Buletin Payo-Payo Edisi 07

Page 1

HALAMAN 1

PAYO-PAYO

kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi VII November 2014

Mengusahakan Kembali Kerja Kolektif Foto: Dokumentasi Payo-Payo

REDAKSI PAYO-PAYO

Dalam tujuh tahun terakhir ini, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo berupaya melakukan pengorganisasian di beberapa desa. Selama proses tersebut, para pekerja lapangan kesulitan untuk mengajak warga desa melakukan kerja-kerja kolektif secara rapi dan bertahan lama, terutama jika melibatkan kerja rutin yang dikelola secara berkelompok. Ketika berhasil hingga taraf tertentu, upaya itu memakan waktu cukup lama. Sebagian yang berhasil pun bisa dengan cepat menguap, sebagian lagi tetap bertahan namun dalam lingkup yang tetap kecil sehingga kurang memberikan dampak luas bagi masyarakat sekitar, setidaknya hingga sekarang. Pengorganisasian yang dilakukan SRP PayoPayo biasanya dimulai dengan memperkenalkan sesuatu yang baru, yang sebagian memang dibutuhkan oleh warga, seperti pengenalan System of Rice Intentification (SRI), pupuk organik, pembuatan instalasi biogas, sekolah

lapang, dan semacamnya. Sebagian upaya ini dilakukan dengan dukungan penuh pemerintah desa. Sebagian lagi tidak didukung atau secara diam-diam ditentang. Di seluruh tempat, keberhasilan membentuk kegiatan kolektif yang dapat bertahan lama, dan berdampak lebih luas (di luar partisipan atau anggota SRP sendiri) nyaris tidak terlihat. Pengecualian bisa ditemukan di satu dusun bagian dari Desa Tompobulu. Sementara di Desa Soga kita masih harus menunggu apakah kerja-kerja kolektif yang kini telah terbangun dalam kerangka kerja SRP Payo-Payo


HALAMAN 2

Warga sangat mudah me­lakukan kerja kolektif berjangka pendek atau musiman, baik yang berbasis proyek peme­rintah (semisal, PNPM atau kelompok tani), ritual-ritual siklus hidup (seperti upacara aqiqah, nikahan, memba­ngun rumah, kematian), ketika terjadi gangguan alam hingga yang menimbulkan bencana (misalnya, membersih­kan jalanan yang tertutup atau memperbaiki irigasi yang rusak), atau kerja-kerja berkala seperti gotong-royong membersihkan lingkungan atau memperbaiki jembatan. dapat bertahan lebih lama. Di sisi lain, warga sangat mudah me­lakukan kerja kolektif berjangka pendek atau musiman, baik yang berbasis proyek pemerintah (semisal, PNPM atau kelompok tani), ritualritual siklus hidup (seperti upacara aqiqah, nikahan, membangun rumah, kematian), ketika terjadi gangguan alam hingga yang menim­ bulkan bencana (misalnya, membersih­ kan jalanan yang tertutup atau memperbaiki irigasi yang rusak), atau kerja-kerja berkala seperti gotong-royong membersihkan lingkungan atau memperbaiki jembatan. Kecenderungan ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa sebagian kerja kolektif dapat bertahan dan sebagian lagi tidak? Dalam konteks semacam ini, SRP Payo-Payo berhadapan dengan berderet persoalan, sebagaimana sering terungkap dalam berbagai diskusi internal tentang pengalaman be­kerja di sekian banyak desa selama ini. Tiga di antara persoalan itu adalah: pertama, ketidakpercayaan secara luas terhadap tindak­ an kolektif untuk urusan ekonomi dan politik bersama yang berjangka panjang, seperti kita lihat pada pengelolaan kelompok tani, koperasi, musrenbang yang merupakan prog­ ram pemerintah maupun proses pemilihan kepala daerah. Kedua, karenanya, tampak jelas kesulitan merawat tindakan-tindakan kolektif untuk urusan ekonomi dan politik bersama, terutama yang jangka panjang dan yang diarahkan untuk per­ubahan perimbang­ an kekuasaan (perubahan struktur sosial). Ketiga, kondisi ini diiringi pula dengan hampir absennya sistem kolektivisme, yaitu sis-

tem kepemilikan atau kontrol alat produksi dan distribusi secara kolektif oleh warga. Tidak ada lahan garapan bersama, sementara pengambilan keputusan dalam musrenbang atau program PNPM sering dikuasai elit desa, atau mengalami ‘elite capture’. Persoalan-persoalan ini meminta penjelas­ an lebih komprehensif untuk membangun pemahaman yang lebih baik dalam menjalankan kerja pengoranisasian selanjutnya. Kami belajar dari pengalaman dan bacaan bahwa pengenalan terhadap struktur sosial masyarakat adalah prasyarat mutlak keberhasilan pengorganisasian. Beberapa syarat suksesnya pengorganisasian masyarakat desa seperti kedekatan jarak fisik antara pengorganisir dan warga, kemampuan memilih ‘tandem’ di desa dan kemampuan membangun pranata desa berhubungan sangat erat dengan pengetahuan akan struktur sosial masyarakat tempat pengorganisasian dilaksanakan. Untuk itulah kami menghadirkan kajian singkat ini, untuk melihat mengapa pengorga­ nisasian kerja kolektif, terutama untuk urusan ekonomi dan politik, sulit berjalan. Faktorfaktor apa saja yang menyebabkan itu, struktur sosial seperti apa yang menghambat dan yang kemungkin­an bisa menyokongnya, serta dinamika historis semacam apa yang membentuk struktur semacam itu? Kajian ini kami buat dalam bentuk buku penelitian, dan buletin bulanan. Dalam buletin ini kami akan menghadirkan beberapa hasil penulisan para fasilitator lapangan. Sunardi Hawi menuliskan cara perempuan CoppengCoppeng mempertahankan kerja kolektif,


HALAMAN 3

sedangkan Nurhady Sirimorok menulis mengenai memori kolektif hingga gagasan baru. Karno B. Batiran akan mengulas penting­nya kerja kolektif. Ada juga pengalaman fasilitator lapangan yang kesulitan membangkitkan kembali kerja kolektif di Desa BonneBonne melalui wawancara dengan Mulyani

Hasan. Sedangkan Hasnulir akan memaparkan bagaimana warga desa me­ngenang kerja kolek­ tif sebagai sebuah jalan memecah masalah bersama, tapi sangat sulit membangkitkannya kembali. Selamat membaca!

Pentingnya Kerja Kolektif KARNO B BATIRAN

Program-program bantuan pembangunan sebenarnya menyadari pentingnya kerja kolektif. Bukan hanya pemerintah, programprogram bantuan pembangunan dari negaranegara maju yang kerap disebut masyarakat yang individualis sekalipun juga menyadari pentingnya semangat kerja kolektif, yang kadang diasosiasikan dengan sesuatu yang muncul dalam masyarakat sosialis.

ditemukan dalam laku sehari-harinya.

Belakangan kemudian memang gotong royong dimaknai sebagai mobilisasi masyarakat yang kadang-kadang dengan paksaan aparat untuk mengerjakan fasilitas-fasilitas umum seperti jalan, masjid, dll. Gotong royong bukan lagi sebagai sebuah semangat yang muncul secara alami dan naluriah untuk secara bersama menyelesaikan persoalan-persoalan bersama Kerja kolektif bisa kita sebut gotong royong, un- yang dihadapi. tuk memudahkan pemahaman, meski penger- Tanpa semangat kerja kolektif, mungkin bisa tian itu tidak sama persis. Bila ditelisik dalam dikatakan setiap usaha yang dilakukan untuk setiap kerangka logis kerja-kerja program ban- mengorganisir masyarakat akan mental. Jantuan pembangunan, baik yang dilakukan oleh gankan di pertengahan jalan bahkan sedari pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga awal pun bisa sudah mengalami kegagal­ donor penyalur bantuan, selalu meminta syarat an. Sebut contoh kasus Pak Maudu’ seorang dijalankannya sebuah proyek bantuan pemba­ petani di sebuah Desa di Camba, Maros. ngunan. Syarat itu adalah "kelembagaan". Misal­ nya proyek bantuan untuk petani syaratnya Suatu waktu Pak Maudu’ dimasukkan dalam "kelembagaan petani" yang memadai, kemudian sebuah kelompok ternak sapi. Idenya, sebuah diterjemahkan bahwa bantuan harus disalurkan kelompok tani ternak akan memelihara sapi bersama dalam sebuah kandang ‘bersama’. melalui kelompok tani. Beberapa ekor sapi sejatinya dimiliki berMungkin mereka mengasumsikan kelom- sama oleh sekelompok petani dan dipelihara pok tani merupakan sekelompok petani yang bersama-sama dalam sebuah kandang yang dilembagakan dalam sebuah organisasi ada- juga milik bersama. Tak berapa lama program lah perwujudan dari semangat gotong royong tersebut bubar di tengah jalan. Setiap orang atau tadi sudah disepakati sebagai kata lain kemudian mengambil sapi-sapi tersebut satu dari kerja kolektif pada tingkat tertentu. persatu yang dianggap milik masing-masing, Dalam konteks pengorganisasian rakyat dan dibawa ke rumah masing-masing lalu dipeliproyek bantuan pembangunan, memang tidak hara sendiri-sendiri. banyak yang bisa dilakukan dalam sebuah ko- “Ada yang kalasi,” kata pak Maudu’. Kalasi bamunitas yang tidak lagi ‘mengenal’ kata kerja hasa Bugis untuk kata curang. kolektif atau ‘kegotongroyongan murni’. Atau setidaknya masih mengenal secara samar-samar Ide dasarnya karena itu adalah milik bersaistilah kegotongroyongan namun tidak lagi bisa ma jadi semestinya dengan tanpa keberatan


HALAMAN 4

petani-petani kelompok Pak Maudu’ akan beberapa hari berjalan, cara tersebut juga berbagi tugas dan bekerja bersama-sama mandeg. Alhasil alih-alih mendapat listrik, biogasnya malah tidak terurus dan gagal total. memberi makan sapi-sapi tersebut. Tapi apa boleh buat, beberapa orang berlaku Kasus tersebut juga tidak akan terjadi jika warga Lamporo jika masih meresapi sema­ curang terhadap teman sekelompoknya. ngat kerja kolektif sebagai sebuah ‘pola’ yang Menurut penilaian mereka tidak semua orang mutlak dilakukan untuk menyelesaikan secara berkontribusi dengan ‘adil’ dalam memelihabersama-sama persoalan bersama. ra sapi-sapi itu. Saat yang lain bekerja mengurus sapi-sapinya, yang lain tidak ikut bekerja. Cerita sebaliknya dicontohkan oleh kasus Tentu saja kasus tersebut tidak akan terjadi Sekolah Rakyat Petani Tompobulu. Berbagai jika semua anggota kelompok Pak Maudu’ persoalan bisa diselesaikan oleh mereka de­ ngan motivasi utama adalah menyelesaikan masih menjiwai semangat kerja kolektif. masalah bersama ketimbang mendapatkan Dengan semangat bahwa mengerjakan sesuabagian pribadi dari bagi hasil manfaat bekerja tu bersama-sama adalah untuk memecahbersama-sama. kan masalah bersama-sama, bukan bekerja bersama-sama untuk memperoleh keuntun- Misalnya mereka bisa menyelesaikan persoal­ gan sendiri masing-masing dari hasil berbagi an beratnya menanam padi dengan cara SRI manfaat dari bekerja bersama-sama tersebut. (System of Rice Intensification), dengan beker­ja bersama saling membantu secara bergantian di Cerita lain yang hampir sama terjadi di kamsawah anggota SRP yang dapat giliran menanam. pung Lamporo, Desa Tompobulu. Karena di Kampung tersebut tidak ada listrik dari pemer- Di tempat lain petani membayar lebih buruh intah, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo ber- tanam untuk menanam dengan pola tanam sama HYY (Dewan Mahasiswa Universitas SRI (satu bibit satu lubang tanam). Dampak Helsinki) mengusahakan proyek biogas untuk lebih jauhnya kemudian mereka bisa mengorganisir diri untuk bersama membicarakan dan menyalakan listrik sekitar rumah saat itu. menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sejak awal Payo-Payo sudah diperingati orang-orang di Tompobulu, katanya warga Dua kasus awal di atas memberi gambaran betapa Lamporo ‘susah‘ bekerjasama. Benar saja, se- pentingnya semangat kerja kolektif. Untuk urusan jak awal proses memulai proyek sangat sulit. yang masalahnya jelas teridentifikasi dan menjadi Konsensus susah tercapai. Mekanisme kerja masalah bersama pun tidak bisa dengan mudah tidak bisa disepakati. Proses pengerjaannya diselesaikan, bila warga yang terlibat tidak mengepun justru lebih banyak melibatkan warga nal kerja kolektif. Bahkan saat semua sumberdaya yang diperlukan tersedia (seperti proyek-proyek lain yang bukan warga Lamporo. bantuan pembangunan). Masalahnya tetap suSetelah instalasi biogas dan listrik ke rumah-rulit diselesaikan jika sema­ngat kerja kolektif absen mah selesai, persoalan kembali muncul. Ternya­ dalam kehidupan warga. ta tidak ada warga yang mau mengandangkan sapinya dekat instalasi biogasnya. Padahal se- Kasus terakhir menunjukkan bahwa mengorganibelumnya sudah sepakat bahwa setiap malam sir warga bisa dengan mudah dilakukan apabila seekor sapi dari masing-masing warga akan di- semangat kerja kolektif bisa kembali ditumbuhkan. kandangkan di kandang yang sudah disediakan Warga pun bisa dengan sendirinya mengorganisir diri dengan semangat kerja kolek­tif, yang sebeuntuk menyuplai kotoran sapi untuk biogas. narnya dulu pernah mendasari hampir semua laku Mekanisme mengandangkan seekor sapi warga desa di masa lalu. setiap malam tidak berjalan, kemudian dicari cara lain. Masing-masing warga akan mem- Karno B Batiran, Direktur Sekolah Rakyat bawa kotoran sapi seember seorang, hanya Petani Payo-Payo


HALAMAN 5

Pada Wadah Apa Marwah Makkaleleng Disemayamkan? HASNULIR NUR

Hari masih pagi. Tak seperti biasanya warga dusun Pallawa Desa Soga di Kabupaten Soppeng berbondong-bondong pergi ke sebuah tempat. Para orang tua, anak muda, perempuan dan laki-laki tertuju pada suatu tempat di hari itu, 5 Desember 2010. Mereka memadati suatu tempat berupa areal abbolang (lahan untuk rumah). Laki-laki mengitari balok-balok tiang yang terangkai dengan papan tebal. Sementara kaum perempuan berkumpul di sebuah kalampang (bangunan untuk keperluan khusus) berurusan dengan alat-alat makan. Mereka sedang bergotong royong membangun rumah.

umpamakannya. Wak Hasse, yang punya hajatan menggunakan teknik lain dari biasanya. Umumnya rangkaian dibuat menurut sisi lebar rumah. Ditegakkan mulai dari rangkaian terdepan, berturut hingga rangkaian sisi lebar rumah paling belakang. Kali ini, rangkaian dibuat menurut sisi samping atau panjang rumah. Dengan begitu, jumlah balok-balok tiang lebih banyak dan papan tebal yang merangkainya lebih panjang dibanding rangkaian berdasarkan sisi lebar. Sehingga tenaga yang dibutuhkan untuk menegakkannya juga jauh lebih besar.

Alasan Wak Hasse untuk menghemat waktu. Karena jumlah rangkaian yang akan dite足gakkan lebih sedikit. Dia mengakui kalau beratnya rangkaian di luar perkiraannyaa, hanya memikirkan bagaimana supaya waktu warga tidak tersita terlalu lama. Diskusipun berlangsung ramai. Silih Gagal pada percobaan pertama, warga ramai berganti warga mengemukakan pengalamanberdiskusi mengenai cara menegakkan rang- nya. Akhirnya lahir dua opsi; ubah rangkaian, kaian yang memang dari segi material lebih atau tambah kekuatan. berat dan dari segi dimensi serta jumlah baAtas rekomendasi kepala tukang, Wak Hasse han lebih dari bangunan rumah pada ummemilih menambah kekuatan. Dia kemudian umnya. bergegas ke kampung seberang bukit. Segera "Kapal Nabi Nuh". Demikian warga meng足 setelah bantuan datang, warga langsung ambil Jam telah menunjukkan pukul 8 lewat, namun tak satu pun bagian rangkaian bisa ditegakkan oleh puluhan warga. Berdasarkan pengalaman warga, pukul 8 pagi, minimal dua bagian rangkaian sudah tegak berdiri.


HALAMAN 6

posisi. Rangkaian pertama sisi kanan sukses gar berupa wala suji) yang mengelilingi area ditegakkan. Kemudian berturut-turut hingga pesta serta membuat panggung tempat pelaminan. Itu bagi laki-laki. Adapun perempuan, rangkaian terakhir tanpa jeda. menyediakan konsumsi bagi para pekerja. Saat istirahat, warga saling tukar cerita. Cerita tentang pekerjaan yang baru saja mereka sele- Bantuan lain yang tak kalah pentingnya adasaikan, pekerjaan kebun, masalah kakao, ker- lah passolo atau uang tunai yang disimpan jaan bersama di PNPM, politik, atau sekedar dalam amplop atau sampul undangan yang saling mengklarisifikasi gosip terbaru yang biasanya diserahkan di pelaminan di hari beredar, bahkan sampai soal remeh seperti perkawinan. Dengan bantuan uang ini begugurnya idola mereka di konteks dangdut lanja pesta jadi tidak memberatkan. Terlebih lagi jika yang menggelar pesta adalah anggota televisi. "arisan pesta". Arisan biasanya dalam bentuk Mereka terlihat sangat menikmati keberbahan bahan pangan kebutuhan pokok yang samaan. Ketika saya ungkapkan tanggapan disetor saat ada anggota mengadakan pesta. mengenai asyiknya mereka bercengkrama, seDengan tradisi ini, setiap rumah tangga bisa orang warga menimpali dengan canda; di sini menggelar pesta walau kondisi ekonomi pasorang datang bekerja sama intinya makan dan pasan. tukar cerita. *** Tak jarang, jika ada informasi penting, mereka biasa langsung membuat kesepakatan un- Hingga saat ini, tradisi-tradisi tersebut masih tuk melanjutkan ke pertemuan khusus untuk dipegang teguh. Tapi kerja gotong royong ini membahasnya. Beberapa kasus selesai dipu- hanya dilakukan pada peristiwa tertentu yang jarang terjadi, seperti pesta perkawinan dan tuskan saat itu juga. bangun rumah. Pernah suatu waktu ada bantuan material untuk memperbaiki tempat tinggal seorang warJika dalam membangun rumah ga miskin yang dibawa Kepala Desa waktu itu. dan pesta warga bisa bekerja Tapi bantuan itu tidak cukup. Setelah berdissama dan bertahan sampai sekakusi dan beberapa warga siap membantu baik rang, kenapa dalam hal bertani menyumbang bahan dan tenaga, masalah sesebagai penyangga ekonomi yang lesai saat itu juga. dibutuhkan sehari-hari tidak Selain membangun rumah, pesta adat juga masih merupakan wadah warga bekerja sama. Pesta perkawinan misalnya. Satu minggu sebelumnya, warga sudah mulai bergotong royong membantu. Saat mattamping bola (menambah luasan rumah) dan massarapo (membuat pa-

bisa bertahan sampai sekarang? kenapa makkaleleng (kerja sama secara bergiliran dalam bertani) tidak bisa bertahan sampai sekarang, padahal berkaitan dengan dapur tiap hari?

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be足 kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP PayoPayo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia 90561, Telepon: 04113881144, email: srppayopayo@yahoo.com


HALAMAN 7

Melihat antusiasme warga dalam bekerjasama setidaknya dalam dua hal tersebut di atas dan manfaatnya, tentu menimbulkan pertanyaan mengapa warga tidak bisa bertahan kerja sama justru pada hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Apalagi mereka hanya bisa mengenang pengalaman kerjasama yang pernah menjadi tradisi itu.

Bertani jangka pendek butuh tenaga besar dan siklus pekerjaan yang sering apalagi dengan alat pertanian sederhana. Karena bergantung pada musim, pekerjaan tidak bisa ditunda, saat menanam, memelihara maupun memanen. Sehingga tidak bisa dikerjakan sendirian. Berbeda dengan bertani jangka panjang seperti kakao. Sekali tumbuh dan berbuah, pekerjaan tinggal memangkas, memupuk, membasmi hama dan memanen. Dengan dukungan teknologi pertanian, pekerjaan relatif mudah dan bisa dikerjakan sendiri. Nilai jual kakao yang semakin hari semakin meningkat, mulai memunculkan kebiasaan menggaji buruh.

Dalam sebuah diskusi kelompok membahas kegotong-royongan, secara bergantian warga menuturkan kenangan mereka. Saat makkalaleng masih aktif mereka merasakan kebersamaan. Ada perasaan tidak enak dengan anggota kelompok lain jika tak terlibat dan mereka akan ketinggalan informasi jika tidak Lalu apakah makkaleleng bisa digalakkan sempat hadir. lagi? Makkaleleng sebagaimana kegiatan kerja sama lainnya merupakan sarana bagi warga Warga mengungkapkan beberapa hal yang saling berbagi informasi tentang segala hal menurut mereka membuat kerja sama dalam yang berkaitan dengan kehidupan sosial pertanian sulit dilakukan kembali. Salah satumereka. Kebun-kebun warga selalu ramai. nya, generasi muda tidak tertarik bertani. KeWarga juga terbiasa kerja disiplin. Kerja mu- banyakan warga cenderung individual, mulai lai pukul 7 pagi sampai 11 siang. Bekerja sama terbiasa kerja santai dan tidak ingin terikat juga mendorong kerja giat, karena jika kerja pada orang lain. asal-asalan, hasilnya akan sangat kelihatan Beberapa program pemerintah yang menjika dibandingkan dengan hasil kerja anggota saratkan kerja bersama bahkan mendorong lain. Tiap satu kelompok, ada seorang yang pembentukan kelompok-kelompok tani di dituakan dan dijadikan sebagai ketua. Ketua desa, itu pun tak juga membuat warga ke sekelompok ini menjadi tempat orang muda bemangat kerja sama seperti dulu. Malah warga lajar bertani. Misalnya pelajaran kapan mulai cenderung resisten dengan program yang ada menanam. kegiatan kelompoknya. Terutama jika datang “Seandainya dulu ada PPL, kerjanya bisa dari pemerintah. Sebab, program-program lebih gampang karena tinggal menghubungi dikelola secara tidak transparan. Mereka ber­ kelompok makkaleleng. Sekarang ada kelom- anggapan program-program tersebut hanya pok, tapi tidak ada kegiatan bertani secara menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. sama-sama,â€? ujar seorang warga. Walau begitu, warga masih punya harapan. Ditanya mengenai kapan tradisi makkaleleng Setidaknya tersirat dalam pertanyaan meremulai menghilang, warga hanya menyebut ka; “lalu dalam hal apa makkaleleng bisa kita secara seragam; saat kakao telah memenuhi lakukan?â€? Mungkinkah penurunan produksi kakao yang membuat ekonomi warga menulahan perkebunan. run bisa jadi jalan menuju makkaleleng? Alasannya beragam. Namun yang paling mengemuka adalah pergantian tanaman mayHasnulir, aktif di Sekolah Rakyat Petani oritas, dari jagung dan tanaman jangka pen- Payo-Payo mengurusi bidang penelitian dan pengembangan. dek lainnya menjadi kakao.


HALAMAN 8

Cara Perempuan Desa Pertahankan Kerja Kolektif SUNARDI HAWI

Foto: Dokumentasi Payo-Payo

Makkaleleng yang telah surut mewariskan kerja kolektif dalam bentuk lain. Di Coppeng-Coppeng, kebiasaan bekerja bersama dalam kegiatan selain hajatan masih sering dipraktikan kelompok perempuan.

Perempuan Soga beristirahat di sela waktu bekerja bersama mereka.

Sejak akhir 1980-an, kakao mulai mendominasi Desa Soga, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng Termasuk Coppeng足 Coppeng, salah satu perkampungan yang dihuni 157 kepala keluarga. Tanaman kakao di kampung ini bahkan merambah hingga pekarangan rumah warga.

kunjung memuaskan petani. Cerita kakao sebagai primadona tampaknya telah berakhir.

Tanaman kakao juga menyisakan lahan yang nyaris tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk tanaman musiman. Input kimia secara berlebih yang berlangsung sekitar dua puluh tahun membuat tanah kehilangan kesuburan. Butuh Saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika waktu untuk memulihkan kondisinya. anjlok pada masa krisis moneter tahun 1997Sistem bertani warga pun turut berubah dengan 1998, petani menikmati masa emas kakao. datangnya kakao. Saat masih banyak petani meCerita kini berbeda. Petani kakao Soga berha- nanam jagung atau tembakau, sebagian besar dapan dengan tanaman kakao yang semakin kerja bertani dilakukan secara berkelompok. Ini menua dan serangan berbagai penyakit, sep- memudahkan mereka mengerjakan lahan yang erti penggerek buah. Produksi kakao terus harus disesuaikan dengan kondisi cuaca. Ini menurun, kuantitas dan kualitas. Kondisi ini berbeda dengan kakao yang tidak bergantung berdampak langsung pada pendapatan ru- pada siklus musim, sehingga menurut petani, mah tangga petani kakao. Sejumlah program tanaman kakao lebih mudah dikerjakan tanpa pemerintah dan swasta, hingga saat ini, tak harus berkelompok.


HALAMAN 9

Masyarakat Soga menamai cara kerja berkelompok itu makkaleleng (Bahasa Bugis: bekerja secara bersama-sama). Kebiasaan ini dilakukan pada masa persiapan lahan, penanaman, perawatan tanaman, hingga pengolah­ an pasca panen. Saat masih dipraktikan, ada banyak kelompok makkaleleng di Soga. Ratarata setiap kelompok beranggotakan 8 orang atau lebih yang mengerjakan lahan anggota secara bergiliran. Makkaleleng tidak hanya dipraktikkan petani laki-laki. Petani perem­ puan juga memiliki kelompok sendiri. Di Coppeng-Coppeng, kelompok makkaleleng Ma’ Haji Sabang bahkan pernah menjadi buah bibir hingga memunculkan istilah bagi warga desa. Jika ingin membersihkan rumput liar di kebun, maka gunakanlah “racun Ma’ Haji Sabang”. Istilah ini menggambarkan kehandalan kelompok Ma’ Haji Sabang yang mampu membersihkan rumput liar secepat pestisida (pestisida dalam bahasa bugis disebut dengan racun). Kelompok perempuan ini juga lenyap saat kakao menjadi tanaman utama. Kegiatan bekerja bersama terbatas pada acara hajatan keluarga (pernikahan, lahiran, kematian, dan lainnya).

panganan kue selama hajatan) yang berbahan dasar bambu. Keuntungan penjualan kerajinan ini dibagikan ke anggota kelompok sesuai volume kerja masing-masing, sebagian disimpan sebagai modal kelompok. Menurut para perempuan, kegiatan arisan dilakukan untuk menyiasati kebutuhan ekonomi rumah tangga. Khususnya ketika menggelar hajatan seperti pernikahan mereka membutuhkan biaya cukup besar. Uang arisan dapat menutupi hingga setengah kebutuhan biaya hajatan, warga pun merasa lebih ringan mengumpulkannya karena dilakukan secara bertahap. Kelompok arisan seperti ini juga dibentuk para perempuan di perkampungan lainnya di Soga.

Kebiasaan perempuan bekerja bersama yang masih terpelihara di Coppeng-Coppeng menurut sejumlah warga dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya, seorang perempuan yang dianggap sebagai salah satu orang tua di kampung tersebut, hingga saat ini masih memelihara kebiasaan berkumpul dengan menginisiasi acara-acara gotong royong di kampung. Menurut sejumlah ibu, “Nenek Haji,” sangat rajin menyediakan makanan setiap ada kerja bakti (kerja kolektif sukarela). Hal ini membuat perempuan lainnya merasa “tidak enak” jika tidak ikut terlibat, hingga kemudian menjadi sebuah kebiasaan dan terawat hingga saat ini.

Makkaleleng yang telah surut mewariskan kerja kolektif dalam bentuk lain. Di CoppengCoppeng, kebiasaan bekerja bersama dalam kegiatan selain hajatan masih sering dipraktikan kelompok perempuan. Mereka misalnya terlibat secara kolektif memperbaiki jalan kampung atau membersihkan masjid. Menu­ rut cerita warga, setiap kegiatan kerja bakti kampung, seperti perbaikan jalan kampung atau perawatan mesjid, kelompok perempuan berperan penting. Mulai dari mengangkat material hingga menyiapkan makanan. Kebiasaan bekerja bersama ini berlanjut dalam kegiatan ekonomi, seperti kelompok arisan Kelompok perempuan di Coppeng-Coppeng dan usaha bersama. juga mengumpulkan dana untuk membeli Kelompok arisan perempuan ini ada beragam peralatan yang bisa digunakan bersama se­ jenis. Mulai dari arisan bahan-bahan pokok perti peralatan pecah belah (piring, sendok, (beras, minyak goreng, terigu, dll.) untuk kep- dll), yang disimpan di rumah Kepala Dusun. erluan hajatan hingga uang tunai. Sementara Barang bersama ini bisa dimanfaatkan oleh usaha bersama kelompok perempuan adalah setiap warga yang mengadakan hajatan. pembuatan penutup bosara’ (wadah penyajian


HALAMAN 10

Kebiasaan bekerja bersama yang masih dipraktikkan oleh para perempuan di Coppeng-Coppeng. Menurut Asad Rauf, fasilitator SRP Payo-Payo yang dua tahun terakhir bekerja di Soga, bisa menjadi “pintu-masuk” berbagai program. Menurutnya, jika hendak mengorganisir warga di kampung ini untuk kegiatan baru, bekerjalah dengan kelompok perempuan. Celah inilah yang dimanfaatkan Asad. Bekerja dengan perempuan membuat pekerjaannya mempromosikan sistem pertanian alternatif menunjukan perkembang­ an signifikan. Sejumlah pekarangan rumah warga kini dimanfaatkan untuk menanam sa­ yuran di bawah green house sederhana. Melibatkan perempuan juga memudah pelibatan suami-suami mereka dalam beragam kerja kolektif bersama seperti pengerjaan ja­ringan air ke rumah-rumah warga untuk mendukung penanaman sayuran pekarangan atau pembangunan green house sederhana dengan memanfaatkan bambu yang melimpah di kampung itu.

tangga di kampung ini memang sedikit berbeda dengan kampung lainnya. Ia memban­ dingkan dengan daerah asalnya, Enrekang. Menurutnya, para perempuan di kampung halamannya juga sering berkumpul bersama, tapi tidak sampai pada bekerja memperbaiki fasilitas umum. Selain itu, ia menambahkan, perempuan di Coppeng-Coppeng juga gemar berkumpul untuk membuat makanan ketika memiliki waktu luang. Setelah bekerja bersama kelompok perempuan menunjukan hasil yang berarti, Assad juga mulai menyasar kelompok lain, anak usia sekolah dasar. Kegiatan ini dilakukan lewat sekolah dasar di Coppeng-Coppeng. Melalui tenaga pengajar sukarela yang umumnya merupakan warga sekitar, yang juga anggota kelompok “tanamsayur”, Asad mendapatkan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan murid. De­ngan cara inilah ia mencoba melibatkan mereka dalam mempraktikkan sistem pertanian sa­yuran organik dengan memanfaatkan pekarang­ an sekolah dan bahan-bahan yang tersedia di kampung itu. Kegiatan ini perlahan dapat menarik minat siswa untuk mempelajari dan mempraktikan pertanian sayur organik.

Menurut saya, kemungkinan ini juga dipe­ ngaruhi oleh masih adanya ingatan warga terhadap kebiasaan makkaleleng sebelum kakao Hasilnya cukup menggembirakan. mendominasi lahan mereka. Sekurangnya, dua kali masa panen sudah Kebiasaan bekerja bersama kelompok peremdilewati dengan baik dan masih berlanjut puan di Coppeng-Coppeng juga diakui oleh hingga kini. seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai guru sekolah dasar di desa ini. Dia me­ Sunardi Hawi, aktif di Sekolah Rakyat ngatakan, kebiasaan gotong royong ibu rumah Petani Payo-Payo

Sulitnya Membangkitkan Semangat Kerja Kolektif MULYANI HASAN

Sejak dua tahun lalu, Ibnul Hayat Tanrere bertekad meninggalkan Makassar untuk menempuh jalan pengorganisasian di desa. Ia seorang aktivis muda yang belum genap 30 tahun, sarjana ekonomi lulusan Universitas Hasanuddin. Sebelum mendalami masalah agragria bersama Sekolah Rakyat Petani (SRP) PayoPayo dia menjadi pengajar sukarela di sekolah terpencil di Kabupetan Gowa. Sejak dua tahun lalu, Ibnul Hayat Tanrere bertekad meninggalkan Makassar untuk me­ nempuh jalan pengorganisasian di desa. Ia seorang aktivis muda yang belum genap 30 tahun,

sarjana ekonomi lulusan Universitas Hasanuddin. Sebelum mendalami masalah agragria bersama Sekolah Rakyat petani Payo-Payo dia menjadi pengajar sukarela di sekolah terpencil


Foto: Dokumentasi Payo-Payo

HALAMAN 11

Ibnul Hayat (kedua dari kanan) di antara warga Bonne-Bonne, Polman, Sulbar, yang mendiskusikan kegiatan desa.

di Kabupetan Gowa. Ibe, sapaan akrabnya kemudian meneguhkan pendirian untuk tinggal bersama warga desa Bonne-Bonne, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Desa itu memang sudah menjadi desa dampingan SRP Payo-Payo sejak tahun 2007. Jarak antara Makassar-Polewali Mandar sekitar 250 kilometer, sekisar 10 jam perjalan足an darat. Jika pulang ke Makassar, Ibe kadang menikmati perjalanan menaiki motor, selebihnya dia menggunakan ang足 kutan umum. Di luar perkiraannya, ternyata tak mudah mengorganisir warga desa. Banyak faktor penyebabnya. Kerja kolektif hanya dapat diterap足 kan dalam peristiwa-peristiwa tertentu saja. Warga desa lebih banyak berjalan sendiri-sendiri, sementara kebijakan pemerintah semakin menghimpit petani.

Secara kulutural, praktik kerjasama hanya terlihat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial seperti acara pengantin, syukuran, dan acara lainnya. Pada kasus tertentu, kerjasama antarwarga juga masih kita dapatkan pada pembangunan rumah, terkhusus pembangunan rumah milik tokoh masyarakat. Inipun hanya berlaku pada pengerjaan bagian-bagian tertentu rumah kayu. Untuk rumah batu, pengerjaannya dilakukan oleh tukang dan buruh. Selain itu, tindakan kolektif juga masih ditemui di pertemuan petani prapanen (mappalili). Biasanya, ibu-ibu bertugas menyiapkan konsumsi pertemuan.

Pertemuan rutin ini dilakukan oleh setiap kelompok tani untuk membahas jadwal tanam dari masing-masing kelompok tani yang ada di desa Bonne-Bonne. Namun acara ini hanya formalitas, karena diskusi dua arah sangat jarang terjadi. Ketua kelompok hanya Berikut ini wawancara saya dengan Ibe, peri- mengumumkan jadwal tanam serta bibit yang hal pengalaman dia dalam membangun kerja digunakan. kolek足tif di Desa Bonne-Bonne. Sebagai fasilitator, bagaimana caranya Anda Bagaimana Anda melihat pola kerjasama menekankan pentingnya kerja kolektif kepaantar warga di Bonne-Bonne secara kultural? da warga desa? Contohnya?


HALAMAN 12

Upaya mengembalikan tindakan kolektif warga pada praktik sekolah lapang SRI (System of Rice Intensification). Warga secara bersama-sama menggarap sebuah lahan demplot yang diberi perlakuan organik. Setiap minggu anggota Sekolah Rakyat Petani Bonne-Bonne bertemu di sawah untuk melakukan pengamatan. Begitu juga dengan pemupukan dan penyemprotan hama. Hanya saja, upaya ini berhasil hanya di demplot. Setiap anggota kelompok memiliki kesibukan di sawah garapan mereka masingmasing.

ada aset publik yang dikelola masyarakat secara kolektif. Tanpa itu, kerjasama hanya sebatas tindakan, tidak menjadi sistem. Adakah contoh nyata mengenai keberhasilan sebuah kegiatan yang dilakukan secara bersama sama? Sampai hari ini, sepanjang pengamatan saya, belum ada tindakan kolektif yang tersistematisasi. Kerjasama hanya terlihat pada momen-momen tertentu.

Menurut Anda, apa yang paling utama untuk Apa kesulitan dalam proses memberi kesa- memulai sebuah kerja kolektif? daran pentingnya kerja kolektif? Aset kolektif. Kebanyakan warga sudah tidak memiliki banyak waktu senggang. Adapun waktu senggang mereka gunakan untuk beristirahat setelah sebagian besar waktu yang mereka miliki digunakan untuk bekerja dari pagi. Aktivi­ tas-aktivitas mereka mulai dari mengambil rumput untuk ternak dan ke sawah. Tak sedikit yang mencari sumber pendapatan lain menjadi buruh tanam, buruh panen, maupun buruh bangunan. Warga sudah lama meninggalkan budaya kerjasama, terutama di pekerjaan sawah. Modernisasi pertanian memaksa mereka untuk bertindak individualis. Terlebih lagi “basis material tidak ada”. Tidak ada kepemilikan maupun aset kolektif di desa. Adapun irigasi yang dibuat oleh pemerintah, dikelola oleh orang-orang tertentu dan tidak tidak dikelola secara bersama. Menurut hasil pengamatan Anda, apa faktor penyebab lunturnya kesadaran kolektif di sana? Modernisasi pertanian. Dalam kerja-kerja semacam apa, Anda mendorong warga untuk mengerjakannya secara bersama sama. Mengapa? Harus ada “basis material”. Maksudnya, harus

Kerja kolektif harus dibangun dari peng­ organisasian, baik oleh warga itu sendiri atau oleh orang/lembaga dari luar desa. Bagaimana caranya Anda mendorong warga untuk berorganisasi? Bagaimana bentuknya? Biasanya, dalam hal apa warga cenderung tertarik dan mau bekerjasama? Dan bagaimana Anda membuat hal itu menjadi peluang untuk mengasah kerjasama warga untuk hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Hampir tidak ada lagi ketertarikan warga untuk bekerja sama. Kepemilikan individu menjadi salah satu sebab yang melunturkan tindakantindakan kolektif. Jadi, menurut pandangan saya, meskipun memiliki waktu luang yang sempit, para petani penggarap yang notabene kepemilikan aset individunya kecil, memiliki peluang untuk melakukan tindakan-tindakan kolektif. Di tahun ini, pendekatan dilakukan kepada kelompok petani penggarap untuk mengelola lahan demplot SRI yang disewa oleh SRP Payo-Payo. Pendekatan ini terlihat lebih efektif dibanding dengan pendekatan yang dilakukan pada kelompok petani “pemilik” di tahun lalu. Antusiasme kelompok cenderung lebih terlihat, meski mengembalikan budaya kerjasama yang bertahun-tahun sudah terkikis tidak mudah.


HALAMAN 13

Dari Ingatan Kolektif hingga Gagasan Baru NURHADY SIRIMOROK

Foto: Dokumentasi Payo-Payo

Memori kolektif dan gagasan baru, dua hal terpisah bentangan waktu, dapat berpadu menciptakan kerja kolektif satu kelompok petani di desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Mereka adalah anggota Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompobulu, yang berdiri sejak 2008.

Para perempuan Desa Soga mempersiapkan makanan untuk kerja bersama.

Ingatan dan pengalaman kerja kolektif memudahkan mereka membangun (kembali) praktik kerja kolektif, baik dalam jenis pekerjaan yang sudah pernah dilakukan maupun yang baru sama sekali.

setidaknya satu setengah dekade sebelum mereka mulai menggunakannya kembali. Sementara untuk menerapkan SRI mereka harus mengerjakan sawah secara lebih telaten, dengan menanam hasil semaian padi batang demi batang. Mereka tak mungkin melakukannya Ketika dihadapkan pada kebutuhan menseorang diri. Mereka harus bekerja bersama erapkan gagasan baru sistem pertanian baru di lahan setiap anggota secara bergiliran. yang padat kerja, System of Rice intensification (SRI), para petani itu menoleh ke belakang Dulu, di satu hamparan sawah, para petani untuk mengenang bagaimana dulu mereka yang punya lahan di tengah hamparan bahkan dapat mengerjakan sawah secara bersama. masih bekerja memasang pagar mengelilingi tepi hamparan, sekalipun pengerjaan lahan Praktik kerja bersama itu telah hilang


HALAMAN 14

Keyakinan ini berkontribusi besar terhadap kemampuan SRP Tompobulu mempertahankan kerja kolektif mereka setidaknya sejak 2009, mulai dari pembangunan saluran irigasi ke hamparan yang selalu kekurangan air di musim kemarau, eksperimen dan perluasan SRI, hingga pemba­ ngunan usaha-usaha ekonomi bersama. mereka telah rampung.

kemampuan SRP Tompobulu mempertahankan kerja kolektif mereka setidaknya sejak 2009, mulai dari pembangunan saluran irigasi ke hamparan yang selalu kekurangan air di musim kemarau, eksperimen dan perluasan SRI, hingga pembangunan usaha-usaha ekonomi bersama.

Pemanfaatan memori kolektif ini kemudian menghasilkan bukti-bukti yang baru akan kemanjuran kerja bersama, sesuatu yang mereka bangun sendiri. Ini sangat membantu dalam mempertahankan dan meluaskan jangkauan kerja kolektif mereka. Rangkaian kerja kolek­ tif di seputar sistem pertanian padi organik Menurut anggota SRP Tompobulu, mereka SRI yang mereka selenggarakan kemudian membangun saling percaya dengan seringnya bertemu dalam mengerjakan program-program membesar. mereka. Banyaknya kegiatan bersama berhasil Dalam kecepatan yang tidak pernah mereka menumbuhkan rasa saling percaya antar angbayangkan, semakin banyak petani lain yang gota kelompok. Intensitas pertemuan memammengikuti jejak mereka. Bukti-bukti keberpukan mereka membangun kebiasaan membi­ hasilan mereka menjadi daya tarik bagi petani carakan rencana kerja secara terbuka. lain. Seorang anggota kelompok menyimpulkan, “yang penting adalah ada pembuktian Mereka menyokong kerja bersama dengan [bahwa] kalau mengerjakan secara bersama, membuat serangkaian aturan kelompok, se­ perti membuat jadwal pertemuan rutin setiap [banyak hal] bisa dilakukan.” malam minggu saat melaksanakan sekolah Gagasan baru yang terbukti dapat menyelelapang dan setiap hari kamis ketika mengersaikan persoalan nyata petani, menurunkan jakan saluran air pada waktu pembangunan ongkos produksi sehingga tidak harus mensaluran air dari Sungai Batumoppo. gutang sebelum menanam, tampaknya tidak Mereka pun membangun kepercayaan denmemerlukan kampanye atau sosialisasi. gan saling mendukung sesama anggota dan *** menciptakan hubungan setara. “Jadi kalau Sistem penanaman baru ini pun membang- ada pekerjaan semua anggota wajib bekerja, kitkan kembali semangat yang juga bersifat kadang mengecualikan bendahara yang berkolek­ tif: mereka kembali percaya akan ke- tugas mengurus keuangan,” kata seorang angmanjuran kerja kolektif dan lebih yakin ter- gota kelompok. hadap kehandalan kelompok yang menaungi Kerja kolektif dalam usaha pertanian maupun kerja kolektif mereka. pembangunan dan perawatan fasilitas berDengan demikian, pemanfaatan memori dan sama bukan hal baru bagi anggota kelompok bukti kerja kolektif warga petani dapat men- dan warga Tompobulu secara umum. Tetapi ciptakan kepercayaan terhadap sesama warga SRP Tompobulu menghidupkannya kembali, (atau sesama anggota kelompok bila kerja meluaskan jangkauannya, sekaligus memkolektif dilaksanakan di dalam kelompok), bangun beberapa sistem praktik kolektif baru juga terhadap ‘kelompok’ dan ‘kerja kolektif ’ bagi warga Tompobulu. itu sendiri. Mereka membangun kerja kolektif yang lebKeyakinan ini berkontribusi besar terhadap ih sistematis, bertahan lebih lama, termasuk


Foto: Dokumentasi Payo-Payo

HALAMAN 15

Warga membangun bak penampungan air untuk Desa Soga, Soppeng, Sulawesi Selatan.

dalam kegiatan-kegiatan bersifat rutin. Warga desa ini memang tidak mengalami kesulitan untuk berhimpun dalam kerja-kerja yang tidak bersifat rutin seperti ritual-ritual siklus hidup—merayakan kelahiran, pernikahan, ‘naik’ rumah baru, hingga membantu keluar­ ga yang berduka.

petani, misalnya, menjadi bahan pembicaraan petani yang merasakan dampaknya. Mereka merasakan beratnya mengolah lahan yang terpisah-pisah, namun tidak dapat membiarkan sebagian lahan itu menganggur sebab akan berdampak pada berkurangnya penghasilan. Ketika ditanya solusinya, salah satu anggota kelompok menjawab bahwa untuk mengurangi beban kerja dengan lahan yang terpisah, mereka sedang memikirkan jenis komoditas yang bisa menghasilkan pendapatan lebih banyak.

Di luar sejumlah kerja kolektif bersifat ‘dadakan’ itu, SRP Tompobulu mengadakan sejumlah pertemuan rutin untuk merencanakan beragam program kelompok, menerapkan dan kemudian mengevaluasinya secara bersama pula—lalu Karena itu, beberapa musim terakhir mereka mengulangnya dalam bentuk yang lebih baik. mulai bereksperimen dengan beberapa tana*** man musiman bernilai tinggi, termasuk bawang Rangkaian diskusi dalam membahas rencana, merah atau kol. Mereka menggunakan berbagai proses dan hasil kerja kolektif juga menghasil- peluang belajar, baik dari proyek pemerintah kan gagasan-gagasan baru yang berpotensi maupun lembaga non pemerintah untuk ke­ mempertahankan kerja kolektif petani sekali- perluan itu. Mereka belajar dari pelatih-pelatih gus mengatasi sejumlah masalah mereka. yang didatangkan SRP Payo-Payo maupun mePersoalan sebaran lahan yang dapat ber- manfaatkan studi-studi banding yang dispondampak terhadap kurangnya pendapatan sori pemerintah.


Foto: Dokumentasi Payo-Payo

HALAMAN 16

Warga mengangkut batu sungai, salah satu bahan utama pembangunan bak penampungan air di Desa Soga.

Demikian pula, untuk mengatasi persoalan tingginya ongkos produksi padi sawah yang banyak dikeluhkan petani kecil dengan modal pas-pasan. Setelah melakukan ujicoba dan menerapkan SRI yang sudah terbukti mengurangi biaya produksi secara signifikan, mereka berpikir untuk menghapus upah tanam buruh yang membebani petani kecil, yang selalu harus meminjam uang untuk bisa melakukan penanaman padi.

semakin banyak warga menerapkannya tanpa diminta karena melihat ongkos produksi yang murah—bisa tanpa input kimia sama sekali.

Mereka hendak menggantinya dengan kerja kolektif bergiliran, seperti yang telah mereka buktikan berhasil ketika memulai SRI sejak tahun 2009. Sebagaimana disebut di atas, SRI memang membutuhkan kerja lebih intensif, namun itu dapat diatasi dengan kerja kolektif. Kini

Mereka sedang menunggu keputusan dari pemerintah desa. Mungkin kerja kolektif warga sebentar lagi kembali menjadi aturan desa, sebagaimana di masa lalu.

Bila usulan tentang aturan penghilangan ongkos buruh tanam di satu hamparan bisa diterima, mereka dapat bekerja kolektif mengatasi masalah bersama. Satu manfaat lain dari penghilangan upah buruh adalah petani di satu hamparan akan bekerja secara serempak sehingga mengurangi risiko serangan hama.

Nurhady Sirimorok, Ketua Badan Pengurus Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.