Jongarsitek 23

Page 1


“today, great architecture is also designed by instinct and... in unison by nature. The high technology and complicated materialism is just an enormous mantle. which clothes the idea. Underneath, the instinctive solution is still there. � (Le Corbusier )


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

3

jongArsitek!

jongarsitek@gmail.com

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License



Kontributor

jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka cari langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.

Angga Rossi Ara Studio Ariko Andikabina Danny Wicaksono Effan Adhiwira Noerhadi OMA/Rem Koolhas Paskalis Khrisno Ayodyantoro Putri Kusumawardhani Robin Hartanto Rofianisa Nurdin


p32

j o n g

p4

j o n g E d i t o r i a l sambutan dari redaksi kita

p8

j o n g F o t o

p12

Kolasa : Sebu

p36

j o n g

Ruang Dalam Ko

j o n g R e p o r t a s e Jelajah : Meningkatnya Penglana Arsitektur

p4

p18

j o

Poso

j o n g T u l i s Ikan dan Ikon

p48

p24

j o n g

j o n g T u l i s Menghuni Vertikal

U Shape Culvert

p28

j o n g G a g a s a n 10 Proyek Arsitektur dan Kota untuk Indonesia


p52

j o n g T u l i s

g T u l i s

Arsitektur Naungan

uah Catatan Sederhana

p66 T u l i s

ota

42

j o n g T u l i s

Catatan untuk “Zaman Baru Generasi Modernis-Sebuah Catatan Arsitektur�; Sebuah Reaksi.

p76

j o n g K a r y a

o n g K a r y a

Chu Hai College

o Architecture Now

K a r y a

t House

daftar isi


8


9

beton


10


11

past present tense


12

Jelajah :

Meningkatnya Penglana A


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Paskalis Khrisno Ayodyantoro

Arsitektur 13.00 1/11/12 Beberapa orang tampak sibuk berlalu lalang, masing masing mengeratkan jaket dan syalnya, memasukkan tangan kedalam saku, berjalan cepat menuju tujuannya. Hari ini cuaca mencapai 11 derajat celcius. Di stasiun St. Charles, Marseilles, semua tampak tergesa. Bangunan tua yang dapat mengakomodasi 12 lajur kereta ini sedang diperbaiki dan ditambah daya tampungnya. Stasiun ini sedang menambahkan dengan program lain agar pengunjung lebih nyaman dan mudah berpindah antar moda. Marseilles, kota yang seharusnya tidak ada dalam jadwal, terpaksa di singgahi karena tiket bis langsung dari Venice ke Paris habis terjual disebabkan libur akhir pekan di seluruh Perancis. Setelah mencari informasi melalui internet, maka pilihan perjalanan ditetapkan dengan menggunakan

13


14

bis Eurolines menuju Nice dari Venice kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kereta ke Paris singgah di Marseilles. Setelah melewati badai salju di Mondovi, Italia, terdampar tengah malam di Nice, Prancis, Merasakan kota tua di Prague, dan mengalami deret bangunan Modern di Berlin, Jerman, selalu ada pengalaman baru dalam satu perjalanan yang menggugah indera atau hati. Lain lagi yang berkesan adalah ketika berjumpa dengan kota Nice. Kota yang menyenangkan. Lebar jalan 4 meter di kota ini lebih banyak digunakan untuk kendaraan satu arah, dengan lebar jalan pedestrian yang hampir sama besarnya untuk kendaraan bermotor. Tram tram berseliweran dan gedung-gedung rendah setinggi 3-5 lantai. Dengan berjalan

sedikit dari pusat kota, kita dapat menemukan pantai panjang dengan taman taman berdampingan dengan jalur kereta listrik dan daun daun pohon oak berwarna kuning berguguran seperti kota menjadikan manusia sebagai sahabatnya. Begitu juga pada tahun 2011 ketika di Tokyo, ketika rombongan tersesat dalam huruf-huruf kanji bertebaran di gedung gedung Shinjuku, tiba-tiba saja seorang ibu Jepang tidak terlalu muda, tersenyum dan mencoba berbahasa inggris menghampiri kami menawarkan bantuan dan berakhir memaksa mengantarkan kita ke tempat yang ingin kita tuju. Lain di Tokyo dan Nice, di Waerebo, Flores 2008, setelah berjalan dan mendaki cukup lama sekitar 3 jam dari desa terdekat, bangu-


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Perjalanan selalu menghasilkan hal hal spontan dan kejutan, begitulah rasanya ia menjadi sebuah satu titik dalam hidup yang dirindukan untuk selalu di ulang. nan seperti keong yang hampir punah, ternyata adalah salah satu tempat tinggal penduduk teramah yang bisa kita temukan di Indonesia. Penduduk dengan kebijakan untuk membatasi diri terhadap pengaruh modern, tetap tinggal di atas gunung menjaga warisan. Di bangunan berbentuk keong rakasasa ini juga kita mengenal bagaimana udara mengalir, meresap dari bawah panggung bangunan menjadi oksigen kayu bakar dan mengalirkan kembali meresap keatas lewat sela sela atap ijuk sekaligus menghangatkan rumah dan mengawetkan material atapnya. Perjalanan selalu menghasilkan hal hal spontan dan kejutan, begitulah rasanya ia menjadi sebuah satu titik dalam hidup yang dirindukan untuk selalu di ulang.

[2] Pada masa sekarang, perjalanan adalah kegiatan yang semakin mudah dilakukan. Sebelum periode abad ini, perjalanan adalah bayangan yang menakutkan karena kesulitannya. Batas tempat yg tak jelas, keamanan dan informasi yang tidak akurat, kendaraan umum yang belum lengkap dan waktu tempuh yang tidak jelas, membuat manusia mengurungkan niat karena membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk melakukan perjalanan. Sebagai contoh, Han Awal seorang arsitek senior bercerita pada tahun 1950-an mengungkapkan ketika pertama kali ke eropa membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan waktu hingga 1 bulan menggunakan kapal laut besar dari Jakarta dan beberapa

15


kali singgah di pelabuhan besar tanpa mengetahui informasi lokasi begitu sampai di negeri Belanda saat itu. Setelah revolusi informasi, dunia yang semakin datar karena internet dan cepatnya data berpindah, merencanakan perjalanan jauh lebih mudah. Manusia kini bisa memilih perjalanannya melalui ulasan-ulasan metoda dan lokasi perjalanan melalui situs website, melakukan pemesanan transportasi dan penginapan dengan cepat lewat komputer. Perjalanan menjadi sebuah kemudahan. Kemewahan bagi mereka yang memiliki waktu sempit.

16

Dari sekian banyak situs online seperti Tripadvisor dan Lonely planet, mereka menyediakan informasi secara online hingga buku cetak tentang tempat-tempat di seluruh dunia. Jadwal-jadwal transportasi seperti penerbangan dan harganya dengan mudah kita akses di alamat online seperti skyscanner hingga situs yang menyediakan informasi dan pemesanan hotel seluruh dunia seperti agoda.com dan booking.com. Semaraknya perjalanan dan industri turis ini juga berdampak pada arsitektur. Arsitektur menjadi tujuan. Arsitektur dan kota menjadi salah satu alasan manusia berpindah tempat dan mencari pengalaman baru. Dari Menara Eiffel di Paris hingga Museum Guggenheim di Bilbao, Spanyol, dari kota tua di Prague hingga La Rambla di Barcelona. [3] Bagi arsitek, perjalanan arsitektur adalah salah satu usaha mencari inspirasi dan sekaligus merasakan langsung sang bangunan dan mengamati dampaknya terhadap indera, tubuh, hingga kota. Perjalanan dengan spesifik tujuan arsitektur dan kota ini kemudian berdampak bermunculannya website seperti mimoa. com. Mahasiswa dan Arsitek saat ini semakin dimudahkan untuk melakukan perjalanan arsitektur, berkat revolusi informasi melalui internet.

Perjalanan Arsitektur yang terkenal salah satunya adalah Le Corbusier. “Perjalanan ke Timur” salah satu buku Le Corbusier menceritakan bagaimana akhirnya ia memilih menjadi arsitek setelah mengunjungi Parthenon dan Gunung Athos di Yunani. Lain halnya Tadao Ando, salah satu arsitek Jepang ini, mengaku terinspirasi menjadi arsitek setelah melihat kerusakan perang dunia kedua di Jepang, ia memilih lebih praktikal untuk melakukan perjalanan ke eropa (Partheon dan bertemu Le Corbusier) dan melihatnya sendiri daripada belajar di kampus karena pada saat itu tidak ada biaya. Alasan ini juga yang membawa arsitek Ridwan Kamil membuat program Urbane Fellowship Program, dengan visi “melahirkan arsitek-arsitek handal yang dapat berkarya dan membawa kota-kota di Indonesia duduk sejajar dengan kota-kota kelas dunia di dalam persaingan global yang semakin ketat”. Tak Salah, ia sendiri merasakan efek perjalanan terhadap dirinya dan ingin menularkan semangat tersebut pada generasi baru. “Melihat dunia telah mengubah perspektif saya terhadap arsitektur dan kota” ungkapnya. Saat ini, biro-biro muda yang di pimpin seperti Andra Matin dan Yori Antar menempatkan perjalanan arsitektur sebagai salah satu cara pengembangan arsitek-arsiteknya melalui program kantor tahunan. Tradisi yang telah dirintis mereka melalui “Jelajah” di forum Arsitek Muda Indonesia, selalu menumbuhkan catatan perjalanan dan inspirasi baru. Yori sebagai contoh, setelah melakukan perjalanan ke pelosok Indonesia selama beberapa tahun, ia kemudian tergerak mengembangkan Rumah Asuh, sebuah usaha untuk menyelamatkan kebudayaan dan arsitektur setempat yang masih hidup. [4] Gunawan Tjahjono dalam satu artikel di Buku Tegang Bentang mendefinisikan tentang jelajah sebagai “penelusuran suatu wilayah baru yang kemudian penjelahnya kemudian me-


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

nimba dari situ suatu pengalaman baru dan menerapkannya ke dalam perancangan…” Penjelajahan arsitektur kemudian menjadi bermanfaat bila menumbuhkan satu perubahan yang lebih baik bagi yang mengalaminya. Hal ini ditambahkan oleh Gunawan Tjahjono, “penjelajah tulen seperti Le Corbusier, Khan, Tadao Ando, Eisenman dan Robert venture adalah contoh yang mampu melawan benteng dalam diri untuk keluar dari pakem yang ada setelah melakukan penjelajahan arsitektur.” Kerumitan masalah arsitektur hingga kota tidak semudah mensolusikan dengan membayangkan melalui gambar dan desain, bahkan sebelum merancang, arsitek setidaknya perlu mengalami dan mensurvey tapak rancangannya. Jelajah arsitektur disini diperlukan sebagai pengamatan dari dunia yang baru, membentuk kita sebagai manusia yang lebih terbuka terhadap opsi lain. Jelajah arsitektur memungkinkan kita merasakan pengalaman langsung terhadap kondisi lingkungan binaan atau alam yang telah terbentuk dan merasakan akibat langsungnya. Melalui penjelajahan ke tempat tempat baru, kita mengalami langsung hubungan dan dampak antara arsitektur dengan manusia, lebih luas lagi dengan kota. Seperti pengantar perjalanan andramatin dan rekan-rekannya dalam buku lawatannya ke Jepang, HAIKK; “Setiap perjalanan pendek ke Jepang telah menjadi ‘kursus-kursus’ singkat yang semakin lama semakin dalam. Ini bukan sekolah formal untuk ambil S2, tetapi sekolah non formal untuk mengalami kebudayaan negara tetangga, dimana hal-hal yang baik dapat dijadikan teladan yang bisa diterapkan bagi bangsa ini. Melawat ke Jepang adalah kayu api pembakar semangat membangun negeri.” Penjelajahan ke negeri lain dan ke negeri sendiri adalah proses menggali pengalaman, mengenal hal baru, memiliki standar baru, bermimpi dan merealisasikan hasil yang lebih baik Penjelahan merupakan untuk memahami kapasitas diri, dan memahami yang terjadi di luar. Membuka diri kita sendiri untuk terus

belajar dan mau menerima hal dan ide baru, yang memperkaya pengetahuan. Ide, inspirasi dan pengalaman tersebut adalah kekayaan diri, memperkaya kosakata hidup dan menjadi sebuah pilihan dalam berkarya. Perjalanan jauh yang mebawa kita kembali ke titik awal. disamping itu, ternyata ada hal yang lebih besar dari perjalanan itu sendiri, karena sejatinya, Life is a journey. :)

Penjelahan merupakan cara untuk memahami kapasitas diri, dan memahami yang terjadi di luar.

17


ikan yang jad

18


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

di ikon Robin Hartanto Langit pagi itu separuh gelap. Seekor ikan raksasa tampak melayang di atas daratan. Kulitnya hitam gosong bercampur kuning, seperti terbakar tapi tak rata. Ia tidak tampak sedap, malah mulutnya menganga seperti ingin melahap. Tiba-tiba, dari mulut ikan raksasa itu, satu-satu wanita muncul. Jumlah mereka enam—semua tampak muda dengan gaun berkilau. Perlahan mereka berjalan, menari dalam tempo lambat, menyusuri dek merah muda yang terjulur dari mulut ikan.

http://www.bfi.org.uk/sites/bfi.org.uk/files/styles/15_columns/public/image/act-of-killing-2012-001-pink-dancers-exiting-fish.jpg

19


Adegan itu adalah cuplikan pembuka film The Act of Killing (TAoK), film dokumenter yang disutradarai Joshua Oppenheimer, yang mendokumentasikan proses pembuatan film lain berjudul Arsan dan Aminah. Sementara Arsan dan Aminah adalah film “rekonstruksi” pembantaian para pejuang PKI. Menariknya, sutradara dan pemeran Arsan dan Aminah, yaitu Anwar Congo, adalah betul-betul algojo para pejuang PKI di Medan. Di film itu, ia menceritakan pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan di masa lalu, dengan amat santai. Awalnya saya menganggap adegan ikan tersebut sebagai gurauan belaka. Namun, adegan janggal tadi tidak hanya muncul sekali. Pada versi 115 menit TAoK, adegan sejenis itu muncul lima kali, yaitu satu kali di awal (0:00:37), tiga kali di tengah (0:40:00, 1:02:00 dan 1:20:30), dan satu kali di akhir (credit/01:54:00). Kelimanya adalah titik krusial. 20

Mengapa adegan sureal itu sangat penting hingga Joshua mengulangnya berkali-kali? *** Selepas menonton film tersebut, saya justru teringat pada Frank Gehry, arsitek tenar itu. Gehry adalah seorang fish fetishi . Dia lah arsitek yang membuat ikan menjadi binatang paling penting bagi dunia arsitektur sekarang ini, melampaui bebeknya Robert Venturi. Alasan akademis Gehry dalam mengeksplorasi ikan—yang sebetulnya akan terdengar naif, tapi, ya, selamat datang di dunia arsitektur—ia nyatakan sebagai tindakan subversif terhadap mainstream post-modern saat itu yang sedang rajin mengutak-atik sejarah. “Saya sedang mencari cara untuk memanusiakan kualitas dekorasi tanpa melakukan dekorasi itu sendiri. Saya marah dengan itu— semua hal-hal bersejarah, dan segala campurannya. Saya berkata pada diri saya, jika kamu harus kembali ke belakang, mengapa tidak kembali ke 300 juta tahun lalu sebelum ada manusia, yaitu ikan? Dan saat itu saya mulai

mengutak-atik ikan. Saya memikirkannya, mulai menggambarkannya, dan saya menyadari bahwa mereka arsitektural, menyampaikan pergerakan sekalipun mereka sedang tidak bergerak.” ii Gehry seperti jatuh cinta pada ikan, dan kemudian mengabadikan mereka pada karya-karya arsitekturnya. Salah satu ikan pertamanya terdapat pada rancangan ekstensi Smith House (1981). Ia berupa patung di depan massa bangunan utama. Sayang, rancangan bangunan itu pada akhirnya ditolak karena tidak seperti rumah iii. Di Kobe, ikan rancangannya dibangun sebagai bagian dari bangunan restoran yang ada di sampingnya (Fishdance Restaurant, 19861987). Tingginya mencapai dua puluh meter, cukup raksasa untuk seekor ikan. Perutnya sedikit terbenam di dasar lantai. Badannya melengkung. Ekor dan kepalanya menjulang. Ikan pertama yang ia rancang untuk dihuni adalah desain untuk Lewis House di Lyndhurst, Ohio (1989-1995). Ada dua versi rancangan untuk rumah ini iv. Pada versi pertama, tampak satu massa bangunan berbentuk seperti paus hitam. Sementara pada versi kedua, barulah ekspresi wujud ikan muncul. Massa bangunannya mengesankan ikan yang sedang melompat ke permukaan air. Di dasar massa tersebut terdapat kolam besar yang tadinya tidak ada pada versi pertama. Selanjutnya adalah ikan tembaga yang berdiam di Spanyol, dirancang untuk Olimpiade Barcelona 1992. Ia merupakan patung ikan raksasa yang ditempatkan di depan waterfront. Ia menjadi penting karena menandai kali pertama Gehry menggunakan CATIA—perangkat lunak yang sejatinya digunakan untuk perancangan pesawat. Guggenheim Museum Bilbao, tidak perlu diragukan lagi, adalah ikan yang paling melejitkan namanya. Phillip Johnson, salah seorang nabi arsitektur modern, memujinya sebagai “greatest building of our time”.


jongArsitek! jongArsitek! E di si 3. 3, E d 2is0i 1203 | | ddeessaain in m meennggin inssppiriraassi i

Ikan Bilbao terbuat dari 33.000 lembar titanium dengan tebal 0,5 milimeter. Sekalipun bentuknya lebih abstrak ketimbang ikan-ikan sebelumnya, Gehry tidak memungkiri bahwa ia mengambil bentuk dan tekstur ikan. Ada yang mengatakan ikan ini mirip kapal perang, atau pesawat alien. Apapun. Buat Gehry, itu tetap ikan. *** Bangunan ikan pada TAoK tentu saja bukan dirancang oleh Gehry. Tidak tentu juga apakah pembuat ikan TAoK jangan-jangan pernah berjalan-jalan ke Kobe lalu terinspirasi dari restoran ikan Gehry. Ikan TAoK berada di Parapat, Sumatera Utara. Anonymous, salah seorang kru film The Act of Killing, menceritakan, “Itu adalah bekas restoran ikan mas bakar yang sudah lama tutup. Konon, pasokan ikannya didatangkan dari tambak-tambak di danau Toba yang terlihat di belakangnya.” v Ia terdiri dari tiga lantai dan terbuat dari beton cor. Pintu masuk berada pada mulut ikan. Ruangan di dalamnya kosong, hanya menyisakan kolom-kolom beton dan tangga menuju lantai atas. Dinding cor bagian dalam dicat putih. Bentuknya melengkung seperti tubuh ikan, tetapi sudah kotor dan penuh coretan vandal vi. Dari deskripsi tersebut, tampak jelas bahwa ikan TAoK betul-betul semacam bebek Venturi. Pemilik restoran itu ingin menyampaikan apa yang ia jual, yaitu ikan mas, dengan cara yang sungguh literal. Bangunan menandakan ikan dan ikan menandakan restoran ikan. Ia hendak menjadikan bangunan itu sebagai ikon—representasi visual dari apa yang ia jual. Entah mengapa ia lalu gagal laku. Mungkin masakannya kurang enak. Terry Smith, profesor di University of Pittsburgh, pernah menelaah arsitektur semacam ini. Ia memakai istilah iconomy, paduan icon dan economy. “Arsitektur selama berabad-abad

menghadirkan citra ekonomi (iconomy) dengan kunci penanda, dengan pemangku kepentingan yang mencari cara untuk menangkap citra (image), mengikatnya ke dalam satu tempat, satu brand, dan satu tujuan vii.” Hasilnya adalah obyek yang terutama hadir sebagai tontonan. Guggenheim Museum Bilbao adalah contoh paling mutakhir arsitektur tontonan itu, dan Hal Foster mempertegasnya. Tiga puluh tahun lalu Guy Debord, pendiri Situationist International yang mahsyur itu, berkata, “Spektakel (pertunjukan’ atau ‘tontonan’; akar kata dari spektakuler) adalah kapital yang berakumulasi sampai derajat tertentu hingga menjadi citra (image)”viii . Dengan kehadiran Gehry, dan juga arsitek-arsitek lain yang mampu menghadirkan ikon-ikon instan yang atraktif, Hal Foster, kritikus dan sejarawan seni, menyatakan bahwa kini kebalikannya pun dimungkinkan: spektakel adalah citra (image) berakumulasi sampai derajat tertentu hingga menjadi kapital ix. Kita tidak kekurangan ikon semacam itu. Malmal beradu wajah untuk bisa merebut hati pelanggan. Proyek-proyek CBD tak pernah lupa menjelaskan kehadirannya sebagai “ikon baru” dalam brosur pemasarannya. Mengundang arsitek tenar dari luar, seperti ketika Peruri mengundang MVRDV untuk merancang Peruri 88, juga menjadi salah satu strategi menghadirkan “a new landmark icon for Jakarta”. Menjiplak persis ikon-ikon di luar negeri juga menjadi praktek umum, seperti yang dilakukan Kota Wisata Cibubur. Spektakel-spektakel dunia seperti Colosseum dan Sphinx bisa dihadirkan dengan cueknya di sana, tanpa perlu susah-payah memikirkan rancangan dan konteks. Tetapi, bagi Gehry sendiri, betulkah ikon ikanikan itu hanya semata tontonan? Dan apakah itu sebabnya Joshua memakai gambar ikan itu sebagai “bintang” di poster filmnya—karena ikan itu ikon yang menarik sebagai tontonan?

21


Mungkin ada sesuatu yang lain. *** Gehry punya kenangan melekat tentang ikan. Ia seorang Yahudi yang lahir di tahun 1929, saat anti-semitisme masih kental. Semasa kecil, ia sering diejek temannya dengan kata “fish”, ejekan umum yang mudah sangat dekat pada kata “Jew(f)ish”, bahasa Inggris dari “Yahudi”. Tetapi, ada juga sesuatu yang manis dari kenangannya. Neneknya kerap kali menyiapkan ikan gefilte untuk makan keluarga. Gefilte bukanlah jenis ikan. Ia berasal dari bahasa Jerman, gefüllter Fisch, yang harafiahnya berarti “ikan boneka”. Ia adalah sajian khas Yahudi berupa campuran ikan rebus bertulang, yang biasa dimakan sebagai hidangan pembuka. Sajian ini sering dihidangkan pada Sabat dan Paskah. 22

Untuk menyiapkan ikan gefilte, dibutuhkan ikan-ikan yang segar—tidak seperti sekarang yang sudah banyak tersaji di kalengan. Ikan itu bisa berupa ikan mas, ikan putih, atau macammacam ikan. Sementara nenek Gehry sering menyajikan gefilte untuk makan keluarga, ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan ikan-ikan itu. Maka, untuk sementara sebelum diolah, nenek Gehry sering membiarkan ikanikan itu berenang-renang di bak mandi x. Gehry melihatnya sebagai hal yang menyenangkan. Ingatan itu kemudian melekat padanya. Tindakan kompulsif Gehry untuk menyematkan ikan pada karya-karya arsitekturnya kerap dikaitkan dengan latar belakangnya itu. Ia seperti hendak membekukan kenangannya lewat arsitektur, entah secara sadar ataupun tidak. Arsitektur ikan yang menatap masa depan itu menengok masa lalu. Pada ikan TAoK, peran Anwar pada rancangan adegan itu, dan pada adegan-adegan lainnya, sangat krusial. “Anwar memilih lokasinya, juga hal-hal lainnya seperti tema, kostum, makeup, dialog, plot, dan lain-lain.”xi Lokasi ikan raksasa ia pilih setelah tim produksi memberi-

Di satu sisi, ikan Gehry bertujuan mengembalikan ingatan, di sisi lain ikan Anwar bermaksud membalikkan ingatan.

kan beberapa alternatif. Menurutnya, tempat itu mirip Disneyland atau Dunia Fantasi xii. Sebuah ikon. Namun, sama halnya dengan ikan Gehry, pada akhirnya ia tidak hanya menjadi ikon untuk semata ditonton. Catatan produksi film menjelaskannya dengan jernih: Pada akhirnya, kami bekerja dengan sangat berhati-hati dalam adegan ikan mas raksasa, menghadirkan motif dari mimpi yang setengah dilupakan. Mimpi buruk Anwar yang indah? Sebuah alegori bagi ‘gula-gula’ penyampaian kisahnya? Untuk kebutaannya atas realitas? Untuk sebuah kebutaan yang disengaja dan menjadi kacamata penulisan semua sejarah, dan oleh sebab itu, tak terelakkan, kita mengenali (dan gagal mengenali) diri kita sendiri? Adegan ikan berubah sepanjang film, tapi adegan itu selalu menjadi sebuah dunia untuk cuci mata, dunia penuh kekosongan dan hantu. Kalau saja semua hal itu bisa dijelaskan dengan kata-kata, kami tidak akan merasa perlu memasukkan adegan tersebut ke dalam film.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Ikan TAoK adalah pemegang keutuhan cerita. Setelah segala kekejian banal yang dihadirkan film itu, ia adalah “dunia untuk cuci mata”. Kekejian itu hadir bertubi-tubi, maka ikan itu pun muncul berkalikali. Anwar butuh dunia itu untuk dapat mendistraksi ingatan dan mengabaikan perasaan bersalah, seperti helaan napas sehabis terengah-engah. Ikon bisa punya daya yang kuat dalam mengkonstruksi ingatan. Pada Gehry, misalnya, ikon bertujuan mengembalikan ingatan. Sementara pada TAoK, ikon digunakan untuk membalikkan ingatan. Barangkali kekuatan itu yang membuat peperangan kita selalu butuh ikon. Kita selalu ingin membangun ingataningatan, lama atau pun baru. Seperti apa yang dilakukan oleh Soekarno dalam proyek-proyek nation-building; dan Soeharto dengan Taman Mini Indonesia Indah. Bahkan penghancuran ikon dalam bentuk ekstrimnya, seperti yang terjadi pada World Trade Center, bisa dilihat sebagai usaha membangun ingatan. Delusional atau tidak, itu perkara lain.

i

Istilah ini saya pinjam dari tulisan Gavriel Rosenfeld yang berjudul “Fish(y) Forms: Early Works Illuminate Frank Gehry’s Aesthetic”, 2010, diakses dari http://forward.com/articles/131301/fishy-forms/ pada tanggal 18 Desember 2012.

ii.

Matt Tyrnauer, “Architecture in the Age of Gehry”, 2010, diakses dari http://www. vanityfair.com/culture/features/2010/08/ architecture-survey-201008 pada tanggal 18 Desember 2012.

iii.

Michiel van Raaij, “Frank Gehry, or the Inhabitable Fish”, 2006, diakses dari http://www. eikongraphia.com/?p=937 pada tanggal 18 Desember 2012.

iv. v.

vi.

Ibid. Anonymous, korespondensi pribadi via surat elektronik, 2012. Ibid.

vii.

Terry Smith, “Spectacle Architecture before and After the Aftermath: Situating the Sydney Experience”, Architecture Between Spectacle and Use, Anthony Vidler, 2005, hal 3.

viii.

Hal Foster, “Why All the Hoopla?”, London Review of Books, 23 Agustus 2001.

ix. x.

Ibid. Herbert Muschamp, “The Miracle in Bilbao”, New York Times Magazines, 7 September 1997.

xii.

Anonymous, Op cit.

xiv.

Ibid.

23


Menghuni Vertikal

24

Angga Rossi


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Jalanan itu dipenuhi cangkang kerang hijau,menyatu dengan tanah , bercampur lumpur dan sampah, rumah-rumah berderet berdinding tripleks dan papan kayu bekas, beratap seng dan terpal. Suasana masih lenggang di siang hari, para nelayan Muara Angke, Jakarta, belum pulang dari melaut. Di kejauhan, tampak seorang bapak bersama anaknya berdiri memandangi lautan dan sekumpulan mangrove, dari jendela rumah susun sederhana di lantai lima. Isu hunian vertikal di Jakarta menjadi gencar setelah digalakkannya program pemerintah seribu rumah susun beberapa tahun lalu, beberapa pihak skeptis terhadap rencana ini, berpendapat bahwa masyarakat kita belum mampu beradaptasi dengan budaya menghuni vertikal. Sementara pihak pemerintah terlihat belum siap dengan sistem maintenance rumah susun, di sisi lain,dari segi desain, sepertinya usaha untuk menciptakan rumah susun yang baik dan tepat bagi masyarakat kita masih dalam tahap coba-coba, atau memang belum ada arah kesana, sehingga rumah susun bersubsidi belum mampu dengan tepat mewadahi aktifitas penghuni dan menciptakan rasa ‘memiliki’ bagi para penghuninya, lain halnya dengan perumahan yang jelas teritori batas lahan dan kepemilikannya. Beberapa kasus rumah susun yang disubsidi pemerintah, pada akhirnya justru dijual oleh pemilik dengan harga lebih tinggi kepada masyarakat golongan menengah, belum ada sistem kepemilikan dan undang-undang yang mengatur siapa pengguna rumah susun. Sistem sewa sebenarnya tepat, untuk menghindari pergantian kepemilikan. Sementara dari sisi masyarakat, kebanyakan alasan penolakan mereka adalah relokasi yang terlalu jauh dari tempat asal, sehingga menyulitkan bagi mereka yang sudah bekerja di sekitar tempat asal dan menyekolahkan anak-anaknya di sana. Dengan kondisi transportasi publik Jakarta yang belum bisa dikatakan baik, hal tersebut dapat dimaklumi.

(2) Pemukiman nelayan di Muara Angke adalah salah satu contoh menarik bagaimana sebuah pemukiman liar, perumahan nelayan , dan rumah susun mampu terintegrasi dan berkontribusi positif terhadap perekonomian kawasan dan penciptaan sense of place. Dihuni lebih dari 2000 KK, dan terus bertambah oleh para pendatang dari Banten, Ambon, dan penduduk dari sekitar kawasan. Kawasan ini terkenal dengan kampung nelayan penghasil ikan kering dan pelelangan ikan dengan pasar lokal dan internasional. Sebuah rumah susun setinggi enam lantai berdiri ditengah kumpulan perumahan nelayan dan pemukiman liar, rusun ini terlihat canggung berdiri diantara bangunan rendah. Dibangun oleh yayasan Buddha Tsu Chi, rumah susun ini adalah pilot project dengan visi memindahkan penghuni pemukiman liar ke dalam rusun tanpa berpindah tempat tinggal yang jauh. Penghuninya merupakan relokasi dari pemukiman liar di Kali Adem, sekitar wilayah tersebut. Didesain dengan sistem split level tiap unitnya, sehingga energi naik turun tangga dapat dikurangi sekaligus mendekatkan jarak antar penghuni. Desainnya memang belum bisa dikatakan baik, cahaya yang masuk pada void kurang merata, dan dengan dihilangkannya balkon untuk mencegah penghuni menjemur pakaian di sana (yang secara visual member kesan ‘kumuh’) para penghuni memindahkan jemurannya ke dalam void tangga dan selasar. Namun view yang didapatkan pada unit-unit lantai atas tak kalah eksklusif dengan hunian mewah tak jauh di seberangnya, Apartemen Green Bay. Seorang bapak paruh baya yang menghuni unit rusun di lantai lima bersama isteri dan dua orang anak merasa bangga bisa tinggal disana dengan sewa seratus lima puluh ribu per bulan. Murah dan nyaman, dibanding tempat tinggal sebelumnya di pemukiman kumuh Kali Adem. Rasa bangga tersebut memberinya motivasi untuk ikut mengelola kebersihan dan merawat rusun yang dihuni.

25


Terdapat pula petugas pengelola yang bekerja merawat rusun secara berkala. (3) Pembangunan rusun secara logis akan menciptakan ruang terbuka yang lebih luas, sebuah lapangan sepakbola ukuran sedang terdapat di tengah-tengah pemukiman nelayan, menjadi pusat area bermain dan aktifitas olahraga, memang sekelilingnya masih bertembok tinggi untuk mencegah pendatang membangun rumah temporer di dalam lapangan, namun dengan semakin terbiasanya aktifitas olahraga dan anak-anak mereka yang bermain disana, lambat laun penduduk mengerti bahwa ruang-ruang kosong tak selamanya harus dijadikan tempat tinggal atau berjualan. Penciptaan lingkungan tempat tinggal yang liveable merupakan sebuah evolusi, perlu adaptasi dan dialog, apalagi kepada mereka yang tak mengenal konsep-konsep modernitas. 26

Hal lain yang menarik adalah evolusi perumahan Bermis di salah satu blok Muara Angke, perumahan yang dibangun di masa kepemimpinan Presiden Soeharto di tahun 80an tersebut telah berkembang secara organik,kompleks. Rumah-rumah kopel dua lantai tersebut berekstensi ke depan, belakang,dan atas,dengan perubahan fungsi lantai dasar menjadi kios kecil, salon, bengkel, gym, warung makan,masjid, warnet, dan sebagainya. Hubungan antar rumah masih dipertahankan dengan gang-gang kecil yang sekaligus menjadi teras bersama. Para penghuni masih dapat berinteraksi. Ruang-ruang seperti ini merupakan benih-benih kekotaan , perpaduan antara cara hidup tradisional dengan fungsifungsi ruang yang modern, cara ini juga dipandang lebih ampuh dalam penciptaan sense of place, ketimbang sistem rusun biasa yang hanya berfungsi sebagai tempat tinggal ataupun penambahan fungsi publik dan komersial di lantai dasar namun dengan pembagian ruang yang kaku. Terbukti, festival kuliner Muara Angke saat tahun baru sangat ramai dikunjungi masyarakat berbagai golongan,jalanan ditutup sehingga hanya pejalan kaki yang bisa masuk,

suasananya sangat festive dan alami,tanpa sponsor, dengan panggung-panggung musik rakyat, warung ikan bakar di sepanjang jalan, dan rekreasi di tepi batuan pantai. Ketika pantai Ancol tak lagi terakses oleh ekonomi lemah, pantai gratis dan kampung ikan disini menjadi alternatif Pada akhirnya, perumahan yang liveable dan berkelanjutan akan terbentuk seperti sebuah RT/RW kecil, ada unsur spontanitas, fleksibel, kaya ruang namun masih terlihat hubungan antar penghuni, dan semuanya terorganisir, tercatat, dan memiliki penanggung jawab. Dengan keterbatasan lahan dan banyaknya penduduk, perlu dipikirkan pengolahan sistem tersebut secara vertikal, yang sampai saat ini belum terdapat preseden yang tepat tentang rusun untuk iklim tropis dengan ekonomi menegah kebawah dan latar belakang budaya yang kuat. Mungkin solusi awal adalah hunian semi vertikal, sebagai jembatan adaptasi dari perumahan menuju rusun tinggi. Disini, penghuni akan beradaptasi dengan cara hidup yang baru, namun dengan prinsip-prinsip yang sama dengan pola perkampungan : fleksibel,spontan, adanya ruang bersama,namun terorganisir. (4) Peran arsitek di sini seharusnya bisa dominan, memperkenalkan hunian vertikal yang baik kepada pemerintah sebagai stakeholder dan mensosialisasikan kepada masyarakat sebagai pengguna. Tentu bukan pekerjaan yang mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Sebuah pameran social housing yang diselenggarakan IAI Jakarta bekerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda di Erasmus Huis beberapa waktu lalu terbukti mampu menggelitik Gubernur dan pihak dinas Perumahan DKI Jakarta untuk membangun rusun-rusun yang menarik dan berkarakter,merevisi beberapa desain tipikal yang telah mereka buat. Rumah susun seharusnya bisa menjadi kebanggaan bagi penghuninya, tak kalah dengan rasa bangga pemilik apartemen mewah.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Pihak pemerintah selama ini terlihat kebingungan mendesain rumah susun. Dengan masa proyek yang terbatas, pemerintah dituntut cepat merealisasikan pembangunan, proses tender konsultan dan kontraktor yang memakan waktu berbulan-bulan mengakibatkan proses desain menjadi sangat singkat, tak jarang berupa template. Terlebih lagi fee desain yang jauh dibawah standar IAI untuk pembangunan rusun, mengakibatkan lemahnya semangat berinovasi di bidang ini. Rusun sekedar menjadi tugas yang asal jadi tepat waktu. Disini, para arsitek perlu bekerja sama mensosialisasikan desain-desain rumah susun yang baik, menggali ide-ide inovatif, bekerja sama dengan LSM dan sosiolog untuk mengkaji aspek-aspek budaya dan perilaku yang muncul di hunian vertikal. Dialog-dialog dengan masyarakat akan sangat penting, bagaimana menggabungkan perilaku,budaya,dan karakter tempat dimana rusun berdiri sehingga menghasilkan rusun yang tidak hanya menarik, tetapi juga tepat sasaran. Arsitek juga perlu melakukan pendekatan ke jajaran pemerintah dan pengambil kebijakan, untuk usulanusulan inovatif tentang rumah susun. Lambat laun, kita bisa membantu menciptakan hunian murah yang berkualitas, mengurangi pemukiman liar secara bertahap,mengembalikan ruang-ruang hijau, mengembalikan fungsi-fungsi ruang pada tempatnya, membentuk budaya baru tentang cara menghuni, namun tidak menghilangkan karakter tempat sebelumnya. Semuanya masih ada, dengan susunan vertikal. end.

Peran arsitek di sini seharusnya bisa dominan, memperkenalkan hunian vertikal yang baik kepada pemerintah sebagai stakeholder dan mensosialisasikan kepada masyarakat sebagai pengguna. 27


Indonesia mengalami perubahan demokrasi baru, kebebasan yang baru setelah reformasi 98, menumbuhkan pemimpin dan tokoh baru. Bersama media dan sosial media, kita dan masyarakat bisa menikmati perkembangan, arah kebijakan dan ambisi para pemimpin di pusat negara, hingga kota masing masing.

28

Sutiyoso, Foke dan kini adalah Joko Widodo adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat Jakarta melihat dan mengawasi pemimpin mereka. Dari Jalur bis khusus, kanal banjir Jakarta, hingga jalan layang, adalah beberapa ide yang kini telah terimplementasi dan diawasi keberhasilannya. Kebijakan-kebijakan ini membuat masyarakat belajar bagaimana memilih pemimpin yang telah meninggalkan kesan karena prestasi mereka. Di kota lain, kita dapat belajar dari aktivasi dan perbaikan taman-taman di Surabaya oleh Risma Harini yang kini bisa dinikmati siapa saja sebagai ruang terbuka hijau yang aktif, Program tram dan perbaikan detail detail kota Solo dari pedestrian yang lebar, hingga pemindahan PKL oleh Joko Widodo hingga aktivasi bangunan pertambangan oleh Amran Nur di Sawah Lunto menjadi museum dalam upaya meningkatkan ekonomi kotanya. Indonesia sekarang mengalami ekonomi yang tetap stabil pertumbuhannya dan Indonesia diperkirakan akan masuk dalam jajaran 10 negara perekonomian terbesar di dunia pada 2030 mendatang (McKinsey) setelah bertahan dari krisis global 2008 yang berdampak panjang yang hingga saat ini masih menimbulkan krisis ekonomi terhadap negara negara di eropa. Tiada saat yang baik, untuk implementasi dan pengembangan kota, baik untuk meningkatkan lapangan pekerjaan juga untuk tabungan perbaikan kota masa depan. Mana-

jemen kota seperti mengurus sebuah perusahaan besar, bagi mereka yang menjalankan perusahaan mengetahui, investasi di waktu yang baik akan memberikan keuntungan. Kota tempat tinggal kita adalah sistem kompleks yang terdiri dari beragam elemen penduduk termasuk masalahnya. Pemimpin yang mau terjun dan mendengarkan masalah penduduknya dan memberikan solusi akan selalu berada di depan. Pemimpin yang tidak sekedar berjanji di kampanye, tetapi mereka yang terus menyelesaikan benang kusut di birokrasi dan mewujudkan agenda untuk masyarakat banyak akan selalu dikenang karena meninggalkan kesan dan perbaikan kota dalam jangka waktu yang panjang. Yang terpenting adalah kota kota di Indonesia membutuhkan rencana pengembangan, membutuhkan dana yang tak kecil dan pemimpin. Pemimpin yang berani mengambil sebuah ide perbaikan untuk kota dengan alasan yang baik, yaitu untuk perbaikan masyarakat banyak. Berikut di bawah adalah 10 ide ambisius arsitektur dan kota menurut kami, ide yang mahal tetapi memungkinkan dan membawa perubahan, tentu dengan perencanaan yang jauh lebih matang. Solusi arsitektur dan kota sebagai kendaraan politik adalah salah satu cara, bukan sebagai digunakan sekedar pencitraan para pemimpin, tetapi untuk melibatkan semua elemen masyarakat, pemerintah dan swasta, sama sama saling mendengarkan sebagai katalis awal perbaikan yang lebih baik. Dengan proses yang baik, siapapun pemimpin yang membangun, proyek proyek ini akan menjadi perbedaan, hidup yang baik. Tidak ada yang salah dengan ambisi kecil.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

10 Proyek Arsitektur dan Kota untuk Indonesia Paskalis Khrisno Ayodyantoro

29

01.

02.

Pusat Seni Kontemporer Nasional Indonesia

Stasiun penyewaan sepeda di tiap kota

Galeri, museum, tempat mengadakan pameran seni, arsitektur, busana, kini terpusat pada bangunan bangunan lama atau mall mall. Seberapa ketergantungan kita terhadap mall mall ini untuk menyediakan ruang pameran berskala nasional dan internasional. Kita membutuhkan satu media tempat baru, kebanggaan sehingga para pelaku seni dan arsitektur memiliki ruang untuk mempromosikan diri lewat karya. Sebuah tempat seperti Kompleks Salihara dengan skala nasional, dengan desain tanpa embel-embel tradisional, namun mencerminkan semangat baru. Tempat untuk bertukar kebudayaan dalam saat ini dan nanti. Tiada yang lebih menyenangkan meletakkan museum ini di salah satu kota “kreatif� - Bandung

Penyewaan sepeda di Indonesia dimulai dari Universitas Indonesia, berlanjut ke skala kota seperti Bandung mengikuti kota besar seperti di Copenhagen, paris, New York. Penyewaan sepeda menjadi kebutuhan masyarakat yang semakin dinikmati, dalam skala yang kecil, penyewaan sepeda menjadi salah satu cara efektif untuk berpindah secara cepat tanpa mengeluarkan emisi dan polusi berarti terhadap kota. Penggunaan sepeda semakin dibutuhkan kembali sebagai usaha untuk mengembalikan kota kedalam skala manusia, skala dimana manusia menikmati bangunan, taman, kotanya secara perlahan dan detail. Bagaimanapun juga kita menginginkan penduduk yang lebih sehat bukan?


03. Kota berwawasan pejalan kaki Kota kota di Indonesia sekarang adalah kota yang orientasi pengembangannya mengikuti perkembangan kendaraan bermotor, sehingga menciptakan bangunan bangunan gigantis dan koridor koridor jalan yang besar sehingga sulit di akses dengan mudah oleh manusia. Perpindahan dari satu titik ke titik lain di kota juga semakin sulit karena kurangnya keterpaduan fasilitas dan semrawutnya perencanaan kota. Bila kota di dasarkan pada pejalan kaki, rencana kota akan berdasakan pejalan kaki. Kota akan lebih banyak pedestrian, taman, hingga perencanaan kawasan yang padat untuk memaksimalkan penggunaan trasportasi publik berdasarkan jarak tempuh pejalan kaki. 04. 30

Pusat data arsitektur setempat Arsitektur tradisional, arsitektur kolonial, arsitektur modern hingga arsitektur kontemporer adalah kebanggan arsitektur Indonesia, mereka masih berdiri dan hidup dengan budayanya sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama bagaimana arsitektur di Indonesia berproses hingga masa kini. Kekayaan sejarah dan bangunan bangunan tradisional ini adalah kekayaan yang tidak mungkin sama dimiliki oleh tampat lain di bumi ini. Mempelajari sejarah adalah bagian untuk berkembang, dengan memiliki pusat data arsitektur setempat, masing masing kampus memiliki kekayaan masing masing, sehingga bisa menjadi suatu data otentik dan dasar untuk mengembangkan arsitektur kini. 05. Bangunan Pemanfaatan Energi dari Bencana Kita tahu, Indonesia adalah Negara dengan banyak pulau, dikelilingi oleh laut, dan pegunungan berapi. Dengan rawannya bencana di semua daerah Indonesia, energi alternatif bisa

digunakan sebagai material baru atau penghasil energi baru untuk kota, baik itu geothermal pada gunung berapi, atau gelombang air laut, seperti misalnya kekuatan semburan Lumpur lapindo sebagai energi dan lumpurnya sebagai bahan baku bangunan alternatif. Salah satu ide lainnya, bukankah kemarau panjang bisa digunakan sebagai penghasil energi listrik cadangan dari matahari. 06. Stasiun kereta kecepatan tinggi lintas masing masing pulau, Transport hub antar kota yang memadai Tiada yang lebih menyenangkan memiliki transportasi darat dengan kereta kecepatan tinggi, sehingga perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain bisa menjadi lebih cepat dan mudah tanpa tergantung dari sistem transportasi udara yang semakin tinggi biayanya, dan membutuhkan birokrasi “check in” ke moda yang lebih lama. Kereta selain efisien dengan metode “hop on hop off” memudahkan siapa saja berpindah dengan cepat dan lancar. Jika setiap stasiun menyediakan parkir sepeda atau kendaraan bermotor sehingga meminimalisasi penggunaan kendaraan bermotor baik antar kota atau di dalam kota. 07. Perbanyak bangunan/area publik berorientasi “tempat” Suksesnya kota mengelola ruang publik dan bangunan dan fasilitas publik banyak terbukti berhasil dengan bagaimana pemimpinnya mendengarkan kebutuhan masyarakat. Placemaking dari PPS (Project for Public Space) adalah salah satu usaha meningkatkan kawasan sekitar, kota melalui ide ide kecil masyarakat sehingga kawasan bisa menjadi aktif kembali. Strategi “mendengarkan” atau bottom-up ini tak ada salahnya kita perbanyak ruang ruang aktif kota dengan metode ini.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

08.

10

Pasar Seni Muda : Aktivasi kegiatan publik

Perabotan publik oleh desainer produk / arsitek

Dengan berkembangnya produk dan kegiatan kreatif yang di buat oleh generasi muda sekarang, dibutuhkan juga ruang-ruang tempat mereka melakukan kegiatannya, sebagai contoh adalah festival makanan lokal keukenBdg, festival sinema diruang terbuka semacam layar tancap di pinggir kali, festival produk fashion lokal, instalasi instalasi seni di Biennale Jogja, pertunjukan musik yang semakin berkembang oleh generasi baru. Dengan semaraknya kegiatan ini dan ruang yang memadai, kita bisa berharap produktivitas kota dan pasar domestik semakin tinggi.

Tiada yang lebih menyenangkan memiliki bangunan modern menjulang, tetapi juga kota dengan detail yang fungsional, sederhana, dan cantik. Tidak ada salahnya kesempatan dekorasi ruang publik seprti lampu jalan atau tempat duduk oleh arsitek atau desainer produk sehingga menjadi kebanggaan kotanya melengkapi dan memperindah saat kita bersepeda atau berjalan kami

09. Hunian untuk semua Indonesia dengan hampir 250 juta penduduk mengalami kewalahan luar biasa di kota kota besar utama dengan pertambahan penduduk yang tidak disertai dengan fasilitas kota seperti ruang tinggal. Kota-kota besar kita cenderung membangun jalan menanggulangi macet, membangun akses sehingga kota semakin padat dengan kendaraan tetapi lupa untuk mengakomodasi kepadatan manusianya. Cara pandang ini perlu kita rubah dengan mengurangi kendaraan pribadi termasuk fasilitasnya dan mulai membangun kota untuk manusia. dengan mengubah dominasi penggunaan transportasi publik, dan mengganti konsentrasi tanah menjadi ruang hidup yang layak, menghasilkan manusia yang lebih berkualitas.

31


KOLASA : sebuah catatan sederhana Rofianisa Nurdin

Selamat datang ke dalam sekumpulan kata. Kolase asa.

ya omong kosong. bagaimanapun, karyalah yang pada akhirnya (benar-benar) berbicara.

Tentang harapan, cita-cita, masa depan. Tentang kota, tentang kita, tentang kota kita. Tentang pemaknaan apa-apa yang tak teraba di permukaan.

“Someone on the internet thinks what you’re doing is stupid, or evil, or it’s all been done before? Make good art.” – Pidato Neil Gaiman pada upacara kelulusan University of the Arts in Philadelphia tahun 2012

Tentang rasa. 32

* Tulisan ini lahir di kota Bandung. Sebuah kota utopia. Tempat di mana harapan dan implementasi ide-ide gila banyak terwujud. Rumah bagi pribadi-pribadi inspiratif yang mengklaim diri dapat melakukan hal-hal yang pemerintah (seharusnya lakukan, tapi) tak bisa lakukan. Kota anarki.

Merekalah wajah kota Bandung, representasi masa depan yang tak lama lagi datang. Para optimis yang menyebabkan tulisan ini ada. *

– Ridwan Kamil, pelaku sebenar-benarnya makna “anarki” di kota Bandung

Menjadi optimis itu menyenangkan. Segala yang kita lakukan punya arti. Apa-apa yang kita putuskan adalah investasi untuk kemudian hari. Kemudian tahun. Kemudian dekade. Seperti ada tungku perapian di dalam ruang imajiner dalam dada: yang senantiasa menghangatkan, mendorong kita untuk terus bergerak dengan nyaman, untuk melakukan apapun yang kita percaya punya arti di masa depan. Satu hal yang pesimisme tak (pernah) bisa berikan.

Atas mereka, langkah-langkah kecil yang seringkali diragukan akan berumur panjang tercipta. Tapi penduduk sebuah kota yang diklaim sebagai kota yang memiliki banyak potensi SDM ideal dan paling siap dalam merespon gelombang ekonomi kreatif ini tak mudah goyah. Celetukan hanyalah kerikil. Cibiran han-

“Some people believe the secret to happiness is low expectations. If we don’t expect greatness or find love or maintain health or achieve success, we will never be disappointed. If we are never disappointed when things don’t work out and are pleasantly surprised

“Anarki itu ‘leaderless’. Bergerak tanpa selalu ikut sistem. Direduksi maknanya (men)jadi negatif oleh media sebagai ‘keonaran’.”


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

when things go well, we will be happy.

“The glass remains half full. “

“It’s a good theory — but it’s wrong. Research shows that whatever the outcome, whether we succeed or we fail, people with high expectations tend to feel better. At the end of the day, how we feel when we get dumped or win an award depends mostly on how we interpret the event.”

Sangat mungkin untuk menyeimbangkan ekspektasi, percaya bahwa kita akan tetap sehat namun di sisi lain tetap menggunakan jasa asuransi jiwa; yakin bahwa matahari akan bersinar namun tetap membawa payung – kalaukalau hujan datang berkunjung.

– Tali Sharot dalam bukunya The Science of Optimism: Why We’re Hard-Wired for Hope Menjadi optimis adalah tentang membuka diri bagi kemungkinan yang lebih luas. Pun siap jatuh ke dalam jurang keputusasaan yang lebih dalam. Irasional, namun menginspirasi: prasangka yang terjadi di antara keduanya mendorong kita untuk terus melangkah maju, bukannya berpuas diri akan apa yang tersedia. Menjadi optimis adalah tentang mengimajinasikan sebuah realitas alternatif, bukan sekedar proyeksi dari realitas yang telah ada: yang tua, usang, berkarat, dan kadaluarsa. Serta percaya bahwa tangga mencapai realitas imajiner itu selalu ada, bahwa suatu saat kita akan sampai di sana. Keyakinan adalah bahan bakar motivasi. Tapi bagaimana caranya kita dapat meninggikan harapan, mengambil manfaat dari bersikap optimistis dan dalam saat yang bersamaan menghindari diri dari lena? Tali Sharot dalam buku yang sama berkata, “We are not born with an innate understanding of our biases. The brain’s illusions have to be identified by careful scientific observation and controlled experiments, and then communicated to the rest of us. Once we are made aware of our optimistic illusions, we can act to protect ourselves. The good news is that awareness rarely shatters the illusion.

Karena menurut seorang Debbie Millman dalam tulisannya Look Both Ways: Illustrated Essays on the Intersection of Life and Design, “If you imagine less, less will be what you undoubtedly deserve. Do what you love, and don’t stop until you get what you love. Work as hard as you can, imagine immensities, don’t compromise, and don’t waste time. Start now. Not 20 years from now, not two weeks from now. Now.” * Akhir pekan di kota Bandung selalu menyenangkan. Bahkan jika hanya dihabiskan untuk bangun siang, lalu bertengger di kamar untuk melukis dinding seharian atau menulis cerita ringan hingga datang malam. Beranjak sedikit keluar rumah, saya bisa menyewa sepeda di kios Bike.Bdg untuk sarapan di jalan gempol, atau Kopi Purnama di jalan Alkateri, atau lebih jauh lagi menelusuri jalan Dago hingga jalan Braga demi mengurangi sedikit kalori. Jogging di Saraga atau Saparua, membaca buku di Kineruku atau Reading Lights, melihat pameran di Selasar Sunaryo atau Lawang Wangi, sedikit menjauh dari kota dan menyambangi kebun teh di lembang lewat jalan sersan bajuri, ... Tentu saja, ada alternatif pilihan lain yang lebih banyak lagi: Trans Studio, Ciwalk, PVJ, Festival Citilink, berderet-deret FO, serta belasan bahkan puluhan kafe yang lebih mengutamakan tema interior demi menjadi latar yang fotogenik ketimbang cita rasa dalam menu mereka.

33


Kita tinggal memilih. Karena Bandung begitu berwarna-warni. Dan kali ini saya tak ingin membandingkannya dengan kota besar yang berjarak seratus sekian kilometer ke barat, kota pemasok presentase debit turis terbanyak tiap akhir pekannya. Kali ini saya ingin bercerita tentang temanteman baru. Yang selama ini tinggal di kota yang sama, mempelajari ilmu yang hampir sama, memiliki semangat yang sama, namun baru beririsan ketika kami semua berkumpul dalam satu acara menselebrasikan ruang publik di Singapura. Mereka ini yang dalam dua tahun belakangan memberi warna baru bagi kota Bandung.

34

Mengklaim jalan penuh kendaraan, pojok-pojok kota yang sekian lama diabaikan, ruang-ruang publik yang kalah pamor dari gemerlap mal. Menghidupkannya kembali dengan merayakan kebutuhan utama manusia: makan, Memberi akses terjangkau untuk bersepeda keliling kota, menjadi alternatif solusi kemacetan, bising, dan polusi. Menghadiahi Bandung predikat kota pertama di Asia Tenggara yang merealisasikannya, Menghadirkan romansa masa lalu, kegiatan sesederhana menonton film di ruang terbuka, dengan layar berlatar sungai yang diharapkan kembali menjadi daya tarik kota Bunga, bukan sekedar ruang belakang permukiman padat yang mengapitnya, Menghidupkan kembali bangunan heritage yang lama tak dihuni,

dan mengedukasi mereka dengan cara yang menyenangkan, ... Mereka ini hanya sepersekian sampel dari sekian banyak orang-orang inspiratif di kota Bandung yang belum saya tahu. Orang-orang ini perlu ditemukan, diapresiasi, didorong dan diberi motivasi. Kita hanya perlu sedikit terbuka, dan mencoba bergeser sedikit dari zona nyaman, menengok bibit-bibit harapan yang siapa tahu merupakan jawaban di masa depan. Siapa tahu bukan. Tapi tak pernah ada yang salah dari mencoba dan melakukan kesalahan. ... Saya teringat pada suatu waktu, dalam sebuah perjalanan singkat dari depan pintu studio Tugas Akhir menuju lift, seseorang menanggapi sapaan penghiburan saya kepada seorang teman yang baru saja divonis tidak lulus. “Kamu tuh baik ya.” “Kenapa?” “Iya, baik sama dia.” “Loh, kenapa harus jahat?” “Kenapa harus baik?” Saat itu, perdebatan hanya sampai disitu. Di dalam lift kami berbicara tentang hal yang lain. Tapi ide tentang memilih baik atau buruk, tentang berada pada titik netral di mana kita dapat memutuskan apapun tanpa variabel lain ikut campur, diam-diam bertengger dalam pikiran.

Menawarkan keceriaan di taman-taman kota dengan aktivitas biasa, yang menjadi tak biasa karena kita sudah terlalu lama lupa,

Jika kita bisa membuat satu orang tersenyum, yang membuatnya bangkit berdiri, mengisi bensin motivasinya walau hanya sepercik, sehingga menciptakan rantai kejadian paralel di mana dalam satu waktu di masa datang ia menjadi pribadi yang lebih baik,

Menjadi sahabat anak-anak jalanan

Mengapa memilih untuk mendorong seseo-


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

rang ke dalam jurang, bahkan jika ia sendiri yang meminta? Terlalu terburu-buru jika optimisme dan pesimisme dianalogikan sebagai tindakan baik dan buruk. Tapi bisa jadi memang begitu. Jika optimisme memberikan perubahan positif sementara pesimisme akan menurunkan ekspektasi, yang menyebabkan berkurangnya dampak baik yang seharusnya bisa terjadi, maka menjadi pesimis adalah tindakan buruk. Logika matematika. Memang, menjadi optimis kadang bisa menghasilkan delusi yang berujung kecewa apabila tak mencapai ekspektasi. Tapi menjadi pesimis, kita tak bergerak kemanapun, jika bukan mundur. ... “Go and make interesting mistakes, make amazing mistakes, make glorious and fantastic mistakes. Break rules. Leave the world more interesting for your being here.” – Neil Gaiman Siapa tahu, itu kamu. * Tulisan ini ingin mengajak untuk berkaca: Bahwa kita selalu punya pilihan. Lakukan hal-hal baik, berikan yang terbaik.

Menyapa dan bukan mencibir. Bertanya dengan kritis, dan bukan nyinyir. (Iya, saya tahu nyinyir artinya cerewet.) Dan mengimani satu hal: Bahwa selama kita melakukan sesuatu, kita akan baik-baik saja. “It does not matter how slow you go as long as you do not stop.” – Confucius * ko•la•se n 1 komposisi artistik yg dibuat dr berbagai bahan (dr kain, kertas, kayu) yg ditempelkan pd permukaan gambar; 2 Sas teknik penyusunan karya sastra dng cara menempelkan bahan-bahan, spt ungkapan asing dan kutipan, biasanya dianggap tidak berhubungan satu dng yg lain; 3 Sas cara menentukan naskah yg dianggap asli dng membanding-bandingkan naskah yg ada asa n harap(an); semangat: ia sudah putus -- dl menghadapi persoalan itu; 1

meng•a•sa•kan v mengharapkan; asa-asa•an a selalu berharap-harap atau mengharapkan: supaya orang tuamu jangan ~ lekaslah pulang sekarang

Berpikir visioner, bekerja keras, bersikap ramah dan rendah hati.

Kolasa adalah akronim yang mewakili sebuah frasa sederhana: Kolase-asa.

Terbuka kepada diskusi, kompromi, dan kemungkinan-kemungkinan.

Sebuah catatan sederhana tentang harapan, optimisme, dan apa saja yang telah kita capai,

Memilih ya dan memahami alasannya.

Demi masa depan yang selalu harus lebih baik.

Berkata tidak dan meyakini ketetapannya.

35






Menakar Masa Depan Profesi Arsitek di Indonesia Ariko Andikabina

40

Entah apakah secara bersama kita sadari atau tidak, namun masa depan profesi Arsitek di Indonesia memasuki fase yang perlu kita waspadai (jikalau tidak ingin disebut mengkhawatirkan). Karena hingga saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara di dalam lingkup ASEAN yang belum memiliki UU Arsitek. Indonesia pula menjadi satu-satunya negara di dunia dimana pendidikan arsitekturnya tidak sesuai dengan standar yang di tetapkan UIA.

lanjut atau dalam rangka praktek arsitektur. Satu-satunya pendidikan strata-1 yang berbeda adalah Jurusan Kedokteran. Dimana sebelum lulus, calon dokter harus melakukan Koas di rumah sakit dan setelah lulus wajib melakukan PTT sebelum bisa mendapatkan izin praktek sebagai dokter. Namun perlu diingat, hal tersebut juga diatur dalam UU Kedokteran, sedang untuk praktek arsitektur kita belum memiliki UU Arsitek.

Pendidikan arsitektur di Indonesia seperti halnya pendidikan tinggi strata-1 lainnya dilakukan dalam waktu 4 tahun. Sedangkan UIA mensyaratkan pendidikan profesi arsitek dilakukan selama 5 tahun + 2 tahun pemagangan. Ketimpangan ini berakibat tidak diakuinya atau ketidaksetaraan lulusan jurusan arsitektur dalam negeri apabila hendak berkiprah di luar negeri, baik dalam rangka pendidikan

Memang pengupayaan dan pembahasan UU Arsitek sudah berlangsung semenjak lama. Sudah pula masuk di dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai hak inisiatif DPR, namun kini RUU Arsitek sudah pula terlempar dari prolegnas, walaupun sebelumnya telah mendapat dukungan dari kementerian terkait maupun dukungan dari presiden. Justru yang mengemuka belakangan ini dan sedang diba-


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

has di DPR dan DPD adalah RUU Keinsyinyuran yang diusung Persatuan Insyinyur Indonesia (PII) dimana profesi arsitek dimasukkan di dalamnya. Walau setiap insan arsitektur faham dan mengerti bahwa bidang arsitektur sangat berbeda dengan bidang keteknikan lainnya, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa selayaknya di perguruan tinggi Arsitektur berdiri dalam fakultas tersendiri tidak bergabung dengan fakultas teknik seperti saat ini.

masa depan profesi Arsitek di Indonesia memasuki fase yang perlu kita waspadai

Terlemparnya RUU Arsitek dari prolegnas, dari sekian banyak faktor penyebabnya dalam pandangan saya pribadi diantaranya saya mensinyalir sebagai akibat dari hiruk-pikuk pemilihan Ketua Umum IAI beberapa waktu yang lampau. Walau mungkin bukan figur ketua yang menjadi permasalahan utama, tetapi ketidaksepahaman mengenai beberapa isu seperti bagaimana seharusnya asosiasi profesi arsitek berlaku dan bagaimana seharusnya peran anggota dalam organisasi tampak mengemuka. Keinginan beberapa pengurus daerah IAI agar tata cara pemilihan digeser dari satu anggota satu suara sesuai dengan AD/ART IAI menjadi cukup 1 suara diwakili oleh pengurus daerah, dalam pandangan saya adalah penyebab utama

kebuntuan pada Munas IAI di Balikpapan. Kebuntuan di Balikpapan inilah menyebabkan IAI tidak memiliki nakhoda selama kurang lebih 7 bulan, sehingga urungnya pembahasan RUU Arsitek di DPR.

Tantangan berikutnya adalah adanya ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Architectural Services, yang memungkinkan praktek arsitek lintas batas antar negara ASEAN. Kesiapan kita dalam menghadapi ASEAN MRA pada tahun 2015 turut menjadi pertanyaan saya, mengingat kurikulum pendidikan arsitektur kita belum memenuhi syarat yang ditetapkan UIA dan ketiadaan UU Arsitek saat ini.

Berkaca dari kenyataan saat ini, walaupun belum dalam skema ASEAN MRA, arsitek asing telah berhasil merajai praktek arsitektur di Indonesia. Maka apabila kita tidak bersiap secara segera saya khawatir kita tidak lagi dapat lagi merebut tempat sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Masa depan profesi arsitek bergantung kepada kita semua. Jikalau kita acuh maka persiapkan diri untuk segera tergilas.

41


42

POSO ARCHITE POSO Ketika mendengar nama “Poso�, pemikiran sebagian besar orang langsung mengarah pada daerah di Sulawesi Tengah yang bertahuntahun dicap sebagai daerah konflik antara satu pihak dengan pihak lainnya, walau tak ada yang bisa memastikan kebenaran dari masalah ini. Namun jelas bahwa “profil� sebagai daerah konflik ini telah meresahkan masyarakat dan menciptakan persepsi publik yang buruk tentang Poso. Dan karena persepsi tersebut, ragam potensi Kabupaten Poso belum tersentuh oleh pengembangan dan pengelolaan yang optimal. Poso memiliki garis pantai yang panjang, yang jika dikelola dengan baik dan bertanggungjawab dapat menjadi daerah wisata transit untuk para wisatawan yang akan menuju Ampana, pelabuhan penyeberangan ke Gorontalo serta Kepulauan Togian di Teluk Tomini. Be-

lum lagi daerah perbukitan yang banyak dimanfaatkan sebagai perkebunan masyarakat, sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi kawasan agrowisata. Satu potensi lagi yang paling berkarakter adalah Danau Poso. Dapat ditempuh dalam waktu 2 jam berkendara dari pusat kota, Danau Poso merupakan danau terdalam ketiga di Indonesia dengan luas tak kurang dari 323 km2. Aksesibilitas, keindahan alam dan budaya masyarakat Danau Poso selayaknya menjadi akar optimisme dalam mengembangkan kegiatan ekowisata. Di sini pulalah kami, EFF Studio, menemukenali potensi arsitektur lokal, dan apa yang kami temui telah membawa kami menelusuri lebih dalam.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

ECTURE NOW Effan Adhiwira


KLIEN Ternyata bertanggung jawab untuk melakukan inspeksi bangunan hasil rancangan membawa hikmah. Saat sedang mengunjungi salah satu bangunan hasil kerjasama saya dengan tim untuk memastikan seluruh konstruksi bambunya tetap dalam kondisi prima, saya dipertemukan dengan Lian Gogali, perempuan muda penggagas sebuah LSM bernama Institut Mosintuwu dari Poso yang mempunyai visi luar biasa dalam pemberdayaan masyarakat pasca konflik.

44

Beliau bercita-cita membangun kantor bagi Insitut Mosintuwu, sebuah bangunan yang unik dengan teknologi yang belum pernah diaplikasikan di daerah Poso namun mengoptimalkan potensi material lokal sehingga selain bangunan mengandung nilai kearifan lokal, biaya konstruksi pun lebih terjangkau. Pemilihan konstruksi bambu didasarkan pada harapan bahwa bangunan kantor ini tidak hanya dirancang untuk mewadahi fungsi kegiatan pemberdayaan masyarakat tetapi juga dalam proses konstruksinya dapat membuka wawasan para tenaga konstruksi lokal akan potensi bambu yang banyak terdapat di sekitar mereka tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. SITE Hasil kunjungan ke lokasi proyek sangat menggugah. Site berlokasi strategis, tepat di pinggir Danau Poso dengan pemandangan mempesona. Bahkan saat waktu pasang naik, hampir 60% lahan dapat terendam dengan air. Bagi kami kondisi ini bukanlah hambatan, melainkan sebuah kelebihan, yaitu potensi untuk mengembangkan keunikan desain. Kami sudah membayangkan sebuah sistem bangunan apung yang ketinggian lantainya nanti akan bergantung dari tingginya air pasang yang datang. Kondisi material bambunya juga tidak kalah luar biasa. Bambu Tarancule (bambu lokal) ternyata berkarakteristik serupa dengan Bambu Petung yang biasa kami gunakan untuk proyek di Jawa atau Bali. Kami dapat memilih

dengan mudahnya bambu-bambu lokal dengan kualitas baik sesuai dengan kebutuhan panjang dan karakter bentuk batang bambu pada desain bangunan yang kami rancang. Sementara itu, harga sangat jauh dibanding dengan bahan bambu di Bali apalagi dengan harga material beton. Karena ini adalah proyek sosial, banyak dari anggota masyarakat yang ikut membantu menyumbang bambu yang berasal dari kebun mereka sendiri, kalau pun membeli, harganya sangat terjangkau. DESAIN Mengenai desain, kami diberi kebebasan untuk berekspresi oleh klien, sehingga kami putuskan untuk sekalian membuat desain dengan tingkat kerumitan cukup tinggi. Proyek ini adalah proyek bambu pertama / pioneer di kawasan Poso. Harapan kami proyek ini dapat menjadi sebuah pembelajaran, inspirasi dan perbendaharaan arsitektur yang baru baik bagi masyarakat pengguna bangunan maupun komunitas perancang dan pekerja bangunan. Desain boleh rumit, tetapi hakekatnya tetap untuk mewadahi fungsi dan kegiatan yang dilakukan oleh Institut Mosintuwu. Tipe konstruksi bambu yang berbeda pada masing-masing ruangan kami gabungkan sekaligus dalam desain bangunan ini untuk memberikan gambaran tentang variasi desain konstruksi bambu yang bisa diaplikasikan pada desain bangunan. Pada bagian ruang kantor, kami menggunakan struktur bambu berlantai tiga. Bagian bangunan ini mengadaptasi dan memodifikasi bentuk atap tradisional Sulawesi dan dirancang untuk menjadi bagian yang paling menonjol pada proporsi bangunan sehingga dapat menjadi daya tarik dalam jarak pandang yang cukup jauh. Selain untuk memisahkan fungsifungsi kantor berdasarkan privasi dan zona kerja, struktur lantai tiga ini juga menunjukkan kekuatan konstruksi bambu saat disusun secara vertikal. Pada bagian perpustakaan, untuk memberi kesan bahwa buku adalah jendela dunia


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

45


dan dunia itu sangat luas tak bersudut, kami rancang sebuah ruangan melingkar setengah bola berdiameter 8 meter sebagai gambaran bahwa pengguna berada di dalam dunia dan bisa melihat kesegala penjuru dunia. Bagian ini kami rancang dengan menggunakan struktur rangka cangkang bambu. Hampir sama prinsipnya dengan struktur rangka cangkang baja, hanya saja struktur ini menggunakan sistem anyaman silang batang-batang bambu yang bersama-sama membentuk sebuah struktur setengah bola. Sebuah fungsi rumah makan / kedai atau yang nantinya dapat dikembangkan menjadi sebuah restoran yang berkelas ditambahkan dalam daftar kebutuhan ruang Insitut Mosintuwu. Kami berpikir ke depan bahwa untuk menjadikan LSM ini sebagai badan mandiri dan memiliki unit usaha sendiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap kucuran dana dari pihak luar / donor. 46

Selain itu, potensi lokasinya yang berada di pinggir danau akan sangat disayangkan jika tidak dioptimalkan. Bagian bangunan ini hampir sepenuhnya akan berada di atas air danau. Untuk menyiasatinya sesuai dengan ide awal, kami merencanakan pembuatan struktur lantai apung yang dapat menyesuaikan diri dengan ketinggian air pasang dari danau. Oleh karena bahan bambu tidak disarankan untuk terlalu lama terekspos oleh sinar matahari dan hujan, kami merancang sebuah struktur atap bentang panjang untuk melindungi lantai apung berdiamater 12 meter ini. Struktur ini terinpirasi dari bentuk ikan yang melompat dari danau sehingga sistem rangka struktur ini menggambarkan garis-garis tulang ikan yang melengkung melindungi struktur lantai tersebut. Sebuah struktur bambu rangka ruang berbentuk busur sepanjang 15 meter menjadi penopang utama. Rangka penutup ini melintang dari sisi luar perpustakaan melewati lantai apung dan bertumpu pada satu titik pondasi ditengah danau.

SISTEM KERJA Desain yang rumit sebaiknya dikerjakan sepenuhnya oleh tenaga ahli yang berpengalaman. Namun dalam proyek ini, kami mengaplikasikan misi pemberdayaan masyarakat lokal sekaligus memfasilitasi keterbatasan dana klien melalui sistem diklat bagi tenaga lokal. Kami mengirim 4 orang tenaga ahli dari Bali, sementara sisanya adalah 12 orang tenaga lokal dari sekitar lokasi proyek yang belum pernah sama sekali mengerjakan konstruksi bambu. Kekhawatiran tentu saja sempat menghampiri, tetapi seiring berjalannya diklat dan proses konstruksi, semangat lokalitas itu semakin terbangun – baik dalam penerapan saat memilih material bangunan maupun pada penggunaan tenaga lokal. Tidak selamanya orang yang belum pernah mengerjakan sesuatu berarti tidak bisa; bakat dan kemauan belajar memungkinkan para tenaga lokal cepat beradaptasi dengan sistem konstruksi bambu yang baru dikenal. Selain itu banyak hal tentang teknik konstruksi tradisional yang bisa dipelajari yang bukan tidak mungkin ternyata lebih efektif dari yang selama ini kita tahu. Tentunya sebuah proses saling bertukar ilmu dan menambah wawasan menjadi dampak positif pemilihan sistem kerja seperti ini. Kedua belah pihak saling berbagi dan belajar. Mungkin hasil pekerjaan tidak sesempurna atau secepat jika dikerjakan sepenuhnya oleh tenaga-tenaga ahli dari Bali atau daerah lain, tetapi proses pemberdayaan masyarakat lokal lebih besar nilainya untuk keberlanjutan jangka panjang. Keuntungan lain dari sistem kerja ini adalah biaya yang terjangkau untuk klien karena sebagian besar menggunakan standar upah lokal. Pekerjaan juga tetap berjalan dengan baik dikarenakan adanya tenaga ahli yang tetap menjadi koordinator tiap-tiap seksi pekerjaan. Bagi tenaga lokal, proyek ini memberikan ilmu baru bagi mereka sehingga dapat membuka peluang usaha baru dan meningkatkan standar upah mereka di kemudian hari. Keuntungan bagi kami, ketika di masa mendatang


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

mendapat proyek lain di Sulawesi, kami telah memiliki bibit-bibit tenaga konstruksi bambu sehingga mungkin kami tidak perlu lagi mengirim tenaga ahli dari luar daerah dan proyek dapat ditangani sepenuhnya oleh tenaga lokal. EFEK MASA DEPAN Walau proyek ini belum selesai sepenuhnya, beberapa pihak di sekitar Poso telah menunjukkan ketertarikan mereka terhadap penggunaan konstruksi bambu. Salah satu yang meningkatkan semangat kami adalah dukungan dari pemerintah daerah setempat yang terus mengawal dan antusiasme mereka dalam mengusahakan penerapan konstruksi bambu pada beberapa proyek pengembangan wisata di Tentena, sebuah kecamatan tempat lokasi bangunan Institut Mosintuwu dibangun.

TREN

bagus, bisa menarik, atau istilah masa kini – bisa “keren�. Dan yang keren ini ternyata juga bisa terjadi di mana saja. Khusus di Indonesia, kiblat / tren arsitektur masih menjurus untuk melihat karya-karya yang terbangun di Jawa atau Bali yang mengakibatkan banyak desain rumah, toko, ataupun pusat perbelanjaan di Makassar ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Surabaya. Padahal setiap daerah mempunyai ciri lokal yang harus tetap dihargai dan dikembangkan, dan tentunya setiap daerah juga berhak menjadi kiblat / tren yang menginspirasi bagi masyarakat dan saudara-saudaranya di daerah lain.

Melalui proyek ini, kami mempelajari bahwa lokalitas bisa

Jadi boleh lah jika judul tulisan ini menyerupai judul-ju-

Berita tentang pembangunan ini juga telah tersebar ke berbagai daerah di Sulawesi. Beberapa pihak yang telah kami temui antara lain dari Palu, Mamuju, Makassar dan Jeneponto yang menyatakan tertarik untuk mengembangkan konstruksi bambu sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Sangat menarik, semoga niat baik semuanya diberikan kemudahan jalan.

dul buku yang banyak terdapat di toko buku yang isinya menggambarkan tren terbaru arsitektur di sebuah wilayah. Poso sudah memulai untuk bangkit, tidak selamanya akan dikenal sebagai daerah pasca konflik, tetapi menjadi sebuah daerah dengan beragam potensi dan memiliki arsitektur yang bisa dibanggakan. Harapannya, langkah awal ini menjadi inspirasi, bukan secara mentah ditiru untuk diaplikasikan di daerah lain. Semoga saudara-saudara di daerah lain juga mulai berinisiatif, sehingga bukan tidak mungkin akan muncul tulisan atau buku tentang Bajawa Architecture Now, Samboja Architecture Now, atau Muaro Jambi Architecture Now. ď Š Salam,

47


48


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

U SHAPE CULVERT HOUSE ARA Studio Konsep dasar pemikiran :

Keragaman bentuk dan ukuran

Melihat potensi tersembunyi Siap pakai (plug and play) kadari sebuah obyek (hidden af- rena diproduksi secara massal fordance) untuk kebutuhan infrastruktur Pada dasarnya semua obyek mempunyai potensi untuk digunakan secara; benar, salah, dan potensi lain yang tidak terpikirkan sebelumnya karena mempunyai sifat dan karakter yang dibutuhkan untuk menjadi obyek dengan kegunaan baru yang benar benar beda dengan perencanaan semula Konsep dasar pemilihan obyek “u shape culvert� : Fenomena kota Surabaya yang sedang gencar memakai u shape culvert untuk menutup sungai-sungai kecil untuk dijadikan jalan Potensi dan kualitas space yang dihasilkan dari u shape nya dari pengalaman yang sering kami lihat dan kami baca di media massa ketika proses pembangunan u shape culvert sedang berlangsung di Surabaya Fleksibilitas modul untuk diletakkan dengan konfigurasi massa yang sedemikian rupa

Kekuatan modul sendiri dan ketahanan terhadap iklim karena bahan terbuat dari beton Dalam prosesnya tidak dibutuhkan “sub structure� karena modul inti sudah stabil

49



jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i


52

http://imgc.allpostersimages.com/images/P-473-488-90/27/2790/TYFOD00Z/posters/holger-leue-woman-and-children-of-kastom-village-selling-souvenirs-under-banyan-tree-yakel-vanuatu.jpg

ARSITEKTUR NAUNGAN Paskalis Khrisno Ayodyantoro


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

53

lindungan

naungan

Arsitektur Naungan, hari ini sering dikemukakan oleh josef prijotomo juga sebelumnya sering di kaji melalui bahasa lain oleh YB mangunwijaya dan Silaban tentang sikap tropis. Tulisan ini adalah catatan perjalanan, pendapat dan pengembangan awal dari pengalaman melalui buku sejarah, filsafat, fiksi, jurnal, arsitektur, koran, tautan jejaring maya, berkegiatan praktek, perjalanan rumah asuh, kursus singkat, perjalanan, percobaan tentang metoda praktek membangun arsitektur di Indonesia hingga pertemuan pertemuan singkat dan diskusi setelah 5 tahun sejak lulus sarjana. Catatan ini juga merupakan eksplorasi yang tak usang dari remahanremahan awal yang perlu di lanjutkan, kembangkan dan dibuktikan lewat belajar, lanjutan percobaan dan membuka diri untuk menerima kemungkinan baru.


Tempat Pada mulanya manusia berpindah mencari tempat yang nyaman untuk hidup. Setelah lelah hidup berpindah pindah, manusia berusaha mencoba menciptakan kenyamanan dengan menetap dalam satu lokasi dan menyesuaikan diri terhadap kondisi tempat tersebut. Manusia kemudian menciptakan hunian dasar dengan menyesuaikan(adapt) secara bertahun-tahun hingga berabad-abad dengan tempat, yang di pengaruhi 3 faktor besar tempat yaitu : letak geografis, letak astronomis, dan letak geologis.

54

Letak geologis ialah letak suatu tempat berdasarkan struktur batu-batuan yang ada pada kulit buminya. Letak geologis dapat terlihat dari beberapa sudut, yakni dari sudut formasi geologinya, keadaan batuannya, dan jalur-jalur pegunungannya. Tanah memiliki ciri-ciri material dan struktur batuan kompleks yang terkandung di dalamnya baik mineral, karakter, zat, hingga minyak bumi. Kandungan tanah beserta batuan yang berada di suatu tempat, mempengaruhi keadaan tumbuhan apa saja yang dapat tumbuh. Dari tumbuhan ini binatang dapat hidup di sekitarnya. Bagi manusia, tumbuhan dan binatang ini menjadi sumber makanan dan mata pencaharian manusia. Bahan, kondisi lansekap, Tumbuhan dan binatang ini kemudian dipakai selanjutnya sebagai material konstruksi bagi manusia untuk menciptakan hunian seperti kayu, batu, hingga kulit binatang, untuk beradapatasi dengan iklim dan cuaca di sekitarnya serta pengaruh lain untuk melindungi fisiknya. Selain itu kondisi mineral, tumbuhan dan binatang ini juga digunakan manusia sebagai penghasil energi dasar, seperti api kemudian minyak untuk menghangatkan tubuh, sejalan dengan adaptasi dan teknologi sebagai sumber memasak, dan penghasil energi.

Letak geologis, juga menghasilkan potensi bumi. Potensi bumi adalah keadaan bumi yang berhubungan dengan air, angin, panas, dan aktifitas aktifitas bumi. Masing masing potensi ini memiliki dampaknya terhadap konstruksi bangunan hunian. Air, contohnya hunian dipantai atau pinggir sungai yang sering terkena pasang, akan mengangkat bangunan huniannya agar air tidak masuk kedalam bangunan. Angin, contohnya hunian yang sering terlanda angin kencang, akan menancapkan konstruksi bangunannya kedalam tanah agar tidak mudah tercerabut, disamping itu bentuk bangunan dibuat tidak menantang angin (aerodinamis) sehingga tidak merusak bangunan secara berarti ketika angin kencang terjadi. Disamping itu juga masih ada potensi bumi seperti gempa yang coba dipecahkan dengan konstruksi yang lepas dari tanah agar tidak menentang/lepas dari gerakan gempa atau dibuat pengikatpengikat miring seperti struktur bawah bangunan vernakular(geografis) Nias agar konstruksi bangunan kaku, tetapi tetap terlepas dari tanah. Letak Geografis ialah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan dengan keadaan lautan dan daratan sekitar tempat. Letak geografis ditentukan pula oleh letak astronomis dan letak geologis. Secara astronomis, kondisi tempat didasarkan pada posisinya pada garis lintang dan bujur bumi. Menurut geografis, dampaknya adalah kondisi Iklim dan cuaca disuatu tempat. Iklim dan cuaca setempat berdampak pada bagaimana manusia mengadaptasikan tubuhnya terhadap kondisi suhu lingkungannya. Pembagian iklim dan cuaca terhadap kemampuan penyesuaian tubuh


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

manusia, terbagi atas; Iklim dan cuaca ekstrim contohnya adalah iklim sedang, dingin, hingga iklim kutub. di iklim ini terdapat suhu dan cuaca ekstrim seperti panas matahari hingga kondisi salju yang membuat manusia membutuhkan perlindungan. Tanpa perlindungan yang benar-benar tertutup, manusia tidak dapat hidup dengan iklim dan cuaca tersebut. Sedangkan iklim dan cuaca suhu yang bisa disesuaikan dengan tubuh contohnya adalah iklim tropis. Suhu tropis yang berada di antara 18-32 derajat celcius membuat manusia membutuhkan naungan sekedar untuk menghindari curah hujan tinggi dan terik matahari yang suhu rata rata sepanjang tahun masih dapat diadaptasi tubuh manusia tanpa sebuah perlindungan. Iklim secara langsung menghasilkan sikap tubuh-hunian terhadap alam. Tropis, kemarau dan penghujan Indonesia berada di Iklim tropis yang menurut koppen adalah berkarakter temperatur tinggi (pada permukaan laut atau ketinggian rendah) - dua belas bulan memiliki temperatur ratarata 18 °C (64.4 °F) atau lebih tinggi. Indonesia sendiri berada di iklim hujan tropis dimana mengalami kelembaban 60 mm (2.4 in) ke atas sepanjang 12 bulan. Iklim ini terjadi pada garis lintang 5-10° dari khatulistiwa. Di iklim hujan tropis, Manusia bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan suhu alam sekitar. Matahari dan Hujan adalah tantangan terbesar di lokasi tropis. Matahari sepanjang tahun, kelembapan yang tinggi, dan curah hujan yang tinggi, adalah potensi utama yang perlu di pertimbangkan dalam mengadaptasi hunian terhadap iklim tropis. Kegiatan manusia dapat di lakukan kapan saja bila tidak terganggu terik matahari dan curah hujan tinggi yang berpengaruh langsung terhadap tubuh manusia dan menghindari kelembapan yang berpotensi timbul bakteri dan penyakit bagi manusia. Suhu Iklim tropis tidak menjadi gangguan berarti bagi tubuh manusia. Dalam beberapa catatan, Josef prijotomo seringkali menyebutkan kebiasaan telanjang(hanya menggunakan cawat) masyarakat tradisional yang dinalarkan ketidakpengaruhan signifikan antara suhu iklim tropis dan tubuh. Penyesuaian hunian manusia untuk iklim tropis ini adalah “menghindari” efek langsung terik panas matahari dan curah hujan basah yang tinggi mengenai tubuh. Sehingga yang dibutuhkan dalam hunian tropis adalah

yang menaungi kegiatan manusia dari terik matahari dan curah hujan yang tinggi. Dan sejatinya seperti pendapat Romo Mangun, manusia tropis, hidup di luar daripada di dalam. Arsitektur Tropis, adalah tentang mengatasi bayang dan aliran udara. Arsitektur Tropis adalah arsitektur naungan. Dengan memahami ciri ciri iklim dan cuaca tropis, maka kita bisa mengenali unsur yang membentuk arsitektur tropis, tetapi sebelum melanjutkan ke unsur pembentuk arsitektur lainnya, kita perlu memahami singkat tentang terbentuknya fungsi, dan politik identitas melalui sejarah Kegiatan Manusia dan Fungsi Arsitektur dan tempat berjalan dengan sejarah yang panjang menyesuaikan kondisi lingkungan sekitar. Melalui trial and error manusia bersinggungan dengan alam, berusaha menyempurnakan tempat tinggalnya sehingga bisa menyesuaikan tubuh dengan huniannya terhadap alam. Manusia menurut Diagram Maslow akan memenuhi kebutuhan fisiknya untuk

55


dapat bertahan hidup, yaitu makan, minum, bernafas, sekresi, homeostatis, dan tidur. Pada taraf dasar selanjutnya manusia mulai berpolitik mencari lawan jenisnya sebagai pemenuhan seks untuk bereproduksi.

56

Untuk memenuhi kebutuhan reproduksi, manusia mulai menciptakan sistem sosial termasuk politik. Hubungan hubungan yang semakin kompleks dalam kehidupan sosial kemudian berlanjut tidak hanya pada jalan mencari lawan jenis dan bereproduksi. Manusia yang tinggal dalam satu tempat bertambah banyak dan menjadi satu komunitas kemudian mulai membagi peran, bergotong royong sebagai komunitas sesuai kemampuannya dan mulai saling bergantung untuk saling memenuhi kebutuhannya. Hubungan hubungan manusia yang diatur ini menjadi satu kesepakatan sosial agar komunitas manusia yang didalamnya bisa hidup berdampingan dengan adil. Komunitas yang terbentuk dari sistem sosial kemudian membentuk kegiatan dan fungsi baru didalam hunian untuk menyediakan fasilitas sosial. Hunian kini terbagi menjadi tempat yang memisahkan aktifitas fisik yang privat sesuai dengan nilai sosial yang terbentuk. Manusia hidup berkelompok dan ruang ruang bersama tercipta baik di dalam hunian maupun di luar hunian. Kesepakatan sosial juga membentuk sistem ekonomi agar hasil dari peran masing masing manusia dapat dinilai dan dihargai sehingga bisa ditukar dengan kebutuhan lainnya. Disamping itu, manusia juga mempertanyakan tentang asal usul hal, hingga menelurkan sistem kepercayaan yang menyesuaikan sistem sosial setempat. Perkembangan sistem sosial, kepercayaan, politik, ekonomi, teknologi dan politik yang berkembang secara kompleks dan kumulatif, kemudian menumbuhkan fungsi fungsi kegiatan baru dalam komunitas dan

membutuhkan tempat yang nyaman untuk berkegiatan sesuai fungsinya. Lumbung makanan, ruang tamu, tempat bermusyarah, penjara, kantor ketua adat, tempat ibadah, restoran, hingga bank berkembang secara kumulatif. Dengan berjalannya perkembangan manusia diseluruh dunia, manusia yang membentuk sistem sosial dan ekonomi, melakukan perjalanan ke tempat-tempat lain untuk mencari tempat yang lebih nyaman baik dengan motif kenyamanan tempat-tubuh hingga motif politik dan ekonomi. Pengaruh luar tempat mulai saling menginspirasi baik dari sistem kebudayaan, kepercayaan sosial, ekonomi hingga teknologi. Dari ekspansi manusia austronesia, masuknya pengaruh India, Eropa, timur tengah hingga sekarang, informasi baru berdatangan. Fungsi turut berkembang secara akumulatif dengan Bahan dan Teknologi seperti bata merah hingga sistem dinding dan beton mewarnai perkembangan arsitektur Indonesia. Masing masing zaman berusaha mewakilkan bahan dan fungsi, juga berusaha menyesuaikan terhadap kondisi alam. Identitas Kebutuhan manusia menurut diagram Maslow, setelah pemenuhan fisik telah tercapai, manusia kemudian mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang timbul karena sistem sosial, seperti rasa aman, percaya diri, kognitif, estetik, aktualisasi diri hingga pemenuhan yang transenden. Sebagai bagian dari satu komunitas yang besar, manusia kemudian membuat tanda dan simbol sebagai satu bahasa untuk berinteraksi dan memenuhi kebutuhan sosialnya. Tanda dan simbol ini akhirnya digunakan manusia sebagai identitas diri, maupun


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

identitas komunitas untuk membedakan dengan diri atau komunitas lainnya. Setelah bangunan hunian, kegiatan bertambah dan beragam, sehingga membentuk arsitektur baru sesuai dengan fungsi baru yang dibutuhkan komunitas atau masyarakat. Sebagai satu komunitas, manusia yang berusaha memenuhi kebutuhan sosialnya melalui perjuangan identitas juga turut berdampak pada arsitekturnya. Identitas ini digunakan baik untuk membedakan fungsi, kepemilikan komunitas, baik suku, kepercayaan hingga negara sebagai pemenuhan rasa “bersama” Dari proses pengaruh mempengaruhi sebelum jaman majapahit, arsitektur vernakular(geografis) yang masih hidup, pendudukan belanda hinga menjadi negara Indonesia, kita bisa melihat pengaruh identitas muncul dalam arsitektur. Satu contoh menjelang kemerdekaan, arsitek-arsitek belanda seperti wolff schoemaker dengan politik etis berusaha mengadaptasi kondisi alam dengan mencoba teknologi bangunan modern digabungkan dengan identitas bangunan vernakular yang telah ada, bahkan dengan sadar meletakkan identitas

dibangunan pada saat tersebut, seperti dikutip dibuku tegang bentang, “arsitektur occidental (barat) merupakan suatu konstruksi yang bersifat totalitas, sedangkan arsitektur tradisional Indonesia merupakan susunan yang subyektif, elementer, dengan mengutamakan wajah luar terutama wajah depan”. Perjuangan identitas berlanjut pada awal masa kemerdekaan, pemerintahan presiden Soekarno, menggunakan gaya modern sebagai nation building. Usaha untuk membawa zeitgeist, indonesia yang satu. Keadaan ini didukung dengan proyek-proyek pada saat itu dengan gaya internasional oleh arsitek-arsitek generasi Sujudi, Silaban, dsb yang mengisi dominasi arsitektur di Indonesia. Periode selanjutnya, arsitektur kemudian di dikte oleh kekuasaan presiden Soeharto untuk menciptakan Indonesia yang “satu(generik)” dengan program-program standarisasi. Pada masa Soeharto terjadi jawanisasi dengan menjoglokan bangunan pemerintahan. Arsitektur vernakular lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, yang masih hidup dianggap sebagai arsitektur tradisional yang sudah lewat masanya.

Masyarakat yang jengah dengan politik imperialisme ini, kemudian mulai menyuarakan kebosanan terhadap modernisme. Modernisme dianggap tidak bisa menyuarakan keragaman dan pluralisme yang ada diseluruh indonesia. Ditandai pada tahun 1984 ketika konggres IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) tentang mempertanyakan arsitektur Indonesia, kemudian berlanjut hingga gerakan seperti LSAI (Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia), AMI (Arsitek Muda Indonesia) dan kelompokkelompok setelahnya yang mencoba memberikan pandangan lain dalam usaha memperjuangkan tentang keragaman. Sudah 50 tahun, Post-modern sejak kelahirannya menjadi momok menakutkan di dunia arsitektur. Sesuatu yang terus menerus di hindari oleh mahasiswa dan praktisi, tetapi pada kenyataannya taktik dan metodenya telah berhembus dan terbangun dengan diam diam. Setiap orang melakukan postmodern. Setiap orang melakukan dekorasi. Kita kurang lebih sepakat seakan mempertanyakan “otentik”. Kini setiap orang bisa menggunakan sejarah, budaya, referensi,

57


tema, metafora, memori, pengalaman, sebagai metode tanpa rasa malu. Alih alih arsitektur modern yang terlalu dingin dan mewakili imperialisme, post-modern atau melalui sebutan(teori) lainnya hadir sebagai jawaban atas pluralisme, mewakili suarasuara keragaman. Modern yang sebelumnya menjadi semangat jaman baru, pemersatu, kini digantikan dengan bahasa lebih sopan, melalui abstraksi abstraksi identitas, seringkali dalam bentuk yang lebih sederhana. Dalam sejarah arsitektur Indonesia, modernisme tidak pernah benar benar terjadi menjadi gerakan sama seperti di Amerika, ia hanya menjadi sebuah gaya. Begitu juga dengan post modernisme yang alih-alih menjadi semangat pembawa keragaman atau lomba otentisitas atas dorongan konsumerisme. 58

Tidak dapat di pungkiri, Indonesia dengan keragaman yang luar biasa membuat masing masing baik pribadi maupun secara kelompok memerlukan identitas yang menginformasikan karakter masing masing usul, tempat, dan budaya termasuk dengan praktek arsitektur dan arsiteknya yang sadar/tak sadar berada dalam taktik post modern ini.

Hotel Indonesia, dibangun ketika pemerintahan Soekarnoi. Sumber: http://syofuan.files.wordpress.com/2011/02/hotel-indonesia.jpg

Menara Phinisi. Sumber: Ariko Andikabina

Metafora tsunami yang diusung ridwan kamil dalam bentuk bangunan museum aceh, Tema jendela dan pintu dalam fasade Bar dan restaurant Potato Head oleh andramatin, Kulit kedua bata kerawang di bangunan fakultas elektro UI oleh Yori Antar, Menara Phinisi di Makasar oleh Yu sing, hingga peminjaman tampilan kubus-putih-berlubang-acak-kotak di sekolah bogor raya oleh Indra Tata Adilaras Fungsi, teknologi, dan wajah arsitektur, berkembang akumulatif dengan sistem sosial hingga politik pada zamannya. Arsitektur di Indonesia sekarang memiliki tantangan

Potato Head oleh Andra Matin. Sumber: http://www.changmoh.com/ move-over-ku-de-ta-potato-head-is-where-its-at/


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

dengan semakin terbukanya informasi lewat teknologi informasi. Arus deras informasi baik teknologi, teori, visual turut serta memeriahkan praktik arsitektur di Indonesia. Arsitektur di Indonesia sekarang selain memiliki dimensi sosial yang kian kompleks, juga memiliki permasalahan menyaring informasi dan tanda tanda untuk kemudian memilih yang bisa disesuaikan terhadap tempat. Unsur Arsitektur Naungan Sistem sosial, politik, kepercayaan, hingga ekonomi ditambah dengan masalah masalah kontemporer membuat arsitektur mengembangkan diri sesuai pemahaman bahan dan teknologi pada zamannya untuk memenuhi kebutuhan fungsi dan identitas yang semakin beragam dan juga terpenting adalah pembagian fungsi kegiatan melalui pemintakatan (penzoningan) area terhadap hubungan dengan tempat. Namun, yang perlu di pikirkan kembali setelah masuknya pengaruh fungsi dan identitas, adalah menarik kembali arsitektur ke hubungan manusia dan tempat, tempat dimana tempat saya tinggal, Indonesia, yang senantiasa menjadi gambaran besar masalah tubuh dan tempat adalah tropikalitas dengan sinar matahari dan curah hujan tinggi, tentang naungan. Dengan dasar naungan, maka perlu ada pengertian kembali dari masing masing unsur. Untuk memudahkan praktikalitas dalam desain, maka yang perlu di perhatikan dalam tiap unsur arsitektur dasar setelah mengartikan kembali adalah mempertanyakan masalahnya dengan alam dan hubungannya dengan tubuh manusia itu sendiri. Mintakat (zoning) Sejalan dengan konsep naungan, pertanyaannya adalah bagaimana memetakan tempat untuk kegiatan sesuai dengan kebutuhan. Perlu ada cara pembagian mintakat dari fungsi dan program, baik hasilnya tempat berupa ruang dan massa tanpa harus mengorbankan bagaimana udara, dan cahaya tetap dapat mengalir dan atau menembuskan(permeable). Mintakat yang tetap mengalirkan atau dan menembuskan(permeable) secara berkelanjutan 1. 2. 3. 4.

kegiatan dan fungsi apa saja yang perlu di bagi antara privat dan umum bagaimana menyesuikan terhadap paparan panas yang begitu besar di iklim tropis bagaimana pembagian mintakat pada lahan yang sempit bagaimana membagi mintakat sesuai privat dan umum tanpa mengorbankan kebutuhan cahaya dan aliran udara.

Sempadan (batas) Hal yang paling sulit setelah pemintakatan adalah menentukan sisi yg menjadi perhinggaan suatu tempat (ruang, daerah, dan sebagainya) melalui ketentuan yg tidak

59


boleh dilampaui. Mengartikan ulang tentang sempadan dalam arsitektur naungan, menjadi penting untuk menentukan cairnya dan sifat ketembusan masing-masing mintakat sebagai sikap terhadap bayang dan aliran udara. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

apakah ada ketentuan yg tidak boleh dilampaui bagaimana sebuah sempadan mewujud untuk memisahkan mintakat bahan apa yang bisa memisah kegiatan privat dari suara, dan pandangan tetapi tetap meresapkan udara dan cahaya agar tidak lembab? bagaimana menjaga suhu tiap tempat agar stabil bagaimana menanggulangi angin yang terlalu keras bagaimana menanggulangi paparan matahari yang panas sepanjang waktu bagaimana menanggulangi agar binatang yang tidak diinginkan tidak masuk ke tempat kegiatan manusia

Naungan (Atap)

60

Untuk menghindari curah hujan dan panas sinar matahari langsung, maka dibutuhkan naungan yang dapat membuat manusia tetap dapat berkegiatan tanpa terganggu. Naungan pada awal terbentuknya adalah penyesuaian peneduh dari hal sederhana untuk dari berteduh sekedar dibawah pohon atau memanfaatkan gua kemudian berkembang dengan membuat dan merangkai bahan sekitar lingkungan seperti dedaunan atau kayu untuk digunakan sebagai naungan. Di iklim hujan tropis, kelembapan tinggi sering terjadi karena penguapan air yang tinggi. Kelembapan tinggi menimbulkan masalah bagi penghuni karena memicu timbulnya jamur atau bakteri penyakit yang berdampak pada tubuh manusia. Untuk mengadapatasi sebuah hunian, maka diperlukan pemahaman bahwa ruang dibawah naungan bisa dilewati angin agar ruangan tidak menjadi lembab. Dalam sejarah arsitektur, naungan ini dikembangkan menjadi elemen atap dalam bangunan. Atap naungan tropis pada awalnya adalah sebuah elemen untuk meneruskan curah hujan yang tinggi dengan segera ke tanah. Seiring dengan perkembangan teknologi, atap dapat mengalami transformasi dari bentang pendek ke bentang lebar yang disesuaikan dengan fungsi kegiatan yang akan menempati di bawahnya. Naungan, di iklim tropis yang kemudian menandakan tempat berkegiatan khusus yang dapat dilakukan dimana ruang dibawahnya terbebas curah hujan tinggi dan sengatan terik matahari yang langsung mengenai tubuh. 1. 2. 3.

ketika curah hujan tinggi, air diturunkan secepat cepatnya ke tanah, tetapi kesiapan tanah untuk menyerap tidak baik. bagaimana atap yang besar atau luas tetapi tetap terang di ruang dalam bagaimana konsep naungan disusun dalam hunian tinggi


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

4.

5.

bahan apa yang memiliki daya tahan tinggi terhadap terpaan panas dan hujan, mudah diganti bila rusak Bagaimana proporsi, skala naungan terhadap tubuh

Setelah mengartikan kembali dan “mempertanyakan� masingmasing unsur dasar arsitektur: manusia dan tempat, kemudian dicari pemecahan masalahnya secara utuh dengan unsur solusinya baik bahan (struktur dan teknologi) dan idiom estetika tampilan yang dibutuhkan bagi masing masing manusia, komunitas atau tempat itu sendiri. Dari sekian solusi mintakat dan naungan, berikut ini adalah beberapa pendapat atas melalui percobaan karya, melihat, hingga merasakan beberapa bangunan arsitek yang saya datangi yang menghasilkan beberapa “cara� untuk diterjemahkan kedalam konteks kekinian untuk mengatasi bayang dan aliran udara adalah : 1.

konfigurasi menembuskan contoh : rumah di bali

mintakat yang menembuskan (permeable) : melalui pembagian mintakat dengan merancang ruang dan masa diantara ruang terbuka yang berorientasi menembuskan dengan ruang terbuka, gaya hidup tropis dengan aliran udara yang baik bisa mengalir. Dengan pengolahan mintakat yg menembuskan, maka terdapat beberapa keuntungan yang tercipta, yaitu; a. kontrol kegiatan : membagi mintakat sesuai fungsi atau sifat seperti privat dan umum menentukan bagaimana cairnya hubungan masing masing sifat kegiatan dengan ruang ruang terbuka dan solusi menembuskan bagi masing-masing fungsi dan sifat kegiatan. b. ruang interaktif : dalam skala mendatar(horizontal), ruang terbuka maka menyediakan bahkan memancing bagi manusia/komunitas untuk interaksi guyub seperti di taman, plaza, setapak, dan lain sebagainya.. c. skala ketinggian : dalam bangunan tinggi masalah kepadatan menjadi penting, tetapi perlu ada solusi dalam skala bangunan agar tetap dalam skala manusia sehingga perlu dibagi sehingga memiliki satu ruang terbuka dalam skala vertikal. Dalam beberapa kasus

61


2.

62

3.

4.

membuat mintakat melayang memberikan efek menembuskan secara trimatra baik mendatar ataupun meninggi. lansekap bagian dari arsitektur : pohon besar dan rindang adalah unsur baik untuk menaungi panas dan hujan lewat daun dan ranting rantingnya. Menggunakan pohon berarti juga menurunkan suhu lewat bayangnya bagi tubuh, dan menyejukkan bagi mata. Pohon juga sekaligus menyediakan skala manusia, sehingga dalam skala kota, skala dan garis langit buatan manusia yang kadang terlalu tinggi, menyilaukan, dan membosankan direduksi dengan kehadiran pohon. landsekap seperti tanaman rambat atau pohon berfungsi tidak saja meneduhkan bangunan tetapi menjadi pilihan lain membagi mintakat secara umum dan privat. payung peneduh : pohon berhasil dalam kondisi tropis memberikan naungan yang teduh, sama seperti halnya teritisan atap miring yang melindungi curah hujan tinggi, tetapi juga melindungi panas langsung ke dinding atau jendela langsung. Selain panas ke atap, sebagian besar panas matahari juga mengenai dinding dan ruang dalam. perlu ada payung payung peneduh yang bisa mengurangi panas ini yg meneduhkan baik melalui bayangan dan keporian tanpa mengorbankan pandangan. berpori : seperti dalam bangunan vernakular(geografis) tropis, banyak material pemisah ruang privat menggunakan kayu, bambu dan ijuk yang memberikan angin sejuk

konfigurasi menembuskan memberikan ruang interaktif di sela selanya

lansekap sebagai payung dan skala

payung besar di antara 2 ruang untuk kegiatan

eksplorasi material berpori. foto : yori antar


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

mengalir dari ruang ke ruang. Melalui kreativitas pola dan jenis bahan, konsep berpori bisa menjadi alternatif penghawaan alami sekaligus memisahkan privat dan umum. Arsitektur Mengkini Hari hari ini, kita terbenam dalam waktu yang serba cepat, kecepatan adalah kemajuan, kekuatan/kecepatan menggeser kekuatan/pengetahuan. Hidup dengan gaya konsumerisme kini dinilai dengan uang/produksi. Sukses dinilai dengan kecepatan. Begitu halnya dengan teknologi media informasi, berlomba lomba menyajikan kecepatan dan keseketikaan informasi. Kecepatan memberikan kepuasan. Dunia yang datar karena teknologi informasi ini, kemudian di pakai sebagai jejaring informasiseketika tentang arsitektur. Informasi bertebaran dengan tanda-tandanya. Jejaring informasi kemudian digunakan arsitek meluaskan fungsinya sebagai; tempat diskusi, kritik, tempat promosi, propaganda, dan lain sebagainya. Informasi dan tanda bertebaran dalam keseketikaan. Hari hari ini, dalam kecepatan dan budaya konsumerisme, kita dituntut untuk terus berproduksi. Praktikalitas ditantang dengan arus permukaan untuk di bangun. “Membaca” adalah kemewahan bagi yang berpraktek. “Membangun” adalah kemewahan bagi akademisi. Tidak ada yang sempurna, pandangan/teori ideal dan praktek ideal. Praktek menemukan masalah realitas tumpang tindih yang tidak tertulis dalam teori dan butuh solusi praktis. Dan teori menemukan masalah yang begitu kompleks, terus berubah dan tidak ada yang sempurna menyelesaikan satu hal. Melalui idiom estetika modern seperti gestalt dan postmodern seperti pastiche, parodi, kitch, camp, skizofrenia yang banyak digunakan melalui bayang bayang jargon/teori seperti critical regionalism, community based, dekonstruksi, desain parametrik, historicism, fenomenologi, dan sebagainya, arsitektur seringkali terjebak dalam permainan tanda, menjadi fetisisme komoditi. Arsitektur melalui permainan tanda dan makna ini seringkali mengandung unsur distorsi yang menyesatkan antara fungsi, makna dan nilainya sehingga dapat menggiring publik ke tingkah laku yang menyimpang. Arsitektur kemudian memiliki pesona yang sesungguhnya tidak ada. Arsitektur menjadi hiperrealitas komunikasi, kepalsuan menjadi kebenaran, isu menjadi sebuah informasi. Tanda dan kandungan informasi yang terjadi dalam arsitektur sekarang perlu di telaah secara kritis. Penilaian arsitektur yang kian terbagi “orisinil atau tidak” “bagus jelek” perlu di pahami terbagi dalam dua kutub subyektif dan obyektif. Aspek obyektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi proses pengembangan arsitektur, seperti teknologi, teknik, material, konvensi, dan kode bahasa. Sedangkan aspek subyektif berkaitan dengan kemampuan daya kreatif yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideologi atau ketidaksadaran arsitek.

63


64

Di tulisan ini arsitektur naungan adalah salah satu cara memahami secara obyektif dalam mencoba memecahkan masalah tubuh dan tempat yang saya harapkan bisa secara radikal (mengakar) terhadap dominasi masalah tempat di Indonesia yaitu iklim tropis basah. Masih ada masalah berikutnya yang masih memerlukan kajian dalam perjalanan saya sebagai arsitek, namun bisa kita jawab bersama-sama dengan payung arsitektur naungan, yaitu a. meningkatnya jumlah penduduk dan arus urbanisasi, manusia kini mendominasi kota. Kota dengan batas luasnya yang terbatas kini menghadapi masalah karena jumlah manusia yang harus di atur, bagaimana arsitektur naungan melalui bahan dan teknologi dapat berperan dalam kepadatan tinggi bisa menjadi pemecahan masalah termasuk turunannya seperti sosial budaya politik dan lain sebagainya. b. Tingkat keberhasilan arsitektur naungan dengan pemecahan subyektif melalui hiburan, kreatif dan estetik yang dilakukan dilapangan dengan analisa rencana dan keberhasilannya baik meliputi metoda detail, skala, proporsi dan lain sebagainya. c. Bahan(material) dan teknologi apa yang bisa kita ciptakan sebagai jawaban akumulatif dari arsitektur naungan sesuai unsur-unsur di atas. d. Mengingat belum meratanya pembangunan di Indonesia, arsitektur yang bisa menjangkau semua kalangan termasuk ekonomi rendah perlu dipikirkan sebagai tanggung jawab bersama. e. Bagaimana mengaitkan hubungan arsitektur naungan sebagai kesatuan utuh, sebagai cara manusia menghuni melalui hubungannya dengan tempatmanusia dan liyan. Memang, arsitektur naungan tanpa pemahaman yang dalam akan dianggap sekedar arsitektur atap sebagai solusi arsitektur tropis dan kemudian terjebak dalam perlombaan menganyam wajah. Pada akhirnya, Arsitek sebaiknya mendahulukan penyelesaian masalah objektif(yang membatasi proses), meningkatkan pengetahuan obyektif dan mengurangi pengetahuan palsu (pseudo knowledge) melalui hubungan manusia dan tempat dan masalah lainnya tanpa mengurangi unsur subyektif seperti hiburan, kreativitas dan estetika. Arsitektur perlu dikritisi sehingga berbagai bentuk salah persepsi dapat di hindarkan, lalu membagi kritik secara luas dampak arsitektur sebagai pendidikan ke masyarakat, dibanding berkutat pada “meniscayakan (sekedar) Tampilan yang meng-Indonesia� yang seringkali terjebak dalam politik identitas. Jakarta, Febuari 2013


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i Daftar Pustaka, dan Lanjutan bacaan • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •

Abraham Maslow (1943) A Theory of human Motivation, Arsitek Muda Indonesia (1997), Penjelajahan 1990-1995, Jakarta : Subur Arsitek Muda Indonesia (1990), Katalog Pameran Arsitektur Prospektif, Jakarta : Architectural Design (2011) Radical Post-Modernism: Architectural Design , London : Architectural Design Architectural Design (2013) The Innovation Imperative, London : Architectural Design Architectural Design (2012) Human Experience and Place, Sustaining Identity, London : Architectural Design Charles Jencks (1970) Meaning in Architecture, : Barrie & Jenkins Charles Jencks (2006) theories and manifestoes of contemporary architecture, : Academy Press Cornelis Van De Ven (1991) Ruang Dalam Arsitektur, Jakarta : Gramedia David Robson (2002) Geoffrey Bawa: The Complete Works, : Thames and Hudson Eko Budihardjo (1983) Menuju Arsitektur Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni Geoffrey London, Patrick Bingham-Hill (2003) Houses for the 21st century, Singapore : Periplus Imelda Akmal (2002) Karya-Karya Arsitek Muda Indonesia 1997-2002, Jakarta, Gramedia Jared Diamond, (2005) Guns, Germs & Steel, :W. W. Norton & Company : Josef Prijotomo (2011) Tampilan Arsitektur, Surabaya Josef Prijotomo (2009) Ruang Bersama atau Tempat bersama, Surabaya Josef Prijotomo (2012) Membongkar ketololan dan kemalasan dalam menuju Arsitektur Indonesia, Surabaya Josef Prijotomo (2010) Arsitektur Nusantara-Arsitektur Naungan, bukan Lindungan (Sebuah Reorientasi Pengetahuan Arsitektur Tradisional), Surabaya Kenneth Frampton, (2007) Modern Architecture: A Critical History (Fourth Edition) (World of Art), : Thames & Hudson Kenneth Frampton, (2007) Towards a critical Regionalism : Six Points of an Architecture of Resistance, : H foster Kenneth Frampton, (1998) Technology Place & Architecture : MIT Press Kenneth Frampton, (2001) Studies in Tectonic Culture: The Poetics of Construction in Nineteenth and Twentieth Century Architecture : MIT Press Kevin Low (2010) Small Projects : Oro Editions Micaela Busenkell (2012) WOHA : breathing Architecture, Germany : Prestel Publishing Larry Gonick (2010), Kartun Riwayat Peradaban, Jakarta : Gramedia Martin Heidegger (1927) Being and Time, 1962 New York Martin Heidegger (1951) Building dwelling thinking, 1962 New York Neil Leach (1997) Rethinking Architecture, London : Taylor & Francis Oscar Riera Ojeda (2008), Bedmar & Shi: Romancing the Tropics, : Oro Editions Patrick Bingham-Hill (2012) WOHA Selected Projects: Selected Projects v. 1: The Architecture of WOHA, Singapore : Pesaro Publishing Patrick Bingham-Hill (2012) Tropical Arts and Crafts, The houses of Guz Wilkinson, Singapore : Pesaro Publishing Paul Oliver (2003) Dwelling, London: Phaidon Peter J.M Nas (2009) Masa Lalu Dalam Masa Kini : Arsitektur di Indonesia, Jakarta: Gramedia Phillip Goad (2005) New Directions in Tropical Architecture, Singapore : Periplus Pusat Dokumentasi Arsitektur (2012) Tegang Bentang, Seratus Tahun Perspektif Arsitektural Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Robert Venturi (2002), Complexity and Contradiction in Architecture, New York : The Museum of Modern Art, New York Robert Venturi (1977), Learning from Las Vegas - Revised Edition: The Forgotten Symbolism of Architectural Form,: MIT press Sri Astuti (1992) Arsitek dan Karyanya : F Silaban, Bandung: Penerbit Nova YB Mangunwijaya (2009) Wastu Citra, Jakarta : Gramedia Yasraf Amir Piliang (2011) Dunia yang di lipat, tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, Bandung : Matahari Yasraf Amir Piliang (1999) Hiper-realitas Kebudayaan: Semiotika, Estetika, Posmodernisme, Bandung : LKIS

65


Catatan untuk “Zaman Baru Generasi ModernisSebuah Catatan Arsitektur�; Sebuah Reaksi. 66

Danny Wicaksono

Ini bukan resensi buku. Ini lebih seperti reaksi kami, kepada sebuah buku yang salah satu bab-nya, bercerita tentang kami. Reaksi yang kami rasa perlu lakukan, untuk menanggapi persepsi dan pertanyaan atas kami, yang dituliskan dalam buku ini. Sebuah buku baru mengenai sejarah arsitektur modern Indonesia, terbit belum lama ini. Buku yang berjudul “Zaman Baru Generasi Modernis-Sebuah Catatan Arsitektur� itu ditulis oleh Abidin Kusno, seorang sejarawan arsitektur dan perkotaan, yang kini tinggal di Vancouver, Canada, sebagai associate professor, di Universitas British Columbia. Bersama dengan buku Tegang Bentang, yang belum lama ini diterbitkan atas prakarsa Pusat Dokumentasi Arsitektur, buku ini ada diantara sedikit buku, yang bercerita mengenai sejarah arsitektur modern Indonesia. Jenis buku yang ketika saya masih ada di bangku kuliah, tidak pernah sempat saya baca dan dapatkan. Mengetahui apa yang terjadi di masamasa sebelum hari ini, adalah landasan fundamental bagi kita, untuk melangkah lebih baik di masa kini dan masa depan. Bahwa buku-buku yang menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu dengan komprehensif, seperti ini sempat sangat langka sampai ditangan kita, adalah hal yang harus kita pastikan untuk tidak kembali terjadi. Buku ini terbit agak diam-diam, jika tidak ingin dikatakan misterius. Penerbitnya, Penerbit Ombak, tidak memasarkan terlalu gencar ke khalayak arsitektur. Keterangan tentang dimana


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

mendapatkannya pun samar. Tidak banyak orang yang tahu bahwa buku ini telah terbit. Saya mendapatkan kopinya dari Paskalis, yang memesan kepada seseorang yang saya juga kurang jelas siapa. Tapi tampaknya dia terkait dengan penerbit dari buku ini. Mari sama-sama berharap, buku ini akan segera ada di toko-toko buku di kota anda, dan perpustakaan-perpustakaan di kampus anda. Buku ini terdiri dari 5 bagian. Pembagian ini dilakukan berdasar pada momentummomentum perubahan dinamika sosial Indonesia dan kejadian-kejadian dalam komunitas arsitek modern Indonesia, yang rasanya dianggap oleh penulis, sebagai titik perubahan atau katalis yang merubah kecendrungan arsitektur di Indonesia. Buku ini, mencoba untuk melihat tindakan atau pemikiran apa yang muncul dari para arsitek Indonesia, sebagai reaksi terhadap dinamika zaman, seperti yang dijelaskan oleh Abidin: “Arsitek bukan hanya seorang ahli yang membantu mewujudkan sebuah bangunan secara fungsional, kokoh dan indah sesuai citra yang diharapkan, ia juga adalah anggota dari tatanan sosial politik suatu negara. Buku ini bercerita tentang perubahan zaman yang penuh dengan masalah-masalah sosial dan politik yang dihadapi arsitek. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, sadar atau tidak, arsitek ikut mendorong perubahan zaman dan terlibat dalam penataan jaringan kekuasaan yang sekaligus membentuk dirinya. Buku ini berupaya untuk meletakkan pertimbangan intelektual dan sosialpolitik sebagai asas yang menentukan

sejarah arsitektur. Tujuannya adalah untuk melepaskan sejarah arsitektur Indonesia, dari urutan perkembangan langgam yang sering digunakan dalam historiografi barat� Dari pernyataan ini, jelas bahwa buku ini pasti akan mengecewakan mereka yang mengharap penjelasan mengenai prinsip-prinsip dan metoda merancang yang telah dilakukan oleh arsitek-arsitek modern Indonesia, sampai hari ini. Pernyataan yang saya rasa menempatkan arsitektur di posisi yang terlalu tinggi. Setiap masa memiliki dinamika dan masalahnya sendiri-sendiri. Diantara banyaknya kejadian yang muncul, akan ada satu (kadang lebih) kejadian, mungkin pelaku, mungkin kelompok yang menonjol, yang membuat berita lalu pada akhirnya mempengaruhi perkembangan sebuah bidang secara mendalam. Para arsitek dan kejadiankejadian menonjol yang mereka timbulkan inilah yang dicatat oleh penulis. Adalah mereka atau kejadian-kejadian yang melawan terhadap keadaan yang dianggap tidak lagi relevan dengan pemikiran satu generasi dan/atau situasi sebuah zaman, yang dalam buku ini dianggap sebagi penanda modernitas dalam tiap jaman di arsitektur modern Indonesia. “Dengan demikian, arsitektur modern Indonesia ini perlu dipahami sebagai gerakan kesadaran diri dari sebuah generasi melalui proses pembedaan untuk membangun sebuah tatanan simbolik baru�

67


68

Tidak banyak informasi yang diberikan oleh penulis ketika menceritakan tentang apa yang terjadi di satu jaman. “Perlawanan” yang diceritakan oleh penulis adalah kasus-kasus yang menengahkan individu atau kelompok arsitek yang coba memberontak dari situasi atau pemikiran-pemikiran dari para pendahulu mereka. Saya pribadi mencari cerita tentang konflik antara para arsitek yang diceritakan ini dengan sesama generasinya. Misalnya ketika Karsten menengahkan pemikiran tentang arsitektur yang mengadaptasi arsitektur lokal, adakah dialog yang terjadi antara dia dan Aalbers, atau Ghijsell atau Pont? Atau ketika AMI sedang aktif-aktifnya, apakah ada gerakan lain yang terjadi di masa itu? Apakah AMI adalah satu-satunya yang bergerak dan memberontak? Tidak adakah yang memberontak dari AMI di masa itu? Saya tidak merasa ini sebagai kelemahan/kekurangan buku ini, saya melihat ini sebagai kekurangan bangsa ini secara umum. Saya bisa membayangkan sulitnya mencari data dan informasi mengenai hal-hal yang sudah terjadi bertahun lalu, di sebuah bangsa yang lebih terbiasa dengan budaya lisan. Dan dengan posisi tinggal penulis diluar kota, kesulitan pengumpulan data tulis dan wawancara lisan, pasti sangat sulit untuk dilakukan. Meskipun begitu, sebagai sebuah pengantar sejarah arsitektur modern Indonesia, buku ini menjelaskan secara general perubahan pandangan, pendekatan desain dan ketidakpuasan-ketidakpuasan yang terjadi selama kurang lebih 100 tahun kebelakang.

Dimulai dengan catatan tentang hindia timur di awal abad ke-20, ketika kota dan kehidupannya semakin marak dan politik etis baru diperkenalkan, buku ini menceritakan kami, jongArsitek! sebagai subyek pada bab terakhirnya. Di bab terakhir ini, Abidin memiliki kebingungan tentang motivasi kami. Dia tidak melihat adanya alasan untuk memberontak, ketika tidak ada lagi situasi politik yang perlu dilawan. “Zaman baru, pada umumnya, lahir dari pemberontakan terhadap zaman sebelumnya. Tapi, generasi jongArsitek! tidaklah pernah melawan zaman orde baru karena mereka masih bayi saat papa, om, dan tante dari AMI memberontak pada 1980-an. jongArsitek! boleh dikatakan mewarisi era baru (bukan era orde baru), sehingga mereka merasa dilahirkan sebagai pemberontak di ruang hampa. Apa yang mau diberontaki kalau kekuasaan lama sudah tidak ada, pusat telah melemah, politik tidak lagi dikomandoi, dan ideologi buka lagi masalah?” Semua poin yang dituliskan Abidin tepat. • Apalagi yang perlu diberontaki? Tapi apakah berontak adalah satu-satunya alasan untuk terbentuk dan bergerak? • Mengapa kami harus berontak? Kami tidak pernah memiliki niat untuk berontak. • Jika apa yang kami lakukan dianggap sebagai sebuah pemberontakan maka itu sama sekali bukan niat awal kami.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Perkenalan Abidin dengan jongArsitek! terjadi ketika ia diminta untuk memberikan kuliah mengenai arsitektur modern Indonesia di Singapura, dalam sebuah simposium bertajuk “NonWest Modernist Past� sekitar bulan Januari 2011. Abidin yang meninggalkan Indonesia sejak tahun 1991, merasa bahwa ia kehilangan jejak dengan pergerakan apa yang terjadi di Indonesia. Untuk melengkapi materi kuliahnya, ia menghubungi Suryono Herlambang. Ketika itu, Suryono Herlambang baru saja selesai mengkuratori Pameran Nasional Arsitek Muda 2010 yang kami selenggarakan. Ditanya tentang gerakan apa yang sekarang sedang terjadi di Indonesia, Herlambang bercerita tentang kami, dan apa yang kami lakukan. Lalu Abidin mungkin mulai mencari-tahu lebih banyak tentang jongArsitek! dan PNAM2010. Yang Abidin tidak sempat lakukan adalah mewawancarai salah satu diantara kami (penggagas jongArsitek) mengenai motivasi, latar belakang, dan tujuan dari dibentuknya jongArsitek!. Sebagai seorang arsitek Indonesia yang mengalami masa kejayaan AMi, saya curiga bahwa Abidin menduga kami memiliki motivasi, tujuan dan latar belakang yang sama dengan AMI. Dari situlah saya menduga timbulnya kebingungan Abidin atas gerak operasi jongArsitek! Hal ini saya pikir sangat mungkin terjadi, mengingat sedikit sekali gerakan arsitek muda yang terorganisir. ATAP adalah sebuah kelompok belajar, bukan sebuah gerakan terorganisir dengan tujuan yang jelas dan terencana panjang, seperti yang pernah di tegaskan oleh

pak Mustapha Pamuntjak (sebagai salah satu arsitek yang aktif di dalamnya) pada bedah-buku pertama buku Tegang Bentang . Preseden atas gerakan arsitek muda yang terorganisir sangat minim. Mungkin hanya AMI. Sehingga sangat bisa dimengerti jika Abidin kemudian melihat dan menganalisa kami dalam kacamata preseden gerakan, seperti yang dilakukan oleh AMI. Dari sinilah kami merasa kami perlu menulis artikel ini. jongArsitek! tidak bisa disamakan dengan AMI. Meskipun kami (penggagas jongArsitek!) bertemu di ForumAMI, dan sempat menggerakkan forum tersebut untuk waktu yang tidak terlalu lama, sifat gerak AMI dan jongArsitek! sangat berbeda. Perbedaan yang paling mendasar: AMI muncul sebagai sebuah perkumpulan arsitek-arsitek muda yang dengan tegas dan jelas berusaha untuk melawan hegemoni perusahaanperusahaan besar dan menuju kepada penjelajahan desain arsitek secara individual; jongArsitek! muncul pertama kali sebagai sebuah majalah internet gratisan yang berisi pemikiran beberapa arsitek muda. Sebuah majalah yang hingga hari ini sudah terbit 23 edisi, dengan lebih dari 100 kontributor dari dalam dan luar negeri. AMI membuat beberapa pameran karya arsitek-arsitek anggotanya, yang mereka kurasi sendiri: Pameran Arus Silang di tahun 1993, Pameran karya AMI tahun 1999, dan pameran AMI Next tahun 2004. Pameran-pameran yang berpengaruh besar bagi perkembangan arsitektur modern Indonesia.

69


jongArsitek! juga membuat beberapa pameran, tapi dengan cara yang berbeda; Sebuah pameran karya hasil workshop ruang tinggal dalam kota, sebuah pameran nasional arsitek muda yang di kurasi oleh tiga orang diluar jongArsitek! dan pameran wacana rumah-rumah tanpa pintu yang memperkenalkan peran penuh seorang kurator. Ketiga pameran ini tidak dibuat khusus untuk arsitek-arsitek yang aktif di jongArsitek! saja. Ada yang pesertanya didapatkan melalui proses kurasi terbuka, ada yang melalui undangan.

70

jongArsitek! juga membuat beberapa kuliah umum dari beberapa arsitek manca-negara, baik diproduksi oleh jongArsitek! sendiri atau bekerja-sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia. Kami juga membuat workshop desain, dan diskusi buku. Semua acara yang pernah kami produksi sendiri, tidak dipungut biaya. Cara operasi yang mungkin belum sempat diketahui oleh penulis inilah yang menurut kami membuat keberadaan jongArsitek! di jaman ini, dalam gambaran Abidin Kusno, menjadi seperti mengambang. Dalam kata-kata Abidin: “Belumlah jelas apakah jongArsitek! akan membangkitkan modernisme sosial jaman bung karno dan membawa arsitektur ke arena perdebatan mengenai keadilan sosial dan ketimpangan pembangunan yang sering mencemaskan hati romo mangun?” atau

“Mengambang dengan hati-hati dan cemas di alam idealisme adalah pemberontak-pemberontak muda pascareformasi, seperti jongArsitek! yang lahir sebagai “midnight childern” yang dibesarkan pada zaman revolusi digital, namun berusaha mencari leluhur dari kreativitas modernisme mereka.” Sejujurnya, sebagai sebuah organisasi, kami sama sekali belum memikirkan hal-hal yang disebutkan oleh penulis diatas. Mungkin kami, secara organisasi, tidak akan pernah memikirkan hal-hal tersebut, entahlah. Ada beberapa hal yang saya pikir luput dari pengamatan abidin, hal-hal yang setelah edisi pertama kami, menjadi perhatian serius jongArsitek! Yang pertama adalah dinamika arsitektur diluar indonesia, ketika kami mulai memasuki alam praktek arsitek, sekitar tahun 2005-2006. Generasi kami, adalah generasi yang berada diawal karir, ketika Cina, India dan negara-negara di timur tengah (kini rusia mengikuti) membangun dengan intensitas yang sangat tinggi. Beberapa mengatakan bahwa kecepatan pembangunan yang mereka lakukan itu, belum pernah ada presedennya. Kecepatan pembangunan yang tinggi ini, menuntut adanya banyak perencana yang terlibat. Di saat itu biro-biro arsitektur dari banyak negara banyak yang memiliki proyek di negara-negara ini. Di akhir masa kuliah saya, saya ingat sekali bagaimana kami dibombardir dengan


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

banyak sekali publikasi yang memuat rencana-rencana bangunan yang akan dibangun di berbagai kota di Cina dan Timur Tengah. Di Asia tenggara, Singapura adalah salah satu negara yang biro-biro arsitekturnya banyak mengerjakan proyek-proyek dengan skala besar, di negara-negara tersebut. Dengan hanya NUS, sebagai universitas yang memiliki jurusan arsitektur, birobiro arsitektur di Singapura butuh lebih banyak arsitek muda untuk direkrut. Mulai tahun 2006 ada tren untuk pergi keluar negeri segera setelah selesai kuliah S1. Baik itu untuk bekerja atau untuk sekolah lagi. Untuk apapun itu, kecendrungan ini sangat lazim sekali terjadi pada banyak arsitek muda. Bagi yang ingin bekerja Singapura atau Eropa ada diantara tujuan utama. Bagi yang ingin sekolah lagi, ada banyak beasiswa yang ditawarkan oleh banyak negara di Eropa. Rafael Arsono, menulis sebuah artikel berjudul “Eksodus� pada jongArsitek! edisi 1.3 yang mencoba untuk sedikit menjelaskan fenomena ini. Kecendrungan untuk ingin bekerja di luar negeri, rasanya sebagian didorong oleh publikasi arsitektur yang mulai marak dan beragam dimasa itu. Blog, website, dan berbagai majalah yang masuk ke Indonesia membawa banyak informasi mengenai biro-biro arsitektur yang hasil pemikirannya dirasa dan dipikir jauh lebih menarik daripada kebanyakan biro arsitektur di Indonesia saat itu. Sebagian lagi karena tentu, adanya tawaran untuk penghasilan yang lebih baik, dan pengalaman hidup berkota yang lebih baik pula.

Bukan sebuah hal yang sulit untuk disadari, bahwa generasi kami tumbuh besar di kota yang gagal menyediakan kesempatan bagi penduduknya, untuk menikmati kota. Sementara kami tumbuh besar dengan film-film yang memperlihatkan penduduk menjelajah kotanya dengan berjalan kaki, atau sepasang muda-mudi yang duduk piknik di taman sambil bercengkrama; Di kota ini (dan banyak kota lain di Indonesia) kita tidak pernah merasakan taman, dan berjalan di kota dengan nyaman. Belum lagi bagi yang tinggal di Jakarta, mustahil untuk berpindah dari satu titik ke titik lain, tanpa merasakan antrian mobil, yang terlalu sering terlalu panjang dan melelahkan. Perasaan ingin merasakan kehidupan yang seperti itu, pasti terlintas di kepala banyak orang muda di masa itu. Dan dengan situasi dunia yang membangun seperti saat itu, arsitektur memberikan kesempatan pada banyak arsitek muda dari Indonesia, untuk merasakan hidup yang seperti itu. Kecenderungan untuk meninggalkan Indonesia inilah yang membuat kami khawatir akan terjadinya “brain drain� di Indonesia. Sebuah keadaan ketika pemikiran tidak dapat lagi tertukar dan terbagi, dan gagasan baru tidak dapat lagi muncul, karena diskusi-diskusi kehilangan pesertanya. Sepanjang yang saya ingat, Paskalis yang pertama kali sadar tentang potensi hadirnya situasi “braindrain� ini. Lewat MSN Messenger, kami kemudian mendiskusikan apa yang bisa kami lakukan untuk mensiasati situasi ini. Paskalis kemudian melontarkan ide untuk membuat sebuah jurnal yang berisi karya

71


72

dan pemikiran arsitek-arsitek muda, sehingga pemikiran-pemikiran mereka yang ada diluar negeri dapat tetap tertukar dan terkomunikasikan. Kami lalu memulai dari teman-teman terdekat kami. Dan setelah ini, edisi pertama jongArsitek! muncul di bulan February tahun 2008. Dalam perkembangannya, kami pun lalu menyelenggarakan workshop, diskusi terbuka, pameran, dan kuliah-kuliah umum. Nama jongArsitek! sendiri dipilih, dengan alasan yang sebetulnya sangat sederhana: kami saat itu masih muda dan nama “muda� yang ditaruh setelah arsitek sudah terasosiasi dengan terlalu lekat kepada AMI. Jadi kami harus mencari nama lain lagi. Terpilihlah jongArsitek! karena kami pikir setelah dulu ada jong-Java, jong-celebes, jongambon, mungkin tidak ada salahnya jika kami bergerak dengan identitas nama jongArsitek! Absennya Indonesia di lingkar diskursus arsitektur dunia. Setelah edisi pertama kami terbit, kami hanya berfokus kepada pengumpulan materi untuk menyusun edisi berikutnya. Karena jarak antara kami ber-empat (Paskalis, Nurhadi, Rafael dan saya) yang berjauhan, semua kerja penyusunan, dilakukan via email atau chatting di Yahoo Messenger. Rafael dan Adi ada di Milan dan Singapura, di tahun-tahun awal jongArsitek!, Saya dan Paskalis ada di Jakarta. Satu edisi jongArsitek! disusun ketika kami ber-empat ada di 4 kota yang berbeda. Nurhadi ada di Singapura,

Rafael di Milan, Paskalis di Edinburgh, dan Saya di Beijing. Adi bekerja di Singapura, Rafael sedang sekolah S2 di Politecnico di Milano, Paskal mengikuti workshop di Edinburg yang didapatkan setelah meraih Urbane Fellowship Program; sedangkan saya ada di Beijiing bersama Adi Purnomo untuk sebuah proyek di Mongolia, bernama Ordos100. Edisi dan perjalanan inilah yang membuat kami tersadar tentang absennya Indonesia di lingkar diskursus arsitektur dunia, dan mengubah cara kami beroperasi. Ordos100 adalah sebuah proyek ambisius yang digagas oleh Cai Jiang seorang taipan dari Cina. Di tanah seluas kurang lebih 2 hektar, 100 orang arsitek dari 27 negara diundang untuk mendesain sebuah rumah, dengan luas bangunan 1000m2. Seniman cina Ai Wei Wei, mendesain masterplan kawasannya, dan Jacques Herzog dari biro Herzog & DeMeuron, memilih ke-100 arsitek yang diundang. Bertemu dengan banyak arsitek dari berbagai negara, saya disadarkan kepada satu hal: bahwa arsitektur Indonesia dan pemikiran-pemikiran yang membentuknya, terlihat redup bagi banyak arsitek dari negara lain. Arsitektur Indonesia tidak dibicarakan oleh arsitekarsitek dari negara lain. Pemikiranpemikiran arsitek dari Indonesia jarang sekali (jika bukan tidak pernah) didengar atau dipelajari oleh arsitek-arsitek dari Negara lain. Arsitektur di Indonesia adalah hal yang asing bagi banyak arsitek dari negara lain. Kebanyakan bahkan tidak pernah mengetahui bahwa Indonesia memiliki arsitektur modern.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Hal ini membuat saya pribadi gusar. Apa yang terjadi selama ini, sehingga diskursus arsitektural antara arsitekarsitek Indonesia dengan arsitek-arsitek dari negara-negara lain, seperti tidak pernah terjadi? Saya pribadi mencurigai, minimnya catatan tentang pemikiranpemikiran arsitek-arsitek Indonesia adalah salah satu sebabnya. Kecurigaan yang lain adalah, bahwa memang minim sekali pemikiran arsitek-arsitek Indonesia yang mengeksplorasi arsitektur, lebih jauh dari sekedar apa yang dipesan oleh klien. Dari sini, jongArsitek! lalu berniat untuk membuka komunikasi dengan arsitek dan desainer dari negara-negara lain. Komunikasi yang kami jarang sekali dengar dan rasakan sebelumnya. Bukan untuk dikenal di dunia, tapi untuk membuka dialog dengan para pelaku dari negara lain, agar peluang untuk terbangunnya gagasan dan pemikiran baru, dapat terbuka sedikit lebih lebar. Kami mulai dengan mengundang beberapa teman dari negara lain, untuk berkontribusi di edisi-edisi jongArsitek!. Setelah beberapa lama, kami lalu mulai mengundang arsitek-arsitek dari luar Indonesia untuk datang ke Indonesia dan mengorganisasi sebuah presentasi terbuka atau kuliah umum. Ada yang kami selenggarakan sendiri, beberapa kami selenggarakan, bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia. Mengundang arsitek-arsitek luar negeri yang pemikirannya sering kali dikonsumsi oleh arsitek-arsitek Indonesia kami anggap perlu untuk dilakukan, agar arsitek-arsitek Indonesia tidak selalu

melihat mereka sebagai tokoh diatas awan, yang hasil pemikirannya selalu dikagumi. Melihat mereka mengantarkan pemikiran mereka tanpa perantara halaman dan paragraf, juga bukan di dalam rekaman wawancara dan dokumenter, kami harapkan bisa menjadi sebuah pengalaman yang menyadarkan, bahwa semua pemikiran yang mereka kagumi dari individu tersebut adalah pemikiran yang datang dari seorang manusia yang sama manusiawinya dengan kita semua. Bahwa siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk menghasilkan pemikiran -pemikiran dengan kualitas yang sama pula. Kami berencana untuk terus melakukan hal ini, dan jika semua situasi mendukung, dan memungkinkan, kami ingin melakukan hal yang lebih jauh lagi, seperti mengajak arsitek-arsitek Indonesia untuk berpartisipasi pada acara-acara arsitektur internasional. Dari pemaparan diatas, rasanya bisa tergambar dengan jelas, bahwa jongArsitek! bergerak bukan dengan perlawanan, sebagai motif utama. Bahwa kami kemudian dilihat sebagai “midnight childern� yang hadir dalam sebuah kekosongan kekuasaan dan idealisme desain, adalah sebuah pandangan yang mungkin ada benarnya. Apalagi setelah AMi? Setelah apa yang diperjuangkan AMi (untuk menanamkan keyakinan bahwa menjelajahi desain adalah hal yang harus dilakukan oleh para arsitek Indonesia) telah diterima oleh sekian banyak khalayak di generasi setelah mereka,

73


hal wajar yang berikutnya dilakukan, adalah memberitakan penjelajahanpenjelajahan yang dilakukan oleh arsitekarsitek muda setelah mereka, bukan? Apakah pandangan untuk terus menjelajahi desain, adalah pandangan yang perlu dilawan? Kami pikir, ini adalah pandangan general, yang bersifat divergen, dan seharusnya merupakan ajakan untuk terus melakukan eksplorasi desain. Jika ingin melawan pandangan ini, berarti kami harus ber-tidak-setuju dengan keyakinan bahwa desain adalah sesuatu yang tidak harus dieksplorasi dan tidak harus dijelajahi. Ber-tidak-setuju dengan pandangan ini, adalah sebuah sikap yang kontra-produktif. 74

AMi dengan subtil, sebetulnya, telah menghentikan perlawanan intergenerasi. Kini, kami bereksplorasi. Namun “perlawanan� bukan berarti tidak lagi ada. Perlawanan, justru makin banyak dan makin marak. Tapi kini, bukan lagi dengan generasi sebelumnya. Perlawanan yang mendefinisi modernisme arsitektur Indonesia (seperti yang digambarkan Abidin) kini, ada di sesama arsitek dalam lingkar generasi yang tidak terlalu jauh terpaut. Pandangan-pandangan dari arsitekarsitek yang tidak pernah berkumpul dalam satu kelompok atau organisasi atau paguyuban, makin banyak. Ketidak-setujuan pun makin marak. Komentar-komentar yang simpang siur

di media sosial internet, saya pikir bisa memperlihatkan hal ini. Perlawanan-perlawanan juga hadir sebagai reaksi terhadap mediokritas yang making menjangkiti semakin banyak bidang profesi di negara ini. Saya pikir, ini adalah musuh bangsa ini sekarang. Mediokritas yang hadir mulai dari tulisan-tulisan di banyak publikasi dengan oplah besar, yang makin hari makin kehilangan pokok kritis penulis; karya pas-pas-an arsitek terlalu muda, yang dipublikasi dengan oplah besar; hingga puji-pujian berlebihan untuk sebuah hasil kerja tanpa inovasi, minim eksplorasi, dan kehilangan gagasangagasan diluar permintaan klien, yang terhubung erat dan membentuk arsitektur. Hari-hari ini juga, kami perlu melawan keadaan profesi arsitek yang tidak dilindungi oleh undang-undang arsitek. Hari-hari ini juga, kami perlu melawan invasi arsitek-arsitek luar negeri yang makin marak bekerja di negara ini. Hari-hari ini juga, kami perlu melawan kemelut dalam ikatan profesi, yang membuat kami mengalami kekosongan kepemimpinan selama 7 bulan. Konflik yang sisa-sisanya masih terasa. Juga kami perlu melawan kualitas pendidikan arsitektur di banyak universitas di Indonesia, yang mutunya jauh lebih rendah dari kebanyakan jurusan arsitektur di universitasuniversitas lain di seluruh dunia.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Ada banyak hal yang kini perlu dilawan, agar modernitas dalam arsitektur Indonesia, bukan lagi dilihat sebagai keberhasilan sebuah gagasan desain untuk dibangun dan lalu mempengaruhi banyak arsitek hingga beberapa generasi setelahnya. Modernitas arsitektur Indonesia di masa depan, harus berarti tercapainya sebuah kondisi belajar dan bekerja, yang memungkinkan gagasan-gagasan desain yang inovatif dan eksploratif, untuk dapat dihasilkan oleh sebanyak-banyaknya arsitek Indonesia. Untuk modernisme yang seperti itulah, kami harap bisa mengajak sebanyak-banyak rekan untuk bekerja. 75


Chu Hai College


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

__ Project: New campus for Chu Hai College Hong Kong Status: Construction Client: Chu Hai College Location: Castle Peak Road, New Territories, Hong Kong Site: 16,500m2 Program: 28,000m2 of educational facilities including library, classrooms, offices, studios, cafeteria, lecture theatres, gym, staff accommodation Partner in charge: Rem Koolhaas, David Gianotten Associate: Michael Kokora Team: Juan Minguez, Ted Lin, Patrizia Zobernig, Ken Fung, Catharine Ng, Mike Lam and Ka Tam Competition team: David Gianotten and Chris van Duijn, together with Sam Aitkenhead, Jing Chen, Vilhelm Christensen, Alessandro De Santis, Pscal Hendrickx, Matthew Jull, Michael Kokora, Jedidah Lau, Dirk Peters, Koen Stockbroekx, Leonie Wenz, Patrizia Zobernig COLLABORATORS Project architect: Leigh & Orange Hard and soft landscape consultant: Team 73 HK Civil, geotechnical, structural and building services engineer: Mott MacDonald UK Structural facade consultant: Corus Quantity surveyor: WT Partnership HK

Image courtesy of OMA The images may not be passed to any third parties without further permission.


Three imperatives drive the concept for Chu Hai College’s new campus: a compressed time frame of two years for completion, the natural beauty of the site – a verdant hill overlooking Castle Peak Bay in Hong Kong’s New Territories – and Chu Hai’s venerable history (starting in 1947) of multidisciplinary education. The campus consists of education facilities for three faculties (with 10 departments) and two research centres over a gross floor area of 28,000m2. Seventy-five percent of this space is concentrated in two parallel horizontal slabs, which are each eight stories high. The slabs are conceived with speed and ease of construction in mind: all structural elements are on the exterior, liberating the floor plane for ultimate flexibility. 78

The slabs are connected by a ‘mat’ of stairs and platforms that criss-cross between the buildings, acting as a circulation space for the campus and following the natural slope of the site towards the sea. Campus life is concentrated on the mat, which facilitates encounters between staff and students from different departments and offers views of the sea, the surrounding hills, and also, thanks to the aerated facades of the slabs, into the inner life of the college itself. Beneath the mat, the ‘plinth’ runs between the two slabs, beginning at ground level and rising to the fourth floor. It is a multilevel network of intricate spaces – in contrast to the simplicity of the slabs – including a cluster of four lecture theatres, a cafeteria, gym, and, at the core of the college, the library.


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

79 Copyright OMA

Copyright OMA


80 Copyright OMA

Copyright OMA


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

81 Copyright OMA

Copyright OMA


jongJelajah! @ Archifest 2012 HousetheHouse, jongArsitek! BikeBDG, Vidour Mega Urban Picnic October 2012, Singapura

82

foto oleh : Archifest 2 012, Bi k e BD G


jongArsitek! E d is i 2 3 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

83



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.