Gusdurpedia Edisi 10

Page 1

edisi X | Maret 2020

GUS DUR DAN PEREMPUAN

Gambar: Diolah dari Fihril



SELASAR GUS DUR DAN PEREMPUAN Daftar Isi

Selasar: Gus Dur dan Perempuan 3 Kata Gus Dur: Islam dan Kepemimpinan Wanita 4 Tentang Gus Dur Gus Dur: Pionir Gerakan Feminisme dalam organisasi Nahdlatul Ulama 9 Gus Dur Mewujudkan Kesetaraan dalam Perilaku Nyata 16 Resensi: Ketika Perempuan Bicara Gus Dur 22 Kata Alissa: Jacinda 26

“Jelaslah, memperjuangkan hak­-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati­-hati dalam hal ini.” (Gus Dur)

Terbit dua bulan sekali. Majalah digital ini memuat tulisan Gus Dur dan tulisan tentang Gus Dur. Dikelola oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Majalah digital ini bebas untuk disebar dan dicetak.

ON THIS MONTH Perempuan pernah dianggap sebagai makhluk kelas dua. Bahkan di beberapa peradaban, perempuan bisa diwariskan. Dalam perjalanan sejarahnya perempuan seringkali mengalami subordinasi dan segergasi, baik di level privat atau pun publik. Di level privat, perempuan seringkali mengalami domestifikasi. Tugasnya hanya identik dengan persoalan rumah tangga. Pun, ketika tampil di ruang publik, perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Gajinya lebih rendah. Tidak memiliki hak politik. Dan berbagai persoalan lain yang membelenggu. Hal ini memantik perlawanan dari kalangan perempuan: lahirnya gerakan feminisme. Salah satu gerakan yang fenomenal, yaitu protes buruh di New York pada 8 Maret 1908 menjadi inspirasi gerakan feminisme dan ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day).

Penasehat Alissa Wahid Penanggung Jawab Jay Akhmad Pemimpin Umum Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Sarjoko S. Redaktur Muhammad Pandu Distribusi Rifa Mufidah Layout S. Joko Email redaksi@gusdurian.net WA 0821 4123 2345 IG jaringangusdurian Twitter @gusdurians Facebook Jaringan GUSDURian, KH. Abdurrahman Wahid


KATA GUS DUR

ISLAM DAN KEPEMIMPINAN WANITA KH. Abdurrahman Wahid

S

ejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan al-Quran “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS. Al­Nisa [4]:34), yang dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sumber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumber­sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Quran dipakai dalam hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita (li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” (QS. al­Nisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris­ mewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas, yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang dalam dunia Islam.


5

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah SWT dalam al-Quran. “Sesungguhnya Kuciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan (innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS. al­Hujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat institusional/ kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.

Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis pernah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat al­Fatihah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Katanya: “Bukankah Rasulullah SAW bersabda ‘Tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita’?”[1] Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah Nabi Muhammad SAW menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (individual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan? Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria.

Dan, kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari Undang­ Undang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan tersebut: “Anda benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat al­Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan.” Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad­abad lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orang­orang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah­olah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan anak­anak perempuan ulama muslimin justru menjadi sarjana S1 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan? Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka undang­undang? Karenanya, sidang kabinet saat penulis menjadi presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan adanya peraturan daerah atau produk­produk lain hasil DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang­ Undang Dasar. Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan, apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar

Gus Dur dan Perempuan


6

Jelaslah, memperjuangkan hak­-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati­-hati dalam hal ini.

UUD atau tidak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis produk itu tidak berlaku lagi. Jelaslah, memperjuangkan hak­hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati­hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap memelihara hak­hak wanita dan pria secara berimbang menurut Undang­Undang Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD­nya tidak pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling “maju” sekalipun. Catatan Kaki: [1] Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual dan apa adanya. Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, Al­Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Lihat al­Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz. VIII, hal. 128. Demikian pula al­Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata, bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al­Syaukani, Nail alAutar, Mesir: Mustafa al­Babi al­Halabi, t.t., Juz. VII, hlm. 298). Para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al­Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki­laki sebagai kepala negara (Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam). Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki­laki ini bagi kepala negara sebagai mana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti


7 tersebut sebelumnya. (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. III, hlm. 315). Dalam memahami dan mengkaji hadis mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang melingkupi teks tersebut. Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia. Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Rasulullah Muhammad SAW telah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek­robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al­ Musayyab — setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW — kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang telah merobek­robek surat saya, akan dirobek­robek (diri dan kerajaan) orang itu” (Al­Asqalani, Fath al-Bari, hlm. 127­128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh­membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki­ lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9

H. (Lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al­Fikr, 1979, Jilid. I, hlm. 13). Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki­ laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah­masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andai kata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.

Dikutip sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.

Gus Dur dan Perempuan


Andai kata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan. KH. ABDURRAHMAN WAHID


TENTANG GUS DUR

GUS DUR:

Pionir Gerakan Feminisme dalam Organisasi Nahdlatul Ulama Musdah Mulia

U

mumnya para pengamat, seperti Martin Van Bruinessen melihat sosok Gus Dur sebagai tokoh yang merintis pemikiran liberal, termasuk pemikiran soal feminisme di NU. Ia diakui banyak memberikan bimbingan dan perlindungan pada generasi muda NU yang haus akan pemikiran baru dan suka berpikir kritis, baik dalam masalah agama maupun bidang politik. Karena itu, tidak mengherankan kalau di tubuh NU, terutama di kalangan mudanya, terlihat suatu suasana diskusi yang lebih bebas dibandingkan dengan suasana yang sama pada ormas Islam lainnya, bahkan pada ormas yang non Islam (Martin Van Bruinessen, 1997).

Musdah Mulia merupakan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) dan Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).

Pandangan Martin tidaklah keliru. Gus Dur sebagai lokomotif NU selama tiga periode (1984-1999) telah mengantarkan organisasi yang “tradisional� ini menjadi organisasi Islam yang besar dan dikenal luas. NU bukan hanya dikenal di tingkat nasional, melainkan juga di forum internasional. Bukan hanya itu, pemikiran Gus Dur yang progres dan liberal telah menginspirasi lahirnya tokoh-tokoh pemikir Islam progres dan liberal di tanah air. Gus Dur juga menginspirasi kelahiran para feminis Islam, baik laki maupun perempuan di lingkungan organisasi NU yang selama ini dikenal konservatif dalam pemikiran Islam.


10

Pemikiran Gus Dur terkait wacana feminisme bukan hanya diterima, melainkan juga diimplementasikan dalam bentuk beragam program feminisme, baik di lingkungan NU maupun organisasi perempuan NU, seperti IPPNU, Fatayat, dan Muslimat. Pemikiran Gus Dur terkait wacana feminisme bukan hanya diterima, melainkan juga diimplementasikan dalam bentuk beragam program feminisme, baik di lingkungan NU maupun organisasi perempuan NU, seperti IPPNU, Fatayat, dan Muslimat. Program feminisme tersebut bertujuan membebaskan perempuan dari perilaku ketidakadilan gender menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Program dimaksud, antara lain berupa program pengarusutamaan gender (gender mainstreaming); penguatan hak dan kesehatan reproduksi (health and reproductive rights); reinterpretasi kitab kuning tentang posisi dan kedudukan perempuan; isu buruh migran dan perkawinan kontrak; kekerasan terhadap perempuan di rumah tangga (domestic violence); penguatan hak-hak seksual (sexuality rights); pendidikan demokrasi dan civil society; pendidikan multikultur dan pluralisme; pendidikan politik bagi pemilih perempuan (voter education); penyusunan fiqh tentang aborsi, fiqh tentang perdagangan perempuan dan anak (trafficking on women and children) dan seterusnya. Memahami feminisme Istilah feminis dan feminisme selain terasa asing juga masih mendapat penolakan yang kuat dari sebagian besar umat Islam, termasuk kalangan NU. Mengapa? Karena kedua istilah tersebut gusdurpedia edisi X | Maret 2020

sudah terlanjur mendapat pemaknaan yang negatif atau dianggap tidak sesuai ajaran Islam. Feminisme dimaknai sebagai perlawanan perempuan terhadap kodrat, permusuhan terhadap laki-laki, pemberontakan perempuan terhadap kewajiban rumah tangga, bahkan dianggap sebagai penolakan terhadap syariah. Semua anggapan itu keliru dan karenanya harus diluruskan. Feminisme adalah gerakan persamaan hak perempuan yang tumbuh di Eropa sekitar abad ke-18. Gerakan ini mendapat inspirasi dari gerakan persamaan hak asasi manusia yang diperjuangkan kelompok tertindas, yakni buruh, kaum miskin dan budak di Eropa yang selanjutnya melahirkan Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Industri pada abad ke-18. Kedua revolusi itu memang berdampak positif bagi upaya persamaan hak kelompok tertindas, hanya menyentuh kaum lakilaki, belum memperbaiki nasib kaum perempuan. Akhirnya, membentuk tata hubungan yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Barat yang mengalami kemajuan pesat di bidang industri. Kaum laki-laki banyak terserap di sektor industri, sementara perempuan hanya berkutat dalam sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan dan ketertindasan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri yang sangat patriarkal inilah yang mendorong lahirnya gerakan feminisme.


11 Berbeda dengan banyak “isme� lainnya, feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritisnya dari suatu rumusan teori tunggal. Oleh karena itu, tidak ada definisi yang baku tentang feminisme, melainkan selalu disesuaikan dengan realitas kultural dan kenyataan sejarah yang kongkrit. Walaupun demikian, gerakan feminisme selalu mendefinisikan dirinya sebagai gerakan menentang perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan, yang pada intinya menolak setiap bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan apa pun alasannya. Dengan ungkapan lain, feminisme adalah upaya perubahan yang mengarah kepada terwujudnya sistem dan pranata sosial yang secara gender lebih adil dan egaliter. Memang betul feminisme merupakan salah satu produk kebudayaan Barat sehingga tidak heran jika ada sebagian orang memandang femisme identik dengan westernisasi. Namun, Gus Dur mengingatkan agar kita tidak terjebak pada pelabelan Barat atau Timur. Gus Dur mengajak kita berpikir kritis dan terbuka. Setiap ide dan gagasan dari mana pun datangnya, baik Timur maupun Barat, harus direspon secara proporsional. Artinya harus dibaca secara kritis dan terbuka untuk selanjutnya mengambil segi-segi positif dan konstruktif, sebaliknya membuang segi-segi negatif dan destruktif. Tentu saja sebagai umat Islam, kita tetap menggunakan perspektif Islam yang universal, yakni ajaran yang bertumpu pada prinsip keadilan, kemaslahatan, pluralis dan humanis. Ide dan gagasan feminisme yang ingin melepaskan perempuan dari belenggu penindasan harkat kemanusiaannya sangat kompatibel dengan ajaran Islam yang intinya adalah membangun keadilan bagi semua manusia. Substansi dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan tatanan masyarakat yang adil secara gender, masyarakat yang bebas dari segala

bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Jika demikian bukankah Nabi Muhammad saw diutus dengan misi pembebasan? Pertama, membebaskan manusia dari belenggu thagut dan khurafat dengan memperkenalkan konsep tauhid (monoteisme murni). Melalui konsep tauhid, Nabi mengajarkan manusia agar terbebas dari mempertuhankan tuhan-tuhan palsu dalam bentuk kekuasaan, pangkat, kemuliaan suku, harta, ideologi, patung, dan lain-lain untuk selanjutnya mengajak manusia menyembah Tuhan sejati, Tuhan pencipta manusia dan alam semesta. Dialah Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt. Kedua, melalui konsep tauhid, Nabi membebaskan manusia dari perbudakan, mengajarkan bahwa semua manusia pada hakikatnya bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Perbedaan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, gender, jenis kelamin, orientasi seksual adalah dimaksudkan agar manusia saling memahami satu sama lain (mutual understanding) sehingga terwujud masyarakat yang damai dan harmonis. Perbedaan itu merupakan sunatullah, bukan dimaksudkan untuk mendiskriminasi apalagi mengeksploitasi mereka yang berbeda. Ketiga, melalui konsep tauhid, Nabi membebaskan kaum mustadh’afin, yakni kaum budak, perempuan, anak-anak, dan orang-orang miskin serta dari kungkungan perilaku jahiliyah yang biadab, perilaku yang sarat dengan nuansa diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Nabi mengajarkan bahwa tugas utama manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama yaitu menjadi khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di dunia). Laki dan perempuan harus berlomba-lomba berbuat terbaik (fastabiqul khairat) dengan melaksanakan amal saleh yang kelak mengantarkannya menjadi orang saleh, baik secara individual maupun sosial.

Gus Dur dan Perempuan


12 Cikal bakal wacana feminisme di NU Sebetulnya cikal bakal isu-isu feminisme sudah lama terdengar di lingkungan NU meski belum menggunakan istilah feminisme, emansipasi atau kesetaraan gender. Hal itu, misalnya dapat dirunut dari upaya KH. Bisri Syamsuri (kakek Gus Dur dari pihak ibu) mendirikan Pesantren Putri di Denanyar, pesantren yang dikhususkan bagi kaum perempuan pada akhir tahun 1920-an. Mulanya upaya itu mendapat tantangan keras dari tokoh-tokoh NU, termasuk dari pendiri NU sendiri, KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947). Berkat kegigihan dan kesungguhan Kiai Bisri, pesantren putri tersebut dapat berdiri dan selanjutnya berkembang dengan pesat. Bahkan, kini menjadi model dari sejumlah pesantren putri di tanah air. Gagasan berikutnya, muncul dari KH. Wahid Hasyim (1914-1953). Beliau selaku Menteri Agama RI mengeluarkan satu kebijakan publik yang amat liberal untuk ukuran masa itu (1955), yakni membolehkan perempuan studi pada Fakultas Syariah. Konsekuensi logis dari kebijakan itu adalah kesempatan bagi perempuan menjadi hakim agama, suatu posisi yang dalam kitab fiqih klasik hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dewasa ini, perempuan yang berprofesi sebagai hakim agama dijumpai di semua kantor Pengadilan Agama di seluruh pelosok Nusantara, meskipun diakui jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibanding hakim agama laki-laki. Dalam konteks ini, perempuan Indonesia lebih maju dan lebih berdaya dibandingkan perempuan di Arab Saudi atau di Malaysia. Kedua negara Islam tersebut sampai sekarang masih mengharamkan perempuan menjadi hakim agama.

Apalagi di lingkungan dunia Islam ketika itu sama sekali tidak memberikan ruang kepada perempuan berkiprah di bidang politik. Menyusul kemudian, Keputusan Muktamar NU tahun 1962 di Salatiga yang memperkenankan perempuan duduk di lembaga eksekutif sebagai Kepala Desa. Pengakuan NU akan kebolehan perempuan berkiprah di ruang publik, baik di lembaga yudikatif, maupun legislatif, dan eksekutif bukan hanya ada di tingkat wacana, melainkan juga berlaku di tingkat aksi. Buktinya, pada tahun 1960-an dijumpai wakil perempuan NU di berbagai lembaga yang disebutkan tadi. Selain itu, keterlibatan kaum perempuan di tubuh organisasi NU tingkat pusat juga semakin konkret. Hal itu ditunjukkan dengan masuknya sejumlah tokoh Muslimat NU, seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Choiriyah Hasyim dalam kepengurusan Syuriah PBNU tahun 60-an. Sangat disayangkan bahwa pada generasi sesudah ketiga tokoh perempuan yang disebutkan di atas, tidak lagi ditemukan dalam catatan sejarah mengenai keterlibatan perempuan dalam kepengurusan PBNU. Tidak jelas apa alasannya sehingga partisipasi perempuan dalam kepengurusan PBNU bukannya semakin meningkat, malah sebaliknya semakin menurun. Kalaupun ada pengurus perempuan, mereka hanya ditempatkan pada posisi a`wan (anggota biasa) sebagaimana dalam kepengurusan PBNU sekarang.

Berikut ini akan dikemukakan rumusan Program Umum NU Masa Khidmah 1989-1994 hasil Muktamar NU Ke-28 yang berbicara soal perempuan: peranan perempuan dalam Berikutnya, Konferensi Besar Syuriah NU pembangunan masyarakat (terutama tahun 1957 menyepakati suatu keputusan masyarakat pedesaan) cukup besar. Untuk yang melegitimasi bolehnya perempuan meningkatkan keberhasilan yang selama memasuki lembaga legislatif, baik di DPR ini sudah dicapai. masih diperlukan Pusat maupun DPR Daerah. Tentu saja penyempurnaan di kalangan Muslimat, untuk ukuran masa itu, keputusan ini Fatayat, dan IPPNU, baik dari segi dirasakan sangat progresif, bahkan liberal. organisasi maupun kualitas kegiatannya, gusdurpedia edisi X | Maret 2020


13 melalui upaya-upaya: konsolidasi organisasi dan meningkatkan usaha sosial yang selama ini telah ditempuh, seperti rukun kematian, penyantunan yatim piatu, pemberian bea-siswa (anak asuh), pelayanan kepada orang jompo, mempererat silaturahim, serta meningkatkan usaha-usaha di bidang kesehatan, terutama yang langsung menyangkut kebutuhan ibu dan anak, seperti BKIA, klinik KB, pembinaan balita dan sebagainya. Meskipun keputusan itu dimaksudkan untuk meningkatkan status perempuan di dalam NU, namun tetap harus dikritisi bahwa lima butir kegiatan yang direkomendasikan NU agar diimplementasikan oleh segenap organisasi perempuan NU masih bias gender. Artinya, masih sangat terfokus pada kegiatankegiatan yang terkait kepentingan praktis untuk kesejahteraan perempuan (women welfare concern), belum sampai menyentuh pada kepentingan strategis perempuan. Belum sampai merekomendasikan perubahan struktur yang timpang yang menyebabkan timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat. Demikian pula hasil Muktamar NU berikutnya, (Muktamar NU Ke-29) tentang Program Pokok Pengembangan NU 19941999 sektor perempuan: melalui Badan Otonom Perempuan (Muslimat dan Fatayat) NU ikut serta mengembangkan dan mendorong peningkatan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan beragama dengan pembekalan pengetahuan dan peningkatan keterampilan. Di samping itu juga ikut serta dalam program-program sosial kemasyarakatan seperti bidang kesehatan, pendidikan, dan budaya secara umum. Rumusan hasil Muktamar tersebut pun secara substansial tidak berbeda dengan hasil keputusan sebelumnya, masih menekankan pada kepentingan kesejahteraan perempuan (women welfare concern). Demikian pula hasil keputusan Muktamar NU berikutnya. Fenomena ini, antara lain mengindikasikan bahwa para

pengambil keputusan di lingkungan PBNU belum sepenuhnya mampu membedakan antara kepentingan perempuan dan isu gender (gender issues) yang menjadi konsen kaum feminis. Pembicaraan serius mengenai pemberdayaan perempuan di lingkungan NU tampak jelas dalam hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Lombok tahun 1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang “Kedudukan Perempuan dalam Islam� (Makanat Al-Mar’ah fi Al-Islam). Pokokpokok pikiran dalam maklumat tersebut dapat disimpulkan dalam 5 poin: Pertama, Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati. Kedua, Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa. Ketiga, Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati. Keempat, Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya. Kelima, Islam menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki. Akan tetapi, dalam realitasnya, ajaran tersebut mengalami distorsi akibat pengaruh kondisi sosial dan budaya. Meskipun masih terasa ada bias nilainilai patriarki dalam maklumat tersebut, misalnya pernyataan bahwa peran domestik perempuan yang hal itu merupakan kesejatian kodrat perempuan, seperti sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka dan seterusnya. Artinya, kodrat perempuan masih dipahami bias gender. Kodrat dimaknai sebatas peran domestik. Sejatinya, peran domestik itu bukanlah kodrat, melainkan konstruksi budaya yang dapat diubah. Namun, paling tidak maklumat itu telah menegaskan pengakuan bolehnya perempuan berkiprah di dunia publik yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki. Selain itu, ada nada miring menyoroti maklumat tersebut, misalnya bahwa Gus Dur dan Perempuan


14

maklumat itu dilahirkan dalam rangka melegitimasi kemungkinan tampilnya sosok perempuan, yaitu putri Presiden Soeharto (Mbak Tutut) sebagai pemimpin politik di negara ini. Namun, ada analisis lain yang lebih rasional mengenai keputusan NU tersebut. Perlu diketahui bahwa hasil keputusan Munas Alim Ulama ketika itu mengenai isu Masail Diniyyah Maudlu`iyyah mencakup empat tema pokok: 1) Nasbul Imam dan Demokrasi; 2) Hak Asasi Manusia Dalam Islam; 3) Kedudukan Perempuan Dalam Islam; dan 4) Reksadana. Artinya, Munas NU tersebut memang secara intens membahas isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dua isu yang sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam forum nasional, maupun internasional. Kedua isu itu amat terkait dengan tema kesetaraan gender yang menjadi perhatian global saat itu. Hal utama dan terpenting bahwa di akhir maklumat tersebut terbaca komitmen NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU menyatakan komitmennya ikut memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya. Bagi kalangan perempuan, khususnya bagi organisasi perempuan NU, seperti IPPNU, Fatayat, dan Muslimat, maklumat ini merupakan dokumen historis yang amat strategis dan menjadi dasar legitimasi bagi upaya-upaya advokasi pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih sangat kontroversial.

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

Gus Dur sebagai feminis pertama dalam NU Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa wacana feminisme di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan pandangan Islam, lebih banyak disuarakan oleh kalangan aktivis NU, baik perempuan maupun laki-laki. Gambaran mengenai gerakan feminisme di Indonesia belumlah lengkap tanpa menyibak bagaimana isu-isu feminisme diperbincangkan di lingkungan NU. Memang agak aneh mengingat NU selama ini dikenal sebagai suatu gerakan Islam tradisional yang pada umumnya dianggap lebih terkebelakang dan cenderung mapan, khususnya dalam pandangan dan pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam. Sebetulnya, Gus Dur sendiri memprediksikan bahwa dalam dekade terakhir ini telah terjadi proses identifikasi diri yang luar biasa di tubuh NU. Di dalam tubuh NU muncul gagasan reformasi dan transformasi yang apresiatif terhadap upaya-upaya membangun masyarakat Indonesia modern di masa depan; muncul gagasan apresiasi terhadap demokrasi, hak asasi, pluralisme, dan unsur-unsur masyarakat sipil modern lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas NU ternyata merupakan suatu komunitas dengan vitalitas yang cukup terbuka untuk menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial dalam bentuknya yang rasional, tanpa harus kehilangan pesanpesan moralnya (Abdurrhaman Wahid, 1997). Kondisi yang demikian itu lalu dinilai bertolak belakang dengan profil NU yang selama ini dikenal sebagai suatu gerakan Islam tradisional dengan ciri-ciri


15

keterbelakangan dan cenderung mapan dalam pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam. Stereotipe yang demikian boleh jadi disebabkan karena keteguhan warga NU dalam memegang hukum Islam bernuansa ortodoks yang membawa mereka pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Kalangan NU dipersepsikan sebagai komunitas agama yang memiliki pandangan keagamaan yang berorientasi legal-formal dan eskatologis, ditambah lagi dengan kultur kemasyarakatannya yang tradisional. Dengan ungkapan lain, warga NU sering diberikan stigma sebagai kelompok tradisional penghambat kemajuan. Oleh karena itu, banyak kalangan menjadi heran melihat perkembangan progres dan liberal dalam pemikiran keislaman terjadi di tubuh NU. Meskipun juga harus diakui bahwa perubahan yang drastis dan revolusioner itu baru menyentuh kalangan terbatas, belum sampai mewarnai seluruh komunitas NU. Sudah lama diakui bahwa pemikiran liberal dalam NU, sebagaimana diusung oleh Gus Dur tidak mencerminkan pendirian NU secara menyeluruh. Tidak sedikit pihak menyayangkan bahwa pikiran-pikiran progres dan liberal Gus Dur hanya bersifat individual, belum menjadi keputusan NU secara organisasi. Sebagian besar kalangan NU, terutama di lingkungan kiai yang menekuni bidang pendidikan melalui pesantren, masih kuat berpegang pada nilai-nilai Islam tradisional seperti terbaca dalam kitab-kitab fiqih klasik, khususnya kitab-kitab fiqih mazhab Syafii yang banyak menjadi acuan di pesantren NU.

Meskipun demikian, tetap saja harus diakui bahwa Gus Dur secara personal melahirkan begitu banyak pemikiran dan inisiatif baru terkait upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender serta perbaikan status dan posisi perempuan. Misalnya, pandangan Gus Dur yang amat fundamental menolak perilaku kekerasan terhadap perempuan, termasuk poligami, membela nasib buruh perempuan dan menolak UU Pornografi. Selain itu, ketika menjadi presiden ke-4 negeri ini, beliau dengan tegas melahirkan instruksi tentang Pengarusutamaan Gender (kebijakan PUG) dan mengubah nomenklatur Kementerian Urusan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan misi yang amat kuat untuk membangun kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui perogram pemerintah di seluruh aspeknya. Karena itu, tidak salah jika Gus Dur disebut sebagai pionir feminis, khususnya di lingkungan organisasi NU, tempat dia tumbuh dan dibesarkan. Wallahu a’lam. Sumber tulisan: Sri Mulyani dkk. (2015). Gus Dur di Mata Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Gading halaman 61 – 71.

Gus Dur dan Perempuan


TENTANG GUS DUR Gus Dur Mewujudkan Kesetaraan dalam Perilaku Nyata Badriyah Fayumi

K

ata orang bijak, jika kita ingin meninggal dengan meninggalkan nama, menulislah atau jadikan kehidupan kita layak ditulis orang. Gus Dur telah melakukan dua hal itu sepanjang hidupnya, pikiran dan tindakannya terus menjadi bahan “bacaan” baik ketika masih hidup maupun ketika sudah menghadap Allah yang Maha Kasih. Tulisan ini hanyalah sedikit ‘bacaan” tentang tulisan dan laku hidup Gus Dur terkait dengan perempuan yang penulis ketahui atau saksikan. Mudahmudahan bisa melengkapi “bacaan” para pembaca lajnnya yang menjadikan Gus Dur sebagai sumbet inspirasi. Sekelumit Tulisan

Ketua pengarah KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), sebuah kongres yang mempertemukan ulama perempuan dari berbagai latar belakang dengan para aktivis, para pengambil kebijakan dan korban.

“Terus terang saja hak asasi wanita bagi saya masih gelap. Apa yang selama ini dikatakan sebagai hak-hak asasi wanita bagi saya masih merupakan problem, dalam arti belum saya mengerti. Dalam hal ini bukan berarti saya tidak setuju dengan perjuangan hak-hak kaum wanita selama ini, tetapi untuk setuju prasyarat utamanya harus mengerti terlebih dahulu. Problem itu antara lain tampak pada fenomena yang terjadi di Norwegia. Seorang ibu yang melahirkan, setelah tiga bulan mengambil cuti dan setelah puti itu habis, maka gentian suami mengambil cuti selama tiga bulan juga untuk mengasuh dan membesarkan anaknya. Gantian cuti seperti itu saya bingung meletakkannya apakah itu dalam rangka hak asasi wanita atau bukan.”


17

ltulah paragraf pembuka tulisan Gus Dur yang berjudul Hak Asasi Wanita dalam Islam yang terdapat dalam buku Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan. Sebuah paragraf pembuka yang rendah hati, lugas, sekaligus kritis, dan menggelitik. Paragraf-paragraf berikutnya menjelaskan pandangan Gus Dur yang kritis, progresif, dan visioner, serta sesekali menohok mengenai berbagai isu perempuan, mulai kepemimpinan perempuan, kedudukannya di muka hukum negara dan fikih, hingga masalah gay dan lesbian; sebuah ulasan yang tajam dan menunjukkan bahwa Gus Dur sebenarnya “tidak gelap� mengenai masalah perempuan. Meski demikian formulasi pembelaan Gus Dur terhadap hak-hak perempuan tidak sama seperti pola yang dipilih para aktivis perempuan. Gus Dur jelas setuju dan bahkan banyak melakukan hal yang menunjukkan komitmen atas kesetaraan laki-laki dan perempuan serta mampu menjadikan agama sebagai nilai dan penuntun moral yang mendorong adanya kesetaraan. Namun pada saat yang sama Gus Dur juga tetap kritis terhadap artikulasi perjuangan kaum perempuan yang menurutnya kadangkala kurang bijak dan kurang hati-hati. Gus Dur pun mengingatkan bahwa masih ada segepok problematika dalam isu-isu perempuan, antara lain fakta bahwa dominasi laki-laki itu adalah kenyataan yang tidak gampang diubah. Besarnya kesenjangan antara ajaran Islam dengan kenyataan, adanya perbedaan pandangan fikih tertulis dengan fikih yang nyata dan hidup. Perlunya memilah antara ketegasan menyatakan tidak benar terhadap fenomena yang tidak kodrati (seperti gay dan lesbian) dengan sikap yang tetap menghargai HAM mereka

dengan memberlakukan hukum khusus. Perlunya menjadikan kodrat manusia dan kodrat kemanusiaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika berbicara tentang kodrat perempuan, hingga pembangunan di Indonesia yang mencerminkan bias kecenderungan yang salah hingga merugikan perempuan. Tulisan cukup singkat yang memuat spektrum pemikiran Gus Dur yang luas itu pada akhirnya menyimpulkan bahwa jika ingin ada pengakuan tethadap posisi perempuan dalam Islam secara wajar, maka para penulis, pemerhati dan para uhma hams terns memekarkan wawasan dan cakarawala mengend perempuan. Tulisan Gus Dur tentang perempuan dalam Islam memang tidak sebanyak tulisan beliau mengenai NU, pesantren, hubungan agama dan negara, dialog agama dan kebudayaan, demokrasi, pluralisme, kebudayaan dan HAM. Sekalipun demikian ada benang merah yang menghubungkan semua itu, yakni keyakinan bahwa Islam mampu berdialog dan berjalan seiring dengan peradaban yang beragam dan bahwa Islam adalah agama yang memanusiakan manusia, menyetarakan manusia, serta membebaskan manusia. Ide dasar itulah yang menurut hemat penulis menjadi ruh dari tindakan dan kebijakan Gus Dur yang terkait dengan perempuan. Penulis melihat ide dasar itu dipraktekkan Gus Dur dalam kehidupan nyata baik dalam kapasitas sebagai pribadi, kepala keluarga, mau pun dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin. Jadi, sekalipun tulisan Gus Dur tentang perempuan tidak terlalu banyak, namun “buku kehidupan� Gus Dur banyak berbicara mengenai pandangan dan sikapnya terhadap perempuan.

Gus Dur dan Perempuan


18

Kesungguhan Gus Dur untuk memosisikan perempuan setara dengan laki-laki memang tidak melalui slogan atau kampanye kesetaraan, melainkan melalui langkah-langkah nyata sesuai kapasitas dan kedudukan yang dimilikinya Perempuan dalam “Buku Kehidupan” Gus Dur Dalam rekam jejak kehidupan Gus Dur, perempuan dari mana saja datang dan ada di sekeliling beliau. Dari aktivis hingga artis. Dari birokrat hingga orang melarat. Dari kalangan sarungan hingga bangsawan dan beragam latar belakang lainnya. Tujuannya pun macam-macam. Ada yang ingin sekedar “ngalap berkah”, konsultasi, mengadu, minta nasihat, minta dukungan, sampai minta dibayarkan utang. Semua yang datang diterima dengan sama. Mau salaman dilayani. Mau memeluk pun tidak ditolak. Itulah yang penulis lihat sampai hari-hari akhir kehidupan beliau; sebuah sikap tak mengenal kasta yang pernah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menghembuskan isu WIL (wanita idaman lain). Namun Gus Dur sendiri yang tertimpa isu, seperti biasa menjawab ringan, “Biarin saja. Nggak usah ditanggapi. Nanti juga tahu sendiri.” Gus Dur menerima risiko dari apa yang menjadi prinsipnya untuk tidak membeda-bedakan manusia tanpa sikap gusar atau marah atau tergopoh-gopoh membangun opini demi menjaga imejnya. Sebuah sikap yang biasa ditunjukkannya ketika banyak orang menyalahpahami

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

pemyataannya atau sengaja memanipulasi ucapan atau tindakannya. Sebuah sikap yang dalam renungan pribadi penulis mengajarkan keikhlasan; berbuat sesuatu karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau takut dicaci manusia. Penulis pun kemudian paham mengapa Gus Dur tidak peduli dengan pencitraan diri, bahkan ketikaia harus sendirian dalam mempertahankan apa yang diyakininya benar. Sikap Gus Dur yang tidak memandang sebelah mata kepada perempuan juga tampak dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Gus Dur adalah orang yang sangat percaya bahwa jika diberi kesempatan perempuan bisa menjadi pemimpin. Dalam beberapa kesempatan Gus Dur secara terbuka menyatakan di depan forum rapat sebaiknya yang memegang ketua ini, tim itu atau calon kepala daerah X adalah si Y yang perempuan. Tak jarang untuk keputusan itu Gus Dur berbeda pendapat dengan pengurus lain atau kyai yang masih memandang rendah perempuan. Kesungguhan Gus Dur untuk memosisikan perempuan setara dengan laki-laki memang tidak melalui slogan atau kampanye kesetaraan, melainkan melalui langkah-langkah nyata sesuai kapasitas dan


19

kedudukan yang dimilikinya, baik ketika menjadi Presiden maupun Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Kesetaraan itu Dipraktekkan Menelisik lebih dalam ke kehidupan Gus Dur sebagai pribadi, sepanjang yang penulis saksikan, tidak pernah terlontar kalimat atau bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa beliau memandang perempuan lebih rendah daripada lakilaki. Ide kesetaraan manusia benar-benar dipraktekkan Gus Dur dalam kehidupan nyata. Sebagai seorang ayah yang dianugerahi empat putri, penulis tidak pernah mendengar, langsung maupun tidak langsung, Gus Dur merasa perlu memiliki anak laki-laki; hal yang umum terjadi di kalangan kiai, bangsawan atau hartawan yang kemudian dijadikan alasan berpoligami. Pun tidak pernah penulis dengar pemikiran stereotype yang keluar dari mulut Gus Dur bahwa perempuan itu pantasnya begini dan tidak patut begitu. Tidak ada kata ora ilok (tidak pantas), pamali, dan sejenisnya bagi perempuan semata-mata karena ia perempuan. Sesekali memang ada anekdot yang ketika diucapkan sepintas lalu terdengar menyudutkan perempuan, tapi anekdot itu disampaikan untuk menunjukkan fakta bahwa memang masih ada persoalan dalam relasi gender dalam kehidupan kita mulai dari ketidaknyambungan persepsi sampai dominasi pria. Misalnya anekdot perempuan aktivis yang naik bis berdiri

karena ingin memberikan tempat duduk kepada seorang nenek. Setiap kali nenek itu mau berdiri, si perempuan menahan, sampai akhirnya si nenek nekat berdiri dan mengatakan bahwa ia terlewat beberapa halte karena setiap berdiri disuruh duduk kembali. Anekdot ini disampaikan untuk mengingatkan para aktivis perempuan bahwa tidak selamanya pengorbanan dan maksud baik akan menghasilkan sesuatu yang baik jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Atau anekdot Marilyn Monroe dan Eisntein. Monroe pernah berkata kepada Eisntein, “Alangkah indahnya jika kita punya anak. Otaknya seperti Anda, cantiknya seperti saya.” Dijawab Einstein, “Itu memang bagus. Tapi saya khawatir terbalik. Mukanya seperti saya, otaknya seperti Anda.” Anekdot yang membuat Julia Surjakusuma marah besar ini disampaikm Gus Dur untuk menunjukkan bahwa masih ada titik krusial perjuangan perempuan, yakni pria masih merasa dominan. Anekdot (atau kisah nyata?) lain terkait pornografi juga pemah Gus Dur lontarkan dalam sebuah forum. Yakni tentang seorang kiai yang mengaku selalu terangsang jika melihat perempuan hamil terutama yang berjilbab karena yang terbayang adalah tindakan yang bisa membuatnya hamil. Dengan kisah itu Gus Dur ingin mengatakan bahwa hati-hati dengan definisi pornografl, karena porno itu berasal dari pikiran. Apa yang salah dengan wanita berjilbab yang hamil? Namun jika ada pikiran porno, di mata yang berpikiran porno ia tampak sedang “membuat anak”. Begitulah cara Gus Dur mengajarkan

Gus Dur dan Perempuan


20

kesetaraan melalui praktek sekaligus mengingatkan para pejuang perempuan untuk bijak menyikapi realitas yang masih tidak setara. Hal lain yang tidak banyak diketahui umum adalah peran Gus Dur sebagai ayah ketika anak-anak beliau bayi. Jauh sebelum kampanye parenting menggema, Gus Dur telah mempraktekkan hal itu. Menurut pengakuan ibu Sinta Nuriyah, setiap malam Gus Dur bangun mengganti popok bayi dan setelah sang bayi bersih kembali baru diberikan kepada sang bunda untuk disusui. Apa yang Gus Dur lakukan itu tentu tabu menurut pandangan sebagian besar orang pada saat itu. Sepertinya ayah menjadi turun derajat kalau ikut turun tangan mengurus “urusan perempuan� seperti memandikan bayi, mengganti popok atau membantu istrinya memasak dan mencuci. Tapi itulah Gus Dur. Segala tabu tidak dijadikan alasan untuk tidak melakukan hal yang menurutnya benar. Setelah sekian lama perubahan masyarakat terjadi baru terbukti bahwa hal yang tabu pada saat Gus Dur melakukannya di kemudian hari menjadi hal yang dianggap perlu dilakukan. Menolak RUU APP, Menjaga Kesetaraan Warga Negara Terkait dengan soal pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, penulis memiliki pengalaman pribadi dengan Gus Dur. Ketika pro-kontra memuncak, Gus Dur berada di pihak yang tidak setuju ada undang-undang khusus. Bukan setuju pada pornografi, tetapi beliau menganggap aturannya cukup dikembalikan kepada UU yang sudah ada. Selebihnya biar diurus masyarakat. Penulis yang saat itu menjadi juru bicara FKB DPR RI di pansus RUU

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

Pornografi tentu berkewajiban menyerap semua aspirasi dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun yang kontra, khususnya pandangan yang disampaikan para kiai dan konstituen akar rumput. Sikap FKB sendiri pada saat itu adalah kritis-konstruktifsolutif. Di satu sisi FKB melihat bahwa pornografi sudah sampai pada titik yang membahayakan masa depan bangsa jika tidak ada aturan yang jelas dan memberi efek jera, sementara UU yang ada semisal KUHP masih terlalu enteng melihat pornografi dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri pornografi yang dahsyat. Maka UU khusus tentang pornografi diperlukan. Di sisi lain FKB juga tidak ingin ada aturan yang memberikan wewenang negara terlalu jauh masuk wilayah privat warganya, mengkriminalisasi perempuan, dan menggoyahkan sendisendi kebinekaan. Itu berarti bahwa draf awal RUU APP yang berpotensi demikian harus dikritisi dan dirumuskan ulang. Maka, bersama dengan beberapa fraksi yang lain, FKB mengusulkan jalan tengah yang kemudian menjadi keputusan pansus, yakni perubahan RUU Anti Pornografi-Pornoaksi menjadi RUU Pornografi. Dalam sebuah forum rapat gabungan DPP PKB, Gus Dur melontarkan pandangannya tersebut dan sekaligus “meminta pertanggungjawaban dari FKB mengapa tetap membahas RUU tersebut. Penulis yang hadir pada saat itu pun kemudian menjelaskan pokok-pokok pikiran mengapa perlu ada UU khusus namun dengan format yang sama sekali baru dari RUU APP yang ada beserta alasan mengapa FKB tetap mengawal RUU yang berubah menjadi RUU Pornografi tersebut. Alasan yuridis hingga fiqhiyah penulis sampaik. Dan, Gus Dur pun diam. Tidak mengatakan


21

setuju, namun juga tidak menyatakan menolak. FKB pun tetap melangkah dengan sikap politiknya sebagaimana yang sudah disampaikan dalam forum rapat. Gus Dur sebagai pribadi juga tetap pada pendidanm Hal ini berlangsung hingga detik akhir menjelang pengesahan yang berlangsung cukup menegangkan. Pada saat penulis berkeyakinan bahwa menyetujui RUU tersebut adalah hal yang terbaik, setelah menyampaikannya kepada Ketua Umum Dewan Tanfidz, dengan bismillah penulis menandatangani RUU tersebut. Esok harinya baru penulis sampaikan seluruh proses yang terjadi hingga penandatanganan. Komentar Gus Dur sungguh di luar dugaan. Beliau mengatakan “ Ya nggak apa-apa, namanya undang-undang kan bisa diperbaiki.� Dari peristiwa tersebut penulis berkesimpulan bahwa sekalipun berbeda, Gus Dur tetap menghormati hal yang telah menjadi kesepakatan bersama. Meskipun berbeda Gus Dur bisa menerima jika ada dasar argumentasi yang bisa diterima. Kekhawatiran Gus Dur pada saat itu adalah jangan sampai UU ini menjadi legitimasi ketidaksetaraan warga negara di depan hukum dengan dijadikannya standar norma agama Islam menjadi standar norma seluruh warga negara yang beragam keyakinannya sehingga menggoyahkan sendi-sendi kebinekaan. Penulis yang mengikuti semua proses perdebatan UU ini pun menjamin bahwa ketidaksetaraan warga negara yang beliau khawatirkan itu menjadi concern penulis dan pansus juga. Lagi-lagi, penulis mendapati bukti bahwa komitmen Gus Dur pada kesetaraan warga negara adalah komitmen total yang beliau pegang sekalipun harus berbeda dengan arus umum di komunitasnya sendiri.

Ikhtitam Beberapa pengalaman kecil penulis di atas barangkali sangat tidak memadai untuk membuat rekonstruksi pemikiran Gus Dur tentang perempuan. Sekali pun demikian, serpihan pemikiran, perkataan, tindakan, dan kebijakan yang penulis sampaikan cukup menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kerangka perjuangan demokrasi yang menurut beliau bersendikan kesetaraan semua manusia dan kedaulatan hukum. Hak asasi perempuan bukanlah sesuatu yang eksklusif, tetapi ia ada, harus diakui keberadaannya, dan terus diperjuangkan bersama hak-hak warga negara dan hak asasi manusia pada umumnya. Di situlah posisi Gus Dur dalam perjuangan hak-hak perempuan menurut hemat penulis. Itulah sebabnya sekalipun Gus Dur tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai pejuang hak perempuan, dengan sendirinya kesetaraan hak perempuan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan Gus Dur. Terima kasih, Gus. Semoga keikhlasanmu berjuang dan berkorban untuk kesetaraan dan keadilan kemanusiaan dicatat sebagai amal saleh di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Amin. Sumber tulisan: Sri Mulyati dkk. (2015). Gus Dur di Mata Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Gading halaman 121 - 129.

Gus Dur dan Perempuan


RESENSI

Ketika Perempuan Bicara Gus Dur Mustaghfiroh Rahayu Judul

: Gus Dur di Mata Perempuan

Editor : Ala’i Nadjib Penerbit

: Gading, Yogyakarta

Tahun terbit

: 2015

Jumlah halaman

: xxx + 296 halaman

Ukuran

: 24,5 x 23 cm

B

uku Gus Dur Di Mata Perempuan adalah buku yang berisi pemikiran, pandangan dan praktik Gus Dur terkait perempuan yang ditulis oleh perempuan. Ada 24 perempuan yang terlibat dalam penulisan buku ini. Mereka adalah istri, saudara, kenalan, murid dan orang-orang yang pernah disentuh hidupnya oleh Gus Dur. Buku ini mengupas banyak aspek dalam kehidupan Gus Dur ketika bersentuhan dengan isu perempuan melalui penuturan para penulisnya. Ia mencakup isu kesehatan reproduksi, parenting, politik, hubungan antar agama dan lain sebagainya. Namun, ada juga beberapa tulisan yang tidak sepenuhnya berbicara mengenai Gus Dur terkait dengan isu perempuan, akan tetapi menyoroti praktik Gus Dur dalam memperlakukan perempuan dalam interaksi penulis dengan Gus Dur.

Mustaghfiroh Rahayu adalah Pengajar Jurusan Sosiologi UGM & Fatayat NU Yogyakarta


23

Keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari muncul di hampir semua tulisan yang terangkum dalam buku ini.

Keseluruhan tulisan dalam buku ini bisa dikategorikan dalam dua hal. Pertama, terkait dengan kebijakan-kebijakan Gus Dur dalam isu perempuan. Kedua, implementasi atau praktik keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari. Dalam konteks yang pertama dapat dilihat dalam kebijakan Gus Dur saat menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan Presiden RI ke-4. Pada masa Gus Dur, NU menghasilkan sebuah keputusan penting mengenai kebolehan mengangkat perempuan untuk menjadi pemimpin dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 1997. Muktamar NU 1999 di Lirboyo, Kediri dalam salah satu risalah keputusannya juga memberikan ruang yang lebih besar bagi para kader perempuan yang terhimpun dalam banom-banom perempuan NU untuk berpartisipasi aktif dalam keputusankeputusan organisasi NU. Kedua kebijakan ini sangat maju jika dilihat dalam konteks NU yang dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang masih tradisional. Selama menjabat presiden, meskipun sangat singkat, Gus Dur langsung membuat keputusan menghentak dengan mengganti nomenklatur Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pilihan diksi ini bagi para aktivis perempuan sudah dianggap sebagai

keberpihakan. Terlebih pada masanya, Gus Dur mengeluarkan instruksi presiden mengenai kewajiban semua bidang pemerintahan untuk melakukan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Instruksi inilah yang menjadi embrio dari berbagai kebijakan yang ramah perempuan, salah satunya tindakan afirmasi kuota 30% perempuan di ranah politik. Keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dalam praktik sehari-hari muncul di hampir semua tulisan yang terangkum dalam buku ini. Semua penulis menjadi saksi bagaimana santunnya Gus Dur dalam memperlakukan perempuan, termasuk diri mereka. Dalam berbagai tulisan disebutkan bagaimana Gus Dur sudah menerapkan konsep parenting (pengasuhan anak bersama) disaat istilah ini belum booming seperti sekarang. Tulisan yang lain menyorot bagaimana Gus Dur ditengah kesibukannya mendukung sepenuhnya studi Bu Sinta dengan menemani beliau melakukan penelitian di Banyumas untuk keperluan tesisnya. Namun, keberpihakan Gus Dur dalam upaya untuk memajukan perempuan Indonesia ini dilakukan dalam senyap. Tidak dengan berkoar-koar di media atau melalui aksi turun jalan. Keberpihakan Gus Dur terhadap isu perempuan itu dia lakukan sendiri, melalui praktik dan kebijakan-kebijakan yang paling

Gus Dur dan Perempuan


24

dekat tanpa menimbulkan kehebohan. Karena itu Saparinah Sadli dalam artikelnya di buku itu menyebut Gus Dur ini ada hati sama perempuan. “Jadi Gus Dur memang punya hati, memahami dan menghargai terhadap apa yang diinginkan dikerjakan perempuan. Namun dia tidak membesarbesarkan isu itu, ya seperti yang selalu dibilangnya, begitu saja kok repot�. Perempuan Menulis: Ethics of Care Menulis Gus Dur dan pikiran-pikirannya mengenai perempuan adalah sesuatu yang baru di tengah ratusan buku yang sudah ditulis mengenai Gus Dur. Jika buku ini ditulis oleh para perempuan, maka ia melengkapi kekhasan buku ini. Ia menjadi khas karena berhasil menghadirkan keberpihakan yang sangat kuat. Semua perempuan yang menulis dalam buku ini adalah orang-orang yang pernah berinteraksi dengan Gus Dur dengan variasi kedekatannya. Ada yang sangat dekat, namun juga ada yang hanya berinteraksi dalam berbagai forum yang diinisiasi Gus Dur. Akibatnya, tulisan-tulisan yang hadir dalam buku ini tarasa sangat personal, emosional, dan bahkan intimate dalam membicarakan Gus Dur dan perempuan. Hampir semua penulis menyelipkan cerita-cerita pengalaman interaksi mereka dengan Gus Dur dalam menguraikan perjuangan Gus Dur atas isu gender. Pengalaman personal mereka tidaklah berdiri sendiri yang hanya memiliki arti bagi mereka, akan tetapi dengan sangat apik

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

dikaitkan ke dalam konteks perjuangan perempuan yang lebih luas. Ini adalah hal yang sangat khas yang tidak akan ditemui pada laki-laki yang menulis tentang Gus Dur. Kemampuan dan pilihan untuk selalu mencoba menghubungkan pengalaman individu dengan pengalaman orang lain (daripada menganggapnya sebagai pengalaman yang berdiri sendiri) adalah khas perempuan. Meminjam apa yang disebut Carol Gilligan dengan the ethics of care, para penulis perempuan ini dalam menganalisa Gus Dur menekankan pada relasi-relasi, konteks-konteks yang saling berkait dan fokus pada kepeduliannya. Lia Maryono, misalnya, menceritakan bagaimana keterbukaan dan keramahan yang dipraktikkan Gus Dur sangat menginspirasinya untuk terus menghidupi pluralitas yang menjadi bagian dari napasnya. Keterbukaan keluarga Gus Dur ini pula yang mengantarkannya bertemu dengan Alissa, anak pertama Gus Dur, yang tengah aktif dalam isu kesehatan reproduksi remaja dan HIV/AIDS. Ternyata, tidak hanya anaknya, Gus Dur pun fasih berbicara mengenai hak reproduksi perempuan dalam bingkai agama. Sri Mulyati, penulis lain di buku ini, menyambungkan pengalaman pertemuannya dengan Gus Dur sewaktu dia menuntut ilmu di luar negeri dengan pesan-pesan Gus Dur mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Narasi-narasi personal yang demikian dapat dijumpai hampir di setiap tulisan di buku ini.


25

Dengan model penulisan semacam ini, buku Gus Dur Di Mata Perempuan sangat cocok apabila sengaja dihadirkan bagi para pembaca perempuan. Pengalaman personal para perempuan yang menulis buku ini bersama Gus Dur dan refleksi-refleksi mereka atas pemikiranpemikiran Gus Dur merupakan pengetahuan khas perempuan (women ways of knowing). Cerita-cerita sederhana itu adalah jendela untuk menangkap pemikiran-pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi, pluralisme, keadilan dan keseteraan. Cerita-cerita sederhana ini bukanlah cerita remeh, namun ia adalah proyeksi dari narasinarasi besar yang dibayangkan Gus Dur dan sudah ditulis oleh ratusan penulis laki-laki. Karena itu buku ini cukup penting. Di luar kekhasan yang sudah ditampilkan, buku ini memiliki satu kekurangan. Penerbit menghadirkan buku ini apa adanya. Ada banyak topik dihadirkan begitu saja tanpa ada upaya untuk mem-frame menjadi sebuah ide yang cukup kuat. Tulisan ini sangat kaya dengan ilustrasi keterlibatan Gus Dur dalam pengelolaan rumah tangga, pengasuhan anak, dukungan atas pilihan otonom perempuan, dll. Ilustrasi-ilustrasi demikian—jika mau di-frame– barangkali merupakan formula embrional dari apa yang oleh gerakan perempuan kontemporer disebut dengan “gerakan laki-laki baru�, yakni gerakan yang melibatkan kaum lakilaki dalam memperjuangkan keadilan gender. Jika hal ini dilakukan, menurut hemat saya, buku ini menjadi sebuah paket yang dahsyat.

Tulisan ini pernah dimuat di https://www. jurnalperempuan.org/wacana-feminis/ketikaperempuan-bicara-gus-dur

Ternyata, tidak hanya anaknya, Gus Dur pun fasih berbicara mengenai hak reproduksi perempuan dalam bingkai agama. Gus Dur dan Perempuan


KATA ALISSA

JACINDA Alissa Wahid

P

erdana Menteri Selandia Baru Jacinda

Ardern mulai mendulang perhatian ketika ia menghadiri Sidang Umum PBB tahun 2018 dengan membawa bayi putrinya. Ia mengantarkan pesan tegas pada dunia: perempuan tidak harus memilih antara fungsi kodratinya sebagai ibu yang sedang menyusui dengan peran publik profesionalnya. Pesan ini melawan sebuah dilema yang selama ini terpaksa diterima perempuan: ranah publik menafikan kekhasan perempuan sehingga banyak perempuan harus memilih antara peran publiknya dengan peran kodratinya untuk hamil dan menyusui anak-anaknya, atau kalaupun tidak memilih salah satu, setidaknya mencoba melakukan kiyak-kiyuk situasi sehingga mereka bisa menjalankan kedua peran itu dengan segala keterbatasan. Pada pertemuan paling tinggi tingkat dunia di PBB tersebut, PM Jacinda �memaksa� dunia untuk mulai mengubah cara pandangnya. Ruang publik perlu berlaku adil dengan menerima keutuhan perempuan, yaitu sebagai individu yang mengemban fungsi publik sekaligus dengan beberapa fungsi khas yang sifatnya kodrati. Langkah PM Jacinda menjadi puncak dari gerakan menyediakan area menyusui di ruang-ruang publik yang cukup kencang dekade ini.

Alissa Wahid merupakan Koordinator Jaringan Gusdurian

gusdurpedia edisi X | Maret 2020

26


27

Nama PM Jacinda makin meroket setelah aksi teror terhadap kaum Muslim di Christchurch tiga minggu lalu. Orang bijak mengatakan bahwa pemimpin hebat ditemukan pada masa-masa sulit. Dan, tragedi Christchurch membuat dunia menemukan Jacinda Ardern dan standar baru kepemimpinan. Selandia Baru yang adem-ayem, tidak seperti negara-negara Eropa yang selalu siap siaga menghadapi aksi terorisme, mendadak sontak harus berhadapan dengan situasi krisis. Tetapi, respons yang dihadirkan justru melebihi ekspektasi publik, walaupun sempat keteteran di saatsaat pertama aksi terorisme terjadi. PM Jacinda menunjukkan ketegasan dengan tanpa tedeng aling-aling menyatakan ini sebagai aksi terorisme, dan segera memproses hukum si pelaku teror. Dalam rentang waktu yang tak lama, pemerintahannya membuat aturan baru kepemilikan dan penggunaan senjata api untuk meminimalkan aksi terorisme. Ia segera mengambil peran pemimpin sebagai pengayom, tak hanya seremonial belaka, tetapi juga dengan hadir penuh sebagai Ibu bangsanya bagi komunitas Muslim yang menjadi korban, dan bagi masyarakat Selandia Baru secara umum.

Ia menampilkan diri sebagai bagian dari kelompok korban yang minoritas, dengan menggunakan selendang penutup kepala saat mengunjungi keluarga korban. Ia berbicara kepada warga Selandia Baru, bahkan tingkat sekolah dasar sekalipun, untuk memulai gerakan menolak kebencian dan kekerasan. Ia memastikan tragedi Christchurch tidak dilestarikan menjadi prasangka dan dendam berkepanjangan, bahkan menjadi titik balik pemahaman dan penerimaan antar kelompok masyarakat. PM Jacinda menolak menyebut nama si pelaku teror karena sebagaimana disampaikannya dalam pidato, �Salah satu yang diinginkan si pelaku adalah ketenaran. Karena itulah, Anda tidak akan pernah mendengar saya menyebut namanya.� Alih-alih menggunakan situasi ini untuk keuntungan politik dengan mengobarkan populisme, membangkitkan sentimen kebencian, atau reaksi yang berlebihan seperti membangun tembok besar ala Presiden Trump, PM Jacinda justru teguh menggunakan prinsip keadilan, ketegasan, integritas, keberpihakan kepada yang lemah, welas asih dan kasih sayang, serta prinsip persatuan dan pertumbuhan (growth).

Gus Dur dan Perempuan


28

Karakteristik kepemimpinan yang seperti ini telah lama dinantikan publik. Dalam penelitian yang diberi tajuk The Athena Doctrine, John Gerzema dan Michael d’Antonio menyampaikan bahwa karakteristik seperti tegas, adil, kerja sama, respek, loyalitas, intuitif, welas asih, dipandang sebagai karakter pemimpin ideal. Karakteristik ambisius, dominan, kompetitif, dan harga diri tak lagi dianggap penting bagi pemimpin masa kini, yang lebih diwarnai dengan kolaborasi dan egalitarianisme. Jacinda menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang tegas, adil, welas asih, berintegritas, serta bertindak untuk warganya. Inilah yang oleh Stephen Covey disebut sebagai principlecentered leadership, kepemimpinan yang menjadikan Prinsip Luhur sebagai sumbu gerakannya. Principle-centered leadership bertumpu pada penegakan nilai-nilai yang diyakini, tak peduli apakah hal itu akan

menguntungkan atau tidak. Dalam sejarah, banyak contoh para pemimpin besar menunjukkan hal ini. Semisal Gandhi dengan ajaranajarannya yang mengilhami warga India yang menolak penjajahan Inggris, Martin Luther King Jr atas perjuangannya sampai hilang nyawa demi keadilan bagi kelompok kulit hitam di Amerika Serikat, atau Nelson Mandela di Afrika Selatan. Di Indonesia, kita mengenal Bung Karno yang memperjuangkan kedaulatan dan persatuan bangsa, serta Gus Dur yang berjuang demi tatanan masyarakat yang lebih adil, kelompok minoritas yang setara dengan kelompok mayoritas, dan sistem tata kelola negara yang lebih demokratis. Para pemimpin besar ini mendorong perubahan masyarakat menjadi lebih baik, tanpa memikirkan harga yang harus mereka bayarkan secara pribadi. Mereka tidak memaksa pendukungnya untuk saling menyerang atas nama kepentingan pemimpinnya.

PM Jacinda telah mengajarkan kepada dunia, bagaimana menjadi pemimpin yang bertumpu pada prinsip luhur kebajikan, untuk membawa bangsanya menjadi masyarakat adiluhung. gusdurpedia edisi X | Maret 2020


sumber: liputan6.com

29

Mereka tak menjadikan kekuasaan sebagai sumbu gerakannya sehingga segalanya dihalalkan untuk mendapatkan kekuasaan, termasuk menyebar hoaks dan kebencian kepada lawan. Mereka juga tidak menjadikan kepentingan pribadi atau kelompok sebagai sumbu kepemimpinannya, sehingga menghalalkan populisme, intoleransi, dan diskriminasi atas kelompok liyan bahkan dengan menggeret nama Tuhan. PM Jacinda telah mengajarkan kepada dunia, bagaimana menjadi pemimpin yang bertumpu pada prinsip luhur kebajikan, untuk membawa bangsanya menjadi masyarakat adiluhung. Akankah tahun politik Indonesia 2019 ini mencetak pemimpin-pemimpin seperti dia bagi bangsa ini? Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 April 2019, Kolom Udar Rasa.

Gus Dur dan Perempuan


HAPPY INTERNATIONAL WOMEN’S DAY


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.