jengArsitek! 2.1

Page 1


foto : adikritz

jongArsitek!

jongarsitek@gmail.com

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License

“kalian pem punya kebe ternak kare beternak di

“saya terbakar amarah sendiria dra


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

muda, kalau kalian tidak eranian, sama saja dengaena fungsi hidupnya hanya iri..

3

an!� (pramoedya ananta toer dalam perbincangan dengan andre vltchek & rossie in-


JongEDITORIAL! oleh : Avianti Armand

PEREMPUAN Perempuan adalah makhluk yang kuat. Karenanya Tuhan memilih dia untuk mengandung, sembilan bulan lamanya. Dan melahirkan, dengan sakit yang tak terperi. Perempuan juga makhluk yang pandai. Karenanya Tuhan mempercayakan tugas menjadi ‘Ibu’ padanya. Adalah tangannya yang menyeka mata bayi hingga membuka pada dunia. Adalah suaranya yang membuai dengan cerita sebelum tidur – tak harus penting, tapi darinya lahir kebajikan dan kebijakan. Pada perempuan kita bisa menemukan satu mata uang yang sama, dimana kekuatan dan kelemahlembutan bersisian. Otak dan hati berhimpit. Karenanya tak banyak yang bisa mengerti mereka. Karenanya mereka kerap terpinggirkan. Bukan hanya dulu, di jaman Ibu Kartini, tapi hingga kini – 105 tahun sesudah wafatnya sang tokoh feminis Indonesia. Ini bukan dosa lelaki semata. Perempuan sendiri kerap tak mengenali dirinya, hingga hanya diam ketika hak-haknya tersisihkan dan suaranya teredam. Dan itu semakin mengukuhkan patriarki.

patan telah didapat dan prestasi dicatat oleh perempuan. Tapi, mari bicara tentang profesi ini saja: arsitek. Berapa banyak arsitek perempuan yang kita kenal? Zaha Hadid, Astrid Klein, Kazuo Sejima, Nathalie de Vries (MVRDV), Francine Houben (Mecanoo), Lise Anne Couture (Asymptote), Maya Lin, Billi Tsien, Ellizabeth Diller, Farshid Moussavi (FOA), ……. mungkin masih banyak lagi yang tak tersebut. Tapi dibanding koleganya yang lelaki, mereka masih kalah jauh dari segi jumlah. Paling tidak, itu yang saya amati terjadi – baik di dalam maupun di luar negeri. Betul, belum ada survey yang dilakukan untuk menilik perbandingannya secara akurat. Belum juga ada studi yang bisa menjawab kenapa. Tapi saya punya sedikit teori yang mungkin bisa membantu menjelaskan.

Perhatikan bagaimana anak-anak perempuan bermain. Mereka cenderung bergerak dalam radius sempit. Anak-anak perempuan lebih senang duduk mendadani boneka, menggunting dan melipat kertas, merajang Agak basi mungkin jika sekarang kita masih berte- dedaunan dan rerumputan untuk masakriak-teriak menuntut kesetaraan hak, karena jaman masakan. Meronce bunga untuk hiasan memang sudah berubah. Betapa banyak kesem- kepala. Mereka lebih banyak memperhati-


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i kan dan mengeksplorasi: detail. Lain dengan anak laki-laki. Mereka jauh lebih aktif bergerak dalam ruang: berlari, melompat, memanjat, sembunyi di kolong meja, bersepeda dan ngebut hingga benjut. Dari kegiatan bermain yang sederhana, timbul penjelajahan dan pengalaman. Anak laki-laki lalu punya pemahaman yang lebih awal tentang: ruang. Dan karena ruang adalah esensi dari arsitektur, mungkin jauh lebih mudah bagi laki-laki untuk menjadi arsitek. Tentu ada pengecualian. Tentu ada perempuan-perempuan kecil yang lebih senang naik sepeda dari pada boneka dan anak laki-laki yang lebih suka menggunting dan melipat dari pada memanjat. Bisa jadi dari situ lalu lahir arsitek-arsitek perempuan dan perancang-perancang baju yang lelaki. Lagi-lagi, belum ada penelitian tentang hal ini. dan mungkin juga tidak terlalu penting. Lebih baik kita berefleksi: lalu apa yang bisa dilakukan oleh arsitek perempuan? Masih relevan rasanya jika saya berujar: memperjuangkan hak-hak perempuan - hak-hak untuk memperoleh ruang dan lingkungan yang lebih aman dan nyaman. Kota kita adalah kota yang rawan bagi perempuan. Betapa banyak ruangruang negatif yang memungkinkan perempuan terancam dan teraniaya. Bukan cuma di pojok jalan yang gelap, dan kolong-kolong jembatan di malam hari, Basement parkir dan tangga kebakaran sebuah mal pun ternyata tak aman bagi perempuan. Tindak kejahatan terhadap perempuan di dalam kota selalu mengisi lembar-demi lembar media tiap harinya. Menyedihkan, bahwa hal ini tidak pernah mendapat tanggapan yang lebih serius kecuali sebagai sebuah sensasi.

Kota ini juga tempat yang tak ramah pada perempuan, juga kaum lemah lain – anak-anak dan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Perhatikan kondisi trotoar kita, juga sarana angkutan umum yang tersedia. Bagaimana kereta bayi dan kursi roda bisa lewat tak terputus di dalam kota? Bandingkan dengan kota lain di dunia seperti Amsterdam atau Tokyo, di mana seorang ibu bisa dengan leluasa mendorong kereta bayinya mulai dari depan pintu rumah, naik bis atau kereta, turun di taman, masuk ke museum, pergi berbelanja, naik kereta, kembali ke rumah. Semua bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan, karena kondisinya memungkinkan. Perhatikan juga ratio jumlah kamar mandi untuk perempuan dan laki-laki di bangunan-bangunan publik. Perempuan sering harus mengantri cukup lama hanya untuk buang air kecil karena jumlah toilet untuknya sangat kurang jika dibanding dengan toilet untuk laki-laki. Perempuan, punya kebutuhan khusus yang berbeda dengan lelaki. Dan itu, jarang diperhatikan atau dianggap penting. Apakah disediakan kursi khusus untuk mendudukkan bayi sementara si ibu pipis – sesuatu yang demikian jamak di Jepang?Tidak. Apakah selalu ada tatakan untuk mengganti popok bayi? Tidak. Dan apakah selalu ada ruang untuk menyusui di bangunanbangunan itu? Belum tentu. Kota ini juga miskin ruang ekspresi dan rekreasi bagi perempuan, baik untuk dirinya sendiri, maupun anakanaknya. Jangan sebut mal, itu adalah kurungankurungan kapitalis – sangkar emas yang justru membodohi. Kurang sekali ruang publik – hijau maupun tidak – di mana kita bisa bertumbuh dan berkembang dengan wajar, tanpa membayar. Di mana ibu-ibu bisa membiarkan anak-anaknya berlarian lepas, mengenalkan nama tetumbuhan dan burung-burung pada mereka, atau sekedar membacakan cerita di bangku sambil menunggu petang. Masih banyak yang harus dikerjakan. Perempuan paling tahu kebutuhan perempuan. Dan hanya arsitek perempuan, lewat karyanya, yang bisa merealisasikan kebutuhan-kebutuhan itu menjadi sebuah ruang tinggal dan ruang hidup yang lebih baik. Karena itu, teman-teman arsitek perempuan, berkarya bukan lagi sebuah pilihan. Melainkan tanggung jawab.

Avianti Armand


p4

jongEditorial

sambutan dari redaksi kita

p10

jongGambar Seed’s Archive

p15

jongTulisan

Woman In Architecture Action!

p20

jongGambar

p8

jongFoto

my shoes on vacation

p17

jongTulisan

Nyengir Merenung: Arsitek, Teknologi, dan Jurnalisme

p28

jongTulisan

Menuju Ecumenopolis : Sebuah Tantangan Memperkuat Identitas Kota

Highway Oasis

p26

jongTulisan Tentang Resesi

p32

jongGambar Parque Biotecnológico

photo : adikritz


Kontributor

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.

Brittany Bell Avianti Armand dona paramita http://www.facebook.com/pro- http://www.facebook.com/pro- http://puffydona.multiply.com file.php?id=688859598&ref=ts file.php?id=1375534065

Indhira Sagita Pembayun Sekaringtyas Putri Kusumawardhani http://www.facebook.com/pro- http://www.facebook.com/pro- http://www.facebook.com/profile. file.php?id=596337173 file.php?id=1081292968 php?id=746453648

Saskia Prisandhini Tjokro http://www.facebook.com/ profile.php?id=502504777

Tatiana Bilbao www.tatianabilbao.com

Vitorini Codetz http://www.facebook.com/profile.php?id=733752773


8


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

Nias From Back Then Dona Paramita


10

SEED


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

11

“Every year more and more species of plants are becoming endangered or extinct. The New Zealand government has proposed the notion to create a seed archive for the Pacific Region to house its native plants and preserve them for future generations. The major problem to overcome will be constructing architecture that will adapt to the changing and unpredictable future environment. Therefore the architecture will mimic the architecture of a plant, as plants have the innate ability to adapt to their changing environment. The architecture of the seed archive is in the form of a growing cytoskeleton of a plant. It continues to grow and adapt to prevailing wind, rainfall and sun exposure. For example the wings on the sides of the structure are heat sensitive and move to accommodate the protected plants within. The funnel forms in the interior act as the main structural columns, but also house the large trees that need to grow upwards towards the sun. The architecture will be able to grow and expand overtime and rely of element-sensitive technology to exist without human presence.”

’S ARCH I V E brittany bell

oleh Realrich Syarief


12

view.interior


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

13

view.interior

view.interior



jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

- WOMAN IN ARCHITECTURE ACTION! Putri Kusumawardhani Let me introduce you, readers, about another definition of proportion and scale in architecture. Introduction, Proportioning, in architecture the whole is not just a building but the set and setting of the site. The things that make a building and its site include the orientation of the orientation of the site and the buildings on it to the features of the grounds on which it is situated. Light, shade, wind, elevation, choice of materials, all should relate to a standard and say what is it that makes it what it is, and what is it that makes it not something else. Generally the goal of a proportional system is to produce a sense of coherence and harmony among the elements of a building. Scale in architecture can also describe buildings with sightlines, acoustic properties, task lighting, ambient lighting, and spatial grammar that fit well with human senses. But that was so last month, and now; I’ll introduce proportion and scale in woman ways. Toko Sepatu,

Gairah tempat itu terus menarik perhatian wanita untuk dikunjungi, bukan karena iklan diskon besar-besaran di etalasenya, namun hanya sebuah toko sepatu dengan sederet rak berisi jajaran sepatu tertata rapi didalamnya. Berjalan memasuki tempat itu, toko itu seperti berkata, “selamat datang para wanita”, lalu sepatu-sepatu itu berkedip nakal, mari-mari coba saya. Tanpa terasa, mata pun mulai menjelajahi deretan rak tersebut, melihat kecentilan-kecentilan bahan yang akan membalut kaki saat dikenakan. Weits, tapi sepertinya bukan itu saja yang sangat menarik dibalik rentetan sepatu itu, proporsi dan skala adalah yang paling mengagumkan dari efek pemakaian sepatu itu. Seorang teman, sebut saja O, mencoba sebuah sepatu, tinggi dengan hak ???. Aura wajahnya mulai menampakan permainan tebak-tebakan. Dia melempar sebuah pertanyaan, “Bagaimana


hasil akhir dari sepatu ini?” Semua bertanya dan mulai berpikir mengenai skala dan proporsi badan si pemakai, tanpa disadari, (kecuali pegawai toko yang daritadi selalu memuji si pemakai, tentu saja ini trik-trik menghibur pembeli). O pun berjalan semampai menuju area dinding yang kosong tanpa rak. Perbedaan terjadi, perubahan signifikan dari sebuah proporsi dan skala manusia memungkin O tampil sedikit lebih tinggi dari wujud aslinya. Semuanya menjawab, “Jadi lebih tinggi”, “Woo woke banget!”, “Skalanya ok, tapi proporsinya kurang pas!”, Semua terdiam, bingung dengan kata-kata tersebut.

16

Mencoba menengahi, si pencetus kata-kata proporsi dan skala mencoba menjelaskan, ”Skala dan proporsi itu berbicara di lngkup yang sama, namun berbeda arti. Proporsi adalah keharmonisan ukuran yang terjadi antara satu badan tersebut, proporsi tidak memiliki sebuah ukuran baku dan dapat terjadi melalui pengukuran secara kira-kira yang didasarkan oleh rasa. Semua orang dapat melakukan pemroporsian dalam semua objek. Proporsi menekankan pada hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain atau menyeluruh. “ Terdiam mencoba mencerna… “Lalu??” “Ok, sedangkan skala berbicara mengenai ukuran sesuatu dibandingkan dengan suatu standar referensi atau sesuatu yang dapat dijadikan patokan. Kita dapat menggunakan kata skala apabila sudah mengetahui perbandingan ukurannya. Skala merupakan cara pandang kita melihat dan menilai besarnya sesuatu dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain. Nah dalam skala, manusia biasanya memiliki standar rata-rata ketinggian 150-200 cm. Sedangkan ketinggian yang dihasilkan oleh pemakaian high heels O masih dalam ukuran ketinggian manusia yang wajar ” Kembali terdiam, (rupa-rupanya sedang mengingat-ingat kedua pengertian tersebut)… Suasana toko kian meramai, dipenuhi dengan wanita-wanita yang sedang mencoba sepatu-sepatu hak tinggi, yang tanpa mereka sadari telah banyak melatih insting mereka masing-masing untuk merasakan proporsi dan skala. High heels! That is a woman secret in manipulating scale and proportion.


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

- Nyengir Merenung: Arsitek, Teknologi, dan Jurnalisme Saskia P. Tjokro 17

Tulisan ini diinspirasi oleh ketemunya pulpen Rotring yang rusak di pedalaman koper lama setelah saya selesai baca Asian Alterity, buku studi arsitektur yang banyak bercerita tentang budaya. Rotring itu berdebu, dengan gagang yang bleberan tinta hitam kering di sisi gagangnya. Rotring itu, ditambah kepala yang masih penuh aura Asian Alterity, mengilhami ketikan ini. Jadi ingat, dulu Rotring dan kawan-kawannya sejenis pulpen jarum tinta itu masih ditempatkan di rak khusus di dalam toko buku. Biasanya berjajar lurus dengan rak Cartier, atau kalau tokonya besar, di sampingnya berpamer sederet merek pena tinta untuk-tanda-tangan-kontrak; sebutlah Mont Blanc dan St. Dupont. Beda kasta dengan bolpoin yang ditata begitu saja di deretan rak barang-barang kodian. Sudah lama juga nggak pakai Rotring. Padahal, saya berarsitektur (yang dalam hal ini sedikit desain, banyak tracing dokumen dan lebih banyak lagi ngedraft hahaha). Coba dua puluh tahun yang lalu, saat dunia pencatatan arsitektur masih mengandalkan ketelitian tangan dan ketebalan jarum pulpen tinta, pasti pulpen jarum tinta seperti Rotring sudah seperti belahan jiwa. Terakhir ke toko buku yang dulu menjual, pulpen ini tak lagi ditaruh di deret depan. Tak seperti

sebelas tahun lalu, ketika pulpen itu dijejer manis di rak utama (plus segala aksesorinya). Saya perhatikan, hei, ada yang berubah di sini. Si pulpen Rotring itu, yang tadinya belahan jiwa arsitek, medium mengkomunikasikan ketebalan dinding dan jendela dalam gambar kerja, tak lagi jadi teknologi yang dipakai secara efektif. Kelahiran software CAD tahun delapan puluhan perlahan membuat efektivitas pulpen itu menurun sebagai sarana komunikasi arsitektur. Masa konstruksi Guggenheim Museum Bilbao – Frank Gehry tak akan secepat sekarang jika tak ada software visual dan CAD sebagai sarana koordinasi dengan para pembangun di lapangan—meskipun secara ide beliau tetap menggunakan hakikat dasar mensketsa dan bermain model. Bandingkan dengan abad delapan belas, ketika satu katedral Gotik terbangun dalam waktu konstruksi abad. Bersyukurlah para arsitek dan desainer abad dua puluh satu yang bisa menikmati bangunan rancangannya selesai berdiri! Waktu rancang bangun yang jauh lebih singkat ini membuat para arsitek punya waktu untuk mendokumentasi karya-karyanya selama ia masih hidup, tak seperti perancang katedral yang butuh dedikasi dua generasi lebih. Para desainer relatif lebih punya waktu


untuk mencatat konsep, menulis pandangan, mencatat jurnal, dan menyusun teori; di luar pekerjaan utama mereka yang merancang dan membangun lingkungan binaan. Sebutlah pencatatan ini sebagai jurnalisme arsitektur. Ned Cramer dalam esainya di Architect Magazine terbitan Oktober tiga tahun lalu menyebutkan, De Architectura karangan Marcus Vitruvius Pollio tercatat sebagai salah satu jurnal arsitektur tertua era sejarah dunia. De Architectura lahir pada masa Penguasa Romawi Augustus, abad tujuh belas, berisi penjelasan tentang tiga esensi pencapaian arsitektur kala itu: utilitas, firmitas, dan venustas—fungsi, kekokohan, dan keindahan (salahkan saya kalau artinya kurang tepat. Saya nggak ahli bahasa Yunani, dan definisi tiga kata itu empat abad yang lalu bisa jadi sangat berbeda dengan definisi masa kini). Hal ini memberi gambaran bahwa pada abad belasan, jurnalisme arsitektur berjalan beriringan dengan dokumentasi karya budaya; merunut arsitek masa lalu yang biasanya lebih merupakan seorang seniman dibanding seorang teknikal. Seperti De Architectura yang berisi penjelasan tatanan, perkembangan dunia jurnalisme arsitektur cenderung berkutat pada penjabaran jurnal filsuf. Keberadaannya lebih merupakan panduan daripada sebuah pandangan atas sebuah karya. Doktrinasi, bukan kritik. Penjabaran, bukan review.

18

Perkembangan konsep kritik karya dan review yang kini menjadi komponen besar dalam dunia jurnalisme arsitektur ditandai dengan dikenalnya teknologi fotografi. Dua nama arsitek yang ternama yang turut merintis dunia fotografi arsitektur modern: Ezra Stoller (yang sudah almarhum, namun karena beliaulah dunia dapat menikmati momen karya-karya Frank Lloyd Wright tahun lima puluhan di masa kini) dan Julius Shulman. Berkat karya mereka, review karya para arsitek berkembang sampai keluar Amerika. Sampai saat ini fotografi memberi sumbangan besar pada proses jurnalisme arsitektur, yang kepentingannya hampir seimbang dengan kepentingan tulisan dalam jurnalisme arsitektur itu sendiri. Mengapa? Ditilik dari pekerjaannya, arsitek lebih familiar menerima rangsang visual diagram dan imaji. (Mungkin karena itu buku-buku Rem Koolhas selalu ajaib penampakannya, obat perangsang supaya orang-orang mau membaca?) Foto dapat berbicara, berupa visualisasi. Beberapa kalimat keterangan sudah dapat membantu menjelaskan obyek dalam foto. Belum lagi ketika teknologi presentasi lahir, dari Power Point sampai program tiga dimensi gratisan, jurnalisme arsitektur tumbuh makin subur. Jurnal-jurnal pencatatan dan review mengimplikasikan pengetahuan, dan menyebarkan informasi, yang jika ditilik implikasi idealnya, akan meningkatkan kualitas desain para arsitek sendiri. Tulisan ini mencoba merunutkan perkembangan jurnalisme arsitektur;. plus juga membicarakan teknologi

yang mempengaruhi dunia arsitektur yang melahirkan jurnalisme arsitektur, dimana para arsitek tak hanya merancang. Namun juga menulis. Kenapa tidak, karena jurnalisme arsitektur merupakan sarana unjuk karya dan lahan kritik bagus untuk mengaktualisasi perkembangan dalam kurun waktu lebih singkat dan jauh lebih luas. Bentuk bangunan di Finlandia dapat dikritik oleh arsitek di Selandia baru. Fasad resort di Waikiki dapat dijadikan preseden referensi untuk resort di Bunaken. Keberadaan jurnalisme dan teknologi yang tersebar luas ini membuat satu langgam arsitektur di suatu belahan dunia bisa dikenal dan menjadi inspirasi arsitektur di belahan dunia lain. Wawasan para perancang menjadi lebih luas, dan tentunya referensi dalam preseden desain lebih mudah didapat. Bagaimanapun, perkembangan ini secara perlahan (tapi cukup signifikan) memudarkan klasisisme. Jika sebelumnya bentuk suatu bangunan di suatu daerah murni dipengaruhi oleh kebutuhan, adat, dan selera setempat, keberadaan informasi yang meluas membuat bangunan yang berdiri mendapat suntikan pengaruh baru: bangunan di area lain (yang mungkin secara fungsi dan respon terhadap lingkungannya berbeda dengan kasus bangunan yang dirancang). Lebih jauh lagi, tersebut dalam buku Asian Alterity, langgam khas suatu daerah bisa memudar bahkan tiada. Dunia yang tadinya beragam dapat terpusat ke dalam satu tren tertentu, terkiblatkan oleh opini-opini kuat yang tersebar secara meluas. Perluasan informasi dalam jurnalisme arsitektur ini, seperti yang tersebut di atas, bisa membuka wawasan, dan perluasan wawasan bisa melahirkan inspirasi. Inspirasi merupakan hal yang positif, namun inspirasi punya saudara-hampir-kembar yang disebut imitasi. Seperti Viva La Vida-nya Coldplay dengan If I Could Fly-nya Mbah Joe Satriani, inspirasi dan imitasi batasnya rancu. Zaman dulu lebih memberi batas untuk mengimitasi. Karena keterbatasan wawasan dari informasi yang diterima, orang cenderung berpikir dan menginspirasi dari hal lain, bukan dari bangunan dari belahan dunia lain. Wong mereka nggak bisa lihat di belahan dunia lain bangunannya seperti apa. Namun kembali ke dunia nyata, menjejakkan kaki ke bumi, dunia sekarang serba cepat. Informasi mengalir deras, dan teknologi copy-paste bukan hal yang asing. Kebetulan sekarang saya sedang berkuli desain di kantor arsitektur yang suaangat mengindustri. Orientasinya jelas, servis ke klien. Makanya, kalau klien saya suka bangunan yang kantor saya rancang di negara X dan mereka mau menaruh di negara Y, tentuuuuuuu teknologi copy-paste nggak bisa 100% dihindari (meskipun tetap mikirin tapak, lah). Habis gimana, terbatas juga kemampuan manusia memproduksi gambar dalam waktu singkat. Apakah ini excuse? Di sinilah peran arsitek penting dalam menggubah desainnya untuk tetap menapak bumi; tetap turun ke lapangan dan melihat kebutuhan sebenarnya dalam


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i tapak. Copy – paste pun harus pakai otak. Bentuk boleh jadi sama, selera boleh jadi pribadi, tapi relevansi tetap ada. Kerennya sih, keberadaan arsitek sebagai pelaku jurnalisme tetap dapat membagi pemikiran dan menuangkannya dalam tulisan, dan seperti dalam desainnya, tetap menerapkan orisinalitas. Ah, orisinalitas.

Memang sih, arsitek bukan pekerja sosial. Arsitek kerja untuk perut. Dan perut, seolah alasan tak terbantahkan di dunia yang bergerak dengan sistem kapitalis ini. Namun, mengingat yang dibangun adalah penghidupan untuk manusia, tempat tinggal, tempat beraktivitas—kok rasanya tak relevan kalau karya yang dihasilkan bukan hasil keputusan tepat guna.

Apalah orisinalitas dalam desain itu. Toh desain sendiri merupakan ilmu terapan, ilmu turunan dari akar yang aslinya bernama seni. Saya tanya seorang dosen desain yang terlalu rendah hati untuk ditaruh namanya dalam tulisan ini, apa sih yang membedakan desain dan seni, Pak?

Kadang terpikir, arsitek itu seperti pekerjaan Dewa. Jauh, mustahil. Sewaktu memarahi saya karena terlalu santai untuk membaca gambar struktur insinyur sipil satu-persatu, Bos besar saya di kantor pernah berkata, “We need to know a little bit of everything, but actually a lot more of every other things. Don ever take anything for granted”. Tahu sedikit-sedikit tentang segala hal, tapi harus tahu jauuuuh lebih banyak tentang hal-hal lain. Kenapa, lanjutnya, karena arsiteklah yang bertanggung jawab atas apa yang dibangun.

Jawabannya singkat: “Desain terkait dengan dunia industri, dan dunia industri sarat kompromi, Sas. Kompromi yang tujuannya keuntungan ekonomi.” Berarti, perut yang bicara dong Pak? Saya tanya lagi. (Saya pakai istilah perut soalnya kalau uang kesannya gimanaaa gitu.) Jawaban beliau setelah itu tak menjawab. Menanggapi saya, beliau malah mengalihkan ke hal lain. Arsitek senior saya di kantor, bicara hal serupa yang tak sama. Sebulan sebelum saya menulis ini, saya mendapat kesempatan mendesain suatu proyek. Waktu itu, saya senang sekali. Seharian saya mencoba semuanya. Asistensi berkali-kali. Dasarlah saya, junior yang terlalu senang dapat kesempatan dan keras kepala dalam mempertahankan apa yang saya inginkan. Sampai tiba tenggat waktu habis, saya masih ragu pada suatu bagian. Saya masih merasa desain saya kurang mantap di bagian tertentu. Saya pusing. Bos saya itu geleng-geleng kepala lalu berkata dalam Inggris Singlish, “Saskia, stop it meh. You need to decide. And sometimes, design is not about good or bad. Design is about decision.” Saya ingat sekali, waktu itu saya terpaku sesaat. Terpukau. Desain adalah tentang keputusan. Bagus atau jelek bisa relatif. Orisinalitas bisa tak relevan. Tapi keputusan, adalah sesuatu yang pasti. Ketepat-gunaan. Dan keputusan itu, ternyata bukan hanya pendapat dia! Kalau kita buka kamus Oxford edisi sepuluh, salah satu makna desain adalah ‘Decide upon the look or function of something’. Menentukan tampilan dan fungsi sesuatu. Wow. Itulah dia. Desain, tentang keputusan. Tentang ketepat-gunaan. Orisinal belum tentu benar. Seni belum tentu berempati, namun arsitektur berinteraksi dengan pengguna secara fungsi, selain secara keindahan. Seperti pencerahan! Dan teknologi, keberadaan teknologi membuat bangunan-bangunan dekonstruksi bisa berdiri. Tapi, teknologi juga yang melahirkan teknologi copy –paste, menyuburkan arsitektur-arsitektur kodian yang berorientasi servis.

Wah, musti sekolah berapa tahun saya? Tujuh tahun pun tak akan cukup! Mungkin karena itu para starchitect seperti Mbah Hadid dan Mbah Foster sudah pantas punya cucu. Usia kepala tiga saja hitungannya masih arsitek muda. Megah sekali, arsitek, okupasi yang ekspertise-nya membutuhkan waktu seumur hidup. Pekerjaan yang menuntut kemampuan melihat masalah secara makro dari angkasa sekaligus mendefraksi detail mikro di atas bumi dalam waktu yang bersamaan. Karena kedewaan inilah, tuntutan wawasan inilah, jurnalisme arsitektur menjadi super sangat penting. Tak pernah merasa cukup, lebih penting lagi. Mengutip ujaran lagi, kali ini Daniel Libeskind: To provide meaningful architecture is not to parody history but to articulate it. Melahirkan arsitektur yang bermakna bukan lantas memparodi apa yang sudah dibangun, namun mengartikulasinya. Artikulasi, menyambungkan, mengekspresikan. Memiliki pengetahuan, dilahap, lalu dikunyah dan dituangkan dengan menyempurnakan. Berbeda dengan copy-paste, lahap ekspres muntahkan lagi. Memang, kita nggak bisa kembali pada masa dimana pulpen jarum mengguratkan garis pintu dan jendela. (Dan apa gunanya juga kembali sih, teknologi ada mah dipakai saja) Saya percaya, arsitek berarsitektur karena cinta.Perut mengikuti. Atau karena perut, baru cinta lahir setelah itu. Gairah, semangat, destinasi; yang meski kadang terinterpretasi jadi benci tapi rindu. Jika keberadaan publikasi dan jurnalisme justru malah mematikan intensi desain pribadi, egoislah sedikittttttt. Toh entah dengan pulpen jarum atau software berjuta-juta, hakikatnya sama. Mengartikulasi peradaban. Jong Arsitek, sukses terus menjurnalismekan arsitektur. ☺

19


HIGHWAY OASIS KANCI .JAWA BARAT SAYEMBARA GERBANG DAN REST AREA TOL KANCI

Andi Madina Ahmad Tardiyana Arieni Lestari DS Vitorini Heidy Ananda Tanti Sofyan dan anakanak magang di GAEA Architect



22


23


24


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

25


- tentang resesi indhira sagita

26 Sebagai salah satu dari banyak korban di era resesi 2008/9 ini, teman baik saya paskal “memaksa” saya untuk menulis tentang kondisi yang terjadi. Saya memilih untuk menceritakan pengalaman, karna itu yang paling saya tahu benar. Sesuai dengan lokasi saya saat ini yang ada di Negara singa, maka tulisan saya dibawah berkonteks Negara tersebut, kalau anda ingin mengetahui efek resesi secara global mungkin bisa membantu dengan membaca web berikut ini http://www. bdonline.co.uk/indexbd.asp?navcode=3693 Retrenchment menjadi salah satu kata yang paling ditakuti “pekerja” arsitektur di Singapura sejak bulan oktober 2008 lalu. Tanpa tahu menahu kondisi yang terjadi, saya sendiri menjadi korban di bulan itu dari salah satu firm international yang memiliki cabang di Singapura. Semua terjadi hanya dalam setengah hari, sebelum waktu makan siang saya menerima e-mail yang didalamnya tertulis bahwa akan ada meeting bersama bos besar setelah jam makan siang. Dengan muka lugu siang itu saya masuk kedalam ruangan meeting, dan sekejap saja saya dan 9 orang lainnya dirumahkan. 10 orang dilepas dengan muka manajemen yang bertekuk malu “maaf, sudah sebulan kami tidak ada pendapatan” kata

mereka. Pasrah dan menerima, 10 orang itu pulang dengan masih berharap, esok kan masih ada, dan saya pun menjadi pengangguran. Saat itu masih sedikit orang yang menyadari bahwa the time has come, dimana ikatan pinggang mesti mulai dikencangkan dan kewaspadaan harus ditingkatkan. Di akhir tahun 2008, firm international di Singapura mulai bertambah yang me”rumah”kan karyawan-karyawannya, bahkan ada beberapa firm lokal yang harus gulung tikar karena tak sanggup membayar biaya operasi. Persaingan sesama pengangguran meningkat, beberapa firm arsitektur yang membuka lowongan membanting gaji yang ditawarkan, menyisakan kami para pencari kerja yang terpojok untuk memilih – menjadi pengangguran, atau karyawan bergaji jauh lebih rendah dari gaji sebelumnya. Teman saya dari Philippine ada yang bercerita tentang temannya yang tadinya bergaji S$7000 dengan pengalaman lebih dari 10 tahun kerja hanya ditawarkan S$2500 saja disalah satu perusahaan lokal. Dan berfikir dia harus menghidupi istri dan dua anaknya di Singapura dengan gaji hanya S$2500 saja membuat perut saya mulas.

Jonathan End’s Photos - Singapore Randoms with LC-A+ and Agfa Precisa


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i saya. Tak ada yang bisa saya bagi selain pengalaman saya sendiri. Setelah menganggur selama satu bulan, akhirnya saya dan juga beberapa dari teman saya mendapatkan pekerjaan kembali. Beberapa lainnya memilih untuk pulang ke Negara asalnya dan mengadu nasib disana. Gaji sudah pasti berkurang drastis, dan mimpi-mimpi banyak yang tertunda, tapi bertahan hidup adalah kebutuhan nomer satu di jaman sulit ini. Banyak biro yang memilih untuk tidak mengurangi pegawainya.Mereka memilih untuk mengurangi jam kerja, dari 5 hari seminggu menjadi 3 hari seminggu, lembur pun dilarang, telat didenda, gaji dipotong, bonus ditiadakan, dan hal-hal lain. Lebih baik?? Mungkin, paling tidak mereka masih memiliki pekerjaan. Entah berapa banyak yang sudah jadi pengangguran akibat kondisi ini, mereka yang memiliki keluarga, memiliki tangunggan, sekarang mulai pusing lebih dari 7 keliling untuk mendapatkan kerjaan dan menghidupi keluarganya.

Ironisnya, saat itu banyak teman saya di Indonesia yang masih ragu dan bahkan tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi di dunia. Dan mereka masih melamar kerja ke Singapura dengan harapan mendapatkan gaji selangit dan hidup yang lebih baik. Di awal tahun 2009, keadaan tidak menjadi lebih baik. Beberapa firm lokal mulai mengurangi karyawannya satu persatu, dan firm international mengadakan retrenchment tahap 2. Banyak firm arsitek yang karyawannya kini tersisa hanya 20% dari jumlah karyawan yang dimiliki sebelumnya. Proyek-proyek mulai berhenti disana-sini, pengangguran bertambah, persaingan pun semakin bertambah dari sebelumnya yang sudah besar. Dunia arsitektur di Singapura merasakan efek yang cukup besar dari resesi ini. Proyekproyeknya banyak berada di India dan Dubai dan kini terhenti karena developernya terkena kredit macet. Biro-biro arsitek pun terkena imbas. Karyawan arsitektur mulai panik, was-was setiap kali mengangkat telepon, menerima email dari manajemen atau dipanggil keruang rapat. Semua menanti dengan cemas, akankah tiba hari-H untuk

Pemerintah Singapura pun mulai ketat dalam memberikan ijin bekerja bagi foreigner , mereka tentunya mengutamakan warga negaranya. Bahkan banyak yang hanya ingin me-renew ijin kerjanya juga ditolak oleh pemerintah Singapura tanpa alasana yang jelas. Dan gosipnya, resesi ini akan berlangsung sampai tahun 2010. Tentunya dari yang sulit masih banyak yang bertahan, satu-dua biro di Singapura pun ada yang tidak perlu mengurangi gaji atau mengurangi karyawannya. Dari beberapa teman yang terkena imbas, masih banyak yang mampu bangkit kembali, dan alhamdulillah salah satu diantaranya adalah saya. Tak ada lebih yang bisa dikata, when there’s a will there’s a way, mungkin will-nya yang perlu di adjust sedikit, atau way-nya yang perlu diperluas jangkauannya apapun itu saya percaya kita akan mampu bertahan. Semoga saja kondisi di Indonesia tidak serumit ini, dan teman-teman disana baik baik saja. Kalaupun sesuatu terjadi terhadap anda tetap semangat dan jangan menyerah , badai ini pun pasti kan berlalu. Salam saya, Indhi di Negara Singa.

27


Menuju Ecumenopolis :

Sebuah Tantangan Memperkuat Identitas Kota 28

Pembayun Sekaringtyas pemenang Urbane Fellowship Program 2009 Laporan kependudukan yang dilansir oleh PBB menyebutkan bahwa setiap hari penduduk perkotaan dunia bertambah 180.000 orang. Bahkan tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, lebih dari setengah penduduk dunia—atau sekitar 3,3 miliar—tinggal di kawasan perkotaan. Jumlah tersebut diramalkan akan terus membengkak hingga mencapai 5 miliar pada tahun 2030. Urbanisasi yang tak terelakkan dan globalisasi yang menyertainya, perlahan tapi pasti mengaburkan batas-batas fisik administratif kota, negara, hingga kontinen. Dengan didukung oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan daya jelajah yang lebih jauh dan lebih cepat, komunikasi yang real time, serta akses informasi tanpa batas, pada akhirnya akan mewujudkan sebuah peradaban manusia yang menyatu dalam satu kota dunia. Kota masa depan yang oleh arsitek dan perencana kota asal Yunani, C.A. Doxiadis, disebut sebagai ecumenopolis. Kota-kota Indonesia yang tengah berkembang,

tanpa disadari sedang berada dalam proses pembentukan ecumenopolis, dan bersaing dengan kota-kota yang lebih mapan serta memiliki hierarkhi lebih tinggi dalam jaringan kerja global, seperti Tokyo, London, New York, atau Shanghai. Dalam dinamika proses globalisasi ini, kota-kota di dunia berkompetisi untuk untuk menampilkan kesan spesifik, menonjol dan positif untuk menarik investor, tenaga-tenaga profesional, dan terutama kelas kreatif—yang dalam diskursus Richard Florida disebutkan sebagai formasi sosial baru yang dapat menciptakan kota-kota progresif di masa depan. Identitas yang unik menjadi syarat mutlak untuk mengorbitkan sebuah kota dalam kancah percaturan kota dunia. Dalam usaha melakukan city branding tersebut, banyak kota-kota di dunia secara sadar mengaktualisasikan dirinya melalui arsitektur dan desain urban. Fenomena ini dikenal dengan istilah Bilbao Effect, merujuk pada preseden pembangunan Museum Guggenheim oleh arsitek Frank O. Gehry di Bilbao, Spanyol, yang memicu ketenaran kota tersebut di seantero


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i dunia. Melalui perwujudan bangunan-bangunan ikonik, arsitektur mampu menjadi senjata ampuh dalam memasarkan sebuah kota. Namun, apakah fenomena tersebut dapat berlaku di Indonesia? Menilik pada konteks Indonesia, perencanaan kota selama tiga dasawarsa belakangan, belum cukup mampu mengakomodasi aspek aktualisasi diri yang dibutuhkan sebuah kota untuk menghadapi persaingan global. Kota dibiarkan bergulir begitu saja dalam mekanisme pasar yang liberal dan laissez-faire. Kebijakan pembangunan hanya mengembangkan fungsi-fungsi perkotaan yang menguntungkan bagi sektor privat. Sementara kebijakan-kebijakan pemerintah dalam usaha memodernisasi kota, justru mematikan secara dini setiap usaha kreatif untuk mengembangkan kehidupan kota yang memiliki karakter lokal (Santoso, 2006). Kecenderungan yang terjadi di negara kita adalah setiap proyek komersial berlomba-lomba membangun bangunan landmark yang kontras dengan sekelilingnya. Padahal menciptakan bangunanbangunan spektakuler tanpa dibarengi dengan usaha memperbaiki lingkungan urban secara keseluruhan hanya akan memperlebar jurang kesenjangan yang ada. Perlu disadari bahwa arsitektur dan perencanaan kota masih menjadi menara gading bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Maka dalam hal ini untuk dapat menjadikan arsitektur sebagai sebuah magnet kota, bangunan landmark semestinya digunakan sebagai sebuah titik awal dalam peremajaan kota daripada sebagai akhir dari tujuan city branding itu sendiri. Di era ecumenopolis ini, arsitektur dan perencanaan kota memang harus mampu menempatkan posisinya yang lebih kontekstual dengan kondisi lokal. Menggali keunikan tempat yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Ahli penataan kota, Eko Budihardjo, menyebutkan bahwa komponen perkotaan yang sangat berperan dalam penciptaan keunikan tempat salah satunya adalah lingkungan permukiman (Budihardjo, 1993). Di Indonesia, kuarter-kuarter etnis dan kampung-kampung tradisional dapat mudah dijumpai di berbagai kota, dan selama kurun waktu yang panjang telah menjadi bagian dari riwayat perjalanan kota itu sendiri. Akan tetapi, menurut arsitek Marco Kusumawijaya, kampung kota sebagai ruang bermukim asli yang tersisa, makin lama makin diberi konotasi negatif: “tidak mod-

ern”, dan “tidak maju” (Kusumawijaya, 2006). Solo adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki diversitas kultural cukup tinggi, pada awal terbentuknya merupakan kumpulan dari berbagai kuarter etnis, dan perkampungan tradisional Jawa yang berorientasi pada Keraton Surakarta. Sebagaimana kota-kota tradisional Jawa lainnya, pembagian permukiman didasarkan pada profesi dan keahliannya dalam rangka pengabdian kepada Raja. Selain itu terdapat pula kuarter-kuarter etnis seperti Arab, Cina, Bali, Madura, dan Banjar yang keberadaannya menjadi pendukung bagi eksistensi keraton sebagai pusat kekuasaan. Sayangnya otentisitas, keunikan, dan kedetailannya kini nyaris tenggelam oleh modernitas. Padahal keanekaragaman yang tercermin dalam kuarter-kuarter permukiman berkarakter khusus tersebut dapat menjadi pendukung identitas kota pusaka dunia ini. Dalam teori kelas kreatif Richard Florida bahkan disebutkan bahwa diversitas adalah sumber berharga bagi proses penciptaan dan transaksi nilai-nilai, baik secara artistik maupun ekonomi yang dapat memacu pertumbuhan kota di era industri gelombang keempat—industri kreatif—saat ini. Kiranya kita perlu menengok negara tetangga, Singapura, yang merevitalisasi kampung-kampung etnisnya sehingga menjadi daerah tujuan wisata yang menarik. Singapura memang ingin menunjukkan kotanya yang terbuka akan diversitas kultural dan unik sebagaimana slogan badan pariwisatanya “Uniquely Singapore”. Manifestasi keragaman budaya di Singapura telah memberi kontribusi pada wajah kota, mulai dari arsitektur hingga kulinari. Singapura sebetulnya pernah mengalami masa degradasi kota, yaitu pada dekade 1970-an ketika economic boom melanda negara itu. Bangunan-bangunan di kawasan cultural heritage disana seperti Chinatown, Little India, Kampung Melayu, dan Kampung Arab hampir musnah tergusur bangunan-bangunan modern karena dinilai kumuh dan ketinggalan zaman. Namun, pemerintah Singapura ternyata cukup tanggap menangkap pesona kawasan-kawasan tersebut untuk menjadi identitas yang unik bagi kotanya. Chinatown, Little India, Kampung Glam (Kampung Arab), dan Geylang Serai (Kampung Melayu) adalah empat nama kuarter etnis yang telah

29


30

direvitalisasi. Dalam usaha merevitalisasi kawasan tersebut, desain urban menempati peran yang sangat penting. Disana hampir tidak ada kesan kumuh dan suram sebagaimana bayangan kita akan kota-kota lama di Indonesia. Bangunanbangunan tampak terawat dan kondisinya prima hingga kita tak akan menyangka usia bangunan rata-rata lebih dari seabad. Jalur pedestrian dan street furniture tersedia dengan baik, membuat wisatawan betah berlama-lama berjalan kaki. Jika letih menyergap, taman-taman yang teduh menawarkan oase untuk melepaskan lelah. Sementara untuk berpindah dari satu kawasan ke kawasan lainnya yang jaraknya agak jauh, dapat menggunakan MRT atau bis—dimana stasiunnya dapat dijangkau dengan mudah dari segala penjuru kota. Pada akhirnya, perencana, perancang kota, dan arsitek memang harus mampu memberi ruang bagi keberadaan berbagai jenis aktivitas urban yang spesifik dan berakar pada kultur tradisional urban kita sendiri. Mengabaikan lingkungan tradisional yang telah ada berarti menghilangkan memori kolektif, sebagaimana yang diungkapkan arsitek M. Christine Boyer sebagai ‘krisis memori’. Kesadaran akan kontinuitas historis perlu ditanamkan dalam diri perancang kota karena krisis memori dapat berdampak pada hilangnya identitas lokal yang menyebabkan kota-kota tampak

generik. Mengaktualisasi fungsi-fungsi perkotaan yang sudah ada dan mengembangkan fungsi-fungsi kota yang baru (reinventing city) sangat diperlukan untuk menciptakan kota yang tangguh menghadapi tantangan di masa depan. Belajar dari Singapura, kita perlu mulai menghidupkan kembali kuarter-kuarter tradisional yang khas, sehingga permukiman tersebut dapat menjadi bagian yang terintegrasi dengan struktur kota modern tanpa kehilangan karakter lokal yang dimilikinya. Serta memberikan rasa ruang yang unik, yang tidak dapat dirasakan di tempat lainnya. Tentu kita tidak akan rela jika kota-kota di Indonesia memiliki karakter yang seragam tanpa ciri khas lokal yang jelas sehingga tidak mampu berkontribusi bagi proses pertukaran nilai-nilai kultural di ranah ecumenopolis nantinya. []


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i Wajah Pecinan di dua lokasi yang memiliki riwayat berbeda: Gambar 1: Chinatown di Singapura (foto: Wikipedia, 2008) Pedagang kaki lima tampak berjualan di sepanjang promenade yang membelah deretan shophouse. Informalitas PKL diakomodasi dengan baik, ditunjang desain kawasan yang memungkinkan kontinuitas urbanit. Bangunan tinggi menjulang di kejauhan, menyiratkan perpaduan yang harmonis antara yang modern dan tradisional, yang formal dan informal, tanpa harus ditengahi oleh kesenjangan. Gambar 2: Kampung Balong di Solo, Jawa Tengah, Indonesia (foto: Agustina, 2008) Di sebelah kiri tampak Pasar Gede Hardjonagoro yang diarsiteki oleh Thomas Karsten, dan deretan shophouse milik warga etnis Cina di sebelah kanan. Kesan kumuh membayang di kawasan ini. Gerobak-gerobak PKL diparkir tak beraturan di depan bangunan. Sementara pejalan kaki tidak mendapatkan ruang yang layak, bercampur dengan jalur sirkulasi kendaraan bermotor. Daftar Pustaka Bekkering, Henco. 2008. On Permanence in Urban Design. Dalam Manen dkk. (Eds.), The Architecture Annual 2006-2007 Delft University of Technology (hlm. 58-63). Rotterdam: 010 Publishers. Budihardjo, Eko dan S. Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Penerbit Alumni. Ferbianti, Dieny. 2007. Menengok “Urban Tourism” di Singapura. (http://dieny.wordpress.com/2007/06/27/menengok-“urban-tourism” -di-singapura, diakses 26 Desember 2008, 21:37 WIB) Doxiadis, C.A. 1969. The City (II): Ecumenopolis, World-city of Tomorrow. Impact of Science on Society, v.19, no.2, April-June 1969, p. 179-193: 8 fig. (http://www.doxiadis.org/files/pdf/the_city_ecumenopolis.pdf diakses 26 Desember 2008, 21:15 WIB) Kompas, 29 Juni 2007. Tajuk Rencana: Laporan Kependudukan PBB. Kusumawijaya, Marco. 2006. Kota Rumah Kita. Jakarta: Penerbit Borneo. Meyer, Ulf. 2nd quarter 2008, volume 9. Senjata Atraksi Massa. FuturArc, hlm. 98-100. Nas, Peter J.M. 2007. Kota-kota Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Santoso, Jo. 2006. [Menyiasati] Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan Centropolis. Visit Singapore. Ethnic Quarter (http://www.visitsingapore.com/ publish/stbportal/id/home/what_to_see/ethnic_quarters.html diakses 26 Desember 2008, 21:07 WIB) Wikipedia. Culture of Singapore (http://en.wikipedia.org/wiki/Culture_of_Singapore, diakses 1 Januari 2009, 13:30 WIB) Wikipedia. Chinatown, Singapore (http://en.wikipedia.org/wiki/Chinatown,_Singapore diakses 30 Desember 2008) Winfield-Pfefferkorn, Julia. 2005. The Branding of Cities: Exploring City Branding and The Importance of City Image. (http://www. brandchannel.com/images/papers/245_Branding_of_Cities.pdf, diakses 26 Desember 2008) Foto http://en.wikipedia.org/wiki/File:Trengganu_Street,_Dec_05.JPG

31


32

Culiacán, México 24°49’22’’ N 107°23’82’’ O To be built by 2009 6,260 m2 CREDITS Concept: Tatiana Bilbao Design: Tatiana Bilbao, Thorsten Englert, Ludwig Godefroy, Luis Sol. Enviromental Consultor: Emiliano García TOA


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

33

PARQUE BIOTECNOLÓGICO With a population of 6 053 044 inhabitants, according to the census of 2005, in Culiacan, capital of the state of Sinaloa in northwestern Mexico, aims to develop the Pacific’s biotechnology park, institute that seeks to promote technological development of the country, creating business of high value and generate competitiveness in the areas of innovation and technological development. With the construction of this building, they want to promote the generation of technological and market information, training of local and international networks in the field of scientific research and also the economic and productive development of the region, and the creation of human capital and job quality by overcoming the current national standards. Are many and varied benefits that would become the construction of Pacific’s biotechnology, so it requires special attention and care in building this project, which will have a positive impact on Mexican society.


34


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

35

In Tatiana Bilbao has become a meticulous architectural planning as well as meet customer requirements, such as the dimensions of the spaces, use and needs of each of these, to comply with quality standards, sustainability and innovative design. Thus, based on the shape and distribution of a tree, has a scheme that results in a building with five levels, five boxes of Tausend square meters each. Thanks to the position of these boxes, each level has a terrace, its own orientation and provides shade for the lower levels. Each of these levels represents one of the integral parts of a tree. The first level, occupying the symbolic space of the roots, is projected below the ground level, a patio covered by a green roof to provide a fresh and intimate atmosphere to its visitors and generate adequate access to the entire building, that level has been planned to build an underground parking to reduce the visual presence of cars in the area. At ground level is raised to build a smaller box that will rise on the other floors of the building, this level will be used to create spaces and plant green roofs covering the lower level. Subsequent floors represent the

other elements of the tree. Thus, the first floor, representing the trunk, will have a front plate made from scratch that provides a texture similar to that of the truck. A metal mesh forms that are intertwined with the material of the facade of the second floor. The third shows an oxidized crystal that will allow us to guess forms of the leaves. And at the highest level, the sky being reflected and reproduced in front of a mirror. In this way, the building will be made with the highest quality materials, with a clean environment inside and outside the building and a special infrastructure, as such, the need laboratories, places of experimentation and high cientific research.


36


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

37


socialitur

media acara dan sosialisasi event arsitektur

38

by fandy gunawan

by kusuma agustianto

by kusuma agustianto

-NegeriParaPeri@AksaraKemang-


jjengArsitek! E d i s i 2 . 1 , 2 0 0 9 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

“

Perempuan paling tahu kebutuhan perempuan. Dan hanya arsitek perempuan, lewat karyanya, yang bisa merealisasikan kebutuhankebutuhan itu menjadi sebuah ruang tinggal dan ruang hidup yang lebih baik. Karena itu, teman-teman arsitek perempuan, berkarya bukan lagi sebuah pilihan. Melainkan tanggung jawab. “ Avianti Armand

39



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.