4 minute read
Pemantauan
tentang korupsi masih perlu untuk diperbaiki. Sebagaimana kita ketahui bersama, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dulu pernah bilang, penyebab illegal logging adalah korupsi.35 Dengan demikian, seberapa jauh pelaksanaan SVLK ini juga bergantung pada seberapa jauh pemantauan dilakukan dan dapat memperbaiki SVLK itu sendiri.
Pemantauan
Advertisement
Dalam sebuah webinar tanggal 13 Juli 2020 yang diselenggarakan oleh Chatham House, sebuah lembaga think tank bereputasi internasional yang bermarkas di London, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia diundang untuk berbagi pengalaman upaya Indonesia dalam meningkatkan kualitas tata kelola kehutanan. Dalam webinar tersebut, Menteri mengatakan: “Pelajaran yang dapat diambil oleh negara-negara di dunia dari pengembangan SVLK adalah pentingnya komitmen jangka panjang para pihak dari lintas sektor terkait dalam mendukung SVLK”. Salah satu dari para pihak yang disinggung Menteri adalah “konsorsium pemantau independen” yang diharapkan melakukan pemantauan secara independen terhadap kebijakan dan pelaksanaan SVLK.36
Tentang pemantauan hutan dan SVLK di Indonesia, pada bab pendahuluan ini, terutama saya akan banyak mengutip satu thesis akademis yang dibuat oleh salah satu aktivis senior dalam pemantauan SVLK bernama Zainuri Hasyim. Pemantauan independen atas hutan telah dimulai sejak 1990 an pada tataran global. Dasar utama atas ide ini adalah diperlukannya sebuah penjelasan dan pernyataan secara independen (tidak memihak) atas kesesuaian apa yang diatur dan material yang terjadi. Independensi berguna untuk memberikan pernyataan mana proses yang benarbenar memenuhi ketentuan dan yang tidak. Tahun 2005, telah dikenal istilah yang disebut ‘pemantau hutan independen’ yang didefinisikan oleh Global Witness sebagai:
35 Counsell dan Loraas, “Trading in Credibility.” 36 TRIC, “Di Ultah Chatham House, Menteri Siti Nurbaya Jelaskan SVLK Dan Peran Hutan Di Masa Pandemi Covid-19.”
9
“…. penggunaan pihak ketiga yang independen bahwa, sesuai kesepakatan dengan otoritas negara, memberikan penilaian terhadap kepatuhan hukum, dan pengamatan dan panduan mengenai sistem penegakan hukum kehutanan resmi”.37
Pemantau Independen dalam peraturan SVLK sebelum adanya UU Cipta Kerja telah didefinisikan secara jelas dan terperinci bahkan hingga Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen). Tetapi setelah munculnya UU Cipta Kerja yang diikuti oleh PP Kehutanan dan Permen LHK 8/2021, dimana terjadi penggabungan banyak sekali hal tentang kehutanan, termasuk SVLK, maka pembahasan dan pengaturan SVLK menjadi ringkas, termasuk juga tentang pemantauan yang diatur hanya 5 pasal. Menarik jika kita melihat pada pasal 244 ayat 1 yang berbunyi demikian: ‘Kegiatan SVLK dapat dilakukan pemantauan oleh Pemantau Independen’. Apakah kata ‘dapat’ ini mengesankan bisa dilakukan termasuk bisa juga tidak dilakukan? Atau kata ‘dapat’ ini bermakna bahwa pemantauan adalah sebuah urusan yang tidak terlalu penting, sehingga bukannya ‘harus’ atau ‘wajib’ tetapi ‘dapat’? Agar merisaukan, seolah mengingkari apa yang menjadi komitmen pada ayat selanjutnya yang menempatkan pemantau independen sebagai ‘penjaga gawang’ dari akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari sistem legalitas kayu ini.
Di Indonesia, untuk memperkuat gerakan pemantauan, para pemantau independen kehutanan bergabung dalam beberapa aliansi. Pada tahun 2010 di Jakarta, setahun setelah SVLK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan, 29 ornop dan jaringannya dari Aceh sampai Papua membentuk apa yang disebut Jaringan Pemantau Independen Kehutanan atau JPIK. Jaringan ini pada tahun 2017, beranggotakan 88 lembaga dan 528 individu dengan 24 Focal Point yang berperan memantau pelaksanaan SVLK.38 Berdasarkan komunikasi personal dengan Dinamisator JPIK, tahun 2021 JPIK beranggotakan 64 lembaga dan 525 individu dengan 24 Focal Point yang tersebar di 26 Provinsi. Terdapat organ kelengkapan lembaga lain yaitu Dewan Kehormatan berjumlah 5 orang, dan 1 Dinamisator Nasional. Beberapa hasil pemantauan JPIK yang berdampak luas diantaranya: (1) Pengungkapan kasus penebangan dan perdagangan kayu ilegal, pencabutan izin akreditasi lembaga sertifikasi, membongkar praktik kejahatan kehutanan dan perambahan hutan;
37 Hasyim, “Peran Pemantau Independen dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia,” 37. 38 Hasyim, 42.
10
(2) Perbaikan sistem melalui uji akses informasi, penguatan standar SVLK, akses data dan informasi, keamanan Pemantau Independen, serta keberlanjutan pendanaan, dan perbaikan regulasi; (3) Peningkatan kapasitas para Pemantau Independen melalui pelatihan yang telah menjangkau lebih dari 750 orang dari berbagai kalangan, seperti masyarakat lokal, adat, mahasiswa, jurnalis dan pemerhati lingkungan.
Selain JPIK, ada juga dua jaringan ornop yang berfokus pada pemantauan hutan dan lingkungan hidup yaitu Aliansi Pemantau Independen Kehutanan Sumatera (APIKS), Eyes of Forest (EoF), dan Koalisi Anti Mafia Hutan (KAHM). APIKS hampir sama dengan JPIK yaitu dibentuk setelah adanya peraturan SVLK tahun 2009. Namun dalam perjalannya, meluaskan jangkauan tidak hanya pada isu SVLK tetapi pada isu kehutanan secara umum khususnya ‘bermuara pada akselerasi pencapaian Good Forestry Governance di Sumatera’. Sedangkan EoF adalah koalisi ornop yang ada di Kalimantan Barat dan Riau yang berfokus pada penyediaan data dan informasi baik spasial maupun numerik untuk advokasi pemantauan hutan. Sementara itu, KAMH adalah koalisi yang bersifat nasional, terdiri dari berbagai ornop khususnya yang berkantor di Jakarta dan sekitarnya, berfokus pada upaya pemberantasan mafia kehutanan pada konsesi hutan dan perkebunan skala besar. Dari empat jaringan/koalisi pemantau independen kehutanan tersebut, pada isu-isu krusial dan sifatnya nasional, mereka sering berkolaborasi dan bekerjasama. Selain ratusan perusahaan yang telah dipantau, pada tahun 2016, kolaborasi ini berhasil menyusun Modul Pelatihan Pemantauan SVLK bagi Masyarakat.
Dari studi yang dilakukan Hasyim (2017), kita dapat belajar dari pemantauan independen SVLK yang telah dilakukan selama ini yang bertujuan perbaikan tata kelola kehutanan dengan tiga alat ukur utama yaitu inklusivitas, transparansi, dan kontinuitas. Lalu, apa masalahnya menurut Hasyim? 1. Inklusivitas: terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam SVLK dalam kaitannya dengan Pemantau Independen yakni aturan tentang Pemantau Independen dan persyaratan administrasi pemantauan. Rendahnya jumlah pemantauan SVLK yang dilakukan oleh pemantau independen dibandingkan jumlah sertifikasi menjadikan penilaian bahwa kinerja PI kurang aktif karena ukuran
11