jongArsitek! 3.3

Page 1



jongArsitek!

jongarsitek@gmail.com

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License

“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.� (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)

foto : Andhang Rakhmat Trihamdani

3


JongEDITORIAL! oleh : Danny Wicaksono

otentik untuk kita? Hal-hal yang mengidentifikasi darimana kita berasal, dan tercipta dari potensi yang kita miliki di tanah kita sendiri. Masih pentingkah hal ini, ketika zaman telah bergeser, dan tuntutan kehidupan memaksa kita untuk menemukan solusi-solusi cepat? Bagaimana kemudian kita harus bereaksi? Masih sempatkah kita menuliskan kembali kebudayaan bangun kita dengan otentik? Masih perlukah kita menuliskan kembali kebudayaan kita dengan otentik?

Agustus selalu datang dan menyadarkan kita atas semua hal yang salah mengenai bangsa ini. Membawa kita kedalam nostalgia akan Indonesia yang dulu dicita-citakan dan diharapkan. Bangsa besar, yang memerdekakan dirinya sendiri lewat perjuangan dan pemikiran-pemikiran hebat mengenai jatidiri dan kebangsaan. Membawa kita kedalam lamunan-lamunan tentang harap dan suara-suara lantang tentang apa yang seharusnya ada dan diadakan. Agustus membakar nasionalisme kita. Lepas 2 masa berlalu, kita kini hidup di era ketiga Indonesia pasca-kemerdekaan. Era dimana diskusi dan informasi bisa dilakukan dan diterima dengan sangat bebas dan terbuka. Peluang akan pemikiran-pemikiran baru terbuka lebar, selebar peluang meniru dan berkarya diatas pemikiran mereka dari bangsa lain. Tantangan bagi kita para pemuda Indonesia masa kini, bukan hanya bagaimana kita memalingkan diri kita dari korupsi, namun juga menjawab pertanyaan, bagaimana sebaiknya kita bersikap di tengah himpitan arus informasi yang datang kepada kita? pentingkah identitas ketika globalilasi membuat jarak semakin tidak ada, dan sebagian besar informasi yang kita terima, sudah dapat memecahakan masalah-masalah yang kita hadapi baik dalam keseharian maupun dalam keprofesian kita? Haruskah kita mencari hal-hal yang lebih

Masih pentingkah otentitas? Beberapa waktu yg lalu, kami membuat sebuah pameran arsitektur bertajuk: Pameran Nasional Arsitek Muda 2010. Kami ingin melihat, sudah berapa jauhkah arsitektur Indonesia dan arsitek muda bergerak pasca 1998. Apakah ada pergerakan disana? Kami ingin memetakan pergerakan arsitektur Indonesia sekarang. Kami harap usaha kami kemarin cukup mewakili dan karya-karya terpilih di pameran ini, dapat memperlihatkan, bagaimanakah arsitek muda Indonesia kini, menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas. Artikel tentang PNAM2010, beserta artikel-artikel lain dari Rafael Arsono, Amelia Miranti, Realrich Sjarief dan Emir Ashari, akan mengisi jongArsitek! edisi 3.3 kali ini. Kami harap artikel-artikel ini, dapat sedikit menginspirasi. Selamat membaca jongArsitek! edisi 3.3. Dan selamat hari kemerdekaan untuk kita semua.


Kontributor

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke Facebook dan media sosialweb lainnya.

Emir Ashari http://www.facebook. com/home.php#!/emir. ashari?ref=ts

Danny Wicaksono http://www.facebook.com/profile.php?id=537977711

Paskalis Khrisno Ayodyantoro lindung soemarhadi http://www.facebook.com/p. http://www.flickr.com/photos/ Margareta Amelia Miranti khrisno.a lindung_soemarhadi/ http://www.facebook.com/profile.php?id=725640933

Rafael Arsono http://www.facebook.com/ profile.php?id=621537643

Realrich Syarief http://www.facebook.com/ profile.php?id=693261239


jongArsitek! Edisi 3 .3, 2 010 | de sa i n m e n gi n spi ra si

foto : Anastasia Widyaningsih

p8

j o n g F Cambodia

p12

j o n g K a r y a Desert Pavilion Expo 2015

p18

j o n g K a r y a Activate

p26

j o n g T u l i s a n Inch Furniture

p30

j o n g K a r y a Shaded Box

daftar isi

p34

j o n g R e

jongArsitek! : Pameran Nas


p4

j o n g E d i t o r i a l sambutan dari redaksi kita

o t o

n

p o r t a s e

sional Arsitek Muda 2010

p38

j o n g R e p o r t a s e jongArsitek! : Nyangkruk Nang Surabaya


8

Headless Buddha at Tha Phrom.


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

9

Cambodia

Back in 2009, I had a chance to visit Siem Reap, Cambodia for the first time. And in 2010, I managed to come back again for the second time. It seems this city always keep her beauty on its own way that makes me want to come back again and again. Siem Reap, I reckon, is one of the greatest concentration of architectural riches anywhere on earth and the scale of the temples were astounding and majesty that stands as one of the greatest achievements of the medieval world, in Asia and Europe.

Tree buried the temple at Tha Phrom

Lindung Soemarhadi


The guardians at Banteay Srei


The south gate of Angkor Thom

Even though, some of the temples suffocating under the jungle and almost buried beyond the big towering trees, the life there still continues amid the temples. Angkor Wat seems to be the world’s largest religious monument, erected less than 40 years and the best preserved temple at Angkor, as it was never abandoned to the elements. Bayon, emphasized the reign of Cambodia’s legendary king, Jayavarman VII. Tha Phrom, there is no doubt that this one is the most exotic temple that left to be swallowed by the jungle. And, Kompong Phhluk village of bamboo skyscrapers, with the stilt house The mother art is architecsoaring from 6 to 7 meters on the lakeshore. All of them, are the ture. Without an architecevidence of the amazing civilization regulating the world. ture of our own we have no soul of our own civilization. At the end of the day, The Cambodia empire, teaches us about the -Frank Llyod Wrighthumanity. How the human civilization creating a great engineering over the nature, and how the nature with the greater force conquer the humanity.


Desert Pavilion Expo 2015

Desert Pavilion - Expo 2015 Milan Rafael Arsono - Uros Stojadinovic - Guido Tesio Politecnico di Milano - Architecture and Urban Landscape 2010 Professors: Remo Dorigati, Giancarlo Floridi

12


Abstraksi Arsitektur yang berpuing. Gurun tidak berskala. Ukuran menjadi tidak relevan. Di Gurun tidak ada referensi arsitektural. Dalam ketidakpastian yang menyeluruh ini, arsitektur membenarkan dirinya hanya dalam aktivitas ritual, sebagai perluasan dari lansekap. Di Gurun, di tengah kesendirian, arsitektur langsung berdiri sebagai tengara, melebihi keabsahan fungsi itu sendiri. Di Gurun, arsitektur mau tidak mau muncul monumental. Di tengah Gurun, arsitektur berfungsi sebagai naungan, sebagai pelindung, dan sebagai ruang kosong, yang lantas mengingatkan pada ‘kehampaan’ Gurun. Sebagai naungan, arsitektur muncul karena kebutuhan keseharian. Arsitektur lantas menjadi ritual. Ritual tersebut merubah kehampaan menjadi ruang yang berarti. Dan akhir dari hidup arsitektur harus kembali ke kekosongan yang murni. Mitos yang bersiklus. Di tengah Gurun, arsitektur tidak memiliki ambisi untuk ‘berubah’. Karena Gurun adalah gurun, tidak pernah berubah. Gurun hanya bisa ‘berkembang’. Gurun sangat anti-modern. Bagi mitos modern dari “paviliun”, Ide ‘bongkar-pasang’ adalah ideal. Bagi kami, ide ‘berpuing’ adalah yang paling sesuai. Keduanya merupakan ide dari kesementaraan. Jika yang pertama cenderung ‘diluar konteks’, memaksakan ide memindahkan dari satu tempat ke tempat lain, yang kedua sangat mengakar dan spesifik pada lansekap. Puing adalah lansekap itu sendiri. Puing sangat kontekstual dan lokal. Arsitektur yang mampu bertahan melewati reruntuhan bentuknya. Paviliun ini adalah arsitektur yang berpuing. Merencanakan menjadi puing akan hidup dari ke-tidak digunakan-nya, melewati kesementaraan fungsinya. Sadar akan kesementaraannya, dan kegentingan hidupnya, arsitektur ini didominasi oleh perasaan ‘mati’ yang mendalam. Bentuk lebih tidak penting ketimbang puing yang tersisa. Arsitektur yang berpuing, akan menihilkan dirinya sendiri. Dia akan mati dengan sendirinya secara pasti dalam lingkup alamnya: Gurun. 01-entrance ramp-noise

13


14

Latar Belakang Desert Pavilion, atau Paviliun Gurun, adalah nama dari proyek tugas akhir kami di kelas untuk program master program internasional di Politecnico di Milano. Tema dari kelas studio akhir tersebut adalah Expo 2015 yang akan datang, ‘Feeding The Planet, Energy for Life’. Mendobrak dogma Expo selama ini yang dirancang sebagai ajang pamer kekayaan negara dengan beradu rancangan arsitektur, Expo kali ini mengangkat isu lansekap, non-arsitektural, yang ada nanti hanya ladang tanaman dari berbagai negara yang terjejer rapi sepanjang 1,5km axis. Fasilitas ruang publik seperti ruang seminar, ruang tamu, ruang wawancara sampai toilet tersebar sebagai gedung netral. Masterplan ini anti-arsitektur, namun sangat berkarakter, seperti Jacques Herzog (salah satu komite perancang masterplan Expo 2015) meyebut “monumentalitas yang lebih puitis�. cek link ini h t t p : / / w w w. y o u t u b e . c o m / w a t c h ? v = 2 Q x x I p Y f f g&feature=player_embedded Masterplan Expo 2015 menurut saya sangat berkarakter karena dua hal, yang pertama karena Italia sebagai sebuah bangsa sangat menyadari kekuatan dirinya, agrikultur. Jadi Expo ini akan menjadi sangat lokal (sekaligus global). Kedua, kita bisa lihat bagaimana ide taman-strip--yang mirip seperti proposal Rem Koolhaas untuk Parc de la Villette--bisa jadi lebih menarik dan eksperimental dari sekedar sebuah bangunan. Walaupun tanpa gegap-gempita arsitektur dari tiap partisipan, Expo 2015 nanti tetap ambisius dengan rencana pembangunan 5 rumah kaca berisi iklim dari tiap kontinen. Betul, termasuk tropis dan gurun, yang para komite sendiri belum bisa pastikan akan menghabiskan biaya berapa besar. cek link ini http://www.abitare.it/highlights/milano-expo-2015/


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

Konsep Kembali ke tugas akhir kami, masing-masing kelompok diharuskan memilih iklim, negara, atau daerah, dan ahrus merepresentasikan daerah terpilih tersebut ke dalam plot 20x150 meter. Kelompok kami memilih Gurun Nubi di Afrika tengah, tepatnya di Sudan, karena disanalah experimentasi perkembangan agrikultur perlu dilakukan, di tempat yang, makanan, sangat sulit didapat. Bagaimana merepresentasikan iklim Gurun pada sebuah paviliun yang menihilkan arsitektur? Sikap yang kami ambil adalah membagi cara pandang kami ke dalam dua metode secara paralel, yaitu riset agrikultur dan desain arsitektur, untuk membedakan secara jelas arsitektur dan agrikultur. Riset agrikultur dilakukan secara bertahap memilah lokasi Gurun di dunia, menganalisis jenis tanaman, sampai tipologi agrikultur. Hasil riset mengerucut ke daerah persawahan di dekat sungai Nil, beberapa kilometer di luar Khartoum. Dari foto satelit ‘google maps’ kami memilih area yang kontras antara agrikultur dan pemukiman, agrikultur dan gurun, sangat kontras. Sementara pendekatan arsitektur kami, berangkat dari abstraksi di atas, mencoba melawan ‘kesementaraan’ 09-pavilion view from the field copy

dari paviliun ini dengan ide ‘menjadi puing’, yang untuk itu, secara konstruktif membuat kami memilih ‘rammed earth’ (tanah yang dipadatkan) sebagai metode membangun. Paviliun ini tidaklah menunjukkan agrikultur secara langsung, melainkan proses imigrasi--bisa dibilang perjalanan--penduduk meninggalkan ladang tanaman untuk pergi bekerja ke kota. Sebuah kejadian umum yang dapat menyebabkan perluasan permukaan gurun (desertification). Perjalanan ini dijewantahkan ke dalam ruang-ruang yang didesain memiliki aura spesifik. Apabila perjalanan ini merupakan ritual, maka denah terbuka tidak menjadi pilihan, melainkan ruang yang dibuat untuk suasana dan fungsi tertentu. Masuk, jalan dari kamar ke kamar, keluar ke arah yang berbeda. Ruang ini, secara keseluruhan, sangat linear. Dengan kata lain, kaku, tegas, kuno namun pada tempatnya. Keempat ruang terbagi secara fungsional dan abstrak, ruang pameran dan ruang teater (ke-2 dan ke-4), ruang dengan taman berkolam serta ruang meditasi (1 dan 3) yang harus melalui ‘ramp’ yang landai menembus kolong gelap setinggi 2,40 meter. Ruang-ruang tersebut disusun secara geometris dasar (hampir) kubus dengan dimensi total 8x8x8 meter (3 meter ke bawah tanah) dengan ketebalan dinding

60 cm, berdampingan satu sama lain. Seluruh permukaan tapak ditutup dengan kerikil (stickedgravel) dengan beberapa lahan terbuka sebagai lahan tanaman dan oase di ujung belakang tapak. Lahan ini adalah percobaan tumbuhan dari permukaan pasir hydrophobic, sebagai corak pameran teknologi di paviliun ini, pasir yang memiliki daya tahan kelembaban yang tinggi (saat ini dikembangkan oleh UAE), untuk membuka kemungkinan bercocok-tanam kembali (agrification), jagung, gandum atau bahkan padi di gurun. Jika dari muka tapak, paviliun Gurun ini terasa kering dan sulit, dalam perjalanannya bayangan, gradasi cahaya, air dan pada ruang teater (ruang ke 4), pengunjung dapat melihat tanaman dan pepohonan yang dibingkai oleh dinding paviliiun, sebagai simbol optimisme dan kehidupan. Pada akhirnya, bagaimanapun juga Expo adalah pameran, dan penjelasan fitur pameran secara didaktik tidak dapat kami hindari, seperti tertuang di akhir tapak paviliun ini. Namun pencitraan ide migrasi dan strategi menanam kembali (agrification) sekaligus identitas Gurun terjewantahkan secara jelas.

15


16

dark corridor

water patio2


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

contemplation room skylight

towards cultivation

17


ACTIVATE team desain : Anastasia Widyaningsih, Lia Kurniadewi, Realrich Syarief, Silvanus Prima

18


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

19


20


21


22


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

23



jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i


INCH Furniture

26

amelia miranti

Desain Swiss produksi Indonesia Seperti tahun sebelumnya, Superstudio Pi첫 menjadi salah satu kawasan yang paling menarik dan wajib untuk didatangi. Pasalnya, di kawasan bekas bangunan gudang ini berkumpul ratusan peserta, jadi buat saya yang entah kenapa menjelang Salone del Mobile selalu tertimpa bludakan kesibukan, rasanya seperti sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Dan, alih-alih karena itu pula, saya hanya tahu pasti kalau Tom Dixon dan Flos (yang kali ini tidak buka gerai di Fiera) akan ada di sini.


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

27


Ternyata, sesuai harapan, kunjungan ini cukup memuaskan hati. Malahan sempat bertemu Tom Dixon (yang ‘terpaksa’ jaga warung karena tidak bisa pulang akibat volkano) dan ada Elle Decor’s Temporary Bar & Restaurant yang dalam rangka memperingati hari jadi ke25, semua perabotnya menggunakan produk desain ikonik seperti the Big Easy-nya Ron Arad dan Less-nya Jean Nouvel. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri ke bagian lain kawasan yang biasanya terlewati, jalan sambil tengak-tengok tiba-tiba mata saya tertumbuk pada salah satu brand furnitur yang memajang peta Indonesia sebagai logonya dan gerainya paling ramai dikunjungi.

28

Penasaran, lebih seperti terusik, hmm.. ada apa nih bule-bule (saya tahu yang punya bule soalnya ketika itu dia memang lagi mempresentasikan furniturnya) kok pakai peta Indonesia? Saya pun langsung menyambangi. Ternyata adalah Yves Raschle, bersama Thomas Wüthric, keduanya kebangsaan Swiss, yang punya gawe alias empunya INCH. Yves lantas secara gamblang dan penuh kebanggaan menjelaskan bahwa furnitur mereka yang kesemuanya dari kayu solid adalah produksi Indonesia. Dan kemudian percakapan kami langsung berubah menjadi percakapan dalam bahasa Indonesia (tentu saja, secara baik dan benar khas orang asing kalau bicara). Yves bilang ‘’Tentu saja kami bisa dong, supaya mudah menjelaskan kepada para pengrajin di sana.’’ Jadi, ceritanya lima tahun yang lalu, mereka pernah bekerja untuk NGO di Kalimantan. Di situ, mereka jatuh cinta, ke-

pada orang-orang Indonesia juga kepada bahasanya. Lebih dari itu, mereka sadar bahwa ada kemampuan luar biasa dari tangan para pengrajin kayu Indonesia untuk membuat produk berskala internasional. Terlanjur cinta, setelah pulang ke negaranya, mereka memutuskan untuk kembali dan memulai INCH furniture, IN untuk Indonesia dan CH untuk Swiss. Bekerja sama dengan PIKA (Pendidikan Industri Kayu Atas), Semarang yang kemudian pendapatannya digunakan untuk mendanai sekolah. Selain menggunakan peta Indonesia sebagai logo, Yves dan Thomas juga menggunakan bahasa Indonesia untuk menamai produk-produk mereka, seperti Alas trivet, Sepuluh sideboard dan Empat table. Juga menggunakan model bertopeng wayang untuk katalog yang mereka bagikan di Salone del Mobile. Bekerja dengan bangsa lain berarti secara langsung kita akan bicara soal pertukaran ilmu. Untuk Yves dan Thomas, mereka merasa sangat senang bisa bekerja sama dengan kumpulan pengrajin terbaik di Indonesia, yang mampu menerjemahkan ide-ide mereka menjadi produk yang baik secara estetis dan fungsi. Juga untuk para pengrajin Indonesia, mereka beruntung berkesempatan bekerja dengan orang Swiss yang terkenal presisi dan detail. Seperti cerita mereka, ‘’Kami bekerja sama dengan sekolah yang menghasilkan produk-produk terbaik di Indonesia, kami melihat adanya ketrampilan di sini. Juga, di sini kami berkesempatan untuk menyumbangkan keahlian, pengalaman dan bertukar ilmu melalui workshop dan


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

proyek terutama pada aspek ekologi, inovasi dan desain.’’

Walaupun saya akan lebih senang kalau banyak desainer Indonesia yang berkarya di ajang intenasional, tapi rasanya kita boleh bangga dengan produksi Indonesia yang sungguh tidak kalah dengan produksi negara lain. Paling tidak, kita tahu kalau tangan-tangan Indonesia sudah siap memproduksi karya yang layak sanding di kancah internasional. Tinggal bagaimana para desainer negeri ini mampu mengeksekusinya. MARI!

Amelia Miranti Milan, Mei 2010

29


jongArsitek! Edisi 3 .3, 2 01 0 | de sa i n m e n gi n spi ra si

30

oleh Emir Ashari


jongArsitek! E di si 3. 1, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

31


jongArsitek! Edisi 3 .3, 2 01 0 | de sa i n m e n gi n spi ra si

32


jongArsitek! E di si 3. 2, 1, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

33


jongArsitek! Pameran Nasional Arsitek Muda 2010 Oleh : Danny Wicaksono

The 1st national young architect exhibition

34

Background Over the course of time, there will always be generations that stood higher and speak their mind louder than the rest, to later defining an epoch. Younger generations who are not satisfied with what was given by his time, and wanted to do something to, at least, twist an era , and turn it a bit more interesting and (hopefully) better. This can be planned, or present themselves naturally, without force and without being forced.


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

35


36

foto : anastasia widyaningsih


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

For an architectural generation, to voiced out their thoughts into the public realm, is something that is (suppose to be) normal. By doing so, the architects and their architecture will have a place to communicate with a wider audience. Whether it’s audience outside the ordinary audience of architecture and architecture. An architectural exhibition can be the reflection of a generation’s architectural achievements in a period of time. A reflection that is expected to be a place where later generations can learn, so they are able to embrace what is good, and make critics for what that is supposed to be better. It can also be a statement for those who wanted to offer a different kind of architecture, to what is commonly known by the society. More than that, an architectural exhibition is the most fragile media, where an idea can be communicated to a wider audience, and then became very open and frail to critics. After 1998 After 1998, there is a fundamental change in the lives of Indonesian people. The fall of a status-quo, leads to an openness and freedom of life that has never been felt during the previous 32 years of reign. Suddenly everybody have the freedom of speech and the freedom to speak their mind. This has led to a more dynamic discourse in any subjects of life. On architecture, the fall of this regime, also meant the end of a narrow regionalism of architectural perspective which was propagated by the regime. Another important things that happened after 1998 is the rapid progress of

technology. After 1998, technology has changed the paradigm of architectural works all over again. Computers and software of all kinds with various different functions, has put drawing tables aside. Then there’s the Internet, a virtual world that has change the way people communicate. Access to informations becoming really easy, and discourses can then be established easier among architects all over Indonesia. Internet has shorten the distance, and giving a book of unlimited pages to its users. All this, opens up possibilities for young Indonesian architects who graduated after 1998, to be exposed and try a lot more possibilities than the previous generations. These young architects have the chance to see much more diverse architectural information n a very easy way. Thus giving them the opportunity to embrace new technology and new design methods, that is giving them the possibility to produce designs that has never been produced by the previous generations. Architecture Exhibition With all the reasons above, jongArsitek! then decided to make a national exhibition of the works of young Indonesian architects, who graduated in or after 1998. We ask for Marco Kusumawijaya, Avianti Armand and Suryono Herlambang to be the curators of this exhibition. They will choose whichever works were deemed able to provide a new perspective, and can inspire a broader audience. This way the general public and architectural public, can see the wide range of discourse from young generations of Indonesian Architects.

37


Nyangkruk Nang Surabaya Diskusi Lintas Komunitas Kreatif Surabaya Oleh : Paskalis Khrisno Ayodyantoro Seorang bapak sedang bermain dengan anaknya di pinggir taman di salah satu sudut kota, Tampak, walaupun kendaraan memadat dan berlalu kencang disekitarnya, taman taman rindang tetap di penuhi oleh penduduk untuk bercengkrama, ataupun bersama menikmati ruang kota tersebut sambil berjalan kecil, jogging, ataupun bersepeda.

38

“Surabaya itu panas!” sahut satu teman kami dalam satu perjalanan, “Surabaya Penuh Patung, taman dan pedestrian!” selang beberapa jam berada di kota Surabaya. begitulah pandangan kami, dalam kunjungan singkat, bahkan kami menyimpulkan, kota yang terbentuk karena pertemuan transportasi sungai pada jaman majapahit ini bergeser menjadi kota bersejarah yang identik dengan kekuatan bisnis yang maju yang ramah untuk kotanya. waktu malam pun, riuh rasanya berada di taman Bungkul, salah satu taman yang teramai, dimana kita bisa mengunjungi makam Ki Ageng Supo atau dikenal sebagai Mbah Bungkul, yang konon menjadi salah satu pendiri kota Surabaya. Di Taman ini kita bisa melihat seluruh penduduk dari tingkat kalangan yang berbeda menjadi tumpah dalam satu Taman. Disini kita bisa melihat berbagai perangkat publik di tata dengan apik, bahkan kita bisa melihat adanya dukungan taman terhadap para difabel dengan ramp untuk akses ke taman itu sendiri, dan tak lupa bagi pencinta kuliner, bisa menikmati Rawon Kalkulator yang berada dalam taman ini. Tak Pelak, kota tempat Persebaya lahir ini, bagi sebagian orang, menganggap bahwa pusat

kota ada di Taman Bungkul. Taman ini hanya menjadi salah satu sekian taman aktif yang digunakan warganya untuk berekreasi selain Taman Maluku, Taman Wifi, Taman kalimantan, Taman Yos Sudarso, hingga taman Philips dan lain sebagainya yang menjadi ruang publik aktif tempat masyarakat berekreasi bahkan di beberapa tempat disediakan taman untuk skateboard dan BMX. Sepanjang pusat kota kita bisa menyaksikan dan merasakan, di kota ini pedestrian dimanjakan. Jalur pedestrian yang lebar, Pohon pohon dan tanaman yang dipertahankan apik disepanjanng taman, dan pedagang kaki lima yang tampak teratur. di sepanjang jalan Embong belimbing pun, rasanya pedagang kaki lima yang konon menyebar, kini disatukan sehingga memudahkan pengunjung untuk berwisata kuliner. “kayanya… kota pinggir pantai dan kota pahlawan menjadikan kota ini penuh dengan landmark” ungkap Arien dan Ucha, salah satu rombongan yang ikut dalam rombongan ini. Tapi memang benar, patung patung, tampak memenuhi taman dan sudut kota, membuat Kota Surabaya menjadi satu tempat yang mudah di ingat dan ditelusuri karena selain memudahkan ketika menjadi penanda tempat, patung tersebut juga mempercantik kota Surabaya. Mungkin inilah salah satu kota Surabaya memperkenalkan diri pada para pendatang, kota yang di kenal dengan perjuangan antara


jongArsitek! E di si 3. 3, 2 0 1 0 | d e s a in m e n g in s p ir a s i

darat dan laut, kini membuka diri menjadi kota yang nyaman dan ramah bagi warga kotanya. Bahkan tahun 2009 lalu, Surabaya memenangkan rekor MURI dengan jumlah taman terbanyak yang berasal dari bekas lahan SPBU, sebanyak 13 buah. Belum lagi, bagaimana Surabaya mempertahankan sejarah dengan mempertahankan bangunan2 bersejarahnya menjadi satu kota yang memberikan warganya berinteraksi terhadap sejarahnya. Sebut saja dari bangunan bangunan seperti hotel majapahit, jembatan merah, bangunan bangunan lama di pusat kota yang terus di pertahankan, memberikan kekuatan keunikan kota yang tidak dimiliki di kota lain di dunia. *** “Surabaya selalu menjadi bagian terakhir dalam pemetaan seni di Indonesia, setelah Jakarta, Bandung, Jogja, dan bali” ungkap Cahyo dari deMAYA, padahal ruang publik terbuka luas, dan seniman seniman baru yang mengisi ruang kreatif di Surabaya bermunculan. Sebut saja asosiasi desain grafis di Surabaya, komunitas deMAYA, Komik Bunuh diri, Buta warna, street art Surabaya, Surabaya Fashion Carnival, seniman seniman kolaboratif seperti audiokarbit, hingga seniman individual seperti Aghastyo Ghalis, benny wicaksono, dan masih banyak lagi yang

terus mengisi kreatifitas kota Surabaya.

kan sesuatu yang baik, dalam desain tentunya.

Dalam beberapa waktu terakhir, tidak mau kalah dengan kota kota besar lain di Indonesia, Surabaya mulai menyadari kekuatan kreatifitas dari masyarakatnya. kegiatan kegiatan kreatif bermunculan, menampakkan gigi untuk mengisi kekuatan ekonomi baru di kota Surabaya.

Kota surabaya telah memulai melalui perbaikan kota yang bisa sejajar di kota lain di dunia, tempat bagi kami, warga jakarta, bandung ataupun diseluruh indonesia untuk belajar menaikkan kualitas kota. Kemudian perlahan menaikkan kualitas manusianya melalui pendidikan dan teknologi.

kami berempat dalam komunitas yang berbeda (jongArsitek!, Bandung Affairs, Fold Magazine, dan Orders schomorders) menyadari bahwa dengan lintas komunitas, adalah peluang terbukanya kesempatan berkolaborasi bahkan mengetes satu isu bersama yang belum kita bayangkan. Kami pun sadar bahwa dengan berbagi dalam komunitas kreatif yang berbeda, menjadi inspirasi baru, bahkan teman untuk memberikan peluang kerja sama lintas disiplin yang inovatif. Cangkruk (nongkrong) bersama dalam diskursus desain menyadarkan kami.

dari satu komunitas menuju komunitas lain membayangkan kebersamaan dalam nama desain, mengutip arsitek senior, ridwan kamil, “menyelamatkan peradaban dengan desain” membayangkan ketika komunitas komunitas lintas displin desain bersatu dan bahkan berkolaborasi, bersama membangun menciptakan keragaman kualitas hidup yang baik dan menaikkan ekonomi baru yang kuat, dimasing masing daerah, saling menginspirasi. untuk satu, mewujudkan kembali Indonesia di Muka Dunia, “negeri kita kaya raya saudara saudara” begitu ucap Soekarno.

Indonesia pun bukan hanya Jakarta, Bandung, tetapi daerah daerah lain di seluruh Indonesia, Mimpi kami bukan Desain menginspirasi tentumimpi yang muluk, perkemnya. bangan internet dan teknologi memudahkan kami untuk terus saling menginspirasi lewat disiplinnya masing masing lewat jalur maya. Harapan kami adalah bersama sama, dengan daerah lain di Indonesia, termasuk Surabaya, bisa saling menginspirasi dan menghasil-

39



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.