Majalah dimensi edisi 24

Page 1

DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

1


Halaman

2

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)

DIMëNSI Redaksi

DIMëNSI

STAIN Tulungagung

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa DIMëNSI STAIN Tulungagung Pelindung Ketua STAIN Tulungagung (Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.) Penasehat Pembantu Ketua (PK) III (Drs. Saifudin Zuhri, M. Ag) Kawan-kawan DIMENSI sedang diskusi membahas isu untuk buletin News-Camp

Pimpinan Umum Andi Mahifal Sekretaris Umum Kasful Anwar Bendahara Miftakhul Choiriyah Pemimpin Redaksi Ani Rohma Dewan Redaksi Nunung Afu’ah, Faizah Nurmaningtyas, Izzatur Rofi’ah Departemen Litbang Nunung Afu’ah, Umi kasanah, Faizah Nurmaningtyas, Arini Hidayati, Laili Kasanah Departemen Perusahaan Bramanta Putra Pamungkas, Binti Mamluatul K., Nike F. A., Adib Tamami Fotografer Khoirul Efendi Desain Grafis Muhamad Nuril Arham Reporter Novi Ayu C, Siti Adibatul M, Abdul Mukhosis, Ike Apriliana E, Rizki Puspaningtyas, Yusuf Al-amin, Aziz Subhan, Wakid Roja’i, Leli Maulidiana, Reni Dwi S, Nur Zuana, Ana Karimatul C, Rina Wahyuni, Eka Latifah, M Riyadul Fanani Alamat Redaksi Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Kodepos 66221, Phone: (0355) 321513 E-mail: dimensita@yahoo.co.id Facebook: dimensita@yahoo.co.id Wabsite : dimensita.co.cc

DIMëNSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam Persma! Salam sejahtera kami sampaikan pada para pembaca. Meskipun dera bencana dan berbagai masalah terus menghantam Negeri ini dalam menjalankan roda demokrasi untuk memperoleh kesejahteraan. Namun selagi nafas berhembus dan semangat perubahan tetap ada untaian salam ini akan tetap kami ucapkan untuk semua kawankawan mahasiswa khususnya para pembaca DIMëNSI. Alhamdulillah, telah terbit majalah DIMëNSI edisi XXIV dengan tetap menjaga konsistensi paradigma yang dikembangkan, yaitu Paradigma Pemikiran Alternatif. Artinya DIMëNSI menjadi alternatif bagi berkembangnya ilmu pengetahuan yang sarat dengan dinamisasi dan perubahan, melalui media tulis menulis. Semoga kehadiran edisi ini tetap memberikan angin segar dan semangat baru bagi kita semua. Di edisi XXIV, LPM DIMëNSI mengajak pembaca untuk menatap dan berefleksi kembali tentang realitas bangsa dalam mengusung misi perubahan menuju sebuah negeri yang damai dan sejahtera, khususnya kabupaten Tulungagung. Bahwa di sekeliling kita masih banyak ditemukan masyarakat yang kehidupannya masih berada di bawah garis kemiskinan. Fenomena masyarakat pinggiran adalah sebuah realita bangsa yang tak terbantahkan, kehadirannya menjadi sebuah unit yang akan selalu menegaskan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi janji-janji kesejahteraan pada masyarakatnya, sekalipun bangsa itu sendiri. Namun terlepas dari itu, masyarakat kecil akan tetap mempertahankan kehidupannya untuk memperoleh kesejahteraan yang belum didapatkan. Masyarakat mempunyai cara yang kreatif untuk bertahan hidup memperoleh kesejahteraan tanpa menggantungkan diri pada bantuan pemerintah. Apa yang dilakukan mereka dalam mempertahankan hidup bukanlah cita-cita, tetapi pilihan masyarakat sebagai suatu usaha dalam memperoleh kesejahteraan hidup. Tentang kondisi para Pedagang Kaki Lima (PKL), pekerja sex, penjahit di emperan toko merupakan salah satu contoh yang kami berikan sebagai gambaran riil keberadaan masyarakat dan usaha mereka untuk mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan. Mengingat kondisi Bangsa yang kian terpuruk oleh resesi ekonomi yang berkepanjangan. Lewat majalah Edisi XXIV, kami mencoba memberikan alternatif baru semoga gambaran masyarakat kecil ini dapat mengembalikan sensibilitas kita pada titik yang paling normal, bahwa kelayakan masyarakat bawah harus tetap diprioritaskan dan usaha masyarakat untuk bertahan hidup perlu dihargai, hingga kesemuanya ini dapat mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang madani dengan pemerintahan yang peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Akhirnya, segala hal yang berkaitan dengan saran dan kritik adalah yang kami harapkan dari kawan-kawan mahasiswa. Karena kami adalah manusia biasa yang tak lepas dari kekurangan sekecil apapun. Semoga kehadiran majalah edisi ini tetap memberikan sesuatu yang bernilai positif bagi kawan-kawan mahasiswa. Wassalamu’alaikum Wr.Wb

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

3


“lek oleh duwit yo disyukuri, lek ora oleh duwit yo ndak usah mikir. Ngeman awak mbak wes tuwo lek gering malah susah ( kalau mendapat uang ya disyukuri, kalau tidak ya tidak usah dipikir, sudah tua kalau sakit tambah repot),” Ungkap Atemo, salah satu penjahit trotoar di sepanjang perempatan Jalan Kapten Piere Tendean, Tulungagung Halaman ....4 Cover : Beban Foto : Kasful Anwar Desain : Kasful Anwar

Daftar Isi DIMëNSI redaksi Halaman ....1 DIMëNSI Utama Halaman ....4 LIPUTAN Khusus Halaman ....14 Nusantara Halaman ....18 Swara Halaman ....26 Klik Halaman ....32 Teras Halaman ....38 Editorial Halaman.... 41 Budaya Halaman ....42 Resensi Halaman.... 46 Suplemen Halaman ....50 Kiprah Halaman ....56 Sastra Halaman ....63

Pemindahan PKL dari alunalun ke PUJASERA (Pusat Jajanan Serba Ada), berawal dari pendataan dari SATPOL PP atas beberapa PKL yang mangkal di alun-alun Tulungagung. Mereka pun bersedia dan akhirnya mereka diberi nomor untuk mengambil uang yang dijanjikan. Sampai saat ini, semua tidak terealisasikan. Di pasar ini pedagang kecil tidak semakin ramai pengunjung malah semakin sepi, karena dinilai tempatnya yang kurang strategis. Halaman ....8 Kelurahan Botoran, Sembung dan desa Mangunsari merupakan daerah pingggiran kota Tulungagung utara. Ketatnya persaingan dalam mendapatkan pekerjaan, tak sedikitpun melemahkan etos kerja masyarakatnya. Malah melahirkan kreativitas dan inovasi, njahit. Sehingga tak sedikit para sarjana di kawasan ini tak sempat ‘memanfaatkan’ ijazahnya untuk menjadi pegawai negeri dan menekuni usaha yang sudah lama digeluti secara turun-temurun Halaman ....11 DIMëNSI adalah media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung menyajikan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpartisipasi demi terwujudnya Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain. Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi

Halaman

4

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


Suara DIMëNSI yang menunjang untuk mengembangkan kreativitas mahasiswa salah satunya radio. Tapi napa ya…acara di radio hanya mutar lagu-lagu saja. Bagaimana kalau diisi siaran langsung, diskusi tentang akademik maupun non akademik berupa wacana yang berkembang. Nara sumber bisa dari dosen atau mahasiswa sendiri. Kita kan punya orang-orang pintar yang sudah menyandang prof itu… Kalau diisi agenda seperti itu bisa mengembangkan kwalitas akademik maupun non akademik.//ArkhanMahasiswa peduli diskusi// Red: halo juga, kabar DIM tetep aja baik. Usul kamu menarik sekali, jadi media kampus seperti radio bisa difungsikan sebagai mana mestinya. Selain itu, masyarakat sekitar juga biar tahu kegiatan mahasiswa STAIN lewat siaran radio tersebut. Semoga saran kamu bisa didengar mereka.

Malangnya Nasib Gedung UKM Hallo Kru DIMëNSI, terbitnya dah aku tunggu-tunggu lho… Ada sedikit yang ganjal nich, soal gedung UKM itu…MCK-nya kayaknya kok sudah gak berfungsi? Padahal pembangunannya masih belum lama…yang salah sapa tuh, pembangunannya yang kurang maksimal atau memang pemakainya yang terkesan udrak-udruk?// Asa PAI VIII// Red: Hallo juga, makasih ya udah setia ma DIMëNSI. Sebenarnya, permasalahan seperti itu tidak hanya kita gantungkan pada proses pembangunannya, karena fasilitas yang sudah diberikan seharusnya menadi kewajiban bersama untuk menjaganya, sehingga semua pihak tidak ada yang saling salah menyalahkan. Iya nggak? Kalau bersih kan kita semua yang nyaman.

Saatnya Mahasiswa yang Beraksi Aku nitip ini. Waktu Khotbah Sholat Jum’at di masjid kampus sering-sering yang khotbah dosen STAIN sendiri atau kadang pemuka agama masyarakat sekitar Plosokandang, napa gak mahasiswanya sendiri misal mahasiswa jurusan PAI, kan bisa untuk melatih menjadi da’i atau praktikum untuk mahasiswa prodi PAI diarahkan ke situ. Kan lebih mening…..iya gak (^_^). Ken Alaida/TMT VI Red: Usul bagus itu, setidaknya buat melatih mahasiswa bermasyarakat, karena pada akhirnya mereka kan akan kembali ke masyarakatnya, moga-moga pihak yang terkait mau membacanya dan mempertimbangkannya, Lebih baik juga kalo’ kamu mau usul ke PLPT yang menangani praktikum.

Yang On-Air Kok Cuma Lagunya Aslamu’alaikum.. Hallo Dims, kabar tetep baik kan… Aku mau usul ni, di kampus kita ada beberapa fasilitas

DIMëNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Masa Aktif Perpus Semakin Berkurang Hei Dims… Moga makin eksis saja dan tetap pada Paradigma Pemikiran Alternatifnya. Ku nitip uneg-uneg teman-teman yang lagi repot skripsi nich, masak waktu kita lagi di perpus jam aktif perpus dikurangi. Gak baik tu…korupsi waktu. Perpus yang harusnya jam istirahat jam 12 siang, tapi jam setengah 12 sudah disuruh buat keluar. Belum lagi tutupnya yang seharusnya jam 3 sore malah jam 2 gitu udah ditutup. Namanya korupsi waktu kan? Dan itu menguragi jam belajar atau jam membaca mahasiswa. Red: Halo.. Memang selayaknya perpustakaan selain menambah buku koleksinya juga meningkatkan pelayanannya, kalau mengingat janji ketua kita yang baru yaitu membuat perpustakaan sebagai paru-parunya kampus, setidaknya hal tersebut bisa terealisasi dengan segera, mengingat buku-buku tersebut adalah sarana penunjang intelektual mahasiswa.

Suara DIMëNSI menerima segala kritik, saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, email: dimensita@yahoo.co.id atau langsung bisa di antar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, Serat, DiM-ar atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi. Halaman

5


DIMëNSI utama

Menjahit Kesejahteraan Masyarakat Pinggiran “lek oleh duwit yo disyukuri, lek ora oleh duwit yo ndak usah mikir. Ngeman awak mbak wes tuwo lek gering malah susah ( kalau mendapat uang ya disyukuri, kalau tidak ya tidak usah dipikir, sudah tua kalau sakit tambah repot),” Ungkap Atemo, salah satu penjahit trotoar di sepanjang perempatan Jalan Kapten Piere Tendean, Tulungagung. Entah kepasrahan ataukah ketegaran yang ingin disampaikan Atemo lewat ungkapannya tersebut. Namun berkat pemikirannya dan beberapa teman yang senasib, kehidupan ekonomi keluarga tetap berjalan meski sedikit terseok-seok. Kehidupan Atemo merupakan secuil kisah para penjahit trotoar yang ada di Tulungagung. Tak ada aliran listrik dan deru dinamo, yang terdengar hanya suara kayuhan kaki dan deretan jarum yang berdecak. Itulah sekilas gambaran suasana jalan Kapten Piere Tendean pada pukul 08.00 sampai menjelang sore setiap harinya. Sebenarnya tidak ada hal yang istimewa dari jalan yang dahulu dikenal dengan nama Ceplok Piring. Akan tetapi dari deretan para penjahit dan beberapa barisan motor maupun mobil yang memenuhi sepanjang perempatan akan membuat kawasan trotoar terlihat lebih ramai dan menarik perhatian. Area perempatan Kapten Piere Tendean yang terletak kurang lebih 500 meter sebelah timur Pasar Wage Tulungagung, dan terletak kurang lebih 400 meter sebelah utara Hotel Tanjung memang dikenal sebagai sentra penjahit jalanan. Sejak tahun 80-an kawasan ini sudah dikenal warga Tulungagung sebagai tempat penjahit trotoar atau jalanan. Kehidupan para penjahit trotoar tidak bisa serta-merta dipandang sebelah mata, justru masyarakat kota Tulungagung telah mempercayakan hal yang paling sentral dari diri mereka yaitu busana, kepada tangantangan kreatif seperti mereka.

Sekilas perjalanan Penjahit Trotoar Menjadi penjahit trotoar adalah salah satu alternatif bagi masyarakat pinggiran untuk mencukupi kehidupan keluarga di tengah arus perkembangan zaman. Tak sedikit dari masyarakat kecil Tulungagung yang menghabiskan waktunya untuk menjahit, memperbaiki busana dari konsumen yang datang silih berganti dari berbagai daerah. Ada sekitar tiga puluh penjahit di kawasan perempatan hotel Tanjung tersebut. Mayoritas penghuninya adalah lakilaki dengan berbagai rentang usia, dari yang belia hingga usia lanjut. Selain itu ada 1 sampai 3 penjahit wanita dengan usia paruh baya.

Seperti Muslikah (40) yang mengaku sudah 4 tahun menekuni pekerjaan ini. Perempuan yang berdomisili di desa Ngantru, walaupun harus bersaing dengan kebanyakan penjahit laki-laki yang notabene tenaganya lebih kuat, Muslikah merasa tidak ragu dan tetap bertahan menekuni pekerjaannya. Muslikah pun tidak bekerja sendiri, selama ini berdampingan dengan kakak perempuannya. Mereka sudah menganggap para penjahit lainnya seperti keluarga, sehingga tidak ada rasa minder atau merasa tersaingi. “Ten mriki niku sedoyo wes koyo’ dulur kabeh, lek nganggur yo..podo guyon karo lok-lokan ngene (disini itu semua

DIMENSI/Kasful

Beberapa Penjahit yang sedang menyelesaikan jahitan pakaian konsumennya

Halaman

6

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMëNSI utama sudah seperti saudara, kalau tidak ada pekerjaan ya..saling bercanda; red)”ujarnya. Kebanyakan dari mereka (baca; para penjahit trotoar; red) mulai beroperasi sejak pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Akan tetapi jam kerja ini tidak pasti, tergantung pada penjahit itu sendiri dan juga keadaan. Seperti diungkapkan Abdul Rochim, “ora mesti mbak, tapi akeh-akeh jam wolu an, kadang yo jam songo, koyo aku ngene ki, mulihe ndak mesti, misale jam suwelas udan, yo muleh disek (tidak pasti mbak kebanyakan jam 8 sampai jam 9-an, kalau jam 11 hujan ya pulang lebih awal; red).” Saat musim hujan sebagian dari mereka masih bertahan di bawah payung hujan untuk tetap bekerja menyelesaikan jahitan yang masih menumpuk, saat konsumennya terlalu ramai. Abdul Rochim pun mengatakan kalau musim masuk sekolah dan pada hari raya merasa kewalahan karena konsumennya meningkat. Alasannya “ramene kuwi nek pas bodho karo musim sekolah mlebu. lek wayah bodho ngono kae, wong-wong podo nduwe duwit, trus podo ditukokne kain, bar bodo didandakne, lha… wayah bocah sekolah mlebu, akeh seng seragame didandakne rene, ‘luweh cepet omonge’ (konsumen meningkat pada waktu lebaran dan musim sekolah. waktu lebaran kebanyakan orang mempunyai uang lebih untuk menjahitkan pakaian, selain itu musim masuk sekolah banyak pula yang menjahitkan pakaian seragam ‘katanya lebih cepat selesai’),” Jelas Rochim yang sudah lima tahun bekerja menjadi penjahit trotoar untuk memenuhi kebutuhan istri dan ke tiga putranya. Berbeda lagi dengan pengakuan Atemo, mengaku tidak terlalu pagi untuk memulai menjahit karena merasa tenaganya sudah terlalu tua untuk pekerjaan ini. “Lek kulo tekone awanawan mbak, paling jam songo utowo jam sepuluhan, wes tuwek ngeneki gak usah ngoyo- ngoyo, bedo karo seng sek enom- enom kuwi ‘sek sregep’, (saya datangnya agak siang, sekitar jam 9 atau jam 10, usia sudah

DIMëNSI

terlalu tua jadi tidak terlalu memaksa, berbeda dengan yang muda-muda, masih rajin untuk pekerjaan ini; red).” Tutur Atemo. Pada hari tertentu seperti Minggu, akan terlihat deretan panjang motor dan mobil terparkir di sepanjang perempatan Jalan Kapten Piere Tendean. Sangat ramai oleh sebagian masyarakat kecil Tulungagung yang menggunakan jalan trotoar sebagai alternatif lahan mencari uang, sederetan pekerja sibuk mengayunkan kaki dan tangan kreatifnya untuk menyelesaikan pekerjaan dengan antrian konsumen yang tak hanya sedikit. Hal tersebut membuktikan bahwa pekerjaan mereka diminati masyarakat INGANDAYA (Industri, Pangan dan Budaya) dari berbagai kalangan. Mulai masyarakat menengah ke bawah hingga masyarakat menengah ke atas. Profesi mereka seperti menjadi tempat ‘pelarian’ terakhir atas ketidakpuasan masyarakat akan industri garmen yang ada. Ketidakpuasan tersebut seperti, ukuran pakaian yang tidak pas, terlalu panjang, atau bahkan model yang sudah ketinggalan zaman dapat dirubah atau dipermak oleh tangantangan kreatif mereka. Hal ini seperti yang dibenarkan Abdul Rochim “kebanyakan yang menjahitkan adalah permak pakaian, mulai dari memotong panjang celana, mengecilkan ukuran, sampai memodifikasi total bentuk dan ukuran,” jelas Rochim ketika kami temui di pinggiran trotoar sambil menyelesiakan jahitannya. Sedangkan masalah tarif, Rochim mengatakan harga setiap penjahit pun tidak sama. Namun khusus untuk sekedar memotong celana dan mengecilkan ukuran pinggang, mereka (beberapa penjahit trotoar; red) mengenakan tarif hanya Rp. 3.000 sampai Rp. 4.000. Sedangkan permak celana dan baju secara keseluruhan sebesar Rp. 8.000 sampai Rp 10.000. Ada juga yang membawa kain mentah untuk dibuatkan sesuai keinginan konsumen, mereka biasanya

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

menetapkan tarif sekitar Rp.18.000 sampai Rp. 30.000. “lebih ekonomis daripada penjahit rumahan atau konveksi, mbak..” Terang Rochim selanjutnya. “Yo..nek rego kuwi tergantung angele karo suwine mbak (harga tergantung dari kesulitan dan lama menyelesaikannya; red),” masih Rochim sambil tersenyum meneliti jahitan yang ada dihadapannya. Belum lagi ditambah dengan servis mereka yang terbilang cepat, bahkan kalau ada kesempatan bisa langsung ditunggu. Itulah salah satu alasan yang membuat khalayak umum khususnya masyarakat Tulungagung lebih memilih melarikan pakaian mereka ke penjahit trotoar, daripada mempercayakannya kepada penjahit rumahan atau penjahit konveksi yang biasanya tidak menerima. Seperti penuturan Pitan, siswi salah satu SMA terkemuka di Tulungagung. Pitan mengaku lebih memilih menjahitkan bajunya disini walaupun di pinggir jalan karena lebih murah dan cepat. “Ya..disini cepat selesai, bisa ditunggu dan pastinya murah mbak” terangnya ketika ditemui sedang menjahitkan beberapa pakaian di salah satu penjahit trotoar. Sama halnya dengan komentar Harti, seorang ibu rumah tangga salah satu warga Sumbergempol yang mengaku baru pertama kali menjahitkan disini, “aku masih pertama menjahitkan di sini, aku tahunya juga karena waktu puter-puter kota kok di sini ada tukang jahit, jadi ya..ku coba, ternyata selesai lebih cepat.” Jelasnya. Pengakuan mereka baik yang sudah lama menjadi pelanggan atau yang baru sekali akan selalu tetap menjadi hal yang penting untuk kehidupan para penjahit trotoar selanjutnya. Karena ke-eksistensian mereka dalam profesi ini tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat dan konsumen. Mereka bisa tetap menghidupi keluarganya karena peran konsumen yang telah percaya dengan profesi penjahit trotoar. Rencana Relokasi Tempat Usaha mereka yang bisa dikatakan turun temurun dan telah Halaman

7


DIMëNSI utama membudaya tidak terlepas dari masalah pihak terkait. Areal trotoar dan perempatan yang digunakan mereka sebagai tempat bekerja merupakan wilayah umum. Sesuai dengan fungsi trotoar sebagai tempat yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Dan selama mereka masih menggunakannya untuk tempat bekerja maka akan ada kepentingan orang lain yang sedikit terganggu. Memang tidak semua penjahit itu berada tepat dan menghabiskan seluruh trotoar. Penjahit yang berada di sebelah timur perempatan masih berada di belakang trotoar. Ketika ditanyakan kepada mereka tentang tempat, “ya.., lek njahit kan sek neng mburine trotoar mbak, tapi ndek kene wes dianggep biasa” (kalau menjahit kan masih dibelakangnya trotoar, dan menjahit disini sudah dianggap biasa; red). Ketika kami konfirmasikan ke SATPOL PP (Satuan Polisi Pamong Praja), mengenai penggunaan trotoar sebagai lahan bekerja, mereka memang mengiyakan, tetapi mereka juga tetap melakukan usaha-usaha untuk menekan supaya penjahit trotoar tidak menghabiskan seluruh trotoar. Wahyu Irawan, selaku kepala bidang Humas Satpol PP mengatakan, “Sebenarnya kita sudah pernah mengingatkan mereka agar tidak menggunakan trotoar untuk berdagang maupun menjahit, karena trotoar memang diperuntukkan untuk pejalan kaki.” Jelas wahyu ketika kami temui di kantornya. Usaha Satpol PP untuk tetap menjaga ketertiban tetap dilakukan agar para penjahit tetap terlihat rapi dan tidak mengganggu jalan. “ya, kita tetap melakukan usaha-usaha seperti memberikan pengait di lapak-lapak mereka, agar terlihat rapi” masih Wahyu. Ketika ditanyakan mengenai kemungkinan adanya relokasi atau pemindahan tempat para penjahit yang menempati trotoar menanggapinya dengan berbagai pendapat. Seperti Abdul Rochim, yang menanggapinya dengan santai, “Gelem mbak ngaleh, seng penteng rame koyo’ neng kene, (bersedia pindah tetapi yang penting tempatnya

ramai seperti disini; red). Berbeda lagi dengan Atemo, kakek dari delapan cucu ini menanggapi dengan pasrah, “Kulo manut mbak, tapi yo lek iso podo karo nek kene, (saya pasrah, jika dipindahkan, kalau bisa ya..seperti di sini; red). Dari beberapa pernyataan mereka yang menggunakan trotoar untuk mencukupi nafkah, meskipun ada rencana untuk dipindahkan tempat dan akan dijalankan, mereka mayoritas menginginkan tempat yang layak, tempat yang ramai dan strategis untuk dikunjungi konsumen seperti yang sekarang ini ditempati. Para penjahit trotoar tetap bertahan karena memang sudah turun-temurun dan selama ini tidak ada masalah. Masyarakat Tulungagung pun juga seolah telah menjadi bagian dari mereka sehingga semua berjalan apa adanya. Sama halnya dengan pendapat Kepala bidang Pengelolaan Pasar Henny Yuliana yang dalam hal ini menangani atas rencana relokasi tempat penjahit trotoar. “Kalau masalah tempat masih dicarikan yang pas, rencana dipindahkan ke Pasar Burung atau Pasar Ngemplak (Pasar Sore),” Jelasnya ketika kami temui di kantor Dinas Koperasi UMKM dan Pasar Kab. Tulungagung. “kalau dulu mintanya di Belga, tapi Belga itu kan milik swasta, jadi tidak bisa. Ya, ini masih dicari-carikan tempat” imbuhnya. Henny pun juga menjelaskan kalau Dinas Koperasi UMKM dan Pasar dalam hal ini tidak memberikan izin penggunaan trotoar

DIMENSI/Leli

Henny Yuliana

sebagai lahan untuk mencari nafkah, karena akan memperburuk jalan dan tata letak. “Kita gak pernah narik dana untuk mereka yang telah menggunakan trotoar, soalnya kalau kita narik iuran, berarti kita memberi izin mereka untuk berjualan maupun menjahit di trotoar, sedang itu kan akan memperburuk jalan” ungkapnya. Setelah ditanya bagaimana selanjutnya agar penjahit trotoar tersebut tetap bisa mencari nafkah, tetapi juga tidak mengganggu jalan ataupun pemandangan jalan, Henny hanya menjawab “sak jane gak mentolo mbak, mesakne (sebenarnya tidak tega, kasihan mereka; red) kalo mereka dipindahkan, mereka jelas tidak mau karena tempat yang sekarang dianggap tempat yang tepat dan stategis selalu dilihat konsumennya, wong…saya sendiri juga sering permak pakaian Dinas dan kaos-kaos kesitu, jika ukurannya tidak sesuai (saya sendiri juga sering permak pakaian Dinas dan kaos di penjahit trotoar itu, jika ada ukuran yang tidak sesuai; red)”. Ungkapnya sambil bercerita pengalamannya menjahitkan baju Dinas di penjahit trotoar tersebut. “kita masih usaha untuk mencarikan tempat yang layak untuk mereka” tambahnya mengakhiri perbincangan. Antara Menjahit dan Urusan Perut Menjahit di trotoar adalah pilihan mereka untuk tetap memenuhi kebutuhan, ini dianggap sebagai alternatif untuk mendapatkan kesejahteraan ketika mereka tidak harus menengadahkan tangan akan adanya kucuran bantuan pemerintah terhadap masyarakat pinggiran. Makna kesejahteraan bagi para penjahit sangatlah sederhana, terlihat dari berbagai pandangan mereka tentang meretas kesejahteraan dalam kehidupan. Seperti Atemo, seorang kakek yang berusia 80 tahun itu masih giat bekerja meskipun usianya senja. Tahun 1982 Atemo sudah mulai menjahit di trotoar mempertahankan hidup. Walaupun penjahitnya saat itu belum se-banyak saat ini. “Kulo niku mulai njahit teng mriki tahun 1982, riyen

Halaman

8

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMëNSI utama cuma wong 4, sakniki wes mati kabeh, karek kulo (Saya mulai menjahit disini tahun 1982, dahulu hanya ada 4 orang, sekarang mereka sudah meninggal semua, tinggal saya; red). Atemo tetap saja bertahan menjahit hingga hampir 20 tahun setelah beberapa kali pindah tempat hanya untuk mencari penghasilan yang lebih mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Mengisahkan waktu mudanya sering berkelana, pernah sampai ke Jakarta dan beberapa konveksi besar di berbagai daerah hanya untuk mencari tempat dan pekerjaan yang layak untuk mencukupi hidup. “lek ngomongne riwayat kulo niku teko ngendi-ngendi mbak, kulo niku takseh nem kesah teng pundi-pundi, Jember, Jakarta, nate ten Kupang tapi kulo mboten purun, tumut bos-bos karo konveksi gede (berbicara riwayat, sewaktu muda saya pernah berkelana kemana-mana, pernah sampai ke Jember, Jakarta hingga pernah ditawarkan ke Kupang untuk ikut konveksi besar, tetapi saya tidak mau; red)” Cerita Atemo. Sebelum menjadi penjahit trotoar Atemo juga pernah ke Bali menjahit jas. Sebenarnya Mbah Atemo juga merasa bosan dengan pekerjaan ini “kulo niku lenjeh mbak sakjane (saya itu bosan sebenarnya; red),” imbuhnya. Pengakuan Atemo menyiratkan kepasrahan akan keadaan, demi mencukupi kebutuhan hidup, akan tetapi tak banyak yang bisa dilakukan warga asli Tawangsari ini. “Kulo ten Tawangsari mbukak jahitan tapi sepi, terus kulo mbecak tapi kaleh wongwong dilokne, ‘tuwek kok mbecak’, akhire tak dol, trus ditukokne mesin jahit, (di Tawangsari saya pernah membuka jahitan tapi sepi pengunjungnya, akhirnya saya narik becak, tetapi beberapa teman malah mengejek ‘sudah tua kok mbecak’ akhirnya ku jual becaknya dan dibelikan mesin jahit; red)” sambung cerita Atemo. Bentuk pemberontakan terhadap keadaan yang bisa dibilang tidak memihak ini, pernah beliau lakukan. Selain menjahit Atemo juga memiliki tambak ikan dan menjadi buruh di pabrik ransel meskipun tidak terlalu besar penghasilannya “mburuh teng

DIMëNSI

Atemo

DIMENSI/Reni

pabrik ransel Ngunut, ingon pitik, sembarang mbak neng ngomah yo nganggur, (menjadi buruh di pabrik ransel, ternak ayam, semua dijalani karena di rumah juga nganggur; red) tambahnya melengkapi cerita perjalanan hidup. Semua ini dilakukan mbah Atemo demi membuat dapur keluarganya tetap mengepul. Ketika ditanyakan mengenai penghasilan selama menjahit, warga Wonorejo ini menjawab dengan tawa tipis, “Ora mesti mbak, kadang yo ndak oleh blas tau, Jum’at kae malah ndak oleh blas, aku mutung, terus muleh turu, (tidak pasti, kadang sama sekali tidak mendapatkan uang, seperti jumat kemarin, jadi pulang; red). Akan tetapi terlepas dari itu semua prinsip beliau untuk tetap mensyukuri apapun hasil dari pekerjaannya itu patut kita teladani. “lek oleh duwit yo disyukuri, lek ora oleh duwit yo ndak usah mikir. Ngeman awak mbak wes tuwo lek gering malah susah (kalau mendapat uang ya disyukuri, kalau tidak ya tidak usah dipikir, sudah tua kalau sakit tambah repot).” Prinsip inilah yang membuatnya tetap eksis menjalani hari demi hari. Berbeda dengan Abdul Rochim. Penjahit asli Majan yang sudah menjahit selama 5 tahun ini, merasa kurang beruntung hidupnya. Penyesalannya ketika tidak bisa menyekolahkan anaknya yang pertama sampai ke tingkat yang lebih tinggi. “yugo kulo seng mbarep niku namung tamatan SD, mboten wonten ragat, (anak saya yang pertama itu hanya tamat sekolah dasar, tidak ada biaya; red) terang Rochim.

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Tetapi bapak dari 3 putra ini masih berharap dari penghasilan menjahit dapat menyekolahkan anaknya yang kedua dan terakhir sampai jenjang yang lebih tinggi. Awal mulanya Rochim menjahit karena mengikuti jejak mertua dan sekarang dilanjutkan sendiri. Sebelumnya dia pernah njahit di konveksi, namun karena bangkrut sehingga njahit sendiri. Abdul rochim mengaku tidak punya pekerjaan lain selain menjahit berbeda dengan bapak Atemo yang masih mempunyai usaha pembibitan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Mboten gadah mbak, sawah nggeh mboten duwe. Nggeh namung njahit niki (tidak punya sawah mbak, ya…Cuma menjahit ini saja; red), ungkapnya. Keresahan mereka memuncak ketika musim penghujan tiba seperti sekarang, seringkali mereka harus pulang lebih awal dan terkadang sama sekali tidak mendapat hasil karena pengunjung jarang yang datang. Seperti penuturan Rokhim berikut ini “Lek wayah udan mbak, repot, uwong ndak enek mergo udan, lek aku yo mulih ae mbak, diterusne neng omah (kalau musim hujan repot, sepi tidak ada orang, kalau saya pulang, jahitan diselesaikan di rumah; red)”. Selain itu ada yang bertahan hingga malam, seperti Atemo “kulo lek udan yo ditinggal nggiyup, tau sampe jam 7 sek neng kene mergo udan, tapi yo ndak oleh duwet belas, (kalau hujan saya tetap disini berteduh dulu, pernah samapi jam 7 malam, namun ya...tidak mendapatkan hasil apapun; red). Bagi Atemo, Rokhim dan beberapa penjahit lain keberhasilannya dalam usaha menjahit merupakan anugerah yang luar biasa, meskipun penghasilan yang didapat hanya pas-pasan, namun usaha yang tak pernah berhenti itulah yang menjadikan nilai tersendiri bagi kehidupannya. Penjahit trotoar adalah tempat ‘pelarian’ mereka yang lebih memilih sesuatu yang lebih instan, pragmatis, ekonomis. Kekreatifan mereka layaknya mendapatkan penghargaan dengan pengadaan tempat yang layak dan bantuan kesejahteraan yang lainnya. //Ren, @na// Halaman

9


DIMëNSI utama

Geliat PKL, Realita yang Tak Terbantahkan! K e t i k a mengunjungi kota Tulungagung, jangan pernah melewatkan untuk mampir sejenak di alun-alun Kota Tulungagung, yang sekaligus adalah taman Kusuma Wicitra. Air terjun yang gemericik dan segarnya taman hias juga anak kecil yang berlarian memang membuat suasana semakin khas. Suasana yang seperti ini akan sangat berbeda jika dipandang sekitar delapan tahun yang lalu. Banyak sekali Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mangkal di alun-alun yang DIMENSI/Kasful menambah ramainya Suasana Malam hari di kawasan Pujasera, Pasar Ngemplak kota. Perpindahan tersebut terjadi Nomor 2 Tahun 2005 tentang mangkal, juga sekarang alun-alun sekitar akhir tahun 2002. Berawal dari Relokasi Pedagang Kaki Lima (PK- dialihfungsikan sebagai taman kota. penandatanganan perjanjian di 5) di alun-alun, menyebutkan bahwa Terdapat beberapa tempat yang G e d u n g O l a h r a g a ( G O R ) terhitung 5 April 2005 secara resmi bertujuan sebagai sarana refreshing. Tulungagung yang intinya niatan seluruh pedagang kaki lima (PK-5) Hal ini seperti diungkapkan oleh salah P e m e r i n t a h d a e r a h u n t u k akan dipindahkan ke Pusat seorang pengunjung alun-alun, pemindahan tempat mangkal para p e m b e l a n j a a n a t a u P u j a s e r a Suparti, “saya sering ke sini, biasanya PKL. Dimana mereka (baca; Para Ngemplak. Karena alun-alun di kota seminggu sekali, ngemong putu PKL; red) akan menerima sejumlah ini memliki fungsi sebagai taman kota (mengasuh cucu; red)” ungkap ibu uang sebagai pengganti. Hal ini dan bukan sebagai tempat hiburan, satu cucu ini sembari memberi makan dilaksanakan setelah beberapa kali “kalau taman kota itu kan memang burung dara di alun-alun. Dia juga ada pendataan ulang oleh Satuan harus ditata seperti taman yang indah menambahkan, dulu alun-alun Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). dan bersih dari PKL”, kata Suwito memang terdapat banyak sekali PKL PKL yang dulunya bisa berjualan salah satu ketua komisi 1. Hal ini yang mangkal di pinggiran jalan, di area alun-alun kini tidak bisa lagi berbeda dengan Blitar, Kediri, “Dulu di dekat bundaran situ, ada berjulan di sana, karena adanya Malang, Surabaya, alun-alun di kota mainan, kaset, tapi jalannya jadi peraturan yang mana alun-alun harus tersebut memliki fungsi sebagai sempit.” Imbuh ibu yang berasal dari bersih dari PKL. Dalam Perda No.29 tempat hiburan dimana PKL masih desa Kates Kalangbret. T a h u n 2 0 0 2 t e n t a n g diperbolehkan berjualan. Pemindahan PKL dari alun-alun penyelenggaraan ketertiban umum Di alun-alun kota Tulungagung, ke PUJASERA (Pusat Jajanan Serba dan peraturan Bupati Tulungagung selain tidak ditemuinya PKL yang Ada), berawal dari pendataan dari Halaman

10

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMëNSI utama SATPOL PP atas beberapa PKL yang mangkal di alun-alun Tulungagung. Mereka pun bersedia dan akhirnya mereka diberi nomor untuk mengambil uang yang dijanjikan. Sampai saat ini, semua tidak terealisasikan. Di pasar ini pedagang kecil tidak semakin ramai pengunjung malah semakin sepi, karena dinilai tempatnya yang kurang strategis. Dalam hal Ini Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pasar Ngemplak menanggapi bahwa para PKL dipindahkan karena atas dasar piala ADIPURA yang menilai kebersihan kota, jadi dalam hal ini alun-alun memang harus bersih dari PKL. Pemindahan PKL di alun-alun tersebut dilandaskan pada piala ADIPURA yang akhirnya pemerintah membuat Perda dimana alun-alun difungsikan sebagai taman kota yang harus bersih dari PKL. Tahun ini, pemerintah daerah Tulungagung memang mengagendakan untuk mendapatkan piala ADIPURA yang ke Sembilan. Nasib PKL Paska Relokasi Pemindahan tempat mangkal para Pedagang Kaki Lima ini pun berdampak juga terhadap penghasilan setiap harinya, pasalnya tempat yang mereka janjikan di Pujasera tidak memberikan hasil yang baik bagi kehidupan PKL.

Kebanyakan dari mereka gulung tikar karena tidak adanya penghasilan yang memuaskan. Seperti Agus Rusito (45) salah satu PKL yang mengalami imbas dari penggusuran di alun-alun. “Semenjak saya berjualan di Pujasera saya tidak mendapatkan pendapatan yang seimbang dengan pengeluaran, jadi saya ya gulung tikar mbak, lha wong sewengi mek oleh duwit Rp 6.000,00. Dadine yo maleh akeh utange, kan bendino nyilih duwit gae dagang tapi pendapatane mek semono yo ra kuat mbak (kalau semalam cuma bisa dapat uang Rp 6.000,00. Jadinya ya mempunyai hutang banyak, karena setiap hari pinjam uang untuk berdagang, tapi pendapatannya cuma segitu ya...tidak kuat mbak; red),” ujar Agus yang kini menjadi jukir di Toko Buku Salemba. “Tidak seperti di Alun-alun, dulu dagangan saya selalu habis dan akhirnya bisa membeli 2 sepeda motor walaupun bekas,” tambah bapak dengan 2 anak ini. Sekarang kehidupannya memang bisa dikatakan tidak sesejahtera dulu, yang awalnya segala kebutuhan hidup bisa tercukupi, tapi sekarang untuk kebutuhan hidup sehari-hari kesulitan. Pasalnya gerobak yang dulu digunakan untuk berdagang setiap hari sekarang hanya bisa parkir di depan rumah, karena tidak adanya

DIMENSI/Kasful

Lapak PKL yang belum permanen karena menempati daerah dinas perhubungan

DIMëNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Agus Rusito

DIMENSI/Rizki

modal. Jika hanya mengandalkan penghasilan dari penjualan di Pujasera ataupun mejadi Jukir (Juru Parkkir) tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan beberapa anaknya. Sehingga Agus pun mempunyai alternatif lain untuk mempertahankan kehidupannya demi tercapainya kesejahteraan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari semua anggota keluarga Agus bekerja sebagai karyawan konveksi. Seperti istrinya, Rusmini selama ini menjahit khusus celana dalam dengan satu kali setoran diberi harga Rp. 15.000,00. “kami mengambil uangnya jika sudah mendapatkan 10 kali setoran, jadi biar kelihatan hasilnya mbak”, kata Rusmini ketika kami temui di rumahnya di daerah Lembu Peteng. Mereka juga mempertahankan hidupnya dengan menjual harta benda milik mereka. “Kami jual dua sepeda motor, kursi yang ada di ruang tamu, piring, panci dan pokoknya sampai-sampai barang yang ada di rumah hampir habis semua” tambah Agus. Selain itu, anak laki-laki yang sulung pun bekerja sebagai karyawan konveksi di rumah tetangga. Sama halnya dengan nasib Sinar Satrio (55), yang sekarang berprofesi sebagai juru pengobatan Bekam selain berjualan nasi di depan rumahnya. Walaupun memiliki tempat yang tidak layak untuk dijadikan rumah makan, namun Sinar tetap mempertahankan itu. “ya saya bisanya cuma kayak gini mbak, kalau tidak saya bantu dengan pengobatan keliling kebutuhan sehari-hari ya… Halaman

11


DIMëNSI utama tidak cukup untuk menghidupi keluarga” ungkapnya menjelaskan. Penghasilan yang tidak menentu menjadi salah satu permasalahan yang cukup mendasar bagi Sinar. Ini juga dirasakan sama oleh Agus Rusito,untuksekedar mempertahankan hidup, mencukupi kebutuhan keluarga terkadang berjualan disetiap ada acara besar di daerah sekitar “ya..kami dagang pakai gerobak kalau ada acara-acara besar saja mbak, karena hari-hari biasa kami dikejar-kejar seperti maling, sejak saat itu istri saya langsung trauma dengan kejadian seperti itu,” imbuhnya. Teman Sinar pun ada yang pindah ke luar Jawa, “gara-gara pemindahan itu teman-teman saya ada yang menjadi maling, bandar togel, dan masih banyak lagi demi mencukupi hidup.” ujar Sinar Satrio yang kami temui di rumahnya. Hal itu memang dilakukan sebagai cara mereka menyambung hidup. Matinya Keadilan Pemerintahan Sebenarnya para PKL awalnya tetap melakukan usaha untuk bertahan dapat berjualan di alun-alun. Mereka sempat mengadakan unjuk rasa beberapa kali ke kantor pemerintah daerah dengan membawa keranda mayat yang menggambarkan matinya keadilan pemerintah terhadap rakyat kecil. “saya sampai capek mbak panggah kon demo ae

tapi gak enek hasile, akhirnya ketika saya bertemu Heru Tjahjono dalam suatu acara saya bicara dengan beliau dan meminta tempat yang lebih baik namun beliau tidak bisa mengabulkan karena sudah tidak adanya tempat lagi selain di Pujasera,” ujar Agus. Menanggapi hal tersebut Eko Setyo R selaku bagian administrasi UPTD pasar Ngemplak mengatakan, “Mereka yang keluar dari Pujasera itu dikarenakan tidak kuat adanya masa transisi yang terjadi ketika dipindahkan dari alun-alun”. Memang telah ada upaya untuk memindahkan PKL ke daerah sekitar sungai Ngrowo, akan tetapi hal tersebut juga tidak terealisasi karena membutuhkan proposal yang diajukan ke pemerintah daerah Tulungagung. Tidak hanya sekali dia mencoba untuk pengajuan tempat yang layak, tapi dari kelima permintaannya tidak ada satu pun yang mendapatkan respon dari pemerintah daerah. Menanggapi hal tersebut Suwito mengatakan, “sebenarnya kami selaku DPRD kota Tulungagung sudah mempertimbangkan dengan berbagai usulan yang ada, nah tempat yang tepat di Tulungagung ya di Pujasera. Karena tempat-tempat yang lain itu ada yang memakan badan jalan ada juga yang tempatnya sudah penuh, jadi ya mau tidak mau kita pindahkan di Pujasera”. Karena disisi lain para satpol PP tetap

berusaha untuk mempertahankan kebersihan dan juga tata letak kota supaya kota tetap menjadi bersih dan rapi. “Harapan saya ya pengen mencari pemimpin yang bisa mengayomi masyarakat kecil seperti saya dan juga membolehkan saya berdagang lagi, pemerintah bisa mengayomi masyarakat seperti saya ini, bisa memberikan tempat dagang yang layak jangan seperti di Pujasera yang jauh dari jangkauan masyarakat dan jauh dari keramaian kota juga bisa buat senang orang kecil.” Imbuhnya di akhir perbincangan kami. Mereka adalah gambaran bagian dari beberapa nasib PKL Tulungagung. Banyak yang diceritakan Agus maupun Sinar tentang nasib beberapa teman PKL yang lainnya setelah pemindahan tempat. Banyak yang beranggapan juga bahwa di Pujasera memanglah tempat yang kurang sesuai untuk berdagang. Sepinya pelanggan membuat mereka kalang kabut dalam perekonomian rumah tangga karena penghasilan yang didapat belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan akhirnya ada beberapa pedagang yang memutuskan untuk gulung tikar mencari alaternatif lain yang bisa dilakukan. Sedang minimnya perhatian pemerintah terhadap nasib PKL adalah gambaran matinya keadilan pemerintahan. (risky/aziz/lly-ses)

Halaman

12

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMëNSI utama Njahit; Berjuang walau Tanpa Ijazah Kelurahan Botoran, Sembung dan desa Mangunsari merupakan daerah pingggiran kota Tulungagung utara. Ketatnya persaingan dalam mendapatkan pekerjaan, tak sedikitpun melemahkan etos kerja masyarakatnya. Malah melahirkan kreativitas dan inovasi, njahit. Sehingga tak sedikit para sarjana di kawasan ini tak sempat ‘memanfaatkan’ ijazahnya untuk menjadi pegawai negeri dan menekuni usaha yang sudah lama digeluti secara turun-temurun. Sepanjang secara mandiri. jalan memasuki Tampak puluhan kelurahan Sekios konveksi mbung sampai berjejer padat Mangunsari tampak menghiasi 500 di kanan kiri jalan meter jalan terdapat beraneka sepanjang desa macam kios Botoran. Melalui konveksi. Inilah ruko tersebutlah, hasil produksi buah hasil karya karya jahitan mamasyarakat syarakat setempat. Botoran diKemampuan menperkenalkan dan jahit yang berawal dijajakan pada dari bakat turunkhalayak ramai. temurun ini telah Tidak hanya itu, berhasil beranak masih menurut pinak menjadi Yu l i , p r o d u k sebuah komunitas konveksi kakonveksi. Sehingga wasan ini juga DIMENSI/Leli Kelurahan Botoran, dipasarkan ke Karyawan konveksi Aba Colection mengerjakan jahitan pakaian Sembung dan Desa luar kota hingga Mangunsari terkenal sebagai sentra Damijanto (50), “Botoran telah antar pulau. Mulai dari Kalimantan, konveksi di Kabupaten Tulungagung. menjadi icon konveksi Tulungagung.” Sumatra dan Sulawesi. Selain itu, M e n u r u t s a l a h s e o r a n g Masih menurutnya, usaha konveksi banyak pedagang lokal dan sekitar pengusaha konveksi di Kelurahan merupakan usaha mayoritas Tulungagung langsung datang ke Sembung, Ahmad kholil, daerah masyarakat Botoran. Tercatat ada 100 sentra konveksi mengambil barang sekitar Sembung merupakan sentra home industri konveksi dari sekitar 4 dagangan untuk dijual kembali. “Ya konveksi Tulungagung yang sudah ribu jumlah penduduk. Yuli (33) salah kalau ada yang serius ingin terkenal kemana-mana. Mulai dari satu pemilik konveksi di desa Botoran memasarkan (jawa; kulak-an; red) Desa Karangwaru, Kutoanyar, Treteg, mengatakan, munculnya kreativitas barang-barang dari sini, saya kasih Botoran, Sobontoro, dan Mangunsari. menjahit hingga besar menjadi walau hanya memberi uang muka Hampir sebagian besar masyarakat industri rumahan konveksi 15%”, ungkapnya. menggantungkan hidupnya dari suara merupakan hasil kreatifitas dan Beberapa konveksi dan usaha derit mesin jahit. “Sekitar sini inisiatif masyarakat sejak zaman lain yang ada di daerah Tulungagung merupakan pusat konveksi di dahulu, demi menyelesaikan pun mendapat perhatian dari Dinas Tulungagung. Nah, kalo pusatnya ya persoalan ekonomi. Kreatifitas ini pemerintah. Usaha pendampingan, di kelurahan Sembung, Botoran dan muncul karena adanya faktor pembinaan dari dinas yang terkait Mangunsari”, ungkap Kholil. lingkungan dan kebutuhan. Tak hanya juga telah terlaksana. Dalam hal ini Daerah Botoran juga dikenal menjadi produsen konveksi saja, adalah Dinas Usaha Mikro Kecil sebagai daerah konveksi. Seperti pengusaha konveksi Botoran juga Menengah (UMKM). Menurut Satia yang diungkapkan Lurah Botoran merambah pada wilayah pemasaran Rahayu, Kasir Perkembangan

DIMëNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

13


DIMëNSI utama Kewirausahaan, UMKM telah melakukan pembinaan kelembagaan yaitu dengan melakukan pengarahan di tingkat kecamatan demi kemajuan usaha terkait. Dalam hal modal, pemerintah memberikan bantuan dana dengan bunga rendah sebesar 7% dan bisa dicicil selama 3 tahun. Namun Menurut pengakuan Ahmad Kholil, selama ini tidak pernah ada bimbingan dari pemerintah daerah ataupun pinjaman uang. “Kalau pun ada, persyaratannya sulit sekali sehingga ahirnya malah gagal”, ujarnya. “Banyaknya pengusaha k o n v e k s i y a n g g u l u n g t i k a r, diakibatkan karena meminjam uang dari BANK. Ketika jatuh tempo, si peminjam merasa terbebani untuk membayar”, tambahnya. Begitu halnya menurut Damijanto, tidak sedikit pengusaha konveksi yang gulung tikar. Dengan keuntungan yang tidak seberapa, namun harus segera mengembalikan pinjaman modal sesuai waktu dan tambahan bunga yang telah ditentukan. Banyaknya kegagalan pada para pengusaha konveksi juga dikarenakan tidak adanya modal, kurangnya menejemen dan kurangnya kreativitas atau Sumber Daya Manusia (SDM). Dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-an, ternyata masih dirasakan masyarakat pada hari ini. Sehingga situasi Negara sangat mempengaruhi perekonomian rakyat kecil. “bagaimana mungkin Sri Mulyani dan Budiono mengatakan kalau perekonomian Indonesia itu terbaik se-ASIA. Buktinya rakyat kecil sama sekali tidak bisa bekerja”, kesal Kholil ketika ditemui di rumahnya. Peran Dinas UMKM seperti yang diungkapkan Satia Rahayu, “UMKM hanya sekedar ikut andil dalam mengatasi persaingan pasar yaitu dengan merencanakan pendirian Gedung Promosi pada tahun 2011 bagi setiap Kabupaten.” Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan karya khas dari produsen masingmasing. Sehingga, selain produsen akan semakin semangat, masyarakat yang ingin membutuhkan suatu hasil

produksi tidak akan repot-repot melalui distribrutor. Harga akan semakin murah. Membuka Lapangan Pekerjaan Berkembangnya usaha home industry konveksi akan berimbas dengan terciptanya banyak lapangan pekerjaan. Skill yang awalnya hanya mampu memberikan kesejahteraan bagi diri sendiri, kemudian berkembang menjadi usaha yang mampu memberikan kesejahteraan bagi orang lain. Seperti yang terlihat di konveksi Aba Collection, puluhan pekerja berkelompok-kelompok mengerjakan bagiannya masing-masing. Sebagian ada yang menjahit, ada yang memotong kain, ada yang menyablon hingga packing. Mereka bekerja tampak serius namun tak lupa disertai dengan guyonan sebagai penyemangat. Narmi (33), salah satu dari ratusan pekerja di konveksi ini, terlihat lincah melipat baju pesanan untuk dimasukkan ke dalam plastik pembungkus. Usaha ini telah ia tekuni sejak 5 tahun yang lalu. Narmi bekerja mulai jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Awal menjadi pekerja, ia dibayar Rp.200.000,-. Dengan bertambahnya masa pengabdian Narmi, kini ia mendapatkan gaji Rp.600.000. Ia terpaksa menjadi pekerja di konveksi ini karena tak ada lagi lapangan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pasalnya, suaminya hanya bekerja sebagai kuli panggul di pasar Ngemplak, yang penghasilannya pun minim. “Sebenarnya uang segitu ya.... masih kurang mbak. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak. Sedangkan suami saya pekerjaanya Cuma guluk (kuli panggul; red) bawang merah di Pasar Ngemplak”, ungkapnya ketika kami temui di Aba Collection. Demikian halnya dengan Sri Ningsih (22), yang juga salah satu pekerja konveksi. Ia menekuni usahanya selama 2 tahun. Begitu lulus SMK, dia langsung melamar kerja di Aba Collection. Walaupun ia anak terahir dari 5 bersaudara, namun

perempuan muda ini tak mampu untuk melanjutkan sekolah dikarenakan minimnya perekonomian keluarga. Sehingga ia terpaksa harus menekuni pekerjaan ini. Dia mampu mendapatkan gaji bersih Rp. 500. 000,00 perbulan. “Ya lumayan lah mbak bisa sedikit membantu orang tua”, ujarnya sambil menyunggingkan senyum saat merapikan lipatan beberapa potong kaos di tempat kerja. Muhamad Syamsul, pemilik konveksi Aba Collection menjelaskan, usaha ini berawal dari ketelatenannya sejak SD, membantu orang tuanya menjahit baju untuk dijual ke pasar tradisional. Semangat seperti ini dibawanya sampai ia kuliah. Saat memasuki akhir studi, Syamsul bertekad mengembangkan usaha konveksinya. Tak hanya menjual di pasar tradisional, Syamsul mencoba memasarkan produk konveksinya ke luar kota, tepatnya Kabupaten Nganjuk. “Jadi setelah subuh saya harus berangkat ke Nganjuk naik bis dan jam 10.30 harus sudah di kampus” ujar Alumni IAIN Tulungagung tahun 1991. Dari kemampuan menjahit yang ia miliki, kemudian dikembangkan mulai dari satu mesin jahit dan dijahitnya sendiri, hinggga sekarang menjadi puluhan mesin jahit. Hal yang dilakoninya ini ternyata telah meciptakan lahan kerja baru. Sehingga usaha ini mampu mengurangi angka pengangguran. Saat ini konveksi Syamsul mampu menampung 100 pekerja. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ahmad Kholil. Usaha konveksinya ini juga mampu menampung para pengangguran untuk menjadi pekerja konveksi. Walaupun tak sebesar milik Syamsul, namun banyaknya orderan membuat ia membutuhkan pekerja. “Otomatis konveksi itu membuka lapangan pekerjaan. Karena kalau tidak ada yang bantu ya... repot”, ulas bapak yang sudah mempuyai lima putra. Etos Kerja Masyarakat di tiga kelurahan tersebut menganggap bahwa ijazah bukan semata-mata alat yang bisa

Halaman

14

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMëNSI utama

DIMENSI/Leli

karyawan penjahit konveksi yang sibuk menyelesaikan orderan

diandalkan untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga mereka b e r i n i s i a t i f u n t u k m e n c i p ta k a n lapangan pekerjaan. Walaupun kebanyakan masyarakat di desa Botoran, Mangunsari dan Sembung latar belakang berpendidikan S1 atau biasa dikatakan wong kuliahan. Namun hal ini tidak membuat mereka ketergantungan pada ijazah ketika mencari pekerjaan. mereka tak perlu repot-repot mencari pekerjaan karena sejak kecil telah mewarisi etos kerja sebagai pengusaha konveksi. Dengan modal ijazahnya dari IAIN Tulungagung, Syamsul pernah melamar menjadi guru. Namun ini tak bertahan lama, karena usaha konveksinya lebih menjanjikan. “Ijazah tidak semata-mata untuk mempertahankan hidup. Namun situasi yang jalan saat itu (usaha konveksi; red), ya itu yang ditekuni,” tutur suami dari Siti Asfiyah yang juga alumni IAIN Tulungagung. Hal yang sama, juga diungkap oleh Yuli, menurutnya penjahit konveksi di daerah Botoran dan sekitarnya mayoritas pendidikannya adalah sarjana. “Mencari pekerjaan itu sulit sehingga ya berusaha menciptakan lapangan pekerjaan dan itu lebih baik,”

DIMëNSI

tuturnya. “Asline wong ki seng penting ulet, (sebenarnya yang terpenting itu adalah telaten; red) mencari celah yang memungkinkan. Seperti saya ini, ijazah D3 Akuntansi saya, akhirnya ya... ditanggalkan,” tambahnya. Dalam hal memperkuat usaha, penjahit konveksi benar-benar harus menjaga kualitas jahit dan tepat waktu sesuai pesana, mengikuti perkembangan model dan mengikuti permintaan konsumen. Namun tidak bisa dipungkiri adanya berbagai kendala. Salah satunya adalah adanya konsumen yang tidak melunasi pembayaran atau bahkan sama sekali tidak membayar. Hal ini karena kelalaian dari pengusaha sendiri. Bagi Syamsul, untuk mengantisipasi hal tersebut, setiap konsumen yang memesan, harus membayar uang muka sebesar 30 hingga 50% bagi pemesan lokal dan 100% bagi pemesan interlokal. “Kami juga melayani via email,” tuturnya. Usaha yang dijalankan Samsul sejak tahun 1991 ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hingga sekarang omzetnya mencapai 3,5 sampai 4 milyar plus keuntungan 5% pertahun. Sehingga mampu menggaji pekerjanya 300 ribu sampai 600 ribu. “untuk yang sistem bulanan itu

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

enaknya kalau tidak ada orderan ya gajinya tetap berbeda dengan yang borongan. Kalo yang borongan itu enaknya kalau banyak orderan, gajinya juga banyak” ungkapnya. Konveksi Aba Collection selalu ramai pesanan. Tidak harus di awal tahun, hari raya idul fitri atau waktu kampanye. Pemesannya kebanyakan dari luar daerah seperti dari Riau, Sumatra, Surabaya, Madiun dan juga dari luar negeri seperti Timur Leste. Berbeda dengan Ahmad Kholil, salah satu penjahit konveksi yang sekarang hanya terima jasa menjahit. Menurutnya, mencari konsumen itu sangat sulit. “kalah karo liyane (kalah dengan yang lainnya)”, tuturnya dengan lembut. Namun, demi penghidupan yang lebih layak, bapak yang sudah berusia 65 tahun ini dengan sabar menekuni pekerjaannya walau sudah kalah jauh dengan yang lain. Sehingga keadaan pahit getirnya dalam bekerja tak membuat semangat dan usahanya untuk mencapai kesejahteraan menurun. Berawal dari kreatifitas yang dimiliki dan tidak mengandalkan ijazah inilah mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga maupun membantu masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan. //Lely// Halaman

15


LIPUTAN khusus 56 Tahun (Menyambung Hidup) dengan Batik

DIMENSI/Ani

Mbok Kinah menyelesaikan kain batik di depan teras rumahnya

Ketika berkunjung ke daerah Tunggulsari Kedungwaru Tulungagung, kita akan menemui rumah kecil yang sederhana tepatnya di sebelah barat dari perempatan dekat kantor desa Tunggulsari. Rumah inilah tempat perempuan berusia 64 tahun membatik beberapa kain untuk dijadikan jarit yang siap untuk dipakai, dengan motif atau ukiran-ukiran batik khas dari tangannya. Mulai dari kecil hingga jadi buyut, tak sedikit pun merasakan kejenuhan dalam menggeluti kesibukannya membatik. Perempuan yang sudah mulai berambut putih ini memanfaatkan teras rumahnya yang tidak terlalu luas untuk menyelesaikan ukiran batik pada beberapa lembar kain. Masyarakat Tunggulsari biasa memanggilnya dengan Mbok Kinah. Perempuan kelahiran tahun 1946 ini hidup secara sederhana dan berpemikiran sederhana pula “seng penting urip cukup dek, anak putu ngumpul, (hidup yang penting

tercukupi, anak, cucu bisa berkumpul; red).” ungkapnya. Pengalaman panjang menggeluti dunia membatik dimulainya sejak usia delapan tahun dengan memperhatikan beberapa saudara yang belajar membatik di daerah Kalangbret tepatnya di desa Kalisuko, samping Kantor Urusan Agama (KUA), yang memang menurut ceritanya daerah ini merupakan daerah pembatik. Tidak ada sekolah khusus atau kursus membatik untuk dapat mengembangkan keinginan ini, hanya cukup dengan ketelatenan saja. “wong tani biyen uton, sekolah koyo gak diopeni. Sekolah yo sekolah nanging ora kudu sekolah, wong yo..riwayate urip ora nduwe, dadi yo..mbatik ae, sangune cuma merhatekne lan telaten, (petani dahulu tidak begitu peduli terhadap sekolah anaknya, sekolah ya...sekolah tapi tidak harus atau wajib sekolah, selain itu juga kerena dasarnya orang tidak mampu. Jadi, membatik saja,

bekalnya cuma belajar memperhatikan dan menekuni; red) masih Mbok Kinah bercerita. “belajare yo..nglowang ngunu, cuma menerawang, ndelok mbak e mbatik, terus yo iso dewe. Awal-awal e sedino cuma oleh segambar, (belajarnya dahulu ya cuma asalasalan saja, memperhatikan mbak yang sedang membatik, lama-lama juga biasa sendiri. Awal mula belajar, sehari hanya bisa menggambar satu gambar saja; red),” tambah Mbok Kinah bercerita masa kecilnya. Jika melihat riwayat, sebenarnya profesi membatik adalah profesi turuntemurun yang dilakukannya tidak sengaja dari beberapa saudara, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena pekerjaan lain sulit untuk didapatkan. Menurut cerita Mbok Kinah, dahulu ibunya juga membatik, namun hanya sekedar mbironi (membatik ulang dari lukisan batik pertama agar hasil terlihat lebih cantik; red).

Halaman

16

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


LIPUTAN khusus Ketika sang surya sudah menampakkan sinarnya yang merekah Mbok Kinah akan memulai memainkan kreatifitas tangannya untuk membatik. Ia bergegas mengambil peralatan mbatik berupa Canthing (alat untuk mengukir) yang salah satunya adalah peninggalan dari ibunya. Malam solo dan beberapa lembar kain mori yang masih polosan, tak lupa arang dan tempat untuk mencairkan malam. Hal ini dilakukannya sampai menjelang petang, kalau sudah merasakan jenuh dan lelah Mbok Kinah istirahat sebentar hanya untuk meluruskan tulang punggung belakang dan beberapa otot di kakinya agar sedikit rileks karena terlalu lama duduk sambil mengukir kain membuatnya lelah. Selain itu karena usia yang sudah senja sehingga penglihatannya sudah mulai kabur membuat Mbok Kinah tidak bisa membatik berlama-lama. “sak kesele, nek wis kesel yo leren, istirahat, sore diterusne maleh, suwi-suwi yo gak betah mripat yo boyok e.., (kalau sudah terlalu lelah ya istirahat, nanti sore dilanjutkan lagi. Kalau lama-lama juga tidak kuat penglihatan dan juga tulang punggungnya),” jelas Mbok Kinah . Meskipun usianya sudah terbilang tua untuk ukuran seorang pembatik, Mbok Kinah masih tetap bertahan untuk mencari nafkah. Karena hanya itulah satu-satunya lapangan untuk menyambung hidup. Setelah suaminya berhenti bekerja, Mbok Kinah bekerja keras mbatik agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun sebenarnya Mbok Kinah juga merasakan jenuh dan lelah dengan aktifitas ini “sak jane yo waleh, tapi yo ora duwe tegal sawah, yo mek sak encepan iki, ora duwe popo-opo digawe nempur. Mbah kakung yo wis tuwo, (sebenarnya juga bosan dengan aktifitas ini, tapi mau bagaimana lagi, tidak punya apa-apa untuk membeli beras, suami juga sudah tua),” keluh Mbok Kinah. Darkin, suami Mbok Kinah dahulu bekerja sebagai tukang pande, penghasilannya cukup untuk sekedar membeli beras ataupun kebutuhan makan setiap hari. Namun karena tenaganya mulai habis termakan usia, sehingga Pak Darkin pun sekarang hanya dapat menemani istrinya untuk

DIMëNSI

membatik di rumah. Dalam sehari Mbok Kinah dapat menyelesaikan mbatik kain sekitar setengah sampai satu meter, kalau hanya mbironi satu hari bisa selesai selembar kain jarit. Untuk membatik penuh satu lembar jarit membutuhkan waktu sekitar satu minggu. Batik yang sudah diukir akan dimasak dengan air mendidih kira-kira 30 menit sampai satu jam untuk melunturkkan tinta atau cairan malam, baru setelah digodok (dimasak; bhs jawa; red) diberi taburan tepung kanji (pati; red) dan terakhir dijemur sampai kering, baru bisa dijual. Mbok Kinah pun yakin hasil ketelatenannya akan tetap terjual meskipun cara membatiknya adalah asal-asalan, “mori ne yo..orek-orek an, bener opo ora seng penting mbatik e kandel, hasil e yo panggah apik tur yo mesti payu; (kain mori nya dibatik coret-coretan, ntah benar atau tidak yang penting membatiknya tebal, hasilnya bagus dan pasti tetap terjual; red),” tutur mbok Kinah sambil menyembul canthing yang telah dicelupkan ke cairan malam. Perempuan yang sudah mempunyai 10 cucu ini dalam satu bulan dapat mengirim 4 sampai 5 kain jarit yang siap dipakai dan dijual ke Pasar Wage. Seperti yang diungkapkan Mbok Kinah “selembare pitong puloh, nek wis bar ngirim meniko terus hasile digawe urip, nyukupi kebutuhan bendinane, ora kober nabung, wis entek digawe tumbas bahane mbatik, koyo kain morine kuwi telungpuluh ewu, terus bahan malem rongpuluh ewu, tumbas areng barang, nek mbiyen ngunu minyak tanah murah, saiki tumbas wis gak kuat, mangkane gawe areng, (selembarnya dijual seharga Rp.70.000,00, hasil penjualan hanya cukup untuk membeli kebutuhan pokok setiap hari dan untuk membeli bahan-bahan mbatik selanjutnya sperti kain mori seharga Rp.30.000,00 dan bahan malem nya seharga Rp.20.000,00 belum lagi beli arang, kalau dulu minyak tanah masih bisa dijangkau sekarang sudah mahal tidak bisa membeli, sehingga memakai arang),” jelasnya. Mbok Kinah sebenarnya dapat membatik dengan berbagai macam batik seperti jenis latar putih, bledak,

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

batik halus dan jenis batik lainnya. Namun Mbok Kinah hanya memilih untuk mbatik jenis latar putih kadang juga bledak. Alasannya kalau mbatik halus membutuhkan waktu yang lebih lama, “isone iso ae..mbatik alusan tapi kesuwen, butuhe cepet ben kenek digawe nempur, (mbatik halus bisa, tapi membutuhkan waktu yang lama, sedang kebutuhan mendesak untuk membeli beras; red),” tutur Mbok Kinah. Sebenarnya banyak yang menginginkan batiknya. Namun tidak sesuai dengan keinginannya. “akeh dek jane seng pesen, tapi gak sumbut. Njaluk e batik alus tapi regane murah, tambah pesen cepet, nek batik halus yo gak iso cepet, ora kenek digawe nempur, (banyak sebenarnya yang pesan batik halus, namun permintaan tidak sesuai dengan harganya, apalagi meminta dengan waktu yang cepat, padahal batik halus mem-butuhkan waktu yang lama, tidak bisa untuk membeli beras; red),” terang Mbok Kinah sambil menghapus keringat di dahi saat kru Dimensi menemuinya. Sehingga sampai sekarang dia tidak pernah melayani pesanan. Secercah harapan yang masih tetap bertahan muncul dari sorot mata Mbok Kinah ketika tangannya yang sudah mulai keriput memainkan jarijarinya untuk membatik selembar kain. Mbok Kinah merasa bangga dengan apa yang dijalaninya sekarang, masih bisa mempertahankan hidup dengan suami dan beberapa cucunya. Terakhir yang dia ucapkan kepada kru Dimensi, “seneng ae mbatik, gak lungo teko omah. Kenek digawe nempur, tuku gulo bubuk. Seng penting dadi bocah ki telaten, (senang saja membatik, karena pekerjaan ini tidak perlu keluar rumah, bisa untuk membeli beras, gula dan kopi. Jadi orang yang penting telaten; red),” pesan Mbok Kinah. Apa yang dilakukan perempuan paruh baya ini adalah sebuah anugerah dari-Nya, hingga sekarang masih tetap bertahan untuk mbatik dengan harapan setiap lembar kain yang dibatiknya akan mencukupi kehidupan di tengah perkembangan zaman dan persaingan ekonomi, meski di depan sana masih banyak rintangan yang akan ia hadapi. //@nichoy// Halaman

17


LIPUTAN khusus Potret Suram Prostitusi Pinggiran Jika menyusuri kota Tulungagung, kita disuguhi pemandangan deretan warung kopi yang berjejer rapi sepanjang jalan. Selain sebagai kota INGANDAYA (Industri, Pangan dan Budaya), kota yang berbatasan langsung dengan samudra Hindia dibagian selatan ini, juga dikenal sebagai kota sejuta warung kopi. Tulungagung, sebagai kota yang berkembang, aktivitas masyarakatnya tidak hanya pada waktu siang saja. Tetapi, malam hari pun sebagian masyarakat masih menggantungkan hidupnya dengan bekerja. Malam terus larut dan aktivitas di sebagian daerah pun tidak juga berhenti. Suatu ketika kami pun sengaja menyusuri salah satu daerah di kota Tulungagung yang tidak pernah tidur. Bolorejo, salah satu desa di kecamatan Kauman ini seakan terus bergelut dengan waktu untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya yang tiada habis. Tampak sepintas kita akan melihat bahwa daerah ini hanya sebuah bukit yang dihiasi makammakam di atasnya. Tetapi bila kita menyusuri lebih dalam, daerah inilah yang seakan menjadi ladang kesejahteraan masyarakat Tulungagung dan sekitarnya. Malam itu kami sengaja mengintip aktivitas di daerah tersebut. Pada awalnya kami disuguhi deretan warung kopi yang seperti tiada henti melayani penikmatnya di tengah dinginnya hembusan angin persawahan yang seolah membentengi bukit tersebut. Ketika kami masuk lebih dalam, kamipun sempat terperanjat dengan deretan perempuan yang seakan siap untuk bertarung jiwa dan raga demi sesuap nasi dan kelangsungan hidupnya. Belum begitu lama kami menyusuri jalan, kami disambut oleh sapaan perempuan yang berpakaian serba seksi, “Mas... ndak blonjo? Anuku murah lho mas... aku durung payu-payu kawet mau, gelemo to mas, limang ewu

Dok.Istimewa

Sama-sama melayani. Beberapa PSK yang terjaring razia petugas satpol PP

aku ya gelem, (Mas, tidak belanja? Miss v ku tidak mahal lho, dari tadi saya belum ada pelanggannya, mau ya mas.., lima ribu saja tidak apa-apa; red),” suara manja yang dilontarkan salah satu wanita yang ada di pinggir jalan itu. “Mampir dulu Mas, Ayo Mas...”, Sapaan itu merupakan permintaan para perempuan yang sering disebut “pramunikmat” ketika mencoba menawarkan jasanya kepada kami untuk sekedar menghilangkan rasa lelah. Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang senada bercampur dengan gelak tawa ikut menghiasi suasana malam yang menambah gairah para hidung belang untuk tidak beranjak pergi dari kawasan tersebut, apalagi dinginnya malam yang menyelimut semakin menusuk dinding tulang. Pekerja Seks Komersil (PSK) sebuah profesi yang dekat dengan aktivitas dunia gemerlap (dugem), nakal, jorok, amoral, pelacur, atau apapun namanya. Dan oleh masyarakat umum dianggap suatu pekerjaan yang memalukan dan dicap sebagai sampah yang harus

disingkirkan. Suatu potret permasalahan yang cukup pelik untuk disimak dan difahami oleh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat Tulungagung yang terkenal dengan keramah-tamahannya. Akan tetapi di balik itu semua seolah-olah mereka melupakan saudaranya yang kebetulan bernasib kurang beruntung. Apakah kita pernah berfikir bagaimana mereka berjuang demi mempertahankan hidup apalagi memperjuangkan kesejahteraan dalam arus gelombang kehidupan. Kesejahteraan kadangkala dimaknai dengan sebuah harta yang melimpah, rumah yang megah dan uang yang banyak. Akan tetapi kesejahteraan adalah ketentraman jiwa atas segala apa yang ia kerjakan. Berprofesi sebagai pelacur merupakan sebuah pilihan. Dan latar belakang berprofesi merupakan hal terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam menilai sebuah profesi. Apa yang dilakoni nya bukanlah sebuah cita-cita, namun pilihan hidup karena keadaanlah yang mengantarkannya harus terjun ke

Halaman

18

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


LIPUTAN khusus dunia prostitusi. “Ya piye to mas, ngeneki aku lek ora kerjo yo ora mangan, yo pokok e kenek digawe tuku beras mas”, (Ya mau bagaimana lagi tho Mas, kalau saya tidak bekerja seperti ini, ya tidak bisa makan. Ya...paling tidak, bisa dipakai untuk membeli beras; red),” ungkap NT (nama samaran) ini dengan nada dan wajah polos. Hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari tutur NT salah satu pekerja seks yang setiap harinya mangkal di pemakaman desa Bolorejo Kauman. Jalan ini ia pertahankan meski penghasilan yang diperolehnya tidak seberapa. “Mas Anu-ku murah lho Mas, lek wong-wong kae 20-ewu sampek 50ewu, iki aku cukup murah Pokok kenek digawe tuku beras, sepuluh ewu-limang ewu aku yo gelem, (Mas, miss v ku tidak mahal lho, orang-orang biasanya 20 ribu sampai 50 ribu, tapi ini tidak mahal lho, yang penting cukup untuk membeli beras. 10 ribu atau 5 ribu saya mau),” jelas perempuan yang berusia 28 tahun ini. Kata-kata yang terlontar NT ini menyayat hati, perjuangan seorang Ibu untuk mencukupi keluarganya. Hanya untuk membeli beras saja mereka rela harus dibayar murah dan mendapat pandangan sinis masyarakat. Geliat pekerja malam di daerah ini merupakan hal yang biasa bagi masyarakat. Masyarakat di desa Bolorejo memahami kerasnya hidup yang dijalani oleh para wanita ini setiap harinya. Seperti yang diungkapkan oleh Qomari (60), warga sekitar desa Bolorejo “Ya lek menurutku biasa, ya nggak kaget mas, paribasan wong wadon keplepet wong lanang kebelet.. Dadi penak’e ngomong, wong wadon kui kadong butuhe akeh tapi bingung opo sing digawe kanggo nyukupi uripe, lha terus sing lanange kadong kebelet pingin nguyuh. Yah, jenenge pikirane wong kui ya ndak podo mas, Enek sing keplepet wani utang tonggone kadang yo enek sing sampek direwangi buruh tani”, (Kalau menurut saya, saya tidak heran. Enaknya bicara kalau seorang wanita terdesak dan seorang laki-laki kepingin, atau lebih enaknya lagi seorang wanita itu kebutuhannya banyak tetapi bingung apa yang akan dipakai untuk mencukupi

DIMëNSI

kebutuhan hidupnya, sedang laki-laki terlanjur ingin bersetubuh, ya..namanya pemikiran orang itu berbeda-beda mas, ada yang terdesak sampai hutang kepada tetangganya kadang juga ada yang sampai bekerja sebagai buruh tani; red), ungkapnya sambil memilin candu untuk keperluan ritual pengunjung makam. Akan tetapi tidak semua pramunikmat di kawasan Bolorejo memilih menjadi seorang pramunikmat. Tidak sedikit dari mereka yang memilih pekerjaan ini hanya sebatas sambilan untuk menambah pemasukan bagi keluarganya. Hal ini seperti yang diterangkan NT “Tapi lek iyem kae sik nyambi buruh mas”. Tidak dapat dipungkiri lagi di bawah teriknya panas perekonomian, seseorang akan memilih jalan ini untuk menambah pemasukan demi bertahan hidup. Mereka tidak pedulikan harga diri, dan kesehatan, bahkan hidup pun mereka gadaikan dengan selembar uang demi kebutuhan hidup mereka. Wilayah dan Keamanan Selain di Kauman terdapat beberapa daerah yang digunakan bertransaksi, “sebenarnya di Tulungagung itu banyak mas, tidak hanya bertempat di tiga tempat (Kaliwungu, Bolo dan Ngujang) itu saja, tetapi masih banyak tempat lain kayak di Bago, Kutoanyar, Pasar sapi” beber AA, salah satu dari pelanggan jajanan malam. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan SATPOL PP (Satuan Polisi Pamong Praja) Bag. Humas “ya kalau berbicara tentang banyaknya, di Tulungagung ini sangat banyak pekerja sek. Akan tetapi tugas kami kan cuma meminimalisir dan mengarahkan pekerja ini. kalau tidak mau berhenti kerja ya silahkan pindah ke lokalisasi” kata Wahyu saat berbincang-bincang di kantornya. “Wilayah kontrol kami ya seluruh wilayah kota Tulungagung yang khususnya sering dipakai sebagai tempat pelacuran termasuk juga hotel-hotel yang berada di Tulungagung”. Tambahnya sambil duduk di ruang piket. Akan berbeda jika kita berbicara tentang kesejahteraan, perkara seperti

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

ini sulit diputuskan karena menyangkut persoalan kehidupan seseorang. Apalagi tentang pemenuhan kebutuhan sehari-hari. “Ya karena soal ekonomi. jadi urusannya perut. Ya kalau soal perut, apapun caranya dihalalkan”. Kata Gunawan, salah satu pegawai bidang sosial. Dalam upaya ini, pemerintah daerah Dinas Sosial Tulungagung melakukan pemberdayaan dan melakukan bimbingan selama sebulan sekali. “kami melakukan pembinaan rutin setiap bulan sekali, akan tetapi yang bimbingannya, kami rutin setiap minggu. Kami di Ngujang setiap hari senin dan di desa Ngunut setiap hari kamis” tutur pria yang berambut tipis ini. “Dari pemerintah sendiri dalam pemberdayaannya ya melalui hobinya m a s i n g - m a s i n g . Ya n g s u k a n y a menjahit, ya kami berikan mesin jahit, ada juga yang di salon, masak, dan kalau tahun ini rencananya dari pemerintah ada tata rias”. Tambahnya. Dalam pengkondisian pun memang sulit dilakukan oleh pemerintah ataupun kalangan aktivis yang bergulat dalam bidang penyelamatan tentang diri mereka “Kalau tentang legal dan ilegalnya, kami tidak bisa melakukan pembinaan bagi yang ilegal. Karena terkait sulitnya mencari yang bekerja sebagai WTS tersebut, sehingga pemerintah daerah berupaya pembuatan lokalisasi ini supaya antara Dinas sosial, pemerintah daerah dan pemerintah kecamatan serta desa masing-masing agar mudah melakukan pembinaan dan bimbingan serta tidak menyebar ke masyarakat luas,” masih tutur Ginawan. Menurut sebagian orang pekerja seks komersial (PSK) merupakan pekerja yang kotor, menjijikkan dan bersifat amoral. Akan tetapi, hal seperti ini tak dapat dipandang sebelah mata, sehingga kita menghakimi tanpa ada tindakan yang tepat bagi kehidupan mereka. Terlepas dari agama dan persepsi masyarakat akan hitam putihnya kehidupan para pekerja seks atau orang yang hidup dalam lingkaran prostitusi pada hakikatnya insan di dunia adalah sama dan mereka membutuhkan kesejahteraan masing-masing. /elkoss/ Halaman

19


THE DOMINO EFFECT OF CIGARETTE Oleh Adib Tamami

Mahasiswa Mu’amalah semester IV yang juga salah satu kuli tinta di LPM DIMÍNSI yang sehari-harinya ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok dalam kesendiriaannya

kenaikan cukai rokok berakibat pada kenaikan harga rokok itu sendiri yang dibarengi dengan menurunnya daya beli masyarakat. Selain itu juga berakibat pula dengan menurunnya pendapatan bagi industri rokok, dan kemungkinan untuk gulung tikar serta perumahan bagi para karyawan adalah sangatlah besar.

Ketika kita menyusuri kota Tulungagung, sepintas mata kita tidak akan terlepas dari pemandangan pabrik-pabrik kosong disetiap sudut kota. Bangunan yang selalu identik dengan ornament arca Dwarapala yang sekarang dalam jaminan buruh tersebut tidak lain adalah sisa-sisa kejayaan industri rokok di Tulungagung, apalagi kalau bukan Perusahaan Rokok Retjo Pentung. Walaupun hari ini tinggal nama, tetapi pabrik-pabrik kosong tersebut menandakan bahwa industri rokok dari dulu telah mendapat tempat di sejarah industrialisasi di Tulungagung. Tidak berhenti sampai disini, sejarah industri rokok mencatat, setelah era kejayaan perusahaan rokok Retjo Pentung, kini industri rokok telah menjadi industri rumah tangga di kabupaten Tulungagung. Buktinya, menurut Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) kabupaten Tulungagung, dari industri rokok golongan III saja, tercatat tidak kurang dari 207 industri rokok. Ini membuktikan bahwa industri rokok di Tulungagung telah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tidak hanya pada penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat tetapi juga bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Tulungagung. Tetapi eksistensi dari industri-industri rokok tersebut terancam akibat kebijakan kenaikan cukai rokok. Kebijakan kenaikan cukai rokok yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/ PMK.011/2009 tersebut, terdapat salah satu poin yang menegaskan

bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 15 persen yang diberlakukan per 1 januari 2010. Kebijakan cukai ini ditetapkan dalam rangka mencapai target penerimaan APBN 2010 dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp.55,9 triliun. Adapun realisasi Cukai Hasil Tembakau periode 1 Januari 2009 hingga 13 Nopember 2009 adalah sebesar Rp.48,44 triliun atau 91 persen dari target penerimaan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp.53,3 triliun. Kebijakan cukai yang ditetapkan pungkasnya, telah mempertimbangkan roadmap industri hasil tembakau dan merupakan tahapan penyederhanaan tarif cukai menuju ke arah spesifikasi tunggal yang nantinya hanya membedakan antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Efek Domino Kebijakan Pemerintah Kebijakan kenaikan cukai rokok oleh pemerintah pusat tentu membuat gusar industri-industri rokok kecil yang ada di daerah. Hal ini disebabkan karena kenaikan cukai rokok berimbas pada beban pajak yang dikeluarkan perusahaan kepada pemerintah. Disamping itu pula kenaikan cukai rokok berakibat pada kenaikan harga rokok itu sendiri yang dibarengi dengan menurunnya daya beli masyarakat. Selain itu juga berakibat pula dengan menurunnya pendapatan bagi industri rokok, dan kemungkinan untuk gulung tikar serta perumahan bagi para karyawan adalah sangatlah besar. Hal ini dapat mengakibatkan efek domino, efek beruntun bagi

Halaman

20

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


perusahaan maupun masyarakat. Tidak ayal lagi, pemerintah juga perlu mengkaji ulang mengenai kenaikan cukai rokok. Memang kebijakan kenaikan cukai rokok mengakibatkan kenaikan pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta menekan perkembangan industri rokok dan konsumsi masyarakat akan rokok. Tetapi, di sisi lain kesiapan perusahaan-perusahaan rokok dengan kebijakan tersebut di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca ekonomi global tahun 2008 seakan terabaikan. Hal ini dibuktikan dengan dengan jumlah industri rokok di Tulungagung per 25 Oktober 2009 diprediksikan banyak yang tidak mampu bertahan, akibat kenaikan harga pita cukai. Dari 347 industri rokok, yang saat ini masih aktif beroperasi hanya tinggal 207, sementara sisanya sudah tidak mampu beroperasi. Menurut BPS, angka kemiskinan pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009. Angka kemiskinan pada Maret 2009 berkisar pada 14,15 persen dan data yang akan keluar pada Maret 2010 angkanya masih pada kisaran tersebut. Sedangkan untuk angka pengangguran terbuka menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2009 pun menyentuh 7,87 persen, turun dari 8,14 persen per Februari 2009 atau 8,39 per Agustus 2008. Mulai tahun 2000 seterusnya, ada kecenderungan meningkatnya pengangguran di kalangan perempuan dan orang muda. Studi Profesor Harvey Brenner dari Johns Hopkins University AS menunjukkan bahwa setiap 1% tambahan angka pengangguran akan mengakibatkan 37 ribu kematian, 920 orang bunuh diri, 650 pembunuhan dan 4000 orang dirawat di rumah sakit jiwa. Bayangkan jika ketika pasca

DIMĂŤNSI

kenaikan cukai berakibat pada kenaikan pengangguran terbuka, pastilah membuat Indonesia ramai. Dualisme Kebijakan Pemerintah Fenomena menjamurnya industri rokok di kabupaten Tulungagung dirasakan turut serta dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan dengan adanya industri rokok tersebut mampu mengurangi tingkat pengangguran karena menyerap tenaga kerja masyarakat sekitar industri tersebut. Bayangkan jika seandainya industri-industri rokok

tersebut gulung tikar dengan adanya kebijakan naiknya cukai rokok, berapa jumlah penganggguran yang diakibatkan kebijakan tersebut? Kebijakan kenaikan cukai rokok ini memang ditujukan untuk menyesuasikan dengan roadmap industri hasil tembakau dan merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Namun kenaikan ini justru membuat pabrik-pabrik kecil mulai gelisah. Mereka takut kenaikan ini tidak diikuti dengan kemampuan daya beli para

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

konsumen. Selain itu, tekanan industri rokok juga datang dari penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada industri rokok, terutama pada Undang-undang Kesehatan. Padahal, sumbangan dari industri rokok kepada pemerintah mencapai lebih dari Rp.50 triliun per tahun. Dalam kasus ini sangat terlihat dualisme kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang sangat menekan industri rokok, di sisi lain pemerintah daerah kabupaten Tulungagung sibuk mempromosikan hasil industri rokok ke luar daerah. Kebijakan Pemerintah Tulungagung ini terlihat dengan upaya menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari cukai rokok dengan promosi beberapa produk rokok lokal ke luar Jawa. Dari dua kebijakan tersebut terlihat terdapat dualisme dan ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di satu sisi pemerintah pusat mencoba untuk menekan industri rokok tetapi di sisi lain pemerintah daerah mencoba menggenjot PAD repro.internet d e n g a n m e m f a s i l i ta s i industri rokok untuk ekspansi ke luar daerah. Marjinalisasi Kebijakan Keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 seharusnya dikaji ulang. Memang kebijakan tersebut berimbas pada naiknya pendapatan pemerintah pusat dan pendapatan asli daerah serta berguna untuk menekan menjamurnya industri-industri rokok di daerah. Tetapi, di sisi lain menjamurnya industri rokok di daerah juga mematikan mata pencaharian masyarakat. Memang, dengan keluarnya kebijakan ini tidak terlalu berimbas terhadap industri-industri rokok yang Halaman

21


sudah mempunyai “Brand” di masyarakat. Kenaikan cukai rokok yang berakibat pada kenaikan biaya produksi sehingga berimbas pada kenaikan harga produk mereka tidak akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap produk mereka. Masyarakat tidak akan berfikir ulang untuk membeli produk walaupun harga produk tersebut naik karena kepercayaan terhadap produk tersebut. Salah satu kunci kesuksesan sebuah produk idustri selain komoditas, adalah “brand” dan diferensiasi. Sementara selama ini pelaku ekonomi Indonesia hanya bermain ditingkat komoditas. Sementara itu masyarakat tetap berkutat pada sebuah “brand” suatu produk. Kemajuan teknologi dan semakin berkembangnya bakat-bakat teknologi informasi di kampuskampus menuntut pengembangan sektor ekonomi lain yang tidak hanya mengandalkan kekuatan komoditas. Pelaku Ekonomi kreatif dapat mengubah nilai ekonomis suatu barang menjadi lebih mahal, karena adanya “brand”, kontrol kualitas yang ketat, dan pelayanan yang baik, yang mereka hasilkan. Ditengah gencarnya ekspansi industri rokok luar negeri seharusnya, pemerintah melindungi industri rokok dalam negeri terutama industri rokok yang ada di daerah dan tidak terlalu kaku dalam mengambil kebijakan. Apalagi, jumlah karyawan yang bekerja pada industri rokok di seluruh Indonesia mencapai 700.000 orang. Sejak beberapa tahun lalu, cukai rokok memang sering mengalami kenaikan. Di tahun 2001, kenaikan itu bahkan pernah mencapai tiga kali lipat. Sudah begitu, angka penjualan rokok juga terus menurun. Tahun 2000, tercatat ada 325 miliar batang rokok yang diisap oleh orang-orang Indonesia. Di tahun 2005 silam, kebanyakan orang kelihatannya mulai jera merokok. Tercatat, hanya 200 miliar batang tembakau yang habis terbakar. Tahun 2006, angka itu bahkan sudah berada di level 199 miliar batang. Di sisi lain, jumlah

pabrik rokok justru bertambah, saat rokok palsu dan jual-beli cukai rokok ini sudah ada 3.290 pabrik rokok di yang sudah mempunyai “brand”. seluruh Tanah Air. Padahal, delapan Ketika biaya produksi naik akibat tahun silam, jumlah itu baru 600-an kenaikan cukai rokok maka, para saja. Kebanyakan, pabrik-pabrik baru produsen rokok akan memutar otak tadi merupakan pabrik rokok ukuran untuk tetap menekan biaya produksi. kecil bahkan umumnya merupakan Sebagian produsen rokok mungkin pabrik skala rumahan. mengira, mereka perlu kreativitas M a r j i n a l i s a s i k e b i j a k a n lebih untuk mempertahankan pemerintah lainnya adalah atas nama usahanya. Salah satu kreativitas otonomi daerah, para bupati di tersebut adalah melakukan jual-beli sejumlah sentra produksi rokok di pita cukai. Toh, bagi pengusaha rokok Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kesulitan likuiditas, cara paling acapkali membebaskan industri rokok gampang memperoleh uang adalah kecil dari kewajiban membayar cukai. dengan menjual cukai. Mereka Tentu saja itu akan sangat memperoleh satu rim pita cukai untuk menguntungkan. Sebab, nilai cukai rokok Sigaret Keretek Tangan (SKT) untuk rokok yang isinya 60 buatan pabrik kecil ribu keping, Persoalannya tidak lagi bisa mencapai seharga Rp. 50 terletak pada 20% dari harga juta. Pita itu jual. Para Bupati pengelompokan tarif cukai didapat dengan itu lalu meminta cara kredit dan rokok dengan spesifikasi produsen rokok dibayar tiga bulan tunggal, tetapi bagaimana tadi tidak menjual kemudian. buruh dapat terlibat dalam produknya ke luar K e t i k a proses pengambilan wilayah kabumembutuhkan paten. Sebuah uang secara kebijakan, baik di permintaan yang cepat, pita cukai tingkatan perusahaan tidak kelewat bisa dijual maupun pemerintah. berat. Walaupun dengan harga pelanggan industri Rp. 60 juta. Oleh rokok kecil kebanyakan memang pembeli, tentu saja juga pengusaha orang-orang daerah di sekitar juga, rokok, pita cukai ditempel pada tetapi kebijakan ini menjadi batu rokok kemasan SKM yang harga sandungan tersendiri bagi industri semestinya mencapai Rp. 109 juta rokok kecil tersebut untuk per rim. Mereka lantas mengajukan berekspansi ke luar daerah. NPPBKC dan memperoleh jatah pita Kenaikan cukai rokok yang diatur cukai kemudian dijual. Kreativitas dalam Keputusan Menteri Keuangan lainnya adalah dengan menjual Nomor 181/PMK.011/2009 tentang rokok tanpa cukai. Atas nama Cukai Hasil Tembakau. Permenkeu ini otonomi daerah, para Bupati di dinilai tak memenuhi rasa keadilan sejumlah sentra produksi rokok di karena kenaikan cukai untuk industri Jawa Tengah dan Jawa Timur rokok kecil lebih besar dibandingkan memang acap membebaskan para kenaikan untuk industri rokok besar. produsen rokok kecil kewajiban Kenaikan untuk golongan III sebesar membayar cukai. Tentu saja itu akan 62%, sedangkan untuk pabrik sangat menguntungkan. Sebab, golongan kecil hanya 7%. nilai cukai untuk rokok buatan pabrik kecil bisa mencapai 20% dari harga Munculnya “Negative Survival” jual. Para Bupati lalu meminta Dampak yang paling produsen rokok tadi tidak menjual mengkhawatirkan adalah muncunya produknya ke luar wilayah negative survival di kalangan para kabupaten. Sebuah permintaan produsen rokok. Dampak tersebut yang tidak kelewat berat. Toh, diantaranya adalah munculnya cukai pelanggan pabrik rokok kecil

Halaman

22

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


kebanyakan orang-orang di sekitar industri itu juga. Parahnya lagi, dari 3.290 pabrik rokok di Indonesia, yang memesan pita cukai hanya sekitar 800 perusahaan. Artinya, mayoritas pabrik rokok menjual produknya tanpa cukai. Masih bagus kalau rokok yang dijual merupakan produk dengan merek mereka sendiri. Namun realitasnya, sejumlah Industri rokok kecil membuat rokok palsu dengan merek-merek ternama dan menjualnya tanpa cukai di beberapa kawasan tertentu atau bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi para produsen rokok juga membuat pita cukai palsu. Perilaku produsen rokok untuk memunculkan kreativitas yang negatif demi mempertahankan kelangsungan hidup usahanya ini membuktikan bahwa tekanan-tekanan terhadap industri rokok sangat besar. Problematika terminologis sampai sekarang masih menjadi diskursus publik adalah kesan elitis para birokrat pemerintah masih sering d i j u m p a i t e r u ta m a pa d a t i n g k a ta n a t a s . Integrasi kepentingan antara pemerintah dengan para pengusaha rokok juga harus dibentuk secara konstruktif sedemikian sehingga muncul kesepahaman bersama, malah kebijakan diambil dengan jalan sepihak. Integrasi kepentingan juga harus sampai pada intregrasi institusional baik dari pemerintah, pengusaha maupun serikat buruh pabrik. Hegemoni kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudahlah sangat memprihatinkan. Pengusaha rokok dan buruh rokok diposisikan dalam posisi minor, hal ini terlihat dengan adanya kebijakan, mereka terkesan t e r d i s t o r s i d a n t e r e k s p l o i ta s i . Pengusaha rokok terdistorsi dengan

DIMëNSI

kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan kelangsungan hidup perusahaannya, di sisi lain mereka tereksploitasi dengan tingginya cukai yang dibebankan pemerintah kepada mereka. Sedangkan para buruh pabrik terdistorsi dengan rendahnya UMR dan merasa terancam dengan kenaikan cukai rokok yang berimbas pada perumahan bagi mereka.Persoalannya tidak lagi terletak pada

rep

ro.

inte

rne

t

pengelompokan tarif cukai rokok dengan spesifikasi tunggal, tetapi bagaimana buruh dapat terlibat dalam proses pengambilan kebijakan, baik ditingkatan perusahaan maupun pemerintah. Jangan buruh dijadikan korban terakrir dalam realisasi kebijakan pemerintah tetapi haruslah djadikan sebagai partnership bagi pemerintah maupun produsen rokok Di tengah tekanan besar terhadap industri rokok di Indonesia akibat kenaikan cukai rokok, industri rokok juga ditekan dengan spesifikasi tunggal rokok, Undang-undang kesehatan yang dirasa kurang berpihak pada industri rokok dan fatwa MUI tentang pengharaman rokok. Memang, disadari dampak rokok terhadap kesehatan sangat fatal. Tetapi, kita perlu berfikir ulang bahwa ada ratusan ribu

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

masyarakat menggantungkan hidupnya sebagai karyawan industri rokok, apalagi masyarakat yang bekerja secara skunder di industri rokok seperti distributor ataupun pedagang. Jika kebijakan-kebijakan tersebut terus diterapkan tanpa ada kajian secara mendalam dampaknya akan terjadi penambahan pengangguran terbuka di Indonesia. Apalagi ketidakberdayaan masyarakat di tengah ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan secara luas dan gempuran pasar bebas yang tertuang dalam ACFTA yang berlaku sekarang. Dari realita inilah kita harus berupaya untuk open minded dalam menghadapi tekanantekanan ekonomi. Kita harus berusaha menciptakan kreaktivitas di tengah budaya patronasi terhadap pemerintah. Janganlah kita terjebak dalam legitimasi simbolik kancah politik karena hakikat dari masa depan dan kesejahteraan adalah “menciptakan” dan bukanlah “diciptakan”. Akhir kata, tetap semangat dan terus berkarya. Endnote Data dari Gabungan pengusaha rokok (Gapero) Tulungagung per 25 Oktober 2009. www.kompas.com, BPS: Angka Kemiskinan 2010 Berkisar 14, 15 Persen. Selasa, 8 Desember 2009 | 01:36 WIB. www.kompas.com, Saat Kesejahteraan Menjauhi Buruh. Selasa, 22 Desember 2009 | 09:08 WIB. www.antara.com, Tekanan Terhadap Industri Rokok Semakin‘ Besar. Jumat, 30 Oktober 2009 07:16 WIB. Radar Tulungagung, Pajak Cukai Bakal Naik Lagi. Jum’at, 05 Juni 2009. matanews.com, Pemerintah Naikkan Cukai Rokok , Rabu, 18 November 2009 | 14:45 WIB Halaman

23


INDONESIA MENCOBA EKONOMI KREATIF Oleh: Widi Harianto

Seorang pendamping koperasi di 3 wilayah,kecamatan Sendang, Pucanglaban, Kalidawir

Ekonomi kreatif mempunyai 14 subsektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video, film, animasi, otografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan atau percetakan, software, televisi atau radio (broadcasting), dan riset & pengembangan (R&D)

Sejak tiga tahun terakhir istilah “ekonomi kreatif” atau “industri kreatif” mulai marak. Utamanya sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut pentingnya pengembangan ekonomi kreatif bagi masa depan ekonomi Indonesia. Ajakan Presiden agar kita mulai memperhatikan ekonomi kreatif yang memadukan ide, seni dan teknologi memang cukup beralasan, mengingat ekonomi kreatif merupakan tuntutan Menurut John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, ekonomi kreatif diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Sementara itu, industri kreatif adalah berbasis kreativitas, keterampilan, dan talenta yang memiliki potensi peningkatan kesejahteraan serta penciptaan lapangan kerja dengan menciptakan dan mengeksploitasi Hak Kekayaan Inteletual (HKI). Analoginya, ekonomi kreatif adalah kandangnya, industri kreatif adalah binatangnya. perkembangan dunia di abad ke-21 ini. Ekonomi kreatif termasuk ekonomi gelombang keempat. Alvin Toffler menyebut, ekonomi gelombang pertama bertumpu pada sektor pertanian, ekonomi gelombang kedua pada sektor industri, dan ekonomi gelombang ketiga pada sektor informasi Di beberapa Negara, ekonomi kreatif memainkan peran signifikan. Di Inggris, yang pelopor pengembangan ekonomi kreatif, industri itu tumbuh rata-rata 9% per

tahun, dan jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara yang 2%-3%. Sumbangannya terhadap pendapatan nasional mencapai 8,2% atau US$ 12,6 miliar dan merupakan sumber kedua terbesar setelah sektor finansial. Ini melampaui pendapatan dari industri manufaktur serta migas. Di Korea Selatan, industri kreatif sejak 2005 menyumbang lebih besar daripada manufaktur. Di Singapura ekonomi kreatif menyumbang 5% terhadap Pendapatan Daerah Bruto (PDB) atau US$ 5,2 miliar. Ekonomi kreatif mempunyai 14 subsektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video, film, animasi, otografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan atau percetakan, software, televisi atau radio (broadcasting), dan riset & pengembangan (R&D). Saat ini industri kreatif di dunia tumbuh pesat. Ekonomi kreatif global diperkirakan tumbuh 5% per tahun, akan berkembang dari US$ 2,2 triliun pada Januari 2000 menjadi US$ 6,1 triliun tahun 2020. Ekonomi Kreatif di Indonesia Di Indonesia, ekonomi kreatif cukup berperan dalam pembangunan ekonomi nasional. Hanya, ia belum banyak tersentuh oleh campur tangan pemerintah. Ini karena pemerintah belum menjadikannya sebagai sumber pendapatan Negara yang penting. Pemerintah masih fokus pada sektor manufaktur, fisikal, dan agrobisnis. Menurut data Departemen Perdagangan, industri kreatif pada 2006 menyumbang Rp 104,4 triliun,

Halaman

24

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


atau rata-rata 4,75% terhadap PDB nasional selama 2002-2006. Jumlah ini melebihi sumbangan sektor listrik, gas dan air bersih. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar nasional adalah fashion (30%), kerajinan (23%) dan periklanan (18%). Selain itu, sektor ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% pada 2006. Ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya sebesar 0,54%. Namun, ia baru memberikan kontribusi ekspor sebesar 7%, padahal di negara-negara lain, seperti Korsel, Inggris dan Singapura, rata-rata di atas 30%.

10,01 juta orang. Tingkat pengangguran pedesaan sedikit lebih tinggi daripada di perkotaan. Mulai tahun 2000 seterusnya, ada kecenderungan meningkatnya pengangguran di kalangan perempuan dan orang muda. Studi Segi Positif dan Negatifnya Profesor Harvey Brenner dari Johns Dengan menggenjot perkem- Hopkins University AS menunjukkan bangan industri kreatif di Tanah Air, bahwa setiap 1% tambahan angka banyak manfaat yang bisa diraih. pengangguran akan mengakibatkan 37 ribu kematian, 920 orang bunuh diri, 650 pembunuhan dan 4000 orang dirawat di rumah sakit jiwa. Pemerintah pun bertekad mengembangkan ekonomi kreatif, tetapi untuk merealisasikannya tidak mudah. Ada Usaha Pengembangan banyak tantangannya. Ekonomi Kreatif Pertama, pengaruh harga Untuk mengembangkan minyak global yang ekonomi kreatif, pemerintah semakin tak terkendali membuat beberapa langkah hingga di atas US$ 134 terobosan. Pertama, per barel. Kenaikan menyiapkan insentif untuk ini akan memengaruhi DIMENSI/Kasful Pembuatan sangkar burung, salah satu bentuk memacu pertumbuhan kinerja industri kreatif, ekonomi kreatif di Wajak lor industri kreatif berbasis terutama pada meningbudaya, dengan harapan mampu Pertama, bisnis Usaha Kecil katnya harga bahan baku dan menyumbangkan devisa sebesar Menengah (UKM) makin berkembang ongkos produksi. Kedua, carutUS$ 6 miliar pada 2010. Insentif itu dan sebagian besar UKM bergerak di marutnya masalah perburuhan, mencakup perlindungan produk industri kreatif. Beberapa masalah terutama soal tuntutan gaji yang budaya, pajak, kemudahan U K M d i I n d o n e s i a , s e p e r t i seringkali tidak diimbangi dengan memperoleh dana pengembangan, pemasaran, promosi, managerial, produktivitas. Ketiga, daya saing fasilitas pemasaran dan promosi, informasi, SDM, teknologi, desain, produk-produk kita yang masih hingga pertumbuhan pasar domestik j e j a r i n g ( n e t w o r k i n g ) , d a n rendah, baik di pasar domestik dan internasional. Kedua, membuat pembiayaan diharapkan bisa segera maupun internasional. Ini bisa roadmap industri kreatif yang teratasi. Alhasil, harapan UKM memengaruhi volume produksi dari melibatkan berbagai departemen dan m e n j a d i p e n g g e r a k u t a m a industri kreatif. Keempat, soal kalangan. Ketiga, membuat program perekonomian nasional dengan birokrasi perizinan usaha, yang mulai komprehensif untuk menggerakkan kontribusi 54% kepada PDB dan dari soal lamanya pengurusan, industri kreatif melalui pendidikan, pertumbuhan rata-rata 12,2% per besarnya biaya, merajalelanya pengembangan SDM, desain, mutu tahun pada 2025 bisa diwujudkan. pungli. Kelima, minimnya sosialisasi dan pengembangan pasar. Keempat, K e d u a , m e n g u r a n g i t i n g k a t ekonomi kreatif baik lewat media memberikan perlindungan hukum dan kemiskinan. Menurut Badan Pusat maupun penyelenggaraan seminar insentif bagi karya industri kreatif. Statistik(BPS), orang miskin pada dan penerbitan buku-buku. Jika Beberapa contoh produk industri 2007 telah mencapai 16,5% (sekitar pemerintah mampu mengurai lima kreatif yang dilindungi HKI-nya, di 37,1 juta jiwa), naik dibanding tahun tantangan tersebut dengan solusi antaranya buku, tulisan, drama, tari, 2005yang 15,9%. Ketiga, mengurangi yang konstruktif dan komprehensif, koreografi, karya seni rupa, lagu atau tingkat pengangguran. Pada 2005, harapan dan target untuk mengemmusik, dan arsitektur. Produk lainnya tingkat pengangguran resmi tercatat bangkan ekonomi kreatif di Negara adalah paten terhadap suatu pada titik tertinggi, yakni 10,3%. kita dalam 5-8 tahun kedepan, penemuan, merek produk atau jasa, Sementara itu angka pengangguran sehingga bisa menyumbang 10% desain industri, desain tata letak terbuka pada Agustus 2007 mencapai dari PDB nasional, akan terwujud.

DIMĂŤNSI

sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Kelima, pemerintah akan membentuk Indonesian Creative Council yang akan menjadi jembatan untuk menyediakan fasilitas bagi para pelaku industri kreatif.

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

25


INDONESIA ; (MENJADI BUDAK dI DI NEGERI NEGERI SENDIRI) SENDIRI) Oleh: Ali Sadad

Sekretaris Umum PC PMII Tulungagung masa bhakti 2009-2010 Adalah Mahasiswa STAI Diponegoro SI PAI Semester VI

Dari dulu hingga sekarang ini kita telah sadar jika karakter perekonomian dalam negeri semakin lemah dan bergantung pada asing. Hingga ke hal-hal yang kecilpun senantiasa impor. Sedangkan pada sektorsektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing.

Meminjam istilah Johan Galtung (University of Oslo) dalam artikelnya suatu Teori sturktural tentang imperialisme maka perasaan kesal dan kecewa yang dialami bangsa Asia sekarang ini. Ia menjelaskan lebih lanjut jika hal ini diakibatkan oleh “kekejaman struktural”. Penguasa pengendali struktur itu yang tak lain adalah Amerika Serikat dan negaranegara Eropa barat yang senantiasa berusaha mengendalikan negaranegar Periferal (Negara yang berkembang). Jika sebelumnya buah manis kapitalisme itu telah mendorong petumbuhan tinggi di kawasan Asia, maka kini konsekwensi ekonomi pasar ini telah menimbulkan keguncangan sosial dan politik. Disinilah tampak apa yang disebut dengan revolusi gagasan ekonomi pasar telah menimbulkan korban karena tidak peduli terhadap sisi-sisi bahaya ekonomi pasar. Swasta dan pemerintah yang menghutang tanpa kontrol akhirnya menjadikan banyak negara Asia nyaris bangkrut, kalau pada waktu itu tidak dibantu oleh “IMF”(Sebuah perangkat lembaga keuangan bagian dari ajaran ekonomi pasar), walaupun sesungguhnya pearan IMF itulah yang menjadikan negeri ini semakin terpuruk. Di sisi lain setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet pada tahun 1991 yang dulunya merupakan federasi Negara-negara sosialis komunis yang dirintis oleh Lenin dengan kaum Bolshevik-nya, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa satu-satunya dan menandai kemenangan ekonomi

pasar atas Sosialisme. Kondisi pasar yang terjadi pada era dimana SosialisKomunisme berganti menjadi Kapitalisme, meskipun sebenarnya bukan hanya Kapitalisme mengalahkan yang Komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan Individualisme mengalahkan versiversi Kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003). Sementara di Indonesia, tentunya masih sangat segar dalam ingatan kita ketika pada tahun 1997 negeri ini sangat terpukul karena adanya krisis yang melanda Asia selain memang diakibatkan dari sistem fundamnetal ekonomi negara kita yang masih rapuh (Fundamental Economic Fragility) ( Michael Camdessus, 1997), juga diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan yang terjadi di beberapa belahan negara lain seperti negara Rusia ; dengan jatuhnya nilai mata uang Rubel Rusia (akibat spekulasi) yang kemudian pada tahun 1998 terjadi di negara Brazil. Krisis tersebut tetap berlanjut hingga 1999 di negara Argentina hingga pada tahun 2007 terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat (Jeffry Winters, 2003) mencatat beban hutang negara Indonesia sudah melampaui negara-negara tetangga di Asia, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Filiphina. Total pembayaraan hutang pemerintah (domestik dan asing) untuk 2000, 2001, dan 2002 sudah mencapai USD 15,6 milyar. Dari angka itu, pembayaran cicilan hutang luar negeri mencapai USD 3,7 milyar, USD

Halaman

26

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


menggunakan layanan jejaring sosial seperti Friendster, Twitter, Facebook yang berasal dari California, Amerika Serikat, Chatting, YM-an (Yahoo Messenger), Myspace hingga jejaring sosial yang berasal dari negara bekas Uni Soviet, Rusia dengan nama VK. Sebenarnya ketika ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mulai diberlakukan di Indonesia banyak sekali asosiasi-asosiasi perdagangan menuntut kepada pemerintah untuk mengkaji ulang jangka waktu penurunan atau penghapusan tarif bea masuk. Hal ini sangat beralasan karena para pengusaha belum siap menjalani ACFTA pada bulan Januari 2010. Bahkan sebelum diberlakukannya tarif tersebut pada bulan Desember publik sudah mulai menangkap keganjilan sikap pemerintah yang terkesan kalang kabut menghadapi ACFTA per 01 Januari 2010. Sangat beralasan sekali kekhawatiran mereka mengingat pasar dalam negeri yang diserbu produk asing terutama negara China. Sebagai contohnya adalah industri pertekstilan nasional. Harga tekstil dan produk tekstil (TPT) China lebih murah antara 15% hingga 25%. Padahal selisih 5% saja sudah membuat Industri tekstil l o k a l kelabakan (Bisnis Indonesia, 09 Januari 2010). Tahun 2009 Indonesia

telah mengalami proses deindustrialisasi (Penurunan industri). Berdasarkan data dari KADIN (Kamar Dagang Indonesia), peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada tahun 2004 menjadi 27,9% pada tahun 2008. dan untuk kedepan bakal diproyeksikan untuk 5 tahun kedepan penanaman modal disektor industri pengolahan mengalami penurunan US$5 milyar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentrasentra usaha strategis IKM (Industri Kecil Menengah) jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal 1 milyar hingga 5 milyar. Dari jumlah tersebut, 85% diantaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk China. Dan secara tidak langsung atas pemberlakuan ACFTA tersebut akan merubah pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah. Wal hasil akan banyak industri nasional yang gulung tikar dan beralih profesi dari produsen menjadi konsumen bahkan mantan Dirjen Bea dan Cukai sendiri juga mempertanyakan manfaat diberlakukannya ACFTA. Dari dulu hingga sekarang ini kita telah sadar jika karakter perekonomian dalam negeri semakin lemah dan bergantung pada asing. Hingga ke hal-hal yang kecilpun senantiasa impor. Sedangkan pada sektor-

re

pr

o.

in

te

rn

et

5,4 milyar, dan USD 7,6 milyar.( JP, 18 Februari 2010). Ketika ACTFA (ASEANChina Free Trade Agreement) mulai diberlakukan pada tanggal 01 januari 2010 di Wilayah ASEAN termasuk juga Indonesia kerja sama yang ditekan di Phnom Pehn Kamboja pada tanggal 04 November 2002 lalu. Kemudian pada tahun 2004 di mulai dengan Liberalisasi disektor barang sementara dalam bidang jasa dimulai pada tahun 2007 kemarin. Dalam kurun waktu itu diperkirakan sekitar 5000 pos tarif bea masuk telah di turunkan hingga nol persen. Sejak januari 2010, ribuan pos tarif kembali di nol kan, sehingga sekarang ini sangat mudah kita temui barangbarang elektronik yang mulai membanjiri pasar Indonesia sebut saja yang kini sangat marak baik itu di swalayan-swalayan hingga pedagang pinggir jalan seperti barang-barang elektronik seperti HP. Bayangkan saja untuk HP Qwerty butan Tiongkok dengan fitur yang lengkap harganya hanya sekitar 400 ribuan hingga 600 ribuan dengan model meniru BlackBerry padahal untuk BlackBarry dengan fitur-fitur yang berada di bawahnya harganya masih 2 juta-an lebih (News Ponsel Januari 2010). HP ini sangat menggiurkan bagi masyarakat yang tingkat daya belinya masih sangat rendah terlebih lagi dengan harga di bawah satu jutaan masyarakat sudah bisa

DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

27


sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing. Maka apalagi yang bisa di harapkan dari kekuatan negeri ini selain Logikanya sangat sederhana ketika produk-produk dalam negeri saja tidak mampu bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan bergainning di wilayah ASEAN dan China. Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95% sementara tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukan hasil dari pengolahan yang memiliki nilai tambah. Padahal hal tersebutlah yang paling disukai oleh China yang lagi keranjingan bahan mentah yang lebih aneh lagi ketika pemerintah dengan begitu santainya mengatakan akan menggandeng perusahaan dari luar untuk masuk dinegeri kita ini agar dengan di dirikannya perusahaan di indonesia ini akan mampu menyerap tenaga kerja dari indonesia. Hal ini memang pilihan kita sebagai bangsa yang masih sangat rendah sumberdaya manusianya. Berdasarkan penelitian dari PERC (The Political and Economic Risk) menyatakan bahwasannya Indonesia menempati peringkat ke duabelas terbawah di Asia pada bidang pendidikan. Ini adalah hal yang patut kita kaji bersama. Karena penulis sangat yakin jika segala persoalan bangsa ini berawal dari pendidikan seperti yang di katakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Lindon B Johson. Bukankah angka putus sekolah justru pada tingkatan SMP meningkat di bawah 5% tapi untuk perguruan tinggi di bawah 20% sekarang ini. (Kompas Nofember 2009). Dua pekan pertama pada tahun 2010, pemerintah sudah menambah hutang Rp. 27,5 trilyun melalui SUN (Surat Hutang Negara) dan penerbitan obligasi global USD 2 milyar (20 trilyun). Memang dari sisi resiko hal itu tidak

terlalu mengkhawatirkan karena pemerintah masih sanggup untuk membayar akan tetapi di sisi lain yang menjadi korban pada akhirnya adalah rakyat. Hal ini disebabkan oleh penumpukan hutang baru menimbulkan biaya sangat besar yang akan ditanggung dalam bentuk pemotongan subsidi dan anggaran sosial sepanjang tahun 2005-2009, akumulasi pembayaran cicilan bunga dan pokok hutang dalam APBN 2009 mencapai 702,209 trilyun dan anehnya hal itu masih berada di bawah total belanja subsidi energi 2005-2009 sebesar 641,6 trilyun sementara untuk alokasi non energi hanya sebesar 172,2 trilyun (Ahmad Munjin, 2010). Meningkatnya beban hutang yang ditanggung oleh pemerintah akan berdampak pada berkurangnya kualitas hidup rakyat dan pemberantasan kemiskinan (JP, 17 Februari 2010). Sedangkan penuturan World Bank, lebih dari 100 juta orang Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. Dalam hal itu penulis sangat yakin jika tidak ada solusi jangka pendek. Meskipun sebenarnya ACFTA masih dapat ditunda atau dibatalkan dengan melalui proses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk yakni, Sekretariat Jendral ASEAN. Tapi jika ini ditempuh mungkin alasan pemerintah adalah harga diri. Kita sudah mafhum akan hal itu mengingat pada saat penandatanganan kesepakatan ACFTA, DPR sebagai wakil rakyat saja tidak dilibatkan. Sementara pemerintah memang memaksakan diri dengan asumsi bahwa ACFTA adalah peluang pasar yang sangat besar Âą 1milyar penduduk. Tapi sayangnya pemerintah tidak mampu melihat realitas yang ada. Pemerintah Indonesia memang sudah melakukan upaya untuk merenspon ACFTA ini dalam bentuk melakukan promosi pariwisata ke negara China. Tapi lagi-lagi masyarakat kita justru yang berbalik dengan harapan pemerintah. Harapan pemerintah pada saat itu mengharapkan agar dunia pariwisata kita di kenal di luar negeri. Yang terjadi di lapangan adalah justru masyarakat Indonesia yang banyak pergi melancong ke luar bahkan

berobat ke negeri tirai bambu ini justru meningkat. Untuk itulah pemerintah sudah seharusnya mengambil langkahlangkah strategis (karena ketidakmungkinan Indonesia keluar dari ACFTA) dalam menangggulangi persaingan perdagangan bebas dengan negara lain dalam bentuk : pertama, Supremasi hukum yang tidak pandang bulu (equality before of law)agar iklim investasi kondusif bagi para pengusaha. Hal inilah yang menjadi penyebab utama antara semrawutnya tatanan sistem yg ada di negeri kita. Kedua, Diperlukan suatu badan khusus yang bertugas menghantarkan Indonesia menuju era perdagangan bebas ACFTA, tertuma dengan China. Ketiga, Diperlukan pembangunan keunggulan suatu produk yang bersifat kontinyu dan berjangka panjang dengan melibatkan dan bekerja sama dengan semua fihak, baik pelaku ekonomi swasta, pihak legislatif maupun yudikatif. Keempat, Pembangunan infrastruktur terutama kelistrikan sebagai kebutuhan yang fital tidak byar pet–byar pet. Sebagai perbandingan saja di Amerika Serikat TDL berkisar 800/kwh sementara di Indonesia berkisar 1300/kwh. (Fakta dan data 22 Februrai 2010, TV one). Kelima,Reformasi birokrasi yang hingga sekarang ini masih sangat ruwet dan banyaknya pungli yang berkeliaran. Terakhir, Kesadaran masyarakat akan manfaat nilai-nilai visioner agar tidak terjebak pada pragmatisme dan konsumtif yang memang sekarang ini menjadi sebuah gurita kehidupan. Jadi jelas sudah ketika dalam hal ini baik Pemerintah, Legislatif dan Yudikatif maupun masyarakatnya tidak segera membuat langkah konkrit maka Indonesia yang kaya akan Sumber Daya ini justru akan mencetak budakbudak di Negeri sendiri. Sekali lagi penyebabnya jelas, masyarakat yang senantiasa tidak ada ruang berekspresi maka orientasi kehidupannya akan menjadikan sangat sempit pragmatis mereka hanya berfikir bagaimana agar bisa bertahan hidup saja. Wallahu a’lam bis showab.

Halaman

28

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Oleh: M. Rois Abin

Mahasiswa semester VIII/PAI sekaligus menjabat sebagai ketua SMJ Tarbiyah Periode 2009/2010

Bentukan struktur strata sosial masyarakat tersebut dikemas secara rapi dengan dibungkus kultur yang berlaku dalam masyarakat, sehingga menjadi suatu produk hukum kultur yang mudah diterima oleh seluruh masyarakat. DIMĂŤNSI

Sebuah pertanyaan mengusik ketika membicarakan tentang masyarakat pinggiran. Definisi masyarakat pinggiran dapat dilihat dari berbagai kacamata baik dari sosiologi maupun antropologi. Secara sosiologi, mereka kita asumsikan sebagai golongan orang miskin, sumber daya manusia (SDM) rendah, tidak berdaya dan sebagian besar diwakili oleh petani, nelayan, pedagang kaki lima dan pekerja kecil lainnya. Sedang secara antropologi mereka berada di pesisir kota yang jauh dari peradaban manusia maju. Pada dasarnya, sebutan masyarakat pinggiran adalah sebuah bentukan dari penguasa yang dapat mempermudah pemetaan konteks realitas sosial. Sebutan masyarakat pinggiran, masyarakat kolot, bodoh, miskin disandangkan pada mayoritas masyarakat. Sedang tatanan masyarakat minoritas disandangkan dengan sebutan masyarakat perkotaan, madani, maju dan modern. Bentukan struktur strata sosial masyarakat tersebut dikemas secara rapi dengan dibungkus kultur yang berlaku dalam masyarakat, sehingga menjadi suatu produk hukum kultur yang mudah diterima oleh seluruh masyarakat. Perkembangan peradaban manusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dari masa ke masa. Perkembangan dan kemajuan tersebut tidak dapat dihindari lagi. Ini disebabkan oleh semakin pesat serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

manusia. Kemajuan tersebut ditandai dengan banyaknya teknologi, salah satunya berupa alat komunikasi dan informasi yang telah diakses masyarakat dan menjadi suatu kebutuhan primer dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan zaman yang diekspresikan melalui ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan modernisasi di satu sisi hanyalah memberikan kontribusi kesejahteraan pada sebagian kecil manusia (baca: minoritas atau penguasa). Sementara, kejayaan minoritas sering kali menelan dan mengorbankan mayoritas masyarakat ke lembah kemiskinan yang berimbas pada petani, buruh, nelayan dan usaha kecil lain seperti Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebagai contoh, berdirinya sebuah mall atau super market mengakibatkan termarginalnya para pedagang kaki lima, begitu juga dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang pengimporan beras mengakibatkan turunnya harga beras dan merugikan para petani. Beberapa masalah tersebut merupakan permasalahan sosial yang mesti dicari akar permasalahannya serta dicari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, komersialisasi pendidikan dan ketidakjelasan subsidi dari Negara untuk pendidikan merupakan masalah yang berimbas pada sosial masyarakat, khususnya bagi kaum miskin. Hal ini berwujud pada mahalnya biaya pendidikan Halaman

29


sehingga menyebabkan orang-orang miskin tidak dapat menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus dan bermutu, lebih parah lagi, jika pendidikan tidak berorientasi pada proses penyikapan terhadap masalah-masalah sosial, akan tetapi lebih mengarah kepada sekedar transfer ilmu dan teori yang seakan jauh dari konteks realitas. Pendidikan kini tidak mengarah dan mengajarkan peserta didik akan kesadaran dari ketertindasan, akan tetapi lebih mengarah pada pembodohan dan pelanggengan terhadap penindasan yang dilakukan secara struktural oleh penguasa. Hal ini tidak sama dengan hakikat pendidikan, yang sebenarnya, dimana pendidikan adalah sebuah ikhtiar yang bisa menyadarkan seseorang

dari ketertindasan dan ketidakadilan baik yang dilakukan secara struktural maupun kultural. Menurut Paulo Freire, seorang pemikir, konseptor pendidikan dan organisatoris politik berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya “Kesadaran Manusia” terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran akan dapat terwujud melalui “Proses Pendidikan Sosial”, yang menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan obyek dan menjadikan realitas sosial sebagai materi pembelajaran serta bersifat dialogis yang berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dalam diri individu masyarakat.

Sedangkan kesadaran kritis lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paulo Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah sampai sekarang ini adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap peserta didik sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan peserta didik tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu atau teori-teori yang tidak menyentuh sisi sosisl dalam kenyataam (konteks sosial). Pendidikan seperti ini hanya menjadikan peserta didik sebagai robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, bila konsep pendidikan tersebut tidak segera diperbaiki ataupun dirubah, maka dalam jangka panjang, bangsa ini akan mengalami kerugian serius. Sebab penduduknya semakin banyak, namun kualitas hidupnya merosot tajam. Masyarakat menjadi power-less ditengah-tengah persaingan global. Sehingga berpengaruh kepada penurunan mutu daya saing pekerja. Selain itu, pendidikan menjadi triger atas keresahan masyarakat menyangkut beban hidup yang semakin berat. Dengan terbatasnya nalar dan kemampuan memecahkan suatu masalah, masyarakat cenderung m u d a h marah dan melakukan hal-hal

repro

.intern

et

Halaman

30

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


yang sifatnya irasional, merusak, kriminal dan lain sebagainya. Tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan� yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan� kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi� karena sistem dan struktur yang tidak adil. Permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukanlah semata-mata disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku, melainkan juga akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru, tidak konsistennya implementasi kebijakan dan partisipasi serta minimnya kesadaran masyarakat. Kondisi seperti ini, mendorong masyarakat berada dalam situasi struktural yang tidak bebas untuk berkreasi dan mengekspresikan aspirasi dan pikiran atau ide dalam kehidupannya serta mengakibatkan masyarakat dalam kondisi tidak berdaya. Seperti masalah kemiskinan dan komersialisasi pendidikan yang lahir tidak hanya disebabkan oleh masalah individual, seperti orang-orang miskin yang bodoh, malas, tidak punya etos kerja yang tinggi, tidak memiliki global skill, atau pemahaman tentang kemiskinan sebagai nasib (budaya kemiskinan). Namun pada aspek lain, kemiskinan dan komersialisasi pendidikan itu ada karena kesalahan kebijakan struktural yang melanggengkan dan sengaja diciptakan oleh struktur yang memihak pada penguasa. Misal, karena tujuan politik, ekonomi atau untuk melegitimasikan kekuasaan agar mudah untuk menindas orang yang berada di bawah kekuasaannya. Alhasil dari kondisi kehidupan tersebut, menjadi sangat mustahil tatanan masyarakat Indonesia akan stabil dan menjadi sekedar mimpi

DIMĂŤNSI

akan terbentuknya kesjahteraan masyarakat. Hal inipun pernah diramalkan oleh Karl Marx. Pikiranpikiran Karl Marx merupakan salah satu teori yang paling komprehensif tentang manusia dan masyarakat yang pernah dikenal dunia ilmu pengetahuan. Marxisme menjelaskan hampir semua aspek kehidupan sosial dan individu (hakikat manusia), ekonomi, agama, politik, filsafat, stratifikasi sosial dan lain sebagainya. Bayangan masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx mirip seperti impian setiap orang di mana saja dan kapan saja, yakni: terciptanya tatanan masyarakat yang bebas dari ketertindasan dan ketidakadilan oleh struktural maupun kultural. Marx membangun argumenargumen secara teliti dan sistematis mengenai mengapa dalam kenyataannya orang dan segolongan besar masyarakat menjadi miskin dan tertindas. Dan dalam banyak hal, Marx berhasil menguraikan sebab musabab tersebut. Argumenargumennya kemudian tersusun dalam sebuah buku yakni: Das Capital (Modal). Marx juga berkeyakinan bahwa perubahan masyarakat harus dimulai dari dirinya sendiri yakni kesadaran akan ketertindasan, namun pemikiran Karl Marx lebih mengarah kepada keadilan dan kebebasan manusia dalam berkreasi dan berproduksi (ekonomi) tanpa ada tindasan, baik secara struktural atau kebijakan maupun kultural. Menurut Marx perbaikan ekonomi (produksi) dan kesetaraan masyarakat (keadilan) merupakan hal yang sangat penting dalam proses perubahan. Bila sampai hari ini bangsa Indonesia masih bercita-cita untuk maju dan sejahtera, maka stabilitas struktur masyarakat harus menjadi prioritas utama. Hari ini masyarakat (mayoritas) membutuhkan kesejahteraan. Langkah pertama yang harus dilakukan, terutama oleh pemerintah adalah melakukan pengembangan masyarakat, dengan cara membantu masyarakat agar pembangunan

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

dapat dilakukan dengan prakarsa mereka sendiri serta mengidentifikasi kebutuhannya, menggali dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kesejahteraannya sendiri. Batasan ini mengandung makna sebagai berikut: Pertama, membantu masyarakat dalam proses pembangunan yaitu memperlakukan masyarakat sebagai subyek bukan obyek (yang menerima apa adanya) dalam proses pembangunan baik itu dari segi pendidikan. Masyarakat harus ikut serta dan berpartisipasi dalam proses pengembangan, dengan mengembangkan SDM dan menyadarkan masyarakat akan potensi yang dimilikinya. Kedua, Kemandirian yaitu pengembangan masyarakat harus mampu menciptakan masyarakat yang mandiri, tidak selalu menunggu uluran tangan dari pihak lain untuk mengembangkan atau membangun lingkungannya. Masyarakat harus di dorong untuk mencoba memanfaatkan sumber dayanya sendiri baik yang bersifat sumber daya alam ataupun sumber daya manusia untuk membangun wilayahnya melalui pendidikan. Ketiga, kesejahteraan hidup merupakan tujuan akhir dari pengembangan masyarakat. Membangun kehidupan yang sejahtera yang dapat dinikmati oleh semua orang dan membangun kebaikan dalam kehidupan di antara sesama manusia, hanya dapat dilakukan apabila ada kerjasama dan kesadaran dalam tatanan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan hidup maka masyarakat perlu disadarkan dan dikembangkan dari masyarakat yang pasif menjadi dinamis dan aktif, dari yang semula pasrah pada nasib dan keadaan menjadi ingin maju dan kritis, dari tergantung menjadi mandiri. Hal inipun dapat dilakukan melalui jalur pendidikan dengan menerapkan pendidikan kritis menuju kesejahteraan ala Paulo Freire dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Halaman

31


Oleh : Sugeng Santoso

Mahasiswa semester VIII Prodi Muamalah

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakan sendiri�. (An Najm:39)

Negara merupakan organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sedangkan keberadaan Negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-cita. Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti kemampuan seseorang maupun kelompok untuk mempengaruhi seseorang bahkan kelompok lain, dalam ilmu politik hal ini biasanya dianggap sebagai tujuan (memiliki tujuan) demi kepentingan seluruh rakyatnya. Selain itu, Negara haruslah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama bagi seluruh rakyat, yaitu dengan cara menyejahterakan rakyat. Seperti yang diamanatkan oleh UU kesos nomor 11 tahun 2009 Pasal 4, bahwasannya Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Untuk itu negara melalui pemerintahan yang berkuasa mengeluarkan berbagai programprogram yang bisa mendukung terlaksananya kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia. Sedangkan tingkat kesejahteraan itu bisa mencakup beberapa sektor, antara lain sektor pendidikan, pangan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja dan beberapa sektor lainnya.

Di sektor pendidikan pemerintah meluncurkan program pendidikan murah bagi siswa wajib belajar 9 tahun, dan bagi warga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Hal ini bisa menumbuhkan kembali harapan bagi rakyat miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya dengan biaya yang murah, bahkan bisa saja gratis. Hal ini wujud dari implementasi dan realisasi yang dilakukan pemerintah sesuai dengan amanat UU dengan mengalokasikan 20% dari APBN pada tahun 2010 untuk bidang pendidikan, yang nantinya bisa digunakan untuk mendukung terlaksananya pendidikan yang lebih bermutu, seperti merenovasi gedunggedung sekolah yang rusak, maupun alokasi untuk kesejahteraan para pendidik atau guru. Sedangkan di sektor pangan, pemerintah juga terus berupaya untuk merealisasikan subsidi beras murah bagi rakyat miskin (raskin). Selain itu juga pemerintah terus berupaya untuk menggenjot produktifitas hasil pertanian nasional. Salah satu caranya dengan memberikan pupuk bersubsidi bagi para petani. Supaya mempermudah para petani untuk bisa menanam produk pertanian seperti halnya padi. Dan target yang dicanangkan pemerintah untuk bisa berswasembada beras bisa tercapai. Akan tetapi niat baik pemerintah untuk bisa menyejahterakan rakyatnya melalui pemberian pupuk subsidi ini disalahgunakan oleh sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab untuk

Halaman

32

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


DIMĂŤNSI

untuk menyukseskan program pemerintah seperti konversi minyak tanah ke gas (LPG). Jika dipikirkan lebih mendalam, memang betul untuk jangka pendek rakyat miskin akan terbantu dengan adanya BLT, akan tetapi rakyat yang pernah mendapatkan BLT akan terus berangan-angan dan berharap supaya mendapatkan BLT kembali. Dan hal ini dapat menjadikan rakyat tidak mandiri, tidak

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

ro.in

tern

et

berusaha u n t u k mencari dan mendapatkan pekerjaan. Malah b i s a menjadikan rakyat akan berharap untuk mendapatkan bantuan yang pernah diberikan oleh pemerintah dan masyarakat cenderung bersikap malas. Meskipun uang tersebut untuk masa sekarang dengan kondisi ekonomi yang belum stabil tidak seberapa besarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat yang terus dihimpit masalah ekonomi, yang disebabkan krisis ekonomi global yang masih terjadi di Negeri ini. Alangkah baiknya apabila pemerintah bisa memberdayakan rakyat supaya lebih produktif dan mandiri. Dengan cara memperluas lapangan pekerjaan rep

mendapatkan keuntungan di atas penderitaan para petani. Misalnya dalam hal pupuk bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi para petani yang sangat membutuhkan pada saat musim tanam tiba, malah disalahgunakan dengan cara menimbunnya. hal ini bisa menjadikan harga pupuk subsidi melonjak tinggi dan menjadikan petani sulit untuk mendapatkannya dan langka di berbagai tempat. Parahnya lagi pupuk bersubsidi ini menghilang dan tidak beredar di kalangan petani, kalau pun pupuk itu ada, petani harus membayar dengan harga yang lebih mahal untuk bisa mendapatkannya. Artinya, apa yang dicanangkan oleh pemerintah untuk bisa menyejahterakan rakyatnya bisa gagal dan rakyat kecil pun khususnya petani dalam hal ini akan sangat dirugikan. Sedangkan apabila hasil produk pertanian ini baik, dan pasokan pupuk ini lancar serta petani mudah mendapatkannya. maka bisa jadi hasil pertanian yang diusahakan oleh para petani akan melimpah dan bisa terus meningkat, maka secara otomatis pendapatan petani juga akan meningkat, dan meningkatnya pendapatan petani menjadikan petani memperoleh kesejahteraan. Di sektor kesehatan pemerintah juga memberikan bantuan, dengan memberikan layanan pengobatan murah bagi warga miskin yang notabene mereka tidak mampu membayar biaya pengobatan apalagi biaya rumah sakit. Pemerintah mengeluarkan progarm Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) bagi rakyat miskin, agar rakyat miskin bisa menikmati pengobatan murah dan layak. Salah satu cara pemerintah untuk meringankan beban ekonomi rakyatnya, yang masih terngiang dalam ingatan kita, yaitu dengan memberikan bantuan langsung tunai atau (BLT) kepada warga miskin sebesar 300 ribu perbulan dan uang BLT ini dialokasikan dari hasil kompensasi penarikan subsidi atas minyak tanah yang dulunya terus disubsidi oleh pemerintah, sekaligus

yang ada, sehingga angka pengangguran dapat ditekan ataupun dengan memberdayakan dan mendorong masyarakat untuk berwirausaha, menciptakan usaha sendiri dan mandri bagi rakyat sendiri, sehingga rakyat bisa tetap bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan rakyat sendiri, yang mana hal ini nantinya akan bisa menjadikan rakyat sejahtera dengan pendapatan yang mereka peroleh. Dalam Islam pun dijelaskan melalui Al-Quran yang memberikan penekanan utama terhadap pekerjaan. Diterangkan dengan jelas bahwa manusia diciptakan di bumi ini untuk bekerja keras dan mencari penghidupan masing-masing. Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan, tanpa melupakan, bahwa seluruh harta dan kekayaan di alam semesta itu semuanya milik Allah SWT sementara manusia hanya sekedar sebagai pengelola, maka orang yang bertugas sebagai pengelola tidak berhak keluar dari aturan Pemilik harta yaitu Allah SWT, maka sungguh sangat menyedihkan bila terdapat sebagian orang yang berpacu untuk meraih kenikmatan dunia dengan menghabiskan seluruh waktunya, sementara mereka melupakan tujuan utama penciptaan, yaitu beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (QS. 51:56-58).� Hakikatnya dalam diri manusia Halaman

33


Halaman

34

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

35


Dok.Istimewa

terdapat pula fitroh yang dihiaskan kepada manusia yaitu hubb asysyahwat ( Q,S,Ali- Imran (3):14 ) yang merupakan bahan bakar yang melahirkan dorongan bekerja dan bukan hanya bekerja asal bekerja tetapi bekerja yang serius sehingga melahirkan keletihan. Penggunaan kata asy-syahwat, mengandung pengertian bahwa aktivitas manusia memerlukan daya, melangkahkan kaki atau me-nunjuk dengan jari pun me-merlukan daya. Peng-gunaan daya pasti mela-hirkan keletihan. Selain itu bekerja oleh Al-Quran dikaitkan dengan iman. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara iman dan kegiatan yaitu bekerja seperti halnya akar tumbuhan dan buahnya, bahkan ditegaskan AlQuran Surat Al-furqan (25) : 23, amalamal yang tidak disertai dengan iman tidak akan berarti di sisi-Nya. Karena itu Al-Quran Memerintahkan: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu baik bagimu jika kamu

mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah di muka bumi; carialah karunia allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q,S Al-jumu’ah (62):9-10). Ayat tersebut juga memberi pengertian agar dalam melakukan kegiatan berbisnis ataupun bekerja (mencari kelebihan atas karunia Allah) dilakukan setelah melakukan shalat, dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah SWT. Oleh karena itu, walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk berbisnis, Al-Quran menggaris bawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis adalah memperoleh apa yang berada di sisi Allah SWT, yaitu balasan atas amal yang kita kerjakan.3 Dengan adanya keterangan ayat diatas, dapat kita pelajari bahwa sesungguhnya Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk mencari karunianya di dunia ini melalui bekerja dan berusaha. Akan tetapi semua itu dikembalikan lagi kepada manusia itu

sendiri untuk mencari dan memperolehnya. Apakah mereka mencari karunia ini dengan jalan yang diridhoi oleh Allah SWT ataukah mereka mencari dengan jalan yang dilarang oleh Allah SWT? atau malah tidak berusaha sama sekali dan hanya pasrah atas pemberian Allah SWT semata tanpa berusaha dan bekerja. Meskipun Negara bertanggungjawab atas kesejahteraan seluruh rakyatnya, akan tetapi tanpa adanya keinginan dari rakyat untuk berusaha dan bekerja atas kemampuan dan kemauan sendiri, dan mengaharapkan bantuan dari Negara, maka akan menjadikan rakyat terus berharap kepada negara tanpa berusaha sendiri untuk bisa menjadi sejahtera. Manusia sebagai kholifah di bumi dianjurkan untuk mencari karunia Allah SWT yaitu dengan cara berusaha dan bekerja yang sesuai dengan ajaran islam. Hal inilah yang coba kita fahami dan kita kerjakan, bahwasannnya berusaha dan bekerja selain untuk mencapai tingkat kesejahteraan di dunia, juga menjadi sarana ibadah bagi manusia yang menjalankannya untuk mencari ridho Allah SWT.

Halaman

36

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Oleh: Abdul Mukhosis

“el-khoss” satu-satunya mahasiswa Ushuludin semester/IV yang sekarang berproses di LPM DIMëNSI STAIN Tulungagung

Negara di berbagai bidang dan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun semakin merosot kondisi perekomiannya menuju kefakiran. Ingat kefakiran yang berlebihan merupakan pangkal dari munculnya kekafiran. DIMëNSI

Setiap Individu pasti mengharapkan sebuah kesejahteraan. Sehingga kesejahteraan merupakan suatu tataran akhir dalam kehidupan. Tidak pandang orang miskin, kaya ataupun yang lain pasti dalam kehidupannya yang diutamakan adalah sejahtera. Pada dasarnya sejahtera adalah berkecukupan. Dan kecukupan itupun tiap individu juga berbeda kebutuhannya. Sehingga setiap orang berbeda kesejahteraannya. kemudian pertanyaan yang muncul adalah kesejahteraan mana yang menjadi pijakan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Dari sumber yang sama, sentosa diartikan sebagai bebas dari segala kesukaran dan bencana, aman dan tenteram-sejahtera. Sedangkan untuk kata makmur, terdapat tiga arti yaitu banyak hasil, banyak penduduk dan sejahtera, serta serba kecukupan. Adapun pengertian umum menurut ensiklopedi kesejahteraan lebih menunju dalam keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Islam dan Kesejahteraan Tuhan Allah mengisyaratkan dalam surat Al Hasyr ayat 7 yang artinya “Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” Kandungan ayat ini merupakan bukti kongkret bahwa Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berkutat dalam urusan privat yang semata-mata orang lain tidak boleh menikmatinya dan mengabaikan terhadap urusan publik. Sulit dibayangkan umat Islam pada masa Rosulullah, bisa mendapatkan harta fay’ jika umat Islam itu sendiri memiliki Negara yang kuat. Sehingga membuat kaum lain menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Akan tetapi, jika umat Islam pada saat itu tidak memiliki Negara yang kuat, yang terjadi adalah sebaliknya. Perampasan harta dari pihak musuh, dijadikan budak, harta tawanan dan sebagainya. Pada masa setelah wafatnya Rasulullah, wewenang dan otoritas distribusi harta ada di tangan Imam atau Khalifah. Sehingga pengelolaan dan pendistribusian harta tetap berjalan dalam kemaslahatan umat. Ayat ini juga memberikan prinsip dasar distribusi kekayaan Halaman

37


yang diciptakan dan dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Sehingga, kesejahteraan itu tidak hanya dinikmati oleh orang tertentu saja. Melainkan semua orang pada umumnya. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa islam berdimensi menyeluruh. Artinya, Islam mengajarkan yang mencakup keseluruhan dari aspek kehidupan. Menurut Masyhuri, dalam bukunya “Teori Ekonomi dalam Islam” menyatakan, bahwa terdapat dimensi penting dalam aspek kehidupan, yakni: pertama, dimensi vertikal, yang di dalamnya meliputi berbagai sistem tindakan dan tata nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Kedua, dimensi horizontal yakni aturan-aturan yang mengatur hubungan antar manusia dengan lingkungan sekitar dalam usaha pemenuhan kebutuhanya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam setiap ranah kehidupan manusia, terlepas adanya sosial dan sepiritual pasti

menemukan kegelisahan. Hal ini bisa dibuktikan melalui keseharian dalam kehidupan seseorang. Misal, ketika seseorang telah lelah dalam mengais kehidupan dan menasarufkan harta (membelanjakan; red) pasti suatu saat akan merasakan ketidakpuasan dari harta yang ia peroleh. Dari sinilah fungsi agama dapat dirasakan bagi penganutnya. Agama dengan memberikan kontribusi arahan serta tatacara dalam semua aspek kehidupan, sehingga para penganut agama itu sendiri mendapat kebahagiaan. Seperti perintah zakat, anjuran sedekah, menolong sesama dan sebagainya. Hal ini bisa mewujudkan kesan serta kebanggaan tersendiri pada jiwa seseorang sebagai insan sosial. Konsep Kesejahteraan Islam D a l a m kesejahteraan, Islam telah menancapkan citacita kesejahteraan bagi negerinya melalui do’a I b r a h i m , “ Ya Tuhan kami,

jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya”, (QS. al Baqarah:126). Proses pembangunan kesejahteraan dalam Islam tidak lain diniatkan sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah SWT. Sebagai khalifah di muka bumi, salah satu ibadahnya adalah bagaimana memakmurkan bumi ini, sehingga Islam menjadi rahmatanlil’alamin. Masih mengutip dari pedapat Masyhuri, pelaksanaan dua aspek (vertikal maupun horizontal) secara utuh dan menyeluruh, sifatnya adalah arti ketaatan manusia terhadap penciptanya. Dua dimensi ini antara lain tersirat dalam perintah mengerjakan shalat dan mengerjakan zakat, yang dalam al-Qur’an selalu disebutkan secara berdampingan. Perintah mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat bersifat horizontal. Disinilah dimensi spiritual dari segala tindakan manusia akan terjamin dan dari sini pula menjadi jelas mengapa Islam m a m p u menawarkan sistem ekonomi

www.google.com

Halaman

38

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


yang berbeda dengan sistem ekonomi yang diusung oleh kapitalisme dan sosialisme. Inilah kebermaknaan yang dapat melahirkan kontrol diri dan ketentraman. Selain kebermaknaan (subtansi ajaran), Islam juga mengajarkan kebersamaan dalam setiap tindakan. Dalam hadits, Rasulullah mengungkapkan akan tingginya nilai sholat secara berjama’ah dan manfaat silaturahmi dalam memperbanyak rizki. Artinya, dari contoh kecil melalui hadits Nabi di atas bermaksud, dengan melakukan sesuatu dengan bersamaan, dapat menumbuhkan rasa emosional yang bermanfaat seseorang dapat berinteraksi antar sesama dengan baik. Sehingga sholat berjamaah dan silaturrahim merupakan alat penghubung seseorang dalam menemukan kesejahteraan. Penggunaan modal sosial (horizontal) dan spiritual (vertikal), dalam pembangunan tidak hanya melahirkan masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, melainkan juga rasa aman dan ketentraman batin. Karena lahirnya arti dan kebersamaan dalam membangun kesejahteraan dapat mengeliminir perilaku serakah yang merusak dan telah melahirkan banyak kejahatan serta perasaan tidak aman maupun rasa kegelisahan. Inilah hakikat kesejahteraan yang tersurat dalam do’a nabi Ibrahim di Makkah. Pembangunan kesejahteraan dalam Islam sesungguhnya syarat dengan pendekatan penggunaan modal sosial dan spiritual. Islam sangat memperhatikan arti yang ada dalam setiap amal. “sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya” demikian dikatakan oleh Rasulullah. Niat ini merupakan elemen penting yang memberikan hidup menjadi lebih bermakna. Sehingga, kesejahteraan menitikberatkan pada bidang ekonomi yang bersifat sebagai bantuan sosial dan kemanusiaan. Karena itu konsep ini meletakkan dasar pemerataan dari

DIMëNSI

segala sesuatu yang telah dikaruniakanNya kepada hambaNya. Pemerataan disini tidak memandang bagaimana dan siapa orangnya, tapi memusatkan perhatian pada suatu hak mutlak, bahwa segala sesuatu yang telah diberikanNya kepada para hamba semata-mata hak dan milik Allah. Karena itu bagaimanapun dan siapapun orangnya, dia berhak untuk menikmati semua pemberian Allah. Disinilah pokok pangkalnya mengapa prinsip kesejahteraan ini menjadi salah satu wujud persamaan, manusia sebagai ciptaanNya mempunyai hak yang sama, sedang dalam arti nilai kemuliaan mereka itu tidak sama. Artinya, hanya orang yang paling bertakwa sajalah yang dipandang paling mulia di sisi Allah yang disebut dalam Al-Quran: “Inna akramakum ‘indallahi atqaakum”. Disaat semakin merajalelanya sistem perekonomian kapitalisme yang bahkan sudah menyusup demikian dalam kehidupan Negaranegara Islam maupun Negaranegara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masalah pengangguran dan tidak meratanya kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tak akan pernah terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalis. “Harus ada pihak yang dikorbankan” itulah prinsip eksploitasi yang ada dalam sistem ekonomi kapitalis, sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, dimana semua orang berhak mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Dalam mengejawantahkan konsep kesejahteraan sosial, agama Islam dengan ajaran-ajaran luhurnya yang tidak mengenal ras, kulit, bangsa dan agama. Namun lebih menitikberatkan pada prinsip tolong-menolong, perikemanusiaan, keadilan, egaliter dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya harus ditegakkan sebagai pilar kehidupan mereka yang miskin, yatim-piatu, peminta-minta, gelandangan, ham-

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

ba sahaya, dan sebagainya. Allah SWT berfirman “Dan orang-orang yang membelanjakan sebagian dari apa-apa yang kami telah karuniakan kepada mereka; dan binatang qurban itu, Kami jadikan dia buat kamu, maka apabila sembelihan itu telah mati, makanlah dirinya dan berilah makan kepada para fakir yang menjaga kehormatannya serta fakir yang meminta, demikianlah kami persembahkan binatang sembelihan itu buat kamu, agar kalian bersyukur.” (Al-Hajj: 35-36). Konsep persamaan untuk menikmati pemberianNya ini menumbuhkan dasar-dasar pemerataan dalam sistem perekonomian Islam. Karena bagi mereka yang berkecukupan atau mampu dibebani oleh “tanggung jawab moral” untuk turut menanggulangi beban penderitaan mereka (telah disebutkan di atas). Karena mereka pun adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka membutuhkan pula sandang, pangan dan papan seperti layaknya manusia. Dan mereka pun ingin menikmati secercah harapan dalam kehidupannya. Ajaran-ajaran luhur Islam seperti ini seharusnya menjadi motivasi semua tindakan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem sosio-ekonomi, dan bukan malah meninggalkan ajaran berbasis pemerataan dan keadilan sosial, sebuah tindakan sistem ekonomi kapitalisme yang kejam yang selama ini justru semakin digalakkan Negara di berbagai bidang dan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun semakin merosot kondisi perekomiannya menuju kefakiran. Ingat kefakiran yang berlebihan merupakan pangkal dari munculnya kekafiran. Lihat saja berbagai gejala kekafiran yang sudah mulai banyak bermunculan di Negara ini, semakin banyak kerusuhan, pelanggaran HAM dan banyak lagi hal buruk yang seakan sah-sah saja padahal jelas-jelas melanggar prinsipprinsip kemanusiaan. Akhirnya Wallohua’lam Halaman

39


Teras Dilema antara MU dan AS; Ketika Relevansi Gelar Dipertanyakan

DIMENSI/elkoss

Terpilihnya Dr. Maftukhin, M.Ag (tengah) sebagai rektor STAIN Tulungagung, diharapkan mampu memberikan perubahan terhadap kondisi civitas akademika.

STAIN Tulungagung sebagai satusatunya Perguruan tinggi negeri yang berada di daerah Tulungagung mencoba memberikan lulusan terbaiknya untuk mengabdi ke masyarakat. Banyak program studi yang ditawarkan, salah satunya adalah program studi Mu’amalah (selanjutnya baca MU; red) sebagai salah satu program studi yang ada di bawah payung hukum jurusan Syari’ah, MU mencoba menjawab kebutuhan pasar tentang tenaga terampil di bidang perbank-kan syari’ah. Hal itu juga sebagai implementasi dari Undang-

Undang No. 21 Tahun 2008 tanggal 16 juli 2008 tentang Perbankan Syariah oleh pemerintah. Namun program studi MU masih menyisakan beberapa masalah yang sampai saat ini belum terjawab. Diantara permasalahan itu adalah kerancuan kompetensi MU dengan Ahwalus Syakhsiyah (selanjutnya baca AS; red), dimana lulusan kedua program studi ini bergelar S.HI (Sarjana Hukum Islam). Sehingga mahasiswa MU sendiri menganggap bahwa program studi MU adalah program studi yang ngambang.

Mujahidin (MU/IV) ditemui kru DIMeNSI saat selesai kuliah, “MU dengan AS hampir tidak ada bedanya walaupun ada dengan skala yang sangat kecil, sehingga MU ngambang entah kemana, dari 33 mahasiswa MU, dapat diprosentase 75% sudah mengetahui, tetapi saat mahasiswa ingin berontak (minta kejelasan; red), dosen malah tak segan-segan memberikan black list nama dan nilai jelek. ya itulah yang membuat mahasiswa takut untuk mengkritisi MU, karena kekuatan nilailah yang membuat takut”. terang mahasiswa asal Trenggalek ini. “Dari

Halaman

40

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


Teras pihak dosen khususnya MU masih saja bertingkah untuk menutup-nutupi, belum lagi kesalahan penulisan AKTA IV (yang sudah dihapus) di brosur, katanya ada kesalahan teknis yang perlu dimaklumi dan arahan MU yang tidak jelas justru membuat runyam keadaan”. Imbuhnya. Orientasi Kurikulum dan Output ‘rancu’ Salah satu problem sistematis program studi MU adalah perbedaan orientasi MU antara hukum bisnis islam atau ekonomi syari’ah. Bila berpijak pada brosur penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2008/2009 maupun tahun 2009/2010, MU diorientasikan pada Ekonomi Syari’ah. Hal ini sangat kontras dengan yang tercatat pada buku pedoman penyelenggaraan pendidikan tahun akademik 2008/2009 maupun 2009/2010. Dalam buku pedoman tersebut tertulis MU diorientasikan ke hukum bisnis islam dan bertujuan untuk membentuk sarjana hukum islam yang memiliki keahlian syari’ah atau hukum islam dan pranata sosial dalam islam dengan spesifikasi MU (Hukum Ekonomi Islam) serta berkewenangan menjadi pegawai pada lembaga-lembaga perekonomian. Tetapi, pada realitasnya kurikulum yang diajarkan lebih besar pada tataran praktis, sehingga MU lebih mengarah pada ekonomi Syariah bukan hukum bisnis islam. Jika berkaca pada beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lain di Jawa Timur, MU diorientasikan ke Hukum Bisnis Islam. Seperti di IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang sudah membedakan secara tegas antara aspek Hukum Bisnis Islam dengan Ekonomi Syari’ah. Walaupun kedua jurusan ini masih dalam satu payung Fakultas Syari’ah tetapi kurikulum maupun orientasi jurusan berbeda. Seperti pernyataan kepala Jurusan MU IAIN Sunan Ampel Surabaya, Nur Hayati, “Di sini (IAIN Surabaya; red) telah membedakan antara jurusan MU yang diarahkan ke ranah Hukum Bisnis Islam atau lebih akademis dengan Ekonomi Syari’ah yang diarahkan ke praktisnya serta

DIMëNSI

mereformasi kurikulum yang ada di MU agar tidak terjadi ambiguitas antara Hukum bisnis Islam dengan lainnya” ungkapnya ketika ditemui di kantor fakultas syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tidak jauh berbeda di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sebagai salah satu kampus berbasis islam di kota Malang mereka sudah menerapkan kebijakan yaitu, membedakan antara jurusan Hukum Bisnis Syari’ah (baca MU; red) yang lebih bersifat akademis dan berada di bawah payung hukum fakultas Syari’ah dengan jurusan ekonomi syari’ah lain yang lebih bersifat praktis di bawah payung hukum fakultas ekonomi. Sedangkan untuk STAIN Tulungagung sendiri, Dede Nurrohman selaku ketua prodi MU mengatakan, “Dulu MU itu dipahami sebagai prodi yang membahas tentang hukum transaksi-transaksi islam yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Hukum-hukum fiqih terkait fiqih Mu’amalah bukan fiqih ibadah, tapi perkembangan sekarang ini MU ditafsirkan lain, ditafsirkan sebagai hukum ekonomi syariah, artinya dulu berorientasi pada kemahiran dalam hal hukum Syariah bidang MU sekarang ini sudah kontekstual karena perkembangan ekonomi syariah sudah dimana-mana, sehingga sekarang MU dimaknai hukum ekonomi syariah yang di dalamnya membahas tentang hukum, transaksi yang terjadi di institusi ekonomi syariah seperti perbankan syariah mengkaji landasan hukumnya, seperti apa akadnya apakah sesuai dengan islam, asuransi takaful (transaksi bisnis islam; red) serta pegadaian syariah. Sekarang MU tugasnya seperti itu,” Jelasnya. Sehingga secara substansinya di STAIN Tulungagung, MU mempelajari tentang hukum-hukum ekonomi syari’ah yang orientasi lulusannya dapat menjadi hakim di Pengadilan Agama yang berkompetensi di bidang penyelesaian masalah-masalah tentang transaksi ekonomi syari’ah. Namun dalam kenyataannya tidak tersedia beberapa mata kuliah wajib yang menjadi modal dan mendukung

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

lulusan MU untuk menjadi seorang hakim. “Jika memang lulusan MU diarahkan sebagai seorang hakim di Pengadilan agama yang berkompetensi di bidang transaksi syari’ah maka, beberapa mata kuliah yang wajib diberikan kepada Mahasiswa sebagai modal menjadi hakim nantinya diantaranya adalah mata kuliah Hukum Acara Perdata, Hukum Peradilan, Peradilan di Indonesia, Manajemen Kepaniteraan, Praktikum Simulasi Sidang dan lain sebagainya”. Ungkap Nur Hayati memberi tanggapan. Adanya anggapan antara program studi AS dengan MU adalah sama, membuat kondisi MU semakin parah. Pasalnya, masih banyak kesamaan mata kuliah yang diajarkan di kedua program studi tersebut. Te r c a t a t b a n y a k s e k a l i mahasiswa MU yang mulai memutuskan untuk pindah jurusan atau pun pindah kuliah di setiap tahunnya. Pada tahun 2008 tercatat, 44 Mahasiswa masuk prodi MU, kini tinggal 33 mahasiswa. Penurunan ini juga terjadi pada mahasiswa prodi MU angkatan 2009. Penurunan ini kemungkinan akan terus terjadi. Yusuf, mahasiswa MU transfer (PAI/IV), “sepemahaman saya MU itu lebih membahas tentang ekonomi, tetapi dalam prakteknya justru kebanyakan membahas masalah umum, hukum-hukum islam masuk juga bukan fokus pada ekonomi, jadi ya...gak fokus di ekonomi islam, akhirnya ingin pindah,” Terangnya. Dia juga mengatakan karena faktor keluarga juga mendukung untuk pindah, “Kalau dari keluarga memang ada saran ndang pindah ae, mumpung rung kadung, (segera pindah saja, sebelum terlanjur; red).” Hal ini memang tidak bisa dipungkiri ketika orientasi kurikulum yang tidak jelas tersebut. “Kalau mau melihat perkembangan ekonomi syariah di tataran institusional lembaga di kotakota besar akan nampak sekali, tetapi pertumbuhan di kota-kota kecil belum tampak walaupun sekarang sudah Halaman

41


Teras mulai berkembang.” Ungkap Dede menanggapi. Dia juga menambahkan, untuk wilayah Tulungagung memang jurusan tarbiyah (pendidikan) yang lebih perspektif, mengingat orientasi lulusan yang ingin langsung bekerja setelah lulus. “kelihatannya orientasi tarbiyah lebih perspektif karena lulus STAIN bisa langsung kerja, sementara MU tidak bisa langsung kerja di Tulungagung, karena lembaga syariah belum banyak di sini”, hal itu juga didukung kurangnya mahasiswa menangkap isu-isu atau tren yang sedang berkembang. “saya kira mahasiswa (kita) itu kurang bisa baca informasi yang berkembang. Saya kira itu mahasiswa belum bisa menyadari, kan mereka belajar hanya dari perpustakaan”. Masih Dede. Sirodjudin, Kepala Jurusan Syari’ah mengatakan, “Ya karena sama-sama syari’ah dan sama-sama mengkaji tentang hukum, jadi wajarlah kalau banyak yang sama. Hanya penekanannya yang berbeda,” terangnya ketika kami temui di kantor jurusan Syari’ah. “Bedanya MU mempelajari tentang bidang MU (Hukum ekonomi syari’ah) kalau AS tentang mawaris, munakahat, fiqih murni serta hukum-hukum konvensional seperti hukum perdata dan pidana. Kalau MU, memang disadari mengarah ke hukum bisnis islam dan ekonomi islam. Keduanya berkaitan karena bagaimanapun juga kalau ingin mamajukan ekonomi, kan juga butuh hukum. Jadi jelasnya kalau yang mengkaji hukum pidana-perdata itu di AS, yang hukum bisnis islam di M U . Te r u s e k o n o m i n y a m a u dikemanakan? akhirnya kita membuka program yang khusus perbank-kan

(Manajemen Perbank-kan Syari’ah; red), sama halnya dengan jurusan Ushuludin yang juga membuka prodi baru.” Imbuhnya. Program MPS (Manajemen Perbankan Syari’ah) Sebagai Solusi? Dalam kondisi yang seperti ini pihak kampus bukannya membenahi kurikulum maupun orientasi lulusan program studi MU malah membuka program studi baru di lingkungan jurusan Syari’ah yaitu program studi Manajemen Perbank-kan Syari’ah (MPS) yang mempunyai kurikulum dan orientasi lebih jelas daripada MU. Dede mengatakan “Pembukaan prodi baru ini jelas tidak ada hubungannya dengan mahasiswa yang pindah ataupun berkurang setiap tahun. MPS adalah prodi baru yang mempunyai konsentrasi, fokus, dan tujuan ingin mencetak mahasiswa yang juga berbeda dengan MU. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan mahasiswa yang pindah,” terangnya. Sedangkan Sirojuddin menambahkan, “Karena yang masuk STAIN ini kebanyakan lulusan umum, seperti SMA, SMK. Sedang rujukan yang digunakan pada program studi AS adalah kitab-kitab (kajian kitab), bahasa arabnya tinggi, sedang kalau dipaksakan pada mereka, ya...ndak bisa. Untuk itu kita buka MPS. Sedang soal gelar kita menunggu SK, sementara S.HI tetap berjalan, sedang S.EI menunggu keputusan menteri yang masih dalam proses biro hukum untuk MPS” ungkapnya. Menanggapi relevansi gelar S.HI bagi mahasiswa program studi MU dan AS, masih Sirodjudin, beranggapan problem relevansi gelar

S.HI bagi lulusan MU tidak hanya dialami oleh STAIN Tulungagung saja, tetapi juga dialami oleh PTAI di seluruh Indonesia, “Memang banyak yang tanya tentang gelar itu, tapi ini kan memang seluruh Indonesia mengalami seperti itu. DEPAG yang menentukan, bukan kita. Namun hasil dari rembug di Palembang hanya bisa sekedar mengusulkan,” terangnya. “Untuk sementara ini MU gelarnya S.HI, rancu sebenarnya. Namun pertemuan di Palembang pun belum membawa hasil yang jelas. Sehingga pemberian gelar S.HI tetap berjalan. Sedangkan gelar S.EI untuk MPS nantinya, masih menunggu keputusan menteri dan masih dalam proses biro hukum,” tambahnya. Sedangkan untuk perbedaan gelar antara program studi MU dengan MPS, Dede mengatakan, “Nanti, perbedaannya dari titel MU adalah S.HI sedangkan MPS adalah S.EI. Hal ini mengingat indikasi keilmuan dan prospeknya berbeda. MPS ini bisa masuk lembaga perbankan, cuma bekerja di wilayah manajemen operasional (karyawan, bagian lapangan), kalau MU perannya berada di luar manajemen lembaga, lulusan MU hanya melihat sejauh mana lembaga keuangan atau perbankan syariah ini bekerja.” Jelasnya. Akhirnya dengan kenyataan tersebut semakin perlu adanya reformasi pada program studi MU terutama pada kurikulum, serta orientasi lulusannya yang diarahkan ke hukum bisnis islam atau ekonomi syari’ah. Sehingga, tanggung jawab lulusan untuk mengabdikan diri di masyarakat juga didukung relevansi gelar yang sesuai. //@dib,wachid//

Halaman

42

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

43


Daerah Sendang termasuk daerah Tulungagung bagian barat yang selama ini terkenal dengan penghasil susu sapi, ternyata menyimpan potensi budaya yang sangat luar biasa. Tercatat ada banyak kesenian yang pernah ada di daerah sejuk ini. Mulai dari uyon-uyon, jaranan, reog, hingga ludruk semuanya masih aktif. Ada beberapa jenis yang masih aktif hingga sekarang, jaranan Jawa (baca; Jowo; red), sentherewe, turonggo, pegon dan masih banyak jenis jaranan kreasi lain yang menambah kesan bahwa Sendang menjadi sentra kebudayaan di lingkup kabupaten Tulungagung. Histori Jaranan Jawa Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan keberadaan jaranan Jawa berkembang di daerah Sendang. Menurut Priyanto, salah satu penari jaranan Jawa, seni jaranan sudah ada sejak zaman dia masih kecil bahkan menurutnya jaranan sudah ada sejak zaman kakeknya “Ket kulo cilik sampun wonten mas, (sejak saya masih kecil sudah ada mas; red),” ujarnya. Kesenian jaranan Jawa memiliki banyak perbedaan dengan kesenian jaranan yang lain. Yang paling menonjol adalah tarian dan gamelan yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan. “Di jaranan Jawa, jumlah gamelan yang kami pakai berbeda dengan jaranan pada umumnya” ujar

DIMENSI/Istimewa

Pertunjukan kesenian jaranan jawa di daerah Sendang

bapak yang aktif di Kelompok Jaranan Pandu Budaya ini. Kebanyakan yang ikut dalam paguyuban jaranan Jawa tersebut adalah laki-laki. Akan tetapi sebenarnya tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk mengikuti kesenian jaranan Jawa. “Ya... lumrahe ki sing melok lanang mas” (ya biasanya yang ikut itu laki-laki mas; red). Ia juga bercerita tentang kelompoknya yang sering mendapat undangan ke luar kota “Pernah dalam sebulan kami main di 3 tempat” ujarnya dengan rasa bangga. Sejarah tentang terciptanya jaranan Jawa di daerah Sendang sendiri ada tiga versi. Menurut Sukan, anggota kelompok jaranan Turonggo Wilis, jaranan Jawa yang berada di daerah Sendang masih berkaitan dengan Candi Jambangan dan Situs Mbah Bodo yang berada di daerahnya. “Dulu pernah ada yang melakukan penelitian mas tapi secara pasti saya belum jelas,” ungkap bapak

yang aktif di kelompok jaranan Turonggo Wilis. Dari sudut pandang lain, Pangat seorang mantan lurah desa Sendang bercerita, jaranan Jawa masih berkaitan dengan adanya Candi Penampihan yang berada di lereng Gunung Wilis. Kemudian versi terakhir menceritakan adanya jaranan Jawa ini tidak lepas dari peran Sunan Kalijogo dalam penyebaran agama islam di tanah Jawa seperti yang di ungkapkan Priyanto “jaranan jowo ini yang menciptakan sunan kalijogo untuk syiar agama islam”. Sedangkan dalam memainkan jaranan Jawa memiliki 6 babak dalam setiap penampilannya. Babak pertama ditandai dengan munculnya 6 orang yang menari, menggunakan jaranan. Yang menarik disini, keenam personil jaranan itu menggunakan jaranan yang tidak sewarna. Ada tiga warna yang dipakai melambangkan watak manusia yaitu hitam, putih dan merah. Kemudian babak kedua,

Halaman

44

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


selanjutnya muncul 2 orang yang menari. Setelah itu muncul 2 orang lagi menarikan tarian serupa. Dibabak keempat jumlah penari bertambah. Hal ini terjadi lantaran adanya tari tambahan seperti tari tetek melek dan barongan. Pada jaranan Jawa ada satu babak yang paling ditunggu dan diminati banyak penonton yaitu babak kelima. Pasalnya babak ini memunculkan karakter manusia baik dan buruk yang dinamakan pentul tembem. Selain itu dibabak ini juga ada tari celengan dan anjing. Di akhir babak muncullah 6 orang penari jaranan Jawa sebagai salam penutup. Secara keseluruhan jaranan Jawa melambangkan suatu proses kehidupan yang mana di dalamnya ada hal yang baik dan buruk. Seperti pada tari celengan yang dilambangkan sebagai binatang celeng atau babi yang artinya bahwa manusia kalau sudah mempunyai sisa kekayaan dianjurkan untuk nyelengi (menabung; red). Jaranan dibuat dan dimainkan sedemikian rupa penuh dengan makna dan hal positif atau mendidik yang tak jauh dari relaitas kehidupan. Seperti yang dituturkan Sukan dalam proses awal pembuatan jaranan ini sudah mengandung banyak makna terutama dalam kehidupan. “jaranan

itu terbuat dari deling (bambu; red) yang berarti kendel tur eling (berani dan ingat; red) kepada Yang Maha Kuasa setelah itu dalam proses ngenam (menganyam; red) mempunyai arti menata pikiran” ungkap bapak yang sudah mempunyai momongan dua. Ia juga menambahkan sebaiknya kalau sebuah tontonan itu bisa menjadi tuntunan bagi banyak orang. Regenerasi Banyaknya seniman jaranan yang sudah udzur menandakan bahwa mereka perlu sebuah regenerasi untuk tetap melestarikan kesenian tersebut. Penambahan pemain dilakukan agar kesenian ini ada yang melanjutkan, tidak berhenti pada generasi yang awal yang usianya pun sudah memasuki usia tua. Sehingga kesenian Jawa tetap terjaga. Sayangnya untuk hal ini tidak mereka lakukan secara rutin. Bahkan menurut pengakuan Sukan kurangnya anggota jaranan saat pementasan dapat mereka atasi dengan meminjam penari dari kelompok lain. “kalau kurang kami biasanya ngebon (pinjam; red) dari kelompok lain soalnya kalau cari yang baru kami harus melatih dulu biar bisa” ujarnya. Sedangkan dalam kelompok Mitro Utomo proses perekrutan para pemain baru biasa mereka lakukan

DIMENSI/Istimewa

Latihan untuk mengasah keahlian sebelum pentas

DIMëNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

pada bulan Agustus. “pas pentas Agustusan kami biasanya membuka perekrutan” ungkap pangat. Seni; Hiburan Bukan Penghasilan Bukan suatu rahasia lagi kalau kesenian jaranan Jawa tidak bisa dijadikan sebagai mata pencaharian para senimannya. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya profesi yang mereka lakukan sebagai penyokong ekonomi. Minimnya tanggapan untuk bermain menjadikan mereka berpikir dua kali untuk menjadikan jaranan sebagai ekonomi utama. Selain itu udaranya yang sejuk di daerah sendang sangat cocok untuk pertanian dan peternakan membuat para seniman jaranan ini menjadikan jaranan sebagai sarana hiburan untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Keadaan semacam ini membuat para pengurus kelompok kesenian jaranan Jawa berpikir untuk membangun suatu usaha yang dapat membantu ekonomi para anggotanya. Seperti yang dilakukan kelompok jaranan Turonggo Wilis. Mereka membuat suatu iuran semacam koperasi untuk menambah penghasilan. “Selain untuk menambah penghasilan dari sisa iuran kami dapat memperbaiki peralatan jaranan yang rusak” ujar Sukan salah satu pengurus kelompok Turonggo Wilis. Hal tersebut juga dilakukan di kelompok Mitro Utomo. Mereka mengadakan arisan untuk membantu ekonomi anggotanya. “Untuk membantu ekonomi anggota kami adakan arisan, tapi untuk saat ini masih libur dulu,” ungkap Pangat yang juga merupakan mantan lurah desa Sendang. Akan tetapi minimnya uang yang bisa mereka dapat dalam kesenian ini tidak serta merta membuat kesenian menjadi punah. Karena para seniman yang terjun dalam jaranan Jawa tidak memburu materi, akan tetapi memburu kepuasan batin dalam berkesenian. Salah satunya, kelompok jaranan Jawa Mitro Utomo yang telah berdiri sejak tahun 1971 mampu membuktikan bahwa uang bukan hal utama dalam berkesenian. (ban/tyas) Halaman

45


Seniman dan karya merupakan satu rangkaian seni yang tidak dapat dipisahkan. Setiap seniman tentu mempunyai cara tersendiri untuk mengapresiasikan karya-karyanya agar tetap eksis dan berkembang. Di lain pihak, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi keberadaan seniman dan karyanya untuk tetap eksis. Salah satunya adalah permasalahan ekonomi. Minimnya apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah terhadap hasil karya seni, membuat sebagian seniman melakukan pekerjaan sampingan untuk menunjang kehidupan dan juga karyanya. Nasib seniman yang minim apresiasi ini terjadi juga di kota Tulungagung yang terletak di pesisir pantai selatan Jawa. Kota yang selama ini dikenal banyak menyimpan potensi budaya, ternyata masih belum cukup mengangkat ekonomi para seniman yang berkecimpung di dalamnya. Karena minimnya apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat akan sebuah karya membuat banyak seniman di kota ini yang harus melakukan survive demi berlangsungnya kehidupan dan hasil karyanya. Perjalanan investigasi kru DIMëNSI bertemu seorang pelukis kaca yang dalam perjalanan hidupnya tidak hanya mengandalkan hasil karya lukisannya demi kelangsungan hidup keluarga. Maryoko (43) salah seorang seniman pelukis kaca di Tulungagung yang berjualan nasi demi mendukung kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan karena ia tidak bisa hidup hanya dengan menggantungkan diri dari penjualan karya seninya. “mengandalkan hidup dari karya di daerah sendiri sangatlah sulit, apalagi lukisan kaca yang

sedang di ambang kepunahan dan kematian” ungkap bapak tiga anak itu saat kami temui di sela-sela kegiatan melukisnya. Sebuah ruko kecil yang terletak di Jalan Pahlawan, Kedungwaru menjadi tempat bernaung bersama keluarga, berkarya dan menyambung hidup dengan berjualan nasi. Bangunan itu dibagi menjadi dua bagian. Sisi kiri digunakan sebagai warung nasi sedangkan sisi kanan digunakan untuk studio lukis, galeri dan ruang tamu. Masing-masing sisi mempunyai pintu rooling door berwarna coklat. Dari luar, bangunan tersebut tidak mencerminkan sama sekali tanda-tanda adanya pelukis, yang ada hanyalah selembar kain yang bertuliskan “warunge sedulur dhewe” yang menjadi tanda bahwa di situ merupakan warung. Sementara

itu di studio lukisnya tidak ada satupun barang mewah. Hanya ada kaca, cat, kuas dan beberapa lukisan yang sudah siap di pamerkan. Pria yang pernah diterima menjadi prajurit angkatan laut ini ingin membuktikan bahwa untuk bertahan hidup bisa dilakukan tanpa harus menjadi pegawai. Pria yang saat ini aktif di Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (KS2B) mulai aktif melukis sejak tahun 1988. tepatnya waktu duduk di kelas 2 SMAK dan belajarnya pun secara otodidak. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, demi memenuhi kebutuhan ekonomi dia membuka usaha warung nasi yang dimulai pada tahun 1991. Awalnya dia dan beberapa rekannya membuka usaha warung dengan dia sebagai koordinatornya. “dulu sebelum ada

DIMENSI/Kasful

Pameran lukisan kaca yang semakin jarang digelar di Tulungagung

Halaman

46

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMENSI/Kasful

Para pengunjung yang sedang menyaksikan lukisan kaca Maryoko di Galeri lukisan perdikan yang berada di timur SPBU Plosokandang. pecel lele terkenal seperti sekarang kami sudah jualan pecel lele sebagai menu utama” ungkapnya. Sampai akhirnya dia telah berhasil membuka warung nasi di rumahnya sendiri dan

DIMENSI/Bram

Maryoko

DIMëNSI

dikelola bersama istrinya. Selain berjualan nasi, dia tetap melanjutkan seni melukis kaca untuk menjaga kesenian dari kehidupannya yang pernah ia lakoni sejak usia muda, “ukuran seorang seniman itu terletak di sebuah karya, kalau tidak ada karya berarti dia bukan seniman” imbuhnya. Oleh karena itu untuk membuktikan eksistensinya sebagai pelukis kaca, setiap malam Maryoko selalu meluangkan waktu untuk melukis. “jadi, pagi jualan nasi malamnya untuk melukis,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa seorang seniman tidak bisa hanya mengandalkan hasil karyanya saja untuk bertahan hidup dan seorang seniman harus bisa memposisikan diri di masyarakat. “seorang seniman harus multidimensi artinya harus bisa berproses pada selain yang ditekuninya dan dengan berkesenian bisa menciptakan karya untuk kepentingan diri sendiri maupun

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

orang lain”. Maryoko adalah bagian kecil dari seniman yang hidup dengan tetap mempertahankan seni dan budaya. Meskipun dengan berjualan nasi di rumahnya demi bertahan hidup, tetapi semangat dalam berkarya tidak pernah pudar sedikitpun dalam dirinya. Seperti itulah kondisi seniman sekarang ini, semakin tergerus perkembangan globalisasi. Kondisilah yang memang membuat seniman mencari jalan lain untuk bertahan hidup selain mengandalkan karya. Kurangnya apresiasi dari masyarakat terjadi karena memang media yang menjadikan kondisi tersebut, didukung dengan minimnya perhatian pemerintah bahkan soal komunikasi. Seharusnya apapun yang dilakukan seorang seniman setidaknya mendapatkan dukungan maupun penghargaan dari pemerintah baik daerah maupun pusat. //Bram, Nike, Bnti// Halaman

47


Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Bahkan identitas sering dianggap patokan, yang secara absolut melekat pada diri seseorang atau komunitas.Tetapi apabila ditelusuri lebih dalam, maka pernyataan di atas tidak lagi relevan. Sebab, terkadang identitas dirasakan seperti mengambang, yang dapat dengan mudah terombang-ambing oleh keadaan. Apabila, dikaitkan dengan situasi empiris identitas ternyata bersifat fleksibel, dapat menimbulkan konflik, dan negosiasi. Dalam buku ini T.K Oommen mendalami masalah identitas dengan mengaitkannya dengan konsep kewarganegaraan, kebangsaan dan etnisitas. Yang notabene merupakan identitas yang bersifat sosial yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Kewarganegaraan, kebangsaan, dan etnisitas adalah tiga istilah yang sering diucapkan orang. Negara, bangsa, dan etnis adalah akar dari tiga konsep di atas bahkan sudah kita gunakan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ke

tiganya di konseptualisasi ulang oleh penulis dengan alasan ketidak tepatan dalam

konsep memiliki tanggung jawab yang besar. Buku yang berjudul asli “Citizenship, Nationality, and Ethnicity: Reconciling Competing Identities� dan versi bahasa Indonesianya, “Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas� ini terdiri dari tiga bagian besar. Setiap bagian memiliki bab-bab yang secara runtut penggunaan menguraikan satu konsep yang berakibat demi satu dari konsep tersebut. pada penjelasan dan analisis yang Secara analitis pada bagian salah, perubahan mendasar pada pertama membahas permasalahan situasi empiris konsep; sementara dalam hal definisi bagian kedua DATA BUKU dari waktu ke berhubungan Judul buku : Kewarganegaraan, waktu, dan dengan proses Kebangsaan, dan perubahan dasar empiris etnifikasi; Etnisitas dari situasi dan bagian ketiga (Mendamaikan empiris di mana menitikberatkan Persaingan konsep tersebut pada penyelarasan Identitas) Penulis : T. K Oommen digunakan. ulang antara Tebal Buku : 416 halaman T.K Oommen, konsep dan Penerbit : Kreasi Wacana seorang sosiolog realitas. Cetakan : Agustus, 2009 asal India Pada bagian sekaligus peneliti pertama buku ini dalam ilmu-ilmu sosial merasa perlu menuturkan landasan kontekstual mengadakan pengkajian ulang atau penjabaran konsep, yang tehadap konsep kewarganegaraan, dijadikan bahan kajian. Bagian ini kebangsaan, dan etnisitas. Oleh terdiri dari bab-bab yang berguna karena itu, mereka yang dalam membangun konsep menciptakan dan menggunakan pembaca sebelum melanjutkan

Halaman

48

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


pada proses empiris di bagian kedua. Dalam bab pertama disebutkan tentang generalisasi isi buku yaitu buku ini mengkaji tiga konsep yang sudah disebutkan sebelumnya, serta menguji kemampuan ketiganya untuk diterapkan dalam berbagai situasi empiris. Seterusnya, disebutkan dan dijelaskan alasan perlunya pengkajian ulang; sampai proses etnifikasi. Pada akhir bab pertama, penulis mencoba mengajukan definisi tiga konsep tersebut, tidak ketinggalan adanya skema buku yang pasti akan mempermudah memahami isi buku. Pada bab kedua, penulis menyebutkan tentang pentingnya pengkajian ulang, yang beberapa alasannya sudah dibahas pada bab pertama lengkap dengan uraian setiap istilah secara eksklusif, disertai dengan pandangan para akademisi lain. Hal ini menurut apa yang diyakini penulis bahwa, sebelum dia menjelaskan tentang tiga konsep tersebut, diperlukan suatu pemahaman mengenai apa arti istilah negara, bangsa, dan etnis. Seterusnya pada bab kedua dan ketiga, menguraikan tentang tumpang tindih diantara tiga konsep tersebut dan diakhiri dengan penjelasan dari peryataan “Baik ras maupun agama tidak relevan bagi pembentukan bangsa.� Menurut Oommen, baik ras maupun agama memiliki sifat eklusif, misalnya jika seseorang dari suatu ras menikah dari ras yang berbeda maka akan terjadi semacam perkawinan campuran yang pasti akan merusak definisi ras itu sendiri. Agama merupakan urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan-nya. Selain itu kondisi minimal bagi sebuah bangsa untuk bangkit dan bertahan hidup adalah faktor tanah air dan kemampuan untuk berkomunikasi. Bagian kedua, membahas tentang perjalanan historis yang oleh penulis disebut sebagai sumber utama proses etnifikasi. Menganalisis tentang 4 episode

DIMĂŤNSI

sejarah yaitu; kolonialisme dan ekspansi Eropa, internasionalisme proletarian dan negara sosialis, negara-bangsa dan proyek homogenisasi, imigrasi dan chauvinisme kemakmuran. Pada bagian kedua ini, penulis menjelaskan konsep kewarganegaraan, kebangsaan, dan etnisitas melalui penelusuran tema-tema yang ternyata tidak sederhana. Dalam ilmu sosial kontemporer, masalah tiga konsep di atas tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa-bangsa di dunia yang akan diketahui lewat penelusuran tersebut. Etnisitas sebagai produk dari ketidakselarasan antara teritori dan budaya, sedangkan etnisitas yang didasarkan pada kebangsaan dan etnisitas tidak akan tertutup oleh modernisasi karena pemerintahan kontemporer menjadi semakin heterogen akibat dari adanya migrasi. Bagian ketiga, penulis mencoba menarik benang merah diantara konsep-konsep tersebut. Walaupun, sejak bab pertama T.K Oommen berniat untuk membedakan ketiganya. Akan tetapi adanya suatu usaha yang disebutnya mendamaikan tetap perlu dilakukan. Karena, pada hakikatnya ketiga konsep tersebut berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga, apabila kita hanya berusaha untuk membedakan tanpa mencari relasi diantaranya, maka dapat disebut jika usaha tersebut timpang dan sia-sia. Dalam bagian ketiga ini ibarat kesimpulan dari keseluruhan isi buku. Dimulai dari usaha Oommen untuk mengkonseptualisasi ulang ketiga konsep tersebut. Lalu, penulis di bidang sosiologi ini, menguraikan berbagai langkah-langkahnya guna mendamaikan yang disebut penulis menuju hubungan yang harmonis. Akhir bagian ketiga dibahas sekilas tentang perbedaan kewarganegaraan dan kebangsaan. Bahwa wacana

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

tentang ketidaksetaraan individu dan identitas kelompok bisa dirundingkan melalui kewarganegaraan (pemberian status kewarganearaan tanpa mempertimbangkan latar belakang individu) dan melalui pluralisme yaitu keselarasan diantara kelompok identitas. Buku yang terinspirasi dari usulan Anthony Giddens ini secara umum memaparkan tentang identitas, sebuah kajian yang biasanya hanya di subyekkan pada satu individu, dan oleh penulis di hubungkan dengna kehidupan bermasyarakat, yaitu peran warga negara, bagian dari bangsa dan etnis. Pengkonsepan ulang yang coba dilakukan oleh penulis tidak jauh berbeda dengan konsepkonsep yang ada, bahkan penulis tidak memaparkan secara gamblang tentang konsep dari etnis yang merupakan salah satu konsep dasar pembahasan buku ini. Bagi pembaca pemula perlu fokus dan konsentrasi penuh perlu dikerahkan untuk memahami buku yang terdiri dari 371 halaman ini. Akhirnya, buku yang berlatar belakang masalah sosial ini, patut dibaca oleh semua orang. Bukan hanya oleh orang-orang yang berkecimpung atau berasal dari area sosiologi, antropologi serta budaya. Untuk mempertegas konsep dan teorinya, T.K Oommen juga menghadirkan pandangan dari para akademisi lain lengkap dengan analisa mengenai argumen tersebut. Hal ini semakin menambah nilai plus buku ini. Akan tetapi sayangnya, tidak adanya penjelasan tentang istilah asing akan mempersulit pemahaman pembaca. Pasalnya, banyak istilah dalam ilmu sosial yang mungkin jarang terdengar. Tetapi terlepas dari itu semua, buku ini layak mendapat prioritas dalam daftar belanja buku terutama bagi pengamat ilmu sosial dan politik. //Reni// Halaman

49


Struktur masyarakat tidak berkaitan dengan realitas empiris, tapi dengan model-model yang disusun di belakangnya (Levi-Strauss) Buku berjudul “Tradisi dalam struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan (Alihubah Model Berpikir Jawa)” ini merupakan salah satu hasil penelitian dalam bidang Antropologi khususnya tentang kedudukan penguasa. Penulisnya, PM. Laksono, merupakan seorang ahli antropologi asli Jawa di Universitas Leiden Belanda. Pengarang memusatkan perhatiannya pada tradisi masyarakatnya, dan satu tugas tradisi adalah berdiri diatas realitas sehari- hari, dan merumuskan serta menegakkan cita-cita, kaidah- kaidah dan tujuantujuan. Pada awal bukunya, Laksono mulai membentuk model untuk manginterpretasikan data tentang orang Jawa. Ia mengikuti pendapat Heesterman, dengan memperkenalkan dua komponen dasar modelnya yaitu tradisi di satu pihak transendental (lepas dari situasi aktual) sementara itu juga harus imanen (punya relevansi langsung dengan perubahan ). Karena berupa tesis maka pada bab pertama, pengarang menjelaskan latar belakang

permasalahan yang berupa strukturisasi masyarakat jawa, dengan memberi batasan wilayah

kerajawian Jawa (hal yang membahas tentang kuasa dan peranan raja) dalam model matriks empat bidang. Konsep “transendental” versus “imanen” yang dipadukan dengan oposisi pasangan “teoritis” versus “praktis”. Laksono menyebut konsep ini sebagai “paradoksal” atau mendua dengan ciri mengambil jalan tengah. Ia mengambil teritorial daerah contoh dengan membandingkan kejawen. Pemaparan konsep yang kebudayaan Jawa dengan berkenaan dengan judul yang Hinduisme di India. Kebudayaan berkiblat pada pola pikir lavi-strauss Jawa sangat dipengaruhi oleh terutama yang Hinduisme India, berhubungan akan tetapi orang DATA BUKU dengan struktur Jawa menolak masyarakat. sistem kasta dan Judul buku : T r a d i s i d a l a m struktur Masyarakat Sebagaimana posisi supra dalam Jawa: Kerajaan dan penulisan tesis ajaran Hindu. Ciri Pedesaan (Alihubah pada umumnya paradoksal ini Model Berpikir Jawa) yang memerlukan selaras dengan Penulis : Pascalis Maria Laksono model pendekatan mitologi Jawa. Tebal Buku: 216 halaman sebuah metode Dalam Penerbit : Kepel Press, Yogyakarta dalam melakukan pewayangan, Cetakan : 2009 analisa dengan posisi tokoh Semar memperhatikan begitu paradoksal gejala yang dialami maupun ynag (kontroversi), dan sentral. Semar dihadapi para partisipannya. adalah dewa yang kedudukannya di Pengarang memulai bab atas Satria, namun disisi lain ia kedua dengan meletakkan adalah pelayan yang tentu saja

Halaman

50

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


kedudukannya di bawah Satria. Sosok semar melambangkan segala paradoks, di situ juga terletak pusat orientasi kepercayaan jawa, yaitu suwung awang uwung atau sesuatu yang “tidak bisa diterangkan dan di deskripsikan�, atau perpaduan aspek (transenden, esensial, imanen, dan eksistensial) secara sempurna. Selanjutnya, penulis melakukan analisa pada struktur lakon Sudamala. Kerajawian jawa terdiri dari pendekatan yang berisi konsep-konsep kerajawian jawa yang telah di jelaskan beberapa ahli, pemaparan dilanjutkan pada kerajawian jawa dalam pewayangan dengan mngambil tokoh semar sebagai contoh. Dalam kerajawian jawa tokoh raja sebagi sentra peran yang di amati maka terdapat beberapa syarat menjadi raja idaman yang di gambarkan dalam sebuah bagan sehingga memudahkan pembaca memahaminya. Kerajawian pada prakteknya tampak pada tokoh Diponegoro, yang dalam cerita dijabarkan telah melakukan tapabrata dan mengikuti model kerajawian secara konsisten. Karena ia telah berusaha meninggalkan diri dari kehidupan materi menuju ketitik 0, yaitu manunggaling kawula gusti, untuk menjadi raja. Selanjutnya Diponegoro berhasil neges karsaning Pangeran ( menangkapa pesan atau titah yang turun lewat tokoh supraalami seperti Sunan Kalijaga, Nyai Rara Kidul dan suara misterius). Sebagai buktinya ia memiliki panah Sarotama, panah

DIMĂŤNSI

wasiat Arjuna satria Pandawa yang cakap, sakti, dan gagah berani. Namun di sisi lain, Diponegoro secara paradoks membawa dirinya pada hidup untuk mencari kekuasaan dan materi dengan jalan perang. Bab tiga khusus membahas Bagelen (lokasi penelitian), yang merupakan tempat kelahiran pengarang. Tak mengherankan jika penjelasan tentang daerah ini banyak dipengaruhi oleh pengetahuan pengarang. Bagelen merupakan salah satu daerah diwilayah Mataram yang memilki cara pembagian wilayah menurut konsep “macapat�. Konsep tentang desa dengan empat tetangga desa dan Bagelen berada tepat ditengahtengahnya. Dalam bab ini juga dijelaskan bahwa orang Jawa sadar betul dengan perbedaan status sosial dan kekayaan. Namun mereka juga sadar bahwa kekayaan tanpa diimbangi distribusi akan menjauhkan individu dari pusat orientasi sehingga menyalahi model manunggaling kawulo gusti. Pada bab terakhir penulis memaparkan ringkasan dari tiga bab sebelumnya. Ia menarik tiga kesimpulan yaitu bahwa masyarakat Jawa memiliki keteraturan berstruktur, memiliki dinamika yang kompleks, dan masyarakat Jawa tidak bisa disamakan dengan masyarakat kasta atau kelas. Sebagai sebuah buku, peresensi berpendapat perlu adanya beberapa revisi. Hemat peresensi seharusnya bab pertama dan terakhir perlu banyak

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

penjabaran dengan sedikit banyak menanggalkan kesan sebagai sebuah tesis. Buku harmoni dalam budaya jawa yang berupa resensi dari tulisan ronggeng dukuh paruh milik Ahmad Thohari yang ditulis oleh Drs. Moh.Roqib,M.Ag dirasa lebih sarat informasi kejawen dibandingkan buku ini. Keragaman misteri kebudayaan masyarakat jawa dapat ditilik dari berbagai macam sudut, dan penulis memandang tradisi jawa (kejawen) dari angel struktur masyarakatnya, dan alasan pengambilan angel ini pun kurang kuat. Berbeda dengan Dr.Paul Stange yang mengambil obyek kebatinan dari kehidupan masyarakat jawa dalam bukunya yang berjudul Kejawen Modern, yang menjabarkan alasannya dengan sangat detail dan kuat. Namun buku ini menarik dibaca karena didalamnya juga terdapat analisa dari lakon pewayangan maupun tembang, yang sangat jarang ditemukan oleh pembaca. Pemahaman detail lokasi penelitian juga merupakan khasanah baru yang memperkaya khasanah budaya jawa. Pemilihan kata mudah dicerna oleh pembaca, begitu pula dengan struktur pnullisan juga mudah di mengerti sebagaimana struktur penulisan skripsi/ tesis. Walaupun topik yang dibahas dalam buku sudah sering dibahas namun, dengan modifikasi ala pengarang sehingga ia dapat membuat penjelasan masalah dalam buku ini terasa berbeda. //Rina//

Halaman

51


Oleh : Halimatus Sa’diyah S.HI.

Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Tulungagung

Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya, semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya (Sorjono soekanto, pokokpokok sosiologi hukum:83)

St r a t i f i k a s i s o s i a l a d a l a h pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal dalam kehidupan sosial yang berdasarkan pendistribusian yang tidak seimbang, seperti sandang pangan dan tempat tinggal. Stratifikasi sosial seringkali didasarkan pada kekayaan, kehormatan, dan mungkin pengetahuan. Jadi, ketika berbicara tentang stratifikasi sosial, biasanya akan lebih banyak mengkaji ikhwal posisi yang tidak sederajat antar orang atau kelompok dalam masyarakat. Stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial. Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial saat ini adalah; dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial) dan politik (penguasa dan yang dikuasai). Menurut Jeffris dan Ransford (1980), pada dasarnya, bisa dibedakan tiga macam stratifikasi sosial.1 yaitu; 1. Hierarki kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa. 2. Hierarki kekuasaan, yang didasarkan pada kekuasaan. 3. Hierarki status, yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial. Stratifikasi sosial pada akhirnya juga mempengaruhi peran hukum dalam proses penegakannya. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial dalam masyarakat tersebut. Semakin rendah status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin banyak perangkat hukum yang mengaturnya. Sebaliknya, semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan

kehormatan, semakin sedikit perangkat hukum yang mengaturnya. Keadaan seperti itu sangat bertentangan dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status dan sebagainya (persamaan di depan hukum) yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Pada prakteknya, kesenjangan pemberlakuan hukum dalam menindak perkara yang dilakukan oleh masyarakat dalam strata sosial yang berbeda dapat dilihat dalam berbagai kasus. Misalnya, ketika seorang hakim harus mengadili tiga orang pencuri ayam, dengan tiga kasus yang korban, waktu, dan lokasi pencuriannya berbeda, maka dikatakan secara normatif, peraturan hukumnya persis sama, yaitu semuanya harus mengacu pada ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang unsur tindak pidananya terdiri dari: “Setiap orang yang mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk menguasai atau seolah-olah memiliki (karena tidak mungkin si pencuri memiliki legal hasil curiannya) dan dengan cara melawan hukum.� Namun secara sosiologis, aplikasi Pasal 362 KUH Pidana tersebut tidak mungkin persis sama. Misalnya, fakta yang terungkap di persidangan pengadilan.2 1. Pencuri pertama, mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep anaknya yang sedang sakit keras, yang jika resep itu tidak tertebus maka anaknya kemungkinan besar akan meninggal dunia; 2. Pencuri kedua, mencuri ayam dengan motif untuk memperoleh uang untuk bisa

Halaman

52

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


bermalam minggu dengan pacarnya; 3. Pencuri ketiga, mencuri ayam dengan motif membeli narkoba. Dalam penentuan keputusan perkara tersebut, jika seorang hakim itu baik, maka tidak mungkin menjatuhkan vonis yang persis sama kepada tiga pencuri tersebut. Kemungkinan hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal ancaman pidana untuk pencurian terhadap pencuri ketiga yang mencuri karena untuk membeli narkoba, dengan pidana sedang untuk pencuri kedua yang mencuri demi dapat bermalam minggu dengan pacar dan dapat dijatuhkan pidana percobaan saja, untuk pencuri pertama yang mencuri demi dapat menebus resep maka dapat dibebaskan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pencuri ketiga (yang mencuri dengan motif membeli narkoba) adalah putra pejabat? Akankan mendapatkan ancaman maksimal ataukah bebas dengan tebusan? Pada kasus di atas, penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak diatur secara ketat oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (LaFavre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFevre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).3 Dalam pandangan masyarakat yang berada dalam status sosial ini memberikan gambaran singkat tentang bagaimana hukum melegitimasi, dan secara paksa mendukung, sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Kekuasaanlah yang menyebabkan represi. Semakin lemah sumber daya tatanan politik, dalih “penjagaan perdamaian� akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo. Pemegang kedaulatan awal meminjam kekuasaan dari mereka yang kuat, sehingga mendukung hierarki hak-hak istimewa. Institusi-institusi politik yang lahir kemudian tetap terdistorsi oleh

DIMĂŤNSI

partisipasi yang tidak seimbang dari mereka yang berkuasa dan mereka yang lemah4. Meskipun menurut Mochtar Kusumaatmaja, sebenarnya keberadaan hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Akan tetapi dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya, ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukannya dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe ini dapat dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Sehingga konsep law as a tool of social engineering-nya Roscoe Pound yang merupakan inti dari pemikiran aliran Pragmatic Legal Realism dapat diterapkan, dan hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum yang memenuhi kebutuhan atau disebut hukum responsif. Sayangnya, di Indonesia, yang menonjol adalah perundangundangan yang lahir atas konspirasi politik kekuasaan saja tanpa sepenuhnya berdasar pada kebutuhan masyarakat, sehingga aliran positivisme hukum sangat kental di negara kita, yurisprudensi berperan namun tidak seberapa. Bias yang dirasakan oleh masyarakat adalah mudahnya menjerat pencuri kakao, semangka atau pisang daripada menjerat seorang pejabat negara yang pencuri uang negara berjumlah milyaran rupiah. Ironis bukan? Sehingga pendapat teori Karl Marx memberikan penegasan bahwa hukum merupakan sarana yang dipergunakan oleh pihak memegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya. Dan penulis sepakat dengan teori tersebut bahwa hukum adalah produk politik (kekuasaan) yang memandang hukum sebagai

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan apakah hukum yang mempengaruhi ada 3 macam jawaban untuk dapat menjelaskannya. 5 Pertama, Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturanaturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atas kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain. Karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa, dengan, misalnya, memaksakan tanggung jawab kepada, namun mengabaikan klaim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah. Sebagai contoh, ketika cita-cita liberal tentang kontrak dan persamaan menghapus hukum kebiasaan tentang tuan dan pelayan, cita-cita tersebut juga mengurangi kapasitas hukum untuk melihat kenyataan tentang kekuasaan dalam hubungan perburuhan. Kebebasan berkontrak memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga meletakkan dasar bagi hubungan subordinasi yang tidak diatur.6 Derrida dalam Positions (1981) mengungkapkan bahwa sejak kekerasan dalam hukum selalu terlupakan oleh perjalanan waktu dan tersembunyikan oleh berbagai fiksi tentang moralitas penegak hukum. Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya kekerasan dan diskriminasi yang diproduksi oleh berbagai produk hukum dan Halaman

53


menganggapnya sebagai keharusan moral dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh tindakan penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar.7 Sumbangan Aristotles yang dipandang sangat besar bagi pemikiran hukum tentang hukum dan keadilan sampai sekarang, adalah pembedaannya tentang keadilan distributif dan keadilan korektif (friedmann, 1953:9). Keadilan yang distributif menyangkut soal pembagian barang-barang dan kehormatan masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum. Jika A mendapat 2 maka B pun mendapat 2 pula. Sedangkan keadilan korektif yaitu memberikan ukuran bagi menjalankan hukum sehari-hari. Dalam mejalankan hukum sehari-hari kita harus mempunyai suatu standar yang umum guna memperbaiki (memulihkan) kosekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Pidana memperbaiki kesalahan perdata, ganti rugi mengembalikan keuntungan yang diperoleh secara salah. Standar tersebut harus diterapkan tanpa melihat orang dan untuk semuanya tunduk kepada standar yang objektif.8 Manusia di dalam pergaulan, pada dasarnya memiliki pandanganpandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pandangan-pandangan tertentu, sehingga misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme.

Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut diserasikan, seperti, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketentraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto 1979). Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret. H u k u m d a l a m U paya Demokratisasi Hukum ada karena diperlukan sebagai alat pengatur masyarakat dimana dalam masyarakat yang majemuk akan semakin komplek. Hukum dapat mencapai tujuannya apabila dapat menyeimbangkan kepastian hukum dan keadilan, atau keserasian antara kepastian yang bersifat umum atau objektif dan penerapan khusus yang bersifat subjektif. Sementara demokrasi adalah menyangkut, perilaku, dan struktur sosial yang relatif mapan, sehingga pembaruan terhadap hukum yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia akan membutuhkan waktu relatif lama. Hal itu, masalahnya bukan saja menyangkut berupa perundang-undangan, kebijakan administrasi atau putusan hakim, tetapi menyangkut pula kesadaran hukum dan struktur sosial yang menopangnya. Hal itu berkaitan dengan proses demokratisasi yang menyangkut transformasi sosial lebih

luas. Sehingga bangsa Indosesia harus menjadikan hukum sebagai mekanisme bersama yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap prosesnya. Dalam hal ini, hukum tidak lagi semata mata dipandang sebagai mekanisme pragmatik untuk menyelesaikan konflik secara damai. Oleh karena itu, hukum harus terbuka pada kemungkinan adanya selfregulation atau social agreement baru di tengah masyarakat sebagai cara untuk menghidupkan kembali kapasitas dan kreativitas masyarakat dalam mengatur dan menyelesaikan konflik yang dialaminya secara damai. Di samping itu, upaya pembaharuan hukum harus diletakkan dalam konteks tranformasi sosial yang lebih luas. Yakni tidak hanya memenuhi kebutuhan yang bersifat temporal saja, seperti demi stabilitas politik atau pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih dari itu harus dipandang sebagai bagian dari upaya untuk mentransformasikan sistem sosial yang timpang dan diskriminatif. Hukum harus dioperasikan sebagai strategi untuk membongkar kekerasan yang tersembunyi di dalam masyarakat Indonesia serta merekonstruksikan kembali ke dalam bentuk yang lebih adil dan demokratis. Footnote 1

Philippe Nonet & philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung 2008 hal 49-51 2 Ahmad ali, Prof. Dr. M.H. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana, 2009, hal 1-2 3 Soerjono Soekanto, Prof. dr. M.H. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Hukum, RajaGrafindo Persada, jakarta, 1993, hal 3-5 4 Soedjono Dirjosisworo, Dr. S.H. Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2000, 5 Ali Syaifuddin Sosiologi Hukum 6 Sacipto Raharjo, Prof. Ilmu Hukum 7 _________ Pokok-pokok sosiologi Hukum, I 8 Lili Rasjidi, Prof. Dr. dan Ira Thania Rasjidi M.H. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya, 2004, hal 79

Halaman

54

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Oleh: Moh.Aziz Subhan

Mahasiswa TBI/IV, aktif di Teater PRO-Test dan LPM DIMeNSI STAIN Tulungagung

Paradigma kritis dalam pendidikan merupakan perjuangan politik yang menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat tempat mereka berada. Urusan pendidikan haruslah melakukan refleksi kritis terhadap “ The Dominant Ideology ‘’ kearah transformasi sosial. ( Mansoer Fakih) DIMëNSI

Penyakit Pendidikan itu ‘Hegemoni’ Selama ini terlihat jelas bahwa pendidikan kita terpengaruh atau terjun langsung kepada ideologi kapitalisme dimana kita hanya menjadi objek dari regulasi sistem pengetahuan dan sistem sosial yang tercipta sebelumnya. Padahal pada hakikatnya pendidikan itu berfungsi sebagai alat untuk menciptakan pribadi-pribadi yang mandiri, tahu akan potensi bukan menjadikan kita seorang yang memiliki rasio perkakas atau subjek yang menjalankan instrument pengetahuan tanpa mampu mengendalikan, mengkritisi atau mengembangkannya. Pandangan pendidikan yang seperti ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Karl mark. Selain itu pendidikan hanya berfungsi sebagai industri manusia yang kelak akan membantu para pemilik modal atau kapitalisme bukan berdiri sendiri dan terintervensi dari pihak manapun. Lalu timbul pertanyaan, apa bedanya antara robot dan manusia yang memiliki akal budi dan perasaan? Jika pendidikan digunakan sebagai kiblat pencerdas bangsa kita berupa imporan pengetahuan seperti yang dikembangkan di lembaga pendidikan nasional, maka unsur dominasi dan hegemoni telah mempengaruhi pola pikir rakyat Indonesia. Dan ‘Hegemoni’ ini menjadi penyakit dalam dunia pendidikan kita. Seperti dalih seni digunakan pada penyikapan masalah pornografi. Pornografi dianggap

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

sebagai sebuah seni sehingga ketika masyarakat menilai pornografi dari segi agama atau etika tidak titik temu karena sudah dijustifikasi bahwa pornografi sebagai seni, hal ini karena sudah terpengaruh oleh budaya barat. Kecenderungan ingin berfikir sendiri, mau menang sendiri dan tidak mau berdialog dengan yang lain. Ini menunjukkan bahwa nalar ‘Eropa’ telah menancap dalam darah daging dan penguasaan telah menjadi pondasi berfikir yang akhirnya nalar tersebut menghilangkan dimensi humanis menjadi dimensi individual. Karena dimensi ini dibangun melalui epistemologi We and Other yang berujung pada hegemoni, dominasi dan penindasan. Belum lagi dengan apa yang terjadi pada pendidikan Islam. Pola pengembangan dan pelaksanaan pendidikan Islam masih terlalu profan sehingga semangat praksis emansipatoris masih kurang dan parahnya epistemologi pengembangan pendidikan Islam mengedepankan semangat vertikal atau masih condong dalam satu sumber ilmu dominan, dalam bahasa jawanya bisa dicontohkan siswasiswa masih sendiko dawuh kepada gurunya, dan menganggap semua apa yang dikatakan oleh gurunya itu b e n a r. U n t u k m e n g a r a h k a n pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang memuat basis paradigma kritis transformatif, maka kurikulum tersebut harus bersifat horizontal yaitu pendidikan yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara teori dan praktik, antara ilmu dan Halaman

55


perbuatan dalam kehidupan nyata sehingga tidak terjadi berat sebelah. Akhirnya, persoalan yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia belum mampu menciptakan berbagai alternatif pendidikan yang kritis transformatif. Pendidikan Kritis Sebagai Solusi. Dalam kondisi seperti itu, sudah sepatutnya ada perubahan dalam pelaksanaan pendidikan di Negeri ini, dengan konsep pendidikan kritis transformatif menuju pendidikan yang seutuhnya. Konsep awal pendidikan kritis transformatif berpijak pada madzab kritis dan semangat posmodernisme, kedua pemikiran ini telah mengkritisi keberadaan pemikiran eropa, sehingga mengkritisi nalar Eropa dengan nalar Eropa pula. Secara historis kritik terhadap modernisme telah muncul pada tahun 1870, munculnya kritik ini dimulai karena merespon gerakan industrialisasi yang didengungkan oleh Karl Mark dan pada tataran epistemologi dilakukan oleh Nietzche, Michael Foucault dan Jaques Derrida. Dari sinilah, kemudian kritik terhadap modernisme mulai menggejala dan menjalar ke seluruh lini kehidupan tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Kritik ini muncul dikarenakan gerakan pemikiran modernisme yang memahami manusia hanya dari satu dimensi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, artinya relasi manusia hanya dilihat dari dimensi kerja tidak dari yang lain dan pada akhirnya muncul efek yang menjulur pada pendidikan yang nantinya menjadi objek industrialisasi pendidikan. Untuk menghindari itu,

pendidikan harus diarahkan menuju pendidikan kritis, sehingga bukan nalar-nalar industri yang terbentuk, namun nalar yang kritis dibangun dengan transformatif untuk mewujudkan pendidikan yang seutuhnya. Beberapa prinsip pendidikan kritis menurut telaah Morison dalam tulisaannya, pandangan Giroux menguraikan beberapa prinsip pendidikan kritis yaitu diantaranya memberikan perhatian lebih pada kegiatan akademik tradisional dengan menciptakan kembali sekolah sebagai wilayah publik yang

www.google.com

demokratis, mengedepankan etika, dan wilayah solidaritas sehingga melahirkan bahasa-bahasa kritis. Dengan melihat masalah tersebut, pendidikan kritis menjadi salah satu jawaban. Dimana tujuan pendidikan kritis transformatif adalah membuat peserta didik secara ideologis lebih kritis dan memiliki

pandangan untuk melakukan emansipasi. Menurut Ali Maksum dan Luluk Yunan membentuk peserta didik yang mampu menentang adanya struktur dan hierarki pengetahuan. Dalam program-program lembaga pendidikan itu adalah mengentaskan masyarakat menuju dunia yang lebih adil dan makmur. Rakyat (peserta didik) menjadi lebih partisipatoris, diberi ruang untuk mengidentifikasi persoalan mereka sendiri, merumuskan, menganalisis dan menentukan paradigma yang tepat digunakan untuk melaksanakan agenda aksi di lapangan. Hal ini bermanfaat pada terbentuknya masyarakat yang mandiri, berkeadilan, dan tidak ketergantungan dengan pihak lain. Dan untuk peserta didik sendiri yaitu menyiapkan bekal dalam menghadapi dan memecahkan problem hidup dalam kehidupan pribadi mandiri, masyarakat, maupun sebagai warga Negara. Hal ini sesuai dengan pandangan tokoh pendidikan Freire, bahwa pendidikan sebagai pilot project dan agen perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Nah, peran dari pilot project sendiri yaitu mengantarkan peserta didik mencapai kesadaran kritis, sehingga pendidikan bisa dengan sendirinya berperan melakukan emansipasi terhadap dominasi politik yang sebelumnya membelenggu peserta didik, kuncinya ada 3 hubungan dialektis yaitu pengajar, belajar atau peserta didik dan realitas dunia. Dengan adanya proses tersebut terciptalah suasana dialog inter-subjek dimana guru dan peserta didik dan guru sebagai subjek dan realitas dunia sebagai objek.

Halaman

56

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Kita ketahui media atau pers menjadi pilar demokrasi yang ke empat, setelah eksekutif, legisatif dan yudikatif. Dan seiring perkembangan teknologi, media pun juga ikut berkembang. Dulu orang hanya bisa mengakses informasi melalui media cetak serta media elektronik, akan tetapi sekarang orang dimanjakan dengan media online yang bisa diakses hanya dengan beberapa menit setelah kejadian. Berita tidak lagi peristiwa yang telah berlangsung dan dipublikasikan media massa, tetapi menjadi peristiwa yang sedang berlangsung yang disiarkan Oleh: Andi langsung melalui media massa. Proses demokratisasi pun bergulir mengikuti perkembangan zaman sampai Pers melalui situs jejering sosial menyusup ke dalam parlemen. Facebook, friendster, twitter dan situs jejaring sosial lain. Yang lagi marak akhirakhir ini merupakan bagian dari media online yang bisa mewakili institusi demokrasi di dunia maya. Setidaknya bisa dianggap sebagai media pembangunan demokrasi dan proses demokratisasi yang dicirikan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat (secara maya) dituangkan. Ciri-ciri tersebut sudah lama menjadi bagian dari pers, media massa baik cetak maupun elektronik yang menjadikan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.. Lebih kontekstual lagi jika kita melihat fenomena Dukung KPK Untuk Indonesia Bersih di Facebook. Pada kasus di atas, Fecebook Dukung KPK merupakan pengejawantahan dari pers yang mampu menyuarakan pendapat warga sebagai manifestasi Jurnalisme Publik. Teknologi informasi telah merubah pola dan cara pandang demokrasi. Tidak dapat kita pungkiri, tidak sedikit FB menampung aspirasi dari rakyat, mulai dari kasus KPK, Prita, dan kasus yang lain. Masyarakat lebih enjoy dan nyaman melaporkan keluhan-keluhannya distatus FB. Padahal di Negara kita ada yang namanya DPR. Kenapa harus facebook? kenapa tidak mengadu saja ke DPR atau DPD selaku lembaga penyambung lidah rakyat?. Padahal, berdasarkan UU No.22 tahun 2003 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPR memiliki wewenang yang salah satunya menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Apakah memang rakyat sudah tidak percaya lagi dengan wakilnya di parlemen? Memang proses pelaporan di instansi Negara kita terkadang disibukkan dengan berbagai persoalan prosedural.

DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Sedangkan menggunakan facebook tidak perlu birokrasi yang panjang, tidak perlu menyesuaikan waktu. Kapan pun kita bisa memberikan masukan dan opini, tidak perlu berteriak-teriak dalam berdebat dan membantah pendapat orang lain. Hanya dengan mengetikkan opini, anda sudah ikut berpartisipasi. Bisa dilakukan sambil minum kopi, ngrokok dan lain sebagainya. Mungkin ini yang membuat rakyat memilih facebook sebagai media penyampai aspirasinya, menggantikan DPR. Akan tetapi ketika media online khususnya facebook sudah menyuarakan mahifal *) aspirasi rakyat. Facebooker dan pengguna internet pada umumya, akan mengalami penghambatan semacam penyensoran yang mengarah pada pemblokiran oleh penguasa yang anti-demokrasi dan sewenang-wenang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten, dimana segala aktifitas dari penyelenggara konten wajib melakukan penyaringan konten (draft RPM Pasal 8 Ayat c). Praktek yang jika dilakukan, bisa sama atau mirip dengan pengebirian konten alias sensor, untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berinformasi pada masyarakat. Hal ini berindikasi pelambatan akses internet di Indonesia, yang berarti juga semakin lambatnya masyarakat Indonesia (khususnya para pengguna internet) untuk mencari dan mendapatkan informasi. Padahal dalam Negara demokrasi kualitas kebijakan yang diambil rakyat bergantung pada kemampuan warga dalam mengambil keputusan, sedangkan peran serta rakyat dalam mengambil keputusan bergantung pada banyaknya informasi yang masuk padanya. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, Publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan Lord Acton, sejarawan Inggris (1834–1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt� (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik. *) Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Tulungagung (Meliputi: Tulungagung, Kediri, Blitar, Ponorogo, Madiun, dan Jombang) Halaman

57


Idealisme Media Massa Oleh: Afidatul Laily

Pemimpin Redaksi LPM DIMĂŤNSI 2006-2007

Dalam iklim demokrasi seperti yang dianut Indonesia, kritis dan berbeda pendapat itu wajar, asalkan disertai data valid sebagai asumsi pokok agar argumentasi itu tidak mentah, memiliki tanggung jawab moral dan bermanfaat untuk kebaikan masyarakat.

Berkomunikasi Massa Lewat Media Massa Hidup ditahun dua ribuan rasanya lebih enak dari pada tahun sebelumnya. Terang saja, bila menganut prinsip hidup sudah seyogyanya hari ini harus lebih baik dari kemarin. Hari esok pun harus lebih baik lagi dari pada hari ini. Begitu juga Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang cukup drastis. Dari berbagai sisi kehidupan sosial, kebudayaan, ekonomi, pendidikan dan kondisi perpolitikan semakin maju dan ramai, hingga mampu membuat sorot mata dunia terbuka untuk Indonesia. Kita patut mesem juga dengan perkembangan media massa (cetak atau elektronik) kita yang mulai tampak independent, semenjak di gaungkankannya kebebasan pers oleh presiden ketiga yaitu almarhum Gus Dur. yang menjadikan aneka pilihan informasi-informasi penting bagi khalayak tersaji tanpa tedeng aling-aling. Mulai dari skandal kamituo hingga skandal anggota dewan. Bahkan dugaan terlibatnya pejabatpejabat tinggi Negara terkait semrawutnya skandal Bank Century, agaknya berani dikemukakan secara kasuistik, aktual dan faktual oleh media. Begitu juga hidup dalam era modern, adalah suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bila kita sulit menghindar dari peran media massa. Mulai bangun pagi sampai tidur pada malam hari, waktu dan aktivitas kita seakan diatur dan tidak lepas dari pengaruh media massa. Sebagai contoh penggemar siaran sepak bola

atau piala dunia secara tidak sadar akan diatur oleh televisi. Mereka akan melihat siaran sepak bola dahulu baru kemudian tidur. Begitu juga penggemar dunia fashion. Bagaimana corak pakaian yang harus dipakai, bagaiamana cara berbelanja yang baik dan efisien semua ditentukan media massa. Dari sini Dennish Mc Quail (1987) menyimpulkan akan arti penting media massa yang berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangn tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Karena perkembangan zaman itulah berarti media massa tidak hidup dalam situasi yang vakum. Ketergantungan yang tinggi pada informasi media massa akan mendudukkan media sebagai alat yang ikut membentuk seperti apa dan bagaimana masyarakat itu. Sampainya sejumlah informasi atau pesan-pesan penting ke tengah masyarakat luas, yang anonym dan heterogen, sehingga ada sentuhan yang menimbulkan tanggapan atau respon balik inilah yang menurut ahli sejarah Jay Black dan Frederick C. Whitney (1978) disebut degan komunikasi massa. Ketika membahas komunikasi massa maka tidak akan lepas dari yang namanya media massa. Pernyataan ini diperjelas oleh Nuruddin, M.Si. lihat dalam bukunya Pengantar Komunikasi. Yang kita tahu bahwa dalam sistem media massa saat ini masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai penonton, namun mereka diberikan keleluasaan untuk

Halaman

58

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


DIMĂŤNSI

.com

Media Massa dan Demokrasi Setidaknya ada empat macam teori pers yang mendasari konstruksi realitas politik dalam media massa. Yang pertama, sistem otoritarian, media akan mengkonstruksi realitas sesuai kepentingan pemilik otoritas atau penguasa. Kedua, sistem libertarian, media akan mengkonstruksi realitas sesuai keinginan media masingmasing. Selanjutnya sistem totalitarian-komunis kepentingan penguasa fasis atau komunis harus menjadi segala-galanya dalam konstruksi realitas oleh media di Negara itu. Nah, bagaimana selanjutnya dengan sistem yang berjalan di Indonesia? Sudah benarbenar bebas atau setengah dibebaskan. Bila mengacu pada teori komunikasi massa, sistem media massa yang sedang berjalan kini perlahan mengarah pada teori media kritis seperti yang digagas beberapa tokoh antara lain Karl Marx, Engels

(Pemikiran Klasik), George Lucaks, Gramschi, Guevara, Marcuse, Habermas, Altrusser, Hamza Alavi (Pemikiran Modern) dan pemikir yang kainnya. Kandungan teori ini adalah perjuangan mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat jelata dari sistem yang menindas. Peran media dalam

oogle www.g

ikut berpartisipasi dalam berbagai opini dan argumen sesuai pengetahuan dan bidangnya. Kapasitasnya pun bervariasi, ada yang bisa disampaikan melalui pesan singkat atau sms, telfon bahkan melalui bahasa tulis atau dalam bahasa pers biasa kita sebut dengan jurnalis. Salah satu contohnya adalah ketika media menginformasikan seputar rencana kunjungan presiden AS Barrack Obama di Indonesia muncullah berbagai opini masyarakat. Baik yang pro atau kontra tidak mau ketinggalan untuk saling memperkuat alasan yang kemudian menjadi bahan diskusi dalam media massa kita. Dalam iklim demokrasi seperti yang dianut Indonesia, kritis dan berbeda pendapat itu wajar, asalkan disertai data valid sebagai asumsi pokok agar argumentasi itu tidak mentah, memiliki tanggung jawab moral dan bermanfaat untuk kebaikan masyarakat.

hal ini adalah mengkritisi setiap ketidakadilan, tidak boleh tunduk pada pemilik modal yang kadang ikut menghegemoni isi media. Ada sih, beberapa yang tampak kritis serta mengarah menuju pers yang ideal tetapi yang demikian tentu tidak mudah diwujudkan. Alasannya mainstream pemikiran masyarakat kita masih didominasi oleh sistem sosial liberal yang berarti melegitimasi status quo dan struktur penindasan lewat dominasi, kontrol, dan pengendalian terhadap sistem. Bukti nyata kondisi ini adalah terbelinya

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Surabaya Post oleh Abu Rizal Bakri dan Metro tv oleh Surya Paloh. Jika beberapa pers kita terlibat dalam budaya partisan disatu sisi, dan beberapa pers lebih banyak berorientasi pada ekonomi. Apakah dengan kondisi pers yang demikian mampu turut serta mengembangkan atau sebaliknya justru merusak potensi perkembangan demokrasi itu? Tentu saja ini merupakan pertanyaan besar. Bagaimana Sebaiknya Peran Media Massa ? Brian Mc Nair menggagas bahwa diantara tugas penting yang mesti ditanggung media massa dalam mengusung demokrasi adalah; pertama, Media massa harus menginformasikan dalam pengertian survilence atau monitoring apa yang terjadi di sekitarnya dan itu menyangkut kepentingan khalayak. Kedua, Media massa harus mendidik mengenai makna dan manfaat dari fakta-fakta dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta tersebut. Dengan kata lain memberitahu publik bagaimana seharusnya menyikapi masalahmasalah politik. Ketiga, Media massa harus menyediakan satu platform untuk publik mengenai wacana politik, memfasislitasi pembentukan opini publik dan menyiapkan opini balikan dari mana saja datangnya atau tidak terlibat partisanisme. Keempat, Memberikan publisitas kepada pemerintah dan institusi lainnya, atau berperan sebagai “watchdog� (memberitakan peristiwa politik apa adanya). Kelima, Dalam masyarakat demokratis, media massa menjadi saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang politik. Ini artinya tidak memihak pada satu kekuatan politik. Semoga kedepannya media massa kita mampu berfungsi sebagai publis sphere demi terciptanya demokrasi dan mendukung pembentukan masyarkat yang lebih komunkatif, yang bebas dari dominasi atau pemaksaan kebenaran yang merupakan elemen dasar demokrasi itu sendiri. Halaman

59


“(When we are) in The Circle of Media Effect” Oleh: Nunung Afu’ah

Pemimpin Redaksi LPM DIMëNSI 2008-2009

Bernard Cohen, “[The press] may not be successful much of the time in telling its readers what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about”

During ‘reformation’ era is begun in 1998, ‘democratization’ begins to be grown up more in our country. Mass media tried to be more open minded in receiving what actually occur in the society. If we did not see much good and ‘balance’ information in previews regime, a time nobody could not express their feeling freely, it would not happen in ‘reformation’ era. Many people try to pay what they could not do before. The euphoria of the freedom of expression became larger and larger in many parts of Indonesia. It is not only in mass media, but also in the society. It also happened at students (i.e. mahasiswa) that want to express their feeling about what actually society want about their government’s policy. As we know, reformation not only brought the effect to the media, but also to students. Even, the fall of Suharto’s authority was because of the struggle of them. They tried to share what actually government was, so by the time, students accepted it happily. The most significant effect of their struggle is, what I’ve said above, the freedom and opportunity of public share their feeling according what they feel or what they are expect to. This phenomenon became so easily be understood by mass media, they try to be what society want after the mass illness of previews regime. Society Mind’s Today By the time of the reformation, the globalization also make many people nowadays like to spend their time by watching Television, reading newspaper, magazine, or listening radio or even browsing to the internet. It means that information is a primary

need in their daily life. In the fact, many mass media, not only electronic but also published, are becoming common. We can see it from how many mass media sell in many places of book store are, or how much television reporting a same issue in a day is. Based on William L. Rivers, and friends, USA government thinks that it is so important doing reporting in mass media. We can say it by look at their financial in mass media activity. It is written that $ 400 million each year. Even, executive spent much for reporting or investigating a special thing. It seems that mass media exactly have a significant role. Indonesia, as I mention before, became the next developing country that try to be more independent and democratic. As the fact, nowadays, when mass media talk about an issue, for example Century Case, the society try to discuss it as public issue, even they have a good respond for a newest thing, but the impact, they even don’t have any ‘right’ to talk about their own idea. The government just tries to make legal their own policy, whether it is appropriate or not to the society, by using mass media. Society don’t realize that even they are in the freedom, as the impact of ‘reformation’ era, they actually still in the huge, hegemonic and systematic authority. What the government wants is implied in many of mass media and the society receives it just taken for granted. According to Maxwell Mc Combs and Donald Shaw, this phenomenon can be analyzed by Set Agenda theory. Set agenda is one of the several theories that explain the powerful of mass media. According this theory, issue, that having more attention from

Halaman

60

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


media, will be closed and be important issue for public. Society today becomes more ‘passive’ and just to be listener. They don’t have any choice on their own life. Mass media, both electronic and published, tell them what they have to think or even what they have to do. Media brought it to be what they want. It means that mass media bring the mind of public to be what they want, it depends on the owner of the mass media, this is we talk about the ‘invisible hand’ as the owner of many mass media. According to Kenneth Janda and friends, mass media have five specific function in political system; “reporting the news, interpreting the news, socializing citizens about politics, influencing citizens’ attitudes and behaviors, and setting the agenda for government action”. What we can see is, it’s so complicated thing to define the actually society wants when they their selves don’t have a right to decide what their need, even ‘grass root’ society. They (grass root) become more marginalize. The government just has much intention to make public believe their successful by using media, even when they try to make a ‘choice’ among many choices for grass root, it is like something absurd, because it seems like ice berg. It is I called by ‘circle of mass media effect’. We are in it, we don’t have a choice. If we want to hit it, we will be broken by the system. So, what we do is making a good way to reconnect between government and grass root society. Once, we are so impossible to hit the system, but we have to have an alternative to make it more easily. Students’ Press as the Alternative Choice. A good or bad the academic system of education based on what university students think. A changing

DIMëNSI

is depending on them, because they have a social control and change role which brings out them to the center position between society and government. This big duty always be redefined and fulfilled in many places of university students’ discussion. Soe Hok Gie, was popular by his word “lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan”, for the example of this case, he tried to share what actually society wants by discussion over and over, or we can look that he tried to write down his radical and critic of government policy at that moment in many

inilah.com

column news paper, so that the government would understand well about it. A critic is needed for them (i.e. government) in order to make good governance as what many people think about it. According to Lukman Hakim, ex1998 activist, university student is an intellectual person not ‘road’ person. It means that university students have to be what actually they are, intellectual person. As an intellectual person we talk about above, they bring many positive effect based on their background of study. The hope to make a good society based on what they think is a must to be done. This big hope can be done if many of students’ elements in many parts have a same idea, a change. An ‘invisible hand’ that appears in many mass media can be completely broken by media also. As the student, we can call it be student press. Many students’ press built in many

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

universities as the social control not only local issues, university or local place, but also national issue. So that what happen in university, as the first place for student to make a social and academic change, and local area in each become an issue that important to be thought in national level. It is so impossible to be done when student don’t blow it into media, either electronic or published. As the choice, they choose student press as the other ‘movement’. It can be analyzed like Kenneth Janda and friends, “Although more people today depend on television than on newspaper for news, those with more education rely more on newspapers. Newspapers usually do a more thorough job of informing the public about politics.” It is almost like what William L. Rivers and friends said. The students’ movement nowadays to bring the grass root issue is not relevant anymore when they did it in the ‘road’. As the intellectual person, as mention before, student’s press, or something in written about the critic and aspiration of grass root, will be more relevant to do than that. Many discussion about grass root need also needs a same place to broke the circle of media effect, created by the government or it can called by the ‘invisible hand’. It can be more simply as, first: the student movement needs the unity of the issue, not partial. Many discussion places of them need a place to break the system, mass media effect. Second; student’s press must be more attention to blow up local issue, especially grass root issue, marginalization, subordination, unfair etc. Third; the student’s feeling about change just need to be unity, backed up by student’s press, as the balance tool to broke up the system, if it’s not, we will just in the circle without knowing how to get out from the effect. Finally, “jika hatimu bergetar melihat penindasan, maka kita adalah kawan”, salam persma! Halaman

61


Bingkai Media Alternatif dalam Pertanggungjawaban Akademis Oleh: Ani Rohma

Pemimpin Redaksi LPM DIMëNSI 2009-2010

Mahasiswa adalah pelajar, adalah kader Bangsa, adalah calon pemimpin Maka sebagai pelajar harus rajin belajar, Sebagai kader Bangsa harus mengetahui persoalan Bangsa, Sebagai calon pemimpin harus bisa bertanggungjawab. Mahasiswa adalah individu, adalah anggota sebuah keluarga, adalah anggota masyarakat Maka sebagai individu ia harus bisa berefleksi, Sebagai anggota keluarga harus bisa mengerti, Sebagai anggota masyarakat harus mampu memahami. Mahasiswa adalah manusia maka harus dimanusiakan pun harus bisa memanusiakan Mahasiswa adalah perubahan, Maka lakukan perubahan melalui menulis!!!

Peran Mahasiswa sebagai manusia akademis selalu mengikuti dan mengawal kondisi bangsa, dalam posisi seperti itu mahasiswa memerlukan media. Melalui media dapat mengetahui berbagai info yang berkembang. Sebaliknya, media pula yang menggerakkan mahasiswa tentang arah gerakan mahasiswa. Selanjutnya dalam perkembangan media, mahasiswa pun ikut andil dalam menggiring perkembangan bangsa, akhirnya media menjadi suatu hal yang penting. Namun peran media secara umum sampai saat ini belum bisa dirasakan sepenuhnya. Berbagai masalah juga ditimbulkan karena penampilan media dimuka publik. Perjalanan penjang setelah 10 tahun reformasi, media massa di Indonesia semakin memiliki posisi penting. Meskipun demikian kita sebagai pembaca masih merasakan bahwa media ada di balik bayangbayang industrialisasi, yang artinya kepentingan industri cenderung lebih menonjol daripada kepentingan di luar itu, khususnya kepentingan rakyat. Fenomena ini sebenarnya merupakan efek rezim pembangunan Orde Baru yang telah mendorong terjadinya industrialisasi media. Karena dalam konteks masa Orde Baru, media tersubordinasi dalam arus kekuasaan dominan negara dan sekaligus kepentingan pemilik modal. Sehingga yang tercetus dalam Media adalah kepentingan industri “Industrialisasi Produksi Media.” Perkembangan dan perubahan Posisi Media Pada masa Orde Baru, dapat dilihat bahwa media menjadi agen

dan instrument kepentingan stabilitas kekuasaan rezim politik dan menjadi instrumen penyebaran gagasan pembangunan. Pada puncak kejayaan Orde Baru, media di Indonesia semakin menguat sebagai kekuatan industri. Dalam hal ini Media telah berkembang sebagai “capital producing journalism” (Dhakidae, 1991). Perkembangan industrialisasi menjelang satu dasawarsa terakhir rezim Orde Baru, semakin menarik berbagai kelompok media sebagai salah satu kekuatan modal dalam lingkup industri. Terlebih lagi, setelah perkembangan sejumlah televisi swasta, media semakin terseret dalam arus komersialisasi dan industrialisasi. Salah satu konsekuensi yang kemudian seringkali dilupakan adalah, keberadaan media sebagai “pilar ke empat demokrasi” (four estate) semakin melemah, sehingga perannya memudar secara signifikan. Tahun 1997-1998 menjelang keruntuhan Orde Baru, posisi media sebagai pilar ke empat demokrasi terasa semakin menguat. Media dengan didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin berpengaruh kuat terhadap perubahan sosial dan politik. Media yang pada mulanya dengan mudah terpengaruh oleh kepentingan rezim kekuasaan politik dan ekonomi mampu menjadi kekuatan terdepan dalam mendorong arus reformasi dan demokrasi. Media mampu menjadi penengah arus gerakan demokratisasi politik yang bersumber dari gerakan demokrasi diberbagai tempat di Indonesia. Liberalisasi dan reformasi 1998 telah mampu memberikan ruang kebebasan bagi

Halaman

62

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


media maupun gerakan pro demokrasi di Indonesia dari pelaksanaan politik rezim Orde Baru. Namun paska reformasi, posisi media sebagai pilar ke empat demokrasi justru mengalami sejumlah dilema dan paradoks. Pertama, pudarnya pelaksanaan politik kekuasaan rezim Orde Baru, ternyata belum sepenuhya membuat media memiliki posisi ideal sebagai pilar ke empat demokrasi di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena paska arus pelaksanaan politik rezim kekuasaan negara, media nampak semakin tak berdaya di tengah arus pelaksanaan politik rezim kekuatan modal. Berbagai media dilevel daerah dan pusat ‘yang tergabung pada sejumlah group’ nampak semakin dikuasai oleh segelintir kalangan. Pelaksanaan politik rezim kekuasaan modal ini menjadikan media dengan mudah terseret dalam arus komersialisasi dan komoditisasi. Kecenderungan tersebut semakin kuat mengendalikan kinerja media cetak dan media penyiaran. Industri media semakin dituntut untuk kompetitif dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan industri pada level nasional dan global. Kedua, seiring dengan proses demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia melalui sejumlah peristiwa demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada media juga menjadi arena perebutan kepentingan strategi “political marketing”, dominasi opini publik dan politik adalah gambaran dari kalangan elit pelaku kekuasaan dan parpol. Sehingga keberadaan media sebagai pilar ke empat demokrasi di sini semakin tereduksi sebagai arena politik elit, dan semakin jauh dari aktor pro demokrasi serta kepentingan atau suara publik. Dalam hal ini, akses aktor pro demokrasi dan publik untuk menyuarakan kepentingannya semakin terpinggirkan di tengah dominasi para pelaku kekuasaan. Selain itu, gambaran kepentingan publik dan aktor pro demokrasi

DIMëNSI

nampak semakin terpinggirkan dari berbagai media mainstream yang ada. Ketiga, menguatnya lingkungan industrialisasi dan kepentingan bisnis nampak semakin menyeret media pada komoditisasi dan komersialisasi realitas. Berbagai suara publik dan aktor pro demokrasi tidak lagi mampu disajikan secara “normal” melalui institusi media. Sebaliknya, komoditisasi dan komersialisasi terhadap suara public serta para aktor demokrasi terus dilakukan oleh m e d i a , m e l a l u i sejumlah trik jurnalisme y a n g

repro.internet

semakin menjauhkan dari realitas demokrasi yang diharapkan. Kembalikan Posisi Ideal Media Atas dasar kondisi inilah kemudian dirasakan perlu suatu media alternatif untuk menempatkan kembali posisi ideal media sebagai pilar ke empat demokrasi, yang tidak mudah terbawa arus kekuasaan dan modal. Keberadaan media alternatif semakin dibutuhkan untuk menya-

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

jikan berbagai informasi yang menyangkut kepentingan publik dan para aktor demokrasi di Indonesia. Tanpa media alternatif, berbagai informasi publik akan dengan mudah tenggelam oleh agenda setting media yang telah dikendalikan oleh rutinitas kekuatan industri. Sejumlah informasi penting terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan, HAM, pemenuhan dan penegakan hukum hak-hak publik dan pelayanan publik di berbagai daerah di Indonesia terus terpinggirkan dari media mainstream di berbagai daerah di Indonesia. Karena kekuatan media massa dalam mempengaruhi pola pikir, pandangan, gaya hidup, hingga ideologi seseorang sangatlah besar. Akhirnya dalam perkembangannya mahasiswa ikut andil dalam mewujudkan demokrasi bangsa. Melalui gagasan-gagasan yang dikembangkan mahasiswa dan menjamur membentuk pers mahasiswa, sebagai langkah lanjut dari perbincanganperbincangan kritis yang dilakukan di kos-kosan, asrama, emperan kampus atau disetiap lokus mahasiswa lainnya dengan tetap concern terhadap sikap kritis dan idealisme ala mahasiswa. Fenomena yang seperti ini diwujudkan karena gejala keinginan maju mahasiswa dari perdebatan teoritis menuju praksis. Tindakan seperti ini semakin lama mampu menjadi pers alternatif yang mampu mengawal perkembangan bangsa mewujudkan demokrasi. Di saat pers umum tidak mampu menyajikan berita-berita yang bersifat kritik terhadap langkahlangkah dan perilaku pemerintah, persma hadir menyeruak di garis depan, membingkai cerita lusuh pembangunan mewujudkan tanggungjawab yang diembannya sebagai aktor akademis. Pertanggungjawaban Akademis Memang, dikalangan manapun saat ini membutuhkan media untuk mewujudkan eksistensinya. Halaman

63


Keberadaan media sebagai sarana utama untuk menyampaikan visi dan misi sebuah perubahan adalah menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan menjadi sesuatu yang harus dipertahankan. Sama halnya dengan mahasiswa. Kalau dulu mahasiswa terlihat aktif dan berperan dalam mengawal kebijakan pemerintah melalui koar-koarnya saat mengkritisi hal yang dirasa kurang sesuai dengan kondisi dan keinginan masyarakat, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk aksi long march. Namun kalau sekarang ini model pengawalan mahasiswa dan eksistensi mahasiswa sebagai wujud agent of change, agent of control, dan agent of knowledge bukanlah seperti itu. Mahasiswa yang notabene menjadi wadah penyalur aspirasi rakyat, sudah tidak pantas lagi ketika apa yang dilakukannya di depan dewan hanya sekedar aktivitas yang prakmatis dan reaksioner yang tidak menelurkan dampak perbaikan kondisi untuk masyarakatnya. Terlebih jika nalar intelektual mahasiswa yang hanya setengahsetengah. Ruh pergerakan sudah berbeda lagi dengan aktifis 98’. Maka menjadi suatu hal yang tak pantas lagi jika mahasiswa hanya mampu mengandalkan yel-yelnya saja saat aksi long march. Menjadi hal yang lebih menarik jika wujud mahasiswa sebagai agent of change melalui knowledge yang dimiliki sebagai sebuah control dapat berjalan seiringan melalui gerakan yang lebih jelas arah gerakannya dan dapat membangun Sumber Daya Manusia serta memberikan celah tawaran terhadap persoalan masyarakat. Gerakan ini dapat diwujudkan melalui celahcelah yang dapat dimasuki dan digerakkan oleh individu sendiri dan itu didasari atas naluri kesadaran. Kalau mahasiswa adalah manusia akademis yang memiliki pengetahuan lebih dibidang tertentu bahkan disemua bidang, maka yang dilakukan adalah

bagaimana mahasiswa bisa mewujudkan ke intelektualannya. Jika mahasiswa itu selain akademis dia juga menjadi bagian dari aktifis, maka bagaimana mahasiswa bisa mewujudkan posisinya tanpa meninggalkan kuliah dan tetap menjadi penggerak dalam ruangruang yang dapat dimasukinya. Menulis; Media Alternatif Wujud yang paling sederhana untuk mempertahankan eksistensi mahasiswa adalah menulis, bahwa setiap manusia diajarkan untuk menulis apa yang ia ketahui dan apa yang ia rasakan menjadi sebuah tulisan yang mampu mengembangkan Sumber Daya Manusia baik pada diri manusia itu maupun pendorong bagi orang lain. Salah satu tindakan yang bergerak dalam bentuk penciptaan tulisan adalah menjadi buah karya mahasiswa yang bergabung dalam pergerakan Persma. Tulisan yang penuh nafas kekritisan, idealisme, perjuangan, dan pergerakan adalah inti semangat dan wujud dari eksistensi persma. Bukannya menafikkan gerakan mahasiswa lain, namun persma bergerak dengan jerat yang lebih lapang. Lapang karena ide-ide tulisan yang tersampaikan dapat secara luas mempengaruhi dan membentuk opini publik. Mahasiswa dan masyarakat terbentuk pemahamannya untuk mencari kebenaran atas suatu peristiwa. Jika hal ini dapat terjadi maka ungkapan “pena lebih tajam daripada pedang� adalah sesuatu yang benar. Persma pun menjadi penjelmaan utama atas penciptaan mahasiswa sebagai intelektual yang kontributif pada lingkungannya maupun masyarakat. Pers mahasiswa menjadi sumber berita alternatif yang lebih mengedepankan analisis kritis dan didorong oleh semangat idealisme tanpa megutamakan sisi industrinya atau komersial. Dalam kondisi yang syarat akan uang pers mahasiswa pun tetap bertahan tanpa menghilangkan watak idealis dan

alternatif serta kontekstualnya. Persma menjadi wahana kritik-kritis dan aktualisasi dunia idealisme mahasiswa. Disadari atau tidak ketika mahasiswa aktif bercengkerama dengan pers mahasiswa, maka dirinya harus siap dengan budaya literasi yang terdiri dari membaca, diskusi dan menulis. Dan aktifitas ini tidak dilakukan hanya sekedar rutinitas yang terlihat, namun dengan naluri kesadaran bahwa setiap makhluk hidup yang secara naluri dasar pasti ingin mengetahui fenomena yang ada di luar terutama di luar kemampuannya. Untuk itu mahasiswa perlu menyadari adanya naluri kesadaran tersebut. Mahasiswa dengan banyak membaca demi perluasan cakrawala pengetahuannya, musti diskusi untuk menum-buhkan kekritisan dan aktualisasinya, dan yang terpenting dilanjutkan dengan keharusan menulis untuk merekam gagasannya demi peningkatan peradaban manusia. Tanpa menulis sesuatu yang ia ketahui tidak akan terikat. Tanpa berbicara atau berdiskusi sesuatu yang tertulis tidak akan berkembang dan hilang. Inilah yang menciptakan kebanggaan bahwa mahasiwa yang aktif adalah intelektual-intelektual sejati yang berkontribusi besar bagi bangsanya. Dengan begitu mahasiswa dapat membantu mewujudkan nalar demokrasi di Negeri ini melalui taraf yang paling kecil dengan karya tulisnya yang dapat mempengaruhi dan mengembangkan pola pikir m a s y a r a k a t ta n p a m e m i k i r k a n kepentingan industri. Menuangkan ide-ide melalui tulisan sebagai media alternatif untuk meningkatkat Sumber Daya Manusia ketika perilaku pergerakan lain tidak mampu memberikan perubahan bahkan solusi terhadap permasalahan sekitar. Dengan karya yang diciptakan dari ide-ide kreatif dan kritis terhadap fenomena, mahasiswa dapat mewujudkan pertanggungjawabannya sebagai insan akademis. Maka tulisan itu akan mampu menjadi tombak kemajuan bangsa.

Halaman

64

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Semangkok Cendol Tuhan Terik musim kemarau panjang ini membuat aku selalu mendesah, mengeluh tanpa menentu, “huuuuh...” panasnya kayak neraka wel yang sudah mau berlubang. Panas, bahkan jalan hitam bergaris putih putus-putus yang biasa aku tempuh dengan estafet hanya beberapa meter dari kos-kosan ke kampus seperti semakin panjang dan memakan waktu yang cukup lama. Panasnya bukan main, aku harus pintar-pintar menghindari dari sengatan sang bhatara surya; ini bukan pancaran mentari sembarangan, seperti aura murka sang penguasa alam semesta. Bukankah negeri kita adalah negeri yang senang dengan panas kebohongan? dan bukankah Tuhan berseberangan luar-dalam dengan hawa nafsu kita? “huuuuuh...panas...” ******* “Cendol...cendol...” Suara renyah nan lembut, tepat saat aku berteduh di bawah rindangnya pohon Asem, menawarkan aku minum cendol, tajilan khas yang dibuat emak saat menjelang buka puasa. Aku menoleh disisi kiri tepatnya di pangkal pohon itu, seorang perempuan separuh baya menghampiri ember dari anyaman kulit bambu dengan seember air ketan yang aromanya khas asli Indonesia menusuk hidung, harum nan segar. “tumben jualan disini mak?” Sapaku, sembari duduk bersila tepat di depan wajah sang perempuan itu, aku merasakan keteduhan yang tersembunyi. Realitas hakiki yang sepertinya belum pernah aku saksikan selama hidup ini, perjuangan hidup seorang perempuan yang dilalui dengan penuh ketulusan. Aku teringat emak di rumah bersama bapak, orang yang telah mengajari aku memaknai alam raya, menunjukkan Tuhan sebagai dzat yang rohman dan rohim. Jalanan terus mengepulkan debu-

DIMëNSI

debu panas, sesekali pengendara motor melengkingkan suara riuh bin brisik. Mengepulkan asap kimia yang tidak beradap. Suasana menjadi pengap dan memuakkan. Aku masih terpekur layaknya burung pipit dalam keteduhan raup wajah perempuan penjual cendol itu. “engkaulah ibu ...” Tempatku berteduh sekian lama, mencari ridha di bawah telapak surgamu . Oh... “ya... numpang mampir, nak” Jawabnya sederhana dengan suara bergetar, “siapa tahu rezeki Tuhan, ku temukan di tempat ini” lanjutnya pasrah seakan sudah tau bahwa manusia di bumi cuma mampir minum. “siapa tahu rezeki Tuhan ku temukan di tempat ini?” Kata itu memberikan aku nuansa religius. Bukan sekedar kata tapi totalitas makna yang sudah melangkahi hidup-hidup kata itu sendiri. Keteduhan yang aku tangkap dari perempuan itu makin menenggelamkan intuisiku pada lautan rindu yang telah lama aku pendam. Sungguh aku rindu dengan belaian kasih sayang dari seorang yang telah melahirkan ku ke dunia ini. Bagaimanakah kabar emakku dia kini...? aku hanya bisa mendo’akannya setelah sholat, walaupun kini jauh dimata tapi dekat dihati. “mak, tuangkan untukku semangkok saja!” Terik menyengat siang itu membuat tenggorokanku naik turun. Aku benar-benar merasakan seluruh persendianku terbakar sang surya. “Panasnya, bukan main” “panas-panas gini, mau kemana nak?” tanya emak itu kepadaku Pertanyaan yang seharusnya tidak ku jawab, karena dengan pertanyaan itu membuatku bertambah berfikir tentang aku dan posisiku sekarang ini. Yang terkadang sering melupakan

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

tanggungjawab yang harus ku emban. Pertanyaan disiang itu menjadi sangat absurd bagi ku. Benarkah aku seorang mahasiswa...? Panas-panas gini mau kemana...? ******** Potret tanah air amburadul, kebijakan demi kebijakan berjalan layaknya arus segara yang tak teratur, bergelombang lalu seenaknya menghantam segala sesuatu yang menghalanginya di hadapannya. Moralitas bangsa ini mulai menapaki kasta tertinggi, dunia yang mengerikan ini bukan hanya penjahat, maling, premanisme, para pejabat pun mulai melakukan amoralitas sebagai saksi hidup atas bejatnya moral negeri, identitas mahasiswa hanya bisa dibeli dengan secangkir kopi susu, sebungkus nasi pecel dan se-util rokok. Tidak ada lagi yang mau peduli, semua seakan menjadi miniatur yang serba sulit dimaknai, semua berjalan sekarep ku, se-enak-e dewe-dewe, sesuai dengan keinginan dan kepentingan sendiri. Jangan lagi bicara Negara kita Bhineka Tunggal Eka, semua sudah tinggal cerita, maka sangat enak jika semboyan kita rubah; Bhineka Tinggal Cerita. *********** “aku seorang mahasiswa?” masih kata-kata itu yang memenuhi pikiranku. Entah apa yang terucap, semangkok cendol di tangan memberiku semacam kekuatan baru untuk menafsirkan dibalik realitas tersembunyi dalam posisiku. Sang Surya terus merangkak perlahan-lahan menusuk ubun-ubun dari lekit-lekitan pohon asem yang sesekali terlihat bergoyang-goyang di tengah kebisuan semesta. Semangkok cendol itu tanpa aku sadari telah menjalar keseluruh kerongkongan tubuh. Memberiku spirit, ketenangan dan teduh dari tudung wajah Halaman

65


perempuan di depanku. Potret siang semusim ini memberiku sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan dibangku kuliah, bagiku semangkok cendol ini tidak bisa dihargai dengan nilai milyaran rupiah. Pertemuan ini adalah anugerah luar biasa dari Nya. Aku dan ketulusan yang sulit ku masuki, akupun berfikir bahwa hakikinya alam raya ini penuh dengan misteri Illahi, tak jarang orang mengatakan dunia ini adalah panggung sandiwara, aku merenungkan tidak semua orang itu bodoh. Posisi mereka adalah filosof yang sejati. Selalu belajar pada alam. Semangkok cendol itu adalah pemberian Tuhan yang tak terduga sebelumnya, atau... “bu...” “Looohh..., kok tidak ada?” Tiba-tiba siang menjadi panik, perempuan di hadapanku menghilang entah kemana tanpa meninggalkan jejak. Astaqfirullah... ********* Entah kenapa rasanya badan ini terasa lebih berat untuk berdiri terpaksa aku pun duduk bersimpuh di akar pohon asem, Aku selalu kesem-sem apa yang dikatakan penjual cendol itu, “Ah masa bodoh dengan itu semua, toh banyak mahasiswa yang seperti aku enjoy-enjoy saja tidak ada masalah, kenapa harus pusing dengan itu” (Angan-angan yang terbesit saat itu, seolah persetan dengan apa yang baru saja berlalu). ******** Siang yang tampak panas, langit menggoda dengan kedipan berjuta mata bening tajam tatapannya mampu menyentuh, merobek imajinasi para pujangga, kekuatan apa yang mampu menggerakkan setiap lekuk jari kehidupan, sehingga dengan gagah perkasa dia keluar dari persembunyian yang semakin membuat dirinya tidak pernah lupa akan janji dan tanggung jawab yang telah diberikan dalam dekapan tulus telapak tangannya. Burung-burung terbang berlarian menyambut, laksana para musafir yang telah mendapatkan seteguk air dari gugusan lembah

gurun sahara yang melepaskan dahaga jiwa meleburkan gelegar gejolak rasa yang mengecutkan bara membakar hati setelah sekian lama menunggu kekasih dari mimpi rindu. Daun-daun melonjak menari kegirangan mengikuti irama yang mengiringgi senandung syair tarian cinta, menggema, menyebar merengkuh awan-awan angkasa menyampaikan seutas salam kerinduan dari setiap tetesan embun keringat yang jatuh bersujud di hamparan pelataran taman sang pencari ilmu, lembut gerak tubuh meliak-liuk laksana gelombang ombak samudra yang mempermainkan perahu para petualang, merambat beriringan mengikuti kemana hasrat hati akan melabuhkan, untaian kata mutiara yang membius raga. Seperti halnya sang perindu di siang bolong itu, gandrung selalu menyelimuti pikiran ku. Semilir angin dari balik celah hutan bebukitan membelai jiwaku, mendekap, membisikkan cerita yang penuh misteri illahi, sudah hampir semester 6 ini tidak bisa aku ceritakan dari kejadian; yang hampir tidak bisa aku ceritakan hingga dekatnya kurun waktu hingga pikiran tak lagi tak dapat membayangkan apa yang baru terjadi, semua berlalu begitu cepat laksana kilat petir menyambar hampa luas angkasa dan hanya menyisakan gemuruh suara menggetarkan denyut nadi aliran darah. Aku diam membisu, bagaikan barisan patung-patung yang menghiasi, mengelilingi candi-candi agung, laksana ukiran kaligrafi indah menorehkan cipta rasa nilai seni tinggi yang menghidupkan dinding bangunan masjid suci, seperti lukisan Yesus dan Maria yang terpampang sekian tahun lamanya dalam ruangan dinding sebuah gereja ortodok atau seorang Sidharta Gautama yang tertunduk dengan tenang nan nyantai sambil menunggu sebuah kebenaran. ********** Dalam sebuah kesendirian menatap sebuah kenisbian yang tiada kunjung terisi oleh kenyataan yang sedang di yakini. Entah sudah

berapa menit termenung, aku belum juga menemukan syafaat, untuk menjawab pertanyaan yang telah lama mengganggu dan mengusik pikiran. Pertemuaan mulia dengan bakul cendol, mengingatkan ku pada beratus-ratus naskah soal-soal harian, semester dan ujian nasional yang dianggap sulit telah tuntas; sampai aku duduk dibangku perguruan tinggi, telah ku kenyam dengan baik. Tetapi hari ini aku sungguh kewalahan dengan pertanyaan seorang penjual cendol yang singkat padat dirasakan begitu menusuk; entah mengapa pengalaman ku dikorek habis oleh pertanyaan itu. Aku seperti kalah, kalah hanya dengan pertanyaan itu. Setiap kali aku ingat tentang apa yang dikatakan penjual cendol rasanya aku pengin teriak keras. “diriku memang bodoh” Aku memang orang yang sangat bodoh namun mengertikah kalian bahwa kebodohan ku ini terjadi karena ulah kalian, aku gila memandang cara kalian berpendidikan, akal pikiranku tiap hari bertambah bodoh karena pandangan picik kalian; oknumoknum yang menyelewengkan pendidikan. (Gumamku dalam kesendirian di bawah pohon asem, menuju kampus hijau). Tak terasa disiang hari itu juga, Aku dikejutkan oleh sebuah benda lunak yang begitu unik; aku kira sebuah meteor yang jatuh dari langit ee..eeeh... ternyata sesuatu lunak yang sering aku temuai di belakang rumah, tepat di atas hidung, sehingga indra penciuman mampu mendeteksi ciri-ciri khas bau itu, begitu mudah aku kenali ketika berada di belakang rumah. Dari kekagetanku sehingga memberikan pengalaman kepadaku agar tidak terlalu ngoyo berfikir sendirian juga mengingatkan ku bahwa hidup di bumi ini tidak sendiri sekaligus sudah waktunya untuk cuci muka untuk menghadap sang hyang widhi. Alhamdulillah.... W.R. Ja’i (PGMI/IV)

Halaman

66

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMëNSI


DIMĂŤNSI

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

Halaman

67


Halaman

68

No. 24 Tahun XV, Maret 2010

DIMĂŤNSI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.