Buletin Payo-Payo Edisi 04

Page 1

HALAMAN 1

PAYO-PAYO

kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi IV Agustus 2013

Kerja Kolektif, Daya Sosial yang Harus Dilindungi TIM PAYO-PAYO

SEBUAH HASIL penelitian menunjukkan bahwa warga Tompo Bulu punya potensi mengem­ bangkan kemampuan afiliasi yang baik. Mereka punya empati yang dalam dan saling menghargai, serta tidak sulit saling membantu ketika dibutuhkan untuk hal-hal tertentu. Ini terlihat ketika mereka hendak mendirikan rumah atau mengadakan hajatan. Mereka mudah dipanggil datang membantu. Namun hal serupa sulit terwujud ketika mereka hendak berkumpul membicarakan alokasi anggaran dan program dari pemerintah. Mereka kurang mampu membentuk kelompok yang memuaskan secara aspiratif untuk menangani urusan publik. Mereka bisa membantu kepentingan pribadi orang lain, namun sulit untuk duduk bersama secara teratur untuk menentukan kebijakan demi kepentingan bersama dan/atau mengerjakan bersama sebagian dari kebijakan publik tersebut.

Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang diinisiasi pemerintah, Ornop, hingga lembaga donor internasional. Tidak terkecuali di tiga desa penelitian. Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola pengetahuan & pemanfaatan sumberdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modernisasi ‘teknologi perdesaan’. Program pertanian pemerintah biasanya dilaksanakan melalui kelompok-kelompok tani yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah desa dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Pertanian. Sebagai ‘payung’ seluruh Kelompok Tani di satu desa, juga dibentuk satu organisasi lagi, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Melalui kelompok-kelompok inilah


HALAMAN 2

pemerintah mengerjakan sejumlah program bidang pertanian, seperti pembagian benih unggul, penyaluran pupuk bersubsidi, pembagian traktor tangan (hand tractor) dan juga bantuan modal kepada petani seperti Kredit Usaha Tani (KUT).

pok menjadi suatu kebutuhan petani? Pembentukan kelompok di wilayah penelitian sebagian besar mengacu kepada struktur administrasi desa atau struktur yang lebih kecil lagi seperti dusun/lingkugan, RT hingga RW. Tujuannya agar memudahkan proses pembentukan dan koordinasi anggota dalam kelompok. Jika membandingkannya dengan mengacu stuktur yang belum ada, cara ini lebih memudahkan pengidentifikasian warga yang akan diajak ma­ suk ke kelompok dan terlibat dalam program. Kendati masyarakat umumnya memahami tujuan ideal dan pentingnya membentuk kelompok, (bisa kita temukan dari beberapa pahaman budaya lokal tentang gotong royong [situlungtulung], semangat persatuan, saling mengingatkan [sipakainge’], dan solidaritas), tetapi tidak sedikit individu yang masih menggunakan alasan pragmatis dalam pengelolaan program negara, seperti untuk mendapat bantuan atau agar bisa mengakses pupuk murah dan sebagainya. Nilai-nilai lokal itu seperti ter­pinggirkan ketika mereka mengelola sumberdaya dari luar.

Bentuk program paling jelas di desa penelitian ialah infrastruktur fisik seperti sarana irigasi, jalan, dan demplot-demplot yang dikelola kelompok tani. Untuk infrastruktur kesehatan, ada beberapa gedung di sekitar pusat pemerintahan desa, sarana air bersih, MCK, saluran pembuagan air (got/parit) dan pusat pemeriksaan kesehatan balita (Posyandu). Sisanya, fasilitas publik dan pemerintahan seperti aula pertemuan dan pengembangan gedung pemerintahan. Untuk mengetahui nama program yang mendominasi pengembangan infrastruktur fisik desa ini bisa dilihat dari papan penunjuknya, seperti ‘PNPM-Mandiri’, yang mencantumkan tahun pengerjaan. Ada pula NGO internasional, semisal CARE yang lebih memfokuskan program ke pengadaan air bersih untuk kelompok-kelompok warga—baik lewat kelompok yang sudah Singkatnya, sulit menemukan kelompok yang ada maupun dengan membuat kelompok baru. murni dibuat oleh masyarakat atas inisiatif sendiri berdasarkan analisis kebutuhan mereka. Bisa dikatakan dorongan/inisiatif tersebut be‘kelompok’ hanya menjadi rasal dari pihak luar, atau desakan kebutuhan syarat administratif sebelum petani atas input-input pertanian dari luar, atau program akan dijalankan gabungan keduanya, seperti pengakuan seorang ibu, warga Bonto Birao. Menurutnya, suaminya terlibat dalam kelompok di Dusun Bonto karena Sederhananya, dapat dikatakan bahwa ‘kelomkebijakan Pemerintah Kabupaten mengharuspok’ hanya menjadi syarat administratif sebekan petani tergabung dalam kelompok tani. lum program akan dijalankan, semisal program Akhirnya keterlibatan suaminya di kelompok subsidi pupuk oleh Dinas Pertanian. Petani bisa terasa tak memberi manfaat. Apalagi setelah mendapatkan pupuk bersubsidi bila secara adterjadi kelambatan penyaluran bantuan pupuk ministratif petani bersangkutan terdaftar sebadi kelompoknya. gai salah satu anggota kelompok tani, tempat program akan dijalankan. Melalui kelompok Selain soal pupuk, pembagian traktor tangan tani kemudian pupuk-pupuk bersubsidi dis- juga tidak bisa dinikmati oleh seluruh anggota alurkan ke petani. Maka tak jarang petani segera kelompok karena harus digunakan secara bermembentuk kelompok untuk bisa mengakses gantian—mesti berburu dengan jadwal musim program yang sedang atau akan dijalankan. tanam atau saat penghujan tiba. Jika petani Bahkan kadang ditemukan petani yang tidak harus menggunakan traktor bergiliran, maka tahu menahu pencantuman namanya di salah akan memakan waktu yang panjang. Sementasatu kelompok. Maka pertanyaan paling men- ra, petani harus mengejar musim penghujan dasar yang bisa diajukan adalah apakah kelom- karena sebagian besar lahan petani Bonto Birao


HALAMAN 3

berada di bukit-bukit yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. Ketua kelompok dan pengurusnya biasanya punya kesempatan lebih menggunakan traktor bantuan karena mereka senantiasa menjadi prioritas. Akibatnya, setiap masa pengolahan lahan, sebagian besar petani tetap harus menyewa traktor.

pobulu tahun 2012), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (Tompobulu), Kelompok Petani Perempuan (Dinas Pertanian Kab. Pangkep: Bonto Birao untuk program Tanaman Pekarangan) dan Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga/PKK (Pemerintah Pusat sejak masa Orde Baru). Selain kelompok khusus perempuan, mereka juga secara formal ikut terKepentingan paling tampak dalam upaya pemlibat di beberapa program besar sekelas PNPMbentukan kelompok di Tompo Bulu adalah Mandiri dan program lainnya. modernisasi pertanian. Maka pengembangan infrastruktur desa lebih ke arah modernisasi Kecenderungan kelompok perempuan di atas pertanian ketimbang kebutuhan riil petani. Pa- bersifat formal, sebagaimana organisasi beserta dahal modernisasi sistem pertanian lebih bero- perangkat dan struktur bentukannya. Di aras inrientasi pada kuantitas produksi dan pelipatgan- formal, keterlibatan perempuan di dalam kelomdaan nilai ekonomi melalui usaha agroindustri, pok-kelompok—yang tidak menitikberatkan untuk kepentingan pelaporan; dan tidak selalu pada isu gender—juga terjadi. Dalam obrolan bersama istri-istri ‘pemegang proyek besar’ dan berarti kesejahteraan petani. ‘pejabat desa’, mereka kerap mengambil peran informal dalam mempengaruhi kebijakan yang warga tidak punya institusi secara formal dibuat oleh suami-suami mereka. tempat mereka bisa menyuara­ Misalnya pada bagian penentuan tempat belanja kan dan mengatasi kenyataan material proyek, melengkapi persuratan dan administrasi proyek, menyebarluasan informasi yang mereka hadapi ‘burung’ hingga cerita-cerita miring di dalam proses pengerjaan proyek. Di sini terlihat bahwa mereka sepertinya tidak Karenanya sulit menghindari kesan umum punya institusi tempat mereka bisa menyuara- kelompok-kelompok tersebut dibentuk karena kan dan mengatasi kenyataan yang mereka ha- kebutuhan program, tidak sepenuhnya berasal dapi sehari-hari, yang bisa menyalurkannya ke dari kebutuhan warga. pemerintah untuk membentuk kebijakan mereka. Karena sudah berlangsung lama, usaha un- Satu kesimpulan sementara lain yang bisa diatuk membangkitkan kembali partisipasi genuin jukan di sini adalah warga memang sudah mereka dalam proses kebijakan publik, kerap menikmati kebebasan untuk memilih afiliasi, menemui kendala yang sampai sekarang sulit atau membentuk kelompok berdasarkan aspirasi mereka. Namun itu tidak dibarengi de­ diatasi. ngan dukungan pemerintah terhadap kelompok Namun tidak semua warga kehilangan potensi inisiatif warga tersebut. Sehingga kemungkin­ membangun afiliasi berdasarkan masalah pub- an tidak banyak dari kelompok tersebut bisa lik yang mereka hadapi. Pada titik tertentu, teru- bertahan lama ketimbang kelompok yang ditama kala terjadi krisis berkepanjangan, mereka inisiasi oleh pemerintah. Padahal tidak sedikit bisa bangkit dan mencari solusi bersama, meski dari kelompok yang diinisiasi warga tersebut dengan sedikit dukungan dari pemerintah. mewakili aspirasi asli warga. Dengan kata lain, Sementara itu, salah satu tren program yang pemerintah secara tidak langsung meredupmengubah ruang-ruang perempuan dalam ran- kan kemampuan afiliasi warga dengan tidak ah publik adalah dengan melibatkan mereka ke mendukungnya secara maksimal, sebagaimana dalam kelompok-kelompok perempuan se­perti mendukung kelompok ‘pesanan’ yang berasal Kelompok Petani Perempuan (CARE: Tom- dari program pemerintah.[]


HALAMAN 4

Kelompok Tani, Sekadar Syarat Program SUNARDI HAWI

PAK NAJAMUDDIN tersenyum saat diminta oleh fasilitator pertemuan untuk menyebutkan nama kelompok taninya. Petani dari Tompobulu, Kecamatan Balocci, Pangkep ini rupanya lupa nama kelompoknya tempat ia terdaftar sebagai anggota. Selain tidak tahu nama kelompok, ia pun luput siapa saja yang jadi anggota. Di Tompobulu, terdapat 22 kelompok tani terbentuk difasilitasi pemerintah. Tiap kelompok terdiri 15-25 petani yang dipilih berdasarkan jarak rumah. Yang berdekatan akan berada dalam satu kelompok. Di tingkat desa, sejumlah kelompok ini berada di bawah satu gabungan kelompok, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang memiliki pengurus sendiri. Para petani yang hadir malam itu mengeluhkan keadaan kelompok yang tidak aktif dan kegiatan pertanian yang hampir tidak pernah terjadi. Begitu juga dengan pengurus gabungan kelompok tani serta penyuluh pertanian di desanya. Keberadaan kelompok hanya untuk memenuhi persyaratan penyaluran program pemerintah seperti pembagian benih, pupuk bersubsidi, atau peralatan pertanian. Keluhan ini tampaknya dikarenakan ada contoh kelompok yang kerap melakukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah pertanian yang mereka alami. Bahkan mereka juga memprakarsai model penanaman padi yang belum pernah dilakukan petani Tompobulu sebelumnya. Cara tanam itu adalah System Rice Intensification (SRI), yang dalam setempat dikenal sebagai allamung ta’serre-serre (Mks., menanam satusatu). Kini, sekisar 50 petani menerapkan model tanam ini. Kelompok tersebut adalah Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompo­­ bulu, kelompok yang dibentuk sejumlah petani yang ‘nekat’ mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan baru tentang pertanian, baik yang mereka temukan sendiri maupun melalui orang lain.

Di SRP Tompobulu inilah, Pak Najamudin bersama petani lainnya aktif sejak beberapa tahun. Sejumlah petani yang hadir pada pertemuan itu, juga merupakan anggota dari kelompok ini. Keluhan soal ketidakaktifan kelompok tani serta Gapoktan itu bukanlah pertama kali. Hal sama terungkap dalam pertemuanpertemuan sebelumnya. Padahal, menurut mereka, jika sesama anggota kelompok bisa bertemu rutin, masalah pengendalian hama, ketidaksesuaian permintaan jenis benih dengan pasokan, ataupun keterlambatan penyaluran pupuk bersubsidi bisa diatasi bersama-sama.

masalah pengendalian hama, ketidaksesuaian permintaan jenis benih dengan pasokan, ataupun keterlambatan pe­ nyaluran pupuk bersubsidi bisa diatasi bersama-sama jika sesama anggota kelompok bertemu rutin PEMBENTUKAN KELOMPOK tani di Indonesia merupakan bagian rencana peme­ rintah pusat merevitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (RPKK) sejak tahun 2005. Pelaksanaannya mulai tahun 2007 melalui keputusan Menteri Pertanian No. 273/2007. Program ini adalah bagian dari Triple Track Strategy pemerintah dalam menjalankan program pengurangan angka kemiskinan, pengangguran, serta peningkat­an daya saing ekonomi nasional. Kelompok tani diharapkan dapat menunjang aktivitas agribisnis. Asumsinya, penyatuan kegiatan usaha dan pertanian dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Selain itu, dibentuk juga Gapoktan di tiap desa untuk mendukung


HALAMAN 5

Warga Tompo Bulu menghidupkan kembali pesta panen, upaya menjaga spirit kerja sama lewat ritual.

kegiatan usaha pertanian dari hulu hingga khususnya petani skala kecil. hilir serta Badan Penyuluh Pertanian seKetidakaktifan kelompok tani tadi tidak bagai mitra kerja petani. hanya di Tompobulu, namun juga di beberaDalam lampiran peraturan menteri ini pa tempat di Pangkep. Kelompok tani yang terdapat tiga fungsi kelompok, yaitu seba- terbentuk sekadar memenuhi persyaratan gai kelas belajar, wahana kerjasama, serta penyaluran sejumlah program pertanian sebagai unit produksi. Melalui kegiatan pemerintah. Kelompok hanya berada diatas kelompok itu pula diharapkan peningkatan kertas, sementara fungsinya sebagai mesumberdaya manusia petani seperti akses dia belajar bersama belum terlihat. Bahkan terhadap informasi, pengetahuan, dan lain- terdapat kasus, pembagian traktor tangan melalui kelompok hanya dimanfaatkan oleh nya, bisa terjadi. ketua kelompok sehingga petani lain tetap Jika mencermati peraturan menteri ini, harus menyewa. kesadaran pemerintah akan pentingnya be­ kerja secara bersama-sama (kolektif) Penyebab tidak efektifnya fungsi kelomdi tingkat petani memang sangat terlihat. pok di tingkat desa, salah satunya, lantaran Kendati dalam peraturan tersebut, korpo- bukan berdasarkan kebutuhan petani, me­ rasi yang bergerak di bidang pertanian juga lainkan persyaratan program yang sudah dimasukkan dalam kategori kelompok tani. disiapkan pemerintah, yang biasanya petani Selain itu, arah kegiatan pertanian masih tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sangat berorientasi pasar sehingga kelom- rencana bersangkutan. Ini ditambah lagi pok tani akan diarahkan pada sistem per- dalam pembentukan kelompok kerap di­ tanian modern untuk memacu produksi dominasi oleh elite-elite desa. memenuhi permintaan pasar dengan meng­ KEBERADAAN SRP Tompobulu memberiandalkan penggunaan teknologi pertanian kan ‘warna’ sendiri dalam praktik kerjasama yang di banyak kasus, sulit dijangkau petani,


HALAMAN 6

antar petani. Anggota-anggotanya petani yang mau “bertaruh” terhadap hal-hal baru. Misalnya menerapkan sistem tanam SRI dilahan mereka atau secara perlahan beralih menggunakan input pertanian non-organik ke organik. Dalam satu kesempatan mengobrol dengan Pak Najamudin, ia juga tengah mempertimbangkan untuk mencoba menanam padi di lahan kebun yang tentu saja tanahnya tidak cukup kuat menyimpan air. Untuk mengatasi ini, ia berencana menggali lahan dengan membentuk petakan kecil. Di bagian dasar galian petakan kecil ini kemudian akan dilapisi plastik sehingga air tetap bisa bertahan dan diatur penggunaannya. Sistem ini menyerupai cara kerja bercocok tanam di air (danau atau waduk) menggunakan media tanam menyerupai rakit yang diisi tanah.

fungsi kelompok di desa tidak efektif lantaran bukan ber­ dasarkan kebutuhan petani, melainkan persyaratan pro­ gram yang sudah disiapkan pemerintah Selain mempraktikkan pertanian tak lazim demi menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas lahan, anggota kelompok ini juga memiliki pembagian kerja yang disepakati bersama. Misalnya, siapa yang bertanggungjawab mengelola keuangan atau operasional penggilingan gabah. Mereka pun sering menggelar pertemuan untuk berbagi

pengetahuan atau pengalaman yang mereka dapatkan, baik dari kegiatan bertani ataupun dari pengetahuan luar serta membicarakan apa yang mereka akan kerjakan. Di Tompobulu, desa di pegunungan Bulusaraung Pangkep, ikatan kekerabatan relatif terjaga. Sistem pengolahan lahan secara bersama-sama masih terjadi sampai sistem menjaga tanaman dari hama babi hutan. Tapi ikatan ini berpotensi tergerus oleh karakter berbagai program intervensi, baik oleh pemerintah ataupun lembaga lainnya yang terkesan ‘memaksakan’ model yang mereka pahami ke warga. Karena pembentukan sejumlah kelompok dijadikan media penyaluran berbagai bantuan itu hanya menimbulkan resistensi dari anggota lain karena dominasi elite desa dalam kelompok—yang dengan demikian persebaran informasi terkait bantuan/program peme­ rintah yang masuk ke desa pun tidak merata ke seluruh anggota. Perlahan SRP Tompobulu mulai mempraktikkan sistem kerja kolektif melalui suatu kelompok, seperti mengelola alat produksi (pabrik penggilingan gabah). Meski belum sampai pada pengelolaan lahan bersama dengan sistem pembagian hasil produksi merata, namun hal ini menunjukan jika kelompok dibentuk dan dijalankan berdasarkan kesadaran warga dan tidak bersifat top-down serta melalui proses yang tidak instan, fungsi kelompok untuk mendukung kegiatan pertanian warga bisa lebih maksimal. Dengan begitu, kehadiran kelompok merupakan manifestasi dari kebutuhan bersama serta keinginan untuk menyelesaikannya secara bersama-sama.[]

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be­ kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP PayoPayo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia 90561, Telepon: 04113881144, email: srppayopayo@yahoo.com


HALAMAN 7

Komoditas dan Kerja Kolektif Warga Soga HASNULIR NUR

Warga Soga bergotong-royong membangun rumah bambu tempat belajar bersama.

Bagaimana pasang-surut komoditas di sebuah sesekali diselingi nasi beras campur jagung. desa di Sulawesi Selatan sampai mempenKetika teknik panen padi meningkat, pasokan garuhi kerja kolektif warga? beras pun bertambah, bahkan kadang cukup WARGA SOGA lebih sering meringkas barelle sampai panen musim berikutnya. Jumlah kon[Bgs. jagung] menjadi relle. Warga desa di Ka- sumsi jagung akhirnya berkurang. Warga lalu bupaten Soppeng ini menyebut dua jenis jagung memilih beras ketimbang jagung. Lalu entah yang dulu mereka tanam menjadi relle pulu dan dari mana sampai warga menganggap jagung relle sio. Keduanya menjadi bagian penting ke- sebagai kelas rendahan. Yang jelas, kian banyak hidupan warga desa di Kabupaten Soppeng ini jagung yang bisa dijual untuk tabungan keperlusebelum kemerdekaan sampai awal dasawarsa an lain. Perlahan jagung bergeser dari tanaman pangan (subsistem) menjadi tanaman ekonomi 90-an. (komoditas). Jagung menjadi makanan pokok Soga selain beras. Beras hanya bisa didapat dengan men- Peralihan ini tidak bertahan lama. Nilai jualnya jadi buruh panen karena Soga tak berlahan rendah membuat warga berpikir mencari kopersawah­an. Lahan milik warga Soga adanya moditas bernilai tinggi. Saat itulah kakao mulai segelintir di luar desa. Dengan teknik sederhana, dikenal. Sedikit saja warga yang mencoba, tapi akhirnya menjadi primadona. Pada gilirannya, pendapatan beras warga tidak seberapa. interaksi sosial yang merupakan ikutan dari Kala itu, makanan pokok warga ada tiga macam: bertani jagung pelan hilang—mulai terbentuk nanre bere’ (nasi beras), nanre relle (nasi jagung), interaksi sosial baru menyertai tanaman kakao. dan nanre pule’ (nasi dari campuran jagung dan beras). Warga memasak nasi beras pada Komoditas kakao perlahan mengubah mental waktu-waktu khusus dan acara penting seperti bertani warga Soga, dari komunal menjadi inmenjamu undangan dalam pesta adat. Di hari dividual. Pola interaksi mereka dengan faktor biasa warga lebih sering makan nasi jagung dan produksi ikut berubah. Dari lahan sebagai sum-


HALAMAN 8

ber kehidupan menjadi lahan sebagai sumber keuntungan. Terbentuklah nilai baru sebagai bawaan dari komoditas kakao. Pada puncak produksi dan harganya, nilai baru ini mendapat kekuatannya menjadi anutan ‘permanen’ warga.

Dulu teknik dan alat warga masih sederhana, sehingga bertani jagung menjadi pekerjaan berat. Untuk meringankan, warga sering bergotong royong menggarap lahan yang mereka sebut makkaleleng. Usia jagung hanya tiga bulan le­ bih menuntut siklus rutinitas yang juga pendek. Ini membuat petani akan kembali menghadapi beratnya pekerjaan menggarap lahan persiap­ an tanam setiap empat bulan. Jagung saat itu makanan pokok. Mereka menanamnya karena menyangkut kelangsungan hidup.

Perubahan sosial ini, dalam konteks desa sebagai entitas yang dinamis, terjadi secara senyap. Perubahan itu tanpa rekayasa sadar dari aktor individu atau institusi yang menargetkan terbentuknya nilai baru itu, melainkan merupakan hasil diaklektika alami dari potensi-potensi warga dengan lingkungannya (Lihat Sosiologi Dari itu kita bisa melihat, dua hal utama yang Desa: Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas mensyaratkan wadah semangat kerja kolek­tif di Soga membumi: pekerjaan itu berat dan meru[Darmawan Salman, Ininnawa: 2012]). pakan kebutuhan paling mendasar. Jika hanya Perubahan ini, tentu harus menjadi perhatian syarat pekerjaan yang berat tapi bukan kebutuh­ serius dalam merancang sebuah gerakan soan mendasar maka tidak ada kerja sama. Desial. Karena ini bukanlah gerakan tandingan mikian pula sebaliknya. dari sebuah gerak natural dialektis dalam sebuah perubahan sosial, melainkan merupakan Bandingkan dengan komoditas kakao. Rutinitas gerakan pelengkap. Minimal sebagai gerakan membudidayakannya tidak di semua tahapan. yang mengoreksi. Bagaimanapun, “revolusi Pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, senyap” merupakan perubahan sosial yang ak- sampai berbuah adalah aktivitas sekali saja. tual. Sementara gerakan sosial, semisal bincang- Masa awal tanam sampai masa berbuah (5 tabincang sambil minum kopi di beranda rumah hunan) adalah masa berat bagi petani. Selain itu, Kepala Desa di suatu waktu yang direncanakan, lahan untuk jagung (penyambung hidup) juga tentang bagaimana memajukan perekonomian sudah tentu berkurang karena kakao tidak boleh diganggu oleh tanaman lain. desa menjadi ‘potensi’ perubahan. KERJA KOLEKTIF adalah kearifan universal. Wadah tempatnya mewujudlah yang memiliki karakter lokal, yang kemudian disebut budaya/ kearifan lokal. Nah, selain dalam hal budaya kerja mengolah pertanian kearifan kerja kolektif mewujud, masih terdapat wadah lain tempat di mana kerja kolektif ‘membumi’, seperti dalam membangun rumah, memperbaiki sarana umum, serta pesta adat yang butuh bantuan tenaga dan dana. Asumsinya, jika wadah-wadah tersebut masih eksis di Soga, maka kearifan kerja kolektif akan tetap ada. Warga punya ruang mengaktualisasikan potensi jiwa sosial, menstimulasi, memantapkan, dan mengajarkannya kepada generasi penerus. Pertanyaan yang tersisa adalah apa yang menjadi syarat keberadaan wadah tersebut? Mari telusuri dengan melihat pertanian sebagai sumber penghidupan warga Soga, yaitu pertanian.

Jagung tidak punya tempat lagi di lahan dan ‘hati’ petani. Bertani tinggal memangkas, memupuk, dan memanen buah kakao. Wadah kerja kolektif bertani, makkaleleng, tidak dipakai lagi. Kerja berat sekaligus penopang hidup yang menjadikan keberadaannya penting kini berbalik. Di samping itu, teknologi pertanian ciptaan Revolusi Hijau terbukti efektif. Pekerjaan menjadi relatif mudah. Pemupukan dan pembasmian pengganggu tanaman bisa diaplikasikan de­ngan mudah. Petani tidak perlu menunggu lama proses permentasi atau pelapukan bahanbahan organik untuk bisa digunakan sebagai pupuk. Cukup beli pupuk—kadang malah dapat bantuan—lalu pakai. Hasilnya sekejap. Petani tidak perlu kerja keras membabat tanaman dan merondai hama. Cukup beli racun lalu basmi. Kerja rangkaian bertani berubah orientasi, dari ‘untuk hidup’ menjadi ‘demi uang’.[]


HALAMAN 9

Mahalnya Kerja Kolektif IBNU HAYAT TANRERE

Belajar pembenihan teknik SRI, upaya membangun kerja kolektif melalui sekolah lapang

pilihan rasional. Melalui program-program intensifikasi dan ekstensifikasi ala Soeharto, satu per satu ikatan sosial menjadi renggang. Bertani tidak lagi dianggap sebagai sebuah media interaksi sosio-kultural, melainkan ajang menumpuk produksi. Sakralitas tanah dan sawah kini hilang, hanya menjadi faktor produksi yang setiap Begitu kata seorang petani di Desa Bonnewaktu dipaksa berproduksi. Begitu pun dengan Bonne. Dalam perspektif ekonomi politik, manusia, yang setiap aktivitasnya diukur dari pernyataan ini disebut rational choice, yakni produktivitas. pilihan-pilihan yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan rasional (untung dan Hal yang sama akan kita temukan pada petani di rugi). Dalam perspektif ini, manusia adalah Bonne-Bonne. Desa yang berpenduduk kurang makhluk rasional yang harus mempertim- lebih 2500 jiwa ini terletak di Polewali Mandar, bangkan sebuah keputusan berdasarkan man- Sulawesi Barat. Bertani merupakan mata pencahafaat yang akan diambil dari keputusan tersebut rian utama masyarakat setempat. Awal dekade 70dan self interest dari masing-masing individu. an, pola pertanian ala revolusi hijau telah diprakAnaloginya, seseorang yang membeli roti bukan tikkan oleh masyarakat Bonne-Bonne. Mereka karena mengasihani si penjual roti, melainkan mendapat bantuan pupuk kimia cuma-cuma dari pemerintah. Setelah tiga kali panen bermemang ia ingin makan roti. langsung, masyarakat mulai bergantung pada Gejala di atas bisa kita temukan di hampir sepenggunaan pupuk, tak ada lagi yang gratis. luruh pelosok desa di Indonesia. Revolusi hijau telah membawa petani-petani desa yang Pemerintah kemudian menawarkan produk awalnya merupakan manusia-manusia komu- barunya dalam bentuk program “Pengendanal menjadi manusia-manusia ekonomi dengan lian Hama Terpadu”. Penggunaan pupuk kimia “Lebih baik berkorban uang daripada harus berkorban tenaga. Dengan berkorban biaya, kita masih punya waktu untuk istirahat di rumah. Kalau tenaga, waktu menjadi terbatas. Belum lagi kalau capek dan sakit, harus keluar biaya lagi. Le­ bih baik, uang yang mencari uang.”


HALAMAN 10

ternyata mengundang hama yang dulunya tidak begitu dikenal oleh petani. Alih-alih mengendalikan hama, satu per satu merek pembasmi hama berdatangan ke desa bersama paket pe­ nyuluhan. Tentunya tidak gratis!

baik, seperti mengurangi mengurangi dosis input kimia dan menggantinya bahan organik. Mereka memilih bertahan dalam zona rawan karena ketidakberdayaan mereka, baik mengendalikan faktor produksi maupun harga komoditas.

Petani harus merogoh saku membeli obatobatan untuk padi mereka agar tak terserang hama. Semakin banyak mereka menggunakan obat-obatan tersebut, semakin tinggi biayanya, semakin tinggi pula tingkat resistensi dan kekebalan tanaman terhadap hama tertentu. Alhasil, dari tahun ke tahun penyakit dan hama baru berdatangan. Karena dikejar target produksi tiap musim, lahirlah kompetisi produksi di kalangan petani. Pola-pola pertanian tradisional perlahan terkikis oleh modernisasi pertanian.

Kenyataan ini yang mendorong SRP BonneBonne dan SRP Payo-Payo berinisiatif meng­ adakan sekolah lapang pertanian organik. Beranggotakan 10 orang, anggota SRP BonneBonne melakukan percobaan pertanian organik di lahan demplot 10 are dengan sistem tanam SRI (System Rice Instensification). Sistem ini terbilang baru di kalangan petani Mandar. Dengan menggunakan input organik, minimalisasi penggunaan air, dan penanaman bibit muda pada satu lubang tanam, para anggota SRP bergiliran maupun berkelompok menyemprotkan pupuk cair yang mereka buat sendiri, mencabut rumput, dan mengadakan pertemuan rutin setiap minggu.

BAGI PETANI penggarap di Bonne-Bonne, mencoba hal baru sama mempertaruhkan hidup dengan sesuatu yang tak pasti. Mereka tidak berani mempertaruhkan sumber penghasilan utama mereka dengan hal baru dikarenakan biaya Pertemuan itu untuk mengevaluasi hasil panproduksi tinggi dan risiko gagal panen yang juga tauan di lahan demplot serta membicarakan besar. Belum lagi soal hasil pertanian yang harus tindakan apa saja yang akan diambil jika terjadi mereka bagi dua dengan pemilik lahan. serangan hama, pertumbuhan padi yang tak Dengan asumsi lahan 1 ha per petani penggarap, normal, atau sekadar membicarakan kesehari­ rerata penghasilan bersih semusim Rp 5.761.300 an mereka. Dengan prinsip “belajar bersamaâ€? (Rp 1.440.325/bulan). Lain lagi soal tenaga kerja. berbagai langkah penanganan justru lahir dari Hampir semua proses produksi menggunakan pihak warga, prinsip yang harusnya jadi acuan tenaga kerja berbayar, dari pemupukan sampai pengorganisasian. panen menggunakan tenaga upah borongan Sekolah lapang diharapkan menjadi media belajar dari dalam maupun luar desa. bersama petani. Dalam sekolah lapang, petani berNamun kebanyakan petani penggarap di Bonne- bagi pengetahuan teknik budidaya tanaman, serta Bonne mengelola sawah seluas 30-60 are/petani. pemanfaatan lingkungan sekitar mereka dalam Pada tingkat kebutuhan tertentu, para petani bercocok tanam. Sekolah lapang juga diharapkan mau tidak mau harus menjual sawah mereka, mampu mengembalikan kolektivitas warga yang seperti kebutuhan sekolah anak, biaya perni- memudar karena modernisasi pertanian. kahan, sampai biaya berobat. Tak heran jika Hanya saja, bukan hal yang mudah untuk membeberapa petani yang memilih mencari pengperbaiki kerusakan yang ada. Selama tiga tahun hasilan tambahan seperti menjadi buruh tanam, belum juga mencapai hasil maksimal. Terlebih lagi operator mesin traktor, sampai kuli bangunan. beberapa kali percobaan SRP Bonne-Bonne tidak Rentannya tingkat kebertahanan ekonomi maksimal dan, bahkan, pernah gagal panen. Apalmembuat petani tidak berani berinovasi teknik agi kata petani, sangat menguras tenaga lantaran budidaya tanaman. Besarnya risiko kerugian harus tanam tammesa-mesa (tanam satu-satu). yang hampir tiap musim mereka alami, memMengubah kebiasaan bukan pekerjaan mudah. batasi petani berpikir dan mencoba hal baru Pengorganisasian mensyaratkan inovasi yang terus yang bisa membuat hasil pertanian menjadi menerus, keuletan, dan kesabaran yang ekstra.[]


HALAMAN 11

Risalah Kerja Kolektif Indonesia NURHADY SIRIMOROK

KETIKA harga minyak dunia mulai membaik pasca kejatuhannya tahun 1985-1986, Soeharto menyingkirkan para teknokrat-ekonom ber­ aliran neoliberal yang telah membantunya. Ia memilih merangkul militer dengan mengembangkan Dwifungsi ABRI, serta memperkuat Golkar sembari melakukan fusi partai-partai politik. Semuanya mengiringi pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya dari aliran kiri, nasionalis, maupun Islam sejak awal masa pemerintahannya. Selain itu membungkam sumber suara kritis seperti mahasiswa, utamanya sejak peristiwa Malari. Demikian menurut Andar Nurbowo (2011) dalam bukunya Menyuling Demokrasi: Rente Migas dan Rejim Politik di Indonesia. Siasat ini menandai sesuatu yang baru sejak Indonesia dinyatakan sebagai negara berdaulat secara hukum. Langkah ini bukan hanya memperburuk kesehatan finansial negara, namun jauh lebih dalam, dan secara jangka panjang, merusak kemampuan warga untuk berkelompok, bernegara. Di zaman Orde Lama kelompok-kelompok dan organisasi rakyat berkembang pesat di seluruh Indonesia. Lalu semuanya pupus dengan pembantai­ an orang dan pemberangusan pikiran politik yang berseberangan, kooptasi partai politik, organisasi rakyat, dan kelompok intelektual. Sejak itu politik genuin di mana rakyat dapat berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan kebijakan publik menjadi lumpuh. Rakyat tidak boleh lagi berhimpun secara bebas membicarakan urusan bersama, apalagi menyuarakan kepentingan publik mereka ke lembaga-lembaga politik formal. Penjelasan lebih detail dapat dilihat di The Unfinished Nation, Indonesia Before and After Suharto, oleh Max Lane (2008). Salah satu dampaknya yang paling merusak adalah hilangnya kemampuan warga untuk berhimpun, mengorganisir diri, dan berinisatif untuk mengusahakan kepentingan bersama. Hiper-individualisme merebak bersama ekonomi uang. Di desa-

desa, misalnya, petani dipaksa mengalihkan sistem pertanian kolektif menjadi individualis lewat modernisasi pertanian ala Revolusi Hijau. Segala masalah timbul dari sistem baru ini diselesaikan lewat teknologi: lebih banyak pupuk, lebih banyak pestisida, dan seterus­ nya. Hasilnya, yang punya uang bisa bertahan, yang gurem harus jual tanah, karena meroketnya beban ongkos produksi. Hancurnya kemampuan rakyat mengorganisir diri di masa sekarang, seperti akan kita lihat di bawah, menjadi masalah besar ketika partisipasi kolektif rakyat dibutuhkan untuk memperkenalkan beragam jenis pengetahuan dan teknologi. Mari tengok kisah biogas listrik di Dusun Lamporo, Desa Tompo Bulu, Kabupaten Pangkep. Sebuah unit pembangkit listrik tenaga biogas berhasil dibangun dalam jangka tidak kurang dari dua bulan. Metode pembangunannya tergolong tidak biasa karena dikemas dalam bentuk pelatihan. Para tukang adalah peserta belajar. Empat belas rumah tangga tambah satu masjid mendapat suplai listrik dengan daya lumayan. Setiap rumah tangga selain bisa menyalakan beberapa buah lampu juga cukup untuk menyalakan televisi dan kulkas. Berdasarkan kesepakatan bersama, setiap rumah tangga hanya perlu membayar 15 ribu per bulan untuk pemeliharan unit pembangkit berikut instalasinya dan mengandang­kan sapi–bagi yang punya— di tempat yang sudah disediakan untuk suplai bahan bakar, layanan sudah didapat. Sayang, warga tidak lama menikmatinya. Hal paling kelihatan yang menghambat adalah warga tidak konsisten terhadap kesepakatan mengandangkan sapi di tempat yang sudah disediakan. Faktor kebiasaan memelihara sapi dengan melepaskannya secara bebas, sehingga tidak memusingkan pemiliknya untuk menyediakan pakan, masih susah mereka tinggalkan. Karena suplai bahan bakar berkurang


HALAMAN 12

daya pun tidak banyak bisa dibangkitkan. Konsekuensinya jumlah rumah harus dikurangi. Risikonya tentu tidak ringan. Yang paling terasa adalah renggangnya hubungan sosial yang berimbas pada semakin sulitnya membangun budaya kolektif yang justru me­ rupakan salah satu tujuan utama dari pembangunan biogas listrik tersebut. Desain program yang secara penuh melibatkan warga sebagai subjek utama rupanya tidak menjamin tercapainya tujuan. Bisa jadi, meski warga diposisikan sebagai subjek, namun warga sepertinya tidak ‘mengenal’ posisi itu. Pengalaman panjang mereka berurusan dengan program yang melibatkan banyak orang, mengajarkan hal yang berbeda. Warga Lamporo telah lama tidak terbiasa berkumpul membicarakan dan melakukan tindak kolektif untuk kepentingan publik. Mereka hanya terbiasa dikumpulkan kemudian disuruh menjalankan program. Sebagaimana seluruh warga Indonesia, mereka telah melewati represi tiga dasawarsa terhadap kecenderungan warga untuk berhimpun dan membangun institusi yang kokoh. Pun, mereka menyaksikan proyek-proyek pembangunan yang hanya menempatkan warga sebagai ‘penerima manfaat’, yang membawa masuk teknologi dan informasi yang telah mapan, dan bukan dirancang atau setidaknya dimodifikasi di desa—tendensi yang banyak dilanjutkan oleh proyek lembaga donor yang

dijalankan institusi luar seperti Ornop. Semua ini menghasilkan kecenderungan warga yang individualistis, pasif, dan ‘terima jadi’. Bukan karena mereka bebal atau bodoh, tetapi karena bekerja kolektif untuk fasilitas publik di luar yang disponsori pemerintah dengan teknologi pedesaan risikonya terlalu tinggi. Hasilnya adalah ketergantungan dalam banyak hal, terutama soal yang berhubungan dengan urusan publik. Sehingga banyak di antara mereka beranggapan, untuk segala fasilitas publik, biarkan pemerintah yang menentukan, merancang, membangun, merawat, dan seterusnya. Mereka memang masih punya pranata di mana mereka biasanya bekerja secara kolektif, namun itu biasanya terbatas pada upacaraupaca ritual siklus hidup atau pembuatan rumah. Itu pun sudah banyak disusupi ekonomi uang yang merusak asas resiprositas. Sehingga, jika sapi mewakili urusan privat keluarga dan listrik merefleksikan kepentingan publik, maka tidak sulit menebak mana yang lebih mudah untuk diabaikan. Warga memang bisa sepakat untuk urusan publik seperti me­ nerangi jalan kampung, namun mereka belum sanggup untuk mempertahankannya dalam waktu lama, apalagi bila harus menimbulkan konsekuensi kerja tambahan setiap hari. Mereka sudah lama tidak melatih diri untuk itu, surut oleh deraan jangka panjang militerisme dan modernisasi sempit.[]


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.