2 minute read

BAB 2-SVLK

Next Article
Pemantauan

Pemantauan

BAB II SVLK

Sudah sejak dulu kala, kasus pembalakan liar terjadi di banyak negara pemilik hutan tropis termasuk Indonesia. Pembalakan liar di Indonesia menimbulkan kerusakan hutan dan berbagai persoalan lingkungan hidup termasuk kerugian secara ekologis, sosial-ekonomis dan bahkan politis. Hal tersebut ditandai dengan kerusakan hutan yang mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun dengan nilai kerugian secara sosial ekonomi dan ekologis berupa perubahan iklim, longsor, banjir dan rusaknya habitat hutan/alam mencapai Rp. 530 triliun.42 Di Indonesia, pembalakan liar menjadi perhatian pemerintah terutama sejak tahun 1990 an. Di samping karena skala kayu yang ditebang secara ilegal jauh melampaui pasokan kayu lestari, pembalakan liar juga dihubungkan dengan isu-isu yang lain seperti hilangnya keanekaragaman hayati serta praktek pengurusan hutan yang koruptif.43

Advertisement

Maraknya kasus pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, yang mengakibatkan kerusakan hutan secara besar-besaran pada masa tersebut, berdampak pada menurunnya daya saing produk kayu kehutanan Indonesia di mata konsumen, dan juga berdampak buruk pada tata pemerintahan kehutanan di Indonesia. Hal tersebut terjadi salah satunya karena lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan. Selain itu juga munculnya keraguan dari konsumen atas ketidakjelasan jaminan dan legalitas produk, sehingga menimbulkan citra buruk bagi Indonesia.

42 Lihat Kartodihardjo (2006) dalam Basuki, Mursyid, dan Kurnain, “Analisis Faktor Penyebab dan Strategi Pencegahan Pembalakan Liar.” 43 Maryudi, “Choosing Timber Legality Verification as a Policy Instrument to Combat Illegal Logging in Indonesia.”

Untuk memerangi kasus pembalakan liar yang tak kunjung usai, dan juga memutus jaringan pelaku kejahatan kehutanan yang sangat sulit disentuh, perlu adanya perhatian khusus yang tidak lain adalah dengan mewujudkan perbaikan tata kelola kehutanan yang lebih baik serta perdagangannya. Hal lain yaitu perlunya keterbukaan informasi, keterlibatan para pihak, dan juga membenahi penegakan hukum. Pada tahun 2001 diadakanlah Konferensi Tingkat Menteri Regional pertama tentang Penegakan Hukum dan Tata Kelola/Forest Law Enforcement Governance (FLEG) untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik di Bali. Lalu kemudian pada tahun 2002 ditandatangani MoU atau perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Inggris untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan penegakan hukum, memerangi pembalakan liar dan perdagangan internasional produk kayu ilegal.

Setelah adanya perjanjian kerjasama antar dua negara, dan inisiatif dari para pihak melalui proses partisipasi para pemangku kepentingan, sejak tahun 2003 pihak Uni Eropa mengadopsi perjanjian tersebut dan menambahkan satu aspek, tentang perdagangan menjadi rencana aksi atau European Union Forest Law Enforcement, Governance and Trade action plan (EU FLEGT action plan). Sejak saat itu muncul inisiatif untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal, melalui skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Berbagai diskusi terus digulirkan, untuk membawa inisiatif tersebut dengan tujuan menjamin bahwa kayu dan produk kayu berasal dari sumber yang legal, serta diharapkan adanya upaya mendorong seluruh produk kayu di Indonesia dihasilkan dari pengelolaan hutan yang lestari.

Rangkaian demi rangkaian pembahasan terkait proses menuju finalisasi SVLK terus berlanjut, diikuti dengan negosiasi Forest Law Enforcement, Governance and Trade - Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA).44 Kemudian pada tahun 2008, kelompok multi pihak di bawah naungan Dewan Kehutanan Nasional, mengajukan standar legalitas kayu beserta sistem verifikasinya kepada Pemerintah untuk diadopsi sebagai peraturan wajib. Hingga akhirnya pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia memberlakukan SVLK, dengan diterbitkannya Permenhut 38/2009 tentang Pedoman untuk Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu untuk Pemegang Izin dan Hutan Rakyat.

44 FLEGT VPA adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra.

18

This article is from: