Edisi: 5/Mei/V/2019
KOLOM GUS DUR
Islam: Antara Tahu dan Mengerti
D
alam sebuah pertemuan di Beirut ibu kota Lebanon penulis menjelaskan tentang perkembangan Islam di Indonesia. Ada yang bersamaan dengan perkembangan Islam dan ada pula yang berbeda. Sehingga mau tidak mau kita harus menggunakan studi kawasan Islam (Islamic Area Studies), yang secara umum dibagi enam kawasan oleh penulis, yaitu kajian Islam di kawasan Afrika Hitam, Afrika Utara, masyarakat Arab, kajian Islam di masyarakat-masyarakat Asia Selatan (Bangladesh-Nepal-Pakistan-India-Srilanka), kajian Islam di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan kajian Islam di kawasan negara-negara berindustri maju (Jepang-Korea SelatanAmerika Serikat-Canada dan negara-negara Eropa Barat). Kajian kawasan itu tentu saja empirik atau berdasarkan kenyataan yang ada. Umpamanya saja para ulama (seperti para kiai, syekh dan tuan guru) di negeri kita, yang memperkenankan para wanita penganut mereka bersalaman mencium tangan mereka. Ini tidak ada di kawasan lain, kecuali Islam di kawasan Afrika Hitam, karena kaidah hukum Islam (qa’idah fiqhiyyah) yang digunakan di Indonesia juga berbeda, yaitu “segala sesuatu tergantung pada maksudnya” (al-umur bi maqasidiha). Mustahil perempuan yang mencium tangan ulama dengan maksud yang buruk melainkan hanya untuk menghormati beliau-beliau saja. Ini tentu saja berhadapan dengan hukum agama yang formal, yaitu wanita yang bukan pasangan atau saudara –(bukan mahrom), tidak boleh bersentuhan sama sekali. Dalam uraiannya itu, penulis juga menyebutkan mendiang Syekh Abdul Halim Mahmud yang kemudian menjadi Syekh Al-Azhar menutup telinga jika mendengar seorang perempuan
“...kaidah hukum Islam (qa’idah fiqhiyyah) yang digunakan di Indonesia juga berbeda, yaitu “segala sesuatu tergantung pada maksudnya” (al-umur bi maqasidiha). Mustahil perempuan yang mencium tangan ulama dengan maksud yang buruk melainkan hanya untuk menghormati beliau-beliau saja.”
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
2
kita di satu pihak dan tentara Belanda di pihak lain. Masalahnya, kita “beruntung” pihak lawan juga terdesak dan siap berunding, yang berarti pejuang kita melihat ‘sikap mengalah’ dalam beberapa hal muncul dari pihak lain, dengan demikian perundingan dapat dilangsungkan. Dari kasus Indonesia-Belanda berlangsung teori Von Clausewitz, yaitu perundingan adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai tujuan. Keadaan di Palestina sekarang ini adalah kebalikan dari gambaran di atas. Yasser Arafat justru terlalu lemah untuk “memaksakan” perdamaian atas bangsa Palestina, sedangkan Ariel Sharon terlalu lemah untuk “memaksa” bangsa Israel agar berunding dengan pihak Palestina. Di sinilah tragisnya dan di sini pula terletak “jalan buntu” yang seharusnya dibuka untuk perundingan antara kedua belah pihak. Kita berharap “jalan tengah” yang diambil baru-baru ini, seperti inisiatif Sharon mengirim Menlu Shalom untuk berunding dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak di Roma, dikombinasikan dengan paket bantuan keuangan diajukan PM Ahmad Qorei dari Eropa Barat sebesar 2,4 Milyar dollar AS untuk pihak Palestina baru-baru ini, akan membawa kedua belah pihak kembali ke meja perundingan dalam jangka panjang. ***** Kembali ke konfrensi kerja regional yang diselenggarakan Lebret Center di Beirut tadi. Penulis menghadapi juga sebuah pertanyaan dari seorang wanita kelahiran dan berbangsa Jerman keturunan Turki, penulis di berbagai media Jerman, Dr Saliha Scheinhardt Sapcioglu,. Sebelas tahun lalu, ia melihat dengan mata kepala sendiri 37 orang intelek Turki mati secara sangat menyedihkan di lantai 12 di sebuah hotel kecil di kota Sivas, sebuah kota kecil di kawasan Timur Turki. Mereka terbakar hidup-hidup, karena seorang mubaligh lokal memerintahkan penduduk setempat untuk melakukan pembakaran tersebut. Ia berkata bagaimana dapat saya jelaskan hal itu kepada publik Jerman?” katanya dengan suara yang sangat sedih. Bahwa Islam adalah agama toleransi, sedangkan saya melihat dengan mata kepala sendiri mereka dibunuh atas perintah seorang Mubaligh lokal? Ibu Saliha itu bertanya dalam bahasa Inggris dengan suara terbata-bata kepada penulis, yang tercengang atas pertanyaan yang tidak terduga itu. Para peserta lain dan peyelenggara konfrensi kerja itu juga turut tercengang. Penulis menjawab:
edisi 5/mei/V/2019
membaca al-Qur’an dengan suara lantang di hadapan orang banyak. Beliau beranggapan suara perempuan adalah “aurat” yang tidak patut dilihat atau didengar laki-laki. Pandangan beliau yang sangat konservatif itu tentu saja tidak diikuti siapapun di negeri kita. Di sinilah perbedaan kita rasakan antara tiap-tiap kawasan dunia Islam yang harus diketahui. Demikian pula, penulis menyampaikan tentang berbagai sebab yang pada akhirnya memunculkan sikap militan di kalangan kaum muslimin (berhalauan keras) yang pada akhirnya menumbuhkan terorisme di kalangan mereka. Terorisme itu ada yang bersifat sementara, seperti terjadi di beberapa tempat, tetapi ada pula yang bersifat permanen seperti pemboman bunuh diri (suicidal bombing). Berbagai ragam teori dikemukakan orang, baik bersifat kultural, ekonomis antropologis, maupun sebab-sebab lain, namun sebenarnya perbuatan itu sendiri menunjukkan perasaan putus asa di kalangan mereka sendiri, yang justru dibesar-besarkan oleh “analisa” serba tanggung di kalangan mereka, sehingga masalahnya semakin menjadi kompleks bagi kawasan yang terkena. Dalam hal ini banyak timbul pertanyaanpertanyaan dari hadirin, terutama mengenai sikap para pejuang Palestina yang tergabung dalam Fidaiyyin, Hamas dan lain-lain. Penulis tetap pada pendirian bahwa sebenarnya perjuangan mereka berubah menjadi tindak kekerasan, karena mereka sendiri merasa “jalan lain” -seperti perundingan, dengan pihak Israel telah mencapai kegagalan total. Karena perundingan menjadi sebuah proses yang berjalan terlalu lama, kesabaran mereka habis, dan mereka hanya melihat tindak kekerasan sebagai “satu-satunya” jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kemerdekaan yang adil. Keadaan ini sama dengan yang dirasakan sebagian para pejuang kita diakhiri masa Perang Gerilya yang kita lancarkan terhadap tentara Belanda menjelang pertengahan 1949 di seluruh Indonesia. Jika seandainya LN Pallar tidak berhasil merebut simpati PBB akan perdamaian dan kemerdekaan yang kita proklamirkan pada 17 Agustus 1945, serta Hatta cs tidak berhasil “memaksa” pihak Belanda untuk berunding tentang kemerdekaan kita pada Konfrensi Meja Bundar (KMB) di negeri Belanda, tentu akan terjadi hal yang sama, yaitu terorisme dan pengunaan kekerasan, dalam hal ini antara para pejuang
Ibu harus membedakan dulu, antara tahu dan mengerti (know and understand). Dalam Islam dikenal perbedaan ini, yang tahu (arif) belum tentu mengerti (alim), demikian pula sebaliknya. Yang tahu belum tentu mengerti nilai kemanusiaan yang ada dalam jiwa seorang manusia. Sebaliknya yang mengerti tidak mengetahui bahwa pembunuhan dengan jalan membakar itu, akan merusak citra Islam dan juga merusak prikemanusiaan secara keseluruhan. Jawaban penulis itu, rupanya mengena di hati penulis wanita Turki yang sangat terkenal namanya di media Jerman itu. Ia mencium lutut penulis dan berkata terbata-bata dan menyatakan: Sudah sebelas tahun saya mencari jawaban ini, alhamdulillah saya mendapatkannya sekarang.
Penulis tercengang atas pernyataan itu, dan meminta agar supaya pimpinan Sidang Koferensi Kerja Regional yang terdiri dari berbagai bangsa tersebut merekam apa yang menjadi dialog antara penulis dan ibu Saliha dari Turki itu mengisi media Jerman secara luas, dan hasilnya dikirimkan kepada penulis di Indonesia. Mereka setuju, dan Ibu Saliha itu juga setuju untuk nantinya berkunjung ke Indonesia atas undangan penulis. Jelaslah, bahwa kita sebagai bangsa Muslim berhak memimpin dan mengarahkan dunia Islam di waktu-waktu yang akan datang. Tetapi hal itu mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? Jakarta, 17 Desember 2003 Sumber: Kedaulatan Rakyat
KATA GUSDURIAN
Merebut Narasi Islam di Dunia Maya
D
Oleh: Nur Solikhin Pegiat Komunitas Gusdurian Jogja
gusdurpedia: gus dur dan islam
alam sebuah diskusi yang dilaksanakan oleh Jaringan Gusdurian di Yogyakarta pada hari Sabtu (28/Juli/2018), dan yang difasilitatori oleh Savic Ali, penulis mendapatkan data yang menarik terkait narasi Islam dan Indonesia. Narasi Islam dan keindonesiaan sangat penting untuk kita lihat, mengingat banyak agenda kelompok tertentu yang berusaha merebut narasi Islam untuk kepentingan politik. Penulis mengatakan untuk kepentingan politik, mengingat 2019 merupakan momentum politik pergantian legislatif dan presiden. Ada data menarik yang kita diskusikan dalam forum tersebut, yaitu kita yang mayoritas mempunyai pandangan Islam yang ramah, moderat dan menghargai perbedaan dan mempunyai wawasan ke-Indonesiaan cenderung diam di sosial media. Fenomena tersebut sudah lama sebenarnya diketahui oleh banyak orang. Sehingga banyak masyarakat mengambang, atau masyarakat yang belum mempunyai wawasan keislaman dan keindonesiaan mudah terpengaruh narasi yang dibangun oleh sekelompok orang yang mempunyai agenda politik dengan menggunakan agama. Atau
kelompok yang mempunyai kepentingan untuk mengubah dasar negara Indonesia. Untuk melihat narasi yang sedang dibangun oleh sekelompok tersebut, Savic Ali memperlihatkan konten media Instagram yang diproduksinya. Savic Ali memperlihatkan perbandingan antara akun istagram orang yang mempunyai kepentingan agenda politik dengan menggunakan agama, atau memperlancarkan misi Khilafah dan akun yang mempunyai wawasan kebangsaan dan keislaman yang ramah dan lama mengakar di Indonesia. Dari simulasi melihat konten narasi yang dibangun antara dua kelompok tersebut, ada perbedaan jauh produktivitas kontennya. Akun yang mempunyai kepentingan politik dengan memanfaatkan agama dan mempunyai agenda khilafah lebih produktif untuk memproduksi konten. Sedangkan akun instagram yang mempunyai pemahaman keislaman dan keindonesiaan cenderung menjadi silent majority. Memang data tersebut tidak sepenuhnya objektif, karena kita hanya membedah beberapa akun yang kita anggap termasuk dua kelompok tersebut.
3
4
edisi 5/mei/V/2019
Merebut Narasi Islam Damai Penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Gusdurian beberapa waktu yang lalu, juga mengungkap bahwa sekarang banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk menebarkan kebencian dan provokasi. Narasi yang dibangun adalah, pemerintah sedang tidak berpihak pada kelompok Islam, atau ulama Islam dikriminasiliasai, dan narasi umum bahwa Islam sedang mendapatkan ancaman. Narasi itu sedang dibangun, bahkan melalui gerakan #2019GantiPresiden untuk melancarkan gerakan khilafah, dan kepentingan politik yang menyeret agama untuk penyedap gerakannya. Dari fenomena tersebut, sehingga harus ada kontra narasi yang mengatakan bahwa Islam sangat mencintai perdamaian dan perbedaan atau yang kita sebut Islam damai. Kita perlu banyak mengeksplorasi wawasan Keislaman yang telah lama mengakar di Indonesia yang mengarahkan pada perdamaian dan menghargai perbedaan, serta menerima dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara yang sudah final. Adapun masalah yang ada di bangsa ini, kita bersamasama untuk menegakkan melalui UUD dan produk hukum yang telah lama menjadi landasan berbangsa dan bernegara. Kita perlu memperkenalkan kembali narasi Islam Indonesia, karena banyak masyarakat mengambang yang terpikat dengan gerakan kelompok radikal. Dalam sebuah teori sosial, ada yang namanya masyarakat mengambang, atau masyarakat yang belum mempunyai wawasan yang mendalam, tidak berada dalam kepentingan tertentu dan mudah terpikat dengan narasi yang sedang muncul. Apalagi narasi yang dibangun adalah narasi agama, karena banyak orang Indonesia yang dalam perjalanannya mengalami kekosongan spiritualitas. Sehingga kita pun perlu untuk menarasikan Islam Indonesia, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Narasi yang harus dibangun untuk memperlihatkan Islam Indonesia adalah memperkenalkan Islam yang telah lama menjadi budaya hidup orang Indonesia. Jaringan Gusdurian membuat konsep narasi Islam Indonesia, di antaranya adalah karakter Islam yang menyatu dengan realitas keindonesiaan. Islam Indonesia adalah menyatukan dan mendamaikan rakyat Indonesia dalam kebhinekaan, menghargai dan menjunjung tinggi keagamaan. Sedangkan Muslim Indonesia adalah muslim yang memberi manfaat kepada sesama dalam rangka mendapatkan ridha Allah, dan akhirnya masuk surga.