Buletin Warta Buruh Migran Edisi Desember-Januari 2019

Page 1

Edisi Desember 2018 - Januari 2019

WARTA BURUH MIGRAN w w w. b u r u h m i g r a n . o r . i d

LAPORAN UTAMA

Siapa Peduli Kesehatan Mental Pekerja Migran?

KABAR MIGRAN

OPINI

SOSOK

PEKERJA MIGRAN SEKTOR RUMAH TANGGA DI MALAYSIA RENTAN DISIKSA DAN DITIPU

ISLAM DAN EKSTREMISME KEKERASAN BELAJAR KRITIS TERHADAP KONTEN DI INTERNET

DESI LASTATI : PAHAM APAPUN, JANGAN SAMPAI MEMUTUS PERSAUDARAAN SESAMA PMI


WARTA BURUH MIGRAN Pusat Sumber Daya Buruh Migran adalah inisiatif pengelolaan pengetahuan, pendidikan, dan advokasi yang bertujuan untuk mendukung perbaikan pelayanan serta perlindungan kepada pekerja migran; keluarga; mantan, dan; calon pekerja migran. Media ini didedikasikan bagi kelompok pekerja migran sebagai bahan rujukan pengetahuan dan pembelajaran dari ragam inisiatif perbaikan tata kelola perlindungan dan pelayanan pekerja migran. Inisiatif ini dikelola oleh INFEST Yogyakarta. REDAKSI WARTA BURUH MIGRAN

Penanggungjawab Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Muhammad Irsyadul Ibad

Persoalan kesehatan mental dapat menghinggapi siapa pun, termasuk pekerja migran Indonesia (PMI). Kerentanan persoalan mental bagi PMI muncul dari tekanan pekerjaan, situasi sosial dan budaya yang berbeda, maupun jarak PMI dengan para ďŹ gur lekat: keluarga. Mengacu pada data Kementerian Sosial (2012) setidaknya terdapat 5 PMI yang dirawat di rumah sakit jiwa akibat gangguan kejiwaan berat. Selain itu, pelbagai persoalan mental lain juga mengancam PMI. Persoalan kesehatan mental PMI menjadi salah satu urusan yang kurang dibicarakan dan didiskusikan. Di tengah kegencaran diskursus tentang pelindungan pekerja migran, isu ini belum menjadi tema yang diperbincangkan secara seksama dan didukung oleh kebijakan yang melindungi kesehatan mental para PMI. Tes kesehatan pun masih belum menyertakan kesehatan mental sebagai salah satu aspek yang ditera selama proses penyiapan keberangkatan calon PMI. Dalam keterbatasan tersebut, kesehatan mental perlu turut diarusutamakan kepada PMI dan keluarga. PMI secara lebih spesiďŹ k perlu memahami unsur penting ini disamping kesehatan jasmani yang jamak diperhatikan. Setidaknya, PMI memahami persoalan kesehatan mental sehari-hari yang berpotensi dihadapi.Keluarga menjadi aktor lain yang perlu dilibatkan dalam penjagaan kesehatan mental. Sebagai aktor lekat dan pendukung bagi PMI, peran keluarga menjadi salah satu penentu dalam proses penjagaan kesehatan mental. Keluarga tidak saja diharapkan menjadi pendukung yang membantu PMI memiliki stabilitas psikologis, tetapi juga bisa mengambil peran mengurangi tekanan bagi PMI selama proses persiapan hingga bekerja di luar negeri.

Tim Redaksi Ridwan Wahyudi Alimah Fauzan Anny Hidayati Nisrina Muthahari Edi Purwanto

Isu ini pun sepatutnya menjadi perhatian negara. Proses penyiapan keberangkatan calon PMI idealnya turut memasukkan peneraan kesehatan mental dan tidak semata kesehatan jasmani. Pembekalan pengetahuan setidaknya pula akan membantu PMI untuk mewaspadai kemunculan persoalan ini.

Tata Letak Jihadul Akbar Ilustrator Muhammad Irvan

Jika tidak, siapa lagi peduli kesehatan mental PMI?

Alamat Redaksi Jl. Veteran UH IV/734 Warungboto, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, DIY. 55164. Telp: (+62) 274-417004 Fax : (+62) 274-417004 email: info@infest.or.id DAFTAR ISI SALAM REDAKSI SUSUNAN REDAKSI LAPORAN UTAMA KABAR MIGRAN SOSOK OPINI 1 TIPS & PANDUAN OPINI 2 KABAR DAERAH GLOSARIUM

SALAM REDAKSI

Hal Hal Hal Hal Hal Hal Hal Hal Hal Hal Hal

CATATAN REDAKSI: Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, nomenklatur atau tata nama penyebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara otomatis berubah menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Untuk itu, mulai dari sekarang dan seterusnya, buletin Serantau menggunakan istilah Pekerja Migran Indonesia (PMI).

2 2 2 3 6 7 9 12 13 15 16

Warta Buruh Migran diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran Infest Yogyakarta dengan dukungan United Nation Entity for Gender Equality and Empowerment of Women (UN Women). Isi dari terbitan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab Infest dan tidak selalu mencerminkan pandangan UN Women.

Siapapun bisa mengutip, menyalin dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.


L A P O R A N U TA M A

Siapa Peduli Kesehatan Mental Pekerja Migran? Ditulis oleh Edi Purwanto

Siapa peduli kesehatan mental pekerja migran Indonesia (PMI)? Pemerintah atau seharusnya PMI sendiri? Tapi bagaimana caranya? Mengapa PMI penting deteksi dini kesehatan mentalnya? Upaya apa yang sudah dilakukan pemerintah? Dibandingkan persoalan prosedural penempatan di luar negeri, benarkah persoalan kesehatan mental luput dari perhatian? Warta Buruh Migran (WBM) kali ini akan berbagi mengulas tentang isu kesehatan mental PMI.

S

obat pekerja migran, masih ingat kisah Reni (23)? Reni adalah seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Sukabumi yang dikabarkan mengalami gangguan kejiwaan ketika pulang ke tanah air pada 2018 lalu. Berdasarkan keterangan Lina Evelin, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Kabupaten Sukabumi, yang dilansir oleh Antara, Sabtu (4/8/2018), Reni diduga mendapat siksaan dari majikannya selama bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab. Kasus ini baru terungkap setelah pengurus Desa Mekartanjung melaporkan dugaan penganiayaan terhadap Reni ke Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Jawa Barat (Jabar). Pada Desember 2018 sampai Januari 2019, Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) melalui fans page Facebook @PSDBM mencoba mengulas kembali tentang pentingnya PMI memerhatikan kesehatan mental. Melalui ulasan tersebut, PSDBM juga menganalisa respon pembaca mayoritas PMI berdasarkan komentar mereka. Ulasan tersebut telah menjangkau 18.608 orang dan 1.876 interaksi. Melalui kolom komentar, sejumlah PMI juga mengungkapkan tentang apa yang mereka alami.

PRT, mulai dari tekanan dari majikan, pelarangan atas akses informasi, pembatasan untuk berkomunikasi dengan orang-orang sekitar, bahkan dengan keluarganya di Indonesia, seperti komentar PMI dengan akun Facebook atas nama Kusniah Kusniah. Kusniah bekerja sebagai PRT di Malaysia, dia mengaku harus sembunyisembunyi menelpon keluarganya. “Aku di Malaysia tidak boleh pegang Hp (hand phone), tapi ini aku sembunyi-sembunyi, habis kalau lagi kangen sama keluarga nggak bisa ditahan, pengen telepon terus. Sedangkan saya hanya boleh telepon satu bulan sekali, itu juga nggak boleh bicara lama-lama di telepon,� ungkap Kusniah dalam komentarnya di fans page PSDBM. Selain Kusniah, ada Liseu Rahmawati yang secara terbuka mengakui perasaannya ketika akses informasinya dibatasi oleh majikan. Liseu yang bekerja di Malaysia mengaku tidak diperbolehkan memegang HP, tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan orang sekitar, tidak boleh menonton televisi. Saat itu, Liseu sama sekali tidak mengetahui berita dunia luar. Ia merasakan jenuh, bosan, rindu keluarga dan ingin sekali berontak.

Pada umumnya, PMI yang mengungkapkan persoalannya adalah mereka yang bekerja di sektor informal sebagai Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


L A P O R A N U TA M A Apa yang diungkapkan Kusniah dan Liseu Rahmawati, setidaknya memberikan gambaran bagaimana kondisi terkini para PMI di tempat kerja. Beruntung keduanya masih mampu secara sadar mengidentiďŹ kasi apa yang mereka rasakan, sehingga tidak sampai pada tahap depresi berat, apalagi sampai bunuh diri. Pada 2012, berdasarkan data Kementrian Kesehatan seperti dilansir tempo.co (22/6/2012), setiap tahun rata-rata ada lima PMI terganggu jiwanya dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Jakarta.

Menurut Irsyadul Ibad, peneliti pada isu pekerja migran dari PSDBM, PMI menghadapi tantangan persoalan diri yang berlapis ketika mulai bekerja di luar negeri, baik dalam relasi kerja, hidup dalam lingkungan baru, maupun dalam relasi dengan keluarga yang ditinggalkan di tanah air. Masa paling krusial dan rentan adalah 6 bulan pertama. Saat itu, PMI mulai harus mengenali jenis-jenis pekerjaan, lokasi-lokasi penting yang terkait dengan pekerjaan, serta berinteraksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan kebiasaan yang berbeda.

Pada 2011, Kementerian Kesehatan mencatat ada lima PMI perempuan yang masuk Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan, Grogol, Jakarta. Ketika dipulangkan ke Indonesia, lima perempuan itu menunjukkan gejalagejala sakit jiwa sehingga dirawat di rumah sakit jiwa. Sayangnya, Kementerian Kesehatan tidak memiliki data terperinci mengenai PMI yang mengalami gangguan jiwa karena mendapat siksaan ketika bekerja di luar negeri, namun angka PMI yang sakit jiwa diduga lebih banyak dari lima orang per tahun, terutama yang tidak terlaporkan. Biasanya, PMI menderita sakit jiwa karena mengalami trauma yang hebat ketika bekerja di luar negeri. Selain itu kultur perlakuan terhadap perempuan yang berbeda antara Indonesia dan negara lain. Umumnya, PMI yang mengalami gangguan jiwa adalah mereka yang bekerja di Suriah, Libya, Arab Saudi, dan Malaysia.

Tingkatan tantangan tersebut akan berbeda antara satu orang dengan lainnya, tergantung oleh faktor-faktor unik, seperti tabiat atau perilaku pengguna jasa, keberadaan teman-teman yang bisa menjadi tempat bertanya atau rujukan atau kondisi pribadi PMI itu sendiri. Gangguan mental perlu menjadi perhatian PMI. Ancaman gangguan ini sama setara dengan ancaman gangguan kesehatan lainnya. PMI perlu mempertimbangkan menemui konselor atau psikolog apabila merasakan adanya persoalan psikologis yang dialami.

Mengapa PMI Rentan Terganggu Kesehatan Jiwanya? Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang melakukan migrasi ke negara penempatan memiliki potensi terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis. Mereka terkena gangguan psikologis ketika berada di negara penempatan. Lingkungan sosial baru seperti budaya, agama serta adat istiadat yang berbeda menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental dan psikologis. Selain itu, kondisi pekerjaan yang penuh tekanan dari majikan membuat pekerja migran rentan terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis. Berbagai stressor yang terjadi pada lingkungan kerja atau lingkungan sehari-hari akan menjadi hal yang sulit apabila pekerja migran tidak dapat beradaptasi dengan baik.

“Secara sederhana, PMI dapat pula mengamati perubahan-perubahan psikologis yang dialaminya. Gangguan psikologis cenderung mengarahkan pada hal dan reaksi negatif. Pengamatan sederhana ini bisa membantu PMI mencegah terjadinya gangguan mental. Tentu tidak ada yang ingin gangguan mental membuyarkan cita-cita migrasi para PMI,� ungkap Irsyadul Ibad yang kini tengah menyusun modul khusus tentang pemantapan psikologi pekerja migran, pada (8/01/19). Belum Ada Tes Psikologis untuk Penempatan P to P Tes psikologi bagi calon PMI sebenarnya telah diselenggarakan melalui sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon PMI dimaksudkan untuk mengetahui kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon PMI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.

Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang melakukan migrasi ke negara penempatan memiliki potensi terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis. Sejumlah pekerja migran terkena gangguan psikologis ketika berada di negara penempatan. Lingkungan sosial baru seperti budaya, agama serta adat istiadat yang berbeda menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental dan psikologis. Selain itu, kondisi pekerjaan yang penuh tekanan dari majikan membuat pekerja migran rentan terkena gangguan kesehatan mental dan psikologis.

Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


L A P O R A N U TA M A

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri kesehatan (Permenkes No/29/2013) tentang Penyelenggaran Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI). Permenkes ini mengatur bagaimana tes medis dan tes psikologis diterapkan pada calon pekerja migran yang akan bekerja ke luar negeri. Permenkes ini juga menjelaskan pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan terhadap aspek kognitif, mood, perilaku serta kesadarannya. Adapun pemeriksaan status psikiatri terdiri dari penampilan umum ditunjukkan melalui sikap, perilaku, dan psikomotor.

Undang-undang PMI yang baru yakni UU 18/2017 tentang Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) mengamanatkan bahwa dalam proses penempatan pekerja migran ke luar negeri pekerja migran harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologis. Regulasi turunan dari undang-undang ini belum ada, begitupun dengan regulasi yang secara khusus mengatur tentang tes psikologis. Berkaca dari undangundang sebelumnya, aturan mengenai tes psikologis ini tidak dilakukan pemerintah terhadap calon pekerja migran yang bekerja lewat jalur Privat to Privat (P to P). Pengalaman salah satu pekerja migran, Sofia Gayuh Winarni, PMI di sebuah pabrik elektronik di Malaysia, ia tidak pernah melalui tes psikologis untuk berangkat ke luar negeri. Sofia mengaku hanya menjalani tes kesehatan sebelum berangkat ke luar negeri. Begitu pun menurut Ratih, pekerja migran sektor rumah tangga di Hong Kong yang mengemukakan hal yang sama. Ia tidak pernah menjalani tes psikologis sama sekali untuk dapat bekerja di Hong Kong. Setelah mendaftar di Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) (Dulu PJTKI-red.), Ratih langsung menjalani tes medis dan membuat paspor.

pekerja P to P karena belum ada regulasi turunan mengenai itu. Selama ini calon pekerja migran yang diberangkatkan lewat P to P hanya melakukan tes medis yang hasilnya menunjukkan apakah pekerja migran layak untuk kerja atau tidak. Sri Andayani menjelaskan bahwa tes psikologis saat ini hanya dilakukan bagi calon pekerja migran yang ditempatkan lewat program Government to Government (G to G). “Calon pekerja migran G to G ke Korea memakai tes psikologis karena proses penempatannya dilakukan oleh BNP2TKI sehingga kami melaksanakan itu. Tes psikologis untuk G to G sendiri biayanya saat ini Rp 500 ribu,” kata Sri Andayani saat ditemui Kru Warta Buruh Migran (WBM) pada Selasa (8/01/19) di Yogyakarta. Sri Andayani juga menegaskan bahwa, pemeriksaan psikologis calon pekerja migran G to G dilakukan bekerja sama dengan lembaga psikologi dari Universitas Indonesia (UI). BNP2TKI tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tes psikologi sendiri, untuk itu harus bekerja sama dengan yang berkompeten di bidangnya. Tes psikologis calon pekerja migran memiliki pengukuran dan indikator-indikator yang menunjukkan bahwa calon pekerja migran siap untuk bekerja ke luar negeri. Jika terdapat ketidaktepatan pengukuran dengan kondisi yang ada dan masih diberikan sertifikat kelulusan, maka BNP2TKI akan menuntut penyelenggara tes psikologi tersebut. [] Baca juga tips dan pandaun menjaga kesehatan mental bagi PMI di rubrik “Tips dan Panduan”. Referensi: Ananda Badudu, (2012). Setahun Minimal TKI Masuk Rumah Sakit Jiwa. Diakses pada 16 Januari 2019 dari https://nasional.tempo.co/read/412287/setahunminimal-lima-tki-masuk-rumah-sakitjiwa/full&view=ok

Sumber : https://buruhmigran.or.id/2019/01/25/siapapeduli-kesehatan-mental-pekerja-migran/

“Boro-boro tes psikologis, belajar bahasa saja tidak ada. Setelah tes medis dan membuat paspor, saya langsung disuruh bantu kantor PJTKI/P3MI mengurus dokumen calon pekerja migran ke Malaysia dan Singapura. Setelah itu saya PKL di kantor orang China selama 5,5 bulan, setelah itu balik ke PJTKI/P3MI menginap satu malam dan paginya langsung terbang,” ujar Ratih. Ketiadaan tes psikologis pada pekerja migran P to P ini diamini oleh Sri Andayani, Direktur Penempatan dan Harmonisasi PKLN, BNP2TKI. Sri Andayani menjelaskan bahwa tes psikologis tidak pernah dilakukan terhadap Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


KABAR MIGRAN

Pekerja Migran Sektor Rumah Tangga di Malaysia Rentan Disiksa dan Ditipu

KABAR MIGRAN

Pertemuan organisasi pekerja migran Indonesia dan Filipina membicarakan persoalan yang dihadapi pekerja migran di Malaysia, Minggu, 13/01/2019

Ditulis oleh Desi Lastati

Pekerja migran di sektor rumah tangga rentan terhadap praktik diskriminasi, seperti penyiksaan dan penipuan. Faktor penyebabnya adalah tidak adanya jaminan haripekerja libur,migran Indonesia dan Filipina Pertemuan organisasi yang dihadapi pekerja migran minimnya pemahaman mengenai hak-hak pekerja migran, serta hakmembicarakan berserikatpersoalan di negara di Malaysia, Minggu, 13/01/2019 penempatan yang belum dijamin undang-undang. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ridwan Wahyudi, Program Manager Infest Yogyakarta, yang menjabarkan berbagai masalah yang dihadapi pekerja migran sektor rumah tangga dalam pertemuan Consultation Meeting-Organizing Indonesian Domestic Workers yang diselenggarakan oleh International Domestic Workers Federation (IDWF), Minggu, 13/01/2019.

“Beberapa permasalahan yang dihadapi pekerja migran sektor rumah tangga adalah jam kerja yang sangat panjang, kerja lebih dari satu rumah, belum ada regulasi tepat untuk gaji minimum, pekerja tidak memiliki akses komunikasi, terisolasi, serta tidak memperoleh perlindungan sosial,” ujar Ridwan Wahyudi. Pertemuan yang melibatkan pekerja migran sektor rumah tangga dari Indonesia dan Filipina, serta beberapa NGO dan Serikat Buruh Malaysia tersebut merupakan ajang untuk saling bertukar informasi isu-isu terkini mengenai pekerja migran beserta permasalahan yang dihadapi. Glorene, dari Tenaganita (NGO di Malaysia) memaparkan bahwa undang-undang untuk mengubah istilah pelayan menjadi pekerja masih belum cukup untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada pekerja. “Undang-undang tidak menjamin perlindungan karena situasi pekerja masih terisolir sehingga pemerintah tidak bisa mengawasi secara penuh,” ungkap Glorene. Sementara Alex Ong dari Migrant Care menuturkan beberapa usulannya kepada pemerintah Malaysia, diantaranya; rekomendasi memindahkan keputusan dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Tenaga Kerja, ratifikasi konvensi internasional khususnya Konvensi ILO 189, rekomendasi sistem perekrutan kerja secara online untuk mengurangi unsur korupsi dalam proses perekrutan dan bayaran tinggi di agensi, majikan memohon melalui Kementerian Tenaga Kerja sehingga ada filter terhadap majikan, rekomendasi pekerja rumah tangga, Pekerja Rumah Tangga layak mendapatkan pensiun dan PRT mendapat perlakuan yang sama seperti pekerja lokal di tempat pekerja. AMMPO, serikat pekerja rumah tangga Filipina yang diwakili oleh Jeena menuturkan bahwa tidak mudah Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019

membangun sebuah organisasi di negara penempatan. AMMPO, organisasi yang mulai berdiri pada tahun 2015 tersebut bermula dari tiga orang pekerja saja. Kendala yang dialami untuk berorganisasi tidak jauh beda seperti yang dialami pekerja migran dari Indonesia. Sumber daya manusia, alokasi dana dan kurangnya akses informasi menjadi tantangan terbesar mereka. Perjuangan yang AMMPO lakukan tidak sia-sia, selain semakin banyak anggota (saat ini 200 orang), AMMPO juga turut memberikan pelatihan pra dan pasca pemberangkatan ( Post and Pre Arrival) bagi pekerja Filipina. Nuning, pekerja migran yang turut hadir dari Komunitas Ngapak mengungkapkan bahwa sesi berbagi informasi dan isu terkini yang dihadapi pekerja migran sangat bermanfaat. “Selain bisa menambah pengetahuan, kita juga bisa memberi masukan kepada pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk membuat perubahan, baik itu dalam perlindungan maupun pemenuhan hak-hak pekerja, khususnya dalam bagi pekerja rumah tangga,” kata Nuning.[]

Sumber : https://buruhmigran.or.id/2019/01/24/pekerja-migransektor-rumah-tangga-di-malaysia-rentan-disiksa-dan-ditipu/


SOSOK

SOSOK

DESI LASTATI:

Perbedaan Paham Apapun, Jangan Sampai Memutus Persaudaraan Sesama PMI Ditulis oleh Anny Hidayati

“Berhijrah tak lantas menjadi orang asing dan menghindari pertemanan, karena Islam itu ramah dan toleran” (Desi Lastati, 2019)

D

esi Lastati (28) adalah salah satu pekerja migran Indonesia (PMI) asal Temanggung Jawa Tengah (Jateng). Menjadi pekerja migran di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia, tak lantas membuat Desi terasing dari beragam informasi yang terus berkembang. Termasuk tren perilaku beragama di kalangan pekerja migran. Desi yang hampir sepuluh tahun menjadi PMI memiliki pengalaman tersendiri bagaimana menyikapi perbedaan budaya dan agama. Kerja Serabutan Hingga Menjadi PMI Setelah Lulus SMA Tenaga kerja Indonesia (TKI) atau yang kini disebut pekerja migran Indonesia (PMI), bukanlah istilah yang asing bagi Desi. Sebelum dia memutuskan untuk menjadi PMI, kakaknya sudah terlebih dahulu bekerja sebagai PMI di Malaysia. Tahun 2010, saat kakaknya pulang untuk libur hari raya Idhul Fitri, Desi pun diajak untuk bekerja di Malaysia. Desi sendiri memiliki pengalaman bekerja di beragam tempat, mulai dari menjadi pelayan toko hingga PRT di Semarang. Meskipun tidak ada yang bertahan lama, namun pengalaman bekerja di luar daerah membuatnya semakin berpengalaman mengenal banyak hal. “Saya tidak menyesal bekerja di beberapa tempat meskipun tidak bertahan lama. Saya jadi belajar banyak hal, termasuk ketika bekerja di Semarang, saya mulai belajar mengurus sendiri segala kebutuhan administrasi keimigrasian. Mulai dari tour agent, bikin paspor dan sebagainya. Tour agent itulah yang membantu saya bikin paspor tanpa ribet di bagian imigrasi meski bayarnya lumayan mahal,” papar Desi kepada kru Warta Buruh Migran (WBM), pada Jumat (4/1/2019). Kali pertama Desi pergi ke Malaysia dengan visa pelancong. Awalnya dia sempat tak mendapatkan restu dari bapaknya. Drama kekhawatiran antara bapak dan anak pun sempat terjadi. Kendati belum mendapat restu

dari bapaknya, Desi tetap mengurus semua dokumen seperti passport dan tiket. Setelah semua kebutuhan dokumen sudah di tangan, Desi akhirnya berangkat ke Malaysia. “Semua proses mulus meski harus "salam tempel" di Imigrasi karena dicurigai mau jadi TKI. Saat itu masih pakai visa melancong,” ungkap Desi. Aktif Menulis tentang Pekerja Migran di Malaysia Desi merupakan salah satu pekerja migran Indonesia (PMI) yang cukup produktif menulis beragam informasi, pengalaman dan pembelajaran PMI di Malaysia. Beragam artikelnya bukan sekadar memberikan informasi terkini kondisi PMI, namun juga berbagi tips dan panduan yang bermanfaat bagi PMI, calon PMI, maupun keluarga PMI. Sampai saat ini, Desi juga masih semangat meneruskan pendidikannya di Jurusan Sosiologi, Universitas Terbuka (UT) Pokjar Batam, di Kuala Lumpur. Tulisan-tulisan Desi bisa kita baca di website resmi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM), yaitu www.buruhmigran.or.id. Dalam susunan redaksi buletin Serantau yang diterbitkan komunitas Serantau, posisi Desi sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred). Buletin Serantau adalah media informasi yang terbit setiap bulan. Buletin ini dibuat oleh beberapa PMI di Malaysia sebagai ruang untuk saling belajar, serta berbagi informasi antar sesama PMI di Malaysia. Jadi, tidak heran jika Desi cukup mengikuti informasi tentang perkembangan PMI di Malaysia, termasuk tren “Hijrah” di kalangan teman-temannya sesama PMI. “Saya memang aktif di komunitas, salah satunya Komunitas Serantau Malaysia. Ada juga komunitas kepenulisan Aurora. Kalau kegiatan keagamaan, saya hanya sesekali ikut kegiatan kajian, namun belum sampai menjadi anggota komunitas keagamaan,” ungkap Desi yang mengaku lebih banyak mengikuti kegiatan sosial-kemanusiaan. Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


SOSOK

Di beberapa kegiatan sosial, Desi lebih sering mengikuti kegiatan penggalangan dana untuk para korban bencana. Selain itu, kegiatan formal seperti seminar tentang wirausaha untuk kekuatan ekonomi umat, serta mengikuti kelas-kelas leadership dan sebagainya. Dimanapun Berada, Muslim Adalah Agen Perdamaian Saat masih di Indonesia, Desi terbiasa bekerja dengan orang lain, termasuk bekerja sebagai PRT di keluarga keturunan Tionghoa. Bagi Desi, tak masalah bekerja di keluarga yang memiliki perbedaan budaya dan agama. Menghadapi perbedaan budaya dan agama justru membuatnya semakin bijak. “Allah sendiri menciptakan begitu banyak perbedaan, sekalipun mengalir dalam darah yang sama. Perbedaan adat dan budaya menjadikan hidup kita lebih berwarna. Bisa dibayangkan, jika seluruh dunia ini, adat dan budayanya sama? Wah, bukan hanya hidup kita saja yang monoton, tapi dari segi ekonomi, sosial dan budaya akan sangat berpengaruh,” jelas Desi. Selama di Malaysia, Desi memang tidak begitu merasakan perbedaan budaya. Kendati demikian, di Malaysia sendiri begitu banyak warga negara selain Malaysia dengan ragam budaya dan keyakinannya. Sehingga, Desi banyak belajar bagaimana menghormati mereka yang berbeda budaya maupun agama. Baginya, menjadi seorang muslim berarti sebagai agen untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang.

hari memakai jubah, cukup memakai bajunya saja, tanpa perlu memakai mukena lagi. Kadang, ada juga yang tidak memakai penutup kaki. “Awal mulanya saya merasa heran ketika melihat cara mereka sholat, namun saya menyadari, mungkin memang begitu cara sholat mereka. Ini untuk kesadaran pribadi saya saja. Di luar sana begitu banyak orang membuat perpecahan hanya disebabkan perbedaanperbedaan kecil, khususnya dalam tata cara kita beribadah kepada Tuhan. Namun dengan apa yang aku lihat saat ini, saya sadar, betapa Tuhan maha baik. Menerima suguhan kecil dari penyembahan makhlukNya,” ungkap Desi. Keterlibatan Desi di beragam kegiatan komunitas membuatnya cukup paham dengan perkembangan PMI di Malaysia. Termasuk tren “berhijrah” di kalangan PMI Malaysia baru-baru ini. Desi juga tak mampu menyembunyikan kegelisahannya tentang perubahan perilaku teman-teman yang menyebut dirinya telah berhijrah. Pada umumnya, mereka yang merasa telah berhijrah akan membatasi pergaulan dengan temanteman PMI yang berlum berhijrah. Bagi Desi, hak setiap orang untuk “berhijrah” atau tidak, yang terpenting adalah tetap menjaga pertemanan tanpa membeda-bedakan. Jangan sampai, hanya karena seseorang merasa telah berhijrah, tak lantas membatasi pertemanan dengan mereka yang dianggap belum berhijrah. Makna “hijrah” sendiri menurut Desi harus dipahami dengan benar.

“Saya berpegang pada apa yang diungkapkan oleh Gus Mus. Bahwa setiap manusia yang ada di muka bumi ini menuju jalan yang lurus agar sampai ke Tuhan. Jalan lurus masing-masing orang berbeda sesuai dengan apa yang diyakininya. Tidak ada pemeluk agama yang menyatakan agama yang diyakininya tidak benar. Jadi cukup hormati keyakinan mereka yang berbeda,” paparnya.

“Dulu tren “Hijrah” tak seheboh sekarang. Awalnya sekadar perubahan cara berbusana muslim, lalu mulai maraknya kajian agama di kalangan pekerja migran Indonesia (PMI). Di media sosial (Medsos), status temanteman PMI pun rutin membagi jadual kajian agama. Sayangnya, tidak banyak mereka yang merasa sudah berhijrah kemudian menjadi menjadi asing, kebanyakan mulai mengurangi berbaur dengan teman-teman lamanya menurut mereka belum berhijrah,” ungkapnya.

Sikapi Tren “Berhijrah” dengan Bijak

Bagi Desi, membatasi pertemanan hanya membuat mereka mendapat stigma negatif atas sikapnya. Sebaiknya mereka yang merasa sudah berhijrah tetap menjaga silaturahim dan berbaur dengan teman-teman PMI lain, meskipun mereka mungkin tidak begitu rajin mengikuti kajian agama.

Sejak kecil, Desi memang hidup di lingkungan keluarga yang begitu kental dengan pendidikan agama. Sebelum merantau, Desi juga mengaku pernah belajar dalam pendidikan pesantren selama 3 tahun. Hal tersebut sedikit banyak memberikan bekal dalam perjalanan hidupnya. Desi juga pernah melalui fase di mana dia begitu fanatik dalam memandang Islam. Saat itu dia hanya menerima dari satu sumber rujukan agama, yaitu guru agamanya. Kini, Desi telah mengenal banyak teman dari beragam suku, budaya dan agama. Pemikirannya pun semakin bijak dalam menyikapi perbedaan. Tradisi dan budaya di Malaysia memang tidak banyak perbedaan dengan Indonesia. Namun hal yang menarik bagi Desi adalah di Malaysia banyak sekali pelajar dari luar negara, khususnya dari Afrika maupun dari beberapa negara Timur Tengah. Mereka datang dengan budaya dan cara ibadah di tanah kelahiran mereka. Seperti, ketika sholat, mereka yang berpakaian sehariHalaman 8 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019

“Bagaimana cara kita menyikapi sebuah kajian. Di era yang mana politik dan agama begitu kuat dibicarakan, sebaiknya kita memiliki filter pribadi. Ceramah-ceramah yang berbau ekstrimisme, kita coba elakkan. Saya senantiasa berpegang bahwa Islam begitu ramah, begitu lembut dan fleksibel,” ungkap perempuan yang saat ini masih sering traveling, camping, hiking dan baca tulis puisi.

Sumber: https://buruhmigran.or.id/2019/01/25/desilastati-perbedaan-paham-apapun-jangan-sampaimemutus-persaudaraan-sesama-pmi/


OPINI

ISLAM DAN EKSTREMISME KEKERASAN Oleh KH. Husein Muhammad

Hari ini dunia sedang dihadapkan pada problem besar relasi antar komunitas manusia yang saling mengancam dan berpotensi menghancurkan masa depan kemanusiaan. Ancaman tersebut yaitu munculnya gerakan radikalisme, ekstremisme kekerasan dan ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan atas nama agama. Berbagai institusi negara dan agama mengutuk tindakan radikalisme dan semua bentuk ideologi dan gerakan anti kemanusiaan itu, serta berusaha keras mencari cara menangkal dan menghentikannya melalui berbagai cara yang mungkin.

Bagaimana Islam Melihat Realitas ini ? Bukan hanya Islam, agama-agama dan etika kemanusiaan di manapun tak pernah membenarkan teror, penindasan dan kekerasan terhadap siapapun. Ia mengecam keras praktik-praktik itu. Islam juga adalah agama anti ujaran kebencian. Ia sangat menentang dan menyebutnya sebagai sifat dan perilaku tak bermoral. Para pelakunya merupakan orang-orang yang berakhlak buruk. Dalam Islam, manusia adalah makhluk Tuhan yang terhormat. Tuhan sendiri menghormatinya. Al-Qur'an menyatakan: “Dan sesungguhnya Kami muliakan anakanak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang hal-hal yang baik dan Kami mengunggulkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. al-Isra, 17:70). Tuhan dalam teks suci itu menyebut kata “Bani Adam” yang berarti anak cucu Adam. Ia adalah manusia. Adam adalah nama yang mewakili seluruh makhluk Tuhan yang berpikir. Ini berarti bahwa penghormatan tersebut ditujukan kepada semua manusia, tanpa kecuali, tanpa membeda-bedakan mereka atas dasar apapun: jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahasa dan lain-lain. Selama dia manusia, maka dia adalah terhormat. Dalam pidatonya di Arafah, pada haji Wada, di hadapan 100 ribu yang hadir Nabi mengatakan: "Sesungguhnya darahmu, milikmu dan kehormatanmu adalah suci".

Oleh karena itu Islam mengharamkan kekerasan dalam segala bentuknya, verbal maupun fisikal. Terdapat banyak ayat al-Quran dan hadits sahih mengenai hal ini. Antara lain: Q.S. al-Hujurat, ayat 11-12. Dua ayat ini melarang orang-orang beriman merendahkan maupun menghina orang lain, buruk sangka, menggunjing, memata-matai, dan sejenisnya. Allah Swt mengingatkan bahwa perbuatan-perbuatan ini berdosa besar dan merupakan kezaliman. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang orang-orang yang moralnya paling buruk? Mereka menjawab: “Ya, kami mau”. Nabi mengatakan: “Ialah orang-orang yang kerjanya mengadu domba (menghasut), yang gemar memecah belah orangorang yang saling mengasihi maupun bersahabat, dan yang suka mencari kekurangan pada manusia yang tidak berdosa" (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, 323 dan Ahmad, 6/459 ). Nabi juga bersabda: "Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling menyombongkan diri, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


OPINI

menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang dipandang buruk jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darah, harta, dan kehormatannya atas muslim lainnya.”

Ia mengatakan: “Abu Thalib, paman Nabi, mengatakan: “Orang-orang kafir Quraisy menuntutmu dan para pengikutmu untuk menghentikan cacimaki atau penghinaan kepada Tuhan mereka. Jika tidak maka mereka akan membalas dengan lebih berat terhadap Tuhanmu”.

Haram Menghina Agama Lain

Ahli tafsir besar, Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsir Al-Qur'an al-'Ahzim, bahwa Allah SWT melarang Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman untuk mencaci maki sesembahan-sesembahan kaum musyrik, sekalipun cacian itu mengandung kemaslahatan. Menurutnya caci maki terhadap sesembahan orang kafir dapat menimbulkan permusuhan dan konflik yang mungkin tak akan mudah diselesaikan dalam waktu singkat (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim).

Bagian dari syiar kebencian adalah caci maki terhadap orang yang beragama lain. Pertanyaan yang sering muncul terkait dengan ini adalah bagaimana hukumnya orang muslim mencacimaki dan menghina agama lain? Pertanyaan ini sesungguhnya telah memeroleh jawaban yang sangat tegas dari al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an menyatakan: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (Q.S. al-An’am, [6]:108). Ayat ini turun menyusul tindakan kaum Muslim yang mencaci maki Tuhan-tuhan atau apa yang dianggap sebagai tuhan oleh orang-orang kafir Quraisy. Tindakan ini kemudian memancing reaksi keras dari kaum musyrik Makkah tersebut. Mereka membalas mencacimaki Allah, Tuhan kaum muslimin. Ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas.

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir besar lain dalam kitabnya : “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an’ mengatakan : “Keputusan hukum ini adalah berlaku bagi kaum muslimin sepanjang masa. Manakala penghinaan terhadap orang-orang non Islam mengakibatkan reaksi pembalasan mereka menghina Islam, Nabi atau Allah Saw, maka tidak halal bagi muslim menghina salib mereka, agama mereka dan gereja mereka serta tindak-tindakan lain yang menimbulkan akibat yang sama. Hal ini karena tindakan tersebut membangkitkan tindak berdosa”. Sebuah hadits Nabi Saw, menyebutkan: "Siapa pun yang menzalimi non muslim yang dilindungi, atau mengurangi hak-haknya, atau membebani melampaui batas kekuatannya atau mengambil miliknya tanpa

Q.S. AL-ISRA, 17:70 Tuhan dalam teks suci itu menyebut kata “Bani Adam” yang berarti anak cucu Adam. Ia adalah manusia. Adam adalah nama yang mewakili seluruh makhluk Tuhan yang berpikir. Ini berarti bahwa penghormatan tersebut ditujukan kepada semua manusia, tanpa kecuali, tanpa membeda-bedakan mereka atas dasar apapun: jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahasa dan lain-lain. Selama dia manusia, maka dia adalah terhormat.

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


OPINI

kerelaannya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat kelak".

Kedua, nalar moderat menghargai pilihan keyakinan dan pandangan hidup seseorang;

Jika hukum larangan menghina dan mancacimaki ini berlaku terhadap non muslim, maka sudah barang tentu, hukum yang sama berlaku, bagi orang-orang yang beragama Islam, meskipun memiliki perbedaan dalam sejumlah masalah, misalnya terhadap pengikut aliran Syi’ah atau Ahmadiyah. Kedua aliran dalam Islam ini mempunyai prinsip keyakinan yang sama tentang Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan Hari Akhirat.

Ketiga, nalar moderat tidak mengabsolutkan kebenaran sendiri sambil memutlakkan kesalahan pendapat orang lain;

Mengembangkan Toleransi dan Nalar Moderat

Keempat, Nalar moderat tidak pernah membenarkan tindakan kekerasan atas nama apapun; Kelima, Nalar moderat menolak pemaknaan tunggal atas suatu teks. Setiap kalimat selalu mungkin untuk ditafsirkan secara beragam;

Radikalisme, ekstrimisme kekerasan dan ujaran kebencian bagaimanapun harus dilawan dan tidak boleh terus menyebar. Tetapi ia tak boleh dilakukan dengan cara kekerasan yang sama. Menarik sekali pernyataan Martin Luther King Jr, Ia mengatakan : "Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa melakukannya" dan "Kebencian tidak akan mampu menghapus kebencian; hanya cinta yang mampu melakukannya".

Keenam, Nalar moderat selalu terbuka untuk kritik yang konstruktif;

Para bijak bestari mengatakan :

Keterangan Penulis:

‫اﻟﻣﺣﺑﺔ ﯾﺛﻣر و ﯾورث اﻻﺣﺳﺎن‬

KH Husein Muhammad adalah salah satu Kyai Pengasuh Pondok Pesantren di Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Tahun 2001 mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk isu-isu Hak-hak Perempuan, antara lain Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat. Sejak tahun 2007 sampai sekarang menjadi Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tahun 2008 mendirikan Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon. Ada lebih dari 10 buku karya yang. Salah satu bukunya yang banyak digunakan sebagai referensi aktivis perempuan adalah “Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender”. Karyanya yang lain adalah “Islam Agama Ramah Perempuan”, “Ijtihad Kiyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender”, “Dawrah Fiqh Perempuan“ (modul pelatihan), “Fiqh Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan”,”Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”, “Menyusuri Jalan Cahaya”, dan lain-lain.

Artinya: “Kebaikan itu mewariskan dan membuahkan cinta” ‫واﻟﻌداوة اﻟﻛراھﯾﺔ وﺗﺛﻣر ﺗورث اﻹﺳﺎءة‬ Artinya: “Keburukan itu menimbulkan kebencian dan permusuhan” Oleh karena itu cara terbaik menurut saya antara lain adalah dengan mengembangkan dan menyebarkan nilainilai humanisme Islam, antara lain nalar Islam moderat dan toleransi. Islam adalah agama moderat, toleran dan anti kekerasan. Terdapat banyak teks agama yang menyerukan manusia untuk berpikir, bersikap dan bertindak toleran dan moderat. Nabi saw bersabda: "Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang toleran". Toleransi dalam bahasa agama disebut "Tasamuh", yang berarti memudah, memberi ruang kepada orang lain, dan berbuat baik kepadanya. AlQuran juga menyatakan: "Dan demikian pula Kami jadikan umat yang moderat". (Q.s. al-Baqarah, 143).

Ketujuh, Nalar moderat selalu mencari pandangan yang adil dan maslahat bagi kehidupan bersama.

Lalu Apakah Nalar Moderat? Nalar moderat adalah: Pertama, nalar moderat adalah nalar yang memberi ruang bagi yang lain untuk berbeda pendapat.

Sumber: https://buruhmigran.or.id/2019/01/ 25/islam-dan-ekstremismekekerasan/ Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


TIPS & PANDUAN

MENJAGA KESEHATAN MENTAL BAGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI) tips

Oleh Tommy Destryanto

1. Sikapi dengan bijak perbedaan bahasa, budaya, agama dan kebiasaan di negara setempat. Segeralah pelajari perbedaan dan berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut.

2. Carilah orang yang lebih berpengalaman atau teman sebagai tempat berbagi dan bertukar pendapat untuk mengenali kultur baru atau mendiskusikan masalah lainnya. 3. Hindari stres dan kecemasan. Jika keduanya terjadi, segeralah mencari aktivitas yang dapat meredakannya. 4. Jika ada masalah, segeralah mencari pemecahan. Jadi, jangan memforsir diri untuk memikirkan sesuatu tanpa berusaha mencari jalan keluarnya. 5. Bersikap terbuka dan jagalah komunikasi dengan keluarga. Kelekatan dengan keluarga akan membuat Anda lebih merasa nyaman dan aman. Sikap terbuka terhadap teman dan keluarga membantu Anda mengurangi stres dan kecemasan. 6. Sibukkan diri dengan kegiatan positif seperti olahraga, berorganisasi atau menekuni hobi yang Anda sukai. 7. Jangan lupa mencari hiburan yang sesuai dengan diri Anda. Sesekali manjakan diri Anda dengan hiburan positif yang bermanfaat. 8. Jika Anda merasa ada masalah dengan kesehatan mental, seperti kecemasan dan stres yang berlebihan atau kehilangan fokus dan konsentrasi, cobalah untuk berkonsultasi dengan psikiater. Mencegah baik daripada mengobati. 9. Perbanyaklah ibadah dan dekatkan diri Anda dengan Tuhan. Ibadah akan memberikan ketenangan kepada Anda. Ketenangan akan membantu Anda menghindari persoalan mental. Ibadah bukan sekadar untuk memohon perlindungan pada Tuhan, namun juga ajang reeksi dan perenungan.

Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


OPINI 2

OPINI 2

BELAJAR KRITIS TERHADAP KONTEN DI INTERNET Oleh: Bambang Muryanto*

Pada suatu pagi, Yusuf Adirima (Machmudi Haryono) berbicara di hadapan puluhan mahasiswa di kampus Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), pertengahan November 2018 lalu. Ia bercerita tentang pengalamannya saat masih terlibat dengan kelompok pelaku kekerasan atas nama agama. Semua mahasiswa mendengarkan dengan takzim. Pada acara itu, ia mengenakan pakain batik dan celana kargo yang panjangnya sampai di atas mata kaki. Yusuf ditangkap polisi di Semarang pada Juli 2003 karena menyimpan 26 bom rakitan dan amunisi milik Musthofa alias Abu Tholut tersangka Bom JW Marriot di Jakarta 2003. Konon kekuatan bom ini dua kali lipat dari kekuatan bom Bali (Susanto, 2016). Setelah bebas dari hukuman penjara selama lima tahun enam bulan, Yusuf memiliki usaha kuliner dan rental mobil di Surakarta. Pria berusia 42 tahun ini juga aktif melakukan upaya deradikalisasi, menyadarkan para jihadis (orang berpaham radikal) agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan. “Indonesia itu bukan wilayah konflik dan tidak perlu diperangi, negara ini bisa diterima masyarakat,” ujarnya. Jika tidak setuju dengan kebijakan negara atau pemerintah, ia menyarankan agar berjuang dengan menggunakan cara-cara damai. Ketika mengobrol dengan penulis, Yusuf mengatakan saat ini orang bisa mengakses konten-konten yang berisi ajaran radikal yang menganjurkan cara-cara kekerasan di internet. Pasalnya, konten-konten seperti ini masih banyak bertebaran di dunia maya. Konten berisi materi radikal, kebencian dan hasutan memang bisa muncul di dunia maya kapan dan dari mana saja. Sebab kemajuan informasi dan teknologi telah menghilangkan batas-batas negara dan memungkinkan siapa saja memproduksi konten itu dan menyebarkannya melalui internet. Bahkan seseorang bisa membuat dan menyebarkan konten radikal melalui akun media sosialnya. Hampir setiap manusia memiliki gawai (smart phone) sehingga bisa menjadi pembuat dan distributor informasi. Apa yang harus kita lakukan jika menerima atau mengakses konten seperti itu di dunia maya atau media sosial? Kita, sebagai konsumen informasi, perlu bersikap kritis dengan selalu mempertanyakan kebenaran dari informasi itu. Kita tidak boleh langsung percaya dan menelan mentah-mentah semua informasi itu. Bersikap kritis adalah kunci!. “Bila menemukan itu (konten radikal) simpan dulu dan bandingkan dengan informasi

lain yang lebih lurus,” ujar Yusuf memberikan salah satu kiatnya. Dalam situasi dimana kita mengalami banjir informasi, masyarakat harus memiliki kemampuan menyaring informasi, istilah kerennya, literasi media atau melek media. Google News Lab mempunyai saran praktis untuk menilai hoaks (hoax) yang juga bisa diterapkan untuk mengecek konten radikal di dunia maya. Pasalnya ada dua dimensi dalam hoaks yaitu disinformasi dan misinformasi. Disinformasi adalah informasi yang salah dan disebarkan tetapi si penyebarnya tidak tahu kalau itu informasi yang salah. Sedangkan misinformasi adalah penyebarnya tahu itu informasi yang salah dan sengaja disebarkan untuk tujuan-tujuan yang diinginkannya. Konten radikal bisa mewujud dalam disinformasi dan misinformasi. Beberapa langkah dari Google News Lab itu adalah: Pertama: cek alamat situsnya. Jika kita masih ragu, teliti siapa nama orang yang membuatnya dan bisa dilakukan melalui mesin pencari google dan lainnya. Kedua: perhatikan logo dan nama situs berita yang memuat konten informasi radikal itu. Mereka sering meniru dari media resmi, misalnya ada situs media online detik.com. Situs berkonten radikal ini dibuat dengan nama detikblabla.com dengan logo hampir sama dengan situs detik yang resmi. Ketiga: situs abal-abal biasanya banyak sekali iklannya karena pembuat situs itu ingin mendapatkan uang dari banyaknya iklan. Tirto.id pada 16 Desember 2016 menyiarkan berita tentang bisnis berita palsu di dunia maya. Dalam investigasi Tirto, seorang pengelola media abal-abal penyebar berita palsu atau sumir dalam sebulan dapat meraup keuntungan Rp25 juta - Rp30 juta (Widhana, 2016). Keempat: bandingkan ciri-ciri dari sebuah situs berita yang resmi dan bisa dipercaya. Misalnya nama penulis yang jelas dan bisa dipercaya, apakah narasumbernya benar-benar ahli dan layak dipercaya. Kelima: setiap media yang bertanggungjawab dan bisa dipercaya selalu mencantumkan nama lembaga yang membuat media itu, siapa penanggung jawabnya, jajaran redaksinya, di mana alamatnya. Informasi ini Halaman 13 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


OPINI 2

ada di kolom tentang kami (about us) atau penanggungjawab yang bisa dilihat di situs itu. Keenam: jika tidak ada informasi dan kejelasan pengelola, bisa dipastikan itu adalah media abal-abal yang tidak layak dipercaya. Ketujuh: hati-hati dengan judul dan juga isi informasi yang bombastis atau sensasional karena biasanya ini untuk membangkitkan amarah kita sehingga kita terpancing melakukan “perjuangan” dengan cara-cara kekerasan. Mengaduk-aduk emosi kita agar kita marah dengan situasi yang ada adalah salah satu ciri konten radikal. Biasanya media ini akan mereproduksi konten yang kebenarannya masih sumir Kedelapan: Coba kita bandingkan dan telusuri lebih lanjut informasi berkonten radikal itu ke situs-situs lainnya agar kita bisa mendapatkan perbandingan informasi. Cari katakata kunci terkait (key word) dan masukkan ke mesin pencari di internet sehingga kita akan mendapatkan dan bisa membandingkan dengan informasi dari sumber lainnya. Namun satu hal yang harus diingat tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan cara-cara kekerasan. Kekerasan yang muncul dengan dalih ajaran agama adalah hasil interpretasi dari seorang penafsir yang belum tentu benar dan harus diletakkan dalam konteks situasi saat ini. Siapa pun harus menyadari prinsip kekerasan untuk memperjuangkan suatu cita-cita bukan jalan terbaik. Suatu tindakan kekerasan seperti mengebom dan membunuh dengan berbagai senjata, melakukan persekusi, membuat ujaran kebencian dan sebagainya akan menciptakan tindakan kekerasan lain yang tidak akan pernah ada hentinya. Inilah yang disebut sebagai “lingkaran setan” kekerasan yang tidak ada hentinya dan hanya akan menyebabkan penderitaan kehidupan. “Lihat Marawi (di Filipina) yang sekarang hancur seperti di Syria karena ada ISIS (Negara Islam Irak dan Syria) yang menyarankan caracara kekerasan,” ujar Yusuf yang pernah menjadi jihadis di sana. Afghanistan dan Irak juga mengalami situasi sama. Di Afrika, Sudan juga selalu diintai dengan kekerasan (fisik dan verbal) karena ada kelompok radikal yang berkuasa di sana.

yang bijaksana dari orang yang bahkan harus menanggung akibat seumur hidupnya akibat ledakan bom itu. Banjir informasi membuat siapa pun bisa terpapar konten radikal. Orang yang terpapar konten radikal pasti akan berubah perilaku atau ide pemikirannya. Jika ada anggota keluarga atau yang siapa pun yang tinggal di lingkungan orang ini dan mengetahuinya, sebaiknya berupaya mengembalikan ia ke jalan yang benar. Siapapun yang terpapar konten radikal tidak boleh dibiarkan. Ia harus banyak diajak berdialog dan berdiskusi agar mempunyai pikiran yang lebih panjang. Dampak dari penderitaan manusia akibat aksi kekerasan bisa menjadi salah satu topik diskusi. “Jika tidak ditemani, ia bisa kembali ke paham radikal,” ujar Muhammad Ni’am Amin, seorang pegiat deradikalisasi dari Yayasan Lingkar Perdamaian kepada penulis. Julie Chernov Hwang, adalah dosen dari Goucher College, Amerika Serikat yang menulis buku berjudul "Why Terrorist Quit, The Disengagement of Indonesia Jihadists" (2018). Ini merupakan buku menarik karena memotret secara etnografi bagaimana para jihadis di Indonesia berhenti menjadi pelaku gerakan radikal atau kekerasan.Ketika ia meluncurkan bukunya di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Agustus 2018 lalu, Julie mengatakan keluarga adalah salah satu faktor penting yang bisa mengembalikan orang yang terpapar informasi radikal ke jalan yang benar. Tetapi tentu saja syaratnya adalah keluarga yang memang tidak sepakat dengan jalan kekerasan. Referensi: Widhana, Dieqy Hasbi (2016). Pemilik Pos Metro, Abdul Hamdi "Rata-rata Penghasilan Kita Rp25-30 Juta". Diakses pada 18 Desember 2018 dari https://tirto.id/rata-rata-penghasilankita-rp25-30-juta-b9WS . Susanto, Ari. (2016). Kisah Yusuf Adirima, mantan jihadis yang meniti jalan jadi pebisnis. Diakses pada 10 Desember 2018 dari https://www.rappler.com/indonesia/140763-kisah-yusufadirima-mantan-jihadis-jadi-pebisnis .

Kekerasan hanya menimbulkan penderitaan dan bahkan kepada orang lain yang tidak tahu apa-apa. Simaklah Febby Firmansyah Isran yang menjadi korban Bom JW Marriot di Jakarta 2003 yang diklaim sebagai laku “Jihad” dari jaringan Al Qaeda. Ia mengalami kebakaran hebat di tubuhnya sehingga menjadi difabel. Ia kehilangan pekerjaannya dan hampir saja gagal menikah. Apa salah dia sehingga ikut jadi korban dari aksi diluar peri kemanusiaan yang menyebabkan setidaknya 12 orang meninggal dan melukai sekitar 150 orang itu?. Saat menjadi pembicara bersama Yusuf di Fakultas Filsafat UGM, Febby tidak menaruh dendam kepada pelakunya. Ia tidak ingin menuntut balas kepada pelakunya. “Masyarakat Indonesia harus memaafkan mereka, kekerasan tidak bisa dibalas dengan kekerasan karena akan menimbulkan kekerasan baru,” ujarnya. Sebuah nasehat Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019

*Keterangan Penulis: Bambang Muryanto adalah jurnalis di media The Jakarta Post dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Sumber: https://buruhmigran.or.id/2019/01/24/belajarkritis-terhadap-konten-di-internet/


KABAR DAERAH PONOROGO

Mantan Pekerja Migran Raih Penghargaan Kades Inspiratif Oleh Siswanto

KABAR DAERAH

Barno mengatakan bahwa di bidang kesehatan ia membuat terobosan dengan membuat Kartu Bringinan Sehat (KBS) untuk warga lanjut usia. Pemberian beasiswa kepada anak-anak berprestasi merupakan kebijakan di bidang pendidikan. Bidang pertanian menjadi perhatian utama mengingat sebagian besar masyarakat Bringinan bermata pencaharian sebagai petani. Barno membuat program sumur dalam terintegrasi. Air dari sumur ini dialirkan melalui pipapipa ke sawah warga, sehingga sepanjang musim petani dapat menggarap sawah. Sebagai seorang mantan PMI, Barno sangat peduli dengan masyarakat yang menjadi PMI, keluarga PMI maupun mantan PMI. Menurutnya mantan PMI juga berhak sukses seperti yang lainnya, oleh karena itu ia selalu memberi dorongan dan motivasi kepada para mantan PMI untuk berwirausaha. “Sebagai mantan PMI saya sangat berharap agar warga saya yang juga mantan PMI bisa sukses. Saya mendukung penuh kepada mereka bila ingin berwirausaha baik berupa pelatihan maupun permodalan. Syukurlah banyak mantan PMI di desa ini yang sukses dengan berbagai usaha, ada usaha krupuk, bengkel, las dan ternak bebek,” imbuh Barno.

S

ukses menjadi pengusaha dan kepala desa membawa Barno (40) menjadi sosok kades inspiratif. Barno merupakan mantan pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia yang sekarang menjabat sebagai Kepala Desa Bringinan, Jambon, Ponorogo sejak tahun 2013. Pada peringatan hari migran internasional baru-baru di kota Malang, Barno meraih penghargaan sebagai kades inspiratif PMI. Penghargaan yang sama juga ia dapat pada peringatan hari migran di Kabupaten Ponorogo. Lahir dari keluarga kurang mampu menjadikan Barno sebagai sosok pekerja keras dan pantang menyerah. Banyak hal telah dilakukan Barno untuk membangun desa, mulai dari pembangunan infrastruktur maupun pemberdayaan warga desa. Berbagai inovasi dan kreativitas Barno berhasil membawa Desa Bringinan maju sejajar dengan desa lainnya.

Kepedulian Barno terhadap para pekerja migran di desanya juga terbukti dengan dukungan terhadap komunitas pekerja migran Indonesia (KOPI) yang ada di desanya. KOPI di Desa Bringinan terbentuk atas inisiasi Infest Yogyakarta. Dukungan dari pemerintah Desa Bringinan sangat menentukan berkembangnya organisasi wadah para pekerja migran di desa ini. Berbagai kegiatan KOPI berjalan lancar dan KOPI dapat memberikan kontribusi bagi Desa Bringinan baik dalam hal advokasi kasus PMI maupun pemberdayaan di bidang ekonomi. “Saya sangat memdukung dengan adanya KOPI di desa ini. Karena mayoritas warga Bringinan bekerja ke luar negeri sebagai PMI. Dengan adanya KOPI saya berharap dapat memberikan informasi bagaimana cara migrasi aman, dapat membantu PMI yang mendapat masalah dan juga pemberdayaan PMI purna,” pungkas Barno. (Penulis: Siswanto | Anggota KOPI Bringinan Ponorogo) Sumber: https://buruhmigran.or.id/ 2019/01/11/mantan-pekerja-migran-raih-penghargaan-kadesinspiratif/

“Desa Bringinan merupakan desa terpencil dan tertinggal. Perlu kerja keras untuk membangun desa ini. Dengan dukungan dana desa maka saya prioritaskan pembangunan pada tiga hal yaitu kesehatan, pendidikan dan infrastruktur,” tutur Barno.

Halaman 15 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019


GLOSARIUM

GLOSARIUM

JIHAD

Bukanlah Perang Kata “jihaad” adalah bentuk isim mashdar dari kata jaahada – yujaahidu – jihaadan – mujaahadan. Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan usaha (badzl al-juhd), kemampuan, dan tenaga. Jihad secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Al-Qur’an menyebut kata jihad dengan berbagai bentuknya sebanyak 34 kali.

S

ebagian orang memahami jihad digunakan dalam arti peperangan (al-qitaal). Ketika disebut jihad, pemahamannya adalah berperang untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Lebih sempit lagi, membela agama yang dimaksud adalah membela atas ketersinggungan diri dan kelompoknya atau pemahaman dirinya tentang agama yang dilecehkan pihak lain.

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri, jihad memiliki makna yang lebih luas daripada peperangan. Di dalam kitab Zaad al-Ma’aad, Ibn al-Qayyim telah membagi jihad ke dalam 13 tingkatan. Ada jihad hawa nafsu, jihad dakwah dan penjelasan, dan jihad sabar. Inilah makna jihad sipil (al-jihad al-madaniy). Dalam kategori lain, jihad dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, jihad terhadap musuh yang tampak; kedua, jihad menghadang godaan setan; dan ketiga, jihad melawan hawa nafsu. Ketiga jihad ini masuk ke dalam Surat al-Hajj ayat 78, at-Taubah ayat 41, dan alAnfal ayat 72. Rasulullah SAW bersabda, “berjihadlah terhadap hawa nafsu kalian sebagaimana kalian berjihad kepada musuh kalian.” Dengan demikian, jihad berarti ketika seorang muslim mencurahkan usahanya untuk melawan keburukan dan kebatilan. Hal itu dimulai dengan jihad terhadap keburukan yang ada di dalam dirinya dalam bentuk godaan setan, dilanjutkan dengan melawan keburukan di sekitar masyarakat, dan berakhir dengan melawan keburukan di manapun sesuai dengan kemampuan. Kita bisa berjihad setiap saat untuk melawan keburukan dan kebatilan. Halaman 16 | Warta Buruh Migran | Edisi Desember 2018 - Januari 2019

Jihad berbeda dengan perang. Jihad adalah makna yang berkaitan dengan agama. Sedangkan perang adalah makna yang berkaitan dengan dunia. Perang ada pada zaman jahiliyah, Islam, berbagai bangsa dan sepanjang masa. Biasanya tujuan perang adalah melakukan hegemoni, menindas, atau merampas kekayaan orang lain. Sedangkan jihad harus dimaksudkan untuk meninggikan kalimat Allah. Kalimat Allah di sini berarti kebenaran, keadilan, merealisasikan kemuliaan, keamanan, dan kebebasan, sehingga seseorang tidak menjadi sembahan orang lain (ash-shanam yu’bad). Memang ada juga makna jihad melawan musuh dengan menggunakan senjata. Peperangan adalah bagian terakhir dari jihad, yaitu berperang dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Pertanyaannya adalah siapakah “musuh” yang boleh diperangi? Dalam konteks hari ini di mana kita hidup beragam agama dalam satu negara-bangsa (nationstate), tentu kriteria musuh yang dimaksud tidak bisa menggunakan kriteria lama di mana umat Islam menggunakan sistem khilafah. [] Sumber rujukan: Marzuki Wahid. 2019. Modul Pencegahan Ekstremisme Bagi Calon Pekerja Migran Pada Tahap PraPemberangkatan. Yogyakarta: Infest Yogyakarta.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.