Gusdurpedia Edisi 12

Page 1

gusdur pedia

edisi XII | September 2020

Gus Dur

& Marxisme-Leninisme



SELASAR

Gus Dur

gusdur pedia

& Marxisme-Leninisme Daftar Isi Selasar: Gus Dur dan Marxisme-Leninisme 3 Kata Gus Dur: Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Islam 4 Tentang Gus Dur: Gus Dur dan Marxisme-Leninisme 13 Resensi: Tentang Biografi Gus Dur 22 Kata Alissa: Gempa Keluarga 26

gusdur pedia

edisi XII | September 2020

Gus Dur

& Marxisme-Leninisme

Terbit dua bulan sekali. Majalah digital ini memuat tulisan Gus Dur dan tulisan tentang Gus Dur. Dikelola oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Majalah digital ini bebas untuk disebar dan dicetak.

ON THIS MONTH Bulan September memiliki sejarah kelam perjalanan bangsa Indonesia. Gerakan 30 September dianggap sebagai pemberontakan kelompok komunis sehingga menyebabkan pembunuhan besar-besaran terhadap warga yang diduga berhubungan dengan gerakan ini. Negara pun kemudian melarang segala bentuk ajaran Marxisme-Leninisme. Bagaimana Gus Dur memandang ideide besar Marxisme-Leninisme?

“...sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis...” - Gus Dur

Penasihat Alissa Wahid Penanggung Jawab Jay Akhmad Pemimpin Umum Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Sarjoko S. Redaktur Mohammad Pandu Distribusi Rifa Mufidah Layout S. Joko Email redaksi@gusdurian.net WA 0821 4123 2345 IG jaringangusdurian Twitter @gusdurians Facebook Jaringan GUSDURian, KH. Abdurrahman Wahid


KATA GUS DUR

Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Islam KH. Abdurrahman Wahid

S

elama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. MarxismeLeninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan kelompokkelompok muslim di seluruh dunia. Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan


5

pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan. Percaturan geopolitik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu pertama paham Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak beberapa tahun lalu. Selain itu, secara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat dibuktikan. Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme. Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin Marxisme-

Leninisme, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum feodal. Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan MarxismeLeninisme dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu. Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus diselaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah. Pengaturan hidup secara revelasional (walaupun memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai sepenuhnya dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional sepenuhnya. Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang memunculkan apa yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya. Forum-forum formal Islam sendiri

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


6

Menurut pandangan mereka, kapitalisme akan membawa bencana karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya. Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau dalam jargon Rabithah al-Alam al-Islami/Islamic World Association yang berkedudukan di Mekkah, “ideologi yang menentang Islam (al-fahm al-mudhadli al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum muslimin, MarxismeLeninisme dalam “baju” komunisme secara rutin dimasukkan ke dalam pahampaham yang harus ditolak secara tuntas.

kapitalisme dan komunisme atau menurut istilah Mustofa al-Siba’I, antara kapitalisme dan sosialisme. Menurut pandangan mereka, kapitalisme akan membawa bencana karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh MarxismeLeninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.

Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompokSikap demikian dapat juga dilihat kelompok Marxis-Leninis dalam masingpada karya-karya tulis para pemikir, ideolog, dan budayawan yang menjadikan masing lingkungan bangsa muslim mana Islam sebagai kerangka acuan dasar untuk pun di seluruh dunia. Bahkan di kalangan menata kehidupan (dalam arti tidak harus minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan dalam bentuk negara teokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan negara, tetapi sebagai semangat pengatur karena adanya orang-orang yang berpaham Marxis-Leninis. Karena kehidupan). Para penulis “pandangan memang mereka ada di mana-mana. Islam” itu memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideologi dan Tambahan pula, keadaan masyarakat paham Marxisme-Leninisme dalam karyabangsa-bangsa yang memiliki penduduk karya mereka. beragama Islam dalam jumlah besar Penolakan ini antara lain berupa sikap memang membuat subur pertumbuhan mengambil bentuk peletakan “pandangan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan antara teori Islam” sebagai jalan tengah antara

gusdurpedia edisi XII | September 2020


7

kemasyarakatan yang terlalu mulukmuluk yang ditawarkan dan kenyataan menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru kenyataan bahwa oleh pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, kecuali sudah tentu di Indonesia. Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkunagn bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini. Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya untuk meramu ajaran Islam kepada atau dengan paham-paham lain, termasuk Marxisme. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya oleh Muammar Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya tersebut tidak terbatas pada “penggalian” konsepkonsep Marx yang nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai “pengambilan” dari Marxisme-leninisme. Secara formal, paham tersebut dilarang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme ke dalam doktrin politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang memelopori revolusi”, yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai “dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) sebagai satusatunya kekuatan “pengawal revolusi” dari kemungkinan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.

Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang ditawarkan sebagai “ideologi Islam” sangat menarik untuk dikaji, karena bagaimanapun ia mengandung dua aspek. Pertama, ia tidak terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan sejumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek Nabi dan Ali Syari’ati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin E-Khalq yang bergerak di bawah tanah di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan MarxismeLeninisme. Kedua, kenyataan bahwa upaya “meramu” tersebut sampai hari ini masih mampu mempertahankan warna agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui “penyerapan sebagai alat analisis”. Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini. Antisipasi mana saja dapat digunakan, baik untuk mencegahnya maupun mendorong kehadirannya. Salah satu cara untuk melihat titiktitik persamaan antara Islam dan Gus Dur & Marxisme-Leninisme


8

Marxisme Leninisme, keduanya sebagai semacam “ajaran kemasyarakatan” (untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan sejumlah teolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar) adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive (keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and Islam (hlm. 142).

Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa sikap untuk cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan (action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif.

Menurut pendekatan ini, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka. Kecenderungan “agama” seperti tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan etos kerja agraris, pola kemiliteran, dan asktisme politis, ternyata menampilkan banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun pendekatan itu oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas kaitan antara Islam dan kapitalisme, bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk meneliti kaitan antara Islam Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.

Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga keimanan dan tuntasnya keterlibatan kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya diidentifisir dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.

Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di zaman Nabi Muhammad.

gusdurpedia edisi XII | September 2020

Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik (dalam jargon sosialisme dikenal dengan nama historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan ideologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya kepada “sikap aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang mendorong kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan struktur kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan dan kemudian melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai bangunan kehidupan yang adil. Orientasi inilah yang “menghubungkan” antara Islam dan Marxisme-Leninisme, menurut versi


9

pikiran orang-orang seperti Khadafi dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipil mereka menentang komunisme sebagai ideologi dan memenjarakan pemimpinpemimpin komunis serta melawan mereka dalam bentrokan-bentrokan fisik. Berbeda dengan mendiang Jamal Abdul Nasser dari Mesir, yang berideologi sosialistik dan sedikit banyak dapat menolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya, walupun sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang dinilainya subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Ba’ath (kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang ini. Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Partai yang nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibiarkan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.

Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian antara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga benih-benih kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran, selama yang terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam, selama itu pula mereka ditolerir. Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis. Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, Pancasila.

“...sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


10

Kenyataan seperti ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama ini atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari satu sisi pandangan saja, itu pun yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakangerakan Islam, tetapi diterima dalam praktik. Seperti wajarnya ”garis partai” yang menolak kehadiran agama di negaranegara komunis, tetapi dalam praktik diberikan hak melakukan kegiatan serba terbatas.

Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian, karena keharusan tidak boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan Marxisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing. Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Marxisme-Leninisme.

Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin melakukan tinjauan mendalam atas MarxismeLeninisme dari sudut pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap Islam yang dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil dalam kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum.

Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan nabi dalam hadis dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumbersumber ajaran agama itu.

Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dalam praktik, sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah. Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktik kehidupan pemerintahan, tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperti yang disangkakan pihak Amerika Serikat atas hubungan Khadafi dan Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain.

Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi kemasyarakatan kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang kecilkecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah). Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada

gusdurpedia edisi XII | September 2020


11

kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benarbenar adil dalam pandangan Islam. Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Italia dewasa ini akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa tiga puluhan dari abad ini, semisal Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas yang antara lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya kini tinggal di Perancis.

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari Persepsi, No.1, 1982

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


TENTANG GUS DUR

Gus Dur dan Marxisme-Leninisme Roy Murtadho

P

erjumpaan Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biograďŹ yang ditulis oleh Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capital karya Marx dan What Is To Be Done? karya Lenin. Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-nya Mao (kutipan katakata Ketua Mao). Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme Marxisme dengan agama. Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalahmasalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam Marxisme-Leninisme.


13

Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan MarxismeLeninisme sejak masa remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapa pun untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya. Dari semua esainya, setahu penulis, hanya ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaitu “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme” yang dimuat pertama kali dalam Persepsi No. 1 1982.[3] Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan ekspektasi Gus Dur atas MarxismeLeninisme. Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Sikap terbuka ini, kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan oleh ayahnya, Wahid Hasyim, di mana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid biasa bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar ideologi. Bahkan bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang berhaluan komunis.

Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur yang pada masa remajanya telah membaca Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa Gus Dur tidak tertarik untuk mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis? Pertanyaan tersebut juga bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia di era orde baru enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu? Pertanyaan ini relevan untuk diajukan di muka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya MarxismeLeninisme bagi pemikiran Islam. Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat kajian Marx di era orde baru. Pertama, secara historis kaum muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang memposisikan Islam dan Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965. Kedua, para intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru. Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan oleh upaya mencari kesesuaian Islam dan developmentalism. Nalar instrumental yang dibawa serta oleh developmentalism tak pelak menyeret intelektual Islam Indonesia masuk pada narasi: ‘apakah

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


14

kontribusi Islam terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju sebagaimana proyek orde baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih argumentasi teologis dan historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan. Ketiga, politik antikomunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan. Konjungtur politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx dan Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia. Dengan demikian, Marxisme di era orde baru berada di tepian kajian humaniora di Indonesia. Ini berbeda dengan di era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan Indonesia, di mana Marxisme bisa dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi primadona dan memberi pengaruh besar bagi kaum pergerakan pada masanya. Bahkan ketika Tan Ling Djie, seorang Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut Muhammad Hatta sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya tentang Marxologie sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya. Ia mengaku seorang marxis yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan seorang Marxis”. Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat ini.

gusdurpedia edisi XII | September 2020

Perlunya Mencari Kesesuaian Islam dan Marxisme Secara umum, esai Gus Dur yang berjudul “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme” berisi pesan perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan Marxisme. Berbeda dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar anti terhadap komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur justru melihat perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme. Ia tak khawatir akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut. Sebaliknya, ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui “penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme tersebut. Di sinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan MarxismeLeninisme sebagai ideologi politik. Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini pasca 65. Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan tersebut lebih bersifat politis, bukan ideologis. Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki


15

aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila. Gus Dur menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari satu sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui secara formal di kalangan gerakangerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam praktik.

baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, sebagaimana dilakukan Partai Komunis Italia yang membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global. Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme, yaitu penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis struktur atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme. Inilah yang luput dari Gur Dur, ia tak melihat dimensi revolusioner dari filsafat Marx yaitu penemuannya atas tendensi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara ilmiah. Sebagaimana diungkapkan Engels dalam Speech at the Graveside of Marx[5] bahwa: “Marx menemukan… fakta yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama.”

Bagi Gus Dur menjadi penting dalam konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme dan Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah pemikir muslim semacam Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati. Bahkan Gus Dur mengungkapkan adanya sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Yang lebih mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan Nabi dalam hadis dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir. Gus Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.

Dalam esainya, Gus Dur sangat terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia yang salah satunya dimotori oleh Antonio Gramsci. Kita tahu di Eropa, teori Gramsci menjadi sangat terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya sosialisme via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.

Ada yang lebih mengharukan dari esai tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun 1982 dimasa kuat-kuatnya orde

Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur. Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang berkembang jauh dari apa

Relevansi Islam dan Marxisme Menuju Another World is Possible

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


16

yang selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan runtuhnya Tembok Berlin di mana semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti gagal dan segera ditinggalkan, Fredric Jameson[6], seorang kritikus sastra dan teoritisi politik Marxis, malah mengatakan bahwa Marxisme makin diperkuat dan diremajakan oleh keterbebasannya dari tradisi Soviet yang monolitik. Dengan adanya Revolusi Cina dan Kuba, Kiri Baru Amerika, peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari kebekuan Stalinisme dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan pluralistik. Sementara, jika kita melihat konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin sosialis-kiri radikal yang pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya: Michelle Bachelet, mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo Morales, tokoh gerakan petani suku Indian, Presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden Venezuela; Lula Da Silva, Presiden Brazil; Netro Kirchner, Presiden Argentina; dan Daniel Ortega, Presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan presiden Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua Amerika. Jadi di abad ini, percobaan sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende, seorang presiden Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di Chili dan deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol, memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin. Sayangnya, Via Chilena (jalan Chili) menuju sosialisme yang

gusdurpedia edisi XII | September 2020

dicanangkan Allende melalui pidato pelantikannya yang sangat terkenal: “…Sekarang rakyat telah berhasil merebut kekuasaan atas nasib mereka sendiri, untuk berderap maju menuju sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun 1973, digulingkan secara brutal oleh militer Chilieatas perintah Amerika, dalam sebuah operasi militer yang diberi nama “Operasi Jakarta”. Kudeta tersebut telah merenggut nyawa Allende berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta jiwa itu. Penulis percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery (Pusat dan Pinggiran), yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di Utara dan negara-negara miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan terus dilanggengkan. Bagi Samir Amin, ada pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana terjadinya peralihan surplus dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang disebutnya “periphery” (negara-negara pinggiran) ke negaranegara maju yang disbutnya ”centre” (negara-negara pusat). Dari kolonialisme berupa penjajahan politik hingga neokolonialisme berupa penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah negaranegara Dunia Ketiga atau negara periphery, selamanya hanya diposisikan sebagai tempat penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat pemasaran hasil produksi negara maju. Penutup Kita patut bersyukur mempunyai agamawan sekaligus pemimpin semacam


17

Gus Dur yang tak pernah dogmatis dan selalu terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya perubahan. Penulis baru sadar bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, di mana ia mengkritik sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme. Gus Dur tidak bergeser setitik pun dengan konsistensi sikap politiknya. Terakhir, agar prasangka atas komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa, setitik pun jangan! Nelson Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang Marxis. Sahed Baghat Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan anehnya, semoga tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama menahbiskan dirinya sebagai Marxis. Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri. Berikut kutipan lengkapnya: “Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah anti-Kapitalisme. Pancasila adalah Anti “exploitation de l’home par l’homme”. Pacasila adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila kiri”. Kenapa kita yang begitu bersemangat dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak siap menerima kenyataan ini. Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan toleran? Sepertinya hanya Allah yang tahu.[]

Penulis adalah guru ngaji, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik dan aktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Tulisan ini pernah dimuat di indoprogress.com https://indoprogress.com/2015/09/gus-dur-dan-marxismeleninisme/

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik


TENTANG GUS DUR

Gus Dur

di Tengah Minoritas Akhmad Muzakki

S

eorang filosof pendidikan kenamaan dari New York, Sidney Hook (1943:154), pernah menyatakan, perkembangan sebuah bangsa kerap diikuti oleh munculnya dua figur. Yakni, figur yang telah turut menjadi saksi sejarah atas perkembangan itu sendiri (the eventful man in history) dan figur yang cenderung menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai pencipta sejarah (the eventmaking man) bagi perkembangan itu. Yang kedua lebih aktif daripada yang pertama. Besarnya investasi sejarah yang ditanamkan oleh kedua figur di atas terhadap perkembangan sebuah bangsa membuat namanya tak lekang oleh waktu, dan bahkan oleh perubahan politik kekuasaan sekalipun. Karena itu, tak heran jika muncul suatu pernyataan bijak: Bangsa yang besar adalah bangsa yang sangat menghargai jasa anak bangsanya sendiri.


20

Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Penghargaan itu bukan saja dalam kepentingan untuk sekadar mengenang jasa-jasa baik anak bangsa itu kepada masyarakat luas. Namun lebih dari itu, penghargaan itu merupakan bagian untuk menjadikan nilai positif yang diperbuatnya selama hidup sebagai teladan dan sekaligus inspirasi bagi lahirnya tindak positif lainnya dalam kehidupan masyarakat lebih luas untuk masa-masa setelahnya. Penghargaan di atas akan semakin membesar saat publik melihat bahwa karakter dari figur the eventful man in history dan the event-making man melekat kuat dalam diri seseorang. Indikatornya bisa kita lihat dari bentuk apresiasi publik yang tetap tinggi atas ketokohan dan kepeloporan yang pernah diinisiasinya saat masih hidup. Bila membaca perkembangan terakhir pasca wafatnya Gus Dur pada 30 Desember 2009, tampaknya figur yang bernama asli Abdurahman Wahid alDakhil dan pernah menjadi Presiden RI ke-4 ini memenuhi kriteria sebagai the eventful man in history dan the eventmaking man sebagaimana dimaksud di atas. Jika kita sempat terbangun pada sekitar pukul 03:30 dini hari atau satu jam sebelum shalat subuh, kita akan mulai dengan mudah mendengar lagu syi’ir Gus Dur (atau yang lebih dikenal dengan Syi’ir

gusdurpedia edisi XII | September 2020

Tanpa Waton) dari pengeras suara masjid sekitar tempat tinggal kita. Semakin hari semakin sering pula syi’ir Gus Dur di atas bisa kita dengar dari berbagai masjid, baik di pedesaan dan perkotaan, sebagai pengingat bahwa waktu shalat akan segera datang. Fenomena ini sangat menarik karena selama ini masjid-masjid yang ada biasanya memutar kaset pembacaan ayatayat al-Qur’an oleh para pelantun (qori’) terkenal sebagai pengingat waktu shalat. Bahkan, beberapa dari masjid-masjid itu selama ini justru memutar tarhim sebagai semacam ”nyanyian” lagu dalam bahasa Arab terutama untuk menyambut datangnya waktu shalat subuh. Tapi, kini syi’ir Gus Dur telah mampu menggeser tarhim dan atau lantunan qori' sebagai pengingat waktu shalat. Bahkan, secara perlahan-lahan, lagu syi’ir Gus Dur di atas diperdengarkan melalui pengeras suara masjid sebagai pengingat waktu untuk tiap shalat wajib lima kali sehari. Fenomena di atas menunjukkan, Gus Dur telah menjadi pemantik kecenderungan hidup (trendsetter) tidak hanya bagi kehidupan sosial-politik, tetapi juga religius. Jangankan forum seminar sosial-politik, masjid sebagai simbol ritual keagamaan saja telah menjadi tempat untuk transmisi pesan dari pikiran-pikiran Gus Dur.


21

Fenomena baru dari perkembangan dunia keislaman di tanah air di atas semakin melengkapi catatan sejarah atas kiprah Gus Dur semasa hidupnya atas bangunan kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Sebagai contoh kecil, Gus Dur selalu hadir bersama advokasinya untuk kelompok minoritas dan terpinggirkan. Kategori kelompok minoritas dan terpinggirkan ini tidak saja dari sisi politik, melainkan juga agama. Tidak saja Islam sebagai agama mayoritas dalam relasinya dengan kelompok agama lainnya, melainkan juga kelompok-kelompok di internal Islam sendiri. Dengan begitu, kelompok-kelompok minoritas dan terpinggirkan tidak merasa menjadi warga negara kelas dua di negerinya sendiri. Oleh karena itu, wajar saat terjadi ketegangan antarumat beragama, ďŹ gur Gus Dur selalu ingin dihadirkan kembali. Figurisasi ini bisa melalui anak-anaknya ataupun keluarganya. Saat sejumlah 60 orang yang hendak melakukan misa natal di sebuah gereja di Bogor mendapatkan penentangan dari warga dan penguasa lokal, Inayah putri Gus Dur dan Lily Wahid adik Gus Dur dihadirkan untuk melakukan advokasi terhadap kelompok kristiani ini (Jawa Pos, 26/12/2011). Penghadiran Inayah dan Lily Wahid ini tak lepas dari memori publik, terutama kaum minoritas, atas gagasan dan perjuangan Gus Dur saat masih hidup yang selalu menginginkan tiadanya diskriminasi atas dasar keyakinan, ras, etnis, dan kelompok sosial. Diskriminasi ini, dalam pandangan dan perjuangan Gus Dur, tidak saja mencederai nilai luhur Pancasila yng menjadi basis ideologi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia akan tetapi juga ajaran Islam yang dipeluk secara mayoritas di negeri ini. Banyak contoh yang bisa dihadirkan di sini untuk menjelaskan hadirnya Gus Dur di hati dan memori publik. Namun, terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya dalam keteguhannya memperjuangkan gagasan toleransi dan anti-diskriminasi yang menjadi nilai demokrasi dan agama, penghadiran kembali Gus Dur baik melalui advokasi sosial oleh ďŹ gur-ďŹ gur yang punya garis genealogis maupun melalui transmisi media keagamaan dan ruang publik

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


22

mengembalikan memori publik seakan-akan Gus Dur masih hidup bersama dan atau di tengah-tengah mereka. Kontribusi Gus Dur yang relatif besar kepada rakyat dan negara selama hidupnya menjadi latar belakang kecenderungan ini. Bahkan, seperti kata Nur Kholik Ridwan dalam bukunya Gus Dur dan Negara Pancasila (2010), perjuangannya membela mati-matian Pancasila dirasakan oleh masyarakat telah ikut menjamin rasa tenteram semua elemen masyarakat, termasuk kalangan minoritas agama dan kelompok sosial. Keberhasilan Gus Dur menjadi ďŹ gur the eventful man in history dan the event-making man tidak lepas dari kecakapan pemahaman dan perilaku yang bersangkutan dalam meramu kerangka yang apik antara Islam dan Indonesia. Pada awal 1980an, dengan gagasannya untuk melakukan pribumisasi Islam, Gus Dur telah menahbiskan keislaman dan keindonesian sebagai dua sisi mata uang uang. Keduanya berbeda tapi tidak pernah bisa dipisahkan. Karena itu, memori publik pun selalu mencatat, Gus Dur sepanjang hayatnya mengandaikan dan meneladankan keislaman dan kebangsaan untuk hadir dalam waktu bersamaan. Caranya dengan menjadi muslim serta warga Indonesia yang baik pada waktu bersamaan pula. Konkretnya, menjadi muslim yang saleh harus pula menjadi, dan sekaligus ditandai oleh perilaku sebagai, warga negara Indonesia yang baik.

gusdurpedia edisi XII | September 2020


Keberhasilan Gus Dur menjadi ďŹ gur the eventful man in history dan the event-making man tidak lepas dari kecakapan pemahaman dan perilaku yang bersangkutan dalam meramu kerangka yang apik antara Islam dan Indonesia.


RESENSI

Gus Dur Sang Pendobrak: Kiai Kiri Pembela Kemanusiaan Arif Saifudin Yudistira

Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit

: : : :

BiograďŹ Gus Dur Greg Barton IrCisod, Yogyakarta Januari, 2020

G

us Dur lahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil. AdDakhil diambil dari pahlawan dari dinasti Umayyah yang berarti “Sang Penakluk�. Ayahnya adalah orang besar sekaligus pahlawan yang turut serta melawan penjajah di masanya. Ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai menteri agama di tahun 1949. Kakeknya adalah Kiai Hasyim Asyari adalah seorang pendiri NU pada tahun 1926. Konon kakeknya juga merupakan keturunan dari raja Jawa yakni Raja Brawijaya VI. Ia adalah pendiri pesantren Tebuireng. Dari garis keturunan yang baik ini pulalah, Gus Dur dididik oleh kedua orang tuanya agar kelak menjadi pewaris yang akan meneruskan cita-cita kakek dan ayahnya. Gus Dur adalah sosok yang kontroversial. Dari Gus Dur itulah, kita tahu dan belajar menjadi manusia yang


25

“Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”

tidak selalu disukai, tetapi juga tidak terus-menerus dibenci. Greg Barton menuturkan kisah Gus Dur yang komprehensif pada buku Biografi Gus Dur (2020). Greg Barton telah menyajikan kisah Gus Dur sebagai manusia biasa dengan kelebihan dan kekurangannya, sekaligus menghadirkan sosoknya yang kontroversial. Masa kecil Gus Dur boleh dibilang adalah masa kecil yang cukup pahit. Ia harus menerima satu pukulan telak dalam fase kehidupannya, yang akan menuntunnya menjadi orang besar. Fase itu ia alami ketika ia berusia 12 tahun dan harus kehilangan ayahnya. Greg Barton menulis : “Di usia dua belas tahun, Gus Dur sudah ditinggal oleh ayahnya. Gus Dur mengamati betapa ayahnya yang meninggal dikelilingi oleh kerumunan orang dari sepanjang perjalanannya dari Jakarta ke Jombang. Gus Dur memahami, ayahnya sangat dicintai oleh banyak orang. Lalu ia berpikir : “Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?” (h. 46). Peristiwa kematian ayahnya begitu membekas dan secara tidak langsung menempa jiwanya sekaligus membentuk dirinya untuk mengilhami apa yang dilakukan ayahnya yang menuntunnya menjadi orang besar yang memberi dan

berbuat terus untuk kepentingan kemanusiaan. Gus Dur kecil ditinggal ayahnya di usia remaja, tetapi didikan ayahnya di masa kecil cukup membekas dalam jiwanya. Pada saat usianya empat tahun, ia dibawa ke Jakarta oleh ayahnya yang memungkinkannya bertemu dengan tamu-tamu besar ayahnya. Pada saat itu, ia sering bertemu dengan Mohammad Hatta maupun Tan Malaka. Perjumpaannya dengan Tan Malaka ini tidak saja mengantarkannya menjadi pembaca buku yang rakus di usia belia, namun membawanya menjadi seorang yang cukup mudah memahami teori marxis bahkan semenjak usia remaja. Kegoncangan jiwanya akibat meninggalnya sang ayah tidak membuat Gus Dur putus membaca, meski nilai kognitifnya dibilang turun. Kegigihan dan kesabaran ibunya Solichah inilah yang kelak membekas mendalam di hati Gus Dur yang turut membentuk jiwanya meski tidak seperti bapaknya. Perhatian dan kasih sayang Solichah hadir dalam keterbukaannya, keleluasaannya, dan kebebasan yang diberikan kepada Gus Dur mengantarkannya menjadi pribadi yang merdeka dan berkembang pemikirannya. Peranan ibunya yang memberikan kebebasan untuk membaca pustaka peninggalan bapaknya akhirnya

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


26

membentuk Gus Dur sebagai manusia buku. Sedari kecil Gus Dur memang dibebaskan untuk menjelajahi pustaka ayahnya. Proses ini membentuk Gus Dur menjadi seorang penggila buku sejak kecil hingga pada saat dewasa kelak. Bahkan sampai saat ia menjadi presiden, ia tidak meninggalkan buku. Jejak berbuku ia tempuh bahkan sedari usia empat tahun, hingga di usia remaja tepatnya 12 tahun ia telah menjadi seorang yang paham akan marxisme-leninisme. Kecintaannya pada buku berlanjut hingga saat ia menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, ia membenamkan diri ke dalam lautan buku di perpustakaan Kairo. Kecintaannya kepada buku sempat ditulis oleh Gus Mus [K.H. Ahmad Mustofa Bisri] di buku Gus Dur Garis Miring PKB (2008). “ Salah satu hal yang menarik dari Mas Dur, waktu itu ke mana pun dia pergi, di tangannya selalu ada buku bacaan. Seringnya buku novel bahasa Inggris, atau paling tidak majalah (ia selalu baca Times atau Newsweek, dan The Economics). Dan ia membaca buku tanpa memandang tempat dan waktu. Di

ruang tunggu bioskop, di terminal, bahkan ketika berdiri di atas bus, ia bisa asyik membaca tanpa menghiraukan kanan-kiri. Bahkan saya—yang berjalan bersamanya—sering dianggap tidak ada ketika dia sedang asyik membaca. Sering kali saya harus menunggu seperti orang bloon sampai ia berhenti membacanya.� Begitu asyik masyuknya Gus Dur tenggelam lautan kata-kata pada buku yang ia bawa dan baca. Kontroversial Namun Konsisten Gus Dur adalah orang yang kontroversial, tetapi sekaligus konsisten. Ia tidak hanya membuat orang bisa dengan mudah membencinya, karena kata-katanya yang ceplas-ceplos dan tidak lazim dari yang umum. Namun ia juga bisa dengan mudah mendapatkan simpatik, perhatian, dan cinta dari orang-orang yang mengaguminya. Greg Barton melukiskan ini dengan kalimat yang sungguh tepat : Walaupun Gus Dur mempunyai kelemahankelemahan kecil yang bisa membuat orang jengkel, namun ia bisa menimbulkan kesetiaan dan rasa sayang dalam diri mereka yang berada di sekelilingnya (h.347).

Sedari kecil Gus Dur memang dibebaskan untuk menjelajahi pustaka ayahnya. Proses ini membentuk Gus Dur menjadi seorang penggila buku sejak kecil hingga pada saat dewasa kelak. gusdurpedia edisi XII | September 2020


27

Di balik sikapnya yang kontroversial itu, ia memiliki sikap yang konsisten dalam membela orang yang lemah, minoritas dan terpinggirkan. Kepemimpinannya di Nahdlatul Ulama telah memberikan perubahan yang cukup signiďŹ kan. Orang yang dulu menganggap Nahdlatul Ulama sebagai organisasi jago kandang, kini mulai berubah. Kini, orang NU tidak lagi dipandang sebagai ndeso, sarungan, dan pintar kitab kuning semata. Di buku Djohan Effendi yang berjudul Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (2010) terekam pada masa kepemimpinan Gus Dur di NU telah membawa kemajuan berpikir di kalangan anak muda NU.

pentingnya pengamalan agama tidak hanya dalam kata, namun juga perbuatan. Bagi saya, Gus Dur tidak hanya kiai yang “kiri�, tetapi juga kiai yang mengilhami Islam dan mengamalkannya dalam laku keseharian. Kekurangan pada tubuhnya yang diakibatkan karena kecelakaan di mata kirinya membuatnya terus bertahan dan berjuang hingga akhir hayatnya. Gus Dur meski buta, ia adalah seorang yang tidak pernah menutup mata batinnya ketika melihat yang mengusik nuraninya.

Kepemimpinan dan sikapnya yang penuh hati-hati dan anti-kekerasan membuat ia harus rela memendam dalamdalam ego pribadinya demi kepentingan Gus Dur telah mendobrak kemapanan bangsanya. Seperti saat ia memimpin bangsa ini meski dalam waktu singkat, dan masyarakat secara umum. Guyonannya penuh jalan terjal, Gus Dur tetap dalam politik maupun dalam keseharian konsisten dalam sikapnya yang membela membuat suasana menjadi cair dan tidak tegang. Ia telah keluar dari mainstream dan kemanusiaan. Gus Dur telah membawa perubahan besar dalam kehidupan memberikan jalan tengah bagi setiap berbangsa dan bernegara. persoalan bangsa. Impresi ini bukan sesuatu yang baru, banyak orang juga Gus Dur telah memberikan pelajaran menilai demikian, tapi tidak ada salahnya berharga tentang cinta dan kasih sayang. saya tekankan lagi. Tentang sikap hidup yang anti-kekerasan dan mengusung nilai-nilai perdamaian dan Langkahnya yang selalu hadir dan membela kemanusiaan. Greg Barton telah intim terhadap persoalan kebangsaan menuliskan kisah Gus Dur yang rasional, telah membuka mata kita semua bahwa kepedulian layak dibangun oleh siapa saja. sekaligus emosional, yang menyuguhkan Kepeduliannya kepada yang minoritas dan mata air keteladanan bagi kita semua. (SI) terpinggirkan menyadarkan kita akan Sumber: Alif.id

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


KOLOM ALISSA

Gempa Keluarga Alissa Wahid

V

ideo tentang antrean orang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Bandung ramai dipercakapkan netizen Indonesia. Video ini melengkapi berita dari sejumlah kota di Indonesia yang mengabarkan melonjaknya kasus perceraian di tengah pandemi Covid-19 ini. Lonjakan ini tidak jauh berbeda dengan data dari beberapa negara, seperti Prancis, Cina, dan Korea Selatan. Banyak dikemukakan sebagai alasan perceraian adalah hilangnya penghasilan dan ketidakpastian yang menciptakan tekanan mental berat bagi pasangan suami istri. Belum lagi masuk tahun ajaran baru, anak-anak mesti mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh, membuat


29

orangtua harus ikut blingsatan menyediakan gawai dan pulsa yang tidak sedikit merogoh kocek mereka. Alasan lainnya adalah tekanan psikologis akibat hidup bersama yang menciptakan ketegangan bahkan sering kali berujung pada kekerasan. Kekerasan tidak hanya terjadi di antara suami-istri, tetapi juga dilakukan orangtua saat menghadapi anak-anak yang frustrasi dengan perubahan kehidupan mereka. Biasanya sebagian beban pengasuhan dan pendidikan diserahkan ke sekolah sehingga orangtua punya waktu jeda saat anak-anaknya pergi ke sekolah. Di masa pandemi ini orangtua bertindak penuh sebagai pengasuh dan pendidik. Cuplikan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, pada periode 10-22 Mei 2020 saja, layanan kesehatan jiwa dibanjiri aduan kekerasan sebanyak 453 kasus dalam bentuk kekerasan ekonomi, kekerasan ďŹ sik, dan kekerasan psikis. Sebelum masa pandemi, orang mengeluhkan kurangnya waktu bersama orang-orang yang dicintainya. Tahun 2017, Badilag mencatat, setidakny terjadi 1.000 perceraian per hari di Indonesia dan penyebab utama yang dilaporkan adalah cek-cok berkepanjangan. Orang menuduh karier, terutama karier perempuan, sebagai penyebab kehancuran keluarga karena terlalu sibuk di luar rumah. Orang juga menuduh ketidakhadiran ayah, lagi-lagi karena kesibukan mencari nafkah dan berkarier, menyebabkan rusaknya mental generasi muda yang

kurang mendapatkan panduan nilai-nilai kehidupan secara langsung. Ironis, pandemi Covid-19 menyediakan beberapa hal yang diributkan tersebut. Karier tak lagi menghalangi karena suami-istri tidak harus menghabiskan belasan jam di luar rumah. Secara leluasa, ayah dan ibu samasama hadir bagi anak-anaknya. Mengurus rumah yang sebelumnya lebih banyak dibebankan kepada ibu, kini dapat ditangani bersama. Waktu yang dulunya menjadi barang begitu langka, sekarang tersedia 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Namun, alih-alih menjadi kesempatan untuk memperkuat kualitas keluarga, justru waktu penuh selama beberapa bulan saja berbuah bencana. Ketegangan yang biasanya membuat pasangan suamiistri hanya merasa perlu break atau metime saat ini mendorong mereka memutuskan untuk keluar sepenuhnya dari ikatan perkawinan mereka. Pandemi ini membuktikan bahwa ternyata bukan waktu dan kebersamaan ďŹ sik yang menjadi persoalan keluarga selama ini. Bukan juga soal anak-anak yang menguji kesabaran karena 24 jam orang-tua harus menjadi orangtua, bahkan mendadak juga harus menjadi guru. Kehancuran keluarga juga ternyata bukan soal karier dan segala efek turunannya, termasuk beban ganda istri yang bekerja dan mengurus rumah-tangga tanpa uluran setara dari suami. Bahkan, sejatinya kemiskinan, kondisi ekonomi, atau ketidakpastian masa depan juga bukan penyebab.

Gus Dur & Marxisme-Leninisme


30

Sebagian besar generasi yang lahir di tahun 1970-an tumbuh dalam kondisi ekonomi keluarga yang kurang sejahtera, tetapi faktanya sebagian besar orangtua mereka juga tidak bercerai. Pengalaman keluarga-keluarga Indonesia di masa pandemi ini semakin menebalkan keyakinan dasar penulis sebagai psikolog bahwa ketangguhan keluarga menjadi faktor paling penting dalam menentukan seberapa besar daya lenting keluarga menghadapi dinamika kehidupan keluarga. Bagaikan bangunan, konstruksi yang kokoh akan tahan terhadap gempa, hujan badai, dan gangguan lainnya. Sementara gempa ringan bisa langsung merobohkan konstruksi bangunan yang lemah karena fondasi yang kurang kuat atau pilar yang hampir patah. Fondasi keluarga yang kuat adalah berupa prinsip-prinsip luhur yang menghidupi keluarga. Misalnya prinsip keadilan dan keseimbangan. Faqihudin Abdul Kadir (2018) menambahkan prinsip kesalingan. Apabila ketiga prinsip ini dijadikan sebagai pijakan dalam setiap tindakan keluarga, niscaya setiap tantangan akan lebih mudah dikelola. Di ujung lain, prinsip kemaslahatan menjadi perspektif payung yang akan mengayomi keluarga. Dengan prinsip ini sebagai atap, kehidupan keluarga diarahkan untuk dapat memberikan kebaikan bersama bagi setiap anggotanya. Kekerasan dalam rumah tangga dan semua praktik keluarga berisiko, seperti perkawinan anak dan poligami akan, dihindarkan dengan prinsip ini.

gusdurpedia edisi XII | September 2020

Komitmen merupakan salah satu pilar bangunan keluarga, diikuti dengan keyakinan bahwa perkawinan dikelola berpasangan bagaikan sepasang sayap. Demikian juga sikap baku-baik dan dialog (musyawarah). Pilar-pilar ini menjadi panduan bersikap, berperilaku di dalam keluarga. Anggota keluarga saling berlaku baik, mampu mendialogkan ketegangan, bahkan mampu berkonik dengan baik dan benar. Dengan fondasi, pilar, dan atap bangunan keluarga yang terpelihara baik, masa pandemi ini dapat menjadi masa yang lebih nyaman. Bahkan, hidup #dirumahaja menjadi sebuah pengalaman yang memperkuat keluarga. Pandemi ini adalah sebuah gempa berskala sedang bagi semua keluarga. Seberapa besar dampaknya akan sangat bergantung pada kekuatan dan kekokohan bangunan keluarga itu sendiri. Bangunan keluarga yang tangguh membuat keluarga tetap aman di tengah ayunan gempa. Namun, bangunan keluarga yang rapuh membuat anggota keluarga berhamburan karena ayunan gempa memorak porandakan bangunan keluarga. Bukan Covid-19 yang menyebabkannya. Semoga kita dapat belajar dari masamasa ini dan memperkokoh bangunan keluarga.

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik "Udar Rasa" Kompas, 6 September 2020


Fondasi keluarga yang kuat adalah berupa prinsip-prinsip luhur yang menghidupi keluarga. Misalnya prinsip keadilan dan keseimbangan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.