Dimensi edisi 22

Page 1

DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

1


Halaman

2

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Para nelayan mempertaruhkan hidup untuk menguasai ganasnya ombak lautan demi mendapatkan hasil tangkapan yang pada akhirnya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini seperti diungkapkan oleh Katijan, seorang nelayan yang berasal dari Sidem, “Melaut itu sama halnya seperti seorang tentara yang berperang, kalau tidak hidup berarti mati”.

Baca halaman 6 “Bangsa kita rusak seperti ini ‘kan karena kehilangan budayanya sendiri,toh?! Sukanya cuma latah meniru-niru. Ya, katanya kota kita ini Kota Ingandaya (Industri, Pangan, Perdagangan dan Budaya), tapi nyatanya yang diopeni cuma industri dan pangan saja, budayanya nggak. Meskipun ada budaya yang diperhatikan, tapi cuma untuk kepentingan politik “ ungkap Agus Utomo.

Raden Mas Moidjan Djayengkusumo adalah salah satu tokoh yang terkenal dan juga pahlawan nasional. Dia ikut ambil bagian dalam pembangunan jembatan Ngujang, salah satu jembatan besar yang ada di INGANDAYA pada saat ini yang menghubungkan kecamatan Kedungwaru dan kecamatan Ngantru di atas sungai Brantas.

Baca halaman 13

Daftar Isi DIMëNSI redaksi………………….. Suara DIMëNSI……………………. DIMëNSI Utama…………………... Nusantara………………………….. Teras……………………………...... Klik…………………………….........

4 5 8 18 24 26

Editorial…………………………..... Swara……………………………….. Budaya………………………………. Resensi……………………………... Suplemen…………………………... Sastra………………………………..

Index

Baca halaman 10

Cover : Dwarapala Foto : Istimewa Desain : Kasful Anwar

29 30 37 41 44 49

DIMëNSI adalah media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung menyajikan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpartisipasi demi terwujudnya Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain. Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi

DIMëNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

3


Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)

DIMëNSI Redaksi

DIMëNSI STAIN Tulungagung

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMeNSI STAIN Tulungagung Pelindung Ketua STAIN Tulungagung (Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.) Penasehat Pembantu Ketua (PK) III (Drs. Saifudin Zuhri, M. Ag) Pemimpin Umum Pidik Wahono Sekretaris Umum Arini Hidayati Kru Dimensi, foto bersama di rumah Kyai H. Ghufran Ali desa Bendiljati Kulon

Salam persma! Assalaikum wr wb Alhamdulillah, majalah DIMeNSI edisi XXII dapat hadir kembali, menyapa kawan-kawan mahasiswa dan semoga menjadi sebuah angin segar di kampus kita pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Sebuah harapan akan sebuah perubahan yang baik selalu terpancar dari setiap edisinya, kami mencoba untuk membincangkan sebuah fenomena yang sepertinya memang tak kunjung usai. Sebuah bangsa yang pikun, mungkin seperti itulah yang dapat diungkapkan kepada bangsa kita ini. Selama dari masa ke masa, kejadian-kejadian yang menimpa kita hari ini tentunya tidak terlepas dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya, karena hari ini adalah sejarah dari hari yang kemarin, hari esok adalah sejarah untuk hari ini. Dan sungguh, bukanlah seorang manusia seutuhnya yang tidak dapat menggunakan akal fikirnya untuk memetik pelajaran dari sejarah yang telah dilaluinya, tentunya harus melalui sebuah refleksi. Untuk itulah kami mengusung tema “refleksi sejarah dan perubahan” JAS MERAH! Sebuah petuah lama dari soekarno, memang bukanlah sesuatu yang dapat diremehkan begitu saja, sebuah pengajaran di pendidikan pada umunya terkadang mengesampingkan sejarahnya, karena dianggap sejarah adalah sesuatu yang paten yang jika dipelajari tak memberi dampak apa-apa, padahal, lewat sejarah-sejarah inilah sebuah peradaban baru akan tercipta. Karena, bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat akan sejarah bangsanya sendiri, pun sebuah daerah kecil seperti Tulungagung. Segalanya tidak bisa hanya hadir begitu saja, keacuhan akan sejarah ini, akan menyebabkan sebuah penyakit akut, yaitu amnesia berkepanjangan. Lewat majalah edisi XXII ini, kami mencoba untuk memberikan sebuah alternatif baru untuk kita semua melakukan refleksi bersama. Akhirnya, semua hal yang bernilai kritik dan saran yang membangun adalah hal yang sangat kami butuhkan, karena no matter is completely perfect. Begitupun juga kami. Apa yang telah tertuang dalam lembaran-lembaran majalah ini sangatlah jauh dari sempurna, kami tetap inginkan perbincangan yang berkelanjutan atas sebuah gagasan ini. Wassalamualikum Wr Wb Halaman Halaman

4

Bendahara Qurrotu A’yunina Pemimpin Redaksi Nunung Afu’ah Dewan Redaksi Abdul Haris, M. Saiqul H, Amnan, Maya E. M, Nurul Huda, Izzatur Rofi’ah, Endang S, Rofiqotul Hidayah Departemen Litbang Andi Mahifal (Co), Ani Rohma,Umi Kasanah Departemen Perusahaan Bayu N.C.P (Co), Faizah Nurmaningtyas, Miftakhul Khoiriyah Fotografer Kasful Anwar, Bramanta Desain Grafis Kasful anwar Reporter Evi S, Bramanta, Nurul, Binti M, Laili K, Nike F. A, Sukron H, Karim, Rois Abin, Hadi Pitoyo, Achris F. S, all of crew Dimensi Alamat Redaksi Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Kodepos 66221, Phone: (0355) 321513 E-mail: dimensi_ta@yahoo.co.id

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Suara DIMëNSI Menitipkan sebuah kegelisahan, DIMeNSI, aku sangat gelisah akhir-akhir ini, entah apakah ini patut untuk digelisahkan atau tidak. Setiap ada jam kosong kadang saya dan teman saya menyempatkan diri untuk mengamati yang terjadi disekitar. Dan saya sering mengamati gaya berpakaian teman-teman mahasiswa pun dosen dan karyawan STAIN Tulungagung. Sepertinya kok kurang pas jika menyandang nama STAIN gitu, kadangkadang apa yang terlalu biasa ini kok ya nggak biasa untuk diamati. Sebenarnya apa sih patokan sopan-tidak sopan menurut aturan yang pas di sini? Memakai kaos oblong katanya nggak pantes dipakai di STAIN, tapi kalau kaos ketat gitu masih boleh ya? Saya kok jadi bingung. Apakah kebingungan dan kegelisahan ini perlu untuk diperhatikan kembali atau bagaimana? Thanks ya DIM.. aku Cuma nitip kegelisahan aja kok (al. jauhari.com)

Kulo nuwun kang DIM… Ini perwakilan dari teman-teman gitu, saat ada pengembalian slip SPP dari bank dan pengambilan KRS pada tanggal 10 februari 2009 kemarin, sepertinya BAK kok tambah ruwet ya? Apa nggak ambil pelajaran dari kejadiankejadian yang kemarin? Aku punya usul bagaimana kalau dijadwal per-semester begitu kan lebih tertib dan terkondisikan, rasanya berjubel di depan BAK kok kurang bagaimana gitu kalau dilihat. Mohon pihak BAK memperhatikan keluhan kita ini.(arek-arek TBI VI A) Monggo, kita sebenarnya juga heran, pembangunan yang dilakukan oleh pihak kampus tidak diimbangi dengan perbaikan sistem administrasi di dalamnya. Sehingga teman-teman mahasiswa masih merasakan keruwetan tenaga manual yang sedikit banyak sekali meresahkan kita. Semoga saja, mereka dapat berbenah diri untuk meningkatkan pelayanan dan sistem administrasinya, sehingga gelar sekolah negeri dan akreditasi bernilai itu tetap pantas kita sandang, ya nggak?

Ternyata Kamu lagi..! Dim…, aku nitip uneg-uneg yang hampir mecahkan kepalaku ini, teman-teman juga sama dengan aku. Itu… masalah BAK, yang bodoh mahasiswa atau BAKnya…? Waktu pemprograman studi, kampus pengenya lebih gaul gitu dengan pemprograman lewat internet (On Line), tapi gak lihat komputernya ta?, Cuma berapa komputer yang bisa aktif digunakan hingga mahasiswa antri gitu buat program ( gak ingat, mahasiswa yang selalu mengeluhkan komputer pada saat praktikum?), terus napa juga pakai On Line kalau mahasiswa tetep saja antri ambil KRS nya, bukannya itu pekerjaan 2x yang gak ada manfaatnya? (Arif/ PAI/VIII)

DIMëNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

ya.. begitulah kira-kira kondisi kampus kita. katanya diatur dalam kode etik, setidaknya kadar intelektual kita tidak dinilai hanya karena baju kita yang katanya nggak pantes dipakai di kampus. lalu kalau kampus kita menyandang julukan kampus islam, masa bajunya ketat gitu boleh? tapi kalau pakai kaos longgar malah nggak boleh, gimana coba?

Tambah tebel, tambah gede Dims nitip omongan dari mahasiswa sibuk skripsi Dimensi napa ya.. kok gak tambah halaman saja, lebih tebal gitu ditambah artikel atau tulisan-tulisan dari mahasiswa setiap prodinya, kan mahasiswa lebih ada kesempatan buat nulis. Banyak lho…mahasiswa yang ingin berikan karyanya buat Dimensi ( fadhil, TMT/VIII ) Terimasih banyak buat fadhil, kita memang selalu mengusahakan yang terbaik buat DIMeNSI dan semua teman-teman mahasiswa. Mulai dari proses pembuatan majalahnya dan sistem kinerja kru kami. Tapi, kalau memang semangat sekali untuk menulis, kita tidak hanya memberi kesempatan menulis di majalah saja, tapi masih ada media lain yang kita punyai, DIMar, serat adalah dua media yang dapat diakses bagi siapa saja yang ingin menulis. Jadi, walau kesempatan di majalah belum ada, ada media-media lain dari DIMeNSI untuk mahasiswa.

Perpustakaan kok gitu sih? Saat aku lagi konsen baca-baca buku, e….petugas perpustakan malah asyik dengan lagu selingkuh, cumbucumbu gichu, sambil main game. Gak ada musik yang lebih baik apa…? Yang bisa bangkitkan semangat buat baca-baca. Kok malah mematikan mood untuk baca-baca… Mungkin mereka lagi kasmaran. Halaman

5


Suara DIMëNSI Kampus kotor… Hai dim…..kehadiranmu yang selalu ku tunggu akhirnya datang juga… Dim gimana nih sekolah kok selalu kotor sih…masak sekolah sebesar ini gak ada tempat sampahnya…yang ada hanya sampah yang berserakan gak karuan...masak kebersihannya kalah ma sekolah-sekolah yang lain…katanya sekolah tinggi…(some one/IV) Red: hai juga! Alhamdulillah kalau kehadiran kita msih ditunggu-tunggu. Memang kampus kita yang besar ini memerlukan perawatan yang sangat ekstra sekali. Biar mata fresh, pikiran juga ikut fresh, sehingga suasana tersebut dapat mendukung kegiatan civitas akademika kita sehari-hari. Ya.. moga-moga saja apa yang dikeluhkan dapat didengar oleh mereka.

Listening apa speaking? Hai dim....Aku mau numpang unek-unek dong, pada mata kuliah listening kita kok malah diajak lihat movie sih, padahal kita kan seharusnya dapat materi secara auditori bukan secara visual. Kan, tu seharusnya di kelas speaking kan? Memang materinya begitu atau dosennya yang nggak kompeten mengajar listening? Kalau begini, trus bagaimana? Padahal listening termasuk skill bahasa inggris yang lumayan sulit lo.Atau mungkin juga dosennya memang nggak bisa ngajar listening? (prut/TBI) Red: Hai juga…sebenarnya itu tergantung pada metode pengajaran dosen. Kadang-kadang dosen punya metode sendiri untuk memberikan materi pada mahasiswanya. Kalau soal listening apa speaking, itu juga tergantung pada kebijakan dosen dan kepekaan mahasiswa. Masa udah mahasiswa nggak mau komplain kalau memang itu bukan standar yang seharusnya diberikan? Semoga saja pihak kampus memang tidak asal meletakkan dosen pada mata kuliah yang tidak dikuasainya. Sehingga, pengajaran yang berlangsung tidak rancu satu sama lain

keluar…gimana nih kebijakan dari kampus masak gak ada….(pricilia/IV) Red: ya begitulah nasib mahasiswa…kayaknya jadi korban birokrasi terus…

Reguler gak ada kelas… Dim, nitip grundelan nih. aku dan temen2 ku prodi bahasa inggris sering merasa kesel banget dengan kinerja kampus kita. Masa aku dan temen2ku harus menunggu lama untuk ruang lab listening yang ternyata nggak bisa dipakai? Katanya sih perbaikan gitu, padahal jadwalnya udah jelas kalau saat itu adalah jam kelasku. Kalau memang nggak bisa dipakai lab nya, ya mending nggak usah ada mata kuliahnya aja. Masa kelas listening di kelas bukan di lab?nggak efektif kan? (TBI VI) Red: fasilitas lab punya kampus kita memang perlu dibenahi secara total. Agar kamu dan teman-teman kamu tidak mengalami hal yang serupa. Mata kuliah listening ya harus tetap ada dong, karena itu kan termasuk dari salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa bahasa, tapi tentunya dengan fasilitas yang memadai. Bukannya program Bahasa Inggris di kampus kita dapat nilai akreditasi yang baik? Lab kita yang multimedia itu bukannya bisa dipakai? Daripada rusak karena nganggur?

Kemana internet kampus?

Dosen telat terus…

Kapan kampus ini akan maju sumber informasi saja gak ada, internet di Perpus lenyap tinggal komputer tak berfungsi. Ngenet berganti di masjid itupun yang punya laptop, pa gak malah ganggu yang lagi sholat. Sedangkan dosen fasilitas informasi full, mahasiswanya di biarkan saja. Masak dalam hal teknologi informasi kita kalah dari sekolah menengah. Sudah kampus pinggiran “buta” informasi lagi. Pak Ketua dan segenap jajarannya tolong ini diutamakan. Jangan Cuma membangun gedung, bangun juga intelektual kami.(mahasiswa gila informasi dengan alamat; Pajavaku@gmail.com)

Dear dimensi…… Dim….aku mau curhat nih…masak kalau dosen telat masuk gak ada teguran dari bapak ketua sih…padahal kalau mahasiswanya telat 15 menit aja langsung di suruh

Red: benar, kasihan mahasiswa mau cari referensi di internet musti ke warnet. Kesempatan buat mahasiswa untuk buka “usaha” peminjaman laptop.

Suara DIMëNSI menerima segala kritik, saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, e-mail: <dimensi_ta@yahoo.co.id> atau langsung bisa di antar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, DiM-ar atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi.

Halaman

6

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

7


DIMëNSI

utama

Menengok Potensi Kelautan Tulungagung

Dok.dimensi

Aktifitas nelayan yang akan mencari ikan di pantai Sine, Kalidawir

“Sebuah kota yang terletak di daerah pesisir pantai selatan. Dengan julukan ingandaya, memiliki banyak potensi kelautan baik dari pariwisata maupun sumber daya alamnya, menyebabkan Tulungagung menjadi salah satu kota yang patut diperhitungkan” Sebuah kabupaten yang terletak di pesisir pantai selatan, antara 11.10 43' s/d 11.20 07' Bujur Timur dan 70.51' s/ d 80.18' Lintang Selatan, memiliki banyak sekali potensi alam yang menunjang masyarakat untuk menjadi lebih maju. Selain terkenal sebagai daerah yang memiliki TKW dalam jumlah banyak, dengan letak geografis sebelah selatan yang berbatasan dengan samudra Hindia, menjadikan Halaman

8

masyarakat Tulungagung bermata pencaharian sebagai seorang nelayan. Kondisi Nelayan Tulungagung. Para nelayan mempertaruhkan hidup untuk menguasai ganasnya ombak lautan demi mendapatkan ikan tangkapan yang kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Hal ini seperti diungkapkan oleh Katijan, seorang nelayan asal Sidem, “Melaut itu sama halnya seperti seorang tentara yang berperang, kalau tidak hidup berarti mati. Pernah suatu kali ketika kita melaut, kondisi sedang dalam kabut. Dari pada terjadi apaapa, kita memilih untuk berdiam diri di perahu, dan memilih pulang keesokan harinya kalau sudah memungkinkan.” ujarnya. Namun, lakilaki yang mulai melaut sejak umur 19 tahun ini, memilih untuk menghentikan kegiatan melautnya, atas dasar permintaan anak-anaknya. “Namun

semenjak adanya gelombang besar (hampir bersamaan dengan tsunami Aceh) yang kemudian mengakibatkan kami pindah, anak-anak saya melarang saya untuk melaut lagi. Jadi sekarang saya beralih untuk bekerja di tegal (kebun; red)”. Imbuhnya. Memang menjadi seorang nelayan

Basuki

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Dok.dimensi

DIMëNSI


DIMëNSI bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Selain harus mempertaruhkan antara hidup dan mati, mereka yang bekerja dengan orang lain, atau biasa disebut dengan juragan darat, harus rela membagi hasil tangkapan mereka dengan juragannya. “Dulu bahan bakar perahu ditanggung oleh juragan darat, sekarang semuanya ditanggung oleh nelayan, mulai dari bahan bakar dan tenaganya termasuk kalau terjadi kerusakan.” Masih Katijan. Walau pilihan hidup Katijan sudah berpindah mengolah tegal, tapi permasalahanpermasalahan yang dia hadapi pun juga terus saja datang. Mulai dari cuaca yang tak menentu hingga harga pupuk yang terus saja melambung tinggi bahkan terjadi kelangkaan pupuk yang tak kunjung temu solusinya. Sedangkan bagi Selan, seorang nelayan asal Sine, mengatakan bahwa untuk melaut itu hal yang harus dibutuhkan adalah memiliki sebuah perahu. “ya harus punya perahu, wong saya asli Sine, kalau nggak punya perahu terus bagaimana?” ujarnya sambil mengecat perahunya yang baru saja diperbaiki. Menurutnya, nelayan tanpa perahu itu tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan mudah. Apalagi, ketika cuaca mengalami perubahan yang tidak menentu, gelombang besar atau angin yang sering datang di wilayah perairan selatan, mengakibatkan para nelayan harus menganggur dan menunggu cuaca membaik.

“kalau sudah menganggur lamalama para nelayan itu menghutang, karena tidak ada penghasilan yang mereka dapatkan. Padahal kan seharusnya uang yang diperoleh semasa mereka melaut ditabung untuk menunjang kebutuhan sehari-hari sambil menunggu melaut lagi.” Ungkap Basuki, pemuda asal sidem yang kini bekerja di daerah Kepuh Tulungagung. Dia juga menambahkan, salah satu kebiasaan yang kurang begitu baik untuk nelayan-nelayan Tulungagung adalah, mereka ketika mendapatkan penghasilan yang melimpah langsung dihabiskan begitu saja tanpa berfikir untuk menabung sehingga suatu saat ketika kondisi laut tidak memungkinkan untuk melaut, mereka tidak perlu lagi untuk menghutang kepada Juragan. “sukanya itu foya-foya, kalau sudah mendapatkan uang yang banyak” imbuh laki-laki yang lahir pada tanggal 15 juli 1985 yang lalu ini. Hal ini sebenarnya dapat dihindari jika para nelayan tersebut dapat mandiri, sehingga tidak tergantung pada jeratan para juragan. Terlebih lagi, dikarenakan tergantung pada cuaca alam, musim ikan di semua pantai rata-rata sama, mulai bulan Mei sampai bulan Oktober. Ketika musim ikan tiba, harga ikan relatif sangat murah dibanding bulan sebelumnya. Biasanya hanya mencapai seribu lima ratus sampai dua ribu rupiah per kilogram saja. “Bila musim ikan, harga ikan hanya dua ribu rupiah perkilonya. Malahan kalau sudah hampir habis terkadang

Nelayan memperbaiki perahu saat musim ikan belum tiba

DIMëNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Dok.dimensi

utama

Mbah Onggo

Dok.dimensi

hanya dijual seribu lima ratus rupiah.” ungkap Asiah, istri Katijan. Musim ikan merupakan musim panen bagi para nelayan, karena pendapatan mereka jauh lebih banyak, hanya dalam waktu semalam setiap nelayan bisa mendapatkan penghasilan bersih mencapai dua ratus lima puluh ribu rupiah, karena pendapatan mereka saat itu mencapai satu sampai dua ton ikan. Akan tetapi, kesempatan seperti itu pun tidaklah didapatkan oleh banyak nelayan. Dikarenakan di samping mereka harus berbagi penghasilan dengan sesama nelayan yang berangkat dalam satu perahu, mereka juga harus berbagi dengan pemilik perahu. “Kalau pas lagi dapat banyak, ya memang banyak uang. Tapi kalau pas sepi ikan ya..banyak yang nganggur.” ungkap ibu lima anak ini. Walaupun begitu, ada yang membanggakan bagi nelayan Tulungagung, khususnya di daerah Sine, adanya penghargaan kepada kelompok nelayan mitra usaha sebagai juara satu dalam lomba optimalisasi penangkapan ikan se-jatim yang diadakan di Surabaya pada tahun 2008 kemarin. Seperti berdasarkan hasil investigasi kru DIMeNSI, para nelayan di sine tergabung dalam beberapa kelompok nelayan, yaitu kelompok penangkapan, kelompok pengolahan dan kelompok bakul. Kerjasama yang menghasilkan sebuah mitra usaha yang solid itulah yang mengantarkan mereka pada sebuah prestasi yang Halaman

9


DIMëNSI

utama

begitu gemilang. Para nelayan Sine adalah penduduk asli daerah ini, sehingga bea operasionalnya kecil. Mereka biasanya melaut selama 10-12 jam. Di kawasan ini hampir setiap hari terdapat ikan yang dapat ditangkap. Oleh karenanya hampir setiap hari mereka dapat mencari ikan. Kecuali bila cuaca tidak memungkinkan. Dari 146 alat tangkap yang berupa jaring dan pancing, terdapat 368 nelayan yang terlibat, dan sekitar 160 orang yang membantunya. Dengan adanya penghasilan setiap harinya menjadikan kehidupan warga Sine lebih bagus. Selain itu mereka juga mempunyai pekerjaan yang lain. “Di Sine sangat menjamin kehidupan mereka, karena nelayan yang ada di pantai itu sekali melaut bisa mendapat penghasilan seratus ribu, itu pun minimal kalau menggunakan jukung (perahu kecil ;red)” ungkap Harwanto S.Pi, seorang petugas lapangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan untuk wilayah Sine. Pentingnya dermaga sebagai tempat pendaratan perahu belum dirasakan oleh masyarakat Sine, sehingga tidak adanya pelelangan di sepanjang pantai. Mereka melakukan distribusinya tetap di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Masalah harga, harga ikan di sine bersaing dengan prigi. Tetapi tetap ada komitmen bersama antara pedagang dengan nelayan masalah harga. Oleh karena itu, ketika musim ikan tiba, pedagang mengambil untung sewajarnya saja. Budaya Labuh Laut Ada suatu tradisi masyarakat pesisir yang sepertinya menjadi sebuah keharusan. Tradisi mengirimkan sesaji ke lautan atau biasa disebut Labuh Laut,

Larung Sesaji, atau Sedekah Laut, menjadi sesuatu yang khas bagi masyarakat nelayan yang ada di Indonesia, begitu juga di Tulungagung. Setiap tanggal 1 Syuro, masyarakat nelayan daerah Sidem dan Popoh bersama-sama untuk mengadakan labuh laut. Mereka mempersiapkan segala sesaji yang dibutuhkan, juga mengumpulkan semua nelayan yang biasa melaut di daerah tersebut. Menurut sesepuh yang tinggal di daerah pemukiman Popoh, atau biasa dikenal dengan Mbah Onggo, menceritakan bahwa tradisi labuh laut tersebut sudah dilakukan semenjak dia sendiri belum lahir. “saiki ngono, sampeyan golek uwong seng ngerti ngene ki uangel, soale nggak kabeh wong ngerti (sekarang kamu mencari

orang yang mengerti tentang ini sangat sulit masalahnya tidak semua orang mengerti).” Tuturnya. Menurutnya, orang yang memasak makanan untuk dijadikan sesaji dalam labuh laut, haruslah seorang wanita yang sudah apkir (menopause ;red). Dan juga, dia mengatakan bahwa makanan atau sesaji yang akan dilarungkan tidak boleh diambil, harus dilarungkan semua, “dulu pernah ada yang nitili (mengambil ;red) makanan yang dilarungkan, saat sudah di tengah, sesaji yang dilarungkan kembali lagi ke daratan.” imbuhnya. Dia juga menjelaskan bahwa ketika melarung seperti itu, yang dibutuhkan adalah keikhlasan untuk mengantarkan sesaji sampai ke tengah lautan, jadi tidak boleh seorang pun mengambil sesaji itu. Kepercayaan masyarakat akan klenik dan legenda Roro Kidul sangatlah erat sekali. Mereka meyakini bahwa dengan mengirimkan sesaji ke laut, maka hasil laut itu akan terus melimpah. “karena kita mengambilnya dari laut, ya harus diselameti,” ujar Sunarti, seorang penjaja makanan kecil yang ada di pinggiran laut Sine, Kalidawir Tulungagung. “selain itu, adalah bentuk syukur kita kepada Tuhan yang maha kuasa, ya bersih laut lah,” imbuh Ibu tiga orang putera ini. Jika di daerah Popoh dan Sidem mengadakan acara Labuh Laut pada bulan Assyura, atau tahun baru Hijriyah, sedang di daerah Sine, mereka mengadakannya setiap bulan Selo (Dzulqo’dah) pada setiap hari Jum’at Kliwon. Menurut orang Jawa kebanyakan, Jum’at KIliwon memang diyakini sebagai hari yang sakral untuk

Halaman

10

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


DIMëNSI

Dok.dimensi

Ibu-ibu sedang menjajakan ikan di TPI Sine

mengirimkan sesaji agar dapat mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu. Tradisi yang hampir dilakukan oleh seluruh nelayan yang ada di pesisir pantai selatan ini, memang sepertinya sudah mendarah daging dan turun temurun dilakukan oleh mereka. Walau arus globalisasi semakin kuat menerpa budaya lokal yang ada di Indonesia. Terbukti setiap acara selametan atau labuh laut ini mau diselenggarakan, mereka semua berduyun-duyun untuk datang dan mengadakan kumpulan bersama membahas semua persiapan dan pelaksanaan labuh laut. Seperti diungkapakan oleh Jumali, ketua panitia labuh laut yang ditemui oleh kru DIMeNSI di Pantai Popoh tanggal 1 Suro kemarin. “Sebelumnya, mereka harus berkumpul dahulu, untuk membahas dana yang harus dikeluarkan dan juga persiapan apa saja yang akan dilakukan.” Dia juga mengungkapkan, bahwa sehari sebelum melakukan tradisi Labuh Laut, seluruh nelayan di daerah Popoh, tidak diperkenankan untuk melaut terlebih dahulu. Perhatian Pemerintah Pemerintah daerah Tulungagung

DIMëNSI

tentunya mempunyai keuntungan tersendiri. Dari adanya potensi sumber daya kelautan ini. dari sektor kelautan dan perikanan mempunyai andil yang cukup besar dalam perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tulungagung tahun 2008 yaitu sebesar Rp 97.087.300,- Dengan begitu, patutlah kiranya jika pemerintah daerah setempat memberi perhatian yang cukup terhadap keberlangsungan hidup mereka. Di Kalidawir, Dinas Perikanan dan Kelautan mengadakan pembinaan terkait dengan teknologi penangkapan ikan, yaitu dengan menggunakan rumpon. Alat yang disebut rumpon merupakan satu unit yang terdiri dari beberapa komponen yang berupa tali dan rumbai-rumbai yang berasal dari daun gebang dan ikan-ikan kecil sebagi umpan ikan-ikan besar yang ada di laut. Para nelayan Sine dan kalibatur, kalidawir mempersiapkan alat ini untuk mengumpulkan ikan yang diletakkan 25-60 mil dari pantai. Dengan adanya rumpon nelayan tidak kesulitan dalam menentukan arah tujuan mencari ikan. Karena dalam rumpon ini akan selalu brkumpul ikan. Harwanto menjelaskan, “Dengan adanya rumpon ini, maka

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

utama

mereka tidak lagi mengandalkan pancing, dan jelas arah tujuan para nelayan, ketika A pulang dapat ikan B berangkat juga dapat ikan. Tapi juga melihat musimnya. Kemarin itu juga memasang enam rumpon, tapi lamalama rumpon ini juga bisa hanyut”. Selain pembinaan teknologi penangkapan dengan rumpon tersebut, dinas juga mengupayakan peningkatan SDM nelayan, sarana tangkap dan sarana untuk TPI. Dan proyek besar kedepannya akan membuat dermaga Mereka mengadakan pembinaan rutin tiap dua bulan sekali Sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah Kabupaten Tulungagung nomor 11 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Tulungagung tahun 2009-2013 mengagendakan sejumlah kegiatan: 1. Program pengembangan perikanan tangkap 2. Program pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan 3. Program pemberdayaan ekonomi pesisir 4. Program pengembangan budidaya perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung selaku satuan perangkat Daerah (SKPD) Tulungagung sebagaimana tertuang pada Surat keputusan (SK) Bupati Tulungagung Nomor 32 tahun 2008 tugas pokok dan fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan KabupatenTulungagung menyelenggarakan fungsi: a) Perumusan kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan b) Penyelenggaran urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang kelautan dan perikanan c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan d) Pelaksanaan tugas lain yang di berikan Bupati. Harapan nantinya adalah hubungan yang senergis antara pemerintah dan nelayan. Hal ini akan membawa dampak positif untuk kemajuan Kabupaten Tulungagung. /dunk,ley,coy/ Halaman

11


DIMëNSI

utama

CECERAN BENDA CAGAR BUDAYA di BUMI INGANDAYA Slogan Industri, Pangan, Perdagangan dan Budaya (INGANDAYA) yang dikenal sebagai ikon kota Tulungagung ternyata masih menimbulkan berbagai ketimpangan. Pasalnya selama ini yang dikembangkan hanyalah segi industri, pangan, perdagangan saja, lalu mengapa aspek budaya terabaikan begitu saja

Dok.dimensi

Suasana Jamasan Tombak Kyai Upas di desa Kepatihan

Geliat Tulungagung sebagai kota industri mulai terasa. Produksi, perumahan, pariwisata, perdagangan, pertanian dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menjadi wilayah garapan potensial penghasil pendapatan asli daerah. Slogan Tulungagung Ingandaya bukan sekedar omong besar belaka. Apalagi berbagai prestasi yang direngkuh, mulai keberhasilan program keluarga berencana hingga adipura dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, menambah kilau kota marmer ini. Akan tetapi di balik hangatnya perkembangan Tulungagung, ada ranah penting yang terpelanting dari gerbong pembangunan. Bagian dari keluhuran budaya berupa situs-situs bersejarah, kitab-kitab kuno, dan cerita rakyat Halaman

12

seolah tenggelam dalam hingar bingar Tulungagung yang mulai merangkak menjadi kota industri. Cagar Budaya Tulungagung Kini Warisan nenek moyang tersebut tertinggal jauh di belakang dan Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) seolah tidak menyadari akan tingginya nilai luhur mereka untuk perkembangan Tulungagung untuk menjadi kota modern yang beradab. Tengok saja Museum Daerah yang teronggok tanpa daya di sepetak tanah pinggiran kota di Boyolangu. Bila papan yang bertuliskan “MUSEUM DAERAH TULUNGAGUNG” tak terpasang di dinding timur bangunan kecil itu, tidak mustahil orang yang ramai berlalulalang di jalan raya Tulungagung-Popoh

tak mengetahui keberadaannya. Kepala seksi Budaya dan Sejarah Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan O l a h r a g a ( D I S PA R B U D P O R A ) Tulungagung, Soerojo, yang ditemui kru Dimensi pada 18 Januari 2009 di kantornya mengakui bahwa sebenarnya museum daerah Tulungagung memang belum layak. “Ya, lebih tepat kalau disebut gudang penyimpanan benda bersejarah,” tuturnya. Tidak adakah langkah pembangunan agar museum itu lebih layak? “Wah, itu memang terkait dengan faktor X…,” Soerojo tersenyum, lantas melanjutkan, “sementara di daerah kita ‘kan masih banyak SD yang rusak dan jembatanjembatan yang perlu penanganan dengan segera.” Ungkap bapak berkumis tebal ini.

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


DIMëNSI Ketidakseriusan Pemerintah Memang, perawatan situs-situs purbakala di Tulungagung dilakukan oleh Balai Pelindungan, Penyelamatan dan Pelestarian (BP3) yang berada di Trowulan, Mojokerto (JATIM) wilayah Tulungagung, yang berwujud diangkatnya juru pelihara situs, (diangkat sebagai PNS maupun tenaga honorer), dengan empat tugas pokok;1) Memelihara, yaitu membersihkan kerak jamur dan lingkungan situs. Untuk hal ini BP3 memberikan pelatihan khusus bagi para juru pelihara dalam merawat situs; 2) Menjaga keamanan dan keutuhan situs; 3) Menyampaikan informasi mengenai situs pada yang membutuhkan; 4) Melaporkan tiap bulan kepada kantor pusat. Selain itu, masih ada perawatan tahap kedua, yakni perawatan tahunan yang dilakukan oleh kantor BP3 pusat secara langsung berupa konservasi. BP3 pun melakukan evaluasi terhadap situs setiap setahun sekali. Sedang Pemkab berwenang untuk memanfaatkan situs dan membangun museum yang sesuai dengan kekhasan tradisi, budaya dan etnik daerah setempat. Pemkab pun harus berkoordinasi dengan BP3 pusat bila hendak melakukan pembenahan situs. Kepala Museum Daerah Tulungagung, Haryadi, berpendapat bahwa Pemkab tidak serius dalam pembangunan Museum Daerah dan Benda Cagar Budaya (BCB) yang tersebar di Tulungagung. “Setiap tahun

Dok.dimensi

Haryadi

DIMëNSI

utama

Dok.dimensi

Pemeliharaan banda-banda cagar budaya harus tetap dilakukan sebagai bentuk pelestarian budaya masa lalu

saya diundang ke rapat dengar pendapat di Dewan (DPRD-red), dan saya ajukan rancangan pembangunan Museum Daerah, dan selalu saya kembangkan. Mereka selalu bilang, ‘iya, Pak Haryadi…’ tapi ya itu, cuma sebatas retorika saja!” Menurut Haryadi, alasan yang disebutkan Dewan sama seperti yang diungkap Soerojo, dana yang cukup besar – Haryadi menyebut sekitar 1 milyar rupiah – dan banyaknya SD dan jembatan rusak Haryadi mengungkapan, pengembangan dan pembenahan museum daerah telah dicanangkan sejak 5 tahun yang lalu, akan tetapi tidak ada tindakan nyata dari Pemkab. Haryadi menambahkan, selama ini Pemkab juga kurang optimal dalam mengelola berbagai situs bersejarah di Tulungagung.”Selama ini situs belum ‘disewakan’; semisal dengan menarik retribusi masuk situs maupun museum daerah seperti yang sudah diberlakukan kabupaten lain, semisal di Blitar. Situs-situs tersebut juga dimanfaatkan sebatas pariwisata nonkomersial dan pendidikan. Selain itu, situs purbakala Tulungagung juga belum difungsikan oleh pemkab secara kultural, misalnya sebagai tempat upacara-upacara tradisional. Selama ini

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

upacara kultural yang diadakan hanya sebatas jamasan atau labuh laut yang tidak melibatkan situs bersejarah tersebut.” Selain pembangunan yang tidak serius, sosialisasi yang dilakukan Disparbudpora selaku dinas yang terkait melalui leaflet, buku maupun profil daerah tidak cukup efektif untuk mempromosikan BCB Tulungagung. Terbukti, banyak warga Tulungagung yang tidak tahu sejarah dan BCB Tulungagung. Yeni, salah satu siswa yang ditemui Dimënsi dalam Upacara Jamasan Kyai Upas bertutur,”Wah saya kurang tahu, Mas, soal Kyai Upas. Saya datang ke sini cuma perwakilan dari Saka Bhayangkara.” ungkapnya dengan polos Selain itu, menurutnya pihak dinas pariwisata juga kurang mengenalkan objek sejarah kepada para siswanya.”Seharusnya Dinas Pariwisata memberikan penyuluhan terhadap keberadaan objek sejarah sehingga kami tahu tentang sejarah kota Tulungagung,” ujarnya dengan tersenyum. Sebagai petugas BP3 Trowulan wilayah Tulungagung yang putra asli Boyolangu, Haryadi pun berharap agar Pemkab memikirkan sarana prasarana pembangunan museum dan Halaman

13


DIMëNSI

utama

Dok.dimensi

Makam Sunan Kuning di desa Macanbang Kecamatan Gondang yang berada di sebelah barat masjid

pendukungnya. Juga, agar dana sebagian anggaran APBD dialokasikan untuk kesejahteraan para juru rawat BCB, terutama para juru rawat situs yang menjadi hak pemda. Terakhir, kepala museum yang telah mengabdi selama 12 tahun ini berharap agar masyarakat semakin tertarik dan peduli pada BCB Tulungagung. “Saya yakin kita bisa mempromosikan BCB dan museum daerah Tulungagung, dengan catatan fasilitas memadai,” ujar Haryadi optimis.

Mbah Yono

Dok.dimensi

Minim Perawatan Begitu banyak Pekerjaan rumah Tulungagung untuk merawat dan mengembangkan sejarah dan budayanya. Selain pembangunan dan sosialisasi, kesejahteraan para juru rawat situs pun harus diperhatikan. Mbah Sur (80), misalnya. Mantan Juru Kunci Candi Penampihan yang telah mengabdi selama 24 tahun itu belum pernah mendapat perhatian dari Pemkab. Menurutnya, Pemda dan Dinas Pariwisata tidak opên (Jawa; peduli ;red) terhadap salah satu aset wisatanya. Hal ini terbukti dari buruknya akses jalan menuju ke lokasi.”Yang banyak memberi perhatian justru dari turis yang sedang mengadakan penelitian disini,” tambah Mbah Sur. Yang lebih mengenaskan, para juru rawat situs bersejarah yang hak perawatan dan pengawasannya berada langsung dalam naungan Pemkab karena belum diteliti secara nasional, juga memiliki nasib serupa. Sebagaimana Mbah Sur, Wiyono (75), juru rawat masjid dan makam Sunan Kuning yang terletak di desa Macanbang Kecamatan Gondang, tidak pernah mendapat santunan sama sekali dari Pemkab. Ditemui Dimensi di rumahnya yang sederhana, Mbah Yono, demikian

ia biasa disapa, mengungkapkan bahwa Pemkab hanya membangun Masjid dan makan Sunan Kuning pada 2004 dengan dana sebesar 100 juta rupiah. Setelah itu, pemkab tidak pernah lagi memberi perhatian terhadap situs tersebut. Hanya, pada tahun 2008, beberapa Punggawa kabupaten kembali mendatangi Mbah Yono dan memberikan buku sejarah masjid dan makam kuno di Tulungagung. “Tapi isinya tidak cocok dengan cerita turun-temurun yang saya terima dari leluhur saya,” ungkap keturunan ke-17 dari juru kunci makam Sunan Kuning pertama – Mbah Sangidun yang berasal dari Tegalsari Ponorogo – ini. Pembangunan makam dan masjid tersebut pun malah mengubah denah asli situs. Carik Macanbang yang juga mantan ketua Ta’mir Masjid Tiban Macanbang mengatakan bahwa sebelum pembangunan, makam sunan Kuning dan 11 kerabatnya berada di dalam masjid. Kini, masjid dan makam terpisah oleh sekat tembok. Merujuk Haryadi, situs yang berupa makam dan masjid kuno itu pun tak tersentuh perhatian Pemkab. Pemkab hanya menggunakan situs-situs tersebut untuk acara dan upacara tertentu, tetapi tidak merawatnya. Salah satu pemerhati sejarah dan budaya Tulungagung, Agus Utomo, merasa yakin bahwa Tulungagung bisa menjadi kota maju dan terpandang bila benar-benar mengembangkan budayanya. “Bangsa kita rusak seperti ini ‘kan karena kehilangan budayanya sendiri,toh?! Sukanya cuma latah meniru-niru. Ya, katanya kota kita ini Kota Ingandaya (Industri, Pangan, Perdagangan dan Budaya), tapi nyatanya yang diopeni cuma industri dan pangan saja, budayanya nggak. Meskipun ada budaya yang diperhatikan, tapi cuma untuk kepentingan politik “ ungkap laki-laki asal Campurdarat ini. Seperti apakah nasib sejarah dan budaya Tulungagung di kemudian hari, bila pemkab tidak memiliki kepedulian untuk melestarikannya? Pengetahuan dan keluhuran apakah yang akan diwariskan masyarakat kota ini pada generasi mendatang? /bans, zah/

Halaman

14

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


DIMĂŤNSI

utama

R M Djayengkusumo; Riwayatmu Kini Suasana tenang dan damai begitu terasa ketika melewati jalan aspal yang berliku naik-turun dengan berderet pohon mahoni yang rindang di kanankiri, sehingga terasa lebih teduh. Seperti itulah suasana yang dapat digambarkan ketika kru DIMeNSI mencoba melihat dari dekat petilasan terakhir tokoh era 1800-an di daerah Demuk kecamatan Pucanglaban Tulungagung. Sebuah daerah pegunungan yang puncaknya rata milik Plato. Dia adalah Raden Mas (RM) Djayengkusumo, seorang keturunan bangsawan dan pahlawan Tulungagung yang dengan lantang melawan penjajahan Belanda saat itu. Disambut dengan ramah oleh salah satu keturunan Djayengkusumo, Sundari (72 th), seorang perempuan tua yang masih lincah dan energik, kami langsung diceritakan bagaimana kiprah dari tokoh Tulungagung ini. Kemudian kami dibawa menuju ke makam. Untuk menuju makam tersebut, kami harus melewati jalanan kecil yang panjang, dengan kanan kirinya adalah perkebunan jagung. Sebuah gapura bertuliskan aksara jawa menyambut kami di pintu utama makam tersebut. Bangunan yang bisa dikatakan mirip sebuah rumah kecil, bangunan tadi dikelilingi oleh makam-makam keluarga.

Sundari

Dok.dimensi

Dok.dimensi

Gapura menuju makam Raden Mas (RM) Djayengkusumo di desa Demuk

Setelah melewati gapura tadi kami langsung menuju pintu makam utama sambil tetap dipandu oleh perempuan yang biasa disapa ibu Sundari ini. Suasana spiritual tinggi langsung terasa ketika ibu sundari membuka pintu makam dan dengan caranya dia memohonizinkan kami masuk untuk berdoa di dekat makam R.M Djayengkusumo. Kisah Dulu Raden Mas Moidjan Djayengkusumo adalah salah satu tokoh yang terkenal dan juga pahlawan nasional. Dia ikut ambil bagian dalam pembangunan jembatan Ngujang, salah satu jembatan besar yang ada Di INGANDAYA pada saat ini yang menghubungkan kecamatan Kedungwaru dan kecamatan Ngantru di atas sungai Brantas. Sungai

DIMĂŤNSI No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

penghubung 3 kabupaten, Blitar, Kediri dan Tulungagung. Pada waktu itu dia adalah salah satu pejabat penting yaitu Wedono Srengat. Pada saat istirahat dan makan siang, salah satu dari pekerja pembangunan jembatan tidak segera menyelesaikan makannya dan terkesan santai. Dan itu membuat salah seorang pengawas Belanda yang bertugas di sana marah dan menaburi makanan pekerja tersebut dengan pasir. Kejadian itu diketahui oleh R M Djayengkusumo dan membuat dia marah melihat bangsanya diperlakukan seperti demikian. Kemudian dia mencabut kerisnya. Dan terbunuhlah orang Belanda tersebut. Peristiwa itu membuat gempar seluruh Tulungagung. Setelah kejadian pembunuhan itu beliau pergi ke Tulungagung menemui adik iparnya Halaman

15


DIMëNSI

utama dibenarkan bahkan menjadi bagian sejarah dari Babat Tulungagung oleh beberapa pihak. Oleh pemerintah desa sendiri hari pembabatan desa Demuk akan dijadikan hari jadi desa seperti yang diungkapakan Slamet Riyanto kepala desa Demuk yang telah menjabat dua periode “Desa sendiri rencana tahun ini mengangkat sejarah Djayengkusumo itu melalui hari jadi desa “

Slamet Riyanto

Dok.dimensi

R.M. Tumenggung Sosrodiningrat menjelaskan bahwa dia telah membunuh seorang Controlir Belanda tujuannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena dia masih keturunan dari bangsawan yaitu ayahnya Raden Mas Tumenggung Djajaningrat Bupati Tulungagung atau Ngrawa ke V maka dia tidak dipenjara tetapi diasingkan atau istilahnya di-selong ke daerah selatan yang masih berupa hutan belantara, pada tahun 1886. dengan ditemani 40 orang dia membabat hutan yang masih angker (berbahaya: red) istilahnya. Jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati. Dengan izin surat nomer 755 pada 10 oktober 1893 yang ditandatangani 1. Kontroluur Ngrawa, 2. Wedono Ngunut dan Asisten Wedono Kalidawir maka dia mendapat izin babat. Pada saat pembabatan hutan banyak Dhemit ngamuk atau hantu yang marah maka daerah yang dibabat tadi diberi nama Demuk. Dari pernikahan dengan Raden Ayu Endang Retno Palupi, seorang putri bupati Japanan Mojokerto dia di karunia 8 putra dan 1 seorang putri. Kemudian pada tanggal 9 Desember 1903, R M T Djayengkusumo meninggal dan dimakamkan di Astana Purulaya di Demuk Pucanglaban. Pada gapura makam tertera kata “ESTHI SIRNA MASA KALA” yaitu tahun meninggalnya RM Djayengkusumo. Esthi = 3, Sirna = 0, Masa = 9, Kala = 1. cerita di atas memang nyata dan

Tempat ziarah Sekarang di samping pagar dari makam telah dibangun sebuah pendapa dengan arsitek joglo untuk berkumpulnya para peziarah kadang sebagai tempat ritual acara semisal selamatan, berdoa atau memperingati haul. Pendapa ini dibangun pada tahun 2005 sumbangan dari pemerintah daerah Tulungagung. Sedangkan masalah kebersihan diserahkan kepada seorang juru kunci yaitu pak Khoiman (62). “Lha omahe meniko kulo ingkang ngelola, ngih nyapu kalihan nyabuti rumput termasuk joglo wonten samping puniko” tutur juru kunci yang mengabdi sejak tahun 1990 ini dan mendapat bengkok (tanah garapan ;red) berupa tanah seluas 100 ru sebagai imbalannya. Pada malam-malam tertentu suasana makam akan sangat ramai seperti malam jumat legi pada sore hari akan banyak orang datang mulai dari yang Ngalap berkah, melaksanakan nadzar sampai yang hanya berdoa atau berziarah. Niat dari pemerintah desa sendiri yang ingin mengembangkan makam R M Djayengkusumo menjadi wisata religi masih terkendala karena selama ini hak

Agus Utomo

makam masih dalam lingkup keluarga. Sedangkan promosi selama ini hanya dari mulut ke mulut lebih disebabkan sebagai tempat yang baik untuk berdoa meminta kepada yang kuasa. Sedangkan promosi secara nyata seperti melalui media masih minim seperti yang diungkapkan pemerhati sejarah yang tinggal di desa Tanggung Campurdarat, Agus Utomo “ sudah lama saya ingin mengangkat cerita tentang Djayengkusumo tetapi selama ini belum ada media yang tepat sehingga saya bingung harus lari kemana, saya senang bila ada pihak yang mau peduli dengan sejarah ini” Tempat bersejarah dimana pahlawan dikubur dengan suasana spiritual tinggi dan sambutan yang bersahaja meninggalkan kebanggan di dada kami. Satu harapan kami akan ada orangorang yang peduli dan melestarikan peninggalan seperti ini agar tak terbengkalai seperti nasib peninggalan lainnya. /bans,kris,aan/

Riwayat Jabatan 1847 – menjabat onder kolektur di Berbeg Nganjuk 1854 – menjabat asisten polisi PP sampai datang wedono di daerah Temanggung jawa tengah 1860 – dipindah sebagai camat Bagor Nganjuk 1867 – diangkat sebagai wedono Nganjuk kecamatan Nganjuk 1878 – dipindah sebagai wedono srengat kabupaten Blitar mengganti wedono Djayeng Bintoro 1886 – terjadi peristiwa kemarahan Djayengkusumo karena kolonial Belanda yang menyiksa pekerja pembangunan jembatan Ngujang 1888 – menjalani hukuman dengan di asingkan ke Demuk

Halaman

16

Dok.dimensi

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


(KG)

DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

17


Nusantara

KEILMUAN ISLAM DAN BERKAHNYA BAGI EROPA

Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag Pembantu Ketua IV STAIN Tulungagung

Gustav Le Bon mengatakan bahwa orang Arablah yang menyebabkan orang Eropa mempunyai peradaban. Sedangkan Rom Landau menambahkan bahwa dari orang Arablah Eropa belajar berpikir secara obyektif dan lurus, belajar berlapang dada dan berpandangan luas. Inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing renaissance dan yang menimbulkan kemajuan dan peradaban di Barat.

A. Pengantar Di antara kajian yang relatif kurang mendapatkan perhatian dari para ahli sejarah adalah pengkajian terhadap sejarah pendidikan Islam. Padahal pendidikan Islam, sesungguhnya telah memberikan saham yang besar dalam membina kemajuan sejarah umat Islam. Pendidikan Islam, diakui atau tidak, telah menciptakan kekuatankekuatan yang mendorong untuk mencapai berbagai tujuan yang dikehendaki oleh umat Islam. Karena itu cukup mengherankan bila kita melihat kenyataan selama ini bahwa pengkajian sejarah lebih banyak dilakukan orang terhadap peradaban Islam terutama pada kajian politik semata, sehingga corak sejarah Islam lebih terkesan terlalu politis (too political), yaitu banyak berkaitan dengan peperangan serta jatuh bangunnya sebuah kekuasaan, dengan mengabaikan aspek-aspek sosial intelektualnya. Dibandingkan dengan pengkajian pengkajian sejarah pendidikan Yunani dan Romawi yang banyak dibahas orang secara panjang lebar, maka sejarah sosial pendidikan Islam sangat kurang mendapat tempat dari para ahli sejarah. Sejarah Islam hanya dibicarakan dalam beberapa halaman yang tidak sepadan sama sekali dengan peranan pentingnya dalam mengadakan perubahan-perubahan besar dalam pentas kesejarahan di banyak bidang yang berpengaruh baik di dunia Timur maupun Barat. Pengkajian sejarah sosial pendidikan Islam ini lebih tampak lagi urgensinya bila diperhatikan bahwa perkembangan dunia intelektual Eropa sangat erat kemajuannya dilatari oleh transformasinya dari dunia intelektual Islam melalui tiga jalur utama, pertama jalur Andalusia, kedua jalur Sisilia, dan

ketiga melalui jalur perang Salib. Dari ketiga jalur ini, jalur Spanyol atau Andalusia dan jalur Sisilia-lah yang dapat dikatakan kontak yang rapat dan efektif, sehingga Eropa lebih awal mengalami kemajuan dunia intelektual pasca zaman keemasan Islam. B. Kondisi dunia intelektual Islam Klasik Dengan tidak bermaksud melakukan romantisme masa lalu, pada kesempatan ini penulis ingin ketengahkan beberapa lembaga Islam yang cukup monumental dan menjadi mercusuar pada zamannya. Pertama, madrasah Nizamiyah. Kedua, jami’ alAzhar. Lembaga pendidikan tinggi ini didirikan oleh dinasti Fatimiah. Ketiga, lembaga pendididikan tinggi Cordova dan beberapa lembaga lain di Spanyol. Yang tidak pernah dilupakan oleh para ahli sejarah adalah pembangunan masjid Cordova al-Jami’. Masjid inilah kelak yang menjadi mercusuar keilmuan Islam di Wilayah Barat. Masjid lain yang terbilang terkenal tapi tidak sebesar masjid Cordova adalah Masjid Seville, Toledo, dan masjid Granada. Sebelum pertengahan abad-4 H/10 M, masjid-masjid tersebut berkembang fungsinya sebagai pendidikan tinggi (al-jami’ah) yang mengajarkan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika itu beberapa orang ulama dari Timur diundang untuk mengajar di Jami’ Cordova, dan para pelajar yang belajar di tempat tersebut banyak yang merupakan delegasi (wufud al-ttullab) dari berbagai negara dan berbagai agama. Sementara itu mengenai Jami’ah Toledo, jami’ah ini memainkan peranan penting dalam usaha transformasi kebangkitan Andalusia terhadap dunia Eropa melalui para pelajarnya dari Eropa dan kaum Nasrani di wilayah utara

Halaman

18

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Spanyol. Ketika Toledo jatuh pada tahun 478 H/ 085 M. Uskup Reymond mengubah Jami’ah ini menjadi madrasah (sekolah) bagi para penerjemah. Para ilmuwan mengajarkan kepada para mahasiswa dari tiga agama samawi (Islam, Nasrani, dan Majusi) untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pasti, kedokteran, dan astronomi. C. Peranan Keilmuan Islam bagi Eropa Pada tahun 1085 Masehi Toledo jatuh, namun ia tidak kehilangan ciri Arabnya. Toledo tetap menjadi pusat ilmu pengetahuan, sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, ia adalah kota pelajar kedua setelah Cordova dan tempat berkumpulnya para sarjana Islam, Kristen, dan Yahudi. Di Istana raja-raja Kristen terjadi kebangkitan intelektual yang dimulai pada zaman Alfonso VI dan berlanjut pada Alfonso VII. Raymond, uskup agung di Toledo, melindungi dan mendorong para sarjana tersebut untuk meneruskan kegiatan mereka. Pada tahun 1130, Raymond membangun satu pusat kegiatan penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Eropa di istananya. Buku-buku bahasa Arab mulai diterjemahkan, mulamula ke dalam bahasa Castilla dan kemudian ke bahasa Latin. Sebagaimana dimaklumi bahwa pendidikan Islam di Andalusia telah menghasilkan ulama-ulama dengan berbagai karyanya. Karya-karya itulah dengan ditambah karya ulama-ulama Islam Timur yang dibawa ke Andalusia dan dikaji melalui pendidikan di sana baik secara formal maupun nonformal, selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, yaitu bahasa Latin. Bagi orang Eropa Kristen kegiatan seperti ini benar-benar merupakan barang baru, dan Toledo dengan sendirinya berubah menjadi pusat budaya yang besar, yang menarik para pecinta dan

DIMĂŤNSI

pencari ilmu dari seluruh penjuru Eropa. Gerakan penerjemahan di atas membawa konsekuensi yang luar biasa bagi Eropa Kristen. Pengenalan terhadap karya-karya Islam dan sains Yunani menyalakan cahaya belajar di Eropa, sekaligus membangkitkan dunia keilmuan, merangsang proses kajian baru, dan mempertajam minat terhadap informasi dan ide baru. Hal ini juga merangsang perdebatan intelektual, yang pada gilirannya melahirkan universitas, sanggar seni sastra, perpustakaan, dan observatory.

akhirnya melahirkan suatu aliran yang terkenal dengan nama Averroisme. Seperti kata Philip K. Hitti bahwa mulai dari akhir abad keduabelas sampai dengan akhir abad keenambelas Averroisme menjadi aliran pemikiran yang dominan meskipun keberadaannya menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh agama yang ortodok. Meskipun ditentang keras oleh para pemuka gereja, Averroisme terus berkembang. Di Paris, karya-karya Ibn Rusyd terus menjadi bahan kajian orang-orang Averroisme. Figur Averrois di Paris yang menonjol pada abad keempat belas adalah John of Jandun (1275-1328). Bahkan pada abad kelimabelas Averroisme mendominasi beberapa universitas di Italia. Dan pada gilirannya, sampai akhir abad keenambelas, Averroisme sebagai madzhab pemikiran, telah mendominasi Eropa. Maraknya kajian-kajian filsafat di Eropa menjadikan mereka mengembangkan pemikiran rasional. Pemikiran rasional yang berasal dari dunia Islam menghentak bangsa Eropa yang sebelumnya dikungkung oleh dogmadogma gereja. Jika sebelumnya kajian-kajian teks keagamaan sangat dominan, maka dengan berkembangnya kajian-kajian ilmu pengetahuan yang bersifat rasional, dominasi kajian teks keagamaan menjadi turun. Ketika posisi rasio dan agama dihadapkan secara diametral yang terjadi adalah permusuhan antara keduanya untuk memenangkan salah satunya. Tetapi ada juga usaha untuk memadukan keduanya. Bagi dunia Eropa, pemikiran mengenai perpaduan antara rasio dan agama pada waktu itu merupakan hal yang baru. Harus diakui bahwa, dibandingkan dengan para ulama Islam lainnya, pengaruh karya-karya Ibn Rusyd di Eropa lebih dominan. Hal itu terbukti pemikirannya mendapat banyak perhatian dari para sarjana Eropa.

Repro internet

Bidang-bidang keilmuan seperti astronomi (al-falaq), ilmu pasti (alriyadhiyyat), ilmu murni (al-bahtah), kedokteran (al-tib), dan filsafat (alfalsafah), mendapatkan banyak perhatian dari para pelajar Eropa. Pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd, salah seorang ulama dari Jami’ Cordova Spanyol, yang dituangkan melalui karya-karya filsafatnya, banyak mendominasi kajian-kajian keilmuan Eropa. Kajian yang luas dan intensif terhadap karya-karya Ibn Rusyd

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

19


Nusantara Pengaruh pemikiran Ibn Rusyd mampu membangkitkan gerakan Averroisme sehingga menyadarkan bangsa Eropa untuk bangun dari ketertinggalannya. Bangsa Eropa kemudian berani berpikir secara bebas tanpa harus terikat oleh dogma-dogma gereja. Kondisi itu mendorong mereka untuk melakukan eksperimen-eksperimen berdasarkan pendekatan yang rasional. Dari eksperimen-eksperimen tersebut akhirnya dihasilkan berbagai macam penemuan ilmiah di banyak bidang. Berkat penemuan-penemuan tersebut Eropa menjadi maju hingga sekarang. Dalam kaitan ini, Harun Nasution memandang bahwa pengaruh karyakarya Ibn Rusyd di Eropa melahirkan suatu aliran intelektual yang kemudian terkenal dengan Averroisme. Atas pengaruh Averroisme, Eropa mengalami kebangkitan yang dikenal dengan renaissance. Harun juga menambahkan bahwa adanya renaissance juga dipengaruhi oleh p ýenerjemahan karya-karya ulama Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains ke dalam bahasa Latin. Seperti diketahui bahwa karya ulama-ulama Islam banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Beberapa penulis Barat mengakui bahwa pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh

pada renaissance dan perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Gustav Le Bon mengatakan bahwa orang Arablah yang menyebabkan orang Eropa mempunyai peradaban. Merekalah yang menjadi guru orang-orang Eropa selama enam abad. Senada dengan pendapat di atas adalah C. Risler, ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Islam sangat dalam mempengaruhi kebudayaan Barat. Sementara itu Alfred Guillame pun menegaskan bahwa sekiranya orang Arab bersikap ganas seperti orang Mongol dalam menghancurkan api ilmu pengetahuan, maka renaissance di Eropa mungkin akan terlambat timbulnya lebih dari satu abad. Sedangkan Rom Landau menambahkan bahwa dari orang Arablah Eropa belajar berpikir secara obyektif dan lurus, belajar berlapang dada dan berpandangan luas. Inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing renaissance dan yang menimbulkan kemajuan dan peradaban di Barat. D. Penutup Mengenang zaman keemasan Islam tidak berarti kemudian terlena seluruhnya dan kemudian menganggap yang lalu serba baik, hemat penulis tidak bisa sepenuhnya seperti itu, tetapi yang paling penting adalah bagaimana umat

Islam mampu mengambil segi-segi positif untuk diperankan ulang sekaligus mampu melakukan analisis kesejarahan terhadap persoalan yang menjadi penyakit peradaban dan kemudian membuangnya jauh-jauh dari era keemasan tersebut yang meliputi banyak hal seperti masalah sosial kemasyarakatan, kebudayaan yang mewarnai dunia pendidikan, atau bahkan persoalan kebijakan politik pendidikan yang dilakukan oleh umat Islam ketika itu dan seterusnya. Dengan begitu sisisisi kemajuan itu tidak sekedar sebagai kenangan manis semata tetapi juga sebagai inspirasi kemajuan Islam dan pendidikan Islam. Umat Islam pun akhirnya tidak perlu malu untuk menengok kemajuan pendidikan dan peradaban Barat demi mendapatkan kembali masa-masa kejayaan di atas karena umat Islam sendiri pernah memainkan peran penting yaitu pernah menjadi mata rantai transformasi ilmu pengetahuan tingkat internasional dalam waktu yang cukup lama. Melihat kemajuan Barat itu pun tidak kemudian seterusnya membeo segala yang berlebel Barat tetapi mampu melakukan analisis-analisis, koreksikoreksi, dan improvisasi sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai, budayabudaya, dan tradisi-tradisi keislaman. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Halaman

20

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


SEP ANJANG AN; SEPANJANG KENANGAN; SEP ANJANG JALAN JALAN KENANG KENANG AN; SEPANJANG KENANGAN; NGR OWO – TUL UNG AGUNG NGRO TULUNG UNGA (Refleksi Sejarah Sebagai Wacana Intelektual di Masa Depan) Agus Ali Imron Al Akhyar Sebagai peneliti di KS2B (Kajian Sosial, Sejarah dan Budaya) Tulungagung, dan juga penyuka sejarah & budaya

Banjir di depan klenteng (tahun 1955) Dok. Arsip Tulungagung

“Sebagai superimposisi berbagai lapisan zaman, kota bisa diibaratkan sebagai novel tebal yang berbagai dalam benak bagian dan bab yang bergerak ke arah beberapa puncak cerita. Kota juga sebuah teater kehidupan yang nyata dimana selain bangunan sebagai latar sebuah panggung adalah juga para politisi yang mengatur kota sering korup dan menyakitkan. Dinamika sebuah kota sering kali terletak dari sejauh mana teater tadi berdialog antara satu aktor dengan aktor yang lain. Tapi jangan lupa kota juga teater yang sepi (Pratiwo)”. DIMëNSI

Siapa yang tidak mengenal keberadaan Daerah Tulungagung, sebuah daerah yang berada di bagian selatan Provinsi Jawa Timur, terkenal sebagai kota INGANDAYA (industri, pangan dan budaya). Sebuah kabupaten dengan pembagian wilayah terdiri 19 Kecamatan, 257 desa dan 14 kelurahan serta kepadatan penduduk sebesar ± 1.002.807 jiwa serta luas wilayah ± 115.041.00 Ha (Data BPS Kabupaten Tulungagung 20032006). Untuk itulah dengan potensi yang ada khususnya dapat mengembangkan dan memberdayakan aset wisata sejarah maupun wisata budaya yang ada, sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. Kota Tulungagung menyimpan potensi berupa wisata sejarah dan budaya yang belum terkuak semaksimal mungkin. Mulai dari keberadaan Candi Penampihan, Candi Gayatri, Candi Sanggrahan, Candi Dadi, Candi Mirigambar, Candi Ampel, Gua Selomangleng, Gua Pasir dan masih banyak situs-situs lainnya yang perlu

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

untuk dikembangkan dan diberdayakan. Yang menyedihkan ialah generasi muda Tulungagung tidak mau tahu akan sejarah bahkan tidak mengetahui keberadaan situs-situs bersejarah. Padahal sejarah merupakan wacana intelektual dimasa yang akan datang, dari sejarahlah manusia khususnya generasi muda dapat mengambil pelajaran yang baik. Untuk itu sehendaknya mengetahui keberadaan situs-situs bersejarah walaupun untuk rekreasi maupun untuk media pendidikan (education). Tulungagung sendiri selain terdapat candi-candi ada juga museum daerah, museum tersebut sangatlah menyedihkan keadaannya tanpa ada pengembangan dan pemberdayaan yang maksimal, ruangan museum yang sempit dan juga semakin bertambahnya koleksi permuseuman membuat penetaan arcaarca maupun koleksi museum semakin semrawut terlihat membosankan. Selain itu keberadaan museum yang sepi ibarat “kuburan”. Betapa menyedihkan apabila Halaman

21


Nusantara diri ini melihat keberadaan museum Daerah Tulungagung yang sunyi sepi. Masyarakat luas tidak tertarik untuk mengunjungi museum, hanya mereka para disiplin ilmu saja yang berkunjung, itupun ketika ada penelitian. Terasa ingin marah kepada pemerintahan daerah namun apalah daya manakala pemerintah tidak membuka lebar-lebar mata hatinya. Pemerintahan daerah kalau dilihat selama ini, tidak mau tahu mengenai keberadaan museum maupun candi di Daerah Tulungagung. Penghargaan terhadap kemegahan masa lampau belum terwujud dengan nyata dimasa modern seperti saat ini. Padahal kalau kita lihat prospek kedepannya, apabila keberadaan situs-situs tersebut dikembangkan dan diberdayakan secara maksimal maka dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan bagi generasi muda dan secara tidak langsung menjadi instrumen pengentasan kemiskinan. Seperti keberadaan candi-candi maupun museum, kalau dikembangkan dengan cara “four in one�, yaitu dibangunkannya kafe tradisional dengan menyajikan makanan khas Tulungagung, gelanggang festival sebagai pementasan kebudayaan Tulungagung yang kini merana tanpa kejelasan nasipnya, sehingga dengan jadwal yang telah diatur maka kebudayaan khas Tulungagung dapat digelar di gelanggang festival tersebut dan yang terakhir adalah dibangunkannya Gedung Arsip Perpustakaan yang berfungsi ketika para wisata apabila ingin mencari data mengenai Tulungagung tidak susah. Dalam pengembangan dan pemberdayaan kali ini tentunya tidak meninggalkan unsur-unsur nilai sejarahnya. Dengan pengembangan dan pemberdayaan situs-situs bersejarah di Tulungagung semacam itu tentunya dapatlah dipakai sebagai tujuan utama wisata rekreasi maupun wisata pendidikan. Sebab menurut pengamatan saya, seperti halnya pendidikan mata

pelajaran sejarah untuk saat ini sulit diterima oleh anak didik karena keterbatasan media pembelajaran, sedangkan pendidikan sejarah seharusnya menggunakan media semacam candi maupun museum dalam pengajarannya. Namun apabila keberadaan situs-situs tersebut menyedihkan tanpa ada yang peduli maka akan membuat bosan para wisatawan yang ingin rekreasi maupun generasi muda yang ingin belajar sejarah. Menurut Ayu Sutarto (2004), bahwasanya perubahan zaman begitu cepat dan tiba-tiba, bukan lagi dalam

zaman memainkan perannya, maka saatnya untuk mengembangkan dan memberdayakan situs-situs bersejarah yang ada di Tulungagung khususnya sebagai rekreasi dan media pengajaran, selain itu secara tidak langsung menjadi instrument pengentasan kemiskinan. Perkembangan zaman yang semakin menjadi-jadi, tentunya keberadaan situssitus bersejarah tersebut juga harus dikembangkan, dengan catatan jangan sampai menghilangkan unsur kesejarahaan. Keberadaan Tulungagung yang sangat berpotensi untuk wisata budaya maupun wisata pendidikan, seharusnya dapat dikelola dengan baik. Apabila pemerintah daerah tidak mendukung secara maksimal, maka tugas dari generasi muda untuk bisa mengembangkan dan memberdayakan asset warisan budaya. Sejarah Tulungagung Sejarah mengenai sebuah daerah, tentunya tidak langsung begitu saja ada, melainkan lembaran-lembaran waktu mengiringi perjalanannya. Perubahanperubahan disetiap waktu menjadikan torehan sejarah tersendiri di sebuah kota atau daerah, khususnya Tulungagung. Namun kali ini tidak membahas mengenai struktur bangunan maupun perpolitikkan, melainkan sebuah torehan sejarah mengenai Daerah Ngrowo – Tulungagung. Sepanjang kenangan mengenai perjalanan sejarah Ngrowo – Tulungagung tidak banyak yang mengetahui, para generasi muda sekarang ini mayoritas disibukkaan dengan urusan globalisasi. Sedangkan untuk mempelajari sebuah sejarah terasa membosankan dan melelahkan, karena harus mencari data maupun literatur yang tidak mudah. Apakah yang dapat kita kenang dari sepanjang perjalanan sejarah daerah Tulungagung?, dalam riwayat lama bahwasanya; Tulungagung adalah suatu tempat lingkaran yang

Dok. Arsip Tulungagung

hitungan tahun tetapi bahkan dalam hitungan hari. Kota-kota telah berubah wajah menjadi desa buana atau global village. Artinya, nyaris tidak satu kota pun di belahan bumi ini yang secara politik, ekonomi dan budaya, terbebas dari pengaruh globalisasi dan dari jangkauan produk-produk budaya yang di-impor dari negara-negara maju. Selera hidup warga masyarakat, terutama masyarakat tradisional yang hidup di negara-nagara berkembang, termasuk Indonesia mengalami pergeseran yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itulah ketika

Halaman

22

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


berpusat disekitar Alun-alun termasuk diantaranya Desa Kauman dan Kampungdalem. Yang sekarang kedua desa tersebut masih ada, Desa Kauman yang berada di sisi barat Alun-alun sedangkan Desa Kampungdalem berada di sisi timur Alun-alun. Dahulu orang-orang menyebut Daerah Tulungagung dengan sebutan Ngrowo, sebab sesuai dengan keadaan daerahnya yang banyak rawa-rawa. Pada masa lalu masyarakat Ngrowo menggunakan fasilitas aliran sungai untuk sarana transportasinya. Sungai yang dulu digunakan sebagai sarana transportasi sampai sekarang masih nampak keberadaannya, yaitu Sungai Ngrowo yang mengalir ke arah utara dan bertemu dengan Sungai Brantas. Selain itu tidak mengherankan apabila letak daerah-daerah yang menjadi cerita-cerita rakyat tempatnya selalu berdekatan dengan sungai. Seperti halnya; Tawangsari, Gleduk, Waung, Ketanon, Majan dan Pacet. Sebelum Daerah Ngrowo menjadi sebuah kabupaten, daerah tersebut dikuasi oleh para Tumenggung dibawah perlindungan Kerajaan Mataram. Keberadaan bupati I sampai ke XI masih disebut dengan Bupati Ngrowo. Setelah pada tahun 1901 nama Ngrowo diganti dengan sebutan Tulungagung, pada saat itu bupati yang mengalami dalam pergantian nama tersebut adalah Bupati R.T. Partowidjojo. Beliau menjabat sebagai bupati sejak tahun 1896 hingga tahun 1901 (baca: TULUNGAGUNG; Dalam Rangkaian Sedjarah Indonesia dan Babad; 1971;126-127 belum direvisi). Sedangkan nama daerah Tulungagung pada asal mulanya mempunyai dua makna, yaitu “Tulung” dan “Agung”. Dalam segi terminologi kata “Tulung” mempunyai beberapa arti, diantaranya; (1). Tulung dalam bahasa Sansekerta artinya Sumber Air atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan perkataan Umbul (Sumber Air Minum); (2). Tulung yang biasa diartikan dengan sebutan permintaan tolong atau bantuan. Adapun makna dari “Agung” biasa diartikan dengan “Besar”. Sehingga apabila kata “Tulung” dan “Agung” digabungkan, jadilah sebuah nama

DIMëNSI

daerah, yaitu TULUNGAGUNG yang mempunyai makna “Sumber Air Besar” dan “Pertolongan Besar”. Walaupun nama Tulungagung mempunyai makna yang berbeda, namun dalam torehan sejarahnya mempunyai hubungan erat sekali mengenai soal asal mula terbentuknya daerah maupun perkembangan Tulungagung. Mengenai seklias perjalanan sejarah Tulungagung tersebut tentunya menjadikan kita sebagai generasi muda seharus mempelajari sejarah untuk melangkah ke masa depan. Seperti ungkapan presiden Indonesia yang pertama Ir. Sukarno, yaitu JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Etika Generasi Muda Terhadap Sejarah Seperti yang diungkapkan oleh Ir. Sukarno di atas, bahwasanya kita sebagai generasi muda sehendaknya tidak meninggalkan kenangan masa lalu (baca: sejarah). Entah mengenai sejarah nasional, sejarah daerah maupun sejarah kita masing-masing. Sebenarnya yang gampang bagi kita untuk menjaga sejarah agar tidak hilang ialah dengan membaca dan menulis. Seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo, bahwasanya apabila kita sebagai generasi muda ingin tetap cinta dan bangga akan sejarah maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya; membaca dijadikan hobi, meneliti dan menulis dijadikan kegemaran serta yang terakhir adalah berani berbicara menyampaikan pemikiran. “Janganlah anda seperti pohon pisang, hanya berbuah satu kali kemudian mati”, artinya jangan hanya puas anda menjadi sarjana, namun harus dibuktikan dengan terus berkarya, baik meneliti, menulis dan apa saja untuk masyarakat dan bangsa, sebagai torehan sejarah demi berjalan di masa yang akan datang. Sebab apabila kita ingin berjalan ke masa depan tanpa melihat kebelakang (baca: sejarah) maka rasa puas tidak akan hadir dalam diri. Keberadaan candi, makam tokoh Islam, museum daerah yang ada di Tulungagung tentunya dapat dijadikan sebagai refleksi generasi muda dalam

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

menghadapi era global sekarang ini. Cerita-cerita yang ada di panil-panil candi tentunya memberikan kesan dan pesan pada generasi muda semacam kita. Hikmah apabila kita mempelajari sejarah diantaranya; kita tidak akan pernah merasa sombong dan merasa cukup. Sebab semua apa yang ada di bumi ini merupakan Anugerah Allah Semesta Alam yang patut kita lestarikan, kembangkan dan diberdayakan demi maslahah umat manusia seantero jagad bumi. Dari kebanggaan peninggalan sejarah yang ada di daerah, khususnya Daerah Tulungagung, merupakan salah satu wujud dari kecintaan kita terhadap peninggalan warisan nenek moyang. Merawat, menjaga dan mengembangkan serta memberdayakan keberadaan situs-situs bersejarah di Tulungagung, merupakan salah satu wujud rasa memiliki atas warisan budaya masa lampau. Kemegahan dan kejayaan di masa lampau dapat kita lihat seperti di Candi Sanggrahan, Candi Gayatri, Candi Anglingdharma, Candi Penampihan dan candi-candi lainnya. Tugas berat bagi generasi muda untuk mempelajari sejarah tentunya tidak semudah kita untuk membalikkan telapak tangan, sebab apabila dengan rasa bangga dan mencintai warisan budaya baik candi, makam tokoh Islam dan lainnya sebagainya seakan-akan kita bisa berdialog dengan budaya tersebut serta kita bisa merasakan betapa agung dan jayanya masa lampau. Sebagai generasi muda seharusnya sudah menjadikan sejarah lokal sebagai bahan pemikiran kita, sebab sejarah nasional yang selama ini digebu-gebukan sudah seharusnya selesai dalam pembahasan. Sebelum matahari terbenam maka tugas bahkan kewajiban bagi generisi muda untuk bisa mempelajari sejarah (lokal) demi masa yang akan datang. Kemarin adalah sejarah, esok adalah ratapan kita untuk menuangkan jejak-jejak sejarah yang berfungsi di masa akan datang. Satu detik berlalu merupakan sejarah bagi kita. Sejarah tidak mengenal lelah dalam mengulas peradaban, dulu hingga sekarang sejarah menjadi pendidikan yang konkrit dan fleksibel hingga akhir hayat kita semua. Halaman

23


Teras STAIN dalam Geliat Pembangunan Ada yang berbeda dari kampus gersang kita, STAIN Tulungagung mulai melakukan banyak pembenahan dari berbagai aspek. Beberapa waktu terakhir ini banyak terlihat proses pembangunan di kawasan STAIN Tulungagung. Apalagi ketika menjelang akhir tahun kemarin (2008). Kampus melakukan pembenahan pada beberapa ruang perkuliahan dan sarana prasarana yang lainnya, juga melalukan persiapan untuk perluasan wilayah kampus ke wilayah timur dan dekat perumahan penduduk di sebelah utara kampus. Sepertinya status kampus berstatus negeri satu-satunya ini setidaknya memang layak diberikan kepada STAIN Tulungagung. Master Plan pembangunan, direncanakan dimulai pada tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2032 nanti. Pembangunan yang sudah terlihat adalah pembangunan yang menghubungkan antara ruang perpustakaan dan ruang UPB (Unit Pengembangan Bahasa) lama dan asrama putra di daerah dekat perumahan penduduk tepatnya di barat laut kampus. Perluasan wilayah dari perpustakaan sampai ruang UPB tersebut dimaksudkan untuk memperluas wilayah perpustakaan, tentunya harus juga dibarengi dengan penambahan jumlah koleksi buku-buku perpustakaan. Hal ini tentunya juga dengan pertimbangan jumlah mahasiswa STAIN yang mengalami penambahan di setiap tahun ajaran baru. Pengembangan wilayah intelektual mahasiswa dengan semakin diperbanyak jumlah koleksi buku juga perluasan ruangan perpustakaan menjadi sebuah keniscayaan. Seperti harapan yang diungkapkan oleh Siti Aminah selaku ketua perpustakaan, “…ada pengembangan yang lebih baik untuk perpustakaan agar mudah dijangkau oleh para mahasiswa”. Dia juga menambahkan perpus harusnya

dari dulu dibangun untuk per prodi agar memudahkan para mahasiswa untuk menjangkau refrensi buku-buku yang mereka butuhkan, tapi ternyata itu belum bisa direalisasikan karena menunggu kebijakan pihak atas. Selain itu, dia juga berharap prosedur pembangunan tersebut dapat menuju kepada status IAIN. Sedangkan untuk asrama putra, pembangunannya masih dalam tahap pondasi-pondasi bangunannya saja, malah terkesan berhenti di tengah jalan, karena jika dilihat nyaris tidak ada aktifitas pembangunan akhir-akhir ini. seorang mahasiswa AS semester V, Khoirul mengatakan, “seharusnya pembangunan asrama tersebut haruslah segera diselesaikan sebelum memasuki tahun ajaran baru, dimana bisa digunakan oleh mahasiswa baru yang mendaftar dikampus ini, mengingat anggaran yang diberikan oleh pemerintah cukup banyak”. Dia juga menyatakan bahwa setiap pembangunan yang ada di kampus seharusnya diinformasikan kepada

mahasiswa dan fungsionaris kampus, “terkait mengenai berapa anggarannya, dana yang dipakai berapa dan tergetannya sampai kapan dan para kontraktornya berapa, agar transparan dan kelihatan jika terjadi penyimpangan oleh para pihak yang tak bertanggung jawab, dan untuk infrastrukturnya yang harus dibenahi dulu yaitu seperti perpustakaan, mengingat dana untuk perpustakaan cukup banyak, harusnya setiap jurusan memiliki perpustakaan untuk menunjang intelektual para mahasiswanya.” Dia juga berharap pembangunan itu dibarengi dengan pembangunan dan pengembangan kualitas para mahasiswanya. Hal senada juga dikatakan oleh presiden BEM, Taslimur Rofiq, “saya kira pembangunan harusnya sesuai dengan UUD 45, pembangunan manusia seutuhnya dan seluruhnya, artinya dari sisi mahsiswanya juga adanya pengembangan, jangan kemudian untuk mencapai target pembangunan seperti IAIN harus

Dok. Dimensi

Maket STAIN Tulungagung, pembangunannya masih terkendala karena biaya

Halaman

24

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Teras

Asrama mahasiswa yang masih dalam taraf pembangunan

mengorbankan mahasiswanya.” Ditemui di tempat berbeda, Basuki selaku KABAG umum mengatakan “mengenai pembangunan gedung asrama tersebut ada sampai tiga tahap, dan sekarang masih pada tahap satu, tapi untuk pembangunan gedung asrama putra insya Allah tahun 2009 ini akan selesai, dan mengenai anggarannya tidak setiap tahun STAIN mendapatkan dana untuk pembangunan, tapi pihak STAIN mengajukan anggaran pada pemerintah terlebih dahulu, seperti halnya pembangunan tahap satu ini STAIN mengajukan anggaran dan mendapatkan dana sebesar 1,2 miliyar”. Kendala dana itu juga disebabkan karena pengajuan proposal untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah tidak bisa langsung cair. Hal ini merupakan alasan kemoloran pembangunan dari jadwal yang sudah ditentukan. Selain dana, kendala lainnya adalah kurang adanya sosialisasi sehingga ada kesimpangsiuran informasi dan kurang adanya komunikasi antara birokrasi dan juga mahasiswanya. “Terus terang saya belum jelas siapa

DIMëNSI

yang memegang proyek pembangunan ini, saya sudah menanyakan pihak atas seperti PK3, tapi beliau mengatakan tidak paham mengenai proses pembangunan ini, begitu juga ketika saya menanyakan pada pihak birokrasi lainnya, mendapatkan jawaban yang sama, seharusnya kalau pembangunan ini dibahas dirapat senat tentunya semua pihak birokrasi apapun jabatannya mengetahui tentang masalah ini, jadi saya melihat adanya ketimpangan komunikasi antara pihak atas dan bawah dalam wilayah birokrasi mengenai masalah pembangunan ini.” Terang Taslim. Dia juga menambahkan setidaknya ada musyawarah bersama untuk memajukan kampus. Selain itu, di akhir wawancara dia juga mengatakan bahwa setidaknya anggaran dana yang ada itu juga digunakan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan guna memajukan perkembangan intelektual mahasiswanya. Sebenarnya banyak yang perlu dicermati dalam pembangunan ini, perluasan wilayah bukanlah sebuah patokan untuk kesuksesan suatu

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Dok. Dimensi

lembaga Pembangunan untuk perluasan wilayah juga harus diimbangi oleh administrasi yang baik dari segi pegawai, peralatan dan juga perawatan barang yang ada di dalamnya yang tentunya juga harus mendapat partisipasi dari mahasiswa. Hal ini juga terlihat dari masih ruwetnya sistem administrasi ketika masa pengurusan pemrograman kuliah baru dimulai. Karena pembangunan ini merupakan tujuan penting untuk menunjang perkuliahan dikampus STAIN ini, sangat diharapkan segera terealisasikannya pembangunan ini sesuai master plan yang ditargetkan, terutama untuk pembangunan bangunan-bangunan yang sangat menunjang aktifitas perkuliahan seperti atas, Sampai berita ini diturunkan belum ada perkembangan yang berarti dari pembangunan di STAIN ini, semoga saja dengan tulisan ini ada sedikit harapan untuk pembangunan STAIN kedepan, agar menjadi masukan para pihak-pihak yang bersangkutan atas pembangunan ini agar segera merealisasikan pembangunan ini. //p0r/ /h_bib// Halaman

25


Halaman

26

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

27


Teras JIKA YANG MUDA MENJADI WAKIL RAKYAT Dunia politik praktis ternyata telah merambah kampus STAIN Tulungagung, terbukti ada beberapa mahasiswa yang terjun ke dalam dunia politik dengan ikut menjadi kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah pada pemilu legislatif april 2009. bagaimana kiprah mereka? Dengan banyak jumlah partai konsestan pemilu maka semakin banyak peluang untuk menjadi anggota wakil rakyat. Apalagi kuota perempuan 30% untuk menjadi anggota legislatif hal ini memicu munculnya anggota dewan dari berbagai kalangan termasuk di dalamnya dari kalangan mahasiswa. Dilihat motivasi beberapa mahasiswa yang menjadi caleg ada juga karena faktor ekstern dalam arti ada pihak lain yang mensupport mereka untuk terjun dalam dunia politik. “Sebenarnya jujur, tidak ada niat untuk menjadi anggota dewan karena dorongan dari pihak luar saya menjadi mau, sedangkan motivasi saya jika terpilih adalah membangun masyarakat untuk lebih baik” seperti yang dipaparkan oleh Alifi Aliyah, caleg partai Demokrat dapil 1 no urut 3 (Kec. Tulungagung, Kec. Ngantru, Kec. Kedungwaru) yang juga mahasiswa Tadris Bahasa Inggris (TBI) smester VIII. Berbeda lagi dengan Imam Asrori, mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI/VIII). Perjalanan politiknya cukup berliku yang awalnya dulu pernah masuk partai HANURA tetapi dengan alasan tidak pernah mendapat ruang untuk gerak secara optimal. Karena anak muda dianggap kurang bisa kompeten dalam menjalankan roda partai.

Alifi Aliyah

Dok.Dimensi

Kemudian dia masuk partai GERINDRA yang menurutnya platform partai tersebut memperjuangkan rakyat kecil. Hal ini di sebabkan pengalamannya selama ini yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yaitu menjabat ketua PAC IPPNU kecamatan Ngantru dan ketua karang taruna kecamatan Ngantru. “ Karena ingin memperjuangkan kemakmuran di Dapil satu khususnya Ngantru yang selama ini kekurangan anggota dewan yang menjadi aspirator bagi masyarakat” tutur laki-laki umur 22 tahun ini. Menjadi “Lilin” Selama ini mahasiswa banyak bergelut dengan dunia akademis dan menjunjung tinggi “idealisme”. Menurut Aladin SHI. MH, ada tiga hal yang di khawatirkan dan harus di perhatikan jika mahasiswa terjun ke dunia politik praktis yaitu; Pertama, mahasiswa akan kehilangan konsentasi belajarnya karena sibuk dalam urusan politik. Kedua, dikhawatirkan akan di manfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab hanya untuk alat dalam pencapian tujuan politik. Ketiga, implikasi beban psikologis jika gagal dalam dunia politik. Menjadi politikus adalah hak semua orang entah itu mahasiswa atau siapa saja asal dia mempunyai kemampuan untuk itu. “Mahasiswa yang terjun ke politik tidak masalah kalau saya boleh mengamati dulu kiprah mereka. Ada 3 hal yang harus diperhatikan menjadi simpatisan, praktisi dan pecundang politik” papar dosen ilmu politik yang menjadi calon anggota legislatif dari PKNU dari Dapil V. Masih menurutnya, mahasiswa lebih baik menjadi simpatisan dimana sumbangan bantuan semisal dalam bentuk pikiran lebih di utamakan. Dicontohkan oleh dia bahwa mahasiswa yang terjun ke dunia politik dengan bekal coba-coba ibarat “Lilin”

Aladin

ingin menerangi tapi dia akan hancur sendiri. Namun, menurut Ira Wijayanti (21th) aktifitas politiknya tidak menganggu studinya. “IP saya naik kok, di saat lagi repot sosialisasi dan kampanye” ungkap caleg dari PAN yang mempunyai visi mengemban amanat moral bangsa dan mengedepankan bidang pendidikan. Sedangkan menurut ketua STAIN Prof. Dr. Mujamil Qomar, mahasiswa yang terjun ke politik adalah mengarungi dua hal yang berbeda karena menurutnya seorang mahasiswa yang masuk dunia politik sama dengan mahasiswa yang “nyambi” jadi guru.”Saya sangat men-support mahasiswa yang terjun ke dunia politik siapa saja yang masuk dunia politik sahsah saja sepanjang dia handal dan profesional jangan cuma tukang “doa” artinya tidak bisa apa-apa” papar lulusan UIN Syarif Hidayatullah ini sambil tersenyum. Masuknya mahasiswa ke dunia politik semoga memberi angin segar bagi demokrasi Indonesia. Sehingga terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat dari wakil-wakil yang terpilih dalam pesta demokrasi mendatang. Semoga benar-benar menjadi aspirator sejati untuk rakyat. (dix)

Halaman

28

Dok.Dimensi

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Editorial

Mau gimana lagi? Bangsa Indonesia kini adalah bangsa besar yang kehilangan jati diri dan identitas. Lebih senang meniru dan membeo semua kebudayaan yang ditawarkan oleh asing. Sebuah nilai sakralitas warisan bangsa tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dilestarikan atau bahkan untuk dikenal. Rangkaian peristiwa sejarah yang datang silih berganti hanyalah dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan terlalu biasa terjadi dan sepertinya sebagai sesuatu yang tidak biasa untuk dipertanyakan. Seharusnya, ibarat pepatah mengatakan, padi semakin tua usianya semakin merunduk, dalam artian semua tempaan hidup dan masalah-masalah yang datang silih berganti adalah sarana untuk membuat sebuah kedewasaan berfikir. Sebagai sarana untuk merefleksi kesalahankesalahan dan permasalahan-permasalahan yang datang silih berganti, karena memang sebuah kehidupan yang tak terefleksi adalah sebuah kehidupan yang tak pantas untuk dijalani (socrates). Kalau pemerintah terus saja enggan untuk mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan rezim masa lalu, semua obralan-obralan janji para penguasa tentang adanya perubahan, menjadi sekedar omong kosong belaka yang tak ketemu realisasinya. Apalagi, masyarakat hari ini sepertinya sudah benar-benar jengah dan acuh tak acuh untuk sekedar mempertanyakan kenapa permasalahanpermasalahan itu tak kunjung selesai mendera bangsa Indonesia. Berangkat dari masalah-masalah tersebut, layaknya pemerintah dan rakyat berkomunikasi secara intensif untuk memecahkan sebuah “masalah bersama� yang tak kunjung usai. Solusi atas bencana yang tak kunjung henti, kemiskinan, ketidakadilan, keserakahan, penindasan dan terwujudnya sebuah harapan akan datangnya suatu masa dimana kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah sesuatu yang sepertinya tak bisa ditawar-tawar lagi. Ironis memang, untuk itulah kini saatnya bangsa Indonesia berbenah diri, menyingsingkan lengan baju untuk bekerja sama membangun kembali serpihan-serpihan peradaban yang sudah mulai retak, tergerus oleh kuatnya kungkungan penguasa global yang terus dengan cerdik memainkan jemari kuasanya untuk membuat kita berada dalam sebuah negara yang multidimensional dalam krisis dan tempaan masalah yang tak kunjung usai. Kalau tidak begitu, mau gimana lagi? (Redaksi)

DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

29


Swara R efleksi Ref efleksi leksi W ajah Wajah P Pendidikan endidikan Kita Kita Oleh: Ali Makmun Ikhsan *)

“Knowledge is power� Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Karena manusiia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang. Pendidikan sebagai basis penentu identitas dan kepribadian manusia dan bangsa Indonesia justru dinodai dengan pelbagai pelanggaran etika, korupsi, komersialisasi, dan manipulasi. Dunia pendidikan Indonesia hari ini seakan mengambil jalan membelok yang mungkin tersesat tanpa ada referensi dan orientasi yang jelas. Semua perbuatan manusia dipengaruhi pemikiran, karenanya sebagai sosok yang berfikir, manusia tidak bisa lepas dari dunia kontemplatif. Bercitacita ingin meraih kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriah maupun batiniah. Citacita tersebut tidak mungkin tercapai jika manusia itu sendiri tidak tidak berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Untuk itu, pendidikan menjadi refleksi dan cita-cita kelompok manusia sekaligus menjadi lembaga yang mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita tersebut yang tidak terbelakang dan statis. Lantas haruskah pendidikan itu formal? secara hakikat tidak ada yang mengharuskan ini. Namun jika kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan sebagai bekalnya hidup dijauhkan dari

bekalnya ilmu pengetahuan itu sendiri, maka akan dibutuhkan usaha yang berlipat-lipat untuk mencari dan mengumpulkan lagi tetes-tetes pengetahuan dari awal. Sederhananya, pendidikan formal adalah hasil dari peradaban itu sendiri. Sehingga menyingkirkan manusia dari pendidikan formal akan berarti menyingkirkan keterlibatan manusia dalam peradaban. Era Kolonial Belanda Di Indonesia pendidikan formal pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial lewat politik ethis. Politik yang sering disebut politik balas budi ini mencakup tiga hal, yakni Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Sangat jelas bahwa ketiga cakupan itu adalah untuk melanggengkan kekuasaan kolonial. Irigasi contohnya, tidak lain adalah program untuk pengairan pertanian dan perkebunan milik pemerintah kolonial dan pejabat-pejabatnya. Sedangkan transmigrasi dimaksudkan untuk memperoleh tenaga kerja murah bagi perkebunan-perkebunan yang berada di luar pulau jawa. Dan yang terakhir adalah Edukasi yang ternyata dipergunakan untuk mencetak pegawaipegawai administratif bagi perusahaan kolonial, dengan mempriotaskan pelajaran membaca dan menulis bahasa Belanda. Hal ini dipergunakan untuk mempermudah rakyat pribumi untuk memahami peraturan dan pengumuman yang dibuat oleh penguasa. Teori mereka, persamaan bahasa akan mempermudah mengendalikan rakyat yang dikuasai. Ditahap politik ethis inilah lahir

beberapa sekolah yang didirikan Belanda, yakni Holand Inland School (HIS-setaraf SD), Meer Uuitgebied Lager Onderwigs (MULO-setingkat SMP), Algemene Midelbare School (AMS- setingkat SMA). Sedangkan untuk perguruan tinggi Belanda mendirikan sekolah tinggi hukum, sekolah tinggi kedokteran (Stivia) dan sekolah tinggi teknik. Kaum pribumi yang dimaksud oleh Belanda pun bukan sembarangan, melainkan golongan priyayi. Hal ini bukan hanya dikarenakan kedekatan dan ketertundukan tuan tanah pribumi kepada pemerintah kolonial namun juga karena biaya pendidikan yang sangat mahal telah membuat golongan priyayilah yang paling mungkin dapat bersekolah. Dalam kondisi demikian, orang-orang yang kritis terhadap sistem penjajahan tetap lahir. Mereka, yang tentunya berasal dari keturunan priyayi berusaha keluar dari formalitas pendidikan yang penuh dengan kepentingan penguasa dan mengambil spirit yang tertanam dalam esensi pendidikan tersebut untuk tujuan kemerdekaan, walau dengan pondasi ideologi yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara yang membentuk lembaga Taman Siswa, KH Ahmad Dahlan yang membentuk lembaga Muhamadiyah. Lembagalembaga ini kemudian melakukan perluasan pendidikan untuk semua kalangan dan menitipkan nilai-nilai didalamnya. Sebagai catatan, sekolahsekolah yang disebut oleh Belanda sebagai sekolah Particulier (swasta) ini tidak memungut bayaran pada peserta didiknya, melainkan lahir dari semangat

Halaman

30

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Swara pemerataan pendidikan. Bentuk pendidikan yang demikian ini awalnya belum ada dalam lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi-organisasi pendidikan seperti Budi utomo. Namun dengan melihat keberhasilannya dalam membangun manusia Indonesia, bentuk ini pun diterapkan secara luas oleh organisasiorganisasi yang lahir kemudian. Hasil dari bentuk pendidikan inilah yang kemudian menjadi penggerak utama dari kemerdekaan Indonesia. Awalnya pemerintah kolonial tidak merasa terganggu dengan hadirnya sekolah-sekolah particulier. Namun dengan pengamatan yang serius akhirnya pemerintah kolonial mengetahui bahaya sekolah tersebut dalam menyebar nilai-nilai anti kolonial. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap guru sekolah tersebut untuk melapor, merasa belum cukup, tahun berikutnya pemerintah mengeluarkan larangan bagi sekolah-sekolah particulier yang dicap “liar” ini. Setelah terjadi penutupan, gerakan-gerakan pendidikan anti-kolonial menyebut dengan cara gerilya sampai masuknya Jepang. Era Pendudukan Jepang Pendudukan Jepang selama 3,5 tahun pada hakekatnya telah banyak merombak struktur pendidikan kaim pribumi. Kegagalan mereka di Manchuria dan China oleh karena sistem pendidikan Jepangisasi (Nipponize) ketika itu, yang melahirkan perlawanan hebat bangsa Manchuria dan China, telah membuat Jepang melakukan beberapa penetrasi dan pendekatan pada pemimpin pribumi agar rela menjadikan Indonesia sebagai basis kekuatan mereka di Asia Pasifik dengan slogan “Kemakmuran Bersama Asia Raya”. Kebijakan pertamanya adalah dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda.

DIMëNSI

Selanjutnya Jepang juga mengintregrasikan sistem pendidikan, dalam arti kata menghapus eksklusifitas pendidikan kaum priyayi sekaligus mencabut biaya pendidikan dasar (Kokumin Gakko/ Sekolah Rakyat) bagi penduduk nonpriyayi. Tujuannya tak lain adalah untuk

menyediakan pembantu-pembantu administratif. Sekolah Rakyat ini mempunyai lama studi 6 tahun (berbeda dengan HIS yang hanya 5 tahun). Sekolah lanjutan terdiri dari Shoto Chu Gakko (setaraf SMP) dan Koto Chu Gakko (setaraf SMA) dan sekolah kejuruan di bidang pertukangan, pelayaran, pertanian dan teknik. Kebijakan-kebijakan ini kemudian terbukti telah menumbuhkan rasa Nasionalisme-praktis kaum pribumi. Jepang, karena ketakutannya akan paham Indonesia Raya, akhirnya kembali juga pada srategi Nipponize dengan melakukan pelatihan pada guru-guru yang mengajar. Pelatihan tersebut mencakup: Indoktrinasi Hakko Ichiu tentang ideology Fasisme Asia, Nippon Seisyin tentang kemiliteran Jepang, adat istiadat Jepang, dan ilmu Geopolitik. Tak cukup disitu, Jepang juga mengharuskan setiap siswa untuk menyayikan lagu kebangsaan Jepang (kimigayo), mengibarkan bendera Jepang, melakukan senam Jepang, menghormati kaisar Jepang (Tenno Heika) dan

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

mengucapkan sumpah setia untuk citacita Asia Raya. Inti dari seluruh doktrin di era ini adalah “Indonesia sebagai bagian dari cita-cita kemakmuran Asia Raya dengan Jepang sebagai pemimpinnya”. Sejarah pendidikan era kolonial, baik Belanda maupun Jepang, telah memperlihatkan pada kita bahwa sistem pendidikan formal sudah mulai dupakai oleh pemerintah berkuasa untuk menundukkan rakyat yang dikuasai, baik lewat nilai ekonomis (biaya sekolah yang tinggi) maupun nilai politis (pendidikan kepatuhan). Namun di balik itu, represifitas dalam pendidikan juga telah terbukti menimbulkan perlawanan dari rakyat yang dikuasai yang berakhir dengan kemerdekaan. Era Kemerdekaan: Menata Pendidikan Nasional Kemerdekaan nasional Indonesia sejatinya dimulai dengan diletakkannya konstitusi sebagai pedoman dasar untuk melaksanakan kemerdekaan tersebut. Konstitusi kemerdekaan kita, UUD 45, telah menjadi pedoman yang nyaris sempurna. Dalam konstitusi ini disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Dalam kondisi pasca perang yang carut marut, Indonesia pada saat itu berhasil meningkatkan dua kali lipat angka pertisipasi sekolah dengan menggratiskan SR/SD, membuka pendidikan untuk semua kalangan, memberantas buta huruf dan mendirikan beberapa perguruan-perguruan tinggi negeri. Yang paling mendasar dalam pedoman pendidikan era kemerdekaan adalah mengubah paham individualisme menjadi paham perikemanusiaan yang tinggi. Disisi lain, metodologi pendidikan juga sudah banyak mengadopsi metodologi dialogis-demokratis. Hal ini terlebih didukung dengan perkembangan demokrasi di luar pendidikan. Bahkan dalam Kepres RI no.145 tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem pendidikan nasional pancasila disebutkan bahwa “tujuan pendidikan nasional kita Halaman

31


Swara baik diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun swasta, dari pendidikan Pra-sekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil yang berjiwa pancasila yaitu: Ketuhanan yang Maha Esa, Peri-kemanusiaan yang adil dan beradab, kebangsaan, Kerakyatan, Keadilan sosial. Hal tersebut ternyata bertentangan dengan para Neo-kolonialisme yang menginginkan Indonesia beserta pendidikannya menjadi antek ekonomi mereka. Dengan sumber daya alam Indonesia yang melimpah, mereka berhasrat untuk menjajah lagi Indonesia dengan cara-cara yang baru. Kenyataan bahwa pendidikan Indonesia pernah berpedoman pada Sosialisme jarang terangkat ke permukaan. Konspirasi yang sering disebut dengan kudeta merangkak� akhirnya berhasil menumbangkan Orde Lama. Era Soeharto Sebagai Era Manusia Robot Sangat rumit mendefinisikan sistem pendidikan zaman Soeharto. Hal ini terutama dikarenakan paradigma ganda yang diterapkan pada sistem pendidikan. Di satu sisi pemerintah ingin meniru sistem pendidikan ala barat yang liberal, di sisi lain mempergunakannya untuk kepentingan kekuasaan Yang terlihat jelas dalam masa-masa pemerintahannya adalah bagaimana Soeharto menggunakan pendidikan untuk indoktrinasi pancasila secara berlebihan. Semua kurikulum, baik untuk peserta didik maupun untuk tenaga didik selalu terselip materi P4. Penanaman yang berlebihan ini sebenarnya disengaja untuk menyebarkan di masyarakat bahwa pancasila adalah dasar Negara, sehingga apapun yang dijalankan pemerintah pastilah berdasar pada pancasila, dan siapa yang membangkang berarti melanggar pancasila. Apalagi penanaman ini disengaja tidak disertai dengan uraian praktis dari sila ke-5 tentang keadilan sosial. Ditambah lagi paham meng-

agung-agungkan militer yang dikembangkan dalam mata pelajaran seperti PSPB. Bukankah kita teringat dengan pola yang dilakukan Jepang dengan slogan Asia Raya-nya? Pendidikan zaman Soeharto seyogjanya adalah pendidikan yang memiliki unsur fasis yang digabungkan dengan nilai Feodal Jawa. Setiap peserta didik, atas nama pancasila dan UUD 45, diharuskan untuk selalu patuh pada Negara. Fondasi yang demikian menjadikan pendidikan Indonesia era Soeharto sangatlah otoriteristik. Selain itu zaman Soeharto juga telah memulai komersialisasi pendidikan lewat bisnis-bisnis buklu, seragam dan alat tulis yang dikelola oleh orang dalam. Setiap tahunnya buku diganti cetakan. Ada lagi CBSA atau sering disebut dengan kurikulum link and match yang setiap 34 bulannya habis dan harus beli lagi. Era Reformasi: Liberalisasi Besarbesaran Zaman Reformasi telah menyediakan ruang yang luas untuk komersialisasi pendidikan. Komersialisasi di era ini tercermin dari semakin banyaknya bisnis yang melingkupi dunia pendidikan, dan mulai terimplementasinya niat buruk pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya pada dinia pendidikan. PP tentang BHMN misalnya, telah nyatanyata menswastakan pendidikan negeri. Walau dinilai beberapa kalangan cacat hukum karena belum ada UU yang m endasarinya (masih dalam bentuk RUU BHP, sedangkan UU No.20), namun beberapa perguruan tinggi negeri telah sah dan meyakinkan statusnya: UI, UGM, dll. Di era ini hanya ada dua kampanye yang terus-menerus dilakukan pemerintah. Yang pertama kampanye tentang mahalnya pendidikan, dan yang kedua kampanye tentang ketidaksanggupan pemerintah dalam memberikan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat UUD, yakni 20% dari APBN. Tak heran, meski program BOS berjalan, namun rata-rata angka pertisipasi sekolah SD sampai SMA masih berkisar 40% dari penduduk usia sekolah. Tidak cukup sampai disitu. Zaman ini

juga semakin memarakkan keberadaan lembaga-lambaga asing yang ingin mendulang rezeki dari slogan-slogan sertifikat internasional. Sedangkan disisi lain kebobrokan metode-metode pendidikan militeristik Orde Baru juga masih bertahan dalam beragam lembaga pendidikan profesi. Lintasan sejarah pendidikan Indonesia telah mengajarkan pada kita tentang beberapa hal: Pertama, bahwa sistem pendidikan tidak dapat terlepas dari sistem politik yang menaunginya. Masuknya kekuasaan mau tidak mau akan merubah juga sistem pendidikan. Kedua, bahwa diskriminasi pendidikan yang terjadi pada zaman kolonial juga terjadi sampai hari ini. Kalau dulu dilakukan dengan cara langsung, sekarang dengan cara tidak langsung, yakni dengan menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditas yang diperdagangkan sehingga rakyat miskin tidak dapat mengaksesnya. Kalaupun dapat, pastilah pendidikan yang tidak berkualitas. Ketiga, bahwa ketidak berkualitasan pendidikan sebagaimana disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah dalam hal anggaran pendidikan. Dan sebagiannya lagi disebabkan oleh keinginan politik penguasa yang menginginkan adanya golongangolongan tak berpendidikan agar dapat digunakan untuk kepentingankepentingan kekuasaan seperti halnya pendidikan politik ethis dan zaman Jepang. Keempat, bahwa kurikulum dan metode-metode pendidikan dengan nilainilai militeristik tidak dapat membawa peningkatan sumber daya manusia secara menyeluruh, seperti halnya zaman Soeharto Kelima, bahwa sistem pendidikan Indonesia dari dulu sampai sekarang terbukti tidak mampu mengeluarkan rakyat dari kemiskinan dan tidak berdaya mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia; masyarakat adil dan makmur. *) Adalah Mahasiswa Program studi Tadris Bahasa Ingris (TBI/VII) STAIN Tulungagung

Halaman

32

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Swara Menghar a eadilan Menghara Keadilan Menghar ap pK K eadilan Menghara Keadilan yyang ang (masih) (masih) Utopis Utopis Oleh : Imron Ahmad Hidayat *)

“Ketidakadilan adalah bentuk dasar dari kekerasan” Dom Helder Camara Sebelum Negara Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia berada dalam belenggu penjajahan asing bangsa Eropa dan bayang-bayang hukum buatan mereka, yaitu sebuah hukum yang harus dipatuhi dan ditaati tanpa terkecuali, dengan ketentuan bahwa hukum tersebut mengikat dan tidak bisa dilawan. Keberlangsungan hukum yang seperti ini sudah dilakukan dan diterima begitu saja oleh rakyat pribumi. Akibatnya, rakyat sudah terbiasa dengan kebijaksanaan yang tidak memihak kepada mereka, sebuah keadaan dimana rakyat pribumi selalu dalam keadaan tertindas. Kemudian, sejak Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, akhirnya rakyat Indonesia bisa bernafas lega merayakan kemerdekaan, sehingga bisa keluar dari belenggu penjajah pada saat itu, akan tetapi permasalah baru pun muncul, yaitu menata sebuah Negara yang baru dan melakukan banyak pembenahan di berbagai bidang atau aspek, demi kemakmuran rakyat dan penegakan hukum negeri yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai langkah awal yang pertama kali dilakukan oleh Soekarno selaku kepala Negara pada saat itu adalah menentukan dasar Negara dan merumuskan konstitusi atau UUD 1945 dibawah panitia yang beranggotakan sembilan orang. Dari sinilah istilah politik-hukum di Indonesia mulai terkenal dan berjalan. Karena tanpa

DIMëNSI

suatu politik-hukum yang kuat atau undang-undang yang dilaksanakan, Negara tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa, ibarat makanan yang terasa hambar karena tidak ada bumbunya. Begitu pula sebaliknya, politik tanpa sebuah hukum akan menimbulkan pelanggaran dan kesewenang-wenangan tanpa tiada yang bisa menghentikannya. Namun, rakyat Indonesia menganggap hal ini sebagai hal yang biasa dan wajar dan hanya bisa pasrah. Sedangkan di sisi lain, pemerintah yang ada selalu identik dengan kepentingan, persengkokolan demi kekuasaan dan uang, hingga pada akhirnya pemerintah hari ini tidak bisa menjalankan sistim demokrasi (yang sampai saat ini masih kita pakai). Ini sama halnya kita berada dalam masa penjajahan oleh bangsa Eropa dahulu. Jika sudah begini, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik dan sampai saat ini sulit untuk ditemukan jawabannya, sebuah pertanyaan tentang relevan tidaknya keadilan dan demokrasi yang ada. Hal ini mengaca pada kondisi saat ini yang sepertinya memang tidak memihak pada rakyat. Ambil contoh pemerataan pendidikan, dahulu pendidikan hanya diperuntukkan kepada bangsa Eropa dan golongan ningrat saja, tanpa memperdulikan kondisi rakyat pribumi. Fenomena ketidakadilan ini ternyata masih mengaka hingga saat ini, padahal salah satu nilai dasar hukum adalah keadilan bagi seluruh warga Negara, tanpa pandang siapa yang berhadapan dengan hukum dan siapa pula yang akan dilindungi oleh hukum tersebut.

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Sebenarnya sederhana, hanya ada dua jawaban dari pertanyaan relevan atau tidaknya demokrasi dan keadilan itu, yaitu “ya” atau “tidak”. Menjadi adil, ketika dijawab oleh orang-orang yang syarat akan sebuah kepentingan atas itu, dan menjadi tidak adil ketika dijawab oleh orang-orang yang masih merasakan kesengsaraan. Namun, bila berkaca pada kondisi bangsa hari ini, ketidakadilan menjadi begitu biasa terjadi di kalangan penegak hukum, karena hal itu demi mempertahankan sebuah kekuasaan atau rezim. Jawabannya memang benar, bahwa hukum selalu identik dengan ketidakadilan dan kekuasaan, siapa yang mempunyai kebijakan dialah yang menang karena dengan kekuatan politik yang diperkuat oleh hukum dan melebur dengan UUD 1945. hal ini juga dikarenakan mereka yang selalu ditumpangi dengan kepentingankepentingan yang tidak bertanggung jawab dan dari sinilah mulai hilangnya kepercayaan rakyat terkait dengan kemerdekaan, yang dahulunya mereka jadikan sebagai satu acuan bahwa mereka sudah terbebaskan dari penindasan serta ketidakadilan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya bangsa Indonesia, seorang penguasa harus belajar banyak terkait politik yang disorientasi dengan fungsi dan tujuannya, kekuasaan yang merupakan salah satu fungsi dan tujuan politik yang sebenarnya tidak perlu ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan kelompok dan golongan, agar apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerinah kepada rakyat dan Halaman

33


Swara kebijakan yang seharusnya berpihak kepada rakyat pula, sehingga hukum yang sudah ada bisa berjalan sesuai dengan prosedurnya dan orientasinya pun jelas. Dengan legitimasi hukum, presiden Soekarno dahulu pernah memproklamasikan dirinya untuk menjadi presiden seumur hidupnya dengan payung hukum pula, presiden Soeharto bisa mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun juga, bahkan dengan payung hukum seorang penguasa bisa mempertahankan diri dan terhindar dari semua kesalahan dan kejahatan yang pernah dilakukannya, dan ini berakibat pada konsep hukum hari ini karena secara tidak langsung kita menjalani sesuatu yang sudah dijalani oleh orang sebelum kita, terkait dengan kebijakan hukum itu sendiri sebenarnya dimana letak keadilannya. Pasca reformasi 1998 banyak orang merasa optimis bahwa supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia akan dapat ditegakkan, namun selama ini keadilan yang ditawarkan sebagai akibat dari supremasi hukum, hanya ada dalam wacanawacana y a n g selama ini

ditemukan dalam buku-buku, namun kenyataanya hukum selalu tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil, dan hukum selalu berpihak kepada penguasa rezim dan pemilik modal saja. Paska reformasi 1998, bangsa Indonesia justru mengalami krisis moneter yang melanda seluruh Negara yang ada di seluruh dunia ini. Banyak pemimpin Indonesia mengemban citacita reformasi, akan tetapi kebijakan yang dijalankan tidak mampu membawa kepada kesejahteraan rakyat. Mereka selalu mengedepankan kesejahteraan terhadap penguasa dan pemilik modal. Dengan demikian secara otomatis supremasi hukum memang harus ditegakkan, hal ini dapat dilakuakn dengan pembenahan struktur hukum mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Bahkan masih hangat dalam ingatan kita program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah SBY, yang hanya berlangsung seratus hari saja. Akan tetapi, program pemberantasan itupun juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan, karena yang dapat diusut pemertintah hanyala tindak pidana korupsi yang tidak melibatkan banyak uang, atau dalam artian pemerintah kurang berhasil atau bisa dikatakan gagal. Hal ini semakin membuktikan lemahnya hukum Indonesia yang hanya memihak kepada para penguasa dan pemilik modal, dimana mereka

adalah pemeran tunggal pembuat kebijakan. Dengan kebijakan yang mereka buat, mereka dengan mudahnya dapat menaburkan secara leluasa kesewenang-wenangan mereka. Karena hukum ada dalam genggaman mereka. Keadaan yang semacam ini diperparah dengan aparat penegak hukum kita yang tidak konsisten terhadap tugas dan tanggung jawab mereka. Hal ini terbukti dengan adanya banyak penyelewengan di tubuh para aparat penegak hukum itu sendiri. Mulai dari lembaga Kepolisian, lembaga Pengadilan, Kejaksaan bahkan Mahkamah Agung pun juga terjerembab pada permasalahan yang sama, konflik mereka pun tidak jauh beda dengan para pelanggar hukum. Kebanyakan dari mereka mau menerima begiu saja iming-iming uang yang dijanjikan oleh penguasa dan pemiik modal tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka korban dari hiruk pikuk perpolitikan yang ada di Indonesia dan tidak berfungsinya keadilan serta kebijakan hukum yang ada, yang pada akhirnya banyak orang melakukan hal yang sama karena secara tidak langsung mereka mengetahui jalan keluarnya ketika mereka terjebak hal yang sama. Sungguh ironis ketika mereka sendiri yang dahulunya meneriakkan reformasi, akan tetapi pada akhirnya mereka sendiri pula yang menghianatinya, hal ini tentunya tidak akan terjadi jika ada supremasi hukum dan mimbar demokrasi yang lebih terbuka. Karena dengan begitu, hukum tidak akan bisa dijadikan legitimasi untuk memperkuat kekuasaan. Sebuah keterbukaan mimbar demokrasi ini adalah sebagai harapan adanya keadilan. Ini diawali dari sebuah keterbukaan tatanan masyarakat terkait dengan pemahaman sebuah hukum. Kesadaran hukum ini menjadi sangat penting untuk merubah keadaan rakyat yang masih dalam penindasan dan ketidakadilan. Kita boleh saja berimajinasi untuk menjadikan sesuatu itu lebih baik, akan tetapi janganlah sekali-kali kita belajar akhlaq dari orang yang tidak berakhlaq. *) Adalah mahasiswa prodi Muamalah (MU/ VIII) STAIN Tulungagung

Halaman

34

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Swara Kipr Kiprah ah P Politik olitik K Kyyai ai Hari Hari Ini Ini Oleh: Halim Miftah al-Khoiri *)

Tradisi pesantren selain sebagai basis kultural juga merupakan mediator antara kepentingan partai politik dan para pendukungnya. Dalam hal ini posisi politik kyai pesantren menjadi signifikan untuk diperebutkan partai politik dalam rangka memperoleh dukungan suara. Pola hubungan kekerabatan yang dibangun kyai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif. Sehingga tradisi pesantren berkembang menjadi sistem sosial yang memiliki pengaruh kepada rakyat luas. Pengaruh tersebut bukan hanya pada masalah sosial keagamaan, namun juga berkembang pada persoalan ekonomi dan politik. Indonesia adalah Negara yang dominan dengan masyarakat muslim dan merupakan Negara dengan populasi muslim yang terbesar di dunia. Kendati demikian, Indonesia bukan Negara Islam (secara ideologi). Dalam kaitannya dengan masyarakat, ulama’ atau kyai adalah tokoh yang cukup memberikan banyak pengaruh. Masyarakat menjadikan ulama’ sebagai referensi utama dalam banyak masalah sosial yang mereka hadapi. Hubungan antara kyai dan masyarakat diatur oleh norma-norma yang diambil dari pemahaman mereka tentang Islam, perubahanperubahan dalam hubungan mereka tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada tingkat masyarakat yang lebih luas, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dan norma-norma yang ada. Dalam kancah perpolitikan, cukup banyak ulama’ yang terlibat. Dalam pembangunan Negara, sejak masa penjajahan hingga saat ini nama ulama’ pun tidak pernah absen. Yang paling dominan di antara mereka adalah NU dan Muhammadiyah. Namun perlu ditegaskan bahwa pergulatan ulama’ NU lebih dominan dalam berpolitik dari pada Muhammadiyah.

DIMëNSI

Ditinjau dari sejarah, bisa dikatakan bahwa ulama’ sebagai tokoh agama di Indonesia dengan membawa nama organisasinya dalam berpolitik adalah dalam rangka mempertahankan ideologi organisasi yang mereka anut agar tetap eksis dalam suatu Negara. Kendati pun masing-masing dari NU dan Muhammadiyah pernah berikrar untuk kembali ke khittah namun mereka tetap tidak bisa mengelakkan diri dari partai politik. Pasca runtuhnya kekuasaan orde baru, situasi politik di Indonesia berubah. Perubahan tersebut bukan hanya pada tingkat institusi politik. Partai politik yang semula terbatas hanya tiga (Golkar, PPP, PDI) juga mengalami perubahan menjadi sistem multi partai. Hal demikian adalah konsekuensi perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi yang berpusat pada basis otonomi daerah. Salah satu fakta politik yang turut ambil bagian dalam momentum perubahan ini adalah keberadaan organisasi NU dan kyai pesantren. Keterlibatan NU dan sebagian ulama’ pesantren dalam deklarasi PKB membuktikan kelompok kepentingan ini menaruh perhatian terhadap nasib Indonesia yang sedang mengalami

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

reformasi menuju demokrasi. Namun secara formal kebijakan NU tersebut bertentangan dengan hasil muktamar NU di Situbondo yang menegaskan agar NU kembali ke khittah 1926. perhatian NU pada politik telah menepikan kerja-kerja intelektual dan kerja-kerja pemberdayaan. Energi NU yang sejatinya dikonsentrasikan pada kerja-kerja terkuras habis untuk kepentingan politik praktis. Untuk kembali ke khittah 26 merupakan upaya sadar untuk mengembalikan komitmen NU untuk tugas-tugas penberdayaan tersebut. Kesibukan NU kepada kepentingan politik praktis tidak memberikan efek positif bagi pengembangan sumber daya NU. Langkah NU merespon perubahan politik sampai daratan praktis ternyata membawa konsekuensi lahirnya perdebatan tentang posisi khittah 1926 dan garis perjuangan politik. Perpolitikan yang meliibatkan organisasi NU dan kyai pesantren merupakan konfigurasi baru dalam sejarah perjalanan politik NU pasca keputusan kembali ke khittah 1926. Sikap tegas organisasi NU menjadi organisasi independen dengan menarik garis secara tegas antara perjuangan keumatan dan politik praktis, pelarangan rangkap jabatan, Halaman

35


Swara dan kebebasan warga NU dalam memilih partai menjadi pudar setelah NU dan sejumlah kyai pesantren ikut pendeklarasian PKB. Kebijakan sosial politik NU yang juga dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid yang sekaligus salah satu tokoh penggerak keputusan kembali ke khittah 1926, sedikit banyak menyisakan persoalan tersendiri di tingkat internal NU. Karena di satu sisi keterlibatan warga NU dalam politik merupakan suatu kebutuhan, tapi di sisi lain tindakan yang diambil Gus Dur bersifat kontra produktif dengan garis perjuangan NU yang sudah ditentukan dalam keputusan kembali ke khittah 1926. Problem yang muncul pasca pendeklarasian partai politik berbasis massa NU (PKB, PNU dan PKU) yang melibatkan kyai pesantren dan organisasi NU masih terdapat persoalan jika dikaitkan dengan ketentuan yuridis internal NU selama ketentuan keputusan kembali ke khittah 1926 belum diamandemen. Karena NU memiliki dasar hukum dalam menentukan garis perjuangan dan garis politik, maka sikap politik NU “memfasilitasi� pendeklarasian dan fatwa politik untuk PKB tetap masuk dalam wilayah kontroversi yang muaranya adalah berpangkal pada persoalan khittah sebagai pijakan independensi organisasi yang belum tuntas dipahami oleh warga NU. Dari sisi yuridis, karena sikap NU adalah memposisikan diri sebagai organisasi keagamaan dengan orientasi kegiatannya di bidang agama, sosial, pendidikan, dakwah dan non politis, namun kebesaran NU memiliki nilai yang sa-ngat tinggi, sehingga pengaruhnya digunakan untuk menopang perpolitikan warga NU. Posisi dan sikap politik NU tersebut dengan mudah dapat dilihat dari keluarnya fatwa politik yang mengarahkan warga NU untuk mendukung dan memilih PKB. Dalam konteks ini, perhatian kepada posisi politik kyai pesantren juga menjadi penting. Interaksi antara NU, kyai pesantren dan sikap politik warga NU merupakan satu kesatuan

yang tak terpisahkan. Selain oleh nilainilai perjuangan berdimensi teologis. Hubungan ketiganya juga diikat oleh nilai kultural, sosial dan politik. Dinamika sosial-politik kyai pesantren memainkan peranan penting dalam sejarah pejalanan NU baik ketika NU menjadi organisasi keagamaan, menjadi partai politik maupun berposisi semi independen erat PKB. Meski sikap dan irama politik kyai pesantren tidak banyak mengalami perubahan, tapi tetap saja menjadi elemen kunci dan berada pada posisi strategis dalam perpolitikan nasional dari sayap NU. Argumentasi posisi strategis kyai pesantren tersebut dapat dicermatidari realitas sosial dalam tradisi NU. Perjuangan penting NU di bidang sosial keagamaan, pendidikan, pengembangan masyarakat dan bidang politik sebagian besar berada di tangan kyai pesantren. Sehingga memisahkan peran NU dan kyai pesantren sangat sulit, keduanya memiliki hubungan sosial dan kultural yang sangat kuat. Karena keberadaan kyai pesantren dengan kekayaan tradisi dan jaringan sosialnya merupakan pilar penting dan telah memberi kontribusi bagi per-kembangan NU. Tradisi pesantren selain sebagai basis kultural juga merupakan mediator antara kepentingan partai politik dan para pendukungnya. Dalam hal ini posisi politik kyai pesantren menjadi signifikan untuk diperebutkan partai politik dalam rangka memperoleh dukungan suara. Pola hubungan kekerabatan yang dibangun kyai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif. Sehingga tradisi pesantren berkembang menjadi sistem sosial yang memiliki pengaruh kepada rakyat luas. Pengaruh tersebut bukan hanya pada masalah sosial keagamaan, namun juga berkembang pada persoalan ekonomi dan politik. Pengaruh kuat dalam tradisi pesantren dalam bidang sosial politik dapat dicermati dari besarnya perolehan suara partai NU dalam pemilu 1995, pemilu 1971 dan perolehan suara partai PKB pada

tahun 1999. Perolehan suara partai sayap NU pada peringkat lima tersebut merupakan fakta politik yang tak terbantahkan adanya kekuatan jaringan sosial kyai pesantren dan organisasi NU. Dukungan sosial bagi partai politik sayap NU masih sangat tergantung dengan tradisi politik yang dipengaruhi oleh kebijakan politik organisasi NU. Dalam kaitannya dengan ini, sikap politik kyai pesantren merupakan bagian penting dari sikap politik NU, tidak saja menjadi representasi institusi pesantrennya melainkan juga menjadi representasi umat yang mendukungnya yang sangat fanatik, sehingga sikap politik kyai pesantren diikuti pula oleh sikap politik para pendukungnya. Sikap politik yang diambil organisasi NU dengan tidak terlibat dalam politik praktis dan fakta bahwa NU terlibat dalam pendeklarasian PKB sebagai partai politik warga NU adalah dua hal yang jelas kontradiktif. Namun demikian, hal tersebut bukanlah kelengahan ulama dalam menjaga amanah khittah 1926, karena melalui politik-pun ulama bisa melaksanakan dakwah kepada masyarakat dakwah kepada masyarakat; dakwah yang merupakan upaya organisasi NU dalam mewujudkan visi dan misinya. Sangat sulit rasanya membedakan antara politik yang diperankan NU secara organisasi dan kyai pesantren. Meskipun keduanya institusi yang berdiri sendiri, tapi secara politis keduanya memiliki hubungan timbale balik, artinya perpolitikan warga NU banyak dipengaruhi kyai pesantren dan sikap politik kyai pesantren juga sering dipengaruhi kebijakan NU. Dan itulah NU sebagai organisasi keagamaan dari waktu ke waktu turut ambil bagian dalam perpolitikan nasional, sehingga keberadaannya menjadi fakta politik yang diapresiasi sepanjang waktu.

*) Adalah Mahasiswa Tafsir Hadis (TH/II) STAIN Tulungagung

Halaman

36

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Budaya Lisan Mulai (meng-) Hilang? “Masyarakat kene podo koyo critane Joko Bodho (Joko Budeg) sing mbudeki, dipanggil ibune gak nyauri. (Masyarakat sini sama seperti kisahnya Joko Budeg, yang pura-pura tidak mendengar ketika dipanggil ibunya; Red)”, ujar Sutrimo. Rintik gerimis sore itu menyisakan air comberan di sekitar jalan setapak menuju dukuh Kendit, desa Tanggung, kec Boyolangu Tulungagung. Mulai masuk ke dukuh Kendit udara dingin pun datang menyambut dan menyertai perjalanan kami. Di sekelilingnya, lurus membentang luas sawah-sawah yang menghijau. Kami melaju pelan-pelan melewati jalan lurus dan sesekali berbelok menuju tempat yang kami cari. Dari jalan yang masih berbatuan tak beraspal, di ujung selatan jalan menuju gunung budeg, terlihat pemandangan alam nan hijau yang masih sangat alami. Setelah bertanya sana-sini, sekitar pukul 05.00 sore

dengan diiringi awan putih yang nampak sedikit mendung, akhirnya kami menemukan tempat yang dituju. Sebuah rumah sederhana, tempat tinggal juru kunci gunung Budeg yang letaknya berada persis di bawah lereng gunung Budeg. Setelah agak lama menunggu sang juru kunci, akhirnya mengalirlah cerita mengenai Joko Budeg, yang ternyata berkaitan dengan sejarah lahirnya kota Tulungagung. Joko Budeg; Antara Mitos dan Sejarah Ada yang berpendapat berbeda tentang kisah Joko Budeg. Karena memang tidak ada yang pasti dari penilisikan sejarah tentang cerita-cerita yang berkembang di masyarakat. Apalagi tentang kisah yang berkembang tentang Joko Budeg ini. Dikutip dari buku Babad Tulungagung dan wawancara dari juru kunci gunung Budeg, kisahnya adalah pada sekitar

Sebuah batu yang dianggap sebagai penjelmaan Joko Budeg

DIMëNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Dok. Arsip Tulungagung

abad ke-13 telah tinggal di Tulungagung seorang yang konon sakti, bernama kyai Patjet yang memiliki sebuah perguruan di dukuh Bonorowo dekat daerah Campurdarat. Di perguruan miliknya, Kyai Patjet memiliki muridmurid pilihan dari berbagai daerah. Di antaranya adalah Pangeran Kalang dari Tanggulangin, pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak, Menaksopal dari Kadipaten Trenggalek, Kyai Kasan Besari, Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang, Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono dan pangeran Lembu Peteng putra Majapahit. Kemudian berangkat dari keinginan Kasan Besari untuk mendirikan perguruan baru dan tidak direstui oleh gurunya, maka terjadilah pertarungan yang dahsyat yang melibatkan muridmurid Kyai Patjet. Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem yang diutus untuk menasehati Kasan Besari untuk kembali ke padepokan lamanya berbalik mendukung Kasan Besari untuk membunuh Kyai Patjet. Roro Kembang Sore adalah putri dari pangeran Bedalem yang disenangi oleh Pangeran Lembu Peteng. Tetapi ketika bertarung dengan kyai Besari, Lembu Peteng terbunuh dan jenazahnya dibuang ke dalam sungai yang sampai sekarang sungai tersebut dinamakan kali ‘lembu peteng’. Dan ketika pangeran Lembu peteng berperang melawan kyai Besari itulah, maka Roro Kembang Sore dapat meloloskan diri dan terus lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang kepada seorang janda bernama mbok Rondo Dadapan yang mempunyai anak laki-laki bernama Djoko Bodo. Lama kelamaan Djoko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Halaman

37


Roro Kembang Sore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembang Sore. Oleh karena Djoko Bodo selalu mendesak, maka pada suatu hari ketika mbok Rondo sedang bepergian, Roro Kembang Sore mengajukan permintaan bersedia dikawini asalkan mau menjalani topo mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Djoko Bodo menerima permintaan tadi dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mbok Rondo Dadapan. Roro Kembang sore juga pergi menuju gunung Tjilik. Maka ketika mbok Rondo pulang dari bepergian, ia merasa terkejut karena rumah kelihatan sepi. Ia pergi kesana kemari dan memanggilmanggil kedua anak tersebut tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukan Djoko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulangkali tidak mau menjawab, karena jengkelnya mbok Rondo lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng wae koyo watu”. Seketika itu juga kena sabda mbok Rondo, Djoko Bodo berubah jadi batu. Mbok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap, besok kalau ada ramainya zaman gunung ini beri saja nama “gunung Budeg”.1 Selain ceritera yang berkembang seperti itu, ada versi lain tentang Joko budeg tersebut. Yang mengatakan

bahwa Joko budeg atau gunung budeg hanyalah sebuah ceritera yang berkembang di masyarakat dan mungkin bisa dikenal sebagai mitos saja. Seperti yang diungkapkan oleh Agus Utomo. Lebih jauh Agus menerangkan bahwa yang berkembang tentang gunung budeg seharusnya adalah tentang peninggalan Hindu yang ada di goa Tritis. Menurutnya, goa Tritis itu adalah tempat di mana pada zaman dahulu orang-orang Hindu melaksanakan ibadah. Dari dua versi tersebut, joko budeg atau gunung budeg menjadi sebuah ceritera yang mempunyai tempat sendiri di hati masyarakat lokal Tulungagung. Masyarakat dan klenik Terlepas dari kebenaran data sejarah atau ceritera yang berkembang di masyarakat tentang joko budeg atau gunung budeg, kepercayaan terhadap tempat-tempat bersejarah (atau yang dianggap punya kekuatan yang mengandung mistis) yang dipercayai akan dapat memberikan kesejahteraan mengundang para pengunjung untuk melakukan kunjungan dan ritual ke tempat-tempat bersejarah yang diyakininya. Tak terkecuali di daerah Tulungagung yang kita kenal diantaranya adalah gunung Budeg dan makam Roro Kembang Sore. Kepercayaan yang telah mendarah daging sejak dulu menjadikan

Peninggalan Hindu yang ada di goa Tritis

Dok. Arsip Tulungagung

pengunjung ataupun masyarakat sekitar untuk nyekar dan mempercayai gunung Budeg dan Nyai Roro Kembang Sore semakin hari semakin bertambah. Tak terkecuali para elit politik yang mau mencalonkan diri menjelang musim Pemilihan Umum (pemilu), calon Legislatif (caleg), tempat itu menjadi tujuan mereka untuk memperlancar jalannya. Karena, sebuah kepentingan kekuasaan pun tak lepas dari salah satu dari permohonan mereka. “Sing akeh teko rene yo wong sing golek pesugihan karo wong arep ngundakne pangkat, (Kebanyakan yang datang kesini adalah mereka yang mempunyai tujuan untuk mencari kekayaan dan menaikkan pangkat; Red)”, ujar Sutrimo, juru kunci gunung Budeg. Mereka yang datang kesini tidak berniat untuk mengenal cerita daerahnya tetapi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Maka ketika sejarah telah beralih fungsi dan mulai hilang, yang terjadi hanyalah memicu tindakan dengan kepentingan pribadi untuk meraup kekuasaan. Sama halnya dengan cerita dan tempat sejarah Joko Budeg, cerita Nyai Roro Kembang Sore ( tokoh yang sangat berkaitan dalam cerita Joko Budeg ) pun tak dikenal masyarakat/ pengunjung makam Roro Kembang Sore. Kembang Sore tidak pernah menikah, namun selamanya bertapa di gunung Tjilik (sekarang: Bolo) dan mengubah nama menjadi Resi Winadi sampai menghembuskan nafas terakhirnya. Dan selanjutnya makam tersebut menjadi tempat pesadranan dan masih ramai dikunjungi orang sampai saat ini. Makam yang berada di puncak gunung Bolo itu masih terlihat bersih dan rapi. Makam yang hampir mirip sebuah rumah kecil itulah merupakan makam dan tempat petilasan Roro Kembang Sore yang sampai sekarang masih dipercayai memberikan berkah atau pengasihan. Sebatang pohon kepuh berdiri tegak tepat di sebelah selatan makam. Rindangnya pepohonan di sekitar makam menambah sejuknya udara walau sekilas terlihat agak berbau mistis. Di Makam Roro Kembang Sore sampai sekarang pun pengunjung masih

Halaman

38

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


banyak yang berdatangan baik dengan tujuan ziarah maupun untuk mengadakan ritual semacam nyekar atau tumpengan, tetapi umumnya kebanyakan dari mereka adalah untuk mendapatkan pangestu memperlancar usahanya, memperoleh kesejahteraan hidup dan mencari keuntungan seperti pemborong agar segera dapat langganan, para pegawai negeri agar cepat naik pangkat. Sesuatu itu bakal terjadi kalau memang dari awalnya sudah dipercaya, sama halnya dengan kepercayaan pada keberkahan makam Roro Kembang Sore, “bancakan, digawe nyuwun keselamatan anak, keluarga, rejeki, pekerjaan seng mapan. Kepercayaan, nek dipercoyo sak estu, ya bakal hasil (selamatan, dibuat untuk meminta keselamatan anak, keluarga, rezeki dan pekerjaan yang tetap. Kepercayaan itu kalau benar-benar dipercaya maka juga akan terjadi; Red)”, terang Samini (50), yang kami temui sedang duduk di lereng gunung Bolo di bawah terik matahari yang panasnya mulai kami rasakan siang itu. Hal serupa juga dikatakan oleh Basuki (54), seorang Juru kunci makam Roro Kembang Sore yang kesehariannya tak lepas dari kehidupan sawah, “isine ten mriki namung kagem lantaran, seng nguwehi yo sing Kuwoso. Nek manteb, percoyo tenan yo insyaAllah dikabulne opo seng dadi karepe, nek kene Nyai Roro Kembang Sore cuma digawe lantaran (Di sini Roro Kembang Sore hanya sebagai perantara, yang memberi tetap Yang Maha Kuasa, Kalau percaya, insyaAllah apa yang diinginkan akan terkabulkan; Red)”, ujar bapak empat putra ini. Realita inilah yang terjadi sekarang, tempat sejarah tak berfungsi sebagaimana mestinya. Gunung Joko Budeg dan makam Roro Kembang Sore adalah sebagian dari beberapa tempat bersejarah di daerah Tulungagung yang sekarang alih fungsi, yang semestinya tempat sejarah dijadikan tempat wisata untuk mengenang sejarah terdahulu, menjaga, melestarikan, dan pemberdayaan serta sebagai refleksi kehidupan yang diperoleh dari cerita dan nilai-nilai yang terkandung dari

DIMëNSI

setiap cerita rakyat, tetapi hanya digunakan sebatas pencarian pesugihan dan pesadranan yang tak lepas dari niat pemenuhan kepentingan pribadi meraup kekuasaan. Terbukti bahwa masyarakat di Indonesia masih begitu erat dengan hal-hal yang berbau klenik, padahal terlepas dari sebuah pilihan percaya atau tidak dari klenik itu sendiri, sebuah esensi tentang cerita-cerita tentang Roro kembang Sore ataukah Joko Budeg bukanlah sesuatu yang menarik lagi untuk diikuti. Hal itu masih terlalu kalah dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan yang menyertai mereka saat menunjungi kedua makam tersebut. Terlebih lagi, masih menurut Agus, “wong ritual bercinta dengan jin itu lo masih ada di sana, misalnya kamu ingin memohon sesuatu, kamu harus ke sana dan menetap di sana berhari-hari. Keinginanmu dikatakan terwujud ketika sudah bisa bercinta dengan jin tersebut, la ini bagaimana coba?”. Katanya sambil tertawa di akhir wawancara dengan kru DIMeNSI. Tradisi Lisan yang Kian Terpinggirkan Kepedulian masyarakat Tulungagung terhadap sejarah sangat kecil. Terlihat respon masyarakat yang ada disekitar daerah yang mempunyai tempat-tempat bersejarah, ternyata mereka tidak mengetahui bagimana latar belakang tentang tempat bersejarah tersebut. Seperti cerita gunung Budeg yang termasuk warisan budaya masa lalu terkait dengan kota Tulungagung itu pun jarang sekali ada yang tahu atau bisa dikatakan hampir tidak ada. “Masyarakat kene gak enek sing paham critane gunung budeg, wong sesepuh, kepala desane gak ngerti kabeh, opo meneh bocah-bocah, malah gak peduli (Masyarakat sekitar tidak ada yang mengerti bagaimana ceritanya Gunung Budeg, Kepala desa di tempat itupun tidak mau tahu, apalagi dengan anakanak, mereka tidak peduli cerita daerahnya; Red )”, terang Sutrimo, dengan senyum kekecewaan. “Masyarakat kene podo koyo critane Joko Bodho (Joko Budeg) sing mbudeki, dipanggil ibune gak nyauri. (Masyarakat

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

sini sama seperti kisahnya Joko Budeg, yang pura-pura tidak mendengar ketika dipanggil ibunya; Red)”, masih Sutrimo. Hal senada juga diungkapkan oleh Basuki, “Menawi lare sak niki mawon bocah-bocah mungkin dereng patek ngertos budoyo, tapi nek wong tuwo yo akeh sing ngerti ceritane, koyo aku ngene yo sik ngerti (kalau pemuda sekarang mungkin tidak begitu tahu tentang budaya daerah, tapi kalau orang tua masih sedikit mengetahui, seperti saya ; Red )”. Sedang mengenai bagaimana kisah Roro Kembang sore, Joko Budeg ataupun nilai-nilai yang terkandung dalam cerita daerah tersebut jarang dipahami sebagai sebuah cerita lisan yang perlu dikenalkan kepada anakcucu agar menghargai warisan budaya dan sejarah masa lalunya, serta budaya yang tidak luntur dan asing di mata putra daerahnya. Budaya Daerah dan Sekolah Formal Peninggalan sejarah jaman dulu selayaknya tidak hanya diingat dan dikenang sebagai sebuah kebanggaan, tetapi bagaimana sejarah itu harus dilestarikan dan diteruskan kepada generasi sekarang, dijadikan refleksi untuk menatap masa depan. Sejarah pun bisa menjadi cerita lisan maupun tertulis yang dapat memberikan pelajaran bagi anak cucu karena dari belajar sejarah manusia bisa memperbaiki apa yang dilakukan sekarang dan menata masa depan. Cerita gunung Budeg, Nyai Roro Kembang sore, dan cerita-cerita daerah Tulungagung yang lain menjadi tidak lagi menarik perhatian anak karena tergeser dengan perkembangan dunia teknologi. Inilah salah satu faktor yang menjadikan generasi muda sekarang kurang mengetahui dan mengenal budaya daerah tempat kelahirannya sendiri. Salah satu alternatif untuk mengenalkan budaya daerah sendiri kepada anak muda adalah dengan memasukkan cerita rakyat dalam mata pelajaran di sekolah. Perlu pengembangan budaya lisan di dalam kelas dengan lebih bisa Halaman

39


mengalokasikan waktu untuk mendongeng atau bercerita sehingga antara guru dan siswa terjadi dialog, “jarang sekali di sekolah memberikan dongeng/kesempatan bercerita tentang daerahnya sendiri, karena memang belajar hanya mengejar target yang harus selesai dalam jangka 1 semester sedang waktu tidak mencukupi, padahal bisa saja pengembagan budaya lisan dengan memberikan cerita-cerita yang memberikan nilai moral, pendidikan. Seperti tentang kekuasaan Allah. Allah menciptakan gunung, lha... di Tulungagung ini ada gunung yang namanya gunung Budeg. Kenapa disebut gunung Budeg ini ada ceritanya panjang sekali. Disinilah kita bisa menyisipkan nilai-nilai yang ada dalam cerita”, terang Umi warga Tunggulsari yang telah mengabdi di SD Bulusari II sejak tahun 1993. Rifai salah satu mahasiswa STAIN Prodi Tadris Matematika yang juga warga asli Tulungagung pun juga merasakan mulai hilangnya budaya lisan di kalangan sekolah formal “Sebenarnya perlu sekali mengembangkan budaya lisan yang mulai hilang dengan memberikan cerita/ dongeng yang ada di daerahnya kepada siswa, tapi sekarang apa masih diajarkan seperti itu? Kalau dongeng, di TK masih sering diberikan tapi kalau tingkat SMP gak ada, dulu...pernah ada cerita dan perbincangan tentang Roro Kembang

Sore oleh guru yang mengajar di mata pelajaran bahasa daerah, tapi sekarang kayaknya tidak ada”. Terangnya saat kami temui seusai kuliah. Keinginan untuk mendengarkan cerita-cerita kedaerahan pun diungkapkan oleh Eva, “pengen mbak, sebenarnya mendengarkan cerita atau dongeng tetapi sekarang jarang sekali ada guru yang mau bercerita. Hanya sesekali dari guru bahasa Indonesia yang mau bercerita tentang binatang-binatang seperti cerita kancil dan kelinci”, ujar siswa kelas III (tiga) SDN Plosokandang 2 ini. Perkembangan teknologi yang semakin maju, seakan memang telah menggeser sebuah tradisi cerita dari mulut ke mulut sekedar untuk memberikan nasehat atau petuah baik dan buruk kepada anak sejak dini. Di sekolah formal pun, sangat jarang ditemui guru atau pendidik yang masih berkenan bercerita tentang budayabudaya seperti itu. Mereka lebih suka memanfatkan media dan alat-alat produk globalisasi untuk mengajarkan pengetahuan yang mereka ingin sampaikan. Walau, bercerita memang bukanlah sebuah keniscayaan, tapi setidaknya pengembangan tradisi lisan perlu dilakukan dalam pembelajaran di kelas yang dikemas dengan apik. Sehingga peserta didik dapat termotivasi untuk menjadi kreatif dan imajinatif.

Melalui dongeng, seorang pendidik atau orang tua dapat menanamkan pesan moral, atau norma bermasyarakat yang harus dipatuhi bersama, yang bisa tersampaikan secara menyenangkan dan tidak merasa terpaksa. Sehingga apa yang tabu (atau sering disebut sebagai kata tidak ilok) menjadi salah satu cara untuk membangun sikap toleran dan mengenal serta menghormati perbedaan yang dapat dicari dari tradisi lisan masyarakat sendiri. Ternyata realita berbicara lain, telinga anak-anak sekarang semakin asing untuk sekedar mendengar cerita-cerita rakyat dan hal-hal yang berbau sejarah kedaerahan. Semua memang telah tergantikan dengan suara bising arus globalisasi yang menyuarakan pembaruan dan kemajuan. Sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah masyarakat memang sudah semakin menjauhi asal muasalnya? Masyarakat yang lupa atau bisa dikatakan melupakan sejarahnya sendiri dapat menjauhkan diri dari refleksi atas masa lalu yang seharusnya dapat menjadikan intropeksi diri terhadap keadaan masa lalu. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat terhadap sejarahnya sendiri. /bul,ney, mey, nti/ Footnotes 1

Diambil dari buku Babad Tulungagung dan wawancara dengan Sutrimo, juru kunci gunung Budeg.

Halaman

40

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Resensi PENGOYAK LEMBAR KEHIDUPAN Judul buku Penerjemah Penulis Tebal Penerbit Cetakan

Seorang lelaki berumur empat puluh tahun, bertempat di sebuah kota kecil Petersburg wilayah Eropa, bekerja sebagai pegawai rendahan instansi pemerintahan. Sesosok manusia abad sembilan belas yang meraung- raung menorehkan setiap sesi kehidupan dengan amat detail bahkan terlalu detail. Ketika memulai membaca dan memasuki dunia si aktor, pembaca disuguhi serentetan ocehan yang membuat pembaca kesulitan bernafas. Sebuah pembuka yang dipenuhi coretan- coretan yang menjejali kepala, penuh perasaan. Sebuah karya dengan memaparkan ribuan rasa yang dialami manusia abad ke sembilan belas, yang mencoba bangkit dari rasa sepi, keterpurukan ekonomi, keterasingan, dan mencoba melawan kehendak alam yang ke semuanya menjadikannya semakin muak, benci bahkan jijik pada apapun dan siapapun bahkan pada diri sendiri. Cinta yang ia harapkan mampu menjadikannya sebagai orang yang pernah di hargai oleh orang lain, harus diakhiri dengan kepiluan yang maha dahsyat karena kesalahan yang dilakukannya sendiri. Dengan mengangan-angankan petualangan dan mengarang sebuah kehidupan ia berharap dapat merasakan bahwa ia hidup. Kekonyolan-kekonyolan yang telah ia

DIMĂŤNSI

: Catatan dari BAWAH TANAH : Asrul Sani : Fyodor Mikhailovitsy Dostoyevski : 182 hlm : Pustaka Jaya : Ketiga, Desember 2008

lakukan, maupun dilakukan oleh orang lain sering kali menjadikan ia terpuruk, mengutuki diri sendiri, dan tak lupa mengutuk semuanya. Dengan cara lain penulis mencoba menampar kemiskinan, Karena manusia memiliki sifat sombong bahkan dalam keadaan terhinapun. Namun kebencian dan sikap membalas dendam hanyalah sebuah kesia-siaan dari tingkah laku kita yang paling konyol. Dan terkonyol dari semua tingkah manusia adalah apabila ia hanya berpangku tangan menanti sesuatu yang tak ada siapapun yang mampu menjamin kedatangannya. Lampiran-lampiran imajinasi yang paling kacau, yang sombong, penuh keputusasaan, iri, penyesalan, hingga optimis menghambur mengikuti setiap jejaknya. Perubahan zaman, pergantian abad membuat berbagai kekejaman dilakukan tanpa paksaan dan dalam bentuk yang lebih esensial. Seorang manusia yang memiliki kepekaan yang maha dahsyat atas perubahan zaman, dimana manusia dengan sengaja akan jadi gila supaya dapat membebaskan diri dari akal dan dengan demikian memperoleh apa yang ia inginkan. Di mana kelebihan manusia pada era tersebut adalah kesejahteraan, kekayaan, kebebasan, dan kedamaian, yang kesemuanya dapat dihitung dengan perhitungan matematika. Seorang lelaki abad kesembilan belas yang hidup di ruang bawah pasar jerami. Dan pada usianya ke empat puluh tetap mengalami penolakan lingkungan, drama kehidupan yang terlalu riskan namun diakui kebenarannya.

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Ia mengakhiri kisah yang ia torehkan dengan nasehat-nasehat yang berangkat dari kehidupan yang tidak pernah ramah. Latar setting dipaparkan dengan mempersonifikasikan benda– benda sekitar bukan dengan gerakan tapi dengan gambaran emosi yang sedikit banyak membosankan. Karya sastra yang telah tiga kali cetak ulang ini dibagi dalam dua bab, memiliki keunikan sendiri dalam penyajiannya, bab pertama merupakan ungkapan monoton semua perasaan manusia berumur empat puluh tahun yang mengalami penolakan oleh alam. Bab selanjutnya merupakan sebuah cerita ringkas gambaran kehidupan dengan latar emosi yang datar, yang kebanyakan telah dipaparkan pada bab yang pertama. Celah antar bab adalah sebuah puisi yang menarik. Dalam masing- masing bab terdapat angka- angka yang dijadikan batasan penulis dalam mengungkapkan satu masalah dengan menuliskan masalah inti pada paragrap pertama dari setiap angka. Sebuah karya sastra yang menuturkan seorang yang egois yang tidak punya rasa hormat sama sekali pada semua manusia. Seorang yang mempunyai segudang kenangan buruk, menderita karena beribu pertimbangan dan sakit karena kebencian dan dendam. Luapan perasaan yang telah di nyatakan oleh penulis merupakan paparan lengkap rasa yang sering kali mengitari otak manusia, sehingga pembaca seakan merasakan hal yang sama dalam situasi yang sangat berbeda. Sebuah karya sastra yang aneh dan menarik. /iza/ Halaman

41


Resensi Sebuah Kisah dari Negeri yang Terserak Judul buku Penerjemah Penulis Tebal Penerbit Cetakan

: Zaman Edan : Yuliani liputo : Richard Lloyd Parry : 452 hlm : PT Serabi Ilmu Semesta : Kedua, Juli 2008

Indonesia adalah Negara kepulauan yang juga disebut Nusantara (kepulauan Antara). Negara Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau dengan jumlah penduduk 222 juta orang. Sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman, Indonesia memiliki semboyan,”Bhinneka Tunggal Ika” (diambil dari bahasa jawa kuno) yang terdiri dari kata “Bhinneka” yakni beraneka, “Tunggal” yakni satu dan “Ika” yakni jua, yang menyatakan bahwa Republik Indonesia bersatu dalam kepelbagaian. Serta memiliki Ideologi Negara yaitu “Pancasila” yang merupakan filsafah dasar Negara Indonesia yang diambil dari bahasa Sanskrit, “Panca” yang berarti lima dan “Sila” yang berarti prinsip. Pancasila adalah lima prinsip dasar bangsa Indonesia yang disusun secara “rapi” dalam suatu wadah ideologi sebagai bentuk pemersatu bangsa. Kebhinnekaan Negara, bisa dijadikan kekayaan tersendiri bagi suatu bangsa. Disisi lain, kebhinnekaan juga menjadi momok, jika tidak diimbangi dengan penghargaan dan penghormatan terhadap nilai suatu budaya. Konflik etnis, hal itulah yang mewarnai lembaran depan buku “ZAMAN EDAN” yang ditulis oleh Richard

Lloyd Parry, seorang koresponden luar negeri untuk majalah “The Times” (London) yang bermukim di Tokyo. Buku ini menguak fakta sejarah bangsa Indonesia yang nyaris tertutup-tutupi oleh serangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air, yang tersaji secara “gamblang” dalam sebuah cerita mirip novel melalui perjalanan panjang yang dilaluinya di Indonesia. Pada halaman pengantar disebutkan bahwa dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia, dia melihat adanya kesemrawutan di Jakarta yang di dominasi oleh politik. Mimpi buruk yang sering mendatanginya sewaktu di Bali, cukup memberikan gambaran tentang situasi Indonesia. Pada kunjungan yang pertama, dia telah sedikit banyak mempelajari sejarah bangsa Indonesia. Hal itulah yang membuat Richard tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang situasi di Indonesia. Pada awal bab, buku tersebut diberinya judul “musibah yang

mendekati aib; Kalimantan pada tahun 19971999”. Dia meliput dari dekat peristiwa pembantaian dan kanibalisme pada 1997 dan 1999. Di tengah-tengah keramaian pesta demokrasi, di Kalimantan barat terdengar rumor tentang pertempuran antara dua kelompok etnis, dayak dan madura. Suku dayak adalah penduduk asli Kalimantan, dikenal sebagai orang yang paling sopan terhadap orang lain, tetapi sangat sensitif jika bertemu orang yang cenderung keras seperti suku madura. Sementara Suku madura,

Halaman

42

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


“sisilia Indonesia” (menurut anggapan banyak orang), adalah yang paling sering mengikuti program “transmigrasi” yang disubsidi pemerintah ke wilayah-wilayah yang lebih subur di luar jawa. Penduduknya terkenal kasar, cenderung melakukan kekerasan bersenjata, dan menganut islam secara ketat. Suku madura dituduh sebagai maling dan rampok di tanah Kalimantan. Perbedaan yang jelas terlihat antara kedua suku ini adalah suku madura suka membawa arit; tradisi dayak membenci penunjukkan senjata tajam secara terbuka. Orang dayak memburu dan memelihar babi; orang madura adalah muslim yang taat. Kekerasan merebak diantara kedua kelompok semenjak orang madura pertama tiba di Kalimantan barat. Tidak jelas penyebab yang melatar belakangi peristiwa itu, yang jelas terlihat dalam cerita buku tersebut adalah tidak ada kesinambungan antara orang dayak dan madura, yang memicu pertempuran kedua etnis tersebut. Diceritakan hal yang berbeda, dalam bab II buku tersebut menceritakan tentang sosok Soeharto. Pada tahun 1965, beberapa pekan setelah upaya kup yang misterius dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, banyak rakyat mati terbunuh secara misterius yang konon dilakukan oleh orang-orang anti komunis pada saat itu. Kejahatan dan kesemrawutan tersimpan secara rapi dibalik kebijaksanaan dan kearifan sang penguasa. Kharisma yang dipancarkan Soeharto memang terlihat sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam mengendalikan pekerjaan secara terselubung. Bertahan dalam kurun waktu 32 tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Sekian lama bertahan dalam pemerintahan yang penuh rahasia, membuat mahasiswa geram akan rezim ini. Tahun 1998, terjadi demonstrasi mahasiswa yang menelan banyak korban. Kasus Tri

DIMëNSI

Sakti yang menelan korban Buku tersebut menarik untuk meninggal, serta yang menjadi dibaca, karena menampilkan seputar momen yang bersejarah pada tahun peristiwa-peristiwa yang terjadi di itu adalah demonstrasi mahasiswa tanah air yang dilakukan secara secara besar besaran oleh investigatif, memberikan nuansa mahasiswa seantero nusantara yang tersendiri bagi yang mambaca. dilakukan di depan gedung Dengan bahasa yang mudah parlementer yang menuntut adanya dipahami, penulis ingin reformasi dan penurunan Soeharto mengantarkan para pembaca untuk (yang dalam memahami buku tersebut fakta yang Kejahatan dan dikatakan bahwa terjadi di kesemrawutan tersimpan sang penguasa Indonesia. Buku menganut ilmu tersebut tersaji secara rapi dibalik kejiwaan yang dalam sebuah kebijaksanaan dan kearifan kental). Tetapi cerita yang sang penguasa. Kharisma dalam bab ini “apik”, dengan yang dipancarkan Soeharto tidak dijelaskan bahasa yang secara detail tegas dan memang terlihat sebagai tentang peristiwa lugas. Buku ini sosok yang bertanggung ’98 itu. membuka mata jawab dalam Selanjutnya kita tentang mengendalikan pekerjaan pada bab ke III, sejarah bangsa diceritakan yang buram di secara terselubung. tentang seluk negeri ini, yang beluk pulau kerap ditutupTimur-timur mulai dari bergabungnya tutupi oleh serentetan peristiwa yang wilayah ini menjadi provinsi termuda terjadi di wilayah lain. Buku tersebut di Indonesia sampai kebebasan sekaligus sebagai cerminan bagi yang diperoleh Timur-timur menjadi bangsa ini untuk merenungkan suatu Negara yang utuh yaitu kembali akan makna kemerdekaan, Negara Timur Leste, yang tentunya reformasi serta kebangkitan nasional. dengan perjuangan-perjuangan yang Dibalik kelebihan-kelebihan pada dilakukan secara gerilya oleh suatu wacana, tidak terpungkiri sekelompok pro kemerdekaan. adanya kelemahan-kelemahan yang Pada tahun 1976, Indonesia telah ada di dalamnya, begitu juga dengan menginvasi koloni setengah pulau buku ini. Di balik bahasanya yang itu yang dahulu dikenall sebagai mudah dipahami, memberikan ruang Timor Portugis, hingga akhirnya terbatas untuk pembaca memberikan bergabung dengan Indonesia analisisnya, kata pengantar yang sebagai provinsi termuda. Tahun tertulis dalam bentuk cerita 1998, lima bulan setelah tampaknya sulit dipahami oleh tumbangnya presiden Soeharto, pembaca, dan juga tidak adanya pulau ini bagaikan sebuah film kesimpulan pada buku ini perang dimana para pejuang pro mengharuskan pembaca membaca kemerdekaan Timor leste terus secara runtut pada setiap babnya. bergerilya melawan tentara Meskipun begitu buku ini sangat Indonesia. Peristiwa itu bagus untuk wacana terutama bagi mengakibatkan kerusakan yang pembaca yang senang akan cukup parah dan juga membuat para kebudayaan. Karena bagaimanapun, warga sipil dalam ketakutan. Hingga sejarah tidak akan terlepas dari akhirnya terjadi referendum pada sebuah bangsa. “ZAMAN EDAN” tahun 1999 dibawah presiden begitulah kira-kira yang terjadi pada Habibi, yang mengantarkan saat ini, di negeri yang semakin tua, penduduk Timur Leste pada puncak sebuah kisah dari negeri yang kemerdekaan. terserak./Lux/

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

43


Ilusi Negeri Pengemis Oleh: Nunung Afu’ah *)

“Proses eksploitasi yang sudah berlangsung ratusan tahun di indonesia akhirnya menimbulkan massa miskin yang tidak mempunyai harta produktif (productive asset) atau harta yang dapat menimbulkan pendapatan (earning asset), akibatnya massa miskin akhirnya berada dalam lingkaran kemiskinan yang tidak berujung (vicious circle of poverty)” -Sritua Arif, 2006 Berbagai permasalahan akibat dampak kemiskinan memang tak kunjung usai mendera bangsa Indonesia. Apalagi adanya krisis global yang mendera dunia, membutuhkan sebuah penyelesaian masalah perekonomian yang “real”. Walau tak secara langsung masyarakat bawah terkena imbas krisis global, namun krisis global yang meresahkan banyak pengusahapengusaha besar dan para pemilik modal, pun pada akhirnya harus menorehkan luka dengan merumahkan beratus-ratus ribu pegawai kecil akibat dari kredit macet, sebuah dampak dari krisis global. Lagi-lagi masyarakat kecil memang harus mengelus dada hanya untuk sekedar mengharapkan sebuah ketentraman hidup. Kemiskinan Bukan as Given Kemiskinan yang terjadi adalah bukanlah sebuah given yang cuma bisa diterima secara saklek begitu saja tanpa adanya sebuah keinginan untuk mewujudkan sebuah perubahan. Kemiskinan yang ada di indonesia bukan disebabkan mereka sejak semula tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Akan tetapi, mereka terbelakang atau miskin karena kesempatan tidak diberikan kepada mereka atau mereka miskin karena berbagai kesempatan sudah dihancurkan dan hilang dari jangkauan mereka, padahal kesempatan memang selalu diberikan Tuhan kepada semua hambanya, tak terkecuali rakyat Indonesia. Keterbelakangan dan kemiskinan rakyat indonesia disebabkan oleh proses penghancuran kesempatan yang terjadi sebagai akibat dari proses eksploitasi. 1) Pertukaran yang tidak adil dalam proses tukar menukar komoditi.2) Pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa pekerja, 3) Pengenaan pungutan yang relatif memberatkan penguasa terhadap rakyat kecil, misalnya pajak tanah pada zaman feodal. (Sritua Arif, 2006). Keadaan yang sudah berlangsung sekian lama ini menimbulkan mayoritas golongan miskin tidak mempunyai

kesempatan untuk memiliki harta produktif atas sumber daya alam yang dimiliki, sehingga tak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, yang pada akhirnya masyarakat tetap berada sebuah keadaan dimana mereka berada dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung (vicious circle of poverty). Hatta, bapak koperasi Indonesia, menganggap bahwa kemiskinan adalah akibat dari tidak adanya SDM (sumber daya manusia) yang kompeten untuk mengolah kekayaan sumber daya alam indonesia yang melimpah ruah. Indonesia memang bukan negara yang miskin, jika dilihat dari perspektif sumber daya alamnya. Namun pemilik modal mencengkram begitu kuat pemanfaatan SDA Indonesia. Dilihat dari perspektif budaya, Agus Sunyoto, mengatakan bahwa pandangan umum yang melekat di indonesia adalah bahwa rakyat pribumi indonesia adalah berada satu kelas di bawah orang berkulit putih, kelompok pemilik modal terbesar di Indonesia. Sehingga mereka berpasrah diri untuk menerima nasib menjadi pribumi kecil yang berada di bawah garis kemiskinan.1 Pada akhirnya, mereka mulai jenuh untuk mencoba keluar dari permasalahan kemiskinan tersebut. Yang dapat dilakukan hanyalah pasrah dan menjalaninya apa adanya, tanpa mempertanyakan mengapa mereka masih dalam kondisi tersebut. Sebuah kondisi kepasrahan yang terlalu menerima apa adanya semakin menjadikan masyarakat terkungkung dalam sebuah ilusi yang tak kunjung usai. Padahal segala sesuatu tidak what there is, akan tetapi what there ought to be Bermula dari Sebuah pendidikan Manusia mewujudkan sebuah peradabannya melalui proses panjang yang melibatkan pendidikan sebagai modal utama untuk berkembang dan mewujudkan eksistensi diri manusia.

Halaman

44

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


Sebuah penyadaran akan kondisi diri dan kenyataan adalah sebuah tujuan utama pendidikan. Seperti Freire yang berangkat dari kadaan masyarakatnya yang buta huruf, menawarkan pendidikan pembebasan untuk penyadaran yang real terkait pada eksistensi diri dan pemasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Kembali kepada konsep awal pendidikan, pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk mengubah sebuah kebudayaan yang menganggap masalah hidup as given. Adalah sebuah kebutuhan yang absolut untuk mengetahui hakhak sebagai seorang manusia, sehingga mempunyai keberanian untuk mempertahankan hak-haknya dan memperjuangkan pemenuhan hak-haknya. Karena kemiskinan permanen (jika boleh dikatakan demikian) akan mengakibatkan sebuah inferiority complex yang luar biasa, perasaan takut yang luar biasa. Sehingga pada akhirnya diperlukan adanya pemulihan kondisi kejiwaan yang utuh untuk mengembalikan mereka pada masa dimana manusia dapat menentukan arah kehidupannya sendiri, tanpa harus merasakan sebuah ketergantungan yang tak kunjung usai pada penguasa modal dan asumsi yang terus melekat bahwa hidup ini just as given. Pemulihan kondisi kejiwaan seperti ini, hanya dapat dilakukan ketika seseorang terlepas dari keterkungkungan terhadap sesuatu yang given, mencoba untuk keluar dan mempertanyakan kembali tentang kondisi yang sepertinya tidak berpihak dan berada dalam sebuah ketidakadilan, juga yang paling penting adalah mempertanyakan mengapa keadaan tersebut bisa terjadi, disinilah pendidikan berperan untuk merubah keadaan tersebut. Dengan berfikir it is just a given, blaming the victims tidaklah cukup untuk dapat membebaskan diri dari sebuah permasalahan yang komplek ini, yakni lingkaran kemiskinan yang tak berujung. Perlu adanya sebuah sensitive terhadap permasalahan ini. secara sederhananya, tidak ada satupun keadaan di dunia ini yang bersifat permanen, pun kemiskinan itu sendiri. Hal ini tergantung pada bagaimana kita dapat mencoba untuk mempertanyakan kembali sebenarnya mengapa hal itu (kemiskinan) bisa terjadi. Untuk itu, kemiskinan yang ada saat ini tidaklah cukup dijadikan bahan kajian dan obralan janji-janji penguasa yang menawarkan iming-iming sebuah kesejahteraan semu, akan tetapi sebuah permasalahan yang sangat komplek yang memerlukan pemecahan yang komplek dan nyata, tidak hanya menggantungkan diri pada bantuan dari pemerintah. sekali lagi, disinilah pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. Antara Ketergantungan dan Kemandirian Juga bukanlah sesuatu yang solutif, ketika kita hanya menyalahkan pemerintah tanpa adanya sebuah keinginan untuk mengubah keadaan dengan yang lebih baik. Karena kemiskinan dan segala permasalahan hidup tidaklah cukup jika hanya menggantungkan pada sikap pemerintah yang arah kebijakannya yang hari ini saja tidak jelas atau masih samarsamar memihak pada siapa. Bahkan yang terjadi adalah pemerintah memihak kepada penguasa dan pemilik modal, dimana mereka mempunyai pengaruh yang sangat

DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

besar terhadap arah kebijakan pemerintah. Idealnya, kebijakan pemerintah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat madani. Namun, kebijakan pemerintah hari ini terkait pada peningkatan perekonomian rakyat masih jauh dari yang diharapkan. Misalnya saja program pemerintah terkait pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Program ini bukan menjadi sebuah pemecahan masalah yang solutif, pasalnya dari sini akan muncul sebuah ketergantungan baru masyarakat miskin. Mereka akan lebih suka menunggu dan terus menunggu suntikan bantuan dari pemerintah. Budaya instan dan pragmatisme menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Kalau tidak mau kungkungan kemiskinan jadi tambah parah, setidaknya pemerintah berusaha untuk pertama, menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai untuk rakyat Indonesia, bukan malah memberikan sejumlah bantuan yang memunculkan ketergantungan baru. Dan memunculkan satu masalah, sebuah ilusi akan sebuah kehidupan yang layak. Kedua, pemerataan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kekurangan Sumber daya manusia dapat ditanggulangi, hal ini juga sesuai dengan cita-cita pendidikan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, memunculkan kembali jati diri bangsa dan kepercayaan masyarakat. Keadaan kejiwaan masyarakat yang berada dalam inferiority complex (perasaan takut) yang luar biasa akibat lingkaran kemiskinan, hanya dapat dipulihkan jika masyarakat diberikan pendidikan yang bisa mengembalikan rasa kepercayaan diri mereka di mata dunia. Bukan jadi pembeo dari kebudayaan bangsa lain. Selain itu, tidak hanya pemerintah saja yang harus melakukan ini, akan tetapi masyarakat Indonesia setidaknya sadar diri bahwa yang dilakukan itu juga tidak lepas dari kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga masyarakat hari ini harus pandai-pandai untuk keluar dari jeratan ketergantungan bantuan pemerintah yang terkesan tidak solutif juga terhadap ketergantungan pada jeratan pemilik modal. Yang perlu dilakukan adalah mengusahakan pengadaan modal sendiri yang tentunya berbasis pada ekonomi kerakyatan. Sebuah kemandirian ekonomi yang berangkat dari kondisi masyarakat kita hari ini, bukan berkiblat pada kondisi ekonomi negara-negara maju. Sungguh ironis jika masyarakat indonesia adalah masyarakat yang menggantungkan diri dari belas kasihan orang lain, atau mengemis di negerinya sendiri. Namun, jika kondisi ini tetap demikian, dan tak ada sebuah greget untuk mewujudkan sebuah perubahan, maka keterputusasaan harapan akan terus berkepanjangan sehingga tenggelamnya sebuah negara peradaban besar tinggal menunggu hitungan waktu saja. Footnotes 1 Seperti diungkapkan oleh Agus Sunyoto, dalam seminar “Mempertegas peran strategis mahasiswa dalam mengawal demokrasi�, tanggal 17 maret 2009 di Aula STAIN Tulungagung

*) Adalah mahasiswi prodi Tadris Bahasa inggris (TBI/VI), mencoba jadi kuli tinta di LPM DIMĂŤNSI STAIN Tulungagung Halaman

45


Noda Hitam Gerakan Mahasiswa Oleh: Andi Mahifal *)

Sekilas Pemilu 2009 Tahun 2009 ini merupakan tahun yang sangat penting bagi bangsa Indoneia, karena bangsa Indonesia merayakan agenda terbesarnya, yaitu pemilu, yang nantinya akan menentukan bagaimana nasib bangsa Indonesia lima tahun selanjutnya. Pemilu merupakan prosesi pemberian suara oleh rakyat melalui pencontrengan (yang dahulunya dilakukan dengan pencoblosan) tanda gambar partai atau nama calon legislatif (caleg) untuk memilih wakil-wakil rakyat atau anggota DPR. Selain merubah cara pemilihan dari pencoblosan menjadi pencontrengan, pemilu tahun ini agak berbeda dari tahun kemarin. Keputusan akan terpilihnya calon wakil rakyat yang dulunya berdasarkan nomor urut, sekarang ditentukan berdasarkan suara terbanyak, hal ini berdasarkan pada UU No 10/2008 pasal 213. Dengan begitu, seorang caleg mempunyai ‘’lawan politik’’ tidak hanya dengan caleg dari partai lain, namun dengan caleg satu partai pun juga akan mengalami persaingan yang sangat ketat. Sehingga, seseorang yang memiliki nomor urut ‘’jadi’’, tidak lagi bisa sekedar wait and see untuk mendapatkan limpahan suara dari caleg-caleg di nomor bawahnya. Pemilu memang menentukan ke mana arah bangsa lima tahun ke depan. Mengingat tujuan pemilihan umum mencakup tiga hal. Pertama, sebagai mekanime untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif kebijakan umum, kedua, sebagai mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dan masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi rakyat tetap terjamin, yang ketiga, sebagai sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam politik. Hal ini pun juga sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945, bahwa setiap warga negara memang mempunyai hak yang sama dalam pemilu yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Peran Mahasiswa sebagai Aktor Perubahan Sebagai bagian dalam struktur masyarakat, mahasiswa memiliki peran dan fungsi tersendiri. Jelas saja, sebagai kelompok orang intelektual yang berfikir kritis, dan bebas dari kepentingan politik golongan, pada dasarnya keberadaan mahasiswa mampu memberi penyeimbang terhadap praktik kekuasaan yang otoriter dan tidak berpihak Halaman

46

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


pada rakyat, karena hal itulah, mahasiswa sering disebut dengan agent of change dan agent of control. Gerakangerakan mahasiswa memang telah memberikan sumbangsih perubahan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Perubahan yang terjadi akibat dari gerakan mahasiswa adalah puncak revolusi, 21 mei 1998, tergulingnya rezim orde baru, yaitu ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.dan pada akirnya perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden tercapai, walaupun perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat militer bersenjata. Mahasiswa vs Pemilu 2009 Pemilu merupakan sarana partai politik untuk mendapatkan dukungan dengan cara menempatkan wakil rakyat dari partai tersebut sebanyak-banyaknya di parlemen. Demi untuk mencapai tujuan tersebut tak ayal banyak strategi digunakan oleh partai politik, apalagi setelah diberlakukannya UU No 10/2008 pasal 213 tersebut, banyak partai politik yang memasangkan caleg-caleg yang sudah terkenal atau populer di masyarakat, bukan berdasarakan atas kemampuan mereka berlaga di arena perpolitikan tanah air atau orang yang benar-benar mampu menjadi calon wakil rakyat, hal ini dapat terlihat dengan dipasangkannya ulama’ atau kyai, pengusaha dan tokoh masyarakat yang berpengaruh, bahkan artis populer juga menjadi salah satu alternatif caleg. Dan lagi, demi untuk dapat mencitrakan sebagai partai politik yang menwarkan perubahan, banyak partai-partai politik yang merangkul beberapa aktivis mahasiswa. Realitanya, semakin banyak para aktivis mahasiswa yang tergiur dengan tawaran parpol yang mejanjikan kursi jabatan tersebut. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dimanfaatkan oleh golongan tertentu dalam mewujudkan politik pencitraan mereka. Padahal, mahasiswa mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Sangat disayangkan ketika alasan utama mereka untuk menjadi caleg adalah demi untuk memanfaatkan hak politik saja. Memang, menentukan pilihan politik adalah hak bagi semua orang, termasuk mahasiswa. Akan tetapi perlu digarisbawahi di sini adalah, dibalik itu semua ada amanah besar yang harus diemban oleh mahasiswa, yaitu menjadi pengontrol kebijakan pemerintah, mengingat posisi mahasiswa sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah. Selain alasan untk memanfaatkan hak pilih, mereka juga menyatakan bahwa parlemen membutuhkan penyeimbang, sehingga mahasiswa dapat menjadi tataran penyeimbang tersebut.

DIMëNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Hal ini berdasarkan bahwa mahasiswa dianggap berada dizona netral, yaitu mereka bukanlah titipan suatu kepentingan dari golongan manapun. Bukankah sangat ironis, mahasiswa yang diharapkan menjadi penyeimbang, malah memilih masuk ke dalam ranah politik partai (parlemen), gerakan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan ekstra parlementer justru berbalik arah ke politik praktis, kalau kita cermati selain wakil rakyat, sebenarnya anggota legislatif adalah wakil partai. Banyak partai, maka akan banyak mahasiswa yang terkotak dan terjerumus dalam lingkaran setan itu. Imbasnya: gerakan mahasiswa melemah, apalagi, caleg mahasiswa masih membangun group dikampus tempat dia belajar. Sehingga memicu kematian gerakan mahasiswa, caleg mahasiswa dalam hal ini telah menyisakan noda hitam terhadap perjuangan para pendahulunya. Seharusnya, pemantapan basis intelektualitas dan sedikit finansial (modal untuk bejuang dimasyarakat) adalah langkah yang harus dipersiapkan mahasiswa, setelah meninggalkan fase gerakan (melepaskan atribut kemahasiswaan), baru bernegasi ke arah lain, termasuk menjadi caleg, apalagi dengan alasan melanjutkan perjuangan. Imbas terburuk yang mungkin dapat terjadi adalah, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti tidak ada mahasiswa yang aksi turun ke jalan, karena orang yang mereka mintai pertanggungjawaban adalah teman mereka sendiri. Yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah, “apakah semangat aksi turun ke jalan memperjuangkan nasib rakyat yang dibawa ke parlemen kala masih menjadi aktivis mahasiswa akan terbawa ketika masuk ke dalam gedung parlemen?” selain itu juga, terlalu ironis ketika mahasiswa yang mencoba untuk mencalonkan tersebut masih terlalu dini untuk memasuki wilayah parlemen. Walaupun, wacana politik santer dibicarakan dalam kampus, akan tetapi politik mahasiswa di kampus bukankah sangatlah jauh berbeda dengan politik parlemen. Apalagi jika belum ada visi yang jelas terkait pencalonan tersebut, bahkan yang terlihat tujuan mereka pun masih terkesan samar-samar. kemudian, bagaimana jika yang menjadi motivasi atau alibi mereka adalah sebuah keinginan untuk memperjuangkan rakyat melalui parlemen ketika mereka sendiri tidak memahami tugas mereka, ini sepertinya menjadi nonsense belaka. Sebagai intelektual muda, seharusnya mahasiswa tidak terperangkap dalam kepentingan sesaat dan uforia politik, apalagi partai sebagai polarisasi. Ibaratnya, “kucing liar di hutan lebih ganas dan ditakuti dari pada kucing rumahan yang terbiasa hidup mewah.” Begitu juga dengan mahasiswa ketika masuk ke ranah parlemen, mereka bagaikan singa yang kehilangan taringnya.

*) Adalah satu-satunya mahasiswa berambut gondrong diprodi tadris matematika dan sedang berproses di LPM DIMENSI STAIN Tulungagung Halaman

47


Mahasiswa Harus Kembali pada Gerakan Moral “Gerakan mahasiswa ibarat ombak yang tak pernah menepi pantai. Gelombang itu begitu besar, tetapi akan menjadi buih-buih yang terpecah ketika akan menepi di pantai�

Oleh: Didik Irawan *) Idealnya gerakan mahasiswa melakukan pemberdayaan terhadap rakyat, mengajak rakyat untuk samasama membela kepentingan rakyat, kepentingan umum dan kritik terhadap kekuasaan yang berlaku tidak adil kepada rakyat. Karena pada realitasnya pihak birokrasi jarang memperhatikan apa yang menjadi kehendak rakyat. Rakyat dinilai sebagai masyarakat awam yang tidak memiliki intelektual yang cukup untuk memahami permasalahan yang dihadapi. Sebenarnya masyarakat memahami kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. Tetapi mereka tidak mempunyai agregasi dalam menyalurkan kepentingan tersebut yang diperjuangkan di birokrasi. Maka dari itu, idealnya gerakan mahasiswa harus memberdayakan masyarakat agar yang menjadi tujuan rakyat diperhatikan oleh pihak birokrasi. Jika semua elemen masyarakat sudah menyadari dirinya bahwa mereka juga mampu dan berhak atas kritik terhadap apa yang dilakukan pemerintah yang menjadikan rakyat tertindas, maka gerakan mahasiswa akan lebih mengena terhadap kepentingan rakyat. Bila gerakan mahasiswa diasumsikan sebagai mediator kepentingan rakyat dengan birokrasi, maka gerakan mahasiswa mestinya lebih bersifat menggerakkan kesadaran rakyat. Untuk menggerakkan kesadaran masyarakat dalam kritik terhadap kebijakan-kebijakan birokrasi yang dinilai telah membuat rakyat

tertindas, maka perlu pendidikan politik bagi rakyat. Gerakan mahasiswa justru harus memberdayakan masyarakat dan memberi penyadaran terhadap masyarakat untuk bersama-sama dalam melakukan gerakan, karena bagaimanapun dalam menyampaikan aspirasi rakyat, mahasiswa perlu dukungan dari elemen masyarakat. Selain itu gerakan mahasiswa harusnya lebih populis, lebih memperhatikan isu-isu kerakyatan. Di samping itu perlu untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa perubahan membutuhkan peran semua elemen masyarakat. Melihat gerakan mahasiswa saat ini, persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat secara langsung jarang mendapat perhatian. Mereka cenderung untuk menanggapi isu-isu besar yang bersifat nasioanal nan global dalam melakukan setiap aksinya. Sehingga gerakan mahasiswa hanya terpaku pada momen-momen nasional. Padahal, masalah yang dihadapi rakyat secara langsung justru lebih kompleks. Dari sini muncul sebuah pertanyaan, apakah gerakan mahasiswa saat ini hanya terpaku dengan state dan mengangkat isu-isu parlemen saja? Padahal, gerakan mahasiswa seharusnya lebih melakukan gerakan pada tataran grass root (rakyat). Justru masalah yang ada di masyarakat sekeliling kita tidak pernah mendapat perhatian. Seperti kasus pencemaran sungai oleh pabrik, penggusuran tanah yang telah menjadi hak rakyat oleh pemerintah, dan kasus lain yang luput dari perhatian. Memang masalah ini lebih rumit dan permasalahan ini juga terkait dengan state.

Dari situ perlu adanya advokasi terhadap penggusuran tanah, kejahatan HAM, serta ketidakadilan dari penguasa yang ada di daerah-daerah. Dengan demikian, gerakan mahasiswa tidak hanya menjadi gerakan yang berbasis elit birokratis saja, akan tetapi bersifat grass root movement (gerakan yang mengakar rumput). Gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan ini menggambarkan bahwa gerakan mahasiswa bersifat sporadis. Baik dalam menyuarakan isu-isu nasional yang bersifat momentum maupun isu-isu kerakyatan. Menanggapi kondisi saat ini, perlu adanya penyatuan kembali antar organ, baik intra atau ekstra kampus dengan membangun wacana kebangsaan. Selain itu organ mahasiswa membentuk forum bersama yang melibatkan seluruh organ mahasiswa dengan mengangkat isu bersifat nasional yang tidak temporer. Gerakan mahasiswa juga harus kembali pada gerakan moral. Karena sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia telah mencatat perubahan sosial politik selalu dipicu dan dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa. *) Adalah mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI/IV) STAIN Tulungagung

Halaman

48

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Suara Hati Kuayunkan langkah kakiku yang gontai menuju jalan Melati no 46, dengan pasti ku arahkan tujuan kesana. Disana banyak hal yang dapat aku peroleh dan aku pelajari tentang kehidupan. Yach........., kehidupan yang aku cari sesuai dengan suara hatiku. Di sana aku dapat menyelami kehidupan yang sebelumnya tidak aku tahu. Kehidupan yang keras dan panas melawan derasnya arus globalisasi yang mengatasnamakan pembangunan. Di sana aku dapat membagi perhatianku dengan orang yang lebih membutuhkan dari pada diriku sendiri. Aku akan tersenyum dan orang lain bisa ikut tersenyum walaupun hatinya tidak pantas untuk itu. Memoriku terus berputar menemukan kembali kepingankepingan pertarungan prinsip yang baru beberapa detik berlalu. Kini aku tegak dengan apa yang kujalani. Suara hatiku mengontrol perjalananku. ******************* Seperti biasa aku pulang kuliah lewat pinggiran kota agar tidak terjebak dengan kemacetan yang menjemukan. Selain itu tidak lengkap rasanya kalau tidak mampir dulu di warung kopinya Mak Sinah. Obrolan hangat pun mengalir diiringi kepulan asap rokok dan alunan suara Iwan Fals. Banyak hal menjadi topik pembicaraan setiap hari tanpa ada habisnya. Kesejahteraan hidup warga sekitar warung yang tidak pernah ada kata meningkat. Bahkan hutang sanasini makin menjerat. Mak Sinah yang terkadang menimbrung pun hanya tertawa miris mengenang kehidupan dirinya dan tetangganya. Kata pasrah yang ia dengungkan setiap hari. Akhir-akhir ini juga terbetik berita akan adanya penggusuran beberapa lahan penduduk di sekitar warung. Siang itu aku pun mampir seperti

DIMëNSI

biasanya. Sebelum sampai di warung Mak sinah, perjalananku terhenti. Kegaduhan terjadi. Rupanya apa yang kami perbincangkan di warung kemarin terbukti. Ku lihat puluhan petugas mengobrak-abrik rumah warga. Ku dekati mereka. Tangisan lelaki renta itu benarbenar menggugah hatiku. Keriput pipi tuanya disertai tetesan air mata menghiba pada petugas agar tidak membongkar rumahnya begitu menyayat hati menggugah hatiku untuk memperjuangkan haknya. “Pak, tolong pak, jangan hancurkan rumah saya yang hanya tinggal sepetak ini. Cucu saya sakit. Kami harus tinggal dimana lagi?”, lelaki itu terus meratap. “Ini sudah wewenang dari atasan pak. Kami hanya menjalankan tugas”, ucap petugas itu dingin sambil terus menjalankan mesin bligonya. Tangisan dan jerit histeris teus saja keluar dari mulut warga yang kehilangan rumahnya. Sejenak warga bersitegang dengan petugas, tetapi petugas bisa menghadapi keadaan. Hanya tinggal warga yang pasrah dan tidak berdaya. Aku hanya terpaku. Suara tangisan itu mengetuk hati nuraniku untuk melakukan sesuatu. ******************* Ku tutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara berderit. Ku rebahkan kepala ku di kursi yang sudah hampir patah sandarannya. Ku hisap rokokku dengan pandangan mata menerawang ke langit-langit kamar. Asapnya mengepul memenuhi ruangan 3 x 4 m yang semakin hari seperti makin pengap saja. Tapi ku bersyukur, kamar ini mampu menyadarkan aku dan memberiku inspirasi untuk menulis dan membaca segala hal di sekitarku. Hhhhh......Ku hembuskan nafasku perlahan menghalau kegelisahan dan

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

kegundahan yang mulai menghampiri. Ku tengok jam dinding, menunjukkan jam 02.00 malam. Pembacaan aksi dari sore hingga jam 24.00 tadi sangat menyita kerja otakku. Telah menetap dan mantap di pikiranku rute dan jalannya aksi besok. Long march yang dimulai dari halaman kampus kuning ke selatan menuju jalan Panglima Sudirman no 12 dan bergabung bersama korban penggusuran. Tuntutan aksi itu sudah dibicarakannya dengan beberapa koordinator kelompok korban penggusuran sejak dua hari yang lalu. Ada beberapa kesepakatan yang dihasilkan. Terbayang di benakku siapa yang akan aku hadapi di gedung dewan besuk. Kalau saja bukan orang itu yang akan aku temui, mungkin hati ku tidak akan segalau ini. Belum lagi ketika aksi baru saja dimulai, polisi berseragam dan berbaris rapi di depanku menghalangi agar aksi tidak sampai berbuat anarkis. Dan siapa yang ada di hadapan ku? Orang yang dilahirkan lebih dulu dari rahim ibuku. Pendidikan yang berbeda membuat kami berseberangan. Seandainya aksi anarkis itu benarbenar terjadi dan massa tidak bisa kukendalikan lagi. Orang yang pertama kali ku hadapi adalah saudara sedarahku. Ah..... kemungkinan-kemungkinan yang terburuk berkelebatan masuk kedalam benakku. Dengan segera kubuang su’udzanku. Kupencet nomor handphone Hendra. Ada suara hallo di sana. “Ndra, gimana koordinator disetiap kampus apa sudah kamu hubungi semuanya? Gimana dengan persiapannya?” “Sudah beres semuanya boss, tinggal kita persiapkan mental kita buat besok. Masih ada waktu sekitar lima jam lagi buat persiapan”. Halaman

49


Klik. Hp dimatikan. ******************* “Van, kamu sudah dewasa, tiga semester lagi kamu akan lulus. Saya ingin kamu sukses seperti kakak– kakak kamu yang lain. Ayah tidak ingin ada kata ‘terminal’ dalam kuliah kamu. Sebagai mahasiswa tugas kamu utamanya adalah belajar. Bukan berteriak-teriak di jalan seperti orang gila tanpa tujuan. Memalukan!! Sangat memalukan keluarga kita Van!! Kamu tidak pantas melakukan itu.” “Apa ayah sadar dengan yang ayah katakan barusan? Ayah adalah wakil rakyat. Rakyat mempercayakan pada ayah apa yang menjadi kesulitan dan aspirasinya untuk di perjuangkan. Kenapa ketika ada masalah seperti ini ayah diam saja? Aku punya tujuan yang jelas, yah”. Aku berhenti sejenak. Mengatur nafas yang tersengal. Sebenarnya aku tidak ingin terjadi suasana yang seperti ini. Aku seperti berhadapan dengan orang yang sama sekali belum aku kenal. Kulanjutkan suaraku yang semakin meninggi, “aku ikut menyuarakan hati nuraninya rakyat, tidakkah ayah dengar teriakan mereka tadi? Teriakan yang keluar dari perut yang menahan lapar. Mereka meminta keadilan di negeri ini. Beban hidup mereka sudah sangat berat. Belum lagi ditambah masalah penggusuran rumah mereka. Besuk mereka akan tinggal dimana? Ketika gubuk-gubuk reyot mereka, tempat untuk berteduh diratakan dengan tanah? Pernahkah kepentingan mereka diperhitungkan sedikit saja? Kenaikan bahan pokok sudah sangat mencekik mereka. Lihatlah anak-anaknya, siapa yang akan menyekolahkan mereka? Siapa yang akan mendidik mereka menjadi generasi bangsa, sedangkan dirinya sendiri sudah harus berperang untuk mendapat sesuap nasi? Dengan aku ikut bersama mereka, ikut meneriakkan suara hati mereka, aku tahu apa yang mereka rasakan”. Orang di depanku ini terdiam untuk beberapa lama. Ada nada Halaman

50

kemarahan, penyesalan, kegarangan disana. Ku semakin tidak mengenal siapa pribadi yang ada di depanku saat ini. Ku hanya merasakan, aku berada diantara orang-orang di jalanan siang tadi dan yang kuhadapi adalah penguasa. Sebelum akhirnya orang itu kembali bersuara. “Van, apakah kamu sudah yakin dengan siapa yang kamu bela dan kamu perjuangkan? Coba rabalah niatmu, apakah ada kepentingan selain itu? Setiap orang di belahan bumi ini semuanya munafik Van, didalamnya pasti ada yang menggerakkan. Tidak ada yang murni. Saya mengambil keputusan itu berdasarkan pertimbangan yang tidak sedikit, Van. Kamu tahu didaerah itu sangat strategis untuk dibuat pasar raya dan mall. Disitu adalah center dari pusat kegiatan masyarakat. Dengan adanya proyek itu saya yakin bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Apakah itu namanya bukan upaya mengurangi kemiskinan?” “Tidak”, dengan cepat aku menukas, “dengan adanya proyek itu akan memunculkan kemiskinan-kemiskinan baru. Mereka akan semakin tersisihkan. Mereka sudah menetap bertahun-tahun dan sudah punya pekerjaan tetap. Ketika mereka dipindahkan, apa yang bisa dilakukan ditempat barunya?”. “Sudahlah, Van. Belum waktunya kamu mengurusi hal semacam itu. Hidup harus lebih realistis. Kamu patut bersyukur bisa lebih baik daripada mereka. Lihatlah temantemanmu sekarang yang menyombongkan idealismenya. Mereka tidak akan bertahan lama. Mereka adalah kendaraan. Ada yang mengendalikan. Hanya untuk gagah-gagahan saja, untuk mengukir nama saja, Van. Bentuk gerakanmu tidak harus seperti itu. Mereka menghancurkan sesuatu yang seharusnya dijaga dan diperbaiki. Dan bukan dengan cara anarkis seperti itu kau harus mengubah keadaan. Coba rabalah niatmu sekali lagi. Memang tidak salah Van, ketika masih menjadi mahasiswa, semua punya ideologi dan komitmen,

tetapi apa kau tidak sadar, ketika sudah menyentuh kepentingan pribadi semua itu akan hilang, Van”. Dalam hati aku membantahnya. “Karena suara dari hati tak lagi didengar, setitik nafsu mengaburkan semuanya”, sepatah kata itu yang terucap. Lalu aku terdiam. Ku paksa lidahku untuk berbicara, tapi kata tak segera keluar lagi dari mulutku, hanya kakiku yang tiba-tiba melangkah keluar dari ruangan itu. ****************** Aku tersentak. Kerikil di depanku membuyarkan anganku yang kembali kemasa lalu. Tak terasa aku sudah sampai di halaman sebuah rumah yang tidak bisa dikatakan mewah, karena cat ditemboknya sudah mengelupas di sana-sini. Aku masuk kembali keduniaku. Di LSM ‘SWARA’ ini aku mempertaruhkan keputusan ku. Mengikuti suara hati. Kata orang, suara hati adalah keputusan yang mendekati kebenaran. Lamat-lamat kudengarkan suara hatiku menyuarakan “nyanyian jiwa”nya Iwan Fals. Nyanyian jiwa sayap menembus awan jingga mega-mega berderai diterjang halilintar mata hati bagai pisau merobek saksi hari ini ku telan semua masa lalu Biru-biru-biruku Hitam-hitam-hitamku Aku sering ditikam cinta pernah dilemparkan badai tapi aku tetap berdiri. Nyanyian jiwa haruslah dijaga mata hati haruslah diasah Menjeritlah-menjeritlah selagi bisa menangislah jika itu dianggap penyelesaian Ku tulis sajak tanpa penghabisan. Ku tulis suara yang tak mampu keluar dari rongganya. Ku tulis saja apa yang menjadi harapannya. Suara yang tak mampu berbicara. Terpasung kata sang penguasa.//Mêy

Mahasiswa PAI VI yang mengasah diri di LPM DIMENSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMëNSI


DIMĂŤNSI

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

Halaman

51


Halaman

52

No. 22 Tahun XIV, Maret 2009

DIMĂŤNSI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.