3 minute read

BAB 1-Posisi

Next Article
Rakyat Memantau

Rakyat Memantau

BAB I Posisi

Ada satu lelucon tentang sebutir jagung dan ayam.12 Entah kenapa, ada seseorang merasa dirinya sebagai sebutir jagung. Setiap bertemu dengan ayam, dia selalu menggigil ketakutan. Takut dipatok. Dokter menasehati, melakukan terapi selama beberapa minggu, dan akhirnya pasien itu sadar, kalau dirinya adalah manusia, bukan sebutir jagung. Sesaat pasien keluar dari ruang dokter, dia berbalik masuk lagi, gemetar ketakutan. Dia melaporkan bahwa ada ayam di depan, dan dia takut ayam itu akan memakannya. “Saudaraku” kata dokter, “Anda tahu betul bahwa Anda bukan sebutir jagung, tetapi seorang manusia.” “Tentu saja, saya tahu itu,” jawab pasien, “tetapi apakah ayam itu mengetahuinya?”

Advertisement

Lelucon itu mau kami tempatkan pada apa yang terjadi pada pengaturan legalitas kayu di Indonesia. Tentu saja ayam akan tahu kalau orang tersebut bukan sebutir jagung. Demikian halnya akademisi dan aktivis masyarakat sipil yang memperjuangkan masyarakat adat mengetahui bahwa masyarakat adalah pihak yang paling dekat baik pengetahuan maupun penglihatan sehari-hari atas sumber daya alam yang ada di Indonesia.13 Namun, pengelolaan sumber daya alam selama ini masih menggunakan pendekatan pengetahuan akademik.14 Pasca pemerintahan orde baru di Indonesia, slogan pelibatan hingga pengarusutamaan masyarakat adat/lokal dalam

12 Kisah ini sering diutarakan oleh Filsuf nyentrik kelahiran Slovenia bernama Slavoj Zizek. Kami adopsi dari karya terbarunya yaitu Zizek, Pandemik! Covid-19 Mengguncang Dunia, 3. 13 Afiff dan Lowe, “Claiming Indigenous Community.”; Carson dkk., “Indigenous Peoples’ Concerns About Loss of Forest Knowledge.” 14 Untuk pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan yang menggunakan pendekatan akademik kehutanan, lihat Peluso, Hutan Kaya Rakyat Melarat.

pengurusan sumber daya alam di Indonesia mengemuka hingga saat ini.15 Namun sayangnya, slogan itu masih berada di atas sistem kepentingan, pengetahuan, serta kebijakan yang bertolak belakang. Dalam kebijakan pemerintah yang lain, misalnya kebijakan tentang reforma agraria dan perhutanan sosial, memang ada peningkatan jumlah pengakuan dari pemerintah atas masyarakat adat/lokal dan luasan hutan yang mereka kelola.16 Sebagai gambaran, proporsi perizinan pengelolaan hutan yang semula untuk masyarakat adat/ lokal hanya 4% pada tahun 2014, sekarang sudah naik mencapai 14-15% melalui kebijakan Perhutanan Sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Tetapi dalam kebijakan pengaturan legalitas kayu, praktek pengarusutamaan peran masyarakat adat/lokal terutama dalam aspek pemantauan masih jauh dari angan. Dalam regulasi pemerintah, disebutkan bahwa Pemantau Independen adalah masyarakat madani baik perorangan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia.17 Dalam prakteknya, apa yang disebut masyarakat madani tersebut tidak terjangkau oleh masyarakat adat/lokal karena berbagai persyaratan administratif misalnya persoalan identitas dan kapasitas. Sehingga, atas situasi tersebut, pemantauan hanya dapat dijangkau oleh masyarakat madani golongan menengah kota yang memiliki akses atas segala bentuk persyaratan administratif tersebut. Padahal, pengaturan legalitas kayu bukan hanya persoalan bagaimana sebuah unit usaha kayu dan kehutanan mentaati peraturan yang berlaku, tetapi juga tentang bagaimana unit usaha tersebut ber-produksi, menggunakan tenaga kerja, dan memberi dampak banyak bidang pada masyarakat adat/ lokal tempatan. Cara produksi legalitas kayu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara produksi pengusahaan kayu dan kehutanan itu sendiri. Pertanyaannya, bagaimana dengan peran masyarakat adat/ lokal dalam pengaturan legalitas kayu?

Dalam Bab ini, kami ingin menceritakan tentang bagaimana pemantauan legalitas kayu yang dilakukan oleh masyarakat adat/ lokal adalah wacana masa depan untuk keberlangsungan pengaturan

15 Li, “Articulating Indigenous Identity in Indonesia.” 16 Pengakuan terhadap masyarakat adat/lokal dan ruang kelolanya pun tidak selalu berbanding lurus dengan pengakuan atas pengetahuan dan kepentingan masyarakat adat/lokal. Narasi bahwa masyarakat adat/lokal lebih mampu mengelola sumber daya alam justru kadang berbalik menjadi pelimpahan atau ‘lempar’ tanggung jawab pelestarian sumber daya alam dari pemerintah dan perusahaan swasta kepada masyarakat adat/lokal melalui proses yang dikenal dengan Responsibilization. Silahkan periksa Mustalahti dkk., “Responsibilization in Natural Resources Governance.”; Erbaugh, “Responsibilization and Social Forestry.” 17 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.8 tahun 2021.

2

This article is from: