Penanggung jawab
SekNas JGD Penasihat
Alissa QM Wahid Koordinator Divisi Media JGD
Heru Prasetia
Pemimpin Redaksi
Nabilah Munsyarihah Redaksi
Ahmad, Afan, Isna, Purwanto, Rifqiya Tata letak
S Jejak, Nabil Editor
e newsletter
Selasar
Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia
Kindi, Zia Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi
Manajemen Informasi JGD E d i s i1 6/A p r i l2 0 1 5
Sekadar Mendahului
K
onflik tambang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Edisi ini, Redaksi Selasar menghadirkan sebuah kisah penolakan tambang di sebuah desa kecil di Nusa Tenggara Timur yang digerakkan oleh kepemimpinan seorang Frater. Penolakan terhadap tambang adalah pengamalan teologi pembebasan. Sementara itu, membicarakan perkembangan Jaringan GUSDURian, komunitas GUSDURian Jogja memberikan contoh inspiratif. Mereka menggerakkan tradisi lisan dan tradisi tulis dengan kontekstualisasi isu yang segar. Semangat serupa juga perlu ditularkan ke komunitas GUSDURian lain di berbagai daerah. Selamat membaca!
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com. Redaksi tidak bertanggungjawab atas isi tulisan. Tulisan merupakan pandangan pribadi penulis. e-Newsletter ini adalah produk nonprofit.
?“
“
Bagi para pemimpin, kepemimpinan mereka diukur dari kemampuan mereka dalam mensejahterakan umat yang mereka pimpin KH. Abdurrahman Wahid
Selasar Edisi 16/April 2015
Menggerakkan Tradisi
Gambar: Aksi warga TTU menolak kehadiran PT ERI
Menolak Tambang
Mengamalkan Teologi Pembebasan
“
“
Agama�, kata Gus Dur, “tidak boleh jauh dari kemanusiaan
2
D
i Desa Oenbit, Kefamenanu, Timor Tengah Utara, NTT, Frater Kopong memimpin warga melakukan misa di lokasi tambang mangan. Di dalam lokasi pertambangan itu, hidup pohon kayu putih yang biasa digunakan masyarakat untuk mendirikan lopo (lumbung). Lopo ini juga di samping sebagai lumbung juga digunakan sebagai tempat pertemuan dan tempat mengurus adat. Ketika tambang mangan yang dikelolah oleh PT. Elgary masuk dan menggusur hutan, pohon atau kayu putih ini pun ikut tergusur yang pada gilirannya menyulitkan masyarakat untuk mendirikan lopo karena kesulitan mendapatkan pohon atau kayu putih. Pada awal Maret lalu mereka menyelanggarakan misa di lokasi tambang yang dihadiri oleh warga dari tiga suku Suku Naikofi, Ataupah, dan Taesbenu Masyarakat yang Frater Kopong dampingi pada umumnya adalah petani dan peternak. Dari sisi ekonomi, mereka masih berada pada posisi ekonomi menengah ke bawah. Hidup hanya mengandalkan pertanian dan peternakan serta tenun ikat. Jika tambang dioperasikan tanpa mereka mau, betapa sulitnya perubahan yang mereka hadapi. Frater Kopong bukan orang baru dalam gerakan
Selasar Edisi 16/April 2015 antitambang. Sebelum di NTT, ia bertugas mengabdi di Samarinda. Bersama jaringan setempat, ia terpilih menjadi koodinator Gerakan Samarinda Menggugat (GSM). GSM melaporkan dan menggugat Gubernur Kaltim, Walikota Samarinda, DPRD Kota Samarinda, Kementrian ESDM dan Kementrian Lingkungan Hidup ke pengadilan Negeri Samarinda. Pada tanggal 16 Juli 2014, Pengadilan Negeri Samarinda memenangkan gugatan GSM. Pindah ke NTT, ia menghadapi persoalan yang sama. Frater Kopong yakin sepenuhnya bahwa tambang merugikan karena keuntungan dan manfaat hanya bisa dinikmati oleh penguasa dan kelompok tertentu bahkan terjadi korupsi di bidang pertambangan. Yang paling menyakitkan, kehadiran pertambangan menjadikan masyarakat lokal sebagai buruh dan terasing di atas tanahnya sendiri. Seperti dalam konstelasi konflik tambang di mana pun, masyarakat terdikotomi dalam memaknai tambang, antara berkah dan kutukan. Frater Kopong bukan satu-satunya imam yang memimpin perlawanan tambang di NTT. Di Manggarai dan titik lain, para frater lainnya berinisiatif sesuai dengan keyakinannya untuk mengawal masyarakat yang percaya bahwa tambang tidak membawa kesejahteraan alih-alih menyingkirkan masyarakat setempat. Persoalan tambang di NTT semakin kompleks dengan tatanan feodal yang menguasai tanah. Pada umumnya, kepemilikan tanah di NTT dimiliki oleh beberapa suku besar dan atau tuan tanah yang biasa disebut sebagai tanah suku atau tanah adat. Biasanya tanah suku atau tanah adat ini berada dalam satu wilayah yang berdekatan atau juga tersebar di beberapa wilayah. Persoalannya adalah ketika satu suku menyetujui jual-beli tanah dengan pihak perusahaan tanpa sepengetahuan suku yang lain. Hal ini yang menyebabkan konflik antarmasyarakat dan masyarakat dengan perusahaan. Di sisi lain, ‘sistem gerilya’ yang dilakukan oleh pihak perusahaan dengan mendekati orang-orang tertentu dari suku tertentu agar melepaskan kepemilikan tanahnya untuk dibeli perusahaan. Awalnya pada 2008, penambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan volume yang tidak besar. Lantas penambangan dihentikan pada 2011 karena merusak kebun warga. Belakangan, PT ERI telah mengantongi Izin dari pemerintah kabupaten. Pertambangan yang menggunakan alat berat dan bakal menguasai 1.623 ha ini yang ditolak warga. Masyarakat tidak menginginkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dan meluas. Konflik tambang sebenarnya dapat dicegah jika pemerintah setempat tidak mengambil kebijakan sepihak. Pemerintah setempat demikian mudah menerbitkan izin bak kacang goreng. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan mengenai
masuknya pertambangan. Mereka tak percaya tambang dapat mendatangkan kesejahteraan, kecuali untuk sebagian orang. Terlalu mahal harga yang harus dibayar, mulai dari keberlanjutan pertanian dan peternakan hingga kebudayaan. Selain landasan sosial, Frater Kopong tergerak karena landasan teologis yang tertanam dalam sanubarinya. Seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian 1:1-2:2, Allah telah menjadikan semuanya baik adanya. Sejak awal penciptaan semua baik adanya untuk kesejahteraan manusia dan seluruh ciptaan. Manusia diberi tanggungjawab untuk mengolah sesuai kebutuhannya yang artinya tidak secara serakah. Tidak hanya mengolah tetapi merawat dan memulihkan. Maka dengan membela masyarakat yang menjadi korban tambang, berarti kita sadar akan tanggungjawab kita untuk mengolah, merawat dan memulihkan ciptaan Allah dari kehancuran. Catatan penting dari setiap kemunculan gerakan antitambang bukan seberapa banyak pundi-pundi keuntungan yang bisa dikeluarkan dari perut bumi, melainkan bagaimana pendapat masyarakat didengar untuk memutuskan nasib tanah air yang mereka pijaki. Masyarakat Kefamenanu menolak tambang karena bagi mereka kehadiran tambang telah merampas tanah mereka yang seharusnya bisa diolah untuk pertanian. Di sisi lain karena kehadiran tambang merusak lingkungan dan mengancam tempat-tempat yang biasa dijadikan sebagai ritual adat. Isu yang tak kalah penting adalah akuntabilitas pemerintah dalam implementasi kebijakan petambangan dan pengelolaan tambang oleh perusahaan. Belajar dari pengalaman Samarinda, di mana ada pertambangan maka posisi masyarakat dengan segala adat-budayanya akan tersingkir. Berbicara masyarakat tidak hanya berbicara soal fisik atau geografis masyarakat tetapi menyangkut segala identitas termasuk adat, budaya, alam, air, hutan, dan tanah yang menjadi inti kehidupan masyarakat. Kehadiran pertambangangan secara nyata menghancurkan air, tanah, semesta, lingkungan hidup dengan segala isinya serentak adat dan budayanya. Dengan menolak tambang, masyarakat Oenbit diharapkan adalah kebijakan yang pro rakyat misalnya dengan memberikan dukungan yang konkret dengan mencarikan pemasaran bagi hasil pertanian dan peternakan. Termasuk mendukung dan mempromosikan usaha masyarakat di bagian tenun ikat dan kerajinan tangan. “Kalau pemerintah cerdas dalam mengelolah dan mendistribusikan hasil pertanian, peternakan serta tenun ikat dan kerajinan tangan, masyarakat Kefamenanu akan lebih sejahtera,� tandas Frater Kopong. [] -Ahmad S, Nabila
3
Selasar Edisi 16/April 2015 ...........................................................
Forum
Foto: jejak
“....Melanjutkan Gus Dur bukan berarti membebek...�
Menanam Benih
Penerus Gus Dur
M
elanjutkan Gus Dur bukan berarti membebek. Setiap tokoh besar yang mewariskan pemikiran penting akan diperbincangkan dalam diskursus yang panjang. Pemikiran Gus Dur masih relevan dan para GUSDURian Jogja ini memberikannya sentuhan kreativitas. GUSDURian Jogja terdiri dari berbagai unsur, tapi di antara mereka ada sekelompok anak muda jebolan Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang telah digelar tiga kali. Usai pelatihan, sebagian dari mereka yang bertahan meramu strategi untuk menyebarkan gagasan dengan cara mereka sendiri. Dengan dukungan dari berbagai kalangan, mereka rutin mengadakan majelis sholawat, merilis buletin jumat, dan mengelola situs online. MSG yang dikoordinasi oleh Mukhibullah rutin digelar tiap rabu terakhir di tiap bulannya dengan mengundang tokoh-tokoh tertentu dan dengan tema-tema yang menarik dan aktual lainnya. Acara shalawatan dibuka dengan pembacaan tahlil, dilanjutkan dengan mauidloh hasanah, dan terakhir ditutup dengan pembacaan shalawat. “Sebenarnya langkah awal yang kita lakukan hari ini adalah tempat ngumpul sederhana cuma lambat laun kita berkembang dan pada akhirnya kita mewujudkan sebuah acara rutinan tiap bulan
4
namanya MSG�, ungkap Mukhibullah. Selain menggerakkan tradisi lisan, kaum muda GUSDURian Jogja juga merawat tradisi tulis dengan menerbitkan buletin jumat. Buletin ini turut mewarnai pertarungan gagasan Islam di Jogja bersama dengan buletin jumat lain yang diterbitkan oleh kelompok Islamis. Setiap jumat, mereka mendistribusikan tidak kurang dari 500 eksemplar ke lima belas masjid di sekitar Jogja. Gaya tulisan yang reflektif memberikan kesan yang tidak kaku dalam memaknai agama. Sebagai kelanjutan dari diskusi dalam KPG yang singkat, para alumni KPG Jogja mencerna dan mereproduksi pemikiran Gus Dur dalam situs santrigusdur.com. Situs ini berisi berbagai resensi buku-buku Gus Dur dan opini dalam merespon isu aktual. Sebagai ikhtiar meneruskan Gus Dur, mutlak untuk melatih intelektualitas yang peka terhadap realitas. GUSDURian Jogja secara fisik memang dekat dengan Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. Keberadaan SekNas memang membantu mereka berkembang, selain situasi budaya dan akademi Jogja yang mendukung. Namun kreativitas dan semangat untuk menjadi bermanfaat yang menjadikan mereka mengembangkan komunitas secara mandiri dan progresif.[] -Ahmad, Firda
Selasar Edisi 16/April 2015
Gus Dur Bertutur
Salahkah Bila Dipribumikan? (Bagian 1) Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarah-nya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya.
M
ula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturutturut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki. Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masingmasing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain. Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, multi, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri. Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal.
Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah. Kalau di bidang politik termasuk doktrin kenegaraan dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam . Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negaranegara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan.
Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya wali songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat. Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Alqur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. (Sumber: TEMPO, 16 Juli 1983)
5
Selasar Edisi 16/April 2015 ...........................................................
Kenduri Pohon sebagai Aksi Penghijauan
Lumajang - Membangun cinta antara manusia dengan pohon, manusia dengan alam, manusia dengan gunung adalah misi diadakannya Kenduri Pohon. Acara yang berlangsung pada tanggal 7-8 Maret 2015 di gunung Lemongan, Kabupaten Lumajang ini dilaksanakan oleh Masyarakat Pecinta Alam Nusantara (MAPAN) bersama Laskar Hijau dan beberapa aktivis alam lainnya. Dalam acara Kenduri Pohon ini, para relawan berhasil menancapkan kurang lebih 500 bibit bambu petung, 500 bibit nyamplung, 6000 bibit mente dan 500 bibit pohon lainnya di lereng Gunung Lemongan. Bibit tersebut didapatkan secara swadaya dari masyarakat yang peduli terhadap pelestarian alam tanpa adanya campur-tangan dari pemerintah maupun pihak Perhutani. Selain dengan menanam bibit, diskusi tentang gerakan konservasi berbasis masyarakat, acara ini juga dimeriahkan oleh musisi dan sekaligus pencipta lagu, Turmedzi Djaka dari Kelompok Musik Dzikir, Sumenep. MAPAN dan Laskar Hijau bersepakat menjadikan Kenduri Pohon sebagai agenda rutin tahunan yang dilaksanakan setiap awal musim tanam di Gunung Lemongan pada setiap bulan November.
6
.......................................................................................................
Kongkow
Mengapa Islam Nusantara? Jakarta - Para pemuda NU dan aktivis GUSDURian menggelar diskusi bertajuk ‘ Mengapa Islam Nusantara?’ di kantor PBNU, Jakarta Pusat pada Jumat 10 April 2015, malam. Diskusi ini diadakan menjelang Muktamar NU ke-33 yang bertema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’. Hadir sebagai pembicara, Bisri Effendy, budayawan dan peneliti senior, Mahrus ElMawa, kandidat doktor filologi dan sebagai moderator Ulil Hadrawi, dosen sastra Arab UIN Jakarta. “Kita harus mendefinisikan Islam Nusantara sendiri, sebelum didefinisikan orang lain. Masak Amerika mendefinisikan Islam sebagai teroris ini kan repot,” tutur alumnus Leiden University ini, Bisri Effendy. Mahrus El-Mawa mengatakan, melalui naskahnaskah kuno Islam Nusantara, kita bisa melihat seperti apa tradisi dan praktik masyarakat Islam di negeri kita saat itu. Kekhasan dari Islam Nusantara ialah kekentalan lokalitasnya. Berbeda dengan Arab. Diskusi semakin seru ketika sesi tanya jawab berlangsung. Alissa Wahid sebagai koordinator Gusdurian menambahkan, Islam Nusantara itu seperti yang dicerminkan oleh para pendiri NU. Kiai-kiai memilih lima nilai meliputi tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), tasamuh (toleran), serta amar makruf nahi mungkar”. (Okezone.com)
Selasar Edisi 16/April 2015
Sinta Nuriyah Menuntut Ketegasan Presiden
Yogyakarta - Penguatan gerakan anti korupsi yang dilakukan seluruh elemen masyarakat, semangat anti korupsi sebagai bagian wajib dari pendidikan anak, tumbuhnya sikap berani bersih ke semua lini kehidupan dan perempuan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Empat poin penting yang disuarakan oleh Sinta Nuriyah Wahid, Istri Almarhum
Abdurrahman Wahid dalam acara Cuci Bersih Koruptor. Aksi Cuci Bersih Koruptor berlangsung pada tanggal 08 Maret 2015 bertempat di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Aksi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat. Diantaranya Fatayat NU DIY, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sabda), Jaringan Pekerja Rumah Tangga (JPRT), kalangan ibu rumah tangga, rohaniawan, politisi, akademisi, buruh, petani, dan pengusaha. Mereka tergabung dalam Perempuan Indonesia AntiKorupsi (PIA).
Aksi ini diselenggarakan untuk memperingati hari perempuan internasional sekaligus aksi keprihatinan perempuan Indonesia atas maraknya korupsi di Indonesia. Dimulai dengan Longmarch dari Alun-Alun Utara menuju BPNB sembari memukuli perabotan rumah tangga, kemudian dilanjut dengan orasiorasi terkait pengalaman perempuan sebagai korban korupsi. Acara ini diakhiri dengan orasi Sinta Nuriyah menuntut ketegasan presiden dalam menyelesaikan masalah korupsi dan meminta segera dihentikannya aksi kriminalisasi serta pelemahan KPK.
-----------------------------------------------------JGD Gelar Pelatihan Fasilitator KPG Yogyakarta- Pegiat GUSDURian dari 50 kota, pada hari sabtuminggu, 28-29 Maret 2015, berkumpul di Wisma Batik Yogyakarta mengikuti Pelatihan untuk Fasilitator yang diselenggarakan Seknas Jaringan GUSDURian. Pelatihan ini bertujuan untuk membentuk fasilitator Kelas Pemikiran Gus Dur di berbagai daerah dan membangun kesepahaman bersama tentang penyelenggaraan Kelas Pemikiran Gus Dur. Salah satu kunci sukses dalam sebuah pelatihan adalah adanya fasilitator. Begitu juga dengan
Kelas Pemikiran Gus Dur. Fasilitator Kelas Pemikiran Gus Dur adalah orang yang memastikan tujuan Kelas Pemikiran Gus Dur, tujuan materi-materi Kelas Pemikiran Gus Dur, dan tahapan pelaksanaan Kelas Pemikiran Gus Dur bisa tercapai dan berjalan dengan baik. Pelatihan ini diampu oleh dua fasilitator utama, Hairus Salim dan Alissa Wahid, dibantu cofasilitator Heru Prasetia dan Jay Ahmad. Selain itu pada pelatihan ini juga menghadirkan Wijanarko
(Direktur Kerjasama Dalam dan Luar Negeri KPK), Imam Aziz (Ketua PBNU dan Ketua Panitia Muktamar NU ke 33) dan Savic Ali (Aktivis Sosial) yang berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan peserta.[] Red.
7
Selasar Edisi 16/April 2015
Pergulatan RA Kartini;
Antitambang
D
ulu, R.A. Kartini menulis kontemplasi-nya yang membuncah untuk mengkritik situasi kolonial. Pribumi jadi warga nomor buntut yang dijadikan budak di negeri sendiri. Dimiskinkan dan dibodohkan. Mungkin bukan kebetulan jika di abad 21 ini muncul para Kartini baru yang sama gelisahnya dengan R.A. Kartini bergerak dari Kendeng, Rembang dan Pati. Mereka gelisah karena di atas tanah mereka akan dibangun perusahaan tambang dan dalam bumi mereka akan dikeruk. Lantas mata air mereka akan perlahan kering. Mereka bukan bangsawan. Ibu-ibu ini petani biasa yang anggun dan gagah berani menentang upaya pengerusakan lingkungan yang digerakkan oleh pemodal besar. Seperti kisah petani sejak dulu, nasibnya digilas. Seolah pertanian itu hal usang. Padahal semua orang masih doyan nasi dan hasil bumi.
kemendikbud.go.id
Mati Ketawa “Beternak Lebah� Saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) tidak henti didemo. Dalam suasana seperti itulah cucu KH. Hasyim Asy'ari itu, melantik pengurus
8
Perhimpunan Peternak Lebah di Jakarta akhir Maret 2000. Dalam pidatonya, Gus Dur antara lain memaparkan mengenai kondisi peternakan lebah terkini. "Kita ini setiap tahun masih mengimpor 350 ribu ton lebah dari luar negeri," tutur dia.
"Lah, orang-orang yang berdemo itu, daripada mendemo menterinya mbok lebih baik beternak lebah, supaya kita tidak mengimpor lagi!" pinta Gus Dur.