Majalah dimensi edisi 26

Page 1

DIMëNSI Utama DIMëNSI Redaksi Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMëNSI STAIN Tulungagung Pelindung Ketua STAIN Tulungagung (Dr. Maftukhin, M.Ag) Penasehat Pembantu Ketua (PK) III (Drs.Nur Effendi, M.Ag) Pimpinan Umum Abdul Mukhosis Sekretaris Umum Wakid Roja’i

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam Persma ! Salam sejahtera kami sampaikan kepada segenap pemBendahara baca. Walaupun gejolak permasalahan dan bencana tengah rajin Rizkhi Puspaningtyas menimpa Negeri yang berusaha membangun moral dan kesejahteraan rakyatnya. Hal tersebut tidak akan menyurutkan semanPemimpin Redaksi gat kami untuk tetap memberikan hembusan nafas dan semangat Reni Dwi Sevrianti perubahan untuk semua kawan-kawan mahasiswa khususnya para pembaca DIMëNSI. Dewan Redaksi Alhamdulillah, waktu yang telah dinantikan telah tiba. DILaili Khasanah (Co), Bramanta Putra PaMeNSI edisi XXVI (26) yang mengusung tema “Rekonstruksi Kesamungkas, Binti Mamlu’atul Khasanah, Nike daran Masyarakat; Upaya Menjaga kelestarian Lingkungan” kembali Frorestian Afif, Arini Hidayati, Andi Mahifal, hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang penuh dengan Kasful Anwar dinamika. Dengan paradigmanya, yaitu Paradigma Pemikiran Alternatif DIMëNSI berusaha tetap konsisten menjadi alternatif bagi Departemen Litbang berkembangnya ilmu pengetahuan yang sarat dengan perubahan, Bramanta Putra P (Co), Laili Khasanah, Eka melalui media tulis-menulis. Latifah Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak hidup sendiri. Manusia hidup berdampingan dengan makhluk lainnya, seperti hewan, dan Departemen Perusahaan yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan alam di sekitar maAAdib Tamami (Co), Moch. Aziz Subhan, nusia. Dalam menentukan keberhasilan kehidupan dalam sebuah Laily Maulidiana ekosistem, kuncinya terletak pada sebuah harmonitas hubungan timbal balik di antara penghuninya. Secara alami, hubungan timbal Fotografer balik terjadi antara sumber daya manusia dan sumber daya alam M. Riyadlul Fanani, Nur ani Nisfu Fitroh (baik yang dapat diperbaharui atau pun tidak). Hubungan timbal balik tersebut pada akhirnya adalah penentu laju pembangunan. Oleh Desain Grafis sebab itu, keduanya harus seimbang. Munculnya berbagai benM. Nuril arham cana akhir ini, iklim yang tidak dapat diprediksi, merupakan sinyal dari alam bahwa ada suatu hal yang tidak seimbang. Permasalahn Reporter remeh temeh seperti sampah, pembuangan limbah sembarangan, Fikri Mustofa, Ahsanul Kholidin, Gusnur, penebangan hutan yang tidak terkontrol dapat memicu bencana di Ahmad Khoiri, Ismul Azam, Rizalullah Hanik atas. Dengan hadirnya secuil gambaran realitas pelestarian lingMustofa, Zetik Mawadata, Habibur Rohman, kungan yang disajikan diharapkan mampu menggugah kesadaran Anita Widiawati H, Nur ani Nisfu Fitroh, Ah- masyarakat untuk kembali mencintai alamnya. mad Zaini, Moh. Muhsin, Eka Putra, Moch. Akhirnya, segala hal yang bekaitan dengan saran dan kritik Asrul Rifa’I, Muadi, Zuliana Dwi Wulandari, akan tetap kami harapkan dari teman-teman mahasiswa. Karena All of crew ibarat pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, kami hanya manusia biasa yang tidak jauh dari salah. Tulisan ini hanya bagian Alamat Redaksi dari proses kami sebagai mahasiswa yang mencoba menyuarakan Jl. Mayor Sudjadi Timur 46 Tulungagung dinamika kehidupan masyarakat. Sekali lagi, semoga majalah ini Kodepos 66221, Phone: (0355)321513 dapat memberikan hal yang positif kepada pembaca. Terima kasih E-mail: dimensita@yahoo.co.id Wassalamu ‘alaikum. Wr.Wb Edisi Edisi XXVII XXVI Tahun Tahun XVI, XVI, Maret Maret 2011 2011 DIMëNSI 1 1


DIMëNSI Utama

Cover : Rubik Foto : Istimewa Desain : M. Nuril Arham

Daftar Isi DIMëNSI redaksi halaman .... 2 Suara DIMëNSI halaman .... 3 DIMëNSI utama halaman .... 4 LIPUTAN Khusus halaman .... 16

TPA Segawe ibarat “stasiun” terakhir dalam perjalanan sampah di Tulungagung. Dalam perannya sebagai tempat pembuangan sampah, TPA Segawe diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya pengolahan sampah.

Sungai ibarat mata air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Sendang dahulu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu sungai menjadi kehilangan “ruh” nya di masyarakat. Pencemaran limbah kotoran ternak disinyalir menjadi salah satu pemicunya.

Editorial halaman .... 23 Nusantara halaman .... 24 Klik halaman .... Swara halaman .... Teras halaman .... Budaya halaman .... Resensi halaman .... Suplemen halaman .... Kiprah halaman .... Sastra halaman ....

2

DIMëNSI

Mburet sebuah tempat wisata namun dengan kondisi masih serba alami. Potensi-potensi menarik tempat inilah mungkin yang menarik minat pengunjung untuk mampir melihat-lihat serta menikmati sejuknya udara untuk sekedar melepas kepenatan bersama keluarga. DIMëNSI merupakan media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung yang menghadirkan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan, maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpatisipasi demi terwujudkan Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain. Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


DIMëNSI Utama

Suara DIMëNSI

Laboratorium Khusus PGMI

Assalamu ‘alaikum , Apa kabar Dim? Boleh gak aku berkeluh kesah disini?. Hal ini berkaitan dengan fasilitas yang mendukung bagi prodi PGMI. Seharusnya kami disediakan sebuah laboratorium khusus ke-PGMI-an. Hal ini bertujuan untuk mendukung penguasaan skill bagi warga PGMI. Dikarenakan pada akhirnya nanti kami akan menjadi guru kelas yang harus menguasai banyak skill, tidak hanya penguasaan materi pelajaran. Pengadaan praktikum juga masih sering didominasi teori yang minim praktik langsung. Padahal tuntutan lapangan kerja, lulusan PGMI/PGSD diharapkan menguasai berbagai skill kehidupan selain penyampaian materi pelajaran.//Dwi VI// Red: Wa’alaikum Salam... kabar baik Permasalahan fasilitas yang kurang memadai dan juga lokal yang kurang memang akan selalu mewarnai kehidupan kampus ini. Setiap tahunnya kita selalu kebanjiran mahasiswa baru akan tetapi hal tersebut belum diiringi dengan penambahan lokal dan fasilitas penunjang akademik yang memadai. Semoga dengan semakin banyaknya wacana dari teman-teman mahasiswa akan membuat pihak yang bersangkutan merealisasikan apa yang dikeluhkan oleh teman-teman.

Sangat Disayangkan

Hallo...DIMeNSI Apa kabar? Lama gak muncul ya? Aku mau nitip uneg-uneg nie... Belakangan ini kan banyak muncul kasus di kampus ini. Mulai dari permasalahan akademik, kode etik, keamanan, sampai masalah yang terbaru adalah mengenai moral. Sungguh disayangkan ya, kampus yang notabene adalah kampus Islam sedikit terusik dengan permasalahan segelintir mahasiswanya yang kurang bisa mengontrol kelakuannya. Kita menjadi terkenal bukan karena prestasi ataupun kegiatan mahasiswanya, tetapi malah terkenal karena kasus tidak senonoh tersebut. Sepertinya, mahasiswa harus mulai keluar dari tempurung dunianya sendiri dan mulai melihat kehidupan masyarakat dan melakukan hal-hal yang positif dan berguna. Semoga bisa dijadikan bahan renungan. //Zaa PGMI// Red: Hallo juga.... Sebenarnya kita selalu mewarnai kehidupan kampus kok, mungkin kamu yang belum sering berjumpa dengan produk DIMëNSI, hehehe. Kami juga setuju dengan pemikiran kamu itu. Karena, sebagai mahasiswa yang dikatakan sebagai penyambung lidah rakyat, kita mengemban amanat yang cukup berat. Dengan tanggung jawab tersebut sudah cukup untuk tidak menjadikan kita egois dan memikirkan nafsu pribadi. Ok?

Kok Eksklusif?

Hai...DIM Singkat saja. Aku mau sedikit memberikan kritik padamu ya? Tidak apa-apa kan? Kenapa ya, kok aku melihat teman-teman di DIMëNSI tu sekarang lebih eksklusif? Aku melihatnya mereka hanya

sering berkumpul dengan teman satu lembaga. Selain itu mengenai karya, aku melihat masih didominasi oleh pihak intern. Bagaimana jika membuka kesempatan juga untuk mahasisiwa non DIMeNSI untuk menyumbangkan karyanya?,Trims.//Andi TMT// Red: Tidak apa-apa, kami malah senang itu berarti masih banyak yang perhatian kepada DIMeNSI. Sesungguhnya,setiap penerbitan buletin atau majalah kami selalu memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi teman-teman mahasiswa, khususnya non-DIMëNSI untuk berkarya. Akan tetapi, mungkin karena keterbatasan informasi sehingga banyak mahasiswa yang belum mengetahui dan memahaminya. Sebagai pemberitahuan juga, bahwa karya apapun itu dapat langsung dikirim ke kantor redaksi atau lewat email/Facebook: dimensita@yahoo.co.id Kami tunggu karyanya!

Praktikum yang Mana?

Hai Dim...!!! Mungkin tidak banyak yang ingin aku sampaikan. Hari-hari ini mungkin seluruh mahasiswa di kampus ini merasakan apa yang aku rasakan. Aku merasakan dari awal masuk kampus ini sampai semester 6 ini, pihak kampus seolah tidak memperhatikan masalah praktikum. Bagaimana tidak, pertama seringkali praktikum digabung dengan mata kuliah reguler dikarenakan dosen pengampunya sama. Kedua, seringkali dosen pengampu mata kuliah praktikum tidak pernah masuk bahkan saya pernah mengalami dosen pengampu tidak pernah masuk dalam satu semester. Ketiga, fasilitas praktikum juga kurang mendapat perhatian contoh kecilnya adalah tidak berfungsinya laboratorium persidangan untuk mahasiswa syari’ah. Seharusnya pihak kampus memperhatikan masalah ini, bagaimana tidak, setiap semester mahasiswa harus membayar Rp 200.000,00 untuk biaya praktikum tetapi hasilnya masih nol. //at MU// Red: Hai...juga! Senang akhirnya bisa menyapa kalian semua lagi. Permasalahan pelaksanaan praktikum memang selalu mewarnai kehidupan akademik kita. Mulai dari fasilitas yang kurang mendukung sampai pelaksanaan yang tidak sesuai dengan sasaran program studi yang dimaksud. Diharapkan dengan semakin seringnya wacana dan kritikan yang masuk, dapat membuat pelaksanaan praktikum di kampus ini menjadi semakin baik dan profesional.

Suara DIMëNSI menerima segala kritik,saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, e-mail: dimensita@yahoo.co.id atau langsung bisa diantar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, Serat, DIM-ar, atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

3


DIMëNSI Utama Berdamai dengan Problematika Sampah TPA Segawe ibarat “stasiun” terakhir dalam perjalanan sampah di Tulungagung. Dalam perannya sebagai tempat pembuangan sampah, TPA Segawe diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya pengolahan sampah. Limbah manusia yang satu ini bukan saja dapat menjadi permasalahan bagi masyarakat, tetapi dalam jangka panjang dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang tepat dalam penanganannya.

Pernahkah kita berpikir kemana sampah-sampah di daerah Tulungagung dibuang?, atau pernahkah terlintas di pikiran kita kemana pasukan kebersihan Tulungagung dengan truk sampahnya membuang muatan? Sampah-sampah tersebut menuju suatu tempat yang disebut dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir; red) tepatnya di Sebuah TPA yang terletak di desa Segawe kecamatan Pagerwojo kabupaten Tulungagung. Untuk bisa sampai kesana dengan menggunakan sepeda motor diperlukan waktu sekitar 20 menit dari pusat kota. Jalan yang harus kita tempuh pun tak begitu mudah, selain berkelok dan cukup menanjak, di beberapa ruas jalan juga terdok.Dimensi TPA Segawe Pagerwojo Tulungagung dapat lubang-lubang. Namun, semua seakan terbayar lunas dengan raian sampah, yang bisa berlang- kan sampah di daerah Pasar Wage panorama di kanan-kiri jalan, tampak sung selama puluhan tahun. TPA dan sekitarnya. Mengumpulkannya pepohonan hijau yang masih rindang ini diramaikan pula oleh para pemu- ke dalam gerobak sampah untuk dan terawat. Selain itu di beberapa lung, yang dengan setia menunggu selanjutnya dipindahkan ke trukbagian juga tampak hamparan tana- truk-truk pengangkut sampah tiba, truk sampah dan diangkut ke TPA man padi yang ditanam mengguna- truk-truk yang membawa asa hidup Segawe. Dengan begitu banyak kan sistem terasering, menambah mereka. sampah yang datang setiap harinya, harmoni keindahan di tempat ini. Di TPA yang didirikan pada tahun bisa kita bayangkan berapa ban1992 ini setiap harinya tidak kurang yak tumpukan sampah yang telah TPA Segawe; Pemberhentian Tera- dari 30 truk pengangkut sampah terkumpul setelah beberapa tahun. khir membuang muatannya disana. Tempat yang dulunya berupa jurangSaat memasuki kawasan TPA Sampah sebanyak itu berasal dari jurang dengan kedalaman sekitar 25 Segawe, nampak jelas tumpukan pasar-pasar di kabupaten Tulun- meter, kini praktis sebagian telah sampah yang menggunung. Sesekali gagung, serta sampah rumahan di tertutup dengan sampah. terlihat seseorang berseragam hijau daerah kota (kecamatan TulungaTPA Segawe sendiri terbagi lengan panjang meratakan gunun- gung; red). Sampah-sampah terse- menjadi 3 bagian utama, pertama gan sampah tersebut mengguna- but diambil dari pos-pos penampun- tentu adalah tempat penampunkan alat berat. Gundukan Sampah- gan sampah sementara. Seperti di gan sampah, tempat ini berbentuk sampah yang telah rata dengan pos penampungan sampah semen- jurang-jurang dengan kedalaman tanah oleh pengelola TPA ditanami tara di dekat Pasar Wage. beberapa sekitar 25 meter. Dulunya terdapat 2 rumput gajah, hal itu dimaksudkan petugas tampak sibuk membersih- tempat seperti ini, namun salah sauntuk mempercepat proses pengu-

4 4

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


DIMëNSI Utama tunya telah penuh dengan sampah. Tempat kedua dari TPA ini adalah tempat penampungan air rembesan dari tumpukan sampah di TPA Segawe. Letaknya berada di bawah tempat penampungan sampah. Saat hujan mengguyur kawasan ini, air yang melewati tumpukan sampah akan mengeluarkan bau busuk. Sehingga apabila tidak dibuatkan tempat penampungan, air tersebut akan langsung mencemari sungai dan sumur-sumur warga. Hal semacam ini pernah terjadi sebelum dibuatkan kolam-kolam penampungan air rembesan, air sampah yang pekat kehitaman langsung mencemari sungai terdekat. Tempat penampungan ini berbentuk semacam kolam-kolam yang jumlahnya ada 6 buah, yang masing-masing kolam mempunyai fungsi dan ukuran yang berbedabeda. Air-air dari kolam tersebut dialirkan melalui pipa-pipa paralon yang sebelumnya airnya sudah melalui tahap-tahap penyaringan dan pengendapan. Sehingga, tidak dikhawatirkan akan mencemari air tanah dan sungai setempat ( Lihat Bagan 1). Dari sekian banyak tempat di TPA Segawe, mungkin tempat ini bisa dikatakan yang paling nyaman. Selain sejuk dan rindang, di tempat ini lalat yang berterbangan tak sebanyak di bagian lain. Terdapat kantorkantor bercat kuning keemasan yang berpadu dengan sebuah tempat pengolahan sampah dedaunan menjadi kompos. Di tempat ini terdapat penggilingan sampah serta semacam tabung-tabung untuk memproses daun menjadi kompos. Sebagai TPA, Segawe merupakan sebuah terminal akhir sampah di Tulungagung. Kelestarian lingkungan di kota Ingandaya tergantung bagaimana pengolahan sampah di tempat ini. Bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat menyediakan sebuah sistem yang baik dalam penanganan sampah dan limbah keluarga. Pahlawan Yang Terabaikan Gunungan sampah di Segawe

Dok. Dimensi

para pemulung sedang mengais sampah di TPA segawe untuk dipilih dan dijual ke pengepul

tampaknya tidak hanya menarik bagi lalat, tetapi juga mengundang orangorang yang melihat peluang rupiah dari sampah tersebut. Sedikitnya 50 orang menggantungkan hidupnya dari barang yang menurut sebagian orang menjijikan itu. Mereka mengais, membongkar, serta memilahmilah sampah yang masih bisa didaur ulang. Untuk kemudian dijual kepada para pengepul yang biasa datang setiap dua minggu sekali. Sampah jenis plastik dihargai empat ratus sampai enam ratus rupiah per kilonya, sedangkan untuk jenis botol air mineral bekas dihargai sekitar Rp. 3300,- per kilonya. Dengan harga seperti itu para pekerja sampah (pemulung) bisa mengumpulkan uang sekitar dua sampai tiga ratus setiap dua minggunya. Seperti halnya Sringah yang sudah menjalani profesinya sebagai pemulung selama kurang lebih tiga tahun, Ia mengaku mendapatkan penghasilan yang lumayan dari hasil mulung. ”Yo kiro-kiro loro sampek telung atus ewu per 2 mingguan, biasane mulai jam 6 esuk sampe 4 sore. Yo lumayan mas daripada nganggur (ya...kira-kira 2 sampai 3 ratus ribu tiap dua minggu. Biasanya mulai bekerja dari jam 6 pagi sampai 4 sore. Ya lumayan daripada

menganggur; red).” Tuturnya. Hal senada juga diungkapkan pasangan suami istri Supriadi dan Krinah, ”Kalo penghasilan kiro-kiro loro sampek telungatus ewu, aku kerjo neg kene wis rong tahunan (kalau penghasilan kira-kira dua sampai tiga ratus ribu, saya kerja di sini sudah dua tahunan; red).” Ungkap pasangan suami istri ini. Para pemulung biasa menghabiskan waktu istirahat mereka dalam sebuah gubuk-gubuk tidak permanen, yang berjajar di tepian jalan beraspal yang masih berada dalam lokasi TPA Segawe. Selain tempat melepas penat dan mengganjal perut dengan bekal makanan yang mereka bawa dari rumah, gubuk-gubuk ini juga mereka gunakan untuk menampung sampah–sampah yang telah mereka kumpulkan. “Selamat datang di kandang celeng!”, itulah sapaan yang mereka sampaikan saat kru DIMëNSI datang. Tanpa ada maksud menghina atau semacamnya, tapi sapaan itulah yang biasa mereka lontarkan ketika ada orang selain pemulung datang berkunjung. Mungkin tak ada yang spesial dari gubuk ini, namun di tempat inilah tercipta rasa kebersamaan sesama pemulung. Mereka biasa mengobrol sembari menungggu datangya truk-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

5 5


DIMëNSI Utama truk sampah. Kondisi di gubug ini juga sama, berbau dan banyak lalat berterbangan. Sebelum sampah-sampah diolah, sampah yang baru datang langsung dipilah-pilah. Misalnya, sampah organik berupa daun dan makanan akan dipisahkan dengan sampah non-organik seperti plastik, botol air mineral, dan sebagainya. Untuk hal ini peran pemulung dalam proses pengolahan sampah ini dapat dikatakan cukup sentral. Merekalah yang memilah mana sampah yang masih dapat di daur ulang dan mana sampah yang tak bernilai ekonomi lagi. Hal tersebut karena karakteristik kedua bahan tersebut yang memiliki tingkat kesukaran daur ulangnya yang berbeda. Tokoh lain yang pantas menyandang predikat “pahlawan yang terabaikan” adalah para pekerja dari dinas PUBMCK (Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya; red). Merekalah yang mengumpulkan sampah dari seluruh Tulungagung . Selain itu seluruh operasional TPA Segawe dalam pengelolaan mereka. Mereka tidak mengenal hari libur, tiada hari minggu, bahkan lebaran pun mereka tak libur. “Kami libur sehari saja Tulungagung bisa geger karena sampah mas,” Ujar salah satu petugas PUBMCK. TPA dan Problematika Sampah Seperti sudah disinggung di atas, bahwa sampah selain mendatangkan rupiah bagi sebagian masyarakat setempat juga menimbulkan berbagai problema lingkungan. Tak jauh dari TPA terdapat pemukiman penduduk, salah satu yang paling dekat adalah dusun Soko. Sebenarnya antara TPA Segawe dan dusun Soko hanya dipisahkan sebuah jurang yang jaraknya kurang lebih 1 KM. Sehingga dusun Soko masih dalam jarak pandang dari TPA Segawe. Namun, untuk sampai ke dusun Soko dengan sepeda motor, harus menempuh jalan memutar yang jaraknya sekitar 3 KM. Dengan jarak yang hanya dipisahkan sebuah jurang, bisa ditebak saat angin berhembus kencang, maka aroma gunungan sampah di TPA Segawe akan segera menyengat di hidung masyarakat dusun

6

DIMëNSI

Soko dan hal itu biasa terjadi antara pukul 8-9 pagi dan pukul 7-9 malam. Selain bau sampah juga tidak bisa dipisahkan dari lalat, hal itu pula yang terjadi di TPA Segawe. Meski rutin diadakan penyemprotan lalat, entah masih berapa banyak lalat yang tetap bertebaran di tempat ini. Dan tentunya lalat itu juga sampai ke rumah-rumah warga. Namun, anehnya warga sekitar mengaku tak terlalu terganggu dengan aroma sampah serta lalat yang setiap harinya menyapa mereka. Seperti yang diungkapkan pak Lani, ”Lek masalah lalat kuwi mesti mas, tapi antarane jam 8-9 isuk, karo jam 7-9 wengi. Lek masalah kesehatan ndak enek tapi pengene ada pengobatan gratis buat warga sekitar (kalau permasalahan lalat itu sudah pasti mas, akan tetapi hanya sekitar pukul 5-6 pagi dan antara pukul 7-9 malam. Sedangkan harapannya adalah adanya fasilitas pengobatan gratis dari pihak pengelola untuk warga sekitar; red).” Tutur warga yang menjabat sebagai Ketua RT 02 dusun Sambi ini. Masyarakat sekitar TPA Segawe mengharapkan agar pihak pengelola tetap melakukan penyemprotan secara berkala, dengan harapan lalat yang bertebaran tidak terlalu banyak. Selama ini masyarakat sekitar jarang atau bahkan tidak pernah mengeluh kepada pihak pengelola akan bau serta lalat akibat TPA Segawe. Namun hal itu tak berarti masyarakat tidak terganggu, selain karena mereka melihat keseriusan pihak pengelola TPA dalam mengatasi masalah yang timbul dari tumpukan sampah ini, masyarakat sekitar juga menyadari akan semakin banyaknya sampah dan semakin meluasnya lahan pemukiman. Masyarakat tetap mengharapkan adanya hubungan yang harmonis secara terus menerus antara pihak pengelola TPA yang dalam hal ini pemerintah dengan masyarakat sekitar, dengan membangun fasilitas umum serta diadakan pengobatan gratis untuk masyarakat sekitar TPA. Harapan Masa Depan Sadar bahwa sampah yang akan terkumpul di setiap tahunnya akan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

mengalami peningkatan, pihak pengelola mencoba melakukan beberapa terobosan untuk sedikit menghambat penumpukan sampah yang terlalu banyak. Sampah plastik yang dikenal sebagai sampah yang sangat sulit diuraikan oleh tanah, bahkan sampai beberapa tahun pun akan sulit menyatu dengan tanah. Untuk itu diperlukan sebuah metode khusus untuk menyiasati hal ini, metode ini dinamakan semi-terirenfil. setiap 50 cm sampah akan ditimbun dengan 20 cm tanah, hal semacam ini dimaksudkan saat sampah telah terkumpul banyak, tempat tersebut bisa dengan segera ditanami, sehingga tak ada lahan yang terbengkalai. Selain itu pihak pengelola juga telah menyediakan tempat pencucian truk, sehingga saat kembali ke kota truk-truk sampah tersebut sudah tidak berbau busuk. Pemerintah lewat dinas PUPPW atau sekarang yang lebih dikenal dengan PUBMCK (Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya; red) turut pula dalam upaya pengolahan sampah di TPA ini, khususnya sampah organik (sampah dedaunan; red). Semua sampah dedaunan yang masuk ke TPA ini diolah untuk dijadikan pupuk kompos. Namun karena terkendala kurangnya bahan baku, jumlah pupuk yang dihasilkan pun masih sangat sedikit. Dan pendistribusiannya hanya terbatas untuk tanaman di taman kota. Terlepas dari kuantitas kompos yang dihasilkan, kita juga perlu melihat adanya keseriusan pemerintah dalam upayanya mengolah sampah yang ada. Bisa kita bayangkan, jika usaha seperti ini (pengolahan atau pemanfaatan sampah) dimulai dari rumah-rumah warga. seperti mengolah sampah menjadi bahan kerajinan, atau mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Selain bisa turut ambil bagian dalam upaya penyelamatan bumi, usaha seperti ini jika dijalani secar serius bisa dijadikan sebagai mata pencaharian tambahan bagi masyarakat sekitar.Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana masyarakat berperan aktif dalam pelestarian lingkungan.// bieb/lid/eka/gusnur//


DIMëNSI Utama

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

7


DIMëNSI Utama Dilema Upaya Pelestarian Lingkungan di Sendang; Ketika Sungai Kehilangan “Ruh”nya Sungai ibarat mata air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Sendang dahulu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu sungai menjadi kehilangan “ruh” nya di masyarakat. Pencemaran limbah kotoran ternak disinyalir menjadi salah satu pemicunya. Akankah generasi mendatang masih bisa mencicipi beningnya dan jernihnya air sungai di Sendang? Desa Geger-Sendang adalah desa yang memiliki panorama yang indah, relief pegunungan serta hutan yang masih terjaga “keperawanannya”. Tetapi, ketika kita melihat lebih dalam, disana akan ditemukan beberapa permasalahan khususnya dalam hal pencemaran lingkungan. Seperti ketidaktepatan dalam penanganan pengelolaan limbah yang berasal dari kotoran hewan ternak andalan penduduk desa, yakni sapi perah. Sapi telah menjadi penyambung hidup masyarakat Sendang sejak kurang lebih 25 tahun yang lalu. Tetapi disamping itu muncul sekelumit problem yang menjadi ancaman bagi generasi desa pada masa mendatang. Seperti yang telah diketahui Sendang merupakan sentra penghasil susu sapi terbesar di Tulungagung, lebih dari 90% masyarakat Sendang menggantungkan hidup keluarganya dari sapi perah dari skala kecil, menengah sampai besar. Walaupun pada awalnya mayoritas mata pencaharian masyarakat Sendang tidak sebagai peternak melainkan sebagai pencari kayu bakar, rotan di hutan dan tidak begitu berminat dengan bantuan sapi dari pemerintah. Namun di balik potensi yang terkandung dalam sapi perah tersebut terdapat beberapa masalah yang sangat urgen. Memang sekilas keberadaan sapi perah di daerah tersebut tidak bermasalah. Akantetapi begitu kita teliti lebih lanjut muncul beberapa problem yang timbul di sana, terutama masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah sapi.

8

DIMëNSI

Dok. Dimensi

sapi perah, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa Geger-Sendang-Tulungagung

Benang Kusut Problematika “sapi perah” Bermula dari adanya program Bantuan Presiden (Ban-Pres) pada tahun 2002 yang sudah dirintis sejak tahun 1982, yakni bantuan sapi perah yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa Geger-Sendang-Tulungagung menjadi lebih baik. Daerah GegerSendang dipilih menjadi obyek peternakan sapi perah karena situasi lingkungannya yang pas untuk sapi jenis ini, iklim yang dingin dan dekat dengan kawasan perhutanan sangat mendukung untuk usaha ini. Memang, adanya program stimulan pemerintah berupa sapi perah tersebut, agaknya membuat nyaman mayoritas penduduk desa, mapan dalam sisi pencaharian dan pekerjaan. seperti penuturan Sri selaku kapala desa Geger, “90% mata

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

pencaharian warga desa sini adalah ternak sapi perah, baik yang memiliki ternak sindiri maupun buruh ternak (gado)”. Namun, disisi lain mereka harus rela menanggung konsekuensinya, yakni kehilangan romantisme sejarah kearifan lingkungannya, seperti halnya kasus pencemaran sungai, area pekarangan dan lahan pemukiman serta uap gas kotoran yang seringkali menyebabkan bau tak sedap. Sungai Babakan, adalah contoh korban pencemaran akibat semakin maraknya populasi sapi perah penghasil susu. Tak lain karena faktor ekonomilah sehingga penduduk harus lebih memprioritaskan sapi perah walaupun dengan resiko harus kehilangan keasrian lingkungan termasuk sungai tersebut. Oleh karena itu, penduduk pasti tercengang (terdiam; red), andaikan moyangnya menuntut dan mempertanyakan lagi, kemana sun-


DIMëNSI Utama gaiku yang dulu mengalir gemercik bening menawan. Posisi mereka sebagai korban, mereka tidak bisa memanfaatkan Sungai Babakan untuk keperluan sehari-hari mereka, minum, mencuci dan mandi. Seperti yang pernah dialami Sang moyang pada tempo dulu sebelum muncul sapi perah. Ketika masih dijumpainya orang yang berduyun-duyun ke sungai untuk mencuci, minum bahkan mandi menikmati segarnya mata air anugerah Tuhan ini. Seperti yang diutarakan oleh warga penduduk desa Geger, Karyoto (55). “Sungai Babakan merupakan sungai bersih yang bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, mengalir dari desa hulu ke desa hilir, banyak warga yang menggantungkan kebutuhan airnya untuk keperluan keseharian dari sungai ini. Bahkan sungai ini sempat disebut sebagai DAM giliran alami. Artinya, saking vitalnya posisi sungai ini bagi masyarakat beberapa desa dan juga berarti penting untuk kebutuhan beberapa sektor. Untuk mengatur pembagiannya, sungai itu harus digilir penggunaannya meliputi Desa Geger Luruh, Tugu, Krosok, dan Talang serta di daerah yang bawahnya lagi.” Terangnya. Namun, dari sekian banyak warga desa sedikit demi sedikit harus mengurangi pemanfaatan sungai itu, setelah kandungan air dirasakan tidak lagi layak untuk dikonsumsi

(minum, mencuci dan mandi; red), kecuali untuk kebutuhan irigasi saja. “Warga gak pernah ambil air dari sungai,untuk masak mencuci bahkan memandikan ternak sapi” Tutur Sri Kepala desa Geger. Setelah populasi sapi ternak berangsur-angsur semakin bertambah, maka semakin banyak warga yang terpaksa harus meninggalkan sungai itu sebagai sumber memenuhi kebutuhan air minum. Warga harus mencari sumber mata air lain, walau harus di ujung pegunungan yang jauh dari tempat tinggal mereka. Untuk mengatasi kondisi krisis air tersebut, sempat ada proyek program HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) yang pada mulanya berjalan cukup normal. Namun, kenormalan itu tidak bisa bertahan lama. Dalam hal ini lagi-lagi ada kendala yang ditemui warga, seperti halnya tidak terjaminnya keamanan dari kecurangan dalam distribusi air, serta penyalahgunaan air yang semestinya digunakan untuk kebutuhan pemakai justru lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sapi perahnya. Masalah lain adalah tidak meratanya program itu untuk seluruh warga desa, dan juga adanya kesenjangan antara penduduk yang bisa dengan mudah mengakses air dan yang tidak. Artinya, tidak semua rumah bisa dijangkau oleh Program Pengadaan Air Minum itu. Bagi war-

ga yang mampu, maka ia bisa mengusahakan swadaya murni. Namun, bagi yang tidak mampu, menggunakan sungai tercemar limbah sapi adalah pilihan paling buruk bagi warga miskin dan yang jauh dari akses jangkauan air program pengadaan air minum. “Sak jane pomo lek lepen resik, takseh masyarakat sing pengen saget damel, bahkan sebagian nggeh takseh omahe kurang terjangkau niku, ekonomi rendah, butuh biaya, sok terpaksa minum air sungai (Sebenarnya jika sungai itu masih bersih, masih banyak masyarakat yang ingin menggunakannya, bahkan sebagian ya masih ada yang rumahnya tidak terjangkau itu, dengan alasan butuh biaya (untuk membuat saluran sendiri) maka harus terpaksa minum sungai; red) Ungkap lelaki yang juga pernah menjadi pengurus HIPPAM itu. Pupuk Organik dan Biogas; Alternatif Meminimalisir Pencemaran Sesuai dengan perkembangannya, dapat dipastikan jumlah populasi sapi perah akan semakin bertambah, sebagaimana perbandingan jumlah sapi perah pada masa rintisan hingga hari ini. Pada awalnya, empat ekor sapi cukup memberikan kesejahteraan bagi pemilik, seiring dengan sifat naluri manusiawi maka kesejahteraan itu akan semakin dirasa kurang lengkap hingga memu-

Dok. Dimensi

Tabung tempat pemrosesan limbah kotoran sapi menjadi biogas (kiri) dan kolam kecil tempat pembuangan limbah kotoran sapi (kanan)

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

9


DIMëNSI Utama tuskan untuk menambah kuantitas ternaknya. Banyak masyarakat yang saat ini memelihara ternak diatas 30 ekor per rumah. Lambat laun, populasi sapi juga diiringi output limbahnya. Bersamaan dengan itu akan disusul pula semakin rawan terhadap pencemaran lingkungan. Sebabnya inti permasalahan ini bukan terletak pada kesalahan warga karena memperbesar jumlah populasi ternak sapi perahnya, akan tetapi kurang optimumnya alternatif dalam penanganan limbah yang dihasilkan sapi ini. Kasus ini akan selesai jika limbah ini benar-benar diminimalisir dampak pencemarannya terhadap sungai, area pekarangan dan lahan pemukiman maupun dampak pencemaran udara akibat uap gas kotoran. Salah satu solusi yang pernah digagas dalam hal ini adalah biogas. Biogas adalah pengelolaan gas hasil kotoran sapi yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti pembakaran (memasak, listrik, red). Hasilnya daripada dibuang siasia sehingga mengakibatkan lingkungan panas dan berbau tak sedap, gas kotoran justru bisa dialihkan menjadi kebutuhan memasak. Solusi kedua adalah pemanfaatan limbah dalam bentuk pupuk organik atau kompos, yaitu limbah apapun dari peternakan bisa diolah menjadi pupuk yang bisa digunakan untuk suplemen kebutuhan segala tanaman petani. Entah itu limbah berupa benda padat ataupun yang cair. Jika pengolahan ini benarbenar dilaksanakan masyarakat secara total, maka kasus pencemaran limbah yang berdampak secara luas ini dapat diminimalisir hingga tidak lagi menyebabkan dampak jangka pendek (pencemaran sungai dan udara, red) maupun jangka panjang seperti keterbatasan lahan pemukiman. Hambatan yang Dialami Memang, pemerintah desa juga dinas-dinas terkait seperti Dinas Peternakan dan Pertanian Tulungagung pernah menyelenggarakan pembinaan dan pelatihan-pelatihan terh-

10

DIMëNSI

adap masyarakat terkait bagaimana pengolahan pupuk dan biogas. Namun, beberapa warga menanggapi tidak adanya tindak lanjut dari pemerintah atas pelatihan-pelatihan itu, setelah mayoritas masyarakat mampu dan mahir cara membuat pupuk tidak ada juga pendampingan-pendampingan dalam penggunaannya. Yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya pelatihan saja, melainkan juga media wahana pemasaran produk pupuk itu. Seperti yang diungkap oleh Karyoto, “Setelah dibuat pupuk organik itu dimanfaatkan siapa dan untuk apa? Karena kalau untuk masyarakat desa sini kurang begitu membutuhkan (untuk keperluan pribadi, red). Karena sudah kelebihan pupuk, kalau pemerintah sendiri tidak memberi jalan keluar pemasarannya, kan tidak ada artinya, alangkah baiknya pemerintah itu hendaknya mendirikan perusahaan pupuk organik dan menerima limbah dari peternak katakan limbah itu dibuat kering atau basah, bahkan (jika ada perusahaan dalam pemasaran, red) nanti tetap ada yang menerima dan dikelola dari perusahaan pupuk, lha nanti saya kira sangat mengurangi bahkan mungkin tidak ada lagi pencemaran lingkungan, mengurangi pencemaran sungai”. Ungkapnya dengan tegas. Masyarakat menyadari pemerintah sering dalam memberikan penyuluhan terhadap ternak, uji lingkungan serta sosialisasi dalam pembuatan produk pupuk. Namun, produk tersebut jelas dirasa sangat berkelebihan jika hanya dibuat untuk keperluan sendirinya saja. Jelas yang dibutuhkan disini adalah media pemasaran untuk memperlancar regulasi, serta bisa memberikan motivasi bagi masyarakat untuk memperlancar produktifitas pupuk. Yang diharapkan, bisa mendapatkan hasil susu secara maksimal juga ada tambahan pendapatan dari penjualan pupuk itu. “Kalau memang limbah itu nanti benar-benar ada yang menampung, yang jelas dapat penghasilan dari limbah, bahkan meskipun hanya 5000 atau 3000 yang jelas terkena

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

Tatik

selain ada penghasilan dari susu dan juga penghasilan dari limbahnya, yang jelas berlaku ya, ada yang menerima kan jelas dikirim kesitu daripada dibuang sia-sia, itu kan sudah menjadi penambahan perekonomian”. Ungkap salah satu warga desa yang tidak mau disebutkan identitasnya tersebut. Ujung dari pelatihan itu adalah kebosanan warga, kreatifitas warga yang pernah digeluti tersebut dirasa tidak lagi perlu untuk dikembangkan. Nada pesimis semakin menggalak setelah masyarakat merasa siap dalam memproduksi namun pemerintah kurang dalam memberikan pendampingan jalan keluar pemasarannya. Yang ujung-ujungnya adalah tetap terbiarkannya nasib sungai dan lahan yang tandus sebagai korban pencemaran. Masyarakat menilai, kasus pencemaran limbah ke sungai-sungai dan lahan itu tidak sepenuhnya kesalahan warga saja, akan tetapi pemerintah juga harus ikut andil disitu. Bahkan warga sempat menuntut, kenapa produksi pupuk itu tidak dialokasikan saja untuk agropolitan yang diprogramkan fokus terhadap desa yang berdekatan dengan kawasan hutan itu. Desa kota agropolitan merupakan konsep untuk mewujudkan kawasan hutan tanaman sayur yang jelas membutuhkan suplai banyak pupuk. Program agro itu difokuskan di Desa Geger dengan daerah penyangga desa Sembuyung, Sendang, Krosok, di bawah Kecamatan Sendang. Sebenarnya pupuk organ-


DIMëNSI Utama ik karya warga itu bisa dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman agropolitan. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada realisasinya dari pihak pemerintah. “Saya kira jika pemerintah itu memang mengutamakan sesuai dengan program kalau Geger itu buat kota agrokota tani, kalau limbahnya iki tidak diurusi kan tidak seimbang tow, seharusnya yang begitu itu dibenahi dulu, terus nanti limbah diusahakan dibuat perusahaan pupuk organik, pupuk organik dimanfaatkan untuk kebutuhan tanaman, terus limbahnya itu semestinya kan cukup dari peternak sapi setempat, bahkan nanti suplay itu bisa membuat pencemarannya berkurang, terus pencemaran sungai juga bisa berkurang, bahkan peternak sendiri kalau dirintis diberi sanksi bikin perjanjian kalo tidak mau limbahnya tidak mau kirim ke perusahaan kalo dibuang ke sungai dia ada sanksinya, kan jelas wedi (takut, red) kan”. Nada itulah yang diungkapkan warga sebagai bentuk solusi dalam penanganan limbah ternak. Pemerintah sebagai stimulan Dinas Peternakan pernah mengungkapkan bahwa, pencemaran itu memang diakibatkan dari kurang tepatnya warga dalam menangani limbah ternak. Kesadaran untuk menggarap biogas dan pupuk organik juga masih rendah, walaupun sudah ada penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan bagaimana mengolah limbah menjadi pupuk dan cara memanfaatkan uap kotoran menjadi biogas. Dan juga menegaskan bahwa masyarakat seharusnya bisa mandiri dalam memanfaatkan pupuk hasil limbah itu, tanpa harus menunggu bola dari pemerintah terkait bantuan dalam hal pemasarannya. Menggunakannya untuk sawah dan tanaman sendiri tanpa harus berharap lebih dari pemerintah khususnya untuk mengusahakan bisa menerima suplai produk pupuknya. Seperti diungkapkan Tatik (52) Sekertaris Dinas Peternakan Tulungagung, “Kalau soal pupuk organik

itu kendalanya masalah pemasaran, jelas, itu kan dimanfaatkan untuk kebutuhan mereka sendiri sebetulnya, Mereka selama ini berkelebihan, ndak apa-apa, bisa dimanfaatkan utk lingkungang sendiri kemudian utk bebetrapa sawahnya, atau untuk memupuk-pupuk yang lain, kelebihan itu bisa dipasarkan kalo mereka punya canel di mana-mana”. Ungkapnya saat ditemui kru DIMëNSI di tempat kerjanya. Kalau pemerintah mengatakan bahwa rendahnya kesadaran masyarakat dan ketidakmengertian warga ini berakibat menjadi masalah lingkungan, maka sinilah tugas pemerintah untuk mendidik dan mengarahkan warganya, serta memberikan penyegaran terhadap kesadaran warga dalam konteks lingkungan hidup. Namun pada kenyataannya, pemerintah sendiri mengakui bahwa program positif pelatihan biogas dan pupuk organik itu semata-mata hanya untuk stimulan (rangsangan), sementara tindak lanjutnya diserahkan menurut kesadaran masyarakat. Jika solusinya hanya menunggu kesadaran maka ibarat mengharapkan pasien menyembuhkan pasien yang lain atau dengan kata lain hal itu bukanlah jalan keluar yang tepat. Mencoba mengutip harapan Dinas Peternakan, “Jadi, harapannya itu limbah yang dikeluarkan oleh kotoran ternak itu bisa diolah kembali menjadi pupuk. Lingkungan kotorannya harus ditempatkan di tempat yang tertentu, itu seharusnya secara yang benar. Apalagi dengan adanya musim-musim ini semakin susah, di pegunungan-pegunungan itu kan di lereng-lereng dan mempunyai keterbatasan lahan, kita tetap menjaga kebersihan lingkungannya, kandangnya, daerah sekitarnya”. Itulah kira-kira tentang sebuah kata yang nampaknya ditujukan sebagai bentuk pesan terhadap masyarakat. Sebenarnya siapapun orangnya pasti memiliki harapan yang baik demi keselarasan lingkungannya, pertanyaannya tinggal siapa yang melaksanakan dengan penuh ke-

sadaran?. Rakyat dengan alibinya tidak ada yang memberikan bantuan dari pemerintah, ataukah pemerintah dengan alasan keterbatasan anggaran. “Dalam hal bantuan ini tergantung dari anggaran yang ada, dari sini kita (tetap) tergantung dari anggarannya yang ada itu berapa”. Alasan yang dipaparkan Tatik selaku sekertaris Dinas Peternakan tersebut. Bicara soal lingkungan hidup, maka tidak terlepas juga adanya peran Balai Lingkungan Hidup (BLH) Tulungagung, Agus Prijanto Utomo (40) selaku Kasubag Progam mengakui bahwa pihaknya juga ikut andil dalam hal ini, “Peran kita sebetulnya juga dalam hal menguji kualitas air, saya sampaikan bahwa peran kita untuk hal ini juga memberikan motivasi terhadap masyarakat bagi yang berusaha sapinya itu baik, juga baik (motivasi) termasuk untuk peternak kalau memang dimungkinkan atau memungkinkan potensi pencemaran”. Siapapun juga termasuk BLH, pasti akan merasakan sebuah dilematis ketika menghadapi kondisi antara memprioritaskan pendapatan dan dampak kerusakan lingkungan. “Sebenarnya kitapun cukup dilematis. satu, terkait pendapatan masyarakat dalam hal ternak (penjualan susu), tapi disisi lain kita juga harus menjaga lingkungan, dari segi kualitas. Jadi, kita nanti memaksakan kehendak masyarakat (harus) istilahnya jangan melakukan pencemaran itu kan susah, hanya slogan (saja), padahal kalau dilakukan dengan maksimal bisa, cuman yang ada disana biasanya tidak pertolongan yang baik, seperti memudahkan mereka untuk segera membuang (ke sungai, lahan)”. Permasalahan lingkungan memang selalu terkait dengan banyak kepentingan. Akan tetapi, untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya kerjasama dari semua pihak untuk berkomitmen mendahulukan kelestarian lingkungan demi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.//vit/mu’/kri/ jal/

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

11


DIMëNSI Utama Menyelamatkan Bumi; Pelestarian Hutan untuk Investasi Masa Depan Setidaknya usaha yang dapat kita lakukan adalah sebisa mungkin berusaha supaya usia bumi kita ini bisa kita huni lebih lama lagi walaupun pada akhirnya dikemudian hari akan hancur.

Pemanasan global adalah proses kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Pemanasan global terjadi karena peningkatan jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di lapisan udara dekat permukaan bumi (atmosfer). Gas tersebut memerangkap panas dari matahari sehingga menyebabkan suhu bumi semakin panas dari suhu normal. Gas Rumah Kaca (GRK) memungkinkan sebagian panas dari matahari ditahan di atas permukaan bumi dan secara alami gas-gas rumah kaca ini memancarkan kembali panas matahari agar tidak semua diserap bumi, tetapi hanya sebagian saja. Dengan demikian, GRK membuat suhu di bumi pada titik yang layak huni bagi makhluk hidup. Emisi (buangan) yang dihasilkan dari bahan bakar fosil menyumbang 2/3 dari total emisi yang dikeluarkan ke udara. Sedangkan 1/3 dihasilkan dari kehutanan, pertanian dan sampah. Dari 1/3 emisi yang dihasilkan, hutan memasok 18% emisi dari kebakaran hutan. Untuk mengurangi emisi khususnya yang dihasilkan dari hutan, dari sini, penting kiranya usaha pelestarian hutan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, usaha pelestarian hutan sedikit demi sedikit sudah dilakukan oleh masyarakat sadar lingkungan. Salah satu bentuk kesadaran pelestarian lingkungan bisa kita jumpai pada masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Mburet kabupaten Tulungagung. Kawasan hutan ini dulu pada tahu 1997 sempat gundul hingga seluas kirakira satu hektar. Berangkat dari situ muncul kesadaran masyarakat untuk melakukan penghijauan kembali hutan lindung, “Niat kami adalah ingin menjaga, melestarikan, dan melindungi kelestarian alam di daerah,” Ungkap Karsinero selaku pemuda

12

DIMëNSI

pelopor masyarakat sadar lingkungan desa Sawo kecamatan Pakel Tulungagung. Selama ini upaya pelestarian hutan yang dilakukan di Indonesia belum sampai diperhitungkan sebagai upaya pengurangan emisi, namun masih sebatas rutinitas pelestarian hutan. Wacana demikian yang kami dapati saat melakukan investigasi di kawasan hutan lindung sekitar telaga Mburet Tulungagung. Meski demikian, sudah ada beberapa warga yang memahami pentingnya keberadaan hutan terhadap pengurangan emisi GRK. Ketika disinggung mengenai dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penebangan hutan secara liar terhadap lingkungan sekitar, mayoritas masyarakat sekitar hutan telaga Mburet berpendapat sama, yakni ketakutan akan mudahnya terjadi banjir sebab tidak ada lagi pohon yang menyerap air ke dalam tanah. Kondisi ini memicu terjadinya longsor di sebagian hutan yang ter-

letak di lokasi pegunungan serta terjadinya banjir. Selain itu, warga disekitar telaga Mburet juga khawatir jika kondisi hutan yang gundul akan mempengaruhi sumber mata air telaga Mburet yang dijadikan sumber irigasi satu-satunya di daerah tersebut. “Nggeh mesio tonyone sak niki mboten ageng kados riyen, tapi Alhamdulillah takseh cekap kangge ilen-ilen tigang dusun: Sawo, Gamping kalih Ngentrong (ya meskipun airnya sekarang tidak sebesar dulu, tapi Alhamdulillah masih cukup mengairi tiga dusun yaitu, Sawo, Gamping dan Ngentrong; red)”, tutur pak Kardi warga Sawo saat kami mintai penjelasan mengenai dampak buruk yang ditimbulkan dari perusakan hutan. Pak Kardi juga merasa resah karena dengan adanya penebangan hutan secara liar sangat berpengaruh pada tumbuhnya rumput-rumput yang menjadi menu favorit binatang piaraanya. Sementara Anom Suroto selaku wakil dari Dinas Kehutanan

Dok. Dimensi

Telaga buret sebagai habitat asli kera

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


DIMëNSI Utama menjelaskan mengenai kewenangan serta kontribusi yang bisa dilakukan Dinas terhadap hutan lindung. “Peran Dinas Perhutanan dan Perkebunan adalah menjaga serta melestarikan bekerjasama dengan KPH, asper Blitar, kasepuhan serta bekerjasama dengan warga dalam penanaman pohon. Bibit pohon yang diterima itu hasil kerjasama dinas dengan bank BRI”, tutur pak Anom saat kami datangi di ruang kerjanya. Dinas kehutanan juga terus menjalin kerjasama dengan berbagai instansi dan mengajak untuk mau dan peduli terhadap kelestarian hutan lindung Tulungagung. Dari Angker Asri menuju Sadar Asri Menurut warga setempat, pada mulanya sekitar tahun 1960, kondisi hutan di lokasi sekitar telaga Mburet dan sekitarnya sudah terjaga kelestariannya. Namun, taraf kelestarian yang terbentuk masih disebabkan berkembangnya mitos angker dalam masyarakat pada waktu itu. Hal ini yang menjadi inspirasi besar masyarakat sekitar Mburet untuk bisa mewujudkan pelestarian hutan kembali. Bukan motif angker yang diusung, namun lebih merupakan sebuah usaha untuk menanamkan serta melahirkan nalar sadar kelestarian lingkungan. Selain itu, maraknya penjarahan hutan yang terjadi juga menggugah hati nurani masyarakat untuk sedini mungkin turut serta melestarikan hutan sebelum terjadi penggundulan total hutan yang berada di Tulungagung bagian selatan ini. Benih-benih kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kelestarian hutan lambat laun mulai tumbuh. Ini terlihat dari penuturan beberapa warga saat ditemui kru DIMëNSI, “Nggeh biasane niku lare-lare nem daerah mriki kaleh celak-celak mriki engkang nyepeng daerah hutan niku mas. Enggeh kadang-kadang tiyang dusun meriki sami gera’an, ewangewang ngoten (ya biasanya pemuda dusun sini dan sekitar yang mengelola hutan ini mas. Ya terkadang warga setempat juga ikut gotongroyong, bantu-bantu gitu; red)”, tutur Ibu setengah baya saat kami temui di kediamannya dekat dengan lokasi hutan telaga Mburet yang tidak mau

disebutkan identitasnya. Jadi inti ukuran sebuah penyadaran pelestarian lingkungan adalah lewat pembuktian berupa tindakan. Tidak cukup hanya sebatas katakata tanpa adanya aksi. Hal inilah yang telah dilakukan Karsinero bersama dengan komunitas lain pecinta kelestarian lingkungan khususnya di kawasan hutan lindung Tulungagung bagian selatan. Kesadaran masyarakat pun benar-benar sudah mulai tumbuh serta dibuktikan dalam keikutsertaan aksi reboisasi. “Bahkan dalam upaya reboisasi tahun 2006 semua masyarakat empat desa turut serta sampai ada yang tidak kebagian benih karena pengadaan benih untuk reboisasi terbatas,” Ungkap Karsinero. Dia juga menyayangkan kalangan yang menggembargemborkan pentingnya menjaga kelestaian lingkungan namun minim aksi di lapangan. Dalam mengelola kelestarian hutan lindung, Karsinero (ketua Karangtaruna) bukanlah satu-satuya komunitas yang mempunyai andil besar dalam usaha pelestarian hutan. Pokja (kelompok kerja; red ) petani sekitar hutan lindung serta Kasepuhan Sendang Tirto Mulyo (komunitas tua masyarakat sawo; red) juga menyumbang andil besar dalam aktifitas pelestarian lingkungan tersebut. Menurut Pak Tamar, salah satu anggota kasepuhan sekaligus juga anggota pokja, pada tahun 2008 pihak perhutani melakukan reboisasi dengan kisaran dana Rp. 10.000.000 namun bisa dibilang gagal karena disebabkan beberapa faktor terutama waktu tanam kurang tepat. Pada masa reboisasi tersebut Pak Tamar belum begitu terlibat ikut menangani (mengkoodinir). Dalam pada itu, reboisasi ini mendapat simpatisan peduli lingkungan hidup dari pihak sekolah diantaranya Dr.Ratgono dari SMU Katolik. “Tahun 2009 kasepuhan Sendang Tirto Mulyo memberi tugas kepada saya sebagai pelaksana kegiatan di lapangan dan Alhamdulilah 80% dari bibit yang ditanam hidup. Banyak pihak sukarela pada waktu reboisasi kali ini diantaranya ada dari kasepuhan, PPLH, siswa SMK Katolik Tulungagung, Polres Tulungagung dan kelompok tani (pokja) LMDH. Proses reboisasi memang

membutuhkan penanganan yang serius. Selain perlu diadakan ceking pohon serta perawatan, faktor cuaca juga cukup besar pengaruhnya pada persentasi tumbuhnya pohon yang ditanam,” Ungkap Pak Tamar, tokoh masyakat yang menginjak usia senja namun sedikit pun tidak menyurutkan ketegaran jiwa sosialnya . Reboisasi yang dilakukan di kawasan hutan lindung sekitar telaga Mburet yang dilakukan komunitas pecinta lingkungan kali ini memang sedikit agak berbeda dari reboisasi yang pernah dilakukan di kawasan hutan yang lain. “Kami sengaja mencoba alternatif baru dengan menanami hutan yang gundul dengan pohon-pohon buah, seperti belimbing, alpukat, jambu mente, nangka, mangga, kluwih, durian, miri, cokelat, petai, dan kedondong. Selain itu juga ada beberapa jenis pohon besar yang juga di tanam dalam prosesi reboisasi tersebut seperti pohon jati, sengon dan trembesi,” Imbuh Pak Tamar. Beliau memiliki harapan besar dari hasil reboisasi tersebut semoga nantinya kawasan hutan lindung tidak hanya berfungsi sebagai penyeimbang sirkulasi kehidupan. Namun lebih dari itu, kawasan hutan ini bisa dijadikan tempat wisata taman buah dan labolatorium penelitian anak-anak sekolah. Meskipun usaha pelestarian hutan yang telah dilakukan masyarakat yang didukung Dinas-Dinas terkait berangkat dari sebuah upaya pelestarian hutan untuk menghindari dampak yang dirasakan masyarakat secara langsung; banjir, longsor dan kebakaran hutan, lebih dari itu, pengorbanan masyarakat besar sekali kontribusinya terhadap penurunan emisi GRK. Dan hal ini bukan hanya bermanfaat bagi atmosfer Indonesia, namun lebih luas lagi bermanfaat bagi atmosfer bumi secara keseluruhan. Aktifitas seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki “ruh humanis” yang tinggi. Mereka inilah orang-orang yang tulus, rela berkorban demi kepentingan bersama. “Pekerjaan seperti ini tidak ada imbalan finansial sama sekali Mbak,” ungkap Karsi. Data yang kami peroleh dari Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Blitar terhitung sampai akhir

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

13


DIMëNSI Utama Januari 2009, dari 9 kecamatan yang masuk kawasan KPH Blitar(kawasan hutan Tulungagung bagian selatan dibawah naungan KPH Blitar), terdata 41 LMDH (Lembaga Masyarakat Daerah Hutan; red). LMDH inilah yang menaungi masyarakat yang peduli terhadap hutan lindung. Menjadikan Tempat Wisata Sebuah Alternatif Pelestarian Hutan Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, begitu kiranya yang dilakukan aktififis pecinta lingkungan macam komunitas yang diketuai Karsinero serta komunitas-komunitas lain yang ada di sekitar hutan lindung telaga Mburet. Meski demikian, jerihpayah yang dilakukan komunitas-komunitas tersebut bukan semata-mata hanya untuk menjadikan hutan lindung telaga Mburet sebagai tempat wisata. Lebih dari itu, tujuan utama yang mereka lakukan adalah mewujudkan kelestarian hutan serta membangun kesadaran masyarakat yang peduli dengan lingkungan. Demikian ini mendapat dukungan dari Dinas Pariwisata Tulungagung. “Mburet akan terus kita support untuk menjadi tempat wisata. Menurut saya telaga Mburet memiliki potensi bagus untuk dijadikan tempat pariwisata. Selain keindahan serta kesejukan udara yang dimiliki hutan ini, lokasi Mburet merupakan jalur strategis karena jalan yang dilalui satu jalur dengan pantai Popoh. Ya.. para pengunjung kan nantinya dari Popoh bisa mampir di telaga Mburet atau sebaliknya” ungkap Gatot selaku pimpinan Dinas Pariwisata Tulungagung. Meskipun

kontribusi Dinas Pariwisata secara finansial saat ini belum bisa terlihat lebih jauh karena minimya anggaran dana. Sedangkan potensi yang dimiliki Hutan lindung wilayah ini selain memiliki telaga Mburet yang unik (sering terjadi Jeglug (jawa)--air meluap hingga beberapa meter ketinggiannya setelah itu surut kembali) dan sampai sekarang telaga yang berdiameter kuranglebih 20 m ini belum diketahui dasar kedalamannya. Potensi lain yang dimiliki hutan ini diantaranya adalah adanya ratusan binatang kera yang sering menampakkan diri bergelantungan di sekitar telaga, bahkan tidak jarang kera-kera tersebut turun di pelataran telaga Mburet bergumul bersama di tengah-tengah kerumunan pengunjung untuk menerima uluran makanan yang diberikan. Pak Anom selaku Pimpinan Dinas Kehutanan merencanakan pengadaan beberapa spesies binatang dan dibuatkan kandang. Di lokasi sekitar telaga Mburet. “Rencana ke depan Dinas, kawasan hutan lindung ingin dikembangkan menjadi agrowisata, yang nantinya di dalamnya terdapat taman kreasi dan juga kebun binatang supaya warga dekat sana tidak jauh lagi pergi ke pendopo untuk melihat-lihat binatang seperti rusa, burung unta, merak dan lain-lain” tutur pak Anom. Memang saat ini hewan-hewan tersebut masih berada di taman pendopo Tulungagung. Sementara dari pihak Dinas Pariwisata sendiri belum bisa membantu banyak dalam hal finansial. Pihak Dinas masih menanti investor

Dok. Dimensi

Kasepuh sedang melakukan ulur-ulur; (tradisi ritual tahunan, sesaji alam—do’a bersama untuk mensyukuri kelestarian alam)

14

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

yang mau untuk diajak bekerjasama. “Selama ini belum ada investor asing yang masuk dalam keikutsertaan mengelola Mburet. Kontribusi yang dapat kita lakukan saat ini masih sekedar memberikan penyuluhan mengenai pentingnya melestarikan hutan kepada masyarakat sekitar Mburet” tutur pak Gatot. Beliau juga menambahkan bahwa Pihak Dinas akan melakukan publikasi ke berbagai wilayah mengenai keberadaan serta potensi yang dimiliki Mburet wisata. Selain itu, dari aspek budaya, tradisi ulur-ulur; (tradisi ritual tahunan, sesaji alam—do’a bersama untuk mensyukuri kelestarian alam) yang dilakukan masyarakat sekitar telaga Mburet juga cukup menjadi objek menarik bagi para pengunjung. Upacara adat yang rutin dilakukan pada bulan-bulan tertentu seperti Suro oleh masyarakat sekitar hutan tersebut selama ini cukup mendapat perhatian, baik dari kalangan masyarakat setempat maupun Pemerintah Daerah. “Rencana ke depan kami punya keinginan mengadakan pemilihan putri ulur-ulur dan pesertanya diambil dari pelajar SLTA yang ada di Tulungagung. Bagi siswi SLTA yang terpilih akan ditampilkan untuk mengiring acara tradisi ulurulur” ungkap Pak Tamar, salah satu anggota kasepuhan SendangTirto Mulyo yang memiliki tradisi tahuhan ulur-ulur tersebut. Bahkan tak jarang acara ulur-ulur ini mengundang perhatian pengunjung luar daerah untuk turut serta mengikuti prosesi ulur-ulur dari awal hinng usai. Selama ini Mburet memang sudah menjadi tempat wisata namun dengan kondisi masih serba alami. Potensi-potensi menarik tempat inilah mungkin yang menarik minat pengunjung untuk mampir melihatlihat serta menikmati sejuknya udara untuk sekedar melepas kepenatan bersama keluarga. Para pengunjung selama ini bebas keluar masuk melalui pintu gerbang, karena selama ini para pengunjung belum dikenakan tarip tiket masuk. Tak jarang tempat ini juga dipergunakan untuk dijadikan arena instan playing fox anak-anak sekolah TK, SD maupun orang-orang dewasa. //zen/khori/lly ces/eka-p//



Liputan Khusus Geliat Warga Desa Nyawangan; Aplikasi Kesadaran akan Pentingnya Kelestarian Hutan Ketika hutan sudah kehilangan endapan air, pohon-pohon telah tumbang karena ulah blandong, sampah menjadi masalah yang kronik, instansipun tidak maksimal dalam penanganan wisata, lantas siapa lagi yang akan peduli?

Jalan beraspal sudah usai terlewati, kini tinggal jalan yang berbatuan yang ditempuh, berderet batuan hitam yang tertata rapi dan kokoh menahan beribu-ribu ton barang hasil hutan untuk dikirim di perkotaan. Pepohonan sudah mulai jarang yang tumbuh dewasa di pegunungan Desa Nyawangan ini. Tanaman pangan pun tidak ada yang produktif selayaknya panen di daerah persawahan dataran rendah. Memang ironis sekali jika mengharap terdapat sungai yang deras jikalau upaya pelestarian hutanpun tidak ada. “Tulungagung akan menjadi kota pelopor pelestarian dari semua perubahan tentang pelestarian lingkun-

16

DIMëNSI

gan di abad global warming ini dan Tulungagung akan mewakili negaranegara yang berupaya tapi upaya dalam pengembanganya yang sampai sekarang belum terealisasi”. Komentar Gatot selaku penuh dalam penghijauan. “Tulungagung sebenare banyak terdapat potensi alam tetutama dalam wisata,” Dinas Pariwisata saat ditemui di kantornya. Itu semua jika Tulungagung mengaplikasikan upaya pelestarian lingkungannya. Karena Tulungagung kota yang banyak terdapat pegunungan yang gundul, pantai yang tidak terawat, telaga yang butuh penanganan yang serius. Sehingga Tulungagung jika terus dilakukan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

pembahasan, seakan pasien yang membutuhkan penanganan yang ekstra dikarenakan penyakit yang sudah kronik dan dengan keadaan tubuh yang kritis. Wacana tentang Tulungagung, memang tidak semudah di anganangan dengan bermodal slogan “Lestarikan Hutan” semua akan baik-baik saja dengan memampang di pinggir jalan dan di samping tempat sampah atau yang lainya. Akan tetapi, itu semua akan berhenti sampai pada slogan itu saja dan tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada objek yang perlu dilestarikan. Padahal yang dibutuhkan adalah bagaimana terjaganya kelestarian


Liputan Khusus

Dok. Dimensi

Gatot S. U, selaku Humas Dinas Pariwisata Tulungagung

hutan sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Pelestarian lingkungan melalui rintisan aliran sungai Tempursari Dipelosok kota Tulungagung, bahkan desa yang masih terdapat hutan dan terasa udara yang sejuk setiap kali hisapannya, terdapat rintisan wilayah hutan wisata yang diselenggarakan di Desa Nyawangan kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. Desa nyawangan ini, merupakan salah satu desa di bagian utara dalam peta kabupaten Tulungagung. Desa yang berada di perbukitan gunung Wilis yang merupakan gunung pemisah antara kota Kediri, Ponorogo, Madiun, Trenggalek. Akses menuju desa ini tidak begitu dikenal karena tempatnya yang masih di tengah hutan percabangan jalan menuju kecamatan Sendang. Ketika sampai pada pertigaan antara menuju kantor desa Nyawangan dan rumah warga, tentunya pilih jalan yang arah berlawanan yang menuju ke kantor balai desanya. Dengan mengikuti petunjuk jalan “Wisata Rintisan Desa Nyawangan” pastilah sampai tujuan sekitar 15 menit dengan kecepatan 20 Km/ Jam dari pertigaan menuju balai desanya.

Awal mula rintisan hutan wisata ini merupakan inisiatif dari warga sekitar untuk mendirikan tempat hiburan selayaknya tempat ramai yang terkunjungi di daerah kota pada umumnya. “Rencana pembangunan Wisata kali Tempursari memang berawal dari iniasiatif warga setempat (nyawangan; red) untuk upaya pelestarian lingkungan”. Kata Wasit yang mengaku sebagai mandor hutan kecamatan sendang dan sekitarnya. Tambahnya, “Selama ini diadakan perintisan itu cuma dana dari kami sendiri dan itu dana patungan dari saya dan sekretaris desa Nyawangan”. Tutur wasit sambil duduk di kursi plastik di ruang tamunya. Rintisan hutan wisata “Kali Tempursari” (nama wisata rintisan; red), membutuhkan tindakan yang cukup serius dalam upaya pembangunannya. Bahkan, tentang publikasinya masih sangat minim sekali. Karena kendala akses untuk menuju di lokasi wisata. “Kemarin kami musyawarah untuk perencaan hutan wisata bersama teman-teman mulai muda sampai tua, termasuk perangkat desa misal pak sunar yang menjabat sebagai sekretaris desa saat ini. Hasil dari itu upaya pembangunan dari pihak pemerintah daerah, Perhutani dan investor” masih Wasit. Terkait tentang model pembangunan wisata ini menurut dari beberapa

Dok. Dimensi

wasit, mandor hutan sekitar ds. nyawangan

narasumber yang ada, wisata ini akan dibangun beberapa atribut, “Kalau rencana nanti dibangun seperti apa, saya kurang tahu. Karena terkait tentang pembangunan ya terserah dari investor sendiri. Tetapi kalau keinginan dari kami sendiri terkait pembangunan nantinya akan dibangun tempat pemandian yang selama ini dibersihkan oleh warga tersebut. Selain itu ya nantinya dibuatkan kaya’ air terjun mini buatan warga”. Tutur Sunaryo yang sebagai sekretaris desa Nyawangan. Pada saat ini belum ada investor yang ingin membangun daerah tersebut. “Ya, kemarin proposal sudah saya kirim. tapi ini belum ada tinjauan dari investor terkait”. Tutur mandor hutan desa Nyawangan ini. “Kemarin saya telah mengambil gambar sedikit di lokasi dan yang kami gunakan dalam menawarkan kepada investor untuk melakukan pembangunan di daerah tersebut. Memang daerah di bagian rintisan tersebut sangat strategis. Karena letaknya yang strategis dekat dengan dua air terjun dan dekat dengan perencanaan pemerintah tentang lingkar Wilis”. Tambah seorang yang mempunyai sampingan bisnis sapi perah ini. Semuanya tentang yang dilakukan oleh masyarakat khusus desa Nyawangan sampai hari ini pun belum ada koordinasi atau semacam pemberitahuan terhadap Dinas pariwisata. “Untuk agenda tahun ini kami masih konsen untuk upaya publikasi pariwisata yang ada. Untuk wisata yang masih perintisan itu belum ada konfirmasi dan koordinasi dengan kami”. Kata Gatot, Dinas Pariwisata Kab. Tulungagung. Tambahnya, “Untuk wilayah pariwisatanya, kami lebih konsen pada upaya publikasi telaga Mburet. Karena lebih menarik dikembangkan diantara tempat wisata lain di Tulungagung”. Tambah lelaki yang memakai seragam dinas yang duduk di ruang kerjanya.//Khoss/fan//

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

17


Liputan Khusus Pejuang Lingkungan; Antara Pengabdian dan Tuntutan Hidup

“Jadwale mek nang ati, wayahe nyapu yo nyapu, poko’e enek reget disapu, ndak pandang dinone opo, lak resik kan penak (jadwalnya hanya di hati, waktunya nyapu ya nyapu, ketika kotor ya disapu, tidak memandang harinya apa. Kan kalau bersih nyaman; red),” Ucap Mbok Sijem. Segelintir Aktor Kebersihan Setiap kali melintasi kawasan Kab. Tulungagung maka yang terbersit di benak adalah alamnya yang asri dan kebersihan kotanya terjaga. Sesuai dengan jargon terkenal milik Tulungagung Bersih, Indah,Nyaman, dan Menarik (BERSINAR). Beranjak ke pusat kota lebih menarik lagi, hari ini kamis (17/2), kelihatan berbeda sosok prajurit berpakaian rapi, dengan kaos biru yang dimasukkan, plus topi untuk menahan sengatan sinar matahari. Orang awam memanggilnya pasukan kuning atau dalam lingkungan birokrat kondang disebut PU BMCK (Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya; red). Mereka terlihat menenteng senjata kemanapun pergi, tetapi bukan senjata seperti yang dimiliki para penegak hukum yang lain, tetapi sebaliknya senjata mereka adalah sapu dan serokan sampah. Sesuai dengan misinya “Mendorong Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan dan Selalu Menciptakan Kualitas dan Kuantitas juga Ingin Memberikan Pelayanan yang Prima”. Bahkan sampai banyaknya praju-

18

DIMëNSI

rit, terbagi menjadi beberapa bidang, dan kru DIMëNSI memfokuskan pada bidang Kebersihan dan Pertamanan, bukan tanpa alasan karena bidang itu dapat dianggap vital bagi Kab. Tulungagung, khususnya di Kecamatan Kota (meliputi Kepatihan, Kauman, Tretek, Kedungsoko, Kampungdalem, dan Karanganyar). Berkat kerja keras merekalah Tulungagung meraih piala Adipura 5 kali berturut-turut. Selain segelintir PU BMCK juga masih ada aktor fenomenal bahkan jarang diperhatikan oleh kalangan teknokrat, memang benar secara struktural tak berarti, tetapi bagi kebersihan orang ini sangat bermakna, diangkat secara kultural dari masyarakat. Hampir sama dengan petugas kebersihan tetapi bukan bentukan pemerintah melainkan atas inisiatif diri sendiri. Di lain sisi, sosok jarang terekspos media manapun mampu menyuguhkan kesadaran lingkungan yang tak terduga, orang sekitar memanggilnya mbok Sijem (63). Nenek lanjut usia itu masih setia menjaga kebersihan lingkungan, khususnya Pasar

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

Ngunut. “Weh sregep banget, lek resik-resik, isuk, awan, sore barang, ngalah-ngalahne kerjo, koyok ngabdi (wah… rajin sekali, kalau bersihbersih pagi, siang, dan bahkan sore, mengalahkan kerja seperti mengabdi; red)”, kata pak Darno penjaga sepeda pasar Ngunut. Kerja keras segelintir orang (sadar lingkungan; red) tersebut telah banyak dinikmati masyarakat, terbukti ketika orang nongkrong beberapa menit untuk meresapi betapa nikmat rasanya sebuah kebersihan, “Kalau di Kec. Kota Tulungagung jangan ditanya, khususnya kota pagi-siang-malam selalu bersih, entah hujan panas selalu bersih, yo layak ae Tulungagung sering oleh Adipura amergo nyaman banget yo gak lepas dari PU PPW.” Ujar Dardiri warga Kampung Dalem, saat ngopi dengan kru DIMëNSI di pinggir jalan pusat kota Tulungagung. Kehadiran sosok seperti segelintir PU dan mbok Sijem, tentunya disambut hangat oleh masyarakat setempat. Walaupun pada awalnya muncul sedikit keraguan di masyarakat


berkenaan dengan kehadiran mereka. “Kulo riyen pertama kali, teng peken niki (pasar) nggeh disangka kados wong bambung (gelandangan; red), diarane golek-golek wes pokok sanggune doa karo temen (Saya pertama kali datang di pasar ini ya disangka gelandangan, disangka pemulung yang penting bekalnya doa dan kesungguhan; red),” tutur mbok Sijem. Berbeda dengan Gumun (52) salah satu petugas PU, “Pertama kali jadi petugas kebersihan ya biasa cuma adaptasi dengan orangorang kota, tak ada celaan karena tidak terlalu peduli dan sibuk sendiri, karena memakai seragam dan bersablon Dinas PU, ya sehingga tau.” ceritanya saat pertama kali bekerja sebagai petugas PU. Wajarlah jika masyarakat ragu karena mereka merupakan orang yang dianggap baru, serta jarang berkomunikasi dan baru pertama kali bertemu, “Lek was-was ki mesti mas...soale piye yo terkadang kadung diapik engko elekan, kadung di eleki ko yo ra elekan, dadi yo mek ragu-ragu, lak nak deso poko e temen kuwi kuncine bakal iso urip ( kalau khawatir ya sudah pasti mas karena ya terkadang terlanjur ditanggapi baik nanti jelek dan ditanggapi jelek nantinya baik, jadi ya hanya ragu-ragu, sedangkan kalau di desa pokoknya kuncinya adalah kesungguhan; red)” tambah Darno sambil mengusap keringat didahi

Mbok Sijem

dengan pecinya.

Liputan Khusus

Beda; struktural atau kultural Berbicara tentang Dinas Pekerjaan Umum, memang tak lepas dari PP No. 41 Tahun 2007 yang menuntut perubahan nama Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah (PU PPW) menjadi Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya (PU BMCK) yang secara resmi dibentuk berdasarkan peraturan bupati Tulungagung No.27 Tahun 2008. Tak heran jika Tulungagung tetap terjaga kebersihannya sampai meraih Adipura, “Jangan ditanya kalau masalah kebersihan di Tulungagung, kalau sudah ada seragam biru pasti bersih tak diragukan lagi”, Ucap pak Dardiri, kalau masalah pasukan biru memang sudah ada peraturan sendiri mulai dari pakaian yang harus dikenakan ketika keliling jalan, “Setiap petugas kebersihan harus pakai seragam karena sudah ada aturannya”, jelas Gumun. Walaupun mempunyai pekerjaan yang sama yaitu, sebagai penjaga kebersihan tetapi terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya. Jika dilihat dari strukturalnya, mbok Sijem tergolong hasil bentukan alam, artinya benar-benar lahir dari keinginan untuk mengabdi kepada lingkungan. Perempuan lanjut usia tersebut, bisa dikatakan merupakan hasil bentukan kultural masyarakat. “Tekone mbok Sijem teng mriki sebenere mboten wonten sing ngundang, ujug-ujug resik-resik, opo mergo temen dadi uwong-uwong podo demen, trus tenang (Kedatangan mbok Sijem disini sebenarnya tidak ada yang mengundang, tiba-tiba bersih-bersih, apa karena sungguhsungguh sehingga masyarakat menjadi suka; red). Tutur Yitno tukang jahit sepatu pasar Ngunut. Kehadiran sosok seperti mbok Sijem juga menjadi warna tersendiri buat lingkungan sekitarnya. Atas partisipasi dan dorongan pribadi disertai rasa kecintaannya terhadap lingkungan telah membuat masyarakat ikut tenteram, hal tersebut juga diungkapkan oleh wanita berusia 63 tahun tersebut, ”Aku geh mboten enten sing ngundang, tujuane ge golek pangan, yo poko’e

resik-resik, yo sanggune mek temen (saya ya tidak ada yang meminta, tujuannya untuk mencari makan, ya bersih-bersih bekalnya hanya sungguhsungguh; red)” cerita mbok Sijem. Hampir sama dengan mbok Sijem, pekerjaannya memang untuk mencukupi kebutuhan sehari sekaligus sebagai alternatif pekerjaan, “Dulu kerja jadi PU memang untuk mencari sandang kebutuhan biar cukup” masih Gumun, pekerjaan yang digeluti sejak usianya tak memungkinkan lagi bekerja di pabrik menjadikan mbok Sijem harus beralih profesi, “Gek nopo lo mas sing iso digawe wong sak mene iki, lak tenagane sing roso tandang sing abot sik kuat la ngene iki yo sing entengenteng (Ya kenapa lo mas yang bisa dipakai ya segini ini, kalau tenaganya yang kuat masih kuat, tapi yang begini ini ya yang ringan-ringan saja; red)”. Mereka semua juga bekerja mulai pagi-siang-malam sesuai jadwal bersih-bersih yang telah ditentukan, “Dinas PU khususnya kebersihan mempunyai jadwal yang tertata, pagisiang-malam dan pergantian, memakai seragam yang telah ditentukan seperti kaos, peci, celana yang rapi belum lagi pas peringatan hari besar luwih akeh maneh” tegas pak Gumun saat ditemui di TPS Kepatihan. Kesadaran Kerja atau Lingkungan Siapa mengira tetesan usaha yang mereka lakukan “benar-benar” untuk kepentingan lingkungan atau malah kepentingan kerjaan semata, bukan kenaifan ketika kru DIMëNSI mempertanyakan kadar kesadaran seorang PU dan tukang nyapu ulung (tukang sapu yang belum berpengalaman; red) yang sampai saat ini menjadi ujung tombak Tulungagung dalam bidang kebersihan. Begitu juga dengan mbok Sijem dengan usianya yang tak lagi muda menjadi sebuah bukti kecintaan dengan lingkungan. Secara kasat mata harus melaksanakan pekerjaan itu, sosok pekerja ulung secara kultural diakui oleh masyarakat sekitar dengan bermodalkan temen (kejujuran dan istiqomah; red), semakin membuat sakral lingkungan dalam hal kebersihan. Kesadaran mereka diuji dengan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

19


Liputan Khusus bermodalkan gerobak sampah untuk menyusuri jalan. Derajat kesadaran setiap orang tentang lingkungan tentunya berbedabeda, begitu juga dengan orang yang setiap hari bergelut dengan sampah, “Riyen mboten tek faham betul penting e lingkungan niku nopo, sak niki nggeh rodok faham, yo ngeh bener awale memang mek mung tukang nyapu gen iso urip, tapi teko nyapu maleh ngerti penting banget (Dahulu belum begitu mengerti mengenai pentingnya menjaga lingkungan itu apa, sekarang ya sedikit mengerti, ya benar awalnya hanya sebagai tukang menyapu agar bisa hidup, tetapi dari kebiasaan menyapu menjadi faham pentingnya apa; red).” Tutur mbok Sijem di kesempatan yang sama. Ada benarnya juga suka karena kebiasaan, walaupun awalnya hanya menjadi seorang tukang nyapu tetapi menjadikan motivasi cinta lingkungan karena sering dekatnya dengan lingkungan. Berawal dari pekerjaan seolah mampu menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya nilai kebersihan dalam hidup ini, “Sak niki pun mboten mikir kerjaan opahe piro, kudu budal jam piro, nggeh pokok’e teng ati pun enten jadwale piyambak ( sekarang ini tidak memikirkan kerja upahnya berapa, harus berangkat jam berapa, ya pokoknya di hati sudah ada jadwalnya sendiri; red).” Ungkapnya mantap. Sebuah kemuliaan sekali ketika suara seperi itu terlontar dari seorang yang pekerjaannya hanya sebagai petugas kebersihan tanpa pandang berapa upahnya. Hanya berbekal keikhlasan dan kesungguhan. “Sak niki pados tiyang seng mirip kesadarannipun kados mbok Sijem niku kangelan...walaupun yo di bayar, meski dibayar akeh uwong yo dung mesti gelem kon resik-resik koyok mbah Sijem (Sekarang ini mencari orang seperti mbok Sijem itu sulit. Walaupun dibayar banyak orang kalau diminta bersih-bersih sampah belum pasti mau; red)” Ungkap Rukayah warga setempat. Kesadaran dari seorang penyapu jalanan mampu memberikan warna dalam kehidupan orang lain, betapa

20

DIMëNSI

Dok. Dimensi

Kendaraan pengangkut sedang bersiap membawa tumpukan sampah ke tempat pembuangan sampah di Segawe

pentingnya kebersihan lingkungan, walaupun selama ini orang seperti mbok Sijem cuma berangkat secara kultural, tanpa memikirkan upah yang harus diterima. Kehadiran sosok yang cinta kebersihan akan selalu dirindukan masyarakat pada umumnya, karena pada kenyataannya memberikan rasa kenyamanan. Ada wajah lain selain mbok Sijem, yakni orang yang menjaga kebersihan kota yang tak kalah menariknya dengan sosok mbok Sijem. “Kerjaan kita, setiap hari pagi siang sore malam sore ya bersih-bersih lingkungan kota yang terbagi ke beberapa tempat dengan beberapa orang,” tutur Gumun saat ditemui di TPS (tempat pembuangan sampah; red) Kepatihan. Begitu istiqomahnya para PU membersihkan kawasan kota, karena disamping sebagai kerjaan karena ada hukum yang jelas, “Kudu tertib, karena adanya SK (Surat Keputusan) yang mengatur”. Dalam setiap pekerjaan tidak mungkin selalu akan mulus seperti yang dipikirkan. Mereka kadang menghadapi masyarakat yang tidak menghargai atau peduli dengan kebersihan lingkungan. Pengendara yang membuang sampah di jalan, “Terkadang membuang sampah sembarangan padahal tempat sampah tersedia. Jika ditegur, pengunjung malah balik marah pada petugas, trus jika ada

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

atasan yang keliling dikira belum disapu trus diceramahi” tambahnya sambil menyapu plastik bekas. Kehadiran sosok pekerja keras yang bergelut dalam kebersihan, baik secara struktural dan kultural memberikan warna, akan pentingnya cinta lingkungan, walaupun kerjaan mereka sepele. Tetapi dibalik hembusan nafas memberikan kenyamanan semua pihak, kita juga harus menengok juga segelintir orang yang sadar lingkungan dibalik kesuksesan kec. Kota Tulungagung istiqomah bersih-bersih, walaupun usaha mereka hanya sebatas pekerjaan, tetapi esensi tetesan keringat mereka sangat bermakna bagi progesifitas kabupaten Tulungagung pada umumnya. Upaya yang tidak main-main, dari segelintir orang (sadar lingkungan; red) yang peduli terhadap kebersihan, walaupun hanya sebatas pekerjaan petugas PU yang getol dengan kerja kerasnya mengkorek sampah kec. Kota Tulungagung yang pernah meraih Adipura yang ke-5 kali berturut-turut diakhir tahun 2010. Introspeksi pada dirilah jawabannya, kedua sosok yang sakral di tubuh lingkungan, naïf sekali ketika kita memeras kerja mereka, dengan imbalan rupiah, hanya fatamorganalah yang akan menghampiri anak cucu Tulungagung ke depan.//wr/tam//


Liputan Khusus KALISONG; Sisi Lain Kehidupan Masyarakat Desa Pucangan Sungai merupakan salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Di kota besar sungai banyak yang sudah tercemar sehingga masyarakat tidak bisa mempergunakan airnya untuk kehidupan sehari-hari. Sungai Song atau yang akrab dengan Kalisong merupakan salah satu kali (sungai; red) yang hingga kini masih bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar. Selain sebagai irigasi sawah sungai ini juga banyak mengandung batu alam yang bisa mendatangkan materi. Berikut penelusuran kami. Belum ada sumber pasti yang jelas mengenai nama Kalisong. Berdasarkan peta sungai ini terbentuk dari 9 mata air yang berada di kaki lereng pegunungan Wilis. Sungai sepanjang kurang lebih 25 km ini melintasi tiga kecamatan di Tulungagung yaitu, Kecamatan Pagerwojo, Kauman dan Tulungagung. Di kecamatan Kauman tepatnya di desa Pucangan, masyarakat sekitar mencari tambahan hasil di sekitar aliran sungai Kalisong. Sungai ini mengandung banyak bahan tambang seperti pasir dan batu. Untuk batu, masyarakat tidak hanya mengambil dari sungai tapi juga mengambil dari dalam tanah. Tidak mengherankan apabila di sepanjang sungai ini terdapat banyak titik lokasi pertambangan batu. Menurut kepala desa Pucangan, Kemis, masyarakat desa Pucangan yang berprofesi sebagai pemecah dan pencari batu hanya sedikit, ”Pemecah batu hanya pekerjaan sampingan mas mayoritas mereka adalah buruh tani” ujarnya saat ditemui di kantor. Di sebut buruh tani karena masyarakat adalah petani yang tidak mempunyai lahan. Jadi ke sawah waktu musim panen dan tanam aja mas” tambahnya.

Hal ini dipertegas oleh Sutarsi salah satu pengelola tambang batu. Menurutnya batu juga mempunyai musim. “Waktu tidak musim batu diakibatkan banyaknya pencari dan pemecah batu yang menjadi buruh tani mas jadi harganya pun naik” ungkapnya. Selama ini naiknya harga batu memang dipengaruhi oleh adanya pekerja atau tidak. Selain itu di desa yang berpenduduk 2.465 jiwa ini terdapat sebuah pabrik tetes tebu yang juga banyak menyedot tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Sehingga pekerjaan menjadi pencari dan pemecah batu tidak bisa dikatakan sebagai pekerjaan tunggal. Awal Pertambangan Batu Munculnya pertambangan batu di desa ini berawal dari tahun 70an. Adalah Sidiq (80) yang menjadi pelopor pertambangan batu. Saat itu ia masih bekerja di PUK (sekarang PUD; red) sebagai petugas jalan “Saat itu pekerjaan saya dangir (Jawa: membersihkan rumput; red) jalan mas” ujarnya dengan senyum.

Sidiq, pelopor pertambangan batu

Pada awal merintis usaha ini batu masih diambil dari sungai Kalisong. Kemudian ayah dari 8 anak ini berinisiatif untuk mengambil batu dari dalam tanah, “Sawah di sini banyak mengandung batu mas” ungkapnya. Hingga saat ini Sidiq sudah mempunyai lahan sawah yang digunakan untuk penambangan batu seluas 1 hektar. Untuk membuka pertambangan batu di desa ini dia menggunakan izin resmi dari dinas terkait, ”Setahu saya hanya dua mas yang resmi di sini” imbuhnya. setelah batu yang diambil dari tanah habis, tanah difungsikan lagi seperti semula. ”Setelah diambil batunya kami tutupi lagi dengan tanah setelah itu kami tanami”. Dengan hal tersebut tanah tetap berfungsi sebagai sawah malah menurutnya tanah menjadi lebih subur dan gembur. Kondisi Masyarakat Adanya pertambangan batu di sekitar aliran sungai Kalisong ini mengurangi angka pengangguran di desa Pucangan. Bekerja di pertambangan ini tidak perlu menggunakan ijazah, hanya berbekal kekuatan otot. Tidak mengherankan desa ini merupakan kawasan anak putus sekolah (baca: DIMëNSI edisi XXV; red). Sulitnya mencari pekerjaan saat ini memaksa masyarakat untuk bersikap realistis. Kasdarani (37) salah satu pekerja di pertambangan batu mengakui akan sulitnya hal tersebut, “Saat ini sulit mas cari pekerjaan lain”. Pria yang hingga kini belum menikah ini setiap hari tinggal di kawasan pertambangan batu. Bahkan saat malam ia tidur di gubuk yang dibangun oleh pengelola tambang. Ia menekuni profesi sebagai pencari dan pemecah

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

21


Liputan Khusus batu mulai tahun 2003 hingga sekarang. Untuk satu rit (truk) batu, pria yang pernah merantau ke ibukota ini mendapat upah Rp 100.000 sedangkan untuk krecak (batu yang sudah dipecah menjadi kecil;

red) untuk satu cikrak (Jawa: alat mengambil sampah terbuat dari sebilah bambu yang dianyam; red) seharga Rp.2000. “Gak setiap hari dapat 1 rit mas biasanya 1 minggu” ungkapnya. Dengan adanya pertambangan batu di desa Pucangan

ini selain bisa mengurangi angka pengangguran juga menghasilkan pemasukan bagi desa, ”Tiap satu truk yang lewat mengambil batu kami kenai pajak 3000 mas untuk perbaikan jalan dan kas desa” ujar kemis.//bans/luk/nduk/lel/

Kalisong dan Sejarah Di balik jernihnya aliran sungai Kalisong yang membelah desa Pucangan terdapat banyak benda yang mengandung nilai sejarah. Museum daerah Tulungagung hingga saat ini mencatat ada 2 jenis arca yang berasal dari Pucangan. Tepatnya di sekitar aliran sungai Kalisong. Staf BP3 Trowulan yang bertugas di Museum, Hariyadi memperkirakan masih ada benda lain yang belum terungkap di daerah Pucangan, “Ada dosen dari Malang yang pernah bilang bahwa setengah dari arca Kala ini masih ada di sekitar sungai Kalisong” ungkapnya sambil menunjuk ke sebuah arca Kala yang hanya setengah. Selain arca Kala di museum ini juga menyimpan arca Parwati yang ditemukan pada tahun 2009. Arca tanpa kepala dengan tinggi 1,25 meter dan diameter 57 cm ini ditemukan oleh Kasdarani (37) di lokasi penambangan batu yang terletak di sisi selatan Kalisong. ”Sebelumnya saya mimpi dikasih uang Rp 2.500 sama orang tua mas” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa saat ditemukan arca tersebut dalam posisi roboh. Dalam ilmu sejarah menurut sejarawan Trijono S.S Parwati merupakan istri dari dewa syiwa, “Dewa Syiwa adalah dewa perusak dalam agama Hindu”. Menurutnya arca Parwati merupakan lambang dari keberanian. Saat kru DIMëNSI menelusuri aliran sungai Kalisong, kami mendapati ada sebuah gubuk yang di dalamnya terdapat beberapa benda yang diduga mengandung nilai sejarah. Di antaranya terdapat beberapa batu bata yang berasal dari jaman Majapahit dan beberapa batu seperti atap sebuah candi. Menangapi hal ini Trijono menambahkan bahwa benda yang ada di dalam gubuk tersebut sudah tidak di situ, “Jadi sudah berpindah dari tempat asalnya, kemungkinan penduduk yang sedang mencari batu menemukan benda tersebut lalu mengumpulkannya menjadi satu” imbuhnya. Ia juga percaya bahwa di daerah aliran sungai Song ini masih ada benda bersejarah lain yang belum terungkap. “Secara alam daerah tersebut sangat bagus jadi tidak menutup kemungkinan disana ada bangunan candi” ungkapnya ketika menutup wawancara sore itu. //bans/luk/nduk/lel// Arca Parwati

22

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

Arca Kala


Editorial Menuju Masyarakat Bijak Lingkungan, Utopiskah?

editorial

Lingkungan merupakan subjek yang sangat luas untuk diperbincangkan. Membahas permasalahan lingkungan tentunya tidak akan dapat terlepas dari manusia. Dikarenakan, sebagai satu-satunya makhluk yang paling cerdas dan bermartartabat di muka bumi ini, manusia bisa dikatakan merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas lingkungannya. Apalagi, jika dikaitkan dengan proses pembangunan sekarang ini yang semakin tidak prolingkungan dan tidak ramah lingkungan. Hal tersebut memang tidak akan dapat dihindari dengan semakin majunya teknologi dan meningkatnya kebutuhan manusia. Keserakahan dan sifat tamak kita mengejar keuntungan sesaat membuat kita lupa tentang arti pentingnya lingkungan bagi kesinambungan kehidupan. Ada yang belum pernah terpikirkan oleh kita selama ini. Pola warisan sistem sentralistik yang selama ini dipaksakan kepada kita, seolah-olah menafikkan keberadaan masyarakat untuk mengelola lingkungannya sendiri. Banjir, tanah longsor, adalah akibat dari tidak arifnya kita mengelola lingkungan. Hutan yang gundul, semakin berkurangnya daerah resapan, berkurangnya zona hijau dan lain-lain menggambarkan betapa tidak cerdasnya kita dalam mengelola lingkungan. Keserakahan dan sifat tamak kita mengejar keuntungan sesaat membuat kita lupa tentang arti pentingnya lingkungan bagi kesinambungan kehidupan. Masalah dan tantangan dalam pengelolaan lingkungan mengharuskan pemerintah mengubah paradigma dalam mewujudkan setiap kebijakan dengan mengutamakan pola-pola keberpihakan pada masyarakat melalui perwujudan good governance, dimana salah satu karakteristiknya adalah mendorong partisipasi dan kemitraan dengan masyarakat, maka pembangunan harus melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, tidak akan ada strategi yang mampu bertahan lama. Peran masyarakat harus dipandang sebagai hal yang dinamis dan memberikan suatu peluang bagi pemerintah yang bermaksud membangun kredibilitas negara melalui potensinya dalam membangun koalisi dan aksi kolektif. Menuju masyarakat bijak lingkungan bisa jadi merupakan suatu utopia. Akan tetapi, bisa jadi merupakan kenyataan yang tertunda. Adanya kerjasama dari seluruh lini sangat dibutuhkan dalam proses penyelamatan ekologi demi generasi mendatang. Sudah saatnya kita meninggalkan sejenak ego keduniawian dan materi serta mulai melihat kondisi lingkungan kita yang mulai menjerit. (redaksi)


Nusantara

MENGUNGKAP KENANGAN “TULUNGAGUNG” MASA LALU Oleh; Latif Kusairi

Banjir yang sering melanda Tulungagung 54 tahun silam, telah meninggalkan bekas di masyarakat pada masa itu dan sekarang. Dengan sedikit membuka kembali memori kita tentang peristiwa kala itu, diharapkan dapat dijadikan bahan pelajaran dan renungan bagi generasi sekarang.

24

DIMëNSI

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


Nusantara Mungkin banyak orang yang tidak tahu tentang peristiwa 54 tahun lalu di wilayah Tulungagung. Sebagai salah satu bentuk dari usaha itu mari kita buka memory masa lalu yang terjadi di wilayah yang dahulu dikenal sebagai rawa ini. Kenangan ini sepatutnya bisa dijadikan sebuah memory atas hilangnya karateristik masa lalu yang dahulu sangat di kenang bahkan menderita oleh orang di masanya. Munculnya letusan Gunung Kelud tahun 1950 mengakibatkan hujan abu yang besar dan kemudian menutupi daerah sekawasan Kawedanan Blitar, Kediri dan Tulungagung. Letusan ini mengakibatkan lahar dingin yang melewati Kali Kuning dan Kali Bladak menutupi sepanjang sungai tersebut menuju ke muaranya yaitu daerah Sungai Brantas, material seperti bebatuan juga banyak terdapat di kawasan Blitar dan masuk ke dalam sungai. Material letusan yang menutupi Sungai Brantas itu seolah menjadi pertanda bahwa bila nantinya air besar akan datang dimungkinkan akan terjadi banjir. Pembuatan Dam Kalibadak yang sedianya untuk memperlambat aliran lahar dari kawah Gunung Kelud hanya sebatas wacana saja pasca kunjungan pejabat ke daerah Blitar untuk meninjau seberapa besar akibat dari letusan Kelud. Letusan Gunung Kelud menyebabkan kerugian pihak Djawatan Kehutanan Jawa Timur yang telah melakukan reboisasi dengan menanami pohon jati di hutan sekitar Kelud telah mati yang menyebabkan kerugian puluhan juta, sehingga hutan-hutan dan pemukiman penduduk ibarat menjadi latar (padang) karena tidak satupun tumbuhan yang hidup. Dampak jangka panjang lahar Gunung Kelud yang tidak ditangani secara cepat akan menyebabkan banjir seperti yang telah terjadi sebelum kemerdekaan. Kekhawatiran terhadap banjir oleh penduduk Blitar akhirnya muncul menyusul tanggal 16 dan 17 Maret 1952 banjir datang dan menenggelamkan beberapa desa seperti di daerah Petung Ombo yang dekat dengan Gunung Kelud juga terjadi hujan abu. Banjir juga menyebabkan bendungan di daerah Garum mengalami rusak dan menyebabkan tidak adanya pengendalian pasir Gunung Kelud. Demikian juga yang terjadi di Kanigoro sebuah dam rusak dan di Sanan Kulon satu bendungan rusak. Musim hujan tahun 1953 juga terjadi banjir, namun banjir tersebut tidak terlalu besar dan tidak menjadikan banjir seperti tahun sebelumnya. Ketinggian air yang pada banjir Blitar ini bisa mencapai 15 meter seperti yang terjadi di Nglegok dan Salam. Kerugian akibat banjir ini mencapai sekitar Rp.103.000. Banjir ini memang tidak sampai meluas ke daerah Tulungagung, namun kondisi dari

Sungai Brantas sebagai pematusan banjir Blitar telah membawa material banjir untuk bergerak ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang kemudian mengakibatkan adanya penumpukan material berupa pasir, lumpur dan bebatuan di Brantas Tengah seperti wilayah Tulungagung, Kediri, dan Nganjuk. Kekhawatiran terhadap banjir terjadi di daerah Tulungagung ketika pada 16 Desember 1954 menyebabkan Jembatan Ngujang yang baru dibangun pada bulan Januari terputus diterjang oleh banjir. Dari banjir ini meski bisa dikatakan besar namun kondisi Sungai Brantas masih bisa menampung air banjir tersebut, dan tidak menyebabkan adanya luapan air di daratan Tulungagung karena Sungai Brantas masih bisa menampungnya. Baru pada tahun 1955 banjir besar terjadi yang menyebabkan hampir sebagian besar daerah Tulungagung terendam air. Dari sinilah derita masyarakat Tulungagung terekam jelas bahwa banjir yang hampir menjadi menu tiap tahun akhirnya muncul lagi. Pada bulan Juli 1955 banjir besar ini telah banyak melumpuhkan berbagai sektor di wilayah Tulungagung. Tidak saja dari pihak pemerintah namun juga dari kalangan rakyat sangat tersiksa. Banjir di Tulungagung ini juga banyak mengundang simpati warga di Jawa Timur. Permasalahan tentang upaya menjelang Pemilu 1955 juga menjadi kekhawatiran sejumlah pejabat bila banjir ini tidak segera diatasi. Namun dari upaya itu akhirnya banjir juga bisa surut dan bisa menjadikan kehidupan normal kembali. Permasalahan pada bulan Juli 1955 di Tulungagung ini bisa dikatakan bahwa banjir dahulu memang menjadi momok warga. Selain faktor alam juga adanya sebuah karakteristik Sungai Brantas yang sangat kompleks waktu itu. Kini Tulungagung bukan lagi menjadi penampungan air yang besar seperti asal kata “Tulungagung” namun, justru air bisa dikelola menjadi drainase yang menguntungkan. Jadi, sangat wajar apabila mantan Guberbur Wahono mengungkapkan bahwa ”Tulungagung lebih cocok dinamakan Talangagung”. Karakteristik tentang banjir Tulungagung ini juga seharusnya bisa dijadikan sebuah muatan lokal yang nantinya bisa diajarkan ke siswa, sehingga memori, kenangan masa lalu bisa diketauhi oleh generasi penerus sekarang. Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya. Merupakan peneliti tentang “Banjir dan penanggulangannya di Tulungagung tahun 1942-1986”.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

25


Nusantara

Filsafat (Bencana) Alam Oleh Nurani Soyomukti*

Bencana alam menjadi gejala yang kian-hari nampaknya kian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk di negara kita Indonesia. Diperlukan cara pandang yang filosofis dan objektif agar kita bisa memahami dan menyikapi bencana alam dengan bijak dan dapat membuat tindakan dan kebijakan secara benar dan tepat untuk mengatasi bencana. Bencana alam membuat manusia berada dalam tragedi. Seharusnya manusia justru arif dalam menghadapi alam dan bekerja sama (membangun penataan material sosialistis) untuk mengatasinya. Tetapi sistem kapitalisme, yang mengekploitasi alam dan membuat mayoritas manusia ditindas oleh segelinitr elit penguasa (kapitalis dan konco-konconya), membuat alam semakin rusak dan manusia tereksploitasi. Membuat manusia terceraiberai, terutama antara sedikit orang yang mau hidup enak sendiri berhadapan dengan mayoritas manusia yang dihisapnya. Bencana alam dan bencana sosialpolitik akibat sumber kebijakan yang menindas bukanlah suatu hal yang terpisahkan. Terlalu tolol menganggap bahwa bencana yang dihadapi manusia karena gerak alam (seperti gunung meletus, banjir, tsunami, tanah long-

26

DIMëNSI

sor, dll) adalah hal yang terpisahkan dari bencana akibat kebijakan Negara kapitalistis yang menindas . FILSAFAT ALAM Memandang kapitalisme sebagai bentuk tatanan sosial yang menyeluruh sebagai sumber kontradiksi alam dan kemanusiaan, maka kita bisa menggunakan cara pandang Marxis sebagai antitesis (penolakan) terhadap filsafat dan tatanan kapitalisme. Menurut Josef Macha dalam bukunya yang berjudul “Essere Umano e Natura nella Teoria e Pratica Marxista” (1991), sistem pemikiran Marxisme sebagai penolakan terhadap kapitalisme punya yang bersahabat terhadap alam. Filsafat Marxis merupakan “suatu filsafat yang sepenuhnya ekologis: manusia diletakkan dalam rahim alam secara utuh, adalah bagian dari alam, sarana yang diciptakan oleh alam demi perkembangan lebih lanjut alam sendiri, demi pemanusiaan terakhir alam... Bagi Marxis, tak ada satupun dalam diri manusia yang menyeruak mengatasi alam, karena tak ada apapun yang bukan alam.” Pandangan Marxis juga menuntut demokrasi atas kekayaan alam yang menjadi solusi bagi krisis kapitalisme dan efeknya terhadap alam. Krisis ekologi jelas-jelas merupakan krisis nilai yang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding nilai-nilai yang lain. Kita membutuhkan revolusi moral dalam hubungan kita dengan alam, revolusi yang tidak

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

hanya terhadap keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang tidak bertanggungjawab yang diambil oleh konsumen perorangan, politisi, dan pejabat tinggi. Struktur kapitalis telah menyebarkan—apa yang disebut C. dilestarikan bagi keberlangsungan kehidupan, terutama bagi anak cucu kita. Karl Marx menjelentrehkan masalah krisis ekologis dan langkahlangkah penanggulangannya. Filsafat materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig, ilmuwan tanah abad ke19. Hal itu yang jelas tercermin dari gagasannya tentang “jurang metabolis” (metabolic rift) yang tumbuh di antara daerah pedesaan dan perkotaan, dan dislokasi ekologis sebagai akibatnya. Sosiolog dan peneliti lingkungan ini mengingatkan bahwa tradisi materialis, dalam berbagai bidang ilmu, telah mampu memprediksi permasalahan ekologis sejak awal dan lebih substansial dan banyak memberikan sumbangan bagi kita untuk melihat krisis ekologis yang bersumber dari kapitalisme global sekarang ini. Sayangnya, para analis dan politisi Marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru (Marx), sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. “Materialisme dialektis” yang berasal dari Uni Soviet sifatnya over-positif dan terlalu memuja serta memakai ilmu pengetahuan yang salah. Hal ini mengakibatkan analisis ekologis jadi salah kaprah. Sebagaimana Marx, alam harus di-


lihat sebagai keseluruhan bagian-bagiannya dan juga memiliki kekhususan hubungan, manusia termasuk bagian dari alam yang harus menyeimbangkan hubungan sosial dengan mengatur hubungan demokrasi. Demokrasi politik versi pemodal tidak akan menjadi solusi bagi krisis lingkungan. Demokrasi ekonomi, atau dalam kana ekologis disebut sosialisasi alam, harus dibuat untuk memungkinkan setiap manusia (bagian dari alam) memiliki dan merawat alam. Eksploitasi Dan bencana memang selalu menyebabkan tragedi. Biasanya akan muncul berbagai macam persepsi terhadap kejadian yang mendatangkan tragedi ini. Persepsi dominan muncul dari pendekatan agama yang menganggap hal itu adalah bagian dari takdir yang harus diterima karena Tuhan murka pada manusia. Maka berbagai agamawan ditugaskan tampil, untuk mengajak bahwa masyarakat harus bersabar, pasrah pada Tuhan. Ada juga yang mempolitisirnya. Calon kepala daerah dan tokoh masyarakat yang butuh suara dan dukungan politik akan segera datang ke wilayah bencana, memberi bantuan atau sekedar tampil agar dianggap peduli. Bencana adalah ajang yang tepat bagi tokoh atau politisi untuk membangun citra diri. Dan bencana alam tampaknya akan menjadi peristiwa yang akan terus terjadi. Gunung meletus, bajir, tsunami, tanah longsor, dan lain-lainnya sudah merupakan kejadian biasa di sebuah wilayah yang memang secara geografis memiliki syarat-syarat material bagi terjadinya bencana, seperti negeri Indonesia. Banyaknya gunung berapi, meningkatnya tindakan merusak lingkungan, lempeng bawah tanah yang sedang ber-evolusi dan berdialektika pada alamnya sendiri, juga ditambah dengan cuaca dan iklim yang kian ekstrim akibat pemanasan global (global warming), menjadikan negeri kita dalam waktu lama masih akan terus dilanda bencana. Tetapi karena manusia hidup di alam untuk memenuhi dirinya, mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya, maka manusia juga bisa mempengaruhi, baik mem-

Nusantara

perlambat atau mempercepat gerak dan dialektika alam, baik yang menuju kondisi yang mendukung atau menyangkal upaya manusia dalam bertahan dan mengembangkan hidup. Kapitalisme adalah tatanan yang membuat manusia berhubungan dengan cara yang jelek, individualis, liberalistik, dan nilai-nilai sosialistik (kebersamaan) hilang. Karena itulah, kapitalisme telah membuat manusia yang terintegrasi dalam pemenuhan bersama, karena alam diekploitasi demi sedikit pemilik modal dan politisi pendukungnya, pun manusia sebagai bagian dari alam hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja yang tak dihargai, diupah rendah, dan dihisap demi kemewahan kaum konglomerat. Solidaritas hilang bukan karena watak manusia yang pada dasarnya tidak solider, tetapi watak itu dibentuk oleh sistem dan ideologi yang disebarkan kapitalis-borjuis. Inilah yang membuat iman solidaritas antara sesama manusia hilang. Ketika ada bencana, manusia sudah tak mampu melihatnya sebagai ancaman yang serius sebagai bagian dari bahasa yang jadi bagian dari kapitalis, tapi dianggap urusannya sendiri-sendiri (individualisme). Pemerintah juga tak segera turun-tangan mengulurkan bantuan darurat, selalu terlambat dan menyakiti rakyat. Demikian juga para politisi, ditengah krisis kesejahteraan dan adanya bencana yang terus-menerus terjadi tiap hari, mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berperan untuk menanggulangi masalah rakyat yang kian parah akibat bencana dan kebijakan. Para politisi malah justru menambah masalah dengan melakukan tindakan-tindakan anti-rakyat. Sukanya mengurusi gaji dan tunjangannya agar dinaikkan, sukanya ”garong” sana-sini karena memiliki otoritas, sukanya menghabiskan uang negara hanya untuk ”kunjungan kerja” yang diragukan manfaatnya. Negeri ini adalah ”negeri bencana”, tetapi semua orang dikondisikan untuk tidak peduli. Untuk acuh, cuek bebek, dan terus saja merasa bahwa hidup adalah urusan sendiri-sendiri. Bahkan ketika terjadi bencana alam, tak ada analisa serius dan kemudian melakukan kebijakan tanggap bencana yang bersifat jangka panjang dan me-

libatkan potensi-potensi kemanusiaan (teknologi, pengetahuan, rasa solidaritas) untuk mengatasi bencana yang datang sewaktu-waktu. Banyak yang mimpi, dengan menganggap bahwa bencana alam akan dapat diatasi tanpa menyelesaikan dulu bencana kebijakan. Kontradiksi alam memang menjadi bagian dari alam. Dan itu harus dijelaskan dan kemudian dihadapi dengan teknik dan ilmu yang canggih. Tetapi hal itu tak terjadi di sini, pemerintahan saja sangatlah cuek. Apalagi para agamawan atau politisi yang berkedok agama, bencana justru akan dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan atas nama “takdir Tuhan” pada kelompoknya. Bencana alam dan sosial (kemiskinan) justru membuat semarak kemunculan para penjual agama yang dengan jualan khotbah dan “siraman rohani”-nya akan mampu membuat korban bencana terhibur dan lupa akan kontradiksi alam dan kenyataan sosial. Akankah tetap begini negeri ini? Negeri yang jadi bahan tertawaan bangsa lain, karena mental manusianya lemah, dan selalu terus saja pasrah pada keadaan. Inilah negeri yang dibentuk oleh mental terjajah yang berlangsung lama, ribuan tahun penindasan tuan feodal (kerajaan) yang raja-rajanya menghisap kerja rakyat jelata yang mau tunduk hanya karena mereka menganggap dirinya “wakil Dewa” di muka bumi; yang dijajah 350 tahun oleh Belanda; dijajah 3 tahun oleh Jepang, 33 tahun Orde Baru, ditambah era reformasi oleh pemerintahan borjuis-feodal yang berkongkalikong dengan modal asing di era neoliberalisme sekarang ini. Bangsa terjajah, dan tak pernah terjadi revolusi demokratik seperti bangsa lain, mentalnya akan menyisakan mental terjajah yang dicirikan dengan tunduk, patuh, suka menjilat, malas berfikir—bangsa yang disebut oleh tokoh Revolusioner Bung Karno sebagai “BANGSA BERMENTAL TEMPE”. * Dosen di Ilmu Komunikasi Universitas Islam Blitar (UIB) dan pegiat sosial budaya di Trenggalek; penulis 24 buku bertema budaya, pendidikan, sosial-politik dan psikologi kritis.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

27




Nusantara BANJIR DAN KESADARAN EKOLOGIS Oleh Ngainun Naim*

Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami—Andrea Hirata, Novel Padang Bulan Musim hujan menjadi musim yang banyak ditunggu. Kemarau yang panas menghentak menjadi sejuk penuh kedamaian dan asa begitu hujan turun mengguyur bumi. Ada kegembiraan, kesejukan, dan harapan yang dirasakan oleh warga masyarakat yang menanti datangnya air hujan. Rasa yang penuh dengan nada optimis menjelang musim hujan perlahan namun pasti mulai berkurang. Kini, rasa yang muncul adalah kekhawatiran. Hujan lebih sering datang dengan ancaman. Apalagi sepanjang tahun nyaris hujan tiada henti. Hujan tidak hanya identik dengan keberkahan, tetapi juga identik dengan bencana Di Trenggalek, Tulungagung, atau Blitar, banjir menjadi fenomena yang semakin sering terjadi. Dulu, ketika kondisi alam masih belum banyak dirusak, hutan belum dijarah, gununggunung belum dieksploitasi secara liar tanah dan batunya, segala sesuatunya berlangsung dengan baik. Tetapi kini, ketika kerusakan ekologis sudah sedemikian parah, semua merasakan dampaknya. Realitas semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika terus saja kerusakan demi kerusakan dibiarkan tanpa langkah pencegahan, kehidupan akan selalu berada dalam ancaman. Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah-langkah serius, strategis, sistematis, dan berkelanjutan agar kerusakan dapat diminimalisir. Langkah mendasar yang harus segera dilakukan adalah dengan menghijaukan bumi sekarang juga. Tidak ada tawaran atau pilihan lain. Hanya dengan menanam pohonpohonan, menjaga dan merawatnya, bumi akan kembali hijau. Implikasi lebih jauhnya, keseimbangan ekolo-

30

DIMĂŤNSI

gis akan mampu tercipta kembali. Kerusakan lingkungan sekarang ini terjadi karena hutan dan berbagai pepohonan hancur dibabat habis tanpa mengindahkan ekses destruktifnya. Secara lebih terperinci, ada beberapa langkah mendasar yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan gagasan tentang menghijaukan bumi di atas. Pertama, kebijakan yang mendukung. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekologis. Aturan ini juga harus dilaksanakan secara konsisten. Oleh karena itu, peraturan yang dibuat harus dikawal oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, peraturan ini akan menjadi faktor mendasar bagi terciptanya kembali keseimbangan ekologis. Kedua, kurikulum. Sekolah menjadi tempat persemaian gagasan, wawasan, pengetahuan, dan kesadaran para peserta didik akan segala bentuk pengetahuan. Lewat bangku sekolah, setiap siswa akan membangun idealisasi dan mimpi-mimpi hidupnya. Ketika seseorang duduk dalam bangku sekolah, ada begitu

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

banyak hal yang terinternalisasi dalam pemikiran dan kesadarannya. Dalam konteks pelestarian lingkungan, sekolah menjadi media paling efektif untuk membangun kesadaran akan makna penting lingkungan. Kesadaran ekologis ini akan lebih kokoh manakala didesain dalam kurikulum secara sistematis. Dengan kurikulum yang berwawasan lingkungan diharapkan akan tumbuh pemahaman dan pemaknaan terhadap lingkungan hidup seiring perjalanan pendidikannya. Secara implementatif, tidak harus ada pelajaran khusus tentang lingkungan, tetapi mata pelajaran yang ada dapat dikontekskan dengan persoalan lingkungan. Ketiga, satu siswa satu pohon. Kurikulum semata belum cukup untuk membangun kesadaran ekologis para siswa. Dibutuhkan aksi konkret untuk mendukung persemaian pemahaman akan signifikansi lingkungan ini. Ada banyak cara yang dapat dilakukan.. Keempat, ekstra kurikuler. Kecintaan terhadap lingkungan seyogyanya diberikan wadah secara konkret di semua sekolah. Sebagaimana kegiatan ekstra kurikuler yang lainnya, kegiatan untuk mewadahi terhadap kecintaan ekologis dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk mengeksplorasi dan menggali secara luas setiap bakat dan potensi yang mereka miliki dalam kaitannya dengan lingkungan.. Kelima, satu pasangan lima pohon. Sebagian besar masyarakat belum memiliki kesadaran akan makna penting lingkungan asri dan hijau. Cara berpikir serba instan dan pragmatis menjadikan masyarakat lebih menyukai hasil dalam jangka pendek dengan mengabaikan proses


Nusantara

Banjir di depan klenteng tahun 1954

mencapainya dan akibatnya dalam jangka panjang. Penggundulan hutan secara liar yang terus menerus dilakukan sampai sekarang merupakan bukti konkret betapa para pelakunya mewakili cara pandang instan dan pragmatis. Dalam jangka pendek, mereka mendapatkan kayu yang dibutuhkan. Mereka tidak berpikir bahwa dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi sebuah pohon untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu, pasca penebangan, akan begitu banyak dampak negatif yang dirasakan. Dalam kerangka semacam ini, jika pemerintah membuat kebijakan sederhana misalnya, setiap pasangan yang menikah diwajibkan untuk menanam 5 pohon saja, tentu akan membawa dampak yang bisa dikatakan revolusioner. Kebijakan ini akan semakin kukuh manakala diikuti dengan satu bayi lahir satu pohon. Mungkin kelihatannya aneh dan konservatif, tetapi dalam kerangka kehidupan bumi yang luas dan lebih baik ke depan, kebijakan yang terasa kurang populer pun bukan menjadi sebuah persoalan. Keenam, fikih lingkungan. Kesadaran akan arti dan makna penting

pelestarian lingkungan akan semakin kokoh manakala dilakukan rekonstruksi dan pemaknaan secara lebih serius terhadap fikih lingkungan. Persoalan lingkungan dalam konstruksi keilmuan Islam, khususnya keilmuan di pesantren, jarang menjadi titik perhatian. Dengan membangun keilmuan yang kokoh dalam bidang fikih lingkungan, diharapkan akan memberikan landasan yang lebih kokoh untuk pengembangan selanjutnya. Bangunan keilmuan ini tidak boleh berhenti semata-mata sebatas sebagai ilmu yang telah berdiri begitu saja. Dibutuhkan langkah-langkah sosialisasi secara sistematis. Dalam kerangka ini, dibutuhkan para pejuang yang gigih untuk menyosialisasikan dan mengenalkan persoalan fikih lingkungan ini kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat pesantren. Usaha ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi dalam kerangka kehidupan masa depan yang lebih baik, pihak-pihak yang berkepentingan seyogyanya juga memikirkan terhadap persoalan secara luas. Ketujuh, sosialisasi literasi. Mungkin kedengaran aneh, tetapi banyak

yang tidak menyadari bahwa sosialisasi lewat jalur literasi, yakni tulisan, akan memiliki makna yang sangat dahsyat. Tulisan memang kelihatannya hanya berupa deretan huruf semata, tetapi sesungguhnya tulisan menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat. Lewat tulisan, individu, komunitas dan masyarakat luas bisa berubah. Kuatnya kekuatan literer ini dapat dilihat pada masyarakat negara-negara maju. Membangun kesadaran akan makna lingkungan lewat kampanye tertulis harus terus menerus digalakkan dan disosialisasikan secara luas. Tawaran dalam tulisan ini merupakan ikhtiar penulis untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi terciptanya bumi yang hijau. Kehidupan dan masa depan bumi tergantung kepada kita semua. Oleh karena itu, kontribusi—apa pun bentuknya, baik pikiran, tenaga maupun aksi—harus terus menerus diberikan agar bencana demi bencana dapat diakhiri.

* Penulis adalah dosen STAIN Tulungagung

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

31


Swara

Peran Pendidikan dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. WHO(1992) Jika berbicara masalah kebersihan lingkungan, tentunya hal itu merupakan dambaan dan harapan kita semua. Udara yang segar, air yang jernih, dan tanah yang subur adalah tempat yang sangat nyaman untuk ditempati. Jika kita mencoba untuk berkeliling di daerahdaerah sekitar kita, mencari tempat yang seperti itu ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hal di atas bahkan berlaku juga pada tempat wisata di sekitar kita seperti, waduk Wonorejo, Gua Pasir, Pan-

Oleh: Ajar Shiddiq Mahasiswa TMT/VI yang menjabat sebagai ketua HMPS TMT 2010/2011

32

DIMĂŤNSI

tai Pasir Putih, atau tempat wisata yang lain hampir mustahil untuk kita menemui kadar kebersihan seperti yang kita harapkan. Atau tidak usah kita mengamati jauh-jauh ke tempat wisata, bahkan di wilayah kampus kita STAIN tercinta ini, saya rasa kebersihan yang kita harapkan bersama itu seakan sebuah angan belaka. “Jika di wilayah dunia pendidikan saja kebersihannya masih diragukan, bagaimana kebersihan di wilayah yang kurang mengeyam pendidikan?�. Dari pertanyaan di atas mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, “Lantas apa hubungannya kebersihan lingkungan den-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


gan pendidikan?”. Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, marilah terlebih dahulu kita analisa beberapa factor yang mempengaruhi terciptanya kebersihan lingkungan. Dari bagan di atas terlihat jelas minimal ada 2 faktor yang sangat mempengaruhi kebersihan lingkungan, yaitu faktor non-pendidikan dan faktor pendidikan. Faktor non-pendidikan akan mengarah pada perilaku senioritas yang sudah ada dalam sebuah lingkungan dan sudah ada secara turun temurun, sedangkan factor pendidikan bisa mengarah pada suatu perilaku yang baru ataupun pembenahan perilaku yang ada. Mari kita ulas satu persatu faktor yang mendukung terciptanya lingkungan yang lestari. Jika kita mengunjungi daerah pinggiran sungai (misal Sungai Ngasinan-Trenggalek), atau misalnya lagi daerah wisata alam (Gua Pasir Tulungagung), kita akan menemui sampah yang bertumpuk-tumpuk. Jika di sungai barangkali kita juga akan menjumpai (maaf sebelumnya; red) kotoran manusia yang ikut menari bersama arus air. Pernah saya mengajukan pertanyaan mengenai perihal tersebut kepada penduduk, jawabnya, “lha arep ning ndi neh to le, ket biyen yo wes neng kono (lha mau dimana lagi, sudah dari dulu ya di situ; red).” Jawabnya dengan enteng. Dari jawaban tersebut dapat disimpulkan bahwa kebiasaan tidak menjaga kebersihan adalah suatu tindakan yang terus berulang secara turun temurun. Kondisi ini sesuai dengan teori Conditioning dari Pavlov & Fragmatisme dari James yang berbunyi, “Seseorang cenderung untuk mengulangi pengalaman yang enak dan cenderung untuk menghindari pengalaman yang tidak enak.” Kondisi seperi inilah yang saya sebut faktor senioritas mengambil peran untuk mempertahankan pola pencemaran lingkungan. Sebenarnya faktor senioritas ini memiliki peran yang amat strategis dalam menjaga kelestarian lingkungan, tetapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya?. Alasannya cukup sederhana, karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Dengan minimnya pengetahuan, akhirnya perilaku senioritas ini menjadi boomerang, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang ikut mensukseskan pengrusakan lingkungan. Sekali lagi pendidikan juga ikut bertanggung jawab dalam upaya pelestarian lingkungan. Betapa malang nasib “pendidikan”, dalam set-

Swara

iap kasus ia selalu menjadi tersangka yang selalu diadili tetapi tidak pernah mendapatkan keadilan. Walaupun pendidikan sering dipersalahkan, tetapi diakui atau tidak pendidikan akan mampu memberikan sebuah perubahan, entah perubahan maju atau malah perubahan mundur. Paling tidak dari pendidikan akan didapatkan suatu hasil yang dinamakan pengetahuan. Secara teori menurut WHO (1992) Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dari pernyataan ini mestinya pendidikan akan mampu menjembatani terwujudnya lingkungan yang lestari. Kalaupun tidak, berarti memang belum cukup kelestarian lingkungan hanya dibebankan pada pendidikan. Mari kita cari peran yang bisa dilakukan pendidikan dalam upaya turut serta melestarikan lingkungan. Dunia pendidikan harus mengupayakan penyadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Upaya ini harus dimulai dari tingkat paling bawah proses pendidikan (kita ambil yang terbawah adalah SD), salah satu caranya adalah memasukkan pelajaran tentang lingkungan hidup dalam kurikulum. Itu saja belum cukup, akan lebih baik lagi jika ditambah praktik langsung menjaga lingkungan hidup (penanaman pohon, membuang sampah pada tempatnya). Selain dari tingkat bawah, upaya penyadaran juga harus dilakukan pada orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan, yang bisa dilakukan adalah memberikan pengetahuan kilat (penyuluhan) tentang bahaya pola hidup yang salah terhadap kelestarian lingkungan. Poin yang tidak kalah penting dalam upaya penyadaran melalui pendidikan adalah keselarasan materi/pengetahuan yang diberikan dengan sasaran. Yang saya utarakan di atas mengenai materi tentang lingkungan hidup memang sudah mulai diterapkan, tetapi dari isi materi saya menilai belum sepenuhnya tepat, jika sasaran materi tersebut adalah kelestarian lingkungan. Yang seharusnya materi itu ditekankan pada perlakuan dan perawatan lingkungan, tetapi saya masih menemukan materi yang menekankan pada segi pemanfaatan. Ini akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pendidikan untuk merumuskan materi yang dapat memberikan penyadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan.[]

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

33


Swara Membumikan Konsep Islam dalam Upaya Pelestarian Lingkungan

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q S Ar Rum 41)

Oleh: Aris Setiawan Mahasiswa Jurusan Ushuludin Prodi Tafsir Hadist semester VI

34

DIMĂŤNSI

Perubahan iklim adalah masalah universal yang melanda seluruh belahan dunia, akibat dari perubahan iklim ini adalah berubahnya waktu, datangnya musim, dan tidak bisa diprediksinya cuaca yang akan terjadi. Dampak yang sudah terjadi sebagai akibat perubahan iklim ini adalah badai salju yang melanda kawasan Eropa dan Amerika yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Di belahan dunia yang lain terjadi cuaca panas ekstrem, badai tropis dan lain sebagainya bahkan tidak menutup kemungkinan ancaman bencana yang lebih dahsyat akan terjadi di masa yang akan datang. Penyebab terjadinya fenomena perubahan iklim ini tidak terlepas dari ulah tangan manusia, perubahan dan keinginan untuk mengubah kondisi suatu bangsa menjadi lebih maju dan modern dengan cara mendirikan berbagai industri menjadi penyumbang terbesar pemanasan global yang menjadi akar permasalahan dari perubahan iklim. Adapun penebangan atau pembalakan liar terhadap hutan merupakan pendukung terjadinya global warming saat ini. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surat Ar rum ayat 41, �Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Perbuatan merusak yang telah dilakukan oleh manusia terhadap alam, baik di darat maupun di laut adalah sumber munculnya masalah perubahan iklim yang akibatnya manusia juga yang menjadi korban dari ulah mereka sendiri. Perubahan iklim merupakan peringatan Allah SWT atas perbuatan manusia agar mereka sadar akan perbuatannya yang keliru. Sekarang manusia dituntut untuk menjadi lebih arif terhadap alam, terlibat secara aktif dan dalam tindakan nyata mewujudkan penurunan tingkat polusi udara, serta mengembalikan fungsi hutan sebagai paruparu dunia. Agama, dalam hal ini Islam yang menjadi agama terbesar di Indonesia dan dianut oleh mayoritas penduduk bangsa ini dituntut

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


untuk memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi masyarakat dunia yakni perubahan iklim. Dengan doktrindoktrin dan juga fatwa-fatwa yang diberikan oleh para ulama diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat muslim akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar, terutama adalah hutan. Kondisi yang tengah dihadapi masyarakat saat ini tidak akan berubah jikalau masyarakat tidak berperan aktif dalam memberikan perubahan yang nyata, baik dari pola hidup, kesadaran terhadap lingkungan dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan kalam Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaanya sendiri”. (QS Al-ra’du:11) Jika kita pahami, ayat di atas menerangkan kepada kita bahwa keadaan yang kita alami dan rasakan sekarang ini tidak akan pernah berubah, sehingga kita sendiri berperan secara aktif untuk merubah keadaan tersebut. Dalam hal ini yang kita rubah adalah perbuatan-perbuatan kita yang salah sehingga telah menjadi penyebab dari keadaan buruk yang tengah kita hadapi saat ini yakni memburuknya cuaca. Realita yang ada di masyarakat, seringkali umat Islam menjadi aktor utama dalam tiap kejadian-kejadian yang memprihatinkan, hal ini kita sadari atau tidak. Salah satu contoh kecil yang terjadi di masyarakat dan sudah lazim dilakukan sehingga menjadi penyumbang terjadinya pemanasan global. Misalkan saja penebangan hutan secara semena-mena, pengalihan fungsi hutan, dan lain sebagainya. Yang lebih memprihatinkan adalah kebanyakan oknum yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang-orang muslim dan bahkan sudah menyandang gelar haji. Perbuatan mereka tidak mencerminkan Islam yang “Rahmatan lil ‘alamin” seolah mereka menegaskan kalau Islam hanya mengurusi sholat, puasa, zakat dan ibadah lain yang sifatnya penyembahan dan tidak memiliki arahan atau tuntunan terhadap bagaimana seharusnya umat Islam memperlakukan alam. Jika hal ini terus dibiarkan selain kerusakan hutan, perubahan iklim dan pemanasan global akan semakin parah. Islam yang notabene agama terbesar yang dianut oleh mayoritas masyarakat seolah merupakan agama yang tidak peduli akan kondisi lingkungan, tidak ramah terhadap alam, dan bahkan mungkin suatu saat Islam akan dituduh ber-

Swara

tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di hutan Indonesia, karena dianggap tidak bisa mengendalikan umatnya dalam merusak hutan. Hal ini tentu saja tidak benar, banyak sumber hukum Islam yang menegaskan kepada umatnya untuk bersahabat dengan alam dan segala isinya. Bahkan, Islam mengancam dengan keras kepada siapa saja yang tanpa ada alasan yang jelas, dia merusak alam, baik menebang pohon, maupun membunuh binatang. Jika hal ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan umat Islam, Insyaallah kelestarian alam akan terjaga dan masalah perubahan iklim tidak akan separah sekarang ini. Islam juga menekankan pentingnya menanam pohon sebagai wujud kepedulian terhadap alam, hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau memerintahkan kepada umatnya, jika saja umat Islam mengetahui kalau besok adalah hari kiamat, dan hari ini kita masih sempat menanam pohon maka kita diminta untuk menanamnya. Begitu besar kepedulian Islam terhadap alam, akan tetapi sangat disayangkan kepedulian itu masih berada dalam kitab-kitab yang dipelajari oleh umat Islam dari generasi ke generasi dan tetap saja masih bersifat teoritis, belum sampai ke tataran praktis. Masalah perusakan dan pengalihan fungsi hutan menjadi lahan produktif hanya merupakan sebagian kecil dari contoh-contoh yang bisa kita temukan pada realitas kehidupan. Khususnya perilaku manusia yaitu umat Islam yang ikut andil dalam memperparah kerusakan di bumi ini. Masih banyak contoh perbuatan lain yang juga ikut berperan dan memiliki kontribusi dalam menciptakan dan meningkatkan pemanasan global, dan tentu saja tidak semua yang melakukan perbuatan negatif tersebut adalah orang yang beragama Islam. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa, apapun agamanya pasti menyuruh umatnya untuk ramah dan menjaga serta melestarikan alam. Sekarang, sudah saatnya pemikir-pemikir Islam memberikan perhatian terhadap masalah perubahan iklim yang sedang terjadi, sudah waktunya para ulama Islam memberikan kontribusi yang nyata di dalam masalah yang dihadapi masyarakat dunia. Islam tidak hanya membidangi masalah surga-neraka, pahala dan dosa. Para generasi muda muslim harus ikut andil dalam menentukan masa depan bumi ini, jika tidak ingin permasalahan iklim dan pemanasan global menjadi lebih parah dikemudian hari sehingga lebih banyak lagi memakan korban jiwa.[]

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

35


Swara

(Menggugat) Sebuah Arti Kepedulian Lingkungan Manusia hanyalah “mandataris� dan bukan pemilik alam dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah SWT sebagai pemberi mandat sekaligus pemilik alam.

Oleh: Mujahidin Ketua Mahasiswa Pecinta Alam MAPALA HIMALAYA

36

DIMĂŤNSI

Berbicara masalah lingkungan, pastinya kita tidak akan menemui titik akhir karena lingkungan merupakan sebuah substansi yang terkait dengan kelangsungan hidup kita secara langsung. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita konsumsi, keanekaragaman kehidupan pasti tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Fungsi lingkungan adalah sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau juga bisa langsung dikonsumsi dan lingkungan juga merupakan sumber kesenangan. Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang pengolahan lingkungan hidup No.23/1997 linkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Seiring dan seirama dengan berkembangnya waktu dan juga semakin meningkatnya pembangunan demi meningkatkan kesejahter-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


aan manusia ternyata fungsi lingkungan telah bergeser kedudukannya menjadi lebih menurun. Lingkungan yang seharusnya merupakan sebuah substansi yang tidak terlepas dari kelangsungan hidup kita seolah mulai tidak kita perdulikan. Seperti fenomena pencemaran lingkungan yang timbul dari akltivifitas manusia yang tidak memperdulikan norma-norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah, “Masuknya atau dimasukanya makhluk hidup, zat energi atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai titik tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya�. Sekarang timbul sebuah pertanyaan bagi kita semua, bukankah secara langsung ataupun tidak kita telah merusak lingkungan? Udara, air, tanah sekarang ini telah mengalami penurunan bila dibandingkan dengan saat sebelumnya. Apakah hal ini merupakan hipotesis yang masih harus dibuktikan kebenaranya ataukah sudah merupakan fakta yang tidak perlu lagi diuji kebenaranya. Dewasa ini pencemaran lingkungan semakin membudaya dan mengkooptasi setiap sendi-sendi kehidupan semesta. Pencemaran lingkungan udara bisa jadi merupakan yang paling serius. Hal ini karena udara berdampak langsung pada kehidupan manusia. Selain masalah udara masalah air juga perlu mendapatkan perhatian. Banyak sungai di Indonesia yang masih disalahfungsikan. Sungai yang seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber air bersih dan juga bisa menjadi sebuah sumber kesenangan yang mana bisa juga dijadikan sebagai sarana untuk menekan laju perekonomian malah dibuat sebagai pembuangan limbah yang berlebihan. Pembuangan limbah juga berdampak pada sumber daya tanah. Limbah minyak atau oli bekas maupun merkuri yang terkandung dalam baterei bekas yang dibuang ke dalam tanah atau ditimbun. Hal ini dapat mengurangi fungsi tanah sebagai sumber daya utama dari sektor pertanian dan sumber daya tanah akan menurun. Dan juga pestisida yang digunakan sebagai pemberantas hama akan terlarut bersama air permukaan dan juga bisa meresap menjadi satu dengan air tanah yang akhirnya tidak menguntungkan bahkan berbahaya bagi kesehatan manusia ataupun hewan yang mengkonsumsinya. Melihat kenyataan dewasa ini, dimana ban-

Swara

yak fenomena alam yang sangat memilukan seperti tanah longsor, banjir, gempa dan sebagainya di beberapa daerah di Indonesia, ada beberapa hal yang seyogyanya mendapat perhatian serius, antara lain: Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat akan lingkungan. Tidak dipungkiri lagi, isu kerusakan lingkungan sangat banyak kita jumpai di Negara-negara berkembang. Kebijakan pemerintah yang menggebu melaksanakan konsep developmentalisme seolah menjadi sebuah boomerang tersendiri bagi Negara tersebut. Parahnya lagi paham developmentalisme juga diikuti dengan pola hidup yang sok modern. Banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa pola kehidupan modern yang mereka lakukan sangat mempengaruhi lingkungan dan kondisi bumi secara keseluruhan. Kemakmuran yang semakin tinggi telah memberikan fasilitas hidup semakin mudah melalui perkembangan teknologi. Akibatnya penggunaan listrik terutama untuk keperluan rumah tangga menjadi sangat besar dan terus menerus seperti lemari es, mesin cuci, komputer, AC, audio dan sebagainya. Sedangkan kebiasaan shopping atau memborong belanjaan menyebabkan bertumpuknya sampah kantong plastik, piring, cangkir atau botol plastik, dan sebagainya. Kedua, tidak tegasnya pemerintah melaksanakan peraturan dan atau belum lengkapnya perangkat perundangan. Sering peraturan perundangan dibuat terlambat dan baru muncul setelah terjadi sesuatu yang merugikan masyarakat. Di samping itu peraturan yang sudah ada pelaksanaannya tidak tegas yang menyebabkan peraturannÂŹya menjadi mandul. Munculnya peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan, seperti UndangUndang pengolahan lingkungan hidup No.23 /1997 seolah-olah tidak ada korelasinya dengan realitas kondisi lingkungan saat ini. Bagaimana tidak, munculnya peraturan perundang-undangan ini seharusnya menjadi sebuah batu pijakan ataupun batu loncatan bagi usaha menjaga kelestarian lingkungan tetapi pada penerapannya, peraturan perundang-undangan ini seperti harimau yang kehilangan taringnya. Ketiga, perhatian dan usaha penangÂŹgulangan lingkungan. Untuk menanggulangi masalah lingkungan diperlukan perhatian seluruh masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Hal ini terkait dengan lingkungan itu sendiri yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia tanpa mengenal batas, sehingga perlu dipelihara dan ditata. Betapapun melimpahnya sumber alam, tidaklah hanya milik kita sendiri, tetapi juga milik generasi mendatang.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

37


Swara

Terbentuknya common interest seluruh lapisan masyarakat dan mengakui suatu ide dasar bahwa sistem alam atau sistem ekologis dan sistem ekonomi buatan manusia tak dapat dipandang secara terpisah-pisah, tetapi harus ditangani secara terpadu. Konsep penanganan lingkungan harus termasuk dalam konteks pembangunan atau yang disebut pembangunan berwawasan lingkungan. Keempat, peningkatan Kesadaran Lingkungan. Walaupun diharapkan agar setiap orang peduli terhadap lingkungan, namun kenyataannya masih banyak anggota masyarakat yang belum sadar akan makna lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup perlu terus ditingkatkan me¬lalui penyuluhan, penerangan, pendidikan, penegakan hukum disertai pemberian rangsangan atau motivasi atas peran aktif masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup. Peningkatan kesadaran lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain; Pendidikan dalam arti memberi arahan pada sistem nilai dan sikap hidup untuk mampu memelihara keseimbangan antara pemenuhan kepentingan pribadi, kepentingan lingkungan sosial, dan kepentingan alam. Kedua, memiliki solidaritas sosial dan alam yang besar mengingat tindakan pribadi berpengaruh kepada lingkungan sosial dan lingkungan alam. Kelima, Partisipasi kelompok-kelompok masyarakat. Untuk lebih meningkatkan kesadaran lingkungan, mengajak partisipasi kelompok-kelompok masyarakat sangatlah penting termasuk tokohtokoh agama, pemuda, wanita, dan organisasi lain. Peranan wartawan untuk turut memberi penerangan dan penyuluhan bagi kelompok masyarakat serta media massa sangat besar untuk penyebaran informasi, terutama untuk memasyarakatkan Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan segala aspek yang berkaitan. Partisipasi wanita sangat penting karena kelompok mayoritas sehari-hari dalam pemeliharaan lingkungan terutama dalam lingkungan keluarga adalah wanita atau ibu rumah tangga karena sebagian “waktunya” tinggal di rumah. Keenam, penegakan Hukum dan Peranan Pemerintah. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) telah ditentukan bahwa, setiap orang mempunyai, hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Juga setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, wajib memelihara dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran yang dapat merusak lingkungan. Undang-undang sebenarnya juga sudah mengatur

38

DIMëNSI

adanya sangsi bagi pencemaran lingkungan hidup namun dalam pelaksanaannya sering kurang tegas (konsisten). Karenanya, peranan pemerintah sangat penting untuk bertindak tegas dalan pengawasan pembangunan dan harus dilakukan menurut Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Pemerintah harus menciptakan tempat-tempat yang menunjang lingkungan hidup, misalnya dengan menyediakan taman-taman, hutan buatan dan pepohonan untuk penghijauan sekaligus untuk meyerap air. Sedangkan pihak swasta diminta untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, menciptakan kawasan hijau yang baik sekitar pabrik dan perumahan karyawan. Harus disadari bahwa, sebab dari rusaknya lingkungan adalah adanya kegiatan ekonomi yang semakin menggebu baik dari sektor pertanian maupun di sektor industri ataupun di sektor konsumsi energi dan pembuangan limbah. Oleh karena itu, untuk mengatasi keadaan yang semakin memburuk ini diperlukan perombakan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Selanjutnya perlu dipahami perlindungan terhadap lingkungan tidak akan dapat tercapai jika perspektif lingkungan telah diintegrasikan dalam kebijakankebijakan ekonomi. Tingkah laku perusahaan dan rumah tangga perlu pula terus dikaji, sebab hanya dengan melalui pemahaman mengenai bagaimana sector perusahaan dan sector rumah tangga mengambil keputusan, dampak tingkah laku mereka terhadap lingkungan dapat di pengaruhi dan diubah Biodiversitas atau keanekaragaman hayati sangat penting bagi manusia karena pada dasarnya manusia adalah bagian dari komunitas hayati di bumi. Tanpa makluk hidup lain, manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makanan, minuman, obat-obatan. Oleh karena itu kelestarian alam menjadi syarat utama kelestarian kehidupan manusia itu sendiri. Penanaman kesadaran dalam pelestarian lingkungan dan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pelestarian alam harus terus di kembangkan. Manusia diberi wewenang atas alam serempak dengan itu manusia perlu menjaga kelestarianya. Fakta bahwa Allah menciptakan manusia setelah alam tercipta memperlihatkan bahwa manusia tak mungkin hidup tanpa alam. Oleh karena itu manusia harus berubah sikap dari “penakluk” dan “penguasa” menjadi ”pengusaha” dan “pemelihara”. Manusia hanyalah mandataris dan bukan pemilik alam dia harus mempertanggung jawabkan perbuatanya kepada Allah pemberi mandat sekaligus pemilik alam.[]

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


Te r a s STAIN “Mempercantik” Diri Dalam rangka menyongsong peningkatan status STAIN menjadi IAIN, kampus yang beralamat di Jl. Mayor Sujadi Timur ini tengah giat membangun. Mulai dari lokal perkuliahan dan yang terbaru adalah pembangunan Ma’had yang nantinya diperuntukkan kepada mahasiswa baru. Jer basuki mawa bea, sebuah ungkapan Jawa yang mungkin cocok untuk mendeskripsikan kondisi pembangunan di STAIN. Ungkapan yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu kemajuan membutuhkan pengorbanan (biaya). Kemajuan apapun jikalau tidak ada sebuah pengorbanan, entah itu berbentuk biaya atau tenaga pasti menjadi suatu faktor yang penting bagi motor penggerak pembangunan tersebut. Bila dalam konteks pembangunan ma’had pengorbanan biaya yang menjadi masalah maka sesungguhnya inilah gambaran sesungguhnya kondisi real pembangunan yang terjadi di STAIN Tulungagung, kekurangan biaya. STAIN Tulungagung sebagai salah satu sekolah tinggi yang mempunyai cukup nama di kota Ingandaya ini mulai bergeliat. Demi misinya untuk menjadikan STAIN menjadi IAIN, maka banyak hal yang harus disiapkan. Karena, untuk meningkatkan status Sekolah Tinggi menjadi Institut ( IAIN), ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Misalkan, harus mempunyai lahan seluas paling tidak 10 hektar, mempunyai kurang lebih 13 program studi, dan lain-lain. Dikarenakan syarat tersebut, STAIN mulai berbenah diri. Salah satunya yang paling menonjol beberapa tahun belakangan ini adalah pembangunan fisik. Mulai dari pembangunan lokal perkuliahan, perluasan tempat parkir, sampai taman-taman penghias lingkungan STAIN. Diawali dari pembangunan lokal baru yang letaknya berada di sebelah utara gedung PLPT (Toyota), dan dekat dengan rel kereta api

(terkadang disebut lokal stasiun). Rencananya, gedung tersebut akan mempunyai tiga lantai, dan sekarang pembangunan sudah selesai pada lantai pertama. Mahasiswa pun sudah dapat menikmatinya untuk perkuliahan. Setidaknya adanya pembangunan lokal tersebut akan sedikit mengurangi permasalahan kekurangan lokal perkuliahan yang sering terjadi di lembaga ini. Pembangunan Ma’had Kembali ke pembangunan, sesuai dengan maket pembangunan STAIN, selain fokus lokal perkuliahan terdapat juga pembangunan lain yang sedang dikerjakan. Yaitu, pembangunan Ma’had Ali yang terletak di sebelah barat kampus STAIN. Berada di tengah perkampungan penduduk. Sesungguhnya, perencanaan pembangunan Ma’had ini sudah dimulai sejak tahun 2007 dan akhirnya 90% direncanakan selesai dan siap ditempati pada tahun 2011 ini. Walaupun mengalami kemoloran dan sempat vakum beberapa waktu yang lalu. Saat kemandegan itulah terjadi ketidak jelasan mengenai nasib Ma’had satu-satunya di STAIN ini (Baca DIMeNSI edisi 22). Hal tersebut sempat diungkapkan Bapak Maftukhin, ”Kita membangun Ma’had hampir 4 tahun lamanya, sampai berdarah-darah.” Tutur beliau diiringi gelak tawa lepas. Beliau menambahkan permasalahan dana atau anggaran yang terbatas merupakan salah satu faktor utama yang membuat pembangunan Ma’had tersendat. “Anggaran kita kan terbatas, kita harus membaginya dengan pembangunan

yang lain misalnya pembangunan lokal perkuliahan yang juga sedang berlangsung. Kita ingin mahasiswa di pesantren tapi perkuliahan juga tetap lancar berjalan, tidak ada lagi perebutan lokal.” Berkaitan dengan permasalahan kekurangan dana atau anggaran, beberapa waktu ini muncul wacana di kalangan mahasiswa khususnya, bahwa STAIN mengajukan bantuan ke IDB (Islamic Development Bank; red). Hal di atas dibenarkan oleh Imron selaku Ketua BEM STAIN, “Menurut saya saat ini STAIN sedang mengejar IDB dengan tujuan mengejar status dari STAIN ke IAIN. Dana IDB juga tidak berpengaruh pada kenaikan SPP yang selama ini ditakutkan oleh para mahasiswa, karena IDB merupakan pinjaman yang dilakukan oleh kampus atas rekomendasi negara, jadi yang menanggung pengembalian dana tersebut adalah negara.” Ungkapnya pada kru DIMeNSI 10 April 2011 lalu. Menanggapi hal di atas kembali P. Maftukhin angkat bicara, “Kita kan kekurangan dana untuk pembangunan. Sementara APBN negara juga terbatas dan harus dibagi dengan universitas lain di Indonesia. Maka, kita berusaha melakukan terobosan baru dengan mengajukan ke Bappenas di luar APBN yaitu program bantuan ke luar negeri. Oleh karena itu kita dipartnerkan pada lembaga donor internasional. Sedangkan salah satu donor internasional yang mempunyai council dengan pendidikan adalah IDB. Akan tetapi, karena ini merupakan program dari pemerintah maka tidak akan mempengaruhi biaya di STAIN. Pengembalian merupakan tanggung jawab pemerintah.”

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

39


Te r a s

. Gedung berlantai tiga ini, walaupun secara fisik sudah siap huni, akan tetapi masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi. Misalnya, berkaitan dengan fasilitas kamar mandi, perabot seperti tempat tidur, lemari dll, belum tersedia. Akan tetapi, pihak kampus optimis saat penerimaan mahasiswa baru tahun 2011 sudah dapat ditempati. Seperti penuturan Bapak Maftukhin selaku Ketua STAIN Tulungagung, “Ma’had sudah dapat digunakan 2011-2012 ini, meskipun untuk sementara hanya menampung paling banyak kurang lebih 350 mahasiswa. Sedangkan sisanya belum dapat kita Ma’had kan. Selain itu kan masih ada penentuan yang menempatinya nanti mahasiswa laki-laki atau perempuan. Semuanya masih kita bahas lebih lanjut”. Berbicara mengenai Ma’had, muncul banyak pertanyaan mengenai teknis operasionalnya dan bentuk kurikulumnya nanti. Bahkan sudah banyak muncul kekhawatiran di kalangan teman-teman UKM akan mengalami kesulitan perekrutan karena terbentur dengan kewajiban mondok bagi mahasiswa baru nanti. Akan tetapi, hal tersebut buru-buru ditepis oleh P. Maftukhin, “Jangan disamakan sistem Ma’had tradisional dengan pesantren perguruan tinggi. Kan sebenarnya tujuan Ma’had itu sendiri yang terpenting adalah pengembangan bahasa (Arab-Inggris), selain itu agar mahasiswa dapat belajar 24 jam dan bersosialisasi dengan lingkungan kampus baru, teman, dosen, dan etik. Akan tetapi, bukan berarti nanti mahasiswa dikarantina.” Lebih lanjut mengenai persyaratan atau calon penghuni Ma’had nantinya belum ada kepastian. Masih dibicarakan lebih lanjut. Yang terpenting adalah STAIN sebagai lembaga pendidikan Islam tidak hanya mengedepankan intelektualitasnya tetapi segi spiritualnya dan mental. Mengenai penanggung jawab pembangunan, beliau menambahkan, “Penanggung jawab adalah Pembantu Ketua 3, sedangkan pen-

40

DIMëNSI

gasuh nanti dapat diambilkan dari kalangan dosen. Kalaupun harus mencari tenaga baru di luar STAIN, maka kriterianya harus yang tidak bisa dijangkau oleh dosen. Karena yang selama ini berlangsung adalah transfer keilmuan sementara transfer personality.” Akan tetapi, kurangnya sosialisasi mengenai pembangunan Ma’had tersebut membuat beberapa pendapat muncul dikalangan mahasisiwa. Seperti penuturan Indah (PBA/II), “Saya kurang mengerti mengenai Ma’had itu. Yang saya tahu Ma’had digunakan untuk mahasiswa baru tahun depan.” Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sama sekali tidak mengetahui rencana pembangunan Ma’had tersebut. Berbeda dengan Rizki Amalia (TMT/II), “Seharusnya ma’had tidak perlu digunakan jika ruangan cuma sedikit, sedangkan yang terdengar hanya ada 60 kamar. Apakah mahasiswa bisa mencukupi untuk masuk di dalamnya. Sedangkan calon yang menghuni saja tidak diketahui bagaimana cara seleksi masuknya, yang bodoh atau yang pintar, sedangkan jika yang pintar dimasukkan ke situ, bagaimana yang dari SMA dan belum mengetahui tentang agama khususnya bahasa Arab. Maka dari itu perlu dikaji lebih ulang kapan penggunaannya.” Berbagai spekulasi yang muncul di kalangan civitas akademika STAIN merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat ini merupakan progranm baru dan belum ada sosialisasi kepada mahasisiwa. Hal tersebut akan langsung sirna jika sudah ada peresmian langsung dari pihak birokrasi. Karena sesunguhnya, mahasiswa menunggu kepastian. Menurut Imron selaku ketua BEM STAIN Tulungagung, ”Kalau pembangunan tidak dibarengi dengan konsep pembangunan yang jelas maka akan menambah masalah saja. Dan pembangunan itu pun belum bisa dirasakan oleh mahasiswa, dengan alasan belum diresmikan. Kalau masalah Ma’had, saya juga belum mengetahui informasi kuriku-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

lumnya bahkan siapa yang bertanggungjawab atas Ma’had saya juga belum mengetahuinya. Tapi kalaupun kurikulum Ma’had sudah dibuat, itupun harus dimusyawarahkan dengan Senat mahasiswa dan dipresentasikan kepada mahasiswa.” Tegasnya Menuju IAIN Adanya pembangunan di segala bidang di lingkup STAIN sesungguhnya tidak terlepas dari upaya untuk meningkatkan status menjadi IAIN. Hal tersebut diamini P. Maftukhin dalam suatu sesi wawancara dengan kru DIMeNSI, “Ya, sekarang ini Ma’had menjadi syarat idealisasi sebuah perguruan tinggi. Misalnya IPB dengan Rusunawanya (Rumah Susun Mahasiswa; red). “Sesungguhnya secara lembaga kita sudah siap menuju ke IAIN, kita sudah memiliki 13 program studi. Dan secara fisikal kita sudah layak ke IAIN. Tetapi buat apa kita pindah status yang lebih tinggi tetapi kita belum siap.” Makanya selain pembanguan fiisk kita juga melakukan pembenahan internal, misalnya manajemen, kemampuan dosen, Web STAIN, dan lain-lain.” Akan tetapi, selain Ma’had ada beberapa pembangunan lain yang akan direalisasikan dalam jangka waktu ke depan diantaranya adalah; gedung baru untuk masingmasing fakultas, pengembangan perpustakaan, laboratorium untuk semua program studi bahkan semua ilmu. Mengenai harapan ke depan sehubungan dengan Ma’had adalah; pertama, mahasiswa akan terlatih secara intelektual, mempunyai kemampuan berdialog. Kedua, memiliki kemampuan berbahasa yang baik, khususnya Bahasa Arab dan Inggris. Ketiga, Penguasaan ilmu pesantren. Dan keempat, mengembangkan budaya dan tradisi yang sekarang mulai lemah. Hal tersebut secara tersirat diungkapkan P. Maftukhin sembari mengakhiri wawancara dengan kru DIMeNSI.[] //NC Crew//


Budaya Cemenung; Kelestarian Lingkungan dan Nilai Sakralitas Gemah ripah loh djinawi, sopan santun, kultur yang sosialis merupakan wujud ciri khas bangsa asli penduduk Indonesia dan mereka mengawali menciptakan budaya-budaya unik asli bangsa Indonesia. Sehingga sudah patut bangsa Indonesia melestarikan budaya mereka dengan cara mereka. Tulungagung Bersinar, itulah sebutan untuk salah satu daerah yang berada di pesisir laut selatan Pulau Jawa. Tulungagung memiliki berbagai macam budaya dan industri bahkan mitos yang khas, seperti jaranan, legenda Jaka Kandung, Gunung Cemenung dan masih banyak lagi. Seperti halnya di salah satu daerah bagian timur Tulungagung, Ngunut, terdapat masyaraka pinggiran yang khas akan kultur yang kental dan terdapat mitos yang memang sudah meluas di kalangan masyarakat sekitar, hingga pernah mendatangkan pro dan kontra terhadap suatu masalah. Di daerah industri Sanghai ini terdapat gunung yang dipercaya memiliki kesakralan tersendiri. Cemenung, inilah mitos yang sangat dikeramatkan oleh warga sekitar. Mitos Cemenung merupakan fenomena besar dalam kehidupan, karena hal mistis akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan kejadian nyata di dunia atau logika manusia. Sakralitas Gunung Cemenung tentang Mitos Dari penelusuran yang telah dilakukan kru DIMëNSI tentang mitos yang ada, bahwasanya gunung Cemenung tercipta karena adanya suatu peristiwa lampau, yakni peperangan antara tokoh pewayangan yang tak asing lagi di telinga pembaca, yakni Sugriwa dan Subali yang sedang bertapa yang kemudian salah satu kaki dari mereka telah menendang dinding goa hingga jebol dan akhirnya menjadi sebuah goa yang bisa kita jumpai saat ini. Kepercayaan inilah yang menyebabkan masyarakat

desa sekitar menjadi semakin yakin atau bahkan takut tentang hal tersebut, sehingga mereka akan tetap mempertahankan Cemenung menjadi gunung yang dikeramatkan. Hal ini didukung dengan pengakuan Samuji, juru kunci gunung Cemenung, “Gunung Cemenung ki yo memang keramat, biso diarani endase segoro. Gak onok sing wani ngutak-atik. Mergane lek sampek diotak-atik bakal buyar ndunyo iki. Koyo unen-unen wong tuwek ndisik jare Kediri dadi kali, Tulungagung dadi kedung, lan Blitar dadi latar” (Gunung Cemenung memang keramat bahkan bisa disebut kepalanya laut. Tidak ada yang berani mengusik. Seperti pepatah orang-orang tua terdahulu yakni Kediri jadi sungai, Tulungagung jadi danau, dan Blitar jadi daratan; red). ”Yo memang buktine setitik mbak lek masalah sejarahe, mergane podo ilang ditambangi wong-wong. Koyoto tipak sikile Subali biyen ijeh enek ndek watu gedhe cedak’e alas kono, mergane mencelat. Tapi saiki ilang mergani dikepruki watune karo tukang nambang liar. Tapi lek masalah warna ijo, memang pantangan neng kene” (Buktinya memang sedikit, karena banyak yang hilang ditambang oleh orang-orang penambang liar, seperti batu yang bercapkan kaki Subali. Namun kalau mengenai warna, hal itu memang pantangan disekitar Cemenung; red). Tambah Samuji, pria paruh baya yang merupakan salah satu juru kunci gunung Cemenung. Mitos Cemenung yang berbedabeda antara satu orang dengan orang lainnya menjadikan masyarakat ber-

tanya-tanya akan sejarahnya. Hal ini terbukti dari ungkapan salah satu warga yang berdomisili di Tulungagung, Rosi, “Sebenarnya saya itu mau percaya ya gak terlalu percaya. Tapi mau gak percaya ya katanya ada buktinya. Contohnya, pernah ada orang mengadakan pernikahan tapi karena memakai kelambu berwarna hijau tiba-tiba terjadi badai. Dan gak hanya itu, ada orang yang mengadakan pagelaran wayang dengan memakai tanda bendera hijau dan akhirnya terjadi kebakaran pada diesel yang dipakai”. Memang benar mengenai ungkapan gadis belia ini bahwasanya Cemenung masih terdapat misteri tentang keberadaan sejarahnya tapi terkadang juga bisa diterima oleh akal. Dalam Cemenung terdapat misteri luar biasa lagi yakni terdapat sumber air yang dipercaya tembusan dari laut selatan. “Sumber kuwi lek dicemplungi pring iso kelep mbak” (sumber itu bila dimasuki bambu panjang akan terjebur dan tenggelam; red). Dari penyataan tersebut bisa kita bayangkan betapa dalam sumber yang ada di goa gunung Cemenung tersebut. Dan apabila ditelusuri lebih dalam, goa tersebut memiliki kedalaman yang luar biasa, sehingga apabila ada yang masuk maka tidak bisa kembali tanpa adanya bantuan. Karena di goa yang dalam, sulit ditemukan oksigen untuk bernapas. Dengan adanya kesakralan dari gunung Cemenung, alhasil banyak orang yang mungkin minta penglaris di tempat tersebut. Itu adalah hal real para masyarakat masih mempercayai akan adanya

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

41


Budaya kesakralan dan kedahsyatan dari Cemenung. Nilai dan Wujud Kelestarian Tentang kelestarian lingkungan, memang sering kali menjadikan sisi yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Karena tentang kelestarian merupakan nyawa bagi kelangsungan masyarakat terkait kebutuhan yang akan datang. Sehingga kelestarian ini sangat dibutuhkan bagi anak cucu selanjutnya. “Masyarakat yakin karo kepercayaan sing ngunu kui, tapi yo marai lek terkait ngrusak ora wani mas masysrakat kene, soale gunung iki lek sakliyane kapercayaan yo pomo digawe wisata ki apik. Kerono sabendino nek kene akeh sing dolan sekitar kene terutawa kawulo mudo” (masyarakat meyakini tentang kepercayaanyang begitu, tetapi ya kalau terkait merusak tidak berani mas masyarakat sekitar sini. Karena gunung ini sebenarnya selain adanya kepercayaan ya seandainya dijadikan tempat wisata itu bagus. Karena setiap hari disini banyak yang bermain disekitar sini terutama kaum muda; red). Kata Sujito, warga sekitar yang terbiasa mencari rumput di sekitar perbukitan. Dalam budaya di Indonesia, dari suku apapun itu, dari daerah manapun mitos seakan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Banyak hal-hal mistis yang selalu dikaitkan dengan berkembanganya mitos. Sesungguhnya, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Ada beberapa legenda ataupun mitos yang memang sengaja dikembangkan dan dilekatkan pada suatu benda dikarenakan untuk menjaga kelestarian ataupun keselamatan benda tersebut. Hal tersebut cenderung berhasil. Dikarenakan sifat dasar manusia terutama bangsa Indonesia yang masih sangat kental dengan hal tersebut. Sehingga, dimanfaatkan oleh sebuah komunitas guna kepentingan kelestarian lingkungan. Seperti penuturan P. Wiji selaku budayawan Tulungagung. “Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan

42

DIMëNSI

Animisme yang memang sudah ada sejak dulu. Manusia yakin tentang adanya suatu kekuatan ruh yang melekat pada setiap benda di luar individu. Misalkan, pada tumbuhan, telaga, gunung, hutan, pusaka, dan lain-lain. Dan kekuatan itu dapat dikondisikan untuk suatu kepentingan dimana terkadang jika menyangkut kepentingan masyarakat banyak, mitos memang perlu dikondisikan. Masyarakat menjadi tidak berani dan tidak seenaknya mengambil ataupun merusak lingkungan tersebut. “ Tutur pemilik gallery Wiji Art Design ini. Dan bagi masyarakat dahulu- bahkan sampai sekarang- metode ini sangat berhasil. Seperti di daerah Telaga Mburet, hal tersebut terbukti berhasil, walaupun sekarang sudah tidak relevan. Dahulu, daerah Mburet terkenal angker karena mitos yang menyelimutinya, masyarakat sama sekali tidak berani menyentuh lingkungan tersebut, terutama mengambil hasil di dalam Telaga, misalnya lele, bulus dan lain-lain. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kepercayaan masyarakat, mitos itu tidak lagi digubris. Mengenai mitos yang berkembang di masyarakat, diamini juga oleh Adri Wiyono dari BLH (Badan Lingkungan Hidup; red), “Sebenarnya mitos itu kalau boleh saya sebut adalah kearifan lokal. Akan tetapi, hal tersebut terwujud dalam bentuk mitos. Masyarakat menjadi tidak berani mengambil dan seenaknya terhadap lingkungan. Tapi, dari segi agama kan sebenarnya tidak boleh, ada yang membuktikan bahwa mitos itu tidak benar, maka masyarakat menjadi berani untuk melanggar mitos yang sudah ada karena memang terbukti tidak terjadi apa-apa. Dari segi lingkungan ya sangat terbantu.” Terangnya ketika ditemui kru DIMëNSi di tempat kerjanya. Adri Wiyono juga menambahkan bahwa, nenek moyang kita lebih cenderung menggunakan mitos untuk melindungi suatu wilayah. “Nenek moyang kita biasanya menjaga ling-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

kungan itu dengan hal-hal yang secara nalar dan teknologi tidak bisa dibuktikan. Jangan ganggu pohon itu ada lelembutnya. Sesungguhnya apa yang dimaksud lelembut itu?. Kan sesungguhnya lelembut adalah sesuatu yang tidak terlihat dengan mata, misalnya CO2, oksigen. Jadi, kalau pohon besar itu ditebang, maka yang menghasilkan oksigen siapa?. Sesungguhnya hal tersebut belum sampai dipahami oleh nenek moyang kita, tetapi mereka sudah tahu kegunaan pohon tersebut.” Menurut P. Wiji budayawan sekaligus perupa ini, adanya mitos yang melingkupi suatu lingkungan juga mempunyai dampak positif dan negatif. Adapun dampak positifnya adalah tejaganya keseimbangan ekosistem. Masyarakat menjadi tidak mau seenaknya memperlakukan lingkungan. Dan, alhasil kelestarian lingkungan dengan sendirinya akan terjaga. Sedangkan dampak negatifnya adalah, ditakutkan karena kuatnya pengaruh mitos tersebut menjadikan akidah keagamaan masyarakat terutama yang beragama Islam menjadi terongrong. Karena tidak sedikit yang malah menjadi lebih percaya dengan mitos itu daripada dengan Sang Pencipta mitos tersebut. Akan tetapi, terlepas dari semua tujuan dan latar belakang penciptaan mitos tersebut patut dihargai. Karena lingkungan menjadi terjaga dan keseimbangan ekosistem menjadi terpelihara. Selain itu, ada beberapa mitos yang telah mengakar kuat dan menjadi tradisi serta kesenian lokal. Misalnya, tradisi manten kucing, Ulur-Ulur di Mburet dan lain-lain. Masih P. Wiji, “Sesungguhnya tidak apa-apa mitos itu tetap dilestarikan hanya saja jangan sampai merusak akidah keagamaan dan dibelokkan untuk kegiatan yang tidak berorientasi lingkungan.“ Metode apapun yang digunakan dalam rangka untuk melindungi lingkungan seyogyanya harus tetap mendapatkan prioritas. Karena, lingkungan sudah semakin menjerit karena banyaknya pengrusakan.[] // jis/nita/zam//


Resensi Moralitas Lingkungan; Paradigma Manusia dalam Menyikapi Kehidupan Data buku Penulis : Muh. Aris Marfai Judul Buku : Moralitas Lingkungan; Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan Penerbit : Kreasi Wacana Tahun Terbit : 2005

Dalam kehidupan sehari-hari kita tak luput dari yang namanya lingkungan, dimana pun kita berada selalu berkutat dengan lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu sumber kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi, karena semua yang kita butuhkan tersedia di lingkungan sekitar air, tumbuhan, manusia, hewan, rumah-rumah, gedung-gedung bertingkat, semuanya tersedia di lingkungan sekitar kita. Disamping majunya dunia perteknologian, hampir semua manusia di muka bumi ini mengabaikan akan manfaat dan akibat jika kita melalaikan lingkungan sekitar. Dalam buku “Moralitas Lingkungan� ini membahas tentang ketidakperdulian manusia tentang keadaan lingkungan dengan seiringnya perkembangan zaman. Berdirinya gedung-gedung bertingkat, pusat-pusat perbelanjaan, adanya rumah kaca, terjadinya illegal loging, membuat lingkungan semakin rusak. Banjir, longsor, cuaca tidak menentu adalah salah satu dampak dari tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan keuntungan pribadi mereka dan tidak memikirkan dampak yang terjadi jika

mere k a mengabaikan lingkungan. M.Aris Marfai menegaskan dalam bukunya, bahwa kesadaran manusia semakin lama semakin menipis bahkan hilang, padahal di Indonesia terdapat lebih dari 70 pusat studi lingkungan ini berarti bahwa pentingnya lingkungan untuk dikaji. Sering kali lingkungan dinomorduakan yang se-

harusnya dinomorsatukan, karena jika kita lebih mementingkan satu diantara yang lain maka akan terjadi ketidaksinambungan antar keduanya. Jika semua seimbang maka tidak ada yang dirugikan, gedung-gedung bertingkat, hotel-hotel mewah, pusat-pusat perbelanjaan yang megah akan tetap berdampingan dengan lingkungan yang tetap indah, nyaman, dan tentram. Jika ini terjadi maka tidak ada lagi yang dirugikan, bahkan akan menjadi suatu kehidupan yang saling menguntungkan satu sama lain. Buku yang ditulis oleh seorang aktifis WEHA (Lembaga kajian dan Advokasi Lingkungan Wahana Hijau) yang terbit pada tahun 2005 ini memiliki 3 bagian bahasan yang berbeda. Bagian pertama, memperbincangkan tentang Marginalisasi Lingkungan dan Kebutuhan Teologi Lingkungan. Dalam bab ini juga mengupas tentang etika lingkungan, moralitas lingkungan untuk memberikan pandangan terhadap paradigma manusia dalam menyikapi kehidupan ini. Bagian kedua buku ini mengulas

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

43


Resensi

lebih teknis rasional tentang berbagai persoalan dan pernak-pernik lingkungan yang terdapat di sekitar kta. Permasalahan pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan sumber daya pesisir, fenomena perkembangan perkotaan, banjir dan fenomenanya di daerah perkotaan, dan kasus-kasus pencemaran lainnya. Bagian ketiga mencoba untuk menelaah tentang partisipasi komunitas local dan pemanfaatan sumber daya alam. Reboisasi dan penghijauan merupakan langkah strategis dalam mewujudkan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Aksi program reboisasi meliputi penanaman atau permudaan pohon-pohon serta jenis tanaman lainnya di areal hutan Negara dan areal lain, yang berdasarkan rencana tata guna lahan diperuntukkan untuk hutan. Penghijauan meliputi penanaman tanaman tahunan atau rerumputan, serta pembuatan bangunan pencegah erosi tanah, antara lain sengkedan dan checkdam, di areal yang tidak termasuk hutan Negara atau areal lain, yang berdasarkan rencana atau tata guna lahan tidak diperuntukkan hutan. Dalam kontek lingkungan hidup, pemanfaatan kekayaan alam dan bentang alam untuk kegiatan wisata mempunyai implikasi yang jauh lebih kecil daripada pemanfaatan untuk kegiatankegiatan pembangunan lainnya seperti untuk kawasan perindustrian dan pemukiman. Perubahan lingkungan senantiasa mempunyai konotasi berupa pencemaran lingkungan dan

44

DIMĂŤNSI

penurunan kualitas/degradasi lingkungan. Untuk itu sebetulnya semangat utama harus dijunjung dalam kegiatan wisata alam ini adalah upaya penyelamatan dan konservasi lingkungan dari berbagai aktivitas lain yang akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Lingkungan hidup mempunyai haknya dalam rangkaian ekosistem yang harus dihormati oleh semuanya. Termasuk oleh manusia, karena manusia juga merupakan elemen yang tidak berbeda dengan elemen lainnya dalam ekosistem. Setiap elemen mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan mempunyai nilai dalam kaitannya dengan ekosistem, setiap elemen dalam lingkungan dan ekosistem saling berpengaruh satu sama lainnya, sehingga keseimbangan dan saling adaptasi satu sama lain merupakan kunci penyelesaian kehidupan ini. Dengan adanya pokok-pokok bahasan yang ditulis oleh M.Aris Marfa’i diharapkan semua manusia di muka bumi sadar akan pentingnya lingkungan bagi kelangsungan hidup mereka. Oksigen yang dulunya begitu mudah kita dapatkan sekarang harus berebut dengan polusi dari pabrik-pabrik dan kendaran pribadi yang semakin melonjak, areal persawahan yang luas kini harus tergusur dengan adanya gedung-gedung bertingkat dan real estate, yang mengakibatkan sayurmayur, dan bahan pokok makanan melonjak naik dan harus impor dari luar negeri. Negara yang dikenal dengan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

kaya akan rempah, tambang, dan biota laut yang bagus kini harus hancur dengan adanya tangan-tangan jail yang tidak bertanggung jawab yang akibatnya akan kembali pada diri mereka sendiri. Inikah hasil dari pendidikan yang kita dapatkan selama ini, bukankah kita belajar untuk menyayangi, menjaga, dan memanfaatkan apa yang ada disekitar kita dan bukan untuk dirusak dan diabaikan. Yogyakarta merupakan salah satu tempat yang selalu disebut-sebut dalam buku ini, mungkin karena Sang penulis berada dan menetap di kota tersebut akhirnya digunakan sebagai tempat observasi. Namun harusnya sebisa mungkin penulis harus bisa menggunakan berbagai kota sebagai bahan observasi karena dalam buku ini membahas tentang lingkungan yang ada di dunia dan bukan hanya di daerah Yogyakarta saja, dan ini merupakan salah satu kekurangan dalam buku ini. Disamping kelemahan selalu ada kekuatan, begitu juga dengan buku ini dimana selalu mewacanakan tentang moral manusia terhadap lingkungan, agar mereka selalu sadar tentang keadaan lingkungan sekitar dan melestarikannya. Sebagai manusia yang beradab Sang penulis ingin kita sebagai manusia selalu bertanggung jawab atas apa yang telah kita perbuat terhadap lingkungan. Diskursus dalam buku ini adalah mengembangkan isu-isu tentang maraknya illegal logging, global warming, dan efek-efek kerusakan lingkungan.[] //kiki//


Resensi

Memandang Lingkungan dengan Kacamata Sosiologi Data buku Penulis : Sosiologi Lingkungan Judul Buku : Rachmad K.Dwi Susilo Penerbit : Rajagrafindo Persada Tahun Terbit : 2008

Fenomena alam sekarang ini banyak sekali, seharusnya dengan adanya hal tersebut kita sadar akan keadaan lingkungan yang semakin hari tidak terurus, maka untuk itu perlu adanya koreksi pola pikir dan tindakan-tindakan sosial. Dalam kerangka pendekatan historissosiologis jelas bahwa saat berinteraksi dengan alam, kebudayaan diciptakan manusia karena manusia merupakan makhluk yang lebih cerdas daripada makhluk lainnya di bumi. Kemudian dalam proses interaksi tersebut, ditemukanlah langkah-langkah bagaimana memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akan tetapi, pada saat itu manusia hanya bertindak sesuai dengan kebutuhan optimum mereka, dalam artian tidak berlebihan. Sebagian manusia juga, dikarenakan ada kepercayaan mitos yang kuat malah membuat manusia sangat berhati-hati dalam mengolah alam. Sebaliknya, seiring dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan manusia membuat mitos yang menyelimuti alam dan melindunginya semakin tidak digubris oleh masyarakat. Selain itu, munculnya

antroposentrisme yang memunculkan kebijakan yang tidak prolingkungan. Antroposentrisme merupakan simbol kerakusan manusia sistemik yang tidak hanya bersifat individual, tetapi melekat pada teknologi, ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, dan struktur kekuasaan para pemegang kebijakan dan otoritas. Hal di atas, rawan menyebabkan manusia tidak lagi mengindahkan hati nuraninya dan lebih menuruti nafsunya, akibatnya alam semakin tidak bersahabat dan muncul bencana dimana-mana. Ilustrasi di atas menggambarkan besarnya dominasi lingkungan pada kehidupan manusia. Selain itu, bisa difahami mengapa isu lingkungan sekarang sangat tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang notabenenya merupakan wilayah politik? Ternyata, hal yang tersebut berhubungan erat dengan antroposentrisme yang sudah disinggung sebelumnya. Karena, disinyalir selalu memunculkan kebijakan yang mengabaikan lingkungan. Dalam tahapan hubungan manusia dengan lingkungan ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan “nasib� manusia dipengaruhi dan ditentukan dengan lingkungan. Ada beberapa faktor yang sangat

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

45


Resensi

erat hubungannya dengan lingkungan khususnya jenis bencana akibat rusaknya daya dukung lingkungan, diantaranya: • Faktor internal, yakni suatu kerusakan yang berasal dari alam sendiri. Bagi masyarakat, sebuah kerusakan ini sukar dihindari sebab merupakan bagian dari proses alam. • Factor eksternal, yakni kerusakan lingkungan yang berasal dari perilaku manusia. Kerusakan daya dukung sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan seperti; industrialisasi, penggunaan bahan bakar fosil dan limbah rumah tangga yang dibuang di sungai-sungai Fenomena di atas, seharusnya dapat lebih menyadarkan masyarakat untuk mengoreksi pola pikir dan tindakan-tindakan sosial kita selama ini, di mana bisa jadi, terbangun sejak masa lalu. Kemudian, sambil tidak tinggal diam berbuat sesuatu untuk memikirkan masa depan lingkungan, baik berbentuk tindakan afektif, kognitif, psikomotorik maupun tindakan yang bersifat teoritis dan praktis sebab bagaimanapun, narasi besar mengatakan bahwa persoalan lingkungan jelas karena watak-watak manusia, terutama sebagai konsekuensi manusia dengan lingkungan/alam (Bab 2). Munculnya sifat manusia baru manusia yang jelasjelas tidak sama dengan karakter sebelumnya yakni �manusia sebagai penakluk lingkungan� (Bab 3). Penakluk lingkungan di sini berarti menjadikan alam benar-benar sekadar menghamba untuk memenuhi keinginan manusia. Dalam bukunya, Rachmad K.Dwi Susilo mengetengahkan urgennya isu lingkungan untuk segera dicarikan solusinya. Salah satunya beliau menawarkan menganalisis problematika lingkungan ini dari salah satu sudut keilmuan, yaitu sosiologi. Ilmu yang secara konvensional mengkaji tentang hubungan antar manusia dan lingkungan sosialnya tanpa menyinggung variabel lingkungan ini dijadikan pendekatan untuk mengkaji lingkungan. Karena ada anggapan bahwa sosiologi bisa dikatakan terlambat menanggapi perkembangan kajian-kajian lingkungan. Padahal ilmu-ilmu sosial lain sudah terlebih da-

46

DIMĂŤNSI

hulu gencar mengawal isu lingkungan. Dalam Bab 2 sudah disinggung penulis mengenai watak dasar manusia yang mendominasi perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam bab tersebut dimunculkan teori lebih dari satu kemungkinan yang menyatakan bahwa, bisa jadi memang ada tindakan sosial manusia yang merupakan representasi masing-masing karakter, ataupun kombinasi diantara ketiganya tersebut. Misalkan, setiap individu dapat memiliki watak sebagai penakluk lingkungan sekaligus sebagai pejuang lingkungan. Dan di dalam Bab 4, watak manusia sebagai pejuang kehidupan diulas habis. Dengan menggunakan 3 paham ekologi yaitu, biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Dengan ini penulis berharap untuk memperkuat dan memperluas barisan pejuanh lingkungan sekaligus membentuk wajah sosiologis baru yang ramah lingkungan. Selain menaklukkan dan memperjuangkan lingkungan masih ada satu tindakan lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan, yaitu merancang keberlanjutan lingkungan (Bab 5). Melalui pelembagaan kembali kearifan-kearifan lokal tradisional, mewaspadai modernisasi dan kemunculan masyarakat berisiko, serta mengampanyekan Sustainable Society. Dengan selalu menyandarkan analisisnya pada teoriteori yang sebelumnya, penulis mencoba menghadirkan sikap dan kerangka berpikir yang baru sesuai dengan perkembangan isu lingkungan sekarang ini. Tidak lupa, penulis juga selalu mengetengahkan hasil kajian-kajian sosiologi lingkungan dan berbagai peristiwa aktual yang berkaitan dengan lingkungan lengkap dengan data yang valid. Hal tersebut sangat memudahkan pembaca dalam memahami isi buku secara komprehensif. Akan tetapi, akan lebih baik jika membaca buku ini juga didampingi buku-buku sejenis sehingga dapat membuat teori yang dimunculkan semakin kaya dan berbobot. Terlepas dari semua itu, buku ini tetap layak mendapat tempat tersendiri khusunya kita generasi muda yang sadar lingkungan.// zetik//

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011


Suplemen

Musuh dalam Selimut; Korupsi Menggerogoti Moral Bangsa Oleh: Laili Khasanah*

Bagaikan sebuah virus mematikan, korupsi telah menjadi penyakit terdahsyat yang membunuh sendisendi moralitas bangsa kita. Tak hanya aparatur negara, masyarakat biasapun sadar atau pun tidak, seringkali berselingkuh dengan virus yang namanya korupsi ini. Tak usah bicara Goyas-Gayus, korupsi ini telah menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah dan menciptakan moral korup yang kronis. Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan aparat penegak hukum tengah gencar-gencarnya memberantas korusi dan para koruptornya. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan adanya upaya perlawanan ini. Namun, upaya ini masih jauh dari harapan. Hanya segelintir koruptor kelas teri yang tertangkap. Seperti kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai rendahan Direktorat Pajak. Ia mengaku hanya sebagai pelaku korupsi kelas teri. Namun, dengan kekuatannya ia bisa mengobrak-abrik tatanan hukum kita. Ini masih kelas teri, kebayang gak, bagaimana jika para koruptor kelas kakap yang bermain di jagad perkorupsian Indonesia. Bagaikan sebuah virus mematikan, korupsi telah menjadi penyakit terdahsyat yang membunuh sendi-sendi moralitas bangsa kita. Tak hanya aparatur negara, masyarakat biasapun sadar atau pun tidak, seringkali berselingkuh dengan virus yang namanya korupsi ini. Tak usah bicara Goyas-Gayus, korupsi ini telah menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah dan menciptakan moral korup yang kronis. Sudah menjadi rahasia umum, sehingga muncullah istilah uang pelicin, nembak dan sebagainya. Praktik kotor ini dianggap mem-

permudah seseorang ketika mau mengurus segala sesuatu. Mulai dari mengurus nembak pembuatan KTP, kalau mau cepet ya harus nyogok dengan harga yang pastinya lebih mahal. Di dunia pendidikan, praktik korupsi kecil-kecilan sudah mulai dilaksanakan secara mandiri. Mulai dari tingkat SD-SMP-SMAPT, rasanya praktik yang paling umum adalah bolos. Entah itu bolos sekolah, bolos piket, bolos ekskul, dll. Siswa pun juga mulai terbiasa menggelembungkan anggaran (kalau dalam kamus korupsi pejabat negara ini, mark up) juga kadang terjadi, misalnya buku yang harganya Rp 20.000 kita lapor pada ortu (orang tua; red) dengan harga Rp 40.000. Uang SPP yang seharusnya dibayarkan, digunakan jajan dan ngopi. Tiba-tiba ada panggilan dari sekolah siswa yang bersangkutan nunggak 5 bulan SPP. Parahnya lagi, ketika ada pengajuan beasiswa, ramai- ramai mendaftar. Ujung-ujungnya, bukannya buat nambah kemampuan studi, malah buat bancakan dan pesta pora. Lebih lanjut, praktik korup ini semakin tumbuh subur, manakala institusi pendidikan mengajarkan sifat yang tak bermoral ini. Simak saja Ujian Nasional beberapa tahun terakhir ini, secara

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

47


Suplemen

terang-terangan pihak sekolah memberikan keleluasaan siswa untuk mencontek agar lulus dari jebakan maut yang bernama Ujian Nasional. Mulai dari pura-pura tidak tahu saat siswa mencontek, hingga membocorkan kunci jawaban lewat SMS. Para siswa sedari dini dididik untuk tidak memiliki kejujuran, menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan,dan tidak percaya diri. Apa yang akan terjadi jika para siswa yang telah membawa bibit-bibit korupsi ini, kelak menggantikan para tetua yang telah mangkat, untuk memimpin Negara. Pertanyaan yang sering diajukan, apakah dunia pendidikan kita justru mengajarkan siswa-siswi untuk korup? Apakah anak-anak bangsa itu memang dididik untuk jadi koruptor? Apakah sekolah-sekolah kita adalah sawah ladang yang menyemai bibit-bibit koruptor?

Krisis Moral Tersistematis Pemberantasan korupsi kini ibarat hendak menumbangkan pohon, hanya menebang batang bagian ujungnya namun, lalai mencabut akarnya. Begitulah gambaran orang-orang di sekeliling kita. Hampir semua elemen masyarakat tau apa itu korupsi secara teori. Namun, mereka malu-malu kucing dan ternyata mengiyakan korupsi secara praktik. Secara teori, siapalah yang setuju dengan korupsi. Bagai sebuah racun, korupsi rasanya susah sekali dicarikan obat penawarnya. Maklumlah, racun ini memang tidak berdampak langsung pada Si penderita. Si penderita justru merasakan kenikmatan dunia yang mungkin tak akan pernah dia rasakan. Bukan hanya itu, karena korupsi ternya-

48

DIMĂŤNSI

ta tanpa sadar memang sudah mendarah daging dalam diri kita. Perkembangan pesat praktik korupsi di Indonesia sangatlah berbanding lurus dengan rusaknya moral masyarakatnya. Akibatnya, perbuatan korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama maupun hukum negara. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan atas sudah sama-sama mafhum dan tidak keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang

“

Hal yang pertama perlu diperbaiki guna mengurangi korupsi ini adalah memperbaiki moralitas setiap individu. Perbaikan moralitas ini dapat dilakukan dengan pendidikan agama dan etika, baik lewat jalur formal dan nonformal.

lain melakukan korupsi. Samasama tahu adalah istilah keren untuk perbuatan yang tidak menyakiti kawan jika melakukan korupsi. Tak mesti pelaku koruptor itu orang-orang jahat, seseorang bisa saja dengan khusuk beribadah berjamaah di masjid, namun ketika ia berada di kantor melakukan tindak korupsi. Malahan beberapa kasus, hasil korupsi digunakan untuk ibadah dan kegiatan keagamaan, sungguh ironis. Hal yang pertama perlu diperbaiki guna mengurangi korupsi ini adalah memperbaiki moralitas setiap individu. Perbaikan moralitas ini dapat dilakukan dengan pendidikan agama dan etika, baik lewat jalur formal dan nonformal.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

Sekolahan merupakan tempat yang tepat memulai ini semua. Karena disinilah reproduksi dan penyemaian nilai-nilai dan mentalitas para generasi bangsa. Pendidikan diniati untuk memberikan tauladan baik dalam perlawanan korupsi, pemberlakuan pelajaran antikorupsi mungkin bisa menjadi salah satu alternatif, namun apabila tak diimbangi dengan praktik, tak mungkin membentuk moralitas yang bersih korupsi. Namun apabila di dalam pendidikan yang terjadi sebaliknya, hasilnya adalah reproduksi dan penyemaian nilai-nilai dan mentalitas korup para generasi bangsa. Manakala masih ada pembelajaran ketidakjujuran dalam Ujian Nasional, serta kebiasaan nembak dalam penerimaan siswa baru dan proyek prestisius yang bernama RSBI, kebiasaan korupsi akan terus menggurita dan membentuk moralitas korup yang tersisitematis.

*Mahasiswi TBI/VIII yang berproses di DIMeNSI dan merupakan CO dewan redaksi


Suplemen Lingkungan dalam “Buaian” Perempuan Oleh: Reni Dwi Sevrianti*

Kiprah perempuan masih bersifat domestik yaitu hanya berkutat di persoalan rumah tangga. Perempuan perlu untuk lebih dilibatkan dalam menangani permasalahan lingkungan, bahkan jika perlu dalam pengambilan kebijakan mengingat kedekatan perempuan dengan lingkungan serta mereka sebagai pihak yang terkena imbas pertama kali jika lingkungan mengalami kerusakan.

Membicarakan permasalahan perempuan seolah tidak akan pernah ada habisnya. Mulai dari seminar-seminar, kajian-kajian, diskusi kelas, sampai sederet buku-buku dan karya ilmiah membincangkan problematika perempuan. Mereka, diperdebatkan, dibahas, bahkan dikonferensikan tingkat dunia. Setiap inchi dari perempuan dapat dibahas, dipermasalahkan, bahkan diteliti dengan berbagai pendekatan keilmuan, termasuk agama. Akan tetapi, berbagai hal di atas seolah “mentah” jika dikroscekkan dengan realitanya sekarang. Masih banyak perempuan yang hak-haknya dirampas, termarjinalkan, dan tidak diakui peran sertanya di masyarakat. Problematika perempuan ibarat gunung es yang muncul di permukaan hanya sebagian kecilnya, akan tetapi permasalahan yang lebih besar tidak muncul di permukaan serta menunggu untuk diberikan solusi. Akan tetapi, kita tidak akan membicarakan tentang problematika perempuan sebaliknya, kita akan membahas mengenai peran aktif perempuan di masyarakat, salah satunya dalam hal pelestarian lingkungan.

Hubungan Perempuan – Lingkungan Seperti kita semua tahu, bahwa jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak daripada laki-laki. Oleh sebab itu, peran perempuan dalam kehidupan juga harus seimbang dengan jumlah populasinya. Tidak terkecuali dalam permasalahan lingkungan. Sebenarnya, secara tidak sadar perempuan merupakan pihak yang paling berdekatan dengan lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari pun sosok perempuan tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Perempuan memiliki keterkaitan yang erat dengan lingkungan. Dalam perannya sebagai pengelola rumah tangga, mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan sumber daya alam. Dalam beberapa bahasan alam semesta acapkali disimbolkan sebagai perempuan atau ibu. Kearifan perempuan dalam pengelolaan lingkungan lebih banyak memiliki makna positif. Akan tetapi, selama ini peran tersebut sangatlah kurang. Padahal dampak kerusakan lingkungan lebih sering dirasakan oleh perempuan. Contoh sederhana adalah ketersediaan air. Berkurangnya ketersediaan air lebih dirasakan kaum perempuan

karena mereka merupakan pemakai air terbesar dalam rumah tangga. Oleh sebab itu, peran perempuan dapat dikatakan vital dalam menanggulangi permasalahan lingkungan. Seperti ungkapan Erna Witoelar, tokoh lingkungan dan perempuan dalam sebuah acara seminar bertajuk “Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup”, bahwa ada 5 masalah lingkungan hidup yang harus ditangani global. “Kelimanya disingkat WEHAB, yaitu water, energy, health, agriculture, dan biodiversity.” Perempuan, kata Erna, memiliki peran penting dalam meningkatkan lingkungan hidup. “Perempuan dapat berperan sebagai konsumen yang mengatur dirinya dan keluarganya.” Sebagai konsumen, Perempuan dapat menghemat air, energy, juga menambah tanaman obat-obatan. Di samping itu, seorang ibu juga mendidik anaknya untuk sadar lingkungan, mengingat anakanak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya.” Hal yang tersebut di atas, memang dapat dibenarkan. Mengingat waktu yang dihabiskan mayoritas perempuan kecuali wanita yang bekerja di luar rumah-lebih banyak diha-

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

49


Suplemen

biskan di rumah dibandingkan dengan laki-laki yang mayoritas bekerja di luar rumah. Ketika mereka pulang ke rumah pun pasti digunakan untuk bercengkrama dengan keluarga dan langsung istirahat. Oleh karena itu, perempuan mempunyai waktu berinteraksi dengan lingkungan lebih banyak daripada kaum lelaki. Selain itu, tahukah bahwa sejak zaman dahulu lingkungan sering dikaitkan dengan perempuan. Menurut banyak mitos kuno perempuan diandaikan sebagai bumi, ayam, malam, bulan, dan sebagainya. Dikarenakan sangat dekatnya hubungan perempuan dengan lingkungan bahkan terdapat faham yang menghubungkan permasalahan ekologi dengan perempuan, yaitu ekofeminisme. Akan tetapi, sampai saat ini kiprah perempuan dalam lingkungan sosial masih terkungkung dan terhambat oleh beberapa hal. Diantaranya adanya budaya patriarki yang masih menganggap peran perempuan cukup sebagai pendukung kebijakan laki-laki. Selain itu, kiprah perempuan masih bersifat domestik yaitu hanya berkutat di persoalan rumah tangga. Perempuan perlu untuk lebih dilibatkan dalam menangani permasalahan lingkungan, bahkan jika perlu dalam pengambilan kebijakan mengingat kedekatan perempuan dengan lingkungan serta sebagai pihak yang terkena imbas pertama kali jika lingkungan mengalami kerusakan. Bentuk “Buaian” Perempuan terhadap Lingkungan Secara alami, perempuan dikenal lebih mengutamakan kelembutan, kekompakan, dan relasi emosional. Dengan demikian, alam terjaga dan terawat, tidak ada yang dijajah, maupun dirusak demi kepentingan kekuasaan yang cenderung mengakibatkan kematian. Perempuan harus bisa berjalan beriringan dengan lakilaki dalam menangani permasalahan lingkungan. Mengingat begitu dekatnya dunia perempuan dengan lingkungan, maka bentuk peran aktif perempuan

50

DIMëNSI

dalam menjaga lingkungannya juga dapat dilakukan dalam kegiatan sehari-harinya. Misalkan dalam hal menangani sampah. Seperti kita tahu bahwa penyumbang sampah terbesar selain industri adalah dari sektor rumah tangga. Maka, sebagai pemegang otoritas utama di rumah, khususnya wilayah dapur, perempuan sangat berperan aktif disini. Perempuan dapat memilahmilah sampah sesuai dengan jenisnya (organik-non organik), sehingga nantinya dapat didaur ulang dengan mudah. Selain itu, perempuan dapat membantu pengurangan produksi sampah dengan penggunaan dan

“Perempuan dapat berperan sebagai konsumen yang mengatur dirinya dan keluarganya.” Sebagai konsumen, Perempuan dapat menghemat air, energy, juga menambah tanaman obat-obatan. Di samping itu, seorang ibu juga mendidik anaknya untuk sadar lingkungan, mengingat anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya.”

pemanfaatan ulang (reuse, reduce, recycle; red). Bergeser ke wilayah lainnya, karena mereka sangat menyukai keindahan, maka banyak perempuan yang membantu melestarikan lingkungannya dengan tidak sengaja. Misalkan, dalam hal penghijauan taman, kebun, atau pekarangan rumah. Mereka tidak begitu menyukai lingkungan yang gersang, sehingga sering kita melihat perempuan terjun langsung dalam upaya penghijauan di lingkungannya. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, perempuan dapat memberikan pendidikan dan menanamkan pengetahuan sejak dini kepada anak-anaknya mengenai pelestarian lingkungan dan bagaimana mencintai alam. Dengan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

pendidikan sejak dini, diharapkan generasi mendatang akan lebih timbul sensibilitasnya terhadap kelestarian alam. Membicarakan bentuk peran aktif nyata perempuan di Indonesia maupun di dunia, banyak sekali. Contohnya, misalkan pada tahun 1974, di salah satu kota yang terletak di India Utara, tujuh puluh empat perempuan bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Gerakan ini disebut dengan “Chipko” (dalam bahasa Hindi berarti “memeluk”; red). Gerakan ini berhasil menyelamatkan 12.000 km hutan. Sesungguhnya, apa yang coba penulis utarakan di atas hanya secuil dari sekelumit problematika perempuan dan lingkungan. Masih banyak hal yang masih memerlukan penanganan serius dan perenungan, terutama permasalahan urgennya masalah lingkungan. Perempuan harus dapat lebih nyata dalam menunjukkan peran aktifnya di masyarakat dan bersinergi dengan lelaki sebagai partner dalam kehidupan. Perempuan harus mulai meninggalkan sedikit pernakpernik kecantikannya dan mulai keluar melihat lingkungan sekitarnya, karena pada dasarnya perempuan mempunyai sifat peka terhadap kondisi di sekitarnya.[]

* pemred majalah DIMëNSI


Suplemen

Problema Pendidikan Bukan Hanya Sekedar Anggaran Oleh: Andi Mahifal*

“Kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah mental korupsi yang ada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, yang selama ini dikenal sebagai Departemen paling korup kedua setelah Departemen Agama.� (Darmaningtyas) Bukan Masalah Anggaran Pembahasan mengenai Anggaran dalam Pendidikan yang memang selama ini diakui banyak kalangan Anggaran Pendidikan kita masih jauh tertinggal dari Negara-negara lain, ternyata tidak serta merta menjadi pokok persoalan. Walaupun memang kalau dibandingkan dengan Negara lain anggaran Pendidikan di Indonesia tergolong rendah akan tetapi yang justru menjadi pokok persoalan adalah di wilayah manajemenya. Kalau dalam konstitusi disepakati bahwa Anggaran Pendidikan dianggarkan 20 % dari APBN akan tetapi, sampai hari ini Negara kita belum bisa merealisasikan hal itu. Tetapi mengapa wacana tentang kecilnya anggaran itu memenuhi seolaholah menjadi penyebab pendidikan kita mencapai tujuannya pada hal masih banyak wacana paradigmatik yang lebih urgen dibanding dengan masalah anggaran, ataukah memang

wacana tersebut sengaja digelontorkan oleh para birokrasi yang duduk di dalam kursi pemerintahan untuk mendapatkan jatah untuk dikorupsi, oleh mereka. Karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa Anggaran Pendidikan setiap tahunnya tidak pernah habis, tapi selalu tersisa ratusan miliar rupiah. Pendidikan bukan hanya masalah anggaran saja, tetapi menyangkut kualitas guru dan prosesnya. Selama ini seolah-olah semua tergantung dana, itu sama saja dengan Departemen PU dan Departemen Perhubungan yang mengukur segala sesuatu dari apa yang dibangun dari segi materi. Anggaran pendidikan itu penting, tapi itu jika pengelolaannya sesuai dengan sasaran akan tetapi kenyataannya yang terjadi di Negara kita adalah anggaran pendidikan sebenarnya ada Cuma yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaannya yang tidak efektif sehingga setiap tahunnya sisa anggaran

itu dihabiskan untuk agenda-agenda yang sangat tidak perlu sebatas untuk memenuhi SPJ (Surat Pertanggungjawaban; red) agar dana tidak kembali ke pemerintah. Dengan kata lain anggaran pendidikan yang tinggi tidak otomatis meningkatkan mutu pendidikan bila tidak ditunjang dengan anggaran bidang lain yang berkaitan. Jadi, yang menjadi masalah bukan besar kecilnya anggaran pendidikan akan tetapi masalah pengelolaan anggaran. Seberapa besar anggaran yang digelontorkan buat pendidikan kalau memang pejabat dalam Dinas Pendidikan Nasional (DPN) berwatak korup akan tetap saja seperti ini bahkan justru akan menambah besar yang mereka korupsi. Banyak Hal yang Lebih Penting Dibanding Masalah Anggaran Ketika permasalahan pendidikan hari ini hanya berkutat mengenai masalah anggaran, mustahil rasanya

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMĂŤNSI

51


Suplemen

untuk mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang teramanatkan dalam pembukaan UUD 45. Banyak permasalahan pendidikan yang urgen dan belum teratasi sampai sekarang. Masalah kurikulum misalnya, kongkret belum adanya perubahan mengenai kurikulum tercermin dalam mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal; red). Kurikulum yang didesain pada kurikulum 1994 itu dimaksudkan untuk menampung segala potensi lokal yang tidak mungkin tertampung dalam kurikulum Nasional akan tetapi pada kenyataannya ada sebagian sekolah yang seenaknya sendiri mengganti mata pelajaran

“

pada sekolah-sekolah. Komputer itu bagus dan dapat mempermudah proses belajar mengajar, akan tetapi bantuan itu tidak serta merta langsung digelontorkan mengingat kondisi sekolah di masing-masing daerah berbeda, kondisi sekolah di Jakarta tidak sama dengan kondisi sekolah di pedalaman Papua misalnya, mungkin masih banyak sekolah disana yang belum mendapatkan aliran listrik dan tidak terjangkau oleh alat transportasi, biaya bantuannya tidak mubadzir dan tepat sasaran. Maka dari itu perlu melibatkan sekolah yang akan diberi bantuan karena yang mengerti dan memahami kondisi di daerah adalah orang

Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN. Dan yang tidak kalah pentingnya, menghapus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). RSBI dan SBI telah menimbulkan persoalan sosial baru karena telah menutup akses masyarakat secara umum terhadap layanan pendidikan yang bermutu serta telah menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta. Ini tentu menimbulkan persoalan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Dan pada akhirnya perlu ditegas-

Kebijakan dan sistem evaluasi pendidikan yang masih sentralistik juga menjadikan sulit berkembangnya mutu pendidikan Nasional, mengingat kondisi dan potensi masing-masing lokal di Indonesia juga berbeda satu sama lain.

ini dengan mata pelajaran yang jauh dari kelokalan semisal bahasa Inggris. Mata pelajaran yang diharapkan dapat mememberikan gambaran mengenai kondisi kelokalan masingmasing daerah tapi ternyata justru menjauhkan dari kultur daerahnya sendiri. Banyak orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa, sehingga membuatnya terasing dengan budayanya sendiri. Kebijakan dan sistem evaluasi pendidikan yang masih sentralistik juga menjadikan sulit berkembangnya mutu pendidikan Nasional, mengingat kondisi dan potensi masing-masing lokal di Indonesia juga berbeda satu sama lain. Pemerintah tidak bisa menyamaratakan dengan membuat standar tertentu yang hanya melibatkan segelintir orang DPN (Departemen Pendidikan Nasional; red). Setiap Kebijakan yang diambil harus didasarkan pada kondisi geografis dan keadaan di lokal tersebut, contoh kongkretnya dalam pemberian bantuan komputer ke-

52

DIMĂŤNSI

yang ada di daerah tersebut. Selain beberapa masalah di atas masih banyak permasalahan yang menjangkit dunia pendidikan kita termasuk masalah guru, Otoda dan otonomi pendidikan yang konsepnya tidak jauh beda dengan privatisasi, pendidikan dijadikan ajang bisnis bagi pemilik modal. Sehingga yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan: Dalam beberapa kasus misalnya, UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka. Di lain sisi, masalah krusial yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

kan untuk kesekian kalinya bahwa, masih terdapat persoalan lain yang lebih urgen untuk diberikan solusi dibandingkan perdebatan permasalahan anggaran.[]

*Adalah Sekjend Nasional PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) sekaligus Crew LPM DIMĂŤNSI STAIN Tulungagung


Kiprah Menengok Komunitas HAMPAR; Upaya Pelestarian Alam di Kawasan Telaga Mburet

Karsinero Soetamrin

Memasuki wilayah Kec. Campurdarat, Kab. Tulungagung sederetan pegunungan kapur dan marmer akan langsung menyambut kita. Bagai benteng besar dan kokoh yang memberikan kesan megah dan indah. Di kiri-kanan jalan berderet showroom-showroom kerajinan marmer atau yang lazim disebut “onix” milik warga atau perusahaan swasta. Selain terkenal karena marmernya, wilayah Campurdarat juga memiliki lokasi-lokasi menarik lainnya. Salah satunya Taman Lingkungan Hidup Telaga Mburet, yang terletak di Desa Sawo, Kec.Campurdarat. Panorama alam yang asri dan masih terjaga keletariannya ini menyediakan suasana berbeda dan sejuk di tengah hiruk pikuk penambangan marmer. Keadaan ini jauh berbeda dengan 5-6 tahun yang lalu. Dahulu daerah Telaga Mburet dan sekitarnya tidak sealami ini. Banyak pohon yang ditebang, tidak terkecuali kawasan Telaga Mburet. Akan tetapi, setelah ada komunitas Hampar (Himpunan Masyarakat 4 Desa) yang mengelola dan bertanggungjawab atas kelestarian alam di kawasan hutan lindung di 4 desa yang meliputi Desa Sawo, Gamping, Gedangan dan Ngentrong, kekhawatiran rusaknya lingkungan menjadi sedikit berkurang. Berikut hasil investigasi crew DIMëNSI dengan salah satu pemuda pelopor Karsinero Soetamrin.

Awal Mula Berdiri Komunitas yang berdiri kurang lebih pada tahun 1999 silam ini pada awalnya diprakarsai oleh golongan pemuda yang resah terhadap kerusakan hutan dan lingkungan mereka. Hal tersebut mengakibatkan kerugian pada petani seperti, irigasi yang sulit dan tandusnya daerah pegunungan karena banyak pohon ditebang secara liar. Seperti yang diungkapkan lelaki berambut gondrong ini, sebelumnya daerah Mburet terdiri atas Telaga dan hutan merupakan daerah yang sangat alami, banyak hewan bebas berkeliaran seperti, daerah Telaga yang merupakan habitat asli bulus, lele, dan monyet. Akan tetapi, semua berubah ketika memasuki awal tahun 90-an, ketika masyarakat mulai tidak mempercayai mitos angker yang melingkupi daerah Mburet. Masyarakat mulai dengan leluasa menebang pohon di kawasan tersebut, memburu hewan-hewan seperti bulus, dan lele bahkan sampai tidak tersisa sama sekali. Bahkan, monyet pun menjadi enggan turun karena takut dengan masyarakat. “Dahulu pada sekitar tahun 60-an daerah ini (daerah Telaga dan Mburet; red) merupakan daerah yang asri dan masih alami. Masih banyak hewan seperti burung-burung dan hewan lainnya bebas berkeliaran. Pepohonan masih terawat baik, karena pada masa itu daerah tersebut dianggap angker. Warga tidak ada yang berani mengambil, bahkan menyentuh sesuatu yang berada di dalam Mburet misalnya. Dan hal tersebut sangat berhasil. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, sekitar tahun 90-an (tahun 97-an ke bawah), Banyak warga yang mencoba untuk mengambil sesuatu seperti mengambil bulus (Mburet), memancing lele, menebang pohon,. Dan masyarakat mulai merasakan kalau tidak terjadi apa-apa maka, mitos angker tersebut tidak lagi digubris oleh masyarakat. Akibatnya, kedua daerah tersebut mengalami kerusakan. Banyak bulus dan, lele diburu sampai habis dan pohon banyak yang ditebang sembarangan” ungkapnya. Karsinero menambahkan bahwa, sekelompok pemuda termasuk dirin-

ya tidak tinggal diam melihat semua itu. Sebenarnya mulai tahun 1997 pun mereka sudah mulai mengamankan dan melakukan upaya pelestarian. ”Akhirnya, sekelompok pemuda yang salah satunya adalah saya mengadakan rembugan untuk mengembalikan lagi keasrian daerah tersebut. Jika para pendahulu kita saja bisa melakukannya, mengapa kita sebagai generasi muda tidak bisa. Akhirnya, pada sekitar tahun 1999-an kami mengumpulkan seluruh warga, kepala desa dari 4 desa (Keempat desa tersebut adalah Desa Sawo, Gamping, Gedangan dan Ngentrong; red), elemen pemuda, dari dinas BLH (Badan Lingkungan Hidup), untuk membahas mengenai permasalahan tersebut. Akhirnya terbentuklah komunitas ini.” tegasnya. Kami Tidak Mau Memaksa Komunitas yang terdiri dari 12 elemen masyarakat ini telah memiliki lahan hutan lindung seluas 6 hektar, yang terdiri dari 2 ha di lokasi sekitar telaga Mburet, 1 Ha di telaga Gunung Pegat serta sisanya adalah area sumber Ngembak. Khusus telaga Mburet, air yang bersumber dari telaga yang dulunya terkenal sebagai habitat bulus ini mengairi keempat area persawahan desa sekitar serta dimanfaatkan puluhan industri marmer. Komunitas ini mempunyai tujuan sederhana, bahkan dapat dikatakan bentuk pengabdian tulus masyarakat terhadap lingkungan alamnya. “Sebenarnya niat kami adalah ingin menjaga, melestarikan, dan melindungi kelestarian alam di daerah ini. Misalnya, di daerah Tlogo ini, jika kelestariannya terjaga, airnya kan dapat dimanfaatkan untuk irigasi (pengairan) sawah-sawah warga. Sekarang ini, daerah Tlogo sudah lumayan baik, jika hujan sehari dapat banjir sampai 3-4 kali, sawah-sawah disini sampai “turah” kelebihan. Kami melakukannya atas dasar kesadaran pribadi untuk menjaga, melestarikan alam daerah ini.” Akan tetapi, apa yang dilakukan mereka bukannya suatu hal yang mudah. Membutuhkan banyak perjuangan dan pengorbanan serta keikhlasan. Dalam mengajak

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

53


Kiprah

masyarakat untuk berperan aktif menjaga lingkungan mereka lakukan dengan pelan-pelan. “Kami tidak mau memaksa mas,” Ungkap Bapak satu anak ini. “Kami sebenarnya tidak sendiri, kami juga bekerja sama dengan banyak masyarakat. Akan tetapi, untuk saat ini yang aktif tiap harinya untuk menjaga adalah 8 orang. Tetapi, jika ada acara-acara semua warga pasti ikut berpartisipasi. Kan, gak mungkin kami mengajak masyarakat tiap hari, karena mereka juga butuh makan sementara pekerjaan seperti ini tidak ada imbalannya sama sekali. Akan tetapi, sekarang ini tidak ada yang berani untuk mengambil atau melakukan perusakan pohon misalnya, jika ada maka akan langsung ada yang menghubungi kami. Bahkan, ada pohon yang tumbang pun mereka tidak berani mengambil. Pasti, mereka bil-

ian lingkungan ini menuturkan, “Dan menumbuhkan kesadarannya itulah yang masih sulit. Selain itu, kurangnya perhatian nyata pemerintah mengenai kelestarian lingkungan dan pengelolaannya. Kami sebenarnya sudah sering mengajukan permohonan, misalnya mengenai bantuan dana atau usulan pengadaan fasilitas seperti bak sampah untuk memudahkan pengunjung membuang sampah sehingga tidak mengotori lingkungan, hal itu saja sampai sekarang realisasinya tidak ada kejelasan. Hal itu sudah seperti lagu lama. Bukankah apabila, kedua wilayah ini dikelola dengan baik juga akan bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan juga pemerintah. Kami sebenarnya sering berdialog dengan dinas BLH dan diberikan saran-saran ke depan, tetapi ya hanya sebatas itu, tidak ada kelanjutannya.”

penjadian tempat wisata kedua tempat tersebut. Tetapi, niat kami bukan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan saja, tetapi di balik itu semua kami ingin agar nantinya orang-orang yang membeli pohonpohon yang ada di situ, ikut memiliki sehingga timbul tanggung jawabnya dalam menjaga. Kami tidak akan menjual dalam bentuk kayu, tetapi kami hanya akan melelang, dan kami akan menempel nama pembeli pada setiap pohon yang dibeli. Jadi, nantinya kami harap apabila ada apa-apa (perusakan) misalnya, maka orang yang memiliki tersebut, akan ikut bertanggung jawab. Jadi, secara tidak langsung kan mereka ikut menjaga. Tetapi, realisasinya akan kita bahas nantinya.” Terangnya pada crew DIMeNSI. Lebih lanjut mengenai rencana penjadian Telaga Mburet seba-

Kami sebenarnya sudah sering mengajukan permohonan, misalnya mengenai bantuan dana atau usulan pengadaan fasilitas seperti bak sampah untuk memudahkan pengunjung membuang sampah sehingga tidak mengotori lingkungan, hal itu saja sampai sekarang realisasinya tidak ada kejelasan.

ang dulu kepada kami. Tapi, apa yang kami lakukan itu bukannya mudah dan sebentar, tapi sangat sulit dan membutuhkan banyak perjuangan.” Imbuhnya mantap. Hambatan Selama Ini Seperti sudah disinggung di atas, apa yang dilakukan masyarakat di Campurdarat tersebut bukanlah suatu proses yang singkat dan mudah. Banyak hambatan dan rintangan berliku yang harus dihadapi. Akan tetapi, karena konsistensi mereka dan kesadaran akan generasi mendatang membuat kekukuhan mereka tak mudah goyang. “Apa yang kami lakukan ini, bukannya suatu hal yang mudah. Karena, mau tak mau ini juga berkaitan dengan urusan perut masyarakat. Awalnya, banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari hasil hutan maupun alam sekitar sini. Menumbuhkan kesadaran mereka untuk mencintai, menjaga lingkungan itu yang sulit. Karena, penjagaan lingkungan tidak bisa melalui pemaksaan, saya tidak mau memaksa, karena memang pekerjaan seperti ini hanya berbentuk pengabdian. Jadi, harus tumbuh sendiri kesadaran dari masyarakat. Tuturnya sore itu. Ketika disinggung mengenai kendala yang sering dihadapi, pria yang pernah didapuk menjadi pemuda pelopor dalam bidang pelestar-

54

DIMëNSI

Selain hal di atas, kesulitan yang menonjol adalah kurangnya perhatian nyata dari dinas terkait. Banyak program atau agenda yang hanya berhenti di tataran pendataan sehingga terkesan sebagai formalitas semata. Seperti adanya keinginan Komunitas Hampar untuk menjadikan daerah Telaga menjadi semacam laboratorium untuk anak-anak. Mereka mengajukan pendataan dan papan nama ilmiah bagi pohon-pohon yang ada di daerah Telaga, akan tetapi sampai sekarang belum terealisasi. “Kalau pengajuan sudah dari dulu mas tapi ya sampai sekarang belum ada kejelasan.” Tuturnya. Harapan ke Depan Tersirat keinginan di benak para pemuda itu, yaitu ingin melelang pohon-pohon yang ada di daerah Tlogo kepada pihak swasta atau siapa saja yang mau membeli. Akan tetapi, mereka tidak akan menjual dalam bentuk kayu, sebaliknya nama dari setiap pembeli nantinya akan disematkan pada setiap pohon yang dibeli. Hal tersebut diharapkan agar setipa pembeli mempunyai hak milik sehingga secara tidak langsung mereka akan ikut menjaga kelestarian pohon tersebut. “Sebenarnya ada keinginan kami untuk menjual (melelang ) pohon-pohon yang ada di Tlogo. Berkaitan dengan rencana

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

gai kawasan wisata, “Sebenarnya adanya keinginan menjadikan daerah wisata di Telaga bukanlah tujuan utama kami, yang terpenting adalah penjagaan dan pelestarian lingkungan. Sehingga orang masuk harus memiliki kesadaran untuk menjaga lokasi telaga. Kalau ini dijadikan obyek wisata, takutnya malah merusak lingkungan. Logikanya kalau mereka mbayar pake karcis, kebersihan bukan tanggungannya lagi tapi ada orang lain yang bertugas. Dan itu, dikhawatirkan tidak bisa dijalani dengan rasa tanggung jawab oleh fihak pengelolanya. Kalau di Mburet, memang sedang berjalan sampai sekarang. Pihak pemerintah akan menyumbangkam beberapa ekor rusa ke Mburet, untuk menarik perhatian pengunjung. Bahkan, kami sudah membuatkan kandang di sebelah utara tebing itu, tapi tetap demi menjaga kelestarian lingkungan kami usahakan pembangunan itu tidak mengganggu lingkungan. ”Jelasnya mengakhiri perbincangan kami sore itu. Yang terpenting, menuju masyarakat bijak lingkungan bisa jadi merupakan utopia, tapi bisa jadi merupakan kenyataan yang tertunda. Sinergisitas dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah penting untuk mewujudkan masyarakat bijak lingkungan.//ren/khos//


Sastra

Mimpi Nawang Pagi belum sepenuhnya datang, tapi suara mesinmesin itu mengusik ketenangan dalam kesunyian, terasa gaduh di lorong telinga yang selama ini menjadi bagian panca indera. Kulirikkan sebagian mata ini ehh…benar masih terlihat kabut pekat menutupi pagi, masih enaklah untuk bermanjaan dengan planet kapuk. Arloji pun yang selalu menempel pada dinding masih menunjukkan pukul 4 pagi. Tapi, aku tak melihat ibu ada di sampingku. Entah apa yang sedang dikerjakannya pun aku tak tahu, terlalu berat kupikirkan untuk pagi ini. Perempuan yang selama ini menjadi tumpuan keluargaku ibarat “superhero” yang tenaganya tak akan habis disetiap detik. “Hati kecilku pun sempet berteriak. Andai engkau menjadi dia…” Sebuah ocehan yang tak perlu didengarkan tapi patut untuk direnungkan sekalian ditaburi makna yang spesial. Ya…nasi putih tanpa lauk inilah yang selama ini juga mengisi perutku, Aku ya…aku sebuah pertanyaan yang fenomenal yang belum bisa aku jawab sampai selama ini, cuma ibuku, bapakku dan teman-teman biasa memanggilku Nawang. Akupun patut bang-

ga inisial yang diberikan oleh ortuku yang telah mereka sahkan dengan sajian jenang abang, yang selama ini menjadi bukti semangat aku hidup. Aku wajib berubah sekalian mandiri, karena di dunia ini aku hanya hidup dengan ibuku yang selalu perkasa disetiap tindak tanduknya. Begitu dengan sosok demokratis Ayahku yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga telah meninggalkan kami untuk selamanya kurang lebih 5 tahun yang lalu. “Ibu andaikan Bapak di sini, pasti engkau takkan sesengsara ini.” Aku pun tak boleh tinggal diam dengan apa yang telah dilakukan ibu. Secepatnya kubasuh muka ini dengan air suci dan bergegas menyusul ibu di tempat biasanya mangkal. Sekira cukup wajarlah untuk menyusul “superhero” ku dengan kaos oblong biru plus topi biar tak terlihat kayak teknokrat, yang bisanya menterang-mentereng dengan sepatu bersemir yang setiap minggu sekali berkunjung ke pasar kota untuk melihat kebersihan, 15-an menit kiranya sudah cukup untuk sampai ke sebuah lapangankerjaan, Bukan di kios ataupun lapak, melainkan di sebuah tempat yang penuh dengan gundukan sampah busuk yang menyengat hidung, mulai dari sampah plastik, kertas, pakaian bekas, botol, pampers bayi dan masih banyak lagi, lebih anehnya juga bangkai bayi yang juga mendaftar sebagai kategori sampah yang terbaru. “Edan baget…memang ketika sampai masalah menjadi runyam urusan dengan pihak berwajib yang jelas, dengan tumpukan sampah yang menggunung plus baunya yang busuk sekali layaklah, banyak orang memandang sebelah mata. “Ya, itulah kehidupan keluargaku saat ini, hidup dengan sampah. Mungkin banyak orang yang jijik, tapi kami bersyukur karena di TPA kami dapat mengais barang yang dapat dijual untuk membeli sesuap nasi (Pikirku akan pentingnya tak pandang bulu pada kerjaan yang penting halal). *********** Padahal baru saja aku memasuki area TPA ini dan bau tak sedap menusuk hidung langsung menyambutku. Tapi tentu saja aku harus bisa menahannya jika ingin membantu ibu.

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

DIMëNSI

55


Sastra

Setiap hari libur, aku selalu menyempatkan meringankan beban ibuku, seperti hari ini. Teriknya Sang surya menyengat, rasanya tubuhku terbakar dibuatnya. “Nak…sudah kita istirahat dulu. Jangan dipaksa nanti kamu sakit”. Untung ibu segera mengajakku istirahat, langsung saja kerongkonganku ini kubasahi dengan air yang kubawa dari rumah. “Bu, sampai kapan sih kita harus hidup seperti ini, ibu apa enggak capek?” tanyaku. Ibu hanya membalas dengan senyuman. Aku dan ibu terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. “Ibu juga tak tahu Nak, kapan akan seperti ini, mungkin sampai tak ada lagi sampah yang bisa kita cari dan jual.” “Oh iya, kemarin Ibu bertemu dengan seorang wanita. Dia membeli koran-koran kita, katanya untuk membuat…membuat itu lo Nduk…kerajinan apa gitu.” Aku tak begitu menanggapi apa yang dikatakan ibu, karena aku menganggap itu hanyalah hal biasa. Dan kami pun meneruskan pekerjaan hari ini. Biasanya kami mengais rongsokan hingga matahari tenggelam. Dan tiap dua minggu sekali kami ke perumahan-perumahan untuk mengambil koran ataupun majalah bekas, tentu saja ke rumah orang yang telah kami kenal atau menjadi langganan kami. Hasilnya lumayan untuk membeli keperluan sekolahku. ************** Suara jangkrik meramaikan malam yang dingin. Malam yang cerah karena hiasan bulan dan bintang. Akupun berharap bisa mengubah hidupku dan ibu lebih baik dari sekarang. “Nah ini…,” kata Ibu sambil memberikanku sebuah kartu nama. “Apa ini bu?”, tanyaku. “Kamu ingatkan Ibu yang ke-

56

DIMëNSI

marin lusa ke sini mengambil koran-koran bekas yang kita kumpulkan,” jelasnya Aku terdiam sejenak dan mengingat-ingat siapa orang yang dimaksud ibu. Ternyata dia adalah seorang pengusaha handcraft. Aku jadi penasaran apa yang dibuat ibu itu dengan koran-koran bekas yang kami kumpulkan. Dan, ternyata keinginanku ini bukanlah sebuah mimpi saja, ibuku bilang, pengusaha itu butuh tenaga tambahan untuk membantu usaha kerajinan tangannya. Aku tersenyum bahagia berharap ini adalah jalan terbaik untukku di masa mendatang, sebuah mimpi yang kugambarkan dalam benakku bisa menjadi kenyataan. Siang ini kurasakan sinar mentari sepertinya bersahabat denganku. Ayunan langkah kakiku terasa begitu ringan. Aku bisa membayangkan dengan bekerja di sini ibu tak harus mengais barang bekas di penampungan sampah. Walaupun aku tahu ibu ikhlas bekerja disana, namun itu pastilah tidak baik untuk kesehatannya. “Sudahlah Nak, ibu tidak apaapa bekerja sebagai pemulung. Hitung-hitung dengan pekerjaan ini ibu bisa membantu sedikit mengurangi tumpukan sampah dan menjaga kebersihan lingkungan. Dan kita juga dapat hasilnya”, tutur ibu dalam ingatanku. Ibu memang tulus melakukannya, karena memang itulah yang bisa ibu lakukan untuk membiayai hidup kami sehari-hari dan juga untuk keperluan sekolahku. Karena sepeninggal ayah, praktis ibulah yang menjadi tulang punggung hidupku. Lamunan dan pikiran-pikiran yang tak karuan seakan terhenti ketika mulai memasuki gang tempat ibu pengusaha itu. Tempat ini benar-benar berbeda, hijau, sejuk, bersih dan asri. Pasti siapapun yang tinggal disini betah dan

Edisi XXVI Tahun XVI, Maret 2011

tidak ingin pindah ke tempat lain. Ternyata, sebelum sukses menjadi seorang pengusaha, dahulunya adalah wanita biasa yang sangat cinta dan peduli dengan lingkungan. Dan akhirnya selain sukses menjadi pemberdaya masyarakat cinta lingkungan beliau juga sukses sebagai pengusaha. Sesampai di rumahnya aku melihat ada berbagai macam karya hasil pemanfaatan sampah dan barang-barang bekas. Baik dari plastik bekas air mineral, koran dan masih banyak lagi. Aku sangat senang bisa bertemu dengannya, berharap bisa belajar dan mendapatkan ilmu tentang cara-cara mengolah sampah yang tak bernilai menjadi sebuah karya yang bernilai jual tinggi. ************** Waktu begitu cepat berlalu, setelah setahun bekerja di tempat pengusaha itu, aku akhirnya bisa memboyong ibu ke sebuah kontrakan kecil. Walaupun sempit, aku lega karena ibu dan aku tidak tinggal di pemukiman kumuh lagi. Dan kini aku telah duduk di bangku kuliah, aku berusaha mandiri. Berkat ilmu yang kudapat saat bekerja di rumah seorang pengusaha sukses itu, aku bisa mencontoh usaha dan keuletannya dalam menghasilkan sebuah karya dari limbah. Akupun menciptakan inovasi agar menghasilkan karya terbaik dan bermanfaat. Aku bersyukur pada Tuhan karena usahaku ini semakin berkembang. Akhirnya memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini karena dengan usaha dan kerja keras semua mimpi akan menjadi nyata. Dan jangan pernah mengelak dari sampah, karena sampai kapanpun kita akan hidup berdampingan dengannya, maka ubahlah sesuatu yang tak bermanfaat itu menjadi sesuatu yang membanggakan dan bermanfaat bagi orang lain.//ifa//


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.