Gusdurpedia Edisi 14

Page 1

DRAFT


Gus Dur sudah meneladankan saatnya kita melanjutkan...


SELASAR

DAFTAR ISI KATA GUS DUR

Islam Setuju Kemiskinan?

1

TENTANG GUS DUR

Gus Dur dan Pencerahan Kaum Muda: Sebuah Kesaksian SUSUNAN REDAKSI Penasehat: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Pemimpin Umum Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Sarjoko S. Redaktur Muhammad Pandu Distribusi Rifa Mufidah Layout Sarjoko S. Email jaringan.gusdurian@gmail.com WA 0821 4123 2345 IG jaringangusdurian Twitter @gusdurians Fanpage Facebook Jaringan GUSDURian, KH. Abdurrahman Wahid

7

TENTANG GUS DUR

Kita Bersaudara: Perjumpaan Pemikiran Gus Dur dan Emmanuel Levinas

13

RESENSI

Menjerat Gus Dur

21

KATALISSA

Nenilai

24



KATA GUS DUR

Islam Setuju Kemiskinan? Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

P

eristiwanya terjadi di sebuah latihan pengembangan masyarakat di pesantren Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Seorang peneliti kelas kakap sedang mengajarkan dasar-dasar penelitian yang harus melandasi pengembangan masyarakat. Sang peneliti merumuskan tujuan akhir dari kerja pengembangan, yakni pemberantasan kemiskinan. Dengan serta merta ia masuk ke dalam perdebatan sengit, dan dia pun diperlakukan sengit oleh para peserta latihan yang berasal dari berbagai pesantren di Jawa Timur itu. Tidak berhenti di situ, sang peneliti kembali ke Jakarta dengan hasil masgul. Ia datang jauh-jauh ke salah satu ujung dunia di Madura itu adalah demi dedikasinya, turut membantu kalangan pesantren

By: Sarjoko


2

mengatasi masalah-masalah utama kemasyarakatan bangsa kita. Ia mencari penyaluran bagi hasratnya turut berjuang di lapangan yang dikuasainya. Tahutahu ia diserang begitu rupa. Lebih masgul lagi ketika ia mendengar cerita dari direktur lembaga tempatnya bekerja. Dalam kunjungan ke tempat latihan, sang direktur ditanya seorang peserta secara garang (dan dia mendapat julukan Khomeini dari kawan-kawannya): “Mengapa Bapak terima orang komunis seperti peneliti itu bekerja di lembaga Bapak?” Sang direktur geleng-geleng kepala penuh kebingungan. Sang peneliti bersedih hati karena citranya tentang perjuangan melaksanakan cita-cita terpukul (bak pemuda yang mendapati bahwa sang pacar tidak sesempurna yang dilamunkannya). Dan, susahnya lagi para peserta latihan tetap saja tidak mengerti persoalan yang sebenarnya. Ada urusan apakah sehingga menjadi begitu ruwet masalahnya antara ketiga pihak itu? Sebuah simbolkah ia, kejadian kecil yang hampir-hampir tidak berarti, namun menjadi cermin dari kenyataan pahit berlingkup luas yang terjadi dalam kehidupan bangsa. Ternyata persoalannya adalah masalah kemiskinan itu sendiri;

dan ya, memang ia menjadi pencerminan dari kenyataan lebih besar, namun nyata terjadi di masyarakat. Sungguh pahit kenyataan tersebut, namun ia nyata ada. Menurut para peserta latihan, keyakinan agama Islam tidak menerima tujuan pemberantasan kemiskinan itu. Perdebatan pun terjadi di seputar masalah tersebut. Serangkaian argumentasi dikemukakan untuk menunjang “pemberantasan kemiskinan“: Bukankah manusia adalah makhluk termulia sehingga tidak layak jika ia tetap berada dalam kemiskinan? Bukankah karena kemuliaannya itu ia menyandang “gelar” sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi? Bukankah perwujudan “gelar” itu adalah penciptaan manusia dalam proporsi kemakhlukan paling sempurna (ahsani taqwim)? Bukankah perwujudan kemakhlukan serba sempurna itu menuntut dukungan materil bagi kehidupan manusia sendiri? Bukankah dukungan materil itu hanya dapat diperoleh dari hidup serba berkecukupan, atau dengan istilah yang lebih menjadi mode dinamai kehidupan kerkualitas tinggi? Bukankah kualitas seperti itu hanya dapat dicapai dengan upaya mengubah keadaan kita sendiri karena Allah menentukan dalam Al-Qur’an, “Tidaklah Allah mengubah apa yang

gusdurpedia edisi XIV September 2021


3

Pantaslah kalau sang peneliti lalu di’komunis’kan karena ia dianggap melanggar salah satu kepercayaan dasar dalam agama Islam itu sendiri. ada pada sesuatu kaum, selama mereka tidak mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?” Bukankah jelas, dengan begitu, pemberantasan kemiskinan adalah kewajiban kita? Kesemua rentetan “tembakan” argumentasi itu diakui oleh para peserta latihan. Bagaimanapun mereka adalah orang pilihan hasil seleksi cukup ketat. Mereka bukannya tidak tahu adanya masalah kemiskinan, dan cukup banyak di antara mereka yang justru berasal dari keluarga miskin. Kalau ada yang ingin terbebas dari belenggu kemiskinan, tentulah mereka yang ada di medan latihan itu. Sang peneliti toh sudah punya mobil dan bergaji tinggi. Kemiskinan bagi sang peneliti adalah pengalaman objektif hasil pengamatannya, sedangkan bagi para peserta latihan adalah pengalaman subjektif dari kecil. Kalau begitu, mengapa mereka “kalap” sewaktu dikemukakan agenda pemberantasan kemiskinan itu? Mengapa sampaisampai mereka membawa

keyakinan agama mereka dalam soal ini? Masalahnya adalah kenyataan konkret yang mereka hadapi, dan sedikit dimengerti orang luar kalangan beragama itu sendiri: Kalau Al Qur’an menggambarkan hal-hal mulia di atas, ia juga memuat sebuah ayat yang berbunyi “Kami bagi bagikan antara mereka bagian masing-masing dalam kehidupan dunia, dan Kami lebihkan mereka dari sebagian yang lain dalam derajat.” Begitu juga, Al-Qur’an sendiri yang menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan manusia, dus nasibnya, berasal dari Tuhan (khairuhu wa syarruhu minallah); kehidupan berasal dari Tuhan dan bermuara kepada-Nya. Ketentuan takdir ada di tangan Allah, ini adalah rukun keenam dalam ortodoksi Islam; baik yang Muhammadiyah maupun yang NU, baik yang setuju dengan Khomeini ataupun yang tidak. Pantaslah kalau sang peneliti lalu di’komunis’kan karena ia dianggap melanggar salah satu Islam Setuju Kemiskinan?


4

Penulis sendiri berpendapat bahwa masalah nasib merupakan hak prerogatif Tuhan, yang tidak melarang adanya ikhtiar manusia. Ketentuan nasib sebagai kata akhir di tangan Tuhan hanyalah dimaksudkan untuk menghilangkan kekecewaan jika seandainya manusia tidak berhasil memperoleh semua apa yang diingininya. kepercayaan dasar dalam agama Islam itu sendiri. Dan pantas pula sang peneliti lalu jadi lemas mendengar tuduhan itu karena ia mengemukakan rumusannya itu pun dalam kepercayaan bahwa ia menjalankan keyakinan agamanya. Begitulah terjadi bentrokan pandangan dalam keyakinan agama yang satu, di dalam meneropong masalah kemiskinan. Betapa strukturalnya masalah kemiskinan itu semakin menjadi nyata bagi kita, untuk menanganinya pun belum ada kesatuan pendapat! Wah, ini patut diseminarkan, kata tukang berseminar-minar (untuk meminjam istilah Astaga almarhum). Kalau ini terpantul dalam kenyataan lebih besar, yaitu ketegaran pendapat agamawan dalam totalitasnya untuk tidak mau menerima “ideologi pemberantasan kemiskinan”, jelas

lebih parah lagi persoalannya. Padahal apa yang terjadi di sebuah forum latihan dengan hanya dua puluh orang peserta itu memang menjadi pemikiran agamawan kaum muslimin di negeri kita. Setidak-tidaknya yang tinggal di pedesaan kita, yang belum pernah ikut-ikutan seminar, belum pernah membaca GBHN dan tetap tidak mengerti asas pemerataan yang dianut pemerintah sekarang, serta tidak akan mengalami nikmatnya ditatar P4. Jelaslah bagi kita sekarang bahwa tugas seorang intelektual muslim memang berat sekali: ia harus mengubah orientasi sesama agamawan yang sekeyakinan dengan dirinya. Bukan tugasnya untuk ribut-ribut soal pembaruan dari jenis mana dan berlingkup apa. Kerja di atas berarti kewajiban mengembangkan bahasa komunikasi yang dapat

gusdurpedia edisi XIV September 2021


5

dipakai untuk menghubungi para agamawan itu secara santai dari hati ke hati. Berarti keharusan untuk menyusun agenda dialog yang tidak terlalu tinggi perumusannya, sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berada di pedesaan. Berarti melaksanakan strategi pendekatan yang kira-kira secara santai berbunyi: mbok jangan hanya mempersoalkan perjudian, soalsoal maksiat dan film cabul saja, pak kiai, mbok ya sekali kali Anda berbicara tentang kualitas hidup. Apa namanya agenda kerja seperti ini, kalau bukannya intelektual turun melantai (tanah) ke desa? Akan terjadi penurunan kadar intelektualitas itu sendiri? Ya, memang ada bahaya ke arah itu, tetapi bukankah kita harus mengambil pilihan yang sulit? Lalu apa gunanya itu segerobak perbendaharaan metodologis yang sekian lama dikembangkan? Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tersebut, kalau dapat; disimpan untuk lain kali digunakan, kalau tidak dapat “dirakyatkan.” Maka terbukalah sebuah cakrawala baru bagi kaum intelektual muslim di negeri kita: menggali kembali perumusan tentang nasib manusia, benarkah ia predeterminatif seperti disangkakan para peserta latihan di Madura itu, ataukah ada jalan keluarnya?

Jelas tidak mungkin diterima free will mutlak bagi manusia, seperti yang melandasi keyakinan bangsa bangsa “modern” sekarang. Akan tetapi harus ada akomodasi terhadap kebutuhan menangani masalah kemiskinan dari pihak agamawan. Soalnya adalah bagaimana mengusahakan akomodasi itu. Penulis sendiri berpendapat bahwa masalah nasib merupakan hak prerogatif Tuhan, yang tidak melarang adanya ikhtiar manusia. Ketentuan nasib sebagai kata akhir di tangan Tuhan hanyalah dimaksudkan untuk menghilangkan kekecewaan jika seandainya manusia tidak berhasil memperoleh semua apa yang diingininya. Katakanlah alat kejiwaan untuk membuat manusia rela menerima kata akhir itu setelah semua ikhtiar didayagunakan semaksimal mungkin. Bahwa manusia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri, jelas dirumuskan dalam firman Allah “Jangan kau lupakan bagianmu dari (harta) dunia” dan yang sebangsanya. Penemuan jalan kehidupan berarti penundaan jatuhnya nasib hanya pada halhal paling dasar saja: mati, hidup, nilai kehidupan dunia ini di akhirat nanti dan hal-hal serupa. Ini berarti kita boleh menangani masalah kemiskinan secara tuntas. Islam Setuju Kemiskinan?


6

Terlebih lagi, nasib kan lebih tampak pada jalan kehidupan perorangan, sedangkan upaya memberantas kemiskinan adalah kerja kolektif untuk menaikkan taraf hidup masyarakat selaku kelompok manusia. Secara teoretis, ini berarti mungkin saja kemiskinan diberantas dalam suatu masyarakat, dengan masih ada satu dua orang yang hidup dalam kemiskinan. Ini tidak mengurangi kemutlakan kekuasaan Allah, tetapi akomodatif terhadap kebutuhan manusia. Nah, kini masih kita berdialog di sekitar masalah ini.

(Artikel ini diambil sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid. 2011. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS)

gusdurpedia edisi XIV September 2021


TENTANG GUS DUR

Gus Dur dan Pencerahan Kaum Muda: Sebuah Kesaksian Oleh: Neng Dara Affiah

Sosiolog, Peneliti dan Pendidik.

D

alam perjalanan hidup saya, ada tiga orang yang meninggalnya membuat saya luruh menangis: meninggal Ibu saya, karena ia adalah tiang dalam keluarga kami, fisik maupun psikis; Nenek saya yang mengenalkan saya pada keislaman dan keimanan dengan konsepnya yang sederhana, tapi ia praktekkan dalam hidup nyata sehari-hari; dan Gus Dur yang mengenalkan kepada saya tentang keislaman dan keimanan dengan maknanya yang sangat luas, seluas alam semesta ini. Mengapa Gus Dur demikian penting dalam penjelajahan hidup saya? Ini adalah fragmen kecil dari kesaksian tersebut.


8

Pertautan saya dengan Gus Dur sesungguhnya lebih banyak pertautan ide ketimbang fisik. Pertautan itu dimulai ketika saya kuliah di IAIN Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, antara tahun 1987-1990an. Entah birahi dari mana, minat saya terhadap “Islam yang lain” yang tidak mainstream sudah muncul sejak saya sekolah menengah pertama dan atas di pesantren (1981-1987). Meskipun saya hidup dalam lingkungan pesantren tradisional, tetapi pemikiran saya seperti mendua. Satu sisi saya mengaji kitab-kitab kuning klasik yang dipelajari setiap hari dan malam, dan hal tersebut sangat berpengaruh pada perilaku dan tradisi yang dipraktekkan dalam komunitas pesantren tradisional, sisi lain saya melahap buku-buku dari pemuka pembaru Muslim seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Nurcholish Madjid, dan pemuka-pemuka pembaru lain sejauh yang bisa saya akses bukunya, karena pada saat itu, untuk ukuran saya yang hidup di daerah tak mudah mengakses buku-buku tersebut, selain majalah Panjimas yang hampir setiap edisi saya lahap yang menjadi langganan paman saya. Dengan tekad memuaskan minat saya dalam gagasan pembaruan pemikiran Islam, saya melanjutkan kuliah di IAIN

Jakarta. Tidak yang lain. Pada masa saya, pemikiran-pemikiran pembaruan Islam tersebut terintegrasi di dalam kurikulum. Jadi, setiap belajar mata kuliah tentang wacana keislaman, isinya adalah gagasan-gagasan pembaruan Islam yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Harun Nasution yang ia tulis dalam buku-buku darasnya. Seiring dengan itu, setiap aktivitas saya di kampus, baik dalam kelompok studi maupun organisasi ekstra selalu berkaitan dengan gagasan pembaruan pemikiran Islam, meskipun alat yang dipakai adalah ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Seiring dengan aktivitas saya yang begitu bergairah terhadap gagasan pembaruan pemikiran Islam, saya berkenalan dengan gagasan Gus Dur yang dikerangkakan dengan gagasan Pribumisasi Islam. Gagasan Pribumisasi Islam itu kira-kira maknanya begini: Bagaimana Islam yang lahir dari Negeri Arab dan mungkin dipahami dalam kerangka Timur Tengah bisa mengIndonesia; men-Jawa, Men-Sunda dan landing dengan komunitaskomunitas lokal lainnya. Gagasan ini bagi saya begitu mencerahkan. Pencerahan pertama, karena saya hidup dalam lingkungan yang sangat memelihara tradisi, tapi juga tidak ingin tradisi tersebut mengungkung dan mengangkangi kemerdekaan kita

gusdurpedia edisi XIV September 2021


9

Untuk bisa selalu mengikuti pemikiran Gus Dur ini, saya selalu membaca tentang pernyataan-pernyataan dan tulisantulisannya yang dimuat di media massa; koran dan majalah, baik yang baru maupun yang sudah usang yang biasa saya beli di buku-buku loakan. sebagai manusia. Pencerahan kedua, saya ingin menyongsong sebuah peradaban maju tanpa menanggalkan tradisi positif yang sebenarnya sudah kita punya, tetapi ia tertutupi oleh tradisi yang justru menghambat kita pada sebuah peradaban yang kurang manusiawi dan bisa bergerak lebih maju. Dalam kaitan ini, Gus Dur menawarkan dua hal tersebut tanpa menanggalkan akar-akar kultural dari mana ia berasal. Untuk bisa selalu mengikuti pemikiran Gus Dur ini, saya selalu membaca tentang pernyataanpernyataan dan tulisan-tulisannya yang dimuat di media massa; koran dan majalah, baik yang baru maupun yang sudah usang yang biasa saya beli di buku-buku loakan. Bukan hanya pemikiranpemikirannya yang berat, tetapi juga yang ringan-ringan. Mulai dari “Perbedaan antara Bajaj dengan Taksi”, “Warung Makan Padang bermusik Jawa”, hingga

tulisan “Pesantren sebagai Sub Kultur Indonesia”. Selain mengikuti tulisannya, saya pun berusaha mendatangi pelbagai seminar di Jakarta jika Gus Dur sebagai pembicara. Pada saat yang bersamaan, sekitar semester kelima mahasiswa (tahun 90-an), saya menawarkan diri untuk bekerja di Warta NU, sebuah tabloid PBNU yang saat itu penanggung jawabnya Gus Dur, pemimpin redaksinya Arifin Junaidi dan sekretaris redaksinya saya sendiri, dengan anggota redaksi di antaranya Ulil Abshar Abdalla dan Saifullah Yusuf. Pada saat saya mengelola majalah inilah interaksi saya dengan Gus Dur sering terjadi di kantor PBNU yang pada saat itu gedung ini masih kumuh. Apalagi ruangan lembaga penerbitannya. Tetapi karena pesona Gus Dur yang luar biasa, kantor PBNU yang kumuh itu selalu ramai didatangi orang dari berbagai Islam Setuju Kemiskinan?


10

Melalui tokoh Gus Dur ini, agaknya kami memperoleh figur yang saat itu berani melakukan perlawanan terhadap rezim: yakni rezim Soeharto. Gus Dur adalah tokoh yang memiliki keberanian yang luar biasa menentang rezim di saat orang lain tiarap dan mencari aman. kalangan, luar dan dalam negeri yang juga mengantarkan saya untuk mengenal banyak orang dari beragam latar belakang pula. Pada periode Gus Dur pula, kantor PBNU yang kumuh itu dikelilingi anak-anak muda seangkatan saya yang berlatar belakang santri, yang agaknya kelompok yang lahap dan sekaligus memperoleh pencerahan dari gagasan-gagasan penyegaran Gus Dur ini. Dari kelompok Jogja: Ada mas Fajrul Falakh; mas Imam Aziz, mas Suaedy, Jadul Maula, Hairus Salim, Elyasa KH Darwis, Muhaimin Iskandar, dan lain-lain. Dari Jakarta: Saya (Neng Dara Affiah), Ulil Abshar Abdalla, Saifullah Yusuf, Khatibul Umam Wiranu, dan yang lainnya. Kelompok muda ini di kemudian hari mengembangkan minatnya masing-masing; ada yang tetap dalam jalur ilmu dan pemikiran seperti yang dikembangkan teman-teman LKiS, ada yang ke

politik praktis seperti Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan Khotibul Umam Wiranu. Melalui tokoh Gus Dur ini, agaknya kami memperoleh figur yang saat itu berani melakukan perlawanan terhadap rezim: yakni rezim Soeharto. Gus Dur adalah tokoh yang memiliki keberanian yang luar biasa menentang rezim di saat orang lain tiarap dan mencari aman. Pendirian Forum Demokrasi adalah bagian dari perlawanan itu. Selain itu, ia pun menentang kesewenangwenangan pemberedelan pers yang saat itu dilakukan terhadap tabloid Monitor. Ia berdiri tegak tanpa ketakutan di saat hampir semua orang mendukung pemberedelan ini dengan alasan menghina Nabi Muhammad. Tak pelak, kekaguman saya pun menjadi-jadi, karena nyalinya yang luar biasa untuk mewujudkan gagasannya dalam tindakan nyata. Tekanan yang spektakuler dari

gusdurpedia edisi XIV September 2021


11

rezim adalah saat Muktamar NU Cipasung di mana pemerintahan Soeharto mengganjal Gus Dur dengan menyalonkan Abu Hasan melalui politik uang, dan kami kelompok muda yang disebut di atas serta sejumlah intelektual Muslim berada dalam barisan Gus Dur yang selalu mengelilinginya. Begitulah sepak terjang Gus Dur hingga ia menjadi presiden. Saat ia menjadi presiden, kebahagian dan keraguan berkumpul menjadi satu. Kebahagiaan tersebut adalah adanya secercah harapan bahwa ia bisa mewujudkan gagasan-gagasannya menuju Indonesia baru dengan jaman baru dimana kekuasaan ada dalam genggamannya. Tetapi kebahagian tersebut tidak terwujud, karena gagasan Gus Dur sulit ditangkap oleh mesin birokrasi yang ada di bawahnya. Keraguannya adalah ia berlatar belakang santri yang tidak akrab dengan dunia

birokrasi dan protokoler yang biasa dilakukan para raja dalam bentuknya yang modern yang bisa menjauhkan dirinya dari rakyat biasa seperti Pak Somad, pegawai setia PBNU yang setia melayaninya. Pertanyaan kecil yang saat itu muncul, “Bisakah ia menjadi inspektur upacara dan menghormat dengan tangan di kepala saat upacara-upacara kenegaraan? Bisakah ia memakai sepatu formal, padahal sepanjang saya mengenalnya ia selalu memakai sepatu sandal? Ah… Gus Dur ini kok sudah menjadi Nabi, malah ingin menjadi presiden,” begitu gumam saya saat itu. Tapi alam memang berkehendak lain, barangkali orang seperti Gus Dur-lah orang yang pantas menjadi presiden untuk semakin mematangkan bangsa Indonesia melalui ke-gonjang-ganjingannya dan pelbagai kontroversinya. Saat Gus Dur tidak lagi menjadi presiden, saya kembali Islam Setuju Kemiskinan?


12

merapat kepadanya untuk pelbagai isu diskriminatif yang dulu menyatukan kami. Isu perempuan Ahmadiyah, isu penolakan terhadap UU Pornografi, isu Perda-Perda diskriminatif yang berupaya menolak konsep negara-bangsa yang cenderung meliankan kelompok minoritas, dan isu pesantren yang menjadi sorotan sebagai sarang teroris. Beberapa kali dalam tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, saya berkesempatan untuk sama-sama menjadi pembicara dalam pelbagai tema. Dalam pelbagai pembicaraan tersebut, kami lebih sering sepakat dalam banyak hal, ibarat guru dengan santri, dan ia akan memperkayanya dengan narasi dongeng dan cerita-cerita lucu yang mengajarkan pada kearifan hidup. Seusai acara, kami akan terlibat dalam cerita-cerita lucu yang membuat kami senang dan terkekeh-kekeh yang bisa mengeluarkan kami dari pelbagai urusan. Pemilik tawa itu kini sudah pergi untuk selamanya. Jejak positifnya harus saya ikuti! Pamulang, 2010

gusdurpedia edisi XIV September 2021


Kita Bersaudara: Perjumpaan Pemikiran Gus Dur dan Emmanuel Levinas Oleh: P. Bagus Sugiyono

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta.

D

i dalam pergulatan hidup di dunia ini, manusia tidak tinggal sendirian. Ia ada bersama dengan orang lain. Mau tidak mau, keberadaan orang lain turut ambil bagian dalam membentuk proses refleksi manusia dalam menghayati keberadaannya bersama dengan orang lain di dunia. Seorang filsuf Prancis bernama Emmanuel Levinas (1906-1995) banyak berbicara tentang refleksinya mengenai aku dan “Yang Lain”. Refleksi inilah yang dalam titik tertentu banyak saya ingat, ketika sosok Abdurrahman Wahid, atau kerap kita sapa dengan nama Gus Dur, terus-menerus mendengungkan untuk terus berani membangun persaudaraan dan dialog-dialog di


14

antara masyarakat Indonesia yang beragam suku, agama, ras, dan budayanya.

yang dapat ditemukan dalam perjumpaan saya dengan “Yang Lain”.

Kesadaran akan pluralitas yang ada di Indonesia sebagai identitas rasa-rasanya perlu terusmenerus ditumbuhkembangkan dari waktu ke waktu. Kesadaran ini tidak bisa dibiarkan muncul begitu saja, taken for granted, karena kerap kali kita lebih suka menutup diri dan mengkotak-kotakkan seseorang entah melalui suku, agama, ras, maupun budayanya. Lebih dari itu, kesadaran ini mesti juga dipupuk bersama dengan sikap pluralisme di mana aku bukan hanya sadar bahwa ada orang lain yang berbeda denganku, tetapi lebih-lebih ingin keluar bertemu, membangun dialog, dan mengusahakan perjumpaan aktif lainnya sebagai satu masyarakat Indonesia.

Orang Lain yang Berbeda

Di dalam tulisan sederhana ini, saya ingin membuat sebuah elaborasi pemikiran antara pluralisme Gus Dur dengan etika Levinas tentang “Yang Lain”. Satu simpul besar yang mengaitkan keduanya, menurut saya, adalah sebuah kesadaran altruis bahwa di dalam persaudaraan, saya hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan saya dan saya diajak untuk mau berjumpa dan berdialog dengannya. Tentu, tidak hanya sifatnya yang horizontal, melainkan ada pula jejak-jejak relasi vertikal dengan Tuhan

Dalam sebuah tulisan berjudul “Islam dan Dialog Antar-Agama”, Gus Dur mengutip kitab suci al-Quran yang mengatakan, “Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku bangsa agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat [49]:13). Dalam tulisan tersebut, Gus Dur hendak mengatakan bahwa di dunia ini dengan jelas kita dapat melihat ragam macam perbedaan yang senantiasa ada, apa pun itu aspeknya, mulai dari jenis kelamin, agama, suku, dan sebagainya. Bagi Gus Dur, perbedaan adalah suatu hal yang diakui oleh Islam. Ia adalah sesuatu yang biasa dan tidak dilarang. Yang justru harus kita hindari adalah adanya perpecahan dan keterpisahan (tafarruq). Memulai sebuah refleksi tentang persaudaraan dengan kesadaran di atas adalah sebuah langkah sinergis untuk juga makin menumbuhkan kepekaan akan identitas bangsa sendiri. Keberagaman atau pluralitas adalah bukan hanya kekayaan,

gusdurpedia edisi XIV September 2021


15

Ada banyak fenomena dalam masyarakat di mana kita lihat keberagaman bukan menjadi sesuatu yang menyatukan, tetapi lebih-lebih menjadi alasan untuk saling mengancam, bertindak keras, bahkan mempersekusi orang lain yang berbeda latar belakangnya. melainkan identitas yang membentuk kesejatian diri bangsa ini. Kalau ia ditolak atau dicabut, maka Indonesia tidak lagi Indonesia. Ia adalah sesuatu yang sama sekali lain. Sayangnya, kesadaran dan kepekaan akan identitas ini seringkali diandaikan ada. Padahal, tidak demikian realitasnya. Pengandaian tinggallah pengandaian. Ada banyak fenomena dalam masyarakat di mana kita lihat keberagaman bukan menjadi sesuatu yang menyatukan, tetapi lebih-lebih menjadi alasan untuk saling mengancam, bertindak keras, bahkan mempersekusi orang lain yang berbeda latar belakangnya. “Karena kamu berbeda denganku, maka kamu tidak boleh ada di sini,” mungkin kira-kira begitu kata-kata yang akan terucap. Parahnya lagi, keberagaman ini seringkali dikorbankan hanya demi

kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika di dalam fenomena politik pemilihan kepala daerah beberapa tahun yang lalu, ada peristiwa jenazah yang ditolak untuk dikuburkan di sebuah lahan pekuburan karena perbedaan pilihan politik antara pemilik lahan pekuburan dan keluarga yang jenazahnya hendak dimakamkan. Miris bukan? Maka, yang sebetulnya perlu terus-menerus kita sadari adalah sebuah permulaan atau titik tolak yang merupakan identitas kita semua sebagai bangsa Indonesia bahwa kita tidak seragam, melainkan beragam. Kita terdiri dari berbagai latar belakang dan kita hingga saat ini masih dapat hidup bersama dan berdampingan sebagai sebuah bangsa lepas dari konflik-konflik yang tentu terjadi. Fanatisme Pikiran Manusia yang Islam Setuju Kemiskinan?


16

Sempit Seperti telah sempat dikatakan di atas, tidak jarang, ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan titik mula ini. Apa pun alasannya, mereka berkeinginan untuk menjadikan wajah Indonesia serupa dalam konteks pemikiran yang mereka perjuangan. Gus Dur sendiri mengatakan bahwa hal ini bisa terjadi karena adanya “Para agen garis keras yang semuci (berlagak paling suci) dan sok tahu kehendak Tuhan untuk semua manusia, sangat bernafsu untuk mengatur setiap aspek kehidupan manusia dengan pemahaman mereka yang terbatas, kaku, relatif, dan tidak manusiawi.” Lebih lanjut lagi, tentang mereka dengan fanatisme sempit ini, Gus Dur berpandangan demikian, “Pemahaman dan

keberagaman kelompok-kelompok garis keras sangat jauh berbeda dibandingkan pemahaman dan keberagamaan umat Islam moderat. Pada satu sisi, sebagai akibat dari interpretasi literal, sempit, dan terbatas atas ajaran Islam, mereka lebih menekankan keberagamaan lahiriah dan abai terhadap yang batiniah.” Satu pemahaman yang dapat ditarik dari pandangan Gus Dur di atas adalah mereka yang bersikap fanatik terhadap agamanya dipengaruhi oleh pemikiran mereka yang sempit. Sikap mengagung-agungkan diri dengan demikian malah justru menciderai kemanusiaan. Orang menjadi tidak peka dengan manusia lain, dengan mudah dapat melakukan tindak kekerasan dan persekusi terhadap orang lain.

gusdurpedia edisi XIV September 2021


17

Pertanyaannya: Mengapa perjumpaan menjadi sesuatu yang penting? Tidakkah cukup kesadaran itu? Jelas tidak cukup. Kita butuh perjumpaan. Menjadi Saudara bagi “Yang Lain” Tentu, yang mau diajak oleh Gus Dur adalah disposisi untuk menjauhi sikap-sikap fanatis dan sebaliknya, lebih mengutamakan keterbukaan terhadap orang dengan latar belakang lain. Kalau tadi kita bermula dari apa yang dinamakan keberagaman sebagai identitas bangsa, kita kemudian diajak untuk menghayatinya dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain, kesadaran itu tidak boleh tinggal hanya menjadi sebuah kesadaran saja, misalnya “Oh, tetangga saya beragama Buddha”, tetapi berkembang kepada keinginan untuk berjumpa dan bertemu sebagai saudara bagi orang lain. Pertanyaannya: Mengapa perjumpaan menjadi sesuatu yang penting? Tidakkah cukup kesadaran itu? Jelas tidak cukup. Kita butuh perjumpaan. Ada pendapat apik yang dilontarkan oleh Levinas terkait hal ini. Dalam Totality and Infinity: an Essay on Exteriority, Levinas menganggap orang sering kali

berelasi dengan “Yang Lain” dalam bentuk tematisasi atau konseptualisasi. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bahwa “Yang Lain” ditundukkan dalam konsepkonsep tertentu yang ada di pikiran saya sehingga saya tidak lagi menjadi asing dengannya. Padahal, relasi dalam rupa inilah yang kerap kali menimbulkan prasangka dan curiga. Levinas mengusulkan sebuah relasi perjumpaan. Bagi Levinas, di dalam perjumpaan, kita akan menemukan wajah “Yang Lain” yang sungguh-sungguh lain dan tidak dapat kita taklukkan dalam tematisasi kita. Di dalam perjumpaan inilah, kita sadar bahwa keberadaan “Yang Lain” menginterupsi “kenyamanan” kita. Ia hadir dan seolah bertanya, “Apa yang dapat kamu perbuat untukku?”. Saat itulah terjadi apa yang oleh Levinas dinamakan sebagai momen etis. Tentu, menurut saya, apa yang dimaksud oleh Levinas ini tidak berarti bahwa orang lain itu mengganggu hidup saya. Islam Setuju Kemiskinan?


18

Orang tidak dapat dikatakan sungguhsungguh beragama dan menghayati imannya pada Tuhan apabila ia masih melakukan kekerasan terhadap sesama manusia. Bukan tentang itu. Yang lebih ingin dimaksud olehnya, pertama, adalah bahwa orang yang berbeda dengan kita itu tetap akan tinggal dalam perbedaannya. Seperti yang dikatakan Gus Dur, perbedaan akan tetap ada dalam keberagaman kita. Dan, justru itulah sebetulnya identitas dan kekuatan kita. Kedua, untuk itu, dalam berelasi dengan mereka yang berbeda latar belakang itu, janganlah kita menggunakan asumsi dan prasangka, melainkan sungguh berjumpa dengan orang lain dalam hidup harian. Perjumpaan itulah yang, sekali lagi, akan mengikis asumsi-asumsi yang tidak penting. Ketiga, dalam perjumpaan itulah kita kemudian dapat merasakan “sense of responsibility” terhadap orang lain. Misalnya saja, masih kita jumpai hingga saat ini orang-orang yang kesulitan berdoa karena tidak memiliki tempat ibadah. Atau, kalaupun mereka dapat berdoa, mereka kerap kali tidak merasa nyaman karena takut diganggu oleh oknum-oknum tertentu. Terhadap fenomena

demikian, apa yang dapat saya lakukan terhadap “Yang Lain” itu? Mungkin, kata kunci yang dapat ditawarkan dalam relasi dengan mereka yang memiliki latar belakang lain adalah “menjadi saudara bagi yang lain”. Seorang saudara tidak akan pernah memperhitungkan apa latar belakang saudaranya sendiri. Lebih-lebih, ia tidak akan diam ketika saudaranya sedang susah dan menderita. Ia akan berbuat sesuatu untuk meringankan bebannya. Merasakan Jejak Yang Ilahi Apa yang menurut saya lebih indah dari merefleksikan relasi antar-manusia adalah bahwa relasi itu tidak hanya berhenti sampai pada tingkat horizontal. Di dalamnya sekaligus kita dapat menemukan relasi yang sifatnya vertikal, yakni dengan Tuhan sendiri. Dalam refleksi Levinas, ia mengatakan bahwa permenungan tentang Tuhan bukanlah pertama-tama tentang konsep, melainkan jejak-jejakNya dapat ditemukan dalam

gusdurpedia edisi XIV September 2021


19

bentuk pertanggungjawaban kita terhadap “Yang Lain” tadi. Tentu, kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa “Yang Transenden” itu adalah “Yang Lain”. Sama sekali berbeda. Dengan kata lain, Levinas ingin menolak sebuah usaha menundukkan “Yang Transenden” sebagai sebuah realitas dalam pemahaman tertentu. Baginya, “Yang Transenden” menjadi konkret dalam ranah etika. Ini berarti bahwa hasrat dan keinginan manusia untuk mengetahui, berelasi, dan dekat dengan “Yang Transenden” terwujud nyata dalam tindakan dan tanggung jawabnya terhadap “Yang Lain”. Apa yang dikatakan Levinas ini saya rasa kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan oleh guru besar filsafat, Franz Magnis-Suseno dalam sebuah orasi ilmiah berjudul “Agama, Kebangsaan, dan Demokrasi”. Beliau menarik sebuah implikasi dari pernyataan Nurcholish Madjid: “Islam adalah agama kemanusiaan terbuka”. Salah satu implikasi yang diambil oleh beliau adalah bahwa apabila manusia merendahkan manusia (ciptaan) lain, maka ia juga merendahkan Tuhan yang menciptakannya. Dan, apabila manusia peduli dan berbuat baik kepada manusia lain yang membutuhkan, maka ia juga bersikap baik kepada Tuhan. Saya pikir, inilah yang disebut

bahwa iman kepada Tuhan akan menjadi nyata dalam relasi kita dengan orang lain. Orang tidak dapat dikatakan sungguh-sungguh beragama dan menghayati imannya pada Tuhan apabila ia masih melakukan kekerasan terhadap sesama manusia. Iman sebagai sesuatu yang tidak kelihatan sungguh berubah menjadi tampak ketika kita berelasi dengan orang lain. Apakah keberagaman menjadi penghalang bagi saya untuk berelasi dengan orang lain? Menurut saya, persis di sanalah iman akan mendapatkan ujiannya. Bila kita kembali ke pemikiran Gus Dur tentang dialog dan keberagaman, relasi kita dengan orang lain yang berbeda latar belakang tentulah tidak akan menghalangi kerjasama yang mungkin terbangun di antara kita. Beliau sendiri menuliskan, “Kalau kita bersikap demikian (tidak menerima ajaran agama orang lain), hal itu sebenarnya wajarwajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan/akidah. Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu (Gus Dur memberi contoh: Islam, Yahudi, dan Kristen) untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi.” Dengan demikian, berbicara tentang warisan pemikiran Islam Setuju Kemiskinan?


20

Gus Dur, terutama mengenai persaudaraan, saya rasa kita semua diingatkan akan identitas bangsa yang akan sepanjang masa kita gulati terus-menerus. Identitas itu adalah bahwa kita semua beragam. Tidak berhenti pada kesadaran itu saja, kita juga diundang untuk mengusahakan dialog dan perjumpaan aktif dengan sesama kita yang berbeda latar belakang tadi. Harapannya, kita akan dapat mengikis asumsi yang belum tentu benar tentang orang lain dan menutup ruang gerak mereka yang dengan fanatik ingin memperjuangkan pikiran sempit yang ingin menyeragamkan bangsa ini. Di dalam persaudaraan dan kerja sama yang baik dengan sesama itulah, pada akhirnya, dalam agama kita masing-masing, kita dapat menghayati keberadaan dan jejak-jejak tentang Dia yang menjadi tujuan kita bersama, yakni Tuhan sendiri.

(Tulisan ini merupakan esai yang dibuat dalam rangka Haul Gus Dur ke-10 di Malang tahun 2020)

gusdurpedia edisi XIV September 2021


Resensi Buku

Menjerat Gus Dur Judul : Menjerat Gus Dur Tahun : 2019 Penulis : Virdika Rizky Utama Penerbit : PT. NUMEDIA Digital Indonesia Halaman : xxi+376 halaman Genre : Nonfiksi Peresensi : Hikmah Imroatul Afifah

P

ada penghujung tahun 2019, sempat ramai karena terbitnya buku berjudul “Menjerat Gus Dur”. Buku yang ditulis oleh Virdika ini telah memasuki cetakan ketiga per Mei 2020. Secara garis besar, buku ini menjelaskan sebabmusabab pemakzulan Gus Dur sebagai Presiden RI kala itu. Buku ini terdiri dari 7 bab utama. Dimulai dari awal orde baru yang dijelaskan pada bab pertama, Virdika berhasil menarasikannya dengan runtut. Pilihan penulis untuk mengawali buku ini dengan sejarah orde baru, disusul era Habibie, kemudian berturut-turut memaparkan


22

Jika ditarik mundur ke belakang, tragedi jatuhnya Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari kroni-kroni orde baru (orba)—termasuk anak-anak Soeharto—yang masih bertebaran di mana-mana. proses terpilihnya Gus Dur menjadi presiden dan segala polemiknya, hingga “jatuhnya” Gus Dur, menurut saya sudah tepat. Merunutkan keping-keping sejarah secara runtut akan sangat membantu proses berpikir analitis para pembaca. Sumber sejarah yang digunakan dalam buku ini pun tak main-main. Beberapa pelaku sejarah berhasil diwawancarai oleh penulis. Selain itu, dokumendokumen penting terkait proses pemakzulan Gus Dur pun berhasil didapatkan. Jika ditarik mundur ke belakang, tragedi jatuhnya Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari kroni-kroni orde baru (orba)— termasuk anak-anak Soeharto— yang masih bertebaran di manamana. Mereka yang terkungkung dalam zona nyaman antidemokrasi ini pun berusaha menggembosi Gus Dur dari berbagai arah. Tidak cukup menghasut Megawati –yang merupakan barisan sakit hati karena kekalahan pilpres—upaya menjatuhkan

presiden juga ditempuh lewat massa islam radikal. Fuad Bawazier juga memanfaatkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) connection dan media massa untuk menggiring opini buruk tentang Gus Dur. Presiden dituduh melakukan KKN dan tindakan inkonstitusional. Apabila ditelisik lebih lanjut, semuanya bermula saat Gus Dur memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Semenjak kejadian itu, presiden dihadapkan pada dua kekuatan politik terbesar di DPR, yakni Golkar dan PDIP. Merasa tidak terima atas pemecatan tersebut, juga hal-hal lainnya seperti penegakan supremasi sipil, pencabutan dwifungsi ABRI, mengganti pejabat yang KKN, pembubaran departemen yang dianggap lumbung korupsi; Golkar, PDIP, dan poros tengah yang dulu mendukung pencalonan Gus Dur, justru berbalik arah menyerangnya. Tindakan menjijikkan para elit politik tersebut juga melahirkan istilah

gusdurpedia edisi XIV September 2021


23

yang kita kenal sebagai Buloggate dan Bruneigate. Tuduhan tersebut yang digoreng oleh Arifin, Fuad, dan kawan-kawan untuk menjatuhkan presiden dengan alasan presiden telah melakukan KKN dan melanggar sumpahnya. Lantas keadilan sejarah berbicara bahwa tuduhan tersebut tidak terbukti pada akhirnya. Rentetan sejarah mulai dari Memorandum I, Memorandum II, dekrit presiden, hingga sidang istimewa MPR, sejatinya memberi pelajaran bagi kita. Sikap heroik Gus Dur yang menolak tawaran dukungan massa dengan syarat penerapan mutlak syariat islam di Indonesia seolah mengingatkan kita bahwa kepentingan negara dan umat harus didahulukan daripada ambisi untuk berkuasa. Tragedi kelam pemakzulan presiden kala itu harusnya juga menyadarkan kita bahwa ada yang salah dengan politik identitas—yang dimotori dan ditandai oleh Amien Rais beserta kawan-kawan islam politik. Sebagai sebuah karya, tentulah maklum jika ada satu dua kekurangan di dalam buku ini. Salah ketik, ketidaktepatan penempatan tanda baca, dan beberapa narasi yang serupa catatan mentah hasil rapat ala aktivis organisasi, semoga lebih diperhatikan ke depannya. Terlepas dari satu dua kekurangan buku MGD ini, penulis patut untuk diacungi jempol. Semoga ini bukan akhir dari perjalanan mengungkap sejarah. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Agar kita bisa belajar dari awan gelap masa lalu. Supaya media massa kita lebih beretika agar iklim politik kita tidak stuck di situ-situ saja. Tentunya, pun agar demokrasi menemukan makna sejatinya. Sumber: http://www.perempuanmembaca. com/2020/07/resensi-buku-menjerat-gus-durvirdika.html Islam Setuju Kemiskinan?


Nenilai Oleh: Alissa Wahid

B

udayawan Mochtar Lubis pernah menggambarkan potret Manusia Indonesia dengan sikap munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, suka takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Setelah empat dekade, masihkah nilainilai tersebut yang menghidupi manusia Indonesia? Saya membaca laporan sebuah inisiatif bertajuk Nenilai yang mencoba melakukan pemetaan nilai-nilai kini Indonesia. Bekerja sama dengan Bappenas, Nenilai menjangkau 50.452 orang dari berbagai penjuru Indonesia melalui survei daring sepanjang JuliDesember 2020. Responden terdiri


25

Sebagaimana Maslow, Barrett meyakini bahwa manusia akan berfokus pada pemenuhan setiap jenjang sebelum dapat meningkat ke jenjang berikutnya. dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, petani, dan pekerja korporat/BUMN. Sebanyak 39.053 adalah responden milenial. Nenilai menggunakan Barret Value Model untuk mengukur kecenderungan nilai-nilai. Model ini dikembangkan oleh Richard Barret dari teori Maslow dan beberapa teori lain, yaitu PERMA besutan Martin Seligman, SelfDetermination Theory, dan lainlain. Model ini telah digunakan oleh puluhan negara untuk melakukan pemetaan nilai-nilai yang berkembang dan diharapkan dalam masyarakatnya. Barret merumuskan kerangka 7 Jenjang Kesadaran yang dimulai dari tingkat terendah, yaitu Kelangsungan Hidup (Survival), diikuti tingkat kedua berupa Hubungan (Relationship), lalu Penghargaan Diri (Self-Esteem), Transformasi (Transformation), Menemukan Jati Diri (Internal Cohesion), Memberi Sumbangsih (Making a Difference), dan Berdarma-bakti (Service). Sebagaimana Maslow, Barrett meyakini bahwa manusia akan

berfokus pada pemenuhan setiap jenjang sebelum dapat meningkat ke jenjang berikutnya. Tiga jenjang pertama membentuk kelompok Kebutuhan Diri, sedangkan tiga jenjang teratas membentuk kelompok Nilai Kebaikan Bersama. Jenjang Transformasi berada di tengah antara dua kelompok nilai. Responden diminta untuk memilih 10 nilai dari daftar berisi 60-70 nilai yang terbagi dalam kategori Nilai Positif dan Nilai yang Berpotensi Menghambat pertumbuhan. Ada tiga segmen nilai: Nilai Pribadi yang diyakininya untuk diri sendiri; Nilai Budaya Bangsa yang menonjol saat ini; dan Nilai Budaya Bangsa yang dianggapnya penting untuk mencapai cita-cita bangsa. Rangkuman data dari puluhan ribu responden ini diolah untuk membaca peta kondisi Indonesia saat ini. Sungguh menarik membacanya. Pada Nilai Pribadi saat ini, muncul sesuai urutan tertinggi: tanggung jawab, hidup sederhana/bersahaja, dipercaya/ percaya, adil, dan disiplin. Pada Nilai Budaya Bangsa saat Islam Setuju Kemiskinan?


26

ini (Current Culture), ditemukan sesuai urutan tertinggi: Gotong Royong, Birokrasi/Aturan Berbelitbelit, Berpegang pada Aturan Agama, Korupsi, Keberagaman, Demokrasi, Diskriminasi SARA, Dominasi Kaum Elite/Golongan Atas, Berpikir Jangka Pendek, dan Hak Asasi Manusia. Kita bisa melihat, lebih banyak budaya bangsa yang berpotensi menghambat pertumbuhan di dalam daftar budaya bangsa saat ini. Mudah bagi kita mengamininya dengan bukti anekdotal yang ada. Tetapi, tentu kita tidak bisa menganggap ini sebagai hal yang lumrah dan dibiarkan apa adanya. Pada Nilai Budaya Bangsa yang diharapkan, ditemukan sesuai urutan tertinggi: Adil/ Keadilan, Keadilan Sosial, Hak Asasi Manusia, Gotong Royong, Demokrasi, Berpikir Jangka Panjang, Bertanggung Jawab, Integritas/Kejujuran,

Kemakmuran, dan Hidup yang Berkualitas. Laporan resmi Nenilai menyimpulkan tiga poin penting. Pertama, terdapat perbedaan antara nilai yang dipegang teguh secara perorangan dan budaya bangsa saat ini. Ini mengindikasikan adanya ketidakselarasan antara nilai pribadi warga bangsa dan budaya bangsa yang terbentuk. Apabila tidak terkelola dengan baik, disosiasi ini bisa berujung pada berbagai persoalan lanjutan. Kesimpulan kedua adalah bahwa beberapa budaya harapan bagi bangsa (nilai masa depan) telah muncul dalam nilai budaya bangsa saat ini, yaitu Gotong Royong, Demokrasi, dan HAM. Ini menjadi modal sosial yang cukup baik untuk mendorong ke pertanyaan, bagaimana kita memastikan bahwa budaya bangsa yang diidealkan tetapi belum

Kita bisa melihat, lebih banyak budaya bangsa yang berpotensi menghambat pertumbuhan di dalam daftar budaya bangsa saat ini. Mudah bagi kita mengamininya dengan bukti anekdotal yang ada. Tetapi, tentu kita tidak bisa menganggap ini sebagai hal yang lumrah dan dibiarkan apa adanya. gusdurpedia edisi XIV September 2021


27

dominan di masa sekarang, dapat mulai ditumbuhkan. Kesimpulan ketiga terkait dengan angka Entropi Budaya yang tinggi, yang ditunjukkan oleh banyaknya budaya bangsa yang menonjol, tetapi dipandang berpotensi menghambat pertumbuhan atau kemajuan. Masyarakat disebut sehat jika angka entropi budayanya berada di bawah 13 persen, sebaliknya disebut punya masalah besar jika berada di atas 29 persen. Hasil Indonesia adalah 42 persen, yang mengindikasikan kondisi kritikal dalam budaya bangsa kita, setidaknya dalam pandangan puluhan ribu orang. Nilai Berpegang Teguh pada Aturan Agama, yang menjadi budaya bangsa terbesar ketiga di masa kini, tidak masuk dalam 10 besar budaya harapan bangsa. Bisa jadi, ini karena pemahaman keagamaan yang berkembang akhir-akhir ini lebih menitikberatkan pada ritual keagamaan belaka, tidak pada nilai-nilai esensial agama. Misalnya, nilai keadilan dan beberapa nilai yang sejatinya adalah nilai universal yang ada pada semua agama pun menjadi lepas dari Nilai Berpegang teguh pada Aturan Agama. Ini juga dipengaruhi oleh berkembangnya praktik beragama yang eksklusif dan bahkan diskriminatif atas dasar mayoritarianisme agama.

Riset Nenilai memberikan ruang refleksi yang penting bagi kita sebagai bangsa. Disosiasi antara nilai pribadi dan budaya bangsa menjadi PR untuk kita kelola. Demikian juga PR untuk merintis budaya harapan bangsa sejak sekarang karena dari 10 harapan, saat ini baru 3 yang kita rasakan saat ini. PR kita terbesar adalah mengikis budaya bangsa yang menghambat kemajuan, agar kemunduran budaya bangsa (entropi) tidak semakin parah. Kita perlu bersungguh-sungguh untuk melakukan upaya rekayasa sosial, untuk memastikan bangsa ini tidak bergerak mundur menjelang peluang bonus demografi dan bahkan 100 tahun Indonesia. Bagaimana mungkin menjadi Indonesia Maju jika entropi budaya bangsa kita menunjukkan arah Indonesia mundur? (Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 5 September 2021)

Islam Setuju Kemiskinan?



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.