Selasar edisi 11

Page 1

Penanggung jawab

SekNas JGD Penasihat

Alissa QM Wahid Heru Prasetia Pemimpin Redaksi

Nabilah Munsyarihah Redaksi

Misbahul Ulum Zahrotien Editor

Abas Z g. Tata letak

Muhammad Nabil Kontributor

GUSDURian di berbagai daerah

M e n g g e r a k k a n Tr a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a

Sirkulasi

Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian

Edisi 11 / Januari 2014

Sekadar Mendahului

M

elihat Islam Indonesia tidak hanya dapat dilakukan dengan pendekatan teologis semata, banyak kaca mata yang bisa digunakan untuk melakukannya. Kali ini, Selasar menampilkan wajah tersebut dalam perspektif seni, budaya dan intelektual. Slamet Gundono adalah salah satu seniman yang mewakili. Dalang Wayang Suket yang kental dengan ukulele dan logat ngapak ini telah berpulang dan melegendakan dirinya dalam seni budaya khas Islam Indonesia. Ulasan lengkapnya menjadi kajian menarik oleh Munawir Aziz pada edisi kali ini. Dari kalangan intelektual, perjuangan membumikan Islam Indonesia juga dilakukan oleh seorang tokoh yang tidak asing di kalangan GUSDURian, Ahmad Suaedy. Pria yang Direktur Abdurrahman Wahid Center ini merupakan sosok pemikir yang konsen terhadap isu-isu intelektualitas keagamaan. Kami ucapkan selamat terinspirasi dari para tokoh tersebut.

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail. com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.

“Bangsa Indonesia terbentuk dari fakta demi fakta yang akhirnya membentuk sejarah bangsa. Jadi bukan pengalaman sesaat.”

KH. Abdurrahman Wahid


Menggerakkan Tradisi

Suluk Keheningan

Slamet Gundono

Oleh: Munawir Aziz*

2

Edisi 11 / Januari 2014

Foto: http://www.soloblitz.co.id

S

lamet Gundono adalah representasi dari seniman yang berani memperjuangkan visinya. Ia terus bergerak untuk nilai-nilai kearifan, dengan media suluk, wayang dan lakon-lakon teater yang ia sajikan. Kisah hidup Slamet Gundono adalah perjalanan berliku yang bening dan sunyi, sesunyi lirih suluknya ketika memulai pentas sebagai dalang. Gundono, nama aslinya, lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1966. Pada Minggu, 5 Januari 2014, lalu, ia menghembuskan nafas terakhir, setelah lama dirawat di Rumah Sakit Islam YARSI Solo. Slamet Gundono, menjadi simbol dari dalang mbeling yang berani keluar dari pakem. Suara khas yang menggetar lirih ketika melantunkan tembang-tembang dalam pementasan wayang serta lakon teater menjadi ciri khasnya. Darah seninya mengalir

dari Ki Suwati, dalang di daerah Slawi, Tegal yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Lahir dan besar di lingkungan seniman membuat pria yang berbobot 300 kilogram ini akrab dengan berbagai bidang budaya sejak anak-anak. Slamet Gundono lama bersemedi di pesantren, ia akrab dengan dunia santri-kiai dan mengaji. Narasi Gundono masa kecil adalah kehidupan orang-orang desa yang akrab dengan agama. Gundono mengenyam pendidikan dasar hingga menengah di Tegal. Ia kemudian hijarah ke Solo, untuk belajar seni pedalangan di STSI Surakarta.

Biografi Rasa: Dalang Mbeling Dalam dunia kesenian Indonesia, Slamet Gundono memberi kontribusi penting. Ia menjadi sosok dalang yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada rakyat kecil. Lakon wayang


dipentaskan Gundono, seringkali keluar dari pakem. Ia meruntuhkan standar estetis yang selama ini menjadi tembok penghalag pembaharuan seni wayang. Bersama kawan-kawannya, ia mendirikan Komunitas Wayang Suket. Komunitas ini, rajin mementaskan lakon-lakon wayang dan teater untuk mengkampanyekan persaudaraan antar sesama, kepedulian terhadap alam, cinta kasih, dan kritikan pada penguasa. Mbeling-nya Gundono menjadi catatan penting. Pada 1995, di Festival Greget Dalang, dalam repertoar yang dipentaskannya, ia memilih untuk membikin Pandawa Lima gugur. Ia berusaha mendekonstruksi mitosmitos terkait wayang, yang selama ini menjadi paham publik. Gundono, telah mementaskan lakon-lakon wayang dan teater di pelbagai daerah di Nusantara dan luar negeri. Dalam sejarah seni, ia telah menelorkan karya besar, diantaranya adalah Togog Mbilung Bedah Tumpeng Duryudan, Saurti Kanthi, Limbuk Surti Kanthi, Gugur Gugur Rasa, Tali Rasa Rasa Tali (1998); Wayang Suket, lakon Kelingan Namun Kelangan (Karno Putra Dewa Matahari, Suksesi atau Rahwana Lahir, Limbuk Ingin Merdeka, Bibir Merah Banowati, 1999); Wayang Air, Banyu, Iso Takon Apa Sira Punya Ibu? (2003); Wayang Guyub Ndesa, lakon Gatotkaca (Embun Kang Tinatah); Wayang Api (2006); Wayang Lindur, lakon Celengan Bisma, Uma, Nyai Sendon Kloloran (Sudamala); Wayang Kondo-M, lakon Minggatnya Cebolang (2009). Pada tiga tahun terakhir, Gundono aktif mementaskan Wayang Suket di pelbagai daerah. Gundono juga pernah berkolaborasi dengan peneliti Prancis Elisabeth Inandiak untuk mementaskan lakon Cebolang, yang berasal dari kisah Serat Centhini. Dibandingkan dengan dalang lainnya, semisal Ki Enthus Susmono, Ki Anom Suroto, maupun Sudjiwo Tedjo, Slamet Gundono memberikan narasi yang berbeda. Gundono, dalam lakon wayang suketnya, sering memberikan tafsir kontekstual tentang alam, kosmologi kehidupan, tafsir cinta kasih dan hubungan dengan Tuhan. Gundono menjadikan wayang sebagai media kreatif untuk membela rakyat kecil dan alam. Proses untuk ‘terus menerus mencari’ dalam dunia seni, menghantarkan Gundono sebagai seniman berpengaruh. Pada 2011, ia meluncurkan buku ‘Pertanyaanku Tuk Air:

Antologi Pertanyaan Puitik Dalang Suket.’ Buku ini merupakan refleksi Gundono tentang air, sebagai representasi dari alam dan kehidupan. Visi kebudayaan Gundono adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan, dan alam sebagai inti kehidupan.

Kosmologi Seni Saya terkenang dengan Slamet Gundono ketika ia berkhidmat untuk memeriahkan haul Kiai Mutamakkin, di Kajen, Pati, Jawa Tengah, sekitar empat tahun lalu. Gundono, bersama Hanindawan, Sosiawan Leak dan komunitas Wayang Suket. Ia fasih dan jernih mementaskan kisah-kisah tentang ‘Manunggaling Kawula Gusti’, serta konsep emanasi dengan bahasa rakyat yang mudah ditangkap. Juga, kritiknya pada penguasa agar selalu dekat dengan warga kecil. Dalam tafsir estetiknya, Gundono mampu menghadirkan kisah Kiai Mutamakkin dengan bahasa, etika dan narasi estetik yang memukau. Kisah-kisah tentang perseteruan Ketib Anom- Kiai Mutamakkin dihadirkan dengan narasi yang segar, namun tidak membuat bingung. Gundono seolah mengenali liku dan detail dari narasi hidup kiai Mutamakkin, yang mengembangkan Islam di kawasan pesisir Jawa pada akhir abad XVII dan awal XVIII. Gundono, mengembalikan kiai Kiai Mutamakkin, dari kisah pinggiran kekuasaan menuju panggung utama dengan tafsir atas narasi sejarah. Slamet Gundono, dengan ukulele dan tembang lirihnya, telah menyumbang banyak hal bagi kesenian Indonesia. Suluk-suluk Slamet Gundono menjadi jalan untuk mencari keheningan, di negeri yang riuh ini.

*Munawir Aziz. Alumnus CRCS Pascasarjana UGM, Peneliti tamu di Goethe-Frankfurt Universitat Jerman. Penulis Buku Lasem Kota Tiongkok Kecil (Ombak, 2014). Twitter: @MoenawirAziz

3


Forum

Foto: The Readinggroup.sg

Ahmad Suaedy:

Menuju Islam Indonesia

S

yang Mendunia

uaedy adalah salah satu dari sedikit orang yang menggeluti gagasan Gus Dur tentang Islam Indochina. Negara-negara di semenanjung Asia ini membentuk wajah Islam yang khas sebagai perpaduan budaya Arab, Persia, dan China. Di sini, muslim membentuk koloni paling besar di dunia berdampingan dengan komunitas Budhis yang juga terbesar. Meski budayanya kaya dan jumlahnya ratusan juta, Islam Asia Tenggara senantiasa berada di tepi Dunia Islam. “Ekspresi Asia Tenggara adalah pluralitas tradisi dari Hindu, Budhis, Animis, dan tradisi lokal lainnya. Salah satu cirinya adalah kedekatan dengan alam yang sangat berbeda dengan kondisi Arab yang kering,� jelas Direktur Eksekutif Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia ini. Menurut pria yang terlibat dalam sejumlah penelitian tentang Islam di Asia Tenggara ini, Islam Indonesia seharusnya bisa menjadi wakil dari wilayah ekspresi

4

Edisi 11 / Januari 2014

Islam Asia Tenggara yang plural itu. Dengan jumlah terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia memengaruhi dunia Islam untuk memecah hegemoni Timur Tengah. Selama ini dominasi Arab terjadi karena memiliki legitimasi historis dan faktor ekonomi. Gus Dur sudah memberikan contoh. Kita tidak menolak Barat, tetapi mengkritis mereka. Demikian pula terhadap tradisi Arab dan lainnya. “Ada tiga hal penting yang harus dilakukan agar Islam Indonesia menjadi representasi Islam dunia, yaitu penguasaan bahasa, karya intelektual terutama yang bisa dibaca oleh dunia, dan kemajuan ekonomi. Kita sedang menuju ke sana,� tandas pria asal Kebumen ini. Ia juga terlibat aktif dalam mengawal kelompok minoritas dan menerbitkan buku-buku senad. (Nabila)


Pergulatan

Membagi

Konsentrasi

K

H. Abdurrahman Wahid adalah sosok yang multidisipliner. Ia tidak hanya dapat ditafsirkan dalam satu perspektif, tetapi harus mengaitkan perspektif lain untuk dapat memahami. Memaknai pemikirannya menggunakan satu perspektif akan berdampak pada kekeliruan hermeneutis. Meski multidisipliner, Gus Dur bukan orang yang ahli dalam setiap bidang yang ia geluti. Ia bukan tokoh yang ahli dalam bidang geologi dan ilmu alam, tetapi ia

Agenda

7

Jakarta

Forum Jum’at Pertama, Bedah buku Mas Syaiful Arif, Gus Dur & Humanisme. di Wahid Institute

Maret

konsen melakukan pembelaan terhadap perusakan lingkungan. Ia juga bukan orang yang begitu fasih mendalami seni budaya, namun suami Shinta Nuriyah ini berdiri paling depan ketika membela Inul Daratista. Demikian juga ketika memperbincangkan ekonomi kerakyatan yang ia sendiri menggagasnya, dia bukan seorang ekonom. Saya menganalogikan Gus Dur membuat sebuah garis tebal, yang garis itu menghubungkan antara satu konsentrasi dengan konsentrasi lainnya. Pada masingmasing simpul konsentrasi, ia membuat simpul turunan yang tidak terlalu panjang dan mengarah pada simpulan akhir. Lalu, Gus Dur mewariskan simpul turunan itu kepada para pengikut dan sahabatnya untuk memperpanjang dan mendalaminya serta menerapkannya dalam konsentrasi riil. Gus Mus misalnya, ia memperpanjang simpul fiqh social, Ahmad Suaedy memperpanjang benang Islam Indochina, Yenny Wahid memperpanjang garis politiknya dan seterusnya. Kini, kita sebagai pengikut Gus Dur harus mengambil salah satu benang konsentrasi itu serta memperpanjangnya. Cukup satu bidang untuk satu orang, tetapi mendalaminya dengan serius. (zah)

5


Gusdur Bertutur

Berkuasa dan

Harus Memipin

(Bag.2-Habis)

D

engan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat tersebut, jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada amanat yaitu mengutamakan kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD 1945, dengan rumusan “masyarakat adil dan makmur”. Hal ini jelas menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Pernah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan tersebut? Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran pun sudah tidak lagi kita lakukan. Kehidupan kita yang kering-kerontang ini sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kedua hal tersebut tidak lagi mengindahkan aspek moral/etika dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah-olah tidak memiliki kepemimpinan dan para pemimpin, karena kita sudah kehilangan aspek moral dan etika tersebut. Kepemimpinan kita saat ini, sebagai bangsa, hanya dipenuhi oleh basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.

6

Edisi 11 / Januari 2014

Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita, memiliki sebuah adagium yang sangat penting: “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi almashlahah) jelas menunjuk hubungan langsung antara sang pemimpin dengan rakyat yang dipimpin yang diukur dengan tingkat kesejahteraan rakyat mereka. Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan sungguh-sungguh? Kalau dilihat kelalaian para penguasa kita dewasa ini, tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang menjawab sekarang. Karena dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan secara sungguh-sungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, minimal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah bangsa ini sedang terseok-seok.Islam mengenal: “Tiada agama tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin” (lâ dîna illâ bi jamâ’atin wa lâ jamâ’ata illâ bi imâmatin wa lâ imâmata illâ bi imâmin), jelas sekali menunjuk pada pentingnya arti kepemimpinan dari sang pemimpin. Dengan demikian, kepemimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa. Ketika para pemimpin kita bertikai mengenai saat yang tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa


belum waktunya, tetapi semuanya mengetahui bahwa proklamasi harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan. Ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan keharusan siapa yang akan menyampaikan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat, bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, melainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada sebuah kenyataan di atas. Yaitu, bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, memerlukan jawaban serba-bagai dari para penguasa pemerintahan kita; dengan menciptakan sistem politik baru yang mengacu kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan perlakuan yangsama bagi semua warga negara di depan undang-undang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat, semuanya itu memerlukan kepemimpinan yang benar. Kepemimpinan yang memiliki keberanian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. {}

Mati Ketawa Mati Mati Ketawa Ketawa Keberatan Disebut “Kiai”

D

i Indonesia, tokoh agama selalu lekat dengan sandangan Kiai pada bagian depan namanya. Bahkan, menyebut tokoh agama tanpa sandangan tersebut dianggap kurang sopan, apalagi bagi kalangan santri. Namun, Gus Dur adalah salah satu yang berbeda dibanding para tokoh agama di Indonesia. Ia enggan menyandangkan nama Kiai pada namanya dan lebih nyaman dengan sebutan Gus. “Saya sih lebih seneng dipanggil ‘Gus’. Sebutan ‘kiai’ terlalu berat buat saya,” katanya. “Kok gitu?,” “Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi Gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikitdikit ngomong,” (red)

7


Konkow

Jaringan GUSDURian Tidak Berpolitik

M

araknya klaim sejumlah politisi dan partai politik membawa nama GUSDURian membuat Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, angkat statemen. Putri pertama KH Abdurrahman Wahid ini menegaskan Jaringan GUSDURian yang ia pimpin bebas dari kepentingan politik praktis dan tidak berafiliasi dengan partai politik apapun. Keputusan tersebut bukan merupakan keputusan yang baru, sejak awal didirikannya kelompok ini, sudah berkomitmen untuk tidak memasuki wilayah politik praktis. “Seorang gusdurian yg bergabung di Jaringan @GUSDURians tentu tetap punya hak politik, tapi tidak boleh bertindak atas nama JGD,” cuitnya melalui akun @AlissaWahid (16/1). Alissa menegaskan, politik praktis adalah salah satu warisan Gus Dur dan hal tersebut tidak bisa dinafikkan. Namun, komitmen Jaringan GUSDURian yang ia pimpin tidak memiliki arah gerak pada wilayah tersebut. (Nabila)

GUSDURian Peduli Bencana

Foto: Sukma Adi

B

8

encana alam yang muncul di banyak daerah pada musim penghujan tahun ini membuat Komunitas GUSDURian di berbagai daerah ikut ambil bagian. Jakarta dan Manado yang menjadi sorotan utama dalam bencana ini membawa GUSDURian setempat mengambil peran sebagai relawan. GUSDURian Jakarta menggalang bantuan yang dipusatkan di kantor The Wahid Institute. Para pegiat GUSDURian di ibukota ini terjun langsung didaerah yang sulit dan belum pernah terjangkau oleh tim relawan lainnya. “Kami dibantu sekitar 15-20 orang dari kawan-kawan JGD Jakarta terjun ke lokasi. Sementara yang stand by di posko untuk menerima sumbangan sekitar 3-5 orang, bergantian”, ucap Sukma Adi, koordinator distribusi bantuan. Ia mengatakan, bantuan yang diterima berwujud pakaian pantas pakai, mie instant, beras, biscuit, pembalut wanita, selimut, makanan bayi dan pakaian bayi serta alas tidur. Nominal bantuan yang disumbangkan lebih dari Rp 30 juta yang diterima dari link-link GUSDURian yang selama ini sudah terbangun. Koordinator Lapangan, Savic Ali, mengatakan, tim dibagi dalam dua titik, yakni Jakarta dan Bekasi, tepatnya di daerah Babelan dan Muara Gembong. Ditempat tersebut, sekitar 2000 jiwa membutuhkan bantuan. “Kami terjun langsung sekitar 2 minggu,” tambahnya. Sementara itu pada banjir bandang Manado, Sulawesi Utara, GUSDURian setempat juga melakukan penggalangan bantuan dan turut dalam tanggap darurat bencana bersama PCNU, GP Ansor dan aktivis lainnya. (AS_Ndari)

Edisi 11 / Januari 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.