gusdur pedia
edisi XIII | November 2020
Gus Dur & Islam Ramah
Gus Dur sudah meneladankan saatnya kita melanjutkan
SELASAR
Gus Dur & Islam Ramah Daftar Isi Selasar: Gus Dur dan Islam Ramah 3 Kata Gus Dur: Bersumber dari Pendangkalan 4 Tentang Gus Dur Gus Dur: Peran Gus Dur dalam Misi Perdamaian Israel-Palestina 9 Pelajaran dari Gus Dur 15 Resensi: Tentang Gus Dur Sang Kosmopolit 19 #Katalissa: Kebebasan 22
gusdur pedia
edisi XIII | November 2020
Gus Dur & Islam Ramah
gusdur pedia Terbit dua bulan sekali. Majalah digital ini memuat tulisan Gus Dur dan tulisan tentang Gus Dur. Dikelola oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Majalah digital ini bebas untuk disebar dan dicetak.
#OTM on this month Ada dua momen besar di bulan November. Tanggal 16 November diperingati sebagai hari toleransi internasional. Sementara mulai tanggal 25 November hingga 16 Desember diperingati sebagai 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).
“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan.” - Gus Dur
Penasehat Alissa Wahid Penanggung Jawab Jay Akhmad Pemimpin Umum Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Sarjoko S. Redaktur Muhammad Pandu Distribusi Rifa Mufidah Layout S. Joko Email redaksi@gusdurian.net WA 0821 4123 2345 IG jaringangusdurian Twitter @gusdurians Facebook Jaringan GUSDURian, KH. Abdurrahman Wahid
KATA GUS DUR
Bersumber dari Pendangkalan KH. Abdurrahman Wahid
P
ada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Mahendra, sekarang Menteri Kehakiman dan HAM. Kata bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci Al-Qur'an menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (Asyidda a’la al-kuffar ruhama baynahum)? Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya bang Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud Al-Qur'an dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja, bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani menjadi mubaligh?
5
Berdasar kenyataan itu, penulis tidak begitu heran dengan terjadinya kekerasan di Maluku, Poso, Aceh, dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Tetapi kutukan itu, tidak berarti penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskrimanatif. Satusatunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari rumahnya (Idza ukhrizu min diyarihim). Karena itulah, ketika harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebabnya, karena ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci itu, “taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada pemegang kekuasaan pemerintahan” (Athi u’ allaha wa alrasullah wa uli al-amri minkum). Pak Luhut Panjaitan mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser dari jabatan kepresidenanmengikuti perintah tersebut. Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresidenan, karena penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apa pun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan jabatan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.
*** Tindak kekerasan –walaupun atas nama agama- dinyatakan oleh siapa pun dan di mana pun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai Presiden, penulis merencanakan berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangkatan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orang-orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar NU mengutus Wakil Rais Aam, KH Sahal Mahfudz untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH Sahal Mahfudz meminta kata-kata “tidak berdosa” diubah menjadi “tidak bersalah”. Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang itu berdosa atau tidak adalah Allah SWT. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan rancangan pernyataan tersebut, juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia –bahkan menurut statistik sebagai organisasi Islam terbesar di duniamenolak terorisme dan penggunaan
Gus Dur & Islam Ramah
6
Manusia hanyalah mampu bersabar secara pasif di hadapan rezim-rezim tidak demokratis yang datang secara berurutan, tanpa mampu menumbuhkan keberanian moral yang dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka yang paling mendasar
kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum. Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (Alqutub al-muqarrahrah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, karenanya setipe sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (Alamru bima qa shidiha), maka kita patut menyimak pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Al Asmawi. Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan “hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana Islam (zarimah), menurut Al-Asmawi, sama dengan hukum pidana barat, karena sama berfungsi dan bertujuan menahan (defences) dan menghukum (punishment). *** Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar
gusdurpedia edisi XIII | November 2020
ajaran-ajaran agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia pada para pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada aktivitas imperialisme dan kolonialisme yang begitu lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis. Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam itu –sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW- adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat. Walau kita lihat, adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses sejarah itu memperkenankan kaum muslim untuk bertindak kekerasan dan terorisme.
7
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslim tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau mencari “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (re-interpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses sejarah Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata akan hal itu, walaupun di kawasan-kawasan lain, masih juga terjadi tindak kekerasan -atas nama Islam- yang tidak diharapkan. Mudah dalam prinsip, namun sulit dalam pelaksanaan bukan?
(Tulisan ini pertama kali dimuat di Koran Duta Masyarakat, 31 Desember 2002)
Gus Dur & Islam Ramah
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.
TENTANG GUS DUR
Peran Gus Dur dalam Misi Perdamaian Israel-Palestina M. Ibrahim Hamdani
P
eran almarhum Dr (Hc). KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai juru damai atau penengah konik antara Israel dan Palestina ternyata memiliki latar belakang historis yang cukup panjang. Pada tahun 1994 Gus Dur dan beberapa orang temannya diundang oleh Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Dalam buku berjudul Damai bersama Gus Dur, Djohan Effendi menulis bahwa ketika berkunjung ke Israel Gus Dur menyempatkan diri bertemu dengan sejumlah warga negara Israel baik dari kalangan orang-orang Yahudi maupun dari kalangan orang-orang Arab Muslim dan Kristen. Gus Dur juga merasakan adanya hasrat damai yang kuat dari warga Israel, bahkan mereka mengatakan kepada almarhum Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa mana kata damaiâ€?.
10
Adapun mengenai isu hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur menyatakan: “Indonesia dalam berhubungan dengan Israel hendaknya jangan membuat teman baru dengan meninggalkan teman lama. Setelah mendengar curahan hati rakyat Israel inilah KH. Abdurrahman Wahid menjadi tersentuh dan tergerak nuraninya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina secara jujur dan adil dengan mengedepankan win-win solution. Dalam artikel berjudul “RI Dilamar Jadi Mediator Konflik Palestina – Israel”, Derek Manangka menulis bahwa Indonesia dan Israel telah membuka komunikasi informal jauh sebelum Gus Dur berkunjung ke Israel, yakni melalui kunjungan tidak resmi Perdana Menteri (PM) Yitzhak Rabin ke kediaman pribadi Presiden RI kedua, H. Muhammad Soeharto, di jalan Cendana, Jakarta, pada bulan Oktober 1992. Kunjungan ini bertujuan meminta jasa baik Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) untuk menjembatani konflik Palestina – Israel. Menurut Derek, pertemuan tersebut menjadi sangat sensitif dan kontroversial bagi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, apalagi RI juga tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel dan tidak pula memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (pertemuan dua kepala pemerintahan) antara kedua negara. Tiga hari pascapertemuan antara PM Rabin dengan Presiden Soeharto, Gus Dur pun menanggapi pertemuan kontroversial tersebut dengan memberikan komentar
gusdurpedia edisi XIII | November 2020
yang meskipun datar namun tetap kritis. “Tidak ada demonstrasi. Di kampungkampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada yang marah-marah tetapi kita lihatlah bagaimana reaksi masyarakat selanjutnya,” ujar Gus Dur kepada jurnalis stasiun televisi British Broadcasting Channel (BBC) di Indonesia (Wawancara, 18-10-1993). Gus Dur juga berpendapat bahwa Yitzhak Rabin perlu bertemu dengan Suharto karena dua hal utama. Pertama adalah posisi Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok, dan kedua, terkait erat dengan persoalan internal negaranegara Islam. Hingga saat ini masih banyak negara-negara Islam yang tidak menyetujui perjanjian damai antara Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, dari Israel dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat. Adapun mengenai isu hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur menyatakan: “Indonesia dalam berhubungan dengan Israel hendaknya jangan membuat teman baru dengan meninggalkan teman lama. Masih banyak negara Islam yang memusuhi Israel. Selain itu hubungan diplomatik bukan satusatunya cara bagi Indonesia untuk berhubungan dengan Israel”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di tahun 1992 almarhum Gus Dur setuju dengan suatu hubungan interaktif antara RI dan Israel namun tidak dalam
11
bentuk hubungan diplomatik antara kedua negara, melainkan dalam bentuk hubungan dagang, hubungan militer, atau jenis hubungan lainnya. Saat itu almarhum Gus Dur juga memperingatkan pemerintah RI agar jangan sampai hubungan interaktif dengan Israel mengorbankan persahabatan RI dengan negara-negara Islam lainnya, karena masih banyak yang memusuhi dan tidak mengakui kedaulatan Israel. Meskipun demikian Gus Dur juga setuju dengan keinginan pemerintah RI untuk turut aktif berperan serta dalam mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Hubungan dagang antara Indonesia dan Israel yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid sepenuhnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi RI untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina. Dalam percakapan antara Gus Dur dengan Presiden Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda, mantan presiden RI keempat itu mengungkapkan beberapa alasan utama yang menjadi latar belakang kebijakannya agar Indonesia membuka hubungan perdagangan dengan Israel. “Saya selalu berpikir, selama ini negara kami telah lama berhubungan dengan Uni Soviet dan Cina yang tidak mengizinkan warga negaranya memeluk agama. Saya menganggap perlu diusahakan mencari kunci pembinaan hubungan dengan negara mana pun, tanpa memandang bagaimana latar belakang masa lampau, maupun seberapa
jauh kesulitan masalah yang ada di antara negara tersebut dengan negara kami,� ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda sebagaimana tertulis dalam buku KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur ingin agar Indonesia melakukan hubungan interaktif dan berkomunikasi secara aktif kepada seluruh negara yang ada di dunia ini tanpa kecuali, baik dalam bentuk hubungan diplomatik, hubungan dagang, hubungan militer maupun jenis hubungan-hubungan antarnegara lainnya. Apalagi Israel bukanlah negara ateis seperti halnya Cina, Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Uni Soviet melainkan negara demokrasi yang secara formal berbentuk sekuler tetapi sangat dipengaruhi oleh peradaban agama Yahudi, sehingga dari sudut pandang ini tidaklah bertentangan dengan Pancasila. “Bahkan selama ini saya telah berulang kali mengadakan kunjungan ke Israel, walaupun saya mengetahui adanya berbagai penentangan dan kritikan,� ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda. Almarhum Gus Dur memang dikenal publik termasuk pihak yang pernah beberapa kali berkunjung ke Israel guna mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina serta membina hubungan kultural, religius, budaya dan akademis dengan Israel demi seutuhnya kepentingan bangsa Indonesia. Peran aktif almarhum Gus Dur dalam mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel terlihat jelas dari keikutsertaan almarhum Gus Dur sebagai anggota dan pendiri Yayasan Shimon Peres (Shimon Peres Foundation). Menurut Juru Bicara Kepresidenan di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar,
Gus Dur & Islam Ramah
12
Yayasan Shimon Peres didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, inilah sebab mengapa Gus Dur bersedia menjadi salah satu pendiri Yayasan Shimon Peres jauh sebelum menjadi Presiden RI. “Keberadaan Presiden Wahid di yayasan tersebut justru karena beliau konsisten untuk memperjuangkan perdamaian. Gus Dur mengenal orangnya dan tulisan Shimon Peres. Justru dari orang-orang semacam itu diharapkan lahir bibit-bibit perdamaian,” ujar Wimar Witoelar kepada media sebagaimana ditulis oleh Koran Kompas pada 16 Oktober 2010. Wimar Witoelar juga menyatakan bahwa dalam masalah Palestina Indonesia bersikap mendukung perjuangan rakyat Palestina. “Saat ini mengatasi konflik memang perlu tetapi lebih perlu lagi adalah meletakkan dasar-dasar perdamaian untuk masa depan di Palestina dan Israel. Soal Yayasan Shimon Peres tidak perlu dibesar-besarkan karena hal ini tidak ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah Israel atau Zionisme,” ungkap Wimar Witoelar. Dengan demikian keterlibatan aktif Gus Dur sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon Peres merupakan bagian dari ikhtiar almarhum untuk mewujudkan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel. Hal ini karena sejak awal didirikannya Yayasan Shimon Peres bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dan tidak terkait dengan kebijakan pemerintah Israel atau pun zionisme. Ketika bertemu dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid selaku Kepala Negara menegaskan bahwa gusdurpedia edisi XIII | November 2020
Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina sendiri. “Yang dalam hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Wahid saat jumpa pers bersama Yasser Arafat. Kepala Negara juga menyatakan: “Bukan saya mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara organisasi Konferensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” ketika ditanya oleh wartawan mengenai apakah Presiden Wahid mendukung kemerdekaan negara Palestina, sebagaimana ditulis oleh “Koran Kompas” pada 17 Agustus 2000. Pernyataan resmi Presiden Wahid bahwa “Bukan saya mendukung, tetapi hal itu (kemerdekaan Palestina) akan ditentukan oleh keputusan negara-negara OKI dan resolusi PBB,” jelas menunjukkan bahwa yang memiliki legitimasi secara legal-formal untuk menentukan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina bukanlah dirinya pribadi selaku Kepala Negara RI. Pemilik sah legitimasi tersebut adalah negara-negara anggota OKI melalui hasil keputusan OKI dan negaranegara anggota Majelis Umum PBB melalui keputusan resolusi PBB, dimana RI merupakan salah satu anggota aktif OKI dan juga PBB. Dengan demikian Presiden Wahid, secara tersirat, bermaksud menerangkan bahwa RI sebagai negara anggota OKI dan PBB akan turut aktif mendukung apa pun keputusan bangsa Palestina terhadap proses perdamaian di Palestina, yang diwujudkan melalui keputusan-keputusan
13
OKI maupun resolusi-resolusi PBB. Jadi bukan dirinya pribadi sebagai kepala negara yang akan mendukung kemerdekaan Palestina, melainkan negara RI yang akan selalu mendukung apa pun keputusan-keputusan OKI dan resolusi-resolusi PBB terhadap kemerdekaan Palestina. Terkait dengan hal ini Menteri Luar Negeri RI, Prof. Alwi Abdurrahman Shihab, Ph.D menjelaskan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel semata-mata untuk kepentingan bangsa untuk pemulihan ekonomi. “Pemulihan ekonomi harus kita capai dengan segala cara. Tetapi bukan dengan menjual prinsip-prinsip kita,” kata Alwi dalam pertemuan dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat. Beliau juga menyadari bahwa persoalan hubungan dengan Israel itu sangat sensitif. “Tetapi kita harus mulai. Kita harus pragmatis. Kita harus rasional. Pengusaha yang pragmatis dan rasional itulah yang akan maju,” tegas Alwi sebagaimana dikutip oleh Koran Tempo dalam artikel berjudul “Alwi Shihab: Tidak Surut Meski Diprotes”. Terkait isu hubungan diplomatik dengan Israel, Alwi Shihab menyatakan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel sama sekali tidak mengurangi prinsip-prinsip dasar Indonesia dalam memperjuangkan hakhak bangsa Palestina. Dan hubungan itu, menurut Alwi, hanya sebatas hubungan dagang saja, tidak sampai hubungan diplomatik. “Karena kita masih menganggap Israel belum memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada Palestina,” tegas Alwi Shihab.
kebijakan politik luar negeri RI sebagai berikut: Pertama, pemerintah RI tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Pemerintah Israel selama Pemerintah Israel masih belum mengembalikan hak-hak Bangsa Palestina yang dirampas secara paksa oleh Pemerintah Israel. Kedua, pemerintah RI akan bekerja keras dan berjuang secara maksimal untuk melakukan pemulihan ekonomi negara, dengan segala cara (secara rasional dan pragmatis) tanpa mengorbankan atau pun menjual prinsip-prinsip yang selama ini dipegang teguh oleh pemerintah RI sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Ketiga, pemerintah RI akan membuka hubungan dagang dengan Israel sebagai salah satu cara untuk memulihkan ekonomi Indonesia tanpa pernah sedikit pun mengurangi prinsip-prinsip dasar Indonesia dalam memperjuangkan hakhak bangsa Palestina. Keempat, pemerintah RI akan berusaha sungguh-sungguh untuk ikut serta secara aktif dalam upaya-upaya mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, termasuk menjadi penengah yang baik dan diakui kapabilitas dan kredibilitasnya oleh kedua belah pihak, baik oleh Palestina maupun Israel. Adanya hubungan dagang dengan Israel akan digunakan sebagai celah atau pintu masuk bagi pemerintah RI untuk mewujudkan rencana perdamaian tersebut. Sumber: nu.or.id
Dari pemaparan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai Gus Dur & Islam Ramah
Hubungan dagang antara Indonesia dan Israel yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid sepenuhnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi RI untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina
TENTANG GUS DUR
Pelajaran dari Gus Dur Ahmad Tohari
K
anjeng Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah dengan hanya beralas tikar daun kurma. Maka, ada tanda-tanda guratan pada pipinya yang mulia ketika beliau bangun. Hal yang hampir sama diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada 1995, Gus Dur tidur dua malam di rumah saya yang sederhana di kampung. Malam pertama dia mau tidur di dipan kayu yang saya sediakan. Tetapi, malam kedua dia memilih sendiri tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi. Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah saya ketahui sejak lama. Ketika naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super. Sedangkan saya hanya mampu membeli karpet murah yang kasar, lagi pula debunya tak pernah disedot.
16
Kami percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi, istri saya menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Saya pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada kami? Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwa saya. Akhirnya saya mendapatkan jawaban dan mudahmudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi menuntut dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah. Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyuďŹ . Maka, saya mulai mencari jawaban di wilayah sarengat (syariat, Red). Rasanya, saya menemukan jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehari-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan mewujud dalam wilayah simbol yang tidak melahirkan ihsan. Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah (Tuhan, Red) selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu dijawab: apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?
gusdurpedia edisi XIII | November 2020
17
Merasa diri mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu daripada orang lain adalah manifestasi bentuk-bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serba lebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya akan selalu bersikap tahu diri kapan dan di mana pun. Selama hampir 30 tahun saya bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu diri itulah yang tampak dan terasa memancar dari kepribadiannya. Dia hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setia kawannya yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas kebangsaan. Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan merasa dirinya biasa, sama dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang saya dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari saya memelihara syahadat. Caranya, tidak menganggap diri mulia atau istimewa karena keduanya adalah hak Allah. Dengan demikian, saya mengerti mengapa Gus Dur rela dan enak saja tidur di lantai rumah saya yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah dirinya merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan kita, karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a’lam.
Gus Dur & Islam Ramah
Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata.
RESENSI
Tentang Gus Dur Sang Kosmopolit Nabilah Munsyarihah
Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit
: : : :
Gus Dur Sang Kosmopolit Hairus Salim HS EA Book, Yogyakarta Januari 2020
B
uku yang tebalnya hanya 180 halaman ini berhasil menceritakan dan menjelaskan dimensi diri Gus Dur dengan padat dan penuh makna. Salah satu perjumpaan awal yang penting antara penulis dan Gus Dur adalah ketika penulis, yaitu Hairus Salim, menjadi mahasiswa di Jogja, mungkin sekitar dekade 80-an. Di Jaringan GUSDURian, Mas Salim digolongkan sebagai generasi kedua atau orang yang menjadi murid Gus Dur secara langsung. Buku ini ditulis dalam rangka satu dekade wafatnya Gus Dur. Di dalamnya, bertebaran cerita dan tafsir atas laku serta pemikiran Gus Dur yang tidak sama dengan buku-buku tentang Gus Dur yang lain. Buku ini terdiri dari 16 keping esai yang menyuguhkan keberagaman dimensi dari diri Gus Dur. Gus Dur yang santri, Gus Dur yang politisi, Gus Dur yang budayawan, Gus Dur yang kosmpolit,
20
Selama Gus Dur menjadi Presiden, ia berusaha keras mewujudkan nilai yang ia yakini untuk membebaskan yang mereka lama terbelenggu melalui berbagai kebijakan.
Sisi lain yang tak kalah menariknya adalah Gus Dur dalam karya seni. Gus Dur mungkin satu-satunya tokoh publik yang paling banyak divisualkan. Buku ini menyajikan beberapa gambar seperti Dalam esai pertama berjudul Tokoh Gagal yang Berhasil, penulis menjabarkan patung Gus Dur yang menyerupai Budha Tidur karya Dolosa Sinaga, Patung Gus kegagalan-kegagalan Gus Dur. Gus Dur Dur kecil membaca buku karya Yani gagal menyelesaikan pendidikan di mariani Sastranegara, patung Gus Dur Universitas Al-Azhar. Ia juga gagal mengenakan kaos oblong dan sarung melanjutkan studi Ke Leiden, Belanda, karya Wilmar Syahnur, dan lainnya. Saya dan McGill, Kanada. Ia gagal menjadi jadi teringat, jika Anda berkunjung ke dosen di IAIN Sunan Ampel. Bahkan ia belum pernah berhasil mewujudkan cita- Jogja dan melihat mural Gus Dur mengenakan topi a la rapper bertuliskan citanya yaitu menulis novel! turn back peace, itu adalah karya seniman Tapi karena semua kegagalan itu, Gus Antitank. Jika banyak tokoh dicintai dan dihormati sehingga tercipta jarak, Gus Dur menjalani takdirnya menjadi tokoh Dur sama sekali berbeda. Karena nilai besar. Jika ia berhasil menjadi dosen di kemerdekaan yang ia yakini, orang tak Surabaya, kecil kemungkinan ia bisa pernah canggung menafsirkan Gus Dur menjadi aktivis di Jakarta lalu menjadi dalam karya sejauh imajinasi bisa Ketua PBNU. Jika hidupnya lurus-lurus menjangkaunya. Gus Dur adalah milik saja seperti kebanyakan orang, ia akan bangsa. mencukupkan diri sekadar jadi intelektual di balik meja dan belum tentu Penulis juga menceritakan tentang mau membela rakyat. perjuangan Gus Dur meruntuhkan sekatPada suatu kesempatan ketika sekat beku di antaranya dengan etnis berdiskusi dengan mahasiswa, seorang Tioghoa, tokoh yang dianggap PKI, aktivis tukang demo menuduh Gus Dur sastrawan, bahkan musuh politik. Selama lembek terhadap pemerintah karena tak Gus Dur menjadi Presiden, ia berusaha dapat jatah menteri. Dengan tenang Gus keras mewujudkan nilai yang ia yakini Dur menjawab, "catat ya, menteri itu untuk membebaskan yang mereka lama kecil. Pemilu kemarin saya diminta Pak terbelenggu melalui berbagai kebijakan. Harto jadi wakilnya. Saya menolak Gus Dur juga memulai banyak pemikiran mengapa? Karena saya ingin jadi seperti demokrasi, pribumisasi Islam, Presiden.� Benar saja enam tahun perlawanan kebudayaan, toleransi, kemudian, Gus Dur membuktikan katakatanya. (hlm. 6)
bahkan Gus Dur yang berkali-kali gagal dan kegagalan itu mengantarkannya menjadi Gus Dur.
gusdurpedia edisi XIII | November 2020
21
humanisme, dan lainnya. Perjuangan Gus Dur hanya bisa dibayar dengan melanjutkan apa yang telah beliau mulai. Karena yang terpenting adalah melanjutkan nilainya bukan objeknya. Misal dalam mengakui Tionghoa, Gus Dur membela nilai pembebasannya bukan saja Tionghoanya. Jika memegang nilainya, maka banyak sekali tugas bagi generasi kita membebaskan kelompok yang masih terbelenggu, baik secara politik maupun kelas. sebab problem semacam itu terus saja bermuculan. Karena memegang nilai kearifan universal, Gus Dur berhasil menjadi pribadi yang komsopolit. Kosmopolit adalah sifat seseorang yang ingin mengatasi problem identitas sempit yang bisa mendorong orang terlibat konflik atau peperangan. Penulis bercerita, suatu hari ada seorang tokoh Hindu kharismatik dari India datang ke Indonesia. Ia berbisik pada Gus Dur, “titip umat Hindu di sini.” Perasaan Gus Dur membuncah. Pernyataan itu membuat Gus Dur merasa dianugerahi status sebagai warga umat manusia. Persis seperti makna kosmopolitan; kosmo artinya dunia dan politan artinya warga. (hal. 128) Gus Dur yang teguh sebagai seorang muslim, keislamannya tidak membendung dirinya menjadi seorang yang mampu menyebarkan nilai universal bahkan diakui oleh tokoh lintas identitas.
mendapat privilese untuk belajar sana sini. Tapi, advantage apa pun, kalau tidak bisa memanfaatkan, tidak akan menghasilkan apa-apa.” Yang diteladankan Gus Dur –mungkin juga banyak tokoh lain seperti Kartini, bahkan Soekarno, dan Hatta—adalah memanfaatkan privilese untuk kepentingan orang banyak, kemaslahatan kemanusiaan, kemajuan peradaban, membela minoritas, memajukan demokrasi, menegakkan HAM, dan sebagainya. (hlm 125) Saya jadi teringat lagi, suatu hari saya pernah mendengar anak sulung Gus Dur, Alissa Wahid berkata, besarnya privilese seturut dengan besarnya tanggungjawab. Kesadaran memberikan kembali apa yang dimanfaatkan dari hak istimewa untuk kemaslahatan yang lebih luas itu lah yang menjadikan Gus Dur menjadi Gus Dur yang kita kenal dengan segala status yang ia sandang. Ia besar sama sekali bukan untuk dirinya sendiri. Sumber: http://www.perempuanmembaca.com/ 2020/06/resensi-buku-sangkosmopolit-hairus.html
Tapi yang paling menarik bagi saya, apa yang membuat Gus Dur menjadi Gus Dur ada dalam esai berjudul Tentang Privilese Seorang Gus. Gus Dur pernah menyatakan, “... kebetulan, saya ini cucu pendiri (NU). Jadi saya mendapat comparative advantages; pernah pesantren, pernah ke Timur Tengah, dan
Gus Dur & Islam Ramah
#KATALISSA
Kebebasan Alissa Wahid
S
ekali lagi dunia dikejutkan dengan aksi keji yang terjadi di Perancis beberapa hari lalu. Seorang remaja usia 18 tahun memenggal kepala seorang guru dan seorang pemuda usia 21 tahun membunuh tiga orang dalam sebuah misa di gereja. Kekejian ini dipicu tindakan sang guru menggunakan kartun produksi Charlie Hebdo tentang Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan tentang kemerdekaan berpendapat. Sejak diterbitkan pada tahun 2015, kartun ini telah menimbulkan kemarahan kaum Muslim dan memicu aksi terorisme berulang kali di Perancis. Aksi keji ini diikuti dengan beberapa peristiwa lain, mulai dari pernyataan Presiden Perancis Emanuel Macron yang menuai protes dari banyak tokoh dunia sampai seruan boikot terhadap produkproduk Perancis, termasuk di Indonesia.
23
Faktanya, aksi teror dapat dilakukan oleh kelompok ideologis atau agama apa pun, sebagaimana tampak ada tragedi Christchurch, tragedi sinagog Pittsburg, kasus Ansari di India, dan tragedi Sri Lanka Aksi keji pemenggalan kepala masih terjadi di sejumlah tempat, terutama dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Di Indonesia, tahun ini dilakukan oleh kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora. Perancis sendiri mencatat sejarah hukuman guillotine, sedangkan Arab Saudi masih menerapkan hukuman pancung sampai saat ini. Namun, aksi keji pemenggalan kepala di Perancis pada bulan Oktober 2020 ini menjadi berbeda karena dilakukan tidak di arena perang atau arena khusus peradilan, tetapi di ruang publik terbuka, bahkan di rumah ibadah. Setidaknya ada beberapa hal yang menonjol dari situasi aksi keji di Perancis ini: isu kebebasan berpendapat, isu teror atas nama agama, dan isu politis terkait pernyataan Presiden Macron. Ketiganya terkait satu sama lain, tetapi juga membawa kita kembali menyelami setiap isu tersebut. Pernyataan Presiden Macron (yang oleh sejumlah kalangan dinilai memaknai aksi keji tersebut sebagai problem) dalam dunia Islam memicu protes. Faktanya, aksi teror dapat dilakukan oleh kelompok ideologis atau agama apa pun, sebagaimana tampak pada tragedi Christchurch, tragedi sinagog Pittsburg, kasus Ansari di India, dan tragedi Sri Lanka.
Berdasarkan fakta-fakta ini, dunia pada umumnya berkecenderungan untuk memisahkan aksi terorisme dari agama tertentu dengan klaim bahwa kalaupun mengatasnamakan agama, aksi tersebut tidak mereeksikan ajaran agama atau sikap mayoritas pemeluk agama. Tidak dapat dimungkiri, tafsir atas ajaran agama dapat menjadi penyulut aksi terorisme. Semisal, hukum pancung dalam Islam memiliki banyak aturan, dan diberikan kewenangannya kepada hakim dan pemerintah, sebagaimana hukuman mati di AS atau negara-negara lain. Sementara itu, aksi pemenggalan kepala oleh teroris-teroris atas nama Islam dilakukan dengan menyalahgunakan tafsir ajaran agama untuk menjustiďŹ kasi tindak kekerasan tersebut, justru tanpa mengindahkan hukum yang mengaturnya. Kebencian ini salah satunya disulut oleh tafsir yang ultrakonservatif atas relasi Muslim dengan non-Muslim. Pandangan inilah yang menyebabkan imigran Tunisia berusia 21 tahun di Perancis tersebut membunuh orangorang di gereja walaupun ketiga korban ini tidak terkait dengan Charlie Hebdo atau guru di kasus awal. Dalam konteks ini, para ulama Islam dari seluruh dunia memiliki tugas besar untuk memandu 1,6 miliar kaum Muslim memaknai secara tepat ajaran terkait relasi Muslim dengan kelompok-
Gus Dur & Islam Ramah
24
kelompok lain di muka bumi ini sebagai upaya mewujudkan mandat Islam rahmatan lil ’alamin. Yang paling kontroversial dari persoalan aksi keji di Perancis ini adalah tentang kemerdekaan berpendapat (freedom of speech) yang lebih sering dimaknai sebagai kebebasan berpendapat. Kemerdekaan berpendapat membawa prinsip tiadanya penindasan atas hak seorang manusia untuk menyampaikan pandangannya. Adapun kebebasan berpendapat menyiratkan tiadanya batas atas pendapat seorang manusia.
bukunya, 5 Minds for the Future, psikolog berpengaruh dari Harvard University ini menyebutkan bahwa manusia yang matang memegang prinsip menghormati kepentingan orang lain. Pembatasan diri terjadi karena penghormatan ini. Dalam bahasa sederhana, ia menyampaikan bahwa setiap orang berhak atas ekspresi pandangannya. Namun, apabila sudah tahu bahwa hal tersebut akan menyakiti orang lain, mengapa dilakukan?
Kebebasan berpendapat di tangan orang-orang yang tidak memiliki respecting thinking menjadi pisau yang berbahaya. Dalam konteks ini, Pemerintah Dalam kasus ini, Perancis sebagai Perancis dan negara-negara lain di dunia sebuah negara tentu berhak atas pilihan ini memiliki tanggung jawab untuk untuk menjadikan freedom of speech mendidik warga negaranya sehingga sebagai salah satu hak yang dilindungi kontrol atas ekspresi kemerdekaan sepenuhnya. Dengan sejarah panjang berpendapat tersebut ada dalam diri konik atas nama agama di masa lalu, setiap individu dan tidak menimbulkan Perancis juga memiliki alasan yang kuat kekacauan. Dengan demikian, untuk memisahkan agama dengan negara. kemerdekaan berpendapat terlindungi tanpa harus menjadi kebebasan yang tak Kemerdekaan berpendapat ini telah terbatasi. menjadi persoalan panjang dalam konteks hak asasi manusia. Apakah ia dapat masuk Sebagaimana pesan Gus Dur, �Kalau dalam non-derogable rights, yaitu hak Anda tidak ingin dibatasi, janganlah Anda yang tak dapat dikurangi dalam situasi membatasi. Kita sendirilah yang harusnya apa pun? Atau sebagaimana ICCPR tahu batas kita masing-masing. Gitu aja menyebutkan, termasuk dalam hak-hak kok repot." derogable, yang dapat dibatasi oleh negara-negara? Apabila ya, bagaimana dengan Charlie Hebdo dan tertuduh (Artikel ini dimuat pertama kali di penista agama lainnya? rubrik "Udar Rasa" Kompas, 8 November 2020) Belajar dari kasus kartun Nabi Muhammad di Denmark, Howard Gardner menelurkan respecting thinking Sumber: kompas.id sebagai salah satu dari lima keterampilan berpikir terpenting di milenium ini. Dalam
gusdurpedia edisi XIII | November 2020
Kebebasan berpendapat di tangan orang-orang yang tidak memiliki respecting thinking menjadi pisau yang berbahaya. Dalam konteks ini, Pemerintah Perancis dan negara-negara lain di dunia ini memiliki tanggung jawab untuk mendidik warga negaranya sehingga kontrol atas ekspresi kemerdekaan berpendapat tersebut ada dalam diri setiap individu dan tidak menimbulkan kekacauan.