Dimensi edisi 20

Page 1

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 1]


[ 2]

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Tahun 2008 terdapat banyak even pesta demokrasi bagi masyarakat kabupaten Tulungagung. Terdapat pemilihan Bupati dan pemilihan Gubernur, yang sebelumnya pada tahun 2007 telah di dahului dengan pemilihan kepala desa serentak se kabupaten Tulungagung. Baca Hal. 11

kemurnian hikmah ilmu pengetahuan bagi warganya seharusnya menjadi agen terdepan pelopor terwujudnya kebaikan umum yang diangankan bangsa ini. Dalam artian civitas akademika merupakan pusaran terdepan bagi perubahan kehidupan masyarakat, namun layak dipertanyakan pula adalah benarkah statemen ini ataukah itu ia hanya sebuah mitos dari sejarah yang kini menjadi romantisme gerakan mahasiswa kontemporer. Baca hal. 14

daftar isi DIMëNSI Redaksi Suara DIMëNSI DIMëNSI Utama NUSANTARA SWARA Klik Kiprah

4 5 8 18 20 26 23

TERAS BUDAYA Editorial Suplemen Resensi Parodi Sastra

28 36 38 44 40 48

DIMëNSI adalah media informasi yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung menyajikan beragam informasi tentang realitas kehidupan masyarakat; baik politik, budaya, ekonomi, pendidikan maupun agama. DIMëNSI juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, resensi, kolom untuk ikut berpartisipasi demi terwujudnya Civil Society dan bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain.

Index DIMëNSI

“Radio ini ada karena dibutuhkan oleh komunitasnya berdasarkan geografis setempat atau kultur masyarakat atau way of life orang setempat,” Ungkap Sirikit Syah mantan KPID Jatim periode 2005-2007 saat ditemui Crew DIMëNSI di kediamannya Jl.Rungkut Asri Timur VII-8 Surabaya. Baca Hal. 8

Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk dengan tidak merubah esensi

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 3]


DIMëNSI

Redaksi

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Salam Persma..... Alhamdullilah setelah mengalami proses yang begitu panjang akhirnya majalah DIMeNSi Edisi XX hadir ditengahtengah anda kembali, Walaupun dengan berbagai kendala namun semua itu tidak menyurutkan semangat kami dalam berkreasi dan berkarya walaupun masih dirasa jauh dari sempurna.; LPM DIMeNSI sebagai media berfikir alternative dalam edisi kali ini mencoba mengangkat problematika seputar peran masyarakat dalam kancah perpolitikan kususnya masarakat local Tulungagung yang notabenenya kurang begitu ada respon dan terkesan masa bodoh. Dalam Edisi XX ini kami menyajikan bagaimana kondisi lapisan masyarakat baik dari kalangan rakyat pedesaaan, kalangan politisi sampai civitas akademika ketika berpartisipasi dalam kancah perpolitikan. Selama ini banyak elemen masyarakat yang beranggapan bahwa politik hanya menjadi milik sekelumit aktor politik dan menjadi ajang pertarungan kepentingan tanpa kebijakan-kebijakan yang memiliki nilai keperpihakan sama sekali terhadap masyarakat. Berangkat dari kondisi ini kita perlu membuka kembali ruang kreatifitas masyarakat sebagai wujud peran dan eksisitensi mereka. Butuh kerja keras untuk kembali menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi terhadap perpolitikan di kota Tulungagung tercinta ini. Tingkat kesadaran yang dibutuhkan harus sampai pada kemampuan untuk berpikir secara rasional dan komunikatif dalam menyampaikan gagasannya. Sehingga tercipta suasana salilng dukung dan berkerja sama membangun daerah. Kami yakin bahwa berbagai macam rangkaiaan tulisan yang kami hadirkan ini tentu masih banyak sekali kelemahan. Namun kami juga yakin bahwa kawan kawan mahasiswa masih mempunyai semangat intelektual dan gerakan yang tinggi, maka dari itu partisipasi juga kritik dan saran dari para pembaca sangat membantu kami untuk berkarya yang lebih baik. karena hari ini kita butuh kerja praksis dan nyata dalam gerak membangun Tulungagung kuisusnya dan bangsa pada umumnya Wassalamu’alaikum Wr. Wb Diterbitkan oleh: Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Tulungagung DIMëNSI. Pelindung: Ketua STAIN Tulungagung (Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.), Penasehat: Pembantu Ketua (PK) III (Drs. Saifudin Paradigma Pemikiran Alternatif Zuhri, M. Ag), Pemimpin Umum: Nurul Huda, Sekretaris Umum: Ulfa Rahmawati, Bendahara: Rofiqotul Hidayah, Pemimpin Redaksi: Maya Amil Masrina, Dewan Redaksi: Abdul Haris, Dwi Agusin I, Zaqiyatul Fitria, Departemen Litbang: Izzatur Rofi’ah, Pidik Wahono, Departemen Perusahaan: Endang Sulistiyowati, Rofiqotul Hidayah, Amnan Ma’arif, Fotografer: M. Saiqul ‘Telo’ Huda, Desain Grafis: Huda (Sokle), Reporter: M. Amnan M., Pidik W.,Kasful Anwar, Nunung Afuah, Bayu N.C, Arini H, Umi K, Faizah N, Choir, Fahrudi, Ana M, all of Crew DIMëNSI, Alamat Redaksi: Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Kodepos 66221, &Phone: (0355) 321513 E-mail: dimens_i@plasa.com

DIMëNSI

[ 4]

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Suara

DIMëNSI

Enak di tengah apa di awal……?? Halo dimensi..gimana kabarnya nih...saya mau nyorotin masalah praktikum nih, masak semenjak saya duduk di semester satu hingga semester empat ini praktikum selalu ditaruh di tengah-tengah semester. Padahal saya telah membayar uang praktikum di awal semester. Gimana kalo kita bayar uang praktikumnya di tengah semester saja kan adil tuh?(Arif PAI smt 4) Red; setuju. Lebih asik kalo di kantongin aja. Buat praktik traktir temen-temen dan alasan beli perlengkapan praktek, Ya to?

Mahasiswa Bela Sungkawa Assalamu’alaikum….Dim. Saya ikut bela sungkawa atas kejadian kemalingan yang terjadi di kampus ini. Padahal itu kan gaji para karyawan yang mereka nantinantikan. Dan yang paling saya sesalkan adalah sikap para petinggi kampus yang terkesan ingin menutupi kasus ini tanpa ada penyelesaian yang jelas. Padahal kampus ini sudah dijaga satpam 24 jam nonstop. Apakah STAIN perlu satpam tambahan ?(Rama/II/TBI) Wa ‘alaikumsalam… Red; Wa ‘alaikumsalam,Waduh..kamu salah info, yang hilang itu uang bantuan pemerintah untuk pengembangan pendidikan bukan gaji dosen. Benarnya sih gak perlu di tambah cuma satpam bingung jagain mahasiswa atau jagain rektorat

Kelangkaan Internet Assalamualaikum..hai dim Aku mo curhat nih masak di tengah persingan yang kuat ini internet buat mahasiswa sangat terbatas hanya yang ada di perpustakaan? padahal menurut info penyalahgunaan internet oleh orang birokrat kampus sangat gencar apalagi yang ada di pasca sarjana, buat itu tu..Daripada menimbulkan fitnah giman kalo internet buat mahasiswa itu ditambah? (g_zboy TBI 4) Red;Walaikumsalam…Usul yang bagus, tapi..apalagi kampus ini kan satu satunya kampus islam negeri di Tulungagung, jadikan mahasiswane jangan gaptek…kita harus sabar dulu ya mungkin masih ngasih kesempatan buat birokrat lainnya , he..he..

BAK…?, kamu lagi, kamu lagi Oi……….dim …. Gimana nih aku mo kritik orang-orang di BAK nih masak udah berkali-kali di kritik gak ada perubahannya sama sekali….. dari dulu masak Cuma mempersulit mahasiswa aja? Apa penduduk BAK sudah kebal sama kritikan apa BAK menunggu mahasiswa tuk demo atau mungkin masyarakat BAK sudah gak punya telinga lagi! (Nuril/PAI VI)

Berada antara dua pilihan…Capek Deh ?? Saya kecewa atas keputusan STAIN yang menunda ujian dikarenakan adanya pelatihan buat PNS. Padahal itu sangat mengganggu konsentrasi para mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh dalam menjalani ujian tersebut. Inikah kenyataan STAIN yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada memenuhi hak mahasiswanya ?(Bram /II/TBI)

Red; Pakai sound system kali baru kedengaran.Sudah Tugasnya BAK kan tetap melayani mahasiswa walaupun dalam keadaan pusing dan banyak kerjaan. Ya kalau ingin santai ya di rumah saja gak usah kerja. Dengerin tu BAK rengekan dari anak-anakmu BAK kan tugase buat nglayanin mahasiswa. bukan tambah mempersulit mahasiswa. yang professional donk.

Red: yang perhatian dong sama bapak ibunya!! Kasih sedikit waktu cari duit kan g’pa, lagian ini kan kesempatan, masak kamu g’tahu kampus sekarang punya banyak penyewaan? jadi ya kuliahnya ngalah dulu ya….

Internet lagi Ini mau protest masalah internet. Gimana sih kok gak ada yang ngurus. Kadang bisa di pake’ kadang tidak.

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 5]


Suara

DIMëNSI

Apalagi dengan jumlah computer yang ada tidak sesuai dengan jumlah mahasiswa, juga hanya Pentium 2 dan 3 jadi loadinge luambat banget..Mbok ya di tambah,biar mahasiswa STAIN gak “katrok”. Katanya mewujudkan STAIN sebagai cyber campus. Mana!!!!!!!!!!!!!! (mahasiswa doyan ngenet smt VI) Red; wah banyak yang senang ngenet ternyata. Masak mahasiswa katrok.kan gak etiskan kalau mahasiswanya gagap teknologi dan informatika. Udah kampus pinggiran ketinggalan info. Aduh kasihan dech lu.

Nilai kok ada komprominya to……!!!! Pa kabar dim……..boleh ga’ curhat? gini ni masalahnya kan akhir-akhir ini baru aja nglaksana’in UAS (ujian akhir semester), tapi dosen-dosen waktu menilai hasil ujianya kok awut-awutan, padahal kan temenku yang ga ngumpulin tugas, gak pernah masuk bisa dapet nilai empat, sedangkan kemampuan temenku yang sering masuk dan lebih aktif waktu diskusi dalam kelas cuma dapet tiga, ternyata dosen STAIN tu masih banyak yang pilih kasih ,gimana nih……….!!! (mahasiswa tarbiyah smstr VI) Red; Alhamdillah baik2……ya jelas boleh donk…kan dimensi milik temen-temen mahasiswa. Wah kok bisa gitu ya…..tapi sebenare pean tu mau curhat atau komplain sihi..kalo mau komplain langsung kedosennya saja, mungkin memang seperti itu realitas pendidikan dan pendidik yang ada di kampus kita tercinjta ini, yah semoga aja bisa sadar setelah membaca curahan hati pean…..amiin.

dengan kesibukan mahasiswa wis semua serba pokoe entah absen atau yang lain (Amil.smt 5 TMT} Red; Kabarku baik aja...cuma iki sedikit banyak pikiran.kalau itu tenang aja..aku tidak mungkin kaya para dosen yang selalu birokratis itu..kan dimensi milik semua mahasiswa...jadi selalu dukung dan selalu mengerti

Ngangur ketekur dimensi caem.....aku kuuangen banget nih ma kamu. kamu sekarang kok banyak diam sih masa sekali saja satu semester mana dimar kau itu.....ayo dong panasin (Mahasiswa doyan moco VIII) Red; Diam bukan berarti kalah, namun masih berpikir.kalau mau hidupin buletin dimar lagi ya kamu ikut nimbrung ya..kan kalau ada kamu bisa jadi asyik..ya kan?

Kampus = Kuburan Halo dim... gimana nih kok kampus kita ngangur ketekur ini. banyak yang mulai resah dan tidak betah dikampus karena tidak ada aktifitas yang berarti Red; Maklum kampus pinggiran kota, jadi ya perkembangannya sedikit lambat atau bahkan tidak pernah berkembang...yang sabar aja ya...

lek musuh pokoe berat....... hai kang dim gimana nih kabare kamu kok makin imut aja sih apa karena tempatmu yang makin bersih aja itu atau apa ya.....tapi tenang aja nggak beda jauh kok dengan kabar kampus mu yang makin hari makin ruwet aja. tapi jangan sombong n angkuh lho yo koyo dosen dosen sing podo angkuh n sombong nggak mau tahu

Suara DIMëNSI menerima segala kritik, saran dan masukan yang bernada membangun. Surat bisa dikirim via pos, e-mail: <dimens_i@plasa.com> atau langsung bisa di antar ke kantor redaksi DIMëNSI dengan menyertakan identitas asli. Harap ditulis juga tujuan surat bersangkutan dikirim, yakni, News-Camp, DiM-ar atau Majalah DIMëNSI sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemuatan. Surat-surat yang sudah masuk ke redaksi tidak akan dikembalikan lagi. [ 6]

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 7]


DIMëNSI Utama

“Suara Budaya Dari Panggung Siar Radio Komunitas”

“Radio ini ada karena dibutuhkan oleh komunitasnya berdasarkan geografis setempat atau kultur masyarakat atau way of life orang setempat,” Ungkap Sirikit Syah mantan KPID Jatim periode 2005-2007 saat ditemui Crew DIMëNSI di kediamannya Jl.Rungkut Asri Timur VII-8 Surabaya Di zaman yang semakin canggih, berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai menimbulkan persaingan dalam masyarakat semakin ketat pula, berbagai usaha akhirnya diupayakan dan ditempuh, agar berjuta harapan yang sudah tertancap di setiap lapisan masyarakat yakni “ingin sejahtera” sebagai tuntutan pokok pembangunan bangsa dapat diwujudkan. Sementara perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa kita pasca reformasi 1998 pondasi dasar berupa kebebasan yang mulai dibangun seolah-olah telah menjadi tonggak awal dibukanya pintu demokrasi bagi masyarakat. Karena mulai saat itu masyarakat dapat dengan mudah dan leluasa melakukan kritik Negara, kontrol kebijakan, berpendapat, dan aksi lainnya sebagai perwujudan Hak Asasi warga indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun Kebebasan ini harus dipahami hanya sebagai pintu awal rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi saja sebagaimana yang telah termaktub dalam idiologi

[ 8]

Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan demikian harapan untuk mewujudkan bentuk kehidupan yang luhur harus terus diusahakan dimana setiap warga Negara leluasa masuk dan mengetahui bagaimana sistem ketata negaraan dan kebijakan pemerintah di rumuskan. Karena secara tidak langsung mereka akan ikut serta merasakan, memiliki dan memikirkan keberlangsungan eksistensi negeri ini kedepannya baik dilihat dari kalangan intern Negara sendiri atau ke luar menjadi bagian dari Negara-negara di dunia. Dan alhasil Angin segar Kebebasan berpikir, berpendapat, dan bertindak ini ternyata mendapat respon besar dari masyarakat, terlihat dari semakin menjamurnya komunitas-komunitas kecil yang terorganisir secara rapi seperti komunitas petani, komunitas pelajar, komunitas nelayan, forum-forum diskusi, forum kajian yang mempunyai karakter sendiri sesuai dengan visi misi yang mereka perjuangkan, entah itu termaktub

DIMëNSI

dalam visi organisasi atau pada karya individu seperti lukisan atau syair. Kemunculan yang hampir secara bersamaan, masif dan kuat dalam berbagai bentuk ekspresi didorong oleh sekian lamanya kebebasan yang telah dikebiri oleh rezim orde baru dengan pembangunanismenya (developmentalisme) yang hingga hari ini masih menjadi tarik ulur antara pendukung dan penentangnya. Kelompok-kelompok ini memahami kebebasan sebagai kesempatan yang sangat bagus untuk melakukan apresiasi dan kreatifitas semaksimal mungkin terutama dalam membentuk sistem sosial, masyarakat yang semula lemah dan tergantung diubah menjadi masyarakat yang mandiri dan produktif terutama untuk menutupi apa yang menjadi kebutuhannya sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dari mereka yang mengelola kebebasan bersuara dan berpendapat ini menjadi radio komunitas sebagai media pengabdian mereka terhadap masyarakat dalam bentuk hiburan dan

Edisi: XX/Maret/2008


DIMëNSI Utama informasi, atau dalam fungsi yang lain sebagai penguat basis ekonomi, sosial, budaya di wilayah intern komunitasnya. Pada dasarnya, radio komunitas itu adalah radio yang dibangun oleh sebuah kelompok masyarakat tertentu yang bersifat independent dengan daya pancar dan frekwensi rendah dan hanya untuk melayani kepentingaqan komunitasnya, Radio ini memang semata-mata untuk menunjukkan ciri khas dari komunitas tertentu dan lebih diarahkan kepada pemberdayaan anggota bukan kepada masyarakat secara umum “Radio ini ada karena dibutuhkan oleh komunitasnya berdasarkan geografis setempat atau kultur masyarakat atau way of life orang setempat” Ungkap Sirikit Syah mantan KPID Jatim periode 2005-2007 saat ditemui Crew Dimensi dikediamannya Jl.Rungkut Asri Timur VII-8 Surabaya. Seperti di Tulungagung bagian selatan terdapat Radio k o m u n i t a s p e t a n i di K a l i d a w i r Kalimasada FM, radio komunitas petani di Joho, Radio komunitas tukang kayu di Semanding Pucanglaban, dan radio komunitas kajian tafsir di Pondok pesantren Darut Thoibin di Campur darat, dan masih banyak lainnya yang belum terdeteksi. Radio komunitas hari ini menjadi

Edisi: XX/Maret/2008

media alternatif untuk menjaga keutuhan rasa solidaritas dan gotong royong warga dalam menghadapi kerasnya arus globalisasi yang menyingkirkan budaya lokal terutama budaya gotongroyong dan rembuk bareng dalam membuat sistem sosial terutama yang sudah menjadi kebiasaan tiap komunitas/warga tertentu. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana radio komunitas ini dibangun dan dibiayai oleh swadaya anggota masyarakat serta sebagian kecil iklan. Pembiayaan ini tidak mempunyai ketentuan dan aturan yang mengikat seperti halnya perjanjian saham karena didasarkan pada kemampuan warga baik dalam bentuk financial (uang), material seperti pipa, kabel, speaker, salon, atau hanya berupa ide gagasan dan tenaga teknis. “Masyarakat mriki thithik-thithik nyumbang sampek dados rumbokone radio puniko” (Masyarakat sini sedikitsedikit tetap membantu hingga radio ini dapat berdiri”, ungkap Bapak Kawit penasehat radio Kalimosodo kalidawir saat ditemui crew Dimensi di kantor radio. Dari awal, tujuan utama pendirian radio komunitas memang untuk mendidik masyarakat baik secara mental agar mampu berpikir kreatif, berdaya, secara mental dan gagasan

DIMëNSI

bisa maju, lebih professional, dapat menutupi apa yang menjadi kebutuhannya, baik itu berupa hiburan, spiritual, ataupun urusan pekerjaan. Seperti radio komunitas yang berperan sebagai media da’wah yang dikelola Pondok Pesantren Daruth Thoibin dengan frekwensinya 93MHz di wilayah Campur Darat dibangun oleh komunitas jama’ah kajian tafsir, sehingga hampir mayoritas program acara berupa pengajian, lagu islami, dan beberapa kegiatan agama lainya, “selama satu minggu itu digunakan untuk kepentingan anak-anak, TPQ, dan TKA (Taman Kanak Kanak Alqur’an)” Ungkap Kyai Huri selaku pengasuh pondok Daruth Thoibim saat diwawancarai di Masjid pesantrernya. Dengan disiarkan langsung lewat radio, hampir seluruh anggotanya bisa melakukan kajian tanpa harus datang ke tempat kajian masjid namun bisa dirumah atau sambil bekerja “masyarakat sini mayoritas menjadi pekerja kasar, bermatapencaharian sebagai buruh pabrik marmer”, Ungkap pengasuh pondok pesantren Daruth Thoibin. Radio komunitas sangat efektif difungsikan sebagai media pendidikan masyarakat kecil (masyarakat awam) apalagi bagi masyarakat pinggiran yang mempunyai daerah geografis berupa pegunungan dan pesisir laut, karena jelas di daerahj ini perkembangan masyarakat bisa dikatakan lebih lambat bila dibandingkan dengan masyarakat yang hidup diwilayah dataran rendah (datar) apalagi dibanding dengan perkotaan. Perkembangan yang sangat mungkin bisa dikembangkan adalaah pembangunan pengetahuan warga tentang agama, moral, teknologi, ataupun informasi demi terciptanya masyarakat yang kuat dan mandiri. Secara kuantitas, radio komunitas bisa digunakan sebagai media untuk mengorganisir masyarakat dengan latar belakang yang heterogen. Bentuk organisasinya tidak structural atau formal namun mengedepankan rasa percaya kepada orang lain sesama warga sehingga antara pengelola dan

[ 9]


DIMëNSI Utama pendengar merasa nyaman tidak merasa tertekan oleh aturan aturan yang memaksa. “yen enek rusak dandanono, openono, yo diurupi, yen nompo duit yo duwite seng nompo lan nggowo awakmu, moso bodhoho seng penting mlebu metune kwi maneng ngggenah. (Kalau rusak diperbaiki, rawat, dihidupkan, kalau ada aunag kamu yang menerima dan membawanya, terserah dirimu yang penting keluar masuknya uang itu jelas).” Ungkap bapak Kawit Radio yang juga aktiv mengelola kalimosodo Kalidawir. Pembangunan radio komunitas di tengah-tengah masyarakat dengan tradisi gotong royong dan hidup bersama menjadikan mereka yang notabene sebagai anggota mudah untuk di kembangkan sesuai dengan arah dan tujuan keberadaan komunitas itu sendiri. oleh karena itu dalam aktivitasnya radio komunitas membutuhkan seorang yang dapat dipercaya, visioner, berpikiran maju, dan memang semata mata untuk membentuk masyarakat yang humanis, berdaya, berbudaya serta sangat menjunjung tinggi partisipasi masyarakat secara menyeluruh (demokratis). Selain sebagai media hiburan, radio komunitas juga berfungsi sebagai media edukasi, yaitu untuk mendidik masyarakat agar mau berpikir maju dan memahami bahwa perkembangan teknologi bukanlah menjadi penghalang dan merusak sebuah budaya nenek moyang, namun lebih kepada pengoptimalan fungsi teknologi agar budaya yang kita jaga selama ini mampu berkembang, maju, dan

Fajar Arifianto I.

[ 10]

berkompetisi menghadapi masuknya ragam budaya baru lewat media (teknologi). Seperti yang terlihat kental di Komunitas radio Kalimosodo Kalidawir yang setiap malam Jum’at berkumpul untuk bermusyawarah tentang kebutuhhan masyarakat. “teng mriki lek malem jum’at niku kathah fans ingkang mlempak wonten mriki kagem arisan kaliyan musawarah pengelolaan radio terus biasane dilajengaken musyawaroh masalah petani kaliyan kayu….” Ujar orang tua mbak Yuni pendiri radio Kalimosodo. Pembangunan radio komunitas sebagai media melestarikan budaya gotong royong di masyarakat ternyata sangat mempengaruhi keberadaan jalannya radio. Karena Radio komunitas yang seharusnya mampu menampung dan menyebarkan gagasan baru masyarakat khusunya anggota komunitas sendiri ternyata harus terbengkalai akibat kendalakendala yang sifatnya teknis seperti siaran, pemeliharaan alat, sampai pengelolaan radio yang sifatnya non teknis seperti cari relasi dan bantuan pembiayaan. Seperti yang dipaparkan ketua Komisi Penyiaran Indonesia tingkat Jawa Timur “hari ini orang memaknai radio komunitas itu banyak kelirunya, radio yang kadang on air kadang off air, yang penting bisa siaran, hanya untuk belajar didepan microphone, padahal radio itu sangat efektif untuk kemajuan masyarakat jika dimenej dengan bagus” Berbeda dengan jenis lembaga penyiaran lainnya, yang mencakup Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran swasta, Lembaga penyiaran Berlangganan. Radio komunitas juga mempunyai sekup yang sangat terbatas dalam segala sector “Radio komunitas tidak boleh bertujuan komersil,tidak boleh membuka iklan kecuali iklan layanan masyarakat, boleh siaran hanya dalam batas frekwensi 107-109 Mhz, dan acaranyapun hanya seputar kebutuhan komunitas tidak boleh lebih”, Ungkap Fajar Arifianto Isnugroho,S.Sos yang hari ini menjabat sebagai Ketua KPID Jawa Timur.

DIMëNSI

Sirikit Syah Banyaknya aturan yang harus dipatuhi oleh media penyiaran dibawah naungan komunitas, menjadikan radio komunitas itu merasa terbatasi ruang geraknya, sehingga mereka terpaksa melanggar aturan tersebut. Seperti halnya menyikapi Undang Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, banyak radio yang tidak serta merta mematuhi aturan tersebut, mereka ternyata malah mendirikan radio berfrekuensi diatas ketetapan dari KPI sebelumnya. “banyak yang mendirikan radio atas nama komunitas deangan frekuwensi luas, membuka iklan, mendirikan radio agama, ataupun juga mendirikan radio berdasarkan hoby bukan kebutuhan” ungkap sirikit syah kepada crew dimensi, sirikit juga menambahkan bahwa KPID sendiri sebenarnya merasa kesulitan menaggulangi masalah ini karena secara kuantitas hanya berjumlah 7 orang dengan wilayah kerja seluruh Jawa Timur terdiri dari 39 kabupaten 8 kabupaten kota serta. Belum lagi partner yang ada masih belum bisa di ajak berkerja sama secara optimal seperti balai monitor dan pihak kepolisian. “Mau ditegakkan itu balai monitor dibayar, minta bantuan polisi selaku yang punya wewenang hukum ternyata tidak mau karena polisi sendiri punya radio illegal Radio Suara Mitra yang tidak punya ijin siaran” Ujar sirikit selaku meneger pengamat watch dan juga mantan Ketua KPID waktu ditemui crew DIMëNSI di kediamannya.//kle//

Edisi: XX/Maret/2008


DIMĂŤNSI Utama

REFLEKSI ULANG PARTAI POLITIK DI TENGAH MASYARAKAT TULUNGAGUNG Tahun 2008 terdapat banyak even pesta demokrasi bagi masyarakat kabupaten Tulungagung. Terdapat pemilihan Bupati dan pemilihan Gubernur, yang sebelumnya pada tahun 2007 telah di dahului dengan pemilihan kepala desa serentak se kabupaten Tulungagung. Alam demokrasi tidak lepas dari aspirasi masyarakat dan partai politik. Partai politik merupakan salah satu elemen inti dari pelaksanaan demokrasi pancasila. Demokrasi yang di dalamnya terdapat system keterwakilan, baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti

Edisi: XX/Maret/2008

parlemen (DPR/DPRD) maupun lewat partai adalah usaha untuk mewakili aspirasi masyarakat dalam usaha ikut serta dalam proses perpolitikan daerah. Dari sisni aspirasi masyarakat Seharusnya dapat tersalurkan sesuai dengan keinginan mereka sebagai perwujudan dari pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan umum baik tingkat daerah maupun tingkat nasional merupakan bentuk praksis demokrasi yang melibatkan rakyat. Disini peran serta partai politik seharusnya sangat bermain. Dimana partai menjadi jembatan yang mampu

DIMĂŤNSI

menghubungkan antara rakyat dengan pemerintah. Sebagai suatu organisasi yang dibangun untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan idiologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan. Maka yang menjadi basis sosiologis partai sebenarnya adalah idiologi dan kepentingan yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan. Namun tidak banyak masyarakat umum yang paham dan

[ 11]


DIMëNSI Utama mengerti makna dan proses demokrasi sesungguhnya. Pada tingkatan bawah makna demokrasi telah banyak mengalami distorsi, Sebagai contoh pada pemilihan umum tingkat desa sudah menjadi kebiasaan umum bahwa para calon banyak yang menggunakan uang sebagai cara untuk menarik simpatik para pemilih. Jadi sudah bisa di tebak siapa yang paling banyak mengeluarkan uang dia akan memenangkan pemilihan. Meskipun ini bukan cerminan keseluruhan wajah dari politik pada tingkat bawah tapi ini adalah ironi dari demokrasi itu sendiri. Hubungan partai dengan masyarakat Partai sendiri kelihatannya telah kehilangan salah satu elemen penting idiologi sehingga ia sulit mendefinisikan dirinya sendirinya. Sehingga kiprah partai politik dalam ruang perpolitikan yang ada di Tulungagung sebatas ada even seperti pemilu, fungsi partai tidak lebih dari lembaga yang notabenenya hanya hidup dan bernyawa pada saat tertentu. tanpa memberi peran yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Ada dua puluh empat partai politik yang ada di wilayah Tulungagung. Namun sampai saat ini tidak bisa

[ 12]

memberikan pembelajaran politik yang berarti bagi masyarakat Sedangkan disisi lain Anggapan yang berkembang pada masyarakat umum partai adalah milik para elit politik, rakyat hanya ikut-ikutan apa yang menjadi kebijakan partai tersebut. Fenomena ini semakin nyata jelas karena tingkat kesadaran mengenai sejauh mana peran dan wujud kerja professional partai para elit politik sendiri masih sangat rendah dan masyarakat masih belum ada. Keberadaan partai dan institusi pemerintah selama ini tidak bisa begitu terasa dalam proses pembangunan desa dan daerah. Artinya partai sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat yang seharusnya lebih memahami kondisi masyarakat. Keadaan ini di alami oleh masyarakat bahwa posisi partai adalah top down, dari atas langsung ke bawah. Tanpa ada imbal balik dari bawah ke atas. Sedangkan pada tingkat bawah yang di inginkan adalah solusi dari setipa masalah yang ada. Dari beberapa nara sumber di peroleh beberapa data pada tingkat bawah ternyata keinginan masyarakat adalah peningkatan ekonomi. Artinya adanya lapangan kerja lebih utama daripada pembangunan yang bersifat fisik. Ini seperti yang diungkapakan

DIMëNSI

Nanang Sunaryono oleh bapak Badrun (41) warga masyarakat desa kepatihan, kecamatan kedungwaru dan juga fungsionaris partai keadilan sejahtera(PKS). “pembangunan fisik kalau belum parah tidak penting. Lebih baik memperbaiki yang sudah ada dari pada membangun yang baru. Sedangkan prioritas utama adalah pembangunan ekonomi, yang penting bisa makan”. Dari sini terlihat sekali bahwa pemberdayaan masyarakat lebih diutamakan dari pada pembangunan fisik. Akan tetapi pada tingkat bawah seorang pemimpin yang di idamkan adalah mereka yang mampu memenuhi kebutuhan yang bersifat menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh fasilitas jalan eraspal, air bersih dan lain-lain. Seperti yang di ungkapkan oleh mas Supri (35), warga karangwaru “kita itu butuh yang nyata-nyata mas bukan hanya janjijanji yang tak pasti pada saat kampanye”. Bukan berarti meniadakan akan tetapi lebih kepada prioritas utama. Tetapi bukan semua menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi lebih bagaimana kepada masyarakat itu memberi kail untuk mendapatkan ikan. Sebenarnya persaingan antar partai dalam merebut simpati masyarakat sangat menguntungkan masyarakat. Dengan banyaknya bantuan yang mengalir kepada masyarakat yang mengatasnamakan

Edisi: XX/Maret/2008


DIMëNSI Utama partai. Seperti yang di lakukakan partai demokrasi Indonesia perjuangan (PDI P) ranting Desa Mojosari, Kec Kauman dengan memberi bantuan berupa kambing sebanyak dua puluh ekor kepada sepuluh kader partainya dan juga seratus pohon bibit kelapa. Tidak ketinggalan partai Golkar dengan bantuan uang langsung, benih padi dan pupuk. Seperti yang di jelaskan oleh Dewan Pimpinan anak cabang (DPAC) kec Tulungagung Bapak Nanang Sunaryono yang juga merangkap sebagai wartawan majalah FAKTA “kami dari partai memberikan dana stimulant CumaCuma kepada kader partai sebesar limaratus ribu sampai satu juta rupiah dan juga bantuan binih padi serta pupuk” tapi banyaknya bantuan pada segi negatifnya terkadang menumbulkan polemik tersendiri pada kalangan bawah. Karena tidak merata sehingga menimbulkan kesenjangan pada masyarakat bahkan sampai pada tingkat pertikaian. H. Ali Mudzakir Upaya Partai Politik Memberdayakan Masyarakat Upaya memberdayakan masyarakat di maksudkan sebagai upaya mengalihkan segenap potensi masyarakat ke dalam kekuatan nyata. Upaya tersebut di harapkan mampu melindungi dan memperjuangkan hakhak masyarakat. Beberapa partai mempunyai kegiatan atau program masing-masing. Seperti PKS mempunyai agenda yang di sebut

Edisi: XX/Maret/2008

Tak’lim Orientasi Partai (TOP) dan Tak’lim Rutin Partai (TRP) tujuannya adalah agar masyarakat melek partai dan pemberdayaan masyarakat, yang selama ini masih berupa dukungan kepada simpatisan dan masyarakat umum untuk tetap memperbaiki kondisi kehidupan baik jasmani dan rokhani. Semisal mulai dari mengadakan pelatihan sampai, adap bertetangga, etika berkunjung, puasa sunat bagi mereka yang rutin ikut kegiatan partai. Dari situ ada kaedah kaedah humanis yang ingin di terapkan sebagai tujuan bersama. Ini memang tak lepas basic dan landasan partai itu sendiri. Pada target tertentu pemberdayaan masyarakat bertujuan menciptakan masyarakat madani (civil society) yang dapat menerobos batas-batas kelas serta memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga menjadi kekuatan penyeimbang kepada intervensi Negara. Meskipun tidak semua partai mempunyai agenda mengenai pemberdayaan masyarakat. Tapi rencana kearah itu sebenarnya ada. Seperti yang di ungkapkan Haji Ali Mudzakir ketua DPAC PKB Kec Tulungagung “kami memang punya rencana memperhatikan masyarakat bawah, agar mereka tidak lari ke partai lain sedangkan yang kami lakukan adalah memelihara dulu ormas yang sudah ada” setidaknya ada rencana. Sebutlah partai keadilan sejahtera mempunyai program yang lebih nyata seperti pembrantasan buta huruf dan pelatihan pada generasi muda. Yang sifatnya lebih ditujukan pada masyakat umum. Tapi bila rencana sekedar rencana maka semua tidak akan memberi solusi yang nyata pada masyarakat. Setidaknya ada langkah nyata yang memberi jawaban atas semua persoalan yang terjadi di masyarakat bawah. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi seluruh warga Tulungagung. (dik,ani,amn)

DIMëNSI

SETIAP KATA-KATA BOLEH MENEMBUS HATI YANG GERSANG AKAN CERMIN HATI SANG PENGUASA BOLEH BERSEMBUNYI DIBALIK DESAH NAFAS PELACUR ZAMAN DAN MENGHIRUPI DARAH KESETIAAN RAKYATNYA DAN SI BIROKRAT BOLEH BERSILATSILAT MEMPERMAINKAN PROSEDUR-PROSEDUR BERSARAT TAPI SUNGGUH........ SEKALI LAGI..... SETIAP HATI TENTU TIDAK MAU TERSUNGKUR KEJURANG KEMUNAFIKAN DIRI

[ 13]


DIMĂŤNSI Utama

Pergulatan Mahasiswa Dalam Tanda Tanya

CIVITAS AKADEMIKA, dunia yang sarat akan pergulatan ilmu pengetahuan dan berpeluang besar dalam meraih kemurnian hikmah ilmu pengetahuan bagi warganya seharusnya menjadi agen terdepan pelopor terwujudnya kebaikan umum yang diangankan bangsa ini. Dalam artian civitas akademika merupakan pusaran terdepan bagi perubahan kehidupan masyarakat, namun layak dipertanyakan pula adalah benarkah statemen ini ataukah itu ia hanya sebuah mitos dari sejarah yang kini menjadi romantisme gerakan mahasiswa kontemporer.

Meskipun tidak bisa menyalahkan mahasiswa sepenuhnya dan civitas akademika pada umumnya akan semua kondisi yang telah terjadi pada bangsa kita dewasa ini namun berpijak bahwa lingkungan mahasiswa berada paling dekat dengan dinamika wacana dan gesekan pengetahuan sudah selayaknya kita kembali menggagas bagaimana seharusnya format ulang gerakan mahasiswa dan lebih jauhnya kaum intelektual dari kalangan manapun karena apapun elemen sosial yang konsisten dalam proses pendidikan dan ilmu pengetahuan maka ia dapat disebut dengan civitas akdemika termasuk pondok pesantren. Dalam konteks bangsa sejak pasca reformasi gerakan mahasiswa seolah gagap menghadapi perubahan peta politik yang ada baik secara lokal, nasional maupun internasional. kebingungan mengubah arah metode

[ 14]

gerak yang selama ini sudah ada, yang sifatnya keatas struktural dalam arti birokrasi pemerintahan dan lembaga institusi, selalu anti ekonomi pasar dan anti globalisasi. Sikap ini mungkin dapat dilakukan pada kondisi dimana sistem pemerintahan dan peta perpolitikan masih sangat sentralistik dan terpusat pada satu rezim keuasaan ditingkatan nasional dan internasional namun peta perpolitikan kini sudah berubah, ditingkatan lokal sudah terjadi perubahan sistem pemerintahan, masyarakat sudah di beri ajang besar dan media yang cukup signifikant yakni otonomi daerah. Meskipun sampai hari ini otonomi daerah sudah terkejawantahkan dalam bentuk pemillihan bupati secara langsung, dan juga beberapa metode penampungan aspirasi rakyat lewat musyawarah rembug desa dan lain sebagainya. Terlepas dari sesuai

DIMĂŤNSI

tidaknya dengan konteks masingmasing daerah dalam menerapkan kebijakan ini, bagaimanapun juga ini menjadi peluang besar bagi rakyat untuk mewujudkan aspirasi mereka. Tinggal bagaimana elemen masyarakat termasuk mahasiswa mengawal proses transisi ini. Di konteks mahasiswa Tulungagung sendiri, memang banyak yang mengalami kegagapan dalam menentukan arahnya, banyak hal yang menyebakan kenapa ini dapat terjadi termasuk fakta historis keberadaan mahasiswa sendiri yang dibentuk oleh basic pengetahuan modern dimana selalu memandang dunia secara material dari luar dan kering akan nilai religiusitas. Hal ini seringkali berimbas pada dangkalnya gerakan yang dilakukan karena tidak ada giroh dan semangat yang berlandaskan pada satu keyakinan. Dengan mudah mereka terombang ambing oleh gelombang ilmu

Edisi: XX/Maret/2008


DIMëNSI Utama pengetahuan dan wacana yang kadangkala memang sengaja dijadikan sebagai alat pemancing massa. Ada dua fungsi mahasiswa menurut Ali Rahmat dalam sarasehan pilkada yang diselengagarakan di kampus STAIN Tulungagung pada tanggal 12 Januari 2008 kemarin Berbicara tentang politik dari sisi akademik; pilkada dari idealitas akademik dari sisi akademik kita lihat dari fungsi pendidikan secara umum terdapat 2 fungsi yang di emban yakni : 1. Receptis/Reflektif : mentransformasikan tata nilai budaya, dengan pemberian pemahaman, apa, mengapa, seacara epistemoligo dari, dan untuk rakyat beserta dengan penghayatannya, penyikapan2/ aplikasi dari demokrasi, namun sayangnya pendidikan lebih pada peningkatan ranah intelektual2. Direktif /Progresif : mendinamisasikan tata nilai yang berlaku di masyarakat melalui lulusan yang telah dibekali, kesadaran, pemahan dan penyikapan demokrasi yang mengikuti konstitusi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi maka memiliki demokratis yang tinggi. Demokratisasi di Tulungagung lebih baik dari kabupaten di manapun Faktor basic pengetahuan dan lingkungan yang serba netral dan ilmiah banyak berdampak hal lain

Edisi: XX/Maret/2008

pada mahasiswa. Pertama, mahasiswa tidak punya sikap yang jelas dalam melakukan aksi dan tindakan, gerakan yang dilakukan cenderung secara umum dan general, selain itu jangka waktu empat tahun sangat mepet untuk mengemban dan menyelesaikan tugasnya. Te r b u k t i d a r i b e b e r a p a mahasiswa yang diwawancarai entah itu dari STIKIP, STAI DIPO ataupun STAIN sendiri, mereka merasa buntu ketika ditanya saat ini harus melakukan apa untuk mengahadapi kondisi seperti ini. Ternyata banyak mahasisiwa yang memang masih gagap mengahadapi kondisi yang tengah terjadi. Mereka terbiasa dengan gerakan-gerakan radikal yang keras untuk melakukan sebuah transformasi sosial. Hal ini disebakan karena issu yang di bawa dan aksi yang dilakukan sepenuhnya bukan hasil dari semangat refleksi primordial yang terlahir dari komunitas dan lingkungan dimana mereka tinggal. Kedua, “sekarang sudah hilang sifat kekritisannya, kalau sini memang karena semua fasilitas dan biasiswa memang sangat dilayani oleh pihak kampus.” sepatah kalimat yang terucap dari salah satu mahasiswa STIKIP yang tidak mau menyebutkan namanya menyikapi kondisi gerakan dikampusnya. Masih banyak yang berfikir radikal untuk beradu fis a fis dengan system bahwa sebuah gerakan harus secara frontal dan radikal ketika berhadapan dengan system kekuasaan yang berwenang memegang kekuasaan pemerintahan.. Ketiga, keluar dari aktivitas mahasiswa yang masih sibuk dengan kegiatannya diluar perkuliahan entah berupa kerja disebuah lembaga atau yang lainnya seperti menjadi sales ataupun bertani dan berdagang, atau malah mahaisswa yang sama sekali tidak punya aktivitas diluar seperti itu, yakni mahasiswa yang dekat dengan sifat apatis dan hedonis. Mahasiswa yang aktiv dalam gerakanpun terkadang terbawa dengan wacana yang mereka kenyam tidak bisa

DIMëNSI

membaur dengan mahasiswa lain artinya terkesan elit Bahkan beranggapan bahwa gerakan yang dilakukan semata harus diluar sistem perkuliahan, sehinga ekslusif, terbukti dari beberapa orang mahasisiswa yang diwawancarai terutama di STAI DIPO dan STIKIP semuanya menggunakan dalih kendala kesibukan di luar telah mengakibatkan sulitnya dimasifkan gerakan mahasiswa “anu mas kebanyakan mahasiswa nengkenei males ngurusi ngono-ngono kui luih penak dolan krono lek isuk kan wes kerjo dadi lek kuliyah sore kadang yo do ngge dolan cari seneng.” ungkap agung STKIP mahasiswa jurusan bahasa inggris semester 4 yang juga aktif di Unit Kegiatan Mahasisiwa Seni Tidak beda jauh dengan anas salah satu mahasiswa STAIN Tulungagung yang juga menjabat sebagai wakilpresident BEM,”kondisi birokrasi yang terlalu mengekang mahasiswa, antara lain dengan memperketat kode etik, mengandangkan mahasiswa (menjadikan 1 kantor organisasi intra) kalau kita analisis hal ini adalah pembunuhan karakter secara perlahan pertama pengandangan kemudian tidak menutup kemungkinan suatu saat akan diberlakukan jam malam yang mensterilkan semua aktifitas mahasiswa dimalam hari selama ini

[ 15]


masih boleh tinggal dikampus saja komunikasi antar organ saja sulit apa lagi nanti setelah di sterilkan� “Sikap mahasiswa seharusnya harus ada reaksi karena kalau di biarkan nantai akan berdampak terbunuhnya nalar kritis mahasiswa, perlu adanya(wacana) pembacaan kalau kita bisa mengkritisi kita tidak akan terlemahkan seperti ini Keempat, sebagian mahasiswa malah berdalaih tidak adanya issu sentral yang menggerakkan mahasiswa membuat mereka sullit untuk melakukan gerak di masifkan lagi, terutama sejak pasca reformasi. “Kondisi gerakan tidak bisa dilepaskan dari narasi kebangsaan s e p e r t i t a h u n 1908,1928,1945,1965,1974, 1998 bercerita saat ini tidak ada konsensus kebangsaan disebabkan karena akar orba sangat kuat, pasca reformasi belum bisa konsensus karena reformasi justru malah dijadikan tempat bersembunyi bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan.� dari ungkapan Abidurrohman ketua PMII cabang Tulungagung ini terlihat bahwa tidak adanya narasi bersama telah mengakibatkan mahasiswa kehilangan roh geraknya.

[ 16]

Meskipun ada beberapa orang yang tetap inten melakukan pendampingan-pendampingan terhadap kebijakan pemerintah. Namun sifatnya masih parsial, terputus putus antara elemen yang satu dengan yang lain. Karena basic gerakan mereka adalah dari luar yakni organisasi ekstra. Sementara organ intra sendiri selama ini ternyata juga sulit melakukan komunikasi dengan elemen intra dibawahnya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena mereka dalam era kebebasan demokrasi dan pendapat seperti ini sulit mendefinisikan arah dan gerak yang harus dilakukan. Beberap kegiatan yang tidak bisa memfokus pada satu target yang jelas. Belum lagi elemen yang melakukan gerak itu sendiri karena terbatasnya kekuatan yang dimiliki akhirnya tidak bisa meneruskan secara intens dan berkesinambungan melakukan tindakannya. Banyak pula gerakan yang dilakukan sebatas mengikuti tren yang sudah ada secara konsep, namun ditingkatan pengetahuan tentang apa yang saat ini dibutuhkan untuk melakukan aksi secara global keseluruhan tidak ada, hal ini bisa

DIMĂŤNSI

dilihat dari, di satu sisi masih sering mengakses informasi tentang kebijakan pemerintah, Namun disisi lain secara umum ketika ditanya mengenai harus bagaimana sikap mahasiswa saat ini sama sekali buntu, hanya mampu merasakan bahwa memang hari ini gerakan mahasiswa secara umum masih sangat banyak mengalami kekurangan dan harus ada perubahan total secara organisasi. Peran aktif untuk mampu mengawal perubahan dan demokasi sangat diharapkan karena Meskipun sebagian masyarakat masih mengacu pada trias politika namun Harapan besar semua elemen bahkan dari pihak birokrasi pemerintahan sendiri sebenarnya tetap berada pada mahasiswa, demikian salah satu isi pernyataan M. Kirom M.Si dalam sarasehan pilkada itu, “Rakyat masik bertumpu pada trias politik padahal masih ada media masa, mahasiswa Sinergitas STAIN dengan pemerintah kesulitan karena dirasa memiliki beda focus, yang bias mengawal demokrasi adalah mahasiswa, maka perlunya peran mahasiswa untuk di maksimalkan�.// May,and,rud//

Edisi: XX/Maret/2008


iklan

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

[ 17]


NUSANTARA

Orasi Dipanggung Demokrasi Oleh Abdul Haris *) Sejenak flashback kesejarah negri ini tepatnya pada tahun 1998 terdapat peristiwa yang sangat monumental dimana angin kebebasan telah didapatkan yakni REFORMASI. Menilik dari peristiwa tersebut yang telah berhasil dan tercatat dalam sejarah serta berada didalam benak setiap warga Negara Indonesia sebagai usaha rakyat dalam rangka keluar dari dominasi yang mengekang selama lebih dari seperempat abad. Tidak terlepas dari efek baik atau buruk peristiwa reformasi sebenarnya telah menyisakan banyak hal yang mengejutkan. Awalnya setelah peristiwa reformasi seluruh rakyat Indonesia telah berasumsi bahwa ini akan membawa kehidupan social, politik, ekonomi dan budaya kepada kondisi yang lebih baik, tenyata asumsi itu berbalik total. Perubahan yang telah digagas tidak membawa kepada suatu kondisi yang lebih baik pada umumnya, itulah pandangan yang berkembang setelah merasakan kondisi pasca reformasi sampai pada kondisi saat ini. Korupsi tidak berkurang justru merebak bagaikan jamur yang kedatangan hujan setelah kemarau panjang. TELAAH DEMOKRASI Kebebasan yang diusung oleh reformasi bertujuan untuk melahirkan sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi merupakan suatu system pemerintahan yang dianggap paling relefan saat itu, karena masyarakat di asumsikan bisa berpartisipasi langsung dalam mewarnai realitas serta mengadakan control terhadap kinerja kawankawannya yang berada di lembaga eksekutive, legislative ataupun yudikative. Demokrasi selama ini telah diberi pintu lebar pada setiap Negara tidak terkecuali di Indonesia. setelah bergulirnya reformasi bangsa Indonesia ternyata masih perlu dikaji ulang tentang demokrasi yang telah diterapkan.

[ 18]

sekian lama bangsa ini telah memakai system pemerintahan demokrasi mulai demokrasi terpimpin, Demokrasi pancasila dan sekarang entah demokrasi apa namanya tetapi yang jelas sampai sekarang dalam mewujudkan cita-cita negeri ini seperti Yang termaktup didalam pembukaan UUD 45 (memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa) belum tercapai. Satu hal yang harus menjadi pertimbangan dalam kajian ulang tentang demokrasi yakni tidak menafikan sosio kultur yang ada pada masyarakat. Karena Indonesia Negara kepulauan yang masing-masing pulau memiliki tata letak secara geografis. Selain itu dari masing wilayah juga memiliki stuktur masyarakat, pola pikir, suku, agama, ras, etnis dan budaya yang berbeda-beda. Inilah yang membedakan Indonesia dengan Amerika atau Negaranegara yang ada di dataran Eropa yang dirasa sangat sukses dalam mengimplementasikan system pemeerintahan demokrasi. Kerena demokrasi dirasa sebagai system pemerintahan Negara yang baik dan rasional serta bentuk final dari perjalanan sejarah manusia. Seperti yang ditulis Fukuyama, pejabat Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1989 Apa yang sedang kita saksikan bukanlah akhir Perang Dingin, atau periode sejarah paska perang, tetapi akhir dari sejarah: yakni, titik akhir dari

DIMĂŤNSI

Edisi: XX/Maret/2008


NUSANTARA NUSANTARA evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi Demokrasi Liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan umat manusia. Meskipun secara antropologis mereka hanya disibukkan dengan warna kulit. Inilah kelanjutan ketundukan negeri ini kedalam kapitalisme global, pemikiran positivistic dan teknologi. Dimana kendali pemerintah tidak lagi pro terhadap pelaku ekonomi domestic melainkan pada pasar global dan pelaku ekonomi asing. Akibatnya harga bahan pokok meroket tak terhentikan, terkenal sebagai Negara agraris sekarang ini beras, kedelai dan jagung harus impor. Karena setok barang yang ada tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Belum lagi kelangkaan minyak tanah diberbagai daerah sementara tindakan pemerintah dalam menekan harga dan menyediakan barang kebutuhan cukup hanya dengan melakukan operasi pasar dan membebaskan biaya pajak barang dari luar negri serta menaikan biaya pajak ekspor. Untuk jangka pendek mungkin hal ini bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri tapi untuk jangka panjang akan menjadikan petani sulit untuk meningkatkan kualitas hasil produksinya. Karena minimnya keperpihakan pemerintah terhadapnya. Bangunan pemikiran positivis telah menjadikan manusia tak berjiwa sama halnya dengan alam keduanya dapat ditundukkan dan dieksploitasi secara total. Usaha manusia dalam memahami realitas telah direduksi, semua aspek kehidupan tak beda dengan kalkulasi ekonomi dan pemecahan masalah teknik yang tak berakhir. Sehingga menjadi insan konsumtif sejati. Kesadaran kritis masyarakat telah dilumpuhkan, kebutuhan-kebutuhan semu diciptakan, sedangkan pasar menyediakan barang dan jasa sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan semu tersebut. Inilah logika pasar global yang tidak bisa ditawar yang dijadikan kiblat kemajuan negri ini.

Edisi: XX/Maret/2008

DEMOKRASI SELANJUTNYA Akibat Logika pelaku demokrasi seperti inilah yang kemudian menjadikan demokrasi yang diterapkan di negeri ini menjadi sangat kabur, tidak jelas posisinya sebagai idealitas yang diterapkan di negeri secara merata dan diseluruh aspek kehidupan. Seperti halnya penggusuran pedagang kaki lima yang berada di pinggir-pinggir jalan, dengan alasan penertibaan atau penataan tata ruang kota. Mungkin tindakan itu bisa dipertimbangkan tetapi kemudian memunculkan masalah baru ketika pemerintah tidak menyediakan tempat yang memiliki peluang ekonomi seperti tempat asal, karena jelas-jelas bahwa tindakan ini merupakan kekerasan terhadap ekonomi dan psikis sosial. Di sisi lain kewajiban pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan masih berada di angan jauh. Belum lagi di wilayah politik demokrasi cuma dijadikan bungkus indah supaya kicauan kampanye terkesan membawa visi kemanusiaan. Tidak berbeda halnya dengan pendidikan, Pendidikan yang dirasa mampu mendifinisikan, menjawab problematika dan menciptakan tatanan sosial baru yang lebih baik, hari ini peran pendidikan dalam pergulatan wacana dan isu serta bangunan konsep telah impotent. Yang terjadi bukanlah konsep pendidikan yang sadar secara teoritis maupun praktis akan sosiokultur yang membangunnya melainkan hanyalah sebagai alat pemaksaan kehendak terhadap masyarakat untuk mendukung suatu idiologi negara yang selama ini di anut. Realitas ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

mempercayai demokrasi, tapi bukan demokrasi dalam keluarga yang penuh dengan anak-anak kecil, dimana masing-maasing mendapat satu suara, dan tak lebih dari itu; bukan demokrasi dipanti penyandang cacat mental; bukan pula demokrasi di penjara. Gambaran kecil ini telah memberikan pelajaran bagi kita dan pelaku demokrasi lain yang berada pada struktur pemerintahan untuk bersama-sama merenofasi demokrasi yang telah dipraktekan selama ini menuju demokrasi yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokrasi. Hal ini tecipta ketika kesadaran dan sikap saling menghargai kita terbangun. Menghargai antar sesama manusia, sesama makhluk dan alam. Dan kita mampu mendefinisikan diri kita sendiri dan sosiokultur yang kita hadapi. Sehingga aktif, kreatif, inofatif, optimis dan kritis akan mewarnai seluruh aktifitas didalam peran kita masing-masing baik dalam ranah sosial, politik, agama, budaya, teknologi dan intelektual. Dengan itu kita akan meramu sejarah kita masing-masing, menjadi insan yang otonom, independen tanpa ada dominasi, intervensi, maupun hegemoni yang melekat. Mencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala. ( Erich fromm )

*) adalah mahasiswa STAIN Tulungagung Jurusan Tarbiyah Semester VII/TBI yang juga crew LPM Dimensi

RENOFASI DERMOKRASI Tetapi setidaknya kita tidak pengecut dalam menghadapi prblematika negeri ini setidaknya ada keberanian untuk berbalik arah dalam praktek demokrasi, minimal miniaturnya seperti yang dikatakan Sidney Hook, saya tegas-tegas

DIMĂŤNSI

[ 19]


Swara KEYAKINAN VS DINAMIKA POLITIK Oleh: Farhadul as’ad *)

Seiring perkembangan zaman dan berbagai rangsangan dari alam telah menyeru manusia untuk selalu melakukan perubahan baik pada perjalanan kehidupannya sendiri maupun pada peradaban manusia secara umum. Eksistensi dan fenomena alam memberikan rangsangan bagi berkembangnya kesadaran manusia, yang pada dasarnya telah diyakini keberadaanya dalam diri setiap manusia sebagai anugrah sang Kausaprima. Keberadaan alam sebenarnya hanyalah media berproses untuk mengembangkan kesadaran itu agar sampai pada tingkat kesadaran yang paling sempurna. Mahmud yunus mengatakan di dalam buku Al Adyaan “berkeyakinan/ beragama adalah suatu fitrah/ tabiat dan kecondongan manusia untuk meyakini adanya kekuatan maha dahsat di luar kekuatan manusia.� Menilisik dari ungkapan Mahmud Yunus tersebut, kesadaran manusia akan terbangun dengan s e n d i r i n y a lewat berbagai realita yang merangsang keinginan manusia untuk terus berevolusi sehingga sisi afeksi manusia akan terpacu untuk melahirkan sebuah deskripsi.

[ 20]

Sedangkan dalam proses kelanjutan dan kelangsungan hidupnya, manusia menggunakan landasan aspek kognisi untuk mengatur strategi, taktis dan siasat sehingga diwujudkan dalam suatu tindakan real yang dapat d i b u k t i k a n d a n dipertanggungjawabkan. Lebih jauh sebenarnya dinamika kehidupan manusia dapat lebih mudah dianalisa lewat pendekatan sosio kultur, politik, budaya, ekonomi dan pendidikan. Pada era mutakhir ini, sering terdengar penyelewengan, penyalahgunaan, perampasan hak dan masih banyak lagi dan anehnya fenomena insidentil yang memicu

DIMĂŤNSI

adrenalin dan membangkitakn emosi khususnya bagi mereka yang berkeyakinan kuat terhadap Tuhan ini menggunakan landasan agama sebagai sesuatu yang sacral dan eksklusif bagi kelompok tertentu saja. Semisal beberapa kejadian di Poso dan Maluku, peperangan atas nama agama sampai merenggut korban nyawa dengan cara sangat mengenaskan termasuk pemenggalan kepala dari badan. lalu Aceh yang mencoba menegakkan syariat Islam dengan memerkosa hakhak warga Aceh, bukankah sangat bertentangan dengan pernyataan bahwa semua agama sebenarnya

Edisi: XX/Maret/2008


sangat menganjurkan toleransi dan kebaikan pada sesama manusia. Partai-partai politik yang berdiri di Negara Indonesia masingmasing mempunyai landasan atau ideology dan paradigma tersendiri. Salah satu landasan gerak yang paling mendasar adalah keyakinan/ agama. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya ormas, orsospol, dan organisasi kemahasiswaan yang berjuang atas nama agama memang mempunyai kekuatan tersendiri ketika menggerakkkan masa dan kadernya. Namun di sisi lain sampai pada titik puncak kegilaannya, para pemuka agama berani mengeluarkan fatwa sesat terhadap keyakinan tertentu dengan dalih merujuk pada inti agama. Sehingga mengorbankan hakhak asasi manusia sebagai makhluk yang punya keyakinan dan kepercayaan sendiri. Agama memang mudah memasuki ruang-ruang kesadaran manusia sehingga rentan dijadikan sebagai alat menghipnotis manusia oleh kelompok tertentu yang berambisi terhadap kekuasaan. Dengan berbagai macam retorika mereka yang mencampuradukkan antara keyakinan teologis dengan politik praktis massa dengan mudah dapat terpengaruhi. tidak heran jika kemudian banyak terjadi beberapa tindak kekerasan atas nama agama sebagaimana FPI dan ormas lain dalam menegakkan syariat Islam. Satu refleksi bagi kita semua, seorang tokoh JIL (Jamaah Islam Liberal) Ulil absor Abdala dalam tulisannya di harian Kompas tempo lalu mencoba mengkaji sebuah tatanan kehidupan yang menerapkan nilai-nilai universal dalam praktek kehidupan agama dan keyakinannya ternyata malah ditentang keras oleh MUI karena dianggap sebagai penyimpangan agama. Fenomena Politisasi agama harus menjadi sorotan di mata cakrawala dunia. di Indonesia sendiri salah satu kekuatan yang luar biasa sebagai media pengumpulan massa adalah agama/keyakinan. Karena

Edisi: XX/Maret/2008

klaim tentang kebenaran telah menjadi suatu idiologi tersendiri yang sebegitu mendarah dagingnya, bahkan berani mati demi agama. Seperti halnya nilai tradisi hara-kiri di jepang menjadi suatu kehormatan bagi orang yang melakukannya untuk menjunjung tinggi keyakinan rakyat jepang. Sehingga kalau Karl Marx pernah menyatakan pada masanya’” agama adalah candu masyarakat.” Namun hari ini agama adalah candu haus kepentingan bagi kepentingan kuasa. Dewasa ini adalah puncak kegilaan. Seakan Tuhan telah menciptakan tirani dalam kompetisi memenangkan suatu piala yang berimbas kebohongan dan pembodohan. Politik dalam agama adalah siasat untuk mensejahterakan manusia. Namun jika politisasi agama adalah suatu penghinaan dan penghianatan terhadap keyakinan. Maka kita semua generasi bangsa yang berkeyakinan dan memiliki kesadaran mengembalikan politik sebagai siasat untuk mengimbangi perkembangan zaman, harus mengawalinya dengan mentransformasikan segenap gagasan kita. Kesejahteraan adalah idaman setiap makhluk hidup. Kesejahteraan juga sudah menjadi konsep ajaran setiap agama dan keyakianan. Ketika kesejahteraan hanya menjadi anganangan semu, para intelek harusnya mampu menjadi penerjemah yang akan mentransformasikan pengetahuan dan menganalisa wacana-wacana yang berkembang di suatu sector sehinga menjadi pemicu perkembangan pengetahuan baru. Dalam dinamika pemikiran politik dan kenegaraan, Ahmad zakki fuad dalam bukunya “Negara Islam atau Negara Nasional, Pemikiran fuindamentalis vs liberalis” mencoba memberikan pemikiran-pemikiran yang akan direfleksikan dan terapkan dalam kontek Indonesia hari ini, bagaimana Indonesia menghadapi tantangan perkembangan social, budaya dan ekonomi serta politik dalam konteks keyakinan beragama. Karena didalam

DIMëNSI

Islam sendiri tidak ada konsep Negara. Hal ini mengindikasikan bahwa islam adalah agama rohmatal lil alamin bukan agama yang monoton. Ketika agama terjebak dalam diatur perspektif politik. Maka ini membuktikan bahwa agama tidak mampu menjawab dan menghadapi tantangan konteks kekinian, padahal pendekatan melalui agama dapat dilakukan. Namun kerancuan terjadi Karena kesadaran manusia telah tergadai oleh ambisi-ambisi yang ingin menguasai manusia. Agama dan penganutnya hanya menjadi wayang yang digerakkan oleh kepentingan yang tidak memihak kepada kesejahteraan dan kebebasan berekspresi yang universal. Inilah yang menutup kesadaran manusia dan membutakan mata, membuntakan jalan pikiran dan merubah paradigma. Sehingga tidak ada lagi pemikiran pragmatis yang sistematis. Agama sebenarnya secara utuh telah diserahkan agar dikontekstualisasikan sesuai dengan kondisi kita hari ini sebagai bukti keberadaan manusia. Maka dari itu kita semestinya mengkaji kembali dan menelisik kembali orientasi agama sebagai keyakinan kita dan percaturan pemikiran politik. Sehingga kita tidak terjebak dalam perspektif politik yang menjadikan buta dan lupa terhadap tujuan utama hidup. Khususnya generasi muda yang masih ganas belajar layaknya perlu mengejawantahkan gagasan kita demi terciptanya kesejahteraan dan rohmatal lil alamin bagi semuanya. REFERENSI: -Zakki Fuad, Ahmad. Negara Islam atau Negara Nasional, Pemikiran Fundamentalis vs Liberalis. Jenggal pustaka Utama Kediri -Dadi darmadi. IAIN dalam Wacana Intelektual Islam Indonesia.

*) adalah kader PMII dan juga mahasiswa STAIN Tulunggung Jurusan Usuludin Semester VI/TH

[ 21]


Swara Analissis Teks Agama Dan Budaya Indonesia Perspektif Gender Oleh: Khalimatus sa’diah *) Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang shaleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) ……(QS An-Nisa’ (4) : 34)

**************** Menjadi perempuan atau laki-laki bukanlah suatu pilihan melainkan sudah menjadi takdir Tuhan tanpa campur tangan hamba-Nya. Sehingga Penempatan posisi pada jenis kelamin laki-laki atau perempuan akan selalu setara. Jika pembagian posisi pada jenis kelamin laki laki atau perempuan ini menjadikan keduanya saling menguasai, perempuan selalu di nista dan laki laki boleh menista, laki laki di atas dan perempuan dibawah atau sebaliknya, tidakkah takdir menjadi sangatlah kejam? Sejak zaman purba, sebagian besar masyarakat menganggap perempuan sebagai makhluk aneh, yaitu warga negara kelas dua, aseksual, juga sebagai sumber maksiat komunitasnya, sehingga status maupun kekuasaan mereka didalam masyarakat di bedakan. Misalnya, kalangan kecil masyarakat Tulungagung, pekerjaan mencari kayu, menggembala kambing dan sapi, mengasuh anak dilakukan secara aktif baik oleh laki-laki maupun perempuan, sedangkan pada beberapa masyarakat di daerah lain, ditemukan kegiatan laki-laki membuat baju dan wanita membangun rumah. Akan tetapi, tidak satu studipun yang menawarkan penjelasan meyakinkan tentang mengapa peran tertentu dalam budaya tertentu ini cenderung

[ 22]

diperuntukkan bagi laki-laki saja atau perempuan saja ketika berada dalam tempat serta kurun waktu yang berbeda. Dalam artian kenapa sistem yang ada ini sudah demikian tertata dan terpakemkan, apakah dia suatu hal yang tiba-tiba ada begitu saja tanpa dilandasi dan di latar belakangi oleh sejarah yang membentuknya. Ataukah dia adalah sutau rangkaian sistem yang menjadi wujud cipta rasa dan karsa dia sebagai manusia yang tinggal di suatu derah geografis dan local tertentu Hal yang perlu ditekankan yaitu, karena kondisi Indonesia merupakan bangsa yang multietnik dan multicultural maka secara teoritis pemahaman dan kesadaran mengenai alam sampai bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan sosialnya juga akan sangat berbeda. Terutama mengenai dua jenis kelamin ini, laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak bisa hanya dipelajari dari satu etnis tertentu dan digeneralisasikan untuk semua etnik di Indonesia. Semisal dalam konteks kota Jakarta saja a t a u d i propinsi a c e h saja.

DIMëNSI

HERMENEUTIKA TEKS SEBAGAI SOLUSI P e r g e s e r a n sosiologis akibat social budaya dan kondisi

Edisi: XX/Maret/2008


Kiprah

RICHARD Pecinta Puisi Indonsia Dimensi: Richard kesini (Indonesia) dalam rangka tujuan apa? Richard: Saya ke Negara Indonesia mempunyai 2 tujuan, pertama dalam rangka tugas menjenguk mahasiswa saya yang belajar intensif bahasa Indonesia selama 6 minggu di Lombok, kedua untuk menerbitkan buku tentang puisinya WANI seorang peyair muda anak dari penyair terkenal pada zaman orde baru “Wiji Tukul� yang hilang bersama 11 mahasiswa dan hingga saat ini belum diketahui keberadaanya, saya ingin menerbitkannya dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris. Dimensi: Apa profesi Richard? Richard: Saya seorang dosen di Universitas Charles di Chartin Town di Australia mengajar sastra Indonesia. Dimensi: Bagaimana metode Kegiatan Belajar Mengajar di Australia terutama dalam mempelajari Bahasa? Richard: Kami juga menggunakan metode tatap muka seperti di Indonesia namun dengan sistem kelas kecil, selain itu dengan metode terjun langsung di Pedesaan dan pengerjaan tugasnya dikirim langsung ataupun lewat internet

Edisi: XX/Maret/2008

kepada dosen dan dosen mengoreksinya, cara yang lain dengan jalan jalan ke Indonesia selama 6 minggu seperti yang kami lakukan hari ini. Dimensi: Bagaimana metode pengajaran di Australia? Richard: Kami ering menggunakan kelompok kecil, membentuk lingkaran, dan mahasiswa dituntut lebih aktif, kami mamahami bangku, meja tulis, dan

sistem baris seperti yang ada di Indonesia itu merupakan kendala untuk poses belajar mengajar secara langsung, siswa yang dibelakang tidak bisa mendengar suara dosen dengan jelas akibatnya ngantuk atau ramai sendiri, akibatnya mereka tidak paham materi dan juga banyak menimbulkan masalah karenanya, seperti adanya diskriminasi perhatian terhadap siswa, dan juga banyak kekerasan terhadap siswa di

DIMĂŤNSI

sekolah. Dimensi: Setelah melihat Indonesia dan pola pendidikannya bagaimana perbandingannya dengan Pendidikan di Australia? Richars: Saya melihat di Indonesia seorang dosen tidak perlu mengajar kalau tidak punya niat mengajar, maksudnya dosen berceramah, mahasiswa pasif dan kadang bahasannya menyimpang kesana kemari, kalau di Australia lebih aktif, seorang mahasiswa dituntut lebih aktif menyampaikan pendapatnya, mengkritik d o s e n , semakin r a m a i kelasnya semakin bagus, guru s a n g a t senang jika mahasiswa ramai dan berani, k a r e n a mereka y a k i n mahasiswanya berpikir maju, semangat, kreatrif.Dimensi: Kenapa anda tertarik dan ingin membuku-kan puisinya Wani? Richard: saya dan beberapa dosen di Australia tertarik dengan puisi Wani karena selain dia anak seorang Wiji Tukul juga karena bakat Wani dalam menulis puisi seperti bapaknya, tegas, analisis tajam, seputar politik dan sosial. Dia mampu menulis apa yang ada disekitar dia dan pengalaman

[ 23]


Kiprah hidupnya kedalam puisi yang hidup, dan menarik para pendengarnya. Dia menulis puisinya dengan bahasa yang sangat sederhana, mudah dipahami, dan realistis, analitis, dan tajam, meskipun pada waktu itu dia masih sangat muda umur 13 tahun. Namun yang harus dipahami Wani juga termasuk anak biasa yang butuh sekolah, pusing karena aturan sekolah, jatuh cinta, mempunyai pengalaman menyenangkan dan menyedihkan, mempunyai harapan dan cita cita seperti anak Indonesia lainnya. Dimensi: Bagaimana anda melihat keberadaan budaya puisi di Indonesia? Richard: Saya memandang tradisi membuat puisi di Indonesia adalah tradisi warisan nenek moyang orang jawa yang dari dulu sangat suka dengan syair, dongeng, pantun, lagu lokal, dan hal yang berbau mistik, seperti dongeng Kancil mencuri Timun, yang kini sudah tidak ada lagi digantikan dengan barang barang modern. Dimensi: Menurut Richard adakah tradisi membuat puisi di Australia dan apa bedanya dengan di Indonesia? Richard: Tradisi pembuatan puisi di Australia hanya pada orang tertentu yang suka puisi dan ingin mengapresiasikannya, kebanyakan dari mereka membuat puisi hanya seputar aktifitas pribadi dan untuk disimpan di buku pribadi tidak untuk dibacakan kepada orang lain, sedang di Indonesia budaya membuat puisi sudah duajarkan sejak kecil, maklum jika hampir seluruh masyarakat Indonesia terutama yang masih belajar (sekolah) sering membuat puisi, dan karyanya sering untuk dibacakan kepada oang lain (dipentaskan). Dimensi: Menurut Richard apa yang ingin disampaikan Wiji Tukul kepada Orde Baru? Richard: Dia ingin menyampaikan suara rakyat kepada rezim orde baru tentang kebijaknnya yang selalu bertolak belakang dengan realitas masyarakat. Semangat untuk

[ 24]

mensuarakan aspirasi dan keberpihakan kepada rakyat tertindas menjadi inspirasi penting bagi dia untuk melakukan kegiatan bersama teman temannya di Hutan kayu, Setenlay, Galuh Wanita, dan Kontras milik munir dengan media jalur budaya dan kesenian, sebenarnya tugas ini juga ada dikalangan mahasiswa sebagai agen control dan perubahan tentang arah keberpihakannya kepada rakyat, namun sayngnya hari ini semua sudah mulai pupus pasca reformasi1998, semangat inilah yang seharusnya selalu kita jaga sampai kapanpun. Dimensi: Bagaimana latar belakang kehidupan Wani dan Tukul sehingga mempunyai analisis tajam, dan pikiran yang tegas? Richard: Dia bukan mahasiswa tapi hanya seorang tukang pelitur, mertuanya tukang becak, istrinya buruh pabrik dan sekarang menjadi tukang jahit kampung, mereka hidup ditegah tegah masyarakat miskin, Dengan biaya hidup 2000/hari keluaraganya bisa hidup sangat sederhana, pendapatan 5000/hari mereka gunakan mengontrak rumah yang hanya satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga, mulai tidur, masak, menerima tamu, tidak mempunyai kamar mandi juga WC. Depan ruimah ada selokan kecil yang tiap datang hujan selalu banjir dan airnya masuk rumah, sangat sering mereka mengungsikan baju, dan barang yag dianggap berharga. Keadaan yang serba sulit ini sering menimbulkan masalah tersendiri bagi keluarga, bapaknya sering mabuk dan keluar masuk penjara, lingkungannya mayoritas orang miskin, hidup serba kekurangan. Kondisi inilah yang menjadikan tukul sering berefleksi tentang kehidupanya dan masyarakat disekitarnya. Dimensi: Apa kegiatan Tukul untuk mengeklspresikan gagasannya? Richard: Dia di rumah medirikan sanggar pendidikan bagi anak anak di lingkungannya yang tidak mampu

DIMĂŤNSI

masuk pendidikan formal. Dia isi dengan kegiatan menggambar, melukis, bermain, dan bernyanyi lagu anak anak, Dia selalu membuat puisi dan membacakannya dengan cara mengamen. Puisi tentang kehidupan masyarakat miskin, kekejaman sistem sosial, dia bacakan didepan teman temannya yang berprofesi sebagai tukang becak, pedagang kecil, dan kawan sekampungnya dengan harapan dia akan menjadi penyair hebat seperti Rendra yang harus menulis puisi diatas angin, namun dia merasa gagal karena mereka tidak bisa memahami arti puisi karangannya, akhirnya puisi itu dia sobek , membuangnya kemudian membuat kembali dengan bahasa yang sangat sederhana, mudah dipahamai orang kecil, terus terang, blak blakan, dan tentang kehidupan sehari hari. Dimensi: Menurut Ricard apa maksud Tukul mengangkat seputar kehidupan orang miskin? Ricard: Dia ingin menganngkat realitas masyarakat dan kehidupan masyarakat kecil yang serba kesusahan dan kekurangan, mulai realitas petani, nelayan, dan orang miskin lainnya, seorang aktor ini ingin menunjukkan semangat hidup mereka, jiwa mereka kuat,berani,dan selalu berjuang untuk bisa hidup meskipun dengan harus melakukan pekerjaan kasar apapun. Dimensi: Bagaimana Richard mencari data tentang Wiji Tukul yang hari ini jelas orangnya tidak diketahui dimana dan kondisinya? Richard: Saya kenal dia dan mempunyai pengalaman bersama sejak 1993-1996, sering nongkrong dirumahnya dan bersama sama mengurus sanggar pendidikan alternative untuk anak anak di desanya, jadi saya kenal dengan dia, sehingga saya tahu bagaimana pola hidup dan karakter yang dia punya. Selain itu saya wawancara dengan keluarganya, adik, kakak, teman akrab, dan orang yang benar benara pernah kenal dan akrab dengan Tukul.//da

Edisi: XX/Maret/2008


Kiprah

Kesetiaan Penagih Hutang Kuiringi derap-derap waktu jam dinding itu Tiap detiknya, tiap menitnya, tiap jamnya Hingga malam menjelang Pagi datang Hari berganti Tak terasa waktu menjeratku Memakan masa masa bahagiaku Menyisakan kepanikan Kepanikan yang lahir dari sebuah sekolah Tentang nilai-nilai ulangan Tentang nilai-nilai kelakuan Yang harus ku kejar, ku perbaiki Ku kejar, ku perbaiki lagi Uhh..otakku panas Nilai-nilai itu Ulangan itu Mungkinkah berpihak kepadaku Mungkinkah matematika, fisika, kimia tersenyum untukku Atau malah menertawakanku? Lalu bagaimana nilai disiplin untukku Yang selalu terlambat ke sekolah Membuatku akrab dengan lembar-lembar kertas merah jambu Bukan merah jambunya “cinta” Namun lebih pada ejekan maya

Sekolah sepeti penagih hutang Menegajarku kemana aku melayang Melayang dalam pikiranku Hingga merasuki dalam mimpi-mimpi ku Tak hanya seperti penagih hutang Namun benar-benar penagih hutang Karena orang tuaku masih berhutang Entah SPP, biaya ujian, atau uang pembangunan Dan menurut orang tuaku Aku tak boleh pikirkan hutang itu (Mengapa) Padahal aku yang belajar Padahal aku yang sekolah Dan menurutku Itu adalah hutang-hutangku Aku ingin sekolah tak ada biaya Namun.. Bagaimana kepala sekolah menggaji guru-gurunya? Kelakuan… Kedisiplinan, keadministrasian.. Ahh… Beginilah nasib anak melarat Yang bersekolah di sekolah kaum terhormat Yag kini terjerat dengan ketakutannya sendiri Kehilangan mimpi-mimpi Tentang kehidupa duniawi Hingga ketakuatabn itu membosankannku

DR. RICHARD CURTIS SYDNEY, 16 DESEMBER 1960 DOSEN BAHASA INDONESIA PADA JURUSAN CREATIVE ART AND HUMANIES UNIVERSITAS CHARLES DARWIN

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 25]


[ 26]

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 27]


Teras

STAIN ; Alternatif Perguruan Tinggi Islam Daerah Pinggiran Sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi Islam yang berstatus Negeri di kawasan Tulungagung, STAIN Tulungagung menjadi salah satu alternatif dalam menapaki dunia pendidikan setelah selesai pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) atau yang sederajat. Sekolah Tinggi yang berdiri selama hampir setengah abad ini, mempunyai proses perjalanan sejarah yang sangat panjang, mulai dari cikal bakal berdirinya yang kental dengan masyarakat yang berlatar belakang pondok pesantren yang sekaligus sebagai media da’wah sampai hari ini yang masih sebagai instansi pendidikan islam yang menghasilkan intelektual muslim disamping perguruan tinggi lainnya. Embrio STAIN STAIN Tulungagung berdiri awalnya dari kegelisahan para ulama dan sarjanawan Tulungagung yang iba melihat realitas masyarakat Tulungagung pada waktu itu yang sangat lemah pemahannya terhadap

[ 28]

ajaran Islam. Langkah awal yang mereka lakukan sebagai jawaban terhadap kondisi ini ialah mengadakan Kulliyatul Islamiyah (pengajianpengajian) dengan menghadirkan beberapa pembicara dari luar kota yang mereka lakukan di Pondok Tawangsari, demikian penuturan KH Nurul Hadi Ridwan (alm) yang dikutip dari majalah DIMëNSI edisi IX tahun 2001. Memang, bila dilihat dari konteks masyarakat waktu itu sebagai yang melatar belakangi awal-awal berdirinya STAIN pada masa itu terdapat pergolakan yang cukup pelik antara beberapa faham agamaNegara, (sekitar tahun 1960-1970an). Demikian tutur Soetahar, “waktu itu banyak orang pinggiran yang tidak ingin dicap sebagai PKI, jadi banyak orang yang antusias mengikuti pengajian-pengajian”. Soetahar juga menambahkan, untuk menjawab tantangan pergolakan zaman, pengajian-pengajian atau yang pada waktu disebut dengan Kulliyatul Islamiyah dijadikan sebagai modal awal pencetusan berdirinya perguruan

DIMëNSI

tinggi STAIN Tulungagung. Karena dilihat dari jumlah peserta yang hadir dalam setiap pertemuan dan antusias masyarakat dalam mengikuti setiap kulliyatul islamiyah tersebut, akhirnya para pendiri merasa yakin bahwa masyarakat Tulungagung benar-benar membutuhkan suatu lembaga pendidikan Islam yang setingkat perguruan tinggi. Selain itu Soetahar menuturkan bahwa beberapa dosen PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) beserta KH. Arief Mustaqiem merasa perlu untuk mendirikan perguruan tinggi Islam, Hj.. Masrifah menambahkan “karena waktu itu di Tulungagung belum ada perguruan tinggi dan apabila ingin melanjutkan mereka harus pergi ke Kediri, Malang, Surabaya, dll, dan pada madrasah-madrasah di Tulungagung terdapat Aliyah yang lulusannya belum terwadahi, sehingga inisiatif ini mendapat banyak dukungan dari para ulama pondok pesantren, dan masyarakat Tulungagung”.

Edisi: XX/Maret/2008


Teras Hj. Sunsufi Arief (Isteri Alm, KH. Arief Mustaqiem) menuturkan bahwa ide awal pembentukan IAIN yang sekarang STAIN adalah sebagai wadah para sarjana Tulungagung dalam mengabdikan dan mengamalkan apa yang telah di peroleh selain juga untuk mencari sesuap nasi, dan saat itu di Tulungagung belum ada satu pun perguruan tinggi. Beberapa pendirinya adalah KH. Arief Mustaqim DA (Tulungagung, Almarhum), Drs. Ali Mahfud Mashuri (Semarang), Drs. Abdul Fatah Ghozali ( B a n d ung, jawa barat), Soetahar, MA (Tulungagung), Hj. Sunsufi Arief, BA (Isteri KH. Arief Mustaqim DA), Drs. Murtadlo (Tulungagung), Hj. Masrifah, B.Sc, Drs. Nurul Hadi Ridwan. Mereka bertemu dan merintis berdirinya yayasan yang bertugas mengelola dan menaungi cikal bakal STAIN sebelum menjadi negeri dengan nama Yayasan Islam Sunan Rahmat

Edisi: XX/Maret/2008

yang di ketuai oleh KH. Arief Mustaqiem. Sejarah STAIN Perjalanan STAIN berawal dari berdirinya SP IAI Singo Leksono Tahun 1966 yang dipimpin oleh KH. Arif Mustaqiem yang bertempat di gedung chung wa chung wi setelah mendapat izin dari KODIM yang berganti menjadi Jl. Agus Salim (sekarang Belga) yang kemudian mendirikan IAI (Institut Agama Islam) dan KH. Arief Mustaqiem menjadi dekan I dan SP IAI Singo Leksono di pimpin oleh Hj. Sunsufi Arief, BA kemudian lulusan SP IAI Singo Leksono (yang sekarang menjadi MAN I pada 1980-an) melanjutkan ke IAI Fakultas5 Tarbiyah Sunan Ampel. Yayasan Islam Sunan Rahmat tidak lagi menaungi keduanya setelah di negerikan menjadi SP IAIN Singo Leksono dan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Tulungagung,

DIMĂŤNSI

yang diresmikan pada hari jum’at tanggal 1 Jumadil Akhir 1388 H bertepatan dengan 26 juli 1968 oleh Menteri Agama RI KH. Achmad Dahlan, berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama tertanggal 17 Juli 1968, dengan Dekan KH. Arief Mustaqiem, DA sebagai dekan pertama, namun peresmian SP IAI menjadi SP IAIN memerlukan dana yang tidak sedikit, oleh Karena itu salah satu pendiri Drs. Fattah Ghozali mencetuskan gagasan mengundang group samroh Rofiqoh Darto Wahab dari Pekalongan, lalu hasil dari penjualan tiket pentas musik tersebut untuk pembiayaan peresmian sekaligus untuk melengkapi kekurangan fasilitas, tutur Soetahar, Ma yang juga di amini oleh Hj. Sunsufi dan Hj. Masrifah. Mengingat lokasi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel ini bukan milik sendiri, maka pada tahun 1970 para pengelola mendapatkan lokasi

[ 29]


Teras

yang strategis di wilayah desa Beji seluas 5.4 Ha (sekarang menjadi komplek perumahan Telkom) akan tetapi karena ada permasalahan administratif yang belum terpenuhi, Fakultas ini harus segera menentukan tempat lain untuk pengembangan. Sehingga pada tahun 1982 para pengelola mempertimbangkan kawasan baru, yaitu di jalan Major Sujadi tepatnya di Desa Plosokandang Kecamatan Kedungwaru Tulungagung. Pertimbangannya adalah karena berada pada jalur yang strategis (jalan utama Tulungagung-Blitar-Malang). Tanah ini merupakan tanah hasil pembelian seharga Rp. 31 Juta dari APBN tahun 1982-1983. Akhirnya pada tahun 1984, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Tulungagung, yang semula berada di jalan KH. Agus Salim (yang waktu itu bernama jalan Bakung), secara resmi pindah ke lokasi baru. Secara runtut, Fakultas cabang ini resmi menjadi Fakultas Tarbiyah

[ 30]

Tulungagung IAIN Sunan Ampel dalam keputusan Menteri Agama RI. No. 17 Tahun 1988. kemudian diterbitkan surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri dan keputusan Menteri Agama RI. No.315 Tahun 1997 tentang organisasi dan tata kerja STAIN Tulungagung, Keputusan Menteri Agama RI. No 348 Tahun 1997 tentang Statuta STAIN Tulungagung, Keputusan Dirjen Binbaga Islam nomor: E/136/1997 tentang alih status dari Fakultas daerah menjadi STAIN dan persetujuan menteri Negara pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) No. 8.589/I/1997 tentang pendirian STAIN, yang telah merubah status semua Fakultas cabang yang berada di bawah IAIN di seluruh Indonesia menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) termasuk Fakultas Tarbiyah di Tulungagung yang semula menjadi bagian dari Fakultas cabang IAIN Sunan Ampel.

DIMĂŤNSI

STAIN Tulungagung yang pada awalnya hanyalah terdiri satu Fakultas saja, sekarang telah mengalami perkembangan. Menurut Hj. Masrifah, alasan kenapa waktu itu hanya berdiri fakultas Tarbiyah, bukan ushuludin atau syariah, karena memang pada waktu itu di kawasan Tulungagung banyak SPG (Sekolah Pendidikan Guru), sehingga di harapkan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Tulungagung dapat menampung mereka. Di Tanya mengenai perkembangan STAIN Tulungagung dari tahun ke tahun Soetahar merasa secara birokratis kampus ini setagnan, “dari tahun ke tahun ya sama saja STAIN itu kan lembaga birokratis jadi apa kata atasan para bawahan mengikutinya, kalau pusat minta apa maka akan di ikuti para bawahannya� Ungkap selaku pelaku sejarah berdirinya STAIN Tulungagung yang hingga hari ini masih setia mengabdikan diri di kampus orange ini kepada Crew Dimensi. (Newn/Izzet)

Edisi: XX/Maret/2008


Swara Sambungan dari hal. 22

yang senantiasa berubah menjadikan pemahaman/ Sambungan dari ajaran hal22 interpretasi terhadap Islam menjadi lebih dinamis karena sifat elastisitas dan dinamika bahasa. Maka wajar bila penafsiran terhadap sebuah teks selalu berkembang bukan hanya melahirkan pemahaman tunggal, begitu pula dengan substansi ayat diatas. Kalimat Ar-rijal qawwamun ‘ala an-nisa’ yang terdapat dalam surat an-Nisa’ (4): 34 selalu menjadi alasan (dasar normatif) superioritas laki-laki atas perempuan. Kalimat ini sering diartikan dengan kewajiban laki-laki (suami) sebagai satu-satunya pemimpin. Karena menurut sebagian mufassir, kaum laki-laki mempunyai kelebihan (fisik dan psikis). Inilah yang menunjang suksesnya kepemimpinan, dalam tafsir al-Manar disebutkan, (Rasyid Ridha, 1973, 1 :608) bahwa laki-laki lebih utama daripada perempuan, sehingga lebih pantas untuk memimpin. Berdasarkan susunannya kalimatnya, ayat ini bukanlah kalimat perintah yang menyatakan: wahai kaum laki-laki kamu harus memimpin dan perempuan kamu harus dipimpin. Kacamata barat yang cenderung mendefinisikan kekuasaan sebagai maskulin, public dan impersonal akan mengalami masalah besar untuk menangkap fenomena kekuasan perempuan Indonesia yang cenderung feminime, privat dan personal. PEREMPUAN DALAM SEJARAH INDONESIA

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

Sejarah kehidupan bangsa ini mencatat bahwa perempuan memegang peranan penting dan utama dalam politik. Perempuan Indonesia sudah sangat berperan penting dalam tata sistem social jauh sejak sebelum kolonialisme barat, ini mengindikasikan bahwa perempuan untuk menjadi pemimpin tidak perlu berubah maskulin demi duduk di atas kekuasaan, atau sebaliknya laki-laki menjadi feminim, namun semuanya mempunyai tata sistem sendiri yang sudah ditentukan oleh sejarah dan budayanya. Di Jawa timur, kerajaan Majapahit di perintah oleh ratu selama 22 tahun, yaitu, ketika raja Jayanegara meninggal pada tahun 1328 karena tidak dikaruniai seorang anak pun, maka raja mengangkat adik perempuannya untuk menggantikan kedudukannya. Dialah yang dikenal ratu Tribuana Tungggadewi Jaya Wisnu Wardani. Setelah memerintah selama 22 tahun, yaitu pada tahun 1350 ia mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Di masa inilah kerajaan Majapahit tersohor sampai mancanegara. Dan pada masa akhir kekuasaan Majapahit kurang lebih selama 16 tahun kemudian (1429-1445) Seorang ratu memerintah lagi, yaitu Ratu Suhita. Di Jawa Tengah, pada abad VII M tepatnya tahun 674 M, menurut catatan orang Cina, rakyat Holing (yang dimaksud adalah kerajaan Kalingga) menobatkan seorang

[ 31]


Swara perempuan sebagai ratu dengan gelar ratu His Mo (Sima). Lebih lanjut diungkapkan bahwa pemerintahan pada saat itu amat baik dan adil meski bersifat keras, dikutip dari buku yang ditulis Poesponegara D marwali dan Nugroho Noto Suranto yaitu Sejarah Nasional Indonesia, menjelaskan bahwa kepemimpinan Ratu Sima itu terdengar pula sampai ke negara Cina. Dan ketegasan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu ini menarik perhatian raja Ta-Shih. Pada masa perkembangan Islam, di jawa juga dikenal seorang pemimpin perempuan yang berkuasa di wilayah Jepara, tepatnya di Kalinyamat, daerah kekuasaan kesultanan Demak. Dimasa pemerintahannya, Jepara berkembang dengan pesat perdagangan sampai ke luar negeri. Dan pada tahun 1574 Ratu kalinyamat ini mengirim bantuan ke negeri Aceh juga Ambon untuk menghadapi Portugis. Dalam buku Wanita Utama Nusantara Dalam Lintas Sejarah (139-140) karya Ismail sofyan dkk tertulis di Sumatera, tepatnya di Aceh adalah Cut Nyak Din. Pacut Mourah Intan dan Cut Nyak Meutia juga Pacut Baren yang pada saat itu tampil gagah berani di medan perang melawan Belanda sampai 1910. Dalam kekuasaan pemerintahanpun peranan kaum perempuan Aceh tidak kalah, Tercatat empat orang Sultanah memimpin selama kurun waktu hampir 60 tahun (1640-1699). Ratu pertama adalah Sultanah Tajul Alam Satiatuddin Syah (1641-1675), putri sultan Iskandar Muda. Kedua, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (167541678). Ketiga, Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688). Dan keempat, Kamat Syah Zariatuddin Syah (1688-1699) masing-masing Sultanah tersebut mengeluarkan mata uang yang disebut dirham. Sumber sejarah menyebutkan bahwa para Sultanah tersebut memimpin negaranya dengan bijak dan meraih kesuksesan. Dimasa pemerintahannya semua aturan Negara dilaksanakan dengan konsekuen. Begitu juga pada masa abad ke 16, kesultanan Aceh terkenal sebagai Negara besar, memunculkan sosok perempuan yang berpangkat Laksamana Keumal Hayati. Ia mencatat prestasi gemilang pada tahun 1599 ia berhasil mengalahkan dua buah kapal Belanda yang dipimpin Corvelis dsan Frederick de Houtman. Di Sulawesi Selatan, kerajaan Islam abad XIX juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa perempuan, yaitu Siti Aisyah We Tennolle yang berkuasa di kerajaan Ternate pada tahun 1986, Bahkan menguasai kerajaan Bugis. Dari fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perempuan dan laki-laki yaitu sama-sama mempunyai potensi dan kecerdasan, keinginan, cita-cita, impian dan harapan, juga rasa khawatir dan kecemasan. Dengan kesadaran ilmu pengetahuan yang dimiliki perempuan, dia tidak hanya mampu berperan sebagai ibu dan anak-anaknya atau istri yang hanya berkutat diruang domestic, akan tetapi mereka juga mempunyai

[ 32]

potensi untuk terus di kembangkan. PEREMPUAN DAN KELUARGA Perempuan juga tampil sebagai sosok ibu, dalam kultur Indonesia khususnya Jawa memiliki potensi yang sangat penting sebagai pusat rumah yang selalu dipercaya. Posisi ini tidak dimiliki oleh sosok bapak. Sosok bapak lebih menjadi symbol dunia luar yang tidak selalu terkait dengan moral. Wajar kiranya sosok ibu, dalam kultur kita senantiasa dihormati. Secara psikologis, keluarga menjadi penentu terbangunnya tata nilai dan moral anggotanya karena keluarga sebagai komunitas terkecil masyarakat dimana setiap anggota yang ada akan menjalankan keutamaan-keutamaan sosial dengan perasaan serta pengertiannya sendiri. Besarnya peran ibu bukan saja didukung oleh idiologi sosok ibu sebagai simbol moralitas, melainkan adanya sifat kultur dan konsep kekuasan yang feminime. Kekuatan perempuan jawa tak dirasakan sebagai ancaman ataupun kekerasan bagi suami maupun masyarakat luas, tetapi justru sebaliknya kekuatannya selalu dirasakan orang lain sebagai kelembutan, kehangatan, kesabaran hingga pada akhirnya terkadang dalam lingkungan keluarga suamilah yang justru sangat tergantung kepada istri secara emosional, maka pada posisi inilah perempuan jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia public melalui suaminya. Mengambil sebuah contoh dari Kondisi perempuan jawa yang hampir mewakili perempuan Indonesia pada umumnya, terutama berkaitan dengan kenyataan empiris bahwa ibu menduduki posisi sentral dalam keluarga?, dalam hal ini kita perlu hati-hati dan kritis dalam memaknai realitas sejarah peran laki-laki dan perempuan di tanah air dengan memakai alur empiric yang berbeda dengan dunia barat. Misalnya dalam kelembutan kultur budaya kita jawa pada khususnya, tak selalu berarti lembek, domestic tidak selalu berarti ketidakberdayaan atau sebaliknya, kepasifan bisa pula berarti kekerasan hati tanpa sikap, hati-hati dan kritis, maka bukan saja kita akan salah menafsirkannya, melainkan bisa saja justru kekuatan dan potensi yang sesungguhnya dari wanita dalam kultur kita yang tidak tertangkap. Ketidakadilan gender bukan hanya dapat dijelaskan berdasarkan teori kelas yakni berdasarkan pemisahan dikotomi dalam pembagian peran public dan privat, persoalannya tidak sesederhana itu. Banyak perempuan yang menduduki posisi publik namun belum bisa secara optimal. Dan bukan berarti bahwa keterlibatan perempuan dalam sektor publik adalah tidak perlu. Akan tetapi, yang penting adalah bagaimana setiap langkah di dasari atas pemahaman yang tepat pada akar permasalahan. *) adalah Mahasiswi STAIN Tulungagung Jurusan Syariah Semester VIII/AS

DIMĂŤNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Pendidikan Politik Untuk Memanusiakan Manusia Oleh: Abu Mansur *)

Pendidikan di indonesia sudah mulai berabad abad yang lalu dan akan tetap bergulir sampai kapanpun sejalan dengan perjalanan hidup manusia karena pendidikan adalah proses yang terus menerus untuk memperoleh pengetahuan yang nantinya akan membentuk pola pikir dan kesadaran manusia selama proses hidup di dunia. Namun dalam perkembangannya karena faktor konstalasi politik yang sedang terjadi pada masa pemerintahan colonial belanda saat itu yang menerapkan kebijakan politik etisnya. Pemaknaan pendidikan telah tereduksi sebegitu banyaknya menjadi sebatas “sekolah� saja. Kondisi pendidikan nasional yang seperti ini jelas tidak bisa serta merta kita benahi begitu saja dalam waktu sekejab, melainkan butuh konsistensi sampai bertahun tahun untuk memperbaikinya. Permasalahan yang sebenarnya tejadi bukan masalah benar atau salahnya system yang diterapkan tapi sudah tepatkah ia dengan konteks masyarakat yang ada di indonesia. Terbukti

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

setelah sekian tahun dilaksanakan dan dipraktekkan di tanah air ternyata tidak pula memberikan angin segar pada proses kemajuan bangsa yakni terwujudnya kemandirian rakyat kita yang berasaskan demokrasi pancasila, karena sringkali yang terjadi rakyat malah semakin bingung dan terbebani dengan pendidikan formal nasional. Padahal semestinya semakin modern atau semakin canggihnya pendidikan sekarang membawa bangsa kita kepada kondisi yang tentram dan sejahtera. Belum lagi imbas sering berganti-gantinya struktur pemerintahan termasuk presiden dan aparatur negara berimbas pada bergantinya pula sistem pendidikan yang dilaksanakan. Menjadi satu contoh bukti ketidak seriusan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan, akhirnya siswa tidak lebih hanya dijadikan bahan coba-coba saja. Keberanian dan keseriusan dalam proses pendidikan sangat dibutuhkan karena ini menyangkut masa depan masyarakat dalam membangun kemandirian

[ 33]


Swara dan pemberdayaan mereka secara hakiki. Artinya tidak cukup hanya dengan masalah berapa banyak materi yang telah terserap, berapa banyak keahlian yang di mumpuni siswa, apalagi berapa scor yang di punyai oleh siswa dan bagaimana ia mampu mencari keuntungan dan pekerjaan sebagai buget hidup. Ia menyangkut bagaimana kesadaran diri dan responsiblitas terhadap realitas sekitar bisa tertanam dalam diri, bagaimana agar manusia ini punya kekuatan menghapi kehidupan, mencetak sejarah dengan tangan dan kakinya, mewujudkan angan dan asanya. Sehingga yang terjadi pendidikan terjebak hanya sebatas alat politik meraih kekuasaan bagi sebagian kalangan yang terjun didalamnya. Demokrasi sudah diteriak-teriakkan sejak berpuluh puluh tahun. Namun teriakan demokrasi tak lebih hanya sebagai jargon kepentingan pribadi saja. Bagaimana tidak, demokrasi sebatas diteriakan waktu kampanye pemilu dan rapat saja, dalam prakteknya pendidikan sebagai salah satu wahana utama dalam proses pembangunan manusia indonesia saja sama sekali masih sepihak dari atas, artinya masyarakat tidak pernah merasa memiliki dengan institusi ini. Masyarakat hanya berposisi sebagai objek kebijakan. Sehingga pendidikan malah mengkotakkankotakkkan masyarakat menjadi terkelas-kelas dan memisahkan anak didik dari kehidupan mereka. Siswa bukan lagi bagian dari masyarakat tapi ia adalah kelompok sosial tersendiri di luar komunitas tempat dia berasal PENTINGNYA PARADIGMA PENDIDIKAN Manusia yang seharusnya menjadi pelaku pendidikan akan tetapi sangat bertolak belakang ketika manusia sebagai animal political menjalankan system pendidikan selama ini. yang membedakan manusia mempunyai sifat dinamis dalam hidupnya akan tetapi system pendidikan telah menyamakan manusia dengan barang produksi dan alam. Semisal islam yang masuk pada sebuah lembaga pendidikan. Namun dengan keterbatasan lembaga pendidikan tersebut menusia dipaksakan untuk dicetak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penentu kebijakan dalam institusi lembaga pendidikan tersebut Padahal secara ontologis, manusia berada dalam tiga tingkatan hakekat, yaitu pada tingkat abstrak (abstack esence), tingkat potensi (potensial essence) dan tingkat kongkrit. Karena pendidikan mutlak berlangsung pada diri dan keberadaan manusia. ontologi manusia pun juga bisa dibahas menurut tingkat-tingkat keberadaan seperti itu. Pertama, Esensi Abstrak pendidikan: maksud ungkapan ini adalah hakekat keberadaan pendidikan pada tingkatan abstrak, karena pada tingkatan ini pendidikan bernilai universal artinya mutlak adanya dan berlaku bagi

[ 34]

manusia siapapun yang ada kapanpun dan dimanapun juga. Ia adalah nilai abstrak yang hanya dapat dipahami dan di sadari keberadaannya pada diri manusia ketika bersinggungan langsung dan berproses lama dengannya. Apapun nilai universal pendidikan dapat dilihat pada orientasi filosofis pendidikan itu sendiri, yaitu system bimbingan dengan sasaran pemanusiaan manusia. Dengan orentasi filosofis seperti itu dapat diartikan bahwa pendidikan adalah suatu bimbingan yang berkesinambungan untuk menggali kembali fitrah manusia secara terus menerus dalam proses pendidikan agar secara bertahap tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang benar-benar memanusiawi Maksud istilah manusia yang manusiawi adalah manusia yang dengan potensi akalnya ketika mendapat bimbingan di dalam rentetan system pendidikan tumbuh kesadaran terhadap asal mula eksistensi dan tujuan hidupnya pada tingkatan hakekat abstrak pendidikan lebih cenderung mengembangkan spirit kehidupan rendah hati penuh kearifan dan kejujuran Kedua, Esensi Potensial pendidikan. Pada tingkat keberadaan ini pendidikan adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiaanya sebagai manusia bukan makhluk lain. Yaitu sebagai makluk kreatif yang selalu mencipta segala macam jenis kerangka dan model perubahan yang berguna bagi kelangsungan dan perkembangan hidupnya. Pada tingkatan potensi ini, pendidikan cenderung menumbuh kembangkan kecerdasan intelejensi agar terbentuk kepribadian yang kratif yaitu dengan secara terus menerus meningkatkan latihan berfikir dan berbuat sesuatu sehingga kemudian terbentuk kepribadian yang tekun, teliti, kritis dan terampil dalam menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari seperti yang dikatakan betrand Russell yang kurang lebih menyatakan bahwa kreativitas individu adalah kunci perkembangan dan kemajuan kehidupan sosial. Ketiga, Esensi Kongkrit pendidikan, pada tingkat ini pendidikan terkait langsung dengan manusia individu dan sosial. Dalam hal ini pendidikan adalah daya yang mampu membuat setiap manusia individu berkesadaran utuh terhadap hakekat keberadaannya berdasarkan nilai asal mula dan tujuan kehidupannnya. Termasuk didalamnya kesadaran politik. Persoalan pokok wilayah hakekat kongkrit pendidikan adalah system kegiatan pembelajaran dengan sasaran bagaimana munumbuhkembangkan potensi kecerdasan emosional manusia sebagai animal political. Oleh sebab itu di wilayah ini pendidikan di arahkan kepada bagaimana mendidik setiap individu untuk berperilaku sosial dan bertanggung jawab terhadap totalitas kehidupannya. POLITIK MEMANUSIAKAN MANUSIA PENDIDIKAN

DIMĂŤNSI

DALAM

Edisi: XX/Maret/2008


Swara Posisi manusia sebagai animal political itu semakin tampak jelas ketika manusia sebagai mahluk sosial. Pendidikan dengan obyek materi manusia yang mempunyai berbagai wujud dan obyek formalnya adalah manusia dari sisi potensi intelektualnya. Berarti ketika mahasiswa tidak tahu apa kebutuhan dan kepentingannya dalam arti lebih luas bagaimana ia berpolitik dalam kehidupan secara utuh, kemungkinan besar merupakan pengaruh dari sistem pendidikan yang membonekakan manusia. Karena manusia telah dipisahkan dari potensi dasarnya sebagai animal political. Seperti yang diuraikan didepan pada hakikatnya pendidikan memang untuk manusia akan tetapi dewasa ini pendidikan bukan untuk manusia yang hidup, manusia seutuhnya, manusia yang mempunyai jati diri, tapi system pendidikan telah menjadikan manusia sebagai objek atau boneka yang tidak tahu dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Semestinya pendidikan mengajarkan bagaimana berpolitik yang beretika dan secara praktis tidak cukup dengan ilmu politik secara teoritis saja. Yang perlu kita sadari siswa merupakan rakyat dan akan kembali kerakyat. Dengan kesadaran akan peran politik nya dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya sebagai sesama generasi bangsa, masyarakat akan lebih tergerak dan bersemangat membangun bangsa ini secara lebih adil dan manusiawi. Kesadaran politik dalam dunia pendidikan sangat perlu kita tanamkan karena politik merupakan bagian yang sangat berurusan dengan manusia saat berhubungan dan berkomunikasi dalam kelompoknya dari tingkat yang paling kecil yakni keluarga sampai pada tingkatan paling

besar negara atau bangsa untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Ataukah kehidupan masyarakat terdidik harus terus berada dalam keadaan yang serba kontradiktif disetiap aspek kehidupan seperti yang sering terjadi dewasa ini, titik kontradiktif itu sering kita temui pada hubungan antara tingkat pendidikan dan prilaku seseorang. Para politisi tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat melainkan hanya memperjuangkan aspirasi konglomerat, sedangkan penyelenggara pendidikan sudah tidak peduli lagi terhadap pengembangan bakat, tetapi lebih tertarik pada urusan pangkat, para penyelenggara kesehatan tidak mendidik untuk hidup sehat, tetapi justru sibuk dengan pemasaran obat. Itukah cermin masyarakat terdidik....!? REFERENSI: - Paulu freire, politik pendidikan, kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan. Yogyakarta. Pustaka pelaajr, april 2004 - Suyparlan Suhartono, filsafat pendidikan. Yogyakarta. Ar-ruzz. Juli 2006 Ilmu, filsafat,dan agama, endang saifudin ansori - Loren bagus. Kamus filsafat. PT Gramedia jakarta 1996

*) adalah mahasiswa STAIN Tulunggung Jurusan Tarbiyah Semester VIII/PAI

kenapa hanya melihat diseberang dengan banyaknya akal pembenahan kenapa tak melihat yang terdekat dengan akal yang memikat, dengan akal yang benar, melihat akan diri, akan hati dan budi yang dimiliki sebelum membenah yang jauh dari diri...INTROSPEKSI!! Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

[ 35]


BUDAYA

YASINAN Sebagai Media Belajar Hidup Berdemokrasi Ala Masyarakat Pinggiran “Budaya yasinan yang hanya dipahami sebagai rutinitas bagi mayoritas masyarakat sebenarnya adalah salah satu metode masyarakat untuk belajar hidup berdemokrasi” Yasinan, adalah sebuah kegiatan spiritual yang secara langsung bersentuhan dengan aspek kehidupan sosial masyrakat, yang hingga hari ini eksistensinya masih dapat kita temukan ditengah tengah masyarakat khususnya dikalangan kaum Nahdliyin (NU) yang masih menjaga tradisi local dan mereka bermadzhabkan syafi’I. Seperti halnya yang dikatakan oleh Zainal seorang perintis yasinan di desa bangoan, baliau berpendapat bahwasanya “yasinan itu sama dengan berkumpul dan membaca surat yasin” logikanya, ketika berbicara yasinan maka berbicara mengenai suatu perkumpulan yang bernama yasinan yang aktivitasnya yaitu berkumpul dengan membaca yasin, begitu halnya dengan nariyahan yang aktivitasnya juga berkumpul dan mambaca sholawat nariyah, dan

[ 36]

yang ditekankan dalam hal ini sebagai bentuk tujuan utama yaitu suatu kebutuhan masyarakat itu sendiri (spiritual maupun sosial) dan inilah nilai kultural yang disampaikan. Lalu bagaimana aplikasi yasin diterapkan dikalangan kaum nahdliyin . “ NU tidak selalu mewajibkan atau memilki agenda yasinan, akan tetapi bila orang melakukan aktivitas ini maka sudah termasuk orang NU” ujar beliau, pernyataan tersebut diperkuat dengan penjelasanya, yang mana secara signifikan ketika berbicara masalah yasinan atau kegiatan berkumpul dengan menitik tekankan pada nilai spiritual dan sosial atau orang nonNU mengatakan “bid’ah” tidak mungkin dilaksanakan oleh orang yang mempercayai madzhab lain. Sedang secara esensial ketika yasin digunakan sebagai isi dari aktivitas berkumpul yaitu

DIMëNSI

dikaitkan dengan segi manfaat secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, sebagai pertimbanganya yaitu : isi dari kandungan yasin dan efeknya jika dikaitkan dengan pola hubungan di masyarakat (komunitas) maka sudah menjawab latarbelakang yasinan jika dihubungkan dengan keberadaan NU sebagai aplikatornya. Kalau kita mau merunut dari sejarahnya, kegiatan yasinan ini tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran wali songo yang menyebarkan ajaran agama islam dengan cara akulturasi (memadukan) ajaran islam dengan budaya jawa yang pada waktu itu masih sangat kental dengan budaya Hindu Budha seperti kegiatan yang berbau mistik, berhubungan dengan nenek moyang, seperti kirim doa kepada leluhur, sesajen dan masih banyal lagi. Melihat fenomena seperti itu wali songo harus menggunakan

Edisi: XX/Maret/2008


BUDAYA metode yang halus, lebih luwes, dan mudah diterima dengan tidak mengganti budaya yang ada.Disini jelas yang menjadi landasan munculnya kelompok yasinan adalah media da’wah di dalam masyarakat yang notabene mempunyai bentuk budaya yang bermacam macam. N a m u n d a l a m perkembangannya budaya yasinan ini hanya dipahami sebagai rutinitas masyarakat tiap malem jum’at yang anggotanya orang tua/dewasa sekaligus sebagai media berkumpul dengan masyarakat sekitar, yang tiap selesai kegiatan mereka pulang kerumah masing masing yang akhirnya terkesan kurang membawa pengaruh positif terutama dalam menjawab persoalan masyarakat. Padahal kalau kita mau berpikir lebih jauh, budaya yasinan ini membawa banyak pengaruh terhadap masyarakat. Mulai sebagai media untuk menjaga hubungan persaudaraan satu sama lain, perasaan saling memiliki arti kehidupan masyarakat terutama kelompok yasinan itu sendiri, juga sebagai media belajar masyarakat untuk mampu menciptakan sistem, mengolah, menjaga, dan mengembangkannnya sehingga sesuai dengan kondisi masyarakat yang notabene sebagai pelaku dari sistem yang mereka buat sendiri. Kegiatan yang mampu mengakomodir mayoritas masyarakat ini pada dasarnya mempunyai banyak fungsi yang kesemuanya itu sangat berkaitan dengan masalah masyarakat. Seperti yang diungkapkan kyai Muhson dari Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien (PPHM) Ngunut bahwa yasinan itu sendiri mempunyai banyak fungsi antara lain : pertama sebagai forum silaturahmi, hal ini bisa dilihat dari komunikasi

Edisi: XX/Maret/2008

timbal balik dalam masyarakat yang kemudian tercipta rasa peduli antar sesama, dengan sistem giliran yang menjadi tuan rumah menjadikan kegiatan ini lebih terlihat humanis, kadang bertempat dirumah yang kaya dengan menu yang sepesial, kadang juga dirumah yang hidup pas pasan dengan menu yang juga sederhana. Kedua yaitu, sebagai forum dzikir, mengembangkan kesadaran masyarakat akan kedekatan diri kepada ilahi dengan media keagamaan (aqidah) yang dilakuakan dengan cara berjama’ah, masyarakat dengan latar belakang berbeda bersatu untuk melakukan kegiatan bersama berupa yasinan. Dari yang berpofresi sebagai petani, pegawai,

lurah, dan juga kiyai berkumpul menjadi satu, hidup bersama saling membantu sehingga membentuk sistem yang selanjutnya menjadi budaya masyarakat yang sering kita sebuat sebagai budaya gotong royong. Ketiga yaitu, sebagai forum dakwah, dimana hal ini merupakan perwujudan dari metode penyebaran ajaran islam dalam bentuk wahana kebersamaan yang dikelola dengan rapi dan sistematis. Seperti yang diungkapkan Fadik Muhammad Ketua Pelaksana LSM PARICARA yang mengatakan bahwa ketika manusia mempunyai tujuan yang

DIMĂŤNSI

ingin dicapai, maka langkah pertama yag harus dilakukan adalah membangun strategi organisasi dimulai dari wilayah yang paling rendah hingga wilayah poros yang paling tinggi dengan tetap berpijak pada metode pengembangan bersama dan dipegang oleh yang benar benar menguasi metode tersebut Keempat yaitu, sebagai forum transformasi informasi, dengan memberdayakan fasilitas yang sudah ada (yasinan). Disini kegiatan yasinan digunakan sebagai media untuk bertukar informasi sekaligus komunikasi antar warga terutama masalah kehidupan (muamalah), Kegiatan agama dipahami tidak hanya berkutat d a l a m masalah ubudiyah (ketujanan) namun juga dituntut untuk bisa memberikan solusi bagi persoalan masyarakat seperti masalah ekonomi, politik, ataupun sosial. Semua masalah itu diupayakan mampu diselesaikan lewat jalan musyawarah b e n t u k keputusan, kebijakan, pelaksanaannya selalu penuh kebersamaan. Selain dari empat fungsi diatas juga untuk menunjang fungsi masjid selain hanya untuk tempat sholat, namun juga sebagai pusat seluruh kegiatan masyarakat yang hari ini mulai luntur. Masjid sudah mulai sepi dan pemfungsiannya kurang maksimal. Sehingga dengan diadakannya kegiatan yasinan diharapkan meskipun seseorang jarang ke masjid namun secara amaliyah dan kekeluargaan sesame warga bisa tetap terus terjalin, namun semua itu harus diupayakan agar semua kegiatan itu bisa kembali dilakuikan di masjid.//bayu/choir.

[ 37]


Editorial

Fenomena dunia yang hari ini semakin memanas dengan berbagai persoalan yang muncul mulai dari pemanasan global dan perubahan iklim mengakibatkan menipisnya lapissan ozon, peperangan tidak kujung usai, kenaikan harga minyak mentah dunia hingga bangkitnya kembali negara sosialis terutama negara rusia menunjukkan adanya sinyal kuat akan adanya persaingan poitik ekonomi dunia. Kita tahu bahwa di era abad 21 ini terjadi persaingan ketat antara negara maju dan berkembang terutama pada sector politik dan ekonomi. Di wilayah politik, Amerika Serikat setelah mengalahkan paham sosialis komunis dan menjadi kiblat seluruh dunia, kini mulai mendapat pesaing baru yang sebagian dari mereka juga berpaham sosialis, termasuk didalamnya negara Kuba, Iran, Venezuela, dan bahkan kini negara rusia sedang giat-gaitnya dengan penemuan bom nuklir. Hal ini menjadi satu indikasi bahwa posisi Amerika Serikat yang kesannya sebagai penentu arah politik dunia kini sudah mulai tergeser. Pada sektor ekonomi, kebangkitan Negara-negara berkembang yang juga mempunyai integritas sebagai Negara industri seperti Negara India, China, Jepang, Korea, Singapura, ternyata mampu menguasai pasar dunia dengan produk-produknya serta sedikit demi sedikit juga mampu menggeser posisi Amerika sedikit lebih kebelakang. Hal ini bisa dilihat disetiap barang yang dipakai oleh keluarga, transportasi, dan juga tekstil mayoritas buatan Negara jepang dan china, ini menunjukkan bahwa Negara di asia kini sudah mulai bangkit untuk go public internasional dalam memperdagangkan hasil produksinya. Di rebutnya pasar oleh negara industri (maju) pada dasarnya mengakibatkan Negara-negara berkembang yang notabene mayoritas negara agraris menjadi sasaran (korban), karena jelas secara nyata dia bukanlah negara industri yang diharuskan selalu mengikuti perkembangan teknologi dan pasar dunia, akibatnya dia hanya bisa menjadi penoton, dan objek kebijakan pasar dunia, tidak bisa di elakkan lagi maka hiperkonsumerisme akan meraja lela. Kita tahu bahwa Negara Indonesia termasuk salah satu Negara berkembang yang terkena imbasnya, secara de fakta dan deyure Negara ini sudah merdeka, akan tetapi secara budaya Indonesia masih dalam penjajahan yang sangat kejam dengan budaya konsumerisme. Negara yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian bercocok tanam, ekonomi kecil, teknologi rendah, kini dipaksa untuk mengikuti budaya global. HP, Internet, Mobil mewah, TV, Komputer secara besar besaran dipaksa untuk menjadi satu ukuran orang bisa dikatakan modern, pintar,

[ 38]

berkelas, dan gaul, dan anehnya lagi juga kadang dipakai sebagai landasan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan untuk masyarakatnya, bukan kebijakan itu didasarkan pada bagaimana kondisi masyarakat negeri ini dan seberapa jauh kemampuannya dalam menggali potensi hidupnya di begeri ini. Hal ini sama seperti seorang bayi yang masih minum ASI dipaksa untuk makan sepiring nasi, roti, akibatnya secara perlahan-lahan anak itu tersiksa dan lama kelamaan akan mati atau minimal keluar dari tradisinya. Kekuatan penanaman budaya konsumeris ini diperkuat oleh hadirnya media ke masyarakat sebagai anak modernisasi. Dengan media manusia diperkenalkan dengan berbagai barang barang baru, fenomena baru, yang belum pernah dikenal oleh masyarakat secara umum. Dengan pancingan hadiah, gaya hidup yang serba berkecukupan, popular, hampir setiap orang terhipnotis oleh bujukan itu terutama kalangan remaja. Memang dalam usia yang masih tergolong masa pencarian jati diri ini kaum remaja selalu mencoba mana yang menurutnya terbaik, sering berubah pendirian, atau juga tingkat gengsinya masih sangat tinggi dan tak mau dikatakan katrok (kuper), secara psikologi usia ini masih belum bisa memposisikan dirinya untuk selalu berpikir positif karena jelas kondisi jiwanya belum stabil. Selain itu hasil pendidikan yang kurikulumnya tidak jelas, akibatnya secara fisik anak didik terlihat dewasa namun secara mental masih kerdil, tidak kreatif, serta hanya mengejar kesenangan dan kepuasan sesaat. Hal ini sangat terihat jelas dalam perilaku pemuda dan pelajar saat ini, bercinta, pergaulan bebas sudah menjadi trend, banyak tindakan kriminal yang dilakukan remaja seperti hamil diluar nikah, tawuran pelajar, rampok, jambret dan lain lain. Mereka tidak sadar bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, butuh perjuangan yang sangat ketat, serta butuh kesadaran penuh bahwa baik buruknya negara dan generasi selanjutnya tergantung dari kiprah mereka saat ini. Untuk itu, dalam menyelamatkan budaya Indonesia serta membuat peradaban baru yang lebih maju kita harus saling membantu dalam mempersiapkan kader yang lebih baik, militan, erkualitas, visioner, dan bisa digunakan sebagai pemegang tongkat estafet negara untuk bisa lebih sejahtera. Selamat berjuang, kawan,�LIHAT, PIKIRKAN terus RASAKAN, baru UBAHLAH� //Editor//

DIMĂŤNSI

Edisi: XX/Maret/2008


oh malam …… oh siang ……. bawakan salamku pada sang orator jalanan itu orator yang berteriak dengan antannya orator yang dengan lanyah bersuara indah orator yang membawa bara api Kehidupan takterpadamkan dimatanya salam sejahtera kami haturkan salam bahagia tuk segenap kekasihnya dan titip pesan dari emak dan bapak bahwa dibelakang tinggal nasi aking yang ada bahwa adik ku kecil sayang masih terus menangis minta bolpoin bahwa tetanggaku terus saling berkelahi berebut pedang keramat dan jangan lupa besok kau harus pulang kita akan minum teh bersama lagi

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

[ 39]


Resensi Judul buku : Media Komunikasi ; Siapa Mengorbankan Siapa Penyunting : Nunung Prajarto Penerbit : Fisipol UGM Cetakan : Pertama, Desember 2006 Tebal : xiii + 182 hlm

Pengorbanan Media ; untuk Siapa? Media merupakan sarana penghubung antara masyarakat paling bawah dengan masyarakat paling tinggi dalam hal ini adalah birokrasi pemerintahan. Baik itu media cetak maupun media elektronik. Sebagai pemberi informasi yang akurat tentunya media dituntut untuk menyajikan berita yang seaktual mungkin sesuai dengan tujuannya tanpa berpihak pada suatu golongan tertentu. Berawal dari interaksi berbagai elemen mulai dari petani, pedagang, pengusaha dan pemerintah media telah menjadi tarik ulur tersendiri bagi kekuatan dan pengaruh mereka. Dan hal itu menempatkan salah satunya atau bahkan kesemuanya menjadi korban. Dengan kata lain yang mudah dipahami, “suatu pihak mengorbankan media agar kepentingan mereka tidak terganggu”.

[ 40]

Tetapi pengorbanan media bisa juga diartikan, “media melakukan sesuatu yang mengakibatkan munculnya korban baik disengaja ataupun tidak”. Media massa sebagai korban ini dalam interaksinya dengan negara dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Segala bentuk pembredelan, sensor, pencekalan wartawan dan “himbauan” disentuhkan dengan pelanggaran terhadap masalah kebebasan sebagai salah satu unsur hak manusia yang harus dilindungi dan dihormati (Lubis, 1993). Contoh di Indonesia dalam kasus media massa sebagai korban diantaranya terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) di Yogyakarta dan pembredelan surat kabar dan majalah .(Schwarz, 1999 dan southwood and Flanagan, 1983). Namun dalam kerja professional media, tak selamanya media

DIMëNSI

yang dikorbankan, bahkan sebaliknya. media yang mengorbankan. Disadari atau tidak dan disengaja atau tidak, banyak korban berjatuhan karena media atau setidaknya dipermalukan oleh media. Sebagai contoh, isu bias gender dalam media, hanya memberi kesadaran pada segelintir orang. Isu yang lebih besar mengalir justru pada perlindungan terhadap anak-anak dan tentunya lebih berakar pada dampak negatif media massa pada audiens. Hal inilah yang coba dibahas dalam buku yang berjudul “Media komunikasi ; siapa mengorbankan siapa”, yang ditulis oleh sejumlah staf pengajar jurusan ilmu komunikasi, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM). Penulis dalam buku ini diantaranya adalah Hermin I Wahyuni, I Gusti Ngurah Putra, Nunung Prajarto,

Edisi: XX/Maret/2008


Resensi Budi Irawanto, Rajiyem, Rahayu, M Sulhan dan Novi Kurnia. Tiga bab pertama didalam buku ini mengkaji masalah posisi potensial media massa sebagai korban. Masalah regulasi dalam penyiaran di Indonesia setidaknya menyiratkan adanya tarik ulur kepentingan yang berpeluang mengorbankan media massa (khususnya penyiaran) dan tentunya juga mengorbankan pihak-pihak lainnya. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi dengan media sebagai korbannya menunjukkan betapa rapuh law enforcement dalam hubungan antara media dan negara dalam kerja professional media massa. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran ini dilakukan oleh banyak pihak. Sementara itu pada bagian keempat penulis memaparkan perkembangan produksi film di Indonesia yang mulai marak pada awal 1970-an. Tetapi justru terasa langka mengenai kritik film yang berbobot. Kritik film belum menjadi perkara yang penting di Indonesia. Tak heran bila yang dianggap sebagai “kritikus film” sebagian besar adalah para jurnalis yang kebetulan banyak meliput persoalan film atau menulis ulasan tentang film. Kritik film tidak hanya dikenal dengan penilaian tentang baik buruk atau pemberian pujian sebuah film, tetapi lebih mengacu pada kata “kritis” yang terdapat tuntutan untuk memberikan penjelasan yang memancing pada satu kajian yang memiliki “kehangatan perbincangan untuk merangsang perbincangan selanjutnya”. Dalam perjalanan kritik film di Indonesia masih kuat menggunakan pendekatan formalistik seperti struktur cerita, koherensi, penggambaran karakter/penokohan dan gaya bertutur dalam menimbang sebuah film. Dengan kata lain kritik film kita hanya mengenal satu parameter (asas/prinsip) dalam menilai film. Dalam hal ini penulis seharusnya menawarkan parameter baru yaitu film

Edisi: XX/Maret/2008

sebagai wacana (discourse) dan film sebagai medan budaya (cultural field). Bagian selanjutnya membahas tentang tradisi budaya slametan suran dari studi kasus di dusun Soropaten, Ringinharjo, Bantul, Yogyakarta. Disebut upacara slametan karena keadaan yang diinginkan setelah upacara adalah keadaan slamet atau selamat yang berkaitan dengan kekuatan gaib sehingga dilakukan pada bulan-bulan yang disakralkan. Disebut slametan suran karena diselenggarakan pada bulan sura dan dikhususkan untuk orang yang mempunyai kelahiran bulan sura saja. Sura berasal dari kata Asyura yang berarti sepuluh (10 Muharram). Slametan suran ini menyimpan mitos-mitos dan symbol serta makna dibalik sesajen untuk upacara slametan seperti ambeng, tumpeng, dll. Interpretasi simbolsimbol itu terlihat adanya dua arah hubungan secara horizontal dan vertikal. Kasus pembredelan dan sabotase media merupakan contoh konkrit control yang berlebih dari para elite politik terutama pemerintah. Kalau dulu berdalih untuk menyelamatkan kepentingan nasional, kini dengan dalih untuk menyelamatkan masyarakat dari pengaruh buruk media yang diyakini dapat merusak moral dan kepribadian masyarakat. Tetapi pengaruh media tidak dapat dibendung dengan regulasi yang mengikat perkembangan media. Pada akhirnya, pengendalian media berada ditangan audiens yang kritis yang mampu melakukan penyeleksian dan pengolahan informasi berdasar kebutuhannya. Dalam upaya menyadarkan pentingnya peran masyarakat dalam menyikapi media secara kritis, maka pembelajaran literasi media dipandang penting. Tetapi di Indonesia hal itu bukanlah perkara yang mudah. Selain itu harus bisa mengubah perspektif yang digunakan dalam pembelajaran

DIMëNSI

media dari “penggunaan media sebagai sarana pebelajaran” menjadi “pengembangan cara pandang kritis terhadap media”. Bagian selanjutnya dalam buku itu membahas tentang Public Relations (PR) hubungannya dengan media massa. Ditengah membludaknya periklanan dalam dunia marketing yang semakin lama tidak laku dipasaran karena semuanya melebih-lebihkan suatu produk dan bombastis, sehingga konsumen tidak tertarik dengan yang namanya iklan. Menjembatani hal itu, Marketing Public Relations (MPR) menjadi alternative yang mumpuni untuk mendapatkan kredibilitas publik. Prinsip utama MPR adalah melibatkan media masa, karena media menjadi alat utama mendapatkan publisitas dalam MPR. Fungsi PR selama ini tidak pernah “ditampakkan” karena lebih dianggap memiliki misi sosial dalam koridor bisnis, namun kini mulai dipercaya mampu memainkan peran integral dalam dunia pemasaran. Prinsip dan nilai guna fungsi PR dalam dunia pemasaran ini seharusnya diadopsi dalam pemasaran media massa karena media juga sebagai barang yang memerlukan pemasaran. Buku ini layak dikonsumsi tidak hanya mahasiswa jurusan komunikasi dan jurnalis tetapi juga bisnisman, pengkritisi film dan sejarawan. Karena didalamnya membahas tentang kiat-kiat praktis berbisnis khususnya tentang PR, bagaimana parameter mengkritisi film dan beberapa makna dari simbolsimbol budaya jawa (slametan). Buku ini dikemas dalam perpaduan bahasa indonesia dan inggris. Sehingga untuk memahami isi buku ini secara utuh harus memiliki penguasaan dalam bahasa inggris yang memadai. //Umy//

[ 41]


Resensi Judul buku: Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender) Penulis : Drs. Moh. Roqib, M.Ag Tebal : XV + 258 hlm Penerbit : Pustaka Pelajar Cetakan : Pertama, Juli 2007

Pluralitas Dalam Harmoni Harmoni dalam konteks hakekat merujuk pada adanya keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus. Suatu keharmonisan hanya dapat di temukan dalam kondisi masyarakat yang plural dan majemuk. Sementara Keharmonisan social akan menjamin terciptanya kebudayaan Indonesia yang terbuka, progresif dan transformative. Dalam pluralitas budaya Indonesia terdapat

[ 42]

harmonitas budaya jawa yang di paparkan penulis didalam bukunya ini. Dengan mulai menjabarkan siapa dan bagaimana masyarakat jawa sebagai subyek kajian, penulis mengungkapkan bahwa orang jawa sebenarnya memiliki ciri khas yang melekat pada perilaku dan tutur bahasa masyarakatnya. Sementara di tinjau secara geografis dalam buku ini masyarakat jawa di definisikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur kecuali Madura

DIMĂŤNSI

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI Edisi: XVII/Oktober/2005


Resensi tidaklah termasuk masyarakat jawa karena memiliki logat bahasa dan perilaku berbeda. Sedangkan yogyakarta dan Solo oleh orang jawa diposisikan sebagai barometer dan referensi dalam proses kebudayaannya. Simpul-simpul dalam budaya jawa yang menunjukan nilai harmoni diantaranya adalah bahasa jawa beserta tulisan-tulisannya yang termuat dalam lafad hanacaraka datasawala padajayanya magabatanga yang kesemuanya itu juga memiliki maksud tersendiri. Selain itu Masyarakat jawa dengan teologinya, manunggaling kawula gusti, juga percaya akan adanya orang-orang yang masih dianggap keramat, roh, lalu juga adanya masalah kuwalat dalam beberapa tindakan yang dilakukan manusia serta masih rutin mengadakan slametan. Sikap sopansantun (unggah-ungguh) dan perasaaan halus, mementingkan kebersamaan (mangan ora mangan kumpul), sadar posisi, mawas diri, pasrah dan menjadi pekerja keras masih dijaga dengan ketat. Perempuan dan seksualitas menjadi unsur penting dalam harmoni jawa ini begitupun dengan seni musik dan nyanyian. Dalam dialektika antara budaya Jawa dan Islam terdapat pesantren sebagai lembaga pendidikan pertama di tanah air. Dalam prosesnya berakulturasi dengan tradisi Jawa pesantren memiliki prinsip mempertahankan nilai harmoni dengan jargon Al-muhafazhah ‘ala al-qodim al shalih wa al-akhdu bijadid al ashlah (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi/budaya baru yang lebih baik) telah menjadi landasan tersendiri dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya local tersebut. Simpul harmoni dalam islam sendiri sebenarnya sudah ada dalam beberapa ajarannya, diantaranya dalam aspek tauhid (manunggaling kawula gusti), niat (perencanaan) yang dibarengi dengan berpikir rasional-prospektif, amal shalih (kerja positif), tarbiyah (pendidikan dan pengembangan SDM), kontinuitas kerja dan komimen (istiqomah), berpikir strategis (ijtihad), persaudaraan (ukhuwah), kesetaraan dan pemerataan ekonomi (zakat dan shadaqah). Buku yang terdiri dari VII bab ini berawal dari hasil penelitian tentang harmonitas budaya jawa

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

yang di lakukan oleh Ahmad Tohari, lalu dilanjutkan dengan analisis terhadap beberapa karya Ahmad Tohari, Terutama Trilogy Ronggeng Dukuh Paruh yang merupakan “master piece�nya Ahmad Tohari dimana pada saat itu dengan karyanya tersebut ahmad thohari akhirnya di sejajarkan dengan raksasa sastra Indonesia pramudya Ananta Toer pada tahun 1995, juga ditujukan untuk sosialisasi tentang budaya jawa yang masih kurang difahami oleh masyarakat jawa itu sendiri. Budaya jawa dijadikan sebagai focus kajian karena menjadi background kelahiran dan lingkungan sehari-hari penulis. Seks, perempuan, dan cinta sebagai unsure terpenting dalam harmonitas menjadi suatu bahasan tersendiri dalam buku ini, dengan memaparkan seks ala jawa dan bagaimana budaya jawa menghargai perempuan, Penulis banyak mengambil kutipan dalam melakukan analisa, mengulang-ulang beberapa kalimat dan menggunakan beberapa pribahasa jawa yang memang telah menjadi bahasa harian masyarakat jawa, seperti ajining diri saka lathi dll. Dengan bahasanya yang luwes pembaca di buat penasaran dan haus untuk memahami budaya jawa. Sebagai bagian budaya Indonesia, di dalam budaya jawa terdapat beraneka ragam aturan kehidupan yang hari ini telah dianggap ortodok, di tinggalkan dan semakin terpinggirkan oleh budaya barat. Di sisi lain pembaca mungkin akan sedikit di buat kecewa dengan tulisan pada sampul bahwa kata pengantar di sampaikan oleh Ahmad Tohari namun kata pengantar ternyata dari pemaparan penulis sendiri, mungkin yang dimaksud dengan kata pengantar disitu adalah catatan kecil dari ahmad thohari sebagai orang yang memulai penelitian dan penulis buku ronggeng dukuh paruh. Analisis penulis sendiri sebenarnya agak terkaburkan karena banyaknya kutipan yang di ambil dari beberapa budayawan dan paemikiran beberapa ilmuwan yang terlalu diamini oleh penulis. Bahkan ketertarikan yang begitu dalam penulis pada karya-karya Ahmad Tohari menunjukkan bahwa ide dasar dari buku ini bukan merupakan refleksi sang penulis. // Izzaturrofiah

[ 43]


Mengembalikan Visi Politik Dalam BingkaiKomunitas Oleh : Maya Amil Masrina )* Tanpa visi, politik kita hanyalah sengketa para makelar berdasi yang berebut uang komisi dan kolusi. Selebihnya, militerisme preman, pembunuhan, dan sebuah bangsa yang mati dijarah globalisasi. Dalam arus historis kehidupan, manusia selalu bergerak zig-zag memburu nasib yang lebih baik. Maksudnya, apa yang kita idamkan selalau berupa kebalikan dari apa yang menyengsarakan, atau apa yang “lebih” dibanding kondisi yang sedang kita alami. Ketika ekonomi sedang menanjak, kita merindukan tanjakan yang lebih besar. Ketika dihajar krisis, kita mengidamkan pertumbuhan untuk sekadar bertahan. Begitu juga dalam pengalaman dan memori kita tentang kediktatoran Orde Baru membuat demokrasi dan kebebasan seolah menjadi impian yang s a n g a t cemerlang. Namun kenyataannya kondisi Indonesia s e n d i r i kesadaraan tentang ‘politik’ jauh ketinggalan dibanding k e m a j u a n infrastruktur dan laju ekonomi baru yang mengambil wajah globalisasi. Sehingga secara tidak langsung tata politik harus diperbarui agar sesuai dengan laju perkembangan globalisasi ekonomi. Cuma, apa arti ‘sesuai’ disitu? bukan penyesuaian agar politik semakin menjadi hamba globalisasi ekonomi. Penyesuaian ke arah subordinasi ‘politik’ pada ‘ekonomi’ adalah jenis penyesuaian yang biasanya dituntut oleh kebanyakan pelaku bisnis. Contoh yang jelas adalah mabuk deregulasi ekonomi. Namun penyesuaian dalam arti ini justru akan membuat ‘politik’ kehilangan seluruh tujuan keberadaannya yaitu penciptaan tata keadilan maka diperlukan reformasi politik yang menyangkut pembaharuan diwilayah etos serta praksis pengelolaan negara-bangsa dengan sasaran: mempertahankan otonomi bidang ‘politik’ tanpa menjadi antagonistik terhadap globalisasi ‘ekonomi’. Karena bagaiamanapun juga kita tidak bisa mengelak dari lintasan

[ 44]

sejarah dunia yang sedang ditandai globalisasi ekonomi. Kita ialah warga dunia yang “menunggang macan” bernama globalisasi. Selain pembaharuan etos dan praksis politik sebagai upaya penciptaan kebaikan umum (common good). Juga dibutuhkan pula penataan dan pembangunan kembali (reconstruction) semangat negarabangsa sebagai komunitas. Dalam sejarah pemikiran politik, konsepsi baru ini disebut sebagai tradisi Civil Society sebagaimana kita kenal sekarang, yang sebenarnya bergeser dari tradisi Civil Virtue yang pernah di gagas oleh Jean J a c q u e s R o u s e a u . Pergeseran ini punya implikasi besar dalam ketatanegaraan. K o n s e p s i kebaikan umum semakin bersifat subyektif, karena dilepas dari bingkai pengertian baik-buruk bagi hidup komunitas. Lolos dari komunitas, definisi baik-buruk dipatok dalam pasalpasal hukum dengan individu sebagai pusatnya. Makna ‘keadilan’, misalnya, lalu dipenggal dari pengertian komuniter, dan sekadar dilihat sebagai pemenuhan pasalpasal hukum. bukan keutamaan yang membawa kebaikan umum, umum di sini tata solidaritas dalam komunitas. Kebaikan umum adalah sebuah kondisi dimana tidak ada lagi tindakan pemerasan, pemiskinan dan penindasan, sehingga kebaikan umum hanya terjadi oleh tindakan manusia maka kebaikan umum menuntut adanya tata moral tertentu. Dari sinilah terlahir keutamaan atau kebajikan yang dalam bahasa yunani disebut dengan virtue. Termasuk politik tidak terlepas dari etika karena menjadi bentuk praksis dari tata moral yang ada Menurut Rousseau, virtus menyangkut penyeuaian kehendak individual pada kehendak

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


komunitas. Sumber moralitas bukan individu melainkan komunitas. Gagasan ini mengandaikan bahwa kehendak umum bukan sekadar penjumlahan berbagai kehendak pribadi, melainkan suatu tatanan yang punya realitasnya sendiri. Itulah masyarakat. Di kemudian hari, pemikir seperti Emile Durkheim menunjuk realitas supra ini sebagai ‘sosial’ (conscience collective), yang dibedakan dari ‘individual’. Lepasnya definisi baik-buruk dari bingkai komunitas secara berangsur menggusur gagasan ‘kabaikan umum’ sendiri. dan dengan demikian juga menyingkirkan konsepsi ‘komunitas’. Masyarakat menjadi sekadar arena di mana para individu mengejar apa yang menguntungkan bagi masing-masing lewat tata hukum yang sudah terpakemkan itu. Tata politik ada untuk menopang pemburuan kepentingan itu. Bahwa tata politik lalu cenderung dibuat bagi keuntungan orang atau kelompok yang paling kuat adalah konsekuensi yang sudah jelas dari pengandaiannya. Itulah kondisi yang kita warisi dalam ketatanegaraan. Itu juga kondisi yang membuat mengapa konsepsi ‘kebaikan umum’ sebagai tujuan utama politik begitu urgen, namun juga problematis. Menabrak tembok individu, pemikir seperti adam Smith hanya berpesan bahwa kebaikan umum menuntut adanya kebajikan untuk pengendalian-diri. Bahkan di abad ke-19 pemikir seperti John Stuart Mill mengatakan “egoisme dan kerakusan yang mewarnai suasana umum dewasa ini tertanam sedemikian kuat, karena kinerja lembaga-lembaga masyarakat yang ada memang mengembangbiakkannya...” (Auto-biography, 1870, hlm.197). Dengan pudarnya tradisi civic Virtue, arti ‘baik’ (good) juga makin tercabut dari bingkai komunitas, dan sekadar berarti ‘apa yang menyenangkan’ (pleasant) bagi masing-masing individu. Lalu virtus sekadar menyangkut keramahan dalam pergaulan. Yang tersisa adalah konsepsi ‘kebaikan umum’ (misal: keadilan) menurut bunyi pasal-pasal hukum. Suatu paradoks terjadi. Semakin hidup bersama dipatok oleh kriteria hukum, semakin hidup bersama dan kebaikan umum tidak lagi terbentuk oleh daya solidaritas. Lalu legalisme-prosedural menjadi satu-satunya cara hidup bersama, seperti kecenderungan dalam gagasan-gagasan politik John Rawls. Tampak bahwa konsepsi kebaikan umum sebagai tujuan utama politik sebenarnya sulit dilepas dari gagasan tentang komunitas. Apa yang dimaksud bukan nostalgia romantik pada tata hidup suku atau pun polis. Kita tak mungkin kembali ke cara hidup suku ataupun polis. Yang dimaksud adalah kita sulit menggagas kebaikan umum tanpa konsepsi komunitas. Maka bisa dikatakan bahwa mengembalikan ‘politik’ ke tujuan utamanya sulit dilepas dari gerakan menata kembali negara-bangsa sebagai komunitas.

Edisi: XX/Maret/2008

DIMëNSI

Pertama, ekonomi-politik. Regulasi tidak berarti anti pasar dan anti-profit. Omongan bahwa pasar merupakan mekanisme alami bagi alokasi kesejahteraan adalah omongan naif. Untuk itu paket kebijakan yang menyangkut pengadaan modal perlu menerapkan strategi deregulasi selektif. Kedua, sosio-politik. Pembentukan dan perluasan gerakan serta partai non-sektarian yang berorientasi demokrasi-sosial (social democracy). Kriteria partai dan gerakan demokrasi-sosial bisa kita kenali dalam etos, program dan praksis yang berfokus pada dua agenda: penciptaan kebaikan umum non-sektarian, dan penataan negara-bangsa komunitas yang inklusif. Di sini tercakup keharusan menghapus mekanisme politik yang menyingkirkan berbagai kelompok dari kehidupan bangsa, seperti mencabut Tap No XXV/MPRS/1966. Juga, politik luar negeri kita perlu aktif terlibat dalam pembentukan tata “pemerintahan” global yang sedang terus diupayakan untuk mengatasi kekerdilan hukum internasional bagi kerja sama seperti intervensi kemanusiaan dan regulasi pasar finansial global. Ketiga, kultural-politik. Memperluas kerja sama publik (termasuk antar umat beragama) dengan fokus pada pembentukan ikatan keprihatinan sosio-afektif pada civic virtue keadilan dan ikatan komunitas yang inklusif. Tercakup dalam agenda ini, misalnya, gerakan redefinisi etis dan yuridis bahwa kegiatan bisnis adalah kegiatan publik seperti watak publik tanggung jawab pejabat negara. Keempat, historis-politik. Setiap generasi punya memorinya sendiri. Untuk generasi muda, misalnya, para korban yang mati dalam peristiwa menggulingkan Orde Baru ialah bagian perjuangan bagi kebaikan umum. Begitu juga sosok seperti Marsinah. Tanpa harus mengangkat menjadi pahlawan, gerakan mengenang mereka bisa menjadi penghormatan, dan sekaligus sebagai upaya melahirkan kembali contoh civic virtues bagi komunitas bangsa. Dengan itu juga kita lakukan proses redefinisi etis tentang apa yang beradab dan biadab dalam politik. Di negeri ini, politik punya reputasi yang menyedihkan. Salah satunya karena politik sudah lama terpisah dari refleksi yang terus berkembang untuk menjawab tantangan baru. Maka dari itu harus dibangun politik dengan visi. Tanpa visi, politik kita hanyalah sengketa para makelar berdasi yang berebut uang komisi dan kolusi. Selebihnya, militerisme preman, pembunuhan, dan sebuah bangsa yang mati dijarah globalisasi.

*) Penulis adalah mahasiswa Tarbiyah semester VIII/ TMT yang kebetulan menjabat sebagai Pimpinan Redaksi LPM DIMëNSI STAIN Tulungagung periode 2007-2008

[ 45]


TANTANGAN JURNALIS INDONESIA Oleh: Kley

Fenomena hari ini yang paling banyak adalah bicara tentang “Berita jadi hiburan dan hiburan jadi berita�. Berita yang diberikan untuk menjadi konsumsi publik bukanlah tentang fenomena yang membangun SDM dan menjadi tawaran terhadap persoalan masyarakat, namun lebih kepada mengajak masyarakat secara luas untuk mempunyai angan angan kehidupan yang keluar dari jalur kehidupannya seperti seputar selebritis, aksesoris, dan fashion, dan masih banyak lagi yang h a n y a

[ 46]

berisi tentang hiburan tanpa ada sisi yang membangun pola masyarakat yang humanis. Fungsi jurnalistik tidak lebih hanya sebagai anak modernisasi yang selalu akan membangun opini masyarakat dan memaksa sisitem sosial utuk berubah. Jurnalisme sebagai lembaga kemasyarakatan akan mengalami krisis kepercayaan a p a b i l a keindependensian yang

DIMĂŤNSI

seharusnya dimunculkan itu ternyata terbeli oleh iklan, sponsor, ataupun orientasi yang mengarah kepada P r o v i t (keuntungan semata). Fenomena inilah yang hari ini ada dalam kehidupan /sistem jurnalisme Indonesia. Idealismen pers yang semata selalu berpihak kepada rakyat dan berusaha obyektif dalam mengeksplore beita, itu harus tergadaikan dengan sistem perusahaan/kepentingannya yang sangat jelas ukurannya adalah pembaca (pasar) sebagai sumber keuntungan, sehinga tidak jarang dari jereka antara wartawan dan perusahaan mengalami kontra dalam orientasi kerja, wartawan ingin tulisannya berpihak kepada rakyat yang menjadi objek dari kebijakan pemerintah dan berusaha objektif, s e d a n g

Edisi: XX/Maret/2008


kepentingan perusahaan lebih bersifat subjektif dan birokratis, akibatnya proses juranlisme yang diminta untuk menyediakan sesuatu yang berbeda dengan tawaran dengan tatanan yang lebih kritis dan membangun justru menghancurkan budaya demokrasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergesean jurnalisme dari upaya pengembangan komunitas, Pertama, adalah sifat teknologi baru, komputerisasi dan internet memisahkan jurnalisme dari gegografis, dan selanjutnya dari komunitas yang kita pahami dan pengertian politik atau kemasyarakatan. Lebih mudah untuk melihat orang melayani perdagangan di situs web dan komunitas yang berbasis kepentingan daripada melayani komunitas politik. Kedua,adalah faktor globalisasi. Saat perusahaan terutama perusahaan komunikasi menjadi perusahan tanpa batas, ikhwal kenegaraan, maka komunitas tradisional pun menghilang dalam pengertian komersial. Faktor ketiga adalah ketika yang menggerakkan jurnalisme pasar adalah Konglomerasi dan birokrasi. Isi dan arahan berita yang hanya searah dari orang orang yang mampu menguasai pasar dan mampu membeli media hanya akan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat dan juga mematikan arus budaya demokrasi yang seharusnya sangat mempertimbangkan kemakmuran masyarakat secara umum bukan kepentingan. Hal ini dapat dilihat di Negara Singapura dimana berita dikontrol untuk menumbuhkan kapitalisme namun mencegah partisipasi dalam kehidupan masyarakat, hal senada juga terjadi di Amerika terutama dalam komersial yang lebih murni seperti

Edisi: XX/Maret/2008

saat media pemberitaan yang dimiliki korporasi yang lebih besar dipakai untuk mempromosikan berbagai produk perusahaan konglomerat yang menjadi induk mereka untuk mendukung lobi yang tidak kentara ataupun persaingan perusahaan dengan iklan untuk mendongkrak keuntungan, disini masalahnya bukan hanya hilangnya jurnalisme semata, namun lebih kepada proses mempertaruhkan anggota masyarakat yang memilih akses terhaddap informasi independent yang mampu mengatur diri dan juga berpikir lebih obyekif untuk memberikan alternative solusi seputar tentang kehidupan masyarakat. (Bill kovach&Tom Rosentill, elemen elemen Jurnalisme,esai2004)hal 5. Kita sering lupa bahwa tugas seorang jurnalis tidak hanya berhenti bagaimana kita mencari berita, mengolah dan menyampaikan kepada masyarakat, namun juga pada proses informasi, dedikasi, kontrol sosial, dan juga mengajak masyarakat secara umum, mampu hidup dalam proses dirinya sendiri (berdikari, untuk itu seorang jurnalis harus mempunyai kesadaran moral, etika dan bertanggungjawab kepada dirinya, masyarakat, terutama tentang berita yang dimuatnya). Untuk itu dibutuhkan prinsip prinsip dalam proses jurnalistik yang kemudian disebut sebagai Sembilan Element Jurnalistik yaitu: 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran 2. Loyalitas pertama jurnalistik adalah kepada warga 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi 4. Pada praktiknya harus menjaga independensi terhadap sumber berita 5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau

DIMĂŤNSI

6.

7.

8.

9.

kekuasaan. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting menarik dan relevan Jurnalismen harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional Pada praktiknya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Dengan selalu berpegang pada etika jurnalistik ini, seorang wartawan selaku orang yang berhadapan langsung dengan masalah harus mempunyai kesadaran tinggi dan niatan yang luhur untuk membangun keseimbangan hidup masyarakat. Perlu disadari bahwa manusia adalah makhluk hidup yang secara naluri dasar pasti ingin mengetahui fenomena yang ada di luar terutama yang ada diluar kemampuannya, hal inilah yang kita sebut sebagai naluri kesadaran. Pengetahuan tentang sesuatu akan memberi rasa aman, bisa membuat strategi dan merencanakan sesuatu untuk mengatur hidup mereka, saling tukar informasi ini menjadi dasar untuk menciptakan komunitas dan mempererat tali persaudaraan antar manusia.//kle

Kader PMII STAIN Tulungagung yang sedang belajar di LPM Dimensi

[ 47]


Meretas Cahaya “Mencoba meretas hal baru tak semudah dibayangkan. Mencoba keluar dari kenyamanan yang selama ini menyelimuti terkadang menakutkan. Tapi bukan tak mungkin, bukan?”Sendiri di tepi ranjang, terpekur sementara mengalir lagulagu Padi dari audio komputer “Meretas cahaya…” lirik lagu yang dinyanyikan Fadli itu seolah menghidupkan api yang hampir padam di jiwa Ana. Ditatapnya cermin, bayang sembab wajahnya malah kini memunculkan senyum, “Ayolah, An. Live must go on!” Buru-buru melangkah ke kamar mandi setelah melirik jam dinding yang menunjuk pukul 09.00. Disambarnya handuk, diguyurnya semua lelah dan resah dengan dinginnya air. Sepintas berkelebat pertengkaran hebat dengan ayah seminggu lalu, pertengkaran yang timbul akibat kesalahannya sendiri. “Nduk, ayah mau kamu jadi orang bener, nggak usah bergaul sama mereka yang bisa merusakmu…” “Yah, Ana bisa jaga diri, Ayah percaya, deh! Meski Ana bergaul dengan gank itu, Ana takkan terpengaruh…” “Cobalah cari kegiatan lain. Ayah tahu kamu suka musik rock, tapi teman-teman satu band-mu itu bisa berpengaruh negative…”,suara ayah merendah, tangannya halus membelai kepala Ana. “Yah, Ana sudah dewasa, bisa menentukan jalan hidup sendiri. Aku suka musik rock, aku menghargai pertemananku dengan Bram, Gerry, Susan… mereka menghargaiku, tak berniat meracuniku. Mereka memang telah hitam, tapi mereka tak akan menjerumuskanku…” bagai tersentak sosok semampai itu berdiri, menentang mata sang ayah, mencoba meyakinkan. Ada bara di mata cokelatnya. Terkesiap sang ayah menatap anaknya, ada nyawa ibunya di mata tajam itu. “An, ayah hanya menjaga amanah ibumu…”berkaca-kaca mata pria paruh baya itu. “Yah, aku ingin berpikir sendiri…” Kerutan timbul pada dahi sang ayah, matanya bertanya. “aku ingin menenangkan diri beberapa waktu, sendiri.” Pria paruh baya itu menghela napas dalam, puterinya benarbenar keras hati, “Kau mau ke mana, Nduk?” “Aku mau ke Sragen, menemui Eyang. Cari inspirasi juga buat Alas.” Lagi-lagi sang ayah menghela napas mendengar nama rock band puterinya. Puteri semata wayang yang begitu keras.

[ 48]

“apakah karena tak pernah dirasakannya belai kasih ibu…”perih batinnya mengingat bahwa isterinya dipanggil ke haribaan Sang Pencipta beberapa hari setelah melahirkan Aurora Ana, buah hati yang kini di depannya gadis yang lahir saat fajar merekah diharapkannya jadi mentari penerang hidupnya. “Anakku… telah salahkah aku mendidikmu?” Berkelebat lagi mata sendu ayah yang menatapnya saat berpamitan, lalu Ana menyetir vios hitamnya dengan kecepatan tinggi. Ayah…” tangisnya di sela derai air yang mengguyur. Diingatnya bahwa ia tak langsung menyetir mobilnya ke Sragen. Dari Kediri ia menuju Jombang, lalu ke Surabaya. Menyamperi rumah kontrakan yang dijadikan camp Alas. Seperti biasa tanpa basa-basi ia membuka pintu depan, langsung menuju dapur. Diliriknya arloji, 23.30 lelah menerjang setelah menyetir selama hampir tiga jam. Menyeduh kopi. “Hei,An!” Ana menuju sumber suara: Susan, mesra berpelukan dengan seorang pria. Ana mengisyaratkan tanya. “Oh, ini John…”Susan menjawab ringan. Tanpa perlu penjelasan lagi Ana telah paham siapa John, paling pacar baru Susan. “kami mau ke club, An Kau ikut?” “aku di rumah saja, besok pagi aku mau ke Sragen, Bram dan Gerry?” Ana malas menuruti tawaran Susan yang mengepulkan asap rokok didepannya. “Gerry mungkin sedang jalan dengan Tika pacarnya. Kalau Bram entahlah!” Ada nada kesal yang muncul dari suara serak Susan. Ana mengernyitkan dahi, “ada apa, San?” “Sudahlah, An, aku pergi” masih berpelukan dengan laki-laki yang dikenalkan sebagai John itu, Susan melangkah keluar rumah. Deru mobil terdengar. Ana kembali pada kopinya. Dihirupnya hangat kopi dalam-dalam. Teringat kembali pada Ayah. Ayah tak pernah setuju dengan pergumulannya bersama Alas. Susan yang terbiasa dengan dunia malam, Gerry yang berkali-kali ganti pasangan, Bram yang alkoholik. Ana mencoba menerima mereka, dan mengenalkan dunia rock-nya pada ayah dengan mengajak mereka liburan ke Semen Kediri, kota asalnya. Ayahnya marah luar biasa begitu tahu kebiasaan mereka. Kediri yang sebenarnya tak terlampau besar memang menyediakan fasilitas dugem yang mereka cari, itu pun tak jauh dari rumah Ana. Dan begitu tahu bahwa setiap malam ia dan teman-temannya pergi ke salah satu

DIMëNSI

tempat dugem ayah sangat kecewa murkanya ditunjukkan langsung di depan mereka. Dan mereka memutuskan langsung meninggalkan rumah di kaki gunung Wilis itu. “Ayah … “batinnya memanggil orang terdekat itu. “Tapi aku tak bisa meninggalkan Alas. Aku sayang mereka, aku bisa jaga diri.” Diteguknya kopi, mencoba mencari ketenangan, tapi pikirannya masih gusar. Teringat perkenalan dengan Bram yang membawanya terjun ke Alas. Saat ia dan Sarah, teman satu kost-nya menonton festival musik rock, dua tahun lalu, saat ia masih semester dua. Bram adalah teman satu jurusan dengan Sarah, mereka kuliah di arsitektur. Ia sendiri mahasiswa fakultas hukum di universitas yang sama dengan mereka. “Bram, nih Ana, teman se-kost. Dia suka rock, lho!” Sarah yang memperkenalkan mereka. “Wow, kamu main musik?” Bram bersemangat. “Aku bisa pegang keyboard” Ana tersenyum. “Hei, kebetulan aku punya band, rockband. Kita belum punya keyboardist. Mau coba ikut latihan?” “Menarik!”seru Ana. Dan Bram pun mengajaknya ikut latihan tiga hari kemudian. Ana berkenalan dengan Susan yang membetot bass, lalu dengan Gerry yang memainkan gitar, sekaligus vokalis. Bram sendiri menggebuk drum. Entah, Ana langsung merasa klop memainkan rock bersama mereka. Awalnya Ana sedikit shock dengan pola hidup teman-teman band-nya. Tapi ia terima itu sebagai gaya hidup anak muda metropolis, ia pun menikmati keramaian dugem, meski ia sendiri tak berminat mengikuti sampai sejauh Susan, Gerry dan Bram. Dan hubungan mereka bertambah lekat. Mereka bisa menerima satu sama lain, tanpa risih. Ana nyaman-nyaman saja berteman dengan mereka. Itu yang selalu dikatakannya pada ayah. ‘Oh, ayah…’ batinnya rindu. Brak! Pintu dibuka dengan keras. Ana tersentak, menoleh ke belakang, arah sumber suara. “Bram…” wajah Bram kusut, bau alkohol menyeruak. “Kamu mau kopi?” Ana kembali menyeduh kopi. Diletakkannya kopi di depan Bram yang kini duduk didekatnya. Bram diam, tapi seperti ada beban yang bergelayut di kepalanya.

Edisi: XX/Maret/2008


Parodi “What happen with u?” Ana duduk di samping Bram, “Minum kopimu!” Bram meneguk kopi beberapa kali. Lalu sempoyongan berdiri. “Hei, kau mau ke mana? kau mabuk!” Ana menahan tubuh Bram yang hampir jatuh. “Kau tidur saja, kuantar ke kamar.” Memapah Bram yang mabuk adalah hal yang menyebalkan. Bau alkohol dari mulutnya membuat Ana muak. Direbahkannya Bram di ranjang, “Tidurlah!” ujarnya sambil menyelimuti Bram. Dibalikkannya tubuh, hendak kembali ke dapur. Ck… Ada yang menahan tangannya. Ana terhenyak, menoleh pada Bram yang berusaha menariknya. “Bram, kau mabuk, tidurlah! besok baru bicara.” Tapi mata itu, mata Bram menyala, “Temani aku,An…” “Kau mabuk, sudahlah” Ana berusaha melepaskan pegangan Bram, tapi tangan itu malah mencengkeram, dan Bram bangkit, berusaha memeluk Ana. “Hei, kau ini apa-apaan?! Lepaskan!”Ana teriak, tapi tubuh tinggi Bram telah mendekapnya. “ Bram, Lepaskan! kau tak mabuk, kau gila! hei..!”Ana meronta. “Aku ingin denganmu, Ana sayang…” Tubuhnya masih mendekap erat Ana. “Kau gila! Lepaskan!” Ana terus meronta, berusaha lepas dari Bram. “Aku sudah menyukaimu sejak dulu…” “Kau edan! Kalau kau suka kenapa kau menyiksaku begini…? Lepaskan!” Ana berontak sekuat tenaga. Berhasil. Ia lari meninggalkan kamar, tapi Bram mengejarnya. “Aku suka kamu, Ana!jangan lari, temani aku!”suaranya parau. Sempoyongan, Bram terus berusaha meraih Ana. “Kau setan, Bram. Iblis!” Ana berlari mencari kunci mobilnya, dapat. Tapi Bram kini di depannya. “Kau mau ke mana, An? Ayolah temani aku! jangan sok suci… aku tahu kau juga ingin…”suara Bram mendesis. Ana jijik, menghindari Bram, coba keluar menuju mobilnya. Tangan bram mendekap Ana. “Bram, lepas!” kakinya mencoba menghantam Bram, tapi tak bisa. Bram makin kuat mendekap. Kali ini Ana menggigit lengan Bram sekuat tenaga. “Ough…!” Bram mengaduh kesakitan. Ana lari keluar, menuju Vios hitamnya. Terdengar Bram terengahengah mengejar. Di halaman Ana bertemu Gerry. “Hei, kenapa lari-lari begitu?”Gerry keheranan. Bram terlihat di belakang, “An, kau munafik! Aku tahu kau juga ingin…!” “Hei, ada apa ini?”Gerry semakin bingung. Ana tak menjawab, langsung menuju Vios , tapi Gerry berusaha mencegah, “Ada apa?”

Edisi: XX/Maret/2008

“Maaf, aku tak bisa menjelaskan sekarang…” Ana berurai air mata, menutup keras pintu mobil, lalu memacunya secepat mungkin, ia ingin meninggalkan camp Alas selamanya. Tak mau lagi ia bertemu Bram. Ana mengarahkan mobilnya keluar dari kota Surabaya. Kini ia telah berada di jalan jalur panjang Krian. Ia terus memacu mobilnya. Sragen yang ditujunya. Ia tak berani ke Kediri. Kemarahan dan kekecewaan ayah masih begitu dirasanya. Biar letih menggerogotinya, ia tetapkan hati ke Sragen ketenangan Eyang Putri begitu dirindukannya. Jam digital di mobilnya menujuk angka 02.00. Ana sampai di simpang tiga Kertosono. Sebenarnya, kurang dari satu jam perjalanan ia bisa sampai di rumahnya. Tapi ia memilih ke Sragen. Vios hitam Ana melaju dengan kecepatan tinggi ke arah barat, melewati jalan besar jalur Jawa Timur-Jawa Tengah. Ponselnya tiba-tiba menjerit. Nama Gerry tertera di layar. Dimatikannya ponsel sambil terus menyetir. Kini ia telah sampai di hutan jati Caruban Madiun. Lelah dirasanya sangat, perutnya yang perih tak dihiraukannya. Ia ingin segera sampai Sragen. Jam menunjuk 03.15. vios hitam Ana memasuki kota Madiun. “Ah…Eyang, aku benar-benar rindu…” Kali ini Ana benar-benar lelah dan lapar, tapi masih diteruskannya menyetir hingga sampai di rumah makan di tepi jalan raya Madiun-Ngawi. Ana keluar dari Vios hitamnya. Disempatkannya membasuh wajah di kamar mandi, lalu berjalan ke rumah makan. Memesan semangkok soto ayam panas dan kopi kental secangkir. Mencoba menikmati hidangan di depannya, tapi begitu bayang Bram berkelebat nafsu makannya menguap. Hhh ………..Ana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ponselnya kembali berderit, Gerry lagi. Kali ini dijawabnya panggilan. “Honey, kamu kenapa? Are u all right?” suara Gerry tenang. “I’m Fine…tapi aku belum bisa cerita. Kau tak tanya pada Bram?” “Dia pergi tak lama setelahmu. Kukira dia mengejarmu… sebenarnya ada apa?” “Aku belum bisa cerita, Ger…. Sudahlah…” “Where are u?” “Sorry, I can’t tell u…aku ingin sendiri…” “Baiklah, tapi..” belum sempat Gerry melanjutkan kalimatnya Ana telah mematikan ponsel. Ponsel tak diaktifkannya lagi. Diseruputnya kopi kentalnya. Pelan dihabiskannya. Sedikit kesegaran muncul di tubuh lelahnya. Ia terus beranjak ke kasir, membayar hidangannya lalu bergegas menuju mobil. Tak dihiraukannya tatap heran orang –orang di rumah makan. Dihidupkannya mesin, lalu Vios hitam keluaran 2004 itu kembali melaju. Mampir ke pom mengisi bahan bakar dan Ana terus memacu mobilnya menuju Sragen, tetap dengan kecepatan tinggi. Langit timur

DIMëNSI

merekah fajar saat mobil berplat AG itu sampai di halaman luas sebuah rumah bergaya limas di pinggiran kota Sragen. “Akhirnya… sampai juga” Ana tersenyum mendapati dirinya kini telah di depan rumah tua eyangnya. Diambilnya tas selempang berisi dompet, ponsel, dan make up kit. Juga tas ransel berisi beberapa potong pakaian yang ia siapkan dari Kediri. Perlahan sosok berambut panjang itu berjalan menuju pintu utama. Diketuknya pintu. Tak ada yang merespon sekali lagi diketuknya pintu, kali ini disertai salam. Dari dalam terdengar langkah mendekat. Diucapkannya salam sekali lagi, yang di balik pintu menjawab pelan, “Ya, wa’alaikumussalam..” pintu terbuka. Sesosok wanita peruh baya terlihat masih mengantuk. “Walah… Mbak Ana, ta!” Mbok Yem, batur eyang putri menyambutnya ramah. “Lha kok subuh begini sudah sampai Sragen…” Mbok Yem membantunya membawakan ransel menuju kamar sebelah dalam, kamar yang selalu digunakan Ana bila berkunjung ke Sragen. Ana rebah ke ranjang. “Eyang putri belum bangun, ta?” “Sudah, mungkin masih shalat, Mbak.” Mbok Yem memasukkan ransel ke dalam lemari. “Mau saya rebuskan air buat mandi, Mbak?” “Iya, terima kasih…” Ana terkulai di ranjang. Lelah memaksa matanya terpejam hingga didengarnya suara Eyang Putri membangunkannya. “Mau tidur sampai kapan, Cah ayu?” “Eyang…”ditatapnya Eyang yang tersenyum tenang. “Hhh…..” Kini telah seminggu ia ada di rumah Eyang Putri, ibu dari orang yang mengandung dan melahirkannya tapi tak ternah dikenalnya. Ia masih tak mau mengaktifkan ponsel. Ia hanya mengisi hari-harinya dengan membantu eyang menyiangi rumput, mengantar bekal ke sawah atau berseluncur ke dunia maya lewat computer yang ada di kamar yang ditempatinya, kamar Bibi yang kini berdinas di Solo. Byur… guyuran air mengembalikan Ana pada masa kini. “Hhh….”dihelanya napas lagi. Masih teringat malam itu, pertengkaran dengan ayah, lalu perbuatan Bram… Brrr, kegeraman Ana timbul setiap mengingat Bram. Bram yang dikenalnya baik, mengapa sampai hendak mencelakainya ?! bayangbayang kelam melintas bersama guyuran dingin shower. “Aku memang telah salah, tapi bukan berarti tak bisa diperbaiki…”batin Ana mencoba meyakinkan perasaan ragu dan salah yang terus meracau. Ana kembali bercermin setelah mandi, lagu-lagu Padi masih mengalun dari audio computer

[ 49]


Parodi . “Dan ternyata cinta, yang menguatkan aku. Dan ternyata cinta, tulus mendekap jiwaku… “ “Hhh…. Aku pasti bisa. Aku yakin Ayah memaafkanku, Ayah masih sayang aku…” Tok…Tok… lalu pintu kamar terbuka. “Sudah mandi?” Eyang melangkah mendekat pada Ana, lalu membelai lembut rambutnya. “Sudah, Yang,” Ana tersenyum. “Ayo sarapan dulu!” Eyang merangkul pundak Ana. “Iya…” “Nduk, Boleh Eyang tanya? Sebenarnya ada apa, ta? Mengapa sampai tak memberi tahu ayahmu pula bahwa telah hampir seminggu kamu ada di sini?” Eyang lembut menatap Ana. Yang ditatap menunduk, lalu matanya berkaca-kaca mengingat kelabu yang menerpanya. Terbata-bata Ana menjelaskan semuanya pada Eyang, juga rencananya untuk kembali ke Kediri, memohon maaf Ayah. “Nduk…” Eyang menghela napas, “aku tak menyalahkanmu, tak menyalahkan ayahmu ataupun temantemanmu.” Ana terpaku. Hening, hanya suara derkuku di puncak kenanga di samping rumah yang terdengar, lalu disusul desau angin meniup rumpun bamboo hias yang menjadi pagar rumah. Eyang membuka suara, “Kau punya rencana, Nduk? Eyang yakin kamu tidak mendiamkan saja pikiranmu selama sepekan ini,” suara Eyang begitu jernih, ada kekuatan di dalamnya. “Ana akan ke Kediri, Yang. Dan lagi… Ana berencana untuk tidak kembali ke Surabaya.” Eyang mengernyitkan dahinya yang telah berkeriput, “Kau hendak berhenti kuliah? Bukankah tinggal satu tahun?” “Mungkin aku cuti saja, Yang. Aku masih trauma… aku tak ingin bertemu dengan teman-temanku,” Ana masih menunduk, tangannya mengaduk-aduk secangkir teh dengan sendok kecil. “Lalu, apa yang akan kau lakukan saat cuti, Nduk?” Ana tersenyum samar, wajahnya diangkat sedikit, “Beberapa hari yang lalu Ana membuka website tentang Butet Manurung yang membuka kesempatan untuk menjadi volunteer untuk SOKOLA, kelompok pendidikan alternative buat masyarakat yang nggak mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan formal. Ana tertarik dengan apa yang dilakukan Butet Manurung untuk mengajarkan Suku Anak Dalam di Riau baca-tulis sejak awal masuk kuliah dulu, tapi karena sibuk kuliah dan ngeband, ketertarikan itu tak berlanjut. Tapi, kemarin saat aku membuka website “Tokoh Indonesia dan menemukan nama Butet Manurung. Aku lalu menemukan soal SOKOLA . bagaimana menurut Eyang, kalau aku bergabung dengan SOKOLA?” mata Ana bercahaya.

[ 50]

Eyang tersenyum melihat cucu kesayangannya cerah, “ Kira-kira berapa lama kau bertugas?” “Bila diterima, Ana akan mengabdi paling tidak sebulan, Yang.” “Bila itu kau anggap baik, Eyang mendukungmu, Cah ayu!” “Terima kasih, Eyang” Ana menghambur memeluk eyangnya sayang. “Iya, tapi kau harus meminta pendapat ayahmu, Nduk,” tangan halus eyang membelai pundak Ana. “Iya, Eyang. Nanti sore Ana ingin pulang ke Kediri,” dikecupnya pipi Eyang. “Eh, kok cepat betul?! Sudah tak betah menemani Eyang di sini, ta?” “Bukan begitu, tapi Ana ingin segera minta maaf pada Ayah, lalu mohon restunya untuk jadi relawan SOKOLA.” “Iya, iya. Kasihan ayahmu tentu khawatir betul denganmu. Oh, ya. Kau sudah daftar pada SOKOLA itu?” Kini Ana telah duduk di samping Eyang kembali. “Sudah, Yang. Maaf, kemarin tak memberitahu Eyang.” “Iya, tak mengapa,” Eyang manggutmanggut. “Kira-kira kau akan ditempatkan di mana bila diterima jadi relawan, Nduk?” Ana mengingat-ingat, “ Saya baca di websitenya kemarin, SOKOLA membuka peluang volunteer mandiri di lokasi program fasilitasi baca-tulis SOKOLA di desa Wailago, Pulau Besar, Sikka, NTT. “ “ Jauh, Nduk…” entah mengapa Eyang seperti menjadi keberatan. “ Kenapa, Yang? Eyang keberatan, ya?” Eyang hanya diam. “Eyang jangan kuatir, Ana sekalian ingin menenangkan diri. Mohon doa Eyang saja…” “ Iya, kudoakan, Cah ayu!” Eyang kembali tersenyum, Ana lega. Hari beranjak siang, Ana menyiapkan diri untuk pulang pada Ayah di Kediri. Terlihat ponselnya. Hampir seminggu ini dia tak mengaktifkan ponsel, pasti banyak yang menghubunginya. Diraihnya posel Sony Ericsson tipe W hitamnya, menekan tombol mengaktifkan. Benar saja, begitu aktif langsung masuk beberapa pesan. Dari Gerry, Susan, Ayah, beberapa teman kuliah, dan… Bram. Bara dalam dada Ana menyala. Buru-buru dia menghapus pesan dari Bram tanpa membacanya. Ia tak ingin berhubungan dengan Bram sama sekali. Ia putuskan menghubungi Ayah, pasti beliau amat kuatir. Tut… Tersambung! “Ana…” suara Ayah! “Yah, maafkan Ana menyusahkan Ayah…”air matanya spontan menetes “Kamu di mana, Nduk? Bagaimana keadaanmu?” “Ana di Sragen, Ana baik-baik saja, Yah. Ana akan pulang sore ini.” “Kujemput saja,Nduk?”

DIMëNSI

“Tak usah, Yah. Biar Ana pulang sendiri saja. Ayah pasti capek setelah bekerja. Jangan kuatir, Yah. Ana pulang ba’da Zhuhur” “ Benar tak apa-apa?” Ayah masih saja kuatir. “Tak apa-apa. Doakan Ana saja” Ayah telah rela ia pulang sendiri ke Kediri. Ana menutup telepon. Ia kembali merapikan barang-barangnya. Ponselnya berdering. Nama Gerry tertera. “Hei!”sapa Ana. “Gimana kedaanmu?” suaranya terdengar kuatir. “I’m fine. Don’t worry. Hm,,, aku lagi sibuk packing, nih. Mau pulang ke Kediri. Sudah dulu, Ya! Nanti ku-sms.” “Ok, tapi kamu sekarang di mana?” “Aku DI rumah Eyang, Sragen. Sudah, nanti ku-sms tau kukirim email,” Ana mematikan ponsel, lalu kembali mengemasi pakaian ke dalam tas ransel hitamnya. Jam menunjuk angka 14.00, Ana telah siap berangkat ke Kediri. Mobil Vios hitamnya telah ia panasi. “Yang, Ana pulang ke Kediri. Maaf tak bisa lama menemani Eyang.” Ana mencium wanita tua yang masih kuat dan bersemangat itu. “Iya, tak apa. Hati-hati, Cah ayu! Jangan lupa, sampaikan salamku buat ayahmu.” “Insyaallah. Ana berangkat! Mohon doanya, Eyang!” Pelan-pelan vios hitam Ana keluar dari halaman rumah Eyang. Ana memacunya sedang, Kediri adalah tujuannya. Ia akan minta maaf pada Ayah, lalu memberitahu rencananya menjadi sukarelawan SOKOLA. Ana yakin ayah akan mendukungnya. Telah Ana putuskan untuk keluar dari Alas. Ia tidak bisa bekerja sama dengan Bram yang telah menyakiti dan hampir merusak dirinya. Tadi sebelum berangkat telah ia kirimkan email singkat buat Gerry karena Gerry-lah yang paling perhatian dan dewasa di Alas. “Gerry,aku putuskan untuk keluar dari Alas. Aku tak bisa bermain musik dengan Bram. Mungkin kau sudah paham apa yang terjadi malam itu”. “Oh, ya. Aku pun cuti kuliah, paling tidak satu semester. Aku mendaftar jadi sukarelawan SOKOLA-nya Butet Manurung buat ditempatkan di NTT. Kalian teruslah bermusik. Maaf, aku tak bisa bersama kalian lagi.” Angin sore berhembus lembut menerobos jendela vios hitam Ana, meniupkan semangat pada diri gadis itu. Ya, aku akan membuka lembaran baru, meretas harapan baru. Aku nyakin bisa. Ana tersenyum. Tenang dikemudikannya mobil menuju Kediri, menuju Ayah yang amat dirindukannya. (Selesai di Kantor Dimensi, 20 Februari 2008, 17.00) alhamdulillah wa syukurillah! //le’ ti//

Edisi: XX/Maret/2007 XX/Maret/2008


Parodi LAGU SENDU KEHIDUPAN

MAWAR DIRUAS JALAN

Manakala pagi membentangkan harapan

Bunga-bunga mawar kecil bermunculan Makhluk kecil bertengger di dahan itu Tumbuh dan bermekaran Disetiap ruas jalan ibukota Berkicau tentang melodi kehidupan Menawarkan harumnya pada setiap yang Dengan jeritannya yang melengking tinggi bergegas Dan kemudian berangsur-angsur hilang Meski kerap tersingkir dan tersapu Ditelan berderunya mesin-mesin yang berjalan Meski terus terlewati barisan algojo Ia berjalan gontai tak tentu tujuan Yang sewaktu-waktu siap menghantammu Rumah yang ia huni kini telah sirna Hadirmu, membawa anugerah bagimu Tertimbun, terbenam, dihancurkan dengan Bagi hidup anak dan cicitmu penuh kerakusan Dan bagi insan yang ramah terhadapmu Oleh makhluk yang dikata paling sempurna Namun bagi setiap kepentingan Jeritannya yang melengking seakan tak Hadirmu memperburuk wajah kota terdengar Yang siap untuk dibumihanguskan Ia perlahan mengingat-ingat Wajah-wajah mawar kecil itu pun Cerita bapaknya enam lima tahun yang silam terkoyak Tempat ini masih segar, masih rimbun dengan Durinya pun tak mampu melindungi wangi bunga melati hidupnya Lalu ia membayangkan Kaulah mawar kecil Apa yang akan terjadi Yang mampu menaikkan omzet kehidupan Lima belas tahun yang akan datang //Umy// Sorak sorai girang ditengah sana Jerit tangis panas disudut sana pula Memandang iba pada yang tertawa Jeritannya kembali melemah Melagukan kembali melodi sendu kehidupan Dan ia sepenuhnya percaya Esok, mentari masih menatapnya hangat Esok, embun masih setia menemaninya bernyanyi Esok, harapan masih tetap dihatinya Impian untuk menatap masa depan Kehidupan yang penuh teka-teki//Umy//

Edisi: XX/Maret/2008

DIMĂŤNSI

[ 51]


[ 52]

DIMëNSI

Edisi: XX/Maret/2008


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.