Edisi: 9/Oktober/X/2019
KOLOM GUS DUR
Salahkah Jika Dipribumikan?
I
slam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mulamula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki. Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain. Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri. Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah. Kalau di bidang politik, termasuk doktrin kenegaraancdan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dicbidang-bidang lain, pendidikan,
“Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidangbidang lain.”
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
2
Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang? Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini? Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian. Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan? *) Tulisan ini pernah dimuat Tempo, 16 Juli 1983 Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/60814/ salahkah-jika-dipribumikan Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
edisi 9/oktober/x/2019
budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputusputus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam. Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh, Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat. Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’: yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah. Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya. Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayupsayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
KATA GUSDURIAN
Konspirasi Oleh: Alissa Wahid Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia
Sumber: YouGov
D
gusdurpedia: gus dur dan islam
alam hitungan jam setelah Menkopolhukham Wiranto ditusuk pada perutnya di Pandeglang, kanal-kanal media sosial dibanjiri spekulasi. Bertebaran tuduhan bahwa ini hanyalah rekayasa dalam berbagai versi, semisal soal baju yang tidak sobek, peluit polisi yang berbunyi, jarak waktu penusukan dengan perban, dan sebagainya. Puncaknya adalah framing teori konspirasi: rekayasa ini adalah bagian dari proyek berjualan radikalisme dan mengkambinghitamkan kelompok agama tertentu. Sejak teknologi informasi, khususnya media sosial, semakin canggih, teori konspirasi juga semakin membanjiri. Ini sejalan dengan menderasnya kabar palsu terutama terkait dengan kontestasi kekuasaan dan politik. Konspirasi memang telah menjadi salah satu elemen penting untuk melakukan rekayasa sosial sejak awal sejarah manusia. Persekongkolan biasanya melibatkan pihak atau tokoh yang memiliki kekuasaan, dilakukan secara rahasia, dan berkaitan dengan pencapaian tujuan tertentu. Salah satu contoh klasiknya adalah Watergate di Amerika Serikat, dan dari tanah air adalah lakon konspirasi Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung di kerajaan Kediri. Karena rekaman sejarah konspirasi inilah, berkembang berbagai teori konspirasi. Berbeda dengan konspirasi yang hampir selalu dibuktikan dengan laporan investigasi yang mendalam, teori
konspirasi biasanya dihembuskan sebagai analisis tanpa bukti yang memadai dan membawa pesan sentimen emosi yang lebih intens. Teori konspirasi menuduh sebuah peristiwa terjadi karena ada konspirasi untuk mencapai tujuan tertentu. Alih-alih membuktikan konspirasi tersebut dengan analisis mendalam dan faktual, teori konspirasi lebih banyak berfungsi sebagai alat propaganda untuk agenda sendiri atau untuk menyerang musuh. Karena itu, begitu teori konspirasi ini menyebar, tidak ada upaya untuk membuktikan klaim-klaim dalam teori konspirasi ini. Yang terpenting, sentimen publik sudah dipengaruhi seperti pada kasus teori konspirasi Ratna Sarumpaet (sebelum terekspos). Atau teori konspirasi masuknya jutaan pekerja Tiongkok di Indonesia yang viral tapi tidak pernah dibuktikan secara konklusif. Bila pun ada upaya menjelaskan, biasanya tidak disertai dengan bukti, namun lebih bersifat analisis abstrak dan bias. Contohnya teori konspirasi The Great (White) Replacement, tentang adanya persekongkolan besar atas nama multikulturalisme untuk menggantikan populasi kulit putih dengan kulit berwarna di negara-negara dominan kulit putih di Eropa Utara dan Amerika Utara. Teori konspirasi ini tidak pernah dianalisis menyeluruh dan ditemukan fakta-fakta pendukungnya, tetapi tetap diyakini sebagai kebenaran. Apa yang menyebabkan banyak orang, bahkan kaum sekolahan sekalipun, mempercayai teori konspirasi? Barkun (2003) menyimpulkan bahwa teori konspirasi dapat memengaruhi publik karena beberapa hal. Pertama, teori konspirasi membuat hal-hal yang sulit dijelaskan secara faktual menjadi ‘jelas’. Kedua, teori konspirasi menyederhanakan situasi
3
kan, adalah sejenis hoax yang menyesatkan dan membahayakan. Beberapa hari lalu, James Fetzer diganjar Pengadilan Wisconsin AS untuk membayar sejumlah $450,000 (empatratus limapuluh ribu dollar AS) kepada Leonard Pozner setelah Fetzer menyatakan bahwa Pozner memalsukan surat kematian anaknya, Noah (6). Noah adalah salah satu dari 26 orang guru dan murid yang menjadi korban tewas dalam serangan teroris di sekolah Sandy Hook. Fetzer bersama koleganya menyebarkan teori konspirasi bahwa insiden Sandy Hook adalah rekayasa dan tidak benar-benar terjadi. Menurut Pozner, teori konspirasi itu menyakitkan para orang tua yang sedang berduka kehilangan anak-anaknya, dan bahwa para produsen teori konspirasi ini tak dapat dibiarkan melenggang begitu saja. Bagaimana dengan di Indonesia? Akankah kita sampai ke masa di mana penyebar teori konspirasi dapat diadili? Mampukah kita membekali keluarga Indonesia dengan ketrampilan berpikir kritis sehingga dapat menekan jebakan teori konspirasi? Di negara yang warganya sangat lekat dengan media sosial, ketrampilan ini sungguh menjadi sangat krusial agar jurang kepercayaan tidak makin menganga. Tulisan ini dimuat di Harian Kompas pada Minggu 20/10/2019, kolom Udar Rasa. Dimuat ulang di gusdurian.net atas ijin penulis.
“Konyolnya, orang seringkali tidak mampu membedakan berpikir kritis dengan terjebak teori konspirasi. Mempertanyakan bagaimana mungkin Menkopolhukham bisa diserang dengan sebrutal itu, tentu berbeda dengan mengklaim bahwa posisi berdiri si pelaku menunjukkan adanya rekayasa.�
4
edisi 9/oktober/x/2019
menjadi polarisasi antara pihak korban dengan pihak penjahat. Misalnya, teori konspirasi bahwa radikalisme di Indonesia adalah agenda Barat yang ingin menghancurkan Islam. Selain itu, teori konspirasi dinilai cukup sakti untuk mencuci otak publik dengan penuh kerahasiaan. Teori konspirasi menjadi alat yang mudah untuk menunjuk hidung tertuduh pelaku kejahatan. Dengan teori konspirasi, kecenderungan distorsi kognitif untuk menyalahkan orang lain secara hitam putih (ya atau tidak sama sekali) mendapatkan salurannya. Teori konspirasi mempermudah seseorang untuk menyalahkan liyan untuk persoalan-persoalan sosial. The Great Replacement, misalnya, adalah teori konspirasi yang mengilhami beberapa pelaku teror kepada kelompok non kulit putih, termasuk pelaku teror masjid An-Noor di Christchurch, Selandia Baru. Konyolnya, orang seringkali tidak mampu membedakan berpikir kritis dengan terjebak teori konspirasi. Mempertanyakan bagaimana mungkin Menkopolhukham bisa diserang dengan sebrutal itu, tentu berbeda dengan mengklaim bahwa posisi berdiri si pelaku menunjukkan adanya rekayasa. Di sinilah letak bahaya teori konspirasi yang membanjiri kanal-kanal kehidupan kita. Social distrust (ketidakpercayaan antar warga), segregasi sosial, dan konflik horizontal menjadi risiko besar akibat teori konspirasi. Padahal kuncinya cukup jelas: teori konspirasi yang beredar tanpa diserta bukti-bukti yang memadai melalui investigasi yang dapat dipertanggungjawab-
KATA GUSDURIAN
Pribumisasi adalah Kontekstualisasi Ajaran Oleh: Hairus Salim Esais
A
gusdurpedia: gus dur dan islam
wal September lalu, saya sekeluarga bersilaturahmi ke anggota keluarga yang tinggal di daerah Tegalrejo, Magelang. Kami tiba sore hari dan disapa oleh hawa pegunungan yang segar. Di teras yang asri kami disuguhi semangkok bakso dan teh panas. Ketika obrolan baru saja akan mulai, tiba-tiba terdengar gema azan. Kami, para tamu, saling berpandangan. Heran dengan suara azan tersebut karena waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 16.30. Pasti bukan azan Magrib, tapi kalau Asar mestinya sudah lebih sejam yang lalu. Tak mau larut dalam keheranan, seorang dari kami kemudian bertanya: “Ini azan apa?” “Asar, di sini memang Asarnya jam segini, karena menunggu para petani yang pulang dari sawah mereka,” tuan rumah kami menjelaskan. “Oh ya?” “Kalau azan Asar dibuat tepat waktunya, para petani tanggung pulang, karena mereka baru saja turun ke sawah setelah istirahat makan siang dan salat zuhur. Jadi sekalian diundur sampai setengah lima. Dengan pengunduran itu, para petani pulang, mandi dan langsung ikut berjamaah.” Kami semua mengangguk dan bisa menerima penjelasan tersebut. *** Kawasan Tegalrejo, tempat anggota keluarga kami tinggal, memang merupakan kampung santri. Kebanyakan penduduknya adalah petani. Pada pagi hari mereka akan turun ke sawah hingga waktu zuhur tiba. Setelah itu mereka akan salat dan makan siang, kemudian lanjut lagi mengerjakan sawah. Benar kata tuan rumah kami, jika mereka mengikuti waktu yang ditetapkan sebagai ‘awwalu waqtin’ salat Asar, waktu mereka jadi tanggung. Mungkin setelah itu, mereka sudah malas turun ke sawah lagi. Dengan demikian, akan banyak waktu terbuang. Kemungkinan kedua, mereka akan terus bekerja dan mengabaikan ajakan salat berjamaah. Kedua kemungkinan itu sama tidak
menguntungkan. Yang pertama, mereka memang akan salat tepat waktu dan berjamaah, tetapi dari segi ekonomi akan kehilangan banyak waktu fungsional untuk bekerja dan beroleh penghasilan. Yang kedua, mereka akan betul-betul abai untuk salat berjamaah, bahkan mungkin kewajiban salat secara umum. Untuk menghindari dua kemungkinan mudarat demikian, maka akhirnya mereka bersepakat untuk mengundurkan waktu salat lebih dari sejam. Dengan keputusan itu, mereka tetap bisa bekerja dan memanfaatkan waktu yang tersisa. Sekaligus dengan itu mereka tetap bisa salat Asar berjamaah, tetap dalam keguyuban dan kohesivitas warga. Keputusan memundurkan waktu salat asar ini barangkali bisa kita sebut suatu bentuk pribumisasi Islam. Pribumisasi, karena ia merupakan suatu ikhtiar untuk mengontekstualisasikan Islam dalam ruang dan waktu sosiologis masyarakatnya yang petani dengan siklus kehidupan petaninya. Ia ingin membuat Islam konstektual, tidak terasing dan mengasingkan, tidak menjauhkan tapi tetap mendekatkan, antar masyarakat, dengan ajaran, dan dengan kehidupan. Pada kenyataannya, sama sekali tak ada prinsip yang dilanggar dengan keputusan tersebut. Memang mereka tidak beroleh hikmah pahala sunnah salat ‘fi awwali waqtiha, tetapi itu semata soal kecil dan hanya jadi obsesi mereka yang tergila-gila dengan pahala. Tetap mendudukkan Islam sebagai suatu yang kontekstual dan sekaligus ‘memudahkan’, bukan merepotkan, jauh lebih penting secara teologis dan sosial dari pada mengejar pahala sunnah. Kita sebut sebagai bentuk pribumisasi karena hal ini hanya khas dan relevan di perkampungan petani tersebut. Ia tidak bisa dibawa dan diterapkan ke kawasan-kawasan Islam yang lain begitu saja, kecuali ada konteks sosial yang kurang lebih mirip. Ketika konteks sosial ini berubah, misal pertanian tidak lagi menjadi basis ekonomi,
5
6
bentuk pribumisasi Islam? Pertama, kita sebut sebagai bentuk pribumisasi Islam, karena salam ini jelas khas Indonesia. Sejauh ini, tak ada laporan salam sejenis ada dipraktikkan di negara-negara lain, termasuk di negara berbasis masyarakat Islam. Di Indonesia, pertemuan-pertemuan sosial –mulai tingkat RT hingga level nasional--yang melibatkan orang dari beragam agama, sangat tinggi dan intensif. Masyarakat Negara lain, karena latar yang berbeda, mungkin tidak membutuhkan salam seperti ini dan mungkin juga tidak tahu ada salam seperti ini. Berbeda dengan kasus ‘pengunduran waktu salat’, yang bersifat lokal, salam yang khas Indonesia ini, memiliki skala nasional, meski demikian ia –sekali lagi—tidak ditemukan di Negara-negara lain. Kedua, ia merupakan suatu respon terhadap keadaan di mana penduduk Indonesia majemuk secara keagamaan. Namun dalam tingkatan yang paling sederhana, yakni ucapan salam, kemajemukan ini tidak diakui dan keberadaan ‘yang lain’ seolah tidak ada. Yang ada adalah salam nasional, seperti ‘selamat pagi’ atau ‘selamat siang’, lalu diiringi dengan salam Islam: ‘assalamu ‘alaikum wr.wb’. Pada umumnya, umat lain memilih diam dan tak jarang memaksakan diri untuk mengucapkan ‘assalamu ‘alaikum’. Ucapan salam dalam berbagai bentuk ini, dengan demikian, merupakan sebuah pengakuan, suatu ‘recognition’, yang menjadi prinsip dasar dalam masyarakat yang disebut multikultural. Meski pengakuan itu baru bersifat sosial, dan belum tentu menyentuh pengakuan yang lebih luas, misal secara hukum, politik, dan lain-lain. Ia adalah praktik nyata bahwa kemajemukan itu fakta dan persatuan dalam perbedaan adalah kebutuhan. Ketiga, kenyataan bahwa tokoh-tokoh (beragama) Islamlah yang mengambil inisiatif, dan kemudian ikut menggunakan dan menyebarkan salam tersebut, itu menunjukkan dengan cara mereka –yakni secara kultural—melakukan pribumisasi Islam, suatu bentuk penafsiran sosial atas Islam. Keempat, pada kenyataannya, tak ada prinsip keagamaan yang dilanggar dalam praktik salam tersebut. Karena salam tersebut dipraktikkan dalam kegiatan sosial, aktivitas keduniawian, bukan dalam praktik ritual. Dalam banyak hal, pengiyaan terhadap praktik salam ini justru menunjukkan
edisi 9/oktober/x/2019
bisa jadi ‘pengunduran’ waktu salat ini sudah tidak relevan lagi. Pribumisasi di sini jelas merupakan reaksi pada situasi sosial. Ia bukan diada-ada, tetapi memang harus segera ada. Yang jelas pandangan keagamaan yang melatari cukup kuat untuk mendukung keputusan ini dan tak mempersoalkannya, apalagi menganulirnya. Pribumisasi, yang menunjukkan sifat lunak dan elastis dalam beragama, dengan demikian, adalah suatu bentuk kedewasaan beragama. *** Pada suatu hari saya menghadiri suatu acara di sebuah kantor pemerintah. Pejabat yang menyambut dalam acara itu, seperti biasa membuka dengan salam: “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Tetapi kemudian ia menyambung dengan beberapa salam lagi seperti: “Salam sejahtera”; “Om Swastyastu”; “Namo Buddhaya”; “Rahayu”. Saya sudah kenal dengan rentetan salam tersebut. Bahkan kalau boleh mengklaim, saya cukup tahu awal pertumbuhan dan perkembangannya. Yang baru saya sadari, salamsalam itu kini dipakai secara resmi di kantor-kantor pemerintahan. Seingat saya, dulu salam ini dikembangkan oleh kalangan aktivis antaragama dan antariman. Semula hanya dua salam: “Assalamu ‘alaikum” dan “Salah Sejahtera”, untuk memberi salam kepada umat Kristiani. Tetapi ketika juga ada kalangan umat Hindu dan Buddha yang terlibat, maka salamnya bertambah dengan “Om Swastyastu” dan “Namo Buddhaya”. Belakangan, bentuk salamnya bertambah lagi dari kalangan penghayat, yakni “Rahayu”. Kenyataan bahwa kini salam ini telah meluas dipakai di kalangan pemerintahan, seniman, olahragawan, dan secara umum pertemuanpertemuan yang melibatkan beragam kalangan, menunjukkan bahwa bentuk salam ini telah diterima di kalangan yang lebih luas. Menarik bahwa beberapa kalangan umat Islam ikut memperkenalkan, menggunakan, dan menyebarkan bentuk salam itu. Bahkan, seorang teman mengatakan, ketika beberapa tokoh Islam menggunakan salam tersebut, kalangan agama lain jadi merasa yakin untuk juga menggunakannya. Bisakah kasus salam ini kita sebut sebagai suatu
sifat Islam yang ‘rahmah’ bagi sekalian alam dan mengayomi orang banyak. Barangkali karena itulah, meski mungkin ada yang tak setuju dengan praktik salam ini dengan alasan sifat eklektiknya, sejauh ini tak ada ‘fatwa’ yang menghukuminya tidak boleh. *** Dari dua kasus ini, dapat ditarik beberapa refleksi. Pertama, pribumisasi adalah suatu respon sosialkontekstual yang bersifat khas, dan tak bisa ditransfer begitu saja ke kawasan lain. Dalam kasus pengunduran waktu salat, ia hanya relevan dalam masyarakat petani tersebut. Sifatnya sangat lokal sekali. Demikian juga dalam kasus salam yang beragam, ia hanya relevan di tingkat nasional, dan mungkin tidak bisa diterapkan di ‘nasion’ lain. Kedua, karena ia merupakan respon, reaksi, maka pribumisasi, pertama-tama berangkat dari praktik, bukan fatwa atau opini keagamaan. Praktik itu berjalan awalnya secara kultural dan perlahan tapi pasti diterima secara sosial oleh masyarakat pendukungnya. Pandangan keagamaan baru datang belakangan, entah dengan mengabsahkannya, atau pun mendiamkannya, mauquf. Atau bisa jadi menghukuminya salah secara keagamaan, dan berusaha merevisinya, melalui proyek
pemurnian, purifikasi keagamaan. Ketiga, pribumisasi memiliki tujuan yang melampaui dan berada di luar kerangka fiqih formal, misal tujuannya kohesi sosial. Kendati demikian, bukan berarti ia bertentangan dengan prinsip fiqih itu sendiri, yakni kemaslahatan (kebaikan). Islam sebagai agama rahmat senantiasa menyediakan ruang yang luas untuk inisiatif-inisiatif baru, termasuk dikerjakan melalui proyek pribumisasi. Keempat, pribumisasi akhirnya adalah suatu ikhtiar untuk membuat agama (Islam) selalu relevan dan kontekstual. Pribumisasi adalah konstektualisasi. Selama kehidupan berjalan dan masalah-masalah baru muncul, ikhtiar kontekstualisasi akan selalu lahir. Ia akan selalu diproduksi terus-menerus, karena di antaranya melaluinya, (agama) Islam itu hidup dan bertahan di tengah umatnya. Hairus Salim HS, Esais. Bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta.
Festival Maulid Nabi: Wujud Pribumisasi Islam di Indonesia
P
Oleh: Ashilly Achidsti Gusdurian Jogja
gusdurpedia: gus dur dan islam
erayaan maulid nabi saat ini oleh beberapa kalangan dianggap bid’ah. Bid’ah merupakan sesuatu yang diada-adakan saat ini sedangkan di zaman Nabi Muhammad dan sahabat tidak ada. Dasar pelarangan maulid nabi oleh kalangan itu diantaranya Perayaan maulid nabi saat ini oleh beberapa kalangan dianggap bid’ah. Bid’ah merupakan sesuatu yang diada-adakan saat ini sedangkan di zaman Nabi Muhammad dan sahabat tidak ada. Dasar pelarangan maulid nabi oleh kalangan itu diantaranya: Tidak ada contoh di zaman Nabi Muhammad dan sahabat. Landasan kalangan penolak adalah penjelasan dari Ibnu Taimyyah yang mengatakan “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena
mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan.”[1] Terdapat kemiripan dengan perayaan orang nasrani di setiap tahun kelahiran Nabi Isa A.S. Landasan kalangan penolak adalah penjelasan dari Imam As Suyuthi yang mengatakan “Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh dan lainnya.”[2] Penolakan perayaan maulid nabi itu berasal dari kalangan yang menafikkan perpaduan agama dan budaya. Kalangan yang secara tekstual
7
8
Haula al-Ikhtifal Bidzikra al-Maulid an-Nabawi as-Syarif.[6] Ulama itu menyebutkan 21 landasan memperkuat bolehnya pelaksanaan maulid, diantaranya: Hadis yang diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hadis dari Abu Qatadah itu menegaskan bahwa latar belakang puasa yang dijalani Rasulullah setiap hari Senin adalah ungkapan rasa syukur Rasulullah. Menanggapi hadis ini, Syekh mengatakan teks ini bermakna merayakan maulid sekalipun bentuk dan modelnya, seperti berkumpul untuk bershalawat atas Nabi, mendengarkan pujian, dan saling berbagi, tetapi inti dan maksudnya sama, yaitu memperingati maulid. Anjuran mengungkapkan rasa kebahagiaan terhadap kedatangan Rasulullah seperti yang diajarkan dalam Alquran surah Yunus ayat 58: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.� Menurut Syeikh Maliki, kehadiran Rasulullah ke muka bumi adalah rahmat yang terbesar bagi seluruh alam. Karenanya, dalam surah lain dijelaskan bahwa Rasulullah diutus tak lain sebagai rahmat bagi seluruh alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.� (QS. Al Anbiyaa [21] : 107) Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa apabila perayaan maulid nabi dilihat secara tekstual di zaman Nabi Muhammad dan para sahabat memang tidak ada yang melaksanakannya dengan bentuk sama seperti yang dilaksanakan sekarang, tetapi apabila dilihat secara esensi rupanya Nabi Muhammad sendiri sudah merayakan dan mensyukuri hari kelahirannya. Esensi dari wujud syukur Nabi Muhammad atas kelahirannya dengan perayaan maulid nabi saat ini masih mengangkat nilai yang sama, dalam bentuk ibadah. Oleh karena itu, sebenarnya perayaan maulid nabi tidaklah melanggar ajaran agama. Perayaan maulid nabi sendiri dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai kerja pribumisasi Islam. Adat istiadat serta budaya yang ada di berbagai wilayah dipadupadankan dengan nilai Islam hingga terciptalah suatu acara yang dapat mengumpulkan berbagai latar belakang manu-
edisi 9/oktober/x/2019
melihat bahwa segala hal yang dikerjakan manusia bersumber dari Al-Quran dan hadits tanpa melihat konteks yang melingkupinya. Pemahaman seperti ini sering mengaburkan perspektif agama, misalkan saja sering salah mengartikan bahwa Agama Islam merupakan segala hal yang ada di Arab. Padahal tentunya implementasi Agama Islam di Arab ketika agama ini turun sudah dikontekstualisasikan dengan budaya yang ada. Tren ini bisa disebut sebagai formalisasi Islam atau penyeragaman ajaran Islam di seluruh dunia seperti tempat pertama kali agama ini turun, Arab. Segelintir masyarakat yang ada saat ini menganggap bahwa semakin tekstual dan semakin Arab perilaku umat Agama Islam, maka semakin kaffah keimanan seseorang. Islam secara kaffah belakang semarak didengungkan. Islam secara kaffah diterjemahkan oleh sebagian orang dengan kembali ke Al-Quran dan hadits, bahkan penerapan hukum Islam atau negara Islam.[3] Jika ini yang dilakukan, maka akan ada uniformitas atau keseragaman praktik agama di seluruh dunia. Padahal, dalam beragama umat manusia tidak bisa melepaskan unsur budaya dalam peribadatannya. Gus Dur dalam tulisan mengenai Pribumisasi Islam di satu bagian dari buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan[4] menyatakan bahwa agama dan budaya di satu sisi independen, namun sisi lain saling tumpang tindih. Independen karena keduanya merupakan dua hal berbeda, agama berkaitan dengan sebuah ajaran keyakinan dan budaya identik dengan tradisi yang berlaku di suatu tempat. Keduanya saling tumpang tindih karena terdapat beberapa nilai dari agama yang sejalan dengan nilai budaya. Selain itu, agama juga dapat dijalankan di budaya yang berbeda. Hal ini bukan berarti agama yang berubah-ubah, tetapi bagaimana agama mengakomodasi faktor kontekstual di setiap budaya tanpa keluar dari hukum agama yang sudah ada.[5] Maka, tidak mengherankan apabila praktik agama di berbagai negara memiliki perbedaan karena berakulturasi dengan budaya masing-masing, contohnya perayaan maulid nabi. Jika ditilik lebih lanjut dan melihat konteks pada saat zaman Nabi Muhammad, sebenarnya memang tidak ada bentuk perayaan maulid nabi seperti yang ada di Indonesia saat ini (misalkan sekaten, maudu lompoa, dan baayun maulid), namun apakah di zaman tersebut tidak ada perayaan kelahiran Nabi Muhammad yang menjadi rahmat bagi seluruh alam? Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menulis sebuah risalah yang diberi judul
gusdurpedia: gus dur dan islam
sia. Di Indonesia setiap wilayah berbeda cara memperingatinya, seperti ada Grebeg Maulud di Surakarta dan Yogyakarta, Maudu Lompoa di Sulawesi Selatan, dan Baayun Maulid di Kalimantan Selatan. Grebeg Maulud Perayaan Maulid Nabi di Solo dan Yogyakarta dikenal dengan nama Grebeg Maulud. Grebeg berasal dari kata Bahasa Jawa yaitu gumrebeg yang berarti ramai atau riuh.[7] Dinamakan Grebeg Maulud karena diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran atau milad (Bahasa Arab) Nabi Muhammad SAW. Sejak zaman Kerajaan Demak, Grebeg Maulud terdiri dari tradisi sekaten dan gunungan. Jauh sebelum adanya Grebeg Maulud, Sekaten mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu kata sekaten mengacu pada kata sekati yang berasal dari kata suka-ati yaitu satuan berat 680 kilogram sebagai ilustrasi beratnya perangkat gamelan yang digunakan,[8] kata ini bertransformasi bentuk menjadi sekaten yang merujuk pada kata Bahasa Arab yaitu syahadatain.[9] Kata sekaten sebagai syahadatain mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Demak. Perubahan makna sejak zaman Kerajaan Majapahit hingga Demak mengakibatkan perubahan substansi.[10] Upacara yang kita kenal saat ini merupakan usulan dari Sunan Kalijaga sebagai metode dakwah Islam di Jawa.[11] Hal itu diusulkan karena melihat banyak orang Jawa menyukai pertunjukan gamelan. Sunan Kalijaga kemudian membuat satu set gamelan yang dinamakan Kyai Sekati. Pertunjukkan gamelan yang diusulkan Sunan Kalijaga diadakan di dalam masjid. Perangkat gamelan Sekati mengiringi lagu yang disukai pada zaman itu sehingga menarik perhatian masyarakat.[12] Setelah masyarakat berkumpul, maka Sunan Kalijaga menyampaikan ajaran Agama Islam. Melalui cara inilah masyarakat mengetahui ajaran Islam dan menjadi muslim tanpa paksaan. Melihat historis tersebut, Sunan Kalijaga tidak berusaha untuk membongkar kebudayaan yang sudah ada, padahal kebudayaan sebelumnya terpengaruh dari tradisi agama Budha dan Hindu. Justri sebaliknya, Sunan Kalijaga memanfaatkan ruang budaya yang ada untuk keperluan dakwah ajaran Islam. Achmad Chojim[13] menyatakan bahwa dalam upacara sekaten aktivitas budaya dan seni wadahnya tidak diubah, hanya isinya diganti dengan ajaran Islam. Bisa jadi, apabila dulu Sunan Kalijaga secara radikal menghapus seluruh budaya yang ada, Agama Islam akan mendapat banyak pertentangan dan misi
penyebaran Islam gagal. Maudu Lompoa Daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Cikoang terdapat perayaan yang khas untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, maudu lompoa. Maudu berasal dari bahasa setempat untuk menyebut kata maulid. Perayaan maudu hingga saat ini terbagi menjadi dua, yaitu maudu caddi dan maudu lompoa. Perayaan maudu secara historis melambangkan masuknya ajaran Islam di wilayah Selatan Pulau Sulawesi oleh pedagang arab.[14] Daerah pantai ini sekitar tahun 1041 H kedatangan Sayyid Jalaluddin.[15] Sayyid ini dipercaya sebagai keturunan ke-27 Nabi Muhamad SAW. Pengaruh Sayyid Jalaluddin semakin kuat dari segi pemerintahan dan keagamaan terutama karena dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhamad SAW. Hingga saat ini pun tradisi Maudu masih terus dilestarikan dan semakin meriah karena menjadi festival. Prosesi Maudu tidak terlepas dari pembacaan zikir, Al-barzanji, dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun mayoritas penduduk Desa Cikoang merupakan muslim, namun tradisi seperti penggunaan bahasa daerah selama festival dan tetap diberlakukannya Kanre Maudu sebagai sesajian tidak dihilangkan. Tidak ada keinginan untuk mengganti bahasa adat dengan Bahasa Arab meskipun mayoritas penduduk muslim. Unsur budaya yang tidak disingkirkan disini dapat dilihat sebagai simbol bahwa tidak ada keinginan untuk mencerabut akar sejarah dari masyarakat Cikoloang. Baayun Maulid Peringatan Maulid Nabi di Desa Banua Halat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan dirayakan dengan tradisi ba’ayun maulid. Ba’ayun berasal dari kata ayun yang berarti mengayun bayi dalam ayunan. Ba’ayun maulid diartikan sebagai kegiatan mengayun bayi atau anak sambil membaca syair maulid atau bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW.[16] Tradisi baayun atau mengayun anak sudah ada sebelum Agama Islam masuk ke daerah Banua Halat. Awalnya tradisi mengayun anak ini berasal dari tradisi bapalas bidan yang merupakan tradisi dengan landasan kepercayaan Kaharingan Dayak Maratus. Pada masa Kerajaan Banjar, tradisi baayun dilaksanakan untuk anak-anak keluarga kerajaan yang lahir di bulan Safar. Tradisi ini untuk melawan bala karena masyarakat
9
10
Catatan kaki
[1] Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, p. 198 [2] Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, p. 80 [3] NU Online, 2018, Pengertian Islam secara Kaffah dalam Dua Tafsir Al-Quran, diakses melalui https://islam.nu.or. id/post/read/92347/pengertian-islam-secara-kaffah-dalam-dua-tafsir-al-quran (24 September 2019). [4] Muntaha Azhari, 1989, Islam Menatap Masa Depan, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakt (P3M). [5] Marzuki Wahid, Pribumisasi Islam dan Tantangan Kontemporer: Strategi Gusdurian Mengawal Islam-Indonesia [6] Republika, 2015, Begini Hukum Maulid Nabi Menurut Tokoh Sunni Arab Saudi, diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/12/19/nzlq1h320-begini-hukum-maulid-nabi-menurut-tokoh-sunni-arab-saudi (24 September 2019). [7] https://tirto.id/grebeg-maulud-dan-cara-syiar-islam-parawali-daix (30 Agustus 2019). [8] Ichwan Prasetyo, 5 Desember 2017, GAGASAN : Sekaten, Ritual dan Dakwah, diakses melalui https://news.solopos.com/ read/20171205/525/873948/gagasan-sekaten-ritual-dan-dakwah (30 Agustus 2019). [9] Hadawiyah Endah Utami, 2011, Kidung Sekaten Antara Religi Dan Ritus Sosial Budaya, Harmonia, Volume 11, No.2 / Desember 2011, p.153-162. [10] Arif Lukmanul Hakim, 17 Maret 2014, Sekaten, Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam dalam Harian Solopos. [11] Hadawiyah Endah Utami, Op.Cit. [12] Ahmad Mulyana, 2017, Sekaten Tradition: The Ritual Ceremony in Yogyakarta a Acculturation Reality of Javanese Culture in Indonesia, International Journal of Humanities & Social Science Studies (IJHSSS) Volume-IV, Issue-II September 2017, p. 50-61 [13] Achmad Chojim, 2004, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi. [14] Muhammad Nur Abdurrahman, 10 Januari 2016, Uniknya Peringatan Maulid Nabi ‘Maudu Lompoa’ di Cikoang Sulsel diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-3114848/uniknya-peringatan-maulid-nabi-maudu-lompoa-di-cikoang-sulsel (30 Agustus 2019). [15] Wahyu Chandra, 7 February 2014, Maudu Lompoa, Tradisi Merawat Alam dari Cikoang Takalar, diakses melalui https://www.mongabay.co.id/2014/02/07/maudu-lompa-tradisimerawat-alam-dari-cikoang-takalar/ [16] Wajidi, 2014, Hubungan Islam Dan Budaya Dalam Tradisi Ba-Ayun Maulid Di Masjid Banua Halat Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Patanjala Vol. 6 No. 3, September 350 2014:, p.349-366 [17] Muhammad Iqbal, 21 Februari 2011, Beayun Maulid Masyarakat Banjar, diakses melalui nu.or.id/post/read/26895/ beayun-maulid-masyarakat-banjar (31 Agustus 2019). [18] Isti Rohayanti, 20 November 2018, Ratusan Warga Banjarmasin Meriahkan Tradisi Budaya Baayun Maulid Sambut Hari Lahir Nabi Muhammad SAW, diakses melalui https://banjarmasin.tribunnews.com/2018/11/20/ratusan-warga-banjarmasin-meriahkan-tradisi-budaya-baayun-maulid-sambut-hari-lahir-nabi-muhammad-saw (31 Agustus 2019).
edisi 9/oktober/x/2019
setempat percaya Bulan Safar merupakan bulan yang penuh dengan bala. Ba’ayun kemudian menjadi tradisi masyarakat Islam ketika peringatan kelahitan Nabi Muhammad setelah diperkenal oleh Syekh Muhamad Arsyad Al’Banjari di abad ke-17.[17] Perpaduan antara Agama Islam dan budaya terlihat dalam baayun maulud. Unsur Agama Islam seperti masjid, pembacaan Al-Quran serta pembacaan Kitab Maulid berbaur dengan tradisi yang ada sejak dulu seperti adanya piduduk serta tata cara mengayun yang berasal dari kepercayaan Kaharingan. Perpaduan ini merupakan wujud arifnya masyarakat Banua Halat untuk memasukkan ajaran agama tanpa meninggalkan budaya yang ada, meski itu bukan budaya Agama Islam. Digunakannya cara mengayun ini tidak mengurangi kesan sakral-religius karena bersamaan dengan itu, dibacakan pula syair pujian kepada Nabi Mudhammad SAW.[18] Ketiga perayaan Maulid Nabi di berbagai daerah ini memiliki benang merah yang sama, Agama Islam bukan merupakan agama yang ekslusif karena tidak meninggalkan budaya dan menjadi wadah kerukunan umat. Peringatan maulid yang menjadi tujuan wisata dapat merangkul masyarakat berbagai latar belakang dalam lingkup suka cita perayaan. Berbagai aspek terangkat dengan adanya perayaan maulid: aspek agama tidak dilanggar, aspek budaya terjaga, aspek ekonomi terangkat, dan aspek sosial bertambah erat. Tentu ini adalah wujud pribumisasi Islam yang sesungguhnya, agama dapat sejalan dengan konteks budaya yang ada sekaligus membawa suka cita. Membawa semangat maulid nabi, tidak menutup kemungkinan dengan bergantinya zaman akan mengubah bentuk dari yang ada saat ini. Kreasi perayaan maulid nabi bisa diubah dengan tidak meninggalkan hikmat ibadah seperti sholawat serta puji-pujian kepada Allah. Jika diibaratkan sebagai kacang, kulitnya bisa dikreasikan mau dikupas, direbus, atau digoreng yang penting esensinya tetap mengandung kacang. Bentuk perayaan maulid nabi bisa diubah agar semakin banyak masyarakat yang merasakan dan merayakan, namun esensi ibadahnya jangan dihilangkan. Cara pikir kontekstual dengan tidak menjauhkan agama dan budaya ini justru akan semakin memperkuat bangsa. Jika berhasil mengakomodasi budaya dalam agama, justru ada dua tameng yang melindungi suatu bangsa sehingga mencegah terombang-ambingnya negara dari efek negatif paham transnasional yang jauh dari nilai ketimuran Indonesia .