3 minute read
SVLK
SVLK
Sejak tahun 2009, Indonesia telah satu dasawarsa lebih menyelenggarakan suatu kebijakan tentang legalitas kayu dalam pemungutan, peredaran, dan perdagangannya. Tujuan dari kebijakan ini ada tiga yaitu untuk mencapai pengelolaan hutan produksi secara lestari, penerapan tata kelola kehutanan yang baik, serta pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya.30 Kebijakan tersebut berwujud Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan istilah yang dikenal dengan akronim SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang secara mandatory atau wajib harus diikuti oleh pelaku usaha kayu dan kehutanan. Dalam kurun waktu satu dasawarsa tersebut, peraturan ini telah mengalami tujuh kali perubahan oleh pemerintah.31 Perubahan terakhir yaitu terbitnya Permen LHK 8/2021 yang memuat 911 halaman dan mencakup banyak sekali urusan kehutanan termasuk SVLK. Dalam Permen tersebut, kepanjangan SVLK berubah dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian.32
Advertisement
Inisiatif indonesia ini merupakan respon dari Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) atau penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan bidang kehutanan, sebuah kebijakan Uni Eropa yang diumumkan tahun 2003. Kebijakan ini pada intinya tentang persyaratan legalitas tertentu bagi kayu dan produk kayu yang masuk ke negara Eropa. Untuk negara asal kayu yang akan menyepakati ini demi produknya bisa masuk ke Eropa, harus dengan perjanjian kerjasama berwujud Voluntary Partnership Agreements
30 Lihat bagian ‘Menimbang’ poin d dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. 31 Sejak diterbitkan tahun 2009, peraturan mengenai SVLK telah berubah sebanyak 7 kali. Berikut ini urutan perubahannya: Permenhut 38/2009; 68/2011; 45/2012; 42/2013; 43/2014; 95/ 2014; Permen LHK 30/2016; 21/2020; dan 8/2021. Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang berprinsip melakukan penyederhanaan dan penggabungan peraturan. Dalam bidang kehutanan kemudian muncul peraturan turunan dari UU tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Atas dasar dua kebijakan tersebut, Menteri LHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK 8/2021 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi. Permen LHK tersebut sangat tebal dengan 911 halaman, dan mencakup banyak urusan di dalamnya termasuk SVLK. Sehingga, rujukan kebijakan SVLK saat ini adalah Permen LHK 8/2021 tersebut. 32 Sampai dengan saat ini, kami belum menemukan argumentasi yang diajukan oleh Pemerintah tentang perubahan istilah dari legalitas kayu menjadi legalitas dan kelestarian. Namun, melihat perubahan-perubahan regulasi dalam legalitas kayu tersebut dapat dilihat paradoksialnya antara mempertahankan kualitas sistem legalitas dan kebutuhan industri utamanya industri skala kecil dalam usahanya. Lihat Maryudi dkk., “Mandatory Legality Licensing for Exports of Indonesian Timber Products.” 7
(VPA). Indonesia telah mulai menegosiasikan VPA dengan Uni Eropa sejak tahun 2007, dan berhasil menandatangani kerjasama tersebut tahun 2013. Dan atas dasar itu, pada tahun 2016, Indonesia berhasil menjadi negara pertama di dunia yang mendapatkan lisensi FLEGT. Dengan Lisensi FLEGT maka produk perkayuan Indonesia dijamin melewati green-lane atau “jalur hijau” untuk memasuki pintu impor negara-negara anggota Uni Eropa, karena telah memenuhi European Union Timber Regulation (EUTR). Empat belas negara penghasil kayu tropis lainnya sedang mengembangkan sistem nasional untuk memastikan legalitas dibawah mekanisme FLEGT. Sebagai bagian dari mekanisme ini, negara-negara pengekspor diharuskan untuk menerapkan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penebangan kayu secara ilegal.33
Kembali ke belakang, tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan tentang SVLK yang beberapa kali telah berganti hingga kini. Sebelum 2009, proses panjang dimulai untuk membicarakan peraturan ini. Banyak pihak terlibat mulai dari pemerintah, pengusaha kayu, LSM, lembaga yang berkompeten dalam penyusunan standar, akademisi, asosiasi bisnis, dan masyarakat. Proses tersebut juga didukung oleh lembaga-lembaga donor dunia. Dalam setiap peraturan tentang SVLK sejak 2009 hingga terakhir, Pemantau Independen dan kegiatan pemantauan selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Permen LHK 8/2021 memuat 5 pasal tentang Pemantau Independen. Dalam pasal 244 ayat 2 disebutkan ‘Pemantauan dilakukan terhadap pelayanan publik di bidang SVLK sebagai bentuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas’. Jadi, selain proses yang multipihak, untuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas dan integritas dari verifikasi legalitas ini maka diperlukan pemantauan, sejak dari tahap formalisasi, standarisasi, audit, dan labelisasi. Menurut Setyowati dan McDermott (2016),34 dalam empat tahap kunci tersebut telah tercipta perpaduan unik antara otoritas negara dengan permintaan pasar untuk menyebut mana kayu dan produksi kayu yang dinyatakan legal maupun yang tidak melalui penyusunan standar, audit yang dilakukan oleh lembaga verifikasi legalitas kayu, dan penerbitan label legal oleh lembaga verifikasi yang telah melakukan audit tersebut. Masalahnya, menurut Setyowati dan McDermott, tentang hak-hak masyarakat lokal dan
33 FAO & UNEP, The State of the World’s Forests; Maryudi dkk., “‘A Level Playing Field’?”; Setyowati dan McDermott, “Commodifying Legality?” 34 Setyowati dan McDermott, “Commodifying Legality?,” 752–60. 8