Penanggung jawab:
SekNas JGD Penasihat:
Alissa QM Wahid Koordinator:
Tata Khoiriyah Redaksi:
Nabilah Munyarihah, Zahro en Lay out:
Fardan Editor:
Abas Z g. Kontributor:
GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi:
SekNas Jaringan GUSDURian
Edisi 5/Juli 2013
Sekedar Mendahului
Menafsirkan agama dari berbagai sudut pandang akan menghasilkan cara pandang yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dari titik itu, perbedaan kemudian mulai muncul. Semakin lama, perbedaan itu semakin mengakar dan menjadi tradisi. Perbedaan itulah yang kemudian ke depan menjadi peluang terjadinya perecahan . Habib Ismail Fajrie Alatas, kandidat doctor Michigan University mencoba menawarkan solusi, Islam tanpa penyeragaman yang diulas begitu apik dalam kerangka cara pandang tradisi dengan pisau analisis historisitas dan historikalitas. Media menjadi salah satu corong penting dalam penyuaraan ini. Dia dapat berfungsi ganda, mendukung keragaman dapat pula menjadi pemicu perpecahan berbasis SARA. Rio Tuasikal dalam hal konsumsi wacana ini juga menawarkan solusi melalui jurnalisme keberagaman. Sekarang, bagaimana kita bisa menjadi bijaksana dalam mengolah keberagaman yang ada tanpa
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa ar kel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com. Redaksi dak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsle er ini adalah produk nonproďŹ t.
“ Saya mencita-citakan umat islam Indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaan yang utuh dengan segala pihak, menjunjung nggi kebebasan sebagai sarana demokrasi “ K.H. Abdurrahman Wahid
Menggerakan Tradisi
Islam Tradisi
Tanpa Penyeragaman Oleh: Habib Ismail Fajrie Alatas (kandidat doktor Universitas Michigan)
P
ada saat berbicara Islam sebagai tradisi, harus berbicara pula tentang relasi antara yang transhistoris dengan yang historis. Saat bicara tentang tradisi, tentu harus berbicara tentang yang historis. Tetapi jangan terjebak menganggap tradisi sebagai superstruktur dari infrastruktur sejarah, setiap sejarah berubah, tradisi berubah, Islam berubah. Tradisi bukan hanya sebagai hasil dari sejarah. Tradisi memiliki dinamika temporalnya sendiri, yang berdiri sendiri namun memang terkait dengan sejarah. Tradisi juga menghasilkan logika spasiotemporalnya sendiri. Untuk menganalisa spasiotemporal ini saya menggunkan, seperti istilah Hegel, historikalitas. Sebuah alur waktu tradisi. Untuk menganalisa sejarah dan tradisi Islam adalah dengan melihat titik waktu dan benturan antara historisitas dan historikalitas. Dimana keduanya dimaknai sebagai suatu struktur dan dinamika ruang dan waktu yang berbeda. Intinya, tidak ada ruang dan waktu yang membentuk tradisi, tetapi tradisi sudah membentuk alur dan waktunya sendiri sehingga sejarah tidak bisa memiliki keunggulan epistemis atas tradisi dalam konsep ruang dan waktu. Proses pewahyuan Al Qur'an, bahwa satu sisi Al Qur'an adalah sesuatu yang kalam qadir, dimana ini berlaku mutlak tanpa melihat ruang waktu manusia. Disisi lain, kalam tersebut harus disuarakan dalam bahasa yang dapat dipahami. Disinilah peran penting nabi sebagai manusia disatu sisi, dan sebagai utusan Allah pada sisi yang lain. Sehingga sebagai jembatan yang menghubungkan ruang dan waktu ilahi dan ruang dan waktu manusia. Melalui nabi, sisi transhistoris, yakni kalamullah yang qadir ini bertemu dan berbenturan dengan sisi historis. Pertemuan yang azali membawa dampak besar bagi konteks historis. Bukan karena pewahyuan kepada Muhammad kemudian membawa dampak besar bagi perubahan di Jazirah Arab, tetapi konteks linguistiknya, bahasa Arabnya, dengan wahyu berubah, karena kemasukan wahyu. Bahasa Arab sebelum dan sesudah wahyu berbeda, terjadi perubahan sematik. Pendeknya, waktu kita, sejarah kita, itu menjadi
riil karena dibenturkan pada waktu ilahi. Kalau tidak karena waktu ilahiyah, maka tidak ada sejarah. Itulah kenapa perlu mengkaji historikalitas manusia. Bahwa ada ruang dan waktu yang terhubung dengan yang transhistoris yang tidak melulu harus direduksi pada sejarah. Bahwa ada ruang waktu yang terpisah dengan sejarah dan justru membuka dinamika itu sendiri tanpa bergantung sejarah. Saya mencontohkan, pada saat kita berdzikir, kita menghadirkan Tuhan dalam ruang dan w a k t u k i t a . Pa d a s a a t k i t a membacakan dan meriwayatkan hadits dengan sanad, kita menghadirkan nabi di ruang dan waktu kita. Inilah sisi historiakalitas, dimana yang tadinya bukan bagian dari sejarah kita, ikut masuk dalam ruang dan waktu kita, dan mengubahnya. Tetapi disaat yang sama, pada saat kita menghadirkan momen masa lalu di ruang waktu kita, maka yang terjadi adalah proses konteks-tualisasi. Apa yang sudah dikontekstualisasikan harus direentekstualisasi, dimasukkan kembali kedalam tradisi. Sehingga tradisinya tidak selalu sama, tradisinya akan selalu berubah, akan selalu mendapat sisa-sisa historisitas yang dialami. Disinilah terjadi perubahan tradisi, tidak lagi sama antara sebelum dienterektualisasi dan sesudahnya. Praktek-praktek tradisi
2
Menggerakan Tradisi berkembang terjadi perdebatan yang sangat besar. Saat Islam keluar dari Madinah, terjadilah perdebatan pertama antara Imam Malik dengan Imam Laih bin Sahal. Imam Malik beranggapan bahwa Madinah harus menjadi standar Islam, semua negara harus berstandar Madinah. Imam Laih bin Sahal beranggapan bahwa konteks lokal menjadi konten yang tidak bisa diseragamkan. Dalam perkembangan sejarah Islam, setiap ulama yang menjadi simbol otoritas, banyak tidak dikenali karena keilmuannya, tetapi justru mempunyai otoritas karena memiliki kesalehan sosial. Maka tidak cukup seorang ulama untuk memiliki akses terhadap yang transhistoris, dia juga harus menjadi bagian dari elemen historis. Seorang ulama tidak hanya
mengandalkan ilmu fiqh, hanya mengandalkan sisi tradisi Islam, dia tidak dapat berbicara dengan masyarakat yang memang tidak berbicara dengan ilmu fiqh. Di Maroko, misalnya, seorang ulama harus mempelajari ilmu nasab dan genealogi kabilah-kabilah yang ada, karena mereka harus masuk dalam sistem sosial. Mereka harus bisa menogisiasikan aspek-aspek syar'i dengan aspek-aspek yang ada di tengah masyarakat. Terkadang, kalau ada fatwa jauh dari aspek lokalitas tersebut justru ditinggalkan oleh masyarakat. Karena justru proses negosiasi tradisi adalah bagaimana membenturkan dan membangun dialog antara yang transhistoris dan yang historis. Dan demikian berarti tidak bisa ada kesamaan karena konteks masing-masing lokalitas antar daerah berbeda. Inilah tugas penting mengapa seorang ulama harus mampu menegosiasikan antara hukum syar'i dengan konteks lokal di masing-masing daerah tanpa berpretensi harus membangun keseragaman. Tetapi juga bukan berarti, ulama tersebut bukan berarti ulama kampung. Tetapi justru merekalah yang berhasil menerapkan sistem ini. (red)
Menggerakan Tradisi
HALO JURNALISME KEBERAGAMAN Oleh: Rio Tuasikal (keluarga Jaringan Kerja Antarumat Bergama (Jakatarub) Bandung. Mahasiswa Jurnalis k Unikom Bandung)
“Pemkot Bekasi menyegel masjid Al Misbah milik jemaah aliran sesat Ahmadiyah di Pondok Gede, Bekasi, Jumat (5/4).”
Itulah keterangan foto yang ditulis Republika di situs beritanya. Lengkap dengan istilah “sesat” persis sebelum “Ahmadiyah”. Disadari atau tidak, kalimat itu telah mengajak publik menolak Ahmadiyah. Di akar rumput, berita ini bakal memicu perpecahan, atau paling tidak, melanggengkan kebencian. Berita timpang begini cuma satu dari ribuan bibit alergi beda. Banyaknya audiens dan pembaca media semacam ini menjadi tantangan bagi kepelangian Indonesia. Maka, guna menyelamatkan kebhinnekaan, satu teknik peliputan baru dirumuskan: jurnalisme keberagaman. Memberitakan S-A-R-A Jurnalis menulis berita berdasarkan tiga aspek: diksi, angle dan framing. Diksi adalah pilihan kata; angle adalah bagian kejadian yang diberitakan; framing adalah kerangka pikirnya. Berita Republika di atas akan bernuansa berbeda bila ketiga aspek ini diubah. Bila berita seorang jurnalis menyudutkan SARA, ini bisa terjadi karena keteledoran atau kesengajaan. Sisi keteledoran menjadi lazim akibat
3
Menggerakan Tradisi kurangnya pengetahuan jurnalis akan keberagaman. Ada pun soal kesengajaan, inilah yang dilakukan media intoleran. Media-media yang menyuarakan kebencian, lewat standar jurnalistik saja, masih b a n y a k k e k u r a n g a n n y a . Pr i n s i p “ g o o d journalism” seperti netral dan cover both sides sengaja diabaikan. Klarifikasi tidak mereka lakukan, opini banyak diselipkan. Mereka pun berperan ganda sebagai hakim keyakinan. Jenis media demikian tak bisa dibenarkan. Melirik Jurnalisme Keberagaman Bila media bisa menambah konflik, dia bisa berlaku sebaliknya. Perlu langkah lebih dari sekadar memberitakan, jurnalisme harus pula promosikan perdamaian. Inilah yang membuat jurnalisme keberagaman jadi tepat waktu. Usman Kansong menulis, jurnalisme ini ditandai dengan beberapa karakteristik, yakni: berpihak pada keberagaman dan perbedaan; berpihak pada korban; berpihak pada minoritas; sensitif gender; menjunjung HAM; dan berperspektif jurnalisme damai. Lewat jurnalisme keberagaman, jurnalis diharapkan menghargai perbedaan suku, agama, ras, gender dan orientasi seksual. Termasuk juga menolak diskriminasi, tidak menghakimi, serta melawan radikalisme, intoleransi dan eksklusivisme.
Secara umum, jurnalisme keberagaman menolak stigma, stereotip dan prasangka. Artinya tidak menempelkan kata sifat pada identitas tertentu. Misalnya 'Tionghoa pemabuk', 'gay sadis' atau 'muslim teroris'. Istilah-istilah yang menyudutkan pun harus diganti. Istilah 'aliran sesat' untuk Ahmadiyah jadi 'aliran berbeda' atau 'aliran minoritas' atau 'Ahmadiyah' saja. Di sini, jurnalis bertindak adil dan tidak menghakimi. Di atas semuanya, jurnalis perlu mengawal proses hukum pelaku hingga tuntas, jangan sibuk pada kejadiannya semata. Dengan mengikuti kaidah-kaidah di atas, berita yang dihasilkan akan mendamaikan. Inilah namanya jurnalisme keberagaman. Pemahaman soal keberagaman pun perlu ditanamkan kepada insan media. Hal ini bisa dilakukan lewat pelatihan dari pegiat keberagaman dan organisasi wartawan. Di sisi lain, publik juga harus turut serta. Siapa pun berhak mengawal proses yang menantang ini. Saatnya publik vokal mengadukan berita yang bikin gerah. Laporkan media cetak pada Dewan Pers dan media elektronik pada KPI. Sekarang, mari bawa karpet merah untuk dibentangkan. Lalu bersama-sama kita teriakkan, “Halo, jurnalisme keberagaman” (Red.)
Ma Ketawa
MASA NGOMONG AJA NGGAK BOLEH? Nyeleneh, kontroversi, ceplas-ceplos, humoris, cerdas dan seakan tak pernah kehabisan akal. Begitulah beberapa karakter yang melekat pada diri KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Cucu Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari itu pun pernah menjadi Presiden RI ke-4, meski kemudian dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum masa jabatannya berakhir. Saat menjadi presiden, sikap kontroversinya pun kerap menuai protes dari banyak kalangan. Tak hanya oleh lawan politiknya, keluarga Gus Dur sendiri tak jarang berbeda pendapat terkait sikapnya yang seolah tak mau kompromi. “Waktu jadi presiden, saya pernah bilang pada Gus Dur, 'Sampean itu jangan seringsering membuat pernyataan kontroversi yang membingungkan masyarakat',” kata Lily Khadijah Wahid—adik kandung Gus Dur. Tanpa pikir panjang, Gus Dur menjawab, “Saya ini udah nggak bisa ngeliat (melihat). Masa ngomong aja nggak boleh?'. Jelas saja Lily Wahid pun tertawa terpingkal-pingkal.
4
Forum
A'ak Abdullah Al Kudus Pendekar Konservasi Gunung
A
'ak Abdullah Al Kudus dikenal sebagai salah satu aktivis lingkungan. Berkandang di Kawasan Gunung Lemongan di Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, yang merupakan bagian dari Pegunungan Hyang, pria berambut gondrong ini aktif melakukan konservasi. Sejak 2008, ia bersama pecinta alam, mahasiswa, aktivis LSM dan berbagai elemen masyarakat mendeklarasikan Laskar Hijau untuk menyelamatkan gunung yang pada 17991899 merupakan gunung yang paling aktif di Jawa. Dari sisi fisik, gunung ini memiliki 60 titik pusat erupsi paristik ada yang berupa kerucut vulkanik dan maar. Dari 27 maar yang berbentuk cekungan, 13 diantaranya terisi air dan menjadi ranu. Namun karena pembabatan hutan secara liar, 13 ranu yang mengelililingi berangsur kering, dan berdampak pada pengairan sawah dan petani ikan yang tak terairi. Kondisi tersebut memancing Gus A'ak (sapaan akrabnya) merasa perlu bertindak. Dimulai dari 300 orang bergabung naik gunung membawa bibit dan melakukan konservasi. Dari rencana kegiatan setiap minggu, jumlah personil semakin menurun, pada pertemuan kedua, hanya didatangi 25 orang. Lalu ketiganya ia hanya sendirian melakukan konservasi. Pria berdarah Guluk-Guluk ini selama setahun awal selalu aktif melakukan konservasi sendirian. Hasilnya cukup bagus untuk tahapan
pertama. Namun, kurun waktu 2011-2012, 300 hektar dari 400 hektar lahan yang telah ia tanami terbakar. “Ini sangat memukul dan ujian berat,” tutur pria beranak tiga ini. Terbakar tidak membuatnya putus asa. Ia memulai lagi penanaman selanjutnya dengan metode lebih rapi, menggunakan pupuk kompos dan menanam varietas buah yang minim terjadi pencurian kayu. Selain buah, ia juga menanam bamboo. “Banyak manfaatnya, termasuk menciptakan mata air baru,” papar peraih Satu Indonesia Award 2010 ini. Untuk mengkampanyekan konservasi, ia bahkan sempat difatwa haram oleh MUI Kabupaten Lumajang setelah mengeluarkan statemen tentang dakwah hijau dengan istilah Maulid Hijau sejak 2006. “Dianggap tidak pantas membelokkan maulid nabi dengan maulid hijau. Saya mendapat dukungan Gus Dur,” tuturnya. Perjuangan panjangnya, kini menjadikan Lemongan sebagai gunung yang tampil cantik mempesona. Semak rumput terhampar luas di sepanjang kaki gunung, pada ketinggian 500 mdpl, dibangun sebuah posko untuk kumpul. Salah satu kegiatan unik yang pernah diadakan di Lemongan adalah Multicultural Green Camp. Kerja tulus Gus A'ak dan Laskar Hijau pantas diapresiasi. Tantangan yang dihadapi gerakan ini masih terhampar. Selain masih luasnya kawasan yang belum tersentuh konservasi, ada ancaman illegal logging, swastanisasi, atau bahkan sengketa antarwarga sendiri. [Nabila]
5
Pergulatan
Hemat Energi Menjadi mayoritas mungkin memang nyaman sekali. Apalagi kalau komunalismenya nggi, kekuatan kelompok jadi besar. Tetapi kekuatan bersama ini bisa juga berbahaya untuk kelompok minoritas yang dianggap liyan oleh mayoritas. Dengan kekuatan yang besar, mayoritas memiliki tanggung jawab yang juga dak main-main untuk menjaga keseimbangan dan perdamaian. Mayoritas-minoritas itu dak akan jadi masalah apabila prinsip kesetaraan dipelihara. Minoritas punya hak yang sama dengan mayoritas. Kelompok Syiah Sampang, misal, memiliki hak yang sama dengan kelompok lainnya untuk memperoleh hidup yang damai dan bebas dari paksaan. Tetapi itu dak terjadi. Maka jelas ada yang salah dengan komunalisme mayoritas kita. Lantas apa yang salah? Yang salah adalah komunalisme ini disertai
dengan fana sme bahkan kekerasan. Sungguh kasihan agama jika pesan-pesannya yang baik didestruksi oleh perilaku bagian minor dari mayoritas yang sama sekali dak representa f. Namun kalau di lik lebih dalam lagi, sebenarnya masih banyak dari mayoritas yang berlaku toleran. Hanya saja ada segilin r orang dari mayoritas yang merusak dan mengatasnamakan komunalisme bersama. Tak hanya bawa nama sesama saudara mayoritas, bahkan juga nama Tuhan. Padahal lebih berat lagi tanggung jawab perilaku yang membawa nama Tuhan. Menjadi mayoritas mes nya dibersamai dengan kepekaan dan tanggung jawab. Coba buk kan sendiri, bersikap rendah ha itu memerlukan lebih sedikit energi daripada ngotot merasa benar sendiri. Hematlah energi apalagi ke ka tengah puasa seper ini
Agenda Bandung | 16 Juli Pukul 16.00 | Dialog Kemanusiaan bersama KKP, Yayasan Puan Amal Hayati, dan Buka Bersma dengan Hj. Shinta Nuriyah Wahid | Halaman SD St. Yusup (Jl. Jawa no.2-4), Bandung | Gratis & Umum Depok | 16-18 Juli | Rangkaian acara dalam rangka Ulang tahun ke-1 AWC UI | Lokasi Perpustakaan Pusat UI| Gratis & Umum | CP 082141232345 Bandung | 18 Juli pukul 16.00 | Silaturahmi Ramadhan bersama GKI Kebonjati & Pontren Daarut Taubah | lokasi GKI, Jl. Kebonjati 100 | Gratis & Umum Jogja | 26 Juli pukul 16.00 | Diskusi Forum Jumat Terakhir | Lokasi dalam konďŹ rmasi | Gratis & Umum | CP 082141232345 Jombang | 31 Juli pukul 16.00 | Buka bersama dengan Hj. Shinta Nuriyah | Lokasi dalam konďŹ rmasi | Gratis & Umum
6
GUS DUR BERTUTUR
ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA < Bagian I >
S
aat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-'arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî'ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideology non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain. Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai
pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri. Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satusatunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
7
KONGKOW
JOMBANG
KEBUMEN
Perempuan Punya Cerita
Ramadhan Bersama Diffable
STARAMUDA Jombang mengambil strategi cukup tepat dalam kampanye terkait perempuan. Melalui film, mereka memaparkan berbagai fenomena tentang perempuan dari berbagai sisi. Setelah menonton, terjadilah dialog yang seru membahas film-film ini. Kegiatan yang digelar 30 Juni lalu menyajikan “Perempuan Punya Cerita”. Dipotret untuk menjadi representasi tentang perempuan di negeri ini. Ditengah kelemahan perlindungan dan beban hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap perempuan. ”Perempuan Punya Cerita” adalah kumpulan 4 film pendek yang dibuat tahun 2008. Film ini dibagi dalam segmen-segmen: Cerita Pulau (sutradara Fatimah T. Rony dan skenario Vivin Idris), Cerita Yogyakarta (Upi dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata dan Melissa Karim) dan Cerita Jakarta (Lasja F. Sutanto dan Melissa Karim) yang menceritakan tentang perilaku seks aktif perkosaan, trafficking, perdagangan anak di bawah umur dan HIV/AIDS. “Ujung dari empat sekuel tersebut adalah tentang kurangnya keberanian dan pengetahuan. Saya pikir jika perempuan korban tersebut pintar dan berani, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi,” kata Aan Anshori, aktivis Staramuda Jombang. (Enny)
DIALOG antara masyarakat dengan masyarakat diffable sangat dibutuhkan sebagai bentuk saling mensupport antar keduanya. Momen ramadhan dijadikan waktu yang tepat oleh GUSDURian Kebumen dengan Komunitas Diffa setempat untuk merealisasikan hal tersebut. Mereka menggagas kegiatan bersama di Mushalla Al Furqan, Desa Kembaran, Kebumen 8-14 Juli lalu. Koordinator acara Muinatul Khoiriyah mengatakan tujuan acara ini adalah untuk membangun dialog antara masyarakat dengan masyarakat diffabel. Ruang dialog ini akan memberi support solidaritas bagi masyarakat diffabel. “Ruang dialog ini penting, sebagai media untuk menciptakan solidaritas kepada para diffabel,” katanya. Selain itu, lanjutnya, acara ini juga untuk menyediakan ruang bagi para diffabel untuk mengekpresikan karyanya. Ada banyak warga diffabel yang tenyata mempunyai karya semacam kerajinan tangan. Ada beberapa rangkaian kegiatan dalam acara Ramadan Bersama Diffabel ini. Di antaranya adalah: pameran hasil karya warga diffabel, pemutaran Film tentang disabilitas, sarasehan disabilitas serta pengajian bertema disabilitas. (bj)
TEMANGGUNG Galang Dana Bencana Aceh GUSDURian Kabupaten Temanggung dan PMII setempat melakukan penggalangan dana yang disalurkan kepada korban bencana gempa di Aceh. Penggalangan dana sendiri dilakukan di jalan protokol dan tempat publik seperti pasar dan taman kota dalam kurun waktu 4 hari setelah bencana. Kegiatan penggalangan ini sendiri didasari kepedulian terhadap kondisi para pengungsi akibat gempa yang menggetarkan bumi Serambi Makkah hingga menewaskan puluhan warganya, serta menyengsarakan ratusan warga. “Kami merasa harus berbuat sesuatu untuk itu,” kata koordinator penggalagan dana, Rozaqul Yazid. Penggalangan dana tersebut dilakukan secara kontinyu dalam empat hari berturut-turut. Untuk kali pertama, penggalangan dana dilakukan di Terminal Induk Madureso dan perempatan jalan Suwandi Suwardi. Pada hari berikutnya selain di tempat yang sama juga dilakukan di Pasar Kliwon Temanggung, dan berurutan di Taman Kartini, alun-alun dan sejumlah ruang publik lainnya. “Hanya ini yang dapat kami lakukan, semoga bermanfaat bagi mereka,” tandasnya. (zah)
8