HALAMAN 1
PAYO-PAYO
kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi III April 2013
Desa Soga Rentan Kurang Pangan? HASNULIR NUR
Tuheri (42) kini lebih sibuk berdagang pisang. Hasil panen kakao sudah tak dapat diandalkan. Setiap tahun panenan menurun. Dari 200 kilogram/ bulan panen per hektar, kini tinggal 40 kg/bulan. Ini drastis! Jika diasumsikan harga coklat Rp 20.000, maka dulunya Tuheri bisa meraup Rp 4.000.000/bulan, kini hanya Rp 800.000. Ini di luar biaya pupuk dan pestisida. Itu pun hanya pada bulan Mei sampai September. Jumlah itu tentu tidak memadai untuk menopang ekonomi keluarga. Apalagi jika harus menyisihkannya sebagian untuk bulan-bulan ketika kakao tak berbuah. Masalah serupa dihadapi hampir semua warga Soga, yang memang mengandalkan kakao sebagai sumber ekonomi utama. Sementara tidak banyak memilih jalan seperti Tuheri. Warga masih berharap pada tanaman yang biasanya mereka sebut sebagai ‘coklat’. Berbagai cara dilakukan, seperti peremajaan tanaman dengan sistem sambung sam ping yang diusung pemerintah melalui proyek Gernas Pro Kakao [Gerakan Nasional Peningkatan Produktifitas Kakao]. Namun tidak ada perubahÂan berarti. Cara lain, di antaranya, menganti kakao yang bermasalah dengan kakao baru seperti yang dilakukan Pak Hasse (50-an). Jalan ini pun, menurutnya, tidak memperbaiki keadaan.
man coklat, warga juga mencari komoditas alternatif. Kepala Desa Soga, di setiap kesempatan yang ditunjang dana, selalu membawa beberapa warga belajar pertanian ke daerah seperti Bulukumba, Tana Toraja, Palopo, dan Enrekang. Harapannya, siapa tahu ada yang komoditas lain yang cocok diterapkan di Soga. Waktu terus berjalan sampai nyaris satu dasawarsa, namun terang belum terbit. Kerawanan Pangan
Akhir 1980-an, warga Soga mulai menanam kakao. Sebelumnya, mereka bertani jagung Di samping mencari solusi mengatasi tana- dan palawija. Nasi jagung adalah pangan
HALAMAN 2
utama masa itu. Nasi beras sesekali—kadang hanya untuk pesta. Karena tidak menanam padi, kebutuhan beras dipenuhi dengan menjadi buruh panen padi.
mana asalnya dan kapan mulanya, yang me ngatakan: kelas nasi jagung di bawah beras. Anggapan ini membuat petani kian menjauhi jagung. Padahal komoditas ini memiliki kandungan yang tidak kalah dari beras.
Akhir dasawarsa 1980-an, hanya segelintir warga menanam kakao. Melihat harganya cenderung Dalam 100 gram, jagung mengandung 361 naik, warga pun ramai-ramai membudidaya kilokalori, protein 9,1 gram, karbohidrat 76,5 kannya. Lahan pertanian kemudian dipenuhi gram, lemak 4,5 gram, kalsium 14 miligram, kakao. Mereka sampai menanam di pekarangan fosfor 311 mg, dan zat besi 3,7 mg. Selain itu rumah. Akhirnya, warga meninggalkan jagung. di dalam jagung juga terkandung vitamin B1 Kecukupan uang tunai dari penjualan kakao 0,27 mg. Bandingkan dengan beras [lihat tamembuat warga abaikan tanaman lain. Bahkan bel di bawah]. sayur pun kerap mereka beli. Beras Jagung Singkatnya, warga perlahan No Jenis Nutrisi (unit) meninggalkan pertanian 1 Kalori (Kal) 360 361 subsisten. 2 Protein (gr) 6,8 9,1
Kehadiran kakao turut men- 3 Lemak (gr) 0,7 4,5 ciptakan budaya baru. Sistem 4 Karbohidrat (gr) 78,9 76,5 pertanian cenderung individ- 5 Kalsium (mgr) 6 14 ualistik. Yang dulunya digarap 6 Besi (gr) 0,8 3,7 bergotong-royong berganti 7 Posfor (mgr) 140 311 sistem upah. Pemupukan dan Vit B1 (mgr) 0,12 0,27 pengendalian hama sebe 8 lumnya andalkan bahan alam dan pengetahuan tentang siklus hidup dan rantai Jagung lalu tak pernah lagi dianggap sebagai makanan alam berganti dengan pupuk dan pes- pangan utama—justru lebih dinilai sebagai ta tisida kimia. Etos kerja keras pun perlahan tergerus naman ekonomi, yang terlihat dari kembali kebiasaan instan yang dihadirkan pupuk kimia. ditanam di Soga. Jagung ditanam kembali bu“Na ongkosoki mato alena sikola’e [coklat membia kan tujuan pemenuhan pangan, tetapi dijual. Meski harganya tak mampu menyaingi kakao, yai dirinya sendiri],” demikian tanggapan warga. setidaknya ada tambahan penghasilan. Angga“Mentalitas” yang timbul dari praktik perta- pan bawaan tentang kakao masih berpengaruh, nians kakao tersebut merupakan salah satu kendati pada tanaman yang punya reputasi faktor kerawanan pangan warga Soga. Ke pangan di tempat yang sama, yakni jagung. nyamanan ‘membeli’ menimbulkan halangan psikologis dari dasar keamanan pangan. Bu- Sekali lagi, konteks keamanan pangan, Desa kankah lebih aman orang yang memiliki Soga bisa dianggap rawan. Mayoritas warganya tidak memiliki sawah, penyedia beras yang jadi pangan ketimbang orang yang punya uang? makanan pokok mereka. Sebagian besar mereka Di samping itu, kenyamanan bekerja instan memperolehnya dengan menjadi buruh panen juga menimbulkan hambatan dalam mengu- padi di luar desa, bahkan luar kabupaten. Serangi biaya produksi, sehingga dana pangan mentara kebutuhan akan buruh panen mulai mereka ikut terkuras. Meski beras mereka bisa tergantikan mesin. Jika terpaksa, warga harus dapatkan dengan menjadi buruh panen padi, membeli beras. Di saat yang sama, produksi namun posisi buruh lemah dalam akses beras. kakao mulai menurun hingga 20 persen. Apalagi penggunaan buruh panen di beberaMasihkah kita bertahan menganggap jagung pa tempat perlahan digantikan oleh mesin. sebagai “makanan orang miskin”? Mari meHal lain adalah anggapan, yang entah dari mikirkan ulang ini bersama-sama![]
HALAMAN 3
‘Rapor Merah’ PRB Sinjai AGUNG PRABOWO
TUJUH orang dari berbagai latar profesi melakukan kunjungan belajar ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Mereka adalah Kepala Desa Kompang, Ketua Kelompok Tani Sipakatau, perwakilan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Sinjai, perwakil an Komisi I DPRD Sinjai, dua fasilitator SRP Payo-Payo, dan seorang penulis. Tujuan perjalanan ini bukan sekadar kunjungan belajar, juga untuk merumuskan strategi bersama dalam usaha Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di lima kabupaten, yakni Maluku Tenggara, Sinjai, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Ende [sebagai tuan rumah pertemuan]. Pertemuan itu digelar 19-21 Oktober 2011, yang dilaksanakan Insist sebagai inisiator pertemuan dan FIRD (Flores Institute Resource for Development) sebagai panitia lokal. Pertemuan ini juga menjadi bagian dari skema program Membangun Gerakan PRB di tiga kabupaten di Indonesia: Kabupaten Sinjai, Maluku Tenggara, dan Bengkulu Utara. Pe nanggung-jawab program adalah Insist Yogyakarta, yang memiliki lembaga jejaring di tiga kabupaten: SRP Payo-Payo Makassar, Mitra Aksi Bengkulu, dan Nen Mas Il Maluku Tenggara. Ketiga lembaga ini bersama masyarakat membuat gerakan PRB di kabupaten masing-masing. Salah satu strategi PRB adalah menginisiasi pembentukan forum kebencanaan kabupaten di masing-masing wilayah program yang mampu berkoordinasi dengan BPBD. Forum ini diharapkan bisa memacu akselerasi gerakan PRB, sekaligus menjadikannya bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Ende menjadi pilihan kunjungan dan tempat kegiatan karena dianggap berhasil membangun forum kebencanaan dan berjalan dengan baik hingga sekarang. Harapannya, Kabupa ten Ende bisa membagi pengalamannya, mu-
lai dari apa yang menjadi kesulitan, tantangan, hingga sistem kerja yang mereka bangun. Forum Kebencanaan di Kabupaten Ende terbentuk pada tahun 2007. Forum ini terdiri dari bermacam kelompok yang berkepentingan di dalam masalah kebencanaan, seperti BPBD Ende, kalangan legislator, LSM (FIRD), tokoh masyarakat, dan lapisan lain. Kurang lebih setahun kemudian, dibentuklah Panitia Khusus (Pansus) untuk mendorong pembuatan Ranperda tentang penanganan masalah kebencanaan. Pansus ini mendapat mandat dari Tim Inisiator dan membagi diri ke dalam kelompok-kelompok kerja. Masing-masing kelompok kerja bertugas menyusun perangkat proses legislasi. Kalangan legislator bertugas membuat Ranperda. Ada pula kelompok kerja yang bertugas menyelesaikan Naskah Akademik, bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Kelompok kerja yang terakhir bertugas menyusun Rencana Aksi. Ranperda ini mendapat banyak uji kelayakan melalui proses diskusi yang panjang, dari lokakarya, FGD (diskusi kelompok terfokus), studi banding di Kabupaten Sleman dan Klaten, diskusi publik, konsolidasi, dan proses lainnya. Namun semua itu tidak lepas pula peran kelompok yang mendukung usaha legislasi, juga kelompok yang membantu moril maupun finansial. Di luar itu semua tentu saja ada hambatan, semisal proses legislasi yang tertunda. Ini dikarenakan berdekatan dengan masa pilkada. Banyak agenda parlemen terabaikan karena legislator harus kembali ke konstituennya. Aral lain adalah anggota DPRD belum memahami inti PRB. Pada pertemuan itu, Sabir, perwakilan DPRD Sinjai membuka pemaparannya bagaimana perkembangan PRB Sinjai. Ia menguraikan dinamika politik di lembaga nya, juga hubungan legislatif dengan ekse-
HALAMAN 4
kutif, sampai bagaimana fakta yang terjadi dalam proses pembuatan Ranperda di Sinjai. Hal ini dilakukan untuk melihat se perti apa peluang melakukan gerakan sosial dalam usaha mengurangi risiko bencana di tingkatan kabupaten.
pertemukan unsur-unsur masyarakat Sinjai untuk membicarakan masalah kebencanaan di kabupaten ini. Apalagi untuk membentuk sebuah forum dengan pertemuan rutin yang direncanakan. Bagian inilah menjadi ‘rapor merah’ PRB di Sinjai.
Paparan itu dilanjutkan oleh Lukman, staf BPBD Sinjai. Ia menceritakan pengalaman BPBD menyinergikan aturan hukum (ideal) dengan tindakan yang perlu dilakukan, merumuskan perencanaan lembaganya beserta hambatan dan masalah yang dihadapi dalam kurun sembilan bulan terakhir sejak berdirinya BPBD Sinjai. Lukman mengakui bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di internal lembaga BPBD di usia mudanya. Apalagi dengan tanggung jawab besar yang diemban oleh lembaga ini.
Sebagai alternatif, SRP Payo-Payo menggerakkan PRB di Sinjai ini melalui isu pendidik an. Menjadikan Pendidikan Bencana dan sekolah sebagai wadah bersama masyarakat di lingkungan sekolah untuk membicarakan masalah kebencanaan.
Sudah ada lima sekolah yang menjadi uji coba pendidikan bencana di Kabupaten Sinjai. Diharapkan, dari penerapan pendidikan bencana di lima sekolah ini bisa menjadi langkah awal bagi sekolah lain yang berada di wilayah rentan terhadap ancaman bencana agar bisa Kepala Desa Kompang, Ansar bersama melakukan hal yang sama. Asikin Pella, Ketua Kelompok Tani SipakaWalau kelima sekolah sama-sama memulai tau merupakan dua aktor penting dalam usa pendidikan bencana ini, dalam perkemha PRB di desa mereka. Sejak 2007, kedua bangannya tidaklah sama. Ada sekolah yang nya berperan aktif bersama SRP Payo-Payo mengalami perkembangan yang cepat, ada melakukan penguatan kapasitas masyarakat pula yang membutuhkan waktu lebih lama. di desa Kompang agar siap menghadapi anHal ini disebabkan masing-masing sekolah caman yang ada di desa tersebut. Ansar dan memiliki masalah dan tantangan masingAsikin menganggap usaha PRB ini merupamasing. Mulai dari persoalan birokrasi, mokan sesuatu yang penting, apalagi jika melilornya penyusunan silabus dan RPP (Renhat pengalaman 2006 silam, ketika longsor cana Pelaksanaan Pembelajaran), sekolah menghantam sebagian besar permukiman yang masih memprioritaskan mata pelajawarga. ran tertentu, sulitnya mendapatkan bahan Imran, fasilitator lapangan SRP Payo-Payo, ajar, sampai masih lemahnya komitmen di menegaskan, masih sulit menentukan isu guru pelaksana pendidikan bencana. Semua apa yang akan digunakan untuk memper- itu menjadi catatan penting untuk melihat temukan orang-orang di Kabupaten Sinjai. apa yang menjadi hambatan dari pelaksanApalagi dengan melihat intensitas ancam aan pendidikan bencana ini sebelum dian yang relatif rendah di wilayah ini. Isu dorong menjadi sebuah kebijakan pendidikebencanaan belum cukup mampu mem- kan di kabupaten Sinjai.[] BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP PayoPayo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia 90561, Telepon: 04113881144, email: srppayopayo@yahoo.com
HALAMAN 5
PRB, Konsep Sekaligus Tindakan Sehari-hari AGUNG PRABOWO
SETELAH tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta tahun 2006 silam, bencana kerap hadir sebagai sajian media. Dua kejadian ini pula mendesak Pemerintah Indonesia segera mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Bencana Nasional dan membentuk sebuah badan khusus bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pusat komando. Kenyataannya kemudian adalah bencana masih dipandang secara parsial—melihatnya pada salah satu siklus bencana saja, terutama saat kejadian bencana. Ia dipahami menyeluruh; sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Ini memperlihatkan gambaran pe nanganan bencana yang masih menitik beratkan aspek tanggap darurat saja. Belum menyentuh siklus lain macam sebelum terjadi (usaha mengurangi risiko bencana) dan setelah bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).
di? Kerentanan biasanya diakibatkan kurang pengetahuan mengenai ancaman di lingkungannya. Ini dikarenakan masih sulitnya akses informasi kebencanaan, sehingga tidak semua kelompok masyarakat bisa mendapat informasi yang memadai. Hal lain yang menjadi persoalan: anggapan penanganan kebencanaan masih tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, masalah bencana menyangkut keselamatan hidup manusia dan menjadi tanggung jawab semua orang untuk bisa melakukannya. Peran aktifnya masyarakat bukan berarti ingin melepaskan tanggung jawab negara begitu saja atau ingin mengurangi kewenangan pemerintah. Ini sebuah usaha menjadikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai sebuah gerakan sosial, yang berarti sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Mengapa penting membicarakan masalah kebencanaan? Seberapa mendesak masyarakat untuk memahami fenomena kebencanaan dan mengetahui masalah-masalah yang menyertainya?
Jika tindakan merupakan cerminan dari apa yang dipahami, maka penanganan kebencanaan menjadi wujud pemahaman terhadap bencana. Jika tindakan menyelesaikan kebencanaan masih menitikberatkan pada salah RPB, salah satu konsep yang banyak digunasatu siklus bencana saja, maka dapat diasumkan untuk melihat kebencanaan secara mesikan bahwa pemahaman atas fenomena kenyeluruh, merupakan usaha yang dilakukan bencanaan yang ada saat ini perlu dikoreksi. manusia dalam mengurangi risiko ancaman Kebencanaan bukan hanya melihat peruba- yang ada di lingkungan, tempat manusia han alam dan dampak yang dihadirkan. Kita hidup. perlu juga melihat akar masalah yang semakin Kabupaten Sinjai, sebagian wilayahnya berukompleks dalam masyarakat. Perubahan alam pa pegunungan batuan muda dengan sudut yang berwujud ancaman bencana, tidak lepas kemiringan tanah antara 20 hingga 40 derajat, dari perubahan ekologi yang terjadi. Peruserta curah hujan yang cukup tinggi, setiap bahan ini bisa disebabkan karena perubahan tahun mengalami musim penghujan antara sistem pertanian, pergeseran pola tanam, November-Februari. Keadaan inilah yang pemenuhan kebutuhan pangan, perubah membuat sebagian besar wilayah Sinjai, se an demografi, terkikisnya solidaritas sosial, perti kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Barat ketidakmampuan menentukan ruang-ruang dan Sinjai Borong menjadi langganan longsor. ekologi (ruang permukiman, ruang pertanian, ruang konservasi hutan), dan kondisi Sementara wilayah ‘bawah’, Sinjai Utara dan Sinjai Selatan, menjadi ‘bak penampungan’ masyarakat yang rentan. air yang turun deras dari wilayah perbukitan Apa itu kerentanan? Bagaimana ini bisa terjadan menyebabkan banjir. Pada kasus bencana
HALAMAN 6
Dua cara melihat bencana: sebagai gejala alam yang digariskan oleh Sang Pencipta dan melihat lebih dalam ke akar masalah--bencana bukanlah sesuatu yang harus diterima ‘pasrah’ begitu saja. Manusia perlu melakukan usahausaha mengurangi risiko yang bisa diakibatkan oleh ancaman. tahun 2006, korban jiwa sebagian besar diakibatkan oleh banjir bandang, yang merupakan lanjutan dari peristiwa longsor di Sinjai Tengah. Air yang mengalir deras, membawa berton-ton lumpur hasil longsoran tanah yang terjadi sesaat sebelumnya. Jelaslah bahwa masyarakat Sinjai sebenarnya hidup bersama dengan ancaman bencana di lingkungannya. Ini dipertegas pula dalam temuan BNPB (November 2010) yang menyatakan kabupaten Sinjai sebagai salah satu kabupaten yang memiliki tingkatan ancaman bencana sangat tinggi di Sulsel. Umumnya, ada dua cara pandang manusia melihat fakta kebencanaan. Pertama, bencana sebagai gejala alam yang digariskan oleh Sang Pencipta. Kedua, sepakat dalam beberapa hal dengan pandangan pertama. Bedanya, pandangan ini melihat lebih dalam ke akar masalah—bencana bukanlah sesuatu yang harus diterima ‘pasrah’. Manusia perlu me lakukan usaha-usaha untuk mengurangi risiko yang bisa diakibatkan oleh ancaman.
daerah. Peraturan inilah yang menegaskan keseluruhan kerja PRB beserta perangkatnya, baik yang berada dalam maupun di luar struktur pemerintahan. Selain itu, diperlukan juga peraturan lain yang lebih sensitif dengan muatan PRB, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memiliki pengkajian mendalam mengenai area rawan bencana, kebijakan pertanian yang memperhatikan ekosistem dan aturan tata guna lahan, menyisihkan sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk penanganan kebencanaan atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah desa (RPJMDes) yang meliputi usahausaha PRB. Kedua, kelembagaan. Yang paling banyak menjadi sorotan saat ini adalah badan khusus yang menangani masalah kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di usianya yang masih belia, perlu berbenah diri sesegera mungkin. Tanggung jawab yang begitu besar mengharuskan lembaga ini memaksimalkan peran dan fungsinya di masyarakat. Lembaga lain seperti PMI, SAR, Tim Reaksi Cepat Daerah belum mampu saling berkoordinasi dengan BNPB/BPBD.
Usaha yang dimaksudkan adalah dengan memperkuat kapasitas masyarakat, memelihara lingkungan, mengenal lebih dalam ancaman yang ada di lingkungannya. Tujuannya untuk menghindarkan adanya korban dan Ketiga, membuat Rencana Aksi Daerah. dampak sosial yang lebih parah saat bencana Rencana ini meliputi contigency plan, renitu hadir maupun setelahnya. stra BPBD dan Rencana Pengurangan Risiko Usaha dan upaya PRB meliputi tiga siklus: sebe- Bencana Daerah. Keempat, membuat pusatlum, saat, dan setelah bencana. Mempersiapkan pusat informasi kebencanaan maupun media diri menghadapi ancaman, memperbaiki kuali- komunikasi bersama yang bisa diakses secara tas lingkungan, menjaga keseimbangan ekosis- luas. Kelima, mengintegrasikan PRB dalam tem, hingga merencanakan rehabilitasi dan re- sistem pendidikan formal. Keenam, sumber konstruksi setelah bencana terjadi. daya dan sumber dana. BPBD, sebagai perBagaimana masyarakat memulai usaha PRB? panjangan tangan BNPB, didesak untuk turut Idealnya, dari mana usaha PRB dimulai? Per- mengambil peran dalam mendanai kerja-kertama, regulasi atau peraturan perundang- janya sendiri, terutama pada bagian pendana undangan khusus kebencanaan di tingkat an operasional badan.[]
HALAMAN 7
Guru dan PRB AGUNG PRABOWO
Enam tahun silam, Desa Kompang penuh timbunan tanah longsor dan terisolasi selama kurang lebih seminggu. Hampir seluruh infrastruktur rusak parah dan desa nyaris lumpuh. Kejadian ini menjadi bencana karena memakan korban jiwa serta menyisakan kerusakan pada perkebunan pegunungan masyarakat, terutama perkebunan kakao dan cengkeh yang 30 tahun terakhir menjadi tumpuan ekonomi warga. Bagi Kasim, seorang guru di SMPN SATAP Karangko, perlu melihat PRB (Pengurangan Risiko Bencana) agar bisa dipahami oleh banyak orang, terutama anak didik. Anakanak perlu mendapatkan pemahaman lebih dini mengenai PRB agar mampu menghadapi bencana yang bisa datang kapan pun. Lalu Kasim mulai merancang strategi pengintegrasian PRB dalam mata pelajaran yang diasuhnya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah.
kurangnya jumlah pohon, jenis akar pohon yang tidak mengikat tanah, kemiringan lahan dan jenis tanah berbatu yang tidak bisa menahan banyak air. Semuanya dicatat sebagai kerangka laporan untuk kemudian dikembangkan mejadi sebuah paragraf utuh. Kasim berusaha menjadikan konsep PRB sebagai tema sentral pelaksanaan pembelajaran kendati tak ada dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Ini sebuah strategi yang bisa menjadi pelajaran bersama memulai upaya PRB di Kompang, khususnya lewat jalur pendidikan formal. Pendidikan Bencana, sebagaimana dilaksanakan di berbagai tempat memang menyesuaikan konteks. Ini juga didukung perangkat hukum pendidikan juga kurikulum sebagai panduan pelaksanaan pengajaran. Namun perangkat itu tidak cukup bila tak disertai perubahan-perubahan pada perangkat lainnya. PRB bukan semata formalitas nilai kemanusiaan yang perlu ditanamkan, tetapi juga sebagai tindakan sadar sekaligus transformasi nilai-nilai oleh aktor pendidikan kepada anak-anak.
Menulis laporan perjalanan menjadi salah satu peluang bagi Kasim mengajarkan pada anak-anak didiknya betapa pentingnya mengenali titik ancaman longsor yang ada di Kompang. Melihat, mengamati, dan mendiskusikan area bekas tanah longsor Hal lain yang perlu menjadi sorotan adalah 2006 itu lalu menuliskannya dalam bentuk hadirnya wacana sekolah sebagai pemegang laporan. otoritas pendidikan formal anak. Inilah keKasim membincangkan rencana ini den- mudian yang membawa sekolah pada tanggan kepala sekolah. Lalu diputuskan pada gung jawab tunggal untuk mereproduksi tanggal 21 September 2011 untuk melak- pengetahuan dan nilai-nilai. Sementara, sanakannya. Titik berkumpul di Dusun Ba- pengetahuan masyarakat terus tergerus rugae, tepat di ujung jalan beton yang baru waktu. Pada konteks tertentu, anak akan dibangun tahun itu. Dari sanalah rombong melupakan pengetahuan lokalnya—bahkan an menuju beberapa titik, masing-masing tidak mengenalnya sama sekali. Maka, perKampung Lusung-Lusung, Pari-Parigi, lu pelibatan unsur lain masyarakat dalam dan terakhir di Batu Simbureng atau Batu proses belajar di sekolah, semisal kelompok Konde. tani, masyarakat adat, agamawan, dan lainlain. Di sepanjang perjalanan, anak-anak melakukan pengamatan serta mendiskusi- Keterlibatan kelompok ini harus direkan apa penyebab tanah longsor menurut kayasa. Tidak bisa hanya menunggu inimereka. Hasilnya pun beragam, mulai dari siatif kelompok bersangkutan. Sekolahlah
HALAMAN 8
yang perlu mulai membuka ruang keterlibatan dan mempertemukan gagasan-gagasan berkaitan pendidikan. Menjadikan masyarakat sebagai guru bagi anak-anak dan desa sebagai sekolahnya. Sekolah itu milik desa.
tiap kelas. Tentunya dengan menggugurkan pelajaran lain yang masuk dalam kelompok muatan lokal. SDN 66 Gantarang misalnya, untuk kelas IV, BTA tidak diajarkan di semester ganjil lantaran sekolah mengisinya dengan Pendidikan Bencana.
Upaya keras dilakukan. Sejak April-September 2011, memasukkan PRB dalam kurikulum pendidikan di Sinjai masih harus menghadapi bermacam tantangan. Topik yang dibincangkan panjang oleh guru adalah pilihan strategi untuk membuat perangkat kurikulum yang sensitif PRB. Apakah dengan mengintegrasikannya pada pelajaran yang sudah ada atau harus menjadikannya mata pelajaran sendiri.
Tetapi jika alasan penilaian yang tidak bisa diukur—PRB yang diintegrasikan ke mata pelajaran—menjadi alasan besarnya, ini akan bergeser jauh dari substansi masalah yang ingin diselesaikan. Tujuan memperkenalkan PRB pada anak-anak sebenarnya agar mereka, sebagai kelompok rentan, memiliki kapasitas menghadapi ancaman bencana.
Persoalan ini sebenarnya akan mengerucut pada teknis penilaian yang harus diberikan oleh guru untuk mengukur indikator keberhasilan pembelajaran, khususnya pemahama n tentang konsep PRB. Sebagai contoh kita bisa melihat lima sekolah di Sinjai yang mengusahakan PRB masuk ke dalam sistem pembelajaran. Lima guru yang menyusun perangkat kurikulum pendidikan bencana lalu kesulitan tatkala akan memasukkan PRB ke dalam pelajaran. Akhirnya, dua guru hingga sekarang belum bisa mengujicobanya karena silabus belum rampung. Sedang tiga guru lainnya menjadikan PRB sebagai mata pelajaran tersendiri yang masuk dalam kelompok muatan lokal lainnya seperti Bahasa Ingris, Bahasa Saerah, Pertanian dan Baca Tulis Alquran (BTA). Tetapi, tetap menghadirkan konsekuensi lain. Karena muatan lokal hanya empat jam maka otoritas diberikan kepada sekolah untuk menentukan dua mata pelajaran mana yang akan diajarkan di
Contoh menarik adalah inisiatif yang sedang dilakukan Kasim. Walau terkesan masih dilakukan sendiri, tetapi SRP PayoPayo bisa melakukan evaluasi bersama dengan model asistensi, lalu menyebarluaskan informasi ini pada komunitas sekolah lainnya untuk dijadikan sebagai perbandingan sementara. Dengan membaca hasil laporan perjalanan siswanya, Kasim bisa melihat seberapa besar pemahaman anak didiknya. Bukan hanya teknik menulis, tetapi juga daya serap atas tema yang diangkat, yakni tanah longsor dan sebab-sebab lahirnya potensi ancaman. Mereka keluar dari ruang kelas dan melihat dari dekat fakta kebencanaan yang ada di lingkungan desa ternyata lebih mudah dipahami daripada mempelajarinya di dalam ruang kelas. Pelajaran menjadi ringan karena tidak harus membayangkan objek yang sedang dipelajari, tetapi bisa melihat langsung dan merasakan suasananya. Apalagi tema kebencanaan merupakan sesuatu yang dekat dengan mereka.[]
Kasim mulai merancang strategi pengintegrasian PRB dalam mata pelajar an yang diasuhnya, Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Menulis laporan perjalanan menjadi salah satu peluang bagi Kasim mengajarkan pada anak-anak didiknya betapa pentingnya mengenali titik ancaman longsor yang ada di Kompang.
HALAMAN 9
Anak dan Pengurangan Risiko Bencana AGUNG PRABOWO
“Hutan lindung pada konteks sekarang, sudah seharusnya kita mengubahnya menjadi lin dungi hutan! Hubungan yang lebih menguntungkan antara hutan dengan manusia. Bukan merugikan salah satunya.” Kalimat itu dilontarkan Asikin Pella (60) dalam diskusi Kelompok Tani Sipakatau dengan puluhan peserta dari SMPN SATAP Karangko, 5 Februari 2012. Ini berawal dari inisiatif warga, lalu mendorong sekolah dan kelompok masyarakat lain menggelar diskusi terbuka di dalam kawasan Hutan Lindung Desa Kompang. Peserta sebagian besar murid kelas VII, VIII dan IX lima sekolah yang me ne rapkan Pendidikan Bencana [SMPN SATAP Tassoso, SDN 66 Gantarang, SDN 122 Mangottong dan SDN 104 Kalaka]. Diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan penanaman pohon yang bertema “Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana”.
hun 2008, SMPN SATAP Karangko dengan dengan Program Pendidikan Bencana 2011 hingga sekarang dan masih banyak usaha individu lain. Awal 2012 ini, sekolah menyegarkan kembali usaha penghijauan kawasan hutan melalui Pendidikan Bencana. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pihak di dalam masyarakat seperti Kelompok Tani Sipakatau, Pemerintah Desa, SRP Payo-Payo serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Penghijauan ini tidak lepas dari peran guru SMPN yang menyisipkan Pendidikan Bencana ke dalam kegiatan OSIS. Lebih jauh lagi, Kasim (Guru SMPN SATAP Karangko) berencana menjadikan kegiatan ini bagian dari kegiatan rutin OSIS. Kepala Sekolah pun mengiyakan rencana ini dan siap mendukung. SETAHUN SUDAH penerapan Pendidikan Bencana di SMPN SATAP Karangko. Gerakan sosial dipelopori oleh lima sekolah di Sinjai, didampingi SRP Payo-Payo. Sejak persiapan hingga proses penerapan, sekolah terus coba melibatkan berbagai pihak di masyarakat guna memaksimalkan gerakan ini. Tentunya ada beberapa pihak lain yang turut mendukung proses seperti Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Bakominfo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sinjai.
BUNGENG & RAMAE merupakan kawasan hutan yang letaknya berdampingan. Dulunya, menurut Asikin, zaman Belanda, dua seluas 500-an hektar. Sekarang, luas itu bertambah— meski Asikin tak bisa memperkirakan. Bahkan, Kepala Desa Kompang sampai aparat Dinas Kehutanan (yang hadir pada acara penanaman pohon) juga tak tahu pasti. Kawasan ini masuk dalam wilayah administrasi Desa Kompang, Bonto Lempangan, Patongko, Arbika, Bonto Salama dan Gantarang. Menurut Asikin, ada Berbagai hambatan yang dihadapi, di antaransekitar 300 ha lahan kawasan hutannya masih ya menimbang ‘pintu masuk’ PRB yang ‘pas’: memprihatinkan dan perlu dihijaukan kembali. apakah jadi mata pelajaran baru atau mengintegrasikannya saja. Ini setelah mempertimSudah bermacam usaha PRB (Pengurangan bangkan hal seperti bahan ajar yang kurang, Risiko Bencana) dilakukan di Kompang, baik proses penilaian yang sulit, atau beberapa melalui pemerintah, inisiasi kelompok di hal terkait praktik, dokumen, sampai prosemasyarakat hingga organisasi kemasyarakadur birokrasi pendidikan, seperti penentuan tan yang bekerja di seputar lingkungan. Usastandar kompetensi. ha-usaha tersebut di antaranya Program KBR (Kebun Bibit Rakyat) oleh Dinas Kehutanan Kasim coba menutupi kelemahan proses Penmelalui kelompok-kelompok tani sejak 2010, didikan Bencana dengan mengembangkan SRP Payo-Payo dengan penanaman Pohon model belajar, khususnya di kelas VII. Dia memAren bersama Kelompok Tani Sipakatau ta- bawa anak-anak lebih dekat melihat dan menge-
HALAMAN 10
nal lingkungan Kompang yang penuh ancaman maupun anggota kelompok tani, agar peserta tanah longsor. Membuat apa yang dipelajari memperhatikan jarak tanam. Sementara mumurid menjadi lebih dekat dan nyata. rid riuh sorai dalam kelompok-kelompoknya menikmati kegiatan penanaman mereka. Bagi Kasim, PRB tidak cukup dengan dibi carakan dan direncanakan saja. Perlu melihat Dua hari sebelum kegiatan, sekolah memberisemua peluang agar anak-anak bisa mema- kan pembekalan kepada murid-murid untuk hami PRB dengan maksimal. Berdasar itulah mempermantap proses belajarnya. Salah saKasim mulai merancang strategi pengintegra- tunya menugasi mereka agar berdiskusi de sian PRB dalam mata pelajaran asuhannya, ngan anggota kelompok tani saat di lapangan. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Proses Mencatat jenis-jenis pohon yang ada di dalam belajarnya pun tidak hanya di dalam kelas, hutan berikut klasifikasi pohon berdasarkan tetapi juga mengunjungi langsung objek yang ciri-ciri fisiknya. sedang dibahas. Panitia lalu membawa peserta ke tempat datar Inisiatif Kasim ini berjodoh setelah Kelompok untuk melanjutkan diskusi. Sebagai pembuka, Tani Sipakatau dan Pemerintah Desa Kom- Kades Kompang, Ansar memberikan sepatah pang menyambut baik kerjasama penana- kata untuk peserta sebelum membuka diskusi. man pohon—sebagai bagian dari Pendidikan Kemudian dilanjutkan oleh Ketua Kelompok Bencana—yang diinisiasi oleh SMPN SATAP Tani Sipakatau, Asikin Pella, dan salah seorang Karangko. Sebuah gerakan yang lebih luas Alumni Fakultas Kehutanan Unhas yang bekdengan melibatkan lebih banyak kelompok di erja di Forum Hutan Kemasyarakatan. masyarakat dalam Usaha Pengurangan Risiko Diskusi berjalan dinamis. Pembicara yang terdiBencana di Kompang. ri dari kelompok masyarakat, pemerintah desa MINGGU pagi, beberapa anak mengoordinir dan tokoh-tokoh kemasyarakatan memaparkan teman-temannya mengambil bibit di penang- penjelasan seputar masalah lingkungan dengan karan milik Kelompok Tani Sipakatau. Guru sangat sederhana. Peserta kemudian menangmulai mengabsen peserta penanaman sekaligus gapi serta melemparkan beberapa pertanyaan. mencatat jumlah bibit yang dibawa masing- Reski Oktaviani (14 tahun), yang juga sebamasing peserta. Kurang lebih 120 peserta (90 gai Ketua Osis, mengawali pertanyaan seputar murid, 2 guru, 9 anggota kelompok tani, dan 7 manfaat dari usaha menjaga kelestarian lingkungan. Selanjutnya, giliran murid-murid yang orang lainnya). lain mengajukan pertanyaan. Pationgi menjadi titik penghijauan. Tempat ini berada di Dusun Barugae. Tahun 2006 Satu catatan penting diskusi ini yakni menlalu Pationgi menjadi salah satu titik longsor. genai usaha pengurangan risiko bencana dan Kendati curam, peserta masih bisa menjang- usaha menghadapi perubahan iklim. Dua kaunya. Semak-semak berduri mendominasi tema yang mendapat perhatian khusus bagi bukit-bukit dengan pepohonan beragam jenis peserta walau sebenarnya masih sulit bagi yang tidak rapat. Cukup beralasan jika pelak- murid seumuran mereka—kisaran 13 sampai sana memilih Pationgi sebagai tempat pelak- 15 tahun—untuk memahami konsep-konsep yang dipaparkan. sanaan penanaman. Setiba di lokasi, anggota kelompok tani bergegas menebas semak sebelum peserta melaluinya. Beberapa lainnya mulai menggali tanah. Setelah menyingkirkan semak, masingmasing peserta mulai mencari lokasi terbaik untuk menanam bibit yang dibawa. Sesekali terdengar suara peringatan, baik dari guru
Menurut salah seorang guru pendamping, Ridwan, baru kali ini ada kegiatan di luar jam sekolah yang melibatkan seluruh siswa. Apalagi bentuknya adalah rekreasi. Anakanak akan mengingat dengan baik keseluruhan proses karena kegiatan dikemas dengan santai.[]
HALAMAN 11
Sekolah Lapangan, Perlawanan Petani terhadap Revolusi Hijau MARIATI ATKAH
TIGA MUSIM panen berturut-turut, ak hir 2009 hingga penghujung 2010, terjadi serangan tungro di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Penyakit ini menggagalkan sembilan puluh persen panen (kategori puso atau gagal total). Bila normal, sehektar sawah bisa menghasilkan minimal 50 karung gabah. Sejak tungro mengganas, petani hanya memanen 5-10 karung gabah. Hasil itu sungguh tak sebanding dengan ongkos produksi. Petani frustasi. Di Desa BonneBonne, petani bahkan membakar sawah lantaran tak ada padi yang bisa dipanen. Petani setempat menyebut tungro sebagai cella’ pance’ (merah-pendek), sesuai keada an padi yang terserang. Tungro adalah virus padi yang disebarkan oleh wereng hijau, terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan berkurangnya jumlah meningkatkan produksi pertanian. Penelitian anakan. Daun yang terserang berwarna kuning, disponsori oleh Ford and Rockefeller Foundaoranye, sampai kemerah-merahan. tion di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertani- IMWIC (International Maize and Wheat Iman Vol. 30 No. 5 2008, menyebut, dalam kurun provement Centre) merupakan pusat peneli1970-1995, luas serangan tungro di Indonesia tian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI mencapai lebih dari 200 ribu hektar dengan (International Rice Research Institute) bernilai kerugian US$ 100.000. Luasan itu terus hasil mengembangkan bibit padi baru yang berkurang sejalan dengan upaya pengenda- produktif yang dengan kode IR-8. lian penyakit yang dilakukan. Namun secara Di Indonesia, upaya peningkatan produktivinasional, luas serangan tungro setiap tahun tas pertanian dilakukan dengan pembukaan masih berkisar antara 10-12 ribu hektar. areal pertanian baru utamanya di luar Jawa, Tungro hanya satu contoh dari sekian banyak dampak Revolusi Hijau yang diperkenalkan kepada petani Indonesia pada akhir tahun 1960-an melalui program BIMAS dan INMAS. Secara internasional, Revolusi Hijau dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Persoalan lain adalah tidak terkendalinya laju pertumbuhan penduduk sehingga kebutuhan pangan meningkat. Untuk mengatasi kerawanan pangan, dilakukanlah penelitian demi
mekanisasi pertanian dengan penggunaan berbagai macam mesin seperti bajak dan mesin penggiling, pembuatan saluran-saluran irigasi, penggunaan pupuk kimia, serta penggunaan pestisida, herbisida, dan fungisida. Hasil panen meningkat pesat sejak tahun-tahun awal Revolusi Hijau. Indonesia mendapat penghargaan dari organisasi pangan dunia (FAO) tahun 1984 karena mencapai swasembada beras. Capaian ini bertahan selama lima tahun, 1984-1989. Namun setelahnya, wajah
HALAMAN 12
buruk dari Revolusi Hijau mulai tersingkap. Kesuksesan itu dibayar mahal dengan berbagai efek samping yang tak terbayangkan sebelumnya.
pang kehidupan yang layak. Untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan, apalagi untuk peningkatan taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan lain, misalnya menyekolahkan anak-anak. Biaya pertanian terus bertambah, Pengolahan lahan tanpa jeda menyebabkan sementara harga gabah tak meningkat. turunnya daya dukung lingkungan. Sebelum Revolusi Hijau diterapkan, normalnya pena Berbagai gerakan petani mulai bermuncunaman padi dilakukan satu atau dua kali seta- lan untuk melepaskan diri dari jerat Revolusi hun karena tergantung hujan. Dengan irigasi Hijau. Di Bonne-Bonne, Kecamatan Mapilli, teknis, penanaman padi dapat dilakukan in- didampingi oleh SRP Payo-Payo, sekelompok tensif. Hal ini menyebabkan serangga penular petani beranggotakan 5 laki-laki dan 3 permenyesuaikan diri dengan lingkungannya se- empuan mengelola dua petak lahan 10 are. hingga mampu berkembang. Varietas tanam Mereka menerapkan sistem pertanian ramah an yang semula dikatakan tahan hama dan lingkungan. SRP Payo-Payo yang bermitra penyakit pun akhirnya kalah. dengan Dewan Mahasiswa Helsinki-Finlandia, hanya bertindak sebagai fasilitator yang Lebih jauh, Indonesia kehilangan sekitar tiga mendukung kegiatan belajar mereka. Seleribu varietas lokal karena tergerus oleh bibit bihnya merupakan pekerjaan para anggota impor, yang disebut-sebut dapat memberikelompok. kan hasil panen lebih tinggi meski daya tahan terhadap penyakit ternyata jauh lebih lemah Mereka belajar mengamati perkembangan di dibanding bibit lokal. lahan (lihat foto), memanfaatkan data pengamatan sebagai dasar pengambilan kesimpulan Overdosis pupuk dan pestisida kimia merusak dan keputusan. Proses belajar ini mereka sebut tanah dan air, menimbulkan kekebalan hama, sebagai sekolah lapangan. Mereka belajar menmemunculkan hama baru, serta keracunan genal hama, musuh alami, kondisi tanaman dan pada manusia dan hewan. Dan efek yang paÂling ekosistem yang dapat mempengaruhi kebertidak bisa dihindari adalah terjadi perubahan hasilan maupun kegagalan usaha tani. Yang le kultur sosial, kebiasaan masyarakat mengolah bih penting: petani belajar berkeputusan sendiri. lahan pertanian berubah karena diganti mesin. Keputusan yang diambil tidak didasarkan anDari tahun ke tahun, seluruh isi paket Revo- juran atau perintah orang lain, melainkan atas lusi Hijau itu meningkatkan biaya pertanian dasar hasil pengamatan di lahan dan hasil dissementara produksi terus menurun. Bila meng- kusi antar sesama petani. Di sekolah lapangan, hitung sederhana untuk 1 hektar lahan, penge- petani belajar di sawah bukan di kelas, petani luaran petani Bonne-Bonne per musim panen belajar bersama (bukan diajari). Proses ini berberkisar Rp 650-800 ribu untuk biaya traktor, beda dengan Sekolah Lapangan program Dinas Rp 500-600 ribu cabut dan tanam benih, Rp Pertanian, karena penyuluh bertindak sebagai 150-300 ribu untuk pupuk, Rp 200-300 ribu orang yang tahu segalanya dan petani hanya untuk pestisida dan herbisida, Rp 150-200 ribu menerima saja. untuk bibit, dan Rp 400-500 ribu untuk biaya Walau kelompok ini belum mampu melepasangkut. Total biaya tadi Rp 2,7 juta. Ini belum kan diri sepenuhnya, tapi setidaknya mereka termasuk biaya harian dan tenaga petani. Rerata berusaha membangun bukti bahwa petani harga gabah keÂring di Polman Rp 250 ribu/kuinbisa memaksimalkan kemampuan. Mereka tal. Jika terjadi bencana, seperti serangan tungro, tinggal menyusun, mengembangkan, dan mepetani hanya bisa memanen 10 karung (Rp 2,5 nyebarluaskan kesadaran kepada petani lain juta). di sekitarnya bahwa pertanian ramah lingPetani terancam secara sosial ekonomi. Sum- kungan hanyalah jalan untuk membuat mereber pencahariannya tak mampu lagi meno- ka berdaulat atas penghidupannya sendiri.[]