang dan Tantangan Desa Oleh: Farid Hadi*
(Dok.Infest)
Pekik takbir dan syukur di Ruang Sidang Nusantara II DPR RI saat sidang paripurna Rancangan Undang-undang Desa, 18 Desember 2013 masih terngiang. Di balkon ruang sidang maupun di halaman gedung DPR Senayan dipenuhi para kepala desa dan perangkat dari berbagai daerah yang hadir mengikuti sidang paripurna. Kerinduan pada perubahan desa yang lebih sejahtera dan mandiri tumpah ruah dalam rasa syukur saat disahkannya Undang-undang Desa (UU Desa) yang diperjuangkan lebih dari tujuh tahun lamanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menandatangani menjadi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada 15 Januari 2014 dan resmi menjadi Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495.
P
ada awal Februari 2014, Forum Desa Nusantara yang terdiri dari berbagai kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis, komunitas media, dan para pemerhati desa yang ikut aktif mengawal lahirnya UU Desa mengadakan tasyukuran akbar lahirnya UU Desa di Desa Sambak, Kajoran, Kabupaten Magelang. Sekitar seribu kepala desa, perangkat, dan kader desa dari Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi hadir dalam acara tersebut. Apa yang menggairahkan dari semangat substansi UU Desa sehingga desa-desa sangat antusias menyambutnya? Ada lima hal penting dalam UU Desa yang menarik diperhatikan, yakni: 1) pengakuan keberagaman desa; 2) kewenangan atas asas rekognisi dan asas subsidiaritas; 3) konsolidasi keuangan dan aset desa; 4) sistem pembangunan desa yang terintegrasi; dan, 5) demokratisasi desa.
Pertama, pengakuan tentang keberagaman Selama masa orde baru, desa dan sebutan lainnya yang ada di seluruh Nusantara diseragamkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1979. Berbagai nilai asal usul dan keragaman nama diabaikan untuk disamakan sebutannya menjadi desa. Seluruh pemimpin desa disebut kepala desa melalui pemilihan langsung, namun kedudukannya di bawah Camat. Seleksi calon kepala desa pun diatur sedemikian rupa dengan ditetapkannya Surat Keputusan (SK) Camat tentang panitia pemilihan kepala desa. Masa itu, desa mengalami masa mengambang karena kepala desa dipilih oleh rakyat tetapi tunduk pada camat. Penyeragaman desa menimbulkan kekecewaan, terutama bagi desa-desa di luar Jawa. Gampong dan Mukim di Aceh hilang roh dan nilai kearifan lokalnya. Meunasah yang dalam sejarah Aceh membawa kedamaian dan ketentraman warga tidak lagi mempunyai
35
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
makna. Demikian pula dengan sejarah Lorong dan Nagari di Sumatera Barat serta Negeri di Maluku. Namun demikian, semasa otoritarian tersebut, tidak ada desa yang berani melawan. Satu-satunya yang berupaya keras menggabungkan kepentingan desa adat dan desa modern yang diatur dalam UU No. 5/1979 tersebut adalah Bali. Bali mengadaptasi adat dan regulasi dalam pengaturannya, yakni Banjar sebagai pelaksana adat dan desa dinas yang merepresentasikan desa pemerintah. Adat atau hukum lokal dan tata pemerintahan desa tradisional ibarat napas dengan rohnya. Keduanya hadir dalam dinamika kehidupan masyarakat desa. Akan tetapi, dampak dari UU tersebut telah memisahkan keduanya. Lembaga adat hanya menjadi organisasi kemasyarakatan di desa. Maka, banyak adat dan tuntunan luhur hanya menjadi hiburan atau tontonan semata. Euforia reformasi 1999 turut membangkitkan romantisme a s a l - u s u l . U n d a n g - u n d a n g N o m o r 2 2 Ta h u n 1 9 9 9 mengembalikan sebutan desa atau disebut dengan nama lain dalam aturan umumnya. Beberapa daerah kemudian mengembalikannya menjadi nama asli sesuai sejarahnya. Proses tersebut berlanjut hingga masa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Perjuangan panjang mengembalikan kekuatan dan nilai lokal yang beragam terus terjadi di banyak daerah. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya UU Desa mengakui kembali keberagaman desa dengan masuknya prinsip rekognisi dalam asas pengaturan desa (Pasal 3). Prinsip rekognisi adalah pengakutan atas keragaman jenis desa di Indonesia, yakni mengakui dan menghormati hak bawaaan dan keragaman budaya sesuai konstitusi dalam Pasal 18 b ayat (2) [1]. Dengan demikian, menurut UU Desa, desa wajib mengatur dan mengurus hak bawaan atau hak asal usul dalam kewenangan desa.
Kedua, kewenangan atas asas rekognisi dan asas subsidiaritas. Prinsip rekognisi di atas berimplikasi pada pengakuan hak bawaan desa yakni wajib mengatur dan mengurus kewenangan asal usulnya. Sementara, prinsip subsidiaritas dimaknai segala hal yang dapat diatur dan diurus oleh desa menjadi kewenangan desa. Kedua asas tersebut membentuk ketentuan kewenangan asal usul dan kewenangan lokal skala desa dalam empat bidang, yakni penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Empat bidang kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Desa berdasarkan Peraturan Bupati. Sudah banyak bukti desa mengelola kewenangan lokal berskala desa, misalnya tentang urusan pelayanan dasar desa menyediakan air bersih bagi warga, pendidikan anak usia dini, persampahan, dan sanitasi. Dalam bidang ekonomi, desa mengurus pasar desa, Badan Usaha Milik Desa, dan koperasi. Dengan kejelasan kewenangan tersebut, desa berkewajiban merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan kewenangannya.
Ketiga, konsolidasi keuangan dan aset desa Disetujuinya alokasi dana dari pusat yang peruntukannya langsung ke desa, yakni sebanyak 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) dari perimbangan keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan hasil konsolidasi keuangan pusat yang selama ini masuk ke desa tetapi desa tidak berwenang mengatur dan mengurusnya. Komitmen tersebut merupakan implikasi atas pengakuan kewenangan yang harus dijalankan desa. Dalam hitungan kasar desa akan menerima antara 1-1,4 Milyar namun pemerintah akan melaksanakannya secara bertahap seiring persiapan di desa.
PANDUAN KEBIJAKAN
Di daerah, desa tetap berhak atas perimbangan keuangan yang diterima daerah dari pusat. Belanja skala desa yang selama ini dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sekarang wajib diurus desa. Konsolidasi keuangan daerah untuk desa bertujuan pembagian peran yang lebih terukur antara kabupaten dan desa. Kebutuhan masyarakat skala lokal diselesaikan desa dan kebutuhan skala kawasan tetap menjadi urusan kabupaten. Kedua sumber dana dari pusat dan daerah tersebut menjadi pendapatan desa yang dikelola dalam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) yang ditetapkan dengan peraturan desa. Dengan demikian pemerintah desa bertanggungjawab mengelola sumber dana pusat dan daerah untuk melaksanakan kewenangan dan melayani masyarakatnya. Konsolidasi lainnya pada pelaksanaan kewenangan daerah yang dapat ditugaskan kepada desa. Desa berkewajiban melaksanakan tugas yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Pertalian antara kabupaten/kota dengan desa menjadi keniscayaan untuk meningkatkan kemajuan desa dan daerah. Undang-undang Desa mengatur desa sebagai subyek yang bekerjasama dengan kabupaten/kota untuk perbaikan desa dan daerah.
Keempat, sistem pembangunan desa yang terintegrasi. Dua lembaga yang semula seolah sebagai atasan dan bawahan sekarang menjadi mitra yang produktif. Desa sebagai subyek yang melaksanakan kewenangan dan mengelola asetnya mendorong lahirnya emansipasi dari dalam. Inisiatif desa akan lahir dengan melalui pemetaan aset desa dan pemetaan sosial desa yang menjadi basis perencanaan pembangunan desa. Desa berkewajiban menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa) untuk periode 6 tahun sesuai masa jabatan Kades, dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) setiap akhir September. Keduanya menjadi dokumen resmi desa yang berisikan apa yang akan dikerjakan terhadap aset dan kewenangan desa dan yang didanai dengan APBDesa. Satu sisi dalam pembangunan kawasan, antara desa dengan kabupaten harus memetakan bersama apa yang akan dikembangkan. Pembanguan kawasasan perdesaan merupakan perpaduan pembanguan antar desa dalam satu kabupaten. Kalau dulu kabupaten menyusun perencanaan daerah secara sepihak, maka ke depan sudah ini tidak bisa lagi. Kabupaten harus menyusun rencana pengembangan kawasan dan aset bersama-sama dengan desa-desa melalui musyawarah desa. Rencana pengembangan kawasan dan aset hasil musyawarah tersebut di desa ditetapkan dengan peraturan desa sedangkan di kabupaten ditetapkan oleh Bupati dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen inilah yang menjadi ruang konsolidasi dan kerjasama antara kabupaten dan desa-desa di masa akan datang. Aspek ini dapat dilihat di Bab IX UU Desa.
Kelima, Demokratisasi desa. Demokrasi bukanlah barang baru di desa. Jauh sebelum NKRI, desa telah melaksanakan demokrasi dalam mengambil keputusan. Misalnya saja desa di Jawa ada pepatah "deso mowo coro, negoro mowo toto" (desa punya cara, kalau Negara punya aturan). Cara yang berlaku di desa adalah aturan yang didasari oleh kearifan lokal. Misalnya, menghormati yang lebih tua adalah unggah ungguh cara jawa menempatkan hubungan kemasyarakatan. Atau ajaran "ono rembug dirembug ono nalar dinalar" (bermusyawarahlah dan gunakanlah nalar untuk menyelesaikan masalah). Jadi demokrasi bukanlah sebuah ajaran baru bagi desa.
PANDUAN KEBIJAKAN
Merdesa | Edisi I | Agustus 2015
36
“Prinsip rekognisi di atas berimplikasi pada pengakuan hak bawaan desa yakni wajib mengatur dan mengurus kewenangan asal usulnya. Sementara, prinsip subsidiaritas dimaknai segala hal yang dapat diatur dan diurus oleh desa menjadi kewenangan desa.� Suasana saat sosialisasi UU Desa di Desa Tracap, Wonosobo (Dok. Infest)
Cara yang sama juga terjadi di banyak desa di luar jawa. Di adat bugis terdapat ajaran amaradekangeng yang berasal dari kata dasar maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Menurut ajaran bugis, yang dimaksud merdeka meliputi tiga hal, yakni tidak dihalangi kehendaknya, tidak dilarang mengeluarkan pendapat, dan tidak dilarang ke selatan, utara, barat, timur, atas serta bawah. Ajaran lain luar biasa adalah "Rusa taro arung, tenrusa taro ade,Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega" (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum , Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan rakyat banyak) [2]. Di masyarakat Batak Toba dikenal ada tonggo raja atau maria raja yang merupakan bentuk aspirasi setiap raja suku ketika akan mendirikan huta (kampung) dalam sistem harajoan [3]. Apabila tidak ada kesepakatan maka pembentukan huta batal atau ditunda. Di masyarakat Minang ada dikenal budaya "membersit dari bawah" (mambasuik dari bawah) yang mengedepankan musyawarah mufakat. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi) [4]. Masih ada ribuan tradisi atau ajaran demokrasi dari berbagai desa atau sebutan lain di nusantara. Dengan masuknya asas sekognisi dalam UU Desa maka mengembalikan nilai-nilai tersebut menjadi ruang apresiasi desa dalam menata masyarakatnya. Desa diperkenankan mengatur dan melaksanakan musyawarah yang melibatkan warganya, termasuk kaum perempuan. Membangun nilai tradisi lamanya dan mengadopsi pengalaman-pengalaman modern dalam berdemokrasi diwadahi melalui Musyawarah Desa. Prinsip melaksanakan demokrasi di desa dalam UU Desa antara lain dengan dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara demokratis. Dalam UU Desa pasal 56 (1) disebutkan Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Dalam penjelasan ditulis bahwa yang dimaksud dengan "dilakukan secara demokratis" adalah melalui proses pemilihan secara langsung atau melalui musyawarah perwakilan. Jaminan pelaksanaan UU Desa secara khaffah menjadi tantangan tersendiri. Mengingat lebih dari 30 tahun desa diatur. Ditambah kepentingan politik praktis dan politik pembangunan di desa selama ini. Tarik-menarik kepentingan atas pengaturan desa semenjak pembahasan pra RUU Desa hingga pelaksanaannya saat ini belum beranjak dari pandangan desa sebagai sumber masalah yang cocok menjadi
ruang prestasi supra desa, bukan aset Negara yang memiliki modal sosial dan mitra pembangunan. Kepercayaan sebagian besar elit kepada desa masih jauh panggang dari api. Di satu sisi desa sudah menjadi bergantung atas ulah proyek pemberdayaan yang salah diterapkan selama ini oleh supra desa. Inilah tantangan besar desa untuk membuktikannya bahwa penggal kalimat terakhir saya salah. Salam berjuang! Catatan Kaki 1. Pada tahun 2000 dilakukan amandemen pasal 18 UUD 1945. Pasal 18 dikembangkan menjadi 3 pasal yakni Pasal 18 (7 ayat), Pasal 18A (2 ayat), dan Pasal 18B (2 ayat). Pasal 18a ayat 2 berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." 2. Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20111126/falsa fah-demokrasi-dalam-kebudayaan-bugis 3. Harajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga mengatur mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986). Sumber : http://www.berdikarionline.com/kabarrakyat/20111122/sistem-demokrasi-dalamkebudayaaan-masyarakat-bataktoba.html#ixzz3WzV4P3b6 4. Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto(Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979
Farid Hadi Rahman Pegiat Forum Desa Nusantara (FDN) dan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
GLOSARIUM
INFOGRAFIS
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) adalah Rencana kegiatan pembangunan desa dalam jangka waktu 6 (enam) tahun. Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) adalah penjabaran dari RPJMDesa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Dana Desa (DD) adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa atau perolehan hak lainnya yang sah. Rekognisi yakni pengakuan terhadap hak asal usul. Subsidiaritas yakni penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar mdalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Desa.
(infograďŹ s : MAMPU)
Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan
I
nstitute for Educational Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta menginisiasi program bertajuk “Penguatan Transparansi dan Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Penguatan Akses Perempuan pada Pembangunan di Tingkat Desa�. Program ini didukung Program Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU), inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan. Infest Yogyakarta memandang bahwa UU Desa menjadi titik perubahan penting dalam upaya pembaharuan pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan. Melalui program ini Infest Yogyakarta bersama beberapa desa, mengembangkan pendekatan, metode dan cara dalam upaya pembangunan di tingkat desa. Cita-cita tersebut dilandasi semangat keadilan, kesetaraan gender, profesionalisme pemerintah desa, keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat.
Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintahan Desa Melalui Pemanfaatan ICT dan Penguatan Akses Perempuan pada Pembangunan di Tingkat Desa
UU Desa menjadi peluang dan titik tolak penting dalam upaya mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan di tingkat desa.
01
Pengembangan kapasitas, peran dan akses perempuan terhatap pembangunan tingkat desa
02
Pengembangan metode Perencanaan Pembangunan Desa Berbasis Apresiasi dan Aset
03
Pemanfaatan ICT untuk perbaikan tata kelola, akuntabilitas dan transparansi pada penyelenggaraan pemerintahan desa;
MALANG
1. Perencanaan Apresiatif Desa 2. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk manajemen keuangan dan informasi desa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pemahaman UU Desa Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa; Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa; Identifikasi aset dan potensi desa; Pemetaan sosial berdasarkan ukuran lokal; Perumusan perencanaan pembangunan desa yang apresiatif; Penguatan implementasi keterbukaan informasi publik; Penguatan implementasi tata kelola keuangan desa; Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk manajemen dan informasi desa..
KEGIATAN PROGRAM
KEGIATAN
PROGRAM
Desa Jambearjo, Desa Kucur, Desa Tunjungtirto.
Penguatan kapasitas perempuan melalui Sekolah Perempuan. "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa" 1. Pemahaman UU Desa 2. Pendidikan kritis untuk perempuan 3. Memetakan aset dan potensi desa 4. Penguatan komitmen antar pemangku kebijakan di desa tentang kerlibatan perempuan dalam proses perencanan hingga pengawasan pembangunan desa.
POSO Desa Didiri, Desa Dulumai Desa Trimulya
WONOSOBO
KEGIATAN
PROGRAM
Desa Gondang, Desa Tracap Desa Wulungsari .
Perencanaan Apresiatif Desa 1. 2. 3. 4 5. 6. 7.
Pemahaman UU Desa Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa Identifikasi aset dan potensi desa Pemetaan sosial berdasarkan ukuran lokal Perumusan perencanaan pembangunan desa yang apresiatif Open data keuangan desa.
TAKALAR Desa Soreang, Desa Kalukubodo Desa Parapunganta .
Penguatan kapasitas perempuan melalui Sekolah Perempuan. "Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa"
1. 2. 3. 4.
Pemahaman UU Desa Pendidikan kritis untuk perempuan Pemetaan aset dan potensi desa Penguatan komitmen antar pemangku kebijakan di desa tentang kerlibatan perempuan dalam proses perencanan hingga pengawasan pembangunan desa.
KEGIATAN
KEGIATAN
PROGRAM
Desa Gentasari, Desa Jatilawang Desa Gumelem Kulon
PROGRAM
BANJARNEGARA
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk manajemen keuangan dan informasi desa
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemahaman UU Desa Penguatan kapasitas kader dan aparatur desa; Inisiatif pembentukan Tim Pembaharu Desa; Penguatan implementasi keterbukaan informasi publik; Penguatan implementasi tata kelola keuangan desa; Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk manajemen dan informasi desa..