Edisi: 2/Mei/V/2019
KOLOM GUS DUR
Politikus, Agamawan, ataukah Aktivis?
S
ebenarnya penulis sangat segan mencantumkan judul di atas. Namun tidak ada jalan lain, karena di mana-mana penulis senantiasa ditanya orang, baik kawan maupun bukan. Siapakah penulis ini? Politikuskah, karena bagaimanapun juga penulis adalah orang yang turut mendirikan (dan kemudian memimpin ) sebuah partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari sudut manapun, tampak bahwa partai tersebut akan menjadi salah satu partai besar setelah Pemilu yang akan datang, kalau tidak dikatakan yang terbesar. Pantaskah kalau kemudian orang bertanya benarkah anggapan bahwa penulis adalah seorang politikus? Jawabannya, tidak bersifat mutlak: mungkin terkadang seorang politikus tidak pernah melihat dalam dirinya fungsi-fungsi lain. Anggaplah, dalam bahasa yang populer sebagai politikus plus. Apa maksudnya plus? Tentu saja dapat berbentuk macammacam, baik yang umum maupun yang khusus. Dalam pengertian yang umum, dapat dilihat antara lain penulis adalah politikus yang dididik bertahun-tahun di lingkungan pesantren pasti juga seorang ayah, suami dan pemuka masyarakat di tempat ia tinggal. Tetapi secara khusus mendalami berbagai nilai keagamaan, sebagai bidang kajian. Karena hal ini, penulis akan diminta pendapat tentang berbagai masalah keagamaan, karena wajar jika pendapatnya memiliki nilai tersendiri sebagai buah dari spesialisasinya itu. Contohnya adalah pendapat fiqh (hukum Islam) atas pagelaran Inul, untuk dibandingkan dengan pendapat Rhoma Irama. Demikian juga, ketika penulis ditanya mengapa ia “membela” Inul. Penulis menjelaskan bahwa apa yang dilakukan guru aerobik dengan pagelaran “ngebor” itu, tidak dapat di hentikan dilarang
“Demikian juga, ketika penulis ditanya mengapa ia “membela” Inul. Penulis menjelaskan bahwa apa yang dilakukan guru aerobik dengan pagelaran “ngebor” itu, tidak dapat di hentikan dilarang oleh siapapun, selama tidak melanggar undangundang yang ada”
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
2
keadilan dan kemakmuran rakyat dan tidak ambil pusing adakah ia seorang politikus yang baik atau tidak. Sebagai seorang yang dididik di Pesantren, tentu saja penulis melihat segala sesuatu dari jendela agama yang dipelajarinya, yaitu Islam. Penulis melihat terjadinya penafsiran ulang (re-interprestasi) sebagai bagian mutlak dari perkembangan agama Islam. Dengan demikian, penulis tidak hanya melihat ajaran-ajaran resmi agama sebagai sesuatu yang statis (tetap) saja melainkan sebagai proses yang tidak pernah berhenti. Kata Al-Qur’an: “Wahai jin dan manusia kalau anda dapat melakukan penjelajahan seluruh kawasan langit dan bumi, lakukanlah hal itu. Tetapi kalian tidak akan dapat melakukan hal hal-hal itu tanpa kemampuan (yang di berikan Tuhan), dalam bentuk aslinya berbunyi “Ya Ma’yar al-Jinni wa al-Insi Inistatha’ Tum an Tanfidzuna Illa bil al-Sulthan”. Ayat ini dulu ditekankan kepada ketidakmampuan manusia melakukan penjelajahan, tetapi dengan adanya kapsul angkasa luar, tekanannya sekarang kepada kemampuan berupa pengusaaan teknologi ruang angkasa. ***** Penafsiran ulang tersebut di atas, tidak menyalahi ketentuan ayat berikut: Hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian, ku sempurnakan pemberian nikmatku kepada kalian, dan kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama: “Al-Yauma Akmaltu Lakum Dinakum wa Atmantu Lakum Nik’mati wa Radhaitu Lakum al-Islama Dinnan”. Maksud dari ayat tersebut mengenai dan berlaku kepada prinsip-prinsip kehidupan Islam, bukan kepada perinciannya. Dengan demikian, menjadi jelas Islam dapat ditafsirkan ulang, dan dengan demikian Islam layak bagi semua tempat dan masa (Shalihaj Laikuli Zamanin Wa Makanin). Sejak kecil penulis menggeluti aktifisme, dalam tahun-tahun 50-an menjadi warga kepanduan dari berbagai gerakan secara bergantian. Pernah menjadi warga kepanduan Hisbul Wathan di Kramat Raya 45 (Jakarta), kepanduan bangsa Indonesia, Pandu Rakyat Indonesia dan sebagainya. Sewaktu di Jogyakarta, menjadi Pelatih Pemula dari Kepanduan Anshor DIY selama setahun. Kesemuanya itu memberikan pengalaman bermacam-macam kepada penulis. Sebelum ada gerakan Pramuka, ketika belajar di pesantren, aktivitas tersebut digabungkan dengan kegiatan-
edisi 2/mei/V/2019
oleh siapapun, selama tidak melanggar undangundang yang ada. Sedangkan yang menentukan Inul melanggar undang-undang atau tidak, adalah Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Selama keputusan lembagalembaga hukum itu tidak melarang Inul bergoyang, selama itu pula ia secara undang-undang masih berhak melakukannya. Dalam hal ini, penulis bertindak selaku seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu penulis secara konsisten memandang hak-hak seorang warga negara diberikan UndangUndang Dasar dan tidak ada orang yang berhak mengeluarkan larangan, betapa pandainya ataupun besarnya pengaruh orang itu dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang membuat penulis “membela Inul”, terlepas dari perasaan penulis sendiri tentang apa yang dilakukan guru Aerobic dari Japanan, Pasuruan itu. ***** Terkadang, penilaian penulis sebagai seorang politikus diragukan orang, karena dianggap ada kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan tersebut. Orang boleh saja memiliki anggapan demikian, tetapi penulis tidak mengubris, karena yakin keputusan-keputusan yang diambil selalu didasarkan kepada kepentingan orang banyak, dalam hal ini peraturan dan undang-undang yang berlaku. Ini disebabkan oleh keyakinan penulis, sesuai dengan tuntunan agama, bahwa seorang pemimpin harus mengambil keputusan berdasarkan kepentingan rakyat. Sebuah adagium merumuskan hal itu dengan sangat bijak: “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang di pimpinya. Terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf Al-Imam ‘ala AlRa’iyyah Manuthun bi al-Mashlahah). Kesejahteraan rakyat (al-mashlalah al-ammah) ini, dalam Undang-Undang Dasar kita, dibagian pembukaan, dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur. Artinya segenap kebijakan dan tindakan sang pemimpin, diukur dari kemampuan mencapai sasaran seperti itu (masyarakat adil dan makmur di atas). Inilah ukuran satu-satunya bagi setiap orang pemimpin, baik dari kalangan politisi, militer atau birokrasi. Kalau tujuan ini dapat di perjuangkannya dengan kongkret, maka ia dapat dianggap sebagai pemimpin yang berhasil dan bermotif baik, terlepas dari apa pendapat orang tentang dirinya. Penulis mencoba mewujudkan
kegiatan intern Pesantren, dan dengan demikian menjadikan tambahan kekayaan rohani bagi penulis. Dari berbagai pengalaman itu, penulis melihat pentingnya berbagai kegiatan bagi seorang aktivis, guna pembentukan watak seseorang. Semua aktivitas itu justru mendorong tumbuhnya kepribadian, yang menganggap penting pengabdian kepada masyarakat. Karenanya tidaklah heran sekembalinya penulis dari belajar di Timur Tengah (Kairo dan Baghdad) serta Eropa Barat (selama setahun) penulis segera terjun dalam dunia kemasyarakatan. Hal-hal berikut menjadi titik perhatian penulis: hak-hak minoritas di hadapan negara dan kelompok masyarakat yang arogan. Fokus itu terbangun melalui proses di pesantren, dalam pengembangan masyarakat (community development), kemerdekaan bicara dan menyatakan pendapat serta dialog antar agama. Banyak aktivitas dijalani penulis dalam mengabdi kepada
kemanusiaan melalui bidang-bidang tersebut. Ada kalanya melalui tulisan dalam media publik, keikutsertaan dalam berbagai bidang pegabdian kepada masyarakat, dan akhirnya kehadiran sebagai anggota pengurus Nahdlatul ulama (NU). Ada juga “kegiatan sela� seperti tiga tahun menjadi salah seorang Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Ketua Dewan Juri pada Festival Film Indonesia (FFI), dua tahun berturut-turut. Pada tahun 1998, penulis di tugasi membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan akhirnya Presiden RI di tahun 1999. Di sinilah tugas-tugas politik bertemu dengan kompentensi sebagai agamawan dan pengalaman sebagai aktivis dalam diri penulis. Kelihatanya sederhana, namun sulit dijalankan bukan? Sumber: Suara Pembaruan
KATA GUSDURIAN
Jokowi & Prabowo Belajarlah Kepada Gus Dur Oleh: Rudi Hartono Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Maliki Malang.
P gusdurpedia: gus dur dan demokrasi
emilihan capres dan cawapres telah usai pada Rabu (17/4). Sejumlah lembaga survei merilis hasil hitung cepat di mana pasangan petahana Jokowi-Maruf memperoleh suara di kisaran 55 persen, dan pasangan penantang Prabowo-Sandi hanya meraup 44 persen. Meski, hasil final baru akan di umumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei mendatang. Hasil sementara rupanya menuai kontroversi. Tidak hanya pendukung kedua kandidat yang cenderung menolak dan/atau membenarkan, tapi juga kedua kandidat lakukan hal serupa. Deklarasi kemenangan Prabowo-Sandi sudah pasti menambah tensi politik pasca-pemilihan. Begitu juga dengan Jokowi-Maruf yang mengklaim keunggulan berdasar hasil hitung cepat. Sikap klaim kedua kandidat yang di ikuti para pendukung, seakan mengabaikan kerja keras penyelenggara pemilu yang sudah berupaya untuk profesional. Sejumlah masalah teknis yang viral
di beberapa platfom media digital menjadi beban tersendiri bagi pihak penyelenggara. Karenanya, totalitas dalam menjalankan tugas membuat mereka lupa untuk mengurus diri sendiri. Tercatat, sudah ratusan petugas penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia akibat kelelahan dan waktu kerja yang melampaui batas, di samping gaji yang tidak manusiawi. Andai saja kedua kandidat pasca-pemilihan mengeluarkan statemen politik untuk menunggu hasil akhir, tanpa harus melakukan klaim kemenangan, tentu solidaritas akan terbangun tanpa harus mencurigai penyelenggara akan berbuat curang. Bila soliditas para pendukung dengan penyelenggara terjalin, sudah barang tentu Pemilu 2019 tidak akan menelan korban jiwa yang begitu besar. Berharap untuk kedua kandidat beserta pendukung untuk bijak, nampaknya sangat mustahil. Baik Jokowi dan Prabowo boleh saja
3
4
sekarang dan tidak pada tempatnya, hanya akan menimbulkan kegaduhan. Lagipula potensi kecurangan bukan hanya dilakukan oleh satu pihak, namun dilakukan kedua belah pihak. Saat ini saja TKN Jokowi-Maruf mengklaim telah mengantongi kecurangan dari pihak lawan, begitu juga sebaliknya dari pihak BPN Prabowo-Sandi. Sejumlah kasus kecurangan yang terjadi beberapa hari sebelum pemilihan mulai dari, money politic, surat suara yang sudah tercoblos, hingga satu orang mencoblos berkali-kali, sudah menjadi masalah akut dari politik Indonesia. Soal ini tak bisa di jadikan sebagai pembenaran oleh pihak tertentu agar menyerang pihak lain. Pengalaman historis menunjukkan, persoalan kecurangan dalam arena elektoral kerap di lakukan oleh kelompok yang berkepentingan. Di tengah dominasi oligarki yang di tandai dengan mahalnya ongkos politik sehingga terjadi politik transaksional, maka tak ada jaminan untuk menjustifikasi pihak tertentu jujur dan yang lain curang. Tentu saja Jokowi-Maruf dan PrabowoSandi punya hak untuk mengklaim kemenangan. Tapi hal penting yang harus di pikirkan sekarang dan nanti adalah memastikan agar tak terjadi konflik dan bagaimana agenda-agenda kerakyatan yang telah di janjikan saat kampanye dapat di realisasi – terlepas siapapun yang jadi presiden. Karenanya, segala perbedaan harus melebur dalam semangat persatuan demi mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Tak penting mempersoalkan kemarin anda ikut memilih atau tidak? Atau apakah pilihan politik kita sama atau berbeda? Jika itu yang di persoalkan maka persatuan bangsa menjadi taruhan. Alih-alih bersatu, justru yang terjadi malah saling benci. Menyitir perkataan Mahatma Ghandi bahwa “kebencian selalu membunuh.” (Sumber: geotimes.co.id)
edisi 2/mei/V/2019
bicara soal persatuan bangsa, namun retorika politik itu akan menjadi “sampah” jika yang di pertontonkan hanya ambisi untuk menang. Alih-alih ingin bersatu, ketiadaan akan rasa persamaan nasib sebagai suatu bangsa seiring menguatnya sentimen, malah semakin memperpanjang polarisasi. Bila ini masih di biarkan, bukan tidak mungkin jika muncul konflik sosial. Sampai di titik, baik Jokowi dan Prabowo patut untuk meneladani sikap Abdurachman Wahid (Gus Dur) yang begitu bijak dalam menyikapi realitas politik–sekalipun itu menyakitkan baginya. Bukan karena Gus Dur pernah menjadi Presiden, namun lebih pada kebijaksanaan dirinya yang lebih mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa, mengharuskan untuk mengesampingkan kepentingan pribadi. Apa yang dilakukan Gus Dur saat di lengserkan dari tampuk kekuasaan, bukan menyerukan pendukung untuk melakukan perlawanan (jika dia mau sangat mungkin dilakukan), namun ia memilih untuk mundur karena tak ingin melihat perpecahan dan pertumpahan darah lantaran ingin tetap berkuasa. Sikap seperti inilah yang patut di teladani oleh Jokowi-Maruf maupun PrabowoSandi. Persatuan bangsa bukan sekadar slogan atau retorika politik belaka, namun harus di ejawantah dalam kehidupan riil dengan cara bersilaturahmi dan kemudian menyatakan sikap agar para pendukung menghormati proses yang sedang berlangsung tanpa harus berbuat “aksi tambahan” yang dapat menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Artinya, menghormati proses yang tengah berlangsung mesti diletakkan dalam konteks pengawalan akan proses, tanpa harus melakukan propaganda terkait kecurangan yang ada dilapangan. Dan bila di temukan kejanggalan harus di selesaikan pada tempatnya sesuai mekanisme yang ada. Jika temuan akan kecurangan dan kesalahan teknis penyelenggara di persoalkan