Edisi: 3/Mei/V/2019
KOLOM GUS DUR
Memahami Keadaan, Menilai Politisi Busuk
B
anyak orang dalam percakapan dengan penulis selalu menyatakan bahwa selaku mayoritas umat Islam harus berbuat. Mereka mengatakan non-muslim di negeri ini hanya berjumlah 12%. Selebihnya, yaitu 88% penduduk, dapat melakukan hal-hal yang mendasar bagi Islam semata. Mereka melupakan, bahwa kaum muslimin di negeri ini memiliki orientasi yang berbeda-beda. Orientasi ini menjadi berbeda baik karena daerah, struktur masyarakat, mata pencaharian utama maupun hal-hal lain dalam kehidupan mereka. Pada akhirnya, seluruh perbedaan itu memang tidak membuat celah berarti dalam kehidupan masyarakat muslim di negeri kita. Namun cara kehidupan masing-masing yang terjadi, kemudian “menempa� orientasi masing-masing, sehingga menjadi seseuatu yang menetap dan sulit membawa beberapa kelompok kepada cara hidup yang sama. Inilah yang meramu orientasi saling berbeda yang ada. Umpamanya saja, orang Bugis di pantai Sulawesi yang tidak dapat menembus hutan lebat, haruslah bergerak memutar dan menyimpang untuk menuju ke daerah lain, yang sama-sama berada di pantai. Sudah tentu orientasi kehidupan pantai yang mereka anut sangat berbeda dari orientasi para petani di tengahtengah pulau Jawa. Dalam perkembangan sejarah, kaum muslimin negeri ini juga terbagi antara mereka yang bergaul dengan bangsabangsa muslim lain, seperti di pusat-pusat penyiaran agama Islam, seperti Mekkah, Madinah, dan Mesir. Perbedaan itu pada akhirnya melahirkan berbagai gerakan Islam di negeri ini, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya. Kualitas hubungan NU dengan organisasi-organisasi sejenis di negeri-negeri lain, tentu berbeda dari apa yang dilakukan gerakan-gerakan lain di Indonesia.
“Dalam perkembangan sejarah, kaum muslimin negeri ini juga terbagi antara mereka yang bergaul dengan bangsabangsa muslim lain, seperti di pusat-pusat penyiaran agama Islam, seperti Mekkah, Madinah, dan Mesir. Perbedaan itu pada akhirnya melahirkan berbagai gerakan Islam di negeri ini, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya.�
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
2
orang banyak sebagai menghasilkan DPR yang korup. Dengan demikian, apa yang dihasilkan Pemilu 2004, belum-belum sudah dianggap tidak ada gunanya. Padahal, bisa saja terjadi keadaan sebaliknya. Para anggota terpilih yang memang bersih, dapat saja mendukung tindakan-tindakan reformatif dan baik, untuk menyelesaikan demikian banyak persoalan dan krisis yang bertumpuk. Karena itu, anggapan bahwa pemilu 2004 tidak memberikan hasil positif di mata penulis justru harus dipandang sebagai langkah sangat penting untuk membentuk Indonesia yang baru dan sesuai dengan keutuhan kita. Bahwa dalam proses itu cukup banyak anggota DPR yang masuk dalam kategori “politisi busuk”, tidak berarti bahwa semua orang yang terpilih nanti adalah orang-orang busuk pula. Dalam hal ini, hendaknya diingat bahwa tidak semua lembaga yang dihasilkan pemilu manapun bersih, atau juga busuk semua. Ini sudah sering terbukti dalam sejarah karena itu kita tidak perlu pesimis dalam menilai hasil pemilu itu sendiri. ***** Penulis teringat kepada Congress A.S setelah perang saudara, yang dimenangkan oleh Presiden Abraham Lincoln. Pada waktu itu ada istilah carpet bagger (orang yang tidak memperlihatkan kejujuran). Walaupun banyak anggota congress yang demikian, ternyata perundang-undangan A.S yang digunakan adalah produk dari Congress tersebut. Dengan kata lain, kalau sang Presiden memang baik, dengan sendirinya ia dapat mengatur kehidupan masyarakat yang baik pula, dan ini akan memaksakan supaya aturanaturan yang baik dapat diundangkan. Diet (parlemen Jepang) segera setelah Perang Dunia II, juga demikian. Karena “giringan” Perdana Menteri Shigeru Yoshida maka para anggota Diet yang belum berpengalaman dan yang juga memang bertindak tidak benar, akhirnya dapat mengundangkan segi-segi yang sehat yang akan menopang pertumbuhan Jepang hingga saat ini. Jadi penulis berhati-hati dengan bersikap realistis (dan tidak idealistis) dalan meninjau pemilu tahun 2004. Tapi ini memang mengharuskan kita untuk menempatkan orangorang bersih dalam daftar caleg adalah hal yang masih dapat dilakukan oleh pimpinan partaipartai saat ini. Masih ada partai-partai yang bersih, walaupun ada juga pimpinan partai yang tidak
edisi 3/mei/V/2019
Di samping ada persamaan-persamaan dasar memang juga ada perbedaan sangat besar dalam perjuangan, seperti mengenai strategi dan taktik, sumber daya manusia yang akan melaksanakannya serta sumber-sumber daya yang lain yang dipakai untuk mensukseskannya. Jadi kalau ada perbedaan dalam rumusan perjuangan, kita tidak perlu kaget dan langsung berpikir ada “penyelewengan”. Keberagamanpun lalu jadi tak terhindarkan. Hal ini sebenarnya tidak menjadi soal besar, kalau tidak dinilai sebagian orang sebagai perpecahan. Contoh dalam hal ini secara kongkret dapat disebutkan: kasus hubungan NU dan Masyumi seperti dirumuskan oleh pihak NU melalui hasil Muktamar NU di Palembang tahun 1952. Dalam Muktamar itu, NU memutuskan menjadi partai politik yang berdiri sendiri, terpisah dari Masyumi. Persoalannya adalah upaya para ulama NU untuk merumuskan kekuasaan tertinggi dalam Masyumi adalah para ulama. Namun M. Natsir, diikuti dalam oleh teman-temannya beranggapan bahwa anggota perorangan Masyumi dianggap sama suara mereka dari suara institusional, seperti pengambilan keputusan internal NU. Ketika upaya mencapai kesamaan dan kompromi antara kedua pendapat itu gagal, lalu dari kalangan “ulama kolot” di lingkungan NU gagal total, maka Muktamar NU itu memutusakn tindakan keluar dari Masyumi. Dengan demikian, terjadi “ilusi” perpecahan itu akibat suatu yang fundamental. Padahal, dalam kenyataan perbedaan yang ada itu sebenarnya masih dapat dikompromikan, jika memang sejak awal tidak dibiarkan berlarut-larut. Bahkan dengan olok-olokan yang saling bersambut dari kedua belah pihak. ***** Kita ingin merefleksikan kejadian di atas pada sikap sementara kalangan muda terhadap partaipartai politik. Mereka membuat istilah ‘politikus busuk’ dalam Pemilu 2004 ini. Tentu saja, yang dimaksudkan adalah para politisi peserta Pemilu 2004, yang secara moral telah melakukan tindakan tidak terpuji. Namun karena mereka tidak menyebut siapa orangnya, maka yang terjadi adalah penyamaaan (generalisasi) yang memasukkan semua politikus yang turut serta dalam pemilu itu sebagai orang-orang yang salah. Akhirnya publik secara memudahkan saja menganggap semua politisi sebagai demikian. Jadi dengan sendirinya pemilu 2004 belum apa-apa sudah dianggap
dapat menahan anak buah mereka dari kalangan yang tidak jujur, bahkan dari kalangan preman. Penulis yakin, para pemilih/pemberi suara akan mampu membedakan antara mana yang buruk dan mana yang baik. Di sinilah perlunya sikap berhati-hati dari kita semua, untuk begitu saja percaya pada anggapan semua politisi adalah politisi busuk. Di pihak lain, untuk menilai bahwa anggota DPR nanti mayoritasnya adalah politisi busuk, hingga hari ini pun belum kita ketahui siapa dan mana orangnya. Sebenarnya isu itu timbul dari kesimpulan partai-partai yang tadinya menuntut pengembalian penggunaan aset-aset negara untuk kepentingan
golongan/parpol, seperti Sekretariat Golkar, PPP dan PDI Perjuangan. Untuk mencegah meluasnya hal ini, kemudian istilah “politisi busuk” dioper Teten Masduki dengan ICW-nya dan terkemudian lagi oleh AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah). Penulis mengalami sendiri akibat-akibat politisi busuk dari masa pemerintahan Orde Baru, tetapi penulis yakin kita akan mampu memperbaiki hal itu. Mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? Jakarta, 5 Januari 2004 Sumber: Duta Masyarakat
KATA GUSDURIAN
Jaka Tingkir, Gus Dur dan Politik Kita Hari Ini
S
Oleh: Sarjoko Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
gusdurpedia: gus dur dan demokrasi
ultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir si Raja Jawa menjanjikan hadiah kepada siapa saja yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan yang mengklaim paling berhak atas tahta Demak Bintara. Bagi Arya Penangsang, Jaka Tingkir yang “hanya” menantu sultan Trenggana tidak memiliki hak untuk mewarisi tahta. Hadiah yang dijanjikan itu berupa sebuah kadipaten bernama Pati di pesisir utara Jawa dan hutan Mentaok di pesisir selatan. Arya Penangsang menantang duel sang penguasa Jawa itu di sebuah tempat di seberang sungai Bengawan Solo. Pada hari yang ditentukan, Arya Penangsang sudah menunggu. Namun ia merasa dilecehkan karena Hadiwijaya tidak datang. Sultan Jawa itu justru mengirim anak angkatnya bernama Sutawijaya yang masih sangat muda. Terbakar emosi, Arya Penangsang melawan bocah itu secara membabi buta. Dalam sebuah momen, Sutawijaya berhasil melukai Arya Penangsang hingga isi perutnya keluar dan adipati Jipang itu tewas. Sutawijaya memilih hutan Mentaok atas saran dari ayah kandungnya, Ki Pemanahan. Di wilayah itu, Sutawijaya membangun kerajaan yang semakin hari semakin besar. Kerajaan yang diberi nama Mataram Islam itu kemudian menyerang
kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir dan mendapat kemenangan. Pusat kerajaan Islam berpindah ke wilayah pesisir selatan. Sutawijaya kemudian memberi gelar dirinya sebagai Panembahan Senopati. Pasca kekalahan yang mengecewakan, Jaka Tingkir pergi ke Madura, tempat asal ibunya, untuk membangun kekuatan guna melakukan balas dendam kepada Sutawijaya. Setelah merasa cukup, Jaka Tingkir berangkat dengan kekuatan besar yang siap menggempur pusat kerajaan Islam Mataram. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengulas kisah ini dalam sebuah artikel di buku Membaca Sejarah Nusantara (LKiS, 2010). Alkisah, di Lamongan Jaka Tingkir bertemu dengan seorang ulama yang sangat dihormatinya. Ia diberi nasihat untuk mengurungkan niatnya menyerang Mataram. Jika alasannya adalah kemaslahatan rakyat, ada banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus menjadi raja. Nasihat itu didengar oleh Jaka Tingkir. Ia memutuskan untuk menetap di desa Paciran dan membangun kemandirian masyarakat di akar rumput melalui basis pesantren. Oleh Gus Dur, apa yang dilakukan Jaka Tingkir disebut sebagai contoh kerja nongovernmental organization (NGO) alias lembaga swadaya masyarakat (LSM). Jaka Tingkir telah
3
4
jadi pembahasan di akar rumput agar pertikaian tak kunjung usai. Mental politik devide et impera alias adu domba masyarakat oleh sebagian elite politik tentu sangat membahayakan iklim demokrasi di negara multikultural seperti Indonesia. Nasihat Ulama Kisah Jaka Tingkir mungkin akan berbeda jika di tengah perjalanan menuju Mataram ia bertemu dengan orang yang mengobarkan kebencian dan memintanya untuk menghabisi kerajaan Mataram Islam. Beruntung karena Jaka Tingkir bertemu dengan seorang ulama yang mengutamakan nilainilai kebaikan sehingga mampu meredam gejolak amarah dan mematikan kobaran api balas dendam. Politik memaafkan yang diajarkan oleh ulama tersebut nyatanya mampu mengangkat derajat Jaka Tingkir. Begitu juga sikap yang diambil oleh Gus Dur. Meski pun ia dilengserkan dengan cara yang bertentangan dengan konstitusi, ia sama sekali tidak menaruh dendam kepada lawan politiknya. Di dalam sebuah wawancara stasiun TV swasta, Gus Dur mengutarakan bahwa dirinya sudah memaafkan dan terus berhubungan baik dengan siapa saja, termasuk Amien Rais dan Megawati yang paling bertanggung jawab atas pelengseran dirinya. Politik kita hari ini membutuhkan nasihat para ulama yang menenteramkan dan kedewasaan berpolitik sebagaimana kisah Jaka Tingkir dan Gus Dur di atas. Tetapi kita memiliki beberapa tantangan yang tidak mudah. Pertama, banyak orang kini mengklaim dirinya sebagai ulama. Pada masa lalu, orang-orang yang tinggi ilmunya enggan disebut sebagai ulama. Mereka lebih memilih disebut sebagai al-faqir lil ‘ilmi atau orang yang masih membutuhkan banyak belajar. Sementara hari ini, orang bisa dengan mudah mengklaim dirinya sebagai ulama meski tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Ulama jenis ini menjadi pelecut kebencian, alih-alih meredamnya. Kedua, sikap elite politik kita yang kurang dewasa dalam berdemokrasi. Rakyat yang semestinya menjadi pihak dampingan malah dijadikan tunggangan untuk berbagai kepentingan. Para elite tidak segan-segan mengerahkan rakyat hingga membenturkan satu sama lain demi tujuantujuan kekuasaan. Karenanya kita tentu berharap agar para ulama bisa menjadi pembisik yang baik bagi pemimpin dan para elite politik kita. Kita juga berharap para elite politik kita bisa bersikap sebagai negarawan sejati. Bahwa memperjuangkan rakyat tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur politik kekuasaan. Berhentilah menyulut pertikaian dengan cara mengatasnamakan rakyat. Sumber: Detik.com
edisi 3/mei/V/2019
mencontohkan kepada generasi penerus bahwa rakyat bisa memiliki peran kepada rakyat lain tanpa melalui jalur politik kekuasaan. Ratusan tahun kemudian, peristiwa politik memilukan terjadi di Indonesia. Gus Dur yang telah menjadi presiden keempat dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sebuah sidang istimewa. Dalam situasi yang kian memanas, para pendukung Gus Dur bersiap datang ke ibu kota untuk membela. Banyak cerita di mana para pendukungnya menyiapkan skenario berani mati demi membela Gus Dur, yang konon masih memiliki hubungan darah dengan Jaka Tingkir. Namun Gus Dur menahan para pendukungnya demi mencegah terjadinya konflik horizontal. Baginya, kekuasaan tidak perlu dipertahankan dengan tetesan darah. MPR yang dipimpin Amien Rais kemudian mengangkat Megawati sebagai presiden kelima. Setelah tidak menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupan lamanya yaitu mendampingi masyarakat di akar rumput. Gus Dur tetap membela kepentingan rakyat dengan cara yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh leluhurnya ratusan tahun silam itu. Sebagai orang yang tidak berada di lingkaran kekuasaan, Gus Dur tidak pula menjadikan dirinya sebagai oposisi pemerintahan yang ada. Ia menjadi penyeimbang sembari terus melakukan pendampingan masyarakat yang membutuhkan. Sikap negarawan seperti yang ditunjukkan oleh Jaka Tingkir dan Gus Dur sangat penting untuk diteladani oleh para elite politik kita hari ini. Di tengah suhu politik yang memanas, peran elite untuk mendinginkan suasana sangat dibutuhkan. Sudah sangat lama rakyat dibenturkan demi hajatan politik kekuasaan. Setelah pemilihan selesai pun belum ada tanda-tanda situasi politik mereda. Parahnya, para elite kita bukanya menjadi juru damai, mereka justru memanfaatkan masyarakat untuk terus bertikai demi kekuasaan yang mereka perjuangkan. Berbagai statement soal kecurangan, klaim kemenangan, delegitimasi pihak penyelenggara, hoaks, dan berbagai pernyataan negatif yang menjurus pada perpecahan terus diproduksi setiap hari. Rakyat tidak diberi ruang untuk mendapatkan pendidikan politik yang baik dan membangun. Rakyat bahkan diajak untuk berpolitik penuh curiga. Jika situasi ini tidak berubah, maka demokrasi kita akan berjalan di tempat atau bahkan mundur jauh ke belakang. Cita-cita kemandirian masyarakat tidak lagi menjadi prioritas karena rakyat terusterusan dijadikan sebagai objek perebutan kekuasaan, alih-alih menjadi agen kemajuan. Sikap mendahulukan kepentingan rakyat dengan mengesampingkan dendam pribadi tidak dimiliki oleh para elite politik kita. Bahkan, kecenderungannya persoalan pribadi sebisa mungkin