Lembar Fakta
PPTKIS dalam Perspektif Pekerja Migran Hasil Pemantauan PPTKIS Latar Belakang Peran sektor swasta cukup dominan dalam penempatan pekerja migran Indonesia –yang lebih dikenal dengan sebutan tenaga kerja Indonesia (TKI). Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan perusahaan asuransi adalah dua aktor swasta yang yang diatur secara formal dalam Undang-Undang 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Keterlibatan dua aktor swasta yang cukup dominan ini membutuhkan perhatian dan pengawasan lebih dari pemerintah. Mengacu pada data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun Februari 2014 tercatat 535 PPTKIS beroperasi menempatkan pekerja migran Indonesia. Hal ini menunjukkan tingginya animo pemilik modal untuk bekerja pada sektor penempatan tenaga kerja ini. Angka tersebut cukup besar jika mempertimbangkan biaya pendirian dan deposito yang harus disetorkan PPTKIS sebagai jaminan. UU 39 tahun 2004 mensyaratkan adanya pengawasan pemerintah kepada PPTKIS sebagai pelaksana penempatan pekerja migran. UU ini memberikan mandat kewajiban kepada PPTKIS guna memenuhi standar pelayanan, hak dan perlindungan kepada pekerja migran.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Ragam Aspek kewajiban PPTKIS terangkum dalam beberapa aspek: Kewajiban administratif dalam penyelenggaraan penempatan pekerja migran Indonesia, seperti izin, standar modal, izin perekrutan Menyediakan informasi secara benar dan akurat terkait dengan penempatan; perekrutan; situasi dan resiko bekerja di luar negeri; hak dan kewajiban pekerja migran, dan: pelindungan bagi pekerja migran; Mengikutsertakaan pekerja migran dalam program asuransi TKI dan pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); Pelatihan dan pendidikan pra penempatan; Pemeriksaan kesehatan dan psikologi; Memberikan kejelasan dan kepastian perjanjian kerja dan perjanjian penempatan; Tanggungjawab atas kelengkapan dokumen penempatan yang diatur oleh Undang-undang; Transparansi biaya penempatan Memberikan perlindungan kepada TKI berdasarkan perjanjian penempatan; (UU 39 Tahun 2004)
A | Peran PPTKIS dan Mitra Usaha dalam Proses Rekrutmen Pengawasan PPTKIS menjadi salah satu domain kerja pemerintah melalui BNP2TKI dan Kementrian Ketenagakerjaan. UU 39 memberikan mandat pengawasan dan pembinaan. Pengawasan diperjelas dilakukan dari level daerah, yaitu Kabupaten/kota dan provinsi hingga nasional (Pasal 92 dan 93). Pendirian BNP2TKI yang diatur dalam Bab X UU 39 tahun 2014 juga bertujuan untuk membangun sistem perlindungan pekerja migran Indonesia yang terintegerasi. Undang-undang juga mengatur kewajiban penyediaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang bertugas untuk menyelidiki tindak pidana dan pelanggaran dalam penempatan pekerja migran Indonesia. Penyidik ini ada di level nasional, provinsi dan kabupaten. Penyidik ini ditunjuk untuk secara khusus bekerja memeriksa kemungkinan pelanggaran penempatan pekerja migran, selain penyidik dari kepolisian. Pengawasan pemerintah terhadap kinerja pelayanan yang diselenggarakan PPTKIS dinilai masih belum maksimal hingga saat ini. Keterbatasan tersebut terjadi pada level nasional dan daerah. Pemberian sanksi atas PPTKIS yang melanggar ketentuan Undang-undang seringkali masih terbatas pada sanksi administratif. Pemerintah dinilai belum memiliki standar pengawasan yang dapat secara berkelanjutan dan jangka panjang dapat memastikan perbaikan pelayanan yang dikelola PPTKIS. Alih-alih memilih PPTKIS secara benar, Pekerja Migran masih belum dapat secara mudah menemukan rekam jejak (track record) PPTKIS sebagai rujukan pengambilan keputusan untuk memilih PPTKIS. Keterbatasan informasi hasil pengawasan pemerintah kepada PPTKIS dinilai menimbulkan kerentanan bagi calon pekerja migran. Pekerja migran sangat beresiko menjadi pengguna jasa PPTKIS yang berkinerja buruk. Meletakkan hasil pengawasan PPTKIS sebagai informasi publik menjadi relevan memepertimbangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik. Adanya informasi pengawasan yang secara rinci memuat nilai PPTKIS juga memberikan insentif baik bagi PPTKIS yang berkinerja baik agar dipilih oleh calon pengguna. Sebaliknya, PPTKIS yang berkinerja buruk dipaksa untuk memperbaiki kinerja pelayanannya. Terbukanya nilai pengawasan kepada publik akan membuka ruang kritis calon pekerja migran untuk menentukan PPTKIS yang digunakan. Hal ini akan memaksa PPTKIS memperbaiki pelayanan yang diselenggarakannya.
B | Pantau PJTKI: Inisiatif Partisipasi dalam Pemantauan PPTKIS Istilah Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) masih lebih populer digunakan di dibandingkan dengan istilah PPTKIS. Itulah yang memengaruhi keputusan pemilihan nama inovasi ini menjadi “Pantau PJTKI”. Inisiatif Pantau PJTKI dikembangkan oleh Infest Yogyakarta melalui program Pusat Sumber Daya Buruh Migran dan Yayasan Tifa sejak pertengahan 2014. Inisiatif ini menjadi salah satu bagian dari upaya untuk memperbaiki sistem pelayanan bagi pekerja migran yang dikelola oleh PPTKIS. Inisiatif ini bertujuan untuk membangun partisipasi pekerja migran untuk melakukan pengawasan atas kinerja PPTKIS. Melalui portal www.pantaupjtki.com, inisiatif ini mencoba memfasilitasi pekerja migran untuk melakukan membagikan pengalaman penggunaan jasa PPTKIS kepada publik secara terbuka. Inisiatif ini memberikan insentif baik kepada PPTKIS yang berkinerja baik. Catatan pekerja migran menjadi salah satu insentif yang diterima PPTKIS sebagai implikasi dari bentuk dan kualitas pelayanan yang dilakukan. Inisiatif serupa banyak dilakukan pada beberapa sektor lain, terutama pariwisata. Beberapa pihak ketiga membangun sistem terbuka yang memungkinkan pengguna mengulas layanan pariwisata, seperti hotel dan agen perjalanan. Melalui Pantau PJTKI, pekerja migran berkesempatan untuk mengulas jasa dan pelayanan yang diberikan oleh PPTKIS. Infest dan Yayasan Tifa mengembangkan instrumen sederhana mengacu pada UU 39 Tahun 2004 untuk memeriksa kelaikan pelaksanaan penempatan dan kelengkapan lainnya yang menjadi kewajiban PPTKIS. Selain penilaian kuantitatif, kolom penilain kualitatif disediakan agar pekerja migran dapat merinci hal-hal yang tidak tersedia pada kolom penilaian kuantitatif. Hal ini memungkinkan calon pekerja migran untuk belajar langsung dari pengguna lainnya. Inisiatif berbasis pasar ini diharapkan mendorong perbaikan kinerja pelayanan PPTKIS. Instrumen yang digunakan dalam Pantau PJTKI dikembangkan mengacu pada UU 39 Tahun 2004. Instrumen ini memuat beberapa aspek pokok yang menjadi kewajiban PPTKIS kepada pekerja migran selama proses penempatan. Memertimbangkan kompleksitas anasir yang perlu dievaluasi dan kemungkinan kemampuan pengulas, Pantau PJTKI hanya memuat beberapa aspek yang dinilai sebagai aspek paling krusial. Instrumen ini terdiri dari 4 bagian pokok, yaitu instrumen pemetaan persepsi pekerja migran atas PPTKIS, “Check list” ketersediaan layanan pokok, persepsi keseluruhan atas kinerja PPTKIS dan ulasan kualitatif. Keempat elemen ini disajikan kepada pekerja migran sebagai alat kerja untuk memberikan masukan kepada pekerja migran lainnya dan pemerintah. Guna memastikan akurasi dan ketepatan pengguna pengulas, pengelola menetapkan standar pekerja migran yang dapat mengisi, seperti pengulas yang dapat mengisi adalah pekerja migran yang berangkat sejak tahun 2009. Proses verifikasi dilakukan untuk memeriksa ketepatan berdasarkan standar tersebut.
C | PPTKIS dalam Perspektif Pekerja Migran
Sejak diluncurkan pada Juni 2014, tercatat sebanyak 1.600 ulasan untuk 661 PPTKIS diterima oleh aplikasi Pantau PJTKI. Melalui proses veriďŹ kasi, tercatat 895 ulasan yang dinyatakan menuhi kriteria dan dapat digunakan. Proses veriďŹ kasi ketat dilakukan oleh pengelola untuk memastikan ketepatan konten dan kesesuaian responden pengulas melalui portal Pantau PJTKI.
Sangat Buruk
Sangat Bagus Bagus
Buruk
Biasa
Diagram 1: Persepsi Pekerja Migra atas Pelayanan PPTKIS Diagram kepuasan (dalam persentase) di atas menggambarkan distribusi persepsi pekerja migran atas pelayanan PPTKIS. PPTKIS dinyatakan biasa berada dalam angka terbesar senilai 45,92%. Persepsi yang menyatakan PPTKIS memiliki pelayanan yang baik dan sangat baik sangatlah kecil, yaitu senilai 15,87% (baik) dan 0,78 (sangat baik). Pekerja migran yang berpersepsi bahwa pelayanan PPTKIS buruk bernilai angka 30,06% dan sangat buruk senilai 7,37%. Memperbandingkan angka persepsi yang dinyatakan dalam kelompok baik (baik dan sangat baik) dan buruk (buruk dan sangat buruk) menunjukkan selisih yang cukup besar. Penjumlahan angka persepsi buruk dan sangat buruk berada pada angka 37,43%, sementara penggabungan antara baik dan sangat baik hanya bernilai angka 16,65%. Hal ini menunjukkan masih besarnya angka buruknya pelayanan yang diterima oleh pekerja migran. Secara terperinci, instrumen yang dikembangkan juga mencoba menelusuri persepsi pekerja migran pada beberapa aspek pelayanan, yaitu: (1) kondisi penampungan; (2) Layanan Pengurusan dokumen dan prosedur keberangkatan; (3) waktu tunggu hingga mendapatkan pekerjaan; (4) layanan pendidikan pra keberangkatan; (5) penjelasan mengenai kontrak kerja; (6) kesesuaian kontrak kerja dengan kondisi kerja.
Rating Issues
Diagram 2: Persepsi tentang Unit Layanan PPTKIS Gambaran terperinci di atas menunjukkan masih tingginya beberapa pelayanan yang buruk. Unit analisa yang paling menonjol adalah aspek informasi mengenai kontrak kerja. Aspek ini menunjukkan bahwa informasi menjadi salah satu yang sulit didapatkan terkait dengan kejelasan lingkup kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak (pekerja dan pengguna jasa). Persepsi ini menunjukkan bahwa kepuasan atas aspek informasi kontrak kerja masih rendah.
Salah satu aspek yang diperiksa pada instrumen Pantau PJTKI adalah aspek kewajiban administratif yang harus disediakan PPTKIS kepada calon pekerja migran. Kelengkapan ini ada yang berupa formalitas administratif dan maupun prosedur. Pada bagian ini instrumen digunakan untuk mengetahui sejauh mana PPTKIS menyediakan jenis-jenis layanan dan administrasi yang menjadi kewajiban bagi PPTKIS.
Questioner
Diagram 3: Check List Kewajiban PPTKIS Diagram ini menunjukkan beberapa persoalan pokok yang kerap terjadi pada pekerja migran Indonesia, seperti pada aspek (1) ketersediaan salinan kontrak kerja bagi pekerja migran; (2) pendatanganan kontrak penempatan; (3) perolehan kartu peserta asuransi. Ketiga aspek pokok tersebut sangat terkait dengan hubungan perdata antara pekerja migran dengan pengguna jasa; pekerja migran dengan PPTKIS; dan pekerja migran dengan penyedia layanan asuransi. Ketiadaan dokumen pokok pada 3 aspek penting tersebut dapat menghilangkan hak pekerja migran.
Kerentanan pekerja migran salah satunya bersumber dari ketidakjelasan aspek-aspek ikatan hubungan kerja antar pihak, baik dengan PPTKIS maupun pengguna jasa di luar negeri. Hal ini melemahkan posisi pekerja migran. Ketiadaan dokumen dapat menyebabkan pekerja migran tidak mengetahui secara rinci hak dan kewajibannya. Selain rawan akan gugatan, pekerja migran juga rentan menjadi korban penyalahgunaan wewenang dan penipuan. Kepesertaan asuransi yang diatur UU 39 tahun 2004 idealnya diimplementasikan dengan menyeluruh. PPTKIS berkewajiban untuk mengikutsertakan pekerja migran dalam program asuransi perlindungan TKI. Salah satu indikator penyertaan tersebut adalah keberadaan kartu KPA. Tanpa KPA pekerja migran akan sulit untuk mengklaim asuransi apabila terjadi persoalan di negara penempatan. Pemberangkatan pekerja migran tanpa jaminan atau kepesertaan asuransi diatur sebagai tindakan pidana. PPTKIS atau peseorangan yang terlibat diancam dengan hukuman penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit 1.000.000.000 (1 milyar) dan paling banyak RP. 5.000.000.000 (lima milyar Rupiah) apabila menempatkan TKI tanpa menyertakan dlam program asuransi (pasal 103). Pidana serupa dibebankan kepada perseorangan yang menempatkan pekerja migran tanpa kelengkapan dokumen. Mengacu pada data di atas, angka pekerja migran yang ditempatkan tanpa dibekali dengan KTKLN cukup tinggi. PPTKIS disebut sebagai subjek hukum yang berkewajiban untuk mengurus ketersediaan KTKLN sebelum pemberangkatan. Angkaangka ini menunjukkan masih adanya pelanggaran prosedural yang diatur sebagai tindakan pidana oleh Undang-undang.
C | Rekomendasi 1. Pelembagaan partisipasi publik dalam pemantauan kerja PPTKIS; 2. Pengunaan indeks kepuasan pengguna sebagai salah satu elemen evaluasi PPTKIS; 3. Penyediaan informasi publik tentang hasil pemantauan dan pengawasan PPTKIS oleh pemerintah;
D | Kesimpulan Partisipasi publik dalam pengawasan PPTKIS dapat menjadi instrumen baru pengawasan aktor swasta ini. Keterangan dari pengguna layanan PPTKIS menjadi salah satu elemen penting yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pelaksanaan pemantauan pemenuhan standar pelayanan penempatan pekerja migran. Partisipasi membuka ruang semakin banyak orang untuk memberi masukan kepada pemerintah. Di lain sisi, partisipasi dapat mengungkap pelbagai aspek yang tidak dapat secara administratif ditera dalam proses pemantauan PPTKIS. Upaya ini diharapkan menjadi model pemantauan yang menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam pembaikan tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia.