Penanggung jawab
SekNas JGD Penasihat
Alissa QM Wahid Heru Prasetia Pemimpin Redaksi
Nabilah Munsyarihah Redaksi
Zahrotien, Ahmad, Afan, Isna, Haris, Joko, Purwanto, Rifqiya, Uzi, Yani Editor
AS Ndari, Kindi, Zia Tata letak dan ilustrator
Muhammad Nabil Kontributor
M e n g g e r a k k a n Tr a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi
Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian
Edisi 14 / September 2014
Sekadar Mendahului
T
ahun duka cita layak disematkan pada tahun ini. Selama setahun ini kalangan Pesantren ditinggalkan oleh sejumlah ulama di berbagai daerah. Tercerabutnya ulama berarti tercerabut pula ilmunya dari bumi. Sementara, keberlangsungan Islam rahmatan lil ‘alamin di Indonesia ditopang oleh pesantren. Regenerasi ulama, seperti yang ditulis Awy A. Qolawun, tidak mudah karena tugas sebagai pewaris para Nabi ini tidak hanya mencetak intelektual keagamaan, melainkan juga pembimbing kehidupan umat. KH. Malik Madani, Katib ‘Aam Syuriah PBNU, juga menekankan aspek spiritualitas dan kemandirian dalam nilai keulamaan. Sebagai santri, sejauh apa persiapan kita menghadapi zaman ini?
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail. com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan.Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.
“
“
“Menyesali nasib takkan mengubah keadaan. Terus berkarya & bekerjalah, itu yg membuat kita berharga”
S
KH. Abdurrahman Wahid
Menggerakkan Tradisi
Siapkah Kita dengan
Regenerasi Ulama?
Ilustrasi: Muhammad Nabil
Oleh: Awy A. Qolawun
S
ebelum penulis memulai catatan pendek ini, jika kita semua memperhatikan satu fenomena aneh yang tak biasa sejak awal tahun 2012, dan sampai saat ini, kita akan menyadari lalu merenung sangat dalam bahwa apa sebenarnya yang sedang dan akan terjadi terhadap bangsa ini. Yaitu fenomena banyaknya para Kyai sepuh dan Bu Nyai yang meninggal berturut-turut dari daerah ke daerah.
2
Edisi 14 / September 2014
Apakah ini semisal bagian proses seleksi alam atau proses regenerasi namun fenomena alamnya cukup ganjil karena yang meninggal tidak cuma satu atau dua, namun belasan bahkan puluhan dan dalam tempo yang begitu dekat. Belum lekang kesedihan ditinggal Kyai sepuh dari daerah B, esoknya mendengar lagi ada Kyai sepuh dari daerah D yang wafat. Baru saja sejenak menghela nafas, datang lagi pemberitahuan ada kalau Kyai sepuh dari daerah G menyusul. Terlalu cepat bahkan jika dilogikakan seolah yang ditinggal belum ada persiapan apapun. Tentu saja bisa membuat yang ditinggal tercepuk-cepuk dan gugup menghadapi perubahan mendadak yang berlangsung sangat cepat. Pertanyaan sederhananya dari wafatnya para kyai sepuh itu (dengan kacamata manusia, tanpa membicarakan kekuasaan Allah), sudah siapkah para dzurriyyah kyai-kyai yang mangkat itu meneruskan perjuangan para pendahulunya yang sering kali meninggalkannya dengan cukup mendadak tanpa ada tanda panjang lebih dahulu? Terlebih lagi harus kita akui bahwa saat ini kebanyakan para dzurriyyah itu kerap kali belum tersiapkan dengan matang mengingat masih terobsesi dengan menikmati masa muda. Tentu saja pasti ada kegugupan saat dzurriyyah yang belum siap tadi tiba-tiba menerima tongkat estafet yang pada dasarnya tidak ringan. Karena jika hal seperti ini tidak diantisipasi dengan baik sejak dini oleh para pengelola pesantren dan mereka yang berkompeten dengan dunia pesantren, bisabisa eksistensi masa depan suatu pesantren itu akan terganggu, jika tak boleh kita katakan terancam. Sebab mempersiapkan penerus dalam dunia pesantren itu tidak semudah membalikkan tangan. Tidak semudah mencetak sarjana bahkan doktor. Karena penerus yang dipersiapkan itu adalah penerus pengajar kehidupan, bahkan pewaris para Nabi yang secara tabiat alamiahnya oleh Allah sendiri dipersiapkan dengan waktu yang cukup lama untuk memikul beban risalah yang sama sekali tidak ringan. Dalam peribahasa pesantrennya dikatakan bahwa dadi kyai iku ora gampang (menjadi kyai itu tidak mudah), sebab keberadaan seorang kyai dalam suatu masyarakat di samping sebagai pembimbing
kehidupan, ia juga berfungsi sebagai semacam penenang bagi masyarakat. Dan itu memang nyata, masyarakat suatu daerah selalu mengalami kegoncangan rohani saat ditinggal mangkat kyainya. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa penerus seorang kyaipun harus mempunyai kualitas ilmiah dan rohani minimal sama dengan pendahulunya atau lebih baik. Maka seperti yang diketahui, Kyai atau penerus dengan latar pendidikan non formal/ murni pesantren tetap menjadi pilihan utama. Dengan kata lain masyarakat tetap mantap dengan kyai/penerus model “kuno” daripada penerus yang sudah “terkontaminasi” oleh pendidikan umum/formal. Artinya, jika sekarang (tanpa menafikan apalagi mengkritik) banyak dzurriyyah yang menempuh jalur ilmiah tak sama dengan pendahulunya, maka kekhawatirankekhawatiran masa depan itu adalah suatu hal yang cukup wajar. Paling tidak setiap pesantren mesti mempersiapkan minimal satu penerus dengan model pendidikan “kuno” seperti yang diterima pendahulunya. Jika tidak seperti itu maka regenerasi ulama yang diharapkan tidak akan berjalan sesuai harapan dan para kyai-kyai sepuh yang sudah mangkat itu hanya akan jadi kenangan dalam sejarah dengan segala jasa-jasanya yang hanya akan jadi cerita yang cuma bisa diulang para dzurriyyah-nya tanpa bisa melakukan apapun untuk mengembalikan atau meneruskan kejayaan yang telah dirintis oleh pendahulunya. Paling parah adalah saat pendahulunya hanya terpajang sebagai potret di ruang utama keluarga tanpa ada jejak pemikiran dan idenya yang terestafetkan oleh keluarganya sendiri. Berbicara seperti ini belum menyentuh pada permasalahan konflik yang potensi terjadi saat vakumnya generasi penerus yang kuat. Pada akhirnya, semoga Allah tetap menjaga kelangsungan perjuangan Islam ala pesantren yang pada dasarnya lebih cocok buat bangsa dengan budaya seperti Indonesia ini. Wallahu a’lam (*) Lamongan, 5 Ramadhan 1435 H
3
Forum
Spiritualitas; Aspek Penting dalam Regenerasi
T
ahun kesedihan, begitu sebagian kalangan Pesantren menyebut tahun 2014. Hal ini cukup beralasan karena banyak para ulama pengasuh pesantren yang wafat. Sebagaimana Rasulullah menyebut tahun kewafatan Abu Thalib, pamannya, dan Khadijah, istrinya, dengan ‘Aam al-Huzn (Tahun Duka Cita). Umat Islam, khususnya warga Nahdliyyin merasakan kehilangan yang serupa atas wafatnya sosok-sosok pengayom masyarakat. Lalu bagaimana regenerasi yang terjadi di kalangan pesantren, khususnya lingkungan Nahdlatul Ulama? Berikut ini cuplikan wawancara redaksi Selasar bersama KH Dr. Malik Madani, MA (Katib ‘Aam Syuriyah PBNU) tentang regenerasi ulama di lingkungan pesantren Nahdlatul Ulama.
Bagaimana sebenarnya proses regenerasi keulamaan yang terjadi dari zaman Rasulullah hingga sekarang? Estafet keilmuan dalam Islam selalu terjaga dari generasi ke generasi. Mulai dari masa Rasulullah kepada para sahabat, kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in, terus hingga para tabi’u at-tabi’in. begitu seterusnya dari guru ke murid hingga hari ini. Proses tersebut terjadi secara langsung dengan interaksi antara guru dan murid dalam berbagai aspek, terutama transfer ilmu pengetahuan. Namun yang perlu kita cermati adalah bahwa proses ini tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan atau nilai-nilai intelektual, tetapi juga aspek spiritual. Apalagi masalah keulamaan adalah masalah ilmu agama, kan. Sedangkan ilmu agama itu jelas tidak hanya mengandalkan kemampuan rasional tetapi juga kemampuan spiritual yang perlu diasah. Maka dalam dunia keulamaan, kita harus memperhatikan faktor-faktor spiritual di samping aspek-aspek rasional yang bisa diukur.
Regenerasi semacam itu juga terjadi di
4
Edisi 14 / September 2014
Keulamaan
pesantren? Ya. Itu tidak hanya terjadi di lingkungan ulama-ulama sufi. Tetapi dalam tradisi ulamaulama non-tasawwuf pun regenerasi yang memperhatikan masalah pengembangan aspek spiritual juga dilakukan. Inilah rahasianya mengapa regenerasi di lingkungan ulama pesantren bisa berlangsung sampai hari ini. Ada faktor spiritual yang bisa memperkuat proses regenerasi itu agar berjalan dengan baik. Antara lain adalah doa dari seorang guru untuk muridnya. Dari seorang kiai untuk santrinya, untuk anak cucunya. Ini sangat penting, hal inilah yang menjadi sebab pondokpondok pesantren kita bisa bertahan hingga hari ini. Sampai ratusan tahun bisa selamat dari berbagai bencana, tentu sebab doa kiai terhadap anak cucu yang kelak akan mengasuh pesantren itu. Memang ini adalah faktor yang sangat penting. Mengapa cendekiawan-cendekiawan dan ahli agama yang tidak berakar di pesantren tidak bisa melakukan regenerasi dengan baik. Beda dengan kiai di pesantren. Kiai-kiai di pesantren itu, karena ada lembaga pendidikan yang membutuhkan kehadiran sosok kiai, tentu akan berusaha mendidik dan mengkader anak cucu dan santrinya untuk bisa menjadi penerus ketika dirinya kelak sudah meninggal dunia. Maka hubungan spiritual antara kiai dengan santri mapun anak keturunannya ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan pesantren.
Bagaimana kualitas dan kuantitas para ulama dahulu dan sekarang di Indonesia? Dari segi fisik, banyak peningkatan. Bisa dilihat dari banyaknya bermunculan pesantren baru, dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan dengan bangunan membanggakan. Kalau dilihat dari segi ini ya pesantren sekarang lebih maju daripada pesantren masa silam. Tetapi kita melihat pesantren tidak boleh hanya
terpaku pada aspek fisiknya. Kita harus melihat substansi dari pesantren, yaitu nilai-nilai yang mendasari adanya pesantren tersebut. Antara lain seperti nilai kesederhanaan dan nilai kemandirian. Itulah yang menyebabkan para ulama kita di masa lalu memiliki haibah atau wibawa yang begitu besar di tengah masyarakat. Sekarang nilai-nilai itu sudah banyak yang terkikis di sebagian pesantren kita. Padahal nilai kemandirian yang dilambangkan dengan semboyan “al-i’timaadu ‘ala an-nafsi asaasu annajaah”, berdiri tegak di atas kaki sendiri adalah landasan bagi kesuksesan. Itu dulu sangat dipegang erat oleh para kiai kita. Sehingga para kiai dahulu menjadi orang-orang yang sangat independen. Mereka tidak menggantungkan diri kepada kekuasaan maupun orang-orang kaya. Makanya ketika berhadapan dengan penjajah, kecenderungan yang diambil para kiai kita adalah non-kooperasi dengan penjajah. Bahkan mereka mempopulerkan sikap-sikap yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, seperti mangharamkan memakai dasi maupun pantalon atau celana.
Seperti Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari? Ya! Fatwa-fatwa perjuangan seperti itu menunjukkan kemandirian yang luar biasa dipegang teguh oleh para kiai. Demi umat. Mereka bisa besar bukan sebab penguasa, apalagi saat itu penguasanya adalah pihak penjajah. Itulah contoh bagaimana para kiai kita dahulu memegang teguh nilai kemandirian. Namun itu saat ini mulai kikis. Begitu pula nilai kesederhanaan. Hal ini juga sudah mulai tidak dihiraukan oleh kiai-kiai kita sekarang. Kiai kita banyak yang merasa bangga kalau bisa dekat dengan kekuasaan.
Apa penyebab dekadensi nilai-nilai dalam keulamaan? Ya sebab adanya pergeseran nilai-nilai itu di masyarakat kita, termasuk yang dialami masyarakat pesantren kita. Karena kondisi pesantren tidak terlepas dengan kondisi masyarakat luas secara umum. Yakni adanya kecenderungan masyarakat terhadap materi. Diibaratkan sebuah syi’ir menyatakan: “Ro-aytu an-naasa qod dzahabuu, ilaa man
‘indahu dzahabu. Ro-aytu an-naasa qod maaluu, ilaa man ‘indahu maalu. Aku lihat orang-orang sudah pergi menyongsong mereka yang memiliki emas permata. Aku lihat orang-orang sudah pada gandrung kepada orang-orang yang berharta.” Jadi sudah ada pergeseran yang melanda masyarakat kita sehingga menjadi sangat materialistis. Segalanya diukur dengan kemampuan materi. Ini telah masuk pula di kalangan pesantren kita. Sehingga nilai-nilai kemandirian dan prinsip-prinsip kesederhanaan itu sudah mengalami distorsi. Inilah yang menyebabkan mereka sangat membutuhkan dukungan dari kekuasaan, dukungan dari orang-orang kaya dan sebagainya. Maka dalam hal ini saya sangat respect kepada almarhum almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. Beliau saya anggap sebagai orang yang benar-benar menginginkan terciptanya civil society. Ide civil society membuat masyarakat tidak membutuhkan pengakuan dari kekuasaan. Saya kagum dengan Gus Dur karena beliau telah mendidik kita tentang hal penting itu. Beliau ketika menjadi ketua umum PBNU tidak ambil pusing apakah PBNU setelah muktamar di Cipasung diakui oleh penguasa Orde Baru atau tidak. Beliau tidak ambil pusing dan itu adalah bentuk kemandirian yang luar biasa menurut saya.
Apa yang semestinya diupayakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai substansial pesantren dan bisa tetap menjaga keberlangsungan regenerasi keulamaan di dalamnya? Saya kira, para ulama dan para pemangku pesantren perlu melakukan muhasabah. Evaluasi diri terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi substansi pesanten, apakah masih ada dalam diri mereka atau tidak. Kalau ternyata ada penyimpangan-penyimpangan ya harus segera mengoreksi diri dan kembali kepada nilai-nilai luhur itu. Harus ada revolusi mentalitas dalam masyarakat kita, khususnya masyarakat pesantren. Hal ini tentu musti dilakukan secara jujur sehingga bisa diketahui apakah sudah menyimpang atau tidak untuk dikoreksi dan dikembalikan ke jalur serta nilainila yang semestinya. Saya kira itu. []
5
Pergulatan
Siapkah Kita dengan
Regenerasi Ulama?
“J
aman wis akhir,� seperti itulah pepatah yang tepat untuk saat ini. Ketika dunia akan segera berakhir jika semua ulama telah diambil oleh Yang Maha Empunya. Setelah sebagian ulama telah berpulang begitu cepat, tentu diperlukan pengganti yang minimal mempunyai kemampuan yang sama dengan pendahulunya atau bahkan bisa melebihinya. Jika para dzurriyah saat ini masih tenggelam dengan masa mudanya dan pesantren tidak sungguh-sungguh mempersiapkan kadernya, maka tidak menutup kemungkinan kita tidak akan pernah siap menghadapi proses regenerasi ini. Maka untuk memperlambat berakhirnya dunia, perlu adanya regenerasi ulama. Jika tidak, segera terwujudlah pepatah singkat di atas! Wallahu a’lam. Parepare, 10 Ramadhan 1435 H
Mati Ketawa
I
ni guyonan Gus Dur sewaktu masih menjadi Presiden RI, saat berkunjung ke Kuba dan bertemu dengan Fidel Castro. Saat itu Fidel Castro mendatangi hotel tempat Gus Dur dan rombongannya menginap selama di Kuba. Dan mereka pun terlibat pembicaraan hangat, menjurus serius. Agar pembicaraan tidak terlalu membosankan, Gus Dur pun mengeluarkan jurus andalannya, yaitu guyonan. Gus Dur bercerita pada pemimpin Kuba, Fidel Castro, bahwa ada 3 orang tahanan yang berada dalam satu sel. Para tahanan itu saling memberitahu bagaimana mereka bisa sampai ditahan di situ. Tahanan pertama bercerita, "Saya dipenjara karena saya anti dengan Che Guevara." Seperti diketahui Che Guevara memimpin perjuangan kaum sosialis di Kuba. Tahanan kedua berkata geram, "Oh kalau saya dipenjara karena saya pengikut Che Guevara!" Lalu mereka berdua terlibat perang mulut. Tapi mendadak mereka teringat tahanan ketiga yang belum ditanya. "Kalau kamu kenapa sampai dipenjara di sini?" tanya mereka berdua kepada tahanan ketiga. Lalu tahanan ketiga itu menjawab dengan berat hati, "Karena saya Che Guevara." Fidel Castro pun tertawa tergelak-gelak mendengar guyonan Gus Dur tersebut. Merdeka.com
6
Edisi 14 / September 2014
BOGOR: Dialog Kerukunan Antariman
D
ialog publik digelar Jaringan Muda Lintas Iman Bogor (JMLIB) pada Sabtu, 14 Juni 2014 di STAINU PARTUNG Kec. Kemang Bogor. Jaringan tersebut menjadi wadah untuk saling mengenal satu sama lain dengan semangat menciptakan kerukunan antar umat. Hadir dalam kesempatan ini Sugeng Teguh Santoso, SH (LBH Bogor Raya) yang membahas pluralisme dalam perspektif konstitusi. Bahwasanya konstitusi melindungi setiap pemeluk agama dan keyakinan untuk melakukan ritual ibadah yang diyakininya. Terkait kasus-kasus sengketa pendirian rumah ibadah di kabupaten Bogor, papar H.Yopti Nugraha (Staf Kemenag Kab. Bogor), kemenag
berperan untuk memoderasi kelompokkelompok agama yang bersengketa. Ahmad Suaidy (Abdurrahman Wahid Center) menyinggung bahwa masa depan pluralisme dipengaruhi pula oleh kepemimpinan nasional. Sedangkan Inayah Wahid (Possitive Movement) menegaskan bahwa pluralisme jangan hanya dipahami semata-mata soal keberagaman dalam agama dan keyakinan, namun juga keberagaman dalam ekonomi (pendapatan rakyat), sosial dan budaya. Dengan pemahaman demikian, maka upaya-upaya yang dilakukan pun akan beragam dan multiaspek.
Menerima Hasil Pilpres
J
ombang - Hj Sinta Nuriyah hadir di Jombang dalam menghadiri acara buka bersama yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Masyarakat Jombang (FKMJ) di Markas Kodim 0814 Jombang. Sebanyak 34 organisasi di Jombang yang berasal dari lintas agama, etnis dan suku tergabung dalam FKMJ. Buka bersama di Markas Kodim, dihadiri GUSDURian, elemen FKMJ, masyarakat dari tukang becak, pemulung, serta masyarakat miskin kota yang ada di Kabupaten Jombang. Dalam momentum ini Ibu Sinta menghimbau agar seluruh elemen masyarakat
Indonesia menerima presiden terpilih. Hasil Pilpres, lanjut Sinta Nuriyah, harus diterima semua pihak harus legowo. Sikap itu ditunjukkan dengan turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. “Kewajiban dari rakyat adalah mendukung program-program pemerintah dalam membangun bangsa Indonesia,� pungkasnya (20/7). Setiap tahun Ibu Sinta tidak pernah absen berkeliling ke berbagai daerah untuk mendatangi sahur dan buka bersama yang diisi dengan dialog kebangsaan. (bangsaonline)
7