HALAMAN 1
PAYO-PAYO
kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi I No. 01/September 2011
Tudang Sipulung Petani Tiga Desa, hal. 5
Cara Membuat Biopestisida, hal. 10-11
Arsitek Sandal Jepit, Bangun Dam dengan Tangan Sendiri HASRIADI ARY
ALAM yang kaya tak selalu membawa kesejahteraan bagi rak yat. Desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, contohnya. Desa berke tinggian 700 di atas permukaan air laut terletak di kaki gunung Bulusaraung dan berada di kawasan Taman Nasio nal Bantimurung-Bulusaraung. Dengan letak geografis seperti ini, Tompo Bulu sejati nya dikelilingi hutan yang masih terjaga dan pegunungan karst dengan kandungan air melimpah. Namun dari 200 ha sawah di desa ini yang dimiliki 442 kepala keluarga, sebagian besar hanya ditanami padi sekali setahun, karena kekurangan air. Ada enam sumber mata air yang digunakan untuk pertanian Tompobulu. Selain itu, petani juga memanfaatkan aliran air sungai. Namun karena struktur batuan yang porus, pada titik tertentu air tiba-tiba menghilang masuk ke dalam bumi. Sehingga pada musim kemarau, Juli-November, petani hanya mengandalkan sisa hujan yang datang sesekali. Pada pertengahan 2007, Hairi dan Man syur, dua pemuda Tompobulu, mengikuti prog ram Pelatihan Petani Muda selama 3
bulan di LPTP Solo. Sepulang magang, mereka berusaha menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari, seperti membuat pupuk or ganik. Bahkan mereka mem buat lahan uji coba penanaman bawang dan tomat. Namun selalu saja usaha mereka terhambat masalah klasik, kelangkaan air. Hairi dan Mansyur pun mulai mengajak petani pemi lik sawah di Lompo Lembang & Acce untuk merancang konstruksi dam di Sungai Batummoppo’ (batu mogok/sembunyi). Mereka mengadakan pertemuan dengan 43 petani pemilik lahan di hamparan itu, dengan menyepakati tiga hal: pembangunan irigasi dikerjakan petani dengan dana pinjaman dari SRP Payo-Payo; pinjaman dikembalikan dengan membayar iuran, untuk dikelola jadi modal usaha bersama; dan iuran bisa berupa uang atau hasil panen. ***
SALAH SATU kesepakatan pemilik sawah adalah bergotong-royong setiap hari Kamis membangun dam di Sungai Batummoppo’. Tugas pertama mereka adalah menutup lubang saluran sungai dengan batu agar bisa dialihkan ke bak penampungan. Setelah lubang ditutup, barulah disemen jadi lantai bak. Untuk menutup lubang sedalam enam meter itu, diperlukan batu-batu seukuran kerbau.
HALAMAN 2
Satu per satu batu diungkit dengan dahan pohon dan linggis, lalu didorong menuju lubang saluran air. Tergantung ukuran batu, biasanya ada empat lima orang yang mengungkit, satu orang menjadi penunjuk arah agar meluncurnya pas ke lubang. Terus satu dua orang jadi pemandu sorak. Hutan pun jadi riuh, dengan aba-aba. 1..2..3.. Heaa… 1..2..3.. Heaa.. Demonstrasi semangat dan keceriaan bekerja. Selain pipa dan semen, semua material lain menggunakan bahan lokal. Pasir, misalnya, tinggal didulang dari Sungai Lammusu’. Jarak ke sana hanya sekitar 15 menit jalan kaki. Medannya tak sulit karena penurunan yang tak begitu terjal. Tugas mengangkut pasir dibagi dua kelompok, ada yang membuat membuat penampungan pasir dengan menumpuk batu besar hingga membentuk segi empat. Ada yang bertugas mengangkut. Semua ini berjalan lagi-lagi tanpa komando. Bukan cuma bahan bangunan, lauk makan siang pun mereka ambil dari alam. Mereka menikmati sajian kepiting sungai, rebung bambu, lodung (sayur paku), pongko tenro (pangkal daun semacam pandan), laccing (sejenis sayur paku), daun ariang dan masula (sejenis pandan). Bahan sayuran yang melimpah ruah itu dipetik sambil bolak-balik angkut pasir. Selain itu mereka juga membawa bekal nasi dan lauk dari rumah. Semua ditaruh di tengah; siapa pun boleh ambil sesuai selera. Sehabis makan siang, sebagian sudah siap pamit, karena banyak pekerjaan menunggu di sawah sendiri. Sisanya lanjut bekerja, mungkin karena berniat tak ikut kerja ming gu depan. Jadi hitung-hitung bayar jatah
kerja yang bakal dilewatkan. Saat berbenah pulang, mereka yang masih tersisa berdiskusi target kerja minggu depan. Ada yang usul agar bak penampung an air diusahakan rampung, lalu memasang pipa. Ini mengingat galian saluran untuk pipa air minum dari proyek Care juga sudah hampir rampung. Penduduk pun sudah sepakat menggunakan galian yang sama demi hemat energi. Sayangnya proyek Care belum akan pasang pipa dalam waktu dekat, jadi pipa tidak bisa dipasang sekaligus. Terpaksa pipa irigasi akan dipasang duluan. Konon mereka harus menunggu
“insinyur pipa” dari kantor Care di Makassar untuk merancang model instalasi pipa “yang baik dan benar”. Waktu saya tanya kenapa orang Tompobulu tak desain sendiri, toh mampu merancang instalasi irigasi yang tak kalah rumitnya. Seorang penduduk menjawab guyon, “Mereka kan banyak punggawanya. Jadi tidak bebas rancang sendiri. Beda dengan kita yang punggawa semua.” Konstruksi irigasi mereka mungkin tak “secantik” bikinan kontraktor. Temboknya terlihat kasar dengan susunan batu gunung dan sungai yang tak rapi. Tapi bagi mereka, asas manfaat dan fungsi di atas segalanya. Ya, keberhasilan para arsitek sendal jepit ini membangun dengan tangan sendiri memperkuat tekad mengembalikan kedaulatan dan kesejahteraan kampung mereka![]
BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo bekerjasama dengan SRP Tompobulu, SRP Soga, dan SRP Bonne-Bonne. Buletin PAYO-PAYO terbit setiap tiga bulan atas dukungan dari HYY Helsinki, LPTP Solo, dan Insist Yogyakarta. PEMIMPIN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Rahadi (Susdec LPTP Solo), Ishak Salim, Karno B Batiran, Hasnulir Nur, Mariati Atkah, Akhmad Umrawal (Desa Soga), Najamuddin (Desa Tompobulu), Suriani (Desa BonneBonne), dan Jumadil M Amin. ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung, Dusun SegeSegeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Telepon: 04113881144; email: srppayopayo@yahoo.com
HALAMAN 3
Pengantar Redaksi
Membongkar Propaganda Tiga Alasan Mengapa Desa Perlu Dokumentasi NURHADY SIRIMOROK
MUNGKIN tak berlebihan bila swasembada beras di tahun 1984 dapat kita kenang sebagai puncak propaganda penjajahan petani Indonesia. Saat itu orang mabuk merayakan panen yang melimpah dan melupakan kenyataan bahwa untuk menuai panen sebanyak itu petani, terutama petani kecil, harus menanggung seluruh beban. Sejak itu, para pengusungnya semakin punya alasan dan legitimasi kuat untuk terus menekan petani dan desa tempat tinggal mereka. Manusia dan alam desa secara paksa disuntikkan ramuan beracun dan membuat ketagihan, yaitu input kimia, mekanisasi, dan komersialisasi. Dengan kata lain, candu modernisasi pertanian telah disusupkan ke tubuh desa dalam dosis berlebih di luar kehendak pemiliknya. Bayangkanlah bila itu terjadi selama kurang lebih empat dekade pada tubuh manusia, apa yang terjadi? Bagi desa-desa di Indonesia, inilah yang terjadi. TANAH-tanah mereka dimasuki benih-benih rekayasa yang hanya bisa bertahan dan bekerja lebih produktif bila mendapat bantuan ‘doping’ beragam jenis pupuk dan pestisida kimiawi. Untuk memudahkan perluasan lahan dan pengolahannya, tanah-tanah mereka dilindasi traktor yang menggantikan tenaga manusia dan hewan. Bila kekurangan modal untuk membeli dan menyewa benda-benda asing ini, paket kredit sudah disiapkan. Utang siap menjerat leher. Awalnya memang enak memanfaatkan seluruh kemudahan teknologi, tetapi malapetaka sedang mengintai. Petani-petani berlahan kecil segera harus melego tanah untuk membayar utang, karena hasil panen gagal menutupi seluruh biaya awal. Tanah-tanah kelelahan setelah disuntikkan doping kimiawi sekian tahun tanpa jeda, hingga tak sanggup lagi bekerja keras membuahkan panen dalam jumlah besar. Pranata-pranata lokal yang mengandalkan pertukaran tenaga sukarela rontok satu per satu, sebab sekarang semua dikerjakan dengan bayaran uang. Pengetahuanpengetahuan lokal tentang pemuliaan benih
(dan benihnya sendiri), pembacaan alam untuk mengatur jadwal bertani, perawatan tanaman dari benih lokal, semua nyaris punah. Kebiasaan mengonsumsi pangan pokok selain beras juga susut oleh kampanye besar-besaran yang merendahkan mereka, dan menjadikan warga negeri ini bergantung hanya pada beras. Kini sebagian besar dari mereka hanya bisa bertani dengan input produk industri pangan raksasa, kerap hingga berutang kepada bank komersil, panen untuk dijual ke pasar yang dikuasai pengusaha kakap, demi mendapatkan uang yang makin tidak sanggup membeli barang produk industri besar. Mereka diseret ma suk ke gelanggang di mana mereka tak lagi punya kendalikan.
“Pengetahuan-pengetahuan lokal tentang pemuliaan benih (dan benihnya sendiri), pembacaan alam untuk mengatur jadwal bertani, perawatan tanaman dari benih lokal, semua nyaris punah.” Banyak dari mereka sudah harus bekerja sebagai buruh tani dengan upah ‘pas-pasan’ bahkan untuk sekadar membeli makan. Sebagian terpaksa menjadi petani yang harus membeli pangan pabrikan. Bahkan yang lebih ironis, membeli beras sebagai komoditi, dari benih hingga nasi. Itulah hasil propaganda swasembada beras yang mendapat medali dari lembaga pangan PBB, FAO. DAFTAR di atas masih bisa kita perpanjang, namun nasib petani bukan hanya untuk disayangkan apalagi ditangisi. Mereka memang masih banyak yang miskin dan terus tertekan. Tetapi mereka tidak punah. Dalam kesempitan sebagian memang harus meninggalkan kampung halaman untuk mencari hidup di rantau, luar dan dalam negeri. Tetapi keluarga yang mereka
HALAMAN 4
tinggalkan masih terus bertani. Kebijakan kacamata kuda yang hanya menginginkan produktivitas tinggi untuk dijual, dan mengabaikan semua kesulitan mewujudkannya, memang masih terus mengalir ke desa-desa. Tetapi kekeliruan ini tidak melenggang semaunya. Kritik terus bergulir dan masih akan terus bergulir. Upaya mengembalikan kedautalan di tingkat petani, di desa, yang tak kalah rumitnya namun kian ditinggalkan, juga masih terus berlangsung. Rincian, kelanjutan dan telaah mengenai kisah di atas mutlak membutuhkan dokumentasi, setidaknya untuk tiga alasan penting.
han energi yang kian membangkak hingga pemba ngunan irigasi secara mandiri untuk mengatasi soal kekurangan air yang makin terasa mengganggu. Kita juga akan membaca catatan pengalaman para fasilitator menyaksikan dan terlibat dalam proses yang cukup berat: pengorganisasian petani. Tulisan-tulisan ini juga merekam upaya dan usulan untuk membangun pranata-pranata sosial yang mengharuskan warga desa bekerja sama. Tantangan untuk melakukan kerja yang satu ini cukup berat, demikian terbaca dalam edisi ini. Proyek-proyek dari luar desa kebanyakan memperlakukan warga hanya sebagai pelaksana dan pe nerima dan bukan sebagai perencana dan perancang. SEBAGAI bahan pembelajaran, dokumen Tabiat ini, salah satunya, membuat warga lambatsemacam ini mesti mencatat kesuksesan atau laun kehilangan selera untuk berinisiatif dan berkegagalan. Sehingga dapat dipelajari secara partisipasi secara jenuin. seksama untuk tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu, mencari solusi-solusi baru, TEKANAN pemerintahan Orde Baru terhadap hingga menemukan kembali pengetahuan segala bentuk hak untuk berhimpun turut mematau elemen alam yang dibutuhkan namun bentuk keengganan warga berinisiatif untuk ber telah hilang atau tersembunyi. Inilah alasan kumpul membicarakan dan mengerjakan urusan pertama kehadiran buletin. bersama. Karena dilarang sejak zaman Soeharto, Tetapi buletin ini juga hadir untuk kerja sudah lama mereka terpaksa tak melakukannya. lain. Perjalanan panjang dan sulit warga Perlakukan serupa juga berlaku pada pengetahuan desa mengembalikan kedaulatan dalam ber- pertanian dan usaha pedesaaan yang sesuai dengan tani dan mengusahakan penghidupan perlu kebutuhan manusia dan alam desa. Karena ditekan mendapat perhatian lebih luas. Kisah mere- begundal Soeharto, mereka sudah lama terpaksa ka harus dikampanyekan. Semakin banyak meninggalkannya. orang harus tahu kondisi warga desa, baik (Dan, jangan lupa, propaganda ala Orde Baru nasib buruk yang menimpa mereka dan ala- masih berlangsung dan menguasai kepala banyak sannya, maupun usaha mereka untuk meng- orang Indonesia.) hadapinya. Orang banyak, terutama orang Salah satu dampaknya, perlahan timbul keperkota, harus lebih tahu, lewat kondisi dan me- cayaan bahwa berkelompok atau berpikir secara kanisme semacam apa makanan bisa tersaji mandiri, informal, tanpa harus dihimbau pemerdi rumah, restoran, atau hotel-hotel mereka. intah, adalah pekerjaan orang-orang ‘gila’. Padahal Inilah alasan kedua. kerja serupa banyak dilakukan, bukan oleh orang Sebagaimana edisi buletin kali ini telah yang tidak waras, dan terbukti bermanfaat bagi merekam bagaimana warga desa mempela- warga desa. Cuma tak banyak yang saling mengetajari beragam pengetahuan baru dari tempat hui. lain. Baik untuk mengganti yang sudah hi- Inilah alasan ketiga kehadiran buletin. Dolang maupun demi menghadapi tantangan kumentasi ini akan melengkapi upaya serupa di baru. Kita berjumpa dengan catatan tentang banyak tempat. Agar warga desa dan semua yang bagaimana petani dari bebeberapa desa saling membantu mereka, tidak terperosok mengangberbagi pengetahuan dan pengalaman, mu- gap diri memang ‘gila’, hanya karena merasa lai dari membuat pupuk dan mengerjakan tidak ada orang lain melakukan apa yang mereka teknik menanam padi organik. Mulai dari lakukan. pembuatan instalasi biogas untuk kebutu- Agar mereka bisa berseru, “kita ada di mana-mana!”[]
HALAMAN 5
Laporan Kegiatan Desa Tompobulu
‘TUDANG SIPULUNG’ PETANI TIGA DESA LAPORAN: ISHAK SALIM
SELEPAS SORE, sebuah bis tua ‘Sumber Tani’ dari Wonomulyo perlahan memasuki Desa Soga, Soppeng. Penumpangnya terdiri dari 15 petani dari Desa Bonne-Bonne, Polewali Mandar. Tepat di depan rumah kades Soga, Budirman Azis, bis berhenti. Terlihat kelelahan, satu per satu mereka turun. Tak lama kemudian, sebuah mobil Kijang tua biru juga berhenti, tepat di belakang bis tua itu. Mereka adalah 11 petani dari desa Tompobulu, Pangkep, Sulawesi Selatan. Para petani ini, esoknya (11 Juni 2011) akan berbagi pengetahuan dalam Tudang Sipulung Petani. Kedes Soga menyambut ramah kedua kelompok petani ini. Beberapa sudah saling kenal. Kelompok Petani Bonne-Bonne sebulan sebelumnya menyambangi Tompobulu untuk me lihat se kelompok petani menanam padi SRI atau tanam benih satu-satu dengan perlakuan organik. Mereka juga mempraktikkan pembuat an lactobacillus dan membuat biogas plastik untuk rumah tangga. Karakteristik tiga desa ini berbeda. Di Bonne-Bonne, petani menghadapi masalah gagal panen sejak 4 musim terakhir. Penyebabnya, tungro dan kepik hitam serta tikus. Di Desa Soga, petani terus merugi akibat pohon kakao tak produktif karena usia dan hama/penyakit. Bahkan teknik stek samping yang kini diterapkan lewat GERNAS belum bisa mengusir gelisah petani. Sementara itu, di Tompobulu, para petani berusaha keluar dari masalah ketergantungan input kimiawi menghadapi cemooh dari warga di sana. Banyak petani, bahkan pemerintah desa sendiri, meragukan percobaan mereka akan teknik tanam padi SRI. Saat berbagi pengalaman, juru bicara setiap desa tampil. Mahmuddin (Bonne-Bonne), Saharuddin (Soga), dan Supri (Tompobulu) menyampaikan pengalaman dan pengetahuan mereka. Saat itu, selain para petani, hadir
juga penyuluh senior dari berbagai daerah yang sedang kuliah di Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Gowa. Mereka adalah Agus Suwarsono ( Jogjakarta), Valentinus Asa (NTT), dan Edison Aya Keding (Papua). Tampak petani SRP Tompobulu menjadi pusat perhatian. Pengalaman melewati masa cemoohan
dengan terus bersatu melanjutkan percobaan tanam padi SRI patut dicontoh. Setiap minggu mereka berkumpul di balai tani SRP Tompobulu mendiskusikan per kembangan tanam an mereka hingga akhirnya saat panen perbedaan sudah jelas terlihat. Jumlah padi yang dihasilkan jauh lebih banyak ketimbang tanam dengan cara biasa. “Varietas padi Barito dari sebutirnya yang kami tanam memberikan hasil hing ga 2.900 butir,” terang Supri. Sejak itu, mereka tak lagi dipandang sebelah mata oleh petani dan kepala desa di sana. Bahkan, karena rutin bertemu dan berbagi, pengetahuan teknis mereka bertambah. Sebagai contoh Suleha, perempuan tani yang menekuni ilmu hama dan penyakit serta kesuburan tanah kini jadi tempat bertanya bagi banyak petani disana. Pun pada Tudang Sipulung ini, ia menjadi tempat bertanya. Ia menjelaskan teknik pembuatan lactobacillus, pestisida organik, dan cara mengembalikan kesuburan tanah. Penyuluh STPP Gowa memberi beberapa masukan, seperti bagaimana mengembangkan dan me nangani tanaman pekarangan serta melakukan tek nik sambung samping pohon kakao yang benar.[]
HALAMAN 6
Laporan Kegiatan Desa Bonne-Bonne
Kunjungan Belajar Petani Bonne-Bonne ke Desa Tompobulu LAPORAN: MARIATI ATKAH (fasilitator lapangan SRP Payo-Payo di Bonne-Bonne)
Pada 16 April 2011, beberapa petani BonneBonne, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), sibuk sejak pagi. Mereka bersiap menu ju desa Tompobulu, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Tepat pukul 9 pagi, dengan menyewa sebuah mobil rental, Suryani, Mahmudin, Salim, Rosliati, Irma, Yunus, Herdi, dan Junaid serta Mariati Atkah (fasilitator SRP Payo-payo) melaju ke arah Selatan. Sekira pukul 2 siang mereka tiba di Tompobulu (di kaki Gunung Bulu-Saraung). Cuaca dingin di ketinggian sekira 800 meter di atas permukaan laut sudah terasa. Malam, setelah istirahat dan berbincang lepas dengan warga Tompobulu, rangkaian kegiatan kunjungan belajar dimulai. Supri (anggota SRP Tompobulu) menyam paikan rasa syukurnya karena mendapat kunjungan belajar petani dari desa lain. Sebelumnya, petani dari Desa Labuaja, Kabupaten Maros, juga pernah berkunjung. Sebaliknya petani-petani SRP Tompobulu pernah berkunjung ke desa Tassoso, Kabupaten Sinjai, untuk belajar mengelola tanaman sayursayuran kepada seorang petani di sana. Poin pertemuan yang disepakati dalam agenda belajar antara lain jenis materi kelas dan praktek lapangan tentang SRI (System of Rice Intensification), teori dan praktek pembuatan pupuk kompos, usaha desa, manajemen kelompok SRP Tompobulu, pengelolaan pusat belajar, dan pendalaman mengenai instalasi biogas plastik. Najamuddin, atau yang disapa Papa Tande, sebagai ‘kepala sekolah’ SRP Tompobulu menceritakan bahwa pembinaan kelompok mereka dimulai pada akhir 2008, yaitu saat mengerjakan pembangunan irigasi Batumoppo. Pada 2009 mereka membuat Sekolah Lapang Kacang Tanah (SLKT) yang hasilnya bagus dalam menguatkan hubungan antar
anggota dalam kelompok. Sukses dengan SLKT kemudian berlanjut ke Sekolah Lapang SRI (SLSRI). Pesertanya sekira sepuluh petani yang mempraktikkan penanaman dan pengamatan, hingga diskusi hasil pengamatan bersama.
Sukses dengan SLSRI, mereka melakukan lagi di tahun berikutnya. Skala praktiknya lebih luas (bukan lagi demplot), melainkan pada sawah terluas milik Papa Tande sekira 1 ha. Pengaruhnya pun jadi lebih luas dengan tantangan yang jauh lebih berat. Bukan saja tantangan teknis, namun cemoohan juga mereka terima. Namun karena kebersamaan, segala cemoohan itu dijadikan bahan candaan. Kini, banyak petani terperangah dengan hasil panenan mereka yang berlimpah. Sementara itu, Misbah, anggota kelompok SRP Tompobulu, memperlakukan tanaman padinya dengan nol input kimiawi alias 100% organik. Sebagai pengganti pupuk kimia, ia memakai ampas bio gas. Pengalaman ini membuat anggota SRP Tompobulu yakin bisa memutus ketergantungan pada input kimia di lahan pertanian mereka. Suryani, dengan keyakinan serupa, menyatakan bahwa ia pernah mencoba menanam kacang di lahan pekarangannya di Bonne-Bonne. Segenggam bibit untuk percobaan di lahan seluas 3 m2. Ia tidak memupuknya dengan urea. Ia hanya mencampur tanahnya yang berpasir dan berbatu itu dengan
HALAMAN 7
serbuk gergajian yang mudah diperoleh di Bonne-Bonne. Saat panen, hasilnya baik. Namun sayang, dalam percobaannya itu, ia luput mencatat pengalaman dan pengamatannya. Diperkirakan ada sekitar tiga puluhan butir kacang perbatang dengan ukuran besar. Totalnya, Suryani mendapatkan satu setengah ember hasil panen kacang, lebih baik dari hasil biasanya. Hari berikutnya, mereka membuat pupuk kompos (padat) berbahan kotoran sapi, dedak, dan daun gamal. Untuk proses ini, petani asal Tompo Bulu seperti Samsu, Misbah, Bakri, dan Suleha aktif mempersiapkan bahan belajarnya. Dalam proses itu, tampak petani Bonne-Bonne sibuk bertanya tentang apa saja yang mereka anggap perlu diketahui. Mereka pun terlibat langsung membuat pupuk kompos ini setelah menerima sejumlah petunjuk. Setelah pupuk jadi mereka rehat. Supri dan Suleha sudah menunggu sesi berikutnya: menjelaskan komposisi bahan dan kegunaan setiap bahan dalam pupuk kompos tadi. Ibu Suleha menjelaskan bahwa fungsi utama pupuk kompos adalah mengembalikan tanah ke kondisi awal sebelum diberi asupan bahan kimia. Dengan mengutip sebuah buku pertanian, Suleha menuturkan bahwa “untuk pemulihan tanah secepatnya, pemakaian kompos setidaknya membutuhkan 10 ton perhektar lahan.” Namun, mengingat kondisi di desa BonneBonne yang konsentrasi pemeliharaan ternaknya hanya di satu dusun, ditambah kesibukan petani, sepertinya membuat kompos agak berat. Supri pun menyarankan membuat pupuk cair. Di Bonne-Bonne sudah diperkenalkan induk bakteri lactobacillus sebagai pupuk cair perangsang buah. Di Tompobulu mereka mengoptimalkan pemanfaatan lactobacillus. Induk bakteri ini dikembangkan dengan cara yang lebih sederhana dan biaya lebih murah dengan fungsi yang kurang lebih sama. Mereka memanfaatkan buah-buahan masak yang tersedia di desa mereka. Mereka menyebutnya ‘Pupuk Berimbang’. Supri mengatakan bahwa di Bonne-Bonne sebenarnya bahan lebih melimpah, hanya saja belum disadari manfaatnya. Misalnya, bonggol pisang, daun gamal, daun kacangkacangan, rebung bambu, sabut kelapa, buah-
buahan yang sudah masak betul seperti pisang, nenas, dan pepaya. Bisa ditambah dengan daun sirsak atau daun sirih untuk menghalau hama. Ada kejadian yang mengejutkan usai sesi diskusi ini. Saat peserta berkumpul di halaman belakang basecamp SRP Tompobulu melihat-lihat pupuk cair dan biopestisida yang berhasil diramu para anggotanya, Pak Herdi dan Ibu Suryani nyaris keracunan. Tanpa sengaja mereka menghirup aroma biopestisida yang tajam dan membuat mereka pusing dan muntah. Sehabis makan siang, mereka menuju ke lokasi praktek SRI (System of Rice Intensification) atau sistem tanam padi sebatang di dua sawah yang berbeda. Peserta tidak berlama-lama di lokasi karena hujan deras. Dengan tergesa mereka ke rumah Pak Samsu untuk berteduh. Akhirnya, pada malam hari, berbagi pengalaman tentang SRI dilanjutkan dengan penjelasan detail proses pembenihan, penanaman dan perawatan, berikut diskusi tentang manajemen organisasi SRP Tompobulu. Keesokan harinya, peserta mengikuti sesi pendalaman mengenai instalasi biogas plastik. Peserta dari Bonne-Bonne menginginkan agar cara pembuatannya dipraktikkan, bukan sekadar dijelaskan. Beberapa waktu lalu, Ridwan Alwi dan Pak Mahmudin membuat biogas plastik di kelurahan Mapilli, namun belum berfungsi hingga kunjungan belajar ini dilakukan. Masalah pertama terjadi karena lapisan plastik terdalam dari penampungan kotoran lepas dari ikatannya dan tergulung, se hingga kotoran sapi yang telah dimasukkan tidak bisa keluar. Setelah masalah itu dibereskan, nyala kompor tidak stabil, apinya terus mengecil padahal plastik penampungan gas sudah terisi penuh. Biogas kurang optimal sedangkan Ridwan sebagai teknisinya tidak lagi berada di desa Bonne-Bonne. Akhirnya Pak Mahmudin bersikeras untuk mempelajari biogas ini. Ketua SRP Tompobulu, Pak Najamuddin, menjelaskan cara untuk menstabilkan nyala kompor. Kemungkinan plastik penampungan gas terlalu panjang sehingga aliran gas tidak terlalu kuat. Jadi solusinya adalah plastik tersebut harus dipotong. Kelak ketika Pak Mahmudin pulang, saran Pak Najamuddin langsung ia terapkan dan masalah pun selesai. Hingga saat ini, biogas tersebut dapat berfungsi dengan baik. Kunjungan belajar ini tidak sia-sia.[]
HALAMAN 8
Melongok Kegiatan Petani Muda Desa Tompobulu ISHAK SALIM (Program Manager ‘Sustainable Rural Livelihood’)
Adzan Isya baru selesai berkumandang dari Masjid Raya Tompobulu. Dari ruang tamunya, sambil menunggu waktu pertemuan petani di pusat belajar Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompobulu tiba. Saya dan Papa Tande berbincang lepas. Kini, ia bersama sembilan petani lain sedang menerapkan pola tanam SRI (System of Rice Intensification) atau yang lazim disebut oleh petani Tompobulu sebagai a’lamung tasse’rese’re (tanam satu-satu). Mereka juga membuat sendiri pupuk organik, padat maupun cair, dengan menggunakan pengurai cepat yang juga mereka buat sendiri, lactobacillus. Untuk pupuk kandang, petani SRP Tompobulu mengolahnya dalam skema biogas, baik yang terbuat dari tabung beberapa lapis plastik (ukuran 0.10 mm) maupun biogas permanen. Keduanya bisa menjadi pengganti bahan bakar kayu atau minyak dan penyuplai energi listrik, seperti yang sudah dibangun di kampung Lamporo, salah satu kampung di Tompobulu. Melalui pengolahan biogas, kotoran sapi akan kehilangan unsur gasnya yang panas dan menjadi pupuk yang sangat bermanfaat bagi tanaman. Papa Tande adalah penyemangat bagi tim SRP Tompobulu. Namun, Ia sendiri selalu menyebut bahwa pencapaian mereka adalah hasil kerja bersama selama empat tahun terakhir. Dalam mengambil keputusan juga ia selalu bilang, “Saya tergantung sama temanteman!” Petani SRP Tompobulu memang sedang melakukan pekerjaan besar. Mereka hendak mengubah cara berpikir dan bertindak petani, demikian Supri suatu hari pernah menyebutnya. Selama ini petani Tompobulu bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pokok namun amat tergantung pada kekuatan dari luar desa, seperti industri pupuk dan pestisida kimiawi. Kini mereka mulai bertani dengan lain cara. Papa Tande punya cara sendiri untuk menjelaskan kepada saya yang awam soal berco-
cok tanam, seperti ketika menjelaskan pola tanam padi SRI. Baginya, kebiasaan petani menanam bibit sekian banyak per lubang hanya akan membuat tanaman saling berebut makanan dalam tanah. Akibatnya jumlah anakan yang dihasilan saat panen menjadi sedikit. Sebaliknya, dengan cara ‘tanam satu satu’, hanya satu akar (induk) yang mencari makan di dalam tanah, sehingga akan melahirkan jauh lebih banyak anakan. “Tapi, kesibukan untuk padi SRI bukan cuma saat pembibitan dan penanamannya, tapi justru yang terpenting adalah perawatannya,” tandasnya. Papa Tande dan kawan-kawan menolak menggunakan pupuk kimia, meski mereka belum sepenuhnya terlepas dari ketergantungan kimiawi. Salah satu yang masih tersisa adalah pemberantasan gulma di sela tanaman padi. Dalam porsi yang sangat kecil, saat mereka sedemikian sibuknya, mereka menggunakan racun rumput. Selebihnya, perawatan tanaman bergantung pada pupuk kandang yang mereka buat sendiri dengan tambahan lactobacillus. Pupuk ini merangsang pertumbuhan tanaman padi. Itulah mengapa ia bisa sangat berhemat dalam hal asupan luar, beda dengan petani lain yang terpaksa memboros karena menggunakan pupuk urea dan pestisida kimia. Ketika mulai menggunakan cara ‘tanam satusatu’, tidak satu dua orang mencibirnya. Bahkan, hampir seluruh petani yang memperhatikan cara nya menanam menyebutnya sinting. “Bagaimana mungkin satu benih bisa berkembang menjadi ba nyak anakan?” Demikian salah satu ejekan yang ia terima. *** MALAM itu, di pusat kegiatan SRP Tompobulu, hadir kesepuluh anggota SRP Tompobulu. Supri, ketua kelas studi lapang ini juga mengundang empat pelajar SMP Tompobulu. Mereka adalah generasi penerus petani Tompobulu yang kerap mengikuti kegiatan bertani bersama kelompok ini. Pertemuan malam ini adalah kali keempat dari pertemuan mingguan mereka. Supri sudah menyiapkan kopi panas, pisang goreng, dan daftar hadir. Semua sudah terhidang di meja lesehan panjang sebelum ia membuka pertemuan dengan salam. Sesi evaluasi aktivitas
HALAMAN 9
petani pun dimulai. Samsu menawarkan agar pertemuan dimulai dengan memaparkan perkembangan tanaman padi SRI mereka, dan Papa Tande telah siap menuliskannya di whiteboard. Ada enam lokasi tanam dengan benih yang berbeda yang dibicarakan malam itu. Benih nya adalah Ciherang, Pandan Wangi, Cigeulis, Barito, dan ketan hitam. Ketika mereka menanam di lahannya, usia benih ini berkisar 15 – 20 hari. Adapun poin-poin diskusinya adalah perkembangan tinggi batang, jumlah anakan, jumlah daun, kondisi air, jenis serangga dan hama, serta cuaca saat penilaian berlangsung. Demikian seterusnya, setiap petani menyam paikan perkembangan tanaman masing-ma sing, lalu mereka membahasnya, kemudian memberi rekomendasi penanganan. Mereka belajar dari pengalaman, tanpa penyuluh pertanian. Mereka mencoba, memantau setiap tahap dan mendiskusikannya. *** USAI kelas Sekolah Lapang SRI malam itu, sisa malam masih setengahnya. Papa Tande pun masih mengajak saya berbincang. Beberapa petani seperti Misbah, Tamrin, dan Supri juga masih tinggal. Ia bercerita soal instalasi biogas plastik yang tak lagi berfungsi karena soal teknis. Di desa ini, telah dibangun tiga instalasi biogas plastik untuk memasak yang dipakai oleh tiga keluarga, sebuah instalasi biogas permanen juga untuk memasak bagi tiga rumah, serta sebuah instalasi biogas permanen yang memasok listrik ke 14 rumah di Lamporo. Seluruhnya dibangun dalam rangka program ‘Rural and Sustainable Livelihood’ yang dijalankan SRP Payo-payo, dengan dana dari Pemerintah Finlandia melalui Senat Mahasiswa Universitas Helsinki. Ketiga instalasi biogas plastik tersebut sayangnya tidak lagi berfungsi. Dua di antara instalasi biogas ini macet karena sapi yang sedianya digunakan untuk mensuplai limbah bahan baku biogas tidak ada lagi. Satu terjual dan satunya lagi mati karena keracunan. Satu instalasi tersisa, yang digunakan keluarga Papa Tande, rusak untuk kedua kalinya. Kerusakan pertana karena serangan kutu tanah dan yang kedua karena kucing melompat dan mencakar
tabung plastik yang merupakan penampung gas dari kotoran sapi. Untungnya instalasi biogas permanen untuk memasak hingga sekarang tetap dalam kondisi baik dan dimanfaatkan. Sehingga pasokan pupuk kandang bebas-gas bagi banyak petani tersedia setiap waktu. Sementara itu, berbeda dengan biogas plastik yang sekedar berurusan dengan satu keluarga de ngan satu atau dua ekor sapi, kemacetan operasional biogas listrik lebih rumit dan berbiaya tinggi. Demikianlah yang dihadapi Mannang, petani dari kampung Lamporo yang dipercaya mengelola instalasi biogas listrik tersebut. Ia tak bisa menjalankan mesin secara maksimal karena asupan tahi sapi menjadi jauh berkurang, dari 10 – 15 ekor yang dibutuhkan menjadi hanya 4 ekor. Pasalnya, para pengguna tidak melanjutkan kesepakatan yang sudah ditetapkan dimana setiap keluarga mengandangkan satu ekor sapi di kandang yang sudah disediakan khusus untuk instalasi biogas. Walau mereka menawarkan solusi membawakan seember tahi sapi setiap hari ke area biogas listrik ini, namun rupanya ide ini hanya ada di kepala dan begitu sulit mereka penuhi. Akibatnya, listrik yang tersedia hanya sekira 1 – 2 jam, dari enam jam yang ditargetkan dalam semalam, dan tidak seluruh rumah bisa teraliri. Tersendatnya pemanfaatan instalasi biogas untuk tenaga listrik bukanlah soal teknis belaka, tapi menyentuh isu pengoganisasian warga. Mereka tampaknya masih sulit menjalankan kesepakatan dan duduk bersama membicarakan persoalan tersebut. Papa Tande dan kawan-kawannya yang aktif di SRP Tompobulu ingin menawarkan bantuan kepada Mannang sebagai pengorganisir instalasi biogas listrik di Lamporo. Tapi ia masih menunggu waktu yang tepat. Ia masih amat berharap agar Mannang bisa memulai lagi pertemuan sesama warga Lamporo. Melakukan evaluasi atas kesepakatan yang telah disetujui, dan bila perlu membuat kesepakatan baru berdasarkan perkembangan terak hir. Bantuannya sederhana saja, menemani Mannang berpikir dan berdiskusi. Malam sudah semakin larut, dan kami mesti beristirahat. Terbersit rasa bangga pada mereka, para petani ini. Mereka berbagi pengalaman dan pengetahuan. Seperti padi, saling mengisi, dan setelah berisi lalu saling merunduk.[]
HALAMAN 10
LACTO BACILLUS Bakteri pengompos sebagai Pemicu Penghancur Limbah Ternak Bahan: Air bersih : 10 liter Induk bakteri : 1 liter Bekatul (dedak/awang halus) : 2 kg Gula pasir : 1 kg Terasi : 2 ons Garam Dapur : 1 genggam Catatan: Gula pasir dapat diganti dengan tetes tebu Cara Membuat: 1. Siapkan semua alat dan bahan tersebut di atas 2. Rebus air sampai mendidih 3. Ambil air mendidih secukupnya untuk mencairkan gula pasir, garam, dan terasi. 4. Pindahkan air mendidih ke dalam ember dan masukkan dedak ke dalam ember tersebut lalu aduk sampai larut. 5. Tunggu masing-masing adonan/larutan tersebut sampai benar-benar dingin. 6. Setelah dingin masukkan larutan gula, garam,dan terasi ke dalam ember berisi larutan dedak.
Alat: 1. Kompor dan minyak/tungku 2. Panci 3. Kayu pengaduk 4. Saringan 5. Plastik lembaran 6. Ember 7. Tali karet 8. Jerigen/botol plastik 9. Gayung 10. Corong
7. Masukkan induk bakteri “Lakto Bacillus” kedalam adonan tersebut dan tutup dengan plastik serta ikat sampai rapat. 8. Simpan di tempat yang bersih dan aman. 9. Aduk dengan kayu pengaduk yang bersih setiap hari. 10. Untuk penyimpanan, saringlah bakteri kedalam jerigen/botol plastik Cara Menggunakan: 1. Untuk tanaman sayur yang dipetik daunnya: 30 – 60 cc bakteri dilarutkan dalam 10 liter air untuk lahan seluas 50 m2, disemprotkan pada tanaman, diulang setiap satu minggu sekali. 2. Untuk tomat, cabai, jagung, tembaau, melon, semangka, padi dan sejenisnya: 40 – 100 cc bakteri dilarutkan dalam 10 liter air, disemprotkan pada tanaman, diulang setiap 7-15 hari sekali. 3. Untuk buah-buahan dan tanaman perkebunan: 80 – 120 cc bakteri dilarutkan dalam 10 liter air, disemprotkan pada tanaman, diulang setiap 1-2 bulan sekali
4. Untuk campuran pakan sapi: campurkan 2 – 4 sendok makan pada komboran pakan ternak , dilakukan setiap kali pembuatan pakan. 5. Untuk pembuatan pupuk bokasi: campurkan 1 liter bakteri ke dalam 10 liter air dan siramkan secara merata pada limbah ternak dan diaduk setiap 3-4 hari sekali. Selain digunakan untuk menghancurkan sampah organik, induk bakteri ini dapat digunakan untuk pupuk daun-daunan. 10 liter dua gelas aqua (untuk padi), kalau untuk sayur-sayuran takarannya 10 liter air berbanding satu gelas induk bakteri.
HALAMAN 11
Biopestisida dari Tembakau PESTISIDA kimia adalah racun sintetis yang digunakan untuk membunuh hama maupun penyakit yang menyerang tanaman lahan pertanian. Penggunaan pestisida kimia secara terus-menerus dan berlebihan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Sebagai alternatif, dari pestisida kimia yang harganya lebih mahal, petani dapat membuat sendiri racun untuk mengatasi hama di lahannya. Karena bahannya tersedia di alam, racun ini diseÂbut sebagai biopestisida. Cara pembuatannya sederhana dan murah. Salah satu tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pestisida adalah tembakau. Berikut beberapa resep biopestida berbahan tembakau. Mengendalikan ulat grayak Bahan: 5 genggam pucuk daun gamal, 5 liter air, dan 250 gram daun tembakau (bisa menggunakan rokok kretek yang sudah diisap) Cara membuat: Pucuk daun gamal ditumbuk halus. Campur dengan air kemudian rebuslah. Dinginkan, kemudian tambahkan tembakau dan aduk hingga air berubah menjadi agak kehitaman/ kemerahan. Diamkan selama 3 hari kemudian saring. Cara penggunaan: Setiap 250 cc air larutan dicampur dengan air 10 liter. Penyemprotan dilakukan 2 kali seminggu pada pagi atau sore hari. Mengobati penyakit keriting pada cabai Bahan: 2 kg abu dapur, Âź kg tembakau, dan 3 ons belerang Cara membuat: Ketiga bahan direndam dalam air selama 3–5 hari. Saring air rendaman tersebut dan semprotkan pada tanaman yang terkena penyakit keriting. Dosis: setiap 250 cc air larutan dicampur dengan air 10 liter. Membuat Fungisida dan Pembasmi Ulat Bahan: 1 kg tembakau, 4 liter air, dan 7 butir kapur barus dihaluskan Cara membuat: Tembakau direndam dalam air selama 2 hari. Campurkan kapur barus yang telah dihaluskan. Cara penggunaan: Dosis: setiap 250 cc air larutan dicampur dengan air 10 liter. Penyemprotan dilakukan 2 kali seminggu pada pagi atau sore hari. Membuat Pembasmi Kutu Daun Bahan: 1 kg tembakau dan 4 liter air Cara membuat: Tembakau direndam dalam air selama 4 hari. Setelah itu, direbus selama 15 menit, saring dan dinginkan. Cara penggunaan: Dosis: setiap 250 cc air larutan dicampur dengan air 10 liter. Penyemprotan dilakukan 2 kali seminggu pada pagi atau sore hari.
HALAMAN 12
Laporan Kegiatan Desa Soga
Meredam Ketersinggungan dengan Proyek Upaya Mengawali Transformasi Sosial dengan Transformasi Proyek HASNULIR NUR
GEJALA umum yang telah lama mengganggu pengusung program ini, yang menyebabkan kebuntuan bahkan kemunduran bagi kerja-kerja berorientasi transformasi sosial, adalah watak kerja ‘proyek’. Tinggal tunggu perintah, ada jadwal, ada dana, kumpul orang sejumlah yang diinginkan, laksanakan proyek, tanda tangan, dan laporkan, selesai. Pelaksana proyek tidak terlalu dituntut memusingkan diri memikirkan dan mengavaluasi dampak terhadap proses sosial. Setidaknya bila dibandingkan dengan tuntutan terhadap laporan keuangan, utamanya untuk menyidik apakah ada uang tercecer atau tidak. Demikian juga proyek-proyek yang sampai ke Desa Soga. Sebagian warga bahkan menganggap proyek sebagai “bagi-bagi uang”. Bisa dipahami, mereka selalu hanya dalam posisi penerima manfaat, minimal sebagai eksekutor proyek. Mereka nyaris tidak pernah menjadi inisiator dan perancang sebuah proyek, meski sasaran proyek adalah desa mereka, untuk mereka. Pada proyek-proyek PNPM, yang bertujuan mendorong partisipasi aktif warga mulai dari inisiasi, perancangan, sampai pada tahap pelaksaanaan; pada kenyataannya posisi mereka masih sekadar eksekutor proyek. Inisiasi warga serta rembug bersama merancang program masih sekadar prosedur pelaksana an proyek. Bukan sebagai upaya melakukan transformasi sosial. Keseringan membuat terbiasa. Keterbiasaan membentuk watak. Pada akhirnya, definisi proyek, setidaknya bagi warga Soga adalah pekerjaan yang berorientasi keuntungan. Nyaris tidak ada kesukarelaan dan gotong royong dalam proyek. Ketika Anda berkata, “saya mengerjakan proyek” saat ditanya apa pekerjaanmu oleh warga Soga, yang terbayang dalam benak mereka adalah anda punya banyak uang.
Pengertian mereka, sekali lagi, hanya didasarkan pada watak kerja proyek yang selama ini mereka tangani dan nikmati. Dan bukan berarti mereka sama sekali tidak merasakan ada hal yang tidak beres dengan proyek-proyek tersebut. Karena watak proyek dianggap dapat menghambat transformasi sosial yang diusung melalui program Sustainable Rural Lifelihood (SRL), maka diperlukan upaya-upaya praktis sesederhana yang bisa dijalankan. Misalnya, yang paling sederhana adalah menghindari penyebutan kata proyek, dan menggantinya dengan kata program atau kegiatan. Cara ini kemudian ditunjang dengan “memasukkan” program SRL secara perlahan-lahan, atau kegiatan per kegiatan yang jenis dan pelaksanaannya biasa berdasarkan hasil diskusi bersama beberapa warga. Tidak seperti proyek lain misalnya, yang memper kenalkan proyeknya satu paket. Mulai dari waktu, dana, jumlah peserta serta model laporan semuanya sudah ditetapkan. Cara ini memungkinkan dilakukan karena saya sebagai fasilitator berasal dari Soga, sehingga telah mengenal lama dan jauh beberapa warga di Soga, sama seperti mereka mengenal saya. Diskusi de ngan Kepala Desa Soga, staf desa, tokoh-tokoh masyarakat bahkan sebelum saya memutuskan mendampingi Desa Soga secara lebih serius. Saya tidak terlalu repot menginprovisasi ‘proyek’ untuk menghindari harapan berseberangan antara warga dan fasilitator. ***
Gejala umum yang telah lama mengganggu pengusung program ini, yang menyebabkan kebuntuan bahkan kemunduran bagi kerja-kerja berorientasi transformasi sosial, adalah watak kerja ‘proyek’. Tinggal tunggu perintah, ada jadwal, ada dana, kumpul orang sejumlah yang diinginkan, laksanakan proyek, tanda tangan, dan laporkan, selesai.
HALAMAN 13
Cerita menarik muncul dari fasilitator lokal. Namanya Nasiruddin, biasa dipanggil Nasi’ oleh warga. Usianya sekitar 30-an akhir. Oleh Kepala Desa, dia dipercaya mengetuai Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), mengepalai RT dan Kelompok Tani Kampong Tengnga. Menangani beberapa proyek yang masuk ke Soga. Orang menyebutnya ‘seksi sibuk’. Kepala Desa Soga sendiri menilai Nasi’ sebagai orang yang “berjiwa sosial”. Bahkan ‘terlalu’ sosial. Aspek ini menjadi salah satu alasan Kepala Desa dan beberapa warga merekomendasikan Nasi’ untuk menemani saya mengikuti program magang Pertanian Berkelanjutan dan Energi Alternatif di Solo yang difasilitasi LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan). Juga menjadi pertimbangan saya untuk memprospek Nasi’ menjadi ‘rekanan’ fasilitator. Namun rupanya persenyawaan antara “watak proyek” dengan “jiwa sosial” dalam diri Nasi’ telah menghambat upaya-upaya peng
Keseringan membuat terbiasa. Keterbiasaan membentuk watak. Pada akhirnya, definisi proyek, setidaknya bagi warga Soga adalah pekerjaan yang berorientasi keuntungan. organisasian, juga pencapaian indikator-indikator Program. Nasi’ cenderung mengaktualisasikan “jiwa sosialnya” dengan “watak proyek” yang terbiasa memberikan “amplop” kepada peserta kegiatan. Karenanya, Nasi’ selalu enggan mengajak warga berkegiatan jika tidak dibekali dana untuk dibagikan. Dan Nasi’ tidak mengimbanginya dengan atraksi solo yang bisa menarik warga, meski bekal untuk itu telah dia miliki, apalagi setelah pulang dari Solo. Dampak lain yang muncul adalah rasa apatis Nasi’ terhadap warga. Dia menganggap warga – khususnya di sekitar rumahnya – “tidak bisa” diajak berkegiatan kalau tidak ada bagi-bagi “amplopnya”. Sayangnya lagi, anggapan ini tidak berusaha dia buktikan, misalnya dengan mencoba menginisiasi se-
buah kegiatan dan mengajak warga tanpa “amplop”. Namun itu tidak berarti Nasi’ sama sekali tidak melakukan apa-apa. Sebagai fasilitator lokal prog ram kami yang telah diangkat melalui kesepakatan, Nasi’ tetap menemani saya di setiap kegiatan program. Seperti pembuatan tiga unit biogas plastik, satu unit biogas permanen 9 kubik, pembuatan pupuk cair organik, mengadakan pertemuan dan kegiatan lainnya. Hanya saja dia kurang aktif melakukan pengawalan pasca kegiatan serta improvisasi lain yang bisa menunjang terjadinya transformasi sosial. Sedari awal Nasi telah dibekali dengan konsep pengorganisasian dalam bentuknya yang sederhana. Konsep ini juga diperkaya saat kunjungan belajar ke Solo. Baik pengayaan teori maupun pengalaman
Sebagian warga bahkan menganggap proyek sebagai “bagi-bagi uang”. Bisa dipahami, mereka selalu hanya dalam posisi penerima manfaat... atas pengalaman fasilitator-fasilitator LPTP yang sedang melakukan pengorganisasian. Hanya saja watak proyek yang telah mengakut, membuat Nasi’ gamang menentukan orientasi. Apalagi di saat yang sama ia juga masih menangani proyek PNPM dan pengadaan saranan air bersih oleh UNICEF. Untungnya, hal tersebut tidak–atau belum–menimbulkan gesekan-gesekan sosial berarti. Dampak paling nyata adalah lambatnya pergerakan sosial yang dikehendaki, dan tentu saja tersendat bahkan gagalnya pelaksanaan beberapa kegiatan program yang ditetapkan sebagai pemicu gerakan sosial yang dimaksud. Untuk menyikapi program yang terganggu, langkah taktis yang ditempuh adalah mendorong Wawan, lengkapnya Akhmad Umrawal untuk mengisi peran-peran yang tidak dijalankan oleh Nasi’. Wawan yang juga guru di salah satu sekolah dasar di Soga itu sedari awal memang selalu terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Boleh dibilang kalau Wawan yang juga anak Kepala Desa itu terlibat secara aktif pada Program bahkan pada upaya transformasi sosial di Soga, dan memiliki kapasitas untuk menjadi fasilitator. Tinggal menunggu warna yang akan ditorehkan Pak Guru![]
HALAMAN 14
Ekonomi Desa: Sistem Ekonomi Alternatif Bermartabat dan Berkeadilan KARNO B BATIRAN
Sebuah perusahaan asing ekspor-impor biji kakao di kawasan industri Makassar bisa menjual biji kakao di pasar dunia sampai 3.100 – 3.200 dolar Amerika per metrik ton, atau sekitar 27.000 – 28.000 rupiah per kilogram. Sementara di desa Soga, kabupaten Soppeng, yang hampir semua warganya telah berubah menjadi petani kakao, seorang petani kakao hanya memperoleh sekitar 18.000 – 20.000 rupiah per kilo biji kakao kering, yang mereka jual ke padagang pengumpul di desa. Selisih atau diferesiansi harga tersebut untuk menutup berbagai ongkos usaha seperti transpor, tenaga kerja, pengapalan, pajak, manajemen, dan sebagainya. Di desa Bonne-bonne Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, Hj. Dinang suatu ketika mencoba memulai kegiatan usaha kecilkecilan, usaha keripik pisang, usaha industri skala rumahan. Hanya berproduksi beberapa kali sebelum gulung tikar. Tidak ada pasar dan kalah bersaing, katanya. Bahkan dengan tetangganya yang bermodal sedikit lebih besar. Dua ilustrasi di atas menggambarkan watak ekonomi di Indonesia saat ini. Pertama, ekonomi yang mendukung penuh usaha ekonomi atau industri dan modal raksasa. Kedua, sistem ekonomi yang tidak adil. Terutama untuk hampir semua produk pertanian sangat tidak adil terhadap petani. Tidak adil bagi pelaku usaha sangat kecil skala rumah tangga di pedesaan. Ketiga, sistem ekonomi yang cenderung mengeruk keuntungan dari keringat petani! Jadi, prioritas utama sistem ekonomi semacam ini adalah mendukung industri atau kegiatankegiatan ekonomi skala besar, investasi besar, yang membutuhkan modal sangat besar. Ke giatan ekonomi yang hanya bisa dilakukan oleh pengusaha yang punya modal. Petani dan orang desa tidak bisa melakukannya. Ada juga ajaran yang berjangkit di masyarakat bahwa hanya yang memang berbakat bisnis yang bisa berbisnis. Ajaran ini begitu luas dipercaya sehingga petani orang desa tidak bisa dipercaya atau dianggap tidak mampu menjalankan
kegiatan-kegiatan ekonomi, usaha-usaha produktif untuk meningkatkan derajat ekonomi mereka di luar budidaya. Misalnya, mereka sering dianggap hanya bisa menjadi petani pisang dan tidak dapat menjalankan usaha keripik pisang. Tapi benarkah demikian? Ekonomi Desa = Ekonomi Alternatif Untuk menangkal watak ‘jahat’ sistem ekonomi yang ada sekarang serta efek buruknya, diperlukan sistem ekonomi alternatif, sistem yang berbeda. Sebenarnya istilah ‘ekonomi desa’ teorinya sederhana. Intinya sama seperti yang dulu digagas oleh Bung Hatta dengan istilah ‘ekonomi koperasi’, yaitu kembalikan semua penguasaan dan pengelolaan sumberdaya-sumberdaya ekonomi ke warga desa dan petani (untuk konteks kota: pedagang-pedagang dan usahausaha kecil). Juga kurang lebih mirip dengan ‘ekonomi komunal’, sistem ekonomi yang dikelola dan dikuasai oleh komunitas, warga desa dan petani. Bukan ‘ekonomi pasar’ atau ‘kewirahusahaan’ individualis di mana sumberdaya-sumberdaya ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha, perusahaan dan pemilik modal besar. Asas dan prinsipnya persis sama dengan koperasi. Berasas dan berprinsip kekeluargaan. Tujuan utamanya adalah mensejahterakan rakyat. Hanya saja dalam praktiknya koperasi banyak melenceng dari asas, prinsip, tujuan dan gagasan awal pendiriannya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun disebut gamblang bahwa seharusnya ekonomi Negara bertumpu pada kekuatan rakyat. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan pemerataan kesempatan setiap warga Negara dan pendistribusian sumberdaya ekonomi yang adil serta menjaga ketersediaan sumberdaya-sumberdaya dan alat-alat produksi (seperti tanah dan pabrik) barang dan jasa. Rakyat berhak atas pendapatan dan hasil produksi yang merata dan berkeadilan. Bukan eksploitasi. Tujuan, prinsip, dan asas ekonomi desa: apa yang berbeda? Lebih jauh tentang perbedaan antara ‘Ekonomi Desa’ dan ‘Ekonomi Pasar’, dapat kita lihat pada tabel. Kerja sama menjadi modal utama sistem ekonomi desa. Kerja sama antar-anggota berasas kekeluargaan dan kebersamaan. Dengan asas tersebut ke-
HALAMAN 15
CIRI Ekonomi Desa Ekonomi Pasar Siapa yang punya?
Sekumpulan orang (anggota)
Pemilik modal, investor
Asas Pendiriannya?
Kekeluargaan/kebersamaan
Individualisme
Kenapa didirikan?
Karena ada kesamaan kebutuhan dan kepentingan ekonomi
Berdasarkan kepentingan pemilik modal
Yang mendirikan? Didirikan dan dijalan bersama-sama Individu-individu atau investor yang memiliki modal dan kepentingan ekonomi CIRI Ekonomi Desa Ekonomi Pasar Untuk apa didirikan? Untuk meningkatkan Untuk keuntungan ` kepentingan anggotanya perusahaan/pemilik modal dan kepentingan ekonomi yang sebesar-besarnya Untungnya untuk siapa? Pelayanan dan keuntungan bagi anggota Pelayanan untukpasar, keuntungan untuk pemilik modal untungan dan risiko usaha dinikmati dan ditanggung bersama. Dengan asas itu juga skala usaha bisa diperbesar sementara biaya-biaya dan risiko bisa ditekan. Misalnya, pemasaran bersama yang dikelola oleh kelompok, sehingga akses ke pasar jauh lebih besar sementara biaya-biaya bisa jauh lebih kecil. Selain itu, pasar usaha berbasis ekonomi desa ruangnya cukup besar atau bisa dikatakan nyaris sudah pasti ada, karena usaha berbasis ekonomi desa anggotanya selain pemilik usaha juga sekaligus sebagai pelanggan, pembeli produk atau pengguna layanan. Karena kesamaan kebutuhan dan kepentingan ekonomi menjadi dasar usaha berbasis ekonomi desa; maka tujuan utamanya adalah memberi manfaat ekonomi dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Untuk itu mereka mesti berusaha mencari jalan bagaimana meningkatkan nilai tambah produk anggotanya, kalau anggotanya petani. Bagaimana meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang dihasilkan anggotanya, dengan mengusahakan komoditas pertanian sampai ke produk akhir, tidak hanya menjualnya sebagai bahan baku. Ambil contoh produk pisang. Hasilnya akan jauh lebih besar kalau diolah sampai menjadi produk olahan, seperti keripik pi-
sang, ketimbang menjualnya dalam bentuk pisang mentah. Dengan mengusahakan sampai ke produk akhir, perlahan-lahan mereka juga akan menggeser kegiatan ekonomi semacam itu dari kota ke desa. Tentu usaha berbasis ekonomi desa tetap harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip usaha ekonomi di mana terdapat ongkos dan pendapatan. Ada usaha mendapatkan keuntungan dari selisih antara pengeluaran dan pemasukan. Namun pada prinsipnya kepentingan anggota tetap menjadi prioritas utama: memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan anggota. *** Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam saya, isinya mengabarkan pabrik penggilingan padi milik petani anggota Sekolah Rakyat Petani Tompobulu, di Tompobulu, Kabupaten Pangkep, mulai beroperasi. Kelompok petani itu mau memulai sebuah kegiatan ekonomi, sebuah usaha desa milik bersama. Kurang lebih seperti badan usaha berbasis ‘ekonomi desa’ yang dijelaskan di atas. Baru saja dimulai dan belum teruji memang, tapi paling tidak isi pesan singkat tersebut menyiratkan kegembiraan, antusiasme, dan kepercayaan diri orang-orang desa, para petani, yang selama ini dianggap tak berbakat berusaha. Mereka mencoba merebut kembali ruang dan akses terhadap sumberdaya ekonomi yang selama ini tertutup rapat bagi mereka dan hanya dikuasai oleh para elit![]
Suleha, Perempuan Tani Pengamat Hama dan Penyakit Tanaman DALAM acara Tudang Sipulung Petani di Desa Soga, Kabupaten Soppeng 10-12 Juni 2011. Supri, petani muda Tompobulu yang jadi salah satu narasumber mengundang rekannya, Suleha (42) untuk menjelaskan bagaimana meracik lactobacillus. Suleha yang tiga tahun terakhir ini mengamati hama dan penyakit tanaman tampak ragu untuk duduk di depan peserta yang seluruhnya petani. Supri terus memintanya dan peserta yang duduk di bagian depan berbalik penasaran ingin melihatnya. Suleha pun bangkit dan berjalan. Duduk dan kemudian meraih mikrofon. Ia mengetukkan jari telunjuknya di kepala mikrofon. Respons suara serupa ketukan jarinya terdengar jelas dari salon di sam ping kirinya. Setelah salam, ia mengawali kalimat me rendah, “Saya sebenarnya belum mampu meracik, hanya sebatas mencoba apa yang ada di desa kami.” Ia diminta menceritakan pengalamannya membuat pupuk cair. “Percobaan untuk pembuatan pupuk cair, saya mulai dengan melihat terlebih dulu situasi di sekitar. Apa yang tersedia di desa kami, itulah yang kami coba untuk meramunya menjadi layak untuk percobaan pupuk.” Para petani dari desa lain mendengarkan. Beberapa dari mereka meraih pulpen dan buku untuk mencatatnya. Suleha melanjutkan, “Yang biasa kami manfaatkan untuk pupuk cair adalah pohon gamal. Bukan hanya daun pohon gamal saja yang bisa dibuat, tetapi menurut saya semua jenis tanaman yang berbuah kacang-kacangan banyak mengandung unsur N, Nitrogen. Selain itu bahan lain seperti air kelapa, air cucian beras, dan buah busuk yang ada di desa. Bisa buah apapun, yang jelas tidak diambil bijinya. Jangan
pula menggunakan buah yang bijinya sama dengan buah maja. Menurut kami, air kelapa banyak mengandung unsur F, Fosfor dan buah-buahan busuk banyak mengandung unsur K, Kalium dan KCl. Bahan-bahan ini jika dicampurkan sama dengan pupuk NPK.” Ia berhenti sejenak, seperti menata ingatannya akan percobaan-percobaan yang beberapa kali mereka lakukan di SRP Tompobulu. “Lalu cara membuatnya, siapkan karung dan ember bersih. Bahan yang terkumpul dicampur rata dan dimasukkan ke dalam karung. Kemudian karung tersebut dimasukkan ke dalam ember yang berisi air cucian beras, air kelapa dan ditambahkan pula bakteri yang kami kembangkan, yaitu lactobacillus. Setiap pagi, karung kita balik-balik. Setelah air dalam ember mengeluarkan bau yang khas, juga di permukaan air muncul putih-putih (bukan buih), itu kami anggap telah siap digunakan. Pupuk ini kami gunakan saat pagi dan sore hari. Takarannya, dalam satu gelas kita campurkan ke dalam 14 liter air. Adapun manfaatnya bisa menambah unsur hara di dalam tanah.” Ia menutup kalimatnya, “Dalam pikiran kami, pada dasarnya adalah bagaimana kami bisa memanfaatkan apa yang ada di desa kami.” Mendengar paparannya yang lancar itu, beberapa petani memintanya lagi menjelaskan hal lain. Ada yang bertanya bagaimana membuat pestisida nabati dan ia pun menjelaskan pengalaman terakhir dalam mengatasi hama belalang dan walang sangit. Perbincangan terus mengalir dan petani-petani semakin bersemangat. Suleha juga mewanti-wanti agar petani tidak terus menerus menyirami tanaman dengan pupuk kimia. “Pupuk kimia tidak bisa memperbaiki unsur hara tanah!” tandasnya.[]