Edisi: 7/Agustus/VIII/2019
KOLOM GUS DUR
Lain Dulu, Lain Sekarang
K
etika bangsa Indonesia berdiri, ada sebuah hal yang sangat menarik,yaitu istilah “merdeka”. Dengan kata yang digunakan dalam penggunaan berbeda-beda,maka didapat beberapa arti dan makna. Kata merdeka berarti lepas atau bebas. Sekarang ini, kata merdeka itu juga digunakan oleh pihak keamanan, seperti merdeka dari penahanan atau bisa diartikan bebas. Namun,kata merdeka lebih dari bebas. Bagi sebuah bangsa, merdeka berarti lepas dari penjajahan. Kata ini digunakan untuk menunjukkan kepada kemandirian politik, ekonomi,maupun lainlainnya. Merdeka secara ekonomi, berarti sama sekali tidak bergantung kepada negara lain dalam segala hal. Secara politik, berarti lepas dari penjajahan pihak lain. Contohnya, lepasnya Indonesia dari pen-jajahan kolonial Belanda sehingga bangsa kita mampu segera mengembangkan budaya politik, ekonomi, dan lainnya sendiri. Kalimat seperti negara A mampu memelihara kemerdekaan yang dicapainya, baik melalui perang maupun dengan cara berunding, merujuk kepada aspekaspek kemerdekaan itu. Inilah yang digunakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kita. Ketika almarhum Raja Ali Haji dari Riau mengubah buku Tata Bahasa Melayu, maka dengan sengaja ia telah “memerdekakan” bahasa Melayu dari bahasa Belanda. Buku ini menjadi cikal-bakal lahirnya bahasa Indonesia.
“Ketika bangsa Indonesia berdiri, ada sebuah hal yang sangat menarik,yaitu istilah “merdeka”. Dengan kata yang digunakan dalam penggunaan berbedabeda,maka didapat beberapa arti dan makna. Kata merdeka berarti lepas atau bebas.”
Diterbitkan oleh: Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Pelindung: Alissa Wahid Penanggung Jawab: Jay Akhmad Tim Redaksi: Heru Prasetya (Pemimpin Umum), Sarjoko Wahid (Pemimpin Redaksi), M. Autad An-Nasher, Rifqiya H. Mufidah (Redaktur) Website: gusdurian.net, gusdur.net | Email: redaksi@gusdurian.net | Instagram: jaringangusdurian | Twitter: @gusdurians
Lahirnya bahasa Melayu sebagai lingua franca, menjadi cikal-bakal dari tumbuhnya kesadaran suku-suku yang ada di nusantara untuk membangun sebuah ikatan kebangsaan. Hal ini terlihat dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO), yang menjadi salah satu bangunan inti kebangsaan kita. Meski demikian, semangat menjadi satu bangsa ini telah tampak dalam sejarah kita sejak abad ke-8.Padahal,Kerajaan Majapahit sendiri baru lahir di tahun 1293 Masehi. Pada abad ke-8 Masehi, seorang agamawan Budha dari Tiongkok bernama Fahien telah melaporkan adanya semangat menghargai perbedaan di Sriwijaya,Sumatera Selatan. Dua abad setelahnya, orang-orang Sriwijaya menyerbu Pulau Jawa melalui pela-buhan lama Pekalongan. Dalam perjalanan mendaki Gunung Dieng,mereka ditemui oleh orangorang Kalingga Hindu. Orang-orang Hindu itu tidak diapa-apakan. Pasukan Sriwijaya tersebut melanjutkan sampai di daerah Muntilan,yang sekarang ini menjadi bagian Kabupaten Magelang. Di sana mereka membangun candi yang dinamakan Borobudur. Sebagian mereka tinggal di Borobudur dan sebagian lagi menuju kawasan Yogyakarta sekarang. Di kawasan baru itu, mereka dirikan Kerajaan Kalingga Budha dan mendirikan Prambanan, sebuah
candi Hindu-Budha yang segera dimusuhi oleh orang Hindu maupun orang Budha. Mereka menganggapnya sebagai agama “campur- aduk�. Di bawah pimpinan Prabu Darmawangsa, mereka berpindah dari Prambanan ke Kediri. Dua abad kemudian, mereka berpindah lagi ke Kerajaan Singasari di Utara kota Malang sekarang. Di sana orang-orang Hindu-Budha itu mendirikan Kerajaan Majapahit di dukung oleh angkatan laut Cina, yang waktu itu hampir seluruhnya memeluk agama Islam. Dari sini kita dapat melihat bahwa asas kebangsaan itu tidak dapat digantikan oleh apa pun. Namun, sekarang lahir kelompok-kelompok fundamentalis yang mengajak kita semua meninggalkan semangat kebangsaan yang telah mempersatukan kita sebagai bangsa sejak berabad-abad yang lalu. Sebenarnya, setelah dikuatkan oleh UUD 1945,kita telah bertekad mencapai kemerdekaan politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Hal ini seharusnya senantiasa kita ingat sebagai bagian penting dari sejarah kita sebagai bangsa. Inilah modal bangsa kita untuk merengkuh kehidupan masa depan, bukan? Sumber: seputar-indonesia.com, Jakarta,19 Mei 2009
KATA GUSDURIAN
Memandang Papua dengan Cinta
T
aha Al-Hamid, mantan Sekretaris Dewan Rakyat Papua, menyampaikan hal ini di hadapan ratusan orang Papua beberapa tahun lalu. Kami pernah merasakan dialog sejati dengan Jakarta, yaitu ketika kami (tetua Dewan Rakyat Papua: Theys Eluway, Tom Beanal, Taha AlHamid, dan kawan-kawan) diterima Presiden di kantornya. Kami merasakan Presiden Gus Dur betul-betul mendengar kami. Sebagai pejuang HAM, Gus Dur menghormati perjuangan kami, tapi sebagai Presiden ia harus mempertahankan NKRI. Ia siap mewujudkan apapun harapan kami, tapi tetap dalam Republik Indonesia. Waktu kami katakan kami tidak percaya Jakarta karena jati diri kami saja tidak dihargai, Gus Dur menanyakannya. Kami jawab jati diri kami sebagai orang Papua disuruh lupakan, kami menyebut Papua saja dianggap separatis, kami dipaksa gunakan nama Irian. Kami tidak boleh kibarkan bendera kami. Di situlah dia menyambut bahwa dia akan kembalikan nama Papua sebagai jati diri kami. Kami boleh kibarkan bendera kami asal sedikit lebih rendah dari bendera Merah Putih, katanya NU dan klub sepakbola juga boleh punya bendera, mengapa masyarakat Papua tidak boleh.� Demikian Taha Al-Hamid, mantan Sekretaris Dewan Rakyat Papua bercerita di hadapan ratusan orang Papua beberapa tahun lalu. Cerita ini kembali dalam ingatan saat ketegangan
4
bereskalasi di tanah Papua, mengikuti aksi keras dan rasis kepada warga Papua di beberapa kota di pulau Jawa. Nama binatang yang terlontar kepada mahasiswa warga Papua menjadi picu ketegangan ini. Tampak sepele, dan sebagian orang menganggap warga Papua baper (bawa perasaan) menanggapinya. Mereka melupakan bahwa ujaran ini menjadi refleksi paling vulgar bagaimana sebagian warga Indonesia lainnya memandang Papua. Mereka juga mengabaikan konteks dinamika antara Jakarta dan bumi Papua yang belum juga menemukan titik usai yang adil. Komunitas warga Papua di berbagai kota umumnya menghadapi stigma perilaku buruk seperti orang terbelakang dan suka membuat onar. Sepuluh tahun terakhir ini, asrama mahasiswanya semakin kerap dicurigai sebagai sarang gerakan separatis Papua Merdeka, sehingga beberapa kali terjadi insiden dengan aparat keamanan lokal di beberapa kota. Sejatinya, justru inilah sikapsikap baper berlebihan yang tidak peka pada suasana batin warga Papua. Bukannya merangkul dan mengangkat serta memberikan fasilitasi afirmatif pada anak-anak muda Papua yang berupaya memperbaiki diri dengan pendidikan, beberapa Pemerintah Daerah abai dan bahkan ikut menyudutkan mereka. Maka saat ujaran binatang terhadap warga Papua itu muncul, ia menyentuh titik paling peka dalam nurani warga Papua: martabat kemanusiaan mereka, yang selama ini belum utuh dijamin Republik ini sebagai amanat konstitusi.
edisi 7/Agustus/VIII/2019
Oleh: Alissa Wahid Koordinator Jaringan Gusdurian
Martabat inilah yang menjadi titik pijak Gus Dur dalam melihat Papua, dan di kemudian hari menjadikannya Bapa Orang Papua. Gus Dur melihat segala hal dengan lensa kemanusiaan karenanya ia meyakini yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Gus Dur menganggap martabat kemanusiaan warga Papua adalah amanat tertinggi yang harus dipenuhi. Bukan sekadar kembang lambe demi urusan politik agar Papua tidak lepas dari Indonesia. Konsekuensinya, keadilan sosial harus terwujud di Papua sebab menurut Gus Dur: perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Faktanya, negara belum mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Potensi kekayaan alam bumi Papua merupakan potensi terbesar di bumi Indonesia. Lintas provinsi di Indonesia, Pendapatan Daerah Perkapita Bruto (PDRB) Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2018 berada di posisi ke-lima dan enam, tetapi angka kemiskinan tertinggi, indeks pembangunan manusia terendah, kualitas kesejahteraan warganya juga terendah. Konyolnya, stigma sebagai masyarakat tertinggal dipandang-lepas dari rendahnya layanan sosial dasar di bumi Papua. Kemarahan warga akibat ketidakadilan dihadapi dengan cemooh separatis dan tidak cinta NKRI. Aparat keamanan piawai menggunakan pendekatan kultural kepada kelompok-kelompok yang berulangkali berlaku onar atas nama agama, tetapi tidak dalam menghadapi kelompok keras di bumi Papua. Memang pendekatan keamanan sangat diperlukan di saat-saat tertentu, tetapi seharusnya hanya temporary measures yang mengikuti upaya penyelesaian damai yang
lebih berkelanjutan. NKRI menuntut Papua untuk memberi dan tunduk pada keutuhan NKRI. Tapi NKRI belum kelar menunaikan kewajiban memberi dan tunduk pada kemaslahatan warga Papua. Cinta itu klise. Apalagi dalam konteks kebangsaan. Tetapi ia hakiki. Ia menjadi lensa yang menentukan buram-jelasnya pandangan kita. Kita tidak melukai yang kita cinta. Kita ingin yang terbaik untuknya. Kita rela memberi. Kita menuntut cinta warga Papua pada NKRI. Tapi kita belum sanggup mencintai mereka dengan penuh, sebagaimana diteladankan Gus Dur. Warga Papua tidak minta diistimewakan. Mereka tahu, cinta Gus Dur pada Papua setara dengan cintanya pada warga Aceh, pada warga NU, atau pada orang-orang Tionghoa dan lainnya. Di zamannya, kemerdekaan berpendapat dan berkumpul dilindungi. Gerakan masyarakat adat diperkuat, tidak dicurigai. Gerakan separatis didekati dengan dialog yang sederajat dan konstruktif. Filep Karma menyebutkan, di zaman Gus Dur, hampir tidak ada warga Papua ditembak dan dampaknya gerakan separatis juga melemah. Dan segalanya bukan dengan kacamata transaksi politik agar Papua tetap dalam Indonesia, namun karena cintanya pada manusia-manusia Papua. Karena itulah, warga Papua mencintainya. Kini, dapatkah kita selamatkan cinta kita dan Papua? Tulisan ini dimuat di Harian Kompas pada kolom UDAR RASA, 25 Agustus 2019.
Bumi Manusia, Gus Dur, dan Papua Oleh: Fadlan L. Nasurung Gusdurian Makassar
gusdurpedia: gus dur dan demokrasi
B
umi Manusia, salah satu judul dari seri novel Tetralogi Buru karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Buku pertama dari empat seri novel Pram itu, kini menjadi judul film dibawah besutan sutradara Hanung Bramantyo yang diangkat ke layar lebar dan kini tengah tayang. Bumi Manusia dan tiga seri berikutnya (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) kurang lebih berkisah tentang bagaimana ide nasionalisme mula-mula tumbuh dan berkembang di HindiaBelanda, tanah jajahan yang didiami berbagai komunitas agama, suku dan ras yang beraneka rupa.
Komunitas-komunitas itu lalu-meminjam istilah Benedict Anderson-diimajinasikan sebagai bangsa, musabab adanya perasaan senasib sepenanggungan. Novel itu merekam jejak-jejak awal ide kebangsaan lewat lahirnya berbagai persyarikatan, baik yang berlatar primordial-kesukuan, maupun yang berlatar agama. Minke, sang tokoh utama dalam novel, ditampilkan sebagai sosok progresif dengan ide-ide pembebasan untuk bangsanya dari jerat kolonialisme. Siapa saja yang membaca novel berlatar era pergerakan awal abad ke-20 itu tentu tahu darimana nama Mingke bermuasal. Ia bukan hanya sekadar
5
6
selama kurun orde baru (dan mungkin hingga kini) di wilayah-wilayah konflik separatis di Papua. Pendekatan militeristik nan represif ala orde baru terhadap Papua, ditambah eksploitasi sumber daya alam yang melimpah, namun tidak sebanding dengan upaya pemerintah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Papua, mewariskan masalah yang kian kompleks. Kesenjangan karena ketidakadilan pembangunan, kekerasan dan diskriminasi menjadi akar persoalan yang tak mudah diurai. Pasca reformasi, Gus Dur dimasa menjabat sebagai Presiden, aktif melakukan langkah-langkah dialog secara langsung dengan berbagai elemen rakyat Papua, hal itu dilakukannya untuk mendengarkan asprirasi rakyat Papua tanpa perantara, menempatkan mereka sebagai warga negara yang memiliki hak yang setara dengan warga negara lainnya. Dalam menyikapi konflik separatis di Papua, sebagaimana ditulis Ahmad Suaedy (2018:142) Gus Dur melihat timbulnya penentangan terhadap pemerintah lewat gerakan separatisme bukanlah penentangan terhadap kebangsaan. Gus Dur melihatnya disebabkan oleh ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah yang menimbulkan ancaman kebinekaan dan disintegrasi bangsa. Krisis kebangsaan dan kewarganegaraan terjadi, karena kebijakan pemerintah yang menyingkirkan sebagian anggota bangsa ke pinggiran, bahkan dikeluarkan secara paksa. Karena ketidakmampuan negara mengakomodir aspirasi lokal. Oleh Gus Dur, sejumlah aspirasi lokal rakyat Papua diakomodir dengan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembalinya identitas kultural orang Papua adalah jasa besar Gus Dur dalam upaya membangun keadilan-kesetaraan bagi Papua. Pendekatan yang humanistik dan non-diskriminasi adalah jalan terang bagi masa depan Papua. Segala bentuk rasisme dan tindakan kekerasan bagi orang Papua yang menuntut keadilan-kesetaraan, tak boleh punya tempat di bumi manusia ini, jika masih mengaku berpancasila, berbineka tunggal ika dan anti penjajahan. Begitulah Gus Dur menelakukan cara-cara penyelasaian konflik separatisme Papua, begitupun Aceh di masa lalu. Gus Dur berpijak pada kaedah kemanusiaan universal. Bahwa mereka yang menuntut kemerdekaan karena ketidakadilan, haruslah dihadapi dengan mengedepankan sikap ingin tahu akar persoalannya. Lalu menempuh jalan penyelesaian masalah dengan memperhatikan terpenuhinya hak-hak asasi para penuntutnya.
edisi 7/Agustus/VIII/2019
nama atau panggilan, ia adalah isyarat tentang bagaimana kolonialisme bekerja. Ujaran apa yang paling dekat dengan kata “Minke� dalam perbendaharaan bahasa Eropa yang bernada penghinaan? Label stigmatik dan stereotyping adalah sisa-sisa reruntuhan konialisme yang masih menjejak di pikiran banyak orang. Ia terus beranak-pinak lewat pewarisan yang bekerja di alam bawah sadar. Dahulu Sukarno menetang keras penggunaan kata Inlander untuk menyebut rakyat pribumi. Karena dibalik kata itu, terdapat kuasa kolonial yang ingin membenamkan kesadaran rakyat pribumi, agar takluk dihadapan kolonialisme. Dibuatlah undang-undang kolonial yang berisi pengaturan warga negara secara segregatif dan diskriminatif. Inferioritas dan perasaan rendah diri dihadapan bangsa-bangsa barat adalah warisannya yang masih awet hingga kini. Saat memori perjuangan anti kolonialisme yang terekam dalam novel pascakolonial itu, ingin kembali dihidupkan lewat film Bumi Manusia, sebuah tragedi memilukan justru terjadi di tanah latar cerita itu berasal, Indonesia. Provokasi rasial dan kekerasan yang menimpa mahasiswa Papua di sejumlah daerah beberapa waktu yang lalu, adalah potret bagaimana watak kolonial bisa menjangkiti siapa saja. Di era digital, penyebaran informasi bernada hasutan tak lagi dapat dibendung. Orang-orang dalam hitungan menit dapat bergerak ke satu titik tanpa komando, lalu bertindak dengan buas di luar batas kemanusiaan. Meski akar persoalannya masih terus diselidiki, kita patut khawatir dan prihatin. Ternyata pengalaman pernah terjajah tak mampu menjadi jaring sosial untuk mencegah hal itu berulang. Bisa jadi karena keterjajahan yang kebanyakan kita alami hanya dalam bentuk cerita, bukan pengalaman nyata. Sehingga kita enggan, paling tidak coba merasai perihnya diskriminasi dan intimidasi rasial. Tuntutan kemerdekaan dari mahasiswa Papua dalam unjuk rasa peringatan Perjanjian New York 1962, memiliki sejarah panjang dengan konstelasi sosial-politik yang kusut. Sejak bergabungnya Papua (dulu Irian Jaya) menjadi bagian dari NKRI, narasi tentang ke-Papua-an mengalami marjinalisasi. Politik integrasi yang represif di era orde baru semakin memperburuk situasi. Kemunculan Organisasi Papua Merdeka (OPM) direspons secara militer dan tidak hanya menyasar orang-orang yang terlibat aktif dalam organisasi separatis itu, tetapi juga masyarakat sipil tak berdosa. Sejumlah penelitian mengemukakan bukti terjadinya pelanggaran HAM