jongArsitek! March 2008

Page 1


The state is now built upon daily life; its base is the everyday. The traditional Marxist thesis makes the relations of production and the productive forces the ‘base’of the ideological and political superstructures. Today-that is to say, now that the state ensures the administration of society, as opposed to letting social relations, the market and blind forces take their course-this thesis is reductionist and inadequate. In the course of major conflicts and events, the relations of domination and reproduction of these relations have wrested priority over the relations of production that they involve and contain.” (Lefebvre, Hendri.:Critique of Everyday Life, p.123).

jongArsitek!

arsitekmuda@googlegroups.com

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

… daily life cannot be defined as a “sub-system” within a larger system. On the contrary: it is the “base” from which the mode of production endeavors to constitute itself as a system, by programming this base. Thus, we are not dealing with the self-regulation of a closed totality. The programming of daily life has powerful means at its disposal: it contains an element of luck, but it also holds the initiative, has the impetus at the ‘base’ that makes the edifice totter. Whatever happens, alterations in daily life will remain the criterion of change.” (Critique, vol. 3, 41).

Except where otherwise noted, content on this magazine is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License


3

red and yellow ( adikritz )


JongEDITORIAL

!

oleh : Danny Wicaksono

Edisi kedua JongARSITEK!

akhirnya ada yang kedua setelah yang pertama. fiyuuuh.... butuh tenaga yang besar untuk menjaga konsistensi. terimakasih berkat paskal yang sudah cerewet dengan tidak mengenal lelah, dan berhasil menjaga konsitensinya untuk menjadi orang yang paling semangat di penerbitan bundelan-pemikiran-gratis ini. kami masih dalam usaha untuk mencari ritme dan pola yang paling tepat untuk menjaga keberlangsungan bundelan-pemikiran-gratis ini (disamping masih terus mencari sponsor tentunya!) jika berkenan, kami memohon doa dan dukungannya... edisi kedua ini terbit di tengah kekhawatiran kami mengenai nasib ruang khalayak dan ruang hijau di kota ini. pemicunya adalah kasus taman ayodya di barito yang membuat kening kami berkerut, dan emosi memuncak! Ditengah kurangnya ruang hijau dan banjir yang tiap tahun pasti datang, bagaimana mungkin dinas pertamanan DKI memutuskan untuk pohon2 di taman ayodya??? sebuah pohon beringin besar, dengan diameter sekitar 2 meter, yang dulunya terletak di tengah taman, kini telah tercabut hingga keakarnya. dan pohon beringin besar yang satunya lagi saya rasa tinggal menunggu waktu untuk dicabut paksa. belum lagi penyelenggaraan sayembara yang serba tidak jelas. ini semua melengkapi semua sengketa dan drama yang telah terjadi sebelumnya. dan saya punya perasaan ini belum berhenti sampai disini.

menebang

ironi kota ini memang absurd! di tengah semua kekacauan kota dan negara, pemerintah daerah justru hadir sebagai aktor utama perusakan alam. bukan sekali saya melihat pegawai pemda memimpin pemotongan pohon-pohon di banyak daerah di jakarta. ketika saya tanyakan mengapa ditebang, dengan santai mereka menjawab “sudah terlalu besar, jadi harus kami tebang� silahkan berpendapat tentang komentar ini. saya sudah habis kata. kegilaan ruang (spatial madness) di kota ini harus segera berhenti!! tapi entah bagaimana caranya. hanya 40 halaman ini yang kami punya, dan kami bisa berikan. semoga kewarasan yang coba dibawanya bisa memberikan sedikit semangat untuk tetap optimis dan semangat untuk tetap berbuat hal nyata bagi kewarasan ruang kota kita. untuk jakarta yang lebih rindang danny wicaksono


Kontributor

tanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke frenster dan media sosialweb lainnya.

adikritz http://profiles.friendster.com/adikritz

abimantra perdhana http://profiles.friendster.com/abimantra

anseina eliza http://profiles.friendster. com/14952472

indhira sagita http://profiles.friendster.com/6291384

danny wicaksono http://profiles.friendster.com/3982445

rafael arsono http://profiles.friendster.com/8063285


p4

jongEditorial

sambutan dari redaksi kita

p8

p24

Shenzen dalam bingkai urban

jakarta as an informal ci

jongFoto

p16

jongRiview Apresiasi ando

jongGamba


ar

ity

jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

p30

jongGambar

Melihat tropikalitas dari tepi aliran waktu.

p36

jongGayahidup


8

shenzhen dalam bingkai urban

love in density...................

oleh Abimantra Perdhana

composing shenzhen CBD4.................


..................

.................

9


fringe.............................

10

in between density.................................


.....


banjir indonesia betawi busway kotatua peraturan landmark hijau densitas sprawl kumuh gusur monorail mall publik OPINI : Sayembara, Peran Arsitek, dan Motif Di Baliknya! [1] Sore menjelang, sebuah tulisan tentang “ndeso� di forum ami menyentak saya. Sebuah pemahaman baru yang benar-benar menggelitik hati saya. Indonesia, sudah miskin sombong lagi.. sedih, karena tulisan ini turut men-judge saya sebagai warga negara ini. Kalau kita simak berita stasiun

tv ada saja kejadian kejadian yang unik, memperlihatkan bagaimana bangsa Indonesia kini hidup. Ditengah sebuah krisis ekonomi yang hampir di alami banyak orang masih saja banyak tingkah laku kita yang tersorot media bahkan internasional yang membuat kita benar-benar malu.


Pertikaian masyarakat dan mahasiswa di Makasar, tertangkap tangannya dugaan suap jaksa penanganan BLBI, kematian ibu dan anak karena kurang gizi dan ketidakmampuan mereka dalam membeli makanan adalah salah satu ba-

han yang sedang menjadi sorotan publik, belum lagi tentang terbakarnya pesawat di papua disaat kita sedang berusaha mendapatkan citra untuk dapat ijin terbang di Eropa serta beberapa masalah tentang keselamatan bangunan kita.


Sebagai pengendara motor di Jakarta setiap harinya saya dapat melihat bagaimana saya dapat menikmati carut marutnya kota kita. Ditengah kepadatan dan bertambahnya kemacetan Jakarta, saya mulai terbiasa melihat motor-motor berjatuhan karena lubang di jalan-jalan kota besar jakarta yang beberapa waktu lalu tergenang banjir. Entah karena perencanaan jalan yang hanya menambal sulam tanpa melihat kemiringan untuk drainage atau memang perencanaan tata air kita yang buruk hingga meluap ketika hujan. Rasa marah, caci maki, dan keributan di jalan pun sudah menjadi kebiasaan yang mewujud mejadi kelumrahan. Hingga sebuah penangkapan dan pengeroyokan copet dan maling bahkan pembakaran properti dan kekerasan beberapa pihak atas nama keadilan atau kelompok menjadi sesuatu yang lumrah.

14

wuaahhhhhhh memang benar apa yang dikatakan oleh Gustaff hariman dalam sebuah pertemuan dengan Pemda bandung beberapa waktu lalu. “Kita berdiri tanpa negara..� karena terkadang kita berdiri sendiri, melakukan kegiatan sendiri dan turunnya kepercayaan kita terhadap pemerintah. [2] Sebuah Sayembara Taman baru saja dilakukan, Sebuah Taman Ayodia, Taman yang memiliki kolam ditengah kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sayembara ini dilaksanakan setelah penggusuran pengusaha ikan hias dan pengusaha bunga disekitar taman ini dilakukan. Sebuah kebijakan yang hingga kini pun kami belum mengerti alasan jelas dibaliknya. Sebuah penggusuran nilai kawasan yang telah melekat, memindahkan para pedagang ini ke sebuah tempat baru yang mungkin jauh dari tempat biasanya yang dikenal pedagang, pembeli bahkan oleh kawasan ini sebagai identitas kota bertahun-tahun. Taman yang harusnya bisa memberi kemakmuran bagi lingkungannya sesuai dengan namanya ayodia dari legenda jawa kini hanyalah nama. Taman ini bahkan pernah hinggap menjadi sebuah taman yang masuk ke dalam studi perencanaan oleh tim arsitek andramatin, 2005 untuk pameran Bienalle dan sempat hinggap ke perhatian pemerintah daerah, dimana nilai kolam resapan dapat dijadikan objek wisata menarik, dan para pedagang dipindahkan kebawah sehingga tidak menggangu aktifitas lalu lintas disekitarnya. Pohon pohon dikawasan ini pun dipertahankan guna tetap menjadi media peresap air. Lagi lagi, saat itu hanya jadi data.. Pertengahan Febuari 2008, Banjir Melanda hampir seluruh Jakarta karena tingginya curah hujan. Pemerintah kota Jakarta yang belum segenap setahun merayakan kenaikannya Fauzi Bowo sebagai gubernur Jakarta menjadi kalang kabut, karena terhambatnya rombongan presiden di Jalan Thamrin Jakarta ketika akan kembali ke Istana Kepresidenan karena Banjir. Gubernur dan jajaran di ingatkan presiden. Miris.. Orang paling nomer


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

satu di Indonesia merasakan dampak banjir itu secara langsung dan tersorot media Internasional, sementara kita tertawa mensyukuri presiden dengan berita tersebut. Apakah kita senang dan sadar bahwa kita sedang mentertawakan kebodohan kita? Pemerintah kota kemudian mengambil kebijakan dengan adanya keinginan untuk meningkatkan ruang hijau kota sebagai media serapan air belum ditambah dengan mempercepat pembangunan kanal banjir Jakarta. Keputusan menggusur kemudian dilaksanakan untuk dalih mengembalikan nilai taman resapan ke fungsi seharusnya. Pedagang ikan dan bunga dipindahkan untuk menambah luasan dan keindahan taman tersebut. Sebuah Sayembara desain kemudian dilaksanakan untuk mempercantik taman, atau mungkin bisa saya sebut legitimasi dan dukungan arsitek terhadap perencanaan taman ini. Sayangnya dari ketidakjelasan tentang sayembara yang sempat mundur tetap dilaksanakan dan di ikuti oleh sekian arsitek yang berusaha memberikan nilai lebih dan positif taman berdampak pada dukungan arsitek kita terhadap pemotongan 2 pohon beringin besar yang ada ditaman. Apakah kita jeli, berapa banyak dari sekian arsitek merasakan bahwa dalam gambar tapak yang diberikan dalam tor (term of reference) sayembara sudah tidak lagi menempatkan titik pohon secara tepat? apakah ada dari sekian arsitek berusaha mengembalikan pohon tersebut? bahkan sebelum sayembara ternyata salah satu pohon telah tertebang. Apa yang dimaksud pemerintah dalam mengembalikan nilai kawasan resapan dengan memotong salah satu peresap airnya? dan tentunya pemenang sayembara mungkin tidak menempatkan pohon tersebut dalam desainnya. terlepas dari kejadian ini, tentang adanya maksud sebuah sayembara sebaiknya harus kita prediksi untuk menentukan arah penyampaian pesan yang ingin kita masukkan ke dalam desain kita. Dengan adanya sensitivitas maksud dibalik sebuah sayembara, semoga kita bisa memberikan masukan yang selaras dengan maksud sayembara tersebut. Semoga dalam sayembara mendatang, arsitek berperan dan lebih jeli dalam melihat dan merasakan ruang tapak sebelum merancang sehingga bisa memberikan kontribusi yang lebih pada lingkungan kawasan sayembara secara langsung. Sayapun pernah gagal karena tidak hadir anzweizing dan merasakan ruang yang disayembarakan, saya terlalu sombong untuk tahu segalanya ketika merancang, semoga dikemudian hari sensitifitas maksud dan sensitifitas tapak sayembara bisa saya pelajari dan menghasilkan arsitektur untuk kota kita yang lebih baik.(Paskalis Khrisno Ayodyantoro)

15


Tulisan ini mungkin akan menjadi satu dari jutaan komentar yang mengapresiasi Tadao Ando, arsitek papan atas Jepang. Sabagai arsitek muda yang mempelajari Ando semasa kuliah, pertemuan dengan the famous Ando’s concrete terasa penting dan seperti sudah menjadi suatu kewajiban mengkonfirmasi apa yang saya temui melalui karya-karya Ando. Teringat masa kuliah dimana saya mengambil tokoh Tadao Ando untuk penekanan mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur 7. Saya begitu penasaran dengan bentuk geometris sempurna seperti kotak, lingkaran utuh yang sering diterapkan Ando. Ruangnya begitu kuat sehingga membuat karya Ando yang ‘diam’ seakan menjadi simbol arsitektur modern Jepang. Dalam sebuah buku1 yang saya beli ketika di semester 4 kuliah, Peter Zumthor sampai mencukur jenggot-nya sesaat setelah mengunjungi The Church of Light. Sementara saya, memutuskan untuk tidak potong rambut setelah perjalanan ke Jepang—at least it has been a year. Karya Ando memang luar biasa sehingga bikin orang penasaran. Kali ini, dalam perjalanan bersama Andra Matin Japan Spring Tour ’07, saya mendapat kesempatan mendatangi langsung proyek-proyek yang saya pelajari dulu, sehingga saya bisa lebih tahu bagaimana misteri ruang Ando sesungguhnya.

Apresiasi Ando. oleh rafael arsono



18

KONTEKSTUAL Kami mengunjungi lebih dari 10 karya Ando. Semuanya mengandung unsur bidang shear-wall, atau dinding beton bertulang yang di-expose. Children’s Museum di Himeji merupakan karya Ando pertama yang kami kunjungi. Bangunan terhadap site berkontur, bertanah merah-kecoklatan, rumput kekuningan, dan pepohonan cemara sangat kontras dengan bidang abu-abu yang merangkai ruang kesana-kemari. Pada dinding yang mengarahkan sirkulasi, selalu ada sekuens yang mengejutkan. Dari karya ini saya bisa menyimpulkan kalau Tadao Ando pandai bermain dengan skala, bagaimana hubungan arsitektur dengan alam diterjemahkan melalui bukaan, vista, portal, dan dinding yang membingkai danau dan pegunungan di seberang, bukit dan pepohonan kering di lain sisi, langit mendung di atas. Bahkan deretan reflecting pool yang ber-terasering mengantarkan pada foreground pemandangan bukit di seberang danau. Sepertinya semua bukaan punya maksud tersendiri. Pada Children’s Museum, saya perhatikan banyak dinding beton Ando yang mbleber kotoran dan lapisan coating yang mengelupas. Namun itu semua menjadi tidak penting karena permainan ruang skala manusia maupun gigantis dan sekuen labirin-nya begitu membelalakkan—membuat saya kehilangan rombongan menuju area kolom-kolom beton.


SEBUAH RUANG DENGAN CAHAYA Beton ekspos merupakan bagian dari teknologi konstruksi yang umum di Jepang. Saya perhatikan dimanapun ada bangunan dengan beton ekspos di Jepang, bentuknya ya seperti beton Ando, modul triplek dengan 4 atau 6 buah titik bekas tempat jepitan bekisting. Barangkali karena kondisi geologis Jepang yang rawan gempa, sehingga dinding struktur (shear-wall) menjadi standar dalam konstruksi. Pertanyaan tentang siapa yang duluan yang menemukan, Tadao Ando atau teknolog Jepang, menjadi tidak penting buat saya. Karena Ando berlebih jenius pada penciptaan ruang, bukan pada—apabila—dia yang menemukan beton ekspos. Jadi Ando seperti menggunakan material yang sebenarnya berlimpah dan teknologi lokal sudah memadai. Untuk itu, beton Ando sudah lebih dulu kontekstual.

Dinding beton ekspos, yang merupakan elemen utama dari arsitektur Ando bermakna multidimensi. Karena mono-tone, yang abu-abu, dinding tersebut hanya terasa sebagai bidang yang mengarahkan pengunjung menuju ruang-ruang tertentu, menghilangkan kesan sebagai elemen struktural. Kalau kita lihat bentuk keseluruhan karya Ando biasanya persegi atau kotak, sebut saja Children Museum, Church of Light. Namun seketika kita berada di dalamnya, sama sekali tidak merasa kotak melulu, seperti sangat abstrak. Yang lebih mengejutkan lagi, Ando juga fasih menggunakan material kayu. Di Komyoji Temple, kuil di kota kecil Saijo, sangat membuktikan kesederhanaan Ando menciptakan massa yang vocal tanpa harus bicara banyak. Saya sempat mengelilingi kuil tersebut, dan melihatnya kembali di antara rumah penduduk sekitar. Dengan satu atap yang lebar ditopang dari susunan kayu mengingatkan saya pada tumpangsari pendopo rumah Jawa, sangat blend dengan lingkungan sekitar. Arsitektur Ando yang cenderung diam seakan ikut menjaga intensitas kegiatan yang rendah di daerah sekitar.

19


20


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

Jepang, tentang kesederhanaan, total simplicity. Pada Church Of Light misalnya, bukaan dibuat berupa salib sehingga cahaya yang masuk menihilkan dinding beton yang tebal itu. Yang terasa hanya ruang religius yang fokus. Secara akustik, ruang tersebut sangat tenang, sehingga tiap langkah pada lantai kayu terdengar sangat jelas. Eksploitasi cahaya sebagai dimensi lain pada arsitektur modern telah dimulai oleh Le Corbusier sebagai elemen non-fisik yang berhubungan dengan waktu. Masuknya cahaya dan jatuhnya bayangan yang berubah-ubah dari pagi hingga sore menambahkan feeling yang berbeda dalam suatu ruang. Sehingga dari ruang yang terbuat dari bidang-bidang mono-tone tadi terasa sangat kaya rasa. Dari buku yang sama saya mencoba mengutip Ando, “..You’ve visited The Church with the Light yourselves and experienced the space there, but the real part of that experience ends once you leave the building. I place great importance on creating architecture that continues to live on in your mind after you have left the building.”

KEKUATAN RUANG Kontekstual dari penggunaan beton ekspos diikuti dengan bagimana ia menghubungkan arsitektur, manusia yang meruangi arsitekturnya, dengan alam melalui bidang-bidang tadi. Saat itu musim semi, jadi hawanya masih dingin (10o C) dan kebetulan sering gerimis. Masuknya air, dan hembusan angin ke koridor dengan dinding miring sedikit—seperti doyong—di Chichu Art Museum merupakan saat-saat paling menggetarkan. Yang ada saat itu hanya saya kegerimisan dengan langit yang dibingkai dalam koridor lebar kurang dari 2 meter, tinggi 3 meter. Pengalaman yang tidak tergambarkan dalam kata-kata. Chichu Art Museum sendiri didedikasikan sebagai perjalanan spiritual estetik yang menghubungkan alam Naoshima Island dan Inland Sea di sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan dengan sebuah ruang yang diciptakan manusia. Karya Ando yang satu ini sudah bisa dirasakan bahkan pada saat sedang menuju lokasi museum, yaitu bukit yang ‘menelan’ bangunan, serta pemandangan indahnya. Saya mengerti apresiasi rekan-rekan arsitek yang menyebutkan bahwa kita tidak akan merasa seperti di dalam basement—walaupun badan utama museum ini berada di bawah tanah. Teman seperjalanan saya, Adifu berkomentar bahwa Ando sudah bikin semuanya disini (Chichu), tugasnya di arsitektur sudah selesai, dan Ando sebagai arsitek besar, sudah boleh mati. Chichu Art Museum memang highlight dari perjalanan kami. Absolute hit from Ando. Sampai-sampai mas Yori bilang, “si Ando emang sinting! Dia selangkah lagi jadi dewa!”. Overall, We agreed to said Ando’s work is very essentials.

21


NEW-LOOK Ando tidak berhenti disitu, di era teknologi informasi yang nirbatas dimana makin banyak desain-desain progresif dari arsitek-arsitek lebih muda, Ando menstilirisasi bentuk geometris dasar yang dia kuasai pada Casa-Armani dan 21_21 Design Sight di Tokyo. Pada proyek-proyek ini Ando menggunakan baja sebagai material cladding. Casa-Armani seperti kotak yang dirobek (sebagai bidang entrance) dengan ‘seragam’ hitam, skalanya kecil seperti butik 2 lantai, tampil kalem sekaligus misterius. Sementara 21_21 Design Sight merupakan kolaborasi mewujudkan ruang bertukar pikiran, sebuah galeri yang buah idenya datang bersama fashion designer Issey Miyake dan almarhum seniman Osamu Noguchi. Gubahan massanya sangat dipengaruhi oleh kondisi site yang berada di sudut (seperti belok-an), yang menyebabkan massanya dipisah menjadi 2 bagian. Bagian utama ruang galeri yang 2 lantai ke basement, sedangkan bagian kedua restoran. Atapnya dari baja diselesaikan dengan teknologi konstruksi advanced—sehingga bisa berkesan seperti satu lembar baja utuh yang menutupi bangunan. Atap ini terinspirasi dari konsep Issey Miyake, a piece of clothes, yang merupakan esensi sebuah pakaian. Ando mentransformasikan dalam a piece of steel pada roof cover yang menukik turun. Desainnya sangat striking dan progresif. Sepertinya Ando terlahir kembali sebagai arsitek muda masa kini. Pada 2 desain ini Ando terlihat fresh, yang membuat kami bertanya-tanya bagaimana dia bisa nggak kehabisan ide. Di 21_21 yang baru buka, kami beruntung bertemu Tadao Ando secara langsung, beli buku terbarunya dan dibubuhkan tanda tangan beliau. Ando juga menuliskan nama kami masing-masing pada buku tersebut. Kami berkali-kali minta izin pada panitianya untuk berfoto bersama, namun Ando nampaknya terlalu sibuk dengan acara hari itu. Ando datang mengenakan setelan jas navy-blue dengan dalaman turtle-neck warna ungu. Sangat bersahaja sekaligus stylish. Ando memang tahu bagaimana harus membawa diri, seperti arsitekturnya yang down to earth, dia selalu memilih berpenampilan dengan single-tone, abu-abu, hitam, atau biru gelap, dan sesekali khakis. Di usia 66 dan pencapaian profesi yang sedemikian tinggi, jas dan coat hitam jadi pilihan bijaksana. Saat itu dia mempresentasikan proyek terbarunya di Abu Dhabi, sebuah museum Maritim. Pengembangan kawasan di pesisir pantai Abu Dhabi, melibatkan 4 arsitek superstar untuk 4 proyek prestisius. Frank Gehry untuk Guggenheim Museum Abu Dhabi, Jean Nouvel untuk Museum of Arab World, Zaha Hadid untuk Performing Art Center, dan Tadao Ando untuk Maritime Museum. Ando lagi-lagi menstilirisasi bentuk persegi yang dicoak secara kurvatis seolah bagaikan layar dari kapal tradisional para pelaut Timur Tengah. Terdapat gambar dan maket potongan yang menggambarkan eksplorasi ruang di bawah bangunan(dalam air) dan naik ke dalam massa bangunan. Saya menaruh apresiasi pada bentuk geometri utuh, seperti persegi, kotak dan lingkaran, sebagai dasar dari arsitektur modern, yang kemudian menjadi signature Ando. Bagaimana geometris utuh saya temui bisa menghasilkan beragam rasa ruang. Dan kemudian ketika Ando sudah sangat menguasai geometris utuh, lantas dideformasi menjadi bentuk-bentuk yang tak terduga. Lantas apresiasi ini berujung pada sebuah pertanyaan lagi, sampai dimanakan batas kemampuan Ando menghasilkan ruang yang tak terduga dari pengembangan geometris? I think we’re all very eager looking forward to his new explorations, his new surprises…


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

Thus being contextual is not really about form, or elements, or the factors that makes your design looks cool. Being conextual is about how the architect read the site, feel what the land demands, and rethink what should he/she must do about the place. What makes design good or bad can be appreciated by how the architects transform their ideas within the context (site), whether they kill, or give meaning to the place. Originally written in April 14th – 15th 07 for andramatin japan tour book. edited March 3rd 08


by : Anseina Eliza

By giving a solution to the negative effects caused by the informal sectors, it is highly expected that the sector will become a role model, which can be applied throughout the city. Therefore, a solution to the city’s chronical problem can be done through it and then from those little things, bigger things can happen.

This informal sector is always considered the biggest enemy to the city simply because they created more and more urban havoc. However, I believe this sector is an answer to what the city really needs.

I am trying to see Jakarta as pieces of a big jigsaw puzzle of the many informal living which keep popping up all over the city. These informal living has given an extra characteristic to the city.

Jakarta as an informal city


Problems : Informal sector fills up the blank spots in Jakarta, converting what was previously public/private.

Informal sector intervents the formal sector structure, giving the city a new image

Flexibility in occupying the template of the city When the informal sector started their activities, the city sector becomes occupied When the informal sector halted their activities, the city template remains unchanged

informal sector appears

Template of the city

informal sector disappears

Template of the city






Melihat tropikalitas dari tepi aliran waktu.

(peserta sayembara tertutup desain rumah tropis kontemporer, Civitas Akademika Universitas Trisakti Jakarta) oleh : Danny Wicaksono

dan bagaimana caranya kontemporeritas mendefinisi tropikalitas budaya bangun kita ? sejauh apa kreatifitas kita menjawab tuntutan regionalitas dalam bahasa ruang?


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

Bagaimana menterjemahkan jaman, kedalam tropikalitas ruang yang selama ini dikenal?


Skema ini berusaha untuk melihat 2 pertanyaan utama yang muncul dalam sayembara ini. Yang pertama adalah masalah kontemporeritas dalam tropikalitas dan yang kedua adalalah masalah konteks desain ini dengan pengembangan lanjutannya. Kedua hal ini berusaha untuk dijawab secara simultan untuk tetap menjaga keutuhan desain. 32

Skema desain ini adalah sebuah desain yang terletak dalam sebuah kawasan perumahan yang terdiri dari beberapa tipe rumah. Skema desain ini juga direncanakan untuk dikembangkan dan diperbanyak dalam kawasan ini. Sebagai seorang arsitek yang percaya bahwa rumah adalah cerminan penghuninya, saya berusaha untuk menghindari keluarnya sebuah desain yang rigid, untuk kemudian di replikasi. Disini saya menawarkan sebuah sistem membangun, dimana penghuni dapat berpartisipasi dalam menentukan desain rumah mereka. Sebuah sistem membangun baru yang rasanya belum pernah diterapkan pada pola pembangunan hunian massal di Jakarta (atau mungkin Indonesia?)

skema kemungkinan desain 1


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

33

skema kemungkinan desain 2

Dalam skema ini pengembang hanya menyediakan ruang-ruang huni dengan besaran yang sudah ditentukan, (Ruang-ruang ini saya ambil dari ketentuan TOR yang disediakan oleh pihak) sedangkan peletakan dan hubungan antar ruang di tentukan oleh para konsumen yang akan menempatinya. Dengan begini diharapkan akan dapat menghasilkan rumah yang lebih sesuai dengan pola hidup calon pemilik. Untuk memudahkan proses ini , desain setiap ruang dibuat modular dengan bentuk yang paling sederhana (kotak). diharapkan konsumen akan lebih mudah untuk mengatur pola ruang hidup mereka, seperti layaknya bermain lego. Dengan begini, dalam skala makro akan dihasilkan sebuah kawasan pemukiman dengan bentuk bangunan yang amat beragam dan berkarakter, sebuah antitesis untuk budaya membangun massal yang selama ini di kenal.

skema kemungkinan desain 3

skema desain ini adalah contoh bagaimana sebuah desain yang dibangun dengan sistem partisipasi, yang di tawarkan untuk proyek ini, menjawab isu kontemporeritas dalam tropikalitas arsitektur Indonesia. Dalam skema desain ini, tiap ruang dicoba untuk berdiri sendiri, dengan keempat sisi membuka, dan jarak minimal antar ruang adalah 60cm. jarak ini masih memungkinkan orang lewat untuk maintenance. Dengan begini diharapkan aliran udara, untuk mengatasi kelembapan tropis, dapat di capai dalam hasil yang maksimal.


alternatif pergola carport 1

34

Skema ini menaruh kamar tidur sebagai ruang paling privat di lantai atas, sedangkan ruang –ruang yang sifatnya lebih terbuka (dapur, ruang keluarga,ruang belajar, kamar tamu,area servis), di taruh di lantai bawah. Sekat ruang di lantai dasar dicoba untuk di minimalkan. Mengajak penghuninya untuk hidup diantara iklim tropis, bukan menghindarinya. Untuk merasakan panas, angin sepoi dan rintik hujan. Skema ruang ini juga memungkinkan penghuni untuk memanfaatkan penuh potensi luas lahan yang dimiliki.

alternatif pergola carport 2


jongArsitek! m a re t 2 0 0 8 | d e s a i n m e n g i n s p i r a s i

alternatif pergola carport 3 Atap genteng dengan kemiringan tinggi diganti dengan atap rumput. Saat ini, atap jenis ini saya rasa lebih bermanfaat daripada atap genteng miring, karena atap ini mampu mengganti area resapan yang hilang dipakai lantai dasar bangunan, mengurangi radiasi matahari langsung ke atap, menurunkan suhu ruangan di bawahnya dan memberikan ruang hidup tambahan bagi penghuninya.

35

Ruang diatas carport dan garasi adalah ruang sisa yang menurut saya bisa diperlakukan sebagai bagian dari ruang-ruang yang ada. Disini saya memberikan tiga alternative ruang diatas carport dan garasi, yang merupakan fitur pilihan pada desain ini. Alternative pertama adalah pergola kayu biasa, alternative kedua adalah taman rumput, dan alternative ketiga adalah kolam renang. Untuk bahan penutup carport sendiri di gunakan material yang bisa menyerap air. Pada prakteknya pemilihan area ini dan desain keseleruhan rumah pada skema ini merupakan keputusan pemilik rumah. Hal ini tentunya berhubungan dengan konsekuensi harga bangunan yang pasti akan bertambah dan disesuaikan dengan gaya hidup pemiliknya.(Dan)


18/03/08 oleh indhira sagita

(‌Udah lebih dari setaun gue dinegara mungil ini, da Rutinitas dan realita di sekitar telah membentuk dan m yang kini gak lagi serupa dengan gue yang dulu‌) photo by adikritz


an gue mulai terbiasa. mengubah gue, gue

Sebuah kota dapat mengubah penghuninya, sebuah teori yang selama kuliah dulu hanya bisa gue baca dan raba-raba, sekarang malah buntut-buntutnya gue jadi salah satu bukti nyatanya. Entah elemen apa yang lebih kuat dalam mempengaruhi perubahan gue, tapi yang pasti gue sadarin bahwa bukan hanya fisik dari kota saja yang membentuk gue tapi juga elemen dari mental sekeliling gue, baik yang dipaksakan (aturan dsb) atau pun naluriah. Awalnya gue sadar tentang elemen psikologis ini dari hal yang simpel banget, yaitu waktu gue mau nyebrang di jalur nyebrangnya pedestrian. Jujur waktu dijakarta, gue paling males tuh kalo harus nyebrang di zebra cross atau di jembatan penyebrangan, tapi, yang terjadi saat gue disini, bisa diitung jari deh berapa kali gue nyebrang gak pada tempatnya. Alasan awalnya sih agak-agak memalukan, karena orang-orang disekitar gue taat pada aturan itu (ditambah lagi katanya dendanya gede banget cuy kalo ketangkep..), cuman, lama-lama, guenya jadi kebiasa sendiri, dan akhirnya mau ada orang atau gak ada orang disekitar gue, gue berusaha sebisa mungkin buat nyebrang pada tempatnya dan pada saatnya. Yang gue tangkep sih gini kasarnya, banyaknya fasilitas publik yang disediakan untuk sebuah kota tidak menjanjikan kota itu akan menjadi kota yang nyaman untuk dihuni. Yang jadi elemen tambahan (atau malah elemen penentu)-nya sih menurut gue adalah inteligensi dari penghuni kota tersebut. *Catat, inteligensi yang gue maksud disini adalah kemampuan seorang manusia sebagai warga sebuah kota dalam menghargai sesuatu yang merupakan milik publik. Gue punya contoh nih,pengalaman pribadi banget. Di depannya rumah orangtua gue di Jakarta, ada sebuah taman, taman yang tidak terlalu besar, tapi teduh. Gue tuh pengen banget bisa nikmatin tuh taman dengan tenang,buat baca buku atau cuman sekedar nongrong aja sambil makan pisang goreng.. tempting banget!, udah didepan rumah, ada tempat duduknya , teduh, pokoknya secara fisik mendukung banget. Namun, pernah tuh sekali gue nyoba buat duduk disitu, eh tiba-tiba segerombolan cowok-cowok main nyosor aja duduk dideket tempat duduk gue, ngobrol keras-keras, trus buntut-buntutnya ganggu orang udah gitu pake ngegodain segala. Gila, gak tau apa itu tuh FASILITAS PUBLIK! Dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk menikmati ruang itu. Walhasil, gue kapok, karena setiap kali gue udah ada niat buat memanfaatkan ruang publik itu, gue udah males duluan kalo udah ngeliat ada segerombolan orang lain di tempat itu, trauma!.


Trus, saat gue pindah kesini, gue kagum.. gue tuh baru bisa bener-bener nikmatin yang namanya ruang publik, dimana bener-bener terbukti bahwa ruang publik tuh adalah ruang saya, ruang kamu, ruang kita bersama. Semua orang bisa menikmati aktifitasnya masing-masing diruang yang sama, diwaktu yang sama tanpa harus mengganggu orang lainnya. Salah satu ruang publik favorit disini buat saya adalah Botanical garden, sebuah taman publik yang besar, diolah dengan baik dan dihargai dengan baik juga oleh penggunanya. Bayangkan, disaat yang sama, ada orang berolahraga, orang membaca buku diatas rumput, orang yang hanya bengongbengong ria dipinggir danau, orang tua dan anak yang sedang bermain, sampai orang pacaran *Catat, pacaran disini lebih kearah piknik dan menkmati sore yang indah bersama pacar bukan “pacaran” di taman-taman pada malam hari ala para Jakartans. Dan mereka semua itu melakukan aktifitas mereka dengan tingkat kenyamanan yang hampir sama. Fasilitas yang tersedia itu jadi bisa berfungsi dengan baik.

38

Karena pengalaman itulah gue jadi pengen bahas masalah inteligensi ini. Karena kalau mau dilihat-lihat, secara fasilitas, bisa dibilang bahwa gue pernah ngerasain fasilitas yang wujud fisiknya bisa dibilang serupa, tapi ternyata efeknya benar-benar berbeda saat taraf inteligensi orang-orang yang menggunakan itu berbeda. Dan menurut gue, membandingkan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan paling tidak, meruapakan awal yang baik sebelum kita melakuakan perubahan,sehingga kita tau basis kita dan kita gak bisa menutup mata dan menerima kondisi ini begitu saja. Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa warga Jakarta tidak mampu atau memahami cara menghargai atau memanfaatkan ruang publik dengan “sopan” karena mereka tidak pernah melihat atau merasakan bagaimana ruang publik di Negara lain diperlakukan oleh warganya. Jadinya bagi mereka apa yang mereka punya saat ini sudah cukup atau malah bersikap lebih kearah menerima dan tidak bisa berbuat apa-apa selain melarikan diri dengan cara tidak memanfaatkan ruang publik terbuka dan memilih beraktifitas diruang yang lebih “terkendalikan” seperti Mall (Harus kita sadari di Negara kita ruang-ruang “swasta” tentunya lebh dijaga dan dibuat nyaman dibandingkan dengan ruang-ruang “negri” yang gratis). Gue pernah denger ada sekumpulan orang berdiskusi tentang bagaimana mengubah sebuah kota menjadi kota yang nyaman bagi penghuninya, diskusi itu berawal dari perbincangan didunia maya, berlanjut ke dunia nyata dan mereka pada akhirnya, tetap tidak bisa menarik kesimpulan atas pembahasan mereka karena berakhir dengan perdebatan antara mana yang lebih dulu harus diubah, kota atau penghuninya (yang gue pikir sih malah jadi kayak perdebatan ayam dan telor).

Gue gak tau yah pendapat naïf gue ini sebenernya mudah atau susah untuk diterima dan diaplikasikan, tapi kalau sekumpulan orang itu gak hanya berdebat dan berdiskusi dikalangan mereka sendiri saja tapi lebih berusaha untuk menjadi contoh dan menggerakan orang-orang disekitarnya untuk membangun inteligensi mereka dalam menghargai ruang dan elemen pada ruang publik, gue rasa akan mulai ada perubahan, walaupun kecil, tapi bisa perlahan-lahan jadi semangat baru, dan mungkin akan bisa mengubah kota menjadi lebih baik. Tentunya hal ini harus diawali oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas, seperti orang-orang yang memang background pendidikannya menyentuh pembahasan ini (tetapi jangan mentok hanya membahas terbatas didalam kalangannya saja, wong mereka juga belajar hal yang sama kok, seharusnya membantu mengedukasikan orang-orang awam di Negara kita, yang mungkin tidak tahu menahu tentang ini). Analogi kasarnya adalah kayak gini, saat ada sampah ditangan, usahakan buat buang ditempat yang benar, kalo ngeliat ada orang yang udah ancang-ancang buang sampah sembarangan, tegur dengan lugu dan santai (kalo bisa sih pake bukti nyata, cth : ‘mas, mas, tau gak, kalo puntung yang mas buang itu, yang nyebabin kota kita ini kebanjiran terus loh mas, bayangin aja mas kalo sehari mas buang 5 puntung rokok dan ada 10 mas-mas lain yang kayak mas juga, bisa jadi berapa banyak puntung tuh mas sebulan…- dan seterusnya). Sama aja kayak kalo kita akan mendesain sebuah ruang publik yang akan digunakan oleh masyarakat umum, sebelum direalisasikan, kita harusnya juga udah meng-edukasi-kan tentang ruang publik itu kepada masyarakat, tentang bagaimana ruang itu sepatutnya dimanfaatkan, memberikan contoh-contoh riil yang menunjukan bagaimana ruang publik bisa menjadi nyaman. Mempublikasikan sesuatu sebelum akhirnya merealisasikannya. Dan ini dilakukan dengan merata, kesemua kalangan.


photo by adikritz

Akhirnya, tulisan gue ini hanya untuk membuka peluang untuk berpikir, sebuah pendapat bebas yang tidak berdasar pada teori apapun. Pendapat bahwa cara untuk menjadikan sebuah ruang publik pada sebuah kota menjadi ruang yang ramah dan nyaman gak selalu harus membuat atau menghasilkan sesuatu terlebih dahulu. Bentuk fisik hanyalah pembuktian diri, untuk menjadikan basis penilaian atas sebuah kota, apakah kota itu baik atau tidak secara desain. Menurut saya perubahan bisa terjadi jika diawali dengan mengubah elemen yang paling kecil, otak dari manusia yang tinggal didalamnya.

Yang harusnya mulai ditempa dan diisi dengan pengetahuan-pengetahuan tentang ruang publik yang baik. Sekali lagi ini pendapat saya, yang mudah-mudahan dapat memicu pemikiran-pemikiran lain yang diikuti dengan aksi yang nantinya dapat mengubah semuanya menjadi lebih baik‌.. Ciao, Indhira Sagita


d e s a i n

m e n g i n s i p i r a s i


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.