Majalah dimensi 25

Page 1



DIMëNSI redaksi Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMëNSI STAIN Tulungagung Pelindung Ketua STAIN Tulungagung (Dr. Maftukhin, M.Ag) Penasehat Pembantu Ketua (PK) III (Drs.Nur Effendi, M.Ag) Pimpinan Umum Abdul Mukhosis Sekretaris Umum Wakid Roja’i Bendahara Rizkhi Puspaningtyas Pemimpin Redaksi Reni Dwi Sevrianti Dewan Redaksi Laili Khasanah (Co), Bramanta Putra P, Binti Mamlu’atul Khasanah, Nike Frorestian Afif, Arini Hidayati, Andi Mahifal, Kasful Anwar Departemen Litbang Bramanta Putra P (Co), Laili Khasanah, Eka Latifah, Rina Wahyuni Departemen Perusahaan Adib Tamami (Co), Moch. Aziz Subhan, Yusuf al Amin, Laily Maulidiana Fotografer M. Riyadhul Fanani, Nur Ani Nisfu Fitroh Desain Grafis M. Nuril arham Reporter Ahsanul Kholidin, Fikri Mustofa, Gusnur, A. Khoiri, Ismul Azam, Ana Zulianingrum, Rizalullah H Mustofa, Winarsih, Zetik M, Habibur Rohman, Anita W Hextaningrum, Nur ani Nisfu Fitroh, Ahmad Zaini, Moh. Muhsin, Khoiru Zaim, Nurul Khasanah El Fitri, Eka Putra, Moch. Zainudin, Moch. Asrul Rifa’I, Moch. Iwan Fauzi, Juang Eko P, Siti adibatul, Ana Zuana,Zuliana Dwi Alamat Redaksi Jl. Mayor Sudjadi Timur 46 Tulungagung Kodepos 66221, Phone: (0355)321513 E-mail: dimensita@yahoo.co.id

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam Persma ! Salam sejahtera kami sampaikan kepada segenap pembaca. Walaupun gejolak permasalahan dan bencana tengah rajin menimpa Negeri yang berusaha membangun generasi mudanya ini . Hal tersebut tidak akan menyurutkan semangat kami untuk tetap memberikan hembusan nafas dan semangat perubahan untuk semua kawan-kawan mahasiswa khususnya para pembaca DIMёNSI. Alhamdulillah, akhirnya majalah DIMeNSi edisi XXV telah terbit. Sebelumnya atas nama redaksi kami memohon maaf atas keterbatasan ini. Semoga teman-teman mahasiswa tetap berkenan menjadikan majalah DIMeNSi sebagai sumber informasi di kampus ini. Di edisi XXV, kali ini DIMëNSI berbicara mengenai kehidupan anakanak, khususnya hak-hak mereka. Dengan tema “ Dinamika Anak dalam Teropong Kehidupan ”. Seperti kita tahu, anak-anak merupakan individu yang sangat rentan terhadap pelanggaran. Mereka masih belum bisa mempertahankan diri dan menuntut hak-haknya di Indonesia sendiri yang notabene memilki lebih dari 80 juta anak (kompas,1 Februari 2010), sering kedodoran dalam hal implementasi perlindungan terhadap anak. Padahal anak-anak merupakan aset masa depan, artinya kehidupan mendatang suatu negara dapat dilihat dari kehidupan generasi sekarang. Munculnya kasus-kasus seperti kekerasan terhadap anak, pekerja anak, anak DO (drop out), anak terjangkit penyakit mematikan seperti HIV/AIDS sehingga membatasi kehidupannya, merupakan suatu bukti bahwa dinamika kehidupan anak sekarang mengkhawatirkan. Walaupun berlembar-lembar UU dan Perda tersedia, tetapi apabila kita sebagai masyarakat yang cukup dekat dengan mereka tidak mempunyai sensibilitas maka akan sia-sia saja. Karena masalah anak-anak adalah permasalahan lintas sektor. Mustahil akan berhasil jika ditanggung satu sektor saja. Melalui majalah DIMeNSI XXV, kami berusaha untuk memberikan alternatif baru semoga masyarakat khususnya, mahasiswa kembali timbul sensibilitasnya terhadap kehidupan anak-anak. Bahwa ada suatu kehidupan di sekitar kita yang harus kita jaga karena mereka (anak-anak) merupakan penerus kehidupan sekarang. Akhirnya, segala hal yang bekaitan dengan saran dan kritik akan tetap kami harapkan dari teman-teman mahasiswa. Tulisan ini hanya bagian dari proses kami sebagai mahasiswa yang mencoba menyuarakan dinamika kehidupan masyarakat. Terima kasih Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

3


Indeks

“Peh lek cita-cita ku jane pengen dadi polisi mas, tapi yo piye eneh takdire ngene iki (wah…kalau cita-citaku sebenarnya ingin menjadi polisi tapi ya… bagaimana lagi takdirnya sudah seperti ini; red)” ujar Puji (14), pasrah. Halaman 5

Poto : Anak-anak Desain : M. Nuril Arham

Penanganan permasalahan HIV/AIDS terutama pada anakanak memang bukan hal yang gampang. Karena menyangkut berbagai aspek, maka penanganannya pun harus menyeluruh atau bersifat holistik. Mereka (anak terdampak HIV/AIDS; red) juga memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya. Halaman 10

Daftar Isi

Salah satu desa di Tulungagung yang terdapat kurang lebih hampir 70% warganya mengalami DO Transisi adalah Desa Karanganom, Kec. Kauman. Dimana yang dimaksud DO transisi tersebut adalah anak-anak yang tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ataupun anak-anak yang putus sekolah. Halaman 14 DIMëNSI redaksi halaman .... 1

Teras halaman .... 36

Suara DIMëNSI halaman .... 3

Editorial halaman .... 40

DIMëNSI utama halaman .... 5

Budaya halaman .... 41

Nusantara halaman .... 18

Suplemen halaman .... 46

Swara halaman .... 26

Resensi halaman .... 50

Klik halaman .... 28

Sastra halaman .... 55

DIMëNSI merupakan media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung yang menghadirkan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan, maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpatisipasi demi terwujudkan Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain. Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi.

4

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010


Suara DIMëNSI

Prodi yang Terpinggirkan Asssalamu ‘alaikum, Hallo…DIMëNSI, Aku mau nitip uneg-unegku dan teman-teman di PGMI. Ini berkaitan dengan ruang atau lokal, masa’ selama semester ini (semester 5). Kami selalu mendapatkan lokal 30-35. Padahal ruang itu kan belum selesai dibangun. Bahkan batu batanya pun baru didatangkan. Alhasil, kami selalu tidak mendapatkan ruang dan harus kuliah lesehan di Toyota. Padahal dosen selalu meminta untuk di carikan ruang karena kuliah di ruang terbuka memang sama sekali tidak nyaman dan konsentrasi sering terganggu. Dan hal tersebut ditambah dengan jumlah tikar yang tidak mencukupi, terkadang kami tidak mendapat tikar. //Umi Mutoharoh V// Red : Wa’alaikum salam. Hallo juga… Memang pada semester ini atau pada tahun ajaran ini, jumlah mahasiswa yang melaksanakan kuliah terbuka alias kuliah tidak di dalam ruangan semakin bertambah. Bahkan masjid yang biasanya sepi pada sore hari tidak juga reda, malah semakin ramai. Sebenarnya untuk mensiasati itu, sepertinya pihak kampus menerapkan kuliah malam untuk beberapa semester. Tetapi agaknya hal tersebut tidak berpengaruh. Semoga pihak kampus segera mendengar dan menindaklanjuti kegelisahan teman-taman di PGMI. Skripsi yang Bagaimana? Hai… Dim…! Gima.na Kabarnya…? Aku mau bertanya tentang kepastianku dan teman-teman di PGMI. Mengenai bagaimana nanti skripsi bagi prodi PGMI, apakah bentuknya PTK . ( Penelitian Tindakan Kelas) atau seperti skripsi seperti prodi yang lain?. Sampai sekarang pun sepertinya belum ada yang kepastian dari Kaprog PGMI, padahal semakin dini, kita kan bisa mempersiapkan semuanya.//zel@ V// Red : Hai… juga, kabar baik. PGMI memang merupakan prodi termuda, sehingga belum mempunyai lulusan. Akan tetapi kita mahasiswa kan harus diper-

lakukan sama, walaupun prodi termuda. Setidaknya birokrasi harus segera memberikan kepastian. Mengingat, semester 7 juga harus segera mempersiapkan skripsinya. Semoga kebingungan teman-teman segera dijawab oleh birokrat yang bersangkutan. Laboratorium atau ????? Ass’alaikum wr.wb Salam kenal DIMeNSI ! Namaku Latief, Prodi TMT semester I Terima kasih atas kesempatannya ikut mengisi rubrik ini. Aku ingin menyampaikan uneg-unegku nih…Mengapa di laboratorium matematika fasilitasnya kurang mendukung?. Yang ada hanya barang hasil karya mahasiswa dan berserakan alat peraga. Kelihatannya untuk ukuran sebuah laboratorium, fasilitasnya kurang. Segitu saja. Trims.//Latief TMT I// Red : Wa’alakum salam wr.wb. Salam kenal juga Latief ! DIMeNSI juga ngucapin terima kasih neh…kamu sudah mau ikut menyuarakan aspirasi teman-teman mahasiswa. Semoga semakin banyak teman-teman mahasiswa yang tidak segan untuk menyuarakan aspirasinya. Permasalahan fasilitas yang kurang berfungsi atau sudah berfungsi tetapi kurang maksimal memang selalu muncul. Problematika klasik yang selalu mewarnai kehidupan kampus kita. Laboratorium Ushuluddin Hallo Dim… Aku mau nitip uneg-uneg nie… Singkat saja, kenapa aku kuliah selalu tidak pernah di kelas, khususnya dalam semester ini? Dan juga mengapa jurusan Ushuludin tidak mempunyai laboratorium seperti jurusan yang lainnya?.Terima kasih.//Mu@die TH V// Red: Hallo juga… Terima kasih sudah menyumbangkan suaranya, Permasalahan kamu sama dengan yang dialami dengan kebanyakan teman-teman mahasiswa. Kalau masalah laboratorium, seharusnya memang suatu perlu adanya suatu pemerataan fasilitas, karena untuk menunjang kegiatan akademik. Suara DIMëNSI menerima segala kritik,saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, e-mail: dimensita@yahoo. co.id atau langsung bisa diantar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, Serat, DIM-ar, atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi.

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

5


Iklan Layanan ini dipersembahkan DIMĂŤNSI sebagai bentuk kepedulian atas lambatnya usaha pemerintah dalam memberantas pekerja anak dan kemiskinan


Benang Kusut Pekerja Anak Dalam Dinamika Kehidupan “Peh lek cita-cita ku jane pengen dadi polisi mas, tapi yo piye eneh takdire ngene iki (wah…kalau citacitaku sebenarnya ingin menjadi polisi tapi ya… bagaimana lagi takdirnya sudah seperti ini; red)” ujar Puji (14) pasrah.

T

ulungagung yang dikenal juga sebagai kota INGANDAYA (Industri, Pangan, dan Budaya) ternyata juga menyimpan segudang persoalan. Mulai dari permasalahan kesejahteraan, kurangnya lapangan pekerjaan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Tidak terkecuali masalah anak. Di Indonesia sendiri permasalahan tersebut (anak; red) mulai marak beberapa tahun belakangan. Akan tetapi, yang muncul justru berbagai masalah kekerasan terhadap anak. Mulai dari, masalah penyiksaan fisik dan psikis, trafficking (penjualan anak), pekerja di bawah umur, eksploitasi, dan lain-lain. Problem tentang pelanggaran terhadap hak anak sendiri sebenarnya sudah mempunyai dasar hukum yang kuat. Setiap tindakan yang disengaja atau tidak disengaja melanggar hak anak dan membuat mereka tidak dapat mendapatkan haknya, maka hal tersebut dapat dikenai sanksi hukum. Sedangkan, yang berkaitan dengan eksploitasi, atau pekerja anak memang permasalahan yang paling sering kita temui di masyarakat. Kebanyakan bermuara dari permasalahan ekonomi. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini terdapat 4 juta dari 58,8 juta anak berusia 5-17 tahun yang terpaksa bekerja. Dari angka tersebut, sedikitnya 1,7 juta adalah pekerja anak. Selanjutnya, sekitar 50 persen

dari anak-anak tersebut bekerja kurang lebih 12-21 jam per minggu. Dan yang dapat dikategorikan sebagai pekerja anak adalah 35,1 jam per minggu (Survei Badan Pusat Statistik dan ILO dalam Survei Pekerja Anak 2009). Kondisi Pekerja Anak Dalam Perda Kab. Tulungagung Nomor.10 tahun 2009 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 secara jelas menyebutkan bahwa, “Pekerja anak adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Akan tetapi, mengapa kita masih sering melihat anak-anak berusia sekitar 14 tahun– bahkan ada yang di bawahnya- bekerja di jalan-jalan atau industri-industri?

Dok.DIMeNSI

Memang begitulah realitasnya di masyarakat. Kebanyakan dari mereka (pekerja anak; red) beralasan karena faktor ekonomi, tidak ingin melanjutkan pendidikan, atau karena “terpaksa” bekerja. Padahal, menurut Undang-undang yang berlaku mereka yang masih termasuk Anak Usia Sekolah (6-18 tahun; red) yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dan berkonsentrasi untuk meraih cita-cita. Tetapi kembali keadaanlah yang berbicara. Di Tulungagung sendiri banyak industri-industri rumahan yang terlihat masih mempekerjakan anak dibawah umur. Seperti industri konveksi, industri marmer, pemecah batu dan lain-lain. Salah satunya adalah Puji Santoso (14). Warga Dusun

Seorang anak yang sedang mengais sampah

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

7


Bayanan,Wajak,Boyolangu yang telah bekerja selama 3 tahun lebih setelah dia menamatkan pendidikannya di Sekolah Dasar (SD). Dia memutuskan tidak melanjutkan pendidikannya, karena lebih memilih untuk bekerja. Dengan bekerja dapat menghasilkan uang, dan dapat membeli kebutuhannya tanpa harus meminta kepada orang tua. Sangat mandiri memang, tetapi harga yang harus dibayar juga mahal yaitu berhenti sekolah. “Alah nyapo mas sekolah duwur-duwur lek sok panggah dadi wong tani, mendingan nyambet gawe oleh duwet mas (Wah…kenapa sekolah tinggi-tinggi kalau nanti tetap menjadi petani, lebih baik bekerja mendapat uang; red).” ungkapnya polos. Mendengar ungkapan tersebut telihat bahwa paradigma yaitu pendidikan bukanlah hal yang penting lagi dalam kehidupan seseorang, terlanjur melekat pada diri Puji dan kebanyakan pekerja anak. Mereka lebih memikirkan bagaimana memenuhi atau membantu perekonomian keluarga. Pada awalnya, biasanya mereka hanya ikut-ikutan dan membantu sekedarnya dengan menerima upah sekadarnya. Tetapi, setelah mengetahui dapat menghasilkan uang sendiri tanpa harus mengandalkan orang lain lebih menyenangkan, mereka manjadi tidak lagi ikut-ikutan tetapi benar-benar bekerja. Lalu bagaimana dengan orang tua?. Dalam kisah Puji, Maryono selaku ayah Puji mengaku keinginan untuk bekerja datang dari diri sang Anak. Dia terdorong untuk bekerja karena saat dia meminta uang untuk membeli sesuatu seperti rokok, orang tuanya tidak mampu memberi. Akhirnya, Puji berinisiatif untuk bekerja agar memperoleh panghasilan sendiri. Awalnya, anak

8

ke-3 dari empat bersaudara ini bekerja sebagai buruh tani. Ndaut (menyabut benih padi untuk ditanam;jawa; red) itulah yang sering dia lakukan. Sedangkan jika musim tanam berakhir, dia bekerja di pengrajin sangkar burung. Dari pihak orang tua sendiri sebenarnya sudah ada larangan kepada Puji untuk bekerja tetapi penolakan tetap terjadi. ” Bocahe kuwi nek diomongi gak kenek, jane aku yo pingin mas nyekolahne anak nyampe dhuwur, lawong bapak’e gor mek lulus SD mosok anak’e yo melumelu lulus SD, kan yo ora-orane dhuwure bapak’e, sakjane wes tak larang ojo kerjo disik jek cilik tapi panggah ngeyel ae (anaknya itu kalau diberitahu susah mas, sebenarnya saya ingin menyekolahkan anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, kan aku cuma lulus SD masa anak saya juga tidak lulus SD, dan saya sudah melarangnya untuk tidak bekerja, masih kecil tetapi dia tetap ngotot; red )”. Kalau dari segi biaya Bapak 3 anak ini mengaku tidak ada masalah, walaupun dia hanya bekerja sebagai petani terkadang menjadi penjual penthol (bakso daging; red) dan ibunya sebagai buruh pengepak ikan. “Lek masalah biaya sekolah ae aku mampu mas, tapi bocahe seng gak gelem nerosne, aku dadi wong tuo bocahe gak gelem yo piye neh, gek lek dipekso malah gak karu-karuan (kalau masalah biaya sekolah saja saya mampu mas, tapi anaknya tidak mau melanjutkan, saya jadi orang tua anaknya tidak mau ya… bagaimana lagi, dan kalau dipaksa malah jadi tidak karuan; red). Bapak 3 anak ini menambahkan jika Puji memang malas dalam hal pelajaran tetapi dia rajin jika disuruh bekerja. Hal yang berbeda diungkap-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

kan oleh Mariyat, tetangga Puji. “Kan dia itu satu sekolah dengan anak saya, kata anak saya sih kalo masalah pelajaran ya… cepat tanggap tapi dari orang tuanya sendiri yang gak bisa mendidik anaknya sehingga anaknya lebih memilih bekerja dari pada sekolah”. “Saya akui mas memang anaknya itu kalau bekerja sangat rajin, tapi dari sifatnya itu lo mas nakalnya ya… agak lumayan, terus dalam pergaulannya tiap hari mesti sama anak-anak yang lebih tua, jadi dalam tingkah polah, fikirannya, ikut-ikutan kaya orang tua saja”. Salah satu alasan yang mendasar, mengapa anak di bawah umur dilarang untuk bekerja secara komersil, kalaupun harus harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi? Alasannya adalah, mereka sangat rentan terhadap pengaruh dunia kerja yang pasti mempunyai komunitas yang beragam. Tidak ada pemisahan antara yang dewasa dan anak-anak. Mereka (anakanak yang bekerja; red) sering dianggap sudah dewasa sehingga disamakan dengan pekerja dewasa. Termasuk pengaruh pola fikir, tingkah laku, kata-kata kasar yang dikhawatirkan membuat mereka dewasa sebelum waktunya. Seorang pekerja anak juga sama seperti anak-anak pada umumnya. Mereka mempunyai hak yang sama, walaupun pada usia yang masih kecil mereka sudah bekerja, dengan alasan beragam. Mereka juga masih mempunyai cita-cita. Seperti Puji yang waktu kecil bercita-cita sebagai polisi. “Peh lek cita-cita ku jane pengen dadi polisi mas, tapi yo piye eneh takdire ngene iki (wah…kalau cita-citaku sebenarnya ingin menjadi polisi tapi ya… bagaimana lagi takdirnya sudah seperti ini; red)” ujarnya


pasrah. Faktor Ekonomi Seperti yang sudah disinggung di atas, kebanyakan dari mereka (baca; pekerja anak) berlatarbelakangekonomi. Keadaan orang tua yang sudah tidak mampu membiayai sekolah atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi menjadi prioritas daripada duduk di bangku sekolah. Di Tulungagung sendiri sudah ada Perda yang memuat tentang Perlindungan Anak, khususnya pekerja anak yaitu Pasal 12-16. Dalam pasal tersebut mengatur tentang hak yang harus diterima pekerja anak, bantuan perlindungan, kewajiban orang tua/ wali, sampai syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika memutuskan untuk mempekerjakan anak dibawah umur. Akan tetapi, masalah pekerja anak ibarat rantai yang kompleks. Semua aspek saling mempengaruhi. Kita tidak bisa semata-mata memandang permasalahan pekerja anak dari satu sudut pandang, yaitu kemauan anak untuk membantu perekonomian orang tua. Akan tetapi, keadaan lingkungan maupun adanya kebutuhan dari pihak yang mempekerjakan juga patut diperhatikan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran pemerintah. Seperti diungkapkan, pemilik usaha penggilingan batu selaku majikan Puji. Dia mengaku juga serba salah ketika pertama kali memutuskan untuk mempekerjakan Puji. Karena, selain alasan usianya yang masih dibawah umur, juga karena khawatir tidak akan kuat, karena bekerja di pemecah batu sangatlah berat. “Sak jane yo fikir-fikir arepe nerimo bocah sanu’e gak kuat kan yo neng kene kerja berat. Tapi aku yo mesakne mas, daripada

nganggur nek omah kan yo ben enek kegiatan (sebenarnya saya itu juga fikir- fikir akan menerima karyawan kecil itu, soalnya saya kasihan bila nanti tidak kuat kan disini kerjanya berat; red)”. Sepertinya, hal tersebut tidak dapat menghentikan niat Puji untuk bekerja. Apapun pekerjaannya yang penting adalah dapat menghasilkan uang yang setidaknya dapat memenuhi kebutuhannya tanpa meminta kepada orang tuanya. Supiyan mengaku tidak bisa melihat banyak pemuda di sekitar rumahnya menganggur tidak punya kerjaan. Maka, dia mengiyakan saja ketika ada yang melamar kerja padanya, walaupun usianya masih kecil. Saat ditanyakan mengenai penghasilan kerja, anak yang pernah bercita-cita menjadi polisi ini mengaku sudah cukup puas dengan penghasilannya. ”Nek masalah bayarane yo lumayan mas lawong sedino ae Rp23.000 iku gaji tetep mas, gurung lek pas enek ceperane ngisi mobil yo Rp1.000 tapi kan yo gak mbendino” (nek masalah penghasilan ya… lumayan mas kan sehari Rp23.000 itu masih gaji tetapnya mas belum lainnya

Dok.DIMeNSI

kadang-kadang ada yang mengisi mobil ya…dibayar Rp10.000 tapi itu tidak setiap hari; red)”. Jika dibandingkan dengan jumlah pengeluaran Puji mengaku, “Sak jane yo ndak cukup mas tapi timbang ndak enek penggawean liyane (sebenarnya ya… tidak cukup tapi daripada tidak ada pekerjaan lainnya; red)”. “Tapi lek misale eneg pekerjaan liyane seng luweh penak yo gelem mas (Tetapi jika misalnya ada pekerjaan lainnya yang lebih baik ya… mau mas; red)”. Selain alasan khawatir terganggu psikologisnya, pekerja anak, bila dilihat dari segi fisik belum mempunyai ketahanan fisik layaknya pria dewasa. Apabila dipaksakan takut menghambat pertumbuhannya. Puji menuturkan, saat bekerja bukannya tanpa hambatan misalnya, karena belum pernah bekerja dan minim pengalaman maka dia sering tidak diterima bekerja; kalaupun diterima maka dia sering menerima protes dari bos dikarenakan apa yang dia kerjakan kurang maksimal. Hal tersebut agaknya harus dimaklumi. Dengan pendidikan yang hanya sampai tingkat Sekolah Dasar

Seorang anak membawa lumpang dagangannya

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

9


saja pasti belum memiliki keterampilan kerja yang mumpuni. Biasanya, kebanyakan dari mereka (pekerja anak; red) hanya bekerja di sektor kasar saja. Artinya, hanya bekerja pada pekerjaan yang mengandalkan otot dan kekuatan fisik. Lalu, kapan waktu untuk bersosialisasi?. Pada anak-anak pada umumnya, sosialisasi lebih banyak di sekolah. Sedangkan, pekerja anak sosialisasi lebih banyak berada di tempat kerja. Padahal di tempat kerja tidak terdapat pembedaan usia, artinya pekerja dewasa bercampur dengan pekerja di bawah umur. Puji sendiri mengaku sosialisasi berlangsung pada malam hari setelah pulang dari bekerja. Dia membagi waktu kalau jam 8 pagi sampai jam 4 sore digunakan untuk bekerja, malamnya digunakan untuk bermain, teman bermainnya pun bukan teman sebayanya “Dolane yo pas bengi kadang ngopi karo konco-konco. Akeh-akeh yo koncoku kerjo mas (bermain waktu malam hari terkadang ngopi, kebanyakan ya…teman kerja; red)”. Ujar Puji. “Lha lek konconan karo sak umuranku gak enek sing nduwe duit (kalau bermain dengan yang seumuran saya tidak ada yang mempunyai uang; red) Imbuh Puji. Dalam hal ini Kepala Desa Bayanan, Wajak, Bapak Sumarno menanggapi, “Kalau berapa persen tidak ada data yang jelas mas. Karena mayoritas penduduk desa di sini lebih suka bekerja daripada sekolah. Ini terbukti bahwa anak desa sini menempuh SMP itu sudah puas.” “Melihat anak yang seharusnya memperoleh pendidikan (baca: sekolah) tapi sudah bekerja itu sangat menyedihkan. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua”. Imbuh Sumar-

10

no sambil mengakhiri pembicaran dengan kru DIMëNSI. Upaya Pemerintah Masalah pekerja anak merupakan permasalahan yang kompleks, dan melibatkan hampir seluruh sektor. Permasalahan pekerja anak hampir dialami oleh seluruh negara. Baik negara maju maupun negara berkembang, seperti Indonesia. Sebenarnya pemerintah sendiri sadar akan pentngnya perlindungan terhadap pekerja anak. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah yang meratifikasinya melalui Keputusan Presiden nomor 36/1990 tanggal 25 Agustus 1990 dan mulai berlaku 5 Oktober 1990. Melalui UndangUndang ini Pemerintah berniat untuk memberikan perlindungan secara hukum untuk pekerja anak. Sehingga apabila, terjadi pelanggaran maka dapat ditindak tegas secara hukum. Akan tetapi, setelah sekian tahun agaknya permasalahan justru di wilayah implementasinya. Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa problem pekerja anak merupakan permasalahan yang kompleks. Maka, penyelesaiannya pun juga harus melibatkan seluruh sektor. Ditemui di kantor dinasnya, Bapak Fuad selaku Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi menegaskan bahwa, “Untuk kategori anak adalah usia di bawah 18 tahun dan dari Diknas Pendidikan sudah ada program keluarga harapan (kejar paket; red). Itu pun juga kerja sama dengan Dinas Sosial”. Bapak Fuad menambahkan, ”Kalau untuk jumlah pekerja anak di Tulungagung, saya kurang tahu. Karena ini bukan kerja dari Dinas sosial untuk mengenai pendataan jumlah, itu di LPA.” Imbuh Fuad. “Dinas Sosial mencari data

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

dari LPA (Lembaga Perlindungan Anak; red). Kemudian tarik 60 anak untuk ditanya. Bila masih ingin sekolah, maka disekolahkan dan bila tidak ingin sekolah maka diberi pengajaran keterampilan misalnya, pelatihan montir yang diadakan di Blitar dengan waktu 6 bulan. Setelah 6 bulan pelatihan Dinas Sosial tidak langsung membiarkan tetapi tetap memantau 60 anak tersebut yang sudah dibekali keterampilan tersebut. Untuk perekrutan 60 anak tersebut diambil dari LPA dengan berapa KK (Kepala Keluarga) miskin dan diambil data yang terkumpul duluan. Selain itu Dinas Sosial juga bekerja sama dengan BLK (balai latihan kerja) yang merupakan program provinsi untuk memberi penyuluhan ke desa-desa dan mendata warga desa yang putus sekolah atau yang belum punya keterampilan untuk dimasukkan ke BLK untuk pembekalan keterampilan”. Terang Fuad Problematika anak merupakan permasalahan yang harus segera dicari solusinya. Seperti yang disinggung di atas, bahwa permasalahan tersebut jika dbiarkan terlalu lama ibarat menanam kehancuran bangsa sendiri. Karena, sekali lagi anak merupakan aset masa depan bangsa. Banyak lembaga independen yang telah mengadakan sensus pekerja anak, hasil yang didapatkan meningkat setiap tahunnya. Hasil sensus tersebut memang tidak 100% akurat tetapi setidaknya menjadi representasi dan bagi pemerintah dapat digunakan sebagai acuan untuk mengambil kebijakan,segera.// M-chin,eka,gusnur//


Problematika Hak Anak Terdampak HIV/AIDS Penanganan permasalahan HIV/AIDS terutama pada anak-anak memang bukan hal yang gampang. Karena menyangkut berbagai aspek, maka penanganannya pun harus menyeluruh atau bersifat holistik. Mereka (anak terdampak HIV/AIDS; red) juga memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya.

P

agi yang cerah, walaupun masih dipenuhi dengan rasa malas yang sangat karena tidak biasa bangun pagi. Tapi aku paksakan untuk berangkat investigasi mengingat deadline majalah DIMëNSI edisi 25 sudah dekat. Perlahan kupacu sepeda motorku menuju Desa Pulosari Kec.Ngunut tempat dimana ada seorang anak yang nasibnya tidak seberuntung sebayanya. Usianya 12 tahun, seharusnya anak seusia itu menikmati pendidikan di sekolah dasar kelas 6. Langsung saja aku disambut seorang nenek paruh baya yang tetap tegar di usianya yang sudah lanjut. Dengan ramah Beliau pun mulai bercerita, “Saat ini hanya saya yang merawat Rendra (nama samaran; red) karena orang tuanya sudah meninggal” ungkapnya dengan nada datar. Beliau mengisahkan awal mula Rendra dapat terdampak HIV/AIDS, “Rendra bisa terdampak HIV/AIDS seperti ini disebabkan tertular air susu ibunya yang juga terdampak HIV/AIDS pada saat masih kecil. Sedangkan kedua orang tuanya sudah meninggal lebih dahulu”. “Akibat ketidaktahuan kita masalah penyakit ini pada waktu dahulu, maka ya seperti inilah

akhirnya, tanpa kehendaknya Rendra pun tertular penyakit tersebut. Masyarakat pun ketika tahu orang tua Rendra meninggal akibat penyakit HIV/AIDS langsung meyakini bahwa penyakit itu mudah saja menular ke semua orang. Akibatnya Rendra pun sampai umur segini, jumlah temannya pun masih bisa dihitung akibat para orang tua takut apabila anak-anaknya bergaul dengan cucuku ini”, Imbuhnya. “Ditambah lagi sejak kecil, dia sering sakit-sakitan. Jadi tidak leluasa bermain” ungkapnya pasrah. Orang dengan kondisi positif HIV/AIDS memang terlihat sehat akan tetapi, sebenarnya dia mudah sekali terkena penyakit. Karena, virus ini menyerang dan melemahkan sistem imun manusia. Sehingga, penderita akan mudah sekali dihinggapi penyakit. Apalagi anak-anak yang mempunyai ketahanan tubuh lebih lemah daripada orang dewasa. Belum lagi menghadapi masyarakat yang mayoritas masih awam terhadap penyakit ini. Stigma yang berkembang di masyarakat bahwa penyakit yang belum ditemukan obatnya ini sangat mudah menular, semakin menambah penderitaan penderita. Karena pada umum-

nya mereka juga akan menjaga jarak dengan penderita untuk menghindari penularan. Masyarakat Sekitar Fenomena banyaknya kasus HIV/AIDS yang menimpa usia anak seolah menjadi boomerang bagi si anak tersebut. Selain tekanan psikologis ketika anak itu menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat suatu penyakit. yang notabene belum ditemukan penyembuhnya. Dan selanjutnya dari masyarakat sekitar. “Kondisi anak yang terdampak HIV/AIDS dibedakan menjadi dua, yaitu terdampak secara negatif dan positif. Untuk yang terdampak negatif yang masih akses ke kita 32 orang. Positif yang tercatat di data sekitar 10 orang, namun sampai hari ini akses ke kita cuma 3, sedangkan yang lainnya hilang ataupun meninggal dunia”, terang Farid Hafifi dari Komisi Perlindungan Anak Tulungagung. “Mengenai rentang usia anak yang terdampak HIV/AIDS yang negatif antara 2-6 tahun. Untuk anak yang masih diduga terdampak yang usianya dibawah 18 bulan tidak bisa dites karena persyaratan dites harus mempunyai usia minimal 18 bulan”, ujar pria yang sekarang menjabat

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

11


DIMeNSI/adib

Farid Hafifi Ketua KPA Tulungagung

sebagai ketua Komisi Perlindungan Anak Kabupaten Tulungagung ini. Mengenai kondisi real anak yang terdampak HIV/AIDS, Ifada Nur Rohmaniah, selaku Manajer Program Critical Education gender, Human Rights and HIV/ AIDS for Sex Workers In Tulungagung (CESMID) menambahkan, “Pada usia 5 tahunan anak yang normal atau dalam kata lain tidak terdampak virus HIV/AIDS saja sering terkena penyakit seperti batuk, pilek atau sejenisnya. Apalagi jika anak tersebut terjangkit virus HIV/AIDS, dia akan rentan terkena penyakit karena penyakit HIV/AIDS menyerang sistem kekebalan tubuh. Dan yang paling penting adalah si penderita juga belum bisa memperkirakan sebatas apa kemampuan daya tahan tubuhnya, sehingga dalam hal ini diperlukan fungsi kontrol dari orang tua”, ucapnya siang itu di kantornya. Akan tetapi, kesadaran masyarakat yang sangat rendah

12

akan informasi penyakit HIV/ AIDS menjadi salah satu penyebab sikap masyarakat yang sedikit konservatif. Hal ini diakui oleh Farid Hafifi, “Sampai hari ini pun anggapan seperti itu masih tinggi, cuma tidak menutup kemungkinan mereka memperoleh informasi, kalau kita ngomong realita lapangan ya pastilah masih tinggi, jangankan masyarakat desa yang notabene terbelakang informasinya, kelompok mahasiswa pun atau orang-orang lainya pun anggapannya sama. Artinya memang butuh proses menyampaikan informasi cuma memang ada beberapa yang memang sudah mengerti realita” terangnya. “Lebih parah lagi, ketika anak tersebut masuk usia sekolah, maka masyarakat akan menjaga jarak dengan anak tersebut. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang masih relatif rendah tadi dan belum tahu benar akan informasi seputar HIV/ AIDS. Selama ini masih berlangsung, masyarakat tetap memakai undang-undang “pokok é ora” sehingga akibatnya ya… seperti ini”. Pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi mengenai hal ini kepada masyarakat. Karena, mereka kan hanya masyarakat awam” imbuhnya. Dampak dari tekanan sosial dari masyarakat terhadap kehidupan sehari-hari selain diskriminasi adalah tertutupnya akses pendidikan sekolah. Hal ini juga menimpa pada Rendra. Ini bermula ketika neneknya mendaftarkan dia ke sebuah Sekolah Dasar yang ada di desanya, tetapi akibat keresahan

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

masyarakat yang khawatir anakanaknya ikut tertular membuat pihak sekolah tidak menerima Rendra. Sehingga, dia tidak dapat menikmati haknya untuk bersekolah. Neneknya berusaha kembali untuk mencarikan sekolah untuk cucunya tercinta. Pilihannya pun jatuh pada salah satu Madrasah Ibtidaiyah di desa lain yang tidak jauh dari rumahnya. Tapi apa dikata, sekolah itu pun belum bisa menerima Rendra akibat pihak sekolah juga mempertimbangkan kekhawatiran masyarakat. Dalam pandangan hukum di Indonesia, UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dalam pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Dalam UndangUndang yang sama pada pasal 2 menyatakan bahwa “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak non diskriminasi. Dari kedua Undang-Undang tersebut secara jelas mengungkapkan bahwa setiap warga negara tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses pendidikan dan mengapresiasikan diri sesuai dengan bakat dan kepribadiannya. Begitu juga dengan Rendra, walaupun dengan kondisinya yang kurang sehat. Dari berbagai hal di atas,


kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat masih “buta” akan informasi HIV/AIDS. Ketidaktahuan masyarakat akan informasi inilah yang menyebabkan perilaku yang disebut diatas. Hal ini dibenarkan oleh Ifada, “Masalah informasi adalah kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS. Bagaimana tidak dengan kesadaran yang masih rendah tentunya akan berdampak pula pada perilaku masyarakat itu sendiri”. Mengenai hal tersebut Farid Hafifi kembali menceritakan pengalamannya, “Kemarin 2008 ada satu penderita selain Rendra yang ditolak sekolah karena masyarakat di sekitarnya masih buta akan informasi dan mereka menghimbau pihak sekolah untuk tidak menerima penderita tersebut. Tetapi akhirnya dia bisa sekolah, dengan catatan dia bersekolah di luar daerah yang belum tahu akan status dia. Bagi saya terserah dimana asal dia bersekolah yang paling penting dia bisa sekolah”. Anak dan Haknya Berbicara tentang nasib anak terdampak HIV/AIDS tidak akan pernah terlepas dari konteks Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah tercantum berbagai aspek baik itu pendidikan ataupun diskriminasi. Seperti dalam aspek pendidikan, tercantum dalam pasal 60 ayat 1 yang berbunyi “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai

dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya”. Hal ini juga diamini oleh Farid Hafifi, “Kalau kita bicara masalah HAM, maka Negara telah melanggar HAM kepada kawan-kawan yang terdampak HIV/AIDS karena Negara tidak bisa menyediakan pelayanan pendidikan. Dan itulah yang kita desakkan pada pemerintah namun, pemerintah berdalih lebih baik menabrakan kereta pada satu orang dari pada menabrakkan pada banyak orang”. Penanganan Lebih Lanjut Dengan kompleksitas permasalahan bagi anak yang terdampak HIV/AIDS, tentunya membutuhkan tenaga yang ekstra pula dalam memutus mata rantai permasalahan ini. Bagaimana tidak, dengan kasus yang mempunyai faktor-faktor pendukung yang banyak maka penanganan kasus ini pun berjalan lambat. Faktor-faktor pendukung tersebut antara lain sosialisasi mengenai informasi HIV/AIDS, kesadaran, perhatian pemerintah maupun keterbukaan bagi penderita HIV/AIDS tersebut. Faktor yang pertama adalah kesehatan, toh walaupun sampai sekarang virus HIV/AIDS belum ditemukan obatnya. Tetapi, karena virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh maka penderita rentan akan serangan-serangan penyakit lain. Dari fakta inilah tindakannya adalah dengan terus menyuplai obat kekebalan tubuh yang fungsinya untuk memperlambat perkembangan virus sehingga anak yang terdampak

mampu bertahan lebih lama. “Untuk masalah pemberiaan obat, walaupun hanya obat untuk menekan virusnya, alhamdulillah sampai saat ini masalah obat masih dicover oleh pemerintah yang dianggarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)”, ungkap Farid Hafifi. Mengenai penanganan dampak psikologis akibat tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar, Farid Hafifi menambahkan, “Kalau penanganan dampak psikologis terutama bagi anak yang terdampak HIV/AIDS agak susah. Hal ini disebabkan kita tidak punya konselor khusus anak. Kita cuma lewat orang tua anak tersebut, dengan menguatkan informasinya. Biar mereka lebih tahu apa yang terjadi pada anaknya, kalau anaknya langsung agak susah, karena kita tidak mengerti sifat anak”. Untuk masalah pendidikan, solusi termudah yang dapat diambil oleh pihak keluarga penderita adalah menyekolahkan

DIMeNSI/Adib

Ifada Nur Rokhmaniah Manager Program CESMID

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

13


anak tersebut ke luar wilayah/ kota. “Ya karena masyarakat masih menggunakan Undangundang “pokok é mau atau tidak mau dia (penderita;red) harus keluar dari wilayahnya supaya tetap dapat akses pendidikan. terus kita carikan sekolah baru yang belum tahu status anak tersebut, agar mau menerimanya. Pernah suatu ketika ada anak yang terlanjur dikeluarkan, kami tunjukkan bahwa anak ini masih negatif, namun masyarakat tetap menggunakan undang-undang “pokok é, ya akhirnya kita memindahkan anak tersebut” terang Farid. Berangkat dari pengalaman itu semua bahwa salah satu kunci utama untuk mengatasi permasalahan diatas adalah bagaimana masyarakat bisa memperoleh informasi mengenai HIV/ AIDS. Salah satu usaha untuk menyebarkan informasi tersebut adalah dengan adanya sosialisasi yang menyeluruh dan bersifat kontinu kepada masyarakat. Disadari ataupun tidak, fakta di lapangan telah membuktikan bahwa kesadaran masyarakat

14

akan penyakit HIV/AIDS masih rendah. Seperti yang diungkapkan Farid Hafifi, “Sampai saat ini kesadaran masyarakat masih rendah. Dengan minimnya akses informasi kepada masyarakat dan itu membutuhkan proses yang cukup panjang. Tetapi untuk saat ini sudah ada beberapa golongan masyarakat yang sudah menerima”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ifada Nur Rokhmaniah, “Memang dengan kondisi masyarakat yang seperti ini tentunya kesadaran mereka sangat rendah”. Ketika ditanya seberapa jauh langkah yang pernah dilakukan oleh KPA, pria berkacamata ini menjawab, “Kalau kita (Komisi Perlindungan Anak;red) tidak bergerak dibidang teknis, kita hanya bergerak di bidang koordinatif. Kalau sosialisasi kita bisa, tapi kalau megang kasus, kita tidak bisa. Kalau masalah teknis di pegang Dinas Kesehatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan CESMID. KPA cuma mengoordinasikan ini menjadi satu.

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

Jadi program kita cuma koordinasi atau memfasilitasi pertemuan-pertemuan komunitas. Masalah ini terkait dengan posisi KPA disini yang bersifat Independen seperti layaknya KPU, KPAI atau sejenisnya. Dan kita pun langsung bertanggung jawab dengan Pak bupati, sedangkan dinas adalah mitra kami bukan sebagai atasan”. Penanganan permasalahan HIV/AIDS terutama pada anakanak memang bukan hal yang gampang. Karena menyangkut berbagai aspek, maka penanganannya pun harus menyeluruh atau bersifat holistik. Mereka (anak terdampak HIV/AIDS; red) juga memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya. Mereka justru membutuhkan banyak dukungan dan motivasi baik dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk bertahan hidup. Terlepas dari semuanya, mereka juga termasuk generasi penerus bangsa yang patut memiliki kebebasan untuk mendapatkan haknya.//@ dib,azis,@na,lid//


DO Transisi; Antara Tuntutan Eksistensi dan Budaya Kultur Salah satu desa di Tulungagung yang terdapat kurang lebih hampir 70% warganya mengalami DO Transisi adalah Desa Karanganom, Kec. Kauman. Dimana yang dimaksud DO transisi tersebut adalah anak-anak yang tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ataupun anak-anak yang putus sekolah.

S

ekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang saat ini digembor-gemborkan oleh pemerintah Indonesia tampaknya tidak berimbas baik bagi seluruh warga, terutama para pelajar Indonesia yang masih mengenyam pendidikan. Di Tulungagung pun mengalami hal yang serupa, sebagian dari warganya yang masih mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) mengalami putus sekolah. Segala fasilitas yang ditawarkan di SBI; seperti berbagai fasilitas laboratorium yang lengkap, berbagai macam olah raga, suasana kelas yang nyaman dilengkapi dengan proyektor, AC, dan whiteboard ternyata hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang yang memang memiliki banyak uang. Kebanyakan dari mereka yang berduit; kaum pejabat maupun pengusaha sukses merasa malu jika anaknya tidak masuk ke SBI, yang dipandang sebagai sekolah elit. Berbeda dengan mereka yang memang benar-benar ingin merasakan bangku sekolah dan benar-benar berprestasi tetapi mereka tidak bisa meneruskan sekolah. Permasalahannya yaitu masalah ekonomi, sosial, dan individu. Meskipun pemerintah telah menawarkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan berbagai beasiswa, ternyata sampai saat ini tetap tidak bisa membantu mereka dalam menuntaskan pendidikan yang mana di Indonesia peserta didik wajib mengentaskan pendidikan 9 tahun, yang artinya paling tidak para peserta didik diwajibkan sekolah sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau

yang setara dengannya. Kondisi Anak DO Transisi Salah satu desa di Tulungagung yang terdapat kurang lebih hampir 70% warganya mengalami DO Transisi adalah Desa Karanganom, Kec.Kauman. Menurut data yang kami peroleh dari LPA (Lembaga Pemberdayaan Anak) terdapat banyak anak yang mengalami DO transisi. Dimana yang dimaksud DO transisi tersebut adalah anakanak yang tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ataupun anak-anak yang putus sekolah. Anak-anak yang mengalami DO transisi dari SD berjumlah 44 anak, dan untuk anak yang mengalami DO transisi dari SMP berjumlah 27 anak pada tahun 2009/2010. Sedangkan data yang kami peroleh dari Desa Karanganom, anak yang putus sekolah dasar (SD) sebanyak 25 anak dan anak yang putus pada tingkat SMP/ SLTP sebanyak 61 orang. Dari sekian banyak anak yang mengalami DO transisi, saat ini telah 36 anak yang mengikuti kejar paket B yang mana merupakan salah satu program dari Dinas Pendidikan Kabupaten untuk mengurangi adanya anak yang putus sekolah. Pemasalahan ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang terjadi pada warga masyarakat Karanganom dan sekitar, seperti permasalahan ekonomi, keadaan sosial, dan individu dari masyarakat Karanganom sendiri. “Kabeh rotoroto cah kene iki ora enek seng nerusne sekolah mbak (semua rata-rata anak disini tidak ada

yang meneruskan sekolah mbak; red),” tutur salah satu warga Karanganom yang bernama Bu Tukin. Setelah kami tanya alasan tidak meneruskan sekolah ke jenjang berikutnya Bu Tukin pun menjawab, “Tidak ada biaya untuk nerusin sekolah mbak,wong ijazah ae nggak enek seng dijumuk goro-goro nggak duwe duwet, (tidak ada biaya untuk meneruskan sekolah, ijazah saja tidak diambil gara-gara tidak punya uang; red)”. Padahal untuk mengambil ijazah tidak memerlukan biaya bagi sekolah negeri, tetapi mengapa sampai saat ini masih ada saja yang memungut biaya untuk pengambilan ijazah. Salah satu warga Karanganom yang lain yang tidak mau disebutkan identitasnya mengatakan, “Sesungguhnya warga yang berada di desa Njengglek itu masyarakatnya kaya-kaya, karena setiap hari mereka ke sawah dan rata-rata mereka memiliki sapi. Kalau difikir-fikir sebenarnya mereka itu mampu untuk menyekolahkan anaknya, tapi entah kenapa anaknya tidak meneruskan sekolah. Apakah memang tidak menginginkan untuk meneruskan sekolah atau orang tua mereka yang tidak menginginkannya. Lebih baik manjing katanya (lebih baik bekerja; red)”. Hal tersebut agaknya telah menjadi budaya di daerah sekitar desa tersebut, sehingga tidak heran jika kebanyakan anak usia sekolah tidak meneruskan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak yang tidak meneruskan sekolah lebih memilih bekerja untuk menghasilkan uang ataupun un-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

15


tuk membantu orang tua. “Gae opo sekolah dhuwur-dhuwur lek engko akhir-akhire panggah neng sawah (Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nanti akhirnya tetap kembali bekerja di sawah; red),” ucap bu Tukin. Dalam peristiwa ini, tampaknya pendidikan terbentur oleh permasalahan ekonomi, sosial budaya dan kultur. Padahal pendidikan sangat penting untuk meneruskan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Namun mereka lebih mementingkan bekerja dikarenakan tidak memiliki biaya untuk meneruskan sekolah. Selain itu, kultur yang terlanjur mengakar pada masyarakat bahwa anak-anak bisa dikatakan berhasil dalam hidupnya jika sudah bisa menghasilkan uang sendiri, walaupun pendidikan tidak sampai selesai. Karena bagi masyarakat pinggiran, masih banyak yang berasumsi bahwa yang terpenting adalah bagaimana membuat dapur tetap mengepul. Tindakan Lebih Lanjut Dalam hal ini kepala desa selaku pemerintah desa melakukan pendataan untuk mengetahui seberapa banyak anak-anak yang mengalami putus sekolah. Dan didapatlah data seperti yang telah disinggung di atas. Maka alternatif yang dilakukan pemerintah adalah bekerjasama dengan pemerintah kabupaten untuk mengatasi permasalahan ini, yaitu dengan mengadakan kejar paket B. “Untuk anak-anak yang masih berada di Desa Karanganom ini, dari pemerintah kota Tulungagung sudah mengadakan kejar paket B. Hampir 50% anak-anak yang berada di desa kami ingin mengikuti kejar paket B tersebut, untuk yang 20% mereka berada di Bali untuk kerja. Dan pemerintah desa telah memberitahu kepada orang tua mereka yang anak-anaknya telah bekerja di Bali, tetapi mereka lebih berminat untuk bekerja daripada kembali pulang dan tidak bisa mendapatkan uang lagi,” ungkap Yuniarti, S.Pd selaku kepala

16

Desa Karanganom. Hal serupa juga diungkapkan oleh kepala Dinas Kabupaten Tulungagung Winarto,S.Pd, “Untuk mengantisipasi hal ini kami mengadakan kejar paket agar anak-anak memiliki pendidikan yang baik dan juga setidaknya mereka mengenyam pendidikan 9 tahun”, jelas beliau. Dalam penyelenggaraan sekolah kejar paket B, pemerintah mengadakan sosialisasi yang bekerja sama dengan pemerintah daerah yang bersangkutan yaitu Desa Karanganom. Dalam sosialisasi ini pemerintah mengalami kesulitan, yaitu tentang minat dari anak itu sendiri. Karena selain membantu memberikan bantuan dana, fasilitas mereka juga membutuhkan minat dari anak-anak itu sendiri. Kebanyakan dari mereka lebih memilih kerja daripada sekolah lagi. “Sekarang itu kan banyak sekali anak-anak yang mengalami putus sekolah dan imbasnya banyak anak yang terlantarkan di jalan-jalan, terus banyak anak punk dan ada lagi anak yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri dan dia tinggal bersama neneknya akhirnya tidak terurus dan akhirnya melarikan diri ke jalanan untuk mengemis dan mengamen”, jelas Winarto,S.Pd selaku Kepala Dinas Tulunga-

DIMeNSI/Riski

Yuniarti, S.Pd (kepala desa Karanganom)

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

gung. Untuk mengantisipasi hal tersebut ternyata di kabupaten Tulungagung sendiri telah memiliki beberapa SMP terbuka, seperti ungkapan dari Kepala Dinas Pendidikan Tulungagung “ Untuk mengantisipasi anak-anak yang tidak bisa sekolah pada pagi hari, kami telah membuka SMP terbuka yang kami adakan di beberapa sekolah tertentu yang telah ditunjuk. Untuk waktunya sendiri dilaksanakan pada siang hari. Selain itu dari peraturan Provinsi Jawa Timur sendiri telah menggalakkan wajib dikdas 12 tahun dan ini sudah berjalan di beberapa daerah dan kabupaten Tulungagung sendiri akan menggalakkan hal ini”. Kesadaran akan pendidikan ternyata belum dimiliki sepenuhnya oleh mereka (baca:masyarakat Desa Karanganom). Bagi mereka pendidikan akan tetap membuat mereka dalam kondisi yang sama yaitu kemiskinan. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan, agar mereka sadar bahwa pendidikan dapat membuat mereka jauh lebih baik dari kondisi saat ini. Pemerintah juga harus lebih sadar akan angka kemiskinan yang semakin meningkat, dan jika pemerintah mewajibkan wajar dikdas 9 tahun implementasi di lapangan juga harus diperhatikan dan diusahakan dapat diakses dengan mudah, merata bagi masyarakat miskin yang ingin terus belajar. Dalam dinamika kehidupan anak, terutama pendidikan memerlukan perhatian dari segala pihak. Karena salah satu hak mendasar untuk anak-anak adalah mendapatkan pendidikan, memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan keinginannya. Akan tetapi, iklim Negara yang kurang memihak terhadap masyarakat miskin menjadi salah satu penyebab, anak-anak kaum pinggiran hanya bisa sekedar “mencicipi” bangku pendidikan untuk waktu yang singkat.// ki2,zen,zetic//



SPIRAL KEKERASAN TERHADAP PEKERJA ANAK (Pelajaran dari sektor nelayan) Oleh: Nur Kholis Sektor nelayan merupakan bagian sub-cultur kerja masyarakat yang sangat inhern dengan kekerasan, karena itu mungkin saja dapat mempengaruhi teraktualisasikannya potensi kekerasan terhadap pekerja anak. Kekerasan yang dialami oleh pekerja anak ini dalam jangka panjang kemungkinan akan dapat berdampak melahirkan generasi pembalas dendam (spiral kekerasan).

P

Nur Kholis Salah satu dosen di STAIN Tulungagung dan aktif di LSM CESMID (Critical Education Gender, Human Rights and HIV/AIDS for Sex Workers)

18

erhatian terhadap hak-hak anak sebenarnya bermula setelah perang dunia pertama sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami perempuan dan anak-anak. Pada tahun 1924, hak-hak anak pertama kalinya dideklarasikan secara Internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa yang dikenal sebagai deklarasi Jenewa. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak, dan pada tahun 1979 saat dicanangkannya tahun anak terlantar, pemerintah Polandia mengusulkan untuk dirumuskannya suatu dokumen yang mengikat secara yuridis dan politis bagi negara-negara yang meratifikasinya, dan sekarang dikenal dengan Konvensi Hak Anak (KHA). Namun, baru pada tanggal 2 September 1990 KHA mulai efektif diberlakukan sebagai hukum Internasional, Indonesia meratifikasinya melalui Keputusan Presiden nomor 36/1990 tanggal 25 Agustus 1990 yang mulai berlaku 5 Oktober 1990. Pada prinsipnya, konvensi ini merupakan instrumen bagi perlindungan anak— yang dalam perkembangannya mereka tidak hanya rentan terdampak perang, tetapi juga perbudakan (slavery), perdagangan (trafficking)—untuk seks kom-

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

ersial atau dieksploitasi secara ekonomi dan lain-lain. Jumlah pekerja anak sampai saat ini mencapai 250 juta. 95 % di antara- nya terdapat di negaranegara berkembang. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, tepatnya di New York, masih ditemui pekerja anak yang bekerja di ladang basah yang penuh dengan insektisida dan di perusahaan karpet. Di Eropa banyak ditemui pada komunitas migran serta pada kelompok ras minoritas. Sedangkan penyerapan tenaga kerja terbanyak, menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat di sektor pertanian dan industri kecil. Hal ini dapat kita maklumi karena bekerja pada kedua sektor tersebut tidak membutuhkan persyaratan yang ketat (seperti persyaratan ijazah) dan mekanisme rekrutmennya yang sangat longgar. Dari berbagai kajian dan penelitian menemukan bahwa, dalam komunitas yang relatif sejahtera, mampu dan aman, anak-anak menerima perhatian serta perlindungan yang relatif cukup dari orang tua atau pengasuh mereka. Tetapi, dalam komunitas yang buruk, anakanak merupakan target pertama tindakan kekerasan. Dalam situasi seperti ini, mereka dapat menjadi individu-individu yang tidak diinginkan dan kemudian dibuang atau menjadi anak-anak


yang terabaikan bahkan tidak dilindungi, menjadi anak-anak yang mudah dieksploitasi seperti dibujuk atau dipaksa melakukan berbagai hal yang bisa mengancam dan membahayakan hidup mereka, namun justru menguntungkan pihak orang dewasa atau orang tua. Pekerja Anak Sektor Nelayan Motivasi anak bekerja pada sektor nelayan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, karena ekonomi keluarga lemah. Fenomena ini menurut Harbirson dapat dijelaskan dengan menggunakan teori strategi kelangsungan rumah tangga (household survival strategy theory). Menurut teori ini, dalam masyarakat perdesaan yang mengalami transisi dan golongan miskin di kota, mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan atau memburuk. Salah satu upaya yang seringkali dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum mencukupi, biasanya anak-anak yang belum dewasapun diikutsertakan dalam menopang kegiatan ekonomi keluarga. Kedua, karena ikut-ikutan. Awalnya, anak-anak bekerja karena kebiasaan bermain-main di pantai sambil sesekali disuruh membersihkan slerek (kapal besar; red) dan nyethek (mencuri; red) jika ada orang yang mendaratkan ikan. Lama-lama dari kebiasaan bermain di pantai itu, kemudian mereka ditawari untuk ikut-ikutan atau mencoba melaut meski hanya diberi bagian lawoh (lauk; red) saja. Mudahnya anakanak bekerja di sektor ini juga dipicu oleh longgarnya persyaratan untuk dapat menjadi anggota

ABK (Anak Buah Kapal). Dengan mempekerjakan anak yang dianggap sebagai pencari penghasilan sekunder dan bersedia dibayar dengan upah yang lebih rendah dari tenaga kerja dewasa secara logis akan semakin meningkatkan keuntungan. Ketiga, belajar bekerja. Sebagai anak sudah sewajarnya jika harus membantu pekerjaan orang tua, baik di rumah maupun di ladang. Perbedaan konsep belajar bekerja dengan konsep mempekerjakan anak sangat tipis, pada sektor nelayan bentuk belajar bekerja diantaranya adalah menyiapkan peralatan yang akan dibawa melaut, membersihkan slerek, ikut membantu melaut dan sebagainya yang dikerjakan dalam waktu yang tidak rutin terus-menerus. Akan tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus dan rutin, maka ia tidak lagi bisa dikatakan sebagai belajar bekerja tetapi mempekerjakan anak. Karena perbedaan yang tipis itulah, fenomena pekerja anak di sektor nelayan bermula dari belajar bekerja, lama-lama menjadi pekerja sungguhan. Kekerasan terhadap Pekerja Anak

Jenis-jenis kekerasan terhadap pekerja anak (child labor) dapat dibedakan; pertama, kekerasan dengan menggunakan alat atau media dan kekerasan tanpa menggunakan alat atau media; kedua, kekerasan melalui mulut, tangan atau kaki; dan ketiga, kekerasan fisik atau nonfisik. Dalam artikel ini, penulis cenderung memakai pembedaan kekerasan secara fisik dan kekerasan nonfisik. Kekerasan fisik sasarannya adalah anggota badan korban (victim) sedangkan kekerasan nonfisik sasarannya perasaan atau hati korban. Kekerasan fisik yang sering dialami oleh pekerja anak diantaranya adalah dalam bentuk, dilempar ikan, disabet ikan layur, disabet gagang pancing, dijatuhkan ke laut sekalian disuruh njeblang( menggiring ikan; red) dan/atau membenahi jaring yang nyangkut ke kipas slerek dan lain-lain. Sedangkan kekerasan nonfisik yang selalu dialami oleh pekerja anak adalah berbentuk dimarahi, diomeli, didiamkan, dicaci maki dll. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap pekerja anak sektor nelayan adalah juragan laut, teman kerja dan orang tuanya sendiri, meski dua yang terakhir tersebut

Dok.DIMeNSI

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

19


mempunyai peran ganda yakni selain berperan sebagai pelaku kekerasan juga dapat berperan sebagai penasehat jika pekerja anak menjadi korban kekerasan di tempat kerja. Sedangkan kekerasan kerap terjadi di lingkungan tempat kerja (di laut) dan di rumah. Hal menarik yang perlu dicermati adalah mengapa juragan laut, teman kerja atau orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap pekerja anak. Salah satu yang menonjol adalah karena alasan “kekuasaan�. Hubungan kekuasaan merupakan hubungan eksploitatif, represif, dan tidak seimbang. Berangkat dari hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat memicu tindak kekerasan. Gurr memandang bahwa kekerasan merupakan ekspresi adanya tekanan dari dalam diri pelaku, semakin besar ancaman terhadap kehidupan maka semakin besar respon untuk melakukan kekerasan. Sedangkan ancaman yang dialami oleh juragan laut misalnya datang dari juragan darat, keluarga (istri, atau kebutuhan pemenuhan keluarga yang belum tercapai) sedangkan ancaman yang dialami oleh orang tua pekerja anak dari rasa (feel) ketidakmampuannya memposisikan diri sebagai orang yang seharusnya mengayomi anakanak atau istri dan anggota keluarga lainnya, sehingga ia merasa posisinya terancam akibatnya ia mengekspresikannya dalam bentuk tindakan-tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang relatif kemampuannya untuk membalas lemah, seperti anak atau istri. Faktor Pemicu Kekerasan pada Pekerja Anak Faktor-faktor yang memicu tindakan-tindakan kekerasan (acts of violence) yang dialami oleh pekerja anak sektor nelayan

20

diantaranya, karena karakter pelaku yang pemarah, frustrasi, dan kesalahan yang dilakukan oleh korban (victim) diantaranya karena kurang tepat dalam mengarahkan perahu, malas, kurang cekatan dalam bekerja, atau bahkan karena mabuk laut. Sifat hubungan antara pekerja anak dengan juragan laut adalah merupakan hubungan yang asimetris, posisi pekerja anak tersubordinasi oleh posisi juragan laut. Model hubungan semacam ini mengindikasikan ketergantungan pekerja anak pada juragannya, ia selalu berada pada posisi yang lemah. Akibatnya, apabila juragan lautnya mengalami instabilitas mental (seperti adanya masalah dalam rumah tangganya, stres, frustrasi, mendapat tekanan dari juragan darat, dan lain-lain) maka yang menjadi sasaran kemarahannya adalah orang yang ada di sekitarnya, apalagi kalau mereka mempunyai kekuatan yang relatif lemah seperti pekerja anak. Akan tetapi keagresifan manusia tidak selalu dikarenakan faktor dari luar bisa juga karena dorongan dari dalam (Lorenz; On Agression 1966). Masih menurut Lorenz, manusia dapat mencari dan bahkan dapat menciptakan stimuli itu, oleh karena itu agresi atau tindakan-tindakan kekerasan (acts of violence) pada dasarnya bukanlah respon atas stimuli kesalahan yang dilakukan oleh pekerja anak, melainkan karena faktor pemarah, tertekan, stres frustrasi yang sudah terpasang dengan mencari pelampiasan dan akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan dari luar yang sangat kecil atau sepele. Frustrasi dapat menimbulkan kekerasan dan kekerasan bagi orang tertentu bisa dipicu oleh ekspektasi akan pencapaian hal tertentu, misalnya pada kasus di atas adanya ekspektasi yang besar untuk mencapai status

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

solok agar mendapatkan hadiah sepeda motor dari juragan darat yang tidak tercapai karena berbagai faktor menyebabkan juragan laut melakukan tindak kekerasan pada para ABK terutama pekerja anak. Dampak Kekerasan pada Pekerja Anak Dampak langsung secara fisik akibat kekerasan tidak terlihat signifikan, tetapi dampak psikisnya dalam jangka panjang adalah kemungkinan lahirnya generasi pelaku kekerasan (balas dendam) pada orang lain atau pekerja anak lainnya kelak jika ia sudah dewasa. Dalam hal ini, berlaku postulat yang sangat terkenal dalam teori kekerasan bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan lainnya, violence beget violence. Sektor nelayan merupakan tempat, dimana para pekerja anak setiap saat dapat menyaksikan, mengalami, merasakan, mendengar mempelajari bentuk dan gaya (style) perlakuan kekerasan, baik yang dilakukan oleh juragan laut, orang tua maupun teman kerja lainnya. Karena itu, bukan tidak mungkin jika potensi kekerasan yang ada dalam diri pekerja anak tersebut kelak dapat diaktualisasikan—menjadi pelaku tindak kekerasan. Beberapa tindak kekerasan diperoleh karena proses belajar dari lingkungannya dan digunakan secara strategis untuk tujuan tertentu. Sektor nelayan merupakan bagian sub-cultur kerja masyarakat yang sangat inhern dengan kekerasan, karena itu mungkin saja dapat mempengaruhi teraktualisasikannya potensi kekerasan pekerja anak dimaksud. Kekerasan yang dialami oleh pekerja anak ini dalam jangka panjang kemungkinan akan dapat berdampak melahirkan generasi pembalas dendam (spiral kekerasan).


DAMPAK PSIKOLOGIS DARI TIDAK DIPENUHINYA HAK-HAK ANAK Oleh : Uswah Wardiana. M. Psikologi Ketika kita berbicara tentang dinamika psikologis anak untuk saat ini maka akan sangat terkait dengan bentuk dan jumlah pelanggaran pada hak-hak anak itu sendiri. Artinya kalau jumlah pelanggaran terhadap anak meningkat secara statistika maka artinya bahwa mental anak-anak yang sakit semakin meningkat, begitu pula sebaliknya.

S

Uswah Wardiana. M. Psikologi salah satu dosen pengajar di STAIN Tulungagung

atu hal yang cukup menggembirakan ketika dunia lewat PBB mengesahkan suatu undang-undang yang terkait perlindungan anak, dan kiranya keputusan PBB dalam mengesahkan UndangUndang Perlindungan Anak tersebut mendapatkan respon yang positif dari seluruh dunia terutama mereka yang sangat peduli terhadap nasib anakanak. Artinya, adanya suatu harapan anak–anak akan dapat menapaki kehidupan ini sesuai dengan hak-haknya yaitu diantaranya mendapatkan pendidikan, kehidupan yang layak, serta kebutuhan lain termasuk kebutuhan psikologis. Karena tidak dapat dipungkiri masa depan suatu bangsa sangat tergantung dari generasi penerusnya. Sering kita melihat bahwasanya banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran hak-hak anak seperti penelantaran anak, trafikking, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak, bahkan sampai pembunuhan. Pada tahun 2006, PBB mengeluarkan data statistik yang menyebutkan bahwa hampir 53.000 anak di seluruh dunia terbunuh akibat tindakan kekerasan/ penyiksaan; lebih dari 80 hingga 98% anak pernah mengalami siksaan fisik sebagai bentuk hukuman dan sepertiga dari jumlah tersebut menerima

hukuman fisik dengan menggunakan alat. Pada tahun 2004, di seluruh dunia terdapat 218 juta anak yang menjadi pekerja di bawah umur dimana, 126 juta diantaranya melakukan pekerjaan yang berbahaya. Dan ditahun 2000 terdapat 1.8 juta anak yang terpaksa atau pun dipaksa masuk dalam bisnis prostitusi dan pornografi, dimana 1.2 juta diantara mereka merupakan korban perdagangan anak. Dan dimungkinkan. Data statistika ini akan mengalami perubahan angka ditahun-tahun berikutnya, mengingat bahwa fenomena pelanggaran hak anak di setiap tahun mengalami peningkatan dengan diikuti kasus yang lebih variatif. Keadaan yang demikian tentunya akan berdampak negatif terutama dari sisi kehidupan psikologis anak itu sendiri yang notabenenya sebagai korban. Manusia memiliki kebutuhan psikologis dalam kehidupannya masing-masing dan kebutuhan psikologis biasanya saling berbeda antar individu , serta berbeda pula intensitasnya. Kebutuhan tersebut pada dasarnya adalah sebuah daya dan tuntutan. Sebenarnya ketika kita berbicara mengenai kebutuhan psikologis tidak lepas dari teori yang dikemukakan oleh Maslow dengan teorinya sebagai “hirarki

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

21


kebutuhan�. Dijelaskan bahwa kebutuhan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, ketika satu tingkatan kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan pada tingkatan berikutnya atau pada tingkatan yang lebih tinggi. Maslow membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi 5 yaitu : 1. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang mendasar menyangkut rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, bernafas, dan kebutuhan jasmaniah lainnya. 2. Kebutuhan akan rasa aman mencakup antara lain; keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. 3. Kebutuhan sosial mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima dan persahabatan. 4. Kebutuhan aktualisasi diri mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sesuai kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. 5. Kebutuhan akan penghargaan mencakup faktor penghormatan internal seperti, harga diri, otonomi dan apresiasi, serta faktor eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian. Dari sini, kita dapat melihat bahwasanya kebutuhan psikologis adalah salah satu kebutuhan yang urgen dalam diri individu. Terutama terkait dengan perkembangan individu itu sendiri sebagai mahkluk sosial. Tentunya dapat kita bayangkan bagaimana jika kebutuhan itu tidak terpenuhi pada diri anak yang mengalami pelanggaran terhadap hak- hak mereka, yang jelas mereka akan mengalami hambatan-hambatan psikologis sehingga tugas-tugas

22

perkembangan yang muncul disetiap fase perkembangan tidak dapat dilalui dan dijalankan dengan baik oleh anak-anak tersebut. Seperti dalam kasus Abuse (penyiksaan; red). Abuse sendiri menurut James Vander Zanden yang ditulis dalam bukunya Human Development (1989) menyebutkan suatu bentuk penyiksaan atau kekerasan, baik serangan fisik yang menyebabkan luka fisik yang dilakukan dengn sengaja oleh orang yang seharusnya jadi care taker. Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh David A Wolfe dalam bukunya Child Abuse, yang mengatakan bahwa mal treatment terhadap anak dapat berbentuk physical abuse, emotional abuse, sexual abuse dan neglect (pengabaian). Adapun pengabaian dapat dipahami sebagai ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisical yang memadai yang sudah seharusnya diterima oleh anak. Dan para psikiater yang terhimpun dalam Himpunan Masyarakat Pencegah Kekerasan Pada Anak di Inggris (1999) berpendapat bahwa pengabaian terhadap anak juga merupakan salah satu bentuk sikap penyiksaan namun lebih bersifat pasif.

repro internet

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

Efek dari penyiksaan maupun pengabaian terhadap anak sama-sama mendatangkan akibat yang buruk. Dan kini saatnya kita perlu mengetahui apa saja dampak psikologis yang akan ditimbulkan dari penyiksaan anak dan pangabaian anak. Menurut berbagai lembaga penanganan anak dampak terhadap anak yang mendapatkan perlakuan negatif, mengatakan bahwa penyiksaan dan pengabaian yang dialami anak dapat menimbulkan permasalahan dalam segi kehidupannya yaitu : masalah kognisi, emosional, perilaku dan masalah relation. Yang penjabarannya seperti di bawah ini : a.Masalah Relation. Anak akan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan ataupun persahabatan dengan orang lain. Dikarenakn adanya rasa percaya diri yang kurang, tidak percaya terhadap orang lain, sulit untuk berkomitmen,dll. b.Masalah Emosional. Anak akan memilki rasa bersalah, karena dia menyakini bahwa siksaan yang dia terima adalah akibat dari dirinya, namun disisi lain akan timbul perasaan dendam, depresi karena tidak bisa mengungkapkan kemarahannya.


c.Masalah Kognisi. Memilki persepsi yang negatif terhadap kehidupan, munculnya pkiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri. d.Masalah Perilaku. Akan memunculkan perilaku menyimpang seperti berbohong, mencuri, kriminal dan kenakalan remaja. Yang perlu digaris bawahi bahwa, pelanggaran hak-hak anak biasanya tidak hanya akan menimbulkan satu masalah namun kompleks. Karena, antara ke-empat aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh. Disisi lain, Maslow terkait dengan teorinya di atas mengatakan bahwa jika anak tidak mendapatkan kebutuhannya misalnya, akan rasa aman, maka anak akan menjadi cemas, takut dan kalut. Dan apabila seorang anak kebutuhannya akan rasa memilki dimilki, saling percaya, cinta dan dikasihi terabaikan maka akan tertanam rasa kesepian, pengucilan, penolakan akan dirinya, tiadanya kerama-

han dan memunculkan keadaan yang tidak menentu. Seda ngkan apabila kebutuhannya akan penghargaan tidak terpenuhi maka memunculkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya , putus asa serta perilaku neurotic. Adapun kebutuhan terakhir yang perlu dipenuhi oleh individu yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, dikatakannya apabila kebutuhan ini tidak terpenuhinya maka individu tidak akan mampu mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran, perasaan dan menjadi kemauannya. Masih menurut Maslow, apabila kebutuhan kelima ini terpenuhi maka individu akan menjadi manusia dengan kepribadian yang unggul. Dari paparan diatas, dapatlah kita lihat bahwa kondisi psikologis yang sehat sangatlah penting karena akan berdampak pada pembentukan kepribadian yang sehat dan akan diimplementasi pada kehidupannya kelak, sehingga mereka akan memilki, life skill, dan mental yang sehat pula. Sehingga, ketika kita berbicara tetang dinamika psikologis

anak untuk saat ini maka akan sangat terkait dengan bentuk dan jumlah pelanggaran pada hak-hak anak itu sendiri. Artinya kalau jumlah pelanggaran terhadap anak meningkat secara statistika maka artinya bahwa mental anak-anak yang sakit semakin meningkat, begitu pula sebaliknya. Namun, perlu diketahui bentuk pelanggaran apapun pada anak akan berdampak pada perkembangan psikologis yang bersangkutan terutama diusia anak-anak, dan untuk membawanya kembali ke dalam kondisi psikologis yang sehat memerlukan waktu yang lama. Seperti yang diungkapkan oleh Freud bahwa trauma adalah faktor yang akan mempengaruhi perkembangan individu terutama pada pembentukan dinamika kepribadiannya, Sehingga, yang bisa kita lakukan adalah pencegahan terhadap hak pelanggaran anak agar generasi bangsa Indonesia berkualitas baik secara intelektual, emosional. n spiritualnya.

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

23


Menuju Pendidikan yang Membebaskan Membebaskan disini bukan semata-mata dalam artian fisik dan psikologis anak. Akan tetapi juga “bebas� diakses oleh anak dari seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan yang tidak berorientasi materi dan uang. Oleh: Roudhotul Muttaqien

A

nak dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena, untuk membuat mereka (baca; anak-anak) menjadi insan yang bermutu, bermartabat, dan bermoral diperlukan suatu pendidikan yang baik pula. Baik, pendidikan formal maupun non formal yang bisa didapatkan di dalam keluarga. Oleh karena pentingnya hal tersebut, maka tidak salah jika pendidikan merupakan salah satu hak anak yang wajib dipenuhi. Maka, tidak heran jika banyak orang tua yang sudah memberikan pendidikan bahkan sejak di dalam kandungan. Akan tetapi, realitasnya tidak semua anak di dunia ini mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidkan yang layak. Banyak anak yang karena terdesak keadaan, putus di tengah jalan dan tidak melanjutkan pendidikannya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak seimbang dan hal tersebut dapat merugikan kehidupannya bahkan Negara. Gambaran diatas hanyalah apa yang tampak di permukaan. Tetapi, bukan persoalan yang sesungguhnya. Realitas permasalahan terbesar di dalam pendidikan kita justru bermula dari cara pandang dan pemahaman kita sendiri tentang pendidikan. Yaitu, ketika kita menyamakan pendidikan dengan masa belajar, ketika kita membatasi pendidikan hanya dengan kecerdasan, ketika kita merumuskan

24

Roudhotul Muttaqien Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam semester V STAIN Tulungagung

pendidikan dengan kebutuhan pasar, dan ketika kita mengaitkan pendidikan dengan pembangunan. Di tengah gencar-gencarnya pendidikan RSBI dan SBI yang mengandalkan uang dan materi, masih banyak anak yang hanya untuk merasakan bangku sekolah saja memerlukan perjuangan keras. Banyaknya keluhan orang tua murid khususnya dari golongan menengah ke bawah yang masih merupakan kalangan mayoritas di Indonesia mengenai besarnya biaya pendidikan yang harus mereka keluarkan untuk menyekolahkan anakanak mereka, menimbulkan suasana prihatin dikalangan akademis maupun non akademis yang secara langsung maupun

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

tidak langsung terlibat di dalam pendidikan. Bahkan, pernah beberapa media cetak dan TV menayangkan beberapa anak didik yang nekad melakukan bunuh diri hanya karena ketidakmampuan orang tua mereka membayar kewajiban administrasi/iuran sekolah. Sungguh ironi, padahal anak-anak sekarang merupakan aset kehidupan mendatang. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 menyatakan bahwa, “Negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa�. Dalam mewujudkan upaya tersebut, setiap Warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945) dan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB IV Pasal 5 ayat (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, ayat (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, ayat (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan ayat (5) Setiap Warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Hal ini


berarti semua Warga negara Indonesia tanpa terkecuali berhak memperoleh pendidikan. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor pendidikan, selain menyediakan sarana dan prasarana sekolah, memfasilitasi faktor-faktor pendukung kegiatan belajar mengajar, serta mengikutsertakan peran masyarakat di dalamnya dengan tidak membedakan strata sosial baik orang tua Si kaya atau miskin, pejabat maupun non pejabat. Tetapi kenyataan yang terjadi kecenderungan bahwa hanya anak-anak yang orang tuanya kaya atau pejabat, yang mampu mengenyam pendidikan terutama di sekolah-sekolah yang bergengsi dan favorit yang tentunya menetapkan standar biaya pendidikan yang tinggi pula. Mengingatkan kepada sejarah masa penjajahan dahulu dimana hanya anak-anak kaum bangsawan, orang mampu yang kaya pada waktu itu, serta anak penjajah itu sendiri yang bisa bersekolah. Kondisi dan situasi yang berkembang sekarang ini, dimana setiap penyelenggara pendidikan berlomba-lomba untuk mencetak anak didik mereka menjadi yang “ter-” bahkan penyelenggara pendidikan luar negeri pun membidik pangsa pasar pendidikan di Indonesia dengan menawarkan program pendidikan yang tak kalah menariknya sehingga tidak peduli berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk keinginan tersebut tanpa melihat situasi kondisi perekonomian secara makro dan kemampuan orang tua murid dalam membiayai sekolah anak-anak mereka. Mengingat kemampuan dan daya nalar masing-masing anak berbeda-beda tentunya hal

ini sangat disayangkan seandainya penyelengara pendidikan dan orang tua murid hanya untuk mengejar prestise saja atau dengan kata lain gengsi yang akhirnya mereka tonjolkan untuk merasa ingin dikatakan lebih atau “ter-” tadi. Dalam falsafah Jawa ada perkataan “Jer Basuki Mawa Bea” yang kurang lebih artinya bahwa sesuatu yang akan dikerjakan tentunya membutuhkan biaya dalam pelaksanaannya. Tetapi apakah dengan biaya pendidikan yang tinggi saat ini akan mampu menciptakan anak didik yang berkepandaian tinggi pula?. Tentu saja jawabannya, belum tentu, karena masih banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan. Selain mendapatkan pendidikan yang layak, anak-anak juga berhak untuk hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara leluasa di dalam lingkungan. Mereka mendapatkan jaminan hukum dari pemerintah bahkan dunia dalam hal tersebut. Akan tetapi, permasalahannya terletak pada implementasinya. Pemerintah sepertinya masih belum maksimal dalam menangani permasalahan ini. Padahal apa yang kita tanam sekarang akan kita petik hasilnya di masa depan. Dengan tidak mencari benar atau salahnya dalam menyikapi kondisi pendidikan yang ada sekarang ini justru menyadarkan kita tentang arti pentingnya pendidikan bagi setiap warga negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana dengan tingkat pendidikan yang baik tentunya juga akan berdampak pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik pula. Tetapi tidak dipungkiri banyak pula orang yang tidak berpen-

didikan tinggi mampu menjadi “sukses” dalam kaca mata atau sudut pandang mereka masingmasing. Lalu arah pendidikan yang bagaimana yang sebenarnya yang cocok diterapkan di Indonesia? Dan yang dapat membuat anak-anak kita tetap merasa bebas untuk berkembang tanpa merasa didikte oleh pendidikan? Dengan tanpa mengabaikan pendidikan maka wacana yang baru-baru ini muncul yaitu, tentang “pendidikan yang membebaskan”. Dimana, diupayakan anak-anak akan tetap bebas tumbuh dan berkembang tanpa merasa didikte oleh pendidikan. Akan tetapi ini masih sekedar wacana belaka. Tentang teknis pelaksanaan atau materi lebih lanjut belum banyak yang tahu. Akan tetapi, yang paling penting adalah arti “membebaskan” di sini. Membebaskan disini bukan semata-mata dalam artian fisik dan psikologis anak. Akan tetapi juga “bebas” diakses oleh anak dari seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan yang tidak berorientasi materi dan uang. Sehingga, diharapkan tidak ada problematika anak putus sekolah atau anak bunuh diri karena tidak mempunyai kesempatan untuk sekolah. Akan tetapi, tentunya hal di atas memerlukan komitmen dari seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintah. Pemerintah selaku stakeholder berkewajiban menjamin semua warganya Sa mendapatkan akses pendidikan secara merata. Sesuai dengan Undang-Undang yang telah ditetapkan. Padahal seperti kita ketahui hampir 20% APBN Pemerintah Indonesia sudah dialokasikan untuk sektor pendidikan, bahkan bersambung ke halaman 31

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

25


Mengintip Realitas Hak Anak melalui Mata Perundangan Oleh: Reny Dwi Puspitasari

K

emajuan bangsa bukan terletak semata-mata karena kekayaan alamnya, bukan pula karena luas wilayah negaranya. Kemajuan bangsa terletak pada anak bangsa sebagai penerus dan penggerak laju kehidupan disegala bidang. Maka bukan hal yang berlebihan pula jika keberadaan anak sangat diperhatikan oleh pemerintah, hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. seperti pasal 28B ayat 2 menjelaskan bahwa, �Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi�. Tentunya bukan tanpa tujuan pengaturan terhadap anak oleh undangundang, hal ini karena Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiaptiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Hal lain yang perlu diingat adalah anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang men-

26

Reny Dwi Puspitasari Mahasiswa Prodi Akhwalu As-Syaksiah (AS) semester V STAIN Tulungagung jamin kelangsungan eksistensi Bangsa dan Negara dimasa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memiliki tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara maka diben-

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

tuklah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dalam Penjelasan UU No 23 Tahun 2002 ini orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memilki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila. Adapun hak-hak anak sebagaimana diatur dalam bab III UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kema-


nusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4 UUPA); Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya (Pasal 6 UUPA); Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8UUPA); Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UUPA); Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberi informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10 UUPA); Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11 UUPA); Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal

12 UUPA); Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan 1) diskriminasi; 2) eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; 3) penelantaran; 4) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; 5) ketidakadilan; dan 6) perlakuan salah lainnya. Dan dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh melakukan perbuatan pelanggaran tersebut maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13 ayat 1 dan 2 UUPA). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik, pelibatan dari sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuha social, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UUPA). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a)Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b)Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c)Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Dan setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat 1 dan 2 UUPA) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pidana

berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya Akan tetapi, dewasa ini seringkali kita lihat di sekitar kita banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap perlindungan hak-hak anak, banyak anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan, berjejal anak jalanan di setiap traffic light, terminal, stasiun, pasar untuk memperdengarkan suara sayu penuh asa untuk mengais rejeki. Waktu bermain sebagaimana anak sebayanya tak dapat mereka rasakan. Kalaupun ada yang dapat mengenyam pendidikan tak jarang pula yang terpaksa putus sekolah. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari kesadaran anak sendiri yang kurang begitu memahami pentingnya pendidikan, akibat pergaulan dan lingkungan dan yang menjadi faktor utama adalah perekonomian keluarga. Pemaksaan kehendak terhadap kehidupan anak misalnya masalah perkawinan ini masih seringkali terjadi tanpa mendengar pendapat anak dan tanpa memperhatikan kebaikan anak, tak jarang pula perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua dan pihak yang akan menikahi terjadi kesepakatan dan anak tidak dibiarkan mengetahuinya dan hanya sendika dawuh sehingga modus seperti ini bisa mengarah perdagangan perempuan (trafficking in women) dengan mengeksploitasi seksualitas yang dimilikinya. Berangkat dari hal diatas terjadi pergeseran perilaku sosial, anak yang seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua ataupun walinya serta berhak mendapatkan fasilitas untuk tumbuh dan berkembang akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, anak menjadi tulang punggung keluarga dengan menbersambung ke halaman 31

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

27




Kontekstualisasi Hadis Anak Didik Oleh: Ahmad Zaini

S

eorang siswa Sekolah Dasar menangis tersedusedu setelah mendapat makian dari gurunya. Batinnya berguncang mempertanyakan apa yang salah pada dirinya, sehingga harus diperlakukan seperti itu. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena tidak dapat mengerjakan suatu tugas yang diberikan oleh gurunya. Begitulah nasib malang yang dialami seorang siswa Sekolah Dasar sebuah lembaga pendidikan di Jawa Timur dan mungkin kejadian tersebut juga dialami ribuan anak dari berbagai pulau di Indonesia. Kekerasan dalam dunia pendidikan anak di Indonesia memang marak terjadi. Ia menjadi satu salah satu problem dari sekian problematika yang melilit dunia pendidikan kita. Posisi anak didik dalam sekolah belum mendapatkan porsi yang proporsional. Ia masih diibaratkan obyek yang pantas diperlakukan sekehendak guru. Walaupun terkadang kekerasan yang berbicara. Ilustrasi di atas merupakan satu sample kasus tindak kekerasan yang dialami anak didik Indonesia dari sederetan kasus serupa yang mewarnai dunia pendidikan mereka. Dalam catatan KNPAI (Komite Nasional Perlindungan Anak Indonesia) ada sekitar ratusan tindak kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap murid di berbagai tempat di Indonesia, jumlah tersebut be-

30

Ahmad Zaini mahasiswa Ushuludin semester V, sekarang menerima amanat menjadi ketua SMJ Ushuludin Periode 2010-2011 lum termasuk tindak kekerasan psikis dan seksual. Menyoal tindak kekerasan dalam dunia pendidikan, konsep pendidikan Islam pun marak memperbincangkan hal tersebut berkenaan dengan sumber hukum kedua –yang bila dipahami secara tekstual—memunculkan persepsi anjuran tindak kekerasan dalam dunia pendidikan dan melegalkannya dengan dalih menjalankan perintah agama. Hadis itu berbunyi : Memberikan kabar kepada kami Ibnu Isa, yakni Ibnu Toha, memberikan kabar kepada kami Ibrahim Ibn Said dari Abdul Malik Ibn Rabi’ Ibn Sabrah dari bapaknya, dari kekeknya, berkata : Rasu-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

lulloh SAW bersabda “Perintahkanlah olehmu kepada anak-anakmu untuk mengerjakan solat apabila telah sampai (umurnya) 7 tahun. Dan apabila sampai 10 tahun maka pukullah dia agar mau mengerjakan solat.” Memberikan kabar kepada kami Muhammad Ibn Hisyam, yakni Yasykuri, memberi kabar kepada kami Ismail dari Sawar Ibn Hamzah. Berkata Abu Daud : Dan dia itu Sawar Ibn Daud Ibn Hamzah al Muzanni al Shoyrofi, dari Amr Ibn Daud Abu Hamzah Muzani al Shoyrofi. Dari Amru Ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata : “Telah bersabda Rasululloh SAW “Perintahkanlah olehmu sekalian anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu mereka anak-anak yang berusia 7 tahun, dan pukullah olehmu anak-anakmu yang usianya 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka olehmu.” Mengabarkan kepada kami Ali Ibn Hujri, memberi kabar kepada kami Harmalah Ibn Abdul Aziz Ibn Robi’ Ibn Sabrah al Juhani dari pamannya Abdul Malik Ibn Robi Ibn Sabrah dari kakeknya berkata : Rasululloh SAW bersabda “Ajarilah olehmu anak-anakmu untuk mengerjakan solat yaitu anak yang berumur 7 tahun, dan pukullah olehmu untuk mengerjakan solat anak yang berumur 10 tahun.”


Hadis-hadis tersebut seakan menjadi justifikasi keyakinan masyarakat awam dalam mendidik anaknya. Karena itulah, penting sekali kiranya memahami suatu hadis melalui berbagai pendekatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal dengan harapan mampu menghasilkan interpretasi hadis yang mengacu pada kemaslahatan bukan malah sebaliknya. Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Islam Hadis yang penulis ketengahkan pada latar belakang pembahasan ini merupakan hadis yang tergolong popular. Hadis tersebut difahami secara literal terkesan bahwa, pendidikan Islam itu mendukung kekerasan. Untuk itu, sebagai penghantar memahami hadis secara kontekstual, penulis ketengahkan juga penafsiran secara tekstual oleh ulama yang dikategorikan klasik. Bukan berarti maksud penulis ingin membanding-bandingkan tingkat relevansi sebuah penafsiran. Namun perlu kita sadari, bahwa para muffasir (orang yang menafsirkan; red) dalam menuangkan buah pikiran dalam sebuah karya tidak lepas dari situasi dan kondisi serta setting sosio-kultural pada masa itu. Disamping itu, ada sebagian umat islam yang menganggap hasil interpretasi ‘ulama-ulama` klasik sebagai harga mati sehingga mengkuduskan hasil pemikirannya. Hal inilah –menurut analisis ulama` kontemporer— yang menjadi salah satu penyebab terbelakangnya umat islam saat ini. Yang lebih memprihatinkan, masih ada umat islam yang begitu bangga menyebut nama para ilmuwan muslim namun sedikitpun hatinya tidak tergerak untuk melanjutkan per-

juangan mereka. Penafsiran Hadis Secara Tekstual Asy Syafi’i dalam AlMukhtashar berpendapat bahwa sudah lazim atas ibu-bapak mendidik anak-anaknya dan memberikan pelajaran yang berkenaan dengan thaharah dan solat. Bahkan wajib mendera mereka jika enggan menuruti bila mereka telah mumayyiz (10 tahun). Menurut An Nawawi orang yang tidak dibebani kewajiban solat, tidak diwajibkan bagi kita untuk menyuruhnya mengerjakan solat baik yang dasarnya wajib maupun yang dasarnya sunah kecuali terhadap anak kecil laki-laki dan perempuan. Anak kecil yang telah mencapai umur 7 tahun disuruh mengerjakan solat atas dasar sunah. Dan jika telah berumur 10 tahun wajiblah diperintahkan kepada mereka mengerjakan solat, dan dipukul jika mereka enggan mengerjakan solat. Pukulan itu harus dengan tangan, jangan dengan kayu. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja), pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan), tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh, tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada, tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali, tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda

keras lainnya). Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Ada juga yang berpendapat bahwa hadis di atas memang boleh dipahami dengan memukul fisik anak/peserta didik, tetapi pada bagian tubuh tertentu, harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, bukan bercampur kemarahan dan kebencian. Sebab hal itu akan membuat psikologis anak semakin memberontak. Itu pun dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah berbagai upaya dilakukan.Ini disebut dengan pukulan yang bersifat edukatif. Hukuman fisik berupa memukul baru bisa dikenakan pada anak ketika ia memasuki usia 10 tahun, alasan pemberian hukuman ini pada hadis tersebut adalah karena anak tidak melakukan solat dan pukulan itu adalah sebagai hukuman. Ini bukanlah suatu tindakan yang kejam (kekerasan fisik). Jumhur ulama berpendapat bahwa pemukulan itu dilakukan dengan tidak membawa penderitaan pada tubuh anak. Dan dihindari pemukulan yang diikuti oleh pukulan berikutnya. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan tentang metode influentif terhadap pendidikan anak yang terdapat dalam lima tahapan, antara lain : 1. Pendidikan dengan keteladanan; 2. Pendidikan dengan adat kebiasaan; 3. Pendidikan dengan nasihat; 4.Pendidikan dengan memberikan perhatian; 5.Pendidikan dengan mem-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

31


berikan hukuman. Artinya pemberian hukuman hanya akan diberikan setelah melewati satu persatu metode di atasnya yang dimulai dengan keteladanan, adat kebiasaan, nasihat, dan memberikan perhatian, baru yang terakhir adalah pemberian hukuman. Panduan fiqh klasik ini sering disalah artikan oleh beberapa pendidik sebagai sebuah legitimasi untuk mendidik anak dengan cara kekerasan. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi seorang guru apabila melihat anak yang nakal, maka tangan sang guru sebagai pelajarannya. Karenanya, tidak jarang para pendidik yang lebih menekankan hasil dari proses yang dijalankan. Asal anak bisa paham cara apapun bisa dilakukan meskipun dengan ancaman, intimidasi bahkan sampai tindakan kekerasan. Penafsiran Hadis Secara Kontekstual Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan wadhribuu (dan pukulah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadis tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadis

32

tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggung jawab orang tua. Kata wadhribuuu (dan pukullah) tidak harus dipahami memukul fisik Si anak secara kasar dan keras lalu menyakitinya. Akan tetapi, kata memukul bisa dipahami dengan memberikan sesuatu yang berbekas kepada anak sehingga ia berubah dari tidak shalat menjadi shalat, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Misalnya, dengan memberikan nasehat yang tulus secara khusus. Atau memberikan sesuatu yang mengejutkan mentalnya sebagai shock terapy tetapi dengan sikap penuh kasih sayang. Seorang ibu, misalnya, menesehati anaknya dengan linangan air mata dan mengajaknya berdialog dari hati ke hati. Hal itu bisa membuat hati Si anak berbekas sehingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya. Sedangkanmenurut penulis,titik tekan murru (perintahkanlah) adalah perintah untuk mendidik, sedangkan pada kata wadhribuu (dan pukullah) penekanannya adalah sebuah bentuk hukuman dalam proses pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pada masa sekarang ini pemukulan sebagai sebuah bentuk hukuman ini masih relevan dan efektif digunakan dalam mendidik anak?. Tentu saja karakter anakanak pada masa Nabi Muhammad hidup dengan anak-anak sekarang berbeda, sehingga menurut penulis hukuman dengan memukul ini sudah tidak relevan dan efektif lagi.Hal tersebut dikarenakan anak pada masa sekarang ketika berumur 10 tahun sudah bisa berpikir logis atau nalar. Walaupun demikian, huku-

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

man dalam proses pendidikan harus tetap ada dan hukuman yang diberikan bukan berupa pemukulan tetapi harus hukuman yang bernuansa edukatif. Membentuk Paradigma Anak Pendidikan awal anak sangat menentukan bagi perkembangan mental dan jiwa di masa yang akan datang. Setiap orang harus mengetahui bahwa anak memiliki hak yang sama sehingga bisa menjadi dasar perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Anak yang baru lahir ke dunia ini dalam keadaan kosong dan bersih dari memori apapun dari otaknya. Kemudian kedua orang tuanya mulai mengajak berbicara dengan ekspresi gerakan tubuh secara berulang. Seiring berjalannya waktu, Si anak pun mulai memahami makna dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya.Berbagai peristiwa yang yang terjadi di sekitar terus memberikan pengetahuan sebagai bahan dasar pengisi memori di otak dan perasaannya. Setiap kali anak menemui peristiwa baru, maka akan muncul kesan tersendiri di otaknya. Bila di kemudian hari dia menemui peristiwa yang sama, maka memorinya akan terbuka dan mengemukakan persepsinya. Perasaan-persaan yang tersimpan dalam memori akan berpengaruh pada perilaku anak dalam kehidupannya. Perasaan yang positif akan menuntun anak berbuat yang positif. Begitu juga sebaliknya, perasaan negative yang tersimpan dalam memori akan menuntun anak berperilaku yang negatif. Untuk mewujudkan pembentukan paradigma yang baik bagi anak, upaya yang petama harus ditempuh yaitu dengan menciptakan lingkungan yang baik pada berbagai unsur yang sangat pent-


ing perannya dalam membentuk pola pikir Si anak. Penciptaan tradisi yang baik tersebut diawali dari lingkungan keluarga-- dalam hal ini kedua orang tua, kemudian keluarga dekat, lingkungan sosial, sekolah, teman dan media masa. Unsur-unsur tersebut akan membentuk paradigma dan selanjutnya akan berpengaruh pada perilaku sehari-hari Si anak. Sehubungan dengan pengaruh pikiran pada perilaku anak perilaku, Sokrates berkata,

“Dengan pikiran seseorang bisa menjadikan dunianya mulus atau bertabur duri�. Dengan mengacu pada hal tersebut, penulis mengajak semua lini yang berpengaruh dalam proses pembentukan pola pikir Si anak untuk mau berupaya merubah paradigma serta membuat tradisi yang baik dimulai dari sekarang demi masa depan generasi kita yang lebih baik.Kita sangat butuh generasi yang jujur, tangguh dan tanggung-jawab un-

tuk memimpin negeri tercinta kita ini.Negeri yang kaya-raya Sumber Daya Alam saat ini diobokobok oleh tikus-tikus berdasi yang tak kenal kenyang serta belas kasih pada rakyat. Selain itu, dalam bidang keilmuan, kita juga dilanda krisis figur yang mau dan mampu mencurahkan pikirannya sebagai upaya dalam membangun sebuah peradaban. Para sarjana-sarjana kita saat ini masih tertidur lelap dibuai impian-impian fatamorgana.

anak didik dari kalangan orang tua yang kurang mampu, sedangkan gaji dan tunjangan kepada para pendidik sekarang ini relatif cukup memadai. Di beberapa negara tetangga dekat kita justru ada yang membebaskan masalah pendidikan terhadap warga negaranya alias sekolah gratis karena mereka menyadari pentingnya aset sumber daya manusia sebagai masa depan

bangsa dan negara mereka serta rasa tanggung jawab tinggi terhadap warga negaranya. Sekali lagi, pendidikan memang bukanlah kunci utama yang dapat menjamin kehidupan yang baik untuk anak-anak, tetapi setidaknya hak dasar mereka sudah terpenuhi dan mereka mempunyai kesempatan untuk berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya.

langgaran dan perampasan terhadap hak-hak anak yang mana anak juga mempunyai hak asasi. Oleh karena itu upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. upaya perlindungan anak harus berdasarkan asas-asas nondiskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Maka, setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, melakukan pemaksaan terhadap anak melaku-

kan sesuatu serta melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memperdagangkan, menjual atau menculik anak dan hal lain yang mana kesemuanya merugikan dan atau membahayakan bagi keselamatan anak maka dikenakan pidana sebagaimana telah diatur dalam UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak; red). Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan.

sambungan halaman 23

Pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 tahun, sejak tahun 1984 dan pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 tahun yang telah dicanangkan sejak tahun 1994, Pemerintah juga mengeluarkan Program BOS dan BOS buku (BOS = Biaya Operasional Sekolah) untuk para siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama, pemberian program beasiswa bagi sambungan halaman 25

jadi tenaga kerja di luar negeri, inilah jalan yang banyak dipilih oleh kebanyakan warga khususnya di Tulungagung, berharap akan dapat merubah hidup dengan iming-iming sejumlah penghasilan yang akan diperoleh, tak jarang pula yang didapat adalah kekerasan baik fisik dan atau mental dari majikan, pelecehan sesksual, dieksploitasi bahkan menjadi korban perdagangan orang (khususnya perempuan). Tentunya hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Begitu pula dengan anak putus sekolah, ini akan menjadi rantai yang panjang bagi hitam putihnya masa depan suatu bangsa. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus untuk menghindari pe-

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

33


“Mengintip� Awal Kepemimpinan Dr.Maftukhin,M.Ag

Dr.Maftukhin,M.Ag Ketua STAIN Tulungagung periode 2010-2014

P

ada tahun ini (2010; red), STAIN Tulungagung mengadakan pemilihan ketua baru untuk menggantikan Prof. Dr. Mujamil Qomar,M.Ag yang memang sudah selesai masa kepemimpinannya. Dan, akhirnya terpilihlah Dr.Maftukhin,M. Ag setelah melalui proses pemilihan yang ketat. Sebelum dilantik menjadi ketua yang baru, setiap calon ketua STAIN Tulungagung masing-masing menandatangani kontrak akademik dengan mahasiswa yang diwakili oleh BEM (Badan Eksekutif Maha-

34

siswa) dan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) pada waktu itu. Begitu juga dengan Bapak Maftukhin. Di dalam kontrak akademik tersebut, pada intinya berisi mengenai tuntutan akademik yang diajukan mahasiswa kepada ketua yang baru. Setiap terjadi pergantian kepemimpinan pasti selalu diikuti oleh pengharapan akan adanya perubahan yang lebih baik. Begitu juga dengan Bpk. Maftukhin. Diharapkan dengan kepemimipinan beliau dapat membawa angin segar ke dalam kampus ini.

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

dimensi/adib

Tidak dipungkiri bahwa di dalam kehidupan kampus pasti selalu ada dinamika. Adapun dinamika kehidupan kampus yang menonjol adalah kritik mengkritik sebagai ajang meluapkan opini warga civitas akademika. Saling mengevaluasi, ada kritik yang bersifat top-down, seperti halnya kritikan birokrasi kampus terhadap mahasiswa aktivis yang terlalu keras memegang idealismenya, kritik terhadap gaya hidup mahasiswa, etika mahasiswa dan sampai berakibat pada kebijakan pengeluaran


mahasiswa. Tidak berhenti sampai disitu, kritik yang bersifat bottom-up juga tidak kalah panas. Dimana, mahasiswa tidak bosan-bosannya mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus yang terkadang dianggap tidak memihak kepada mahasiswa, komentar terhadap kinerja dan juga pelayanan birokrasi kampus yang sering dirasakan mengecewakan mahasiswa. Semua itu selalu menjadi bahan berita kampus yang selalu hangat untuk dibahas. Situasi dan kondisi civitas akademika yang seperti ini tidak dapat disederhanakan hanya sebatas “warisan kepemimipinan sebelumnya”. Namun, memang harus ada pembenahan yang dimulai dari semua unsur dan yang memiliki peran vital di sini adalah seorang ketua. Ketua terpilih dipercaya oleh seluruh eleman kampus sebagai tumpuan harapan semoga saja, visi misi yang disampaikan Bpk Maftuhin pada waktu itu bukanlah sebagai sesuatu hal yang muluk-muluk (rumit; red). Tapi, visi misi itu adalah sesuatu hal yang harus realistis, didukung oleh alasan yang logis bukan hanya sebagai bahasa kampanye untuk mempercantik retorika sehingga diharapkan mampu untuk direalisasikan dalam jangka waktu yang jelas. Kontrak Akademik; Ketua STAIN Tulungagung dengan Mahasiswa Sebelum prosesi pemilihan Ketua STAIN Tulungagung dihelat, para kandidat melakukan kesepakatan dengan mahasiswa. Yaitu, kesepakatan untuk menandatangani kontrak

akademik yang ditawarkan oleh perwakilan unsur mahasiswa. Kontrak akademik yang dimaksudkan disini adalah kontrak/ perjanjian antara mahasiswa dengan dengan calon ketua STAIN terkait program-progam yang harus dipenuhi oleh ketua terpilih ketika telah menjabat. Butir-butir penting dalam perjanjian itu, merupakan hasil rekomendasi Kongres Mahasiswa pada tahun sebelumnya. Yang kemudian, dimusyawarahkan oleh antar ketua lembaga intra kampus serta disesuaikan dengan kebutuhan dan problematika yang dihadapi seluruh elemen mahasiwa. Contoh problematika itu seperti yang diungkapkan Zainul, selaku Presiden BEM periode 2009-2010 bahwa, dia masih melihat banyak dosen yang dipaksakan untuk mengajar pada jurusan yang tidak pada faknya (bidang keahlian; red). Dia menilai dosen-dosen yang seperti itu tidak pas untuk mengajar pada jurusan yang tidak dimengerti. Sehingga mengakibatkan banyak mahasiswa yang kebingungan dan mengeluh. Permasalahan lain terkait kondisi fisik kampus juga diungkapkannya, “Perlu ada gedung olahraga, karena saya melihat ya… masak di kampus ini kok cuma ada lapangan yang tidak layak. Teman-teman kemarin juga mengusulkan ambulance, karena selama ini setiap ada orang yang sakit, kita kesulitan untuk merujuk ke rumah sakit terdekat. Terlalu susah jika cuma mengandalkan kijang kampus, itupun kalau bisa dipinjam, kadang sulit”. Melihat kondisi seperti itu, maka perlu diadakannya kon-

trak akademik, karena programprogram yang dituliskan dalam perjanjian kontrak itu dirasakan menjadi kebutuhan utama bagi seluruh mahasiswa dan juga untuk kemaslahatan civitas akademika. Masih Zainul, “Apa yang tertuang dalam kontrak akademik itu memang menjadi kebutuhan mahasiswa hari ini.” Kontrak akademik atas nama calon ketua STAIN Tulungagung periode 2010-2014 dengan mahasiswa yang ditandatangani ketua DPM dan BEM periode 2009-2010 itu berisikan tentang : 1. Memperbaiki, meningkatkan kualitas dan pelayanan fasilitas kampus, yaitu perpustakaan, laboratorium, unit kerja dan birokrasi kampus utamanya unit BAK (Badan Pelayanan Akademik; red) 2. Menyediakan dan merealisasikan fasilitas-fasilitas pengembangan organisasi kemahasiswaan berupa; jaringan internat kabel disetiap kantor lembaga kemahasiswaan intra kampus, gedung olahraga (GOR; red), satu unit mobil ambulance untuk klinik kampus, anggaran tetap per-semester untuk radio kampus 3. Menurunkan biaya perkuliahan (SPP; red) di kampus STAIN Tulungagung. -selama tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku 4. Perbanyak akses beasiswa, terutama untuk pengiriman mahasiswa ke luar negeri 5. Realisasi praktikum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa di masing-masing program studi 6. Melaksanakan sosialisasi

DIMëNSI No.25 Tahun XVI, Oktober 2010

35


dan hiring terkait seluruh kebijakan kampus kepada seluruh civitas akademika 7. Membuka dan melaksanakan aktifitas kampus 24 jam 8. Mendirikan lembaga non structural untuk pengembangan akademik kemahasiswaan 9. Menjamin kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademika 10. Menjamin dosen yang mengajar kepada mahasiswa harus kompeten dengan bidang keilmuan yang dimilikinya Secara hukum, kontrak tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang sah, legal bermaterai. Kontrak akademik yang telah ditandatangani bersama dengan perwakilan mahasiswa pada tanggal 02 Pebruari 2010 itu telah menjadi janji dan kewajiban bagi ketua STAIN sekarang untuk direalisasikan pada jangka waktu yang jelas. Sehingga, kontrak itu menjadi pekerjaan rumah )PR( ketua terpilih, beserta tanggung jawab seluruh elemen mahasiswa untuk selalu mengawal atas keberlangsungannya. Seperti yang dihimbaukan oleh Zainul, “Besok adalah bagian tugas dari temanteman mahasiswa semua untuk menagih kalau memang tidak dilaksanakan”. Ujarnya tegas. Hal tersebut juga diamini oleh Saiful, ketua DPM 2009-2010, “Semangat untuk kawan-kawan mahasiswa untuk selalu ikut mengawal kontrak akademik ini. Ditemui terpisah Bpk.Maftukhin mengungkapkan, ”Kalau permasalahan kontrak akademik Selama 5 bulan pertama sebagian kontrak saya itu sudah

36

terpenuhi, hanya saja ada beberapa yang belum bisa saya penuhi, misalnya penurunan SPP. Kalau menurut saya, segitu itu sudah murah. Akan tetapi jangan dianggap pendidikan yang murah itu kualitasnya juga kurang”. 4 Bulan, Terlalu Dini Untuk Mengevaluasi Ketua Kinerja Ketua STAIN Tulungagung Bpk. Maftukhin, sampai hari ini belum bisa dievaluasi oleh seluruh unsur civitas akademik. Mulai dari personel mahasiswa, perwakilan lembaga kampus, unsur dosen, ketua jurusan beserta staf-stafnya memiliki kecenderungan yang sama, bahwa mereka menilai masih terlalu dini untuk menanggapi kinerja ketua STAIN yang baru berjalan sekitar 4 bulan-an ini. Seperti yang diungkapkan oleh Sirajuddin, Ketua Jurusan Syariah, “Secara umum sebenarnya program kerja Bpk.Maftuhin belum bisa dinilai, karena beliau menjadi ketua masih beberapa bulan, sekitar 4 bulanan Bpk. Maftuhin hari ini masih sendirian”. Hal berbeda diungkapkan oleh salah satu mahasiswa yang tidak mau diungkapkan jati dirinya tersebut bahwa, ”Menurut saya kampus masih terlihat biasa-biasa saja, belum ada perubahan yang bersifat mendasar, suasananya masih sama dengan periode kepemimpinan yang sebelumnya, yakni kepemimpinan Bpk.Mujamil Qomar”. Presiden BEM pada saat itu, Zainul, sebagai representasi mahasiswa juga menyadari wajar jika ketua STAIN sekarang belum bisa menunjukkan kiprahnya

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

kepada mahasiswa, juga belum melakukan perubahan fisik secara signifikan. Salah satu alasannya, karena Pembantu Ketua (PK; red)nya selaku orang yang melaksanakan program kerja 4 tahun ke depan itu juga baru dilantik. Sehingga dia melihat, ketua terpilih ini masih melakukan perencanaan dan penataan pos-pos pengisian pembantupembantunya, mulai dari penataan pengisian PK tersebut, ketua jurusan, ketua program studi, dan wilayah operasional yang lainnya. “Saya kira masih sama dengan yang dilakukan ketua STAIN sebelumnya. Jadi, wajar kalau banyak mahasiswa yang mengatakan masih biasabiasa saja. Ya kita bisa menilai paling tidak satu semester lagi.. istilahnya, ini masih meneruskan program kerjanya P.Mujamil kemarin”. Imbuhnya. Harapan Terhadap Kepemimpinan Yang Baru Beberapa dosen dan staf administrasi, untuk saat ini masih memberikan penilaian positif terhadap sosok P.Maftukhin sebagai ketua STAIN. Beliau dianggap memiliki jiwa muda, tidak adanya istilah mengeluh, seperti mengeluh karena capek atau sibuk menangani urusan yang terlalu banyak. Sirojudin, mengutarakan bahwa, “Tanggapan yang lebih mendetail mengenai sosok Maftuhin itu sebenarnya bisa dilihat kalau setidaknya sudah berjalan beberapa semester. Meskipun belum bisa kelihatan sepenuhnya. Tapi secara umum saya melihat pak maftuhin, dalam kinerjanya itu lebih cepat menanggapi masalah yang kecil-kecil seka-


lipun”. Ungkapnya tegas. “Saya belum pernah menemui beliau mengeluh karena kesibukannya, Entah karena beliau masih baru menjabat ini atau memang sudah sifat pembawaannya. atau juga mungkin karena jiwa mudanya itu”. Imbuh kata Sirojudin. Bila Kajur Syariah tersebut mengakui bahwa sepak terjang dan gerakan Bpk.Maftukhin setelah menjadi ketua jauh lebih gesit, jauh lebih tanggap daripada sebelum dia menjabat, maka semoga saja, ini berarti beliau sudah mulai bisa menunjukkan keseriusan dalam kinerjanya untuk mengawal kemajuan kampus ini serta bagaimana menampilkan STAIN Tulungagung lebih meng-indonesia. Kurang lebih seperti kalimat di atas itulah yang dipaparkan Moh. Aswad, dosen ekonomi Islam dan Rizqon Khamami, dosen Filsafat Agama. Juga ditegaskan dari Mahasiswa TMT sekaligus Aktivis KSR yang tidak brsedia disbutkan namanya ini mengungkapkan harapannya kepada ketua yang baru. Maha-

siswa sangat percaya akan kapasitas Bpk. Maftukhin sebagai ketua STAIN Tulungagung yang memiliki semangat besar untuk memaksimalkan kemampuan dalam mengcover seluruh anggaran program kerjanya serta merealisasikan visi-misi yang dipaparkan pada kampanye debat kandidat tanggal 02 Pebruari 2010 kemarin. P.Maftukhin sendiri saat ditemui di kantornya mengungkapkan tentang visi dan misi ke depan. “Visi misi STAIN itu jelas, yang berbeda gaya kepemimipinan.Perbedaan visi misi terkait dengan latar belakang kepemimpinan. Secatra ontologism. Seperti ini; pertama, adanya keterbukaan di dalam semua pengelolaan kelembagaan, harus ada standar aktivasi dalam menjalankan kegiatan. Kedua,dalam setiap komunitas, mempunyai latar belakang yang berbeda. Kita harus memahami kalau ada perbedaan. Perbedaan itu tidak boleh dibunuh. Multikulturalisme harus dilestarikan; ketiga, dalam pengelola sesuatu pasti tidak akan berhasil tanpa kerja

sama dengan orang lain. Oleh karena itu, saya berusaha untuk menggenjot SDM terutama dosen, mahasiswa, bahkan lulusan S3 pun diupayakan untuk diberdayakan”. Kalau masalah harapan, “Perguruan tinggi tidak hanya mencetak seorang pekerja dalam arti ekonomi. Tetapi juga menciptakan pemikir. Bagaimana mahasiswa itu tidak bergantung kepada orang lain. Kalau seorang pemikir kan bisa memberdayakan daerahnya”. Dan di wilayah itulah kita mengalami kekurangan, makanya di awal saya bilang untuk menggenjot seluruh SDM STAIN”ungkap mantan dosen pengajar ini sembari menutup perbincangan dengan kru DIMëNSI.//News Camp crew//

DIMëNSI No.25 Tahun XVI, Oktober 2010

37


Negeri ini tertidur!!! Indonesia sekarang ini seperti sedang diuji kelayakannya sebagai sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bagaimana tidak, mulai dari permasalahan korupsi besar-besaran yang merugikan uang rakyat. Skandal dalam pemerintahan yang melibatkan banyak elite politik, krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, bencana alam yang terus-menerus sampai masalah penegakan hukum yang mulai diragukan tingkat keadilannya. Semua seakan terjadi dalam suatu kurun waktu yang bersamaan. Apakah ini ujian atau teguran kepada bangsa kita yang mulai lupa dan mulai terlena dengan gemerlap dunia? Anak- anak pun tak luput terkena badai cobaan. Beberapa waktu yang lalu sering terdengar di telinga kita berbagai masalah kekerasan terhadap anak. Dan masalah yang banyak menyita perhatian publik adalah kasus Babe yang membunuh belasan anak jalanan. Belum lagi masalah trafikking, dan pekerja anak yang ibarat bola salju. Permasalahan tersebut seakan tidak pernah berkurang tetapi semakin menggelinding besar. Ibarat bola salju yang semakin lama semakin membesar, problematika anak menunggu untuk diberikan solusi. Melihat hasil survei beberapa badan independen dan juga lembaga perlindungan anak menunjukkan angka yang meningkat dari tahun lalu. Bahkan, bukan hanya meningkat tetapi lebih beringas dan sadis. Anak seperti sudah dianggap komoditi yang dapat dijadikan obyek pelampiasan luapan emosi yang tidak terkontrol. Sungguh ironis? Anak-anak memang manusia lemah yang belum mempunyai sistem pertahanan diri yang kuat, sehingga mudah dijadikan obyek luapan emosi. Tangis serta rengekan anak-anak semakin keras terdengar. Seakan mulai bosan gaung dan gaduhnya tangisan, mereka (pemerintah) cenderung membiarkannya terus menangis dengan harapan dia akan berhenti jika merasa capek. Pembiaran seperti yang sedang tren di Negeri ini menandakan vakumnya keadilan dan kebenaran. Indonesia tertidur karena lelah membangun dan mempercantik fisiknya. Saat ini Indonesia yang disebut-sebut Negara gemah ripah loh djinawi, zamrud khatulistiwa, kaya budaya dan ramah tamah rakyatnya tengah mati suri. Dia terhipnotis oleh fatamorgana-fatamorgana tikus-tikus berdasi. Yang senantiasa mengorek dan merongrong Negara ini tanpa pernah mengenal kenyang. Sedangkan para sarjana mudanya sedang tertidur dan terbuai oleh individualistik. Sekarang saatnyalah kita bangun kawan!. Sekecil apapun aksi kita maka, kita mempunyai kesempatan untuk membangunkan negeri kita yang sedang tertidur.(redaksi)


Membongkar Nilai-Nilai Permainan Tradisional Di Era Kesejagadan “Memang aksi dan refleksi Kita semua-lah yang harus merawat dan melestarikannya, tidak usah menunggu siapa yang berwajib atau berwenang. tetapi siapa yang ber-nyali meletarikan mainan tradisional itulah yang dibutuhkan sekarang ini”. Kata Beni Harjanto, Budayawan Tulungagung

G

lobalisasi ibarat “virus” yang dapat menjangkiti seluruh sistem dalam sebuah Negara. Bagi yang mempunyai ketahanan kuat maka globalisasi dapat melebur dan membuatnya semakin berkembang. Akan tetapi, jika tidak mempunyai ketahanan yang kuat maka siap-siap akan tergerus oleh globalisasi. Seperti kebudayaan tradisional, yang sekarang ini mulai tergerus oleh arus perputaran zaman. Kesenian dan produk-produk tradisional mulai dilupakan dan pada akhirnya berakhir di museum belaka. Generasi muda perlu terus dikenalkan sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai tradisional agar tidak punah oleh globalisasi. Sorotan mengenai bentuk pelestarian terhadap kebudayaan lokal sekaligus produk-produknya terus menerus diupayakan. Dan jika dikaitkan dengan anak adalah permainan tradisional yang mulai punah. Jarang sekali kita temui anak-anak kita bermain seperti yang kita lakukan saat kita kecil. Mereka cenderung lebih menyukai permainan- permainan modern layaknya, Plays Station, Handphone, Video Games dan lain-lain. Berangkat dari persoalan tersebut, mendorong kru DIMëNSI melakukan

investigasi di beberapa wilayah Tulungagung untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai permainan tradisional. Dan membongkar nilai-nilai misterius yang terkandung dalam permainan tradisional yang masih belum banyak disadari oleh masyarakat kita. Ke (Ada) an Permainan Tradisional Anak Investigasi terfokus pada Desa Rejosari dan Karang Talun. Dikarenakan di dua desa ini ditemukan anak-anak yang masih bermain dengan bahan

ala kadarnya. Hanya terbuat dari klaras (daun pisang kering: red), debog (batang pisang; red), bambu, bekas genteng pecah dan lain-lain, tetapi mereka terlihat tetap menikmatinya. Walaupun, sekarang ini menjamur permainan modern layaknya, Plays Station (PS), handphone, internet, dan sebagainya yang menawarkan tantangan lebih . Hal tersebut tidak mengurangi pamor permainan tradisional di desa ini. “Weh..kalau disini (Rejosari; red) permainan kuno masih ngembuk (banyak; red), gek bahannya mudah dicari di

Dok.DIMeNSI

Beberapa anak sd sedang memainkan permainan tradisional di halaman sekolahnya.

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

39


dekat rumah”. tutur Wawan Hermanto salah satu warga Rejosari. Hal tersebut membuktikan bahwa, permainan tradisional masih mempunyai daya tarik tersendiri. Karena sebenarnya permainan tradisional memiliki nilai-nilai edukatif alami yang luar biasa dan belum tentu permainan modern memilikinya. Walaupun dengan bahan sederhana, mampu menghadirkan realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, entah karena persoalan tidak punya uang, jauh dari kota, atau belum familiar dengan permainan masa kini yang membuat banyak anak di sini (Rejosari; red) tetap memainkan permainan tradisional. Sementara banyak anak di tempat lain menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bermain Plays Station misalnya. Akan tetapi, jika diresapi lebih dalam permainan tradisional sesungguhnya memiliki nilai-nilai moral dan sosial yang berguna dalam perkembangan anak. Seperti ekspresi jiwa komunal, kreatifitas, atraktif, inovasi, dan lainlain. Selain nilai plus dari nilai-nilai edukatifnya, permainan tradisional mudah dilakukan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Seperti yang dikemukakan Teguh Sugiarto, (7), “Bendino blek dolanan karo bocah akeh, reno-reno koyo gedrek, basbasan, uthet, bethengan, gobak sodor, jumpritan karo bocahbocah kelas 1 nganti kelas 6, tapi mek pas wayah ngaso thok yo sedelut bedo lek neng omah, nang sawah iso suwi nganti waleh,” (Setiap hari bermain dengan teman- teman, bermacam

40

– macam seperti gedrek, basbasan, uthet, bethengan, gobak sodor, jumpritan bersama murid kelas 1 sampai kelas 6, tetapi hanya sebentar. Hanya waktu istirahat, berbeda jika di rumah, di sawah bisa lama sampai bosan; red)”. Melihat antusiasme anakanak bermain permainan tradisional, menunjukkan pamor nilai-nilai permainan tradisional masih mengakar. Muatan nilai misterius secara tidak sadar menggiring anak ke dalam dunia yang penuh semangat, kebersamaan, keberanian, kedisiplinan rasa sosial, berfikir strategi ala bas-basan, terasa dekat dengan alam serta membuat fisik menjadi sehat . ”Maleh konco akeh, aku bar dolanan ngeni iki mamangane yo ndak ngerti apa gunane mas, seng penting seneng wae, basan let suwi maleh eroh wooh cara-carane dolanan (menambah teman, setelah bermain saya menjadi tahu mengenai manfaatnya mas… yang penting senang saja, tidak lama kemudian menjadi tahu cara- cara bermainnya; red) tambah siswa kelas 1 SDN Bendiljati Kulon 1 ini. Berbeda dengan Rizki Adi Saputra “Aku wes rodok waleh karo dolanan-dolanan tradisional mek modele biasa-biasa ae, soale konco-koncoku podho dolanan game, HP, bilyart, PS (Plays Station) , yo sebenere sesekali yo dolanan sing tradisional” (Aku sudah sedikit bosan dengan yang tradisional, bentuknya biasa saja dan teman-temanku bermain game, HP, Bilyar ,PS, ya… sebenarnya sesekali bermain yang tradisional juga ; red)”. Dapat dilihat, lunturnya mi-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

nat akan permainan tradisional sedikit banyak dipengaruhi dari bentuknya yang sederhana dan bertambahnya usia anak. Karena memang secara tampilan fisik kita tidak bisa langsung membandingkannya dengan permainan modern berikut pula fitur-fiturnya. Sumini, (57), “Entah sekarang kenapa…anakanak menjadi tidak seperti dulu, di jalan ini ramai banget mulai main jaran-jaranan, sepur-sepuran, layang-layang tapi sekarang anak-anak beralih game player, ketimbang bermain tradisional yang sarat akan kegembiraan dan kebersamaan. Sekarang mulai luntur mas…, ” tutur perempuan yang berdomisili di Ngunut. Beny Harjanto, selaku budayawan Tulungagung menanggapi, “Sekarang ini permainan tradisional mulai ditinggalkan oleh yang memainkan karena generasi muda kebanyakan iwuh (bingung; red) belum mempunyai greget atau pedoman yang kuat tentang budaya yang dimilikinya sehingga menjadikan ketika ada permainan baru masuk akan rawan sekali terpengaruh”. Agaknya dalam hal ini, pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mencegah generasi muda mendatang “buta” akan kebudayaan tradisionalnya. Termasuk, permainan tradsisonal yang merupakan manifestasi kehidupan asli masyarakat Indonesia. Dampak; Permainan Tradisional Vs Permainan Modern Seiring berjalannya waktu, permainan elektronik mulai menjamur di pasaran. Dan perlahan menjadi boomerang bagi per-


mainan tradisional. Banyak faktor yang membuat melemahnya bergrand permainan tradisional seperti, lahan menyempit tergantikan oleh gedung-gedung mewah, waktu bermain anak terbatas, tidak populer, perubahan paradigma pendidikan anak. dan lain-lain. Memang awal perkembangan permainan tradisional sebagai proses enkulturasi - sosialisasi nilai-nilai budaya masyarakat. Tetapi sekarang semua orang mulai dimanjakan oleh berbagai macam permainan serba canggih dalam fitur-fiturnya. Akibatnya, semangat komunal mulai beralih menjadi semangat individualistik. “Saiki wes ra usum, pilih dolanan plays station, hape, bilyard sing penting gaul, yo memang PS gawe dhuwit yo jalok wong tuwo-lak dak oleh nangis (sekarang sudah tidak zaman, lebih pilih bermain plays station, handphone, bilyar yang penting “gaul” , ya memang Plays Station memakai uang kalau tidak boleh meminta ya… biasanya menangis; red)” tutur Sholikin. Bermain merupakan kegia-

tan yang di dalamnya terdapat kesenangan dan kegembiraan. Akan tetapi, di balik itu semua seharusnya sebuah permainan juga harus dapat memberikan nilai-nilai edukatif terhadap pemainnya. Di dalam permainan tradisional, sebenarnya memuat itu semua. Hal yang menonjol adalah di dalam permainan teradisional terkandung nilai-nilai kegotong-royongan yang merupakan akar budaya kita. Seperti, permainan gobak sodor yang dapat melatih ketangkasan; bethengan melatih kepepimpinan, strategi, kekompakan dan melatih kecakapan tubuh; Engkling/engklek melatih ketrampilan dan ketangkasan seperti olah raga pada umumnya dan memupuk rasa persahabatan antara sesama; Uthet/enthek melatih keterampilan tangan dan ketahan jasmani; Cirak melatih kebersamaaan dan kekompakan; Gendiran melatih kebersamaan, strategi; Jumpritan kebersamaan, melatih kinerja jasmani dan kelincahan. Dan masih banyak nilai-nilai kebaikan lainnya dan selain nilai-nilai

edukatif, permainan tradisional sangat aman untuk dimainkan oleh anak- anak. Lalu bagaimana dengan permainan modern? Permainan modern bukannya tidak memiliki nilai-nilai edukatif sama sekali. Akan tetapi terkadang efek negatifnya, anak-anak menjadi lupa waktu atau orang tua harus mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkannya. Belum lagi, anak- anak dikhawatirkan meniru perkataan atau efek kekerasan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan psikologisnya. Seperti, fenomena yang sedang marak belakangan ini, tentang jatuhnya korban akibat permainan senapan angin mainan yang menggunakan peluru karet. Seperti pada permainan Video Games, anak-anak dapat meniru tindakan-tindakan kekerasan dan mempraktekkannya dengan teman sebayanya. Dari contoh-contoh di atas orang tua diharapkan menjadi lebih selektif untuk menentukan jenis permainan yang aman sekaligus mendidik bagi anak. Dilihat dari sudut pandang

Repro internet

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

41


orang tua sendiri menanggapi fenomena ini dengan beragam. Salah satu orang tua Solikin, (43), “Khawatir anak-anak biasanya merengek-rengek untuk dibelikan permainan elektronik, anak kan tidak tahu kondisi keuangan, tahunya bermain, kemudian jika kontrol orang tua kurang maka perkembangan jiwa anak lemah, kemauan belajar sangat rendah seperti aku ini pegawai pabrik pulangnya ya… sore jadi mengontrol anak waktunya sedikit. ” Berbeda dengan Rokhim, “Aku menganggap biasa-biasa saja, tak menganggap wah susah ya… saya anggap orang sudah pintar memilah-milah mana permainan baik untuk dirinya, orang lain dan keluarga jadi harus berfikir dewasa, selama tidak ada dampak negatif ya tidak masalah” ujar Rokhim yang masih setia membuat permainan tradisional. Lebih lanjut Solikin menambahkan,” Wajarlah jika orang tua khawatir akan perkembangan anaknya mengingat di era kemajuan ini banyak hal yang ditawarkan yang serba instant tak banyak repot jalan pintas pun digalakkan. Yang aku takuti kalau anak-anak itu tidak tahu permainan produk asli budayanya sendiri, walaupun dengan bahan sederhana tapi mempunyai manfaat luar biasa, ya… kalau permainan baru memang bagus sekali, tapi sebenarnya permainan tradisional lebih edukatif itu.” “Permainan tradisional itu kuno tapi punya manfaat yang tidak bisa dibicarakan dari bimbingan orang tua dengan permainan modern. Kehidupan dan pengetahuan menjadi lebih vari-

42

atif dan menarik bahkan seperti belajar dengan internet,“. Ujar Ibnu bocah yang masih duduk di bangku SMP.” “Kita semua akan terus terkotak dalam pola yang tradisional tetapi bagaimana sekarang perlu pelestarian kembali permainan tradisional sehingga tetap memberikan pelajaran yang luar biasa. Dalam mengimprovisasikan nilai-nilai misterius permainan tradisional. Yang selama ini belum banyak bisa merasakan secara menyeluruh nilai-nilai tradisional yang terputus dari generasi ke generasi berikutnya. Selanjutnya ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama-sama yakni membuat inovasi-inovasi baru disesuaikan dengan waktu dan kondisi, hal tersebut merupakan bentuk pelestarian nilai-nilai ke-tradisionalan dikancah globalisasi”. terang bocah berkaca mata minus ini. Menanggapi lebih lanjut, Beny Harjanto selaku budayawan Tulungagung menjelaskan, “Muatan-muatan yang ada di dalam permainan tradisional lebih kekumpul bareng, komunal. Permainan tradisional akan luntur akibatnya, anak-anak akan asing dan cenderung individualistik”. Mengembalikan Nilai-Nilai Permainan Tradisional Anak Sudah saatnya membongkar nilai-nilai permainan tradisional seperti yang dijumpai di Tulungagung yang masih ada seperti gobag sodor, bas-basan, cublakcublak suweng, gatheng,kucingkucingan, layang-layangan, dhakon, enthek, dhulan, mul-mulan dan masih banyak lagi. Para pendahulu kita sudah mening-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

galkan bentuk pendidikan yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga mendidik, tinggal bagaimana melestarikannya. Banyak cara yang dapat diupayakan; pertama, menjaga dan mempertahankan seperti apa adanya; kedua, menampilkan sesuai dengan kondisi dan situasi kehidupan masa kini sehingga diperoleh bentuk yang tidak persis aslinya tapi tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang ada. Beni Harjanto budayawan Tulungagung, “Memang aksi dan refleksi kita semua-lah yang harus merawat dan melestarikannya, tidak usah menunggu siapa yang berwajib atau berwenang. tetapi siapa yang ber-nyali melestarikan permainan tradisional itulah yang dibutuhkan sekarang ini”. Dan yang penting perlu ditumbuhkan adalah nilai-nilai terkandung di dalamnya, semangat-yang harus ditumbuhkannya jikalau melestarikan lewat mendesain itu tak lepas yang namanya uang mesti, dan usaha-usaha generasi kita semuanya. Kalau ada permainan modern yang intinya ingin menumbuhkan semangat, ya… harus ada permainan yang mampu menjangkau seluruh masyarakat.” Akan tetapi, tentunya hal tersebut memerlukan kerja sama seluruh elemen masyarakat, mulai dari orang tua sampai pemerintah pastinya.// Wr.Ja’i,lely,nike,@zam,rijal//


Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan DIMĂŤNSI sebagai bentuk keprihatinan atas semakin tidak menentunya perlindungan hak anak di negeri ini


LAYANAN MASYARAKAT ATAU BOOMERANG?

(potret layanan kesehatan masyarakat kelas bawah)

S

Bramanta Putra Pamungkas CO LITBANG LPM DIMŃ‘NSI dan juga merupakan SEKJEND Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Tulungagung

44

ebuah wacana baru muncul dipertengahan tahun ini. Sebelumnya kita dikejutkan dengan sebuah berita bertajuk pemindahan ibukota Negara (Jakarta; red) ke tempat yang baru. Hal ini disebabkan oleh tingginya angka kriminalitas polusi, kemacetan,dan lain sebagainya di Jakarta. Bahkan untuk kemacetan, Jakarta merupakan kota yang mempunyai peringkat tertinggi di Indonesia. Dan untuk mengatasi hal tersebut, presiden kita memberikan 3 pilihan yaitu: menambah jumlah angkutan umum yang layak, membangun pusat pemerintahan di daerah lain dengan ibukota tetap seperti Malaysia, atau memindahkan ibu kota dan pusat pemerintahan ke daerah lain seperti yang pernah dilakukan oleh Negara superpower Amerika serikat. Untuk pilihan yang terakhir ini mendapat respon yang beragam dari kalangan masyarakat luas, bahkan ada yang mengusulkan daerah Kalimantan Tengah sebagai pusat pemerintahanan ibu kota yang baru. Tak heran memang, dengan kekayaan alamnya yang melimpah membuat daerah ini (Kalimantan Tengah; red) memiliki nilai tambah sebagai kandidat calon ibukota yang baru. Banyak harapan dari opsi yang terakhir tersebut. Diantaranya, pemerataan pembangunan yang se-

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

lama ini menjadi idaman banyak orang akan semakin terealisasikan. Selain itu, dengan adanya pemindahan ibu kota diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia yang selama ini tertinggal. Tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan untuk melakukan pilihan yang terakhir ini mengingat banyak infrastruktur baru yang harus dibangun sebagai syarat ibukota sebuah Negara. Dan wacana berikutnya yang muncul adalah, pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Di tahun 2011 pemerintah mencanangkan biaya persalinan gratis bagi rakyat kurang mampu. Layanan gratis berlaku pada proses persalinan yang dilakukan di sarana kesehatan pemerintah seperti, Puskesmas yang melayani tindakan obstetri, neonatus dan emergency dasar (Puskesmas Poned) dan Rumah Sakit Umum Daerah pelayanan obstetri, neonatus dan emergency komprehensif (RSUD Ponek) serta klinik bidan mandiri di seluruh wilayah Indonesia. Wacana ini dilontarkan oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Ia juga mengungkapkan program tersebut bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan anak di Indonesia. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia rata-rata 228 kematian ribu per 100 ribu kelahiran. Dan ini mer-


upakan salah satu yang tertinggi di Asia. Untuk mengurangi hal tersebut, sebuah terobosan baru yang menarik telah dilakukan pemerintah. Selain itu, hal ini juga disinyalir merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan citra pemerintah dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Tentunya, kita masih ingat betapa buruknya pelayanan kesehatan bagi masyarakat kelas menegah ke bawah. Bahkan ada anggapan bahwa pelayanan kesehatan hanya bagi mereka yang mampu membayar. Meskipun sudah ada JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat; red) akan tetapi hal ini masih belum efektif. Rumitnya pengurusan administrasi layanan ini membuat masyarakat bingung dan merasa dipermainkan oleh birokrasi. Akibatnya tak terhitung korban yang jatuh akibat rumitnya program yang seharusnya untuk rakyat miskin ini. Di lain pihak kepercayaan masyarakat akan layanan kesehatan terlanjur menurun. Banyak dari mereka yang lebih percaya kepada pengobatan tradisional atau alternatif daripada pengobatan modern di rumah sakit atau klinik. Selain biaya yang lebih terjangkau mereka juga merasa enggan untuk mengurus administrasi layanan JAMKESMAS yang telah disediakan oleh pemerintah. Meskipun sudah memegang surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat hal ini tidak menjamin kemudahan dalam mengurusnya. Alhasil, masyarakat lebih memilih ke pengobatan alternatif bahkan

yang bersifat mistik dan magic pun dilakukan demi kesehatan. Fenomena ribuan masyarakat yang berobat kepada dukun cilik Ponari beberapa waktu yang lalu telah cukup menjadi bukti nyata bahwa pelayanan kesehatan dengan biaya ringan bagi masyarakat miskin masih sangat dibutuhkan. Menjadi Boomerang Banyak hal yang perlu dicermati sebelum wacana ini terealisasi. Laju pertumbuhan penduduk setelah diadakan sensus pada Juni 2010 kemarin sebesar 1,49% per tahun. Angka ini cukup besar dibandingkan dengan negara lainnya. Dan angka ini akan terus meningkat sepanjang tahunnya. Apabila tidak diimbangi dengan perbaikan dari sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi dan yang lainnya, maka akan menimbulkan banyak permasalahan dimasa mendatang. Banyaknya angka pengangguran, pendidikan yang belum merata, layanan masyarakat yang masih sangat kurang seharusnya menjadi prioritas utama di negeri ini. Karena sektor-sektor tersebut merupakan kebutuhan paling dasar yang harus segera dipenuhi. Selain itu, tingkat konsentrasi penduduk Indonesia saat ini masih terpusat di pulau Jawa, yaitu sebanyak 58%. Dengan rata-rata kepadatan penduduk 124 orang per km persegi. Sehingga, kalau wacana tersebut benarbenar terealisasi sudah bisa dipastikan penduduk di pulau Jawa akan semakin padat. Dan ini akan semakin menambah daftar permasalahan yang ada. Misalnya, yang paling mencolok

adalah kesenjangan sosial. Dan kesenjangan sosial yang tinggi bisa menjadi pemicu terjadinya kerusuhan. Tentunya wacana ini masih perlu dibahas lebih dalam lagi. Pasalnya, masih belum jelasnya kriteria penerima layanan ini, bagaimana sistem ini dapat berjalan, atau apakah ada jaminan bahwa setelah ini angka kematian ibu akan turun? Masih perlu dicermati lagi. Anggaran dana kesehatan yang pada RAPBN tahun 2011 naik lebih dari 3% seharusnya dapat digunakan untuk memperbaiki layanan kesehatan yang sudah ada. Masih banyak layanan yang harus dibenahi dalam kesehatan terutama JAMKESMAS. Lebih baik memperbaiki layanan yang sudah ada daripada menambah layanan akan tetapi tidak maksimal. Banyaknya wacana yang muncul akhir-akhir ini harus benar-benar dimatangkan karena banyak aspek yang harus diperhatikan. Masih ada permasalahan yang harus dituntaskan dalam negeri ini. Dan harus menjadi prioritas utama dalam menjalankan pemerintahan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang telah dicita-citakan oleh founding father negeri ini.

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

45


Hermeneutika Gerakan Mahasiswa; Sebuah Dilema Antara Resistensi Dan Restorasi

M

Abdul Mukhosis Satu diantara Mahasiswa Ushuludin yang sekarang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMĂŤNSI STAIN Tulungagung dan menjadi anggota advokator mahasiswa jurusan

46

erefleksi dari sejarah gerakan mahasiswa tahun 60-an sampai reformasi adalah merupakan hal yang penting. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi di dalamnya. Sebuah refleksi utama yang harus diingat adalah betapa produktifnya sebuah gerakan mahasiswa manakala rasionalitas dibebaskan. Bebasnya rasionalitas gerakan mahasiswa tahun 60an membuat mereka mampu menemukan kebenaran yang sesuai dengan zamannya, yaitu pemetaan kawan-lawan yang akurat, argumen-argumen yang memikat, dan metode gerakan yang kuat. Bila rasionalitas gerakan mahasiswa sekarang juga dibebaskan, maka amat tidak mustahil dapat menemukan kebenaran yang sesuai dengan zaman sekarang. Bagaimanapun, rakyat luas merindukan sebuah gerakan mahasiswa yang memiliki pemetaan kawan-lawan secara akurat, argumen-argumen yang memikat, dan metode gerakan yang kuat. Memang, arah gerak mahasiswa sudah seharusnya dinamis, independen, people oriented. Idealisme yang membumi perlu terus diperjuangkan dan ditingkatkan, membaur dengan kenyataan empiris sosial dengan solusi yang proporsional, efektif, dan efisien. Sehingga, gerakan mahasiswa harus senantiasa bangkit dan bersemangat untuk bangsanya dari sebuah konspirasi politik nasional ataupun

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

kekuatan kapitalisme global. Berkaitan dengan ini, Sutan Syahrir dalam sebuah konferensi Sosialis Asia di Bombay (India) tahun 1956 pernah meneriakan “Peran mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidakadilan sosial di negeri-negeri mereka sendiri. Para mahasiswa harus mengoreksi leadership formal di suatu negeri� sebuah kata-kata yang bagus untuk dikenang dan dipraktikkan. Yaitu mahasiswa jika mampu melakukan hal itu, maka pengandaian Hariman Siregar yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa adalah pilar kelima demokrasi setelah pers, bukanlah harapan semu belaka selayaknya inspirasi yang keluar bersama asap rokok. Dinamika Gerakan Mahasiswa dalam psikologis merupakan sebuah jenjang masa yang segi pemikiran tertata dan produktif. Sehingga masa-masa ini mahasiswa dalam sebuah kebijakan muncul dari nalarnya sendiri dan bersikap idealis. Seperti halnya gerakan mahasiswa melalui turun jalan. Mereka sepakat bahwa dalam gerakan tersebut merupakan gerakan terakhir kalinya dalam menentukan solusi terhadap masalah yang antara masyarakat dan pemerintahan setelah strategi sudah dilakukan. Karena mahasiswa merupakan motor inspirasi munculnya perubahan yang mana sering dikatakan oleh aktifis mahasiswa adalah agent of


change (perubahan) dan motor kontrolisasi kebijakan dari pemerintahan. Akan tetapi di sisi lain, seringkali kita menemui sebuah pertentangan yang melanda gerakan mahasiswa yang menjadikan lunturnya semangat gerakan mahasiwa. Sehingga dalam praktiknya terdapat sebuah gerakan yang tidak lagi satu komando. Artinya terlihat tidak bergairah karena kurang kompak dalam gerakan. Hal ini mengimbas pada aspek yang mereka advokasi tidak ada gertakan atau sebuah efek yang pasti. Dalam situasi lain dari gerakan para mahasiswa organ, terdapat gerakan yang berasumsi gerakan aksi (turun jalan) tidak lagi relevan dengan kondisi realitas sekarang. Sehingga sekarang sudah seharusnya mengubah strategi itu dengan aktivitas lain yang menurut mereka kurang efisien. Sehingga mengganti gerakan sesuai dengan profesinya masing-masing personal. Seperti halnya kegiatan yang mengacu dan menunjang kelangsungan hidupnya baik ketika mahasiswa maupun pasca mahasiswa. Dari sini terjadi serangan kuat yang melontarkan pemikiran saling menuduh dan menyalahkan terhadap strategi arah gerak yang relevan. Akan tetapi nol dalam menentukan tawaran selanjutnya untuk membangun peradaban bangsa. Karena tidak lagi penting memperbincangkan kebenaran yang mana dalam teori maling kebenaran itu tidak ada dan yang ada adalah hasilnya. Hermeneutika Kegagalan Motor dari perubahan memang terkantongi oleh peran mahasiswa, mengadopsi nalarnalar progresif, akurat, revolusif,

idealis, semuanya terdapat pada usia-usia mahasiswa dan semua yang ada di sekitar kita terkondisikan oleh peran mahasiswa dengan paradigma kritisnya. Mengadvokasi masyarakat dengan melalui ala mahasiswa tanpa campur tangan para elit politik dalam mengontrol pemegang kebijakan dan pembelaan terhadap kaum tertindas yakni masyarakat yang mana selalu menjadi kelinci percobaan. Hal berbeda dengan ini, menyatakan bahwa mahasiswa yang baik adalah yang dirinya bisa menyelesaikan permasalahan diri sendiri, baik hal tugas kuliah atau kecukupan-kecukupan yang lain tentang permasalahanya. Sehingga muncul di dataran nalar sebagian mahasiswa pada umumnya. Akan tetapi apakah semuanya itu relevan? Sebuah paradigma telah menentukan kecenderungan seseorang dalam arah gerak mahasiswa. Mahasiswa akan menentukan kebijakan solusi dari background masing-masing individu. Sehingga out put atau bentuk solusipun akan berbedabeda. Permasalahan ini masih sering terjadi perdebatan yang berlarut-larut. Padahal perlu disadari dalam sebuah peradaban memerlukan karakter yang mencerminkan seorang yang konseptor dan praktis. Sebuah perubahan bukan berasal dari sebuah pemikiran yang monoton yang menyebabkan timbulnya peradaban. Tetapi dalam perwujudannya memerlukan orang yang ahli dalam bidang tertentu atau ilmuwan. Realitasnya, kenapa tetap terjadi perbedaan seakan tidak mengenal toleransi antara mahasiswa yang gerak melalui aksi turun jalan dan mahasiswa bergerak dalam pengembangan melalui

risetnya. Gerakan harus berubah seiring waktu sesuai dengan kondisi realitas yang ada. Sehingga dalam perspektif arah gerak hermeneutika filofis, hal ini tidak lagi mengalami kejumudan dan terbentuklah sebuah target peradaban dunia. Karena dari persaingan ini merupakan pokok awal yang terbentuk dalam setiap gerakan. Apakah semuanya sia-sia? Memang kekritisan seringkali terlontarkan dalam setiap gerakan. Akan tetapi perlu kita sadari bahwa bukan dari aksi turunjalanlah yang kita harapkan, bukan dari belajar kepada para ilmuanlah yang kita bidik. Tetapi dengan amunisi kekuatan pengetahuanlah bagaimana kita mengusung indonesia ini ke arah mandiri yang siap menjadi sumber peradaban secara global. Yang mana indonesia telah jenuh hanya bersikap mempertahankan diri dari amunisi pasar global dan tidak bisa menjadi garda depan dalam segala aspek. Sehingga Sudah saatnya menghilangkan kata-kata bijak “untungya masih selamat‌â€? sebagai ucapan dzikir untuk menutupi kekurangan dan ketidakmampuan dalam permasalahan.

DIMĂŤNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

47


Tuhan pun Singgah di Hati Mereka

Data Buku Judul Buku

: Pelacur pun Bisa Bertobat; Pembelajaran untuk Proses Penyadaran Pengarang : Asmar Mahardika Penerbit : Media Insani Cetakan ke - : Pertama, Desember 2009

“Profesi” merupakan kata yang sudah pasti sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia profesi berarti, pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan atau pendidikan tertentu. Dan “profesional” berarti berkenaan dengan pekerjaan, berkenaan dengan keahlian; memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, setiap profesi haruslah dikerjakan secara profesional agar membawa keberhasilan. Makna kata profesi sebenarnya hampir sama dengan pekerjaan, akan tetapi makna profesi lebih dalam karena diikuti dengan kesungguhan, kecintaan, profesionalisme kerja, dilandasi etos kerja tinggi, dan lain-lain. Tetapi, bukan berarti pekerjaan adalah suatu hal yang tidak dilandasi kesunggu-

48

han akan tetapi pekerjaan lebih terlihat seperti alat untuk mendapatkan penghasilan dan terkadang kita belum tentu menyukai pekerjaan tersebut. Banyak sekali jenis profesi di dunia ini. Baik yang termasuk ke dalam sektor formal seperti; guru, dosen, dokter, pengusaha, pedagang, penulis, wartawan, dan lain-lain sampai sektor informal seperti; pedagang asongan, pemulung, pengamen, pedagang keliling, pembantu rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi, di masyarakat terdapat sebuah profesi yang sebenarnya dapat dibilang sudah me-masyarakat karena memang mereka hidup berdampingan dengan masyarakat. Profesi ini dianggap “profesi belakang” artinya profesi yang pekerjaannya dilakukan secara sembunyisembunyi, pekerjanya pun tidak mau diketahui masyarakat, bah-

DIMëNSI No.25 Tahun XVI, Oktober 2010

kan sering dianggap aib. Bahkan salah satu penyanyi senior Titik Puspa mengabadikan likaliku kehidupan profesi ini dalam sebuah lagu yang berjudul “kupu-kupu malam” yang kemudian diaranssemen ulang oleh salah satu band terkenal ibukota. Ya, benar sekali “kupu-kupu malam” atau pekerja malam atau lazim disebut Pekerja Seks Komersial (PSK). Suatu pekerjaan yang dianggap “tabu” dan dipandang hina oleh masyarakat, bahkan hasil dari pekerjaannya pun dianggap haram dalam agama. Di pasaran telah banyak buku yang mengulas kehidupan malam beserta cerita-cerita dari para wanita malam. Agaknya, masyarakat mulai membuka diri terhadap kehidupan kelam tersebut dan mulai melihat sisi lain dari “pekerja malam”. Karena, tidak ada manusia pun yang berkeinginan untuk terjun ke da-


lam dunia kelam prostitusi, akan tetapi dengan berbagai keadaan yang pasti sebagian besar oleh faktor ekonomi membuat Si kupu-kupu malam terpaksa melakukannya. Berangkat dari hal tersebut, Asmar Mahardika tergugah untuk menampilkan kisah lain kehidupan malam tersebut dalam bingkai buku yang berjudul “Pelacur pun Bisa Bertobat; Pembelajaran untuk Proses Penyadaran. Dari judul bukunya, kita pasti sudah dapat menebak isi buku yaitu berkisah seputar lika-liku dan proses pertaubatan mereka kembali ke jalan Tuhan. Sedangkan pembelajaran untuk proses penyadaran, diharapkan pembaca setelah membaca buku ini mendapat suatu pelajaran hidup tentang usaha seorang hamba Tuhan yang berusaha untuk kembali menemukan jalan menuju kebenaran. Pada halaman pengantar, pembaca disuguhi tulisan tebal “Bukan Buku Porno; Bagi Yang Ingin Memahami Spiritualitas Kaum Pinggiran”. Hal tersebut memang beralasan, karena jika sekilas kita membaca lembar demi lembar kisah yang disajikan pasti muncul suatu pemikiran yang sedikit “nakal”. Dikarenakan mengangkat kisah kehidupan malam maka, cerita yang dihadirkan juga tidak akan jauh dari pembahasan “soal ranjang”. Akan tetapi, di akhir cerita disuguhkan proses penyadaran tiaptiap pelaku. Bagaimana awal mereka terjun ke dunia prostitusi sampai bagaimana mereka sadar dan berhenti dari profesi hitamnya. Dalam pengantarnya, penulis mencantumkan beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab

seorang perempuan menjadi pelacur, di antaranya adalah; (1) kemiskinan, (2) pendapatan rendah, (3) pendidikan rendah, (4) tidak memiliki keterampilan, dan (5) pengangguran (Koentjoro,Ph.D). Benar saja, karena mayoritas latar belakang pelaku terjun ke dalam lembah prostitusi termasuk dalam 5 faktor tersebut. Lalu bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan sosial ini? Sering kali untuk menertibkan para pekerja seks komersial, pemerintah mengadakan operasi penertiban. Mereka dikejar-kejar dan diangkut serta dibawa ke dinas sosial untuk didata. Seterusnya, mereka dilepaskan begitu saja. Sebenarnya pemerintah melakukan tindakan tersebut untuk mengurangi mereka yang dianggap sampah masyarakat, akan tetapi itu bukanlah sebuah solusi. Hal tersebut ibarat suatu prosedur yang harus dilaksanakan sebagai rutinitas saja. Sebenarnya jika mereka memiliki keterampilan yang bisa digunakan untuk menyambung hidup ke depan, tentu saja jalan pintas sebagai pelacur tidak akan mereka pilih. Karena menjadi pekerja seks komersial bukanlah suatu pilihan. Buku yang diluncurkan pada Desember 2009 ini, berisi sepuluh cerita berbeda. Tiap-tiap kisahnya mempunyai alur cerita dan mempunyai proses kehidupan yang unik sekaligus menyentuh. Keseluruhan cerita dalam buku ini merupakan kisah nyata, melalui wawancara langsung Asmar mendapatkan semua data yang dibutuhkannya untuk penyusunan buku ini. Di akhir dihadirkan analisis dan ulasan Asmar dalam Tuhan pun Sing-

gah di Pelacuran. Asmar menegaskan para wanita penghibur tersebut adalah manusia biasa yang berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk bertaubat. Dan, mereka ibarat manusia yang tersesat dan Tuhan telah memberi kesempatan mereka untuk bertaubat. Jika Tuhan saja memberi mereka kesempatan kedua, apalagi kita sebagai sesama manusia yang juga tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa. Alhasil, buku yang mempunyai 187 halaman ini tetap patut untuk dibaca. Karena, tidak hanya pemahaman baru yang akan diperoleh, tetapi pengalaman spiritual tiap tokoh dapat menginspirasi kita. Dengan bahasa yang mudah dipahami, walaupun banyak perumpamaan dan lambang-lambang, tetap akan memudahkan pembaca untuk memahami maksud buku. Akan tetapi, tidak ada sesuatu hal di muka bumi ini yang sempurna begitu juga sebuah karya manusia. Pasti ada beberapa hal yang membutuhkan perbaikan kelak. Salah satunya adalah tidak bisa dihilangkannya kesan sensual terhadap isi buku membuat opini buku porno kerap terlontar. Memerlukan pemahaman ekstra untuk mengambil maksud sebenarnya buku ini. Karena banyak kata-kata sedikit vulgar, maka buku ini hanya boleh dibaca oleh kalangan dewasa atau 18 tahun ke atas. Terlepas dari semua itu, semoga dengan hadirnya buku ini dapat memberikan angin segar terhadap kehidupan para “kupukupu malam” ke depan.//leyces//

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

49


Tenggelamnya Dunia Anak dalam Ke-modernitas-an

kanak”. Pada bagian pertama, Kehidupan anak-anak Data buku Neil menorehkan 4 bab yaitu memang tidak bisa terlepas “Ketika Konsep Tentang Anak dari keluarga. Kebersamaan Judul Buku : Selamatkan Anak-Anak Tidak Ada”, “Mesin Cetak dan anak-anak dan orang dewaUsia Dewasa Baru”, “Periode sa sudah menjadi hal yang Penerjemah : Sita Hidayah : Neil Postman Awal (Incunabula) Masa Kabiasa di lingkungan sosial. Penulis nak- kanak”, dan juga “PerKebersamaan itu bisa di- Tebal Buku : 223 halaman Penerbit : Resist Book jalanan (Ide) Mengenai Masa lihat dalam kegiatan sehari : Pertama, November 200 Kanak-kanak”.Sedangkan hari; menonton televisi, Cetakan pada bagian kedua, Neil mefilm, pertunjukkan musik, dewasa membuat anak-anak nyampaikan 5 bab yaitu “Awal permainan game dan juga mungkin dalam acara-acara menjadi cepat dewasa, begitu dari Sebuah Akhir”, “Media yang lainnya. Tetapi hal ini dianggap sebaliknya, orang orang dewasa Membongkar Segalanya”, “Dewlain oleh Neil Postman seorang menjadi lebih kekanak-kanakan. asa-Anak”, “Anak yang Hilang” Dalam bukunya “Selamatkan dan juga “Enam Pertanyaan”. kritikus, ahli teori komunikasi, Pada bagian pertama, tepatdan juga seorang ketua Jurusan Anak-anak”, Neil memaparkan Seni dan Ilmu Universitas New dua bagian besar pada isin- nya bab pertama “Ketika Konsep York. Neil menganggap hal itu ya yaitu bagian pertama yang Tentang Anak Tidak Ada”, Neil dapat mengancam kehidupan berisi tentang “Penemuan Kon- menceritakan tentang kehiduanak-anak di masa mendatang, sep Mengenai Masa Kanak-ka- pan anak-anak sekarang yang karena batas yang semakin ka- nak”, dan bagian kedua adalah secara sadar atau tidak telah bur antara anak-anak dan orang “Menghilangnya Masa Kanak- dipaksa untuk berpenampilan

50

DIMëNSI No.25 Tahun XVI, Oktober 2010


layaknya orang dewasa. Contoh nyata dari kejadian ini dapat dilihat dari pakaian anak-anak yang bergaya layaknya orang dewasa. Dengan keadaan yang demikian, permainan tradisional anakanak berlahan mulai menghilang dan juga sifat anak-anak yang mulai luntur. Hal ini terjadi sejak abad pertengahan. Pada abad ini tidak ada konsepsi mengenai perkembangan anak (masa kanak- kanak tidak nampak). Pada bab kedua, “Mesin Cetak dan Usia Dewasa Baru“, pada bab ini menunjukkan bagaimana mesin cetak menciptakan dunia simbolis baru yang kemudian menemukan konsepsi baru mengenai usia dewasa. Dengan demikian, dunia hunian baru anak-anak akan ditemukan. Lebih jauh juga dijelaskan bagaimana perkembangan zaman; mulai dari penemuan mesin cetak hingga terbitnya buku-buku pengetahuan di Eropa yang menciptakan kaum-kaum cendekiawan. Sejak munculnya percetakan, anak-anak muda harus menjadi orang orang dewasa yang harus belajar membaca. Dan dalam rangka mencapainya, mereka memerlukan pendidikan. Karenanya, peradaban Eropa menemukan-ulang sekolah. Dan dengan itu, masa kanak-kanak menjadi sebuah kebutuhan. “Periode Awal (Incunabula) Masa Kanak-kanak”, dijelaskan pada bab ketiga. Pada bab ini diawali dengan definisi dari incunabula yang secara harfiah berarti masa merangkak. Ketika mesin cetak mulai beranjak dari masa merangkak, gagasan mengenai usia kanak-kanak telah masuk. Secara bertahap anakanak menjadi makhluk special dengan sifat dan kebutuhankebutuhan yang berbeda, yang

memerlukan pemisahan dan perlindungan dari dunia orang dewasa. Dengan begitu masa kanak-kanak dan masa dewasa menjadi semakin terdiferensiasi. Masing-masing bidang mengembangkan dunia-dunia simbolik mereka, yang pada akhirnya diterima bahwa anakanak tidak bisa berbagi bahasa, pembelajaran, kehidupan sosial dengan orang dewasa. Memang tugas kaum muda adalah untuk menyiapkan anak-anak untuk memahami dunia simbolik orang dewasa. Pada bab selanjutnya yaitu, “Perjalanan (Ide) Mengenai Masa Kanak-Kanak”. Perjalanan ide mengenai anak-anak telah berkembang pesat pada abad ke-tujuh belas. Masing masing bangsa berusaha untuk memahami ide ini dan mengintregasikannya ke dalam kebudayaannya. Hal inilah yang membuat ide tentang anak tidak pernah hilang. Pada abad ke-delapan belas, muncullah ide bahwa seluruh Negara memiliki hak untuk bertindak sebagai pelindung anak-anak. Walaupun ini dianggap sebagai hal yang baru dan radikal, tetapi secara berlahan dapat diterima, sehingga semua kelas dipaksa bekerjasama dengan pemerintah dan mengambil tanggungjawab mengasuh anak. Ide ini kemudian terus dipertahankan dan dikembangkan oleh para ahli dari berbagai Negara. Pada bagian kedua dari buku ini diawali dengan bab lima yaitu “Awal dari Sebuah Akhir”. Kemunculan perhatian anak-anak memasuki masa puncaknya pada tahun 1850-1950. Pada tahun tersebut telah muncul berbagai upaya agar anak-anak dapat bersekolah, mereka dapat memakai pakaiannya sendiri, bermain dengan permainan

khas anak-anak. Pada periode ini, anak-anak menduduki tempat yang istimewa, bahkan anakanak dilindungi dalam undang undang. Tetapi kejayaan ini berangsur-angsur surut beriringan dengan semakin banyaknya penemuan-penemuan kaum ahli. Morse yang telah berhasil mengirimkan pesan elektronik publik pertama di muka bumi ini. Hal ini tentu saja berdampak positif untuk melestarikan budaya melek huruf, tetapi menjadi budaya instan bagi masyarakat dan telah menghilangkan budaya lisan. Belajar membaca adalah belajar untuk memahami. Orang yang melek huruf harus belajar menjadi analitik. Tetapi dengan adanya televisi dapat mengikis garis pemisah antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Lingkungan media baru yang bermunculan tersedia bagi siapa saja, media elektrik tidak bisa menyimpan rahasia apapun. Tanpa rahasia tentu saja tidak ada masa kanak kanak. Selanjutnya pada bab 6 “Media yang Membongkar Segalanya”. Bab ini memaparkan bahwa media televisi yang sangat berpengaruh pada pemirsanya, sehingga antara anak-anak dan dewasa tidak ada sekat untuk menonton televisi.. Pada bab tujuh, “DewasaAnak” ini menceritakan tentang iklan-iklan di televisi yang semakin menunjukkan tidak adanya pembatasan antara anak-anak dan dewasa. Pada bab ini juga telah dijelaskan tentang contoh salah satu program televisi yaitu tayangan opera yang mempertontonkan dua perempuan yang diidentifikasikan sebagai ibu dan anak. Para penonton kemudian ditantang untuk menebak yang mana ibu dan yang mana anak dimana keduanya tampak

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

51


berusia sama. Hal ini mendukung pandangan bahwa perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak semakin hilang.. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkungan informasi elektrik “menghilangkan” masa kanak-kanak, bisa juga dikatakan bahwa lingkungan informasi elektrik kita juga “menghilangkan” masa dewasa. Bab 8, “Anak yang Hilang” dipaparkan beberapa contoh tentang masa anak-anak yang mulai hilang, salah satu contohnya yaitu tentang kemunculan para anak-anak di acara televisi yang mirip dengan penampilan orang dewasa. Tidak ada lagi keceriaan dan karakter anak-anak, tidak ada lagi permainan tradisional anak-anak. Selain itu pendewasaan anak-anak tidak hanya terjadi di dunia pertelivisian tetapi juga di dunia perfilman. Selain adanya pendewasaan terjadi juga masa pengerdilan yaitu perilaku orang dewasa yang tidak semestinya yaitu bejaksana, serius dll. Akhirnya anak anak dan orang dewasa pun menjadi satu

52

selera, tidak hanya pada faktor pemilihan baju tetapi juga pada selera makanan, hiburan, olahraga dah juga bahasa. Melihat hal semacam ini, bermunculan gerakan hak asasi anak di Amerika. Pada bab terakhir dari buku ini berisi tentang pertanyaanpertanyaan yang tentunya berhubungan dengan anak-anak. Pertanyaan tersebut disertai dengan pemaparan jawaban menurut opini Sang pengarang. Hal itu sengaja dilakukannya untuk menunjukkan kepada para pembaca tentang pertanyaan pertanyaan penting menyangkut anak-anak yang kadang terlalaikan. Dan dengan demikian pangarang berharap kepada para pembaca untuk memberikan opininya seputar pertanyaan itu, sehingga para pembaca akan mengerti dan memahami isi buku itu dan juga bisa membenturkannya dengan realita yang ada. Buku ini sangat menarik untuk dibaca, karena pengarang menggunakan argumen yang begitu meyakinkan berikut den-

DIMëNSI No.25 Tahun XVI, Oktober 2010

gan fakta-fakta yang ada. Selain itu, Neil juga menggunakan berbagai pendekatan untuk menunjang argumennya yaitu dengan menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, dan sematik, sehingga isi yang ada dalam buku ini terkesan hidup. Buku ini bersifat informatif dan juga persuasif. Adapun kelemahan buku ini bagi pembaca adalah bahasa yang sulit dipahami mengharuskan pembaca untuk membaca ulang agar memahami isi bacaanya dengan tepat, isi bacaan yang tidak langsung ke arah bidikan membuat pembaca harus jeli untuk mencari makna yang sesuai. Meskipun begitu, buku sangat bagus untuk menambah wawasan terutama yang berkaitan dengan anak anak. Selain itu dalam buku ini juga mengandung nilai nilai histori tentang ideology dunia, dan juga tentang wawasan psikologi. Buku ini sangat bagus untuk dibaca, terutama bagi yang suka kajian psikologi dan histori tentang anak anak.// luluk_asa//


Sastra

Menyusuri Sang Bathara Dunia Cahaya bening menyentuh tubuhku dalam kesejukan semilirnya angin pagi. Kutermenung dibuatnya. Berangan bagaikan teralun dalam syahdunya alam pikiran. Aku pun terbuai dibuatnya, di bawah pohon yang rindang di puncak gunung nan indah dengan pemandangan alam sana-sini tak terbatas oleh mata. Aku mulai berpikir dalam qolbuku, meratapi apa yang berjalan dalam duniaku. Hari demi hari aku lalui dengan kepedihan, sembari aku berkata: “Ya..beginilah aku. Tak ada yang lebih buruk dibandingkan dengan apa yang aku jalani selama ini”. Seakan tersayat bagaikan disilir pedang, air mataku pun jatuh tak tertahankan. Sakit hati ini bila mengenang semua itu. Aku tak sependapat dengan takdirku. Aku adalah anak seorang alumni kembang malam. “ya…bisa disebut PSK atau wanita panggilan atau apalah mereka menyebutnya”. Pada dasarnya aku tak pernah menginginkan tuk dilahirkan dari keluarga yang seperti ini. Tapi apa dayaku, aku hanyalah insan biasa yang tak kuasa merubah segalanya. Tiap berjalannya waktu dalam hidupku, aku bagaikan sampah yang tak berguna. Seakan berontak, hati ini berkata; “Mengapa demikian…?” Karena aku adalah anak dari kupu-kupu malam sehingga tiap orang pun mencela akan keberadaanku. Banyak sekali orang yang tak menginginkan

akan keberadan diriku dan keluargaku. Oh…Tuhan, apakah ini takdir terbaikmu untukku?” Menyakitiku dan terus menyakitiku. Kadang aku tak mensyukuri apa yang Kau beri untukku. Kadang pula aku pun mencelaMu atas nasibku. ************** Aku adalah wanita yang lahir di kota yang bersinar, namun nasibku tak seindah nama kotaku. Disini aku hidup dengan penuh tekanan batin, tidak seperti anak-anak lain pada umumnya. Pada mulanya, aku tak tahu menahu bahwa ibuku adalah seorang pekerja malam. Hal ini karena mereka merahasiakannya dariku. Tapi apalah daya, yang namanya bangkai akan selalu tercium baunya meski disembunyikan sebegitu rapatnya. Para tetangga mulai menunjukkan rasa tidak senangnya apabila aku bermain dengan anak mereka. Mereka melarang buah hati mereka untuk bergaul dengan aku dan keluargaku, sembari mereka berbisik… ”Nak, jangan berteman dengan dia!”. Karena dia adalah anak pelacur” Tak sengaja kata-kata itu terdengar oleh telingaku, akupun merasa dunia ini kelam bagaikan tak ada nur kehidupan. “Sakit…! selalu itu yang ku rasa. Bagi mereka yang berbisik, itu masih bagus…bahkan ada yang sambil berteriak-teriak padaku dan berkata “Dasar anak wanita malam…

“Gak usah main dan bergaul sama anakku” Huuft, Hati ini hancur berkeping tak tahu arah akan kembali. Tiap detik dalam alunan langkahku, hanya ku isi dengan kepasrahan. Kadang aku berpikir ingin menyalahkan ibuku dan benci sekali pada ibu, karena dialah yang membuat aku malu. Sampai akhirnya pertengkaran antara aku dan ibu pun terjadi. Sembari menangis aku pun berkata; “Bu, kenapa ibu dulu berbuat seperti itu?” “Aku benci sama ibu”. aku gak pernah ingin dilahirkan sama ibu” “Lihat Bu… orang-orang diluar sana mencela dan mengolokolokku” “Kenapa Buk…?”. Aku gak ingin punya orang tua kaya ibu” “Aku benci ibu….!!!” Ibu terdiam begitu saja tanpa menjawab semua pertanyaanku. Akupun terlari dibuatnya. Mungkin ibupun hancur atas semua ucapanku yang begitu kejam padanya. Ibu merintih kesakitan dan sembari berucap dalam hatinya. “Maafkan ibu Nak”. Ibu tidak bermaksud untuk melukaimu” “Ibu menyayangimu, walau sampai mati ibu akan selalu berjuang untukmu” “Meski cara yang ibu pakai itu salah bagi semuanya” “Maafkan ibu Nak” Mendengar perkataan ibu, hatiku luluh. **************

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

53


Dengan berjalannya waktu, aku pun berputar dalam otakku. Dan menyadari bahwa ibu tidak bersalah, ibu hanyalah korban dari lemahnya ekonomi saat ini. Dimana pemerintah pun tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya. Seperti halnya keluargaku. Saat aku beranjak dewasa, tepatnya aku sudah bisa bersekolah, meski hanya sekedar sekolah dasar semata. Namun, dari situ aku bisa menelaah apa artinya kehidupan. Selama aku sekolah, aku punya temanteman yang bisa mengerti akan hidupku. Meski aku ini anak yang bandel tapi mereka bisa menerima aku. “Ya…meski gak semua bisa terima aku, tapi aku bersyukur bisa merasakan kasih sayang dari mereka” Hari-hari dalam alam yang fana ini ku lalui dengan hati yang batu. Terasa sakit ingin menangis, namun tak boleh menangis. Terasa ingin tertawa gembira, namun di hati penuh kepedihan. Pada akhirnya aku tahu bahwa ibu adalah segalanya untukku. Yang selalu setia menjagaku dikala aku sedih dan terluka. Tapi aku sangat terlambat, dimana aku bisa sadar dari jurang yang curam ketika ibuku telah tiada. Pada waktu itu aku masih berumur 10 tahun tepat saat aku baru saja naik ke kelas IV SD. Ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya. Bahkan jika aku merindukannya, aku tak bisa menjumpainya. Aku hanya bisa memandang sesosok gambar hitam-putih di selembar kertas kecil mungil. ************ Ibuku pergi karena sebuah penyakit yang mematikan. Akupun semakin tersiksa setelah aku mengetahui bahwa ibuku

54

terjangkit penyakit itu. Selama tujuh hari aku tidak bisa meninggalkan rumah abadi ibuku, bahkan malam hari. Aku tak tega jika ibu berada di sana sendirian. Aku ingin selalu menemani ibuku. Aku menyesal dengan semua apa yang aku perbuat selama ini. Semakin kurenungi, seraya aku ingin menangis dan berteriak… “Ibu…aku sayang sama ibu”. “Aku ingin ikut sama ibu” “Jangan tinggalkan aku sendiri disini bu…” “ Aku gak bisa hidup tanpa ibu” “Aku…..aku menyesal telah menyia-nyiakanmu bu…” Linangan air mata terus mengalir deras dari mata kecilku. Namun, inilah takdir. Aku memang tak sekuat hatiku, mencoba bertahan dan melawan kehidupan. Setelah sebulan beranjak pergi dariku aku mencoba untuk lebih tegar menjalani hidup ini. Masih terngiang di telingaku nasihat dari ibu. “Nak, jika suatu saat ibu pergi darimu, kamu harus bisa lebih kuat berdiri”. “Tetaplah pada prinsipmu, jangan pernah goyah meski banyak sekali cobaan yang menghadang”.“Tetaplah berbuat baik kepada siapapun juga, ramah-tamah dan sopan santun meski kamu hanya dicela dan dikucilkan oleh mereka” “Karena…semua itu akan membawamu menuju kesuksesan yang kamu inginkan” Alunan lirik-lirik indah itu selalu membayangiku. ************* Pada akhirnya, setelah setahun sudah ibu pergi, aku pun beranjak naik ke kelas V. Ternyata bapakku tidak punya dana untuk bisa menyekolahkan aku lagi. Aku pun terpaksa untuk keluar dari sekolah alias “drop out”. Sungguh malang nasibku, han-

DIMëNSI edisi 25 Tahun XVI, Oktober 2010

Sastra

ya seperti ini melulu. Kesedihan dan kesedihan saja. Sempat aku menjadi gelandangan yang suka janggol di jalan untuk meminta-minta. Tapi lama-kelamaan aku berpikir, hal ini tak ada gunanya sama sekali. Dan aku pun mencoba tuk berproses. Mencoba mengubah segalanya dalam kehidupan ini. Sampai suatu saat aku bertemu dengan orang yang mau membantuku. Dia adalah sesosok kakek kaya raya yang punya bengkel. Dan akupun ditawari untuk membantunya bekerja. Aku sangat bersyukur, karena dijaman modern seperti ini masih ada orang yang memiliki rasa solidaritas tinggi. Dari sinilah aku mencoba bertarung melawan nasib, mencoba membandingkan refleksi dari kehidupan yang terdahulu. Setelah potensiku diasah di tempat ini. Aku pun bisa mahir dan mencoba mendirikan bengkel sendiri, meski modal yang aku gunakan itu berasal dari utang. Namun, atas sokongan dari nasihat ibu sekarang aku bisa berdiri tegak. Berproses menjadi apa yang aku inginkan. Akhirnya aku bisa mengubah hidupku untuk lebih baik, bahkan sangat baik dari apa yang aku jalani dahulu kala. Semakin aku mengenang, semakin menjadi pendukung dalam hidupku. Tak terasa dalam keheningan pagi sudah menjadi senja. Akhirnya aku tersadar dan tahu, seorang manusia itu butuh sosialisasi,butuh teman dan tidak bisa berdiri sendiri. Bagi siapapun dan apapun tingkatan mereka dari orang kaya atau miskin, semua itu sama saja. Kecuali mereka yang angkuh dan sombong. Mereka juga mempunya hati seperti halnya manusia pada umumnya.//@nieta//


DIPESEN



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.