Gusdurpedia Edisi 8

Page 1

Edisi: 8/September/IX/2019

KOLOM GUS DUR

Masa Depan Demokrasi di Indonesia

D

ALAM era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pernyataan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa. Mengapa artikel ini dimulai dengan pertanyaan di atas? Karena penulis yakin bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo. Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat. ***

“...penulis yakin bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan statusquo�

Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians


2

yang bersifat koordinatif haruslah menjadi hubungan yang setara, bukannya subordinatif seperti sekarang. *** Lalu bagaimana halnya dengan institusi-institusi yang ada? Yang jelas, ABRI harus melepaskan tanggung jawab keamanan yang ada. Dia cukup mempersiapkan diri secara profesional dalam mengurusi pertahanan negara. Dengan demikian wilayah kekuasaannya menjadi ciut, tetapi lebih berisi dan berbobot dan lebih mudah mempertanggungjawabkan tindakannya. Demikian pula kebebasan daerah memilih pemerintahannya. Dengan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan secara cepat, kontrol dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah. Dalam pemilihan pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah. Ini pun masih disertai dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif. Dalam hal ini berarti yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya manifestasi kedaulatan birokrasi, seperti selama ini terjadi. Dalam pada itu masa lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya kekuatan masyarakat. Sekarang saja ABRI dan birokrasi pemerintah harus menerima kehadiran lebih dari satu serikat buruh (SBSI). Demikian pula kebebasan pers untuk mengritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak legislatif juga sudah mulai berani mengritik pihak eksekutif secara terbuka, meskipun hal ini masih dilakukan secara malu-malu, sebagaimana terlihat saat ini. Hal ini perlu dimaklumi karena DPR dan MPR sekarang masih produk Orba. Pemilu yang akan datang juga sudah ada kemungkinan dapat diikuti oleh pihakpihak lain di samping PPP, Golkar dan PDI. Namun spontanitas -sebagai cermin aspirasi rakyat yang murnibelum muncul karena masih dimungkinkan adanya sikap menahan satu pihak untuk tidak ikut pemilu dengan alasan penyederhanaan partai-partai peserta pemilu. Ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan untuk itu. ***

edisi 8/September/IX/2019

Apakah ini berarti kita akan kembali pada masa Orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau kita bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan). Misalnya dalam hal pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali ke daerah. Sekarang harus dibalik, sebagian besar katakanlah 70 persen untuk daerah asal yang menghasilkan devisa dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Dengan penghasilan itu plus penghasilan pusat dari pendapatan nonekspor (pajak, cukai dsb) cukup untuk biaya pemerintah pusat dan daerah-daerah miskin. Demikian juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya yakni tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat tetapi ditentukan secara mandiri oleh daerah masingmasing. Pemerintah pusat hanya menjadi wasit dan menjaga konstitusi dalam praktek pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pegawai negeri juga akan terbagi dua yaitu pegawai negeri daerah dan pegawai negeri pusat. Dalam ukuran kecil sekarang telah terjadi, meski dengan persepsi yang distortif. Di mana saat ini dipahami pegawai negeri pusat adalah mereka yang berada di pusat dan menjadi bagian dari kelompok elite kekuasaan yang memiliki otoritas lebih dibanding pegawai negeri daerah. Pengertian pegawai negeri pusat dan daerah di sini tidak demikian. Perbedaan ini dimaksudkan untuk pembagian tugas dan tanggung jawab serta wilayah kerja masing-masing agar dapat bekerja secara efisien dan efektif, sementara otoritas dan posisi masingmasing tetap sama. Dengan sistem ini perwakilan departemen-departemen di daerah akan hilang kecuali beberapa saja, dan digantikan oleh kantor-kantor daerah (termasuk ekspor). Pemerintah pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal yaitu politik luar negeri dan pertahanan. Dalam hal ini daerah-daerah harus ikut saja pada keputusan pusat. Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan tugasnya tunduk pada gubernur, wali kota, dan bupati bukan pada pemerintah pusat. Hubungan pusat dan daerah


Beberapa hal di atas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. Di samping itu, untuk jarak lima sampai sepuluh tahun ini pihak yudikatif belum memiliki independensi penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai. Demikian halnya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, walaupun ada bahaya separatisme. Sedangkan perlindungan hak-hak asasi warga sebagaimana tertuang dalam deklarasi PBB, juga masih panjang. Walhasil yang terjadi adalah proses meningkatnya demokrasi secara perlahan, dan berkurangnya kekuasaan pemerintah atas rakyat sedikit demi sedikit. Dalam hal yang demikianlah pertanyaan pada awal tulisan ini patut dikemukakan karena membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu. Di sinilah terletak beberapa anggapan, bahwa tradisi atau budaya politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya. Karenanya dapatlah dimengerti mengapa jawaban pada pertanyaan di awal tulisan ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuangan melalui serangkaian pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.

“...membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada.�

gusdurpedia: gus dur dan demokrasi

Tulisan ini dimuat di KOMPAS Selasa, 01-091998. Halaman: 4

3


KATA GUSDURIAN

Merindukan Negarawan

B

agai banjir bandang, publik mengalami pendidikan literasi legislatif yang luar biasa dalam beberapa waktu terakhir ini. Rancangan regulasi dari berbagai sektor mengalir deras melalui semua kanal media informasi. Rancangan UU Pesantren, UU Pertanahan, UU Keamanan dan Ketahanan Siber, UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Revisi UU Perkawinan dan Revisi UU KPK serta berbagai regulasi lainnya mendadak menjadi terminologi yang populer. Perdebatan sengit terjadi antara Pemerintah, partai politik, kelompok-kelompok pendukung Pemerintah, gerakan masyarakat sipil termasuk akademia, serta media massa offline dan online. Sebagai sebuah fenomena, ini adalah momen pendidikan politik rakyat. Parlemen yang selama 5 tahun ini dikritik tidak produktif menghasilkan legislasi sebagai bangunan dan tatanan hidup berbangsa bernegara, dalam sebulan terakhir masa jabatannya terlihat kejar tayang menyelesaikan begitu banyak rancangan legislasi. Publik memprotes fakta bahwa sebagian rancangan tersebut diproses tanpa kajian yang berimbang dan komprehensif, kurang melibatkan, untuk tidak menyebut dengan mengabaikan, pihak-pihak yang berkepentingan, dan tergopoh-gopoh sehingga banyak pasalnya menimbulkan kontroversi.

4

Masyarakat menyaksikan secara gamblang akrobat parlemen tersebut dan memahaminya sebagai pemenuhan hasrat partai politik melalui mekanisme demokrasi yang ada. Agaknya, para politisi di parlemen ini tidak lebih dari pekerja politik. Yang konon berjuang untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru bekerja untuk kepentingan dirinya dan partai politik. Sebagai pekerja politik, mereka memperhitungkan investasi dalam kampanye dan keuntungan yang akan mereka peroleh. Mereka memanfaatkan dan pada saat yang sama mengkhianati janji-janjinya pada rakyat. Dan di saat-saat demikian, sosok para negarawan melintas di kesadaran kolektif kita. Masyarakat mendambakan Bung Karno, yang mampu membangun visi bangsa yang berdaulat dan jaya, bersatu di tengah keberagaman bangsa. Masyarakat mendambakan Bung Hatta, yang sama sekali tak memikirkan keuntungan ekonomi personal, selaras dengan gagasan besarnya tentang ekonomi yang adil sosial. Masyarakat mendambakan Gus Dur, yang tak kenal lelah memperjuangkan demokrasi hakiki di atas prinsip kesetaraan warga negara, tak hanya memikirkan kepentingan Nahdlatul Ulama, organisasi besar yang dipimpinnya. Masyarakat mendambakan Jenderal Soedirman, yang dalam kondisi sakit dan harus ditandu pun masih memimpin tentara Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

edisi 8/September/IX/2019

Oleh: Alissa Wahid Koordinator Jaringan Gusdurian


Masyarakat mendambakan para ulama dalam BPUPKI, yang mengikhlaskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi cita-cita persatuan nusantara. Apa yang membuat mereka layak disebut sebagai negarawan? Walaupun area juang mereka beragam, dalam diri semua tokoh tersebut muncul beberapa karakteristik yang sama. Yang pertama adalah komitmen kebangsaan, yang membuat mereka bertindak demi keutuhan negara. Yang kedua adalah komitmen perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat, yang tercermin dalam kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat. Nilai keadilan serta kongruensi antara pemikiran dan tindakan menjadi ciri karakter yang menjiwai kedua komitmen tersebut. Walhasil, rakyat benar-benar dapat melihat dan merasakan integritas pribadi sang negarawan, juga iktikad untuk mewujudkan kemaslahatan, jauh dari sikap dan tindakan manipulasi, eksploitasi dan pengkhianatan terhadap komitmen kerakyatan. Menjadi negarawan adalah tentang pengabdian, bukan pekerjaan. Potret negarawan tersebut melekat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat (collective consciousness) dan menjadi tolok ukur mereka untuk menilai para politisi. Di tengah situasi Indonesia yang kewalahan menghadapi berbagai tantangan yang memberikan dampak cukup besar dalam kehidupan kita, seperti geopolitik dan pertarungan raksasa ekonomi dunia, pemberantasan korupsi, kontestasi ideologi yang menimbulkan kebencian antar kelompok, indeks pembangunan manusia yang masih belum memuaskan, kita sangat membutuhkan figur negarawan.

Ironisnya sistem politik yang berlangsung di tanah air adalah sistem yang menghasilkan pekerja politik. Sulit mengharapkan lahirnya negarawan-negarawan dalam sistem politik yang seperti ini. Bila pun ada, terpinggirkan di dalam partai politiknya atau dalam parlemen. Dalam kata-kata Winston Churchill: the difference between a politician and statesman is that a politican thinks about the next election, while the statesman thinks about the next generation – beda politisi dengan negarawan: politisi berpikir sampai pemilu berikutnya, sedangkan negarawan memikirkan generasi masa depan bangsanya. Maka, kejutan ontran-ontran beberapa waktu terakhir yang telah menyadarkan masyarakat akan ketidakhadiran negarawan di tengah mereka, membuahkan kerinduan. Indonesia surplus politisi, miskin negarawan, kata Buya Syafii Maarif. Kapankah krisis negarawan akan berakhir? Sampai kapan bangsa ini harus menunggu? Adakah satrio piningit yang akan hadir? Atau barangkali, satrio piningit bukanlah sosok seseorang, namun adalah karakter yang sedang kita harapkan. Sepertinya, kerinduan masyarakat terhadap lahirnya para negarawan disimbolkan melalui kerinduan terhadap satrio piningit. Akankah ia menjelma dalam diri para politisi? Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, kolom Udar Rasa, edisi Minggu 22 September 2019

Islam dan RUU PKS Oleh: Fawwaz Azmi Muslim, Feminis, Gusdurian

gusdurpedia: gus dur dan demokrasi

A

lasan Dewan Perwakilan Rakyat urung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah, kata mereka, adanya sejumlah pasal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Saya pun bertanya-tanya, apa yang bertentangan dengan nilai-nilai agama di sini? Jika kita berbicara tentang agama, tentu kita berpikir tentang tafsir atas suatu hukum. Di Islam dikenal ada empat sumber hukum: Alquran, Hadis, Ijma’ (kesepakatan ulama), dan Qiyas (kontekstualisasi fikih lampau dengan fenomena baru yang muncul). Nah, jika kita berbicara tentang RUU PKS,

berada di wilayah mana kah agama ‘menolak’ RUU PKS? Saya melihat pihak-pihak yang membenturkan persoalan agama dengan suatu produk hukum yang melindungi perempuan adalah mengada-ada. Apalagi Islam memiliki semangat untuk melindungi yang lemah dan dilemahkan. Perempuan secara akses memang berada di posisi dilemahkan. Sistem patriarki membuatnya harus tunduk pada berbagai norma sosial—yang seringkali dibalut agama. Jika kita melihat berbagai statement terkait penolakan terhadap RUU PKS, ada dua arus besar yang diperdebatkan.

5


6

Perkawinan tidak lantas membuat seorang pria memilikinya sehingga memperlakukan sekenanya. Karenanya, perbuatan seksual yang melibatkan dua insan harus melalui restu pemiliknya. Memaksa perempuan adalah bentuk pembegalan yang sangat ditentang oleh agama. Prinsip hifz an-nafs merujuk pada persoalan kedua yang diperdebatkan di RUU PKS, yaitu aborsi. Bagi penolak, menjaga agar anak ‘yang tak berdosa;’ ini lahir, adalah bentuk implementasi ‘hifz an-nafs’. Jiwa anak tersebut harus diselamatkan. Tetapi bagaimana dengan praktiknya pada kasus perkosaan? Ada banyak orang memilih bunuh diri karena tidak sanggup menerima berbagai bentuk cercaan dari lingkungan sekitar. Masyarakat kita masih mempraktikkan rape culture yang cenderung menyalahkan korban. Jika dipaksa lahir, sang bayi yang awalnya disebut tidak berdosa tersebut, kemudian mendapat label ‘anak haram’ karena tidak memiliki ayah. Pengalaman sosial semacam itu tentu harus ditanggapi, terutama oleh negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Bagaimana Islam bisa menjawab tantangan demikian? RUU PKS memberi peluang bagi para korban perkosaan untuk menyelamatkan jiwanya dengan opsi aborsi jika diperlukan. Ingat, RUU ini hanya memberi opsi, bukan mengharuskan. Lingkupnya pun tidak hanya umat Islam saja, tetapi seluruh umat beragama yang hidup di Indonesia. Jika perdebatan soal agama masih menjadi sandungan terhadap pengesahan RUU PKS, maka pada dasarnya kita mundur jauh ke belakang. Mengapa? Karena Islam sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan di tengah masyarakat, termasuk dalam melakukan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Hanya saja umatnya seringkali masih berpikir seperti era sebelum Nabi Muhammad SAW menyuarakan Islam. Ya, banyak umat Islam yang wataknya justru jahiliyah. Parahnya, mereka merasa paling islami. Wallahua’lam.

edisi 8/September/IX/2019

Pertama, soal istilah kekerasan atau perkosaan yang merujuk pada hubungan seksual yang tidak dikehendaki. RUU PKS menyasar pada berbagai bentuk relasi, termasuk rumah tangga. Para penolak menyebut mana mungkin di sebuah lembaga pernikahan terjadi kekerasan atau bahkan perkosaan? Pendapat ini tercermin dalam sebuah acara di stasiun televisi nasional beberapa bulan lalu. Tengku Dzulkarnain tidak setuju apabila seorang istri menolak ajakan bersetubuh dari suami, sekali pun seorang istri berada dalam posisi kelemahan dan soal lainnya. “Kalau dianggap kekerasan, lalu suami harus setor ke mana?” ujar Tengku Dzulkarnain. “Si istrinya tinggal diam saja… Tidur aja… Enggak sakit” sambungnya. Komentar-komentar seperti itu sangat man-oriented. Phallocentrism, mengutip istilah Sigmund Freud. Phallocentrism menempatkan lelaki pada posisi paling berkuasa, sementara perempuan hanya menjadi objek. Inilah yang membuat saya bertanya-tanya, sejauh mana agama begitu dibuat melenceng dari tujuan awalnya oleh para pendompleng agama itu? Sebelum Islam lahir, perempuan dianggap sebagai aib. Kita bisa menyimak kisah di mana Umar bin Khattab—salah seorang sahabat Nabi—yang pernah membunuh anak perempuannya hidup-hidup. Perempuan di masa jahiliyah jika dibiarkan hidup, mereka tidak ubahnya seperti harta benda. Bisa dimiliki sebanyak-banyaknya. Bisa diwariskan sebagaimana ladang dan perhiasan. Islam hadir melakukan sebuah revolusi peradaban dengan mengharuskan perempuan dinikahi. Yang awalnya tak terhingga, kemudian dibatasi menjadi empat. Spirit monogami bahkan diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan menikahi Khadijah selama 25 tahun. Dalam surat An-Nisa’ ayat kesembilan belas Allah SWT mengajarkan agar menggauli istri dengan caracara yang baik. Kekerasan, terutama kepada perempuan, adalah musuh bagi ajaran Islam. Kita bisa melacaknya melalui Maqashid Syariah atau tujuan-tujuan syariat. Ada lima prinsip. Dua di antaranya adalah hifz al-’ird atau menjaga kehormatan dan hifz an-nafs atau menjaga jiwa. Bagi saya, tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, sehungga kehormatannya harus dijamin.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.